Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 11

Di dalam kota itu suara harpa tidak lagi menarik perhatian orang, tapi di telinga Tam Goat Hua justru amat luar biasa. Gadis itu tahu, orang yang memperingatkannya dan kereta kuda serta suara harpa itu, sama sekali tidak ada hubungan. Dia pun tahu, kereta kuda itu akan segera meninggalkan tempat itu. Maka dia cepat-cepat menyimpan panah kecil dan kertas itu ke dalam bajunya, lalu turun ke bawah sambil memperhatikan ruang loteng itu, Tampak seorang pelayan sedang memberesi sebuah meja, pertanda tamu yang duduk di situ belum lama pergi.

Tam Goat Hua masih ingat, di meja itu duduk dua orang, salah seorang berdandan seperti pengurus rumah, cukup tampan dan berusia tiga puluhan. Yang satu lagi... Tam Goat Hua tidak begitu ingat bagaimana rupanya. Mungkin orang itu bertampang biasa, maka Tam Goat Hua memandangnya sekilas saja. Tam Goat Hua tidak mau berpikir lagi. Dia melempar setael perak ke atas meja kasir, lalu berjalan menuju ke halaman belakang, namun kereta kuda itu sudah tidak berada di tempat.

Dia cepat-cepat membeli seekor kuda jempolan, kemudian dengan menunggang kuda tersebut dia meninggalkan kota itu. Keluar dari pintu kota, dia melihat kereta kuda mewah berjalan di depan. Tam Goat Hua girang sekali, dan terus mengikuti kereta kuda itu. Kalau kereta kuda itu berlari cepat, dia pun memacu kudanya, berjalan lambat, dia pun memperlambat langkah kudanya. Hampir seharian Tam Goat Hua mengikuti kereta kuda itu, Ketika hari menjelang malam, dari dalam kereta kuda itu mendadak menjulur ke luar sebuah tangan menggenggam pecut kuda.

“Plak! Plak! Taar!”

Kuda kereta itu langsung meringkik, kemudian berlari kencang laksana kilat. Walau keadaan sudah agak gelap, namun masih terlihat jari jempol tangan orang itu bercabang sebuah jari kecil. Jadi tangan orang itu berjari enam. Tam Goat Hua tercengang dan berpikir, apakah dia adalah Liok Ci Siansing? Padahal Liok Ci Siansing tinggal di puncak Sian Jin Hong. Setiap hari kerjanya cuma makan tidur, melukis dan main harpa.

Ketika orang-orang berkumpul di puncak Sian Jin Hong, setelah hari mulai malam, semuanya kembali ke tempat masing-masing. Begitu pula Liok Ci Siansing, dia masuk ke dalam gubuknya. Maka apabila Liok Ci Siansing tidak berada di dalam gubuknya, tentunya orang lain tidak akan mengetahuinya. Sebelum Tam Goat Hua meninggalkan puncak Sian Jin Hong, mungkin Liok Ci Siansing sudah meninggalkan tempat itu lebih dulu, memetik harpa membuat Cik Sia Pai dan Pat Kwa Bun saling membunuh. Itu memang mungkin sekali.

Di kolong langit, orang yang memiliki enam jari, tidak mungkin hanya Liok Ci Siansing sendiri. Tapi dalam rimba persilatan, memang tidak pernah terdengar ada orang lain memiliki enam jari, lagi-pula Liok Ci Siansing hobi main harpa. Setelah berpikir bolak-balik, Tam Goat Hua semakin yakin bahwa orang yang ada di dalam kereta kuda itu adalah Liok Ci Siansing.

Tentunya saat ini Tam Goat Hua tidak mungkin kembali ke Bu Yi San untuk membuktikannya. Bahu Tam Goat Hua belum sembuh, maka sudah pasti dia bukan lawan orang yang berada di dalam kereta kuda. Tapi dia harus tetap mengejarnya, karena ingin tahu hal yang sebenarnya, maka dia terus mengikuti kereta kuda itu dari belakang. Tak seberapa lama kemudian, hari sudah gelap. Kereta lain yang berlalu- lalang di jalan besar itu pun mulai berkurang.

Tiba-tiba Tam Goat Hua memperlambat langkah kaki kudanya agar tidak menimbulkan kecurigaan orang yang berada di dalam kereta kuda tersebut. Berselang beberapa saat kereta kuda lain sudah tidak ada yang berlalu lalang di jalan besar itu, sedangkan kereta kuda itu semakin kencang larinya. Tam Goat Hua tahu, apabila dia mengejar terus, tentu amat membahayakan dirinya. Akan tetapi seandainya dia tidak mengejarnya, berarti sulit menemukannya lagi. Oleh karena itu dia segera memecut kudanya agar berlari lebih cepat.

Ketika kudanya meringkik dan siap berlari kencang, mendadak telinganya mendengar suara yang amat lirih. "Nona Tam, kau jangan mengejarnya!"

Begitu mendengar suara itu, bukan main terkejutnya hati Tam Goat Hua. Kudanya sedang berlari, namun suara itu seakan mendengung ke dalam telinganya, seakan orang yang bersuara itu berada di belakangnya. Sekonyong-konyong Tam Goat Hua menggerakkan tangannya ke belakang. Tangannya terasa seperti meraih sesuatu yang lunak. Segeralah dia menoleh ke belakang. Dilihatnya sosok bayangan melesat pergi dari belakangnya, kemudian hilang ditelan kegelapan. Tam Goat Hua tertegun, sebab orang itu bisa duduk di belakangnya, tapi dia sama sekali tidak mengetahuinya. Kalau orang itu berniat jahat mungkin nyawanya sudah melayang.

Tam Goat Hua tertegun lama sekali, sedangkan suara kereta kuda itu pun tidak kedengaran lagi. Dia membiarkan kudanya terus berlari, hingga tak lama kemudian sampai di perempatan jalan. Dia tidak tahu kereta kuda itu menuju ke mana. Gadis itu memang sudah tidak mau mengejar kereta kuda tersebut, maka dia melanjutkan perjalanannya menuju utara.

Ketika tengah malam, dia tiba di sebuah kota kecil. Di sana dia menginap satu malam. Keesokan harinya ketika mendusin, dia merasa ada sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Tam Goat Hua segera meloncat bangun, tampak sebuah panah kecil berada di samping bantal. Di ujung panah itu  terdapat secarik kertas bertulisan.

Tidak boleh pergi! Tidak boleh pergi’.

Walau tidak tertulis pergi ke mana, namun Tam Goat Hua tahu bahwa orang yang menulis surat itu melarangnya pergi ke Istana Setan. Jadi sudah tiga kali Tam Goat Hua menerima surat peringatan tersebut. Dia tidak habis pikir, orang itu begitu tinggi kepandaiannya, tapi kenapa gerak-geriknya begitu misterius? Itu sungguh membuat Tam Goat Hua tidak habis pikir.

Orang itu mampu duduk di belakang Tam Goat Hua tanpa diketahui gadis tersebut, dan dia pun mampu memasuki kamar penginapan tanpa membuat Tam Goat Hua terjaga dari tidurnya, itu membuktikan betapa tingginya ilmu ginkang orang itu. Orang seperti dia seharusnya mau berhadapan dengan Tam Goat Hua, menjelaskan kenapa melarang gadis itu ke Istana Setan, Tapi kenapa dia melakukan itu secara bersembunyi-sembunyi? Apakah dia mempunyai kesulitan untuk memperlihatkan dirinya? Itu tidak mungkin.

Setiap kali dia memberi peringatan kepada Tam Goat Hua, pasti meninggalkan sebatang panah kecil. Apakah itu adalah benda pengenalnya? Tam Goat Hua sama sekali tidak tahu, siapa yang punya panah kecil sebagai tanda pengenalnya? Lagi-pula kelihatannya orang itu terus mengikutinya, sudah pasti timbul urusan lain, maka Tam Goat Hua harus berhati-hati. Ternyata gadis itu khawatir orang tersebut tidak berniat baik.

Kini luka di bahunya masih belum sembuh, dan mungkin membutuhkan waktu belasan hari untuk merawatnya. Dia pun tahu, kini di puncak Sian Jin Hong pasti sudah ramai sekali. Gadis itu ingin kembali ke sana untuk menyaksikan keramaian, akan tetapi dia justru tidak berani kembali karena dia tidak mau mengingkari janjinya kepada orang aneh berkedok itu.

Tam Goat Hua menyimpan panah kecil itu ke dalam bajunya, setelah itu meninggalkan penginapannya untuk melanjutkan perjalanannya ke utara! Dia telah melakukan perjalanan tujuh delapan hari, namun tidak terjadi apa-apa. Dalam perjalanan dia berjumpa kaum rimba persilatan dan mereka membicarakan pertemuan di Bu Yi San, akan tetapi mereka semua sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan di Bu Yi San. Agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan, Tam Goat Hua tidak banyak bertanya kepada mereka.

Sepuluh hari kemudian, bahu Tam Goat Hua sudah tidak terasa sakit lagi, namun badannya masih tidak bertenaga. Dia mulai menghitung perjalanannya. Mungkin empat lima hari lagi dia akan tiba di Pak Bong San. Empat hari kemudian, dia akan memasuki Istana Setan untuk menolong orang, itu membuat hatinya menjadi tegang sekali.

Hari pertama, mendadak datang mendung dan kilat pun menyambar-nyambar. Mungkin akan segera turun hujan lebat. Walau hari masih petang, namun kelihatan agak gelap seperti hari sudah senja. Sementara kudanya terus berlari, tak lama kuda itu sudah berlari kira-kira delapan puluh mil. Tiba-tiba halilintar menggelegar dan hujan pun turun dengan lebatnya, dalam sekejap pakaian Tam Goat Hua sudah basah kuyup.

Gadis itu sadar bahwa bahunya baru mulai sembuh, maka kalau tersiram air hujan sudah pasti akan kambuh. Maka dia melarikan kudanya secepat-cepatnya tapi juga memperhatikan tempat yang dilaluinya, barangkali ada tempat untuk berteduh. Mendadak dia melihat di depan terdapat sebuah rumah yang amat besar. Begitu melihat rumah itu, giranglah Tam Goat Hua karena ada tempat berteduh.

Namun dia merasa heran, karena kini dia berada di perbatasan sedangkan tempat yang dilaluinya terdapat Tay Pek San, Song Pak San, Tay Hung San dan lainnya. Di pegunungan yang sepi ini, biasanya hanya terdapat para pemburu, tidak akan tampak orang biasa. Akan tetapi di tempat itu justru terdapat sebuah rumah yang begitu besar.

Tam Goat Hua memacu kudanya ke depan pintu pagar rumah itu. Pintu tersebut tertutup rapat. Tampak dua buah gelang melekat di pintu, dan sepasang singa batu di kiri kanan pintu tersebut. Di atas pintu bergantung sebuah papan bertulisan ‘Su Khie Tong Lay’ (Hawa Ungu Datang Dari Timur). Tam Goat Hua tidak peduli itu rumah pembesar atau rumah kaum rimba persilatan, yang penting dia dapat berteduh di situ. Oleh karena itu dia segera mengetuk pintu menggunakan gelang yang melekat di pintu itu.

Tak seberapa lama terdengar suara sahutan dari dalam. "Siapa?!"

Tam Goat Hua segera menyahut. "Orang lewat, karena hujan amat lebat aku ingin berteduh sejenak di sini."

Terdengar suara di dalam seperti sedang berbisik-bisik, tak lama terdengar suara orang berkata. "Masuklah!"

Pintu itu terbuka. Sebelum pintu itu dibuka lebar, Tam Goat Hua sudah meloncat turun dari kudanya dan langsung menerobos ke dalam. Tampak halaman yang amat luas, dan empat lima orang memakai topi rumput lebar berdiri di belakang pintu, namun wajah mereka itu tak terlihat jelas. Setelah melewati halaman, barulah Tam Goat Hua sampai di rumah itu dan ketika dia melangkah ke dalam, tampak sebuah ruangan yang amat besar.

Tam Goat Hua justru lupa bahwa pakaiannya telah basah kuyup, sehingga membuat kotor lantai ruang itu. Gadis itu merasa tidak enak dalam hati, seketika dia memandang ke belakang dengan maksud mengucapkan maaf, namun orang-orang itu sudah tidak terlihat. Tam Goat Hua tertegun sebab sungguh cepat gerakan orang-orang itu, dalam waktu sekejap sudah menghilang. Kini sadarlah Tam Goat Hua, bahwa itu bukan merupakan rumah biasa.

Sesungguhnya Tam Goat Hua ingin menyelidiki rumah ini. Tapi niat tersebut dibatalkannya, sebab dia ke mari hanya ingin berteduh, bukan untuk menyelidik. Tam Goat Hua menengok ke sana ke mari. Di ruang itu terdapat kursi dan meja berwarna ungu, di dinding juga bergantung sebuah lukisan pemandangan. Karena di luar hujan lebat, maka membuat ruang itu tampak remang-remang. Padahal tadi ada empat lima orang berdiri di belakang pintu pagar, tapi kemudian menghilang entah ke mana. Seharusnya di rumah itu kedengaran suara orang, tapi justru sepi-sepi saja, tidak terdengar suara apa pun.

Tam Goat Hua mengerutkan kening, lalu mulai memeras rambutnya agar cepat kering. Setelah itu dia pun memeras pakaiannya, barulah duduk di sebuah kursi untuk menunggu hujan berhenti. Akan tetapi hujan lebat itu sungguh berkepanjangan. Hampir satu jam lamanya Tam Goat Hua duduk di situ, namun hujan masih belum berhenti. Gadis itu mulai tidak sabaran. Kalau hujan itu sama sekali tidak berhenti, apakah dia harus terus menunggu? Lebih baik minta pakaian rumput untuk menutupi badannya kepada penghuni rumah ini, jadi dia bisa melanjutkan perjalanan, agar tidak membuang-buang waktu di rumah ini.

Setelah mengambil keputusan itu, Tam Goat Hua pun bangkit dari tempat duduknya. Di saat bersamaan di luar terdengar suara ketukan pintu, kemudian terdengar pula suara seruan.

"Adakah orang di dalam? Aku ingin berteduh sebentar!"

Tam Goat Hua berkata dalam hati, “Bagus,” sebab ia akan punya teman.

Tiba-tiba dia melihat kelima orang yang memakai topi rumput lebar berjalan ke luar dari samping halaman, lalu membuka pintu. Orang yang berdiri di luar berbadan kurus kecil, mengenakan pakaian hitam, rambut awut-awutan tersiram air hujan, sehingga wajahnya tidak tampak jelas. Setelah pintu terbuka orang itu langsung menerobos ke dalam menuju ruang tempat Tam Goat Hua berada.

Tam Goat Hua tidak begitu memperhatikan orang itu, melainkan terus memperhatikan kelima orang tersebut dengan seksama. Setelah menutup pintu, kelima orang tersebut berkelebat pergi. Kini Tam Goat Hua semakin yakin, bahwa majikan rumah itu pasti kaum rimba persilatan. Dalam hati gadis itu coba menerka, kira-kira siapa majikan rumah ini, namun tak dapat menerkanya. Oleh karena itu dia tidak mau menerka lagi, lalu memandang orang yang baru datang itu.

Justru sungguh mengherankan, sebab baik berdiri mau pun duduk orang itu pasti membelakangi Tam Goat Hua, sama sekali tidak mau berhadapan. Semula Tam Goat Hua tidak begitu memperhatikan, sebab hatinya sedang kacau akibat hujan masih belum berhenti. Dia berjalan mondar-mandir di ruang tersebut dengan kening berkerut-kerut. Ketika akan berhadapan dengan orang itu, orang itu malah membalikkan badannya. Hal ini terjadi sudah beberapa kali, sehingga membuat Tam Goat menjadi tercengang. Maka dia sengaja melangkah kehadapan orang itu, namun orang itu tetap tidak mau berhadapan dengannya.

Setengah jam kemudian, Tam Goat Hua menjatuhkan diri di kursi, lalu berdehem seraya berkata, "Anda dari mana?"

Kalau pun tidak saling mengenal, tapi mereka bersama-sama berteduh di rumah itu, maka wajar apabila saling bertegur sapa. Akan tetapi orang itu tetap diam, seakan tidak mendengar suara Tam Goat Hua. Maka dalam hati gadis itu merasa kesal, gusar tapi merasa geli. Tam Goat Hua membatin, rumah dan pemiliknya begitu misterius, yang datang berteduh itu pun aneh.

"Baik, kau tidak mau membuka mulut, aku justru akan membuatmu membuka mulut!" kata gadis itu dalam hati, setelah itu dia pun berkata dengan suara agak keras, "Hujan lebat turun begitu lama, tadi anda kemari berteduh, tentunya punya tugas penting dan ingin buru-buru melanjutkan perjalanan, bukan?"

Akan tetapi, orang itu tetap tidak menyahut, padahal jarak mereka hanya dua tiga depa. Kecuali orang itu tuli, kalau tidak tentunya akan mendengar suara Tam Goat Hua. Namun orang itu tetap diam, tiada bereaksi sama sekali. Gadis itu penasaran sekali dan bertanya dalam hati, apakah orang itu tuli?

Kemudian berkata dengan suara yang keras, kedengaran seperti berteriak-teriak. "Hei! Aku sedang bicara denganmu, kau tidak dengar?!"

Kali ini orang tersebut bergerak sedikit. Bahunya terangkat pertanda dia mendengar, namun tetap tidak menyahut. Tam Goat Hua memandangnya. Tangan orang itu berada di atas meja, jarinya bergerak-gerak entah mencoret-coret apa. Tam Goat Hua memelototinya. Karena hatinya amat kesal kepada orang itu, akhirnya gadis itu berteriak-teriak. "Pengurus rumah! pengurus rumah!"

Tampak seorang bertopi rumput lebar muncul di pintu ruangan itu, lalu bertanya dengan dingin. "Nona mau pesan apa?"

Tam Goat Hua segera menyahut. "Hujan belum berhenti, sedangkan aku punya urusan penting, harus segera melanjutkan perjalanan. Bolehkah aku pinjam sebuah topi rumput?"

Orang itu bertanya dengan dingin. "Apakah nona mau meninggalkan rumah ini?"

Tam Goat Hua mengangguk. "Ya, aku memang mau pergi."

Orang itu mundur beberapa langkah, kemudian berkata. "Aku menasihati nona agar tetap di sini. Setelah majikan kami pulang barulah dibicarakan."

Saat ini, Tam Goat Hua sedang kesal dan gusar terhadap orang yang datang berteduh itu. Maka setelah mendengar sahutan orang bertopi rumput lebar itu, kegusarannya pun memuncak. "Kalau begitu, aku tidak boleh pergi?!" tanya Tam Goat Hua membentak.

Orang itu menyahut dengan dingin. "Memang tidak boleh."

Bukan main gusarnya Tam Goat Hua, maka langsung memukulnya. Karena tangannya bergerak, sehingga membuat rantai yang melekat di lengannya ikut bergerak dan menghantam sebuah teko yang ada di atas meja.

“Blaam!” teko itu hancur berantakan.

Di saat bersamaan, Tam Goat Hua melesat ke hadapan orang itu seraya membentak. "Kalau begitu, aku mau pinjam topi rumput yang kau pakai itu!"

Tam Goat Hua menggerakkan tangannya. Rantai itu langsung menyambar topi rumput yang dipakai orang tersebut.

"Hmm!" dengus orang itu sambil berkelit.

Tam Goat Hua tertawa dingin. "Pantas kau begitu tidak tahu aturan, ternyata berkepandaian juga!"

Tam Goat Hua menekuk badannya sedikit, kemudian mengayunkan rantainya ke arah orang itu. Akan tetapi orang itu tetap berkelit, lalu mendadak bersiul panjang. Tak lama tampak empat sosok bayangan berkelebat ke ruang itu. Padahal dalam perjalanan Tam Goat Hua sudah berusaha menghindari hal-hal yang tak diinginkan, tapi tidak tahunya karena dia ingin berteduh malah timbul urusan.

Ke empat orang yang baru datang itu berdiri di belakang orang tersebut, kemudian mereka berlima mundur ke pintu. Maksud mereka jelas sekali. Kalau Tam Goat Hua tidak meninggalkan ruang itu, mereka pun tidak akan turun tangan.

Tam Goat Hua memandang orang-orang itu, tapi tidak dapat melihat wajah mereka karena wajah mereka tertutup oleh topi rumput lebar.

Gadis itu tertawa dingin, setelah itu menatap orang yang datang berteduh itu. "Sobat, kamu masih tidak bersuara? Mereka tidak memperbolehkan kita pergi lho!"

Akan tetapi orang itu tetap diam, sepertinya tiada hubungan dengan urusan itu. Tam Goat Hua tidak mengerti mengapa orang itu bersikap begitu. Kemudian gadis itu membalikkan badannya seraya membentak.

"Kalian sebetulnya mau apa?!"

Salah seorang itu menyahut dengan dingin. "Setelah majikan kami pulang, barulah ada keputusan."

Tam Goat Hua bertanya gusar. "Siapa majikan kalian itu?"

Orang itu menyahut lagi. "Setelah majikan kami pulang, tentunya kau akan mengetahuinya."

Diam-diam Tam Goat Hua menghimpun hawa murninya dan bertanya, "Majikan kalian berada di mana sekarang?"

"Majikan kami berpergian ke mana-mana, mungkin berada di pegunungan Kun Lun, mungkin juga sedang pesiar ke Lam Hai (Laut Selatan), bagaimana kami mengetahuinya?" sahut orang itu juga.

Saking kesalnya Tam Goat Hua malah menjadi tertawa. "Kalau majikan kalian tidak pulang setahun, aku harus menunggu setahun juga?"

Orang itu mendengus. "Hm! Kalau harus menunggu setahun, kenapa sekarang kau buru-buru?"

Kali ini Tam Goat Hua betul-betul gusar. Ketika dia baru mau melancarkan pukulan, mendadak terdengar derap kaki kuda dan suara kereta, bahkan terdengar pula denting suara harpa.

Kelima orang itu langsung berseru. "Majikan kami pulang!"

Begitu mendengar suara derap kaki kuda dan suara harpa, kelima orang itu berseru. Tam Goat Hua terkejut sekali karena dia tidak menyangka, lantaran ingin berteduh justru datang di rumah itu dan kini sudah tahu siapa majikan rumah tersebut. Walau dia tidak tahu tentang majikan rumah itu, namun yakin majikan rumah itu adalah orang yang berada di dalam kereta mewah misterius itu.

Seketika perasaan Tam Goat Hua berkecamuk girang dan cemas membaur menjadi satu. Dia girang dikarenakan secara tidak sengaja mengetahui tempat tinggal orang itu. Namun dia juga cemas lantaran tahu dirinya dalam bahaya, sebab kepandaian orang itu amat tinggi dan mungkin tidak akan melepaskannya.

Terdengar suara kereta itu sudah sampai di depan, lalu berhenti. Dua di antara lima orang itu segera berlari ke luar, sedangkan yang tiga tetap berdiri di pintu ruangan itu, menjaga Tam Goat Hua agar tidak meloloskan diri. Gadis itu berpikir apabila dia menerjang ke luar sekarang, itu merupakan hal yang tak mungkin, sebab di luar pintu rumah itu pasti ada jago lain. Hal itu membuatnya tidak tahu harus berbuat apa.

Di saat bersamaan terdengar suara berdesir tiga kali, seperti suara luncuran anak panah. Tampak tiga batang panah kecil mengarah ketiga orang itu, sementara walau ketiga orang itu mengawasi Tam Goat Hua, namun sesekali mereka pun memandang ke luar. Di saat itu kebetulan ketiga orang itu sedang memandang ke luar. Ketika mereka bertiga mendengar suara itu dan berpaling, ketiga batang panah kecil itu sudah berada di depan mata. Mereka ingin mengibaskan tangan untuk menangkis, tapi sudah terlambat.

"Ces! Ces! Ces!" ketiga batang panah kecil itu menembus dada mereka. Badan mereka bergoyang-goyang, akhirnya terkulai.

Kejadian itu cuma dalam waktu sekejap, membuat Tam Goat Hua terperangah dan tertegun. Begitu mendengar suara panah dan melihat panah kecil itu, Tam Goat Hua pun teringat akan kejadian beberapa hari yang lalu, ada orang memperingatkannya beberapa kali agar jangan ke Istana Setan. Kini dia melihat gerak-gerik orang yang berada di ruang itu sungguh mencurigakan. Apakah orang yang kurus kecil itu yang selalu memperingatkannya? Berpikir sampai di situ, Tam Goat Hua segera menolehkan kepalanya.

Di saat itulah justru terdengar suara tawa serak, yaitu suara tawa kedua orang yang pergi menyambut sang majikan itu. Setelah menoleh, Tam Goat Hua terkejut bukan main. Ternyata orang kurus kecil itu sudah berada di belakangnya, bahkan menjulurkan tangannya untuk menggenggam lengan gadis itu.

Tam Goat Hua cepat-cepat menggeserkan badannya, kemudian membentak. "Mau apa kau?!"

Begitu dibentak, orang kurus kecil itu kelihatan seperti anak kecil yang telah berbuat salah. Dia segera menarik kembali tangannya sekaligus membalikkan badannya. "Nona Tam, kau harus ikut aku pergi, jangan terlambat!"

Orang itu berkelebat ke pintu samping. Sungguh cepat gerakannya, pertanda dia memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi. Tam Goat Hua tertegun, dalam hati tahu bahwa dirinya sudah dalam bahaya besar. Jika majikan rumah itu memasuki ruang tersebut dan melihat ketiga sosok mayat itu, sudah pasti tidak akan melepaskan dirinya!

Walau orang kurus kecil itu amat misterius, tapi kelihatannya tidak berniat mencelakai Tam Goat Hua, kenapa tidak ikut dia pergi? Setelah berpikir begitu dia menghimpun hawa murninya, lalu melesat pergi mengikuti orang kurus kecil itu. Keluar dari pintu samping, tampak sebuah koridor yang amat panjang. Orang kurus kecil itu, walau terus melesat pergi, namun kelihatan sedang menunggu Tam Goat Hua. Tak lama Tam Goat Hua sudah menyusul orang kurus kecil itu, kemudian orang kurus kecil itu berbisik.

"Jangan mengeluarkan suara!"

Tam Goat Hua segera bertanya. "Anda siapa?"

Orang itu menghela nafas, tapi tidak menyahut. Di saat itu mereka berdua sudah keluar dari koridor melalui sebuah pintu kecil. Keluar dari pintu kecil, mereka berada di dalam sebuah ruang kecil yang sangat indah dan mewah. Namun Tam Goat Hua tidak menikmati keindahan ruang kecil tersebut.

"Anda tahu jalan rahasia rumah ini?" tanyanya kepada orang kurus kecil.

Orang kurus kecil itu menengok ke sana ke mari, setelah itu menggeleng-gelengkan kepala. Begitu melihat orang kurus kecil itu menggeleng-gelengkan kepala, Tam Goat Hua menarik nafas dingin, juga merasa kesal.

"Anda tidak tahu jalan rahasia rumah ini, kenapa...?"

Sebetulnya Tam Goat Hua ingin mempersalahkan orang kurus kecil itu, namun mendadak terdengar suara orang tertawa dingin. Ruangan kecil itu terdapat banyak jendela, sementara hujan pun sudah berhenti. Maka sinar matahari yang tidak begitu terang menyorot ke dalam, sehingga ruang kecil itu pun tampak agak terang. Ketika mendengar suara tawa dingin itu, sekujur badan Tam Goat Hua merinding, seakan berada di dalam peti es.

Kini Tam Goat Hua sudah tidak mempersalahkan orang kurus kecil itu, Dia mendongakkan kepala memandangnya, kebetulan orang kurus kecil itu membuka mulut. "Nona Tam, cepat! Cepat himpunlah hawa murni dan kosongkan pikiranmu! Aku sudah payah, mungkin kau bisa meloloskan diri! Ingat, jangan ke Istana Setan!"

Bukan main bingungnya Tam Goat Hua ketika mendengar ucapan orang kurus kecil itu, sebab tidak tahu maksud tujuannya. Di saat dia baru mau membuka mulut untuk bertanya, mendadak terdengar suara orang tertawa dingin, dan setelah itu terdengar pula suara harpa. Suara harpa itu sungguh nyaring dan menggetarkan hati, siapa yang mendengarnya pasti akan melupakan segala macam kepusingan. Wajah Tam Goat Hua langsung berseri, dan kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu duduk di kursi.

Di saat dia duduk, terdengar suara berdebuk, ternyata orang kurus kecil itu jatuh di lantai. Suara berdebuk itu membuat hati Tam Goat Hua tersentak dan seketika terkejut bukan kepalang sehingga keringat dinginnya mengucur. Dia teringat ketika bersama kakaknya meninggalkan Hou Yok, mereka berdua mendengar suara harpa, sehingga membuatnya terus berlari berputar-putar di tempat. Kini terdengar lagi suara harpa itu, justru membuatnya melupakan bahaya yang mengancam dirinya.

Teringat akan itu, Tam Goat Hua cepat-cepat menghimpun hawa murninya. Akan tetapi, suara harpa itu tetap mendengung ke dalam telinganya. Tam Goat Hua mulai merasa tidak tahan, darahnya bergolak dan detak jantungnya bertambah cepat. Dia berusaha bangkit berdiri, namun badannya sempoyongan.

Orang kurus kecil yang roboh itu berusaha bangun, lalu mendekati pintu samping. Dia menutup pintu itu, maka suara harpa pun menjadi agak rendah. Itu membuat hati Tam Goat Hua agak lega, dan seketika dia melesat ke luar melalui jendela. Tapi ketika sampai di jendela, dia menolehkan kepalanya ke belakang. Dilihatnya orang kurus kecil itu tergeletak di lantai dengan nafas memburu, dan lantai itu pun sudah bernoda darah. Ternyata ketika menutup pintu, saking tak tahan orang kurus kecil itu muntah darah.

Menyaksikan itu, Tam Goat Hua merasa heran. Orang kurus kecil itu memiliki ginkang yang amat tinggi, tentunya juga berkepandaian tinggi, namun kenapa dia cepat muntah darah? Kini suara harpa itu mengalun, Tam Goat Hua merasa sudah sulit sekali bertahan, tapi dia terus berupaya bertahan, hanya tidak yakin dapat bertahan lama. Kemudian dia membuka mulut, maksudnya ingin bertanya bagaimana keadaan orang kurus kecil itu.

"Sobat, kau...."

Ketika Tam Goat Hua baru membuka mulut, itu membuat hawa murni tidak terhimpun. Di saat bersamaan mendadak nada suara harpa itu meninggi dan cepat.

"Cring! Cring! Cring...!"

Mendengar nada suara harpa itu, Tam Goat Hua merasa jalan darah penting ditubuhnya seakan ditotok dan seketika juga dari mulutnya mengalir ke luar darah segar.
Tam Goat Hua paham, suara harpa itu mengandung suatu tenaga sakti yang amat dahsyat. Kalau dia terus diam di situ, pasti akan terluka oleh suara harpa itu. Perlahan-lahan Tam Goat Hua mendekati orang kurus kecil itu, lalu mengangkatnya sekaligus melemparkannya ke luar melalui jendela.

Karena dia sendiri sudah terluka, maka ketika mengeluarkan tenaga untuk melempar orang kurus kecil itu keluar, dia pun merasa matanya berkunang-kunang dan sempoyongan. Di saat bersamaan matanya terasa mengantuk sekali dan tidak peduli apa pun, dia ingin tidur sepuas-puasnya. Sesungguhnya Tam Goat Hua memiliki dasar ilmu silat yang amat kuat, lagipu!a sejak kecil sudah belajar lweekang tingkat tinggi.

Ketika matanya terasa mengantuk sekali, dia tahu jelas bahwa itu akibat pengaruh suara harpa. Oleh karena itu, apabila dia tidur sekarang mungkin selamanya tidak akan bangun. Mendadak Tam Goat Hua mengangkat sebelah tangannya, kemudian menotok jalan darah Pek Hwe Hiat-nya sendiri. Setelah menotok jalan darah tersebut, gadis itu merasa bersemangat dan langsung melesat ke luar melalui jendela, tepatnya berada di sisi orang kurus kecil itu.

Tam Goat Hua menengok ke sana ke mari, ternyata dia berada di sebuah taman bunga mini yang dikelilingi tembok setinggi beberapa depa. Bukan main girangnya Tam Goat Hua. Dia segera mengapit orang kurus kecil itu, lalu berjalan ke tembok tersebut. Sampai di tembok itu Tam Goat Hua muntah darah, tapi itu tidak dihiraukannya, dan ia cepat-cepat menghimpun hawa murni.

Seandainya Tam Goat Hua tidak terluka dalam, memang tidak sulit baginya untuk meloncat melewati tembok itu. Akan tetapi, kini dia telah terluka, bahkan mengapit orang kurus kecil itu pula. Maka ketika meloncat ke atas, mendadak dadanya terasa sakit sekali dan seketika itu juga dia terjatuh ke bawah.

Pada waktu bersamaan, suara harpa itu terdengar mulai merendah. Di saat kakinya menginjak tanah, dia cepat-cepat menghimpun hawa murninya, lalu mencelat ke atas. Akan tetapi Tam Goat Hua tetap tidak berhasil meloncati tembok tersebut. Tiba-tiba timbul suatu akal dalam hatinya, maka segeralah dia mengayunkan rantai yang melekat di lengannya. Rantai itu berhasil menggaet tembok tersebut lalu Tam Goat Hua meminjam tenaga itu untuk mencelat ke atas lagi. Dia berhasil dan badannya melambung ke atas melewati tembok itu, lalu jatuh ke bawah di luar tembok. Orang kurus kecil itu terlepas dari japitannya, tapi Tam Goat Hua tidak berpikir banyak lagi, langsung mengapit orang kurus kecil itu lagi kemudian melesat pergi meninggalkan rumah itu.

Setelah dia berlari kira-kira lima mil, suara harpa itu sudah tidak terdengar lagi. Tam Goat Hua berhenti lalu menarik nafas dalam-dalam. Dia merasa matanya berkunang-kunang, hingga akhirnya terkulai pingsan. Entah berapa lama kemudian, barulah dia tersadar, lalu membuka matanya. Tampak langit sudah mendung lagi, bahkan sudah mulai gerimis. Gadis itu merasa sekujur badannya tak bertenaga dan bahunya terasa sakit sekali. Ternyata dia telah terluka luar dan dalam.

Tam Goat Hua mulai menengok ke sana ke mari. Dia mendapatkan dirinya tetap berada di tempat ketika dia pingsan, itu pertanda bahwa tiada seorang pun menemukannya. Tam Goat Hua bersyukur dalam hati, sebab walau dia terluka luar dan dalam namun tidak kehilangan nyawanya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, kemudian dia melihat sosok yang di sampingnya mulai bergerak. Tam Goat Hua baru teringat, bahwa sosok itu adalah orang kurus kecil yang terluka oleh suara harpa.

"Anda sudah siuman?" tanya orang kurus kecil itu sambil duduk. Namun karena rambutnya awut-awutan, maka Tam Goat Hua tidak melihat jelas wajahnya.

Orang kurus kecil itu merintih dan kelihatan tak bertenaga sama sekali karena lukanya lebih berat dari pada luka Tam Goat Hua. Ketika gadis itu baru mau membuka mulut, orang kurus kecil itu telah mendahuluinya. "Nona Tam, berapa jauh... jarak dari sini ke rumah itu?"

Tam Goat Hua menyahut "Kira-kira lima mil."

Orang kurus kecil itu tampak terkejut. "Hanya kira-kira lima mil?! Nona Tam, cepat kita kabur! Lebih baik kita ke arah Istana Setan, sebab orang itu... orang itu tidak akan berani mengejar ke sana."

Tam Goat Hua tersenyum getir. "Sobat, aku juga sudah terluka. Kalau orang itu mau mengejar kita, kita pun tidak akan bisa kabur ke mana-mana."

Orang kurus kecil itu menghela nafas panjang. "Memang, tapi biar bagaimana pun kita harus mencari suatu tempat untuk bersembunyi.”

Tam Goat Hua manggut-manggut. "Kita memang harus bersembunyi, tapi bersembunyi di mana?"

Orang kurus kecil itu menyahut. "Kalau Nona Tam sudi ikut aku, aku tahu ada sebuah goa yang dapat kita gunakan sebagai tempat persembunyian."

Tergerak hati Tam Goat Hua mendengar ucapan itu, sebab kini sudah dekat dengan Pak Bong San. Kaum rimba persilatan jarang yang berani ke tempat itu, lagi-pula dilihat dari nada bicaranya, orang kecil itu amat hafal daerah tersebut. Sesungguhnya gadis itu sudah ingin bertanya tentang identitas orang kurus kecil itu, namun begitu melihat luka orang itu agak parah, maka ia tidak jadi bertanya, kemudian mengangguk.

"Baiklah."

Orang kurus kecil itu bangkit berdiri, lalu menggunakan sebuah busur sebagai tongkat. Busur itu hitam mengkilap.

"Sobat! Busurmu itu sungguh luar biasa!" kata Tam Goat Hua.

Orang kurus kecil itu tertawa, "lni memang busur luar biasa. Konon busur ini milik seorang pendekar sakti. Orang yang memiliki lweekang tinggi dapat menarik busur ini sampai batas lengkungnya, sehingga luncuran anak panah bisa mencapai lima mil."

Mendengar ucapan itu barulah Tam Goat Hua tahu bahwa itu adalah busur pusaka. Jadi orang kurus kecil itu tidak memiliki lweekang yang begitu tinggi, namun sungguh mengherankan kenapa ilmu ginkang-nya justru begitu tinggi? Tam Goat Hua tidak sempat bertanya tentang itu karena orang kurus kecil tersebut sudah mengayunkan kakinya. Gadis itu segera mengikutinya, sementara itu hujan semakin lebat.

Kira-kira setengah jam kemudian dan melewati entah berapa banyak tikungan, mendadak di depan mata Tam Goat Hua berubah gelap, setelah itu sepertinya hujan sudah berhenti. Tam Goat Hua tahu, kini dirinya sudah memasuki sebuah goa, maka dia berhenti seraya bertanya, "Sudah sampai?"

Orang kurus kecil itu pun berhenti. "Sudah. Maju beberapa depa lagi, itu adalah tempat tinggalku!"

Tam Goat Hua melangkah maju beberapa langkah, kemudian terdengar suara berderak. Mendadak tampak cahaya yang remang-remang menyorot ke luar, ternyata orang kurus kecil itu membuka sebuah pintu batu. Cahaya yang remang-remang itu berasal dari ruangan tersebut.

"Silakan masuk, nona!"

Tam Goat Hua segera ikut ke dalam, ke sebuah ruang batu. Ranjang, meja dan tempat duduk yang ada di ruangan itu semuanya juga batu. sedangkan cahaya yang remang-remang itu berasal dari dinding goa.

Begitu menyaksikan ruangan itu, Tam Goat Hua berseru girang. "Tempat yang bagus! Kalau tiada orang tahu, beristirahat di sini lima enam hari, luka pasti sudah sembuh!"

Setelah memasuki ruangan batu, orang kurus kecil itu lalu duduk bersandar pada dinding goa, kemudian menarik nafas dalam-dalam seraya berkata. "Nona Tam...."

Orang kurus kecil itu tidak melanjutkan ucapannya. Tam Goat Hua memang sudah mencurigai identitas orang kurus kecil itu, namun belum tahu siapa dia sesungguhnya. Tam Goat Hua menatapnya dan bertanya. "Kau mau bilang apa?"

Sambil bertanya gadis itu melihat dinding goa tempat orang kurus kecil itu bersandar. Dua deret Ya Beng Cu (Mutiara Yang Memancarkan Cahaya Di Malam Hari) berjumlah delapan belas butir menempel di dinding goa. Ternyata mutiara-mutiara itulah yang memancarkan cahaya menerangi goa tersebut. Yang membuatnya tertegun, justru terdapat sebaris tulisan terukir di mutiara-mutiara itu yang berbunyi,

Tuan penolong si Nabi Setan-Seng Ling hidup selamanya.’

Tam Goat Hua mengenali gaya tulisan itu, persis seperti tulisan yang memperingatkan dirinya agar jangan ke Istana Setan. Setelah membaca tulisan itu, Tam Goat Hua berani memastikan, bahwa penulisnya pasti punya hubungan dengan si Nabi Setan-Seng Ling. Saking terkejutnya dia jadi membisu, karena setelah meninggalkan sarang harimau, kini malah masuk sarang srigala. Yang paling celaka, saat ini Tam Goat Hua masih dalam keadaan terluka, tidak mungkin dapat bertarung dengan orang.

Karena dipikir dirinya berada di sarang musuh, maka hatinya menjadi tegang dan cemas. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk kabur. Perlahan-lahan Tam Goat Hua melangkah pergi, maksudnya ingin meninggalkan goa itu. Tapi mendadak terdengar suara orang kurus kecil itu.

"Nona Tam, kau mau ke mana?"

Tam Goat Hua berhenti lalu membalikkan badannya, ditatapnya orang kurus kecil itu seraya membentak. "Sebetulnya kau siapa?!"

Orang kurus kecil itu menghela nafas panjang, lalu menjawab dengan suara rendah. "Nona Tam, kau tidak perlu tahu siapa aku. Yang penting kau merawat lukamu di sini. Walau aku sudah terluka parah, namun aku tidak seperti orang biasa, sebab tidak begitu lama lukaku pasti akan sembuh dengan sendirinya. Setelah itu, aku akan melayanimu, kenapa kau malah mau pergi?"

Hingga saat itu Tam Goat Hua masih belum melihat jelas wajah orang kecil kurus itu. Masih muda atau sudah tua, dia sama sekali tidak mengetahuinya,

"Apa hubunganmu dengan si Nabi Setan-Seng Ling?!" tanya gadis itu membentak.

Orang kurus kecil itu tertegun ketika dibentak, lama sekali barulah dia menyahut. "Si Nabi Setan-Seng Ling adalah tuan penolongku, seperti halnya Nona Tam menyelamatkan nyawaku tadi siang. Namun sayang aku sudah menjadi budak Seng Ling, tidak bisa menjadi budak nona lagi."

Mendengar jawaban itu, Tam Goat Hua sama sekali tidak paham. Tapi yang jelas orang kurus kecil itu tak berniat jahat terhadapnya, itu membuat gadis tersebut menarik nafas lega. Setelah itu dia mengeluarkan beberapa butir obat, dan ditelan begitu saja. Dia lalu duduk sambil menghimpun hawa murninya, berselang beberapa saat, barulah bertanya.

"Sebetulnya siapa namamu?"

Orang kurus kecil itu menghela nafas panjang. "Aku sendiri pun tidak tahu siapa namaku."

Tam Goat Hua tertawa geli. "Biasanya kau dipanggil siapa?"

Orang kurus kecil itu menyahut. "Sejak aku ditolong si Nabi Setan-Seng Ling, semua orang memanggilku ‘Budak Setan’."

Begitu mendengar ucapan itu, Tam Goat Hua tersentak kaget dan berseru tak tertahan. "Kaum rimba persilatan mengatakan bahwa di dalam Istana Setan Pak Bong San, yang memiliki ginkang paling tinggi bukan si Nabi Setan-Seng Ling, melainkan si Budak Setan. Bagaimana muka si Budak Setan, tiada seorang pun tahu, sebab dia bergerak bagaikan segulung asap. Jadi si Budak Setan itu adalah kau?"

Orang kurus kecil itu tampak tertegun. "Tak disangka orang seperti diriku bisa menjadi bahan ceritaan dalam rimba persilatan."

Tam Goat Hua berkata dengan kagum. "Ginkang anda walau tidak bisa dikatakan ginkang nomor satu dalam rimba persilatan, namun tergolong ginkang tingkat tinggi, maka tidak mengherankan jika kau amat terkenal dalam rimba persilatan."

Orang kurus kecil itu tersenyum getir. "Terima-kasih atas pujian nona. Selain memiliki ginkang itu, aku sama sekali tidak punya kepandaian lain."

Tam Goat Hua sudah tahu tentang itu, tapi tetap bertanya dengan penuh rasa heran. "Cara bagaimana kau dapat belajar ilmu ginkang yang begitu tinggi?"

Orang kurus kecil itu menghela nafas panjang. Sejenak dia diam tidak menyahut. Berselang beberapa saat, barulah berkata. "Sungguh panjang kalau diceritakan."

Tam Goat Hua tahu, masa lampau orang kurus kecil itu pasti penuh kedukaan. Dia tidak mau mengungkitnya, kenapa gadis itu harus bertanya mendesaknya? Yang penting orang kurus kecil itu tidak berniat jahat terhadapnya, dia sudah bersyukur dalam hati. Oleh karena itu, Tam Goat Hua tidak banyak bertanya Iagi. Dia memejamkan matanya sambil menghimpun hawa murni untuk merawat lukanya. Tak terasa waktu sudah lewat satu jam.

Bagi orang yang menghimpun hawa murni untuk mengobati luka, hanya membutuhkan waktu satu jam sudah bisa sembuh sekitar lima bagian. Namun tetap harus beristirahat kurang lebih lima hari barulah bisa pulih. Di saat Tam Goat Hua membuka matanya, tampak sesosok bayangan berkelebat, yaitu si Budak Setan. Ternyata dia membawa sebuah keranjang ke hadapan Tam Goat Hua, lalu berkata.

"Nona Tam pasti sudah lapar. Di sini tidak ada makanan enak, harap nona tidak menolak makanan yang di dalam keranjang ini!"

Tam Goat Hua memandang ke dalam keranjang itu. Terdapat air minum satu kendi, seekor ayam hutan bakar, nasi merah dan buah-buahan. "Wuah!" seru gadis itu girang. "Dari mana kau memperoleh makanan-makanan ini? Kau sudah makan belum?"

Si Budak Setan segera menyahut. "Sudah."

Usai menyahut, si Budak Setan berkelebat pergi. Tam Goat Hua yang memang sudah merasa lapar itu, langsung bersantap dengan lahap sekali. Tak seberapa lama, semua makanan yang di dalam keranjang itu habis disantapnya dan kemudian dia tampak bersemangat. Seusai Tam Goat Hua makan, si Budak Setan berkelebat ke arahnya untuk mengambil keranjang tersebut.

Begitu melihat si Budak Setan mendekat, gadis itu menjulurkan tangannya untuk mencengkeram lengan si Budak Setan, itu adalah ilmu Hian Bu Sam Na. Akan tetapi, ketika Tam Goat Hua menjulurkan tangannya, badan si Budak Setan bergerak, tahu-tahu sudah menjauh beberapa depa. Sesungguhnya Tam Goat Hua tidak berniat berbuat jahat. Ada pun dia mencengkeram lengan si Budak Setan hanya sekedar bergurau.

Karena tidak berhasil mencengkeram lengan si Budak Setan, Tam Goat Hua malah merasa tidak enak. Ketika dia baru ingin mendekatinya, mendadak di luar terdengar suara tangisan yang menyeramkan. Begitu mendengar suara tangisan itu, wajah Tam Goat Hua langsung berubah hebat sebab suara tangisan itu mendengung ke dalam telinganya dan dia merasa sukmanya seakan terbetot ke luar. Itu adalah ilmu ‘Ratapan Setan’.

Dapat diketahui, para jago dari Istana Setan sudah menuju goa tersebut, sedangkan saat ini luka Tam Goat Hua masih belum pulih. Maka sudah barang tentu dia gugup dan panik. Tam Goat Hua bangkit berdiri, kebetulan si Budak Setan sedang memandangnya. Sekian hari itu, baru pertama kali ini gadis tersebut berhadapan dengannya sekaligus memandang wajahnya. Si Budak Setan cepat-cepat menundukkan kepala, sedangkan Tam Goat Hua terbelalak.

Ternyata wajah si Budak Setan amat buruk sekali, sehingga Tam Goat Hua nyaris tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang berwajah seburuk itu. Wajah si Budak Setan hitam pekat, ditumbuhi bulu yang agak kemerah-merahan. Sepasang bola matanya melotot ke luar dan agak kekuning-kuningan, hidung pesek dan giginya jarang, Sungguh buruk rupa si Budak Setan!

Kini Tam Goat Hua baru tahu, apa sebabnya si Budak Setan tidak mau berhadapan muka dengannya, ternyata wajahnya begitu buruk. Berdasarkan ini dapat diketahui, si Budak Setan tidak berhati jahat. Akan tetapi suara Ratapan Setan itu makin lama makin dekat, bagaimana menjelaskan itu?

Setelah berpikir lama sekali, kemudian Tam Goat Hua membentak mendadak. "Budak Setan! Kau mengajakku kemari, ternyata ingin mencelakaiku?"

Si Budak Setan membalikkan badannya, namun tetap menunduk. Kemudian dia menyahut dengan sedikit terisak, dan sepasang matanya pun bersimbah air. "Nona Tam, kalau aku bermaksud begitu pasti mati disambar geledek!"

Tam Goat Hua percaya, namun justru bertanya lagi. "Siapa yang mengeluarkan Ratapan Setan menuju ke mari itu?"

Si Budak Setan menyahut. "Itu adalah kedua putra tuan penolongku. Entah bagaimana mereka berdua meninggalkan Bu Yi San."

Begitu mendengar yang datang itu adalah Seng Cai dan Seng Bou, air muka Tam Goat Hua langsung berubah. Kalau mereka berdua mengetahui gadis itu berada di dalam goa, pasti akan terjadi pertarungan sengit.

"Budak Setan, apakah di goa ini ada tempat untuk bersembunyi?"

Si Budak Setan menyahut cepat. "Ada."

Di saat bersamaan, suara Rapatan Setan itu semakin mendekat dan tak lama terdengarlah suara seruan Kou Hun Su-Seng Cai di luar.

"Budak Setan, kau berada di dalam?!"

Si Budak Setan segera menyahut dengan hormat. "Hamba ada di dalam, Tuan Muda!"

Kou Hun Su-Seng Cai berseru lagi. "Cepat buka pintu, kami berdua ingin bicara denganmu!"

"Ya!" Sikap si Budak Setan sungguh hormat, padahal mereka berdua masih berada di luar.

Menyaksikan itu sekujur badan Tam Goat Hua langsung mengucurkan keringat dingin, sedangkan si Budak Setan sudah mendekati pintu goa. Tam Goat Hua sama sekali tidak berani berseru, namun tingkahnya tampak serba salah. Setelah berada dekat pintu goa, si Budak Setan segera berpaling sambil menunjuk tempat tidur batu. Tam Goat Hua mengerti maksud si Budak Setan, yakni menyuruh gadis itu bersembunyi di belakang tempat tidur batu tersebut.

Badan Tam Goat Hua bergerak, lalu berkelebat ke belakang tempat tidur batu itu dan bersembunyi di sana. Baru dia bersembunyi terdengar pula suara berderak, si Budak Setan sudah membuka pintu goa itu. Tam Goat Hua mengintip dari tempat persembunyiannya. Ketika pintu goa itu dibuka, tampak dua sosok bayangan berkelebat ke dalam, yang tidak lain Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mai Su-Seng Bou. Mereka berdua langsung duduk di kursi batu, kemudian berkata serentak.

"Budak Setan! Kini sudah tiga tahun, ‘Sari Air Batu’ di sini pasti sudah menetes. Cepat ambil untuk kami minum!"

‘Sari Air Batu’? Tam Goat Hua tersentak, sebab ‘Sari Air Batu’ merupakan semacam obat mujarab, yang kalau diminum setengah atau satu cangkir akan menambah tenaga dan membuat tubuh menjadi ringan. Akan tetapi apabila ‘Sari Air Batu’ sudah menetes namun tidak segera diminum, dalam waktu singkat akan berubah menjadi batu. Tam Goat Hua sama sekali tidak menyangka, bahwa di dalam goa ini terdapat ‘Sari Air Batu’ yang diimpikan oleh setiap kaum rimba persilatan.

Di saat gadis itu sedang berpikir, si Budak Setan justru menyahut. "Kedatangan Tuan Muda berdua sungguh tidak tepat waktunya. Karena hamba tidak tahu Tuan Muda berdua mau ke mari, maka ‘Sari Air Batu’ sudah hamba minum. Lagi-pula ‘Sari Air Batu’ tidak dapat disimpan lama."

Seng Cai mendengus. "Hm! Setan kecil, kau ingin membohongi kami? Kami ke mari minta ‘Sari Air Batu’ itu, kau malah bilang sudah diminum! Kalau ayah ke mari, apakah kau akan menjawab demikian juga?"

Si Budak Setan tampak terkejut dan segera bertanya. "Tuan penolong akan ke mari?"

Seng Bou tertawa dingin. "Tentu! Ayo, cepat ambilkan ‘Sari Air Batu’ itu!"

Si Budak Setan menundukkan kepala. "Memang benar sudah hamba minum, bagaimana hamba berani berbohong di hadapan Tuan Muda berdua?"

Seng Bou mendengus. "Hm! Omong kosong! Apakah kami tidak tahu sejak kecil kau sudah minum ‘Sari Air Batu’ itu hingga besar? Tubuhmu sudah begitu ringan, minum lagi sudah tiada manfaatnya! Bagaimana mungkin kau akan minum itu? Ayo, cepat ambilkan untuk kami!"

Si Budak Setan tampak ketakutan, lama sekali baru berkata. "Memang benar sudah hamba minum."

Usai berkata, si Budak Setan menoleh ke arah Tam Goat Hua. Sesungguhnya gadis itu sudah bercuriga ketika si Budak Setan memandangnya sejenak. Seketika dia pun paham, air minum di dalam kendi yang diminumnya, tidak lain adalah ‘Sari Air Batu’. Pantas begitu minum air itu, Tam Goat Hua merasa nyaman, segar dan bersemangat, bahkan lukanya sudah sembuh pula hari itu.

Kini Seng Cai dan Seng Bou minta ‘Sari Air Batu’ kepada si Budak Setan. sedangkan air itu sudah habis karena sudah diberikan kepada Tam Goat Hua. Maka si Budak Setan tidak dapat menuruti permintaan Seng Cai dan Seng Bou, dan rupanya si Budak Setan akan mendapatkan kesulitan dari mereka berdua.

Berpikir sampai di sini, Tam Goat Hua terheran-heran, sebab dia dan si Budak Setan itu sama sekali tidak punya hubungan apa pun, bahkan tidak kenal. Hanya si Budak Setan pernah memperingatkannya agar tidak ke Istana Setan. Setelah itu bertemu di rumah besar saat hujan lebat, itu pertanda si Budak Setan berniat baik.

"Budak Setan!" bentak Seng Cai. "Kau sungguh tidak mau berkata sejujumya?"

Usai berkata Seng Cai pun langsung memukul si Budak Setan. Akan tetapi si Budak Setan langsung berkelit. Seng Cai penasaran sekali, namun ketika dia baru mau menyerang lagi mendadak terdengar suara bentakan dari pintu goa.

"Berhenti!"

Begitu mendengar suara bentakan itu, tersentak hati Tam Goat Hua. Tampak seorang tua berwajah seram berjalan ke dalam, Orang itu ternyata adalah si Nabi Setan-Seng Ling. Seng Cai langsung berdiri diam di tempat. Si Setan-Seng Ling memelototi kedua putranya sambil berkata dingin.

"Aku sudah beritahukan kepada kalian berdua, karena aku pernah menyelamatkan nyawanya maka dia rela jadi budakku! Dia memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, bahkan juga memiliki busur pusaka! Kalau dia mau bertarung, kalian berdua bukan lawannya! Dia hanya memandang mukaku, karena itu dia sama sekali tidak mau bergebrak dengan kalian berdua, tapi kalian berdua malah menghinanya!"

Seng Cai dan Seng Bou diam saja. Namun Tam Goat Hua justru tidak habis pikir, sejak kapan si Nabi Setan-Seng Ling berubah menjadi begitu bijaksana?

Sementara si Budak Setan segera memberi hormat dan berkata, "Walau Tuan Penolong berkata demikian, tapi hamba tetap tidak berani bergebrak dengan kedua Tuan Muda."

Si Nabi Setan-Seng Ling mendekatinya, kemudian menepuk bahunya seraya berkata. "Kau tidak usah...," berkata sampai di situ, mendadak sepasang mata si Nabi Setan-Seng Ling menyorot aneh dan bertanya. "lh?! Apakah di dalam goa ini ada orang lain?"

Tam Goat Hua segera menutup pernafasannya, sedangkan si Budak Setan segera menyahut. "Ti... tidak ada."

Si Nabi Setan-Seng Ling mendengar dengan penuh perhatian, kemudian badannya bergerak cepat. Tampak bayangannya berkelebat ke sana ke mari, lalu kembali ke tempat semula. Walau tidak secepat si Budak Setan, namun cepatnya sudah laksana kilat.

"Heran!" gumam si Nabi Setan-Seng Ling. "Tadi sepertinya aku merasa ada orang lain di dalam goa ini."

Tam Goat Hua yang bersembunyi di belakang ranjang batu, diam-diam berseru kaget dalam hati, "Sungguh bahaya!"

Gadis itu pun amat kagum kepada si Nabi Setan-Seng Ling. Walau tidak melihat Tam Goat Hua, namun dia bisa merasakan bahwa di dalam goa itu ada orang lain, itu dikarenakan mendengar pernafasan Tam Goat Hua. Dapat dibayangkan, betapa tajamnya pendengaran si Nabi Setan-Seng Ling. Kini Tam Goat Hua sudah tidak berani menjulurkan kepalanya untuk mengintip, tapi terdengar suara si Nabi Setan-Seng Ling bertanya.

"Budak Setan! Rumah besar itu habis dilalap api, kau tahu apa sebabnya?"

"Hamba tidak tahu."

Si Nabi Setan-Seng Ling berpikir sejenak, kemudian berkata. "Budak Setan, majikan rumah itu entah sudah berapa kali menyuruh orangnya ke mari untuk menangkapmu. Kau tahu siapa majikan rumah itu?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar