Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 32

Berkata sampai di situ, Tiat Sin Ong kelihatan seperti mengenang akan kejadian masa lampau. Wajahnya tampak tersenyum tapi juga seperti meringis.

"Siapa tahu Beng Tu Lojin yang berkepandaian paling tinggi itu justru meninggal duluan. Kami bertiga pergi melawat..." ujar orang tua itu melanjutkan.

Perlahan-lahan Tiat Sin Ong mendongakkan kepala memandang ke langit, seakan sedang membayangkan kejadian masa lampau itu. Ketika Beng Tu Lojin meninggal, banyak kaum rimba persilatan datang melawat. Pergaulan Beng Tu Lojin memang luas, namun waktu itu golongan hitam muncul mencari urusan.

Ketika itu, Tiat Sin Ong, Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po juga datang melawat, namun sudah terlambat dua bulan. Tempat tinggal mereka amat jauh sehingga lama menerima berita duka itu. Wajar jika kedatangan mereka jadi terlambat dua bulan, sedangkan jenazah Beng Tu Lojin justru dicuri Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Mereka bertiga cuma memberi hormat di hadapan meja sembahyangan dan berpamit.

Setelah meninggalkan Go Bi mereka bertiga ingin pulang ke tempatnya masing-masing. Akan tetapi ketika mereka memasuki Cin Yua Ling, muncul tiba-tiba seekor rusa berbintik-bintik tak jauh dari mereka. Karena mereka bertiga berkepandaian amat tinggi, gerak-gerik mereka tidak menimbulkan suara, namun rusa berbintik-bintik itu merasakannya. Jarak mereka bertiga dengan rusa berbintik-bintik itu berada belasan depa, namun telinga rusa itu sudah bergerak-gerak dan menoleh ke arah tiga orang itu.

Pian Liong Sianpo memandang sekejap, kemudian berkata kepada Thian Sun Sianjin dan Tiat Sin Ong dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara. "Kini Beng Tu Lojin sudah meninggal, Peng Hu Si Lo tinggal tiga orang. Kelihatannya kita bertiga harus tahu siapa yang lebih unggul.”

Adat Thian Sun Sianjin paling keras. Begitu mendengar Pian Liong Sian Po berkata begitu, langsung menyahut dengan ilmu menyampaikan suara pula. "Benar. Tapi bagaimana caranya?"

Pian Liong Sian Po menunjuk rusa berbintik-bintik itu seraya berkata. "Kita bertiga menggunakan ginkang mengejar rusa itu dan siapa yang berhasil mengejarnya dan mengambil tanduknya, dialah yang paling unggul. Bagaimana menurut kalian berdua?"

Saat Pian Liong Sian Po menunjuk, rusa berbintik-bintik itu lari bagaikan kilat. Bersamaan itu mereka bertiga pun bersiul panjang, sambil mengerahkan ginkang mengejar rusa tersebut. Rusa berbintik-bintik itu segera mempercepat larinya ketika melihat ada orang mengejarnya. Terjadi kejar-kejaran ketiga tokoh sakti itu terhadap rusa tersebut. Tak terasa sudah sejauh dua-tiga puluh lie, namun mereka bertiga tidak ada yang lebih cepat atau lambat!

Tak seberapa lama kemudian mereka sampai di sebuah lembah. Jarak mereka dengan rusa berbintik-bintik hanya dua-tiga depa saja. Mendadak Pian Liong Sian Po tertawa aneh sambil menjulurkan tangannya, ternyata dia ingin mencengkeram tanduk rusa tersebut. Rusa berbintik-bintik itu memang sudah lelah sekali, begitu terkena angin cengkeraman langsung jatuh berguling-guling.

Dan saat itu pula terdengar pula suara berdesir keras, ternyata Thian Sun Sianjin dan Tiat Sin Ong sudah melesat ke arah rusa tersebut. Pian Liong Sian Po juga tidak mau ketinggalan, melesat ke arah rusa tersebut, namun terlambat selangkah sehingga membuatnya berteriak sengit.

"Kalian berdua mau main curang, ya?"

Usai berteriak, Pian Liong Sian Po melancarkan pukulan ke arah mereka berdua dengan mengerahkan ilmu pukulan Thai Im Ciang yang sangat dahsyat. Pian Liong Sian Po juga mengeluarkan jurus Sio Ngo Peng Goat (Bidadari Mengejar Bulan) dan jurus Giok Thou Yang Yok (Kelinci Giok Menaburkan Obat), bahkan menggunakan tenaga dalam sepenuhnya. Thian Sun Sianjin dan Tiat Sin Ong sudah berada di sisi rusa itu, namun pukulan yang dilancarkan Pian Liong Sian Po sudah sampai ke arah mereka pula. Kedua orang itu tahu akan kehebatan ilmu pukulan Thai Im Ciang, maka segera membalikkan badan sekaligus melancarkan pukulan.

Ketika Pian Liong Sian Po melihat mereka berdua membalikkan badan, bahkan melancarkan pukulan, membuatnya jadi terkejut. Berdasarkan kepandaian dia hanya akan bertanding seimbang dengan salah seorang di antara mereka berdua. Namun kalau harus menangkis pukulan mereka berdua, sudah pasti dirinya akan celaka. Karena itu Pian Liong Sian Po cepat-cepat mencelat ke belakang. Namun tenaga pukulannya telah dilancarkan, begitu pula pukulan Thian Sun Sianjin dan Tiat Sin Ong, sehingga tenaga pukulan mereka beradu, menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Bahkan kekuatan tenaga sakti yang saling beradu itu sangat menggetarkan. Dedaunan dan ranting pepohonan di sekitar tempat itu pun rontok.

Sementara rusa berbintik-bintik yang tadi tergeletak di tanah ternyata belum mati. Namun akibat tersambar oleh angin pukulan tadi badannya melayang membentur dinding tebing, akhirnya mati seketika! Dan kematian binatang itu menandakan akhir pertandingan mereka.

Pian Liong Sian Po teringat akan kejadian tadi. Hatinya jadi gusar sekali. "Hm! Ginkang kalian berdua cukup lumayan, ya!"

Ucapan Pian Liong Sian Po bernada sindiran sehingga wajah Thian Sun Sianjin langsung berubah. "Kau tidak tunduk?" sahutnya sinis.

Perlu diketahui, walau Thian Sun Sianjin berkepandaian amat tinggi namun sifatnya agak berangasan dan cepat naik darah. Kaum rimba persilatan mengetahui itu. Tiat Sin Ong melihat kedua kawannya jadi bentrok. Kalau terjadi pertandingan mungkin sampai ribuan jurus pun akan tetap berimbang, kemungkinan besar akhirnya akan sama-sama terluka parah. Karenanya Tiat Sin Ong berkata.

"Sudahlah! Kalian berdua tidak perlu bertengkar!"

Pian Liong Sian Po tetap marah-marah, dia menuding Thian Sun Sianjin. "Thian Sun Sianjin, kudengar kau belum lama ini terus menerus berlatih Kim Kong Sin Ci. Bagaimana kalau aku mohon petunjuk?" dengan halus dia mulai menantang.

Thian Sun Sianjin tertawa gelak. "Hahaha, Pian Liong Sian Po lebih baik kau jangan mohon petunjuk!"

Mata Pian Liong Sian Po mendelik. "Mengapa?"

Thian Sun Sianjin menyahut dengan dingin. "Kim Kong Sin Ci merupakan ilmu yang menandingi ilmu pukulan Thai Im Ciang-mu itu! Maka bagaimana begitu gampang memberi petunjuk?"

Pian Liong Sian Po memang berhati sombong dan egois. Kalau tadi dia tidak mengusulkan mengejar rusa berbintik-bintik itu, tentunya tidak akan terjadi pertikaian ini.
Mendengar ucapan itu wajah Pian Liong Sian Po langsung berubah gusar. "Benarkah begitu? Aku nenek tua yang tidak takut mati!"

Tiat Sin Ong yang berdiri di situ melihat pertengkaran mereka berdua semakin jadi. Kalau terjadi pertarungan, mereka berdua pasti sama-sama celaka. Ketika dia hendak menasehati, mendadak dia melihat tiga buah batu besar tidak jauh dari tempat mereka bertiga. Begitu melihat batu-batu itu, timbullah suatu ide dalam hatinya, langsung bersiul panjang menarik perhatian Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po.

"Kalian berdua! Kita bertiga kalau ingin tahu siapa yang lebih unggul, tidak perlu berantam! Aku punya suatu usul yang amat tepat!"

Pian Liong Sian Po bertanya dengan dingin. "Apa usulmu?"

Tiat Sin Ong menunjuk ke arah tiga buah batu besar itu. "Di sana terdapat tiga buah batu. Kita bertiga duduk bersandar pada batu-batu itu. Sebulan kemudian, bekas punggung siapa yang paling dalam, tentunya tahu siapa yang unggul! Bagaimana menurut kalian berdua?"

Usul tersebut membuat Pian Liong Sian Po dan Thian Sun Sianjin tertegun, karena harus mengerahkan lweekang pada punggung agar membekas di batu, itu sungguh tidak gampang! Lagi-pula mengadu kepandaian dengan cara begitu, belum pernah terjadi dalam rimba persilatan. Tiat Sin Ong yang mengusulkan begitu pun sebenarnya tidak tahu apakah dirinya sanggup atau tidak berbuat demikian. Namun kalau dia tidak mengusulkan itu, Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po pasti bertarung. Maka ada penyesalan juga dalam hatinya.

"Thian Sun Sianjin, kau berani?" tanya Pian Liong Sian Po setelah ketiganya sama-sama terdiam beberapa saat lamanya.

Thian Sun Sianjin tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Kenapa tidak?"

Thian Sun Sianjin segera menghampiri salah sebuah batu besar itu, lalu duduk bersila bersandar. Begitu pula Tiat Sin Ong dan Pian Liong Sian Po, mereka berdua pun duduk bersila bersandar pada batu yang lain. Itu adalah kejadian belasan tahun lampau. Semula Tiat Sin Ong hanya mengusulkan satu bulan duduk bersandar di batu, akan tetapi sebulan kemudian mereka bertiga melihat masih tiada bekas punggung di batu. Karena itu mereka bertiga melanjutkan lagi. Sebulan lewat sebulan, setahun lewat setahun, maka kaum rimba persilatan menganggap mereka bertiga menghilang begitu saja.

Bertahun-tahun itu mereka tak pernah muncul lagi di rimba persilatan. Tak seorang pun yang tahu bahwa mereka bertiga berada di tengah-tengah gunung Go Bi, sedang mengadu lweekang dengan cara aneh itu. Tiga tahun kemudian barulah ada bekas di batu, akan tetapi bekas punggung itu sama dalamnya. Mereka bertiga terpaksa melanjutkan lagi.

Tujuh tahun kemudian... malam itu kebetulan bulan purnama.

Pian Liong Sian Po bangkit berdiri, kemudian menunjuk batu itu seraya berkata. "Thian Sun Sianjin, kita melanjutkan lagi!"

Padahal waktu itu, bekas punggung di batu sudah cukup dalam. Karena Pian Liong Sian Po menantang, Thian Sun Sianjin pun mengiyakan. Setelah itu dia bangkit berdiri. Tiat Sin Ong melirik batu di belakang, ternyata lebih dalam dibandingkan dengan mereka berdua. Diam-diam dia merasa gembira karena lebih unggul dari yang lain. Seketika Tiat Sin Ong tertawa gelak. Namun rupanya karena rasa gembira dia lupa dalam tujuh tahun ini terus menerus mengerahkan lweekang, maka saat tertawa gelak dia lupa menarik kembali lweekang-nya!

Di saat dia baru mau bangkit berdiri, mendadak sekujur badannya terasa seperti tergetar oleh sesuatu, kemudian jadi kesemutan. Ternyata dia telah tersesat, sekujur badannya tak dapat bergerak lagi. Betapa gugup dan paniknya Tiat Sin Ong, namun itu telah terjadi, sudah tidak bisa apa-apa! Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po terkejut menyaksikan apa yang dialami Tiat Sin Ong akhirnya.

"Tiat Sin Ong, kenapa kau?" tanya mereka yang keheranan.

Sesungguhnya Tiat Sin Ong masih bisa menyuruh mereka menggeserkan badannya, melihat bekas punggungnya di batu. Akan tetapi, ketika tahu dirinya telah tersesat, maka hatinya jadi tawar. Walau tahu lweekang-nya lebih tinggi dari mereka, namun dia tidak ingin memberitahukan. Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po saling memandang dengan mulut tertutup.

Tiat Sin Ong menatap mereka lalu berkata. "Kalian berdua pergilah! Aku masih punya dua ekor monyet melayaniku, tidak akan mati kelaparan di sini. Kalau kelak aku sudah bisa pulih seperti sedia kala, kita masih bisa berjumpa kembali."

Kedua monyet itu memang setia membantu mereka bertiga. Dahulu ketika tahun-tahun pertama pertandingan adu lweekang ini, mereka telah terlebih dulu menundukkan monyet, untuk diperintah agar melayani mereka dengan mencari buah-buahan di hutan sekitar tempat itu. Sedangkan Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po tidak menyangka akan kejadian itu menimpa diri Tiat Sin Ong. Mereka berdua masih menemaninya beberapa hari, setelah itu barulah mereka berdua meninggalkan lembah itu.

Sepuluh tahun kemudian barulah Tiat Sin Ong berhasil memulihkan keadaan dirinya dengan hawa murninya. Padahal dia masih ingin meninggalkan lembah itu, pergi mencari Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po untuk mengadu kepandaian. Namun setelah sekian tahun hidup seorang diri di dalam lembah itu, maka hatinya sudah tawar terhadap segala macam urusan dunia. Oleh karena itu dia tetap tinggal di sini ditemani kedua ekor monyet yang amat setia itu. Mengenai urusan di luar, dia tidak tahu sama sekali. Bagaimana keadaan Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po setelah meninggalkan lembah itu, dia pun tidak tahu.

Tiat Sin Ong memandang Tam Goat Hua. Dia telah usai menutur tentang semua kejadian tersebut, kemudian tertawa gelak seraya berkata, "Gadis kecil, menurutmu apakah itu menggelikan?"

Padahal Thian Sun Sianjin, Pian Liong Sian Po dan Tiat Sin Ong merupakan tiga tokoh tua dalam rimba persilatan, bahkan amat terkenal dan berkepandaian amat tinggi pula. Akan tetapi mereka bertiga justru tidak terluput dari ‘Nama’, akhirnya menjadi seperti itu. Tiat Sin Ong dan Tam Goat Hua saling memandang. Kemudian hati Tam Goat Hua tergerak.

"Kakek tua, kini kepandaian kakek tua pasti tiada duanya di kolong langit. Ya, kan?" katanya.

Tiat Sin Ong tertawa. "Jangan membicarakan ini."

"Kakek tua, kini dalam rimba persilatan telah timbul malapetaka...."

Ketika Tam Goat Hua berkata sampai di situ, mendadak Tiat Sin Ong menjulurkan tangannya menotok jalan darah gagu gadis itu. Maka walau bibir gadis itu tetap bergerak, namun tidak bisa mengeluarkan suara. Tam Goat Hua terperanjat dan langsung bangkit berdiri dengan kening berkerut-kerut.

"Hahaha! Gadis kecil, legakanlah hatimu! Bagaimana mungkin aku mencelakaimu? Hanya saja aku telah membulatkan hati, tidak mau tahu dan tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan lagi. Kelihatannya kau ingin menceritakan suatu kejadian dalam rimba persilatan, maka aku segera menotok jalan darah gagumu itu. Tiga hari kemudian akan terbuka sendiri. Kau tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun tentang diriku berada di sini," kata Tiat Sin Ong.

Memang tidak salah, Tam Goat Hua bermaksud menceritakan tentang Liok Ci Khim Mo yang malang melintang dalam rimba persilatan. Namun belum juga dia menceritakan, Tiat Sin Ong telah menotok jalan darah gagunya sehingga membuatnya tidak bisa bicara. Tam Goat Hua menghela nafas panjang dalam hati. Tiat Sin Ong telah membulatkan hatinya, tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan lagi. Maka kalau pun diceritakan juga tiada gunanya.

"Gadis kecil, tadi kau mau mati tidak mau hidup, sekarang pikiranmu sudah terbuka?" kata Tiat Sin Ong,

Tam Goat Hua mendongakkan kepala memandang langit. Dia tertegun, tapi tak mengeluarkan suara. Hatinya terasa sudah beku. Entah berapa banyak kaum rimba persilatan tersiksa dan menderita karena Pat Liong Thian Im, namun tiada seorang pun lebih tersiksa dan menderita dari Tam Goat Hua.

Tiat Sin Ong tertawa. "Sebetulnya kau merupakan gadis yang tabah, tapi kenapa jadi mau mati? Kini kau telah makan obat Kiu Coan Tay Hoan Tan, otomatis lweekang-mu bertambah. Dua hari kemudian aku akan mengajarmu beberapa jurus ilmu silat, yaitu jurus-jurus andalanku. jangan memandang remeh lho!"

Padahal hati Tam Goat Hua telah beku, namun semua perkataan Tiat Sin Ong amat menyentuh hatinya. Dari pada mati dicela, lebih baik mati meninggalkan nama. Tiat Sin Ong akan mengajarnya beberapa jurus ilmu silat, itu merupakan kesempatannya untuk melawan Liok Ci Khim Mo. Oleh karena itu dia segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tiat Sin Ong. Tiat Sin Ong mengibaskan lengan bajunya, maka seketika Tam Goat Hua tertahan tak bisa berlutut.

Tiat Sin Ong tertawa. "Hahaha! Tidak perlu memberi hormat karena kau bukan muridku. Namun kelak kalau bertemu para murid pulau Tiat Ye To, janganlah kau turun tangan berat terhadap mereka."

Tam Goat Hua mengangguk. Sesungguhnya gadis itu sudah berkepandaian tinggi. Kini dia makan obat Kiu Coan Tay Hoan Tan, maka lweekang-nya bertambah tinggi pula. Akan tetapi ketika Tiat Sin Ong mengibaskan lengan bajunya, Tam Goat Hua merasa ada serangkum tenaga lunak menahan dirinya. Dia memaksa diri untuk berlutut, tapi sia-sia. Betapa terkejutnya gadis itu. Dia baru sadar bahwa Tiat Sin Ong betul-betul berkepandaian amat tinggi.

Tiat Sin Ong tersenyum. "Baik. Ketiga jurus ilmu silatku itu bukan ilmu pedang juga bukan ilmu pukulan, tapi dengan tangan kosong atau bersenjata tetap boleh menggunakan ketiga jurus ilmu silat itu. Ketiga jurus itu amat aneh, lihay dan dahsyat. Pihak lawan pasti kebingungan menghadapi salah satu jurus saja." Berkata sampai di situ, Tiat Sin Ong berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan wajah serius. "Ketiga jurus itu adalah Thian Lo Te Bong (Perangkap Di Langit Jebakan Di Bumi), Pao Lo Ban Siang (Segala-galanya Pasti Ada) dan jurus Chai Cu Sih Mi (Menutup Biji Sawi). Bukan aku omong besar, kalau kau sudah mulai belajar ketiga jurus ilmu silat itu, kau akan tahu kedahsyatannya."

Tam Goat Hua tidak bisa bicara, hanya manggut-manggut saja. Tiat Sin Ong mulai memberitahukan perubahan-perubahan ketiga jurus ilmu silat berikut teorinya. Tam Goat Hua memang cerdas. Hanya sekali mendengar dia sudah mengerti. Kemudian Tiat Sin Ong memperagakan ketiga jurus ilmu silat tersebut. Tam Goat Hua memperhatikan dengan cermat sekali, akan tetapi justru membuat pandangannya menjadi kabur. Setelah Tiat Sin Ong mengulang hingga tujuh kali, barulah Tam Goat Hua dapat menangkap sedikit gerakan-gerakan itu.

Padahal Tiat Sin Ong hanya menyiapkan waktu dua hari untuk mengajar Tam Goat Hua ketiga jurus ilmu silat itu. Namun gadis itu harus menggunakan waktu setengah bulan baru mulai paham akan keistimewaan ketiga jurus ilmu silat tersebut. Di hari keempat Tam Goat Hua sudah bisa bicara, namun dia pun tidak menceritakan tentang Liok Ci Khim Mo. Setengah bulan kemudian, Tiat Sin Ong berpesan kepada Tam Goat Hua, harus terus berlatih ketiga jurus ilmu silat yang diajarkannya itu. Setelah itu dia pun menyuruh Tam Goat Hua meninggalkan lembah tersebut.

Dalam setengah bulan ini, kepandaian Tam Goat Hua sudah bertambah maju. Gadis itu berpikir, seandainya urusan itu tidak terjadi kini dia pasti sudah hidup bahagia. Akan tetapi urusan itu justru terjadi. Hari ini Tam Goat Hua berpamit kepada Tiat Sin Ong, keluar dari lembah tersebut. Dia pun tidak mau memikirkan kejadian yang menyedihkan itu lagi.

Setelah meninggalkan gunung Go Bi San, tiba-tiba dia teringat akan perkataan ibunya bahwa di lembah gunung Tang Ku Sat terdapat sebuah istana, yaitu tempat tinggal kakeknya. Teringat akan itu, Tam Goat Hua mengambil keputusan untuk berangkat ke gunung tersebut. Setelah mengambil keputusan itu, Tam Goat Hua segera berangkat. Tujuannya adalah gunung Tang Ku Sat. Dalam perjalanan itu dia hanya berselisih tiga hari dengan Lu Leng. Mereka berdua sama-sama menuju gunung itu.

Ketika memasuki gunung tersebut, Tam Goat Hua baru menyadari bahwa dirinya amat bodoh. Di gunung yang begitu luas, bagaimana mungkin mencari istana tersebut? Beberapa hari Tam Goat Hua terus mencari. Hari itu ketika berdiri di atas sebuah tebing, dia melihat beberapa ekor burung elang raksasa sedang menukik ke bawah. Dia yakin pasti ada kaum rimba persilatan berada di situ bertarung dengan burung elang raksasa itu. Karena tertarik dan merasa heran, maka dia melesat ke sana.

Akan tetapi dia tidak bertemu Lu Leng, melainkan bertemu Hek Sin Kun. Padahal saat itu Lu Leng jatuh ke bawah bersama raja burung elang raksasa. Ketika melihat kemunculan Tam Goat Hua, hati Hek Sin Kun tersentak. Ternyata dia khawatir Tam Sen suami istri akan muncul juga. Setelah bertanya jawab sejenak dengan Tam Goat Hua, barulah dia tahu bahwa Tam Goat Hua datang di tempat itu seorang diri. Tujuannya sama dengan tujuan Hek Sin Kun.

Hek Sin Kun tetap tidak bisa melupakan Kitab Iblis. Oleh karena itu dia menyuruh Tam Goat Hua pulang ke pulau Hwe Ciau To mengambil kitab tersebut untuknya, tapi Tam Goat Hua menolak. Pembicaraan mereka berdua di atas tebing terhembus angin ke bawah, maka Lu Leng dapat mendengarnya walau pun ada beberapa patah kata yang terlewat. Lu Leng yakin bahwa Hek Sin Kun sedang bercakap-cakap dengan Tam Goat Hua. Karena itu dia berteriak-teriak memanggil gadis itu. Akan tetapi karena angin gunung berhembus ke bawah, maka Tam Goat Hua tidak mendengar suara teriakan Lu Leng.

Kemudian Hek Sin Kun dan Tam Goat Hua meninggalkan tebing itu. Akhirnya dia berhasil mencari lembah tersebut dan langsung masuk ke dalam. Begitu sampai di dalam, justru mereka terperangkap ke dalam formasi itu. Padahal Hek Sin Kun pernah mempelajari formasi tersebut, sebab yang menciptakan formasi itu Mo Liong Seh Sih, ayahnya. Akan tetapi Hek Sin Kun telah lupa cara memecahkannya. Ketika mendengar suara orang, barulah dia teringat akan pesan ayahnya. Dia segera berseru memanggil nama kedua wanita itu, baru akhirnya dapat keluar dari formasi.

Nyawa Toa Sah dan Ji Sah diselamatkan Mo Liong Seh Sih, maka mereka berdua menganggapnya bagaikan seorang dewa. Setelah keluar dari formasi, Hek Sin Kun menampar mereka berdua, namun kedua wanita diam saja, sebab Hek Sin Kun adalah majikannya juga. Sementara Toa Sah dan Ji Sah membawa Hek Sin Kun ke istana melalui goa itu. Keluar dari goa, tak lama kemudian mereka sudah berada di hadapan istana tersebut. Begitu menyaksikan istana itu, Hek Sin Kun menghela nafas panjang saking takjub akan keindahannya. Dia pun berkata dalam hati, kalau tahu istana ini sedemikian indah dan megah, dari dulu dia sudah ke mari, tidak usah menetap di gunung Thay San.

Hek Sin Kun langsung melesat ke depan. Didorongnya pintu istana itu sekaligus masuk ke dalam. Ketika berada di dalam ruang besar itu dia terbelalak. Itu bukan karena dia menyaksikan barang-barang berharga, melainkan karena melihat Lu Leng sedang duduk bersila di lantai. Wajah Lu Leng tampak kemerah-merahan dan bercahaya. Namun keberadaan Hek Sin Kun di situ, dia sama sekali tidak tahu.

Hek Sin Kun berpengetahuan cukup luas. Ketika menyaksikan itu dia sudah tidak sempat berpikir lagi, kenapa Lu Leng tidak mati. Saat ini dia tahu bahwa Lu Leng dalam keadaan genting karena hawa murninya berusaha menembus bagian Jin Tok. Kalau bagian Jin Tok tertembus, lweekang Lu Leng pasti bertambah tinggi dan dia pun bukan tandingannya lagi.

Semula Hek Sin Kun tertegun, namun kemudian membentak keras. "Bocah! Untung aku tidak terlambat datang!"

Badannya melesat ke depan, sekaligus melancarkan sebuah pukulan ke arah jalan darah Thian Ling Kay. Ilmu pukulan Hek Sah Ciang amat dahsyat, apa-lagi kini dilancarkannya dengan sepenuh tenaga. Terdengar suara menderu-deru mengarah kepada Lu Leng.

Saat ini hawa murni Lu Leng telah berhasil menembus bagian Jin, maka berkumpul di bagian jalan darah Bi Li Hiat, sedang menerjang ke arah bagian Tok. Jangankan Lu Leng tidak tahu serangan itu, kalau pun tahu juga sudah tidak bisa menangkis. Sebab apabila badannya bergerak, hawa murninya tidak dapat menembus bagian Tok. Dan apabila hawa murni itu menerjang sembarangan dapat menyebabkan dia menjadi gila atau tersesat. Saat ini betul-betul merupakan saat yang tidak boleh terganggu.

Di saat bersamaan mendadak terdengar suara seruan kaget dan tampak dua sosok bayangan menerjang ke dalam. Betapa terkejutnya Hek Sin Kun. Dia langsung menarik kembali serangannya tadi, kemudian memutar badannya sekaligus melancarkan serangan itu ke arah dua sosok bayangan.

“Buum!” salah seorang sudah terkena pukulannya.

Terdengar suara jeritan dan tampak badan orang itu terpental bagaikan layang-layang putus tali. Kini Hek Sin Kun baru melihat jelas, dua sosok bayangan itu ternyata Toa Sah dan Ji Sah yang sedang menerjang ke arahnya. Dapat dibayangkan, betapa gusarnya Hek Sin Kun.

"Kalian berdua mau berontak ya?!" bentaknya.

Yang terpental itu adalah Ji Sah. Setelah dia roboh, wajahnya tampak pucat pias dan mulutnya mengeluarkan darah, pertanda sudah terluka parah. Toa Sah tertegun, kemudian berteriak-teriak.

"Kau bukan orang baik! Kau bukan orang baik!"

Toa Sah langsung menyerang Hek Sin Kun dengan sengit sekali. Sesungguhnya gampang sekali bagi Hek Sin Kun melukai Toa Sah. Tapi dia telah melihat dekorasi ruang besar itu berikut barang-barang yang amat berharga. Tentunya masih banyak barang berharga tersimpan di dalam istana itu. Kalau dia membunuh Toa Sah dan Ji Sah, bukankah dia tidak tahu disimpan di mana barang-barang berharga lain? Oleh karena itu, ketika melihat Toa Sah menyerangnya dia segera menjulurkan tangannya untuk mencengkeram lengan Toa Sah.

Walau Toa Sah memiliki tenaga yang amat kuat, namun tetap tak sebanding dengan lweekang yang dimiliki Hek Sin Kun. Seketika lengan Toa Sah sudah tercengkeram. Toa Sah tak dapat melepaskannya, maka menjadi gugup sekali dan berteriak-teriak.

"Kau bukan orang baik, juga bukan majikan kami! Majikan lama tidak pernah memukul orang, kenapa kau ke mari langsung memukul orang?"

Hek Sin Kun tertawa dingin sambil mengerahkan lweekang. Wajah Toa Sah berubah pucat pias saking menahan rasa sakit di lengannya.

Hek Sin Kun tertawa dingin lagi. "Aku tidak sama dengan majikan lama. Kalau kalian tidak mendengar perintahku, nyawa kalian pasti melayang!" katanya.

Saat ini Toa Sah menderita sekali. Walau kedua wanita itu agak ketolol-tololan, namun berhati keras. Setelah Ji Sah terluka parah, Toa Sah menganggap Hek Sin Kun sebagai musuh besar. Begitu Hek Sin Kun usai berkata, Toa Sah langsung meludah.

"Phui!"

Sepasang tangan Hek Sin Kun mencengkeram lengan Toa Sah, jarak mereka begitu dekat. Lagi-pula Hek Sin Kun mengira bahwa setelah lengannya tercengkeram, Toa Sah pasti akan menuruti perintahnya. Namun tidak tahunya wanita itu malah meludahinya, tak ampun lagi segumpal ludah kental melekat pada pipi Hek Sin Kun. Betapa gusarnya Hek Sin Kun. Dia langsung melepaskan cengkeramannya sekaligus menampar Toa Sah dua kali.

“Plak! Plak!”

Setelah itu dia pun menotok jalan darah Hu Keng Hiat di bahu Toa Sah sehingga wanita itu tak dapat bergerak, barulah dia mundur dan lalu menghapus ludah yang di pipinya. Sejak berkecimpung dalam rimba persilatan belum pernah Hek Sin Kun mengalami penghinaan seperti itu, maka tidak mengherankan kalau kegusaran menjadi memuncak dan niat jahatnya pun timbul seketika.

"Benarkah kalian sudah bosan hidup?" katanya dengan dingin.

Sembari berkata, dia membuka totokan Toa Sah. Sebelum Toa Sah menyahut, dia sudah mengayunkan tangannya menghantam Toa Sah. Wanita itu terpental beberapa depa kemudian roboh terguling di lantai ke arah Ji Sah. Toa Sah dan Ji Sah saling memeluk sambil menangis, sedangkan Hek Sin Kun terus tertawa dingin. Selangkah demi selangkah Hek Sin Kun menghampiri mereka berdua.

Ji Sah memandang Toa Sah dan mendadak berkata. "Kakak, ketika majikan tua mau pergi, beliau pesan apa kepada kita? Kalau ada orang jahat ke mari mencelakai kita, kita harus bagaimana?"

Wajah Toa Sah tampak girang. "Majikan tua berpesan, kita harus mengeluarkan ‘Bola Emas’, pasti bisa menang!" sahutnya.

Apa yang dibicarakan mereka berdua, Hek Sin Kun mendengarnya namun tidak tahu apa maksudnya. Usai berkata begitu, kedua wanita itu merogoh ke dalam baju masing-masing mengeluarkan sebuah bola sebesar kepalan berwarna keemas-emasan dan bergemerlapan. Padahal Hek Sin Kun sedang mendekati mereka. Pengetahuan Hek Sin Kun juga luas, namun dia tidak tahu benda apa yang dikeluarkan oleh kedua wanita itu.

Maka dia segera menghentikan langkahnya dan membentak. "Kalian berdua masih tidak mau tunduk?!"

Toa Sah dan Ji Sah tidak menyahut, melainkan memaksa diri untuk bangkit berdiri, lalu mengayunkan tangan melemparkan kedua buah bola itu ke depan kaki Hek Sin Kun.

“Cring! Cring!” kedua buah bola jatuh tepat pada sasarannya.

Hek Sin Kun bertambah heran, namun tahu bahwa kedua buah bola itu digunakan untuk menghadapinya. Maka dia tidak memandang sebelah mata pun pada Toa Sah dan Ji Sah. Akan tetapi Hek Sin Kun tahu jelas akan kepandaian ayahnya, sedangkan kepandaiannya masih jauh di bawah ayahnya. Oleh karena itu dia segera mundur, namun di saat bersamaan terdengar suara menjeplak dua kali.

"Plak! Plak!" ternyata kedua buah bola itu telah pecah, dan seketika terdengar pula suara berdesir tak henti-hentinya.

Tampak jarum-jarum halus meluncur ke luar bagaikan kilat. Toa Sah dan Ji Sah tertawa gembira. Toa Sah yang belum terluka itu langsung menarik Ji Sah untuk diajak kabur ke luar. Walau Hek Sin Kun berkepandaian tinggi namun di saat itu dia gugup sekali. Untung sebelumnya dia sudah siap, maka cepat-cepat mengibaskan kedua belah tangannya dan berhasil juga menangkis semua jarum halus itu. Tapi sekujur badannya telah mengucurkan keringat dingin.

Setelah dia berhasil merontokkan semua jarum halus itu, Toa Sah dan Ji Sah sudah tidak kelihatan. Sebetulnya Hek Sin Kun ingin mengejar mereka, namun mendadak teringat akan Lu Leng yang duduk bersila di lantai. Dia memandang Lu Leng sejenak, kemudian tertawa dingin sambil mendekatinya. Ketika sampai di hadapan Lu Leng dan siap mengayunkan tangannya, mendadak Lu Leng mendongakkan kepala dan membuka matanya. Wajahnya tampak berseri, dan otomatis mereka beradu pandang.

Sorot mata Lu Leng membuat Hek Sin Kun tertegun. Ternyata sorot mata Lu Leng amat tajam bagaikan sepasang sembilu menembus ke dalam hatinya. Begitu tertegun, Hek Sin Kun tahu bahwa dirinya telah tertambat. Kini keadaan genting Lu Leng telah lewat. Hawa murninya berhasil menembus bagian Tok dalam tubuhnya, maka lweekang-nya bertambah tinggi.

Akan tetapi Hek Sin Kun masih penasaran. Dia langsung mengerahkan lweekang-nya sekaligus melancarkan pukulan dengan sepenuh tenaganya ke arah Lu Leng. Tenaga pukulan itu mengurung badan Lu Leng. Ketika Hek Sin Kun baru bergirang dalam hati karena pukulan yang dilancarkannya akan berhasil membinasakan Lu Leng, mendadak dia melihat Lu Leng dengan tenang menggerakkan sebuah jari telunjuknya. Gerakannya tampak begitu tenang dan lamban, namun ketika jari telunjuknya bergerak, langsung terdengar suara.

"Buum!" dan serangkum tenaga yang amat dahsyat menangkis pukulan Hek Sin Kun sehingga membuat tenaga pukulan Hek Sin Kun menjadi berbalik!

Hek Sin Kun terhuyung-huyung ke belakang tujuh delapan langkah. Ternyata dia terkena tenaga pukulannya sendiri yang berbalik itu. Sedangkan Lu Leng bangkit berdiri perlahan-lahan sambil menepuk-nepuk pakaiannya seraya berkata.

"Hek Sin Kun, selamat bertemu! Di antara kita memang terdapat hutang-piutang dan harus diperhitungkan sekarang!"

Ketika melihat wajah Lu Leng yang bercahaya-cahaya itu, Hek Sin Kun segera tahu bahwa kini dirinya bukan lawannya lagi, maka dia berniat mengambil langkah seribu. Ketika melihat Lu Leng mendekatinya, dia langsung membentak.

"Bocah busuk, kau tidak takut mati?!"

Lu Leng mengira Hek Sin Kun akan melancarkan serangan, tidak tahunya malah membalikkan badannya dan langsung melesat pergi. Lu Leng tertawa geli dan segera melesat mengejarnya. Bahkan dia juga melancarkan serangan menggunakan jurus Siang Hong Cak Yun (Sepasang puncak Menembus Awan) ke punggung Hek Sin Kun. Saat ini jarak mereka kira-kira dua tiga depa. Namun setelah makan Ling Che tujuh warna, dalam waktu semalaman lweekang-nya sudah bertambah tinggi. Maka ilmu Kim Kong Sin Ci sudah berbeda jauh dengan tempo hari.

"Bum! Bum!" dan ketika itu pula badan Hek Sin Kun terpental ke depan.

Harus diakui, Hek Sin Kun memang berkepandaian tinggi. Ketika terpental dia justru menggunakan tenaga pantulan itu untuk melesat ke depan lebih cepat. Lu Leng tertawa dan melesat lebih cepat mengejar Hek Sin Kun. Keluar dari istana, terlihat Hek Sin Kun berlari secepatnya bagaikan dikejar setan menuruni undakan batu. Justru di saat itulah tampak tiga orang di bawah undakan batu itu sedang berlari ke atas. Lu Leng memandang ke bawah, salah seorang dari mereka ternyata Tam Goat Hua.

Begitu melihat gadis itu, Lu Leng segera berhenti. Begitu pula Tam Goat Hua, ketika melihat Lu Leng berada di atas, dia pun tertegun. Semua itu tidak terlepas dari mata Hek Sin Kun. Dia langsung melesat ke arah Tam Goat Hua. Menyaksikan itu Lu Leng segera menyadari adanya gelagat ketidak-beresan, maka dia segera berseru.

"Kakak Goat, hati-hatilah!”

Akan tetapi sudah terlambat. Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan dan ketika itu pula badan Tam Goat Hua bergerak mengeluarkan jurus yang amat aneh. Namun Hek Sin Kun sudah turun tangan lebih dulu. Maka walau Tam Goat Hua berhasil memukul Hek Sin Kun, namun Hek Sin Kun berhasil pula mencengkeram pinggang gadis itu. Tam Goat Hua membungkukkan badannya, di saat itulah cengkeraman itu berubah menjadi pukulan.

“Plaak!” pinggang Tam Goat Hua terpukul sehingga membuat gadis itu sempoyongan.

Hek Sin Kun tertawa sambil mencelat ke depan dan menjulurkan tangannya ke arah kepala gadis itu. Sedangkan Lu Leng sudah melesat ke sana, tapi tangan Hek Sin Kun sudah berada di ubun-ubun Tam Goat Hua, padahal Lu Leng sudah mau melancarkan Kim Kong Sin Ci. Namun ketika menyaksikan itu dia malah tertegun, bahkan batal melancarkan serangan.

Walau Tam Goat Hua telah dikuasai Hek Sin Kun, namun gadis itu seakan tidak merasa. Dia mendongakkan kepala untuk memandang Lu Leng. Timbullah berbagai perasaan di dalam hatinya, kemudian dia menghela nafas panjang sambil menundukkan kepala. Pandangannya itu membuat hati Lu Leng terasa pedih sekali. Dia memanggil Tam Goat Hua dengan suara rendah.

"Kakak Goat...."

Saat ini Lu Leng justru telah lupa akan keberadaan musuh besarnya. Sejak terpengaruh oleh Pat Liong Thian Im di bawah Cing Yun Ling, hingga kini mereka berdua baru berjumpa, maka timbullah berbagai macam perasaan dalam hati masing-masing. Hek Sin Kun memang licik. Ketika melihat Lu Leng seperti kehilangan sukma, secara diam-diam dia mengayunkan tangannya ke dada Lu Leng. Setelah melancarkan serangan gelap itu, barulah dia membentak. Begitu mendengar suara bentakan itu, Lu Leng baru sadar akan adanya gelagat yang kurang menguntungkan. Dia segera berkelit namun terlambat.

“Plaak!” pukulan itu telak mengenai jalan darah Hwa Kay Hiat bagian dada Lu Leng.

Hwa Kay Hiat merupakan jalan darah penting di tubuh orang, maka begitu terpukul dada Lu Leng terasa sakit sekali. Akan tetapi Lu Leng justru tidak mengeluarkan suara, sebaliknya malah Hek Sin Kun yang menjerit sambil termundur-mundur sehingga melepaskan Tam Goat Hua. Sedangkan wajah Hek Sin Kun tampak kehijau-hijauan dan tangan kirinya memegang tangan kanannya.

Pukulan yang dilancarkannya memang tepat mengenai dada Lu Leng, tentunya membuat Lu Leng terluka parah. Tapi setelah makan Ling Che tujuh warna, lweekang Lu Leng bertambah tinggi, lagi-pula bagian Jin Tok-nya sudah tertembus oleh hawa murni sehingga hawa murni di dalam tubuhnya pun bertambah kuat. Maka walau dia tidak sempat menangkis pukulan itu, tenaga murni di dalam tubuhnya mampu mengadakan perlawanan, sehingga menyebabkan tulang lengan kanan Hek Sin Kun patah seketika.

Toa Sah yang berdiri di situ kelihatan gembira sekali. Wanita itu memang amat membenci Hek Sin Kun, maka langsung menyerangnya pula. Walau lengan kanan Hek Sin Kun telah patah, namun tetap tidak memandang sebelah mata pun terhadap Toa Sah. Ketika melihat wanita itu menyerang, dia segera membungkukkan badannya sedikit, kemudian mendadak mengibaskan tangan kirinya ke arah Toa Sah.

“Plaak!” Toa Sah terpental lalu jatuh terduduk dan tak bisa bangun lagi.

Saat ini Lu Leng telah terluka dalam. Badannya sempoyongan tapi hanya sebentar, kemudian bisa berdiri tegak kembali. Sedangkan Tam Goat Hua masih berdiri tertegun di tempat.

"Kakak Goat! Kakak Goat!" panggil Lu Leng sambil maju selangkah.

Begitu mendengar suara panggilan Lu Leng, mendadak Tam Goat Hua membalikkan badannya lalu melesat pergi. Hati Lu Leng bagaikan tertusuk ribuan duri. Dia berdiri termangu-mangu di tempat, kemudian berseru.

"Kakak Goat! Kakak Goat!" dia pun berlari ke bawah mengejar Tam Goat Hua.

Setelah memukul jatuh Toa Sah, Hek Sin Kun melarikan diri ke bawah. Dia berlari di depan, Tam Goat Hua di tengah, sedangkan Lu Leng berada di belakang. Mereka bertiga terus berlari laksana kilat, maka tak lama sudah berada di bawah undakan batu. Mengenai kejadian Tam Goat Hua dengan Lu Leng, Hek Sin Kun masih tidak begitu jelas. Dia pun tidak tahu bahwa saat ini gadis itu berlari begitu cepat, tidak lain hanya menghindari Lu Leng. Tapi Hek Sin Kun menyangka sedang mengejarnya.

Oleh karena itu mendadak dia membelok ke samping. Ternyata di situ terdapat semacam lantai yang miring. Dia langsung menjatuhkan diri, lalu merosot ke bawah. Kini dia hanya ingin melarikan diri, sama sekali tidak memperhatikan Tam Goat Hua dan Lu Leng yang sebenarnya tidak mengejarnya. Sampai di bawah dia lalu segera menghilang.

Sementara Tam Goat Hua terus berlari. Ketika sampai di ujung dia tertegun, karena di saat dia mau merosot ke bawah, Lu Leng justru telah muncul. Demi mengejar Tam Goat Hua, Lu Leng sama sekali tidak menghiraukan luka dalamnya. Setelah mendekati gadis itu, dia justru terkulai karena kehabisan tenaga. Kebetulan saat itu Tam Goat Hua baru mau merosot ke bawah. Lu Leng cepat-cepat menjulurkan tangannya untuk memegang kaki Tam Goat Hua erat-erat, kemudian memanggilnya dengan air mata bercucuran.

"Kakak Goat! Kakak Goat...."

Tam Goat Hua tertegun dan secara reflek mengayunkan kakinya. Saat ini hati Tam Goat Hua amat kacau. Maka ketika mengayunkan kakinya dia menggunakan tenaga yang amat besar, sehingga membuat tangan Lu Leng yang memeganginya nyaris terlepas. Lu Leng cepat-cepat mengerahkan tenaga untuk mempererat pelukannya, namun karena itu maka dari mulut Lu Leng keluar darah segar.

Walau Lu Leng telah makan Ling Che tujuh warna sehingga lweekang-nya bertambah tinggi, namun kini dia telah terluka dalam yang amat parah. Bahkan tadi mengerahkan tenaga sehingga menyebabkan luka dalamnya bertambah parah. Lu Leng tidak menghiraukan itu, tetap memeluk kaki Tam Goat Hua seerat-eratnya.

"Kakak Goat, kau boleh memukul atau membunuhku. Tapi..., jangan begitu melihat diriku langsung pergi."

Air mata Tam Goat Hua mengalir deras. "Kau... kau... kau... kau...."

Dia hanya dapat mencetuskan itu, tidak dapat melanjutkan. Sesungguhnya Tam Goat Hua juga tiada perkataan yang harus dicetuskannya, lalu dia harus mengatakan apa? Padahal dia akan menjadi istri Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, namun kenyataannya malah menjadi istri Lu Leng yang tak resmi. Dia dan Lu Leng memang terjalin hubungan baik, tapi itu bukan percintaan. Yang dicintai Tam Goat Hua adalah Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek.

Gadis itu membungkukkan badannya sedikit untuk menotok jalan darah Thian Ceh Hiat di bahu Lu Leng, sehingga bahu Lu Leng terasa berkesemutan. Setelah itu dia melesat pergi!

Lu Leng berseru sekeras-kerasnya. "Kakak Goat! Kakak Goat!"

Tam Goat Hua yang melesat pergi mendadak berjungkir balik, dan dalam sekejap sudah sampai di bawah! Lu Leng berusaha bangkit berdiri, namun matanya berkunang-kunang, bahkan bayangan Tam Goat Hua muncul di depan matanya. Dia menggapai ke depan beberapa kali, kelihatannya ingin menggapai gadis itu. Namun itu hanya merupakan bayangan khayalan, bagaimana mungkin tangannya dapat menggapai Tam Goat Hua? Dia maju beberapa langkah dengan badan sempoyongan. Mendadak matanya menjadi gelap akhirnya dia jatuh pingsan.

Entah berapa lama kemudian barulah Lu Leng siuman, namun sekujur badannya masih tetap tak bertenaga. Dia membuka matanya dan seketika terkejut, karena mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah kamar yang amat indah, berbaring di atas sebuah ranjang besar yang dibikin dari giok. Di empat sisi ranjang besar itu terdapat mutiara-mutiara yang memancarkan cahaya.

Lu Leng tertegun dan tidak tahu dirinya berada di mana. Mendadak hidungnya mencium bau yang amat harum. Dia segera menoleh dan seketika itu juga hatinya berdebar-debar. Ternyata dia melihat seorang gadis berbadan langsing berdiri di situ membelakangi. Seketika Lu Leng tidak memikirkan yang lain. Dia hanya menganggap setelah dirinya pingsan, Tam Goat Hua merasa tidak tega, maka membawanya ke situ. Kini Tam Goat Hua berdiri di situ, sudah jelas ingin menjadi istrinya.

Berpikir sampai di sini, Lu Leng gembira. Dia langsung menjulurkan tangannya untuk memegang bahu gadis itu. "Sungguh beruntung aku pada hari ini!" katanya.

Mendadak gadis itu membalikkan badannya, wajahnya tampak kemerah-merahan bagaikan sekuntum bunga yang baru mekar, bahkan tampak amat gembira pula.

"Lu-siauhiap, jangan begitu!" ujarnya dengan suara rendah.

Ketika melihat gadis itu membalikkan badannya, seketika juga Lu Leng tersentak. Ternyata gadis itu bukan Tam Goat Hua, melainkan Toan Bok Ang. Betapa malunya Lu Leng. Dia cepat-cepat melepaskan tangannya dari bahu gadis itu.

“Buuk!” tiba-tiba terdengar suara, ternyata Lu Leng terjatuh dari ranjang.

Dia segera memegang pinggiran ranjang, lalu bangkit berdiri seraya berkata terputus-putus. "Aku... aku...."

Wajah Toan Bok Ang bertambah merah, kemudian memandang Lu Leng. "Lu-siauhiap, aku yang tidak baik, tidak seharusnya mengejutkanmu!"

Teringat akan ucapannya tadi dan melihat sikap Toan Bok Ang, Lu Leng tahu bahwa gadis itu telah salah paham terhadapnya, Lu Leng tertegun lama sekali, kemudian berkata. "Nona Toan, kenapa kau berada di sini?"

Toan Bok Ang tampak tersipu. "Mana aku tahu?"

Di saat bersamaan mendadak terdengar suara di luar pintu, yakni suara Ji Sah. "Kakak, tadi terdengar suara gedebuk, mungkin ada yang iseng menendangnya ke bawah ranjang."

"Betul!" sahut Toa Sah.

"Kreek!" kemudian pintu itu terbuka dan Toa Sah serta Ji Sah masuk ke dalam.

Walau luka Ji Sah belum pulih, namun begitu masuk ke dalam kamar, dia kelihatan gembira sekali. "Hahaha! Ternyata nona kecil yang iseng!" katanya sambil bertepuk-tepuk tangan.

Ketika melihat ada orang masuk ke dalam, bahkan mendengar perkataan begitu, Toan Bok Ang betul-betul merasa malu dan langsung menyambar sehelai kain, lalu menutup kepalanya.

Toa Sah dan Ji Sah tampak puas, kemudian menunjuk Lu Leng seraya bertanya. "Lukamu sudah sembuh?"

Kini Lu Leng baru tahu bahwa semua itu adalah ulah kedua wanita Toa Sah dan Ji Sah. Sedangkan Toan Bok Ang telah salah paham terhadap Lu Leng, kalau terus berlanjut, entah apa akibatnya. Semua itu gara-gara ulah Toa Sah dan Ji Sah. Lu Leng ingin memarahi mereka, namun sikap mereka berdua tidak tampak berniat jahat. Akhirnya dia menghela nafas panjang dan duduk di pinggir ranjang.

"Belum begitu sembuh," akhirnya Lu Leng menyahut.

Toa Sah tertawa. "Kalau begitu kau tetap beristirahat di sini saja. Aku akan membawa makanan untukmu."

Mereka berdua tertawa lalu meninggalkan kamar itu. Ketika sampai di pintu, Ji Sah menoleh kebelakang lalu tersenyum. "Nona kecil, kau jangan menendang orang ke bawah ranjang lagi, lho!" katanya, dan usai berkata begitu, Ji Sah menutup pintu.

Barulah Toan Bok Ang melepaskan kain yang menutupi kepalanya, lalu memandang Lu Leng seraya berkata. "Lu-siauhiap, tempat apa ini? Siapa pula kedua wanita yang mentertawakan kita itu?"

Sikap Toan Bok Ang memang kelihatan malu-malu, namun sesungguhnya hatinya sedang berbunga-bunga.

"Nona Toan, bagaimana kau bisa berada di rumah ini?" Lu Leng balik bertanya.

Wajah Toan Bok Ang tampak kemerah-merahan lagi. "Kau menotok jalan darahku di dalam goa di gunung Go Bi San. Setelah kau pergi, mendadak muncul si Nabi Setan-Seng Ling dan putranya, mereka berdua memasuki goa itu."

"Hah?! Kalau begitu kau..." ujar Lu Leng.

Berkata sampai di situ, mendadak teringat akan kesalah pahaman tadi. Kini bagaimana boleh memperlihatkan sikap menaruh perhatian terhadap gadis itu? Lagi-pula saat ini dia baik-baik saja berada di depan mata, tentunya tidak dicelakai mereka berdua, maka Lu Leng tidak melanjutkan ucapannya.

Akan tetapi, walau Lu Leng hanya berkata begitu, wajah Toan Bok Ang sudah memperlihatkan rasa kebahagiaan dalam hatinya. "Aku nyaris mati di tangan mereka. Kebetulan aku menelan mutiara Kura-Kura Mayat, maka sekujur badanku menjadi dingin tak bisa bergerak. Di saat itulah Sou Mia Su Seng Bou menculikku. Dia... terus mendesakku agar menikah dengannya, sedangkan aku tak punya tenaga untuk melawan. Tapi aku menyuruhnya mengobati dulu diriku, setelah itu baru membicarakan urusan tersebut."

Lu Leng sama sekali tidak menyangka. Padahal waktu itu dia bermaksud baik menotok jalan darah Toan Bok Ang, kemudian menaruhnya di dalam goa, tapi justru nyaris mencelakainya. Sementara Toan Bok Ang terus memandang Lu Leng dengan penuh cinta kasih.

"Seng Bou bilang, dia tahu bahwa di gunung Tang Ku Sat terdapat sebuah sumber air hangat. Kalau badan mengidap racun dingin, berendam di sana pasti sembuh. Maka dia membawaku ke mari. Aku berendam di dalam air hangat selama tujuh hari, maka hawa dingin di dalam tubuh lenyap, bahkan lweekang-ku bertambah tinggi. Ketika aku akan bertindak terhadapnya, dia justru bilang telah meracuniku. Kalau aku tidak menuruti perkataannya aku pasti mati keracunan." Toan Bok Ang berkisah.

"Dia sungguh jahat!" kata Lu Leng dengan penuh kegusaran.

"Aku pun mencacinya demikian, dan akhirnya bergebrak dengannya. Dia tidak bisa melawanku, maka aku mendesaknya agar mengeluarkan obat penawar. Namun kami justru memasuki formasi itu sehingga dia mati di dalam formasi tersebut, sedangkan aku pingsan. Ketika siuman aku terkejut karena mendapatkan dirimu tidur di sisiku."

Berkata sampai di situ, Toan Bok Ang menundukkan kepala, namun mencuri melirik Lu Leng. Setelah mendengar penuturan itu, Lu Leng segera paham bahwa gadis yang dimaksudkan Toa Sah dan Ji Sah adalah Toan Bok Ang. Tentunya di saat Lu Leng jatuh pingsan, kedua wanita itu pergi menolong Toan Bok Ang dan mengeluarkan gadis itu dari formasi. Kedua wanita itu memang tolol. Walau mereka sudah berusia empat puluhan, namun masih tidak tahu bedanya wanita dengan lelaki, maka menaruh Lu Leng dan Toan Bok Ang di dalam satu ranjang.

Berpikir sampai di sini, Lu Leng menghela nafas panjang. "Nona Toan, pada waktu itu aku pingsan tak sadarkan diri. Kau... kau kok duduk di sini, belum mau bangun?"

Ternyata saat ini Toan Bok Ang duduk di pinggir ranjang, maka Lu Leng bertanya demikian kepadanya.

Wajah Toan Bok Ang memerah, kemudian menyahut dengan wajah cemberut. "Bagaimana sih kau? Hingga kini sekujur badanku masih tak bertenaga, maka aku... terpaksa duduk di pinggir ranjang. Mungkin racun yang ada di dalam tubuhku mulai menjalar."

Lu Leng berpikir, apa yang dikatakan Toan Bok Ang memang masuk akal, maka dia tidak dapat menyalahkannya. Di saat Lu Leng sedang berpikir, Toan Bok Ang justru bertanya dengan wajah kemerah-merahan.

"Lu-siauhiap, tadi... tadi apa yang kau katakan itu, apakah... apakah berdasarkan suara hatimu?"

Lu Leng tertegun, lama sekali baru menyahut. "Nona Toan, tadi yang kukatakan... justru...." Lu Leng berpikir sejenak, harus bagaimana mengatakannya agar tidak menyinggung perasaan gadis itu.

Akan tetapi di saat bersamaan mendadak terdengar suara jeritan yang menyayat hati di luar pintu. Lu Leng mengenali bahwa itu suara jeritan Toa-Sah. Suara jeritan menyayat hati itu hanya setengah lalu putus. Hati Lu Leng tersentak. Dia sudah tahu bahwa di luar pasti kedatangan musuh tangguh, dan Toa Sah sudah celaka. Betapa gugupnya Lu Leng, penjelasan yang akan dicetuskannya menjadi batal. Ketika dia mau berjalan ke pintu untuk melihat apa yang terjadi, sekonyong-konyong terdengar suara seperti barang pecah.

"Blam! Blam!"

Di saat bersamaan terdengar pula suara Ji Sah terputus-putus, "Kau... kau... siapa?" Menyusul terdengar suara jeritannya dan diikuti suara jatuh gedebuk di lantai, kemudian tidak terdengar suara apa pun lagi.

Semula Lu Leng mengira bahwa Hek Sin Kun kembali lagi, tapi setelah mendengar Ji Sah bertanya ‘Kau siapa’, pertanda pendatang itu bukan Hek Sin Kun. Lagi-pula dapat dibayangkan bahwa pendatang itu berkepandaian amat tinggi. Walau kepandaian Toa Sah dan Ji Sah tidak begitu tinggi, namun tenaga mereka berdua amat kuat. Pendatang itu dapat membunuh kedua wanita itu dalam waktu sekejap, itu membuktikan kepandaiannya amat tinggi.

Lu Leng membatalkan niatnya sebab saat ini lukanya belum pulih, tentunya sulit baginya mengadakan perlawanan. Kalau dia membuka pintu, bukankah sama juga mencari mati? Di dalam istana itu banyak kamar. Lu Leng dan Toan Bok Ang berada di dalam salah satu di antara kamar-kamar itu. Belum tentu pendatang itu dapat dengan cepat menemukan mereka, maka dia harus segera mengerahkan hawa murni untuk mengobati lukanya. Tak sampai satu hari lukanya pasti akan sembuh, setelah itu barulah pergi melihat siapa pendatang itu.

Setelah mengambil keputusan tersebut, Lu Leng segera berbisik kepada Toan Bok Ang. "Nona Toan, entah orang lihay dari mana yang berada di luar. Kau dan aku sama-sama terluka, maka tidak boleh bersuara menarik perhatiannya."

Toan Bok Ang tahu bahwa keadaan itu amat genting, maka cepat-cepat mengangguk sambil menahan nafas. Lu Leng merogoh ke dalam bajunya, dikeluarkannya Soat Hun Cu lalu diserahkan kepada Toan Bok Ang. Wajah Toan Bok Ang tampak berseri.

"Lu-siauhiap, ini... Soat Hun Cu?" tanyanya dengan suara rendah.

Lu Leng mengangguk. "Betul. Sekujur badanmu tak bertenaga, sudah pasti terkena racun Seng Bou. Soat Hun Cu dapat memunahkan berbagai macam racun. Kalau racun di dalam tubuhmu dapat dipunahkan memang lebih baik dari pada kita berdua tak bertenaga melawan musuh."

Toan Bok Ang menerima Soat Hun Cu dengan wajah menyiratkan rasa haru yang teramat dalam. "Lu-siauhiap, kau... kau sungguh baik terhadapku!" katanya.

Lu Leng tertegun. Namun ketika mau mengucapkan beberapa patah kata untuk menjelaskan, mendadak terdengar suara langkah berat di luar pintu. Lu Leng segera memberi isyarat agar Toan Bok Ang tidak bersuara, kemudian mereka berdua langsung menahan nafas. Ketika suara langkah itu sampai di depan pintu kamar itu, Lu Leng dan Toan Bok Ang saling memandang dengan hati kebat-kebit. Selang beberapa saat terdengar suara langkah itu mengayun pergi, maka Lu Leng dan Toan Bok Ang menarik nafas lega. Lu Leng segera duduk bersila sambil memejamkan mata, mulai menghimpun hawa murninya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar