Amanat Marga (Hu Hua Ling) Chapter 11

Dia sudah siap menyerang sejak tadi, sekali turun tangan harus berhasil. Tentu saja semua orang menjerit kaget melihat Lu Thian-an terancam bahaya. Siapa tahu sebagai seorang ketua suatu aliran terkemuka, dengan sendirinya Giok-jiu-sun-yang juga bukan lawan empuk. Dia kelihatan diam saja, tapi ketika serangan Lamkiong Peng sudah dekat mendadak kedua tangannya membalik dan menangkis ke atas.

“Plakk!” terdengar suara yang keras serupa menghantam kulit kering.

Keempat tangan beradu, kedua puluh jari saling meremas dengan erat. Adu pukulan ini membikin para penonton sama melongo. Tertampak Lamkiong Peng menjungkir di udara dengan tangan berpegangan tangan lawan. Tubuhnya menurun perlahan, namun empat tangan tetap melengket menjadi satu. Dan begitu kaki Lamkiong Peng menyentuh tanah, segera pula Lu Thian-an menyurut mundur dua langkah, lalu keduanya sama berdiri seperti terpantek di tanah dan saling melotot.

Nyata telah terjadi adu tenaga dalam di antara keduanya. Ini berarti pertaruhan dengan nyawa masing-masing. Seketika suasana sunyi senyap, semua orang sama ikut tegang, sama menahan napas. Bukan cuma yang berkerumun di atas loteng sama tegang, yang berada di bawah loteng juga sama tegangnya dan bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak terdengar sesuatu suara.

Di tengah kesunyian tiba-tiba terdengar suara keriat-keriut papan loteng. Dahi kedua orang tampak berhias butiran keringat. Betapa hebat jurus serangan Lamkiong Peng tetap tidak dapat membandingi keuletan latihan Lu Thian-an selama berpuluh tahun. Lambat-laun anak muda itu kelihatan tidak tahan lagi. Diam-diam Wi Ki bergirang, sebaliknya air muka Bwe Kim-soat tampak prihatin.

Selagi suasana semakin mencekam, sekonyong-konyong di bawah loteng berjangkit jeritan kaget. Di tengah malam kelam tiba-tiba timbul gelombang hawa panas yang menyengat. Bukan saja yang bertempur itu berkeringat, para penonton juga berkeringat kegerahan. Sejenak kemudian lantas terdengar bunyi bende bertalu-talu, menyusul suara melengking orang menjerit.

"Api...! Api...! Kebakaran... kebakaran!"

Karuan suasana menjadi kacau. Orang-orang yang berkerumun di jalan raya pun panik, lidah api tampak menjilat-jilat dan mendadak menyambar ke atas loteng restoran. Para jago silat itu tidak sempat lagi memikirkan pertarungan maut itu, beramai-ramai sama mencari selamat sendiri. Ada yang melompat turun melalui tangga dengan desak-mendesak, ada yang terjun begitu saja.

Meski ada juga orang berusaha memadamkan api, tapi kobaran api ini tampaknya sangat aneh. Lidah api yang ganas itu dalam sekejap saja sudah menelan seluruh ciu-lau atas restoran itu. Para penonton sudah kabur mencari selamat.

Di atas loteng tertinggal Lamkiong Peng yang tetap beradu tenaga dengan Lu Thian-an dan ditunggui oleh Wi Ki dan Bwe Kim-soat. Api berkobar terlebih hebat, tampaknya sebentar lagi mereka pasti akan terkubur di tengah api. Napas mereka sudah sesak oleh asap.

Keringat memenuhi kepala Wi Ki, matanya membara. Mendadak ia angkat gelang bajanya dan segera bermaksud melompat ke luar. Tak terduga mendadak bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Bwe Kim-soat sudah menghadang di depannya. Saking cemas dan gugupnya, tanpa pikir ia membentak. Gelang naga sebelah kanan segera menghantam muka Bwe Kim-soat, sedangkan gelang hong sebelah kiri terus dilemparkan dengan membawa angin tajam mengancam iga Lamkiong Peng.

Saat itu Lamkiong Peng pun dalam keadaan payah. Jangankan diserang oleh gelang baja yang dahsyat ini, sekali pun pukulan orang biasa cukup membuatnya roboh binasa.

Terdengar Bwe Kim-soat mendengus. Mendadak ia mendoyongkan kepala ke belakang, berbareng itu sebelah tangan meraih ke depan. Dengan tepat gelang baja lawan terpegang olehnya, sekali betot terus dilemparkan ke arah Lu Thian-an.

Selagi Lamkiong Peng terkejut karena sambaran gelang baja musuh yang sukar dielakkan itu, mendadak dilihatnya Lu Thian-an juga terkesiap oleh ancaman yang sama. Lamkiong Peng bergirang, dengan sepenuh sisa tenaga ia mendesak lebih kuat.

Kim-soat tersenyum dan berolok, "Hah, ini namanya senjata makan...."

Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong gelang yang menyambar Lamkiong Peng itu memutar balik dan membentur gelang yang mengancam Lu Thian-an, menyusul bahkan terus menghantam belakang punggung Bwe Kim-soat.

"Bagus, kiranya gelangmu berantai!" seru Kim-soat sambil memutar sebelah tangannya, kontan gelang berantai itu dipegangnya.

Maklumlah, selama sepuluh tahun dia berbaring di dalam peti mati. Kesempatan itu digunakannya untuk merenungkan intisari ilmu silat yang paling tinggi, maka ketajaman mata telinganya sekarang hampir tidak ada bandingannya. Sekali pun sebiji pasir menyambar dari belakang pun dapat dirasakannya dan juga dapat ditangkapnya.

Tentu saja Wi Ki terkejut. Cepat ia mendoyong ke belakang untuk membetot gelangnya agar tidak sampai dirampas musuh. Rupanya pada gelang bajanya terikat seutas rantai emas hitam yang lembut, namun cukup ulet dan kuat. Golok atau pedang biasa pun sukar memotongnya.

Tak tersangka mendadak Bwe Kim-soat menebas dengan telapak tangannya. Kontan rantai emas terpotong putus! Karena kehilangan imbangan badan, kontan Wi Ki terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang.

Sementara itu api sudah membakar kosen jendela sekeliling loteng dan menimbulkan suara gemertak yang riuh. Hawa panas membuat Lamkiong Peng, Lu Thian-an dan Wi Ki merasa seperti terpanggang, baju basah kuyup oleh air keringat, tidak terkecuali pula Bwe Kim-soat.

Mendadak daun jendela sebelah selatan terlepas dan jatuh ke atas meja di dekat Bwe Kim-soat. Segera meja kursi di situ ikut terjilat api. Lambat-laun atap rumah juga mulai terbakar. Tiba-tiba sepotong kayu hangus kembali jatuh di samping Bwe Kim-soat, saat itu dia sedang menggeser menghindari tendangan Wi Ki. Segera sebelah kakinya menyungkit kayu hangus itu sehingga meluncur ke arah Wi Ki.

Sambil meraung tangan kiri Wi Ki menyampuk sehingga kayu hangus itu terpental keluar jendela. Tapi ia lupa tangannya masih memegangi rantai gelang yang putus tadi. Karena sampukan itu, rantai membalik menghantam kuduk sendiri. Biar pun kecil, rantai emas hitam sangat keras, tambah lagi tenaga sampukan sendiri, karuan ia meringis kesakitan dan kuduknya berdarah. Dengan meraung murka Wi Ki membuang sisa rantai itu.

"Haha, serangan bagus! Itu namanya jurus ´Kau-bwe-cu-piau´ (Ekor Anjing Menyabet Tubuh Sendiri)!" ejek Bwe Kim-soat dengan tertawa.

Sembari berolok-olok, segera pula ia menggeser ke samping Lu Thian-an. Saat itu Lamkiong Peng masih saling tolak bersama Lu Thian-an. Hatinya terhibur ketika dilihatnya Bwe Kim-soat masih berada di situ. Tapi ketika dilihatnya sebelah tangan Kim-soat menghantam punggung Lu Thian-an, cepat ia bersuara mencegah sambil menarik ke samping. Karena tarikan ini, ia dan Lu Thian-an sama jatuh terguling.

Kim-soat berteriak khawatir dan melompat ke samping Lamkiong Peng. Cepat Wi Ki juga memburu tiba untuk menjaga Lu Thian-an. Waktu diperhatikan, ternyata napas Lamkiong Peng dan Lu Thian-an sama terengah. Agaknya sama-sama kehabisan tenaga, namun jelas tidak terluka dalam. Keduanya sedang saling pandang dengan tercengang.

Rupanya setelah saling mengadu tenaga dalam, keadaan mereka sudah payah. Walau pun keempat tangan masih saling genggam, tapi sebenarnya sudah kehabisan tenaga. Dasar Lamkiong Peng memang berjiwa luhur, ia tidak ingin lawan disergap Bwe Kim-soat selagi orang mengadu tenaga dengannya. Lekas ia menarik lawannya ke samping. Tak diduganya keduanya sebenarnya sama payahnya, maka begitu terseret segera keduanya jatuh terguling bersama. Lantaran itulah mereka saling pandang dengan melenggong.

Pada saat itulah tiba-tiba di bawah loteng ada orang berteriak, "Wi-jitya! Lu-totiang!"

Ada semprotan air dari sebelah selatan, menyusul sinar pedang berkelebat. Empat sosok bayangan kelabu menerjang masuk, kiranya keempat Tojin anak buah Lu Thian-an.

Bwe Kim-soat terkesiap melihat pihak lawan kedatangan bala bantuan. Serunya dengan suara tertahan kepada Lamkiong Peng, "Ayo pergi!"

Semangat Lu Thian-an berbangkit karena kedatangan anak buahnya. Melihat Bwe Kim-soat bermaksud mengajak lari Lamkiong Peng, cepat ia membentak, "Lamkiong Peng, kalah menang belum jelas, bukan lelaki bila lari!"

Tentu saja Lamkiong Peng sangat gusar. Ia melompat bangun. Sementara itu Lu Thian-an sudah menubruk tiba, tanpa bicara lagi ia hantam dada anak muda itu. Cepat Lamkiong Peng mengegos, berbareng telapak tangan menebas iga lawan. Tiba-tiba beberapa potong kayu hangus jatuh lagi dari atas. Terpaksa mereka harus melompat kian-kemari untuk menghindari api.

Dalam pada itu keempat Tojin berjubah kelabu lantas menerjang maju. Mereka adalah murid utama ketua Cong-lam-pay, dengan sendirinya ilmu pedangnya tidak lemah. Serentak mereka melancarkan serangan kilat.

"Tinggalkan yang lelaki, tangkap dulu yang perempuan!" seru Wi Ki.

Segera sinar pedang berputar arah dan memburu ke arah Bwe Kim-soat.

Bwe Kim-soat tetap tenang saja. Ia hanya melirik sekejap terhadap keempat Tojin itu. Keempat Tojin ini sejak kecil sudah bertirakat di pegunungan sunyi, mana mereka pernah melihat perempuan secantik ini? Mana pernah melihat senyuman semanis ini? Karuan gerakan mereka menjadi agak lambat.

Namun dengan gemulai Bwe Kim-soat juga telah mengangkat tangannya. Terdengar suara gemerantang nyaring, dalam sekejap tiga pedang Tojin itu telah dipatahkan oleh gelang baja rampasannya dari Wi Ki tadi. Selagi Tojin keempat melongo kaget, tahu-tahu pandangannya menjadi silau, pergelangan tangan pun kesemutan, dan akhirnya pedangnya telah dirampas oleh Bwe Kim-soat. Menyusul Kim-soat menyambitkan gelang baja ke arah Wi Ki yang sedang menubruk Lamkiong Peng itu, lalu pedang rampasan menebas ke depan.

Tojin pertama belum lagi sempat melompat mundur dan tahu-tahu dahi tergores luka dan mengucurkan darah. Tojin kedua sempat menyurut mundur, tapi rambut yang tersanggul di atas kepala juga tertebas oleh pedang. Tentu saja Tojin ketiga ketakutan. Selagi melenggong, pedang Bwe Kim-soat yang menyambar tiba mendadak berhenti dan mengetuk pedang patah yang masih dipegangnya.

"Trang!" pedang patah jatuh ke lantai.

Cepat Tojin ketiga itu melompat mundur sambil memegangi pergelangan tangan yang kesakitan. Hanya dalam sekejap saja ketiga Suheng-nya sudah dibikin keok, Tojin keempat tidak berani lagi bertempur. Segera ia hendak lari.

"Eh, jangan terburu-buru!" jengek Bwe Kim-soat.

Baru saja Tojin itu melangkah dua tindak, iga kanan-kiri sudah terkena pedang.

Saat itu Wi Ki telah menubruk ke depan Lamkiong Peng, tapi dari belakang gelang yang
dilemparkan Bwe Kim-soat juga menyambar tiba. Dari deru anginnya nyata terlebih kuat
dari-pada lemparannya tadi. Ia tidak berani gegabah, cepat ia menggeser ke samping sambil membalik tubuh. Gelang baja yang masih dipegangnya menangkis ke depan dengan daya melengket. Ia berpikir, bila gelang itu tertahan, segera akan ditangkapnya kembali.

Siapa tahu ketika kedua gelang saling membentur, gelang yang dilemparkan Bwe Kim-soat mendadak dapat berputar, serupa bersayap saja tahu-tahu terbang lagi ke belakang Wi Ki. Pada saat yang sama sepotong kayu terbakar mendadak jatuh dari atas. Dalam keadaan tergencet, sebisanya Wi Ki meloncat ke samping.

"Trang!" gelang baja menghantam lantai. Kayu hangus tadi juga jatuh menerbitkan lelatu.

Ketika Wi Ki dapat menenangkan diri, dilihatnya Bwe Kim-soat telah berdiri di depannya dengan tersenyum.

Sementara itu kobaran api bertambah besar. Bangunan restoran Thian-tiang-lau yang kukuh itu sampai berguncang dan hampir runtuh.

Lamkiong Peng dan Lu Thian-an masih berhadapan dan bertempur dengan sengit. Padahal keduanya sebenarnya dalam keadaan sama-sama payah, sampai akhirnya setiap pukulan dan setiap tendangan hampir serupa permainan anak kecil saja. Namun air muka mereka justru jauh lebih prihatin.

Mendadak Lamkiong Peng melancarkan pukulan dengan jurus Thian-liong-ie-dian atau Naga Meluku di Sawah. Dengan langkah lamban Lu Thian-an mundur mengelak. Pada saat itulah terdengar suara gemuruh. Papan loteng telah runtuh sebagian, lidah api pun menyambar dari bawah ke atas.

Kebetulan langkah mundur Lu Thian-an itu tepat menginjak papan loteng yang runtuh. Ia menjerit kaget, syukur jarinya masih sempat meraih tepian papan loteng, tapi papan loteng itu lambat laun juga ambrol ke bawah. Tampaknya dia akan ditelan oleh lautan api. Dengan tenaganya sekarang, mana dia mampu melompat lagi ke atas?

Tanpa pikir Lamkiong Peng memburu maju dan menarik tangan Lu Thian-an. Padahal ia sendiri pun kehabisan tenaga, dengan sendirinya tidak mampu menarik naik Lu Thian-an.

“Krekk!” kembali terdengar suara.

Tempat berpijak Lamkiong Peng juga akan ambrol. Bila-mana dia mau melompat mundur, terpaksa Lu Thian-an harus dilepaskan dan akan terjeblos ke dalam lautan api. Tapi kalau dia tidak melompat mundur, ia sendiri pun akan ikut terkubur di tengah amukan api.

Sekujur badan Lu Thian-an tampak gemetar. Rambut jenggotnya sudah penuh lelatu api, tampaknya mulai terbakar. Memandangi lawan yang telah bergebrak mati-matian dengan dirinya ini, mendadak timbul rasa kasihan Lamkiong Peng. Pegangannya dipererat dan tak terlepaskan.

Mendadak sepotong kayu hangus jatuh dari atas. Untuk menghindar jelas tidak mungkin, terpaksa Lamkiong Peng hanya miringkan kepalanya saja sehingga kayu hangus menyerempet jidat dan mengenai pundaknya. Hanya selisih beberapa senti saja mungkin jiwa Lamkiong Peng bisa melayang, yaitu bila-mana tepat mengenai kepalanya.

Sungguh tak terkatakan terharu hati Lu Thian-an oleh keluhuran budi anak muda ini. Dengan suara gemetar ia berteriak, "Lari...! Lekas lari...! Jangan urus diriku...!"

Namun Lamkiong Peng tetap memegangi sekuatnya. Darah dari kening bercampur dengan air keringat bercucuran menetesi tubuh Lu Thian-an.

Di sebelah sana Wi Ki sedang menubruk ke arah Bwe Kim-soat dengan murka. "Hari ini biarlah kuadu jiwa denganmu!"

Gelang di tangan kanan segera mengepruk, kepalan kiri juga menghantam.

"Hm memangnya kejadian sepuluh tahun yang lalu itu salahku?" jengek Bwe Kim-soat. Dengan lincah ia hindarkan serangan Wi Ki itu, menyusul ia balas menebas pinggang lawan dengan pedangnya.

Dengan beringas Wi Ki berteriak. "Tidak peduli siapa yang salah, yang jelas engkaulah pangkal bencananya. Tanpa dirimu tentu takkan terjadi hal-hal begitu."

Rada merandek juga daya serangan Bwe Kim-soat. Gumamnya, "Tanpa aku takkan terjadi hal begitu...?.Memangnya salahku? Tapi apa kesalahanku?!"

Wi Ki menerjang pula dengan kalap. Teriaknya, "Pokoknya perempuan adalah air bencana. Biarlah hari ini kau mampus di tanganku!"

Dalam pada itu keempat Tojin berjubah kelabu menubruk maju. Namun sekali pedang Kim-soat berputar kontan mereka didesak mundur lagi. Tiba-tiba Kim-soat berteriak kuatir dan melompat ke sebelah sana.

Tercengang juga Wi Ki ketika berpaling dan melihat keadaan bahaya Lamkiong Peng dan Lu Thian-an itu. Tiada jalan lain, cepat gelang baja di tangan kanan disambitkan ke sana. Gelang baja meluncur dengan cepat, tapi setiba di depan Lamkiong Peng segera berhenti. Latihan Wi Ki selama berpuluh tahun memang tidak percuma, gelang baja berantai itu dapat dilempar dan ditarik sekehendak hatinya.

Ketika mendadak Lamkiong Peng melihat gelang baja itu meluncur tiba, segera dipegangnya dengan tangan kiri. Serentak Wi Ki membentak dan menarik sekuatnya. Segera tubuh Lamkiong Peng terseret mundur, dan dengan sendirinya Lu Thian-an ikut tertarik keatas.

Cepat Bwe Kim-soat menambahi tenaga tolakan dengan kibasan lengan bajunya sehingga mereka terlempar ke tempat yang aman. Segera keempat Tojin berjubah kelabu akan menerjang maju lagi, tapi Lu Thian-an lantas berteriak menghentikan mereka. Ia memandang Lamkiong Peng dengan termangu, akhirnya ia menghela napas dan menunduk.

"Apakah perlu melanjutkan pertarungan kita?!" kata Lamkiong Peng dengan napas masih terengah.

"Ti... tidak, aku... aku sudah kalah!" jawab Lu Thian-an.

Beberapa kata ini seolah-olah diucapkan dengan sepenuh tenaganya. Tentu saja Lamkiong Peng melengak. Tak tersangka olehnya Tojin ini bisa mengaku kalah begitu saja. Dilihatnya wajah orang pucat pasi dan berdiri dengan lesu, dalam sekejap itu seorang guru besar suatu aliran terkemuka mendadak telah berubah menjadi seorang kakek yang patah semangat.

Memandangi bayangan belakang sang suheng, Wi Ki juga menggeleng kepala. Ucapnya perlahan, "Sisuheng...."

Tanpa berpaling Lu Thian-an menjawab dengan lesu, "Marilah kita pergi!"

Baru habis berkata, mendadak ia roboh terkulai. Nyata luka pada badannya tidak lebih parah dari-pada luka hatinya. Wi Ki berteriak kuatir. Cepat ia mengangkat sang Suheng dan dibawa lari menerobos lidah api, lalu melompat ke bawah loteng. Segera keempat Tojin berjubah kelabu juga ikut melompat turun.

Terdengarlah suara gemuruh, loteng restoran itu kembali runtuh sebagian.

Lamkiong Peng terkesima. Mendadak ia menghela napas dan bergumam, "Giok-jiu-sun-yang betapapun tetap seorang kesatria!"

"Dan kau?" tanya Bwe Kim-soat dengan tertawa.

Kedua orang saling pandang tanpa bicara, dan lupa lidah api hampir menjilat baju mereka.

Akhirnya terdengar juga suara ramai pasukan pemerintah. Suara derap kaki kuda bercampur dengan suara teriakan orang banyak, suara orang berusaha memadamkan api, suara gemuruh rubuhnya bangunan dan jerit tangis orang-orang. Di tengah kepanikan itu, dua sosok bayangan diam-diam meninggalkan kota kuno itu.

********************

Di suatu tanah berumput Lamkiong Peng lagi berbaring dengan santai. Bintang bertaburan di langit yang biru kelam, angin meniup dengan sejuk. Bwe Kim-soat memandangi wajah anak muda yang cakap, terutama bulu matanya yang panjang menaungi kedua matanya yang besar terpejam itu.

"Tentunya tak kau pikir tugas yang diberikan oleh gurumu untuk membela diriku akan sedemikian beratnya, bukan?" kata Bwe Kim-soat tiba-tiba.

Lamkiong Peng melengak dan memandang orang dengan termenung.

Dengan dingin Bwe Kim-soat berkata pula, "Apakah saat ini engkau menyesal karena membela diriku sehingga hampir saja kau sendiri menjadi korban kerubutan orang banyak tadi?"

Akhirnya Lamkiong Peng menjawab, "Sudahlah, jangan kau bicara seperti ini lagi. Bagiku, asalkan hatiku merasa tidak berdosa, tidak berbuat sesuatu yang memalukan, kenapa aku mesti menghiraukan tuduhan orang? Demi kebenaran dan keadilan dunia kangouw, apa artinya pengorbananku ini?"

Bwe Kim-soat memandangnya dengan sorot mata lembut dan aneh. Perempuan yang berjuluk ‘berdarah dingin’ ini ternyata tiada ubahnya seperti gadis biasa yang juga berperasaan. Seketika mereka saling pandang dengan terkesima, melupakan keadaan sekelilingnya.

Pada saat itu juga, tak jauh di sebelah sana sesosok bayangan sedang memperhatikan kedua muda-mudi yang tenggelam dalam lamunan ini. Sorot matanya menampilkan rasa kagum dan juga rada cemburu. Tanpa terasa ia menghela napas perlahan.

Tergetar hati Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat. Serentak mereka melompat bangun dan membentak, "Siapa?!"

Bayangan tadi tertawa panjang sambil melompat maju. Hanya dua-tiga kali naik turun ia sudah bediri di depan mereka.

"Eh kiranya kau," kata Lamkiong Peng dengan heran.

"Hm, anak murid Thian-san, mengapa main sembunyi-sembunyi seperti ini?” jengek Kim-soat.

Pendatang ini Tik Yang adanya. Ia tertawa keras dan menjawab, "Hahaha! Apakah kedatanganku ini kau anggap main sembunyi-sembunyi? Bwe Kim-soat, kau kira untuk apa kudatang kemari?"

"Mungkin kedatanganmu...," Lamkiong Peng merasa ragu.

Dengan serius Tik Yang memotong, "Walau pun kita baru saja kenal, tapi kupercaya penuh tindak-tandukmu pasti tidak akan merugikan kebenaran dunia persilatan. Maka kedatanganku ini justru hendak memberikan jasa baikku."

Lamkiong Peng melenggong dan kurang mengerti akan maksud orang.

Dengan tertawa Tik Yang berkata pula, "Apakah saudara tahu, bagaimana terjadinya kebakaran tadi?"

Baru sekarang Lamkiong Peng menyadari duduk perkara. Rupanya kebakaran tadi tidak terjadi secara kebetulan. Dengan sendirinya ia tidak tahu siapa yang melakukannya, maka ia menggelengkan kepala.

"Setelah meninggalkan Hoa-san," sambung Tik Yang dengan tertawa, "selanjutnya aku pun datang ke Se-an, hanya kedatanganku agak terlambat. Waktu itu keributan sudah terjadi. Dari tempat ketinggian kulihat engkau sedang melabrak ketua Cong-lam-pai itu. Melihat keadaan tempatnya, kutahu sukar untuk melerai, juga sukar membantu. Terpaksa... Hahaha...! Terpaksa kugunakan bantuan api."

Lamkiong Peng melirik Bwe Kim-soat sekejap.

"Rupanya kita salah menyesali dia tadi," ucap Kim-soat.

"Ah, sedikit salah mengerti apalah artinya," ujar Tik Yang dengan tertawa. "Bangunan Thian-tiang-lau itu sungguh sangat megah, tapi ternyata tidak tahan dibakar. Kusaksikan kalian meninggalkan kota dengan selamat, diam-diam aku pun menyusul kemari."

"Tampaknya Tik-siauhiap seorang sahabat yang simpatik, agaknya aku salah sangka...."

Belum lanjut ucapan Bwe Kim-soat, mendadak seorang mendengus dari kejauahan. "Hm, simpatik apa? Main bakar secara diam-diam, masakah perbuatan simpatik segala?"

Lamkiong Peng bertiga terkejut, serentak mereka berpaling. Tertampaknya dalam kegelapan sana muncul sesosok bayangan orang berkipas putih. Tanpa bicara Tik Yang mendahului menubruk kesana.

"Cepat amat?!" ucap bayangan orang itu sambil mengibaskan lengan bajunya dan bergeser ke samping, habis itu segera melompat ke depan Lamkiong Peng. Sambil membentak Tik Yang lantas menubruk ke sini lagi, tapi segera terdengar Lamkiong peng berseru.

"O, kiranya Yim-taihiap!"

Tergerak hati Tik Yang. Ia tahu orang adalah kawan bukan lawan, seketika ia urungkan serangannya. Pendatang ini memang Ban-li-liu-hiang Yim Hong-peng adanya.

"Haha, tak tersangka yang main bakar itu adalah anak murid Thian san!" seru Yim Hong-peng dengan tertawa.

Lamkiong Peng juga tidak menyangka orang ini dapat menyusul ke sini. Segera ia memperkenalkannya kepada Tik Yang.

Yim Hong-peng tertawa dan berkata, "Tik-siauhiap, sesungguhnya Thian-tiang-lau dibangun dengan sangat kukuh, cuma telah kutambahi juga sedikit bahan bakar sehingga dapat terjilat api dengan lebih cepat."

Baru sekarang Tik Yang tahu bahwa Yim Hong-peng juga mengambil bagian dalam pembakaran restoran megah itu. Ia tertawa dan berseru, "Orang bilang Ban-li-liu-hiang adalah pendekar kosen dari perbatasan. Setelah bertemu hari ini baru kupercaya Yim-taihiap memang seorang kesatria yang suka blak-blakan."

Yim Hong-peng memandang Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat sekejap, lalu berkata, "Setelah peristiwa ini nona Bwe dan Lamkiong-heng tentu tidak leluasa bergerak lagi di dunia kang-ouw. Entah bagaimana rencana perjalanan kalian selanjutnya?" Dia bicara dengan serius, tapi sorot matanya tampak gemerdep menampilkan cahaya yang sukar diraba apa maksudnya.

Lamkiong Peng menghela napas panjang, katanya, "Siaute juga tahu untuk selanjutnya akan banyak mengalami kesukaran di dunia kangouw, tapi yang penting asalkan kuraba hati sendiri merasa tidak bersalah. Tindakanku selanjutnya juga tidak akan berubah. Mungkin aku akan pulang dulu ke Ji-hau-san-ceng, lalu pulang ke rumah menjenguk orang-tua."

"Tempat lain masih mendingan, kedua tempat itu justru tidak boleh kau pergi ke sana," potong Yim Hong-peng.

Air muka Lamkiong Peng berubah.

Tapi Yim Hong-peng lantas menyambung, "Maaf jika kubicara terus terang. Bahwasanya nona Bwe pernah malang melintang di dunia kangouw dahulu, tentu tidak sedikit telah mengikat permusuhan. Apa yang terjadi di Se-an ini, tidak lama tentu juga akan tersiar, tatkala mana bila musuh nona Bwe ingin mencari kalian, tentu mereka akan menunggu dulu di kedua tempat itu. Dalam keadaan demikian, tentu kalian akan serba repot, terutama anggota keluarga Lamkiong-heng." Sampai di sini ia menghela napas ketika dilihatnya Lamkiong Peng menunduk termenung.

Tapi Bwe Kim-soat lantas menjengek, "Habis lantas bagaimana kalau menurut pendapat Yim-taihiap?"

Yim Hong-peng tampak berpikir. Ia tahu, di depan perempuan cerdik ini tidak boleh salah omong sedikit pun. Dengan tersenyum kemudian ia berkata, "Pendapatku mungkin terlalu dangkal, tapi mungkin berguna untuk dipertimbangkan kalian. Pada waktu nona Bwe malang melintang dahulu, meski sampai sekarang musuhmu itu tetap sama orangnya, tapi keadaan sudah berubah. Orang-orang itu tersebar dimana-mana dan satu sama lain tahu mempunyai musuh bersama, yaitu nona Bwe. Pula menurut keadaaan masa itu, tentu tidak ada yang mau mengaku sebagai musuh nona Bwe. Tapi keadaan sekarang sudah berubah. Bila-mana orang-orang itu tahu nona Bwe masih hidup, tentu mereka akan bangkit dan bersatu untuk menuntut balas padamu."

Tiba-tiba tersembul senyuman aneh pada wajah Bwe Kim-soat. Katanya perlahan, "Apakah benar mereka hanya ingin menuntut balas padaku? Mungkin...," ia pandang Lamkiong Peng sekejap, lalu tidak melanjutkan.

"Apa pun juga, menurut pendapatku, hanya dengan kekuatan kalian berdua tentu akan banyak menghadapi kesulitan."

"Lantas kalau menurut pendapat Yim-taihiap, apakah kami... kami harus minta perlindungan orang?" seru Lamkiong Peng, nadanya kurang senang.

Yim Hong-peng tersenyum, "Ah, dengan kedudukan kalian yang terhormat, mana berani kubilang soal minta perlindungan orang segala?"

Mendadak Bwe Kim-soat menjengek, "Yim-taihiap, ada urusan apa kukira lebih baik kau katakan terus terang saja dari-pada berliku-liku."

“Di depan orang pintar, kukira memang tidak perlu banyak omong," ujar Yim Hong-peng. "Yang jelas persoalan kalian ini memang perlu sahabat. Kalau tidak, sungguh sukar lagi untuk berkecimpung di dunia kang-ouw, padahal hari depan kalian masih cerah. Bila mesti putus harapan begini saja, kan sayang."

"Apa pun juga, mempunyai dua orang sahabat seprti kalian ini sedikitnya hatiku sudah terhibur," ujar Lamkiong Peng.

"Ah diriku ini terhitung apa?” kata Tik Yang dengan tertawa. "Tapi Yim-heng tentu saja lain, beliau kan pendekar kosen dari perbatasan utara sana."

"Terima-kasih atas pujianmu, "kata Yim Hong-peng. "Berapa tinggi kepandaianku, mana dapat dibandingkan kalian berdua yang masih muda perkasa?" Ia merandek sambil menyapu pandang ketiga orang itu, lalu menyambung, "Namun ada juga seorang kenalanku. Orang ini sungguh berbakat besar, berbudi luhur, serba pintar baik ilmu falak mau pun ilmu bumi, baik seni budaya maupun seni bela diri. Lweekang-nya bahkan sudah mencapai puncaknya, sehelai daun saja dapat digunakannya untuk melukai orang. Yang paling hebat, kecuali mempunyai kepandaian yang mengejutkan, orang ini juga memiliki cita-cita setinggi langit. Bahkan pergaulannya sangat luas, orangnya pun simpatik."

Diam-diam Bwe Kim-soat menjengek, sedangkan Lamkiong Peng dan Tik Yang merasa tertarik. Bila orang lain yang bicara demikian mungkin akan diremehkan mereka, tapi semua ini keluar dari mulut Ban-li-liu-hiang Yim Hong-peng, bobotnya tentu saja lain. Tanpa terasa mereka tanya berbareng, "Siapakah gerangan tokoh yang kau maksudkan itu?"

Yim Hong-peng tersenyum, tuturnya, "Orang ini sudah lama mengasingkan diri di luar perbatasan utara sana. Kini namanya sangat sedikit diketahui orang, tapi kuyakin nama Swe Thian-beng dalam waktu singkat pasti akan tersiar ke segenap pelosok dunia."

"Swe Thian-beng? Sungguh nama yang indah!" kata Tik Yang.

"Jika benar ada seorang tokoh semacam itu, setiba di Tionggoan tentu kami ingin berkenalan. Cuma sayang, saat ini sukar untuk mememuinya, " ujar Lamkiong Peng.

Tiba-tiba Bwe Kim-soat menyela, "Apakah maksud Yim-taihiap, apabila kami dapat mengikat sahabat dengan tokoh kosen semacam ini, lalu segala urusan akan beres?" Dia tetap bicara dengan nada dingin dan ketus.

Yim Hong-peng seperti tidak menghiraukannya. Katanya, "Lamkiong-heng, suasana dunia persilatan sekarang boleh dikatakan tercerai-berai dan kacau-balau. Kun-lun-pai sudah lama merajai wilayah barat, Siau-lim-pai menjagoi daerah Tionggoan, Butong-pai menguasai daerah Kanglam. Selain itu di selatan masih ada Tiam-jong-pai, di timur ada Wi-san-pai, di barat ada Cong-lam-pai. Masing-masing aliran menguasai kungfu andalan sendiri dan menguasai satu wilayah tertentu. Meski semuanya juga berhasrat memimpin dunia persilatan dan setiap saat dapat menimbulkan kekacauan dunia persilatan, tapi lantaran pertarungan di Wi-san dahulu kebanyakan aliaran itu sudah mengalami kelumpuhan, ditambah lagi dunia kangouw sudah dipimpin oleh Sin-liong dan Tan-hong, maka suasana sepuluh tahun terakhir ini masih dapat dikendalikan."

Yim Hong-peng berbicara panjang lebar. Meski agak bertele-tele, namun tidak dirasakan jemu oleh Tik Yang dan Lamkiong Peng. Maka ia menyambung pula, "Tapi sekarang jago muda dari berbagai perguruan itu sama bermunculan, kekuatan sudah pulih, saking kesepian jadi ingin bergerak lagi. Ditambah lagi Sin-liong telah menghilang, perimbangan kekuatan jadi buyar juga. Kini tiada seorang di dunia persilatan yang mampu mengatasi semua orang. Tidak terlalu lama lagi di dunia kangouw pasti akan berbangkit huru-hara. Kekuatan muda tersebut tentu juga akan membanjir, timbul untuk berebut pengaruh, lantas bagaimana akibatnya tentu dapat dibayangkan.”

Nadanya mulai meninggi, ceritanya mulai tenang. Lamkiong Peng dan Tik Yang juga terbangkit semangatnya. Tapi demi teringat kepada keadaan sendiri sekarang, tanpa terasa Lamkiong Peng merasa gegetun dan dingin lagi, hatinya serupa diguyur air. Sekilas Yim Hong-peng dapat melihat perubahan air muka Lamkiong Peng, diam-diam ia merasa senang

Yim Hong-peng menyambung pula, "Sesudah lama tercerai-berai akhirnya tentu akan bergabung lagi, bila terlampau sepi akhirnya pasti ribut lagi. Ini adalah kejadian logis. Tapi dalam keributan ini, bila tidak diimbangi oleh suatu kekuatan besar untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka pastilah akan terjadi kesewenang-wenangan. Yang kuat makan yang lemah, salah benar sukar dibedakan. Tentu akan banyak terjadi kerusuhan pula, dan bila-mana suasana kacau tak terkendalikan, akibatnya tentu tambah runyam."

"Ya memang pandangan Yim-taihiap sungguh sangat tepat," puji Lamkiong Peng.

"Ah, apalah artinya diriku ini, justru Swe Thian-beng itulah jeniusnya manusia-manusia jaman kini," ujar Yim Hong-peng dengan tersenyum. "Meski kakinya belum pernah melangkah masuk Giok-bun-koan, tapi caranya menganalisa keadaan dunia persilatan dan apa yang akan terjadi sungguh seperti telah terjadi sungguhan. Terus terang kukatakan, kedatanganku ke pedalaman sini justru mengemban tugasnya. Aku diminta mencari beberapa tokoh muda berbakat untuk bersama-sama melaksanakan tugas suci menegakkan keadilan dunia persilatan."

Alis Tik Yang menegak, tukasnya, "Menegakkan keadilan, sungguh semboyan menarik. Sayang di sini tidak ada arak, kalau tidak sungguh aku ingin menyuguhmu tiga cawan."

Lamkiong Peng tambah resah bila teringat kepada urusan sendiri.

Sedangkan Bwe Kim-soat lantas mendengus. Ia berpikir, "Kiranya Yim Hong-peng ini tidak lebih cuma seorang pembujuk saja. Dia datang lebih dulu untuk mencari pendukung bagi Swe Thian-beng. Hm, besar amat ambisi orang she Swe ini. Rupanya dia berniat merajai dunia kangouw."

Setelah berpikir lagi, diam-diam ia terkesiap juga. "Lahiriah orang she Yim ini menarik, ilmu silatnya juga tinggi, tutur katanya juga memikat hati orang. Hm, jelas orang ini pun seorang tokoh luar biasa, sampai tokoh seperti Bin-san-ji-yu pun dapat diperalat olehnya. Akan tetapi dia toh cuma menjadi seorang pembujuk bagi Swe Thian-beng, tampaknya kepandaian orang she Swe ini justru terlebih sukar dijajaki."

Agaknya Yim Hong-peng juga sedang mengamati reaksi orang, maka kemudian ia menyambung lagi, "Lamkiong-heng, dengan kepandaianmu ditambah lagi kekayaan keluargamu, selanjutnya dunia persilatan mestinya berada dalam genggamanmu. Tapi engkau justru lagi menghadapi persoalan yang tak dapat dimaafkan oleh sesama orang kangouw, bahkan saudara seperguruan sendiri pun tidak dapat memaklumi maksud baikmu. Dalam keadaan tejepit, sungguh Lamkiong-heng serba susah. Tapi bila engkau mau bekerja sama dengan Swe Thian-beng, ditambah lagi tokoh muda serupa Tik-siauhiap ini, urusan apa pula yang tidak dapat diselesaikan?"

"Kupikir, bila kerja sama ini terlaksana, selain dunia persilatan dapat diamankan, juga Lamkiong-heng dapat menggunakan kekuatan ini untuk mengundang sesama orang Bulim untuk menjelaskan duduk perkara. Tatkala mana kekuatanmu sudah lain, ucapanmu berbobot, siapa lagi yang tidak percaya kepadamu? Jadinya bahaya yang mengancam Lamkiong-heng akan lenyap, namamu bahkan akan termasyhur, Ji-hau-san-ceng selanjutnya akan semakin disegani."

Dengan tersenyum tiba-tiba Bwe Kim-soat berkata, "Wah, menurut cerita Yim-taihiap ini, bukankah dalam waktu singkat tokoh Swe Thian-beng yang luar biasa akan dapat merajai dunia persilatan dan menjadi Bulim-bengcu?”

"Ya! Bila-mana dibantu oleh tokoh muda seperti kalian ini, tidak sampai beberapa tahun dunia persilatan pasti dapat dikuasai oleh kita," ujar Yim Hong-peng dengan tertawa. Dia sangat senang, disangkanya kedua anak muda ini sudah terpikat oleh ocehannya.

Bola mata Bwe Kim-soat berputar. Katanya pula dengan tertawa, "Maksud baik Yim-taihiap ini sungguh sangat membesarkan hati kami, cuma... saat ini kami sedang terdesak bahaya mengancam di depan mata. Sebaliknya rencana Yim-taihiap masih jauh dari-pada tercapai, bahkan jejak Swe Thian-beng itu belum lagi menginjak daerah Tionggoan."

Mendadak Ban-li-liu-hiang Yim Hong-peng tertawa dan memotong, "Jika kalian sudah mau menerima ajakanku, dengan sendirinya aku pun tidak perlu merahasiakan urusan ini. Terus terang, meski jejakku baru mulai muncul sebulan terakhir, padahal sudah hampir lima tahun kujelajahi Tionggoan. Selama lima tahun ini sedikit banyak sudah kupupuk juga kekuatan tertentu, hanya karena waktunya belum tiba, maka sejauh ini belum diketahui kawanan Bulim."

"Wah, melulu cara Yim-taihiap menyembunyikan pekerjaan ini saja sudah lain dari-pada orang lain. Sungguh hebat!" kata Kim-soat.

Yim Hong-peng tertawa bangga, "Namun caraku memilih orang sangat cermat. Tidak sedikit kawan kalangan bawah dan menengah yang telah menggabungkan diri, tapi saudara dari lapisan atas justru masih sangat sedikit. Sebab itulah kuminta bantuan kalian bertiga, sebab Swe-siansing itu dalam jangka waktu singkat mungkin juga akan masuk ke daerah Tionggoan."

Meski dia sok pintar, tanpa terasa ia pun lupa daratan oleh senyum manis dan lirikan Bwe Kim-soat yang memabukkan itu, dan perlahan tersingkap juga rahasia maksudnya. Air muka Lamkiong Peng dan Tik Yang rada berubah, sebaliknya dengan berseri-seri Yim Hong-peng berkata lagi.

“Tidak jauh dari sini terdapat tempat persinggahanku. Meski sangat sederhana, tapi jauh lebih tenang dari-pada di sini. Cuma sayang masih ada sedikit urusanku di Se-an yang harus kuselesaikan, saat ini tidak dapat kuantar sendiri ke sana."

Bwe Kim-soat sengaja menghela napas menyesal. "Wah, lantas bagaimana?"

"Tidak menjadi soal," kata Yim Hong-peng. “Meski tidak dapat kuantar sendiri, sepanjang jalan sudah ada orang siap menyambut kedatangan kalian...."

"Selain itu, " sambungnya sambil merogoh saku. "Supaya kalian percaya kepada keteranganku, boleh lihat...," ketika tangan terangkat, terlihatlah oleh Kim-soat bertiga tiga kantung sutera berwarna-warni terpegang pada tangan Yim Hong-peng.

"Bagus sekali, barang apakah ini?" tanya Kim-soat.

"Sampai saat ini, boleh dikatakan sangat langka orang dunia persilatan yang pernah melihat benda ini," tutur Yim Hong-peng dengan prihatin sambil membuka salah sebuah kantung sutera itu. Seketika semua orang mencium bau harum yang menusuk hidung.

Yim Hong-peng lantas mengeluarkan sepotong kayu kecil persegi berwarna lembayung dari dalam kantung dan diserahkan kepada Bwe Kim-soat. Waktu Kim-soat mengamati, potongan kayu kecil yang tidak menarik ini terbuat secara indah. Bagian atas ada ukiran pemandangan alam yang permai, terlukis seorang berdiri di bawah cahaya senja sedang memandang puncak gunung di kejauhan.

Orang ini terlukis samar-samar, tapi bila diteliti kelihatan gagah dengan sikap yang hidup. Cuma sayang, garis mukanya hanya terukir dari sisi belakang. Di balik kepingan kayu ini terukir dua bait syair, sangat kecil hurufnya namun gaya tulisannya indah kuat, jelas tulisan seniman ternama. Kepingan kayu ini keras dan berat serta berbau harum.

Setelah mengamati sejenak, kemudian Bwe Kim-soat bertanya, "Apakah orang yang terukir di sini adalah orang yang disebut Swe Thian-beng itu?"

Yim Hong-peng mengangguk, "Ya, benda ini tanda pengenal Swe Thian-beng itu."

Lalu ia memberikan pula kedua kantung sutera kepada Lamkiong Peng dan Tik Yang. Ia berkata pula dengan tertawa, "Untuk mendapat kepercayaan kalian bertiga, sengaja kulanggar prosedur biasa dan kuberikan benda ini."

"Prosedur biasa apa?" ujar Bwe Kim-soat sambil memainkan keping kayu dan kantung sutera yang dipegangnya.

"Setiba kalian di tempatku dengan sendirinya akan tahu," kata Yim Hong-peng.

Mendadak ia bertepuk tangan. Baru berjangkit suara keplokannya, dari kejauhan lantas muncul sesosok bayangan secepat terbang. Hanya sekejap saja orang ini sudah mendekat, ternyata dia adalah Tiangsun Tang, salah seorang jago dari Bin-san-ji-yu. Ia berdiri dengan sikap hormat di depan Yim Hong-peng sambil melirik sekejap ke arah Bwe Kim-soat. Ketika diketahui benda yang berada di tangan orang, seketika wajahnya menampilkan rasa heran dan kejut.

"Agaknya antara Tiangsun-heng dan nona Bwe terdapat suatu perselisihan. Tapi selanjutnya kita adalah orang sendiri, rasanya Tiangsun-heng perlu melupakan urusan masa lampau," kata Yim Hong-peng dengan tersenyum.

Sejenak Tiangsun Tang melenggong, lalu berkata dingin, "Saat ini juga sudah kulupakan."

"Cepat benar lupanya," ujar Bwe Kim-soat dengan tertawa genit.

"Haha! Memang harus begitu," ujar Yim Hong-peng. “Sekarang harap Tiangsun-heng membawa mereka bertiga ke Liu-hiang-ceng kita. Setelah kuselesaikan sedikit urusan di Se-an segera kupulang untuk menemui kalian di sana."

"Dan... pedang...," tergagap Tiangsun Tang.

"Oya, pedang Lamkiong-heng yang tertinggal di Se-an itu sudah kusuruh bawa kemari," kata Yim Hong-peng.

Selagi Lamkiong Peng melenggong, Tiangsun Tan telah menyodorkan pedang yang dibawanya sambil berkata, "Sarungnya baru saja dibuat, mungkin tidak begitu cocok."

Yim Hong-peng mengambil pedang itu dan dikembalikan kepada Lamkiong Peng. Katanya, "Tadi tanpa permisi kumasuk ke kamar Lamkiong-heng. Kulihat pedang pusaka ini tertinggal di sana, maka secara sembrono kubawakan untuk Lamkiong-heng."

Sebelum Lamkiong Peng bersuara, pandangannya beralih kepada Tik Yang. Katanya pula, "Tik-heng, apakah kau tahu di mana letak keanehan keping kayu ini?"

Alis Tik Yang menegak, jengeknya, "Betapa anehnya barang ini, jika orang she Tik disuruh menjadi antek seorang yang bernafsu besar ingin menguasai dunia persilatan, hm...?!" Mendadak ia mendongak memandang langit sambil melemparkan kantung sutera yang dipegangnya ke tanah.

Kerua Yim Hong-peng terkesiap, air mukanya berubah seketika. Katanya, "Tik-heng aku...."

Tiba-tiba Lamkiong Peng juga berkata, "Terima-kasih atas maksud baik Yim-taihiap. Sesungguhnya kami pun sangat ingin dapat bekerja sama dengan tokoh besar semacam Swe-taihiap itu, cuma...,” ia menghela napas, lalu mengembalikan kantung sutera kepada Yim Hong-peng dan berkata pula, "Siaute orang bodoh, juga sudah terbiasa hidup tidak beraturan, mungkin sukar ikut serta dalam pekerjaan besar yang dirancang Yim-taihiap. Namun... apa pun juga budi pertolongan Yim-taihiap takkan kulupakan."

Pada dasarnya Lamkiong Peng berwatak jujur. Ia dapat meraba maksud tujuan Yim Hong-peng, maka tidak sudi di diperalat orang. Tapi ia pun merasa utang budi, maka ia menolak ajakan orang dengan menyesal.

Air muka Yim Hong-peng berubah kelam. Kantung sutera itu diremasnya dengan mendongkol, lalu pandangannya perlahan beralih kepada Bwe Kim-soat.

"Aku sih tidak menjadi soal," kata Kim-soat dengan tertawa, kepingan kayu dimasukkan lagi ke dalam kantung.

Lamkiong Peng tercengang, sebaliknya sinar mata Yim Hong-peng mencorong terang.

Dengan tertawa Kim-soat menyambung lagi, "Tapi aku pun tidak mempunyai ambisi sebesar itu. Sebab itulah terpaksa aku pun menerima ajakan Yim-taihiap dengan ucapan terima-kasih, hanya...," perlahan ia masukkan kantung sutera itu ke dalam bajunya, lalu melanjutkan, “kantung sutera dan kepingan kayu ini tampaknya sangat menyenangkan, maka berat untuk kukembalikan kepadamu. Jika secara suka-rela Yim-taihiap sudah memberikannya kepadaku, kukira engkau pasti takkan memintanya kembali dariku, bukan?"

Seketika air muka Yim Hong-peng berubah pucat dan melenggong dengan bingung. Perlahan ia lantas menjemput kantung sutera yang dilemparkan Tik Yang tadi.

Lamkiong Peng merasa tidak enak hati, maka ia berucap, "Maafkan, selanjutnya asalkan Yim-taihiap ada...."

Mendadak Yim Hong-peng bergelak tertawa pula. "Haha! Agaknya orang she Yim bermata lamur. Kiranya kalian sengaja hendak mempermainkan diriku.” Sampai di sini tiba-tiba sorot matanya berubah mencorong, sambungnya sekata demi sekata, "Hm, setelah kalian mengetahui rahasiaku, memangnya kalian ingin pergi dengan hidup? Hah! Apakah kalian sangka orang she Yim seorang tolol?!"

Serentak ia melompat mundur sambil berkeplok. Segera dari tempat gelap di sekitarnya muncul berpuluh sosok bayangan orang. Lamkiong Peng bertiga terkesiap. Perlahan Tiangsun Tang melolos pedang dan siap tempur.

"Hm, bila orang she Yim tidak yakin dapat membuat kalian tutup mulut selamanya, mana kumau memberi-tahukan rahasiaku sendiri kepada kalian?" jengek Yim Hong-peng pula. Waktu ia angkat tangannya, serentak bayangan orang itu mendesak maju dari sekelilingnya.

Lamkiong Peng menyapu pandang sekejap, jengeknya, "Meski ada rasa terima-kasihku kepada Yim-heng, tapi dengan tindakanmu ini rasa terima-kasih jadi hanyut seluruhnya. Jika beratus orang di Se-an saja tidak mampu mengusik seujung rambutku, sekarang cuma berpuluh orang ini dapatkah mengatasi kami bertiga?"

Segera Tik Yang juga berteriak, "Siapa yang berani maju, boleh silakan dia rasakan dulu Thian-san-sin-kiam."

"Boleh kau belajar kenal dulu dengan usaha orang she Yim,” jawab Yim Hong-peng sembari menggeser mundur.

Serentak Tiangsun Tan juga melompat kesana dan berdiri berjajar bersama Yim Hong-peng di antara lingkaran orang-orang berbaju hitam. Dengan sendirinya Lamkiong Peng dan Tik Yang juga berdiri berjajar dengan Bwe Kim-soat. Barisan musuh kelihatan mendesak maju dengan perlahan.

"Tenang,” kata Bwe Kim-soat. "Jangan sembarangan bergerak. Bila keadaan tidak menguntungkan, segera kita terjang ke luar saja."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar