Amanat Marga (Hu Hua Ling) Chapter 12

Tiba-tiba terdengar suara gemerantang nyaring, suara rantai besi, menyusul Yim Hong-peng lantas membentak, "Thian (langit)!"

Serentak berpuluh bayangan orang itu mengangkat tangan ke atas. Berpuluh jalur cahaya dingin segera terbang tinggi ke langit dari tangan orang-orang berbaju hitam itu.

Terdengar Yim Hong-peng membentak pula, "Te (bumi)!"

Sekaligus berpuluh cahaya dingin melayang pula dari gerombolan orang banyak itu dan menyambar ke arah Lamkiong Peng bertiga. Karuan mereka terkejut. Lamkiong Peng membentak sambil melolos pedang, dengan cepat ia memutar pedangnya. Bwe Kim-soat juga lantas mengibaskan lengan bajunya, sedangkan Tik Yang menghantamkan kedua tangannya ke depan sehingga cahaya dingin itu sama rontok sebelum tiba di tempat tujuan.

Tak terduga kembali terdengar suara bentakan, "Hong (angin)!"

Terdengar suara menderu. Segulung cahaya perak melesat tinggi ke udara, habis itu secepat kilat gulungan cahaya menyilaukan mata itu berhamburan dengan suara menderu keras, ditambah lagi suara nyaring rantai ketika bergerak, tampaknya tidak kepalang lihainya.

Tik Yang bersuit panjang dan melompat ke atas.

Bwe Kim-soat juga berteriak kaget, "Celaka!"

Belum lenyap suaranya, cahaya perak yang berhamburan itu dalam sekejap saja telah membenam seluruh tubuh Tik Yang. Lamkiong Peng terkesiap. Cepat ia putar pedangnya melindungi sekujur badan, ia pun melompat ke atas.

Pada waktu tubuh Tik Yang baru bergerak ke atas, mendadak ia merasakan berpuluh buah Lui-sing-tui (bola berantai) menyambar kepalanya. Cepat ia menggeliat sehingga tubuhnya membelok ke samping. Siapa tahu cahaya perak kembali menyambar tiba dan membungkus tubuhnya.

Dalam keadaan demikian ia tidak dapat berpikir panjang lagi. Sekali meraih, sebuah bola perak ditangkapnya, lalu mengikuti daya tarikan. Langsung ia menubruk ke bawah, tapi segera dirasakan tangan kesakitan tertusuk, pinggang kiri dan paha kanan juga kesakitan. Terdengar suara gedebuk, tahu-tahu ia menumbuk tubuh seorang berbaju hitam. Keduanya sama menjerit kaget dan jatuh terguling.

Dalam pada itu Lamkiong Peng sedang melayang ke atas dengan berputar untuk melindungi tubuh sendiri. Di tengah gelombang cahaya tampak sedikit kacau, kesempatan itu segera digunakannya untuk menerjang. Pedang pusaka Yap-siang-jiu-loh memperlihatkan kesaktiannya. Terdengar suara gemerincing nyaring, bola berantai yang merupakan senjata khas kawanan lelaki berbaju hitam itu sama tertebas putus oleh pedangnya. Kemudian terlihat olehnya Tik Yang lagi menjerit kaget dan jatuh terguling.

Terkesiap juga Bwe Kim-soat melihat senjata andalan musuh yang khas itu. Ia pikir, pantas Yim Hong-peng begitu garang, mentang-mentang mempunyai barisan tempur yang lihai.

Hendaknya diketahui, senjata sebangsa Lui-sing-tui (bola berantai), Lian-cu-jiang (tombak berantai) dan senjata lemas lainnya bukanlah senjata yang langka, namun sangat sukar melatihnya dengan baik. Terlebih di tengah orang banyak, bila latihannya tidak sempurna, bisa jadi akan melukai kawan atau diri sendiri malah. Tapi bila senjata yang lemas itu dapat dikuasai dengan baik, maka daya tempurnya akan berlipat ganda. Bahwa berpuluh lelaki berseragam hitam ini dapat serentak menggunakan senjata lemas begini, jelas mereka sudah terlatih dengan baik dan dapat bekerja sama dengan rapi sehingga tidak sampai melukai diri sendiri dan mencederai kawan.

Pengalaman tempur Bwe Kim-soat sudah banyak, ia tahu barisan tempur ini sangat lihai dan sulit dihadapi. Tapi saat itu Lamkiong Peng sudah menerjang ke tengah musuh. Cepat ia pun ikut melayang maju. Sekali lengan bajunya mengibas dengan kuat, kontan ia bikin rontok tujuh-delapan Lui-sing-tui yang lagi menghantam Lamkiong Peng.

Dalam pada itu Lamkiong Peng lantas memburu ke tempat robohnya Tik Yang. Tentu saja Bwe Kim-soat berkerut kening melihat kelakuan anak muda itu. Ia tahu bila Lui-sing-tui musuh menyerang lagi, pasti sukar bagi Lamkiong Peng untuk menghindar. Namun pada saat itu cahaya perak juga sudah kacau.

Terdengar Yim-hong-peng membentak pula, "Siang (es)!"

Segera Bwe Kim-soat berputar ke sana dan ikut menubruk maju bersama Lamkiong Peng. Sekonyong-konyong terdengar angin menderu lagi. Berpuluh Lui-sing-tui serentak telah ditarik kembali, berpuluh lelaki berseragam hitam juga melompat mundur.

Rupanya Yim-Hong-peng juga terperanjat ketika melihat barisan bola berantai anak buahnya terjadi kekacauan karena diterjang oleh Tik Yang dan Lamkiong Peng. Padahal barisan bola berantai khusus dilatihnya dengan mengumpulkan berbagai jago silat pilihan. Barisan ini memakai perhitungan Pat-kua dan berdasarkan perubahan thian (langit), te (bumi), hong (angin), uh (hujan), jit (matahari), goat (bulan), in (mega), soat (salju), dan siang (es).

Dengan sendirinya sangat ruwet perubahan sembilan macam unsur itu, namun bantu membantu satu sama lainnya. Apalagi setiap bola berantai itu berduri pula, dengan sendirinya daya tempurnya luar biasa hebatnya. Kini dilihatnya Tik Yang hanya terluka ringan saja. Yim Hong-peng kuatir barisan ciptaannya akan dibobol musuh, maka cepat ia undurkan diri dulu barisannya untuk merapikannya lebih dulu.

Waktu itu Lamkiong Peng sedang memeriksa keadaan Tik Yang. Dilihatnya darah mengucur dari pinggang kiri dan paha kanan. Dari celah jari pemuda Thian-san ini juga merembes darah segar, namun tangannya dengan sekuatnya lagi mencekik leher seorang lelaki berbaju hitam dan ditindihnya dari bawah.

Pada telapak tangan kiri lelaki berbaju hitam itu memakai sarung tangan kulit dan terikat seutas rantai perak mengkilat. Bola perak pada ujung rantai terpegang oleh Tik Yang. Mendadak Tik Yang menggeram dan cahaya perak berkelebat, darah pun berhamburan. Kiranya sekali hantam dengan bola yang dipegangnya Tik Yang telah menghajar remuk kepala lawan.

Cepat Lamkiong Peng membangunkan Tik Yang. Dilihatnya kedua mata orang merah membara, dada penuh berlepotan darah. Untuk pertama kalinya anak muda ini terluka, juga untuk pertama kalinya selama hidup anak muda ini membunuh orang. Melihat darah yang berceceran, ia menjadi terkesima memandangi bola perak yang masih terpegang olehnya.

"Hm, ternyata Thian-san-sin-kiam juga cuma begini saja," tiba-tiba terdengar Yim Hong-peng mengejek dari samping.

"Hanya begini apa? Sedikitnya juga telah mengacaukan barisanmu. Untung kau hentikan gerakan barisanmu, kalau tidak, hm...,” ejek Bwe Kim-soat.

"Huh jangan temberang dulu," jawab Yim Hong-peng. "Kedatanganku ke dareah Tionggoan sekali ini sebenarnya juga tidak bermaksud mengikat permusuhan, sebab itulah barisan bola perak ini belum kugunakan secara tuntas. Apabila kalian bisa melihat gelagat, hendaknya turuti nasihatku. Kalau tidak, terpaksa kalian harus menyaksikan kesaktian barisan bola perak yang sesungguhnya." Habis berkata, segera Yim-Hong-peng bermaksud melompat mundur ke tengah barisannya.

"Nanti dulu!" bentak Kim-soat mendadak. Sekali bergerak, tahu-tahu ia sudah hinggap di depan Yim-Hong-peng.

"Hah, memangnya dapat kau tahan diriku?" jengek Yim-Hong-peng. Mendadak ia meloncat lagi.

"Boleh kau coba!" jengek Bwe Kim-soat dengan tertawa. Tangan kirinya terangkat dan lengan bajunya berkibar, serupa ular saja tahu-tahu hendak membelit betis Yim-Hong-peng.

Tergetar juga hati Yim-Hong-peng. Cepat kedua tangannya menebas ke bawah, kaki kanan pun mendepak.

Namun sedikit Bwe Kim-soat menarik lengan bajunya. Katanya dengan tertawa, "Lebih baik kau turun saja!"

Belum lenyap suaranya, benar juga Yim-Hong-peng sudah jatuh kembali ke tempat semula dan menatap Bwe Kim-soat dengan tercengang.

Baru saja Bwe Kim-soat telah mengeluarkan gerakan ‘Lui-in-hui-siu’ atau Awan Mengambang dan Lengan Baju Menyambar. Tampaknya tidak ada suatu yang istimewa, tapi ternyata membawa tenaga betotan yang maha kuat, juga ketepatan waktu dan bagian yang di arah terjadi secara tepat dan jitu.

Diam-diam Lamkiong Peng juga terkejut. Baru sekarang ia menyaksikan kepandaian asli Bwe Kim-soat. Di samping terkejut ia pun kagum. Padahal selama sepuluh tahun ini perempuan ini selalu berbaring di dalam sebuah peti mati yang sempit, tersiksa dan bisa membuat gila. Namun perempuan ini tidak saja tetap tawakal, bahwa lweekang-nya yang sudah punah dapat pulih kembali. Sungguh suatu pekerjaan yang tidak mudah! Terutama ilmu awet muda yang berhasil juga dikuasainya, bahkan kungfu-nya seperti lebih maju dari-pada dulu. Sungguh sukar dimengerti, resep apa yang membuatnya mencapai mukjizat seperti ini.

Dalam pada itu perlahan Tik Yang telah duduk tegak.

"Hm, sudah saatnya kalian memilih, apakah ingin menyerah atau tetap bertempur. Apalagi kalian perlu juga bersiap membereskan urusan orang she Tik ini setelah dia mampus," jengek Yim Hong-peng.

"Apa katamu?!" bentak Lamkiong Peng terkesiap.

"Hehe," Yim Hong-peng tertawa mengejek. "Pada bola perak berduri itu dilumuri racun, bila racun sudah masuk darah, sukar lagi tertolong. Maka bila kau ingin menolong jiwa kawanmu, hendaknya kau lekas ambil keputusan." Rupanya dia rada keder akan kesaktian Bwe Kim-soat, maka sengaja menggertak dengan racun yang mengenai Tik Yang itu.

Air muka Lamkiong Peng berubah hebat. Waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya wajah Tik Yang berubah kaku dan matanya buram.

"Hm, biar pun kau bicara menakutkan juga takkan mampu menggertak diriku," jengek Kim-soat.

"Tapi kuyakin dalam hatimu harus mengakui aku tidak main gertak belaka," ejek Yim Hong-peng. "Kau sendiri sudah terkenal sebagai perempuan berdarah dingin, dengan sendirinya mati hidup kawan tidak perlu kau pikirkan. Tapi kau Lamkiong Peng, apakah kau pun manusia yang berbudi rendah begitu?"

Tergetar juga hati Lamkiong Peng. Dirasakan tangan Tik Yang yang dipegangnya panas membara, sinar matanya juga berubah buram.

"Bila kebekuk dirimu, masakah takkan kau serahkan obat penawarnya?” jengek Bwe Kim-soat pula.

"Obat penawarnya memang ada, tapi tidak ku bawa. Apalagi... Hehe, apakah kau yakin mampu membekuk diriku?"

Alis Kim-soat menegak. Mendadak ia terbahak-bahak, "Haha! Sungguh mengegelikan! Kusangka Ban-li-liu-hiang Yim Hong-peng itu tokoh lihai macam apa, tak tahunya cuma begini saja."

Yim Hong-peng meraba janggutnya, berlagak tidak mendengar.

Kim-soat mendengus lagi. "Huh, dengan cara licik ini untuk menjirat orang masuk ke dalam komplotanmu, apakah tindakan ini tidak teramat bodoh? Umpama berhasil kau bujuk orang dalam komplotanmu, apakah kemudian dapat kau jamin kesetiannya? Apakah dia takkan menjual rahasiamu dan berkhianat? Hah, bisa jadi engkau akan menyesal di kemudian hari."

"Hahahahaha! "Yim Hong-peng terbahak, "Untuk ini nona tidak perlu kuatir bagiku. Jika orang she Yim tidak yakin mampu menaklukkan harimau, tidak nanti aku berani naik ke gunung."

Diam-diam Bwe Kim-soat merancang tindakan apa yang akan diambilnya, tapi lahirnya ia berlagak tertawa. Ia berpikir harus sekali serang merobohkan Yim Hong-peng. Bila gagal, serentak mereka bertiga lantas menerjang ke luar kepungan musuh sebelum barisan bola maut itu bergerak.

Selagi ia termenung, di tengah malam sunyi mendadak ia mendengar suara burung gagak berkaok satu kali. Segulung bayangan hitam terbang tiba dengan cepat sekali, dari kecepatan terbangnya lebih menyerupai seekor elang dari-pada dikatakan seekor gagak. Selagi Kim-soat terkesiap, dilihatnya burung gagak yang aneh ini mendadak menubruk ke muka Yim Hong-peng, tampaknya hendak mematuk biji matanya.

Tentu Yim Hong-peng terkejut, Cepat ia menggeser mundur, berbareng sebelah tangannya lantas menghantam. Pukulan ini sangat kuat, gagak itu juga sedang menyambar ke depan, sepantasnya sukar menghindarkan pukulan dasyat ini. Siapa duga kembali terdengar suara gaok yang panjang. Secepat kilat gagak itu terbang membalik, kecepatannya terlebih mengejutkan dari-pada menyambar tiba tadi, hanya sekejap saja lantas menghilang dalam kegelapan.

Yim Hong-peng sendiri jadi melongo. Tangan yang hampir menghantam tadi hampir tak dapat diturunkan lagi. Di dunia ini memang banyak hewan yang cerdik, tapi seekor burung gagak dapat terbang mundur, sungguh hal ini tidak pernah terdengar. Benar-benar peristiwa yang ajaib. Selagi merasa bingung, tiba-tiba terdengar suara bentakan aneh dari jauh mendekat.

"Minggir...! Minggir...!"

Menyusul terjadi kegaduhan di antara kawanan lelaki berseragam hitam dan bersenjata bola berantai. Barisan mereka pun menjadi kacau dan sama menyingkir untuk memberi jalan lewat.

Kening Yim Hong-peng berkerut. Bentaknya, "Tenang, tetap di tempat! Apakah kalian sudah lupa pada disiplin yang diajarkan? Sebelum bertempur barisan sudah kacau dulu, dosa ini tak terampunkan!"

Belum habis ucapannya, mendadak seorang Tojin kurus kering berjubah biru dan berambut putih melangkah tiba dari balik barisan sana sembari membentak, "Minggir! Minggir!"

Rambut dan jenggot Tojin ini sudah putih seluruhnya. Panjang jubah birunya cuma sebatas dengkul, mukanya kurus, tapi sikapnya gagah berwibawa. Telapak tangan kirinya terangkat di depan dada, dan di atas telapak tangan hinggap seekor burung gagak.

Waktu Yim Hong-peng mengamati lebih teliti, kiranya suara teriakan serak aneh tadi justru keluar dari mulut burung gagak itu. Tentu saja ia melenggong. Bahwa burung gagak dapat terbang mundur sudah merupakan kejadian ajaib. Gagak ini ternyata dapat bicara pula, dengan sendirinya hal ini terlebih mengejutkan. Biar pun Yim Hong-peng sudah kenyang makan asam garam dunia kangouw dan luas pengetahuannya, tak urung ia juga terheran-heran.

Bwe Kim-soat juga tercengang. Dilihatnya si Tojin kurus tersenyum simpul. Mendadak burung gagak itu berteriak lagi, "Bulan tidak gelap, angin tidak kencang, mengapa kota Se-an yang aman tenteram ini tejadi kebakaran dan pembunuhan? Apakah kalian sengaja bikin rusuh?!" Meski serak suaranya, tapi lafalnya cukup jelas.

Hal ini membuat Bwe Kim-soat tambah melongo!

Hanya sinar mata Lamkiong Peng tetap gemerdep dan tidak mengunjuk rasa terkejut. Tapi setelah melihat si Tojin berambut putih itu, tiba-tiba teringat seorang olehnya. Baru saja dia berseru, "Kau...!”

Mendadak sorot mata si Tojin menyapu pandang ke arahnya dan mengedipinya. Seketika Lamkiong Peng urung bicara dan memandang orang dengan bingung.

Ban-li-liu-hiang berusaha mengatasi rasa bimbangnya. Ia memberi hormat dan menyapa, "Totiang tentu orang kosen dari dunia luar, entah ada keperluan dan petunjuk apa datang ke sini?"

Tojin berambut putih itu terbahak. Si gagak berteriak lagi, "Mengapa engkau cuma menghormat padanya? Masa tidak melihat kehadiranku di sini?"

Yim Hong-peng melengak dan serba susah. Masakah dirinya juga harus memberi hormat kepada seekor burung gagak? Sungguh mustahil!

Si Tojin tertawa. Katanya, "Kawanku meski seekor burung, namun wataknya angkuh. Tingkatannya memang juga sangat tinggi. Bla kau memberi hormat padanya, kan tidak menjadi soal?"

Yim Hong-peng melenggong sejenak. Dengan hati tidak rela ia merangkap kepalan di depan dada sebagi tanda hormat. Betapa pun dia telah terpengaruh oleh sikap Tojin yang berwibawa dan juga keajaiban burung gagak itu, sehingga menurut saja apa yang dikatakan si Tojin.

Sorot mata Lamkiong Peng menampilkan senyuman geli terhadap apa yang dilihatnya ini. Diam-diam Bwe Kim-soat juga merasa heran. Ia tahu pribadi Lamkiong Peng yang lugas, tidak nanti ia tinggal diam menghadapi suatu urusan yang ganjil. Maka ia menjadi curiga! Namun kecerdasan burung gagak itu memang terbukti nyata, betapa pun pintarnya Bwe Kim-soat, ia juga tidak paham mengapa bisa begini.

Dilihatnya si Tojin sedang mengangguk dan berkata, "Baik anak muda yang sopan, tidak percuma kedatanganku ini." Setelah merandek sejenak, lalu ia berkata lagi dengan kereng terhadap Yim Hong-peng. "Tanpa sengaja aku berlalu di sini, kulihat di sini hawa pembunuhan berkobar. Aku tidak sampai hati menyaksikan kawanan kesatria sama tertimpa mala-petaka, maka sengaja mengitar ke sini."

Dengan bingung Yim Hong-peng menjawab, "Ucapan Cianpwee sungguh sukar dimengerti...."

"Jelas dirundung kemalangan apabila kau berani main senjata, pasti celakalah kau! Maka kuanjurkan lebih baik kau loloskan diri sebelum terlambat," kata si Tojin pula dengan gegetun.

Sama sekali si Tojin tidak memandang Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat, sepertinya kedua orang itu membuatnya jemu. Lalu dengan nada kereng ia menyambung, "Jika ada orang merintangimu, mengingat sopan santunmu ini, biarlah nanti kutahan mereka."

"Tapi...?" Yim Hong-peng tambah bingung.

"Tapi apa?! Masa kau tidak percaya kepadaku?!" bentak si Tojin dengan bengis.

Serentak burung gagak itu menyambung, "Kemalangan akan menimpa dan belum lagi kau sadari, kasihan...!"

Yim Hong-peng berdiri termangu dengan air muka pucat. Ia pandang Lamkiong Peng bertiga dan memandang pula si Tojin dan burung gagaknya. Katanya kemudian dengan tergagap, "Bukan Wanpwe tidak percaya kepada ucapan Cianpwe, soalnya urusanku ini tidak dapat diselesaikan dengan sekata dua patah saja. Pula....”

"Pula apa yang kukatakan sukar untuk dipercaya, begitu bukan maksudmu?" potong si Tojin.

Yim Hong-peng diam saja, biasanya diam berarti membenarkan.

Mendadak si Tojin bergelak tertawa. "Hahaha! Apa yang kukatakan selama ini hampir tidak pernah disangsikan orang, juga tidak pernah salah menafsirkan suatu peristiwa. Ternyata sekarang keteranganku tidak kau percayai, agaknya kau ini memang ingin mampus!"

Burung gagak itu juga tertawa terkekeh aneh dan berkata, "Hehe, jika benar kau ingin mati, itu kan gampang...?"

Bola mata Yim Hong-peng berputar. Tiba-tiba teringat seseorang olehnya, maka ia berseru, "Hei, jangan-jangan Ciapwe ini adalah tokoh serba tahu yang termasyhur pada beberapa puluh tahun yang lalu, Thian-ah Totiang adanya?"

SI Tojin berambut putih tergelak. "Haha, bagus! Ternyata namaku juga kau kenal. Ya, memang betul! Aku inilah Thian-ah Tojin yang cuma memberi-tahukan kemalangan dan tidak melaporkan kemujuran itu."

"Tapi... tapi menurut berita yang tersiar di dunia kangouw, konon... konon sudah lama Cianpwee wafat....”

"Wafat apa?” potong si Tojin alias Thian-ah Totiang dengan tertawa. "Soalnya beberapa puluh tahun yang lalu aku merasa bosan berkelana lagi di dunia ramai ini, maka sengaja pura-pura mati dan mengasingkan diri. Tak tersangka berita ini dianggap benar oleh orang persilatan."

Mau tak mau Bwe Kim-soat juga terperanjat. Namun tokoh aneh dunia persilatan masa lampau ini sudah lama telah didengarnya. Diketahuinya orang ini terkenal sebagai peramal ulung, hampir tidak pernah meleset bila-mana dia meramalkan mala-petaka seseorang. Asalkan dia memberi peringatan kepada seorang, orang tersebut tentu tertimpa bahaya. Sebab itulah orang dunia persilatan menyebutnya sebagai Thian-ah Tojin. Kata ‘ah’ atau ‘gagak’ biasanya tidak mengenakkan pendengaran, namun setiap orang persilatan tidak ada yang berani bersikap kurang hormat kepadanya.

Lalu dengan serius Thian-ah Tojin berkata kepada Bwe Kim-soat, "Nah, apa yang telah kukatakan tentu sudah kalian dengar dengan jelas."

Tergerak hati Bwe Kim-soat. Dipandangnya Lamkiong Peng sekejap, lalu mengangguk perlahan.

"Dan tentunya kalian tidak berlain pendapat bila hendak kulepaskan dia dari mala-petaka yang akan menimpanya, bukan?" kata Thian-ah Tojin pula.

Bwe Kim-soat cukup cerdik. Ia tahu, meski resminya si Tojin menyatakan menolong Yim Hong-peng terlepas dari mala-petaka, tapi sebenarnya pihak sendirilah yang dibantu Tojin ini. Maka cepat ia menjawab, "Jika Cianpwee berpendapat demikian, tentu tidak ada persoalan bagi kami."

"Jika begitu boleh lekas kau pergi saja,” kata Thian-ah Tojin sambil memberi tanda kepada Yim Hong-peng.

Agaknya Yim Hong-peng masih sangsi juga.

Segera si Tojin menambahkan, "Lekas pergi, jika terlambat mungkin akan terjadi perubahan."

Walau pun dalam hati masih penasaran, terpaksa Yim Hong-peng menjawab dengan hormat. "Atas budi kebaikan Cianpwee kelak pasti akan kubalas dengan setimpal." Habis itu ia memberi tanda dan membentak, "Pergi!"

Begitulah pihaknya sebenarnya berada dalam posisi yang menguntungkan, tapi sekarang dia berbalik seperti dilepaskan pergi atas kemurahan hati orang, malahan seperti utang budi terhadap si Tojin.

Melihat sikap si Tojin yang berwibawa dengan burung gagaknya yang ajaib, kawanan lelaki berbaju hitam tadi sudah sama kebat-kebit. Sekarang mereka diperintahkan pergi, tentu saja serupa mendapat pengampunan besar. Berbondong-bondong mereka lantas melangkah pergi dengan cepat.

Yim Hong-peng memelototi Bwe Kim-soat sekejap, seperti mau bicara. Akhirnya ia mengentak kaki dan membalik tubuh, hanya dengan beberapa kali lompatan saja sudah menghilang dalam kegelapan.

Sejak tadi Lamkiong Peng tidak memberi komentar. Sesudah Yim Hong-peng pergi jauh, mendadak ia menghela napas dan menggerundel. "Ai, kembali kau tipu orang lagi. Kalau tidak ada Ban-heng, aku...,” dia seperti sangat menyesalkan diri sendiri.

Tentu saja Bwe Kim-soat merasa heran.

Sedangkan si Tojin berambut putih mendadak tertawa dengan keras. Katanya, "Ini namanya dengan gigi membayar gigi. Terhadap kawanan licik dan jahat itu, apa salahnya menipu beberapa kali?"

"Ai, tipu menipu betapa pun bukan perbuatan yang baik," Lamkiong Peng menghela napas menyesal.

Bwe Kim-soat merasa bingung. Ia coba bertanya, "Tipu menipu apa?" Meski dia sangat cerdas, tetap tidak tahu ada tipu-menipu apa dalam hal ini.

Si Tojin seperti sudah kenal watak Lamkiong Peng, ia tidak menghiraukan omelan anak muda itu. Perlahan ia mengelus bulu burung gagak, katanya dengan tertawa, "Sahabat burung, hari ini besar bantuanmu padaku." Dengan tangan kanan ia seperti memutuskan sesuatu pada kaki gagak, habis itu ia angkat tangan kiri dan berkata, "Nah pergilah!"

Mendadak burung gagak itu berbunyi satu kali, terus terbang dan menghilang dalam kegelapan malam. Bwe Kim-soat tercengang dan juga merasa sayang melihat si Tojin melepaskan begitu saja burung gagak ajaib itu.

"Ap... apakah dia akan terbang kembali kepadamu?" tanya Bwe Kim-soat kepada si Tojin, tapi matanya tetap memandang ke arah burung tadi menghilang.

Tojin itu bergelak tertawa, "Haha! Nona tidak perlu merasa sayang. Gagak semacam ini, bila mau dapat kutangkap sepuluh ekor sekaligus setiap saat."

Dengan bingung Bwe Kim-soat memandang Lamkiong Peng sekejap, lalu berkata dengan gegetun, "Ai, sesungguhnya bagaimana urusannya? Sungguh aku tidak mengerti!"

"Hahahaha!" Kembali si Tojin terbahak. "Bila bertemu musuh tangguh, yang utama serang batinnya. Tak tersangka jurus seranganku ini bukan saja dapat mengelabui Ban-li-liu-hian Yim Hong-peng itu, bahkan Kong-jiok Huicu yang termasyhur juga dapat kukelabui."

Dengan gegetun Lamkiong Peng berucap, "Tujuh tahun yang lalu kita berpisah, tak tersangka sekarang dapat bertemu pula denganmu di sini. Juga tak terduga, engkau akan membebaskan kesukaranku, terlebih tidak nyana watakmu ternyata tidak berubah sedikitpun...."

Tojin itu berhenti tertawa. Katanya dengan tergagap, "Terus terang permainanku yang unik ini sudah sekian tahun tidak pernah kugunakan. Baru sekarang, lantaran melihat kongcu terancam bahaya, maka sekedarnya kukeluarkan.”

"Tentu saja aku berterima-kasih atas pertolonganmu, cuma permainan semacam ini tetap bukan tindakan lelaki sejati. Selama hidupmu bekecimpung di dunia kangouw, masakah engkau tidak ingin berbuat secara gilang gemilang agar namamu selalu diingat?" Lamkiong Peng bicara dengan suara halus, tapi mengandung semacam wibawa yang tidak dapat dibantah.

Air muka si Tojin rada berubah, akhirnya menunduk dan tidak bersuara lagi.

Perlahan Lamkiong Peng mendekatinya. Katanya sambil menepuk perlahan pundak si Tojin, "Jika kata-kataku terlalu kasar, hendaknya engkau jangan marah. Maklumlah, bila aku tidak merasa bangga karena mempunyai sahabat serupa dirimu, tentu aku takkan bicara terus terang padamu. Apalagi engkau telah membantuku, sungguh aku sangat berterima-kasih kepadamu."

Si Tojin mengangkat kepalanya dan tersenyum, sorot matanya penuh rasa persahabatan. Kedua orang saling pandang sekejap.

Mendadak si Tojin menggenggam tangan Lamkiong Peng dengan erat, katanya, "Selama ini apakah... apakah engkau baik-baik saja?"

"Aku sangat baik, hendaknya engkau demikian pula," jawab Lamkiong Peng.

Bwe Kim-soat ternyata sedang termenung. Mendadak ia berkeplok dan berseru, "Aha, tahulah aku!" Habis itu tahu-tahu ia melompat ke samping si Tojin berambut putih dan memegang tangannya.

Tentu saja Lamkiong Peng kaget. "Hei, ada apa?"

Dengan tertawa Kim-soat berkata, "Coba lihat, pada tangannya ternyata benar tersembunyi segulung benang hitam. Haha! Burung gagak terbang mundur, hal ini ternyata permainan sulap belaka. Rupanya pada kaki gagak terikat benang, lalu ditarik mundur olehnya."

"Nona ternyata sangat pintar, segala apa sukar mengelabui mata telingamu," ucap si Tojin dengan tertawa.

Lamkiong Peng memandang Bwe Kim-soat dengan tertawa senang. Pikirnya, "Lahiriah dia kelihatan dingin dan sukar didekati, yang benar dia juga punya hati yang hangat. Cuma sayang, orang persilatan hanya kenal sikapnya yang dingin dan tidak ada yang tahu hatinya yang baik."

Tiba-tiba didengarnya Bwe Kim-soat bergumam dengan alis berkerut, "Hanya mengenai... mengapa burung gagak itu dapat bicara seperti manusia, hal inilah yang masih membuatku bingung."

Tojin itu bergelak. Mendadak ia berseru dengan suara yang serak aneh tadi, "Nona sudah lama berkecimpung di dunia kangouw, masakah engkau tidak pernah dengar bahwa di antara kaum pengelana itu ada semacam permainan sulap yang ajaib?"

Suaranya bukan saja aneh, waktu Kim-soat mengamati, ia tambah tercengang, sebab bibir si Tojin tidak bergerak. Tapi jelas suara tersiar dari mulutnya! Kim-soat coba mengamati lebih teliti lagi, suara yang memang timbul dari perut si Tojin itu, kedengaran mirip bunyi perut yang keruyukan pada waktu perut lapar.

"Sulap apa?" tanya Bwe Kim-soat kemudian dengan tercengang. Meski sudah lama ia berkecimpung di dunia kangouw, tapi pergaulannya hanya dengan tokoh kalangan atas, dengan sendirinya ia tidak tahu permainan kaum orang kecil ini.

"Kungfu ini disebut ‘bicara dengan perut’,” tukas Lamkiong Peng. "Yaitu menggunakan tenaga otot dalam perut untuk menimbulkan suara. Bagi tukang ngamen dunia kangouw, permainan ini tergolong kungfu khas dan sangat sukar dilatih." Sampai di sini mendadak si Tojin memegang perutnya dan berseru dengan tertawa, "Hahaha! Hanya permainan rendahan saja, buat apa dibangga-banggakan?"

Dengan serius Lamkiong Peng berucap, "Setiap ilmu kepandaian pasti tidak mudah dilatih, setiap kepandaian mana boleh diremehkan? Yang penting hanya menggunakan ilmunya itu tepat atau tidak."

"Tak tersangka di kalangan kangouw terdapat aneka ragam ilmu mukjizat begini. Kau bilang ilmu golongan rendah, bagiku justru sangat ajaib. Malah sebelum ini belum pernah kudengar, apalagi melihatnya," ujar Bwe Kim-soat.

"Ya, dunia seluas ini masih banyak keanehan alam yang belum diketahui, betapa cerdik pandai seseorang terkadang juga tercengang menyaksikan hal-hal yang sukar dipecahkan dengan akal sehat," kata Lamkiong Peng.

"Jika demikian, jadi Totiang ini bukanlah Thian-ah Tojin. Lantas siapakah engkau sebenarnya?" tanya Kim-soat dengan heran.

Wajah Lamkiong Peng yang serius tadi mendadak timbul secercah senyuman, agaknya bila teringat kepada nama Tojin berambut putih ini, dia lantas merasa geli.

Si Tojin berdehem, lalu berucap, "Namaku yang asli ialah Ban Tat. Dahulu aku sering ngendon di rumah Lamkiong-kongcu, numpang makan dan nunut tidur di sana." Mendadak ia bergelak tertawa, lalu menyambung, "tapi kawan dunia persilatan justru menganggap aku Bu-kong-put-jip (Setiap Lubang Dimasuki) dan Ban-su-tong (Segala Urusan Apa pun Tahu). Karena itulah lama-lama nama asliku lantas dilupakan orang, dan terpaksa aku hanya dikenal dengan nama Ban-su-tong, begitulah adanya."

Ia bergelak tertawa. Waktu memandang ke arah Bwe Kim-soat, dilihatnya orang bersikap prihatin tanpa senyum sedikit pun. Dengan heran ia coba tanya, "Apakah nona merasa namaku ini tidak cocok bagiku?"

Kim-soat menghela napas, ucapnya dengan sungguh-sungguh, "Jika bukan seorang maha-besar, kalau tidak ada hasrat besar untuk mencari pengetahuan, bila tidak berpengalaman luas, mana mungkin seorang disebut serba tahu? Sebab itulah nama ini bagiku hanya menimbulkan rasa kagumku dan tidak ada sedikit pun yang menggelikan."

Si Tojin alias Ban Tat atau Ban-su-tong jadi tercengang malah. Sungguh ia tidak menyangka orang justru menaruh hormat kepada kepandaiannya itu.

"Ya, kalau bukan seorang yang maha-cerdik, mana mungkin berbicara lain dari-pada orang lain semacam ini?" tukas Lamkiong Peng dengan gegetun.

Ban-su-tong lantas berkata, "Sejak Kongcu masuk perguruan Sin-liong, kebanyakan orang yang dulu ngendon di tempat Kongcu itu lantas bubar juga. Aku sendiri terluntang lantung di dunia kangouw tanpa menghasilkan sesuatu. Kedatanganku ke daerah barat laut sini sebenarnya juga lantaran mendengar berita pertandingan antara Sin-liong dan Tan-hong. Ingin kusaksikan pertarungan yang jarang terjadi ini, sekaligus juga ingin tahu keadaan kongcu akhir-akhir ini. Ternyata kedatanganku sudah terlambat. Setiba di Se-an lantas kudengar berita muncul kembalinya Kong-jiok Huicu, juga mendengar kabar pertempuran Kongcu dengan pejabat ketua Cong-lam pai di restoran Thian-tiang-lau. Sungguh sangat senang hatiku mengetahui kemajuan pesat kungfu Kongcu, tapi juga kuatir atas keselamatanmu, maka cepat kususul ke luar kota , dan...."

"Dan kebetulan telah kau gertak lari Yim Hong-peng. Kalau tidak, mungkin sukar bagi kami untuk lolos dari kepungan musuh mengingat di antara kami sudah ada yang terluka."

"Celaka!" seru Lamkiong Peng sebelum ucapan Bwe Kim-soat selesai. Cepat ia memburu ke samping Tik Yang dan memeriksa keadaannya.

Di bawah cahaya bintang yang remang terlihat Tik Yang tak sadarkan diri, mukanya kelihatan bersemu hitam. Nyata ucapan Yim Hong-peng bahwa di atas bola berantai ada racunnya bukanlah gertakan belaka. Tentu saja Lamkiong Peng merasa ngeri melihat keadaan Tik Yang itu.

Cepat Lamkiong Peng tanya dengan kuatir, "Bagaimana perasaanmu, Tik-heng?"

Namun kedua mata Tik Yang terpejam rapat seperti tidak mendengarnya. Ban Tat ikut memeriksa keadaan Tik Yang, tampak ia pun mengerutkan kening.

"Bagaimana, dapatkah tertolong?" tanya Lamkiong Peng.

Sejenak Ban Tat termenung. Katanya kemudian, "Racun yang mengenainya jelas bukan racun yang kita kenal di daerah Tionggoan. Bahkan sekarang racun sudah menjalar, mungkin... mungkin...."

"Masa tak tertolong lagi?" tukas Lamkiong Peng.

"Kecuali obat penawar buatan Yim Hong-peng sendiri dan obat racikan mendiang ‘Seng-ih’ (Tabib Sakti) yang mustajab, rasanya tidak ada keajaiban lain yang mampu menawarkan racun ini. Sekali pun Kiu-beng-long-tiong (Si Tabib Penyelamat Jiwa) Poh-leng-sian datang sendiri juga tidak berdaya mencegah racun yang segera akan menyerang jantung ini. Cuma...."

Belum habis ucapan Ban Tat, mendadak Lamkiong Peng melompat bangun.

Tapi Bwe Kim-soat keburu menghadang di depannya dan menegur, "Kau mau apa?"

"Tik-heng terluka lantaran membela diriku, mana boleh kutinggal diam tanpa menolong menyaksikan ajalnya?" jawab Lamkiong Peng.

"Jika maksudmu hendak mencari Yim Hong-peng untuk minta obat penawar padanya, tindakanmu ini tiada ubahnya serupa minta kulit kepada sang harimau," ujar Bwe Kim-soat.

"Biar pun minta kulit pada sang harimau juga harus kuusahakan," kata Lamkiong Peng.

Kim-soat menghela napas. Katanya kemudian, "Baiklah, biar kuikut pergi bersamamu."

"Saat ini engkau lagi diincar oleh setiap orang persilatan, mana boleh engkau ikut menyerempet bahaya?" ujar Lamkiong Peng.

"Segala hal selalu kau pikirkan orang lain, mengapa tidak kau pikirkan dirimu sendiri juga?"

"Bila setiap urusan selalu berpikir bagi diri sendiri, hidup ini akan berubah menjadi hina tanpa berharga," kata Lamkiong Peng dengan gegetun melihat ‘Putri Berdarah Dingin’ ini ternyata penuh menaruh perhatian kepadanya. Segera ia menambahkan lagi, "Hendaknya kau tunggu sebentar di sini bersama Ban-heng, apakah urusan akan berhasil atau tidak, tentu selekasnya kukembali ke sini."

Kim-soat tersenyum pedih. Katanya, "Jika urusan gagal, apakah engkau dapat kembali lagi?"

"Pasti kembali!" jawab Lamkiong Peng tegas.

"Jika engkau berjanji sekali pukul gagal segera akan mundur kembali ke sini, bolehlah aku tidak ikut serta," ujar Kim-soat dengan rawan.

Sangat terharu hati Lamkiong Peng. Tanpa tertahan ia pun membuka isi hatinya, "Biar merangkak pun aku akan merangkak kembali ke sini. Cuma kalian juga harus hati-hati."

"Jangan kuatir, engkau sendiri yang perlu hati-hati. Akan kutunggu di sini sampai kapan pun," ucap Kim-soat tegas.

Ban Tat memandangi kedua orang itu. Mendadak ia menghela napas, lalu berkata, "Apakah nona ini benar Kong-jiok Huicu?"

"Masakah perlu disangsikan?" ujar Lamkiong Peng.

"Sungguh sukar dipercaya Kong-jiok Huicu bisa...,” mendadak Ban Tat tidak melanjutkan ucapannya. Tak diduganya bahwa Kong-jiok Huicu yang terkenal berdarah dingin itu bisa menaruh perhatian terhadap orang lain.

Lamkiong Peng berdiri termenung sejenak. Ia pandang Kim-soat sekejap, lalu berucap dengan rasa berat, "Kupergi saja!" Segera ia berlari pergi dengan cepat. Di tengah malam remang hanya sekejap saja bayangannya lantas menghilang.

Kim-soat menghela napas, gumamnya, "Ai, bila-mana engkau benar Thian-ah Tojin, tentu dapat kau katakan padaku baik-buruk akibat kepergiannya ini."

Seorang maha pintar dan maha cerdik, bila-mana menghadapi sesuatu yang merisaukan biasanya tanpa terasa juga akan mengharapkan bantuan kepada nasib. Selama hidup Kong-jiok Huicu yang berdarah dingin ini suka meremehkan orang hidup, mentertawakan orang lain. Segala apa yang dipercaya orang tidak ada yang dipercayanya, sebab dia tidak memeprhatikan urusan apa pun, dia tidak berperasaan. Karena tidak berperasaan maka menjadi tidak punya rasa takut, karena tidak takut maka menjadi tidak percaya kepada nasib dan tidak peduli kehidupan ini.

Tapi sekarang justru timbul rasa perhatiannya yang mendalam dan rasa takut. Jiwa si dia (Lamkiong Peng) seolah-olah jauh lebih penting dari-pada kehidupan sendiri. Perasan ini datangnya teramat mendadak, serupa sekaleng pewarna yang tumpah dan mendadak membikin merah kehidupannya yang putih pucat.

Ban Tat menghela napas. Katanya, "Kesujudan pasti mendatangkan keselamatan, kejahatan tak nanti dapat melawan kebaikan. Dalam hal ini kukira nona dapat berbesar hati."

Dlihatnya Bwe Kim-soat sedang menengadah dan seperti tidak mendengar ucapannya. Agaknya saat itu orang sedang bertanya kepada Thian yang Maha-kuasa, bagaimana nasib si dia...?

********************

Malam berlalu, fajar mulai menyingsing. Lamkiong Peng menarik napas dalam-dalam, menghirup hawa pagi yang sejuk. Dengan gagah ia masuk ke kota Se-an. Meski disadarinya akan maha sulit usahanya mendapat obat penawar dari tangan Yim Hong-peng, tapi tekadnya sudah bulat, betapa pun pendiriannya takkan berubah. Keberaniannya yang pantang mundur ini membuatnya sama sekali tidak menghiraukan mati hidup.

Pasar pagi baru mulai. Orang berlalu lalang berjubel memenuhi jalan. Melihat kegagahan Lamkiong Peng, orang lain sama menyingkir memberi jalan padanya, sebab sikap pemuda ini dirasakan membawa semacam keangkeran yang membuat orang tunduk padanya.

Boh-liong-san-ceng, perkampungan tempat bersemayam Wi Ki masih sepi. Tapi di tengah kesunyian itu membawa kesiap-siagaan yang luar biasa. Delapan lelaki tegap berbaju ringkas dan bergolok tampak mondar-mandir meronda di depan perkampungan. Sorot mata mereka serupa anjing pemburu yang mencari mangsanya, selalu mengintai ke balik kabut pagi, seakan-akan ingin menemukan Leng-hiat Huicu yang telah membikin panik kota tua Se-an itu.

DI tengah kesunyian itu mendadak terdengar suara detak langkah orang. Serentak kedelapan penjaga itu berhenti bergerak dan serentak berpaling ke arah datangnya suara. Tertampaklah seorang pemuda berbaju hijau dengan wajah putih kepucatan dan mata besar bagai bintang kejora muncul dari balik kabut dengan langkah lebar. Sorot matanya yang mencorong tajam memandang sekejap sekelilingnya.

"Adakah Wi-cengcu di rumah?" tegur pemuda itu dengan suara berat.

Kawanan penjaga berseragam hitam itu saling pandang dengan sangsi, mereka seperti juga terpengaruh oleh sikap pemuda yang berwibawa ini. Meski enggan menjawab, tidak urung seorang diantaranya bersuara juga, "Hari masih pagi, dengan sendirinya beliau berada di rumah."

“Hendaknya lekas panggil dia keluar, ada urusan penting yang ingin kutanyai dia," kata si pemuda dengan suara agak parau.

Kawanan lelaki berseragam hitam itu semua melengak. Seorang di antaranya yang bermuka burik mendadak bergelak tertawa dan berseru, "Haha! Kau ingin kami panggil Cengcu untuk menemuimu? Hehe, fajar baru menyingsing, Cengcu belum tentu bangun, tapi kau minta beliau keluar untuk menemuimu. Hahaha, sungguh lucu...!"

Seorang lagi yang berhidung besar menjengek, " Berani minta bertemu dengan Cengcu segala, memangnya kau ini siapa? Mendingan jika kau Liong Thi-han yang sudah lama termasyhur itu, atau Lamkiong Peng yang menggemparkan baru-baru ini."

Mendadak pemuda yang bersikap kereng ini menjawab, "Aku sendirilah Lamkiong Peng adanya!"

Nama Lamkiong Peng sungguh lebih mengguncang dari-pada bunyi guntur. Kawanan lelaki berseragam hitam itu sama melenggong memandangi Lamkiong Peng, habis itu segera mereka berlari ke dalam kampung sambil berteriak, "Lamkiong Peng... Lamkiong Peng datang...!"

Mimpi pun mereka tidak menyangka Lamkiong Peng yang kemarin menempur Giok-jiu-sun-yang dengan gagah berani itu pagi ini datang sendirian ke Boh-liong-san-ceng sini. Dalam sekejap perkampungan yang semula sunyi senyap itu menjadi gempar. Berita datangnya Lamkiong Peng tersiar dengan cepat, banyak orang datang ingin melihat bagaimana bentuk pemuda yang perkasa ini, ada juga yang mengintip dari balik pintu dan celah jendela.

Lamkiong Peng sendiri tetap berdiri menanti di situ dengan tenang.

Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar gema suara orang membentak dari dalam perkampungan, "DI mana Lamkiong Peng?!" Suaranya berat dan perlahan, tapi menggema hingga jauh.

Tergetar juga hati Lamkiong Peng. Ia berpikir, "Siapakah yang memiliki lweekang sehebat ini?"

Hendaklah maklum bahwa baik Wi Ki mau pun suhengnya, Giok-jiu-sun-yang, keduanya meski sama tokoh kelas satu, tapi tenaga dalam orang yang bersuara ini ternyata sangat mengejutkan dan jelas bukan suara Wi Ki berdua.

Namun Lamkiong Peng tetap tenang saja. Waktu ia memandang ke depan, tertampak sesosok bayangan muncul dari balik kabut pagi.

Setelah berdehem, orang ini lalu berkata lantang, "Di mana Lamkiong Peng?"

Lamkiong Peng tambah sangsi. Bayangan orang ini tinggi besar dan berambut putih, dia inilah Wi Ki, kepala Boh-liong-san-ceng. Tapi suara ini jelas tidak sama dengan suara pertama tadi. Ia menjadi heran, apakah mungkin di dalam sana ada tokoh Bulim kelas tinggi yang lain?

Sembari mengelus jenggotnya, Wi Ki menatap Lamkiong Peng dengan tajam. Ia menjengek, "Untuk apa kau datang kemari, Lamkiong Peng? Memangnya benar engkau tidak takut mati?" Mendadak dengan suara bengis ia membentak, "Bwe Leng-hiat! Di mana Bwe Leng-hiat? Apakah kau pun ikut datang?!" Suaranya lantang juga, tapi kalau dibandingkan suara pertama tadi, jelas bedanya seperti bunyi keleningan dengan suara genta.

Lamkiong Peng menatap sekilas ke belakang Wi Ki, tertampak di belakangnya penuh bayangan orang, suara tadi entah diucapkan oleh siapa.

Dengan kaku kemudian Lamkiong Peng balas bertanya, "Di mana Yim Hong-peng?"

Wi Ki melengak, tapi segera ia berteriak pula," Mau apa kau cari Yim Hong-peng?!"

Belum lagi Lamkiong Peng bersuara pula, mendadak bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Yim Hong-peng sudah berada di depannya. "Haha! Kau datang kemari, Lamkiong Peng? Bagus, bagus sekali...!” serunya dengan tertawa.

Segera Wi Ki sebagai tuan rumah buka suara pula. "Baiklah, jika kalian sudah berhadapan, marilah silakan bicara di dalam sana."

Di dalam perkampungan kabut tampak lebih tebal disertai bau harum yang aneh. Entah macam apa dan siapa gerangan tokoh kosen yang tak kelihatan itu karena tersembunyi di balik kabut dan bau harum ini? Namun dengan gagah Lamkiong Peng melangkah masuk di tengah bayangan orang banyak.

Orang-orang yang berkerumun itu sama menyingkir memberi jalan. Kening Wi Ki bekernyit, seperti mau bicara lagi. Tapi setelah memandang sekejap ke balik kabut, sorot matanya menampilkan rasa jeri sehingga orang ini urung buka mulut. Dengan menunduk ia lantas mengikut di belakang Yim Hong-peng dan Lamkiong Peng.

Boh-liong-san-ceng yang megah ini mendadak berubah sunyi senyap pula, yang terdengar hanya suara langkah orang banyak melintasi halaman dan menuju ke ruangan pendopo. Di ruangan pendopo terpasang beberapa lentera tembaga, tapi di tengah kabut tebal yang tampak aneh ini, tampak serupa api setan (api pospor) yang berkelip di tanah perkuburan sunyi.

Lamkiong Peng menaiki undak-undakan dan menuju ke pintu pendopo. Sekonyong-konyong ia membalik tubuh dan memandang sekeliling. Perkampungan yang megah ini seperti terbenam di dalam kabut melulu hingga terasa lebih seram dan misterius. Seketika hati Lamkiong Peng juga timbul semacam perasaan aneh.

Pada saat itulah tiba-tiba dekat belandar pendopo bergema pula suara aneh tadi, "Lamkiong Peng, apakah kedatanganmu ini hendak mencari Yim Hong-peng untuk meminta obat penawar racun?"

Hati Lamkiong Peng tergetar pula. Ia berpaling ke atas, di tengah pendopo yang remang itu suara orang tadi masih mendengung. Karena didorong rasa ingin tahunya, tanpa pikir ia terus langsung melompat ke atas belandar sana. Belandar tengah pendopo sangat tinggi, tapi jarak tiga tombak ini tidak menjadi soal bagi Lamkiong Peng.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar