Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 44

Oey Sim Tit bertanya mendadak. "Selanjutnya Tong Hong-tayhiap tidak pernah bertemu mereka berempat lagi?"

"Memang tidak pernah bertemu mereka berempat lagi. Tadi ketika mereka berempat muncul, aku nyaris tak ingat. Sim Tit, aku tidak melarangmu pergi mencari mereka, tapi harus kuberitahukan sesuatu. Dulu guruku agak segan terhadap mereka sebab kepandaian mereka amat tinggi sekali, kau harus hati-hati!"

Oey Sim Tit manggut-manggut. "Sudah pasti aku akan pergi bersama ayahku."

Mendengar ucapan Oey Sim Tit itu semua orang menjadi diam. Walau Liok Ci Khim Mo menyebut dirinya Bu Lim Ci Cun, dalam rimba persilatan tentu tidak akan terluput dari berbagai macam urusan. Namun kalau dia tidak keluar dari istana Ci Cun Kiong, itu memang lebih baik. Kini telah terjadi itu. Apabila Liok Ci Khim Mo bergerak lagi dalam rimba persilatan, kaum persilatan golongan lurus yang masih bersembunyi pasti akan diketahui olehnya, dan tentunya akan terjadi malapetaka lagi bagi kaum rimba persilatan golongan lurus. Kali ini Oey Sim Tit dapat melihat perasaan semua orang.

"Kalau tidak bersama ayahku aku pasti tidak akan berhasil merebut kembali Busur Api itu," katanya dengan kepala tertunduk.

Tong Hong Pek menepuk bahunya. "Legakanlah hatimu, Sim Tit! Kami tidak akan menyalahkanmu."

Oey Sim Tit tersenyum getir. "Sayang sekali ayahku tidak mau mendengar perkataanku. Kalau ayahku mau dengar perkataanku, aku bisa terus bersama kalian dan amat gembira. Kini... aku harus pergi."

Kemudian dia melesat pergi dan semua orang melambaikan tangan ke arahnya. Setelah Oey Sim Tit pergi, orang-orang itu mulai memperbincangkan asal-usul keempat orang buta itu, namun perbincangan mereka tidak menghasilkan apa-apa sebab seorang pun tak ada yang tahu mengenai keempat orang buta tersebut.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan lagi. Ketika tengah hari mereka tiba di persimpangan jalan dan segera bertanya kepada pemilik kedai teh di pinggir jalan. Setelah itu mereka baru tahu bahwa kalau terus ke depan akan sampai di gurun pasir, ke arah barat akan sampai di gunung Liok Pan San dan ke arah timur akan sampai di Kang Lam. Mereka semua berunding di dalam kedai teh itu.

"Keempat orang buta itu pasti melewati jalan-jalan di sini, maka kita harus berpencar menjadi tiga kelompok mencari jejak mereka. Jangan sampai Liok Ci Khim Mo mendahului kita." kata Cit Sat Sin Kun-Tam Sen.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek manggut-manggut. "Betul Tapi mungkin juga kita mengejar sampai sejauh laksaan mil tanpa hasil."

Tam Sen menghela nafas. "Kini Busur Api dan Panah Bulu Api sudah kehilangan jejak dan kita pun harus menghindari Liok Ci Khim Mo. Maka kalau kali ini tiada hasilnya, setahun kemudian kita bertemu di sini!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menambahkan, "Kalau pun tahu jejak Busur Api dan Panah Bulu Api, tapi kalau tidak yakin dapat merebutnya, jangan turun tangan. Kita berkumpul kembali di sini, lalu berunding bersama."

Tam Sen manggut-manggut. "Betul. Ek Hui, aku bersamamu, ibumu bersama Giok Shia, sedangkan saudara Tong Hong bersama Lu Leng."

Tam Ek Hui dan Han Giok Shia akan berpisah dan paling sedikit harus setahun baru bisa berkumpul kembali. Dalam hati mereka merasa berat, namun mereka berdua tidak berani membangkang karena Tam Sen sudah memutuskan begitu. Keduanya hanya saling memandang sambil membatin, dalam waktu setahun mereka berdua pasti akan saling merindukan.

Ketika Lu Leng mendengar akan bersama Tong Hong Pek, hatinya menjadi tidak tenang. Sebetulnya dia tidak membenci gurunya, melainkan dikarenakan urusannya dengan Tam Goat Hua. Walau bukan kesalahannya tapi tetap dikarenakannya sehingga membuat Tam Goat Hua mengambil keputusan menjadi biarawati. Kalau masih bersama semua orang, Lu Leng masih tidak merasa apa-apa. Namun seandainya bersama Tong Hong Pek, dia pasti merasa ada duri di punggungnya.

Tapi sebelum Lu Leng membuka mulut, Tong Hong Pek sudah bangkit berdiri menepuk bahu Lu Leng. "Anak Leng, mari kita pergi," ajaknya.

Lu Leng terpaksa berdiri juga.

"Dulu aku pernah ke gunung salju, maka sudah faham jalan yang menuju ke barat. Kita menuju ke barat saja," kata Tong Hong Pek lagi.

Itu memang kemauan Lu Leng, sebab dia masih punya urusan dengan Hek Sin Kun. Ia harus ke gudang rahasia mengambil benda-benda pusaka itu, dan gunung Tang Ku Sat justru berada di bagian barat.

Seh Cing Hua pun bangkit berdiri, kemudian menarik tangan Han Giok Shia. "Giok Shia, kita menuju utara!"

Han Giok Shia mengangguk namun sepasang matanya memandang Tam Ek Hui lekat-lekat. Tam Ek Hui pun memandangnya, sedangkan Lu Leng dan Tong Hong Pek sudah membalikkan badan. Tam Sen suami istri tersenyum, kemudian Seh Cing Hua menatap Han Giok Shia.

"Giok Shia, waktu masih panjang sekali. Hanya berpisah satu tahun, jangan merasa berat," kata Seh Cing Hua, membuat wajah Han Giok Shia tampak kemerah-merahan.

"Bibi Tam...."

Seh Cing Hua tertawa. "Ek Hui, kau bersama ayahmu ke selatan, kita berpisah di sini."

Dia lalu menarik Han Giok Shia menuju ke utara. Walau sudah jauh, tapi Han Giok Shia masih menoleh ke belakang. Tong Hong Pek menjura kepada Cit Sat Sin Kun-Tam Sen.

"Saudara Tam, sampai jumpa setahun kemudian!" katanya, kemudian bersama Lu Leng berangkat ke barat.

Sedangkan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Tam Ek Hui berangkat ke selatan, sementara Tong Hong Pek dan Lu Leng terus melakukan perjalanan ke barat. Siapa pun tidak membuka mulut duluan. Belasan mil kemudian, barulah Tong Hong Pek membuka mulut.

"Anak Leng, ketika kau membawa kuda sampai di tengah jalan, kenapa mendadak menghilang? Apakah bertemu Goat Hua?"

Lu Leng takut Tong Hong Pek akan menyinggung urusan itu, tapi Tong Hong Pek justru malah menyinggungnya. Lu Leng menghela nafas panjang. "Ya," sahutnya.

"Bagaimana dia? Apakah hatinya sudah mulai gembira?"

Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak, dia berada di dalam kuil tua. Kalau biarawati tua itu memotong rambutnya, dia pasti sudah menjadi biarawati."

Tong Hong Pek tertegun. "Kini dia masih berada di dalam kuil tua itu?"

"Aku pernah ke kuil tua itu mencarinya, tapi dia sudah tidak berada di sana."

Tong Hong Pek segera menghentikan langkahnya. "Anak Leng, sementara ini dia pasti menghindarimu. Mari kita ke sana mencoba mencarinya!"

Lu Leng sama sekali tidak menduga kalau Tong Hong Pek akan berkata begitu sehingga membuatnya tertegun. "Guru, untuk apa kita mencarinya?"

"Aku harus bicara beberapa patah kata kepadanya di hadapanmu."

Mendengar ucapan gurunya itu, Lu Leng menghela nafas panjang. "Guru tidak perlu berbuat begitu. Yang kakak Goat cintai justru guru. Percuma guru bicara kepadanya di hadapanku."

"Kau tidak usah pedulikan aku. Asal kau mau pergi bersamaku, sudah tiada urusan lagi bagimu."

Lu Leng tidak berani membangkang lagi, hanya manggut-manggut. Mereka berdua lalu ke gunung Tiong Tiau San untuk menemui Tam Goat Hua.

"Guru, di dalam kuil tua itu terdapat dua biarawati tua, mereka amat aneh," kata Lu Leng ketika mereka telah berjalan beberapa mil.

"Oh?!" Tong Hong Pek mengerutkan kening, "Bagaimana anehnya?"

"Kedua biarawati tua itu berkepandaian amat tinggi, tapi tidak tahu asal-usul mereka. Salah seorang dari mereka gagu dan tuli."

Tong Hong Pek tampak tertegun. "Gagu dan tuli? Apakah di antara mereka ada yang di lengannya terdapat tujuh titik merah?"

"Aku tidak melihat tanda itu di lengan mereka," sahut Lu Leng.

"Mungkin dugaanku tidak meleset. Bagaimana dia yang begitu jahat bisa menjadi biarawati?"

"Maksud guru siapa?" tanya Lu Leng.

"Dulu dalam rimba persilatan terdapat seorang perampok wanita yang amat jahat dan kejam. Julukannya adalah Cit Seng Li (Wanita Tujuh Bintang) karena ada tanda tujuh titik merah di lengannya. Kemudian mendadak dia menghilang entah ke mana. Dia mempunyai seorang pelayan wanita yang tenaganya amat kuat."

Lu Leng terperangah mendengar paparan gurunya itu. "Kalau begitu, sudah pasti dia," tukasnya.

"Kalau benar dia, sampai di sana kita pura-pura tidak tahu," pesan Tong Hong Pek.

Mereka berdua tidak berbicara lagi, tapi terus melanjutkan perjalanan. Hari berikutnya mereka sudah tiba di gunung Tiong Tiau San. Saat ini luka dalam yang diderita Tong Hong Pek sudah sembuh tujuh delapan bagian. Ketika hari mulai gelap, mereka berdua sudah tiba di depan kuil tua tersebut.

"Kalau kita masuk dari pintu depan, mungkin Goat Hua tidak sudi menemui kita dan pasti kabur," kata Tong Hong Pek.

"Guru ingin menemuinya, lebih baik aku menghindar saja," sahut Lu Leng.

Tong Hong Pek tersenyum. "Jangan bodoh. Kita datang bersama, masuk pun harus bersama pula. Kita masuk melalui tembok."

Lu Leng masih ingin mengatakan sesuatu, tapi Tong Hong Pek sudah menariknya, lalu mengerahkan ginkang meloncat ke dalam kuil tua itu melewati tembok. Mereka berendap-endap menuju ruang dalam. Sampai di jendela Tong Hong Pek mengintip ke dalam. Dugaan Tong Hong Pek tidak meleset. Tam Goat Hua sedang duduk bersila di ruangan itu. Tampak tiga batang hio menyala mengepulkan asap di hadapan Tam Goat Hua dan sepasang lampu minyak di atas meja sembahyang. Air muka Tam Goat Hua tampak amat menderita. Sepasang matanya terpejam, tapi di kelopak matanya justru melekat butiran air mata yang belum menetes.

Tong Hong Pek dan Lu Leng mengintip ke dalam. Ketika Lu Leng menyaksikan keadaan Tam Goat Hua, hatinya terasa pilu sekali dan matanya pun mulai bersimbah air. Tong Hong Pek menarik nafas dalam-dalam lalu tangannya mendorong daun jendela hingga terbuka. Sebelum Tam Goat Hua membuka matanya, Tong Hong Pek sudah berkelebat ke dalam bagaikan segulung asap, lalu berdiri di sisi gadis itu.

Tam Goat Hua mendongakkan kepala, dan begitu melihat Tong Hong Pek matanya menjadi terbelalak. Dia tampak tertegun. Gadis itu mengeluh, kemudian mendadak mendekap di dada Tong Hong Pek. Itu sungguh di luar dugaan Tong Hong Pek. Begitu melihat kemunculannya, Tam Goat Hua tidak kabur, sebaliknya malah mendekap di dadanya. Seketika Tong Hong Pek pun memeluknya.

Wajah Tam Goat Hua tampak berseri. "Kanda! Kanda! Apakah aku berada dalam mimpi?" bisiknya.

Sebetulnya maksud tujuan Tong Hong Pek ke tempat itu, ingin menasihatinya agar bersama Lu Leng. Dia sendiri rela menderita demi mereka berdua. Namun begitu melihatnya, gadis itu langsung mendekap di dadanya. Oleh karena itu apa yang ingin dikatakannya menjadi tak dapat dicetuskan. Sedangkan Lu Leng pun tahu maksud tujuan Tong Hong Pek ke kuil tua bersamanya. Saat ini dia melihat mereka berdua dan menyaksikan wajah Tam Goat Hua berseri-seri ketika bertemu Tong Hong Pek, dalam hatinya sama sekali tidak merasa cemburu mau pun membenci, tapi sebaliknya malah berharap agar mereka berdua akan saling mencinta lagi. Hanya saja dia menarik nafas panjang lalu tanpa mengeluarkan suara meninggalkan tempat itu,

Sementara Tong Hong Pek masih memeluk Tam Goat Hua. Berselang sesaat barulah dia menyadari bahwa kedatangannya itu demi Lu Leng dan Tam Goat Hua. Teringat akan hal itu dia segera mendorong Tam Goat Hua perlahan-lahan, lalu menolehkan kepalanya ke arah jendela. Saat itu Lu Leng sudah pergi, bagaimana mungkin masih ada bayangannya di sana?

Tong Hong Pek tertegun, kemudian berseru-seru, "Anak Leng! Anak Leng!"

Tapi tiada sahutan. Tam Goat Hua pun kelihatan tersentak sadar dan segera mencelat ke belakang dengan mulut ternganga lebar.

"Goat Hua, kau...," panggil Tong Hong Pek.

Air mata Tam Goat Hua sudah meleleh membasahi kedua pipinya yang putih mulus. "Bukan mimpi! Ini bukan mimpi!” gumamnya.

"Goat Hua, kenapa kau? Dengarlah perkataanku!" kata Tong Hong Pek.

"Jangan pedulikanku! Aku tidak mau bertemu kau lagi. Cepat pergi! Cepat pergi!" teriak Tam Goat Hua.

Tong Hong Pek maju selangkah. "Goat Hua...," ucapannya terputus karena tiba-tiba Tam Goat Hua membalikkan badannya dan langsung pergi.

Ketika Tong Hong Pek ingin mengejarnya, mendadak terdengar suara pujian kepada Sang Buddha dan tampak sosok bayangan berkelebat menghadang di hadapan Tam Goat Hua. Tong Hong Pek mendongakkan kepala, dilihatnya seorang biarawati tua menghadang di hadapan Tam Goat Hua. Dulu Tong Hong Pek pernah bertemu beberapa kali dengan Cit Seng Li-Lim Sok Hua. Ketika itu dia masih muda dan amat cantik. Tapi kini biarawati itu sudah begitu tua dan tidak terdapat bekas-bekas kecantikannya.

Begitu biarawati tua itu muncul, Tam Goat Hua segera bersembunyi di belakangnya. "Guru, cepat usir dia! Aku... aku tidak mau menemuinya," katanya.

Biarawati tua itu menatap Tong Hong Pek seraya berkata, "Kau sudah mendengar itu?"

"Suthay, ada beberapa patah kata yang harus kukatakan kepadanya, menyangkut kebahagiaannya seumur hidup."

"Guru, aku sudah tidak punya kebahagiaan lagi, cepat usir dia!" teriak Tam Goat Hua.

"Hati gadis ini sudah ditujukan kepada Sang Buddha, lebih baik kau pergi saja," kata biarawati tua.

"Omong kosong! Pikirannya hanya belum terbuka, siapa bilang hatinya sudah ditujukan kepada Sang Buddha?" kata Tong Hong Pek dengan gusar.

Biarawati tua itu menyahut perlahan-lahan, "Dia sendiri yang berkata begitu, orang lain mana bisa memaksanya?" sahut biarawati tua itu dengan perlahan-lahan.

"Minggir kau!" bentak Tong Hong Pek.

Sembari membentak dia menjulurkan tangannya mencengkeram lengan biarawati tua itu. Biarawati tua itu berkelit, lalu tangannya bergerak sehingga tasbeh yang di tangannya ikut bergerak ke arah lengan kiri Tong Hong Pek. Di saat biarawati itu menggerakkan tangannya, ujung jubahnya tersingkap dan terlihat tanda tujuh titik merah di lengannya.

Tong Hong Pek tertawa gelak. "Hahaha! Lim Sok Hua, tak sangka kau bisa menjadi biarawati! Sungguh menggelikan!"

Biarawati tua itu mundur selangkah, lalu berkata dengan hambar, "Kau keliru! Pintu Buddha amat luas dan siapa pun boleh memasukinya. Lagi-pula Lim Sok Hua sudah lama mati!"

Tong Hong Pek mendengus. "Hm! Aku tidak peduli Lim Sok Hua sudah mati atau belum, hanya ingin bicara beberapa patah kata dengan Tam Goat Hua! Kau masih tidak mau minggir?!"

Biarawati tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah, kau jangan mengacau di sini. Cepatlah pergi!"

Tong Hong Pek melihat biarawati tua itu tidak membiarkannya berbicara dengan Tam Goat Hua, sedangkan Lu Leng entah ke mana, sehingga membuat hatinya gusar sekali. Maka dia membentak keras sambil menjulurkan tangannya, menotok jalan darah Hwa Kim Hiat di bagian dada biarawati tua itu. Biarawati tua itu mundur, sekaligus menggerakkan tasbehnya menyerang tangan Tong Hong Pek.

Ternyata Tong Hong Pek mengeluarkan jurus tipuan. Ketika tasbeh itu mengarah tangannya, mendadak dia menarik kembali tangannya, lalu dikibaskannya ke depan. Kibasan itu penuh mengandung tenaga. Walau badan biarawati itu tidak bergeming, tapi pintu di belakangnya roboh terterjang tenaga kibasan Tong Hong Pek. Di saat bersamaan, Tam Goat Hua yang bersembunyi di belakang biarawati tua itu terhuyung-huyung ke belakang empat langkah.

Maksud Tong Hong Pek memang agar Tam Goat Hua menjauhi biarawati tua itu. Maka begitu melihat gadis itu terhuyung-huyung beberapa langkah, dia lalu bersiul panjang. Tampak badannya mencelat ke atas, lalu melesat ke depan melewati biarawati tua itu. Dia turun di belakang Tam Goat Hua lalu menjulurkan tangannya memegang bahu gadis itu. Akan tetapi bersamaan itu dia pun merasakan adanya serangkum tenaga yang amat kuat menerjang ke arahnya. Dia segera menangkis dengan tangan kirinya.

"Blam!" terdengar suara yang disusul jeritan menyayat hati.

Biarawati tua itu terpental ke luar, lalu jatuh tersungkur. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, tapi tidak berani menyerang lagi. Ternyata biarawati itu bukan biarawati tua yang tadi, melainkan biarawati tua yang gagu dan tuli. Dia membokong Tong Hong Pek, namun tertangkis olehnya sehingga badannya terpental ke luar.

Tong Hong Pek yang berhasil memegang bahu Tam Goat Hua segera berkata, "Goat Hua, ayo ikut aku, aku ingin bicara sebentar denganmu!"

Dia hendak menariknya pergi, tapi mendadak tangan kiri Tam Goat Hua bergerak, tahu-tahu sudah menggenggam sebilah belati tajam dan langsung menusuk ke tenggorokannya sendiri. Saat itu Tong Hong Pek berada di belakangnya. Dia hendak merebut belati itu tapi terlambat, maka tidak berani menarik Tam Goat Hua pergi.

Menyaksikan adegan itu, biarawati tua tersebut segera merangkapkan kedua tangannya di dada. "Siancay! Siancay! Kau masih tidak mau meninggalkan tempat ini?"

Tong Hong Pek menarik nafas dalam-dalam. "Lim Sok Hua, kau jangan banyak omong!"

Mendadak Tam Goat Hua menyela, "Kalau kau tidak mau pergi, aku akan bunuh diri di hadapanmu!"

"Baik, aku segera pergi dan selamanya tidak akan ke mari menemuimu lagi! Tapi ada seseorang, kau harus menemuinya!" sahut Tong Hong Pek.

Tam Goat Hua menggelengkan kepala, "Tidak! Aku tidak mau menemuinya!"

Hati Tong Hong Pek seperti tersayat. "Betulkah kau mau menjadi biarawati? Aku mengintip dari jendela, melihat air mukamu penuh penderitaan. Hatimu tidak bisa tenang, bagaimana mungkin dapat menemani Sang Buddha?" katanya dengan suara rendah.

Tam Goat Hua tertegun. "Aku tidak tahu! Kalau kau masih tidak mau pergi, aku pasti bunuh diri," katanya kemudian.

Tong Hong Pek mengerutkan kening. Ketika Tong Hong Pek memanggilnya, Tam Goat Hua menekan belatinya sehingga tenggorokannya mengeluarkan darah. Bukan main terkejutnya Tong Hong Pek dan langsung mundur beberapa langkah seraya berkata.

"Baik! Baik! Aku segera pergi! Tapi aku harap kau akan mengerti di suatu hari nanti. Dirimu sudah menjadi miliknya, kenapa hatimu masih menentang? Aku pergi sekarang, baik-baiklah kau menjaga diri."

Kemudian dia melesat pergi, namun sepasang matanya telah basah. Padahal sesungguhnya hati Tam Goat Hua jauh lebih sedih. Ketika melihat kemunculan Tong Hong Pek, dia mengira dirinya dalam mimpi, maka langsung mendekap kepadanya. Namun Tong Hong Pek berseru memanggil Lu Leng, itu membuatnya tersentak sadar ke alam nyata yang penuh penderitaan. Karena badannya telah dimiliki Lu Leng, sehingga dia mengancam agar Tong Hong Pek pergi.

Setelah Tong Hong Pek pergi, barulah dia merasa sedih sekali. Luka di tenggorokannya meneteskan darah, namun dia tidak merasakan sakit. Dia berdiri termangu-mangu di tempat dan sadar belati yang di tangannya terjatuh. Kini barulah dia mendongakkan kepala untuk memandang biarawati tua itu.

"Guru, aku... aku harus bagaimana?" tanyanya.

Biarawati tua itu tersenyum hambar. "Aku mana tahu kau harus bagaimana?" Dia mendekati Tam Goat Hua, lalu memapahnya ke tempat tidur sekaligus mengobati luka di tenggorokannya.

Sementara Tong Hong Pek pergi dengan menahan duka dalam hatinya. Ketika hari sudah mulai gelap, dia berputar ke sana ke mari, tapi tidak menemukan Lu Leng. Betapa menyesalnya Tong Hong Pek mengajak Lu Leng ke kuil tua itu karena akhirnya menjadi begini.

"Anak Leng! Anak Leng!" serunya.

Dia berseru dua kali memanggil Lu Leng, namun tiada sahutan sama sekali. Dia khawatir Lu Leng akan salah paham, sehingga mengambil jalan pendek. Setelah berpikir sejenak, dia percaya bahwa Lu Leng tidak akan melakukan itu, sebab dia masih memikul dendam kedua orang tuanya. Akan tetapi kini Lu Leng ke mana, Tong Hong Pek tidak tahu. Dia menengok ke sana ke mari. Selain jalan yang dilalui tadi, terdapat sebuah jalan kecil lainnya. Lu Leng pergi tentunya tidak akan melalui jalan tadi, pasti melalui jalan kecil itu, pikirnya. Setelah berpikir demikian, lalu dia melesat ke arah jalan kecil itu.

Ternyata ketika Lu Leng menyaksikan Tong Hong Pek dan Tam Goat Hua berpelukan hatinya terasa hampa, maka mengambil keputusan meninggalkan tempat itu. Setelah dia meloncat ke luar melalui tembok, keadaan di sekitar tempat itu mendadak terasa amat aneh. Saat itu dia tidak tahu mengapa dirinya merasa begitu, sehingga membuat langkahnya terhenti. Dia lalu bersandar di tembok sekaligus menahan nafas, setelah itu barulah dia tahu mengapa tadi merasa begitu. Ternyata di dalam pintu utama kuil tua, terdengar rangkaian suara berdetak. Walau suara itu amat perlahan, namun membuat Lu Leng teringat akan keempat orang buta.

“Kreek!” di saat dia sedang menduga-duga mendadak terdengar suara, dan pintu kuil itu terbuka.

Di bawah sinar bulan Lu Leng dapat melihat dengan jelas empat orang berjalan ke luar dari kuil tua. Keempat orang itu masing-masing memegang sebatang tongkat bambu panjang. Siapa mereka berempat itu? Ternyata empat orang buta yang sedang dicarinya. Begitu melihat keempat orang buta itu, Lu Leng terkejut bukan main. Sesungguhnya dia ingin pergi memberitahukan kepada Tong Hong Pek, namun khawatir Tam Goat Hua akan terpukul hatinya, maka dia membatalkan niatnya. Karena itu Lu Leng mengambil keputusan untuk menguntit keempat orang buta itu, namun tidak berani terlampau dekat. Setelah keempat orang buta itu berjalan tiga empat depa barulah dia mulai menguntit mereka.

Ketika Lu Leng mengayunkan kakinya, keempat orang buta itu berhenti serentak, sepertinya tahu ada orang menguntit mereka. Begitu mereka berempat berhenti, Lu Leng pun ikut berhenti sambil menahan nafas. Tempat itu amat sunyi. Selain suara jangkrik, tiada suara lain sama sekali. Keempat orang buta itu tampak tertegun. Mereka berdiri diam di tempat, berselang beberapa saat barulah mereka melangkah lagi.

“Tak! Tak! Tak” terdengar pula suara berdetak.

Lu Leng menghitung tepat langkah mereka. Di saat tongkat bambu mengenai tanah dan menimbulkan bunyi, dia pun mengayunkan kakinya, begitu pula seterusnya. Dengan cara demikian keempat orang buta itu tidak mendengar suara langkahnya, maka amanlah Lu Leng menguntit mereka.

Keempat orang buta itu berjalan menuju jalan yang dilalui Lu Leng dan Tong Hong Pek tadi, sehingga membuat Lu Leng tidak bisa meninggalkan suatu tanda untuk Tong Hong Pek. Sedangkan Tong Hong Pek malah menelusuri jalan kecil. Kini sudah menempuh tiga empat mil, tapi keempat orang buta itu masih tidak tahu ada orang menguntit mereka.

Mendadak melayang turun beberapa helai daun kering di atas kepala keempat orang buta itu. Salah seorang dari mereka langsung menggerakkan tongkat bambunya, maka beberapa helai daun kering yang melayang turun itu tertusuk semua di ujung tongkat bambu tersebut. Menyaksikan itu Lu Leng bertambah berhati-hati. Apabila sampai keempat orang buta itu tahu bahwa dirinya menguntit mereka, Lu Leng pasti celaka. Empat lima mil kemudian salah satu tongkat bambu mereka menyentuh sebuah batu, lalu mereka berempat duduk beristirahat di atas batu itu. Salah seorang dari mereka mengeluarkan Busur Api, lalu ditariknya hingga berbunyi.

"Pheng!"

Saat itu Lu Leng berdiri tiga depa di belakang mereka. Begitu melihat Busur Api, rasanya ingin melesat ke sana untuk merebutnya. Akan tetapi Lu Leng tidak berani berbuat begitu, dia tetap berdiri diam di tempat sambil menahan nafas. Lu Leng berharap mereka bercakap-cakap, agar tahu asal-usul mereka. Akan tetapi keempat orang buta itu justru diam tak bersuara sama sekali. Mereka berempat bergantian menarik Busur Api itu, air muka mereka seperti mau menangis saking gembira. Maka dalam kegelapan terdengar beberapa kali suara dengung busur yang ditarik.

Sedangkan Lu Leng terus berdiri mematung di tempat, tidak berani bergerak sama sekali. Semula Lu Leng berdiri tertegun sambil memandang keempat orang buta itu, tapi mendadak hatinya tergerak. Dia pikir percuma mengetahui asal-usul mereka berempat, yang terpenting adalah Busur Api tersebut. Kalau Busur Api itu masih berada di tangan keempat orang buta itu, percuma dia mencari Panah Bulu Api. Berarti saat itu Lu Leng harus mencari suatu akal untuk merebut Busur Api tersebut, tidak peduli asal-usul keempat orang buta itu.

Berpikir sampai di situ, hati Lu Leng menjadi tegang. Walau sudah ada tujuan, tapi harus bagaimana melakukannya, itu sungguh memeras otaknya. Betapa tajamnya pendengaran keempat orang buta itu, Lu Leng telah menyaksikannya. Walau hanya sehelai daun rontok ke bawah, mereka berempat masih dapat mendengarnya, bahkan dapat bergerak cepat pula menusuk daun itu.

Saat ini Lu Leng hanya berada dalam jarak tiga depa dan menahan nafas. Kalau dia maju, mereka pasti tahu. Apabila hal itu terjadi, kiranya sulit bagi Lu Leng untuk meloloskan diri, sebab kepandaian mereka berempat amat tinggi. Lu Leng terus berpikir sambil memandang keempat orang buta itu dengan mata tak berkedip. Berselang sesaat muncul suatu ide dalam hatinya. Ternyata dia mendengar suara Busur Api berbunyi amat nyaring di malam buta. Kalau dia dapat maju mengikuti suara Busur Api, mungkin keempat orang buta itu tidak akan mendengar suara langkahnya.

Setelah memperoleh ide tersebut, semangat Lu Leng terbangkit. Di saat terdengar suara dengung busur, dia pun maju selangkah dengan hati-hati sekali. Busur Api itu berpindah ke tangan orang buta lain, lalu terdengar lagi suara dengung, dan Lu Leng maju selangkah lagi. Dengan cara demikian Lu Leng melangkah maju selangkah demi selangkah sambil menahan nafas, dan tak lama sudah maju tujuh delapan langkah.

Walau bulan tidak bersinar begitu terang, namun Lu Leng dapat melihat jelas wajah keempat orang buta itu. Tampak wajah mereka berempat agak kehijau-hijauan dan penuh keriput, entah berapa usia keempat orang buta itu. Mereka buta bawaan lahir, karena biji mata mereka memutih semua sehingga kelihatan amat menyeramkan.

“Pheng!” terdengar lagi suara dengung busur ditarik.

Namun ketika Lu Leng baru mau maju selangkah lagi, mendadak orang buta itu mengeluarkan helaan nafas panjang. Oleh karena itu Lu Leng tidak berani maju, sebab jarak mereka sudah begitu dekat. Setelah orang buta itu menghela nafas panjang, yang lainnya juga ikut menghela nafas panjang. Wajah mereka berempat tampak menderita sekali, membuat Lu Leng terheran-heran dan tidak habis pikir. Mengapa keempat orang buta itu menghela nafas panjang?

Kini Lu Leng berdiri satu depa lebih di hadapan mereka, berarti Busur Api itu hanya berjarak satu depa lebih pula. Jarak yang begitu dekat, sudah pasti amat gampang bagi Lu Leng untuk turun tangan merebut Busur Api itu. Akan tetapi Lu Leng justru masih tidak berani segera turun tangan, tetap menunggu kesempatan. Berhasil atau tidaknya merebut Busur Api itu, akan menyangkut nasib seluruh rimba persilatan. Oleh karena itu dia tidak berani gegabah.

Mendadak orang buta yang memegang Busur Api itu berkata, "Ada busur tiada panah, sungguh sedih!”

"Ada busur tiada panah, sungguh benci!" sambung yang lainnya.

Keempat orang buta itu mengucapkan beberapa patah kata, lalu berhenti sehingga suasana menjadi hening sekali. Setelah itu terdengar suara dengung busur ditarik, dan Lu Leng pun segera maju selangkah. Namun Lu Leng tertegun seketika, karena setelah menarik Busur Api itu, orang buta tersebut memegang talinya secara mendadak sehingga suaranya langsung berhenti, sedangkan di saat itu sebelah kaki Lu Leng sedang menginjak tanah. Walau amat perlahan suaranya, tapi Lu Leng yakin keempat orang buta itu mendengarnya. Tidak salah! Di saat Lu Leng tertegun, terdengar suara angin berdesir.

"Ser! Ser!" ternyata dua batang tongkat bambu sudah mengarah dirinya.

Lu Leng melihat kedua batang tongkat bambu itu tidak mengarah dadanya, karena suara tadi amat lirih. Meski pun pendengaran keempat orang buta itu tajam sekali, namun suara tadi tidak membuat mereka berani memastikan tempat. Oleh karena itu Lu Leng berani menempuh bahaya, tetap berdiri diam di situ.

“Ser! Ser!” kedua batang tongkat bambu lewat di sisinya, lalu ditarik kembali dengan serentak.

Keempat orang buta itu bangkit berdiri, kemudian yang memegang Busur Api segera menyimpan Busur Api itu ke dalam bajunya seraya membentak, "Siapa?!"

Lu Leng tidak bersuara, hanya terus memandang mereka berempat. Keempat orang buta itu pasang kuping, mendengarkan dengan seksama.

"Mungkin hanya daun rontok," kata salah seorang dari mereka.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita tidak dapat menusuk daun rontok itu?" sahut salah seorang lainnya.

Keempat orang buta itu segera berpencar keempat penjuru, maka sudah barang tentu Lu Leng menjadi terkepung di tengah-tengah. Begitu melihat keadaan itu, Lu Leng tahu bahwa pada malam itu tiada kesempatan lagi baginya untuk merebut Busur Api, harus menunggu kesempatan kedua. Apabila keempat orang buta itu tahu keberadaannya di situ, sudah pasti selamanya tiada kesempatan lagi. Oleh karena itulah dia tetap berdiri tak bergerak di tempatnya.

Badan keempat orang buta itu bergerak, ternyata mereka sudah maju tiga langkah. Sedangkan jarak mereka satu sama lain hanya satu depa lebih, maka setelah mereka maju dua tiga langkah, jarak mereka menjadi amat dekat dengan Lu Leng. Kebetulan yang berdiri di hadapannya justru orang buta yang menyimpan Busur Api ke dalam bajunya. Hati Lu Leng menjadi tergerak. Seandainya dia menyerang dengan Kim Kong Sin Ci, orang tua itu pasti roboh, berarti dia mempunyai kesempatan untuk merebut Busur Api tersebut.

Setelah berpikir begitu, Lu Leng mendadak membentak keras dan langsung menyerang orang buta itu dengan jurus It Ci Keng Thian (Satu Jari Mengejutkan Langit) mengarah dadanya. Pendengaran keempat orang buta itu memang tajam sekali dan gerakan mereka pun amat cepat. Sebelum membentak keras Lu Leng hanya menarik nafas dalam-dalam, mereka berempat sudah mundur serentak. Akan tetapi serangan yang dilancarkan Lu Leng amat cepat. Maka walau orang buta itu sudah mundur selangkah, angin telunjuk Lu Leng telah menerjang ke arahnya sehingga orang tua itu roboh seketika.

Lu Leng mendengar suara mendesir di belakangnya. Dia tahu bahwa tiga orang buta lainnya sudah menyerang punggungnya dengan tongkat bambu. Dia tidak berkelit atau memutarkan badannya, melainkan mengeluarkan golok Su Yang To-nya lalu diayunkannya ke belakang dengan jurus Khi Hou Seh Seng (Menunggang Harimau Dengan Tenaga). Kemudian dia melesat ke arah orang buta yang roboh itu sekaligus mencengkeram dadanya. Mulai dari Lu Leng mengeluarkan golok pusaka Su Yang To, menangkis, melesat ke depan dan mencengkeram, semua itu dilakukannya hanya dalam satu kali tarikan nafas, sehingga gerakannya amat cepat.

“Plak! Plak! Plak!” golok pusaka Su Yang To berhasil menangkis serangan ketiga batang tongkat bambu.

Akan tetapi golok Su Yang To-nya terpental dan telapak tangannya yang menggenggam golok pusaka itu berdarah. Namun Lu Leng sudah sampai di hadapan orang buta yang roboh itu. Dia pun berhasil mencengkeram leher baju orang itu dan jari telunjuk pun menotok jalan darah Sien Ki Hiat dan Hwa Kay Hiat di bagian dadanya. Kemudian Lu Leng berputar ke belakangnya. Dilihatnya tiga batang tongkat bambu mengarahnya, tapi karena dia berputar ke belakang orang buta itu, maka ketiga batang tongkat bambu itu membentur orang tua tersebut hingga orang buta itu mengeluarkan suara.

"Hah!"

Walau suara itu lirih tapi terdengar juga, maka ketiga orang buta langsung berhenti menyerang. Meski pun golok pusakanya telah terpental beberapa depa, namun kini Lu Leng telah berhasil menguasai orang buta itu, maka ketiga orang buta lain tidak berani melancarkan serangan lagi.

"Locianpwee berempat, tujuanku hanya mendapatkan Busur Api, tidak berniat jahat sama sekali."

Ketiga orang buta diam di tempat. Posisi mereka seperti semula ketika melakukan penyerangan. Sedangkan orang buta yang telah dikuasai Lu Leng diam sama sekali tak berkutik.

"Busur Api menyangkut nasib seluruh rimba persilatan, maka saat ini aku terpaksa harus bertindak demikian, mohon locianpwee berempat maklum!" kata Lu Leng lagi.

Sembari berkata dia merogohkan tangannya ke dalam baju orang buta itu untuk mengambil Busur Api tersebut. Saat ini wajah keempat orang buta itu tampak gusar sekali, tapi mereka tidak berani bergerak karena salah seorang dari mereka telah dikuasai Lu Leng. Kelihatannya Lu Leng akan berhasil mengambil Busur Api itu. Ketika merogohkan tangannya ke dalam baju bagian dada orang buta itu, dia malah tertegun dan keringat dinginnya mengucur.

Dia memang telah memegang Busur Api itu, namun tidak bisa mengeluarkannya karena jari jempol dan jari telunjuknya justru masih menekan jalan darah Sien Ki Hiat dan Hwa Kay Hiat di bagian dada orang buta itu, sedangkan Busur Api tersebut berada di tengah-tengah kedua jalan darah itu. Apabila sebelah tangannya mengeluarkan Busur Api itu, sudah barang tentu jempol dan jari telunjuk harus diangkat. Kalau tidak, sudah pasti tidak bisa mengeluarkan Busur Api itu. Seandainya dia menarik jempol dan jari telunjuknya itu, sudah pasti dapat mengambil Busur Api tersebut.

Tapi orang buta itu merupakan jago tangguh. Maka walau pun berhasil mengambil Busur Api itu, dirinya pun tidak akan selamat. Itu membuat Lu Leng tertegun, sama sekali tidak menemukan cara untuk mengambil Busur Api tersebut. Di saat itu orang buta tersebut tertawa.

"Hahaha! Kau tidak dapat mengambil Busur Api itu, bukan?"

Lu Leng menarik nafas dalam-dalam. "Tidak benar! Aku masih bisa mengambilnya!"

"Walau kau akan berhasil, tapi kau tidak dapat meloloskan diri!" sahut orang buta itu.

Mendengar itu Lu Leng diam saja.

Orang buta itu berkata lagi, "Kalau kau tidak bisa kabur, Busur Api itu tetap menjadi milik kami!"

Lu Leng terus berpikir. Memang tidak salah apa yang dikatakan orang buta itu, namun tidak yakin dirinya tidak dapat lolos. Karena itu Lu Leng menyahut dengan dingin, "Belum tentu aku tidak dapat meloloskan diri!"

"Kalau begitu, cobalah!" kata orang buta itu.

Lu Leng menoleh untuk memandang golok pusaka Su Yang To-nya yang tergeletak di tanah, dan mendadak menarik kedua jari tangannya. Di saat bersamaan sebelah tangannya pun menyentak, mengambil Busur Api tersebut. Bersamaan itu pula badannya melesat ke arah golok pusakanya. Gerakan Lu Leng amat cepat, tapi keempat orang buta itu bukan orang sembarangan. Ketika Lu Leng menarik kedua jari tangannya, orang buta itu pun langsung mengayunkan tangannya dan mengarahkan sepasang jarinya ke mata Lu Leng.

Karena Lu Leng mencelat ke arah golok pusakanya, maka serangan yang dilancarkan orang buta itu meleset dari sasarannya dan menusuk bahunya. Meski pun bahunya terasa sakit, Lu Leng tetap melesat ke arah golok pusakanya sambil berkertak gigi. Akan tetapi sebelum dia memungut golok pusaka itu, sudah tampak dua batang tongkat menusuk ke arahnya. Lu Leng terpaksa memiringkan badannya untuk berkelit.

“Traang!” ujung tongkat bambu itu telah berhasil menyentak golok pusaka itu ke atas setinggi dua depaan.

Lu Leng tahu keempat orang buta itu amat membencinya karena merebut Busur Api tersebut. Dia pun tahu bahwa akan terjadi pertarungan sengit dan pihak musuh tidak akan membiarkannya memungut golok pusaka itu. Oleh karena itu dia sudah siap ketika pihak musuh menggerakkan tongkat bambu untuk menghalanginya mengambil golok pusaka itu. Ketika golok pusakanya terbang ke atas, ia segera bersiul panjang sambil mencelat ke atas. Lu Leng berhasil meraih golok pusaka tersebut, sekaligus diayunkannya sehingga menimbulkan suara desir menderu.

"Sert! Sert! Sert!"

Tampak bayangan golok melindungi dirinya. Namun di saat badannya merosot ke bawah, mendadak berkelebatan cahaya tongkat bambu ke arahnya. Maka ketika sepasang kakinya menginjak tanah, dia berpikir ingin melarikan diri. Tapi mereka telah mengurungnya. Lu Leng terus memutar golok pusakanya untuk melindungi dirinya. Kini dia telah berhasil memperoleh Busur Api, namun kelihatannya sulit baginya untuk menerjang ke luar dari kepungan keempat orang buta tersebut.

Cukup lama dia bertahan. Keringatnya sudah mengucur membasahi sekujur badannya, sebab serangan-serangan keempat orang buta itu semakin gencar. Bahkan dia merasakan adanya tenaga yang amat kuat menekan dirinya. Tekanan tenaga tersebut membuat gerakannya tidak segesit semula, lagi-pula dia pun merasa golok pusakanya semakin berat. Betapa terkejutnya Lu Leng. Dia memaksakan diri untuk bertahan, tapi gerakannya sudah mulai lamban.

“Cess!” ujung sebatang tongkat bambu telah menusuk punggungnya.

Ketika dia ingin memutar golok pusakanya ke belakang, sebatang tongkat bambu sudah menusuk dadanya. Lu Leng terpaksa harus membungkukkan badannya. Walau dia berhasil berkelit, tapi ujung tongkat bambu itu tetap berhasil menusuk bahunya sehingga darahnya mengucur seketika. Setelah terkena dua kali tusukan tongkat bambu, gerakan Lu Leng semakin lamban.

“Cess!” jalan darah Hoan Tiau Hiat di kedua belah kakinya telah tertusuk sehingga terasa sakit sekali dan badannya roboh seketika.

Dia masih sempat berguling, tetapi empat batang tongkat bambu telah mengarahnya. Saat itu Lu Leng sudah tahu bahwa usahanya akan sia-sia, bahkan sudah sulit baginya untuk meloloskan diri. Bukan main gugup dan paniknya Lu Leng, tapi sekilas timbul suatu ide dalam hatinya dan dia segera berseru,

"Panah Bulu Api!"

Sungguh manjur seruan Lu Leng, sebab keempat batang tongkat bambu itu langsung berhenti. Ujung keempat tongkat bambu itu hanya berjarak beberapa inci saja, salah satunya justru berada di atas bahu Lu Leng. Lu Leng memandang keempat batang tongkat bambu itu sambil menarik nafas dalam-dalam dan berseru lagi.

"Panah Bulu Api!"

Salah seorang buta melangkah maju mengambil Busur Api itu dari tangan Lu Leng. Sebetulnya Lu Leng masih dapat menyerangnya. Tapi kalau dia menyerang, ketiga batang tongkat bambu yang masih mengarah dirinya pasti menusuk serentak dan tak mungkin dia bisa berkelit. Maka dia hanya tersenyum getir, membiarkan orang buta itu mengambil Busur Api dari tangannya.

"Kenapa kau berseru ‘Panah Bulu Api’ dua kali?!" bentak orang buta itu setelah mengambil Busur Api dari tangan Lu Leng.

“Tarik kembali dulu tongkat-tongkat bambu ini, baru kukatakan," sahut Lu Leng dengan tenang.

Keempat orang buta itu segera menarik kembali tongkat bambu masing-masing, namun tetap dalam posisi mengurung Lu Leng. Lu Leng menarik nafas lega. Saat itu bukan hanya Busur Api itu direbut kembali, bahkan dirinya pun telah terluka dan lukanya masih mengucurkan darah. Dia segera menotok beberapa jalan darahnya agar darah tidak terus mengucur.

"Bagaimana Panah Bulu Api itu?" tanya salah seorang buta.

"Aku punya beberapa patah kata, entah harus kuucapkan atau tidak?" sahut Lu Leng.

"Perkataan apa?" tanya orang itu dingin.

"Locianpwee berempat jago tangguh dari mana aku sama sekali tidak tahu. Namun locianpwee berempat pasti juga kaum rimba persilatan. Beberapa tahun ini Liok Ci Khim Mo membantai kaum rimba persilatan golongan lurus dan kini dia menyebut dirinya Bu Lim Ci Cun...."

Salah seorang buta memotong ucapan Lu Leng, kelihatannya sudah tidak sabaran. "Siapa Liok Ci Khim Mo? Kau dua kali berseru Panah Bulu Api, sebetulnya ada apa?"

Lu Leng berseru dua kali ‘Panah Bulu Api’ disebabkan dia melihat keempat orang buta itu pun menghendaki panah tersebut. Maka dia berseru begitu agar mereka berempat berhenti menyerangnya.

"Kini hanya Busur Api dan Panah Bulu Api yang mampu melawan Liok Ci Khim Mo. Kalau locianpwee berempat berniat menggunakan Busur Api dan Panah Bulu Api untuk melawan Liok Ci Khim Mo, itu memang baik sekali. Tapi locianpwee berempat harus mementingkan nasib rimba persilatan.”

Ketika Lu Leng berkata begitu, keempat orang buta itu maju selangkah.

"Kalau begitu, kau sudah memperoleh Panah Bulu Api itu? Kau mampu menerobos Empat Puluh Sembilan Lorong Rahasia?" tanya salah seorang dari mereka.

Begitu mendengar pertanyaan orang buta itu, Lu Leng menjadi tertegun. Namun setelah berpikir sejenak, akhirnya dia mengerti. Keempat orang buta itu tahu Mo Liong Seh Sih memperoleh Panah Bulu Api, bahkan mereka pun tahu Panah Bulu Api itu disimpan dalam gudang rahasia, maka orang buta itu bertanya demikian. Namun Panah Bulu Api itu telah dicuri orang, dan keempat orang buta itu tidak mengetahuinya.

Lu Leng adalah pemuda yang berhati jujur, maka dia menyahut dengan jujur pula. "Aku tidak pernah menerobos ke dalam Lorong Rahasia itu, tapi aku tahu Panah Bulu Api sudah tidak ada di sana."

"Di mana?" tanya empat orang buta itu hampir serentak.

Lu Leng tersenyum getir. "Aku justru tidak tahu."

Keempat orang buta itu diam saja, tapi tongkat bambu mereka bergerak menusuk ke arah Lu Leng. Lu Leng terperanjat dan segera meloncat ke belakang.

"Aku memang tidak tahu, kalian memaksa juga percuma!" katanya.

Keempat orang buta berhenti menggerakkan tongkat bambu masing-masing, kemudian salah seorang dari mereka bertanya dengan suara dalam. "Kalau kau tidak tahu berada di mana Panah Bulu Api, lalu kenapa merebut Busur Api itu?"

"Kalian berempat juga tidak memiliki Panah Bulu Api, kenapa merebut Busur Api itu juga?" sahut Lu Leng.

Keempat orang buta itu tertegun, kemudian berbisik-bisik membicarakan sesuatu.

"Kau berani merebut Busur Api dari tangan kami, sesungguhnya kami tidak dapat melepaskan. Tapi kami percaya akan omonganmu. Panah Bulu Api sudah tidak berada di dalam gudang rahasia itu, kami tidak usah pergi menerobos Empat Puluh Sembilan Lorong Rahasia. Maka kami pun tidak usah membunuhmu. Pergilah!"

Mendadak keempat batang tongkat bambu itu bergerak dan seketika Lu Leng merasakan adanya tenaga yang amat kuat menerjang dirinya, membuat badannya terpental beberapa depa. Di saat bersamaan badan keempat orang buta pun bergerak, tahu-tahu mereka berempat sudah melesat pergi. Ketika Lu Leng berdiri tegak, keempat orang buta itu pun sudah tidak kelihatan lagi.

Lu Leng berdiri termangu-mangu. Dia berpikir, untuk apa mengejar mereka. Kalau pun dapat mengejar juga tidak ada artinya. Mereka keluar dari kuil itu, mungkin punya hubungan dengan biarawati tua. Lagi-pula gurunya masih ada di dalam kuil tua itu, kenapa tidak ke sana untuk berunding dengan gurunya? Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Giok Bi Sin Kun-Tong Hong Pek telah meninggalkan kuil itu.

Ketika Lu Leng berpikir mau kembali ke kuil tua itu, wajah Tam Goat Hua muncul di pelupuk matanya, berseri-seri sambil mendekap ke dada Tong Hong Pek. Itu membuatnya tiada keberanian untuk melangkah maju. Lama sekali Lu Leng berdiri termangu. Akhirnya dia membulatkan hati untuk kembali ke kuil tua dan langsung melesat pergi.

Beberapa mil kemudian Lu Leng mempercepat langkahnya, maka tak seberapa lama kemudian tibalah dia di depan kuil itu. Dia tertegun karena mendengar suara tangisan di dalam kuil tua, dan dia mengenali suara tangisan itu, tidak lain adalah suara tangisan Tam Goat Hua. Kemudian dia mendorong pintu kuil, namun di saat bersamaan, dia mendengar Tam Goat Hua berkata sambil menangis,

"Guru, apa yang kualami sudah kuberitahukan. Tentunya guru tahu kenapa aku mendesaknya pergi. Guru, apakah guru masih mau menampungku di sini?"

Terdengar suara tua yang bernada belas kasihan, “Tidak bisa."

"Kenapa tidak bisa?" tanya Tam Goat Hua.

"Ketika aku seusiamu juga pernah mengalami pukulan batin, maka lalu aku menjadi biarawati. Kini kalau kupikirkan kembali, sungguh menggelikan!"

"Menggelikan?" tanya Tam Goat Hua.

"Pintu Buddha memang luas dan siapa pun boleh memasukinya. Tapi cobalah kau pikir. Dalam hatimu tidak tetap pada Buddha, hanya ingin menyendiri saja. Lalu mengapa harus menjadi biarawati menghadap Sang Buddha?" kata biarawati tua.

Tam Goat Hua menghela nafas panjang. "Kalau begitu, aku tidak boleh menjadi biarawati?"

"Jika hatimu masih belum tenang, sungguh sulit memasuki pintu Buddha!" sahut biarawati tua.

Tam Goat Hua menghela nafas panjang lagi. "Guru, kalau begitu esok pagi aku akan meninggalkan tempat ini."

"Hatimu masih mencintai Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, kenapa tidak mau pergi sekarang?"

"Walau aku amat mencintainya tapi... badanku sudah dimiliki orang lain...," sahut Tam Goat Hua.

Mendengar sampai di situ hati Lu Leng seperti tersayat, lalu dia melangkah ke dalam. Tampak lampu minyak yang remang-remang. Tam Goat Hua berdiri di hadapan biarawati tua, sedangkan biarawati tua itu duduk bersila dengan mata setengah terpejam. Tam Goat Hua mendongakkan kepala. Ketika dia melihat Lu Leng, wajahnya yang pucat menjadi bertambah pucat, sekujur badannya bergemetar dan mundur selangkah.

Tanpa sadar Lu Leng segera berkata, "Kakak Goat, kau harus mendengarkan dulu pembicaraanku sampai habis!"

"Kau cepat pergi!" teriak Tam Goat Hua.

Tetapi Lu Leng tak mau pergi. "Aku tidak akan pergi. Di mana guru?"

Saat ini hati Tam Gcpt Hua terasa hampa dan dia tidak tahu harus bagaimana. "Pergi! Pergi! Pergi!" teriaknya Iagi.

Lu Leng menarik nafas, lalu melesat ke hadapan Tam Goat Hua. Gadis itu ingin mundur, namun Lu Leng sudah menjulurkan tangannya menyambar lengannya. Tam Goat Hua berkelit sehingga tangan Lu Leng hanya dapat menyambar ujung bajunya.

“Brrt!” ujung lengan baju Tam Goat Hua tersobek.

Kemudian Lu Leng maju selangkah seraya bertanya. "Kakak Goat, di mana guru?"

Tam Goat Hua membalikkan badannya. "Dia sudah pergi, kau pun harus segera pergi!"

"Dia ke mana?" tanya Lu Leng.

"Aku tidak tahu!" sahut Tam Goat Hua dengan suara tergetar-getar.

"Kakak Goat, guru tidak ada, aku pun tidak bisa pergi mencarinya. Ada satu urusan penting, aku harus minta bantuanmu!" kata Lu Leng.

Tam Goat Hua menggoyang-goyangkan sepasang tangannya. "Pergilah! Aku tidak tidak akan bantu apa pun!"

"Kakak Goat, biar bagaimana pun urusan itu harus kau bantu. Karena aku tidak dapat melaksanakannya seorang diri. Kau tidak melihat diriku terluka? Meski pun hatimu amat berduka dan tidak mau menemuiku, tapi kini kau harus bersamaku menyelesaikan urusan itu!" kata Lu Leng sungguh-sungguh.

"Urusan apa?" tanya Tam Goat Hua.

"Kau harus hati-hati! Kakak Goat, cepat menyingkir, musuh berada di sisi kita!" kata Lu Leng tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.

Perkataan Lu Leng membuat Tam Goat Hua membalikkan badannya. Lu Leng memandangnya, wajah Tam Goat Hua tampak pucat pias namun sikapnya seperti akan
menghadapi musuh. Lu Leng bergirang dalam hati dan mendadak mengeluarkan golok pusakanya, kemudian diayunkan ke arah biarawati tua.

Tam Goat Hua terperanjat. "Mau berbuat apa kau?!" bentaknya.

Golok pusaka Su Yang To langsung berhenti. Biarawati tua itu membuka matanya, lalu menatap Lu Leng dengan tajam. Tam Goat Hua tahu jelas bagaimana sifat Lu Leng, maka dia dapat memastikan bahwa tindakan Lu Leng itu mempunyai alasan yang kuat. Dia segera melangkah mendekati Lu Leng, lalu berdiri di sampingnya.

Lu Leng segera berkata kepada biarawati tua itu. "Lo Suhu, aku minta petunjuk tentang sebuah urusan!"

Biarawati tua itu tersenyum hambar. Terhadap golok pusaka Su Yang To yang ditudingkan di hadapannya dia seakan tidak melihat.

"Tentang urusan apa?" tanyanya.

"Tadi ada empat orang buta keluar dari kuil ini. Siapa mereka dan tinggal di mana? Kau harus memberitahukan kepadaku!" sahut Lu Leng.

Biarawati tua itu tetap tersenyum hambar. Kelihatannya semua urusan dunia tiada kaitan dengan dirinya. "Mereka berempat memang keluar dari kuilku ini. Tapi siapa mereka dan tinggal di mana aku tidak bisa memberitahukan!"

Walau biarawati itu tidak mau memberitahukan, namun Lu Leng amat girang dalam hati. Sebab nada perkataan biarawati tua itu kedengarannya tahu siapa keempat orang buta itu, dan tahu pula tempat tinggal mereka. Hanya saja biarawati tua itu tidak mau memberitahukan.

"Lo Suhu harus memberitahukan, sebab urusan itu menyangkut keselamatan seluruh rimba persilatan!" katanya sambil menarik kembali golok pusakanya.

Biarawati tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mau beritahukan, tetap tidak akan beritahukan! Kau jangan lama-lama di sini, bawa pergi nona ini! Beberapa hari ini, tempat untuk membersihkan diri ini telah diaduk tidak karuan oleh kalian!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar