Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 10

Tadi Hwe Hong Sian Kouw sudah berada di bawah angin, maka dia amat gusar dan penasaran. Ketika golok itu mengarah kepadanya, dia pun membentak keras sambil menggeserkan kakinya ke batang besi lain, sekaligus menyerang kepala Lu Sin Kong dengan jurus Toh Hong Pang Hwe (Angin Berbalik Membantu Api).

Saat ini mereka berdua sungguh-sungguh mengeluarkan jurus yang mematikan. Apabila golok Lu Sin Kong berhasil membacok sepasang kaki Hwe Hong Sian Kouw, niscaya kepalanya pun akan terhantam Liat Hwe Soh Sim Lun. Kelihatannya jurus mereka cenderung untuk mati bersama. Hwe Hong Sian Kouw memang ingin mengadu nyawa, namun Lu Sin Kong justru tidak mau. Sebab dia datang di puncak Sian Jin Hong itu untuk mencari musuhnya, bukan hanya Hwe Hong Sian Kouw seorang. Selain Hwe Hong Sian Kouw masih ada Liok Ci Siansing, si Setan-Seng Ling dan lainnya.

Kalau dia mengadu nyawa dengan Hwe Hong Sian Kouw, saudara seperguruannya pasti tidak akan melepaskan mereka, tapi lebih baik turun tangan sendiri membunuh musuh-musuh itu. Oleh karena itu, ketika merasa serangkum tenaga yang ditimbulkan Liat Hwe Soh Sim Lun menekan dirinya, dia menghimpun hawa murni lalu mencelat ke batang besi lain.

Lu Sin Kong memang tidak bernama kosong, sebab dia pun memiliki ginkang yang begitu tinggi, lagipuIa dia sudah berada di sisi Hwe Hong Sian Kouw. Ketika melihat Lu Sin Kong sudah tidak berada di hadapannya, Hwe Hong Sian Kouw menyadari adanya gelagat yang tidak menguntungkan, maka tanpa peduli apa pun dia langsung mengayunkan senjatanya.

Hwe Hong Sian Kouw sudah lama terkenal, maka walau ayunan senjatanya tak berarah, tapi justru telah menyelamatkan nyawanya sendiri. Ternyata ketika Lu Sin Kong berada di sisinya, dia sudah menyerangnya dengan golok. Di saat bersamaan, Hwe Hong Sian Kouw mengayunkan Liat Hwe Soh Sim Lun, itu telah melindungi dirinya sekaligus menangkis serangan Lu Sin Kong. Senjata mereka beradu, kemudian badan mereka mencelat ke belakang dan berdiri di ujung batang besi lain.

Mereka bertarung baru empat jurus, namun keempat jurus itu merupakan jurus andalan masing-masing, maka siapa yang lengah pasti melayang nyawanya. Itu membuat semua orang menahan nafas, terbelalak dan mulut mereka ternganga lebar. Tak lama kemudian, Hwe Hong Sian Kouw dan Lu Sin Kong mulai bertarung sengit lagi.

Badan mereka bergerak cepat sekali. Walau berdiri di ujung batang besi tajam, namun kelihatannya mereka berdua seakan berada di tanah datar. Gelang di ujung Liat Hwe Soh Sim Lun, terus berputar menimbulkan suara berdengung dan memancarkan cahaya, sedangkan golok Lu Sin Kong mengeluarkan suara menderu-deru. Kadang-kadang terdengar suara benturan yang amat dahsyat. Pertarungan itu memang amat menegangkan, membuat hati semua penonton menjadi tertekan.

Tak terasa pertarungan mereka telah melewati dua puluh jurus, namun masih belum terlihat siapa yang berada di atas angin. Kadang-kadang Lu Sin Kong dalam bahaya, begitu pula sebaliknya. Tapi dalam keadaan bahaya, mereka masih dapat menyelamatkan diri.

Berselang beberapa saat kemudian, mendadak terdengar Han Giok Shia berteriak. "Ayah! Kenapa tidak membantu diri sendiri menuntut balas?"

Ketika gadis itu usai berteriak, salah seorang yang bertarung itu mendadak mencelat ke atas. Ternyata di saat bertarung, Hwe Hong Sian Kouw dan Lu Sin Kong harus mencurahkan perhatian masing-masing. Di saat Han Giok Shia berteriak, perhatian Hwe Hong Sian Kouw terpecah. Coba pikir, pada dasarnya Hwe Hong Sian Kouw dan si Pecut Emas-Han Sun adalah kekasih. Kemudian dikarenakan terjadi suatu kesalah-pahaman, maka mereka berdua berpisah.

Ketika sama-sama sudah tua, mereka berdua justru berjumpa kembali, tapi baik Hwe Hong Sian Kouw mau pun si Pecut Emas-Han Sun tidak mengungkit kejadian masa lalu. Hubungan mereka tetap akrab luar biasa, namun kematian si Pecut Emas-Han Sun yang mengenaskan itu membuat hati Hwe Hong Sian Kouw terasa sakit sekali. Karena si Pecut Emas-Han Sun justru mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw, kejadian itu amat misterius dan sulit diungkapkan.

Maka teriakan Han Giok Shia tadi, bagaikan sebilah sembilu menusuk ke dalam hati Hwe Hong Sian Kouw sehingga perhatiannya buyar dan gerakannya menjadi lamban. Padahal tadi, Hwe Hong Sian Kouw sudah mengeluarkan jurus Hwe Ouh Siang Hui menyerang Lu Sin Kong, itu adalah jurus yang amat lihay dan dahsyat. Menyaksikan serangan itu, Lu Sin Kong segera mundur. Dalam hati Lu Sin Kong berpikir, setelah berkelit barulah balas menyerang.

Akan tetapi, ketika Lu Sin Kong mundur Han Giok Shia berteriak, dan itu membuat gerakan Hwe Hong Sian Kouw menjadi lamban. Begitu melihat gerakannya lamban, Lu Sin Kong langsung mencelat ke atas sekaligus mengeluarkan jurus It Cu Pik Thian (Memecahkan Langit). Golok di tangannya berputar putar cepat sekali, kemudian ujungnya mengarah tenggorokan dan dada Hwe Hong Sian Kouw. Satu jurus itu mengarah dua tempat berbahaya pihak lawan, dapat dibayangkan betapa lihay dan anehnya ilmu golok itu.

Begitu melihat sinar golok berkelebat di hadapannya, ujung golok itu sudah berada di depan mata. Tersentak hati Hwe Hong Sian Kouw. Dia ingin berkelit tapi sudah terlambat. Ketika Hwe Hong Sian Kouw baru mau mengayunkan Liat Hwe Soh Sim Lun senjata andalannya, mendadak dadanya terasa sakit sekali. Temyata ujung golok Lu Sin Kong telah berhasil menusuk dadanya cukup dalam. Seketika Hwe Hong Sian Kouw merasa matanya gelap, dia tahu bahwa dirinya telah terluka,

Namun dia adalah jago tangguh. Dalam keadaan bahaya dia masih tidak lupa menghimpun hawa murninya, maka badannya mencelat ke atas. Namun luka di dadanya terus mengucurkan darah segar, maka di saat badannya mencelat ke atas, dia pingsan tak sadarkan diri. Sudah barang tentu badannya kembali merosot ke bawah. Sedangkan Lu Sin Kong, begitu melihat Hwe Hong Sian Kouw sudah terluka, dia segera mengayunkan goloknya ke atas.

Di saat badan Hwe Hong Sian Kouw mulai merosot ke bawah, Lu Sin Kong menyerangnya dengan jurus Soat Hua Pian Pian (Bunga Salju Berterbangan). Apabila golok itu mengenai badan Hwe Hong Sian Kouw, pasti akan terpotong-potong menjadi belasan potong. Jarak mereka begitu jauh dari para penonton, lagi-pula kekalahan Hwe Hong Sian Kouw amat mendadak. Di antara mereka yang menyaksikan pertarungan itu memang ada yang ingin menyelamatkan Hwe Hong Sian Kouw, tapi terlambat.

Si Walet Hijau-Yok Kun Sih langsung melesat ke sana. Walau ginkangnya amat tinggi, tapi dia pun tetap terlambat selangkah.

"Haaah...?!" Semua orang mengeluarkan seruan.

Di saat yang amat genting itu, mendadak terjadi suatu perubahan yang di luar dugaan. Setelah terluka di dada, Hwe Hong Sian Kouw mencelat ke atas hampir dua tiga depa, sedangkan Lu Sin Kong tidak mencelat begitu tinggi, tapi mengayunkan goloknya ke atas. Sementara Hwe Hong Sian Kouw sudah pingsan ketika badannya merosot ke bawah. Tiba-tiba genggamannya menjadi renggang, maka Liat Hwe Soh Sim Lun, senjatanya pun terlepas dari tangannya dan langsung meluncur ke bawah. Sungguh kebetulan, senjata itu justru menimpa ujung golok Lu Sin Kong yang mengarah ke atas.

“Krek!”

Golok itu terkunci oleh Liat Hwe Soh Sim Lun. Di saat bersamaan, si Walet Hijau-Yok Kun Sih sudah sampai di situ dan langsung menyerang Lu Sin Kong dengan Cui Sia Jit (Memanah Matahari). Tampak cambuk peraknya berkelebat laksana kilat mengarah ke dada Lu Sin Kong, sedang tangan kirinya mengibas ke arah Hwe Hong Sian Kouw. Badan si Walet Hijau-Yok Kun Sih masih berada di udara, tapi dapat bergerak begitu cepat, sekaligus membuat dua gerakan yang sedemikian indah, membuat semua orang berseru memujinya.

Lu Sin Kong cepat-cepat menggerakkan goloknya, maka Liat Hwe Soh Sim Lun pun ikut bergerak.

“Plaak!”

Cambuk perak si Walet Hijau-Yok Kun Sih melilit Liat Hwe Soh Sim Lun. Di saat bersamaan, badan Hwe Hong Sian Kouw pun terdorong beberapa depa. Dari pihak Hui Yan Bun langsung muncul beberapa orang, termasuk Toan Bok Ang. Mereka menyambut badan Hwe Hong Sian Kouw, lalu dibawa ke tempat Hui Yan Bun.

Setelah cambuk perak itu melilit Liat Hwe Soh Sim Lun, si Walet Hijau-Yok Kun Sih dan Lu Sin Kong merosot ke bawah, kebetulan ke tanah datar yang disisi batu besar itu. Pada waktu bersamaan, mereka berdua saling melancarkan sebuah pukulan, sehingga terdengar suara benturan.

“Blaam!”

Masing-masing termundur beberapa langkah, sedangkan Liat Hwe Soh Sim Lun terpental ke atas lima enam depa. Ketika senjata itu baru merosot ke bawah, mendadak tampak dua gadis melesat ke arah senjata itu. Salah seorang gadis itu, tangannya menggenggam cambuk perak yang memancarkan cahaya putih, dia adalah Toan Bok Ang. Gadis yang satu lagi tidak lain adalah Han Giok Shia. Tangannya menggenggam pecut emas memancarkan cahaya kuning.

Setelah sama-sama melesat, barulah hati mereka tersentak. Mereka berdua pun mengayunkan senjata masing-masing, lalu meloncat ke belakang. Liat Hwe Soh Sim Lun jatuh ke bawah, menancap di atas sebuah batu, sedangkan ujung pecut emas Han Giok Shia sudah mengarah ke sana. Di saat bersamaan, ujung cambuk perak itu justru berbalik mengarah jalan darah Yang Ku Hiat di lengan gadis itu.

Terdengar pula suara bentakan. "Sudah memusuhi guru sendiri, masih punya muka mengambil Liat Hwe Soh Sim Lun itu?"

Ketika ujung cambuk perak mengarah lengannya, Han Giok Shia mendongakkan kepala dan barulah dia melihat dengan jelas siapa gadis itu. Han Giok Shia bersifat keras, lagipuIa Toan Bok Ang mencacinya tadi, itu membuatnya gusar sendiri. Dia membentak keras sambil melangkah maju setindak.

"Ser! Ser!" pecut emasnya sudah berkelebat ke arah Toan Bok Ang.

Toan Bok Ang segera berkelit, sekaligus balas menyerang dengan cambuk peraknya menggunakan jurus Lang Yung Cih Thian (Ombak Menderu Ke Langit). Mereka berdua bergerak cepat, sehingga tak terasa pertarungan mereka sudah melewati empat jurus.

Mendadak terdengar suara teriakan orang berkedok, "Yang mau bertarung silakan naik ke batu besar itu! Kalian berdua masih belum mau berhenti?"

Kedua gadis itu memang mendengar, namun mereka sedang bertarung sengit, tentunya tidak mau berhenti.

"Hm!" dengus orang berkedok,

Badannya bergerak, kemudian dalam sekejap dia sudah berada di sisi kedua gadis itu lalu menerobos bayangan-bayangan pecut emas dan cambuk perak, namun segera meloncat kembali ke belakang. Ketika orang berkedok meloncat mundur, Han Giok Shia dan Toan Bok Ang hanya diam di tempat. Semua orang terheran-heran.

Semula mereka mengira bahwa orang berkedok itu menotok jalan darah Toan Bok Ang dan Han Giok Shia. Tapi setelah melihat dengan jelas, mereka semua justru tertegun. Ternyata kedua gadis itu berdiri diam di tempat dikarenakan senjata mereka terikat jadi satu. Itu pasti perbuatan orang berkedok, Maka dapat dibayangkan betapa cepat gerakan orang itu.

Setelah meloncat mundur, orang berkedok itu berkata dengan dingin, "Kalian gadis kecil, tak mau dengar nasihat orang, sekarang lihat kalian bisa berbuat apa!"

Saat ini, Han Giok Shia dan Toan Bok Ang berdiri berhadapan. Mereka saling menatap dengan penuh kegusaran dan kebencian. Karena senjata mereka terikat menjadi satu, maka mereka berdua tidak tahu harus berbuat apa.

Orang berkedok itu tertawa gelak. "Hahaha! sebentar kalian berdua boleh naik ke atas batu besar itu untuk bertanding, kenapa harus terburu-buru sekarang?"

Usai berkata, dia pun maju beberapa langkah lalu melepaskan kedua senjata yang terikat menjadi satu itu. Seketika kedua gadis itu sudah mau maju untuk bertarung lagi, namun orang berkedok langsung membentak.

"Kalian berdua jangan macam-macam!" Orang berkedok itu merentangkan kedua belah tangannya, Toan Bok Ang dan Han Giok Shia merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat menerjang ke arah mereka, membuat mereka terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah.

Tam Ek Hui juga melesat ke sisi Han Giok Shia lalu berbisik, "Nona Han, orang berkedok itu berkepandaian amat tinggi, maka lebih baik jangan bertindak ceroboh!"

Walau gadis itu merasa penasaran dalam hati, tapi juga tahu benar apa yang dikatakan Tam Ek Hui, maka dia menurut. Toan Bok Ang lebih cerdik dari Han Giok Shia, maka tidak usah dinasihati dia sudah tahu bahwa kini sulit baginya untuk mengambil Liat Hwe Soh Sim Lun, karena itu dia segera mundur. Akan tetapi, dia dan Han Giok Shia justru sudah menjadi musuh, maka kelak pasti menimbulkan banyak urusan.

Setelah kedua gadis itu mundur, Liat Hwe Soh Sim Lun tetap menancap di atas batu. Semua orang yang berada di situ, yang berkepandaian tinggi tentu berkedudukan tinggi pula dalam rimba persitatan, sudah pasti tidak akan mengambil senjata itu. Sedangkan yang berkepandaian rendah, memang ingin sekali memperoleh senjata tersebut, sebab dapat menambah kelihayan mereka. Namun orang berkedok berada di situ, maka mereka tidak berani maju merebut Liat Hwe Soh Sim Lun itu.

Orang berkedok tertawa panjang, kemudian duduk kembali di atas batu hijau. Sementara Yok Kun Sih dan Lu Sin Kong sudah berada di atas batu besar, berdiri di ujung batang besi tajam dan saling menyerang dengan sengit sekali. Pertarungan mereka sudah melewati tiga puluh jurus. Badan Yok Kun Sih berkelebat ke sana ke mari dan cambuk peraknya pun meliuk-liuk cepat menyerang Lu Sin Kong.

Lu Sin Kong berdiri diam di atas ujung batang besi, namun goloknya berkelebatan menangkis cambuk perak itu. Dia lebih banyak bertahan dari pada menyerang, namun tidak tampak berada di bawah angin. Tak terasa pertarungan mereka sudah melewati belasan jurus lagi.

Mendadak terdengar Ang Eng Leng Long berseru. "Lu Sutee, orang ingin bertarung dengan cara bergilir! Kau tidak usah melayani mereka, biar aku yang menghadapi!"

Lu Sin Kong tahu jelas bahwa tidak mudah mengalahkan Yok Kun Sih, bahkan mau mundur pun sulit sekali. Lagi-pula apabila dia mundur dari batu besar itu, berarti sudah mengaku kalah pada lawan. Kalau orang berkedok itu mencatat di atas batu hijau, bahwa Go Bi Pai Thian Hou Lu Sin Kong kalah di tangan Hui Yan Bun Yok Kun Sih, bukankah namanya dan nama perguruannya akan busuk se!amanya?

Oleh karena itu, Lu Sin Kong tertawa, "Leng Suheng, aku tidak akan takut dengan cara bergilir!"

Mereka berdua sahut-menyahut, jelas menganggap Yok Kun Sih menggunakan cara bergilir untuk bertarung. Perlu diketahui, tenaga seseorang ada batasnya. Walau pun orang berkepandaian tinggi, kalau menghadapi sekian banyak orang bertarung dengan cara bergilir, sudah pasti tenaganya akan terkuras habis. Cara bertarung seperti itu, biasanya hanya digunakan oleh kaum golongan hitam. Golongan putih tidak pernah menggunakan cara itu. Begitu pula tokoh sesat yang berkedudukan tinggi, sama sekali tidak mau menggunakan cara itu untuk menghadapi musuh. Kini si Walet Hijau-Yok Kun Sih mendengar ucapan Lu Sin Kong yang menyatakan tidak takut menghadapi lawan dengan cara bergilir, maka dia gusar sekali dan merasa malu.

“Serrr!”

Cambuk perak di tangannya meliuk-liuk ke depan untuk menghalangi agar Lu Sin Kong tidak menerjang ke arahnya, kemudian dia berkata dengan dingin sekali.

"Kalau Leng Tayhiap menganggap begitu, kenapa kau tidak ke mari memberi petunjuk kepadaku?"

Ang Eng Leng Long menyahut dengan lantang, "Baik!"

Dia langsung melesat ke arah batu besar itu, lalu hinggap di atas ujung batang besi tajam dan memberi hormat seraya berkata, "Silakan!"

Mereka berdua sama-sama berkepandaian amat tinggi, maka kalau bertarung pasti menarik sekali.

Akan tetapi mendadak Toan Bok Ang berteriak-teriak. "Guru! Guru! Hong Kouw... cepatlah guru menengoknya!"

Hati Yok Kun Sih tersentak. Setelah menyelamatkan Hwe Hong Sian Kouw, dia sama sekali tidak menengok keadaannya. Kini dia mendengar muridnya berteriak begitu, sudah barang tentu hatinya langsung menjadi dingin. Dia meloncat ke belakang dua depa, kemudian berkata dengan dingin.

"Ang Eng Leng Long, sebentar lagi kita baru bertarung!"

Ang Eng Leng Long tersenyum-senyum. "Baik, aku menurut!"

Si Walet Hijau-Yok Kun Sih segera melesat ke tempatnya, tepatnya ke sisi Hwe Hong Sian Kouw. Wajah Hwe Hong Sian Kouw pucat pias dan luka di dadanya masih mengucurkan darah segar.

Yok Kun Sih membentak gusar. "Kenapa kalian tidak menotok jalan darah di dadanya agar darahnya tidak terus mengucur?"

Toan Bok Ang segera menjawab. "Guru, aku sudah berusaha menotok jalan darah di dadanya, tapi darah segar masih mengucur...."

"Hm!" dengus Yok Kun Sih, lalu membungkukkan badannya.

Di saat bersamaan, mendadak Hwe Hong Sian Kouw membuka matanya, kemudian bibirnya bergerak-gerak, lama sekali barulah terdengar suaranya. "Kalian semua... harus berhati-hati! Suara harpa... walau si Pecut Emas-Han Sun mati di tanganku, tapi sesungguhnya justru mati karena suara harpa itu!"

Walau suaranya serak, tapi semua orang dapat mendengarnya dengan jelas. Seketika hati semua orang menjadi tertegun karena apa yang dikatakan ‘Suara Harpa’, membuat semua orang tidak mengerti akan maksudnya. Tapi ada seseorang yang mengerti, dia adalah Tam Ek Hui.

Karena itu, dia pun teringat akan kejadian hari itu. Dia dan adiknya meninggalkan beberapa baris tulisan di atas batu di Hou Yok, setelah itu barulah mereka berdua meninggalkan tempat itu. Tak seberapa lama kemudian mendadak terdengar suara harpa yang amat nyaring. Sebetulnya tidak aneh, lagi-pula mereka berdua terus berlari ke depan. Di saat suara harpa itu berhenti, mereka berdua justru baru tahu, ternyata diri mereka tetap berada di tempat semula. Kalau dihitung waktu, seharusnya mereka berdua sudah mencapai dua tiga puluh mil.

Ketika itu Tam Ek Hui dan adiknya terbengong-bengong, sama sekali tidak tahu sebab- musababnya, maka mereka tidak begitu memikirkan tentang kejadian itu. Kini terdengar Hwe Hong Sian Kouw mengatakan ‘Suara Harpa’, hatinya pun tersentak.

Si Walet Hijau-Yok Kun Sih mengerutkan kening, lalu bertanya. "Hong Kouw, kau bilang apa?"

Hwe Hong Sian Kouw membuka matanya lagi. "Suara harpa itu... kalian semua harus memperhatikan suara harpa itu!"

Setelah mengatakan itu, mendadak Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang dan melanjutkan, "Liat Hwe Soh Sim Lun... berikan kepada Ah Ang, di dalam gelang itu...."

Berkata sampai di situ, sudah tiada terdengar suara Hwe Hong Sian Kouw lagi. Yok Kun Sih menaruh tangannya di dada Hwe Hong Sian Kouw, ternyata jantungnya sudah berhenti berdetak. Toan Bok Ang segera bertanya.

"Guru bagaimana keadaan Hong Kouw?"

Yok Kun Sih menggeleng-gelengkan kepala dan matanya sudah bersimbah air. "Dia... dia sudah mati."

Toan Bok Ang termangu-mangu, sama sekali tidak dapat mengucapkan apa pun, dan wajahnya tampak murung.

Yok Kun Sih memandang Toan Bok Ang seraya berkata, "Ah Ang, sebelum menghembus nafas penghabisan Hong Kouw berpesan Liat Hwe Soh Sim Lun harus diberikan kepadamu. Cepat kau pergi ambillah senjata itu!"

Toan Bok Ang memang sudah mendengar pesan itu, bahkan dia tahu bahwa di dalam senjata itu tersimpan sesuatu. Maka dia segera melesat ke arah senjata itu. Di saat bersamaan Han Giok Shia juga ingin melesat ke sana, tapi keburu dicegah Tam Ek Hui.

"Nona Han, senjata itu tidak begitu istimewa dan luar biasa, tidak usah diperebutkan!"

Di saat Tam Ek Hui berkata, Toan Bok Ang sudah mengambil senjata itu dan kemudian kembali ke tempatnya. Dalam hati Han Giok Shia tentunya merasa tidak rela. Tapi senjata itu sudah berada di tangan orang, maka dia terpaksa diam.

Semua orang melihat Hwe Hong Sian Kouw yang amat terkenal itu, justru telah mati. Itu membuat mereka semua berfirasat buruk, dan suasana pun menjadi hening sekali. Setelah hening sejenak, mendadak Lu Sin Kong mendongakkan kepala sambil tertawa keras, tapi sepasang matanya tampak basah.

"Hujin (lstriku), kau boleh sedikit tenang di alam baka."

Usai berkata begitu, dia membalikkan badannya untuk memandang si Setan-Seng Ling seraya membentak. "Setan tua! Kenapa kau masih berpura-pura?!"

Tiba-tiba Yok Kun Sih menyela. "Tunggu! Urusan kita masih belum selesai!"

Ang Eng Leng Long tertawa dingin. "Yok Kun Sih, kami ke mari bukan untuk ribut mulut denganmu! Setelah urusan pokok diselesaikan, kami pasti akan membuat perhitungan denganmu, maka kau tidak usah terburu-buru!"

Yok Kun Sih juga tertawa dingin tapi lalu diam, tidak menyahut, sedangkan ketua Tiam Cong Pai sudah berkata kepada Lu Sin Kong.

"Lu Cong Piau Tau, urusan setan iblis harus diserahkan kepada Tiam Cong Pai lho!"

Sembari berkata, dia menghunus pedangnya, lalu melesat ke arah batu besar tempat besi-besi berujung tajam tertancap. Lu Sin Kong dan Ang Eng Leng Long tahu jelas mengenai ilmu pedang Chu Liok Khie, dahsyat dan amat lihay. Akan tetapi si Setan-Seng Ling adalah datuk sesat golongan hitam. Ilmu yang dipelajarinya amat aneh dan membahayakan pihak lawan, membuat pihak lawan sulit menjaganya.

Namun Chu Liok Khie yakni ketua Tiam Cong Pai juga bukan orang sembarangan. Dia memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat, lihay dan cepat. Kalau pun tidak dapat mengalahkan si Setan-Seng Ling, tapi dia tidak mungkin kalah. Lagi-pula Sebun It Nio berasal dari Tiam Cong Pai, maka memang wajar bila pihak Tiam Cong Pai ingin membalas dendamnya. Oleh karena itu, begitu Chu Liok Khie berdiri di ujung batang besi tajam itu, Lu Sin Kong dan Ang Eng Leng Long segera mundur dari tempat itu.

Chu Liok Khie menuding si Setan-Seng Ling dengan pedangnya, lalu berkata, "Seng Ling, sudah waktunya kau keluar!"

Si Nabi Setan-Seng Ling bangkit berdiri perlahan-lahan sambil tertawa gelak, "Hahaha!"

Suara tawanya tidak mengejutkan orang, sebab dia belum mengerahkan ilmu Ratapan Setan. Setelah mengeluarkan suara tawa, dia lalu memandang Lu Sin Kong seraya berkata dengan serius, "Lu Cong Piau Tau, kita pernah berjumpa di kota Su Cou. Ketika itu di antara kita terjadi salah paham, sehingga kalian terkena pukulanku. Mengenai kematian isterimu di rumah Han Sun, aku turut berduka cita."

Ucapan si Nabi Setan-Seng Ling itu membuat semua orang terheran-heran. Sesungguhnya Lu Sin Kong juga merasa heran, namun dia hanya mengeluarkan suara dengusan. Si Nabi Setan-Seng Ling sama sekali tidak tersinggung, bahkan dia tertawa lagi.

"Hahaha! Lu Cong Piau Tau, menurut aku pertikaian di antara kita lebih baik kita gagalkan!"

Chu Liok Khie dan lainnya langsung menggeram ketika mendengar ucapan si Nabi Setan-Seng Ling. Akan tetapi, si Nabi Setan-Seng Ling malah tersenyum-senyum, lalu berkata. "Lu Cong Piau Tau, aku punya suatu bisnis, ingin mengadakan transaksi denganmu. Aku yakin Lu Cong Piau Tau pasti mau!"

Apa yang diucapkan si Nabi Setan-Seng Ling, semakin membingungkan semua orang, termasuk langsung Lu Sin Kong sendiri.

Akan tetapi, Ang Eng Leng Long segera membentak "Ada apa katakan saja! Kenapa harus plintat-plintut?"

Si Nabi Setan-Seng Ling berkata perlahan-lahan, bahkan sepatah demi sepatah. "Lu Cong Piau Tau, walau isterimu telah binasa, tapi putramu justru masih hidup. Kau tahu itu?"

Hati Lu Sin Kong bergerak, kemudian dia membentak sengit. "Hidup atau matinya putraku, bagaimana kau tahu?"

Si Setan-Seng Ling tertawa. Terus terang, kini putramu berada di dalam Istana Setanku."

Wajah Lu Sin Kong langsung berubah, dan dia lalu maju selangkah sambil tertawa dingin. "Siapa yang tidak tahu kau banyak akal busuk dan licik? Aku bukan anak kecil, bagaimana mungkin akan terjebak oleh akal busukmu?"

Lu Sin Kong berkata begitu karena dia yang menemukan mayat anak tanpa kepala di gudang batunya, dan pakaian yang ada di tubuh mayat itu mirip pakaian putranya. Maka dalam hatinya, dia sudah menganggap putranya itu telah meninggal, tidak mempercayai omongan orang lain. Lu Sin Kong tentunya tidak tahu, bahwa mayat anak tanpa kepala yang berada di gudang batunya itu, merupakan suatu siasat busuk untuk menimbulkan kekacauan dalam rimba persilatan.

Si Nabi Setan-Seng Ling menyahut. "Lu Cong Piau Tau, mengenai urusan ini aku sendiri pun merasa sulit untuk meyakinkanmu. Betul atau tidaknya putramu berada di Istana Setan, lebih baik kau bertanya kepada Tujuh Dewa dan Yu Lao Pun, ketua Tay Chi Bun. Kau akan segera tahu."

Lu Sin Kong segera membalikkan badannya. Di saat itulah si sastrawan Se Chi, yakni salah satu dari Tujuh Dewa itu sudah berkata. "Apa yang dikatakan si Nabi Setan-Seng Ling memang benar."

Sementara wajah Yu Lao Pun yang penuh daging itu, sungguh tak sedap dipandang. Menyaksikan semua itu, Lu Sin Kong pun mulai percaya akan apa yang dikatakan si Nabi Setan-Seng Ling. Hatinya terkejut dan girang membaur menjadi satu. Girang karena Lu Leng, putra kesayangannya masih hidup, terkejut karena kini putranya jatuh ke tangan si Nabi Setan-Seng Ling. Entah bagaimana penderitaan putranya. Lu Sin Kong segera bertanya, "Kau apakan dia sekarang?"

Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa. "Aku menaruhnya di neraka yang ke delapan belas lapis di Istana Setan. Tempat itu amat aman baginya."

Lu Sin Kong tahu Istana Setan itu berada di dalam perut gunung Pak Bong San, berlapis-lapis ke dalam tanah berjumlah delapan belas lapis, maka dinamai Neraka Delapan Belas Lapis. Mendengar ucapan itu Lu Sin Kong menarik nafas lega. "Bagaimana kau terhadapnya?"

Si Nabi Setan tertawa, "Lu Cong Piau Tau boleh mempercayaiku, aku sama sekali tidak berniat jahat. Hanya saja... putramu harus ditukar dengan satu barang. Aku yakin kau pasti setuju."

Lu Sin Kong tahu si Nabi Setan-Seng Ling menyandera putranya, sudah pasti punya maksud tertentu. Akan tetapi dia justru tidak tahu si Nabi Setan-Seng Ling menghendaki barang apa.

Ketika Lu Sin Kong baru mau bertanya, tapi si Nabi Setan-Seng Ling sudah berkata, "Urusan ini tak leluasa dibicarakan di sini. Maka setelah urusan di sini selesai, bagaimana kalau kita bicara di tempat lain?"

Lu Sin Kong berpikir sejenak. Kini Lu Leng berada di tangan si Nabi Setan-Seng Ling, tentunya dia harus menuruti perkataannya, maka dia manggut-manggut seraya berkata, "Baiklah."

Wajah si Nabi Setan-Seng Ling tampak puas sekali, Dia memandang semua orang sejenak, lalu berkata. "Kau sudah setuju, aku pun mau mohon pamit sekarang."

Si Nabi Setan-Seng Ling beranjak pergi sambil memberi isyarat kepada Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mia Su-Seng Bou, kemudian mereka bertiga segera meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, Chu Liok Khie yang sudah berdiri di ujung batang besi tajam bagaimana mungkin membiarkan mereka pergi?

Dia segera menghimpun hawa murni, kemudian berseru. "Setan tua! Apakah kau mengaku kalah, maka mau pergi?"

Mendadak si Nabi Setan-Seng Ling mendongakkan kepala ke langit, kemudian tertawa gelak. Suara tawanya sungguh mengejutkan dan kedengaran seakan membetot sukma orang yang mendengarnya. Dari itu dapat diketahui bahwa dia telah mengerahkan ilmu ‘Ratapan Setan’.

Kemudian dia menyahut dengan suara yang tak sedap di dengar. "Aku takut terhadap ketua Tiam Cong Pai? Apakah orang-orang yang berada di sini akan mempercayainya?"

Nada suara si Setan-Seng Ling sungguh angkuh, namun semua orang tahu apa yang diucapkannya itu memang benar. Ketua Tiam Cong Pai berkepandaian amat tinggi, semua orang mengetahui hal itu. Akan tetapi, si Nabi Setan-Seng Ling memang tidak takut kepadanya.

Air muka Chu Liok Khie langsung berubah. "Kalau tidak takut, kenapa harus segera pergi?"

Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa dingin, "Aku masih punya urusan penting, tidak punya waktu untuk omong-kosong denganmu!"

Chu Liok Khie segera membentak. "Setan tua, kau mau kabur ke mana?"

Sekonyong-konyong badan Chu Liok Khie berkelebat. Dia melesat ke arah si Nabi Setan-Seng Ling, sekaligus menyerangnya dengan pedang. Begitu melihat Chu Liok Khie menerjang ke arahnya, si Nabi Setan-Seng Ling langsung cepat-cepat mengibaskan tangannya ke belakang, sehingga kedua putranya terdorong beberapa depa. Setelah itu barulah dia berkelit dengan gerakan berputar.

“Siuuung!” pedang Chu Liok Khie lewat di sisinya.

Chu Liok Khie berjuluk Sin Chiu Kiam Kek (Pendekar Pedang Tangan Sakti). Maka berdasarkan julukannya dapat diketahui betapa lihay dan dahsyatnya ilmu pedangnya. Serangan itu luput, maka dia bergerak cepat melintangkan pedangnya sambil maju selangkah. Dia tidak mengeluarkan jurus apa pun, tapi pedangnya justru mengarah pinggang si Nabi Setan-Seng Ling.

Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa aneh, membuat merinding semua orang yang mendengarnya. Chu Liok Khie memiliki lweekang tinggi tapi di saat ini dia pun tertegun, sedangkan pukulan yang dilancarkan si Nabi Setan-Seng Ling sudah mengarah dadanya. Chu Liok Khie tahu dia memiliki ilmu pukulan Im Si Ciang yang amat beracun. Sebun It Nio, kakak seperguruannya yang tersambar angin pukulan itu, akhirnya binasa di tangan Hwe Kong Sian Kouw. Maka ketika melihat pukulan itu mengarah dadanya, dia pun segera meloncat ke belakang beberapa depa.

Di saat bersamaan tampak sosok bayangan berkelebat, tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka. Sosok bayangan itu ternyata-orang berkedok. “Tak peduli siapa pun dan tak terkecuali! Mau bertarung, silakan naik ke atas batu besar itu!" katanya dengan lantang.

Chu Liok Khie bertanya dengan suara parau, "Setan tua, kau ke sana!"

Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa dingin. "Aku harus cepat-cepat kembali ke Istana Setan mengurusi putra Lu Cong Piau Tau, tidak ada waktu untuk bertanding denganmu!"

Chu Liok Khie tertawa gelak. "Hahaha! Kalau begitu harap sobat berkedok mencatat di batu, bahwa si Nabi Setan-Seng Ling tidak berani menerima tantangan ketua Tiam Cong Pai."

Setelah mendengar ucapan itu, air muka si Nabi Setan-Seng Ling langsung berubah dan matanya menyorot tajam menatap Chu Liok Khie seraya berkata. "Kalau begitu, kau memang ingin menjajalku?"

Chu Liok Khie manggut-manggut sambil tersenyum. "Tidak salah!"

Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa, lalu melesat ke arah sebuah pohon yang cukup besar dan melancarkan pukulan pada pohon itu.

“Plaak!”

Pukulannya tidak membuat pohon itu bergoyang sedikit pun, bahkan daun-daunnya pun tidak bergoyang sama sekali. Sesaat, banyak orang yang tidak tahu maksud si Nabi Setan-Seng Ling memukul pohon itu, maka mereka tampak terheran-heran. Sedangkan si Nabi Setan-Seng Ling, setelah melancarkan pukulan itu lalu kembali ke tempat semula.

"Kalau anda bisa melancarkan pukulan seperti yang kulakukan barusan, aku pasti mengaku kalah kepadamu!"

Chu Liok Khie tahu, pukulan yang dilancarkan si Nabi Setan-Seng Ling tadi pasti merupakan suatu ilmu pukulan. Akan tetapi dia justru tidak tahu ada apa dengan pukulan itu, maka dia tidak berani segera setuju. Di saat bersamaan, mendadak semua orang berseru kaget. Chu Liok Khie segera mendongakkan kepala, ternyata semua orang sedang memandang ke arah pohon itu. Chu Liok Khie juga segera memandang pohon tersebut. Tampak daun-daun pohon itu berubah menjadi hitam dan mulai rontok. Dalam waktu sekejap pohon itu telah gundul tak berdaun sama sekali, bahkan dahan dan rantingnya pun sudah kering. Sin Chiu Kiam Kek Chu Liok Khie tersentak hatinya.

Bagi orang yang memiliki lweekang tinggi, memukul rontok daun-daun pohon memang tidak sulit. Tapi dalam waktu sekejap daun-daun itu berubah hitam dan rontok, bahkan ranting dan dahan menjadi kering, itu agak sulit. Sebab si Nabi Setan-Seng Ling telah menggunakan semacam pukulan beracun, barulah dapat membuat pohon itu jadi begitu.

Di saat Chu Liok Khie tersentak dan tertegun, si Nabi Setan-Seng Ling justru tertawa dingin. "Kalau kau tak dapat melancarkan pukulan seperti itu, mengenai pertandingan kita, sementara ini tidak perlu dibicarakan. Masih banyak waktu. Suatu hari nanti, aku pasti mohon petunjukmu!"

Seketika wajah Chu Liok Khie berubah menjadi merah. Walau dia memiliki lweekang tinggi, tapi tidak mampu melancarkan pukulan seperti itu. Chu Liok Khie terus berdiri di situ dengan wajah tak sedap dipandang.

Menyaksikan itu, Lu Sin Kong tahu bahwa Liok Khie dalam keadaan serba salah, maka segera berkata, "Saudara Chu, itu adalah ilmu pukulan beracun. Kita bukan golongan hitam, tentunya tidak bisa melancarkan pukulan seperti itu. Dia bilang ada urusan dan mau pergi, biarlah dia pergi. Kelak masih banyak waktu, dia tidak bisa kabur ke mana-mana."

Chu Liok Khie tahu bahwa ucapan itu adalah demi mukanya, maka dalam hati dia amat berterima-kasih dan menyahut, "Apa yang dikatakan Lu Cong Piau Tau sangat masuk akal. Setan tua, kau boleh menungguku di Istana Setan!"

Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa, lalu beranjak pergi. Tapi kemudian mendadak dia berpaling memandang Lu Sin Kong, lalu tersenyum seraya berkata, "Aku akan berada di pintu Istana Setan, menunggu kedatangan Lu Cong Piau Tau!"

Lu Sin Kong manggut-manggut, itu demi keselamatan Lu Leng putranya, sebab kalau dia banyak menyahut dan menyinggung perasaan si Nabi Setan-Seng Ling sudah barang tentu putranya yang akan menderita.

Si Nabi Setan-Seng Ling berkata lagi. "Lu Cong Piau Tau, saat ini sebagian orang yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong punya tujuan yang sama sepertiku. Tapi Lu Cong Piau Tau harus ingat satu hal, putramu berada di dalam Istana Setan!"

Lu Sin Kong terheran-heran dalam hati. Sebetulnya si Nabi Setan menyandera Lu Leng untuk menukar barang apa dengan Lu Sin Kong? Dan apakah benar sebagian dari orang-orang yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong berniat meminta suatu barang kepadanya? Berpikir sampai di sini, mendadak Lu Sin Kong teringat suatu urusan sebulan yang lalu. Ketika itu dia bersama isterinya dari Lam Cong ke Su Cou. Sepanjang jalan, entah berapa banyak jago tangguh ingin merebut kotak kayu yang di-kawalnya. Para jago tangguh yang pernah bertarung dengan mereka suami isteri, semuanya kini berkumpul di puncak Sian Jin Hong. Apakah mereka masih menghendaki kotak kayu itu?

Terhadap kotak kayu yang misterius itu Lu Sin Kong merasa benci dan berduka. Dikarenakan kotak itu, isterinya meninggal dan menimbulkan urusan besar ini. Tapi Lu Sin Kong dari awal hingga kini tetap tidak mengerti, kotak kayu itu menyangkut urusan besar apa? Hanya saja dia merasa, kotak kayu itu memang misterius dan penuh teka-teki, bahkan juga menimbulkan badai dalam rimba persilatan. Hingga kini badai itu masih terus melanda.

Setelah berpikir lama sekali, akhirnya Lu Sin Kong mendengus dingin. "Hmm!"

Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa-tawa, lalu meninggalkan puncak Sian Jin Hong. Tapi ketika dia baru menginjak undakan batu, mendadak terdengar suara bentakan keras.

"Harap tunggu, Seng Ling!"

Si Nabi Setan-Seng Ling menolehkan kepala ke arah datangnya suara bentakan itu. Ternyata yang membentak itu adalah si Duta Api Obor dari Hwa San Pai. Tidak banyak orang berkepandaian tinggi yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong dapat membuat si
Nabi Setan-Seng Ling merasa segan. Orang aneh berkedok itu adalah orang pertama yang membuatnya merasa segan, karena asal-usulnya tidak jelas lagi-pula berkepandaian begitu tinggi. Selain dia adalah Sui Cing Siansu aliran Buddha Go Bi Pai, Ang Eng Leng Long dan beberapa orang lainnya, termasuk Liat Hwe Cousu ketua Hwa San Pai.

Maka ketika tahu bahwa si Duta Api Obor yang membentak memanggilnya, hati si Nabi Setan tersentak. Seketika juga dia menoleh pada kedua putranya, kemudian berkata dengan suara rendah. "Kalian berdua pulang dulu ke Istana Setan menungguku!"

Kedua putranya mengangguk, lalu melesat pergi meninggalkan puncak Sian Jin Hong. Si Nabi Setan Seng Ling memandang si Duta Api Obor lama sekali, barulah bertanya.

"Duta Api Obor ada petunjuk apa?"

Si Duta Api Obor menyahut sepatah demi sepatah. "Cousu kami mengharap, sementara ini anda jangan kembali ke Istana Setan!"

Si Nabi Setan-Seng Ling tahu bahwa pihak Hwa San Pai mau cari gara-gara kepadanya, maka seketika wajahnya berubah menjadi tak sedap dipandang. "Ada hubungan apa gerak-gerikku dengan cousu kalian?"

Si Api Obor menyahut kaku. "Anda tunggu sebentar, pasti akan mengetahuinya!" Usai berkata begitu si Duta Api Obor lalu kembali ke tempatnya.

Tampak Liat Hwe Cousu bangkit berdiri lalu melangkah ke sebuah pohon yang cukup besar, kemudian melancarkan sebuah pukulan. Seperti pukulan yang dilancarkan si Nabi Setan-Seng Ling tadi, pukulannya pun tidak membuat daun dan dahan pohon itu bergoyang. Menyaksikan keadaan itu, si Nabi Setan-Seng Ling sudah tahu, bahwa Liat Hwe Cousu berniat menjajal lweekangnya. Karena dia sudah turun tangan melancarkan sebuah pukulan pada pohon itu, tentunya dia pun tidak bisa pergi begitu saja.

Padahal perhitungannya sudah matang sekali. Lu Leng berada di tangannya, maka apa pun kemauannya pasti di turuti Lu Sin Kong. Dan juga dia pun tahu jelas, begitu memberitahukan bahwa Lu Leng berada di Istana Setan, tentunya ada orang berniat merebut Lu Leng dari tangannya. Namun dia tahu jelas, Istana Setan tempat tinggalnya merupakan tempat yang amat bahaya bagi orang lain, tapi alangkah baiknya pulang duluan untuk mengatur segalanya.

Setelah Lu Sin Kong ke Istana Setan dia akan bicara serius dengannya. Oleh karena itu, dia tidak mau menerima tantangan Chu Liok Khie, karena Chu Liok Khie bukan orang biasa. Kalau bertarung, itu berarti akan menyita waktunya. Karena itu dia menggunakan Im Si Ciang memukul pohon itu, agar Chu Liok Khie tidak terus menerus menantangnya, maka dia boleh segera meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, tak terduga sama sekali Liat Hwe Cousu turun tangan sendiri ingin mencoba kepandaiannya.

Tak seberapa lama daun-daun pohon itu pun berubah kuning, namun sama sekali tidak rontok. Liat Hwe Cousu mundur selangkah, lalu mengibaskan lengan jubahnya ke arah pohon itu. Orang-orang yang berada di sekitar pohon itu semuanya merasakan adanya hawa panas.

“Buum!”

Daun-daun yang sudah berubah kering itu mulai rontok. Berdasarkan kejadian itu kelihatannya pukulan yang dilancarkan Liat Hwe Cousu tidak selihay pukulan yang dilancarkan si Nabi Setan-Seng Ling. Karena itu semua orang mulai berbisik-bisik membicarakannya. Tidak mungkin begitu Liat Hwe Cousu turun tangan, langsung terjungkal di tangan si Nabi Setan-Seng Ling.

Di saat semua orang sedang berbisik-bisik, justru telah terjadi hal yang luar biasa. Ternyata daun-daun yang rontok itu, hancur seperti tepung sebelum menyentuh tanah. Setelah menyaksikan kejadian itu, semua orang terbelalak dan amat kagum kepada Liat Hwe Cousu, sebab pukulan yang dilancarkannya tadi jauh lebih lihay dari pada pukulan yang dilancarkan si Nabi Setan-Seng Ling.

Walau semua orang tidak begitu menyukai Liat Hwe Cousu, tapi setelah dia memperlihatkan kepandaiannya, mereka merasa kagum dan bersorak memujinya. Si Nabi Setan-Seng Ling mengerutkan kening, namun dia pun amat kagum dalam hati, kemudian berkata dengan lantang.

"Aku hanya melancarkan satu kali pukulan, sudah dapat membuat daun-daun barubah hitam dan rontok. Sedangkan Liat Hwe Cousu masih harus mengibaskan lengan jubahnya, barulah membuat daun-daun itu rontok dan hancur seperti tepung, itu berarti kami seri! Entah masih ada petunjuk apa?"

Liat Hwe Cousu mendengus lalu menoleh memandang si Duta Api Obor. Dia amat angkuh dan merasa dirinya berkedudukan paling tinggi dalam rimba persilatan. Maka dalam anggapannya, tiada seorang pun yang berada di situ berderajat berbicara dengannya. Oleh karena itu, apabila dia mau berbicara cukup si Duta Api Obor yang mewakilinya.

Si Duta Api Obor segera maju selangkah, lalu berkata dengan lantang. "Cousu kami telah memperlihatkan lweekang yang amat tinggi. Harap anda setelah menyaksikan itu barulah pergi. Tidak akan terlambat, kan?"

Si Nabi Setan-Seng Ling mengerti maksudnya, harus pula memperlihatkan ilmu tinggi. Seketika si Nabi Setan-Seng Ling berpikir. Walau kepandaian Liat Hwe Cousu amat tinggi, namun dia pasti bisa meloloskan diri. Dengan berbagai macam perangkap yang ada dalam Istana Setan, Liat Hwe Cousu dan para jago tangguh Hwa San Pai, belum tentu dapat menyerbu ke dalam. Oleh karena itu, Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa dingin. "Aku justru ingin tahu bagaimana hebatnya ilmu silat Hwa San Pai!"

Liat Hwe Cousu mendengus. Badannya segera bergerak bagaikan segulung api menuju ke batu besar. Dalam waktu sekejap, dia sudah berada di sisi batang besi tajam. Si Nabi Setan-Seng Ling terkejut, betulkah Liat Hwe Cousu ingin bergebrak dengan dirinya? Kalau betul begitu, Yang Hwe Sin Kang (Tenaga Sakti Api Membara) yang dimiliki Liat Hwe Cousu, justru merupakan lawan ilmu silat Istana Setan. Si Nabi Setan-Seng Ling terus berpikir, akhirnya dia mengambil suatu keputusan. Asal Liat Hwe Cousu membuka mulut menantang, dia akan segera meninggalkan tempat itu, meski pun harusmenanggung rasa malu.

Akan tetapi setelah berada di sisi besi tajam itu Liat Hwe Cousu tidak meloncat ke atas. Mendadak badannya bergerak laksana kilat, tampak bayangan merah menerobos ke sana ke mari di sela-sela belasan batang besi tajam itu. Ketika dia berhenti bergerak, belasan batang besi tajam itu telah berubah melengkung-lengkung. Kejadian itu membuat semua orang tertegun saking kagumnya. Dalam hati mereka membatin, hanya orang aneh yang berkedok dan Sui Cing Siansu yang memiliki lweekang setinggi itu.

Di saat bersamaan terdengar si Duta Api Obor berseru dengan lantang. "Cousu kami sudah memperlihatkan lweekang-nya, harap si Nabi Setan-Seng Ling berbuat seperti itu!"

Si Nabi Setan-Seng Ling tertawa gelak. "Hahaha! Lweekang Liat Hwe Cousu sungguh hebat, aku kagum sekali! Karena belasan batang besi tajam itu sudah melengkung semua, harap pemiliknya meluruskan lagi!"

"Hehehe!" Orang aneh berkedok tertawa ter-kekeh-kekeh. "Kalian berdua yang akan bertarung, kenapa malah melampiaskan pada belasan batang besi tajam milikku itu?"

Sembari berkata, orang aneh berkedok meloncat turun dari batu hijau, lalu mendekati batu besar itu. Mendadak dia menggerakkan kipas rombengnya ke arah belasan batang besi tajam.

“Plak! Plak! Plak! Plak!”

Dalam waktu sekejap, belasan batang besi tajam itu sudah lurus semua seperti semula. Si Nabi Setan-Seng Ling manggut-manggut lalu melesat ke arah batu besar itu, kemudian menggerakkan jari telunjuknya ke arah belasan batang besi tajam.

“Tring! Tring!”

Dalam waktu sekejap, semua batang besi tajam itu melengkung lagi dan itu sungguh membuat kagum semua orang. Setelah itu, dia berkata sambil menjura kepada Liat Hwe Cousu, "Lweekangku masih di bawah lweekang anda. Aku mengaku kalah dan mohon pamit sekarang!"

Justru di luar dugaan, si Duta Api Obor tertawa gelak. "Hahaha! Kini anda telah mengaku kalah, maka Cousu kami menghendaki anda menyerahkan Lu Leng! Ka!au tidak, pasti agak merepotkan anda!"

Biasanya si Nabi Setan-Seng Ling malang melintang dalam rimba persilatan, selama itu tidak pernah ketemu batunya, selalu berada di atas angin. Akan tetapi hari ini, dia bertemu Liat Hwe Cousu. Enam belas tahun yang lampau, ketika dia baru berkecimpung dalam rimba persilatan sama sekali tidak pernah bertemu lawan yang setanding, makanamanya melambung tinggi di daerah selatan dan utara. Hari ini dia terus merendah agar dapat segera meninggalkan puncak Sian Jin Hong, itu sudah cukup mempermalukan dirinya sendiri. Begitu mendengar apa yang dikatakan si Duta Api Obor, betapa gusarnya dalam hati.

Mukanya yang memang menyeramkan itu bertambah seram. Dia tertawa dingin seraya menyahut. "Lu Leng berada di dalam Istana Setan. Kalau Liat Hwe Cousu menghendakinya, silakan ke sana."

Si Duta Api Obor segera bertanya dengan suara parau. "Kalau begitu, anda tidak mengabulkan?"

Si Nabi Setan-Seng Ling memandang Liat Hwe Cousu, kebetulan sekali Liat Hwe Cousu pun sedang memandangnya. Mereka berdua jadi saling memandang. Mendadak dalam hati si Nabi Setan-Seng Ling timbul suatu perasaan yang amat aneh. Padahal yang dipelajari si Nabi Setan-Seng Ling adalah ilmu ‘Ratapan Setan’, ‘Tawa Setan’, ‘Langkah Setan’ dan ‘Tubuh Setan’, yang semua itu merupakan ilmu sesat yang amat lihay, bahkan dapat mempengaruhi pikiran orang. Akan tetapi, Liat Hwe Cousu justru memiliki ilmu Hian Sin Hoat (llmu Sakti Membuat Pandangan Orang Jadi Kabur). Oleh karena itu, si Nabi Setan-Seng Ling cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain agar tidak terpengaruh oleh ilmu Hian Sin Hoat. Setelah itu barulah hatinya merasa tenang kembali.

Si Nabi Setan-Seng Ling tahu, kalau dia tidak mengabulkan, Liat Hwe Cousu pasti turun tangan membekuknya, lalu membawanya ke Pak Bong San. Ketua Hwa San Pai itu tidak perlu masuk ke dalam Istana Setan, cukup memanggil kedua putranya menyerahkan Lu Leng, tentunya kedua putranya tidak berani membangkang. Karena itu, si Nabi Setan-Seng Ling sudah memutuskan dalam hati, maka dia tertawa hambar.

"Saat ini Liat Hwe Cousu amat menghargaiku, pasti akan memberi kebaikan pula kepadaku, Namun... mengenai urusan tersebut aku seorang diri tidak bisa mengambil keputusan."

Kali ini, Liat Hwe Cousu membuka mulut, berkata sepatah demi sepatah. "Siapa?"

Si Nabi Setan-Seng Ling menunjuk orang aneh berkedok. "Saudara ini."

Begitu si, Setan-Seng Ling menunjuk orang itu, Liat Hwe Cousu langsung memandang orang aneh berkedok itu dengan sorotan tajam. Akan tetapi, di saat bersamaan si Setan-Seng Ling bergerak cepat melesat pergi bagaikan segulung asap meninggalkan tempat itu. Biar bagaimana pun Liat Hwe Cousu tidak menyangka si Nabi Setan-Seng Ling akan bertindak begitu, karena si Nabi Setan-Seng Ling merupakan seorang tokoh dalam rimba persilatan, bahkan amat terkenal. Siapa pun tidak menyangka, dia akan kabur begitu saja, maka tidak mengherankan kalau semua orang yang berada di situ saling memandang dengan mata terbelalak.

Ketika melihat si Nabi Setan-Seng Ling melesat pergi, Liat Hwe Cousu pun membentak keras sambil menerjang ke arahnya. Namun Liat Hwe Cousu tidak berhasil menangkap si Nabi Setan-Seng Ling, sebab si Setan-Seng Ling telah mengerahkan ilmu ginkang-nya melesat pergi. Sesungguhnya kalau Liat Hwe Cousu mau mengejarnya, sudah pasti akan berhasil. Akan tetapi, berdasarkan kedudukannya, kalau dia bergerak si Duta
Api Obor yang menjadi perintis pembuka jalan dengan obor tersebut. Karena itu, wajah Liat Hwe Cousu berubah tidak sedap dipandang, lalu kembali ke tempatnya.

Setelah si Nabi Setan-Seng Ling pergi, tak lama hari pun mulai sore. Semua orang yang berkumpul di situ mulai mengisi perut, tiada seorang pun membuka mulut menantang pihak lain. Walau begitu banyak orang berkumpul di puncak Sian Jin Hong, namun hanya mempunyai dua tujuan. Tujuan pertama membalas dendam, tujuan kedua yakni ingin memperoleh barang kawalan Lu SinKong yang misterius dan penuh teka-teki itu. Tapi mereka semua justru tidak tahu bahwa sebetulnya barang apa yang dikawal Lu Sin Kong. Mereka hanya mengira bahwa barang itu merupakan suatu barang pusaka.

Urusan hari ini, boleh dikatakan dendam Sebun It Nio telah terbalas sebagian karena Hwe Hong Sian Kouw telah binasa. Walau Yok Kun Sih dan lainnya tidak akan melepaskan Lu Sin Kong, itu merupakan urusan lain. Si Pecut Emas-Han Sun mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw, kini Hwe Hong Sian Kouw telah binasa, maka urusan tersebut boleh dikatakan telah usai. Urusan lain, Lu Sin Kong tahu putranya belum mati, tentunya tidak akan mendendam Liok Ci Siansing dan kawan-kawannya, hanya akan bertanya kepada Liok Ci Siansing, kenapa mayat anak tanpa kepala itu disembunyikan di gudang batunya.

Bagi orang yang berniat merebut kotak kayu tersebut, sudah putus asa karena Liat Hwe Cousu pun menghendaki barang tersebut. Siapa berani membentur orang yang berkepandaian begitu tinggi? Dikarenakan itu, suasana di puncak Sian Jin Hong sudah tidak begitu tegang mencekam lagi. Namun ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, membuat puncak Sian Jin Hong kemerah-merahan sepertinya ternoda oleh darah, hati setiap orang tahu, tidak mungkin cuma matinya Hwe Hong Sian Kouw seorang urusan di situ akan selesai begitu saja. Tidak salah! Puncak Sian Jin Hong hanya tenang satu malam. Keesokan harinya mendadak terjadi suatu perubahan yang di luar dugaan. Namun kini mari mengikuti perjalanan Tam Goat Hua.

Malam itu Tam Goat Hua meninggalkan puncak Sian Jin Hong sambil memikirkan asal-usul orang aneh berkedok itu. Tam Goat Hua adalah gadis cerdas, namun tidak dapat terpikirkannya mengenai asal-usul orang aneh berkedok tersebut. Dalam hati dia berharap, mudah-mudahan di tengah jalan berjumpa ayahnya agar bisa bertanya-tanya.
Kemudian dia teringat pula tentang Cit Sat Sin Ciang, Hiang Bu Sam Na dan Cit Sat Sin Kun, dan itu amat membingungkannya. Maka kalau dia berjumpa dengan ayahnya, sungguh banyak yang akan ditanyakan.

Setelah itu dia pun berpikir. Seorang diri dia akan memasuki Istana Setan. Bagaimana bahayanya Istana Setan, kaum rimba persilatan mengetahuinya. Dia berangkat ke sana entah akan lancar dan berhasil membawa ke luar Lu Leng? Hati Tam Goat Hua amat kacau, namun dia tetap melanjutkan perjalanan. Tak terasa dia sudah menempuh perjalanan tiga puluh mil lebih.

Tiba-tiba gadis itu mengerutkan kening, sepertinya merasa ada orang mengikutinya dari belakang. Dia segera menoleh ke belakang. Walau gelap gulita, tapi dalam beberapa depa masih bisa terlihat agak jelas, justru tiada seorang pun di belakangnya. Tam Goat Hua berdiri di tempat sambil berpikir, bagaimana dirinya merasa bisa ada orang mengikutinya?

Setelah berpikir sejenak, dia tersadar bahwa tidak mendengar suara apa pun. Akan tetapi, dia justru merasa ada orang mengikutinya. Kening gadis itu berkerut-kerut, kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa mil, dalam hati timbul lagi perasaan demikian. Tam Goat Hua sama sekali tidak mengeluarkan suara, namun sekonyong-konyong membalikkan badannya sekaligus mengayunkan rantai yang melekat di lengannya.

Gerakannya sungguh di luar dugaan. Kalau ada orang mengikutinya di belakang, pasti akan tersambar oleh rantai besi itu. Akan tetapi di belakangnya tetap tiada seorang pun. Tam Goat Hua tertawa dalam hati. Karena dirinya mengalami berbagai kejadian aneh maka membuatnya menjadi terus bercuriga.

Cukup lama dia berhenti di tempat, setelah itu barulah dia melesat pergi mengerahkan ginkang. Tapi baru melesat setengah mil, hatinya terasa lagi ada orang mengikutinya di belakang, bahkan kali ini dia mendengar suara. Ketika dia melewati sebuah batu, sepertinya mendengar suara seakan ada orang menekan batu itu. Tam Goat Hua segera menoleh ke belakang, tapi tiada seorang pun berada di sekitar batu itu. Seandainya ada pohon di situ, mungkin itu adalah suara jatuhnya ranting di atas batu. Akan tetapi, di sekitar batu itu justru tiada pohon sama sekali, maka Tam Goat Hua yakin pasti ada orang mengikutinya.

Dia tertawa dingin seraya berkata dengan suara dalam. "Sobat dari mana terus mengikutiku? Kenapa tidak mau muncul untuk berkenalan?" suaranya tidak begitu nyaring, namun di tempat sepi yang gelap gulita itu terdengar jelas sekali.

Dia berseru berulang kali, tapi tiada suara sahutan. Tam Goat Hua yakin, kalau ada orang mengikutinya, orang itu pasti bersembunyi di belakang batu tersebut. Tam Goat Hua tertawa dingin, kemudian berkata. "Anda terus mengikutiku, sudah pasti ada urusan. Kini Anda bersembunyi di belakang batu, anda kira aku tidak tahu?"

Sembari berkata Tam Goat Hua menghimpun hawa murninya. Mendadak badannya mencelat ke atas. Itu adalah ginkang ajaran ayahnya, Hui Thian Na Goat (Terbang Ke Langit Mengambil Bulan) yang merupakan ilmu ginkang yang amat tinggi dan juga ilmu andalan ayahnya. Setelah badannya mencelat ke atas, tiba-tiba meluncur ke arah batu itu, lalu berdiri di atasnya. Di saat dia berdiri, tampak sosok bayangan melesat pergi dengan ringan sekali, bagaikan segumpalan asap.

Ketika bayangan itu melesat pergi, gerakannya sungguh aneh dan sulit diuraikan dengan kata-kata. Badannya tetap lurus, sepasang kakinya kelihatan menginjak tanah tapi juga tidak, sepertinya badan orang itu terhembus oleh angin. Menyaksikan itu, Tam Goat Hua tertegun.

Ayahnya berkepandaian amat tinggi, bahkan mengenali pula ilmu silat partai lain, Sejak kecil Tam Goat Hua dan kakaknya sudah mulai belajar ilmu silat kepada ayahnya, juga mendengar penjelasan tentang ilmu silat berbagai partai. Walau gadis itu belum begitu matang pengalamannya dalam rimba persilatan, namun banyak yang telah diketahuinya. Tapi ketika menyaksikan gerakan orang itu, ia justru tidak tahu berasal dari perguruan mana gerakan tersebut.

Badan orang itu tampak ringan, juga tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Gerakan itu mirip ilmu ‘Langkah Setan’ si Nabi Setan-Seng Ling, tapi ilmu ‘Langkah Setan’ merupakan ilmu ginkang aliran sesat, maka akan membawa hawa sesat pula. Ketika orang itu melayang pergi, justru tiada hawa sesat. Itu membuat Tam Goat Hua berdiri termangu-mangu di atas batu itu.

Di saat orang itu hampir lenyap ditelan kegelapan, Tam Goat Hua segera berseru. "Aku sudah melihat anda, kenapa anda tidak mau menemuiku? Ginkang anda begitu tinggi, pertanda anda bukan orang biasa! Tapi kenapa tidak mau menemuiku?"

Sosok bayangan itu terus melayang, seakan tidak mendengar suara seruan Tam Goat Hua. Dalam waktu sekejap sosok bayangan itu sudah tidak kelihatan Iagi. Gadis itu tahu bahwa orang tersebut memiliki ginkang yang amat tinggi. Kalau pun dia mengejarnya juga percuma, tidak akan dapat menyusul. Sesungguhnya Tam Goat Hua amat penasaran, sebab tidak tahu siapa orang itu, dan tidak tahu tujuan orang itu mengikutinya.

Di saat Tam Goat Hua termangu, mendadak terdengar suara berdesing di tempat yang tak jauh. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, tampak sebatang anak panah kecil meluncur ke arahnya. Ketika melihat anak panah kecil itu meluncur kepadanya, Tam Goat Hua amat gusar dalam hati. Orang itu memiliki ginkang yang begitu tinggi, namun gerak-geriknya justru tidak berani terang-terangan. Mula-mula dia mengikuti Tam Goat Hua secara diam-diam. Setelah gadis itu melihat bayangannya, malah menyerang Tam Goat Hua dengan panah.

Setelah anak panah itu mendekat, barulah Tam Goat Hua menjulurkan tangannya untuk menyambarnya. Begitu menggenggam anak panah itu, dia merasa heran, sebab panah itu amat ringan sehingga tangannya seakan tidak menggenggam apa pun. Padahal tadi Tam Goat Hua mendengar suara desingan itu cukup keras, namun amat ringan ketika berada di tangannya. Tam Goat Hua menundukkan kepala. Ternyata yang digenggamnya itu bukan panah, melainkan selembar kertas yang digulung kecil. Gadis itu terheran-heran, lalu membuka kertas itu. Ternyata di dalamnya terdapat sebaris tulisan berbunyi:

‘Jangan pergi ke Istana Setan’

Tulisan itu kelihatannya seperti orang yang baru belajar menulis, lagi-pula tidak tercantum nama penulisnya. Tam Goat Hua membolak-balikkan kertas itu, tidak terdapat tulisan lain lagi. Dalam hati Tam Goat Hua semakin merasa heran, karena orang yang menulis itu memperingatkannya dengan maksud baik. Berdasarkan ginkang-nya, tentunya orang itu merupakan tokoh aneh dalam rimba persilatan Tapi kenapa dia harus berlaku begitu misterius memperingatkannya agar tidak pergi ke Istana Setan?

Tam Goat Hua terus berpikir, namun tetap tidak tahu sebab-musabab orang itu memperingatkannya. Akhirnya dia tertawa seraya berkata. "Terima-kasih atas maksud baik anda. Tapi aku tidak begitu jelas akan peringatan anda, maka aku ingin mohon petunjuk. Harap anda sudi memperlihatkan diri!"

Usai berkata begitu dia teringat akan suatu hal, maka ingin sekali bertemu dengan orang itu. Ternyata Tam Goat Hua teringat akan perjalanannya menuju ke Istana Setan. Selain orang aneh berkedok dan dirinya sendiri, tiada orang lain mengetahui hal tersebut. Lagi-pula ketika itu orang aneh berkedok menulis tanpa bersuara, itu agar tidak didengar oleh orang lain. Tapi bagaimana orang itu tahu dirinya akan menuju ke Istana Setan Pak Bong San? Dan kenapa memperingatkannya agar jangan pergi ke sana?

Berpikir sampai di sini, Tam Goat Hua pun mengingat kembali ketika bersama orang aneh berkedok. Di saat memesannya ke Istana Setan, sungguh tiada orang lain mengetahuinya. Oleh karena itu, Tam Goat Hua berharap sekali akan kemunculan orang tersebut. Akan tetapi orang itu sama sekali tidak muncul, walau dia sudah berseru-seru belasan kali. Gadis itu penasaran sekali, akhirnya dia meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya.

Ketika hari mulai terang, dia sudah meninggalkan Bu Yi San. Sepanjang jalan dia tidak lagi merasa ada orang mengikutinya. Berdasarkan itu dapat diketahui, bahwa orang itu mengikutinya dari puncak Sian Jin Hong tujuannya hanya memperingatkannya agar tidak ke Istana Setan Pak Bong San. Tam Goat Hua paham, bahwa dia tidak boleh ingkar janji. Walau Istana Setan itu amat membahayakan dirinya, namun dia tetap harus ke sana. Sebab dia sudah mengabulkan untuk berangkat ke sana, tidak boleh menyesal di tengah jalan.

Tak seberapa lama kemudian, Tam Goat Hua sudah hampir tiba di sebuah jalan besar. Mendadak dia mendengar suara pertarungan di kejauhan. Gadis itu tertegun, sebab suara pertarungan itu kedengarannya sekitar dua-tiga puluh orang, Di antara suara pertarungan terdengar pula jeritan-jeritan yang menyayat hati, pertanda pertarungan itu adalah pertarungan antara hidup dan mati. Yang mengejutkan Tam Goat Hua, justru sayup-sayup terdengar juga suara harpa. Itu membuat Tam Goat Hua tertegun, kemudian dia pun berpikir.

Suara harpa yang misterius itu berkaitan dengan urusan-urusan rimba persilatan yang belum lama terjadi. Gadis itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah dapat memastikan arah dan jarak suara harpa itu, barulah dia melesat pergi. Betapa cepat gerakannya, karena dia mengerahkan ginkang. Dia ingin segera tahu jelas tentang pertarungan itu. Dalam waktu sekejap, suara pertarungan itu kedengaran semakin dekat. Terdengar pula suara benturan senjata tajam yang mencekam namun suara itu tidak dapat menutupi suara harpa.

Tam Goat Hua yakin, bahwa pertarungan itu bukan pertarungan biasa. Dia terus melesat ke depan, tak lama dia pun memandang ke depan. Tampak tujuh delapan orang sedang bertarung mati-matian, terlihat juga dua tiga puluh orang tergeletak di situ. Tujuh delapan orang itu bertarung dengan senjata yang berbeda, pertarungan mereka semrawut, dua di antaranya sudah berlumuran darah.

Tam Goat Hua menyaksikan pertarungan itu dari jauh, merasa tersentak dan tegang. Kemudian dia maju beberapa depa. Di saat bersamaan suara harpa itu mulai melemah. Gadis itu menengok ke sana ke mari, mencari suara harpa itu berasal dari mana. Tiba-tiba terdengar suara berdenting, lalu suara harpa itu berhenti. Bersamaan itu, terdengar suara kereta, kemudian tampak sebuah kereta kuda meluncur ke luar dari rimba. Itu ternyata kereta mewah yang dihiasi berbagai macam permata.

Ketika Tam Goat Hua baru mau mengejar kereta mewah itu, mendadak terdengar seruan kaget dari orang-orang yang sedang bertarung. Tam Goat Hua segera menolehkan kepalanya. Dilihatnya lima orang roboh lagi, sekujur badan mereka berlumuran darah dan kelihatannya sulit ditolong. Dua orang lagi tetap berdiri, sama sekali tidak roboh.

Tam Goat Hua memandang mereka. Usia mereka sudah di atas enam puluh. Salah seorang dari mereka berjenggot panjang, namun jenggot itu telah ternoda darah. Tangannya memegang sebilah golok tipis, yang bentuknya aneh sekali. Yang seorang lagi tampak gagah sekali, tapi sepasang matanya agak sipit, bahunya terluka dan darahnya terus mengucur. Senjatanya merupakan sebuah lempengan tembaga berbentuk Pat Kwa. Ketika melihat senjata aneh itu, diam-diam Tam Goat Hua terkejut, sebab senjata itu milik Lim Kek Ong, ketua Pat Kwa Bun. Kalau begitu, apakah orang itu adalah Lim Kek Ong, ketua Pat Kwa Bun yang terkenal itu?

Kedua orang itu sudah berhenti. Mereka berdua saling memandang dengan wajah tampak terheran-heran seolah tidak mengerti mengapa mereka berdiri mematung di tempat itu. Tam Goat Hua segera menghampiri mereka seraya bertanya.

"Cianpwee berdua, apa yang terjadi?"

Kedua orang itu sama sekali tidak mendengar pertanyaan Tam Goat Hua, mereka berdua masih tetap berdiri mematung di tempat. Berselang beberapa saat, orang tua yang memegang senjata Pat Kwa berteriak aneh, dan kemudian bertanya.

"Saudara Pai, apa yang terjadi ini?"

Orang tua berjenggot melihat ke sana ke mari. Begitu banyak mayat bergelimpangan di situ, maka mendadak orang tua berjenggot itu menghela nafas panjang.

"Aaaah! Saudara Lim, kita bunuh diri saja!" Sekonyong-konyong orang tua berjenggot itu mengayunkan golok tipisnya ke lehernya sendiri.

Begitu melihat, Tam Goat Hua segera maju selangkah seraya berseru, "Cianpwee, jangan bunuh diri!" sembari berseru dia pun menggerakkan tangannya.

Rantai yang melekat di lengannya langsung mengarah golok tipis itu. Akan tetapi, orang tua itu membalikkan golok tipisnya, lalu membacok rantai besi yang mengarahnya. Tam Goat Hua sudah menduga, kedua orang tua itu pasti berkepandaian tinggi, maka gadis itu menggunakan tujuh bagian tenaganya. Namun bacokan golok tipis itu sungguh mencengangkannya.

“Traang!”

Terdengar suara benturan senjata dan tampak bunga api berpijar. Rantai besi itu terbacok sehingga arah gerakannya menjadi miring ke samping. Setelah rantai besi itu miring ke samping, orang tua itu menghela nafas lagi, kemudian membelokkan golok tipisnya ke kepalanya sendiri. Gerakannya sungguh cepat dan golok tipis itu mengenai sasarannya. Akhirnya orang tua itu roboh sebelum helaan nafasnya lenyap.

Tam Goat Hua tidak menyangka kalau orang tua berjenggot itu begitu nekad. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali tertegun ketika melihat orang tua berjenggot itu roboh dengan tubuh bermandikan darah. Di saat gadis itu tertegun, terdengar orang tua yang satunya menghela nafas panjang.

"Sudahlah! Sudahlah! Saudara Pai, kini kau telah binasa. Bagaimana aku masih punya muka untuk terus hidup?" kata orang tua itu.

Tam Goat Hua tertegun dan gusar ketika mendengar ucapan orang tua itu, karena kelihatannya mau bunuh diri juga.

"Jangan bunuh diri!" serunya.

Tam Goat Hua bergerak cepat, sebab orang tua itu telah mengayunkan senjatanya ke kepalanya sendiri. Tam Goat Hua mengeluarkan jurus Pan Kou Khay Thian (Pan Kou Membuka Langit) untuk menghantam senjata Pat Kwa itu.

“Traang!”

Kali ini Tam Goat Hua menggunakan sembilan bagian tenaganya. Rantai besinya membentur senjata Pat Kwa sehingga menimbulkan suara yang amat nyaring. Bahu orang itu telah terluka sehingga membuat tenaganya berkurang. Maka ketika rantai besi itu membentur senjatanya, seketika juga senjata itu terlepas dari tangannya dan terbang melayang ke udara, sedangkan orang tua itu terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah.

Tam Goat Hua segera berkata, sebab khawatir orang tua itu akan bunuh diri lagi. "Cianpwee, apa pun yang telah terjadi, pasti ada cara untuk menyelesaikannya kenapa harus bunuh diri?"

Mata orang tua itu bersimbah air. Dia memandang Tam Goat Hua seraya bertanya, "Siapa kau?"

"Namaku Tam Goat Hua. Kebetulan aku melewati tempat ini. Melihat kalian bertarung, maka aku ke mari."

Orang tua itu menghela nafas panjang, kemudian memberitahukan. "Aku bernama Lim Kek Ong."

Tam Goat Hua manggut-manggut, “Ternyata benar anda adalah ketua Pat Kwa Bun."

Lim Kek Ong tersenyum getir. "Tidak salah, tapi lihatlah! Lima orang yang kubawa semuanya telah mati." Orang itu menunjuk mayat-mayat temannya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan, "Yang tiga itu adalah Ek Pak Ban Keh Cung, Ban Si Sam Kiat. Yang tujuh itu adalah para jago tangguh dari Cik Sia Pai, yang lain adalah para orang gagah dari Ban Keh Cung, sedangkan yang berjenggot itu adalah ketua Cik Sia Pai dan isterinya."

Tam Goat Hua mendengarkan kata-kata orang tua itu dengan penuh perhatian.

Lim Kek Ong menggeleng-gelengkan kepala seraya melanjutkan, "Kami melakukan perjalanan berjumlah dua puluh enam orang, kalau bukan murid pasti kawan akrab. Namun kini cuma tinggal aku seorang, bagaimana masih punya muka hidup di dunia?"

Tam Goat Hua boleh dikatakan dapat menduga kejadian itu, tapi dia tetap bertanya. "Kenapa cianpwee merasa tidak punya muka hidup di dunia?"

Lim Kek Ong menyahut sengit. "Ketika kau ke mari, kami sedang bertarung. Kau tidak melihat sebagian besar orang-orang itu mati di tanganku? Padahal kami bermaksud ke puncak Sian Jin Hong, siapa sangka... siapa sangka....”

Orang tua itu menghentikan ucapannya, sepasang matanya tampak melotot dan nafasnya memburu. Dapat dibayangkan betapa emosinya orang tua tersebut.

Tam Goat Hua segera berkata, "Lim-cianpwee, meski pun kau tidak bilang aku pun tahu. Kalian mendadak bertarung pasti ada sebabnya, Apakah disebabkan oleh suara harpa itu?"

Lim Kek Ong mengangguk dengan wajah penuh kegusaran. "Tidak salah!"

"Lim-cianpwee," kata Tam Goat Hua lagi "Mereka sudah mati, ya sudahlah. Namun cianpwee tidak boleh bunuh diri. Kini petaka sudah melanda rimba persilatan, menurutku itu ditimbulkan oleh suara harpa. Bolehkah cianpwee menutur tentang kejadian ini?"

Lim Kek Ong duduk, sedangkan Tam Goat Hua merogoh ke dalam bajunya mengambil sebuah bungkusan. "Lim-cianpwee, aku...."

Bungkusan kecil itu berisi obat luka dari ayahnya, Karena melihat luka di bahu Lim Kek Ong masih terus mengucurkan darah, maka gadis itu ingin mengobatinya. Tapi ketika dia mengeluarkan bungkusan kecil itu, terdengar suara suatu barang terjatuh ke bawah. Itu adalah kotak kecil pemberian orang aneh berkedok. Ketika memberikannya kotak kecil itu, orang aneh berkedok pun berpesan, jangan membuka kotak kecil itu di tengah jalan, Begitu melihat kotak kecil itu jatuh, dia pun segera membungkukkan badannya mengambil kotak kecil itu.

Setelah memungut kotak kecil itu, dia mendongakkan kepala. Tampak sepasang mata Lim Kek Ong terus menatap kotak kecil yang di tangannya, sepasang matanya seakan memancarkan api.

Tam Goat Hua terheran-heran. "Lim-cianpwee...."

Dia baru mulai berkata, mendadak Lim Kek Ong berteriak aneh dan bergerak cepat menotok jalan darah Hwa Kay Hiat bagian dada Tam Goat Hua. Hwa Kay Hiat merupakan jalan darah yang amat penting, Apabila jalan darah itu tertotok pasti binasa. Jika tidak punya dendam sedalam lautan, tentunya orang tidak akan menotok jalan darah itu. Tapi kini Lim Kek Ong justru menotok jalan darah itu dengan cepat.

Tam Goat Hua segera meloncat ke belakang, Dia terkejut bukan main. Kalau jalan darah Hwa Kay Hiat-nya tertotok, dia pasti binasa seketika. Oleh karena itu dia segera meloncat ke belakang beberapa depa. Akan tetapi Lim Kek Ong telah menerjangnya sekaligus melancarkan sebuah pukulan. Tam Goat Hua terkejut sekali sebab ia tahu bahwa pukulan itu mematikan. Selain merasa terkejut, gadis itu pun tercengang dan tidak habis pikir, kenapa mendadak Lim Kek Ong menyerangnya mati-matian.

Dia tahu, kalau tidak membalas menyerang tentu dirinya akan terkena serangan Lim Kek Ong. Oleh karena itu, ketika melihat Lim Kek Ong melancarkan pukulan itu, dia langsung berkelit sekaligus balas menyerang. Tangan kirinya tetap memegang kotak kecil dan bungkusan obat itu, maka agak menghambat jurus Lau Yan Hun Hui (Burung-burung Walet Berterbangan) yang dikeluarkannya. Akan tetapi, rantai yang melekat di lengannya justru mengarah Lim Kek Ong dengan menderu-deru.

Lim Kek Ong sama sekali tidak tahu akan rantai besi itu, maka tetap melancarkan pukulannya, sedangkan Tam Goat Hua tidak berniat melukai Lim Kek Ong. Namun sebaliknya orang itu kelihatannya telah menganggap gadis itu sebagai musuh besarnya, maka dia menyerang Tam Goat Hua dengan jurus-jurus yang mematikan. Tiba-tiba terdengar suara benturan dua pukulan.

“Plaak!” menyusul terdengar pula suara, “Duuk!”

Rantai besi itu menyambar dada Lim Kek Ong. Walau dadanya telah tersambar rantai besi, namun orang tua itu tetap menyerang Tam Goat Hua dengan jurus-jurus yang mematikan.

Tam Goat Hua berkelit. Setelah menyerang ber-tubi-tubi, akhirnya Lim Kek Ong terhuyung-huyung ke belakang tujuh delapan langkah. Kelihatannya dia telah terluka parah, sebab ujung rantai besi itu telah menghantam keningnya hingga berdarah. Akan tetapi, kemudian mendadak Lim Kek Ong menerjang Tam Goat Hua lagi dengan sempoyongan.

"Lim-cianpwee, apa artinya semua ini?" bentak Tam Goat Hua.

Tiba-tiba Lim Kek Ong memekik aneh, lalu terkulai ke bawah. Tam Goat Hua mendekatinya, Lim Kek Ong menunjuk ke sana ke mari, sepertinya dia tidak melihat apa pun yang ada di hadapannya.

"Jahanam! Pat Kwa Bun dengan kau...."

Berkata sampai di sini, Lim Kek Ong memuntah darah segar dan nafasnya pun berhenti seketika! Tam Goat Hua melihat Lim Kek Ong sudah binasa, hatinya jadi kacau balau. Padahal dia yang mencegah orang tua itu agar jangan membunuh diri, namun orang tua itu justru mati di tangannya. Tam Goat Hua tertegun, kemudian merasa bahunya sakit sekali. Dia segera meraba bahunya, ternyata bahunya telah terluka. Dia masih harus melanjutkan perjalanan ke Istana Setan Pak Bong San yang penuh bahaya itu, tapi kini bahunya terluka, maka cukup menambah kesulitannya.

Diam-diam gadis itu menghela nafas panjang lalu berjalan ke belakang sebuah pohon. Dia membuka baju atasnya, kemudian mengobati bahunya. Setelah itu barulah dia keluar dari belakang pohon itu, dan memandang mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.

Walau Lim Kek Ong tidak menutur, namun Tam Goat sudah menduga bahwa kedua puluh enam orang itu tentu sedang melakukan perjalanan ke puncak Sian Jin Hong. Tapi ketika sampai di tempat itu, justru muncul suara harpa misterius yang membuat mereka saling membunuh.

Dugaan gadis itu memang masuk di akal, karena dia sendiri juga pernah terpengaruh oleh suara harpa tersebut, yaitu ketika dia dan kakaknya meninggalkan Hou Yok menuju ke Bu Yi San. Tak sampai setengah mil, mendadak terdengar suara harpa yang amat nyaring. Sebelum mereka berdua tahu berasal dari mana suara harpa itu, tiba-tiba pikiran mereka menjadi kabur. Mereka hanya merasa terus berlari dengan kencang sekali. Ketika suara harpa itu berhenti, mereka baru tahu bahwa diri mereka masih tetap berada di tempat semula. Mereka berdua terheran-heran ketika itu, padahal Tam Goat Hua ingin menemui ayahnya untuk menanyakan tentang kejadian aneh tersebut, namun belum bertemu.

Di puncak Sian Jin Hong, dia mendengar penuturan Hwe Hong Sian Kouw tentang suara harpa. Wanita itu mendengar suara harpa lalu bertarung dengan si Pecut Emas-Han Sun, hingga akhirnya si Pecut Emas-Han Sun mati di tangannya. Ditambah kejadian tadi yang disaksikannya dengan mata kepala sendiri, yaitu Cik Sia Pai bertarung dengan Pat Kwa Bun, maka Tam Goat Hua berkesimpulan bahwa suara harpa itu pembawa petaka. Kejadian itu tentunya berkaitan dengan apa yang dikatakan ayahnya, bahwa rimba persilatan akan timbul suatu petaka.

Berpikir sampai di sini mendadak Tam Goat Hua teringat pula, Lim Kek Ong semula baik-baik berbicara dengannya, tapi kemudian mendadak menyerangnya mati-matian. Hingga saat ini dia masih tidak paham, kenapa bisa begitu? Tam Goat Hua terus berpikir lebih seksama. Sebelum menyerangnya, Lim Kek Ong terus menatap kotak kecil yang di tangannya dengan mata melotot. Apakah kotak kecil itu yang menyebabkan Lim Kek Ong menyerangnya?

Sebelum mati, Lim Kek Ong kelihatan seperti punya dendam kesumat terhadap Tam Goat Hua, bahkan mencaci ‘jahanam’. Apakah ayahnya dan Lim Kek Ong punya dendam? Setelah berpikir sejenak tapi tak dapat memecahkan masalah itu, maka dia pun tidak mau berpikir lagi. Disimpannya kotak kecil serta bungkusan obat itu ke dalam bajunya.

Sesungguhnya dia ingin mengubur mayat-mayat itu, namun sebelah bahunya tak memberi izin, karena masih terasa sakit sekali. Tam Goat Hua memandang mayat-mayat itu, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia menghela nafas panjang, dan melangkah pergi. Saat itu hari sudah siang, tak lama dia sudah sampai di jalan besar. Sudah banyak kereta kuda berlalu lalang di jalan besar itu.

Tam Goat Hua melanjutkan perjalanan ke utara. Ketika hari mulai petang, tampak sebuah kota besar di depan. Karena dia memang sudah lapar dan ingin membeli seekor kuda, maka dia mempercepat langkahnya agar segera sampai di kota itu. Sungguh indah kota tersebut, namun Tam Goat Hua tidak punya waktu untuk menikmati keindahan kota itu. Dia langsung memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar. Kebetulan matanya mengarah ke halaman belakang rumah makan itu. Seketika dia nyaris tak dapat mengayunkan kakinya saking terkejut.

Ternyata di halaman belakang rumah makan yang amat luas itu, tampak dua tiga puluh ekor kuda sedang minum, dan beberapa buah kereta kuda. Di antara kereta kuda itu ada satu yang amat mewah, dihiasi dengan berbagai macam permata. Begitu melihat kereta kuda mewah itu, Tam Goat Hua langsung teringat akan suara harpa misterius. “Kereta mewah tersebut berada di sini, tentunya para penumpangnya berada di dalam rumah makan ini,” pikirnya.

Berpikir sampai di situ, hati Tam Goat Hua mulai tegang dan berkebat-kebit tidak karuan, namun juga merasa girang. Dia menengok ke kiri dan ke kanan. Rumah makan itu luas sekali, bahkan berloteng. Tam Goat Hua tidak melihat ada seorang pun memperhatikan dirinya, maka cepat-cepatlah dia mundur dari tempat itu. Setelah itu, dia pun bersikap biasa dan menerobos ke halaman belakang rumah makan itu. Tampak beberapa orang sedang sibuk membersihkan kuda, jadi tidak tahu akan keberadaannya di tempat itu.

Badan Tam Goat Hua berkelebat, tahu-tahu sudah berada di samping kereta kuda mewah. Sepasang matanya melirik ke sana ke mari. Setelah tahu bahwa tiada seorang pun memperhatikan dirinya, maka dia segera menyingkap gordyn kereta kuda mewah itu dan langsung memandang ke dalam. Dekorasi di dalam kereta itu sangat indah. Di sana terdapat sebuah meja dan sebuah harpa kuno di atas meja itu. Begitu melihat harpa kuno itu, hati Tam Goat Hua semakin tegang. Diperhatikannya harpa itu justru berbeda dengan harpa biasa, karena harpa biasa bersenar tujuh, sedangkan harpa kuno itu bersenar delapan.

Sebetulnya Tam Goat Hua ingin memasuki kereta kuda itu tapi tidak berani, karena melongok ke dalam kereta kuda itu pun sebenarnya sudah berbahaya besar bagi dirinya. Oleh karena itu, dia segera kembali ke ruang rumah makan. Tam Goat Hua langsung naik ke loteng, di mana terdapat puluhan meja yang sebagian sudah dipenuhi para tamu. Gadis itu tidak dapat membedakan, yang mana pedagang, pelancong dan kaum rimba persilatan.

Setelah menengok ke sana ke mari sejenak, barulah Tam Goat Hua duduk di sudut. Pelayan rumah makan segera menghampirinya, dan Tam Goat Hua memesan beberapa macam hidangan. Setelah itu, barulah Tam Goat Hua memperhatikan para tamu yang berada di ruangan itu, kelihatannya para tamu terdiri dari para pedagang,

Tujuh delapan orang berpakaian sastrawan duduk di hadapan Tam Goat Hua. Gadis itu memperhatikan mereka, namun tiada seorang pun mirip orang rimba persilatan. Kemudian dia memperhatikan tamu-tamu yang lain. Tampak seseorang seperti piausu sedang bercakap-cakap dengan kawan-kawannya. Mata Tam Goat Hua telah menyapu seluruh loteng itu, tapi tidak melihat ada orang yang mencurigakan.

Tak seberapa lama kemudian, semua hidangan yang dipesannya telah disajikan. Dia mulai bersantap sambil memperhatikan tamu-tamu yang baru naik ke loteng. Di samping itu dia pun membatin, mungkinkah pemilik kereta kuda itu cuma menaruh kereta kudanya di sini, orangnya justru ke tempat lain? Di saat Tam Goat Hua sedang membatin, mendadak seorang pelayan rumah makan menghampirinya, lalu membungkukkan badannya seraya bertanya.

"Maaf, apakah nona bermarga Tam?"

Begitu mendengar pertanyaan itu Tam Goat Hua tersentak hatinya. Dia sama sekali tidak menduga, di tempat ini ada orang mengetahui marganya. Tadi ketika dia pergi memeriksa kereta kuda itu, apakah pemiliknya sudah tahu akan perbuatannya, maka mau cari urusan dengannya? Pemilik kereta kuda itu berkepandaian amat tinggi, sudah pasti dia bukan lawannya. Oleh karena itu, Tam Goat Hua tidak tahu harus mengaku atau tidak, hanya menyahut bingung, "Nggg...."

"Kalau nona adalah Nona Tam, ada seorang tamu menitip suatu barang untuk nona," pelayan rumah makan memberitahukan sambil tersenyum.

Tam Goat Hua tercengang, kemudian bertanya. "Barang apa itu?"

Pelayan itu menaruh sebuah bungkusan di atas meja sambil menyahut. "Barang ini."

Ketika pelayan rumah makan menaruh bungkusan itu, terdengar suara menggeblak, sepertinya bungkusan kecil itu amat berat. Tam Goat Hua tidak segera membuka bungkusan kecil itu, melainkan bertanya dulu sambil menatap pelayan rumah makan itu.

"Seperti apa orang yang menitipkan bungkusan ini kepadamu?"

Pelayan itu tertawa. "Dia tampak seperti seorang tuan besar, sebab langsung memberiku hadiah dua tael perak. Katanya, kalau barang ini sampai di tangan nona, maka nona pun akan memberi ku hadiah juga."

Tam Goat Hua segera bertanya. "Kapan dia menitipkan barang ini kepadamu?"

Pelayan rumah makan menyahut dengan hormat. "Barusan di depan pintu. Tuan itu memanggilku, dia justru Dewa Rejeki bagiku...."

Tam Goat Hua tahu percuma dia bertanya, maka dikeluarkannya dua tael perak lalu diberikan kepada pelayan rumah makan itu. "Kau boleh pergi!"

"Terima-kasih, nona," ucap pelayan rumah makan sambil menerima uang perak tersebut. "Terima-kasih...."

Setelah pelayan rumah makan itu pergi, barulah Tam Goat Hua membuka bungkusan itu. Dia tertegun karena ternyata bungkusan itu berisi sebuah panah kecil, yang ujungnya terdapat secarik kertas. Tam Goat Hua segera mengambil kertas itu, sekaligus membacanya.

‘Istana Setan merupakan tempat yang amat bahaya, nona Tam jangan ke sana menempuh bahaya’.

Tertegun Tam Goat Hua seusai membaca surat itu. Dia tahu bahwa orang yang memperingatkannya semalam, kini memperingatkannya lagi melalui surat. Namun dia sama sekali tidak tahu siapa orang itu, dan kenapa berbuat begitu baik kepadanya. Seandainya orang itu bermaksud jahat, bagaimana mungkin memperingatkannya sampai dua kali? Ketika Tam Goat Hua sedang berpikir, mendadak terdengar suara kereta kuda, dan terdengar pula denting suara harpa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar