Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 49

Lu Leng tertawa lalu menyela, "Mungkin kau harus memberi hormat kepadanya, karena dia adalah putra Bu Lim Ci Cun-Liok Ci Khim Mo!"

Mendengar itu, diam-diam Kim Kut Lau terkejut dalam hati. Walau dia tidak pernah berjumpa dengan Oey Sim Tit, tapi pernah didengarnya nama itu. Dia bahkan juga tahu Liok Ci Khim Mo punya seorang putra yang berwajah buruk dan memiliki ginkang yang amat tinggi. Maka begitu melihat Oey Sim Tit, Kim Kut Lau mempercayai omongan Lu Leng.

"Oh... kau ternyata Tuan Muda Oey Sim Tit, terimalah hormatku!" ujar Kim Kut Lau, kemudian memberi hormat.

"Apakah Busur Api berada padamu?" tanya Sim Tit.

Kim Kut Lau manggut-manggut. "Tidak salah!"

Oey Sim Tit seketika merasa gembira sekali. "Cepat berikan padaku! Cepat! Cepat!"

Kim Kut Lau tampak ragu. Susah payah merebut Busur Api, maksudnya ingin diserahkan kepada Liok Ci Khim Mo agar mendapat kedudukan tinggi dalam istana Ci Cun Kiong. Tapi setelah berpikir sejenak, diserahkan kepada Oey Sim Tit juga sama saja.

“Tuan muda, aku menempuh bahaya untuk memperoleh Busur Api ini. Aku memang ingin bergabung dengan ayahmu, agar mendapat kedudukanku...,” Kim Kut Lau tak melanjutkan kata-katanya.

Namun rupanya Oey Sim Tit segera dapat memaklumi kata-kata orang itu. "Oh, aku mengerti maksudmu. Kau ingin mendapat kedudukan tinggi, ayahku pasti menghargaimu. Aku pun amat berterima kasih padamu."

Wajah Kim Kut Lau langsung berubah. Girang sekali hatinya mendapat sambutan dari putra Liok Ci Khim Mo itu. “Tuan muda, lebih baik kujaga Busur Api ini sebelum tiba di istana Ci Cun Kiong. Aku jamin lebih aman di tanganku!”

Oey Sim Tit cepat menggelengkan kepala. “Tidak! Tidak! Cepatlah kau serahkan padaku! Aku tidak menghendaki Busur Api itu jatuh ke tangan orang lain lagi!"

Kim Kut Lau jadi berpikir dan berpikir lagi. Dia ragu kembali. "Kalau begitu, tuan muda jangan melupakanku!" ujarnya kemudian penuh harap.

Oey Sim Tit mengangguk. “Tentu!"

Kim Kut Lau memandang Tong Hong Pek bertiga, lalu berkata pada Oey Sim Tit, “Tuan muda, mari kita ke sana! Aku akan serahkan Busur Api padamu!"

Usai berkata, Kim Kut Lau melesat pergi. Kira-kira lima puluh depa dari tempat itu dia berhenti. Oey Sim Tit segera mengikutinya. Tong Hong Pek bertiga melihat Kim Kut Lau mengeluarkan Busur Api, diserahkan kepada Oey Sim Tit. Kemudian dia menunjuk mereka bertiga sambil berbisik-bisik. Tampak Oey Sim Tit menggeleng-gelengkan kepala. Meski pun tidak tahu apa yang dibisikkan Kim Kut Lau pada Oey Sim Tit, mereka dapat menduga, pasti Kim Kut Lau ingin membunuh mereka bertiga dan Oey Sim Tit justru melarangnya.

Tampak mereka berdua bercakap-cakap sejenak. Tak lama kemudian Oey Sim Tit memberi hormat kepada Tong Hong Pek, lalu melesat pergi bersama Kim Kut Lau. Sekejap mereka berdua sudah tidak kelihatan. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tertawa getir sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Ke sana ke mari, akhirnya Busur Api itu tetap kembali pada Liok Ci Khim Mo!" gumamnya kepada Lu Leng dan Liat Hwe Cousu.

"Guru, asal Liok Ci Khim Mo tidak memusnahkan Busur Api itu, kita pasti punya kesempatan merebut kembali!" ujar Lu Leng meyakinkan.

Tong Hong Pek menghela nafas panjang. "Yaaah! Kini kita hanya berpikir begitu saja. Kita harus segera menyingkir sebab Kim Kut Lau amat licik. Kemungkinan besar dia akan balik ke mari lagi mencelakai kita."

Liat Hwe Cousu berkata dengan sengit, "Kalau mereka jatuh ke tanganku, aku akan menyiksa mereka habis-habisan!"

Tong Hong Pek cuma tersenyum getir. Lu Leng memungut golok pusaka Su Yang To, sementara Liat Hwe Cousu dan Tong Hong Pek mengambil kayu, lalu keduanya melangkah meninggalkan tempat itu. Kedua orang itu berjalan dengan bantuan dahan kayu sebagai tongkat. Ketiganya terus berjalan meski pun mengidap luka dalam cukup parah. Akhirnya sampailah mereka di suatu tempat yang terjal dan berbatu-batu. Tak jauh dari tempat itu mereka menemukan sebuah lobang yang bisa dijadikan tempat beristirahat.

Selama delapan hari mereka sama sekali tidak saling berbicara, hanya duduk bersila menghimpun hawa murni. Di antara mereka bertiga, Lu Leng yang mengalami luka paling ringan. Malam itu dia sudah mulai membaik. Maka selama beberapa hari ini dialah yang mencari air, buah-buahan dan kelinci untuk makan. Hingga ketika hari kesepuluh, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Liat Hwe Cousu sudah pulih hampir sembilan bagian. Barulah hari itu mereka menikmati sinar matahari.

"Bocah, beberapa hari ini kami telah menyusahkanmu!" ujar Liat Hwe Cousu sambil memegang bahu Lu Leng.

Lu Leng tahu, ucapan Liat Hwe Cousu barusan berdasarkan ketulusan hatinya, juga pertanda adanya kesan baik bagi dirinya. "ltu memang harus kulakukan!"

Liat Hwe Cousu mendongakkan kepala sambil tertawa gelak. "Saudara Tong Hong, setelah Liok Ci Khim Mo dibasmi, partaimu punya seorang generasi penerus. Ini masih pantas dimeriahkan. Bagi Hwa San Pai, untuk mencari pewaris sungguh sulit sekali!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tahu akan maksud Liat Hwe Cousu. "Bagaimana? Apakah ingin berebutan murid denganku?" tanyanya sambil menoleh.

Liat Hwe Cousu memandang Lu Leng, lalu menghela nafas. "Memang aku bermaksud demikian!" sahutnya kemudian.

Mendengar pembicaraan mereka, Lu Leng merasa terkejut. Apakah setelah pulih dari luka, mereka akan bertarung demi memperebutkan dirinya? Begitu pikir Lu Leng. Akan tetapi wajah Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek sama sekali tidak memperlihatkan kegusaran. Lu Leng sempat memperhatikan keduanya. Ketika mau membuka mulut, Tong Hong Pek telah mendahuluinya.

"Anak ini memang amat berbakat dan bertulang bagus. Liat Hwe tua! Bukan aku ingin melecehkan, Hwa San Pai terlalu ceroboh dalam memilih murid. Lihat sekarang banyak murid Hwa San Pai yang telah bergabung dengan Liok Ci Khim Mo, partai lain boleh dikatakan sudah tiada!"

Liat Hwe Cousu tertawa. "Hahaha! Kau mengatakan demikian ketika aku merasa tidak akan punya murid lagi!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tersenyum. "Liat Hwe tua, apabila kamu berminat, aku bersedia menyuruhnya berguru padamu!"

Liat Hwe Cousu terbelalak. "Sungguh?"

Lu Leng segera berseru, "Guru, ini...."

Tong Hong Pek memutuskan perkataannya, "Anak Leng, kau jangan memandang rendah Hwa San Pai dan memandang rendah Liat Hwe Cousu. Dia memiliki beberapa macam kepandaian yang amat hebat!"

"Guru, aku tetap orang Go Bi Pai!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tertawa. "Kalau begitu, apa salahnya kau mempelajari ilmu silat Hwa San Pai?"

Liat Hwe Cousu tahu akan maksud tujuan Tong Hong Pek, yakni menghendaki Lu Leng berguru padanya agar jadi murid Hwa San Pai juga. Kelak dia akan menjabat sebagai ketua Go Bi Pai dan Hwa San Pai. Ini memang belum pernah terjadi dalam rimba persilatan, hanya saja harus orang yang berbakat dan bertulang bagus untuk bisa menjadi seorang ketua partai macam itu. Dan tampaknya baik Liat Hwe Cousu mau pun Tong Hong Pek sama-sama mengetahui ketinggian bakat dan kemampuan anak muda ini. Maka belum sempat Lu Leng mengungkapkan perasaannya Liat Hwe Cousu telah mendahuIuinya.

"Aku setuju!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek memandang Lu Leng sambil tersenyum. Maka Lu Leng tahu, gurunya ternyata memang punya maksud begitu. Berdebarlah hati Lu Leng jadinya. Sesungguhnya dalam rimba persilatan, semua partai besar amat ketat. Tentang hal seperti itu jarang terjadi, jadi sebenarnya suatu kesempatan istimewa bagi Lu Leng. Apalagi dia tahu gurunya sendiri yang menghendakinya, maka Lu Leng tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Rasa gembira itu membuat Lu Leng tertegun.

Liat Hwe Cousu yang berdiri di sisinya tidak tahu apa yang dipikirkannya. Dia masih mengira Lu Leng tidak setuju. TimbuI sedikit rasa gusar dalam hati hingga dia mengeluarkan suara dengusan. "Hm!" lalu berkata, "Benarkah kau memandang rendah ilmu silat Hwa San Pai? Benarkah begitu?”

Lu Leng agak terkejut mendengar ucapan Liat Hwe Cousu. "Aku tidak bermaksud demikian," sahutnya sambil menoleh ke orang tua di sampingnya itu.

Liat Hwe Cousu tertawa gelak. "Hahaha! Kalau begitu, apakah kau tidak tahu maksud gurumu?"

Lu Leng memandang Tong Hong Pek. Gurunya itu manggut-manggut sambil tersenyum. Maka serta merta pemuda itu bangkit dan bergerak ke depan Liat Hwe Cousu. Dia langsung bersujud tiga kali di hadapan orang nomor satu bagi Hwa San Pai itu.

"Teecu mengerti!" ucapnya sambil terus memberi penghormatan.

Liat Hwe Cousu berdiri tegak di tempat menerima penghormatan, setelah itu maju selangkah untuk membangunkan Lu Leng. Wajahnya tampak berseri-seri diwarnai senyum gembira. "Anak Leng, kalau ketua Hwa San Pai menerima murid, sesungguhnya merupakan urusan besar. Mestinya mengundang kaum rimba persilatan untuk menyaksikan serta melaksanakan peresmian dengan upacara pula. Tapi kini Liok Ci Khim Mo berkuasa dalam rimba persilatan, maka terimalah dengan cara sederhana ini aku menerima dirimu jadi muridku!"

Tong Hong Pek tertawa mendengar kata-kata Liat Hwe Cousu. "Liat Hwe tua, kau sungguh banyak tata tertib! Padahal hanya menerima seorang murid saja!"

Liat Hwe Cousu terdiam, wajahnya tetap serius. Setelah menarik nafas akhirnya dia berkata, "Anak Leng, kau pasti berpikir, guru berkepandaian amat tinggi, namun terhadap orang selalu berlaku sewenang-wenang. Ya, kan?"

Mendengar kata-kata Liat Hwe Cousu, Lu Leng tersentak. Dia memang teringat akan perbuatan Liat Hwe Cousu di gunung Tang Ku Sat. Namun niat berguru pada Liat Hwe Cousu ini memang karena Liat Hwe Cousu berkepandaian amat tinggi, dan ternyata guru barunya ini seperti dapat membaca pikirannya.

Lu Leng segera berkata, "Guru, teecu tidak berani!"

"Perbuatanku terhadapmu di gunung Tang Ku Sat itu memang keterlaluan. Namun kini kita sudah jadi guru dan murid, semua itu tidak perlu diungkit lagi. Ya, kan?"

Dari ungkapan kata-katanya yang tulus itu jelas kalau Liat Hwe Cousu mengaku salah terhadapnya, dan ini merupakan hal yang luar biasa mengingat kedudukan ketua Hwa San Pai ini di rimba persilatan. Tanpa sungkan-sungkan dia menyatakan hal itu kepada Lu Leng.

"Teecu terima perintah Suhu!" berkata Lu Leng dengan penuh rasa hormat.

Liat Hwe Cousu tersenyum memandang Lu Leng. "Baik! Kau memang anak yang baik!"

Lu Leng cuma tersenyum, tidak bicara apa-apa. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek lalu bertanya kepada Lu Leng, tentang bagaimana dia memperoleh Busur Api itu. Lu Leng segera menceritakannya. Tentang pengejarannya terhadap empat orang buta bersama Tam Goat Hua, sampai datangnya Liok Ci Khim Mo dan para anak buahnya.

"Kini Busur Api itu lepas lagi dari tanganmu, tapi kurasa tidak terlalu sulit untuk merebut kembali meski pun kurasa Liok Ci Khim Mo akan terus berada dalam istananya," ujar Liat Hwe Cousu setelah Lu Leng selesai bercerita.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tertawa. "Liat Hwe tua, Liok Ci Khim Mo telah kehilangan Busur Api itu satu kali, kini pasti berhati-hati sekali. Bagaimana kau katakan tidak begitu sulit?"

Liat Hwe Cousu tersenyum. "Busur Api merupakan benda pusaka dalam rimba persilatan, tentunya Liok Ci Khim Mo tidak akan memusnahkannya. Karena itu kita punya kesempatan untuk mengambilnya. Yang paling sulit justru mencari Panah Bulu Api."

"Guru tahu Panah Bulu Api itu berada di mana?" tanya Lu Leng kepada Liat Hwe Cousu.

Liat Hwe Cousu menyahut, "Saudara Tong Hong, kau tahu tentang Mo Liong Seh Sih yang bunuh diri?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek manggut-manggut.

"Walau Mo Liong Seh Sih mati sia-sia, tapi justru membuat Panah Bulu Api itu ada jejaknya," cetus Liat Hwe Cousu.

Betapa girangnya Tong Hong Pek dan Lu Leng mendengar keterangan Liat Hwe Cousu itu.

"Jejak Panah Bulu Api? Di mana?" tanya Lu Leng dan Tong Hong Pek tak sabaran.

Sesungguhnya mengenai hal itu Liat Hwe Cousu tidak akan memberitahukan kepada siapa pun. Namun kini boleh dikatakan dia telah bekerja-sama dengan Tong Hong Pek. Lagi-pula telah menerima Lu Leng sebagai murid, maka dia harus memberitahukan tentang rahasia jejak Panah Bulu Api itu.

"Anak Leng, apakah kau masih ingat akan sepotong ujung lengan baju yang terjepit di lempengan besi penutup makam nyonya Mo Liong Seh Sih?"

Lu Leng mengangguk. "lngat!"

"Jejak Panah Bulu Api berkaitan dengan ujung lengan baju itu," ujar Liat Hwe Cousu memberitahukan.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata sambil tertawa, "Liat Hwe tua, janganlah kau jual mahal!"

Liat Hwe Cousu tersenyum. "Siapa yang jual mahal? Hanya saja semua itu harus dibicarakan secara jelas."

Tong Hong Pek manggut-manggut. "Baik! Baik! Kau boleh ceritakan perlahan-lahan saja."

Liat Hwe Cousu mengangguk. “Tentu! Ketika melihat ujung lengan baju itu, aku tahu pasti ada orang memasuki makam nyonya Mo Liong Seh Sih mencuri Panah Bulu Api. Tapi untuk mengetahui siapa orang itu...."

"Tidak salah. Kalau hanya berdasarkan ujung lengan baju, bukankah sulit sekali untuk mengenali orang itu?"

Liat Hwe Cousu tertawa. "Saudara Tong Hong, kau dicap sebagai orang cerdik dan pintar! Kini aku harus pertimbangkan itu!"

Usai berkata Liat Hwe Cousu mengeluarkan sepotong ujung lengan baju yang telah hancur, kemudian diberikan kepada Tong Hong Pek.

"Lihatlah ujung lengan baju ini, apakah kau dapat menerka siapa yang telah memasuki makam nyonya Mo Liong Seh Sih di masa lalu?"

Tong Hong Pek memelototi Liat Hwe Cousu, lalu menjulurkan tangannya mengambil ujung lengan baju yang sudah hancur itu. Diperhatikannya dengan seksama, lama sekali barulah dia mendongakkan kepala seraya berkata, "Liat Hwe tua, pantas kau ke Lam Hai!"

Ucapan itu membuat Lu Leng terheran-heran, sebaliknya Liat Hwe Cousu malah tertawa gelak. "Hahaha! Salut! Salut!"

Lu Leng segera bertanya, "Guru berdua, sebetulnya guru berdua sedang berteka-teki apa sih?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mengibaskan tangannya, maka ujung lengan baju itu beterbangan. "Ujung lengan baju itu dibikin dari sabuk kelapa, Liat Hwe tua! Apakah yang mencuri Panah Bulu Api itu adalah salah seorang Thian Ho Si Lo, Tiat Yeh Tocu-Tiat Sin Ong?"

Liat Hwe Cousu manggut-manggut mendengar pertanyaan itu. "Tidak salah! Aku pun dengar Lu Leng mengatakan bahwa di dalam peti mati terdapat secarik kertas. Tiat Sin Ong memang selalu bertindak misterius, maka kuduga pasti dia yang melakukannya!"

Tong Hong Pek tampak gembira. "Kalau begitu kepergianmu ke Lam Hai pasti sudah memperoleh hasilnya, kan?"

Liat Hwe Cousu menghela nafas panjang. "Ketika aku menduga Tiat Sin Ong yang melakukannya, aku pun segera berangkat ke pulau Tiat Yeh To. Namun ternyata amat mengecewakan...."

“Apakah Tiat Sin Ong masih hidup, maka dia tidak sudi memberikanmu Panah Bulu Api itu? Ataukah... kau tak sanggup melawannya?" sentak Tong Hong Pek penasaran.

Sesungguhnya Tiat Sin Ong memang masih hidup, bahkan Tam Goat Hua pernah bertemu beliau. Hanya saja gadis itu tidak pernah menceritakan kepada siapa pun, sehingga sampai kini tak seorang pun yang tahu tentang itu.

Liat Hwe Cousu menghela nafas lagi. "Seandainya Tiat Sin Ong masih hidup, urusan ini pasti akan beres!"

"Kalau begitu...," sahut Tong Hong Pek. "Apakah para muridnya tidak bersedia menyerahkan Panah Bulu Api itu kepadamu?"

Liat Hwe Cousu menggeleng kepala. "Juga bukan!"

Lu Leng kelihatan tidak sabaran, maka segera berkata, "Guru, cepat beritahukan!"

"Setelah Beng Tu Lojin meninggal, Tiat Sin Ong pun pergi dari pulau Tiat Yeh To untuk melawat. Para penghuni pulau itu yang berkepandaian tinggi sudah tidak begitu banyak."

Tong Hong Pek dan Lu Leng diam saja. Mereka berdua hanya mendengar, tidak ingin menyela.

"Aku duga peristiwa pencurian Panah Bulu Api itu setelah dia melawat. Hanya yang membuatku heran, sekarang sudah hampir dua puluh tahun tak pernah terdengar jejaknya, entahlah dia menghilang ke mana?" Liat Hwe Cousu menggeleng-gelengkan kepala.

Kemudian Tong Hong Pek pun berkata, "Tiat Sin Ong, Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po pernah berjumpa di Cing Yun Ling Go Bi San. Setelah itu mereka bertiga tak pernah meninggalkan jejak. Aku tahu dari Lu Leng bahwa Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po meninggal di pulau Hek Ciok To, tapi mengenai Tiat Sin Ong sama sekali tiada kabar beritanya. Berada di mana, sudah mati atau masih hidup, masih merupakan sebuah teka-teki!" setelah terdiam sesaat Liat Hwe Cousu kembali berkata. "Benar, aliran ilmu silat pulau Tiat Yeh To tentunya tidak akan lenyap begitu saja. Berhubung Tiat Sin Ong tidak kembali ke pulau itu, maka para muridnya berangkat ke Tionggoan mencarinya. Kemungkinan besar para muridnya telah meninggal di Tionggoan. Aaaah! Kini harus ke mana mencari Tiat Sin Ong? Lagi-pula sudah sekian lama, mungkin dia telah meninggal!"

Seusai Liat Hwe Cousu berkata begitu, mereka lalu diam. Ketiganya seakan dilanda rasa bingung. Kini mengenai Panah Bulu Api memang ditemukan jejaknya, namun kembali buntu karena Tiat Sin Ong tiada kabar beritanya, bahkan tiada jejaknya.

Berselang beberapa saat Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek membuka mulut, "Biar bagaimana pun kita harus berupaya!"

Liat Hwe Cousu tersenyum getir. "Tentunya hanya begitu saja!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berpikir dengan kening berkerut-kerut, kemudian dia menoleh kepada muridnya. "Anak Leng, Thian Sun Sianjin, Pian Liong Sian Po dan Tiat Sin Ong, setelah berjumpa di Cing Yun Ling Go Bi San mereka bertiga lalu menghilang. Mungkin mereka ada kaitannya satu sama lain. Di pulau Hek Ciok To, apakah kau menemukan suatu jejak sebagai petunjuk ke mana perginya Tiat Sin Ong?"

Lu Leng menggeleng. "Tidak ada!"

Tong Hong Pek menghela nafas panjang. "Manusia memang harus berupaya, maka kini kita tidak boleh putus asa!" Usai berkata begitu, Tong Hong Pek berjalan mondar-mandir beberapa langkah, lalu berkata lagi, "Anak Leng, kita bertiga tidak perlu bersama-sama. Kau ikut Liat Hwe tua mempelajari ilmu kepandaiannya, sedangkan aku akan pergi mencari Tiat Sin Ong. Dengan cara ini mungkin ada harapan!"

Walau Lu Leng tidak mau berpisah dengan gurunya itu, namun Tong Hong Pek sudah berkata begitu, maka dia harus menurut. "Guru, kalau begitu kita akan berjumpa kembali di persimpangan jalan itu!"

Tong Hong Pek manggut-manggut. "Baik!"

Menjawab begitu tahu-tahu Tong Hong Pek telah melesat. Sekejap saja orang itu telah jauh. Lu Leng memandang punggungnya, hatinya merasa berat sekali berpisah dengan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek.

Liat Hwe Cousu tersenyum lembut. "Anak Leng, saudara Tong Hong menghendaki agar kau bersama denganku. Maksudnya agar kau belajar sedikit ilmu silat Hwa San Pai. Kuharap kau memahaminya."

"Teecu paham!" kata Lu Leng sambil mengangguk.

"Kita tidak perlu mengikuti arah yang ditempuh saudara Tong Hong, juga tidak perlu ada tujuan. Yang penting harus berhasil mencari Tiat Sin Ong, bagaimana menurutmu?"

Lu Leng tidak segera menjawab, melainkan berpikir sejenak. "Guru, menurutku lebih baik kita pergi ke istana Ci Cun Kiong!" ujar Lu Leng kemudian.

Liat Hwe Cousu terbelalak. "Mau apa ke istana Ci Cun Kiong?"

"Cepat atau lambat kita harus pergi ke sana untuk merebut Busur Api itu. Sekarang jika kita pergi, Liok Ci Khim Mo pasti tidak berjaga-jaga. Kalau bisa bertemu Oey Sim Tit dan Kim Kut Lau di tengah jalan, bukankah kita dapat membekuk mereka sekaligus merebut Busur Api itu?"

Apa yang dikatakan Lu Leng memang masuk akal.

Liat Hwe Cousu manggut-manggut. "Baik! Tapi dalam perjalanan kita jangan menimbulkan urusan! Aku akan mewariskan ilmu silat Hwa San Pai padamu dalam waktu sesingkat-singkatnya."

Wajah Lu Leng berseri. "Terima-kasih, guru!"

Mereka berdua mengambil arah timur menuju ke istana Ci Cun Kiong....

Kini mari kita mengikuti perjalanan Tam Goat Hua. Setelah berpisah dengan Lu Leng di bawah puncak Lian Hoa Hong, hatinya mulai terasa hampa lagi. Dia seorang diri terus berjalan tanpa tujuan, sepanjang jalan dia selalu teringat pada Tong Hong Pek dan Lu Leng. Di antara mereka bertiga terjalin hubungan yang kacau dan kusut. Tanpa sadar air matanya pun meleleh. Setelah menempuh kira-kira dua puluh mil, Tam Goat Hua beristirahat di bawah pohon. Ia termenung, matanya menatap lurus ke depan. Kosong, hanya ada gambaran kekacauan hatinya. Saat seperti inilah dirinya merasakan betapa sempitnya dunia ini.

Dia ingin mencari suatu tempat yang sepi dan terpencil, hidup mengasingkan diri untuk selama-lamanya tidak bertemu dengan siapa pun. Tapi harus ke mana mencari tempat yang diinginkannya itu? Dia bukan tidak pernah mencoba. Kuil biarawati yang sudah tua itu sebenarnya sudah berada di tempat yang sepi dan terpencil. Namun ternyata tidak sampai satu bulan, muncul Lu Leng dan Tong Hong Pek. Rasanya semakin besar keinginan untuk menyingkir, tapi justru semakin sulit melakukannya.

Setelah termenung beberapa saat, dia menyeka air matanya, kemudian bangkit berdiri dan berjalan. Dia tidak berjalan ke luar dari rimba itu, sebaliknya malah berjalan makin ke dalam. Perlahan sekali sambil pikirannya melayang-layang, kaki Tam Goat Hua terus melangkah. Hatinya ingin menghindarkan diri dari kehidupan nyata ini. Tak seberapa lama, hari sudah mulai gelap. Tam Goat Hua mencari sebuah goa untuk berlindung dan beristirahat. Akhirnya tak lama kemudian dia menemukan tempat beristirahat. Tidurlah gadis itu dengan pulas di dalam sebuah goa.

Apa yang diimpikannya hanya kejadian di Cing Yun Ling Go Bi San, sembahyang langit dan bumi bersama Tong Hong Pek. Akhirnya dia tidak melihat apa-apa, rasanya gelap dan dirinya terus tenggelam, sepertinya tenggelam ke dalam sebuah lobang. Dia ingin meraih sesuatu agar bisa naik ke atas, tapi tiada berdaya. Tenaganya seperti lenyap, dan tubuhnya terus tenggelam makin dalam. Gelap gulita di dalam lobang itu hingga tak tampak apa pun. Suasana pun begitu sunyi dan sepi, terasa sangat mencekam. Ingin Tam Goat Hua berteriak, tapi tak mampu mengeluarkan suara.

Akhirnya Tam Goat Hua terjaga. Sekujur badannya penuh keringat. Dia membelalakkan mata dalam suasana gelap, tapi tak terlihat apa pun. Gelapnya seperti di dalam lobang di mimpinya tadi. Walau sudah terjaga tapi dia tetap seperti berada di dalam lobang yang gelap gulita itu. Tam Goat Hua berusaha tenang, kemudian bangun duduk. Teringat dia sedang seorang diri di tempat asing dan sunyi ini. Dia memang ingin menyendiri dari khalayak ramai, tak mau bertemu siapa pun, selamanya hanya seorang diri. Dalam hati timbullah rasa sedih, tak tertahan hingga akhirnya sesenggukan menangis. Ingin rasanya membunuh diri di dalam goa itu, namun ucapan Tiat Sin Ong terus terngiang-ngiang di dalam telinganya.

"Kau harus tahu, yang hidup di dunia bukan cuma kau seorang. Walau nyawa adalah milikmu, tapi kau tidak berhak menghabiskannya."

Teringat akan ucapan Tiat Sin Ong, hatinya pun terasa gugup. Dia terus memikirkan ucapan Tiat Sin Ong. Cukup lama gadis itu duduk termenung di kegelapan goa, hingga akhirnya tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar. Dia tahu itu suara wanita meski pun sangat rendah. Tentu saja Tam Goat Hua terkejut. Di tempat yang sedemikian sunyi ternyata ada juga suara orang.

Sepertinya suara itu bertanya padanya, "Kau ingin mencari jalan mati?"

Tam Goat Hua nyaris menyahut "Ya", namun di saat bersamaan terdengar helaan nafas seorang gadis. Terdengar lagi suara wanita tua.

"Bunuh diri itu merupakan tindakan yang tak berguna!"

Sesaat kemudian yang seorang gadis menyahut, "Guru, dia... dia sama sekali tidak mencintaiku. Kalau aku tidak mati, lalu apa gunanya hidup di dunia?"

Suasana di dalam rimba amat sunyi, maka percakapan mereka dapat terdengar jelas. Tapi siapa mereka, Tam Goat Hua tidak tahu.

"Ternyata orang yang bernasib malang di kolong langit tidak cuma aku seorang!" gumam Tam Goat Hua dalam hati. Dia bangkit berdiri lalu perlahan-lahan berjalan ke luar.

Sementara itu terdengar wanita tua berkata lagi, "Dia tidak mencintaimu, kau harus sadari itu! Kau tahu, sesungguhnya kau telah melanggar peraturan perguruan, tapi aku tidak menghukummu. Aku hanya berharap, mulai sekarang kau dapat menenangkan hati, dan berharap dapat membasmi Liok Ci Khim Mo agar dapat mengembangkan perguruan kita lagi. Itu merupakan tugasmu!"

Saat itu Tam Goat Hua sudah berjalan ke luar dari goa beberapa depa. Ketika mendengar perkataan wanita tua itu, tergetarlah hatinya. "Hah? Ternyata mereka!" katanya dalam hati.

Dari percakapan mereka, Tam Goat Hua tahu bahwa mereka adalah si Walet Hijau-Yok Kun Sih ketua Hui Yan Bun dan Toan Bok Ang. Tentunya gadis itu pun tahu, mengapa Toan Bok Ang bersedih hati. Karena yang dicintai Lu Leng justru dirinya, bukan Toan Bok Ang. Setelah mengetahui siapa mereka, Tam Goat Hua tidak melanjutkan langkahnya lalu bersandar di sebuah batu.

Terdengar Toan Bok Ang menghela nafas panjang. "Aaaah!" kemudian berkata, "Guru, aku khawatir sudah tidak bisa."

Begitu Toan Bok Ang usai berkata, Yok Kun Sih langsung membentak gusar dan dingin, "Omong kosong!"

"Dia... dia sama sekali tidak mencintaiku...," kata Toan Bok Ang sambil terisak-isak.

"Dia tidak mencintaimu, lalu gara-gara gagal dalam bercinta, kau tidak ingin hidup lagi? Ini sungguh merupakan tindakan yang amat memalukan! Perguruan Hui Yan Bun hanya menerima murid wanita dan melarang para muridnya menikah. Itu disebabkan dulu pendiri perguruan Hui Yan Bun mengalami kegagalan dalam hal bercinta. Kalau pendiri Hui Yan Bun putus asa, bagaimana masih ada Hui Yan Bun?"

Apa yang dikatakan Yok Kun Sih, semuanya masuk ke telinga Tam Goat Hua sehingga membuatnya tersentak sadar. "Benar! Orang hidup di dunia tidak mungkin terlepas dari masalah," katanya dalam hati.

Di saat Tam Goat Hua sedang berpikir, terdengar lagi Yok Kun Sih berkata dengan suara dalam, "Apabila pikiranmu tidak terbuka, ingin sekali mati, lalu mengapa harus bunuh diri?"

"Kalau begitu harus bagaimana?" tanya Toan Bok Ang dengan suara hambar.

Yok Kun Sih tertawa dingin. "Selama ini kubawa kau menyingkir ke sana ke mari, tidak lain karena Hui Yan Bun hanya tersisa aku dan kau berdua, tidak boleh ada yang mati. Namun kalau kau tak sadar, tetap tidak mau menjadi orang, apa boleh buat! Aku pun terpaksa harus menganggap kehilangan seorang murid...," berkata sampai di sini, nada suara Yok Kun Sih berubah menjadi penuh kedukaan.

Terdengar Toan Bok Ang berkata, "Guru, aku yang tidak baik, namun aku sudah tiada akal lagi."

"Urusan sudah jadi begini, percuma kau sesali! Kalau memang kau ingin mati, haruslah mati secara berguna!"

"Guru, bagaimana mati secara berguna?" tanya Toan Bok Ang dengan sedih.

"Kulihat kau memang sudah bertekad untuk mati, kenapa tidak pergi bertempur melawan Liok Ci Khim Mo? Bukankah kalau tak sanggup melawannya kau akan mati? Itulah yang disebut mati secara berguna!" sahut Yok Kun Sih sambil menatapnya.

Mendengar kata-kata Yok Kun Sih itu, Tam Goat Hua lalu berkata dalam hati, "Tidak salah! Kalau pun ingin mati, haruslah mati secara berguna...."

Terdengar Toan Bok Ang berkata, "Guru, aku... aku pasti menuruti perkataan guru." Usai berkata dia lalu menangis terisak-isak.

Tam Goat Hua maju beberapa langkah. Dilihatnya Yok Kun Sih dan Toan Bok Ang saling memeluk dengan air mata bercucuran.

Berselang sesaat terdengar Yok Kun Sih menghela nafas panjang, kemudian berkata, "Anak Ang, sejak kecil kau tidak mempunyai orang-tua. Walau kita adalah guru dan murid, namun sesungguhnya hubungan kita bagaikan ibu dan anak. Kalau kau ingin pergi untuk mati, apakah kau sama sekali tidak memikirkan diriku dan bagaimana dukaku nanti?"

Dulu Tam Goat Hua menganggap Yok Kun Sih sebagai wanita tua yang tak berperasaan. Akan tetapi, kini setelah mendengar apa yang dikatakan wanita tua itu, barulah dia tahu bahwa sesungguhnya Yok Kun Sih merupakan wanita tua yang amat berperasaan.

Terdengar Toan Bok Ang menyahut dengan tersendat-sendat, "Guru, aku... aku sudah... memikirkan itu."

"Anak Ang, aku tahu kau bukan gadis yang tak berperasaan. Kau sudah memikirkan itu, tapi tetap ingin mati, tentunya aku tidak akan menasihatimu lagi. Kau pergilah!" kata wanita tua itu, lalu membalikkan badannya sekaligus melesat pergi.

Toan Bok Ang berseru dengan air mata berderai-derai, "Guru! Guru...!"

Tampak Yok Kun Sih berhenti, tapi tidak menoleh. "Kecuali kau membatalkan niatmu untuk mati, kalau tidak, untuk apa kau memanggilku lagi? Apakah kau masih merasa tidak cukup membuat hatiku berduka?"

Toan Bok Ang tertegun, kemudian menjatuhkan diri berlutut ke arah Yok Kun Sih. "Guru, begitu aku tahu dia tidak mencintaiku, aku sudah tiada gairah hidup lagi. Aku pun tahu akan membuat hati guru berduka, namun aku sungguh tak sanggup hidup terus dengan penuh derita!"

Yok Kun Sih menghela nafas panjang. "Anak Ang, aku tidak menyalahkanmu! Hanya berharap setelah kau mati, tidak akan menderita lagi! Aku... aku sudah merasa girang!" katanya lalu melesat pergi lagi.

Toan Bok Ang masih berlutut. Setelah bayangan Yok Kun Sih tidak kelihatan barulah gadis itu bangkit berdiri perlahan-lahan. Sedangkan Tam Goat Hua tak henti-hentinya menghela nafas. Dia tidak menyangka Toan Bok Ang akan bernasib malang sepertinya. Berdasarkan apa yang disaksikannya itu, sudah jelas Toan Bok Ang akan pergi bertarung dengan Liok Ci Khim Mo. Namun apabila hal itu benar-benar terjadi, Toan Bok Ang pasti akan celaka. Mendadak Tam Goat Hua teringat akan apa yang dikatakan Yok Kun Sih, yakni dari pada mati sia-sia, bukankah lebih baik pergi bertarung dengan Liok Ci Khim Mo?

Kemudian dia berjalan menghampiri Toan Bok Ang. "Nona Toan! Nona Toan!" serunya.

Toan Bok Ang segera membalikkan badannya. Mereka berdua saling memandangi, kemudian gadis itu bertanya dengan dingin, "Mau apa kau ke mari?"

Pertanyaan tersebut membuat hati Tam Goat Hua terasa pilu dan matanya langsung bersimbah air. "Nona Toan, nasibku lebih malang darimu. Kau hanya menghendaki orang yang amat kau cintai itu...."

Toan Bok Ang membentak memutuskan ucapan Tam Goat Hua. "Diam! Jangan banyak bicara!"

Tam Goat Hua tersenyum getir. "Nona Toan, kita berdua sama-sama bernasib malang, mengapa kau bersikap demikian terhadapku?”

"Kau punya kekasih yang mencintaimu, bagaimana kau bernasib malang?" sahut Toan Bok Ang dingin.

"Nona Toan, apabila orang yang amat kau cintai itu mencintaimu, tentunya kau akan hidup bahagia. Namun aku... tidak bisa berkumpul dengan orang yang kucintai. Bukankah nasibku lebih malang darimu?"

Toan Bok Ang tertegun mendengar itu. "Benar katamu. Ada urusan apa kau ke mari menemuiku?" tanyanya kemudian.

Tam Goat Hua maju ke hadapan Toan Bok Ang, lalu menggenggam tangan gadis itu erat-erat. "Kini kita berdua sudah tiada gairah hidup, memang lebih baik mati saja. Bukankah kita tidak akan menderita lagi?"

Toan Bok Ang manggut-manggut. "Tadi aku sudah mendengar percakapanmu dengan gurumu. Adik Toan, alangkah baiknya kita pergi ke istana Ci Cun Kiong."

"Baiklah," sahut Toan Bok Ang sambil tersenyum getir.

Tam Goat Hua malah tertawa. "Adik Toan, seandainya kita berhasil membasmi Liok Ci Khim Mo, tentunya kita tidak akan mati sia-sia. Tapi kalau tidak berhasil, niat kita itu tercapai, jadi tidak usah bunuh diri. Ya, kan?"

Toan Bok Ang manggut-manggut. "Tentu. Kakak Tam, entah sudah berapa kali aku ingin bunuh diri hingga guruku pun sudah putus asa terhadapku. Maka tekadku untuk mati sudah tidak dapat dibatalkan lagi."

Tam Goat Hua menghela nafas, kemudian mendadak bertanya, "Apakah Lu Leng tahu kalau hatimu amat berduka?"

Toan Bok Ang manggut-manggut. "Dia memang tahu. Ketika pertama kali aku mau bunuh diri, justru dia yang menyelamatkanku."

"Apa katanya pada waktu itu?" tanya Tam Goat Hua.

Toan Bok Ang tertawa. "Hahaha! Dia bilang apa boleh buat, karena dia tidak mencintaiku," kemudian usai berkata, Toan Bok Ang tertawa lagi dan memandang Tam Goat Hua seraya melanjutkan, "Kakak Tam, aku bilang kau amat bodoh. Dia begitu mencintaimu, mengapa kau harus menolak cintanya?"

Tam Goat Hua tersenyum getir. "Nona Toan, apabila kini ada seorang pemuda lain mencintaimu, sedangkan kau sudah punya kekasih, apakah kau akan menerima cinta dari pemuda itu?"

"Tentu tidak," sahut Toan Bok Ang.

"Nah! Begitu pula aku. Karena dalam hatiku sudah terdapat orang lain...."

Toan Bok Ang manggut-manggut. Mereka berdua saling memandang, lalu meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka tidak bercakap-cakap lagi. Ketika hari mulai terang, mereka berdua sudah sampai di sebuah jalan. Mendadak jauh di depan tampak debu mengepul. Mereka berdua cepat-cepat bersembunyi di pinggir jalan. Tampak puluhan orang menunggang kuda memacu ke depan, semuanya adalah kaum rimba persilatan.

Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang mengenali orang-orang itu, semuanya adalah orang-orang dari istana Ci Cun Kiong. Hanya saja mereka berdua tidak tahu bahwa orang-orang itu diutus Liok Ci Khim Mo untuk mencari Oey Sim Tit dan Busur Api. Setelah semua orang itu lewat, barulah Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang melanjutkan perjalanan menuju istana Ci Cun Kiong. Keesokan harinya mereka berdua sudah sampai di kaki gunung Tiong Tiau San.

"Adik Toan, walau kita ke mari dengan niat mati, tapi tidak perlu menerjang ke dalam mencari mati, bukan?" kata Tam Goat Hua.

Toan Bok Ang manggut-manggut. "Kita harus bersabar hingga malam, barulah ke istana Ci Cun Kiong," kata Tam Goat Hua lagi.

Toan Bok Ang menyahut, "Padahal sama saja. Menunggu satu hari akan menderita satu hari lagi."

Tam Goat Hua tahu, penderitaan Toan Bok Ang melebihi penderitaannya, namun gadis itu sama sekali tidak pernah menyalahkan Lu Leng. Mereka berdua beristirahat di tengah gunung satu hari lamanya. Setelah hari mulai gelap, barulah mereka menuju istana Ci Cun Kiong. Berselang beberapa saat mereka sampai di pintu gapura istana. Tampak dua orang penjaga di sana, maka mereka berdua memperlambat langkahnya.

Mereka berdua melewati sisi jalan yang dipenuhi rumput-rumput tinggi, dan tak lama sudah sampai di depan pintu gapura. Akan tetapi dua penjaga itu tidak tahu akan keberadaan mereka berdua. Toan Bok Ang dan Tam Goat Hua tercengang. Karena pintu gapura itu merupakan jalan utama menuju istana Ci Cun Kiong, tentunya penjaga di situ juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi mereka berdua sudah begitu dekat, bagaimana kedua penjaga itu tidak mengetahuinya?

Tam Goat Hua khawatir kedua penjaga itu sudah tahu tapi berpura-pura tidak tahu. Oleh karena itu dia memberi isyarat kepada Toan Bok Ang dengan gerakan tangan, lalu berhenti. Tampak salah seorang penjaga itu bersin beberapa kali, kemudian berkata kepada temannya,

"Siapa masih berani ke mari cari gara-gara? Tiada artinya kita menjaga di sini."

"Tidak salah, lebih baik kita duduk saja," sahut temannya.

Kedua penjaga itu duduk, lalu bercakap-cakap sejenak. Di saat itulah Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang maju beberapa langkah sehingga bertambah dekat dengan kedua penjaga itu. Kini mereka berdua melihat jelas kedua penjaga tersebut. Berdasarkan sorot mata kedua penjaga itu dapat diketahui mereka berkepandaian rendah. Akan tetapi Tam Goat Hua masih bercuriga, tidak mungkin kedua penjaga itu berkepandaian rendah. Jangan-jangan kedua penjaga itu memiliki lweekang yang amat tinggi sehingga tidak terlihat dari sorotan mata mereka. Namun pembicaraan mereka tadi membuktikan mereka merupakan penjahat rendahan.

Toan Bok Ang dan Tam Goat Hua memperhatikan sejenak, kemudian Toan Bok Ang berkata dengan suara rendah, "Kakak Tam, bagaimana kepandaian kedua penjaga itu?"

“Aku justru merasa heran. Kalau dikatakan mereka berkepandaian tinggi, sungguh tidak mirip! Namun para anak buah Liok Ci Khim Mo rata-rata memiliki kepandaian tinggi, maka tidak masuk akal dia menyuruh kedua orang itu untuk menjaga di sini!" sahut Tam Goat Hua dengan berbisik.

"Kita tidak memunculkan diri juga tidak bisa. Biar aku munculkan diri dulu melihat-lihat!" kata Toan Bok Ang.

Tam Goat Hua manggut-manggut. "Baik, aku akan menjagamu."

Toan Bok Ang bangkit berdiri, tapi kedua penjaga itu masih tidak tahu. Gadis itu maju beberapa Iangkah, kemudian berseru, "Hei! Siapa kalian berdua?"

Kedua penjaga itu langsung meloncat bangun, yang seorang saking terburu-buru sehingga nyaris terjatuh. Itu membuat Toan Bok Ang tertawa geli, lalu bertanya dalam hati, “Para jago tangguh istana Ci Cun Kiong, sedang pergi ke mana?”

Setelah berdiri, kedua penjaga itu memperhatikan Toan Bok Ang, barulah membusungkan dada seraya balik bertanya, "Siapa kau?"

Toan Bok Ang maju dua langkah lalu menyahut, "Aku bertanya kepada kalian, sebetulnya siapa kalian berdua?"

"Aku bernama Mo Yong, dia bernama Ciu Hou!" jawab penjaga yang bernama Mo Yong sambil menepuk dada.

Toan Bok Ang tertawa. "Apa kedudukan kalian berdua dalam istana Ci Cun Kiong, Tancu atau Pelindung?"

Ciu Hou tampak terkejut ketika mendengar pertanyaan gadis itu. "Bagaimana kami berkedudukan begitu tinggi?"

Saat ini Toan Bok Ang sudah yakin bahwa kedua penjaga itu hanya merupakan penjahat kecil. Mendadak Toan Bok Ang bergerak menerjang ke arah kedua penjaga itu. Betapa terkejutnya mereka berdua. Ingin berkelit tapi sudah terlambat, sebab Toan Bok Ang bergerak cepat sekali. Tangannya yang tinggal sebelah itu menghantam ubun-ubun mereka.

“Plak! Plak!” mata, hidung, telinga dan mulut mereka berdua mengeluarkan darah, kemudian tanpa menjerit mereka berdua sudah binasa.

Di saat itulah Tam Goat Hua memunculkan diri.

"Kakak Tam, apakah kedua orang itu sudah binasa?" tanya Toan Bok Ang.

Tam Goat Hua memandang kedua penjaga yang tergeletak di tanah itu, kemudian menyahut, "Sudah pasti binasa."

"Apakah di dalam istana Ci Cun Kiong telah terjadi sesuatu?" tanya Toan Bok Ang dengan heran.

"Mari kita masuk ke sana melihat-lihat dulu!" sahut Tam Goat Hua dengan heran pula.

Toan Bok Ang mengangguk. Mereka berdua menendang kedua mayat itu ke arah rerumputan, kemudian melesat ke istana. Akan tetapi di sepanjang jalan mereka tidak bertemu siapa pun. Semula mereka berdua melesat sambil bersembunyi namun kemudian tidak bersembunyi lagi dan terus melesat. Berselang beberapa saat, istana Ci Cun Kiong sudah berada di depan mata mereka. Tiada seorang penjaga pun berada di depan pintu istana. Di sana kelihatan sepi-sepi saja dan pintu itu tertutup rapat.

Tam Goat Hua tertegun. "Apakah Liok Ci Khim Mo masih belum kembali?" katanya kemudian.

Toan Bok Ang sudah mendengar penuturan Tam Goat Hua tentang dirinya berada di puncak Lian Hoa Hong dan di tempat itu bertemu Liok Ci Khim Mo. Karena itu Toan Bok Ang lalu berkata, "Kalau pun Liok Ci Khim Mo belum pulang, juga tidak harus sedemikian sepi dan tiada suara orang."

"Lebih baik tiada orang, jadi kita bisa memusnahkan sarang ini untuk mengurangi keangkuhan Liok Ci Khim Mo," kata Tam Goat Hua.

Mereka berdua berunding sejenak, lalu mendekati pintu itu dan menjulurkan tangan untuk mendorongnya, namun pintu itu tidak terbuka karena dikunci dari dalam. Mereka berdua mundur beberapa langkah, kemudian meloncat ke dalam melalui tembok. Sampai di dalam mereka melihat semua pintu tertutup rapat, kelihatannya seperti tidak ada orang. Mereka berdua berjalan berputar ke sana ke mari, tapi tidak bertemu seorang pun.

Tak lama mereka sampai di sebuah ruangan besar. Ruangan itu tampak agak gelap karena semua jendela tertutup rapat. Ketika mereka baru mau mengambil obor yang menyala untuk membakar tempat itu, mendadak terdengar suara yang amat dingin di atas panggung batu.

"Sungguh berani kalian berdua!"

Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang terkejut bukan main dan langsung mundur beberapa depa. Mereka mendongakkan kepala memandang ke atas, tampak seorang lelaki dan seorang wanita berdiri di atas panggung batu. Wajah mereka amat menakutkan. Tam Goat Hua mengenali mereka, sebab pernah bertemu mereka di dalam Istana Setan ketika dia ke Istana Setan menyelamatkan Lu Leng. Lelaki itu adalah Kui Bin Thay Swee Liu Tok dan wanita itu adalah Mo Thai Po. Mereka berdua berasal dari golongan sesat yang berkepandaian amat tinggi.

Ketika memasuki istana Ci Cun Kiong, Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang tidak bertemu seorang pun, maka mengira Liok Ci Khim Mo belum pulang. Oleh karena itu nyali mereka menjadi besar. Mereka yakin tidak akan bertemu seorang musuh pun di dalam itu. Kini mendadak muncul Kui Bin Thay Swee dan Mo Thay Po, tentunya membuat Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang terkejut sekali, dan mengira Liok Ci Khim Mo mengatur semua itu untuk menjebak mereka berdua. Karena itu Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang mundur lagi beberapa langkah sambil menengok ke sana ke mari, namun tidak tampak orang lain berada di tempat itu, hanya terdengar Mo Thay Po tertawa dingin.

"Apakah kalian berdua ke mari untuk mampus?"

Kemudian terdengar suara dentangan, ternyata Mo Thay Po menekan tongkatnya ke lantai panggung batu, lalu meloncat turun. Pada saat bersamaan Kui Bin Thay Swee pun mengambil sebatang kayu, kemudian memukul sebuah tambur yang bergantung di atas panggung batu.

“Tung! Tung! Tung...!”

Seusai memukul tambur dia segera meloncat turun, lalu berdiri di sisi Mo Thay Po. Jarak mereka dengan Tam Goat Hua berdua hanya satu depa. Tam Goat Hua pernah bertemu mereka di dalam Istana Setan, maka tidak merasa takut menyaksikan wajah mereka yang begitu menyeramkan. Lain halnya dengan Toan Bok Ang. Begitu menyaksikan wajah mereka, sekujur badannya menjadi merinding, bahkan merasa seram dan ketakutan.

Sementara Kui Bin Thay Swee dan Mo Thay Po terus menatap mereka dengan sorot mata yang menakutkan. Setelah si Nabi Setan-Seng Ling binasa, Kui Bin Thay Swee dan Mo Thay Po mengangkat diri mereka sebagai majikan Istana Setan. Belum lama ini mereka berdua bergabung dengan Liok Ci Khim Mo. Saat ini semua jago tangguh di dalam istana Ci Cun Kiong sedang pergi mencari Oey Sim Tit dan Busur Api. Kini hanya tinggal mereka berdua yang menjaga istana, tapi kepandaian mereka berdua amat tinggi.

Ketika menyaksikan kedua orang yang amat menyeramkan itu, Toan Bok Ang bertanya kepada Tam Goat Hua dengan suara rendah, "Kakak Tam, siapa kedua orang itu?"

"Cepat keluarkan senjata! Kedua orang itu selalu menggunakan racun, kita harus berhati-hati!" kata Tam Goat Hua tanpa menjawab pertanyaan Toan Bok Ang.

Toan Bok Ang cepat-cepat mengeluarkan senjata Sian Tian Sin So, kelihatannya sudah siap untuk bertarung.

Mo Thay Po tertawa dingin. "Cukup bagus senjatamu untuk dijadikan kado!"

Toan Bok Ang amat gusar dan segera maju selangkah. Namun ketika dia mau melancarkan serangan Tam Goat Hua segera menahannya.

"Jangan gegabah!" katanya, kemudian bertanya kepada kedua orang itu, "Apakah Liok Ci Khim Mo berada di dalam istana?"

"Tentu ada!" sahut Kui Bin Thay Swee dengan suara parau.

Tam Goat Hua segera memberi isyarat kepada Toan Bok Ang, lalu memandang Kui Bin Thay Swee. "Kami ada urusan ingin menemuinya, cepat laporkan!" katanya.

Kui Bin Thay Swee tertawa gelak. "Hahaha!" Ketika tertawa wajahnya bertambah menyeramkan. "Kalian tidak begitu gampang menemui Bu Lim Ci Cun!"

"Apa harus ada syaratnya agar bisa menemuinya?" tanya Tam Goat Hua sambil menahan rasa gusarnya.

"Letakkan senjata kalian, lalu kalian berjalan sambil menyembah sampai di tempat, barulah bisa menemui beliau!" sahut Kui Bin Thay Swee.

Toan Bok Ang sudah tidak sabar lagi dan langsung tertawa dingin. "Ketika kalian hendak menemuinya, apakah harus merangkak dari depan sampai di tempatnya seperti
kura-kura?"

Mata Mo Thay Po menyorot bengis ke arah Toan Bok Ang, lalu dia mendadak tertawa melengking sambil menjulurkan tangannya untuk menyerang gadis itu. Tampak kukunya yang mengandung racun, panjang-panjang dan kehijau-hijauan. Ternyata Mo Thay Po mencengkeram bahu kiri Toan Bok Ang. Karena lengan kirinya telah buntung, maka gadis itu tidak dapat menangkis.

Ketika mendatangi istana Ci Cun Kiong, Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang sudah tidak menghiraukan nyawanya. Namun ketika melihat Kui Bin Thay Swee dan Mo Thay Po, hati mereka tidak terluput dari rasa kaget. Namun setelah berselang beberapa saat, mereka sudah tidak merasa kaget mau pun takut lagi. Maka di saat Mo Thay Po menyerang, Toan Bok Ang sama sekali tidak mundur, sebaliknya malah maju selangkah sambil mengayunkan senjata Sian Tian Sin So. Ia keluarkan jurus Tian Kong Ciau Ciau (Kilat Bergemerlapan) sehingga tampak cahaya putih meluncur ke arah Mo Thay Po. Jurus tersebut amat aneh, hebat dan lihay. Walau Toan Bok Ang tidak berkelit, jurus itu telah mematahkan serangan Mo Thay Po.

Dari tadi Mo Thay Po sudah tahu bahwa senjata yang di tangan Toan Bok Ang bukan merupakan senjata sembarangan, melainkan senjata pusaka. Kini ketika menyaksikan serangan yang dilancarkan gadis itu begitu dahsyat, dia sangat terkejut. Dia cepat-cepat mundur sekaligus mengayunkan toyanya, mengeluarkan dua jurus serangan Ciok Phua Keng Thian (Batu Pecah Mengejutkan Langit) dan jurus San Pang Hai Liak (Gunung Runtuh Laut Retak). Kedua jurus serangan itu menimbulkan angin yang menderu-deru, mengarah Toan Bok Ang sehingga membuat badan gadis itu berputar dua kali.

Betapa terkejutnya Tam Goat Hua menyaksikan itu. Namun ketika dia baru mau turun tangan membantu Toan Bok Ang, mendadak merasa ada desiran angin di belakangnya. Tam Goat Hua tahu, Kui Bin Thay Swee sudah membokongnya. Tanpa membalikkan badan gadis itu langsung menggunakan ilmu Hian Bu Go Na (llmu Mencengkeram Hian Bu), mengeluarkan jurus Tok Liong Lu Jiau (Naga Beracun Menjulurkan Cakar). Di saat itulah rantai besi yang melekat di lengannya ikut menyerang ke arah Kui Bin Thay Swee.

Kui Bin Thay Swee segera membungkukkan badannya sekaligus berkelit ke samping. Di saat Kui Bin Thay Swee berkelit, Tam Goat Hua berpikir ingin mendekati Toan Bok Ang untuk membantunya. Akan tetapi mendadak terdengar dua suara berdesir di belakangnya. Tam Goat Hua segera membalikkan badannya. Tampak dua benda meluncur mengarah matanya, ternyata dua buah senjata rahasia. Gadis itu mendengus sambil menggerakkan tangannya, maka rantai besi yang melekat di lengannya bergerak cepat menangkis kedua buah senjata rahasia itu hingga terpental.

Namun di saat bersamaan, Kui Bin Thay Swee pun melancarkan sebuah pukulan ke arah dada Tam Goat Hua. Pukulan tersebut mengeluarkan suara aneh, membuat Tam Goat Hua menoleh. Dilihatnya sepasang tangan Kui Bin Thay Swee memakai semacam sarung tangan berduri yang amat aneh. Begitu menyaksikan sarung tangan itu, Tam Goat Hua yakin bahwa sarung tangan itu mengandung racun, maka dia tidak berani bertindak ceroboh. Cepat-cepat dia mundur sambil mengayunkan sepasang rantai besi yang melekat di lengannya sehingga rantai besi itu meliuk cepat menyerang Kui Bin Thay Swee. Kui Bin Thay Swee segera berkelit, kemudian balas menyerang, maka terjadilah pertarungan yang amat sengit.

Sementara Toan Bok Ang yang berputar, mendadak melancarkan sebuah serangan dengan mengeluarkan jurus Lui Thian Kauw Cak (Kilat dan Geledek MenggeIegar). Setelah melancarkan serangan itu, Toan Bok Ang cepat-cepat meloncat ke belakang, maka senjata Sian Tian Sin So melewati muka Mo Thay Po dan membuat mata orang itu menjadi silau dan langsung terpejam. Betapa terkejutnya Mo Thay Po. Dia cepat-cepat mencelat ke belakang dan tidak berani menyerang lagi. Akan tetapi dalam hatinya ingin sekali memiliki senjata Sian Tian Sin So itu.

Toan Bok Ang berdiri beberapa depa di hadapan Mo Thay Po. Setelah berhasil meloloskan diri dari serangan orang itu barulah dia menarik nafas lega. Namun sepasang mata Mo Thay Po justru menyorot bengis, bahkan penuh diliputi hawa membunuh. Menyaksikan itu, tersentak juga hati Toan Bok Ang. Oleh karena itu dia langsung melancarkan serangan agar Mo Thay Po tiada kesempatan menyerang duluan. Toan Bok Ang mengeluarkan jurus Liu Sing Hua Khong (Meteor Menembus Angkasa) dan senjatanya memancarkan cahaya putih ke arah muka Mo Thay Po.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar