Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 67 (Tamat)

Liok Ci Khim Mo tertawa aneh. "Hehehe! Melepaskannya?" Mendadak kedua belas jari tangannya bergerak serentak, ternyata dia menggunakan nada Mengejutkan Langit.

Padahal Toan Bok Ang baru merasa lega, tapi harpa Pat Liong Khim berbunyi lagi bagaikan halilintar menggelegar membelah bumi. Itu membuat hati Toan Bok Ang tergoncang keras. Tak lama kemudian tampak darah segar mengalir dari hidungnya, sedangkan wajahnya makin pucat pias tak sedap dipandang. Toan Bok Ang tergeletak tak bergerak di lantai.

Liok Ci Khim Mo tertawa gelak, kemudian jari keenamnya bergerak tiga kali. Setiap kali harpa Pat Liong Khim itu berbunyi, badan Toan Bok Ang meloncat ke atas hampir satu depa. Tiga kali kemudian, badan Toan Bok Ang sudah tak bergerak sama sekali. Liok Ci Khim Mo tertawa dingin. Dia memeluk harpa Pat Liong Khim-nya sambil mendekati Toan Bok Ang, lalu mengayunkan kakinya untuk menendang gadis itu. Kebetulan tendangannya itu membuat Toan Bok Ang terpental ke dekat kaki Oey Sim Tit.

Oey Sim Tit segera membungkukkan badannya memeriksa pernapasan gadis itu. "Ayah, dia... dia sudah mati," katanya kepada Liok Ci Khim Mo.

"Mati ya mati! Kalau gadis itu tidak mati, kau pula yang akan mati! Kau mengerti?" sahut Liok Ci Khim Mo.

Tadi ketika Oey Sim Tit meraba hidung Toan Bok Ang, ternyata sudah tidak bernafas pertanda gadis itu telah mati. Betapa sedihnya Oey Sim Tit sehingga tertegun tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Berselang sesaat barulah dia berkata lagi, "Ayah, dia sudah mati, biar aku yang menguburnya! Semasa hidupnya dia masih memandangku. Setelah mati, bagaimana masih ada dendam?"

Wajah Liok Ci Khim Mo amat tak sedap dipandang.

Oey Sim Tit khawatir Liok Ci Khim Mo tidak mengabulkan permintaannya, maka ia langsung menjatuhkan diri berlutut. "Ayah, kabulkanlah permintaanku!" katanya memohon.

"Kau ingin menguburnya di mana?" tanya Liok Ci Khim Mo.

Oey Sim Tit berpikir sejenak. "Di taman bunga belakang istana," jawabnya kemudian.

Liok Ci Khim Mo langsung meludah. "Phui! Dasar anak yang tak berguna! Dia apamu sehingga kau mau menguburnya di taman bunga belakang istana? Istana Ci Cun Kiong adalah tempat tinggal kita, mengapa harus mengubur orang mati di sana? Lebih baik kau bakar saja mayat itu!"

"Kalau begitu aku akan membawanya ke luar istana, menguburnya di suatu tempat. Ayah pasti mengabulkan bukan?"

Liok Ci Khim Mo cuma mendengus. "Hmmm!"

Oey Sim Tit cepat-cepat memanggutkan kepalanya hingga membentur lantai, lalu bangkit berdiri sekaligus membopong mayat Toan Bok Ang dan segera meninggalkan aula besar itu. Sembari berjalan dia pun berpikir. Toan Bok Ang merupakan gadis yang cantik, tentunya harus mencari suatu tempat yang layak untuk mengubur mayatnya. Oey Sim Tit membopong mayat Toan Bok Ang melalui jalan Tiong Tiau San. Ketika hari mulai terang barulah dia sampai di sebuah lembah kecil. Lembah kecil itu cukup indah. Di sana terdapat sebuah sungai kecil, rerumputan menghijau dan bunga liar memekar indah, sungguh merupakan tempat yang sunyi, damai dan nyaman!

Begitu tiba di lembah kecil itu, Oey Sim Tit menaruh mayat Toan Bok Ang, kemudian pergi mengambil air untuk membersihkan noda darah yang melekat di wajah Toan Bok Ang. Sesudah wajah itu dibersihkan, meski pun pucat pias tapi masih tampak cantik jelita. Oey Sim Tit termangu-mangu, kemudian mendongakkan kepala. Ternyata dia teringat akan Tam Goat Hua.

Berselang beberapa saat barulah Oey Sim Tit menghela nafas panjang. Dia tahu Toan Bok Ang amat mencintai Lu Leng, namun Lu Leng justru tidak mencintai gadis itu. Persis seperti dirinya sendiri, amat mencintai Tam Goat Hua tapi gadis itu tidak mencintainya. Teringat akan hal itu Oey Sim Tit merasa Toan Bok Ang bernasib malang seperti dirinya. Dia menghela nafas panjang lagi, air matanya mulai meleleh.

Oey Sim Tit berdiri perlahan-lahan, lalu menggali sebuah lubang dekat pinggir sungai. Setelah itu dia membopong mayat Toan Bok Ang, yang kemudian ditaruhnya ke dalam lubang itu.

Oey Sim Tit berdiri termangu-mangu di pinggir lubang. Beberapa saat kemudian barulah dia berkata, "Nona Toan, aku tahu kau adalah gadis yang cantik jelita dan baik hati, tapi aku justru tidak mampu menolongmu. Aku harap kau di alam baka sudi memaafkanku!"

Dia menarik nafas panjang. "Nona Toan, ketika kau masih hidup, kau menghendaki Busur Apiku. Aku tidak bersedia memberikanmu, itu bukan berarti aku tega. Tapi aku tahu, setelah kalian memperoleh Busur Apiku pasti akan membunuh ayahku, maka tidak kuberikan padamu...." Hatinya seperti tersayat sehingga air matanya mengucur deras. "Nona Toan, kini kau sudah mati, maka sudah pasti tidak akan dicelakai orang lagi. Kau pun tidak akan mencelakai ayahku, maka aku mengabulkan permintaanmu itu."

Sembari berkata Oey Sim Tit merogoh ke dalam bajunya mengeluarkan Busur Apinya. Dengan tangan gemetar dibelainya Busur Api itu, kemudian ditariknya tiga kali seraya bergumam. "Busur Api, oh Busur Api. Sekian tahun kau menemaniku! Sesungguhnya aku merasa tidak sampai hati meninggalkanmu. Tapi di dunia kau hanya akan mencelakai orang, maka lebih baik kau menemani nona Toan saja di dalam kuburannya!"

Dia membungkukkan badannya, menaruh Busur Api itu di tangan kiri Toan Bok Ang. Setelah itu mulailah dia mengurug lubang tersebut. Berselang beberapa saat mayat Toan Bok Ang telah diurug hingga tidak kelihatan, dan lubang itu sudah menjadi gundukan tanah. Oey Sim Tit mengambil rerumputan dan bunga-bunga liar, lalu ditanamkannya di atas gundukan tanah itu agar gundukan tanah itu tidak mirip sebuah kuburan baru. Memang! Siapa pun tidak akan menduga bahwa di tempat yang amat sunyi itu ada orang yang menguburkan mayat. Oey Sim Tit berdiri termangu-mangu.

"Nona Toan, istirahatlah kau dengan tenang di sini!" gumamnya.

Setelah bergumam begitu, Oey Sim Tit mengeraskan hatinya. Segera ia melesat pergi meninggalkan tempat itu kembali ke Liok Ci Khim Mo. Dia sama sekali tidak memberitahukan pada siapa pun bahwa mayat Toan Bok Ang dikuburkan di mana.

Sementara itu Lu Leng, Tam Goal Hua, Tam Ek Hui dan Han Giok Shia masih berada di dalam goa menghimpun hawa murni untuk mengusir racun yang ada di dalam tubuh mereka. Setelah hari sudah siang mereka berempat merasa bersemangat. Racun yang ada di dalam tubuh mereka telah terusir ke luar. Betapa girangnya mereka karena juga memperoleh Jala Bumi. Mereka berempat meninggalkan goa itu.

"Guru pasti mencari kita kemana-mana," kata Lu Leng.

Tam Goat Hua mengangguk. "Betul! Kita harus segera kembali ke lembah itu."

"Setelah kejadian semalam, bagaimana mungkin Liok Ci Khim Mo menyudahinya? Kita harus hati-hati, jangan sampai bertemu dia!" kata Lu Leng.

Mereka berempat melesat, dan tak lama sudah tiba di lembah itu. Mendadak tampak sosok bayangan berkelebat ke luar dari lembah itu. Bukan main cepatnya, membuat mereka berempat terkejut sekali. Setelah melihat jelas siapa orang itu, barulah mereka berempat menarik nafas lega. Ternyata orang itu adalah Seh Cing Hua.

Terdengar Seh Cing Hua menegur dengan gusar. "Kalian berempat keluyuran ke mana? Kalian membuat kami cemas semalaman! Cepat beri-tahukan!"

Tam Ek Hui dan Tam Goat Hua diam, mereka berdua cuma menundukkan kepala. Han Giok Shia ingin membuka mulut, namun Seh Cing Hua merupakan tingkatan tuanya, maka tidak berani bersuara. Lu Leng tahu bahwa Seh Cing Hua amat gusar. Yang tiga tidak berani menjawab, sehingga mau tidak mau dia harus membuka mulut.

"Bibi! Semalam kami bertemu Kou Hun Siu. Kami terpaksa memancingnya ke tempat lain!"

Kegusaran Seh Cing Hua masih belum reda. "Begitu pergi harus sampai semalaman?!" bentaknya.

Lu Leng segera menutur tentang kejadian itu, barulah dapat meredakan kegusaran Seh Cing Hua.

"Kami bertiga terus mencari kalian semalaman. Kami pikir, kalau kalian tidak terjadi sesuatu pasti akan kembali ke sini, maka kami menunggu di sini."

Tam Goat Hua memberanikan diri bertanya. "Di mana ayah?"

"Siapa tahu mereka berdua pergi kemana? Aku akan melepaskan kembang api isyarat. Kalau mereka melihat, pasti akan segera kemari," sahut Seh Cing Hua.

Seh Cing Hua mengeluarkan sebatang kembang api isyarat, kemudian dilemparkannya. Kembang api itu meledak di udara dan meluncur ke atas lagi. Watau siang hari, namun kembang api itu tampak jelas di udara. Sebelum kembang api itu sirna, belasan mil di arah barat juga tampak kembang api isyarat meluncur ke atas. Begitu pula di sebelah selatan. Menyaksikan kembang-kembang api itu, Seh Cing Hua segera berkata.

"Mereka berdua tak jauh dari sini, mungkin sebentar lagi akan kemari."

Berselang beberapa saat kemudian, tampak Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek muncul dari arah barat, sedangkan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen muncul dari arah selatan. Lu Leng segera menutur lagi tentang apa yang dialami mereka berempat. Begitu mendengar mereka memperoleh Jala Bumi, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen girang bukan main.

"Kalian berdua berhasil mencari nona Toan?" tanya Seh Cing Hua kepada Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen.

Mereka berdua menggelengkan kepala. "Tidak!"

Seh Cing Hua menarik nafas. "Dari semula dia sudah berniat meninggalkan kita semua, kini mungkin sudah berada di tempat yang amat jauh. Sudahlah, tidak usah mempedulikannya!"

Memang masuk akal apa yang dikatakan Seh Cing Hua, maka mereka semua tidak mengungkit lagi tentang Toan Bok Ang. Mereka semua justru tidak tahu dan tidak terpikirkan bahwa semalam Toan Bok Ang menerjang ke dalam istana Ci Cun Kiong seorang diri, bahkan hampir berhasil memperoleh Busur Api.

"Kini semua urusan sudah hampir rapi, hanya kurang angin timur saja," kata Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek.

"Kita tetap melaksanakan rencana semula. Biar aku membawa senjata Can Thian Cin menemui kedua binatang yang tak berguna itu," sahut Seh Cing Hua.

"Setelah kejadian semalam, kau masih mau menyelinap lagi ke dalam istana Ci Cun Kiong, bukankah itu amat membahayakan dirimu?" kata Tam Sen sambil mengerutkan kening.

"Kalau mau aman, lebih baik tidur!" sahut Seh Cing Hua dengan gusar.

"Tok Ciu Lo Sat, alangkah baiknya kita punya rencana yang panjang!" kata Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Ternyata dia juga berpikir, bahwa apabila Seh Cing Hua pergi menyelinap ke dalam istana Cun Kiong, itu sungguh membahayakan dirinya, maka berusaha mencegahnya. Akan tetapi Seh Cing Hua justru berhati keras. Apa yang diinginkannya terlaksana, siapa pun tidak dapat mencegahnya.

Ketika Tong Hong Pek berkata begitu Seh Cing Hua malah bertambah gusar. "Bagaimana kalian? Apa itu rencana yang panjang? Apakah Busur Api itu akan jatuh sendiri dari langit?" sahutnya sengit.

Kemudian dia membalikkan badannya, memandang Tam Ek Hui. "Ek Hui, cepat serahkan senjata Can Thian Cin padaku!" katanya.

Tam Ek Hui tidak berani menentang. Dia segera menyerahkan senjata Can Thian Cin kepada Seh Cing Hua. Lu Leng pun cepat-cepat mengeluarkan Jala Bumi, lalu diserahkan kepada Seh Cing Hua.

"Bibi, bawalah Jala Bumi ini! Mungkin ada manfaatnya bagi bibi!" katanya.

Seh Cing Hua manggut-manggut. Diterimanya Jala Bumi tersebut, kemudian di simpan ke dalam bajunya.

"Bibi, aku ikut!" kata Han Giok Shia.

"Tidak usah! Aku bukan pergi bertarung, untuk apa menambah satu orang?" sahut Seh Cing Hua.

Han Giok Shia terpaksa diam. Yang lainnya pun tidak dapat mencegah. Mendadak Seh Cing Hua melesat pergi, dan dalam sekejap sudah hilang dari pandangan mereka.

"Bagaimana menurutmu mengenai kepergiannya? Apakah akan mengalami bahaya atau tidak?" tanya Tong Hong Pek kepada Tam Sen.

"Menurutku tiada hasilnya. Namun kemungkinan besar tidak akan mengalami bahaya, sebab dia masih bisa melihat situasi. Apabila situasi tidak mengizinkan, tentunya dia akan kabur pulang," sahut Tam Sen.

"Kalau begitu, selain menunggu di sini kita tidak ada pekerjaan lain?" tanya Tong Hong Pek.

Tam Sen tersenyum getir, kemudian manggut-manggut. Mereka semua menunggu di lembah itu.

Sementara Seh Cing Hua terus melesat ke arah istana Ci Cun Kiong. Ketika hari mulai petang dia sudah berada di jalan besar yang menuju ke istana tersebut. Begitu sampai di jalan besar Seh Cing Hua cepat-cepat mengeluarkan sebuah kedok kulit manusia. Setelah memakai kedok itu, wajahnya berubah menjadi seorang wanita bermulut monyong dan mukanya agak panjang. Seh Cing Hua terus melesat. Tak lama kemudian dia melihat undakan batu, namun mendadak muncul empat orang menghadangnya.

"Aku adalah kakaknya Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau, mohon kalian membawaku menemui mereka!" kata Seh Cing Hua.

Keempat orang itu tahu betapa tingginya kedudukan Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau di dalam istana Ci Cun Kiong, bagaimana mungkin mereka berani berlaku kurang ajar terhadap Seh Cing Hua?

"Nyonya...," kata salah seorang dari mereka dengan ramah.

Belum juga orang itu menyelesaikan ucapannya, Seh Cing Hua sudah mengayunkan tangannya.

“Plak!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi orang itu sehingga pipi orang langsung membengkak merah.

"Siapa suruh kau memanggilku nyonya? Kalian harus memanggilku bibi!” bentak Seh Cing Hua.

Betapa gusarnya orang yang ditampar itu, tapi tidak berani melampiaskan kegusarannya. Salah seorang yang lain segera membawa Seh Cing Hua mendekati undakan batu. Tiba-tiba muncul seseorang dan menyapa.

"Cepat lapor kepada Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau, kakak mereka datang!" kata orang yang membawa Seh Cing Hua. Orang itu cepat-cepat menaiki undakan batu. Sampai di undakan batu yang ketiga puIuh, dia berkata kepada penjaga di tempat itu.

Penjaga itu kemudian berseru sekeras-kerasnya, "Mohon Hek Sin Kun keluar sebentar, aku mau melapor!"

Seh Cing Hua mendongakkan kepala memandang ke atas. Begitu ketat penjagaan di tempat itu. Kalau Liok Ci Khim Mo berada di atas, tidak gampang baginya menerjang ke atas, pikirnya. Tak seberapa lama kemudian dia melihat Hek Sin Kun berjalan ke luar dari istana Ci Cun Kiong.

Hek Sin Kun memandang ke bawah, barulah melesat dan dalam sekejap sudah berada di hadapan Seh Cing Hua. Pertemuan mereka kakak beradik tidaklah begitu hangat.

"Mau apa kau kemari?” tanya Hek Sin Kun acuh tak acuh.

"Menengok kalian berdua. Sungguh nyaman jadi budak orang!" sahut Seh Cing Hua.

Wajah Hek Sin Kun langsung berubah. "Cepatlah kau pergi!" katanya dengan nada tidak senang.

"Pergi? Kalau begitu kau tidak mau benda pusaka?" sahut Seh Cing Hua.

Hati Hek Sin Kun tergerak. "Benda pusaka apa?" tanyanya.

"Di mana Kim Kut Lau? Mengapa dia tidak turun? Apakah dia masih tahu malu, maka tidak berani menemuiku?" Seh Cing Hua balik bertanya.

Air muka Hek Sin Kun berubah, kelihatannya amat gusar. "Semalam Toan Bok Ang kemari membuat sebelah kaki Kim Kut Lau patah. Ia tidak bisa bangun."

Betapa terkejutnya Seh Cing Hua mendengar jawaban Hek Sin Kun itu. "Toan Bok Ang? Di mana dia sekarang?” tanyanya segera.

Hek Sin Kun tertawa dingin. "Orang yang menentang Ci Cun, tentu akan mati di bawah Pat Liong Thian Im!"

Seh Cing Hua gusar bukan main. Dia langsung melancarkan sebuah pukulan, namun Hek Sin Kun cepat-cepat berkelit.

"Toan Bok Ang sudah mati, nanti kalian pun harus mati pula!"

Seh Cing Hua amat berduka. Mendadak dia memperlihatkan senjata Can Thian Cin. "lni adalah benda pusaka peninggalan ayah, kau berminat memilikinya?"

"Sudah pasti berminat!" sahut Hek Sin Kun.

Seh Cing Hua tertawa dingin. "Oh, ya? Itu memang gampang, tapi kau harus mengajakku menemui seseorang!"

Hek Sin Kun menatap senjata pusaka itu. "Siapa orang itu?"

"Ajak aku pergi menemui Oey Sim Tit!" sahut Seh Cing Hua.

Begitu mendengar jawaban Seh Cing Hua, air muka Hek Sin Kun langsung berubah, dan spontan badannya bergerak ke atas tujuh delapan undakan batu. Di saat bersamaan badan Seh Cing Hua pun bergerak mengejarnya ke atas, tapi tiba-tiba muncul empat orang dari atas menerjang ke bawah. Seh Cing Hua tertawa dingin dan langsung menggerakkan senjata Can Thian Cin. Tampak cahaya kemerah-merahan berkelebatan ke arah empat orang itu. Tak sempat keempat orang itu menjerit, tahu-tahu sudah roboh binasa.

"Kau tidak mau?!" bentak Seh Cing Hua.

Wajah Hek Sin Kun berubah kelabu. "Kalau pun kau bertemu Oey Sim Tit juga tidak ada gunanya," katanya. Ketika berkata sepasang tangannya ditaruh di belakang untuk memberi isyarat kepada penjaga yang ada di atas.

Begitu melihat gerak-gerik Hek Sin Kun, Seh Cing Hua merasa curiga. Mendadak dia memiringkan badannya. Dilihatnya Hek Sin Kun sedang memberi isyarat kepada para penjaga di atas, sudah pasti isyarat itu agar penjaga di atas melapor kepada Liok Ci Khim Mo. Itu membuat Seh Cing Hua betul-betul marah besar. Dia tertawa dingin seraya berkata.

"Hek Sin Kun! Apakah kau tertarik pada senjata Can Thian Cin, lalu ingin mengundang Liok Ci Khim Mo keluar mencelakaiku?"

Hek Sin Kun cepat-cepat naik lagi sambil menyahut. "Kau yang cari penyakit, jangan menyalahkanku!"

Seh Cing Hua tertawa aneh. Ia lalu membentak, "Bagus!" Begitu dia membentak, badannya mencelat ke atas, dan tampak pula cahaya senjata Can Thian Cin berkelebat ke arah Hek Sin Kun.

Hek Sin Kun tahu akan kelihayan Seh Cing Hua. Ketika melihat Seh Cing Hua menerjang, dia justru tidak tahu harus berbuat apa. Betapa cepatnya gerakan Seh Cing Hua! Yang tampak hanya cahaya kemerah-merahan berkelebat, tapi membuat Hek Sin Kun tak sempat menjerit dan terhuyung-huyung ke belakang lalu roboh. Ternyata kepalanya telah terpapas sebelah dan darah segarnya langsung mengucur dengan deras.

Tadinya Seh Cing Hua masih ingat akan hubungan kakak beradik, maka tiada niat membunuhnya. Tapi Hek Sin Kun malah memberi isyarat kepada para penjaga agar mengundang Liok Ci Khim Mo. Itu membuat Seh Cing Hua menjadi marah besar. Menurut anggapannya, orang seperti Hek Sin Kun sungguh tiada artinya sama sekali. Oleh karena itu barulah dia turun tangan membunuhnya. Kemarahan Seh Cing Hua belum reda. Dia pun mengayunkan kakinya untuk menendang mayat Hek Sin Kun.

Di undakan batu itu terdapat cukup banyak jago tangguh. Namun begitu Seh Cing Hua membunuh Hek Sin Kun hanya dengan satu jurus, mereka tidak berani menyerangnya. Seh Cing Hua bergerak cepat melesat pergi. Ketika Liok Ci Khim Mo muncul di situ, Seh Cing Hua sudah pergi jauh. Liok Ci Khim Mo tidak mengejarnya karena Seh Cing Hua sudah melesat belasan mil, barulah berhenti. Walau pun dia telah membunuh Hek Sin Kun, namun hatinya masih tetap merasa kesal.

Sebelum meninggalkan lembah itu, dia pernah berdebat dengan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen, suaminya. Kalau saat ini pulang tanpa membawa hasil apa-apa, meski pun Tam Sen tidak akan mentertawakannya, tapi dia tetap merasa malu. Seh Cing Hua berpikir, Toan Bok Ang berani seorang diri menerjang ke dalam istana Ci Cun Kiong, mengapa dia tidak? Dia berhati keras. Begitu berpikir tentang itu, Seh Cing Hua langsung membalikkan badannya. Ternyata dia kembali ke istana Ci Cun Kiong. Akan tetapi mendadak dia berpikir lagi. Apabila dia pergi ke sana, sama juga mencari mati. Itu membuatnya tidak dapat mengambil keputusan sehingga berjalan perlahan.

Tak seberapa lama kemudian dia sampai di sebuah lembah kecil. Di lembah itu terdapat sebuah sungai. Rerumputannya menghijau dan bunga-bunga liar memekar indah, sungguh sunyi dan indah lembah itu! Namun saat ini hati Seh Cing Hua sedang kacau, bagaimana mungkin bisa menikmati keindahan lembah itu? Lembah itu tiada jalan ke luar. Ketika Seh Cing Hua baru mau mundur, mendadak malah berdiri di situ.

Di saat bersamaan dia pun merasa heran. Ternyata dia melihat segundukan tanah yang tidak begitu tinggi di pinggir sungai. Yang membuatnya heran dan terbelalak adalah rerumputan di atas gundukan tanah itu tampak bergerak ke atas. Semula Seh Cing Hua mengira matanya lamur. Namun setelah diperhatikan dengan seksama, gundukan tanah itu memang bergerak ke atas. Sekujur badan Seh Cing Hua merinding. Dia mengira ada suatu makhluk aneh atau monster ingin menerobos ke luar dari gundukan tanah itu.

Seh Cing Hua segera melesat maju, sekaligus mengambil sebuah batu besar yang kemudian ditindihkannya di atas gundukan tanah itu. Setelah melakukan itu, Seh Cing Hua pun cepat-cepat meloncat ke beiakang. Dia terus memandang batu besar tersebut, namun batu besar itu tidak bergerak sama sekali. Berselang beberapa saat batu besar itu tampak kembali bergerak ke atas.

Di sini perlu diketahui, lembah kecil nan indah itu merupakan tempat Oey Sim Tit mengubur mayat Toan Bok Ang, sedangkan gundukan tanah itu adalah kuburannya Toan Bok Ang. Mengapa gundukan tanah itu bergerak? Perlu dijelaskan sedikit, ternyata Toan Bok Ang terluka parah oleh Pat Liong Thian Im, maka Liok Ci Khim Mo dan Oey Sim Tit menganggap gadis itu telah mati. Lagi pula Oey Sim Tit telah memeriksa nafas Toan Bok Ang, gadis itu sudah tidak bernafas sama sekali. Padahal sesungguhnya Toan Bok Ang belum mati, namun Liok Ci Khim Mo dan Oey Sim Tit mengiranya telah mati, Oleh karena itu Oey Sim Tit menguburnya di lembah kecil itu.

Tapi memang untung lubang yang digali Oey Sim Tit tidak begitu dalam, lagi pula tanah yang diurug itu tidak begitu padat. Semua itu boleh dikatakan kebetulan, sebab di dalam tanah, Toan Bok Ang justru memperoleh hawa dasar bumi sehingga membuatnya siuman dan bernafas seperti biasa. Akan tetapi pikirannya masih kosong, tidak tahu dirinya berada di mana. Berselang sesaat barulah dia merasa badannya tertindih sesuatu, sulit baginya bernafas dan membuka matanya. Karena itu Toan Bok Ang cepat-cepat menghimpun hawa murninya, barulah merasa lega dan tenang.

Setelah dia merasa lega dan tenang, perlahan-lahan teringat kembali apa yang telah menimpa dirinya. Akan tetapi dia tidak ingat dan tidak tahu apa sebabnya dirinya berada di tempat itu. Toan Bok Ang terus berpikir, akhirnya berseru dalam hati. "Aku sudah mati!"

Ternyata dia tahu bahwa dirinya telah mati, namun setelah mati kok masih bisa merasa? Itu tidak seperti orang mati, tapi justru telah dikuburkan orang. Toan Bok Ang terus berpikir, akhirnya dia paham. Sudah pasti Liok Ci Khim Mo menganggapnya telah mati, maka dirinya dikuburkan di tempat itu. Tentunya Toan Bok Ang tidak tahu bahwa yang menguburnya adalah Oey Sim Tit. Kalau Oey Sim Tit tidak bermohon pada Liok Ci Khim Mo agar Toan Bok Ang dikuburkan, sudah pasti Toan Bok Ang akan mati, sebab Liok Ci Khim Mo akan membakar mayatnya.

Tiba-tiba Toan Bok Ang merasa tangannya menggenggam sesuatu. Dia tidak terpikirkan bahwa yang digenggamnya itu adalah Busur Api. Setelah tahu dirinya belum mati, barulah dia berusaha bangkit. Seandainya dia tidak terluka parah, pasti tidak sulit untuk bangkit. Saat ini luka yang dideritanya baru sembuh dua tiga bagian. Maka ketika dia berusaha bangkit, gundukan tanah itu hanya bergerak ke atas.

Sedangkan di saat bersamaan, kebetulan Seh Cing Hua berada di tempat itu. Pengalaman Seh Cing Hua amat luas dalam rimba persilatan, apa pun pernah disaksikannya. Tapi kali ini justru amat di luar dugaannya! Gundukan tanah itu kuburan seseorang, bahkan orang itu masih hidup dan juga ternyata adalah Toan Bok Ang.

Lantaran Seh Cing Hua menaruh batu besar di atas gundukan tanah tersebut, membuat susah Toan Bok Ang yang sedang berusaha bangkit. Padahal Toan Bok Ang amat girang, karena badannya sudah mulai bangkit ke atas! Akan tetapi mendadak merasakan adanya sesuatu menindih di atas sehingga menyebabkan badannya sulit untuk bangkit, dan itu amat mengejutkannya. Toan Bok Ang tidak tahu dirinya berada di mana. Dia mengira masih berada di dalam lingkungan istana Ci Cun Kiong, maka ada orang menjaga di situ.

Setelah berpikir sejenak, dia mengambil keputusan untuk berusaha bangkit. Karena kalau dia tidak cepat-cepat keluar dari lubang itu, lama kelamaan pasti akan mati. Toan Bok Ang mulai menghimpun hawa murninya sehingga luka yang dideritanya menjadi sembuh satu bagian lagi. Dia berhasil bangkit sedikit, membuat batu besar itu bergerak ke atas sedikit.

Seh Cing Hua terbelalak menyaksikannya dan membatin, sungguh lihay mahluk yang ada di dalam tanah itu! Seh Cing Hua cepat-cepat mendekati sebuah batu yang jauh lebih besar dari batu tadi. Akan tetapi, di saat bersamaan gundukan tanah itu turun kembali. Di saat itu pula Seh Cing Hua menaruh sebuah batu besar lagi di atas gundukan tanah tersebut, dan gundukan tanah itu tak bergerak lagi.

Toan Bok Ang yang berusaha bangkit itu bertambah susah. Padahal gadis itu sudah hampir berhasil bangkit, tapi karena ditindih lagi dengan sebuah batu besar yang beratnya hampir dua tiga ratus kati, maka badannya tak mampu bergerak di dalam tanah. Toan Bok Ang sama sekali tidak dapat bernafas, hanya mengandalkan hawa murninya saja. Berselang beberapa saat, karena Toan Bok Ang terus-menerus menghimpun hawa murninya, maka luka yang dideritanya semakin pulih. Toan Bok Ang berusaha bangkit kembali.

Seh Cing Hua terus memperhatikan gundukan tanah itu. Ketika melihat gundukan tanah itu bergerak ke atas lagi, hatinya bertambah terkejut. Dia langsung melesat ke atas batu besar itu, kemudian mengeluarkan ilmu pemberat badan. Toan Bok Ang mendadak merasa badannya seperti tertindih sebuah gunung sehingga membuat badannya tak dapat bergerak sama sekali. Betapa cemasnya Toan Bok Ang, nyaris membuatnya putus asa. Namun mendadak dia kembali tenang, sebab setiap kali tindihan dari atas bertambah berat, justru membuat hawa murni di dalam tubuhnya terus berputar dengan cepat, dan luka yang dideritanya bertambah pulih.

Setelah merasa demikian, hati Toan Bok Ang bertambah tenang. Sementara Seh Cing Hua yang berdiri di atas batu besar itu tidak merasakan adanya gerakan apa-apa di dalam tanah. Dia mengira mahluk di dalam tanah itu telah mati tertindih. Ketika dia baru mau meloncat turun, Toan Bok Ang menghimpun hawa murninya lagi. Akhirnya hawa murninya tak terkendalikan, seperti kejadian Kim Kut Lau yang menginjak bagian dadanya di undakan batu di istana Ci Cun Kiong. Betapa girangnya Toan Bok Ang. Dia langsung mengalihkan hawa murninya ke atas.

Bukan main dahsyatnya terjangan tenaga itu. Seh Cing Hua yang berdiri di atas batu mendadak merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat menerjang ke arahnya sehingga membuat badannya terpental ke udara. Bukan main terkejutnya Seh Cing Hua! Namun dia adalah pesilat tangguh. Ketika badannya terpental ke udara, dia cepat-cepat bersalto sekaligus menggerakkan senjata Can Thian Cin untuk melindungi dirinya.

Di saat bersamaan dia mendengar suara menderu-deru. Ternyata kedua batu besar itu melayang ke atas setinggi tujuh depaan, dan gundukan tanah itu pun berhamburan kemana-mana. Setelah itu tampak sesuatu muncul dari dalam tanah, sedangkan Seh Cing Hua sudah melayang turun. Dia terbelalak saking terkejut dan juga ingin melihat jelas makluk apa yang muncul dari dalam tanah itu.

Di bawah sinar sang surya Seh Cing Hua dapat melihat dengan jelas sekali. Setelah melihat, dia bertambah terbelalak dan mulutnya ternganga lebar saking tertegun. Ternyata bukan makluk aneh yang muncul dari dalam tanah itu melainkan seorang gadis berlengan tunggal, tidak lain adalah Toan Bok Ang yang telah mati itu. Saat ini Toan Bok Ang juga telah membalikkan badannya, sehingga mereka berdua beradu pandang. Toan Bok Ang tertegun.

Seh Cing Hua menunjuk Toan Bok Ang seraya bertanya terputus-putus. "Kau... bukankah kau sudah mati?"

Selama ini Seh Cing Hua tidak pernah merasa takut terhadap apa pun. Namun saat ini dia justru merasa agak takut sehingga sekujur badannya merinding. Sedangkan Toan Bok Ang tampak terheran-heran.

"Bibi? Kok bibi berada di sini?" sembari berkata Toan Bok Ang mendekati Seh Cing Hua.

Mendadak Seh Cing Hua terbelalak sehingga mengeluarkan suara, "Ih...! Apa yang berada di tanganmu?" tanyanya.

Toan Bok Ang segera melihat tangannya, dan dia pun terbelalak. "Hah! ini adalah Busur Api! Bibi, bagaimana Busur Api ini berada di tanganku?"

Seh Cing Hua memandangnya terheran-heran. "Aku justru ingin bertanya padamu, kok kau malah bertanya padaku?"

"Aku memang tidak tahu. Aku menerjang ke dalam istana Ci Cun Kiong dan sudah mati. Namun entah apa sebabnya aku bisa hidup kembali. Ketika aku tersadar, diriku sudah berada di dalam tanah!"

Mendengar kata-kata itu hati Seh Cing Hua tergerak, karena dia berpengetahuan luas, begitu pula pengalamannya. "Nona Toan, cobalah kerahkan lima bagian lweekang-mu dan seranglah aku! Aku akan menangkis seranganmu," katanya.

"Kalau aku cuma mengerahkan lima bagian lweekang-ku, bagaimana mungkin mampu melawan lweekang bibi?" sahut Toan Bok Ang.

Seh Cing Hua menatapnya. "Turuti saja perkataanku, jangan membantah!"

Toan Bok Ang menyimpan Busur Api itu ke dalam bajunya, kemudian mengerahkan lweekang-nya sesuai dengan keinginan Seh Cing Hua, lalu dilancarkannya ke arah Seh Cing Hua. Walau pun cuma lima bagian yang dikerahkan, namun amat dahsyat sekali. Seh Cing Hua membungkukkan badannya sedikit, sekaligus menyambut pukulan itu.

“Blam!” terdengar suara benturan yang amat dahsyat.

Badan Toan Bok Ang tak bergeming dari tempat, sedangkan Seh Cing Hua terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah, namun kemudian bisa berdiri tegak lagi. Toan Bok Ang terperangah.

Pada saat bersamaan Seh Cing Hua berkata dengan penuh kegembiraan. "Nona Toan, kuucapkan selamat padamu! Sebab kini lweekang-mu sudah amat tinggi sekali, sudah menembus jalan darah Seng Si Hian Koan."

Tentunya Toan Bok Ang tahu tentang itu, namun tetap tidak paham bagaimana bisa terjadi begitu. "Benarkah itu, bibi?" tanyanya dengan penuh rasa heran.

Seh Cing Hua mengangguk. "Untuk apa aku membohongimu?"

Toan Bok Ang amat girang, tapi juga merasa berduka. Kini kungfunya sudah amat tinggi sekali, tapi dia tidak punya pemuda idaman hati. Pemuda yang amat dicintainya malah tidak mencintainya. Alangkah baiknya dirinya menjadi seorang gadis desa, menikah dengan pemuda desa pula agar hidup bahagia selama-lamanya. Ketika melihat Toan Bok Ang termangu-mangu, Seh Cing Hua sudah tahu apa yang sedang dipikirkannya.

"Buat apa kau termangu-mangu? Kini kau telah memperoleh Busur Api, bahkan kepandaianmu juga sudah amat tinggi sekali. Liok Ci Khim Mo yang amat jahat itu, bagaimana mungkin bisa hidup lagi?" katanya.

Sementara Toan Bok Ang tidak habis pikir, bagaimana Busur Api itu bisa berada di tangannya? Mereka berdua lalu kembali ke lembah tempat Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan lainnya sedang menunggu dengan hati cemas. Han Giok Shia yang tidak sabaran itu entah sudah berapa kali ingin pergi menyelidik, namun Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek terus mencegahnya. Kini begitu melihat Seh Cing Hua kembali bersama Toan Bok Ang, dapat dibayangkan betapa girangnya hati mereka!

"Lihatlah! Benda apa yang berada di tangannya?" seru Han Giok Shia.

Semua orang melihat tangan Toan Bok Ang. Begitu tahu benda itu adalah Busur Api, mereka semua bersorak kegirangan. Kini ketujuh batang Panah Bulu Api dan Busur Api itu telah berada di tangan mereka, bagaimana mereka tidak bergirang?

Han Giok Shia yang tidak sabaran itu, langsung berseru-seru penuh semangat. "Mari kita menyerbu ke istana Ci Cun Kiong! Kita menyerbu ke istana Ci Cun Kiong!"

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen menyahut serius, "Tunggu! Meski pun Busur Api dan Panah Bulu Api telah menyatu dan mampu menundukkan Pat Liong Thian Im, tapi kita tidak bisa bertemu Liok Ci Khim Mo. Kita harus terpisah beberapa mil, barulah dapat memanahnya. Oleh karena itu, kalau kita bisa memancingnya ke luar, tujuan kita baru bisa tercapai."

Ketika Cit Sat Sin Kun-Tam Sen berkata sampai di situ, Seh Cing Hua justru tersenyum. "Tua bangka, bagaimana kalau kita pergi menempuh bahaya?"

Ketika Cit Sat Sin Kun-Tam Sen baru mau menjawab, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menyela. "Biar aku yang pergi."

Seh Cing Hua tertawa. "Hahaha! Jangan berdebat! Tentunya yang pergi menempuh bahaya itu harus memiliki kepandaian yang paling tinggi, barulah berderajat pergi menempuh bahaya itu."

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mengerutkan kening. "Siapa yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita?"

Mendadak Seh Cing Hua menunjuk Toan Bok Ang sambil berkata, "Selain nona Toan orang lain tidak boleh pergi menempuh bahaya itu, sebab jalan darah Seng Si Hian Koan-nya telah tembus."

Betapa gembiranya semua orang mendengar kata-kata Seh Cing Hua itu. Mereka segera bertanya kepada Toan Bok Ang tentang apa yang dialaminya di istana Ci Cun Kiong. Toan Bok Ang segera menutur tentang kejadian itu. Semua orang terbelalak mendengar penuturannya, namun amat bergirang dalam hati.

"Kalau begitu hanya nona Toan yang akan berhasil memancing Liok Ci Khim Mo keluar ke pelataran di atas undakan batu itu. Kalau nona Toan mampu bertahan beberapa saat, itu sudah cukup," kata Cit Sat Sin Kun-Tam Sen.

"Rasanya aku dapat bertahan setengah jam lebih," sahut Toan Bok Ang.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tertawa gelak. "Hahaha! Kalau begitu jangankan cuma satu Liok Ci Khim Mo, sepuluh Liok Ci Khim Mo pun dapat kita basmi!"

"Kita harus pergi mencari sebuah puncak gunung yang dekat istana Ci Cun Kiong," sela Tam Sen.

Mereka semua mengangguk, lalu berangkat bersama. Lu Leng sengaja memperlambat langkahnya agar bisa berjalan di sisi Toan Bok Ang.

"Kakak Ang, aku mengucapkan selamat padamu. Kini kepandaianmu sudah amat tinggi sekali," katanya dengan suara rendah.

Toan Bok Ang menatap Lu Leng, kemudian menundukkan kepala seraya menghela nafas panjang. "Adik Leng, seumur hidupku sudah tiada apa-apa yang dapat menggembirakan hatiku, seharusnya kau tahu perasaanku ini."

Lu Leng juga menghela nafas panjang. "Aaah! Kakak Ang, aku tidak bisa berbicara apa-apa lagi."

Toan Bok Ang manggut-manggut, lalu melesat mengejar Tam Goat Hua dan kemudian bercakap-cakap dengannya. Lu Leng terus memandang punggungnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ketika hari mulai senja mereka sudah tiba di sebuah puncak gunung. Kebetulan puncak gunung itu berhadapan dengan istana Ci Cun Kiong, berjarak kira-kira empat lima mil.

"Entah Busur Api itu dapat memanah begitu jauh tidak?" tanya Tam Goat Hua.

"Tidak apa-apa! Apabila keadaan tidak mengizinkan aku akan segera melarikan diri, itu pasti masih keburu," sahut Toan Bok Ang.

Mereka semua manggut-manggut, kemudian memandang ke arah istana Ci Cun Kiong. Tampak bayangan orang berjalan mondar-mandir di sana, bahkan terlihat pula begitu banyak obor menancap di pelataran.

"Aku berangkat!" ujar Toan Bok Ang.

Lu Leng segera berpesan, "Hati-hati, kakak Ang!"

Toan Bok Ang memandangnya sambil menghela nafas panjang. "Setelah urusan beres, aku akan pergi mencari guruku."

Mereka semua tahu bagaimana perasaan Toan Bok Ang. Tentunya gadis itu tidak mau bertemu Lu Leng dan Tam Goat Hua lagi. Maka mereka semua manggut-manggut, dan Toan Bok Ang melesat pergi laksana kilat. Semua orang menunggu di puncak gunung itu. Ketujuh batang Panah Bulu Api ditaruh ke bawah, sedangkan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menggenggam Busur Api dengan perasaan tegang. Mata semua orang diarahkan ke istana Ci Cun Kiong.

Berselang beberapa saat kemudian mereka melihat sosok bayangan berkelebat menuruni undakan batu, tidak lain adalah Toan Bok Ang. Ternyata dia sudah tiba di istana Ci Cun Kiong. Tujuannya hanya ingin memancing ke luar Liok Ci Khim Mo, maka dia tidak ingin membunuh orang lain. Kalau dia berniat membunuh sudah pasti para penjaga istana itu akan jadi mayat semuanya.

Setelah berada di depan istana Ciu Cun Kiong, Toan Bok Ang bersiul panjang, kemudian berseru, "Liok Ci Kim Mo, cepatlah keluar!"

Suara seruannya bergema sampai beberapa mil. Seketika tampak bayangan orang-orang berkelebat ke luar dari pintu istana, salah seorang adalah Kou Hun Siu. Begitu melihat yang muncul itu Toan Bok Ang, air mukanya langsung berubah hebat.

"Dimana Liok Ci Kim Mo ? Mengapa dia belum keluar?" tanya Toan Bok Ang dengan dingin.

Kou Hun Siu maju selangkah, lalu menatap Toan Bok Ang. "Apakah kau berderajad menyuruh Liok Chi Kim Mo keluar?!" bentaknya. Sambil membentak dia menyerang dengan kelima jarinya, maksudnya ingin mencengkeram bahu gadis itu.

Toan Bok Ang tidak berkelit, hanya mengerahkan lweekang ke bahunya, membiarkan bahunya dicengkeram Kou Hun Siu. Kou Hun Siu memang berhasil mencengkeram bahu Toan Bok Ang, tapi di saat bersamaan mendadak dari bahu gadis itu menerjang ke luar tenaga yang amat dahsyat dan terdengar pula suara.

"Krek! Krek!" ternyata kelima jari Kou Hun Siu telah patah.

Betapa terkejutnya Kou Hun Siu. Dia ingin melarikan diri, namun Toan Bok Ang telah mengayunkan kaki menendang dadanya.

"Aaaakh...!" Kou Hun Siu menjerit. Tulang di bagian dadanya telah patah semua. Badannya terpental membentur dinding batu, lalu roboh berlumuran darah dan binasa seketika.

Bersamaan itu terdengar suara denting tiga kali, yakni suara harpa Pat Liong Khim. Toan Bok Ang cepat-cepat menghimpun hawa murninya. Tampak Liok Ci Khim Mo berjalan ke luar. Suara harpa Pat Liong Khim bergema sampai beberapa mil. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan lainnya yang berada di puncak gunung sudah mendengar suara harpa tersebut, otomatis membuat hati mereka menjadi tegang sekali.

Di bawah cahaya obor tampak Toan Bok Ang dan Liok Ci Khim Mo berada di pelataran itu. Berselang sesaat mereka pun melihat Toan Bok Ang dan Liok Ci Khim Mo duduk berhadapan serta sayup-sayup terdengar suara Pat Liong Thian Im. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek membungkukkan badannya mengambil sebatang Panah Bulu Api.

"Biar aku yang meluncurkan panah pertama!" katanya.

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen manggut-manggut. "Memang harus kau yang duluan memanahnya."

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menarik nafas dalam-dalam, kemudian memasang Panah Bulu Api itu pada Busur Api. Tong Hong Pek bersiul panjang, mengerahkan tujuh bagian lweekang-nya. Namun tali Busur Api itu hanya tertarik sedikit, tidak dapat melengkungkan busurnya. Karena itu Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek terpaksa harus mengerahkan sepuluh bagian lweekang-nya untuk menarik tali Busur Api itu, lalu ditujukan ke arah Liok Ci Khim Mo, dan mendadak melepaskan tangannya.

Seketika tampak Panah Bulu Api meluncur laksana kilat dan memancarkan cahaya kemerah-merahan ke arah Liok Ci Khim Mo! Akan tetapi tampak Liok Ci Khim Mo tak bergerak, sedangkan cahaya kemerah-merahan itu sirna. Terlihat pula suatu benda hitam jatuh dekat Liok Ci Khim Mo, kira-kira berjarak dua depa. Ternyata Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tidak berhasil memanahnya. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek segera mengambil sebatang Panah Bulu Api lagi. Tampak cahaya kemerah-merahan meluncur laksana kilat ke arah Liok Ci Khim Mo, namun tetap jatuh di dekatnya.

Saat ini kening Liok Ci Khim Mo telah mengucurkan keringat. Dia pun melihat cahaya kemerah-merahan yang mengarah dirinya itu adalah Panah Bulu Api. Ingin rasanya dia bangkit, tapi jari tangannya harus berhenti, sedangkan dia mengandalkan Pat Liong Thian Im untuk dapat merobohkan Toan Bok Ang. Kalau dia bangkit berdiri tanpa memetik tali senar harpanya, tentunya Toan Bok Ang akan menyerangnya. Liok Ci Kim Mo hanya berharap, ketujuh batang Panah Bulu Api itu tidak berhasil mengenai dirinya, maka dia bisa terlepas dari kematian.

Sementara Toan Bok Ang juga melihat kedua batang Panah Bulu Api itu. Hatinya menjadi gugup karena kedua batang Panah Bulu Api itu tidak berhasil menembus Liok Ci Khim Mo. Sedangkan di puncak gunung itu, ketika melihat Tong Hong Pek tidak berhasil memanah Liok Ci Khim Mo, Seh Cing Hua amat penasaran. Dia langsung merebut Busur Api itu dari tangan Tong Hong Pek, sekaligus mengambil sebatang Panah Bulu Api. Tampak cahaya kemerah-merahan meluncur ke arah Liok Ci Khim Mo, namun tiada hasilnya. Seh Cing Hoa bertambah penasaran dan segera memanah lagi, tapi tetap tiada hasilnya.

Menyaksikan itu wajah Tam Sen berubah serius. Dia mengambil sebatang Panah Bulu Api, setelah itu tampak cahaya kemerah-merahan meluncur ke arah Liok Ci Khim Mo. Kali ini Panah Bulu Api berhasil menembus lengan baju Liok Ci Khim Mo. Tam Sen memanah sekali lagi, tapi Panah Bulu Api itu justru menancap di dinding istana Ci Cun Kiong, tidak berhasil mengenai Liok Ci Khim Mo. Kini mereka sudah menghabiskan enam batang Panah Bulu Api, namun belum berhasil merobohkan Liok Ci Khim Mo. Panah Bulu Api tinggal sebatang lagi.

Mendadak Lu Leng berkata sambil berkertak gigi. "Biar aku yang memanahnya!"

Tam Sen menyerahkan Busur Api itu dengan tangan gemetaran, karena berhasil atau tidak justru tergantung pada Panah Bulu Api yang terakhir ini. Setelah menerima Busur Api itu, Lu Leng melihat badan Toan Bok Ang mulai bergoyang-goyang. Dia segera mengerahkan lwekang-nya untuk memanah.

“Pheng!” terdengar suara yang amat nyaring, dan seketika terlihat cahaya kemerah-merahan meluncur laksana kilat ke arah Liok Ci Khim Mo.

Tak lama kemudian suara harpa itu berhenti. Semua orang tidak tahu apa sebabnya, hanya tampak Toan Bok Ang bangkit berdiri, sedangkan Liok Ci Khim Mo berusaha melarikan diri. Tapi terlambat karena Toan Bok Ang telah melancarkan sebuah pukulan ke arahnya, dan Liok Ci Khim Mo roboh seketika. Kini semua orang baru tahu, ternyata walau Lu Leng tidak berhasil memanah Liok Ci Khim Mo, namun berhasil memanah harpa Pat Liong Khim sehingga membuat tali senar harpa tersebut putus semua.

Terlihat Toan Bok Ang membalikkan badannya memandang ke arah puncak gunung, setelah itu barulah melesat pergi. Semua orang pun segera melesat ke arah Ci Cun Kiong. Para anak buah Liok Ci Khim Mo berusaha melarikan diri. Tampak Oey Sim Tit memeluk mayat Liok Ci Khim Mo. Setelah semua orang tiba di situ, Oey Sim Tit pun melesat pergi sambil membopong mayat ayahnya.

Kini dunia persilatan telah aman. Tong Hong Pek mencukur rambut menjadi padri, sedangkan Lu Leng, Tam Goat Hua, Tam Ek Hui dan Han Giok Shia melangsungkan pernikahan. Setelah itu Lu Leng diangkat sebagai ketua partai Go Bi Pay dan Hwa San Pay.

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar