Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 18

Tam Goat Hua segera bertanya, "Sebetulnya apa yang terjadi di sana?"

Orang aneh berkedok menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak menyahut melainkan berkata, "Sebentar akan kujelaskan. Sebelum kau meninggalkan puncak Sian Jin Hong, aku memberimu sebuah kotak kecil, masih berada padamu?"

Tam Goat Hua mengangguk. "Ada."

Dia mengeluarkan kotak tersebut dan seketika juga teringat akan kejadian yang dialaminya, yaitu jago Cik Sia Pai ingin membunuhnya karena melihat kotak tersebut. Maka dia segera bertanya, "Cianpwee, sebetulnya kotak ini berisi apa? Kenapa jago tangguh dari Cik Sia Pai ingin membunuhku setelah melihat kotak ini?"

Orang aneh berkedok memberitahukan. "Sudah lama sekali tujuh Tetua Cik Sia Pai mati di tanganku. Pihak Cik Sia Pai begitu melihat kotak ini, pasti tahu kepunyaanku. Karena itu membuatmu nyaris celaka."

Setelah mendengar penuturan itu, Tam Goat Hua menjadi tertegun dan mundur satu langkah. Ternyata dia teringat akan cerita kaum rimba persilatan, bahwa demi rasa solider, seseorang membunuh Tujuh Tetua Cik Sia Pai di tebing Can Liong, akhirnya dia diusir dari pintu perguruan. Hingga kini tiada seorang pun tahu jejaknya.

Tam Goat Hua menatap orang aneh berkedok dengan mata terbelalak. "Cianpwee adalah... adalah...."

Orang aneh berkedok tertawa, "Kau tidak usah menerka sembarangan lagi. Akulah orang yang diusir dari pintu perguruan, hingga kini tidak pernah menongolkan muka dalam rimba persilatan. Ketika itu Ang Eng Leng Long masih harus memanggilku ‘Suheng’ (Kakak Seperguruan), sedangkan aku murid Beng Tu Lojin, ketua Go Bi Pai yang tidak menyucikan diri. Julukanku Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek."

Walau orang aneh berkedok telah memberitahukan nama dan julukannya, namun Lu Leng tetap tidak tahu apa-apa. Tam Goat Hua yang telah menerka itu justru masih terkejut, karena dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa ada seseorang yang paling sulit dihadapi ayahnya, bahkan ayahnya sering roboh di tangan orang itu. Orang tersebut adalah Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, murid ketua Beng Tu Lojin atau kakak seperguruan Ang Eng Leng Long.

Ketika Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berumur tiga tahun, sudah berguru kepada Beng Tu Lojin. Maka setelah berumur dua puluh tahun, namanya sudah amat terkenal di rimba persilatan. Akan tetapi Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berhati sadis, lagi-pula suka bertindak semaunya. Kalau dia marah, tidak peduli pihak lain itu siapa, langsung turun tangan berat terhadapnya. Karena perbuatannya itu, entah sudah berapa kali dia dihukum oleh gurunya, tetapi sama sekali tidak jera.

Terakhir kali ketika berusia dua puluh dua, hanya disebabkan urusan sepele, di tebing Can Liong Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek melukai Tujuh Tetua Cik Sia Pai. Oleh karena itu Beng Tu Lojin mengundang para orang gagah dalam rimba persilatan. Di hadapan para orang gagah itu, Beng Tu Lojin mengusir Giok Bin Kun-Tong Hong Pek dari pintu perguruan. Kalau waktu itu Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mau mengaku salah, tentunya tidak akan diusir, paling juga menerima hukuman menghadap tembok beberapa tahun. Namun Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek justru tidak mau mengaku salah, maka diusir. Sejak itu tiada jejak dan kabar beritanya sama sekali. Hingga kini, sudah hampir dua puluh tahun.

Setelah mengusir Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, batin Beng Tu Lojin terpukul berat, sehingga tiga tahun kemudian beliau meninggal. Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Ang Eng Leng Long diangkat sebagai ketua Go Bi Pai yang tidak menyucikan diri. Walau Ang Eng Leng Long lebih tua dua puluh tahun dari Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, namun dia harus memanggil Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek ‘Suheng’, sebab dia belakangan berguru kepada Beng Tu Lojin. Kaum rimba persilatan mengira Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek akan muncul di saat pemakaman Beng Tu Lojin, namun ternyata tidak.

Tiga hari kemudian seusai hujan badai, kuburan Beng Tu Lojin dibongkar orang dan peti matinya hilang tak ketahuan rimbanya. Tentang kejadian itu, hanya diketahui pihak Go Bi Pai, kaum rimba persilatan tidak mengetahuinya. Setelah kejadian itu, pihak Go Bi Pai yakin itu pasti perbuatan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Oleh karena itu, para murid Go Bi Pai, baik yang menyucikan diri mau pun yang tidak, semuanya giat belajar karena khawatir Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek akan ke sana cari gara-gara.

Akan tetapi, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek sama sekali tidak muncul, maka murid Go Bi Pai mulai melupakannya. Dua puluh tahun kemudian, Ang Eng Leng Long sudah memasuki lanjut usia, sedangkan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek memakai kedok ‘Buddha Tertawa’ sehingga tiada seorang pun mengenalinya! Dua puluh tahun yang lalu, kepandaian Ang Eng Leng Long di bawah kepandaian Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Dua puluh tahun kemudian pun begitu.

Di puncak Sian Jin Hong, Ang Eng Leng Long pernah beradu pukulan dengannya. Kalau Ang Eng Leng Long tidak segera mundur, pasti celaka. Seusai menutur riwayat hidupnya, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mendongakkan kepala sambil tertawa panjang, kemudian melepaskan kedok yang dipakainya. Setelah melepaskan kedok itu, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menundukkan kepala.

Lu Leng dan Tam Goat Hua segera memandangnya, dan seketika mereka berdua mengeluarkan seruan kaget. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek yang amat terkenal dua puluh tahun lampau, Tam Goat Hua dan Lu Leng menganggapnya pasti berwajah wibawa seperti para cianpwee lain. Tapi begitu melihat wajahnya, mereka berdua malah terbelalak. Ternyata dia berwajah tampan dan masih muda, kelihatannya baru berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Karena itu, Tam Goat Hua terus memandangnya, padahal kakaknya juga amat tampan, namun masih kalah tampan dibandingkan dengan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Lelaki yang begitu tampan, dua puluh tahun lalu entah berapa banyak kaum gadis jatuh hati kepadanya?

Berpikir sampai di situ, wajahnya langsung memerah dan mencaci dirinya sendiri dalam hati. “Kenapa diriku? Kenapa memikirkan yang bukan-bukan?”

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tersenyum, membuat wajahnya semakin tampan. "Tentunya kalian berdua tidak menduga, bahwa aku masih kelihatan muda, bukan?"

Tam Goat Hua manggut-manggut.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek melanjutkan ucapannya, "Ketika aku diusir dari pintu perguruan, tanpa sengaja aku makan semacam buah. Tak disangka buah itu membuat diriku awet muda. Walau sudah lewat dua puluh tahun, aku masih tidak tampak tua."

Lu Leng terus mendengarkan kemudian berkata mendadak. "Guru, pembunuh ayahku adalah Ang Eng Leng Long, kenapa kita tidak segera ke gunung Go Bi San untuk membalas dendam kematian ayahku?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menghela nafas panjang. "Ang Eng Leng Long pun sudah meninggal."

Tam Goat Hua terperanjat. “Tong Hong...," sebetulnya gadis itu ingin menyebutnya ‘cianpwee’, namun dia masih kelihatan begitu muda, maka merasa tidak enak menyebutnya ‘cianpwee’. Kemudian melanjutkan, "Tuan Tong Hong, sebetulnya apa yang telah terjadi di puncak Sian Jin Hong?"

Tong Hong Pek sepertinya tahu akan perasaan Tam Goat Hua, maka dia langsung menatapnya. Ketika beradu pandang dengan Tong Hong Pek, hati Tam Goat Hua berdebar-debar tidak karuan, maka dia cepat-cepat menundukkan kepala. Tong Hong Pek tersenyum.

"Aku akan memeriksa luka Lu Leng dulu, setelah itu barulah kututurkan!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek membuka kotak itu. Mendadak dari dalamnya menyorot ke luar cahaya putih yang amat menyilaukan mata. Begitu melihat cahaya putih itu, terkejutlah Tam Goat Hua dan langsung memandang ke dalam kotak itu, ternyata berisi sebutir mutiara sebesar telor puyuh. Di permukaan mutiara itu tampak bayangan merah, seperti hidup bergerak-gerak tak henti-hentinya.

Seketika mulut Tam Goat Hua ternganga lebar, lama sekali barulah berkata tapi terputus-putus, "Yang kau berikan itu... ternyata Soat Hun Cu (Mutiara Arwah Salju)?"

Wajah Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tidak menampakkan rasa terkejut, meski pun Tam Goat Hua menerka jitu mengenai benda itu. Dia menyahut dengan nada biasa, "Pengetahuanmu cukup luas, begitu melihat sudah tahu benda apa itu. Lagi-pula kau amat menurut kata, tidak pernah membuka kotak ini untuk melihat isinya. Kalau benda ini diketahui kaum rimba persilatan, kau pasti celaka."

Sembari berkata Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mengambil mutiara itu, lalu ditaruh di ubun-ubun Lu Leng. Seketika Lu Leng merasa dingin sekali di ubun-ubunnya, bahkan lama-lama rasa dingin itu seakan menembus ke jantungnya. Tak seberapa lama kemudian, rasa dingin itu telah menembus ke seluruh urat nadi dan peredaran darahnya sehingga membuat darahnya mulai bergolak. Lu Leng segera duduk bersila, lalu menghimpun hawa murni.

Tam Goat Hua yang berdiri di sisi Lu Leng, terus memperhatikannya. Begitu pula Tong Hong Pek, yang kemudian berkata, "Aku meninggalkan rimba persilatan hampir dua puluh tahun, justru demi sebutir Soat Hun Cu ini. Setelah guruku wafat, aku yang mengambil mayatnya, kemudian kubawa ke gunung Soat San. Selama itu aku tidak pernah menimbulkan urusan apa pun dalam rimba persilatan. Aku berupaya hampir dua puluh tahun, bahkan juga melukai dua orang, barulah... memperoleh sebutir Soat Hun Cu ini."

Tam Goat Hua dapat mendengar nada bicara orang itu penuh mengandung kepedihan, sepertinya terselip suatu urusan yang amat mendukakan hati. Karena itu Tam Goat Hua bertanya, "Soat Hun Cu itu boleh dikatakan seperti nyawamu. Tapi kenapa ketika kita baru bertemu, kau rela memberikan kepadaku?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tampak tertegun, lalu perlahan-lahan mendongakkan kepala memandang ke langit. "Aku pun tidak tahu...." Mendadak dia mengalihkan pembicaraan, "Kau bersedia ke Istana Setan menolong orang, aku pun telah berjanji akan memberikan sedikit kebaikan untukmu. Soat Hun Cu ini sebagai imbalan."

Tam Goat Hua tahu, apa yang dikatakan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tidak berdasarkan suara hati, yang akan dikatakannya justru masih tersimpan dalam lubuk hatinya. Anak gadis memang jauh lebih teliti, dia sudah menduga sampai ke situ.

"Kau rela menghadiahkan pusaka rimba persilatan kepadaku, itu sungguh tak terpikirkan olehku!"

Sesungguhnya Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek seorang tingkatan tua, sedangkan Tam Goat Hua hanya seorang anak gadis yang baru berusia belasan. Di antara mereka seharusnya terdapat jarak yang amat jauh. Akan tetapi, ketika mereka bercakap-cakap justru kedengaran dekat sekali. Berpikir sampai di situ, hati Tam Goat Hua menjadi berdebar-debar, lalu perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya. Walau menundukkan kepala, gadis itu dapat merasakan bahwa Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek terus memandangnya dengan penuh cinta kasih, dan itu membuat hatinya semakin kacau.

Berselang beberapa saat kemudian, barulah Tam Goat Hua membuka mulut bertanya, "Bagaimana luka adik Leng? Apakah sudah sembuh?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menyahut dengan tenang. "Hampir sembuh."

Tam Goat Hua mendongakkan kepala. Seketika jantungnya berdetak lebih cepat, karena pandangannya beradu dengan pandangan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Segera ia mengalihkan pandangannya ke arah Lu Leng. Dilihatnya anak itu sedang duduk bersila menghimpun hawa murni. Wajahnya tampak tenang dan sudah kemerah-merahan. Rupanya tidak membutuhkan waktu lama, dia akan kembali segar. Tam Goat Hua terus memandang Lu Leng. Dia teringat pula bahwa dalam dua hari ini dirinya bersama Lu Leng menempuh bahaya dan mengalami berbagai kejadian. Kemudian perlahan-lahan dia menoleh ke arah Tong Hong Pek.

Yang satu adalah pemuda polos dan yang satu lagi adalah tokoh rimba persilatan yang berkepandaian amat tinggi, masih tampak begitu muda dan tampan mempesonakan, malah sudah memasuki hatinya. Diam-diam Tam Goat Hua menghela nafas panjang dan berdiri termangu-mangu di tempat. Berselang sesaat, Lu Leng membuka matanya per!ahan-lahan.

"Guru, luka dalamku sudah sembuh." katanya kemudian bertanya, "Guru, sebetulnya siapa pembunuh ayahku?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tidak segera menyahut. Dia menjulurkan tangannya untuk mengambil Soat Hun Cu, lalu disodorkannya mutiara itu kepada Tam Goat Hua seraya berkata, "Simpanlah dulu mutiara ini, barulah kita bicara!"

Tam Goat Hua segera menyahut, "Soat Hun Cu ini merupakan benda pusaka dalam rimba persilatan, aku tidak mampu menjaganya."

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tertawa. "Barang itu sudah kuberikan kepadamu, mau hilang atau bagaimana, sudah bukan urusanku lagi."

Karena Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata begitu, maka Tam Goat Hua terpaksa menjulurkan tangannya untuk mengambil mutiara itu. Namun tanpa sengaja tangannya justru menyentuh tangan laki-laki itu, sentuhan itu membuat hatinya kebat-kebit, bahkan timbul pula suatu perasaan aneh sehingga hatinya tergetar dan Soat Hun Cu nyaris terlepas dari tangannya. Ketika berpeluk-pelukan dengan Lu Leng memang timbul juga perasaan demikian, namun tidak sehebat kali ini.

Di saat bersamaan, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata, "Dalam tubuhmu mengidap semacam racun dari Istana Setan, maka gosoklah kedua telapak tanganmu dengan Soat Hun Cu sebanyak seratus dua puluh kali agar racun itu terhisap ke luar!”

Tam Goat Hua mengangguk, tapi sama sekali tidak berani mengangkat kepala, lalu melakukan apa yang dikatakan Tong Hong Pek. Setelah digosok seratus dua puluh kali, racun tersebut terhisap ke luar semua.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata, "Sejak Soat Hun Cu kuperoleh, baru pertama kali ini kugunakan. Tak disangka Soat Hun Cu sedemikian hebat, tidak menyia-nyiakan upayaku selama dua puluh tahun!"

Tam Goat Hua segera menyahut, "Kalau begitu kau...."

Sembari menyahut, Tam Goat Hua menyodorkan Soat Hun Cu ke hadapannya, maksud ingin mengembalikan mutiara itu kepadanya.

Namun Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menjulurkan tangannya untuk mendorong lengan Tam Goat Hua seraya berkata, "Tidak usah sungkan-sungkan, terimalah!"

Hati gadis itu tergetar karena lengannya tersentuh telapak tangan Tong Hong Pek, sedangkan laki-laki itu sudah menolehkan kepalanya untuk memandang Lu Leng sambil menutur kejadian di puncak Sian Jin Hong. Saat ini sesungguhnya hati Tam Goat Hua amat kacau, namun apa yang akan dituturkan Tong Hong Pek justru merupakan urusan yang amat penting baginya. Maka dia segera berusaha menenangkan hatinya untuk mendengar penuturan itu....

Ternyata hari itu Lu Sin Kong menerima barang kawalan berupa sebuah kotak kayu, yang harus diantarkannya ke rumah si Pecut Emas-Han Sun di kota Sucou. Di saat itu pula semua partai besar dan berbagai perguruan menerima sepucuk surat. Surat itu menyatakan bahwa Lu Sin Kong suami istri berangkat dari kota Lam Cong menuju kota Sucou untuk mengawal semacam barang yang ada hubungannya dengan ilmu silat, yang diimpi-impikan setiap kaum rimba persilatan. Siapa yang memperoleh barang pusaka itu, pasti dapat menjagoi dunia persilatan. Baik golongan putih mau pun golongan hitam, semuanya pasti menginginkan atau menyandang gelar ‘Nomor Wahid Di Kolong Langit’. Karena itu semua bencana dan badai dalam rimba persilatan justru muncul disebabkan ‘gelar’ tersebut!

Dikarenakan itu pula Lu Sin Kong suami istri harus menghadapi para jago tangguh dalam perjalanan menuju kota Sucou. Akan tetapi hanya Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang tahu bahwa kotak kayu itu tidak berisi apa-apa, alias kosong. Namun ketika suami istri itu tiba di rumah si Pecut Emas-Han Sun, justru terjadi perubahan yang amat mengejutkan, yakni kotak kayu itu berisi sebuah kepala manusia. Bahkan celakanya kepala itu adalah kepala putra kesayangan Han Sun yang sudah lama menghilang. Maka tak ayal lagi pertarungan mati-matian pun segera terjadi, dan Sebun It Nio tewas dalam pertarungan itu. Lu Sin Kong segera pergi ke Tiam Cong dan Go Bi untuk minta bantuan, kemudian berangkat ke puncak Sian Jin Hong di gunung Bu Yi San.

Ketika si Nabi Setan-Seng Ling memberitahukan bahwa Lu Leng berada di Istana Setan dan mengharuskan Lu Sin Kong ke sana untuk berunding, semua orang tahu bahwa si Nabi Setan-Seng Ling akan menggunakan diri Lu Leng untuk menekan Lu Sin Kong agar menyerahkan pusaka tersebut. Apa pusaka itu, tiada seorang pun tahu, maka Lu Sin Kong pun merasa bingung. Akan tetapi semua orang yang ada di puncak Sian Jin Hong, justru percaya adanya barang pusaka tersebut di tangan Lu Sin Kong.

Oleh karena itu, malam itu juga banyak orang mendahului berangkat ke Istana Setan guna mencari kesempatan di sana. Mereka adalah Yu Lao Pun ketua Tai Ci Bun, Hek Sin Kun, Kim Kut Lau, Hwa San Liat Hwe Cousu dan lain-lainnya, sedangkan pihak Hui Yan Bun juga membawa mayat Hwe Hong Sian Kouw meninggalkan puncak Sian Jin Hong. Yang masih berada di puncak itu adalah Go Bi, Tiam Cong, Bu Tong Pai dan Tujuh Dewa.

Malam itu tenang, tak terjadi apa pun. Hari berikutnya mereka berkumpul. Pada waktu itu siapa pun tidak kenal Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, sebab dia memakai kedok. Sesungguhnya Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek ingin mendirikan sebuah perguruan setelah memperoleh Soat Hun Cu itu, namun justru menemui urusan besar ini.

Malam itu Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek pun tahu apa sebabnya dirinya begitu rela memberikan Soat Hun Cu kepada Tam Goat Hua. Dia hanya merasa perbuatan gadis itu di puncak Sian Jin Hong, amat sesuai dengan kemauan hatinya. Maka dia menyuruhnya ke Istana Setan, dan karena khawatir gadis itu akan terkena racun Istana Setan, maka dia memberikan Soat Hun Cu kepadanya.

Keesokan harinya, setelah semua orang berkumpul, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata dingin, "Mulai hari ini, siapa yang akan bertanding duluan?"

Di pihak Go Bi Pai, tampak seorang tua bangkit berdiri, yakni Thian Hou Lu Sin Kong. Wajahnya tampak muram dan tangannya menggenggam sebilah golok emas.

"Ada suatu hal yang tidak kupahami, mohon petunjuk Liok Ci Siansing, majikan tempat ini!"

Puncak Sian Jin Hong menjadi tempat pertemuan para jago tangguh dalam rimba persilatan. Siapa pun tidak mengundang mereka ke sana. Urusan pokok hanya Lu Sin Kong ingin membuat perhitungan dengan Liok Ci Siansing, Yang lain cuma ikut-ikutan ke sana, boleh dikatakan hanya ingin menyaksikan keramaian. Kini Lu Sin Kong mulai membicarakan urusan pokok, maka semua orang mengarahkan pandangan ke Liok Ci Siansing.

Tampak Liok Ci Siansing, Tiat Cit Song Jin dan Pit Giok Sen duduk di atas sebuah batu besar. Di sekitar mereka duduk pula Tujuh Dewa dengan sikap acuh tak acuh. Di pangkuan Liok Ci Siansing terdapat sebuah harpa kuno, Dengan senang sekali dia memetik tali senar harpa itu, lalu berkata.

"Lu Cong Piau Tau mau mengatakan apa, silakan!"

Lu Sin Kong mendengus, "Hm! Aku ingin bertanya, aku dengan anda punya dendam apa?"

Liok Ci Siansing mendongakkan kepala. "Lu Cong Piau Tau bertanya demikian, sungguh tidak beralasan!"

Lu Sin Kong membentak. "Kalau aku dengan kau tiada dendam, kenapa kau membunuh putra si Pecut Emas-Han Sun? Bahkan menaruh mayatnya di dalam gudang batu di tempat tinggalku, kemudian kepala anak yang putus itu kau masukkan ke dalam kotak kayu, sehingga membuat diriku menjadi tertuduh di rumah si Pecut Emas-Han Sun!"

Hari itu yang menjadi saksi mata adalah Sebun It Nio, si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw, namun ketiga orang itu telah binasa. Maka kini yang tahu tentang itu hanya tinggal Lu Sin Kong dan Han Giok Shia. Begitu mendengar apa yang diucapkan Lu Sin Kong, barulah Han Giok Shia mempercayai apa yang dikatakan Lu Sin Kong ketika berada di rumahnya. Gadis itu langsung menatap Liok Ci Siansing dengan mata berapi-api, kelihatannya ingin segera membunuh Liok Ci Siansing.

Tam Ek Hui yang berada di sisinya cepat-cepat menggenggam tangannya seraya berbisik. "Giok Shia, jangan terburu nafsu! Setelah urusan dijernihkan, barulah bicara tidak akan terlambat."

Apa yang diucapkan Lu Sin Kong, justru membuat Liok Ci Siansing menjadi tertegun. Kalau di hadapan kaum rimba persilatan dia tidak dapat menjernihkan urusan tersebut, selanjutnya bagaimana dia menjadi orang? Oleh karena itu, Liok Ci Siansing tertawa panjang.

"Apakah Lu Cong Piau Tau terlampau berduka, sehingga omong sembarangan? Kapan aku membunuh putra si Pecut Emas-Han Sun dan kapan aku memasuki gudang batu yang amat rahasia itu? Sungguh menggelikan!"

Lu Sin Kong mendongakkan kepala, kemudian tertawa keras bagaikan suara geledek. "Sangkalan yang masuk akal! Sangkalan yang jitu! Kalau kau tidak tahu apa-apa, dari mana munculnya telapak tangan berjari enam?!"

Liok Ci Siansing tertawa dingin. "Di kolong langit ini tidak hanya aku yang berjari enam, bagaimana aku tahu itu?!"

Lu Sin Kong membentak. "Bukankah hari itu kau berada di sekitar Lam Cong?!"

Hari itu Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Siong Jin memang berada di sekitar Lam Cong. Ketika Lu Sin Kong dan Sebun It Nio keluar dari pintu kota, justru bertemu mereka berdua. Namun Liok Ci Siansing hanya mengutarakan niatnya, bahwa dia ingin menerima Lu Leng sebagai murid. Sesungguhnya Liok Ci Siansing boleh menjelaskan tentang itu, mau percaya atau tidak terserah kepada mereka yang berada di situ.

Akan tetapi Liok Ci Siansing sudah amat marah lantaran bentakan-bentakan Lu Sin Kong, maka membuatnya tertawa dingin seraya menyahut, "Lu Cong Piau Tau, kau hanya mendirikan sebuah perusahaan ekspedisi kecil-kecilan di kota Lam Cong, apakah sudah berhak melarang orang lain melewati kota itu?"

Kata-kata itu diucapkan dengan tidak sungkan-sungkan lagi, bahkan bernada menghina. Maka kemarahan Lu Sin Kong memuncak dan seketika menggeram. "Kau sudah melakukan perbuatan serendah itu, tapi masih tidak mau ke mari menerima kematian?"

Liok Ci Siansing tertawa dingin. Namun ketika baru dia mau membuka mulut, Tiat Cit Siong Jin yang berada di sisinya sudah membentak gusar.

"Sungguh besar omonganmu! Hari itu aku juga berada di luar kota Lam Cong, apakah aku juga terkait di dalamnya?"

Badan Lu Sin Kong bergerak, tahu-tahu sudah melesat ke arah besi-besi berujung tajam itu dan berdiri di atasnya sambil menghunus golok emasnya. "Kalian binatang, tiada satu pun manusia!"

Begitu caci maki dicetuskan, bukan hanya terkena Tiat Cit Siong Jin dan Pek Giok Sen, bahkan terkena pula Tujuh Dewa, otomatis membuat wajah mereka berubah. Tiat Cit Siong Jin bersifat berangasan, maka begitu mendengar cacian itu dia langsung melesat ke arah besi-besi berujung tajam sambil membawa senjatanya, namun tidak berdiri di atas besi-besi itu melainkan berdiri di batu besar, lalu mengayunkan senjatanya seraya membentak.

"Bangsat! Berani kau turun ke sini bertarung denganku?"

Sebelum para jago tangguh mulai bertanding, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mengatur begitu, sesungguhnya hanya ingin mengetahui kepandaian para jago tangguh itu. Bagi siapa yang bertarung di atas batu besar dan meninggalkan bekas kaki di batu itu, berarti memiliki lweekang tinggi. Kalau tidak, tentunya tidak dapat meninggalkan bekas kaki di atas batu itu. Selama dua hari, orang yang bertarung hanya di atas besi tajam, belum ada yang bertanding di atas batu besar itu.

Tiat Cit Siong Jin memang memiliki lweekang dan gwakang yang cukup tinggi, hanya ginkang-nya tidak begitu tinggi. Lagi-pula senjatanya amat berat. Kalau dia berdiri di atas besi tajam, kakinya pasti tertembus besi itu. Maka dia memilih batu besar itu untuk bertarung dengan Lu Sin Kong.

Lu Sin Kong tertawa gelak. “Hahaha! Kau tidak berani naik? Baiklah! Aku akan turun!"

Lu Sin Kong meloncat turun, mendadak terdengar suara seruan Ang Eng Leng Long, "Sutee tunggu! Biar aku yang menghadapinya!"

Ang Eng Leng Long langsung melesat ke arah batu besar itu, dan setelah berdiri di situ, dia pun menghunus pedangnya. Begitu melihat Ang Eng Leng Long mewakilinya melawan Tiat Cit Siong Jin, memang itu yang diinginkannya, maka Lu Sin Kong mencelat ke atas besi tajam, kemudian menuding Liok Ci Siansing seraya membentak.

"Liok Ci Siansing, kau masih belum mau naik?!"

Dituding dan dibentak seperti itu, tentunya Liok Ci Siansing gusar bukan kepalang. Badannya segera bergerak, lalu melesat ke arah besi tajam. Setelah berdiri di situ, dia pun langsung menyerang dengan tangan kosong mengeluarkan jurus Thian Ho Tok Khua (Sungai Langit Bergantung Miring).

Lu Sin Kong segera mengeluarkan jurus Liu Pu Tou Kua (Air Terjun Mengalir Miring) untuk menahan serangan Liok Ci Siansing, kemudian membentak. "Bukan aku, tapi pasti kau yang mati! Masih belum mau mengeluarkan senjata?!"

Liok Ci Siansing tertawa dingin seraya menyahut. "Tidak usah terburu-buru!"

Usai menyahut, Liok Ci Siansing merogoh ke dalam bajunya, dan kemudian terdengar suara desir yang berat.

"Ser! Ser!" tampak dua bola besi sebesar kepalan sudah berada di tangannya.

Kedua bola besi itu melekat pada dua ujung sebuah rantai besi. Ternyata Liok Ci Siansing menggunakan senjata Liu Sing Siang Tui. Itu merupakan senjata aneh dan sangat sulit mempergunakannya. Setelah mengeluarkan senjata tersebut, Liok Ci Siansing mulai menyerang dengan jurus Siang Liong Cut Hai (Sepasang Naga Keluar Dari Laut). Sepasang bola besi itu mengarah Lu Sin Kong dan mengeluarkan suara mcnderu-deru.

Ketika melihat serangan itu, Lu Sin Kong pun segera melancarkan sebuah pukulan menangkisnya. Di saat bersamaan dia pun mengayunkan golok emasnya dari bawah ke atas, itulah yang disebut jurus Tok Hong Keng Thian (Puncak Tunggal Mengejutkan Langit).

“Trang!” goIok emasnya membentur rantai besi Liok Ci Siansing.

Akan tetapi salah satu bola besi itu justru mengarah dada Lu Sin Kong. Seketika Lu Sin Kong menggeserkan badan sekaligus menyabet lengan Liok Ci Siansing dengan golok emasnya. Jurus tersebut sungguh cepat dan aneh, membuat Liok Ci Siansing terkejut bukan kepalang. Dia segera menyentakkan rantai besinya, sehingga salah satu bola besi di ujung rantai itu berbalik mengarah punggung Lu Sin Kong. Di saat bersamaan dia pun mundur selangkah untuk menghindari sabetan golok emas.

Begitu mendengar suara menderu di belakangnya, Lu Sin Kong bergerak cepat membungkukkan badannya, dan mendadak sebelah kakinya melangkah ke belakang sekaligus melancarkan serangan dengan jurus Giok Hong Can Pheng (Burung Phoenix Mengembangkan Sayap) ke arah bahu Liok Ci Siansing. Liok Ci Siansing segera mencelat ke belakang. Mereka bertarung dengan cepat. Tampak badan mereka melayang-layang, sehingga sulit diikuti pandangan.

Sementara pertarungan antara Ang Eng Leng Long dengan Tiat Cit Siong Jin yang di atas batu besar berlangsung semakin seru. Namun cara mereka bertarung berbeda dengan Lu Sin Kong dan Liok Ci Siansing. Mereka bergerak lamban, sebab harus meninggalkan bekas kaki di atas batu itu. Senjata Tiat Cit Siong Jin juga bergerak tidak cepat, tapi menimbulkan angin yang menderu-deru, membuat jubah Ang Eng Leng Long berkibar-kibar. Gerakan pedang Ang Eng Leng Long juga lamban, tetapi jurus-jurus yang dikeluarkannya amat dahsyat dan lihay, membuat Tiat Cit Siong Jin harus menarik kembali senjatanya untuk menjaga diri. Mereka berdua bertarung dengan lamban, namun amat seru dan sengit, bahkan tampak mati-matian.

Saat itu, semua orang yang berada di situ, percaya bahwa Liok Ci Siansing yang membunuh putra si Pecut Emas-Han Sun. Sebab kalau bukan Liok Ci Siansing, siapa yang meninggalkan bekas telapak tangan berjari enam di dalam gudang batu itu?

Sementara orang yang paling cemas adalah Tam Ek Hui. Tam Ek Hui tahu dari ayahnya, bahwa orang yang menimbulkan petaka dalam rimba persilatan bukanlah Liok Ci Siansing. Dia pun tahu ayahnya akan ke puncak Sian Jin Hong itu demi melenyapkan petaka tersebut. Akan tetapi bukan hanya ayahnya tidak muncul, bahkan adiknya pun menghilang entah ke mana. Walau dia tahu kepandaian Tam Goat Hua di bawahnya dan kalau pun dia pergi juga tidak ada masalah, namun rasa cemas tetap mencekam hatinya. Oleh karena itu dia amat berharap ayahnya segera muncul.

Tam Ek Hui terus memandang jalan yang menuju puncak Sian Jin Hong. Apabila ayahnya muncul, urusan di situ pasti akan beres. Akan tetapi ayahnya tetap tidak muncul, sebaliknya malah mendadak tampak sesuatu yang bergemerlapan. Tam Ek Hui tertegun. Di saat itulah barang yang bergemerlapan itu sudah berada di puncak Sian Jin Hong. Temyata sebuah tandu yang digotong dua orang.

Tandu itu amat mewah, dihiasi berbagai macam batu permata, maka bergemerlapan bila tertimpa sinar matahari. Begitu melihat tandu itu sampai di puncak, tercengang pula Tam Ek Hui, karena kedua penggotong tandu itu memakai kedok kulit manusia. Tam Ek Hui terus memperhatikan tandu mewah itu, Bentuk dan dekorasi tandu mewah itu persis seperti kereta mewah yang pernah dilihatnya. Tam Ek Hui berpikir sejenak.

Mendadak hatinya tersentak karena tahu adanya gelagat tidak baik, dan dia segera menarik Han Giok Shia seraya berbisik, "Nona Han, kita harus cepat pergi, jangan sampai terlambat!"

Han Giok Shia segera menyahut, “Musuh...."

Gadis tersebut hanya mengucapkan itu, karena Tam Ek Hui sudah menariknya pergi. Saat itu, semua orang sedang memperhatikan Lu Sin Kong berempat yang sedang bertarung, mendadak muncul tandu mewah itu, membuat semua orang tercengang. Di saat mereka tertegun, salah seorang penggotong tandu yang di depan berkata dengan dingin.

"Ajal kalian semua telah tiba, Sebelum menemui ajal, lebih baik kalian berdoa dulu kepada Thian (Tuhan)!"

Semua orang yang berada di puncak Sian Jin Hong rata-rata berkepandaian tinggi, sedangkan orang yang berkata itu kelihatan tidak memiliki lweekang tinggi, maka membuat semua orang merasa geli.

Sekonyong-konyong terdengar suara denting harpa dua kali. Semua orang tertegun, begitu pula Giok Bin Sin Kun-Tong Hong pek, sebab dalam suasana yang amat menegangkan itu masih ada orang ke puncak untuk main harpa, itu sungguh di luar dugaan! Sementara nada suara harpa itu bertambah cepat, membuat hati orang yang mendengarnya tergetar-getar dan darah pun bergolak-golak. Kemudian nada suara harpa itu berubah lambat dan lembut, membuat semua orang memasuki alam khayalan.

Di saat nada suara harpa itu berubah, Giok Bin Sin Kun merasa pikirannya kabur, padahal dia memiliki lweekang yang amat tinggi. Lagi-pula hampir dua puluh tahun dia berada di gunung salju, otomatis membuatnya memiliki kekuatan ketenangan yang tinggi. Seketika dia merasakan adanya gelagat tidak baik, maka segera menghimpun hawa murni untuk melawan suara harpa itu. Ketika dia mendongakkan kepala memandang semua orang, dilihatnya wajah orang-orang itu tampak seperti terkena ilmu hipnotis.

Bukan main terkejutnya Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, karena di saat itu dia teringat ketika dirinya masih kecil, Beng Tu Lojin yaitu gurunya, pernah mengatakan suatu urusan. Beng Tu Lojin mau menerima Tong Hong Pek sebagai murid, karena riwayat hidup Tong Hong Pek seperti Beng Tu Lojin ketika masih kecil. Lagi-pu!a Tong Hong Pek berbakat dan bertulang bagus, maka Beng Tu Lojin mewariskan semua kepandaiannya kepada Tong Hong Pek.

Namun Beng Tu Lojin tidak menduga, bahwa sifat Tong Hong Pek berbeda dengan sifatnya. Sifat Tong Hong Pek berangasan, tak memberi ampun kepada siapa pun dan selalu berbuat semaunya sendiri. Oleh karena itu, akhirnya Tong Hong Pek diusir dari pintu perguruan. padahal Beng Tu Lojin amat menyayanginya seperti anak sendiri. Di samping menggemblengnya, Beng Tu Lojin pun sering menceritakan tentang keadaan rimba persilatan dan berbagai macam kejadian.

Kini Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berada di puncak Sian Jin Hong. Mendengar suara harpa itu membuatnya teringat akan urusan itu, hingga kini sudah empat puluh tahun. Begitu teringat akan urusan itu, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek merasa urusan tersebut seakan di depan mata. Dia masih ingat dengan jelas. Pada suatu malam, ketika bulan bersinar terang benderang, seusai dirinya berlatih lweekang, Beng Tu Lojin menghampirinya dan mendadak menghela nafas panjang.

Tong Hong Pek segera bertanya kepadanya kenapa menghela nafas panjang. Beng Tu Lojin menjawab, bahwa dari dulu hingga kini, ilmu silat memang tiada batasnya dan sulit dibayangkan orang. Tong Hong Pek bertanya lagi kenapa gurunya berkata begitu, Beng Tu Lojin memberitahukan kepadanya, kalau kelak mendengar Pat Liong Thian Im lahir, pertanda dunia persilatan akan dilanda petaka.

Pada waktu itu, Tong Hong Pek masih kecil, tidak tahu apa yang dimaksud dengan Pat Liong Thian Im. Dia hanya ingat, ketika itu dalam hatinya menganggap Pat Liong Thian Im merupakan suatu mainan yang luar biasa. Oleh karena itu, dia bertanya lagi mengenai Pat Liong Thian Im tersebut. Beng Tu Lojin memberitahukan, entah tahun kapan bulan kapan dan siapa yang akan meninggalkan delapan lembar nada musik. Delapan nada musik itu bertulis ‘Gembira-Marah-Cinta-Jahat-Duka-Senang-Lembut’ dan selembar lagi bertulis ‘Senang Membunuh’.

Pat Liong Thian Im adalah nada suara harpa. Namun harpa biasa tidak dapat mengeluarkan nada suara tersebut, harus menggunakan harpa Pat Liong Khim (Harpa Delapan Naga). Harpa Pat Liong Khim mempunyai delapan tali senar, dan setiap tali senar hanya dapat mengeluarkan satu nada suara, namun amat luar biasa. Hanya orang yang telah memiliki lweekang sempurna dan berhati suci, yang tidak akan celaka karena suara harpa tersebut.

Tiga ratus tahun yang lampau, Pat Liong Thian Im dan Pat Liong Khim pernah lahir sekali dan justru jatuh ke tangan orang yang berhati sempit. Walau orang itu bukan berasal dari golongan sesat, namun banyak orang gagah berkepandaian tinggi menjadi korban karena suara harpa itu. Seandainya Pat Liong Thian Im dan Harpa Pat Liong Khim lahir di dunia persilatan lagi, dan jatuh ke tangan orang dari golongan sesat, pasti akan menimbulkan petaka besar seperti pada waktu lampau. Beng Tu Lojin menghela nafas lagi, seakan merasa kecewa karena dirinya tidak dapat mencapai tingkat kesempurnaan agar bisa mengatasi suara harpa itu.

Pada waktu itu Tong Hong Pek masih kecil, maka setelah mendengar cerita itu, ya sudah. Justru hingga kini sudah empat puluh tahun. Setelah diusir dari pintu perguruan, dia lalu pergi ke gunung salju untuk mencari Soat Hun Cu. Sudah sekian lama dia tidak pernah mendengar orang kedua menceritakan tentang urusan itu, namun kini ketika mendengar suara harpa yang amat hebat itu, dia segera menghimpun hawa murninya untuk melawannya, dan teringat pula akan urusan yang dikatakan gurunya.

Orang yang memainkan harpa berada di dalam tandu, tentu tidak tampak wajahnya, begitu juga harpa itu. Maka sulit dipastikan, apakah harpa itu Pat Liong Khim yang mempunyai delapan senar atau bukan. Namun berdasarkan nada suaranya, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dapat menduga harpa apa itu. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek bersifat beringas, siapa yang bersalah atau menyinggung perasaannya pasti dibunuhnya tanpa ampun. Akan tetapi dia masih berjiwa gagah. Kini begitu dia melihat banyak jago tangguh di puncak Sian Jin Hong akan binasa oleh Pat Liong Thian Im, hatinya pun bergejolak.

Dia teringat lagi ketika gurunya membicarakan Pat Liong Thian Im. Ekspresi wajahnya seakan berharap, kelak apabila Pat Liong Thian Im lahir, dia dapat menyelamatkan rimba persilatan. Teringat akan hal itu, mendadak dia mengeluarkan suara siulan panjang untuk melawan suara harpa itu demi menyelamatkan semua orang.

Di saat itulah nada suara harpa itu berubah bagaikan laksaan kuda sedang berpacu, bahkan juga mengandung hawa nafsu membunuh. Selain itu kedengarannya seperti suara jeritan tangis kaum wanita dan suara kaum anak gadis minta toIong. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tertegun. Di saat itulah mendadak keadaan di depan matanya berubah. Dia melihat keadaan di puncak Sian Jin Hong berubah mengenaskan. Tampak belasan anak gadis dan beberapa wanita tua dicambuki oleh belasan lelaki, sehingga sekujur badan mereka berlumuran darah. Begitu menyaksikan keadaan itu, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek langsung melesat ke arah dua lelaki di antara belasan lelaki itu sekaligus melancarkan dua buah pukulan.

“Bum! Bum!” kedua lelaki itu terpental belasan depa.

Setelah melancarkan kedua pukulan itu, mendadak hati Tong Hong Pek tersentak. Kini di puncak Sian Jin Hong hanya terdapat orang berkepandaian tinggi, lalu dari mana munculnya para penjahat itu? Seketika itu juga dia tersadar bahwa dirinya telah terpengaruh oleh suara harpa. Dia terkejut bukan kepalang dan langsung mencelat ke belakang beberapa depa, kemudian duduk bersila. Dia memejamkan mata dan mengosongkan pikiran, lalu menghimpun hawa murni.

Tadi ketika di depan matanya muncul bayangan-bayangan khayalan, dia sudah tidak mendengar suara harpa tersebut. Tentunya bukan suara harpa itu yang berhenti, melainkan dia yang sudah terpengaruh oleh suara harpa itu, maka tidak mendengar suara harpa lagi. Bisa tersentak sadar dan mencelat ke belakang lalu duduk bersila menghimpun hawa murni, hanya Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek seorang diri yang mampu, tiada orang kedua lagi. Setelah menghimpun hawa murni, hati Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mulai tenang, barulah dia berani membuka matanya.

Seketika keringat dinginnya mengucur ke luar dari sekujur badannya karena dilihatnya di puncak Sian Jin Hong itu telah berubah menjadi seperti neraka. Entah berapa banyak mayat bergelimpangan di situ. Tampak pula orang-orang yang terluka parah merintih-rintih, dan puluhan orang sedang bertarung mati-matian. Mereka yang bertarung itu adalah tokoh-tokoh yang amat terkenal dalam rimba persilatan. Tiam Cong, Go Bi, Liok Ci Siansing, Tiat Cit Siong Jin, Pik Giok Sen, Tujuh Dewa dan para jago tangguh Bu Tong Pai. Beberapa di antara mereka sudah terluka parah sehingga sekujur badan berlumuran darah, tapi mereka masih bertarung mati-matian.

Yang membuat orang berduka, yakni mereka semua berasal dari golongan lurus yang tidak seharusnya saling membunuh. Namun kini mereka semua justru sedang bertarung mati-matian. Yang mengherankan justru Thian Hou Lu Sin Kong melawan Ang Eng Leng Long kakak seperguruannya. Sedangkan Sui Cing Sianjin telah membunuhi adik seperguruannya sendiri dengan Hud Bun Kim Kong Tay Yok Ciang (llmu Pukulan Sakti Arhat Emas). Kepala Tiat Tau Ceng (Padri Kepala Besi) pecah dan otaknya berhamburan ke mana-mana. Tujuh Dewa merupakan tujuh saudara angkat yang selalu damai dan rukun itu pun sedang bertarung mati-matian.

Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek ketika menyaksikan peristiwa itu. Dia ingin bangkit untuk meleraikan pertarungan itu, namun dia sendiri tahu bahwa saat ini dirinya harus menghimpun hawa murni untuk melawan suara harpa. Kalau tidak, dirinya pasti celaka. Apa boleh buat! Dia terpaksa harus diam menyaksikan kejadian bunuh-membunuh itu.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek juga tahu, bahwa kini mereka yang sedang bertarung itu sama sekali tidak tahu kalau bertarung dengan kawan sendiri. Mereka pasti seperti Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tadi. Di depan mata muncul bayangan halusinasi, begitu banyak kaum anak gadis dan kaum wanita tua disiksa oleh para penjahat, maka mereka langsung turun tangan menolong sehingga terjadi pertarungan mati-matian.

Saat ini suara harpa itu bernada ‘Jahat’ dan ‘Duka’, maka siapa yang mendengarnya pasti memasuki alam khayalan sekaligus menyaksikan penyiksaan itu. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek cuma menyaksikan itu, sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Tampak beberapa orang berjatuhan mandi darah lagi, sedangkan Lu Sin Kong dan Ang Eng Leng Long masih bertarung mati-matian, dan masing-masing mengeluarkan jurus-jurus yang mematikan.

Lu Sin Kong dan Ang Eng Leng Long adalah saudara seperguruan. Mereka pun adik seperguruan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Ketika Tong Hong Pek diusir dari pintu perguruan, para adik seperguruannya justru terus-menerus berlutut di depan Beng Tu Lojin, mohon pengampunan untuknya, maka betapa terharunya Tong Hong Pek ketika itu. Hati Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek seperti tersayat ketika menyaksikan Lu Sin Kong dan Ang Eng Leng Long bertarung mati-matian.

Dia mendongakkan kepala, dilihatnya tandu mewah itu hanya berjarak lima enam depa dari dirinya. Berdasarkan kepandaiannya, sekali melesat mudah saja dia mencapai tandu mewah tersebut. Walau orang di dalam tandu mewah menggunakan Pat Liong Thian Im mempengaruhi para jago di tempat itu, namun belum tentu dia berkepandaian tinggi. Maka asal dia dapat melesat ke tandu mewah itu, kemungkinan besar akan dapat menyelamatkan semua orang.

Di saat Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek sedang berpikir, hatinya justru tergoncang beberapa kali. Dia segera menenangkan hati, lalu menghimpun lweekang-nya. Mendadak dia bersiul panjang, kemudian badannya bergerak. Lweekang Tong Hong Pek amat tinggi, maka suara siulannya bergema sampai sepuluh mil.

Akan tetapi, saat ini yang dihadapinya adalah Pat Liong Thian Im. Begitu suara siulannya bergema, seketika juga tertekan oleh suara harpa. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tahu, bahwa suara siulannya tidak dapat menekan suara harpa itu. Namun dia tetap bersiul, maksudnya agar dirinya sementara tidak terpengaruh oleh suara harpa. Cara itu memang ada sedikit gunanya, sebab badannya langsung bisa bergerak, bahkan dalam sekejap dia sudah mencapai atap tandu dan sekaligus melancarkan pukulan. Pukulan itu dilancarkannya dengan sepenuh tenaga, maka betapa dahsyatnya, bagaikan ombak menderu-deru dan seperti gempa bumi.

"Bum! Bum!” mendadak terdengar suara bagaikan bunyi geledek, amat memekakkan telinga.

Setelah terdengar suara itu, badan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek terpental jatuh, “Buuuk!”

Seketika telinganya tidak mendengar suara apa pun, dan matanya tidak melihat apa-apa. Sepi dan gelap! Bersamaan itu dia juga merasa darahnya bergolak, suara ledakan tadi bagaikan sebuah martil yang beratnya ribuan kati menghantam dadanya. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek sudah tidak peduli musuh berada di dekatnya atau tidak, langsung duduk bersila menghimpun hawa murni.

Kira-kira sepeminum teh kemudian, perlahan-Iahan dia membuka matanya. Pertama-tama yang dilihatnya adalah atap tandu mewah itu, ternyata telah hancur tidak karuan. Di sisi tandu mewah itu terdapat dua sosok mayat, juga telah hancur tidak berbentuk manusia, ternyata mayat kedua penggotong tandu mewah. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tahu bahwa itu adalah akibat pukulannya. Namun tidak tampak mayat orang yang memetik harpa, jelas dia sudah kabur.

Pukulan yang dilancarkannya tadi dahsyat sekali, tapi orang yang ada di dalam tandu mewah itu masih dapat meloloskan diri. Hal itu membuktikan kepandaian orang itu amat tinggi, sebab dapat menangkis pukulan yang dilancarkannya. Berpikir sampai di situ, hati Tong Hong Pek terasa dingin, kemudian dia perlahan-Iahan bangkit berdiri dan membalikkan badannya. Dilihatnya pedang Ang Eng Leng Long menembus dada Lu Sin Kong, sedangkan golok Lu Sin Kong masuk ke dalam leher Ang Eng Leng Long dan mereka berdua telah tewas.

Di antara para jago, tampak Pik Giok Sen dan Bu Tong Sen Hong Kiam Khek telah kehilangan sebelah lengan dan darah masih mengucur dari bekas lukanya. Mereka berdua duduk di atas batu dengan wajah pucat pias, sama sekali tidak menotok jalan masing-masing agar darah tidak terus mengucur. Tiat Cit Siong Jin tergeletak di atas senjatanya sendiri, mungkin masih belum mati.

Tujuh Dewa itu telah mati empat orang, hanya tertinggal si sastrawan Se Chi, Lim Hau dan Fang Sien, tapi ketiga-tiganya menderita luka parah. Di sisi mereka tampak Liok Ci Siansing, yang sudah tak bernafas lagi. Pihak Tiam Cong Pai, Hong Lui Pek Lek Kiam Lam Kiong Seh sudah menjadi mayat di sisi Liok Ci Siansing, sedangkan kedua kaki ketua Tiam Cong Pai Chu Liok Khie telah buntung. Para jago lain sudah menjadi mayat semua. Yang tidak terluka hanya Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Sui Cing Siansu, ketua Go Bi Pai yang menyucikan diri. Saat ini Sui Cing Siansu berdiri mematung dengan mata terpejam dan kepala mendongak tak bergerak sama sekali. sedangkan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek diam tak bersuara,

Berselang beberapa saat kemudian, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menghela nafas panjang, kemudian berkata dengan suara dalam.

"Sui Cing Siansu, kenapa tidak menolong orang-orang yang terluka, malah berdiri memandang langit?"

Saat ini Sui Cing Siansu masih tidak mengenali suara Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek.
Namun dengan badan bergetar dia menyahut dengan suara serak. "Petaka telah tiba. Bisa lolos kali ini, tidak akan lolos lain kali. Mereka kita tolong juga percuma. Siancai! Siancai!"

Tong Hong Pek mendengus. "Hm! Bagaimana bisa tiada jalan? Tadi aku melancarkan sebuah pukulan, sehingga membuat iblis itu kabur! Itu pertanda masih ada jalan! Siansu amat terkenal dan berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Asal Siansu berniat, tentunya dapat mengumpulkan para jago dalam rimba persilatan! Namun kini kenapa Siansu malah putus asa?"

Apa yang dikatakan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek memang masuk akal dan bernada gagah, dan itu sungguh mengejutkan Sui Cing Siansu.

"Omitohud!" ucap Sui Cing Siansu dan bertanya, "Sebetulnya siapa kau?"

Ketika menyaksikan kematian saudara seperguruannya yang begitu mengenaskan, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek nyaris memberitahukan identitasnya. Akan tetapi dia pun teringat akan niatnya mendirikan sebuah perguruan baru, maka sementara harus merahasiakan identitas dirinya. Lagi-pula kalau dia memberitahukan identitasnya, mungkin para jago dalam rimba persilatan akan membencinya, termasuk Sui Cing Siansu. Oleh karena itu Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek hanya tertawa panjang, lalu melesat ke arah Pik Giok Sen dan menotok jalan darah di bahunya agar darah tidak terus mengucur.

Sui Cing Siansu melihat dia tidak mau menjawab, dia pun tidak mau bertanya lagi, kemudian dia mulai mengobati orang-orang yang terluka parah. Hampir setengah harian, barulah mereka menyelesaikan pekerjaan itu. Saat itu sang surya sudah mulai condong ke barat.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berdiri termangu-mangu. Dia tahu jelas dalam hati. Apabila tidak membasmi si pemetik harpa itu, tentu dirinya tidak akan dapat kembali gagah seperti dulu. Oleh karena itu, setelah berdiri termangu sejenak dia melesat pergi meninggalkan puncak Sian Jin Hong, dan mulai menyelidiki asal-usul tandu mewah tersebut. Tidak disangka-sangka, justru di tengah jalan dia melihat sebuah kereta mewah sedang melaju ke arah utara. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek langsung menempuh ke arah utara untuk mengejar kereta mewah itu.

Beberapa hari kemudian dia tiba di sekitar gunung Pak Bong San, masih ada orang melihat kereta mewah tersebut. Kejadian di puncak Sian Jin Hong memang telah menggemparkan seluruh rimba persilatan. Sebelum tandu mewah itu muncul di puncak Sian Jin Hong, sudah banyak orang meninggalkan puncak tersebut, maka mereka terhindar dari petaka itu.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek amat cerdas, maka tahu bahwa kejadian di puncak Sian Jin Hong pasti diatur secara rapi oleh orang yang berada di dalam tandu mewah. Terlebih dahulu orang itu membuat para jago tangguh beberapa partai bentrok, setelah itu barulah turun tangan membasmi mereka dengan Pat Liong Thian Im. Kelihatannya si
pemilik harpa maut itu ingin menguasai dunia persilatan. Setelah berpikir secara seksama, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek merasa dugaannya tidak meleset. Namun ada satu hal yang dia tidak mengerti, yakni siapa sebetulnya iblis pemilik harpa maut itu?

Ketika mulai mendekati gunung Pak Bong San, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menduga, apakah pemilik harpa maut itu si Nabi Setan-Seng Ling? Namun kemudian dia membantah dugaannya sendiri. Sebab kalau benar pemilik harpa maut itu si Nabi Setan-Seng Ling, yang mana telah memiliki Pat Liong Thian Im, tidak mungkin dia masih mau menculik Lu Leng untuk menekan Lu Sin Kong.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek terus mengejar kereta mewah tersebut, tapi justru malah bertemu Tam Goat Hua di dalam rimba itu. Begitu mengetahui Tam Goat Hua berhasil menolong Lu Leng, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek girang bukan main. Namun ketika mendengar Lu Leng menghilang lagi, dia marah sekali, lalu mencaci maki Tam Goat Hua, dan setelah itu barulah pergi. Setelah pergi, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mencari Lu Leng di sekitar daerah itu.

Ketika Tam Goat Hua dan Oey Sim Tit menuju sebuah rumah besar, dia sudah mengikuti di belakang mereka. Ilmu ginkang-nya amat tinggi, maka Tam Goat Hua dan Oey Sim Tit sama sekali tidak tahu kalau diikutinya. Setelah Tam Goat Hua memasuki rumah besar itu, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek segera melesat ke atapnya dan terus mengintip gerak-gerik Tam Goat Hua. Betapa kagumnya Tong Hong Pek ketika menyaksikan bagaimana sikap gadis itu menghadapi Liat Hwe Cousu.

Di antara Tong Hong Pek dan Tam Goat Hua terdapat perselisihan usia yang begitu jauh, tapi Tong Hong Pek tidak memikirkan hal itu. Dia hanya merasa Tam Goat Hua merupakan gadis yang amat berani dan gagah, bahkan amat cerdas, maka pantas menjadi temannya. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek terus mengintip. Ketika Tam Goat Hua dan Oey Sim Tit dalam keadaan bahaya, barulah dia muncul mendadak. Apa yang terjadi selanjutnya, sudah diceritakan di atas.

Seusai Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menutur, wajah Lu Leng tampak merah padam, kemudian dia berkata dengan lantang, "Kalau begitu, pembunuh ayahku adalah iblis yang memetik harpa itu?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek manggut-manggut. "Memang dia. Kelihatannya pelaku yang muncul dalam rimba persilatan, juga dia yang menimbulkannya."

Lu Leng mengepalkan tangannya seraya berkata, "Kalau tidak membalaskan dendam ayahku, aku tidak mau jadi orang!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tersenyum, "Tentu! Kalau tidak, bagaimana aku bersedia menerimamu sebagai murid?"

Mendadak Lu Leng bertanya, "Tempat tinggal iblis itu, entah berada di mana?"

Tam Goat Hua langsung menyahut tanpa sadar. "Aku tahu!"

Lu Leng segera menggenggam tangan gadis itu erat-erat seraya bertanya, "Kakak Goat, cepat katakan di mana tempat tinggal iblis itu!"

Tam Goat Hua menyahut, "Adik Leng, kau jangan terburu nafsu! Aku pun tidak akan tinggal diam mengenai dendam kematian ayahmu. Tempat tinggal iblis itu tidak jauh dari sini." Kemudian Tam Goat Hua menutur tentang dirinya ketika kehujanan, lalu berteduh di sebuah rumah besar.

Usai mendengar penuturan gadis itu, Lu Leng berkata, "Guru, Kakak Goat! Mari kita cari dia sekarang!"

Wajah Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek langsung berubah. "Tidak boleh!"

Lu Leng tertegun. "Mengapa?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tampak serius. "Di puncak Sian Jin Hong, ketika aku melancarkan sebuah pukulan, justru mendadak terdengar seperti suara ledakan sehingga membuatku terpental. Ternyata suara harpa. Oleh karena itu, kita tidak bisa mendekatinya, harus menggunakan suatu siasat."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar