Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 66

Jago tangguh yang mana pun apabila terserang oleh nada Pat Liong Thian Im itu, kalau pun tidak mati, juga akan terluka parah roboh seketika. Akan tetapi Toan Bok Ang hanya termundur-mundur beberapa langkah saja, sama sekali tidak roboh. Liok Ci Khim Mo amat penasaran. Jari tangannya langsung bergerak, dan seketika terdengarlah suara Pat Liong Thiam Im yang tak henti-hentinya. Kali ini Liok Ci Khim Mo menggunakan nada Memindahkan Hati.

Kini suara harpa kuno itu membuat Toan Bok Ang amat menderita. Ketika terhuyung-huyung ke belakang, Toan Bok Ang sudah mengambil keputusan untuk menerjang ke luar. Tapi jari tangan Liok Ci Khim Mo sudah bergerak memetik tali senar harpa kuno itu, bahkan menggunakan nada Memindahkan Hati, maka seketika gadis itu merasa seperti sukmanya terbetot ke luar. Toan Bok Ang tahu bahwa dirinya telah terpengaruh Pat Liong Thian Im. Dia memejamkan mata, lalu memaksakan diri untuk maju selangkah.

Gadis itu justru tidak tahu. Begitu dia berhasil maju selangkah, wajah Liok Ci Khim Mo sudah berubah hebat. Toan Bok Ang tahu musuh besar itu berdiri di hadapannya. Dia ingin melancarkan sebuah pukulan ke arahnya, namun tidak mampu mengangkat tangannya. Dia berdiri tegak di tempat kira-kira hampir setengah jam, sedangkan kening Liok Ci Khim Mo sudah mulai mengucurkan keringat. Berapa tingginya kungfu Toan Bok Ang saat ini, Liok Ci Khim Mo sama sekali tidak mengetahuinya. Meski pun dia telah memainkan dua macam nada Pat Liong Thian Im, namun Toan Bok Ang masih tidak roboh. Maka dia mengira bahwa Pat Liong Thian Im kehilangan kehebatannya.

Liok Ci Khim Mo mengerahkan hawa murninya, setelah itu dia duduk dan menaruh Pat Liong Khim di pangkuannya. Jari-jarinya yang berjumlah dua belas mulai bergerak memetik tali senar harpa kunonya. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya nada Pat Liong Thian Im itu. Keringat mulai merembes ke luar dari kening Toan Bok Ang. Sepeminum teh kemudian Toan Bok Ang sudah tidak kuat berdiri, jatuh duduk di lantai. Di saat bersamaan, Kou Hun Siu maju ke hadapan Toan Bok Ang, kelihatannya ingin menyerang gadis itu.

Akan tetapi Liok Ci Khim Mo justru berkata dengan suara dalam, "Jangan turun tangan! Lihat dia bisa bertahan berapa lama!"

Mereka berbicara dengan suara keras, namun Toan Bok Ang sama sekali tidak mendengarnya. Ia hanya mendengar suara harpa yang amat merdu menggetarkan kalbu sehingga membuat perasaannya menjadi nyaman dan terbuai-buai. Meski pun demikian Toan Bok Ang tetap memiliki sedikit kesadaran, maka dia tetap mengerahkan hawa murninya untuk bertahan.

Perlu diketahui, kungfu Toan Bok Ang menjadi begitu tinggi, itu merupakan suatu kebetulan yang tak terduga. Boleh dikatakan belum pernah ada selama ratusan tahun ini, begitu pula ratusan tahun yang akan datang. Bagi orang yang telah tembus Seng Si Hian Koan (Menembus Pintu Hidup dan Mati), ini merupakan istilah bagi orang yang belajar lweekang, siapa yang telah berhasil menembus Seng Si Hian Koan tersebut seperti halnya yang dialami Toan Bok Ang secara kebetulan, maka dalam hatinya tiada pikiran yang macam-macam, cukup dengan ketenangan melawan nada Pat Liong Thian Im.

Ketika ada orang berhasil menembus Seng Si Hian Koan, namun pada waktu itu Pat Liong Thian Im belum lahir di dunia persilatan, artinya entah hilang ke mana. Kini Toan Bok Ang adalah orang satu-satunya yang berhasil menembus Seng Si Hian Koan. Oleh karena itu dia masih mampu melawan Pat Liong Thian Im yang amat dahsyat itu. Toan Bok Ang terus menghimpun hawa murninya untuk melawan Pat Liong Thian Im. Tapi ketika dia ingin memikirkan betapa indah dan merdunya nada Pat Liong Thian Im tersebut, malah muncul berbagai macam masalah yang berlawanan, menghadapi entah berapa banyak mara bahaya, yang semuanya itu justru dapat melawan kedahsyatan Pat Liong Thian Im.

Tak terasa setengah jam telah berlalu lagi. Toan Bok Ang tahu bahwa nada Pat Liong Thian Im itu terus menyerang dirinya, maka dia terus memikirkan hal-hal yang tak menyenangkan untuk melawan Pat Liong Thian Im. Gadis itu pun tahu bahwa apabila dirinya memikirkan Lu Leng, niscaya dirinya akan terpengaruh. Akan tetapi akhirnya dia memikirkan Lu Leng juga. Setelah berpikir sejenak, mendadak dia tersentak kaget, tapi sudah tidak bisa menarik dirinya dari pikiran tersebut.

Apabila Toan Bok Ang tidak pernah jatuh cinta pada Lu Leng, kemungkinan besar akan membuat tali senar harpa Pat Liong Khim itu putus semua. Tapi begitu teringat akan Lu Leng, ketenangan Toan Bok Ang mulai goyah. Lu Leng berada di mana? Mengapa dia tidak muncul? Ternyata ini yang dipikirkannya!

Mendadak telinganya menangkap suara Lu Leng yang amat lirih. "Kakak Ang, aku berada di sisimu."

Betapa girangnya Toan Bok Ang. Dia langsung menoleh, namun di depan matanya hanya tampak gelap gulita sehingga membuatnya menjadi gugup sekali. Karena merasa girang dan gugup, maka muncullah bayangan-bayangan khayalannya.

Sekonyong-konyong suara Lu Leng mendengung di dalam telinganya. "Kakak Ang, aku berada di sisimu. Mengapa kau tidak melihat diriku? Kakak Ang, apakah kau tidak melihat diriku yang amat kau cintai?"

Toan Bok Ang langsung menyahut, "Tidak! Yang kau cintai bukan diriku." Usai menyahut Toan Bok Ang merasa bayangan Lu Leng muncul di hadapannya. Bayangan itu tersenyum-senyum sambil memandangnya, bahkan membungkukkan badannya sedikit lalu mencium keningnya. Sekujur badan Toan Bok Ang jadi lemas karenanya.

Kemudian terdengar lagi suara Lu Leng yang amat lembut. "Kakak Ang, kau telah keliru. Di dalam makam nyonya Seh, kita berdua telah membuat suatu ikrar. Yang kucintai justru hanya dirimu."

Hati Toan Bok Ang merasa nyaman sekali. Kini suara harpa telah sirna dari telinganya, dan dia pun tidak menghiraukannya lagi. Mendadak pemandangan di depan matanya berubah sama sekali. Tampak bunga-bunga memekar indah, burung-burung berkicau dengan merdu, dan di alam nan indah itu hanya terdapat dirinya bersama Lu Leng, duduk berdampingan sambil mencurahkan isi hati masing-masing dan saling memadu cinta. Berselang beberapa saat kemudian keringat sebesar kacang hijau sudah mengucur dari kening Toan Bok Ang. Badannya tampak condong dan akhirnya roboh di lantai. Akan tetapi wajahnya tampak berseri-seri penuh kegembiraan.

Ketika menyaksikan keadaan Toan Bok Ang, tak tertahan Kou Hun Siu membuka mulut. "Pat Liong Thian Im yang dimiliki Ci Cun sungguh tiada tanding di kolong langit!"

Liok Ci Khim Mo tertawa terkekeh. "Bukalah jalan darah Sim Tit dulu!"

Jari tangan Liok Ci Khim Mo tetap tidak berhenti, sedangkan Kou Hun Siu langsung melesat ke dalam ruang batu, lalu membuka jalan darah Oey Sim Tit. Oey Sim Tit segera berhambur ke luar, kemudian mengambil Busur Api yang ada di mulut Toan Bok Ang, barulah menarik nafas lega. Setelah itu dia memandang gadis itu seraya berkata pada Liok Ci Khim Mo yang masih memetik tali senar harpa kunonya.

"Ayah! Dia sudah terluka parah!"

“Tunggu dia mati dulu baru bicara!" sahut Liok Ci Khim Mo dengan dingin.

Oey Sim Tit langsung diam.

"Kalau kami terlambat datang tadi, kau pasti sudah mati di tangannya. Apakah kau masih belum tahu bagaimana isi hatinya? Masih ingin bermohon ampun untuknya?" lanjut Liok Ci Khim Mo.

Oey Sim Tit tertegun. Dia memeluk Busur Apinya erat-erat sambil mundur beberapa langkah. Sementara Pat Liong Thian Im terus mengalun, namun tiba-tiba nadanya berubah menjadi cepat dan tinggi. Seketika wajah Toan Bok Ang tampak menderita sekali, makin lama makin tak sedap dipandang, dan keringatnya pun terus mengucur di sekujur badannya. Oey Sim Tit tidak berani menyaksikan keadaan Toan Bok Ang. Dia menundukkan wajahnya dalam-dalam hingga menyentuh dinding batu yang amat dingin. Hatinya pun amat menderita sekali.

Sekarang kita tinggalkan dulu Toan Bok Ang. Kita kembali pada Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen suami isteri. Mereka bertiga tidak berani memastikan, apakah Jala Bumi berada pada Kou Hun Siu atau tidak. Karena itu mereka bertiga tidak berani bertindak sembarangan. Berselang beberapa saat kemudian Seh Cing Hua melihat kembang api isyarat warna putih meluncur ke atas menembus angkasa. Begitu melihat isyarat kembang api warna putih itu, tersentaklah hati Seh Cing Hua.

"Liok Ci Khim Mo datang!" serunya dengan suara rendah memberitahukan.

Mengetahui hal itu Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen juga jadi sama-sama tersentak. Sementara itu Kou Hun Siu juga telah melihat kembang api warna putih, namun apa yang Seh Cing Hua pesankan pada Toan Bok Ang, dia tidak mendengarnya, maka tidak tahu kalau kembang api itu merupakan isyarat Seh Cing Hua. Sebaliknya Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek malah mengira kembang api itu adalah tanda dari pihak istana Ci Cun Kiong, bahwa tidak lama lagi Liok Ci Khim Mo akan tiba di situ. Oleh karena itu dia ingin mengulur waktu menunggu kemunculan Liok Ci Khim Mo.

Kou Hun Siu memandang kembang api putih itu sejenak, kemudian berkata, "Apakah kalian bertiga merasa takut melihatku di sini? Ingin kabur seperti pengecut?"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tertawa gelak. "Hahaha! Benar katamu, kami ingin meninggalkan senjata andalan kami, lalu kabur terbirit-birit!" sahut orang tua itu menyindir.

Mendengar hal itu wajah Kou Hun Siu langsung memerah. Tentu hatinya pun tahu bahwa Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menyindirnya. Sebab saat berada di Lorong Rahasia dia melarikan diri ketika kehilangan senjatanya. Akan tetapi kemudian Kou Hun Siu tertawa kering dan menjawab, "Aku hanya mengambil langkah seribu, itu yang disebut tahu gelagat dan situasi. Kalian bertiga adalah orang gagah, tentunya tidak akan melarikan diri, kan?"

Seh Cing Hua tertawa cekikikan. Ia lalu berkata dengan nyaring, "Tua bangka, kau telah keliru! Kami bertiga justru mau kabur!"

Tersentak hati Kou Hun Siu, sebab sebentar lagi Liok Ci Khim Mo akan tiba di tempat itu. Kalau mereka bertiga kabur, bukankah akan menimbulkan banyak kerepotan di kemudian hari? "Kalau hanya begini saja kalian kabur, bagaimana kelak kalau diketahui orang?" sindirnya lagi mencoba mencari akal.

Kou Hun Siu ingin memanasi hati mereka agar tidak meninggalkan tempat itu. Seandainya Seh Cing Hua dan lainnya tidak tahu Liok Ci Khim Mo akan segera tiba, sudah pasti mereka tidak akan pergi. Namun saat ini kalau banyak bicara tentunya akan membuang waktu dan bertambah bahaya, maka harus mengambil langkah seribu.

"Di saat kami bertemu kau lagi, justru sudah saatnya kau jadi hantu! Lantaran kau bukan orang, sudah pasti kami takut bertemu hantu!" sahut Seh Cing Hua.

Usai berkata begitu, Seh Cing Hua, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen melesat pergi. Dalam waktu sekejap mereka bertiga sudah hilang dari mata Kou Hun Siu. Kou Hun Siu tidak berani mengejar mereka, hanya berteriak sekeras-kerasnya.

"Saat ini kalian bertiga melarikan diri, tapi akhirnya juga akan masuk ke dalam perangkap istana Ci Cun Kiong!"

Bagaimana mungkin Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Seh Cing Hua mendengar suara teriakannya sedangkan mereka bertiga telah melesat pergi beberapa mil. Namun ternyata mereka bertiga masih mendengar suara sayup-sayup teriakan Kou Hun Siu. Hal itu membuat hati mereka bertiga jadi tertegun. Setelah beberapa mil barulah mereka bertiga berhenti.

"Saudara Tong Hong, apa artinya yang dikatakan Kou Hun Siu tadi?" tanya Tam Sen.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menyahut, "Aku justru sedang memikirkan itu. Mungkinkah Lu Leng berempat telah jatuh ke tangannya maka dia berani memastikan kita akan ke sana?"

"Aku pikir tidak mungkin! Kalau pun tidak memiliki Can Thian Cin dan Liang Siang Lun kedua benda pusaka itu, dengan menggunakan Kim Kong Sin Ci dan Thay Im Ciang juga masih dapat mengatasi Kou Hun Siu! Ya, kan?" ujar Seh Cing Hua.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menyahut dengan suara dalam, "Tapi tua bangka itu telah memperoleh Jala Bumi."

Mereka bertiga terus menganalisa semua itu. Namun kesimpulannya tetap saja mereka tidak tahu Lu Leng dan lainnya pergi ke mana.

Berselang sesaat Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata lagi, "Menurutku mereka berempat meninggalkan lembah itu secara mendadak. Dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka berpencar pergi mencari Toan Bok Ang. Kalau benar begitu, kini mereka berempat pasti sudah kembali ke lembah itu!"

"Kemungkinan kedua?" tanya Seh Cing Hua.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek mengernyitkan kening seakan sedang berpikir. "Kemungkinan kedua... tentunya berada di dalam Jala Bumi itu!"

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen berpikir sejenak, kemudian berkata, "Kalau mereka berempat berada di dalam Jala Bumi, sulit pula bagi Kou Hun Siu membawa mereka pergi. Apabila Liok Ci Khim Mo tiba, sudah pasti Kou Hun Siu akan membawanya pergi melampiaskan kegusarannya terhadap Lu Leng berempat!"

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Seh Cing Hua berpikir. Mereka berdua merasa apa yang dikatakan Tam Sen masuk akal.

Tong Hong Pek segera berkata, "Kalau begitu mari kita cepat-cepat kembali ke lembah itu melihat-lihat. Apabila mereka tidak berada di situ, kita terpaksa harus menguntit di belakang Liok Ci Khim Mo agar mengetahui jejak Lu Leng dan lainnya."

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Seh Cing Hua mengangguk. Baru saja mereka hendak beranjak pergi, mendadak terdengar sayup-sayup suara petikan harpa, lalu tampak pula cahaya obor di kejauhan. Jelas itu pasti suara Pat Liong Thian Im. Namun jarak begitu jauh, membuat mereka tidak terpengaruh. Mereka tahu Liok Ci Khim Mo sudah tiba di tempat tadi. Tanpa membuang waktu lagi ketiganya langsung melesat ke arah lembah itu. Tak seberapa lama kemudian mereka sudah tiba di lembah yang dituju. Namun tiada seorang pun berada di dalam lembah itu. Karena itu mereka segera mundur dari lembah tersebut.

Namun tiba-tiba Seh Cing Hua melihat suatu benda. "lh!" seru Seh Cing Hua terbelalak. "Kalian lihat, apa ini?"

Dia segera memungut benda tersebut. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan Cit Sat Sin Kun memandang benda itu, seketika hati mereka jadi dingin. Benda yang di tangan Seh Cing Hua ternyata sebilah belati, yaitu Song Ciok Cit! Belati kecil itu berada pada Tam Goat Hua. Tentunya gadis itu tahu itu adalah belati pusaka, tidak mungkin dia tidak berhati-hati menyimpannya. Kini benda tersebut berada di situ, menandakan kalau mereka berempat telah mengalami hal-hal yang tak diinginkan.

"Cepat! Sebelum Liok Ci Khim Mo pergi jauh, kita ikuti saja cahaya obor mereka!" usul Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek setelah berpikir tentang Tam Goat Hua dan kawan-kawan.

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Seh Cing Hua mengangguk, lalu melesat laksana kilat meninggalkan tempat itu. Lima enam mil kemudian mereka sudah melihat cahaya obor. Namun karena tidak ingin terlampau dekat, mereka langsung memperlambat langkah masing-masing. Namun tiba-tiba mereka melihat ada keanehan. Obor-obor itu dibawa ke sana-ke mari, lalu berhenti dan bergerak ke depan lagi.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Seh Cing Hua cepat-cepat mengikuti dari belakang. Hanya tampaknya mereka tidak ke istana Ci Cun Kiong. Hal itu tentu saja membuat ketiganya terheran-heran. Kira-kira tujuh-delapan mil barulah obor-obor itu berhenti. Mereka bertiga melesat maju setengah mil, lalu bersembunyi di balik sebuah pohon besar untuk mengintai para pembawa obor itu.

Di bawah sinar obor tampak seekor kuda tinggi besar. Duduk di punggung kuda itu Liok Ci Khim Mo. Di sisinya berdiri Kou Hun Siu dan terlihat beberapa orang membawa obor juga duduk di punggung kuda. Tempat itu merupakan sebidang tanah kosong. Kou Hun Siu tampak menunjuk ke sana ke mari, kelihatannya juga sedang mengatakan sesuatu. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek bertiga masih berjarak setengah mil lebih, maka tidak dapat mendengar apa yang dikatakannya.

Berselang sesaat Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata, "Kalian sudah lihat, banyak mayat tergeletak di tanah!"

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Seh Cing Hua mengangguk. "Apa artinya itu?" tanya keduanya.

Di saat mereka bercakap-cakap, mendadak tampak Kou Hun Siu keluar dari barisan dan berjalan menuju ke sebuah pohon yang patah dahannya. Dia mengatakan sesuatu lagi, tapi tidak terdengar sama sekali.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tampak berpikir keras. "Aku lihat cepat atau lambat Liok Ci Khim Mo pasti kembali ke istana Ci Cun Kiong!" ujarnya kemudian. "Kita tunggu saja. Kalau dia pergi, kita pergi juga melihat-lihat agar tahu jelas apa yang terjadi di sana!"

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Seh Cing Hua mengangguk. Mereka pun terus menunggu dengan sabar. Kira-kira setengah jam kemudian tampak Liok Ci Khim Mo menarik tali kuda, ternyata dia meninggalkan tempat itu kembali ke istana Ci Cun Kiong. Yang lain tampak bergerak mengikutinya dari belakang.

Perlu diketahui, sebelum Liok Ci Khim Mo naik ke atas undakan batu, dia sudah tahu Toan Bok Ang menerjang ke dalam istana. Liok Ci Khim Mo dan Kou Hun Siu segera menerjang ke atas, sekaligus berpesan beberapa patah kata pada Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau, lalu memasuki ruang bawah tanah. Di saat mereka berdua tiba di situ, kebetulan Toan Bok Ang telah berhasil merebut Busur Api dari tangan Oey Sim Tit, lalu melesat ke luar. Namun Liok Ci Khim Mo dan Kou Hun Siu telah berdiri di sana. Apa yang terjadi di sana telah diceritakan di atas.

Sementara Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Seh Cing Hua yang tadi bersembunyi segera keluar setelah Liok Ci Khim Mo dan lainnya pergi. Mereka bertiga melesat ke arah tanah kosong itu. Sampai di sana Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan.

Setelah memperhatikan mayat-mayat itu sejenak, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata, "Lu Leng berempat pernah berada di sini bertarung dengan orang-orang istana Ci Cun Kiong!"

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen manggut-manggut. "Tidak salah! Wajah kedua mayat itu menghitam, sudah pasti terkena pukulan Thai Im Ciang. Yang hancur tulangnya terkena pukulan Kim Kong Sin Ci!"

Mendadak Seh Cing Hua memungut sebuah senjata yang telah kutung, lalu berkata pada Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. "Lihatlah!"

Tam Sen dan Tong Hong Pek langsung memandang senjata kutung itu.

"Senjata itu dikutung oleh Can Thian Cin?" tanya Tong Hong Pek.

Seh Cing Hua mengangguk. "Betul!"

"Kelihatannya mereka bertarung di atas angin!" ujar Tong Hong Pek lagi.

"Aku tahu. Pasti ketika mereka sedang bertarung, mendadak muncul Kou Hun Siu!" tukas Seh Cing Hua.

Tong Hong Pek mengerutkan kening. "Kalau begitu, mereka berempat berada di mana sekarang?"

"Tadi aku sudah melihat dahan pohon yang patah itu, paling juga baru berlalu dua jam!" ujar Tam Sen.

Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tampak kembali mengernyitkan kening. Diam-diam ia berpikir keras. "Masih ada satu pertanyaan. Kalau benar mereka berempat bertemu orang-orang istana Ci Cun Kiong, lalu bagaimana belati milik Goat Hua berada di dalam lembah itu?" tanya Tong Hong Pek kemudian.

Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Seh Cing Hua tidak dapat memecahkan persoalan tersebut. Mereka bertiga amat gelisah dalam hati.

Setelah berunding sejenak, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek berkata, "Tiada gunanya jika terus berpikir di sini. Kita harus cepat berpencar pergi mencari mereka. Kalau ada jejak mereka, segera melepaskan kembang api isyarat!"

Seh Cing Hua cepat-cepat mengeluarkan dua batang kembang api, dibagikan kepada Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan suaminya. Setelah itu mereka bertiga berpencar pergi mencari Lu Leng berempat.

Sesungguhnya semua peristiwa di lembah itu terjadi sesudah Toan Bok Ang meninggalkan lembah tersebut secara diam-diam. Walau saat itu awan gelap menutupi langit, namun berselang beberapa saat setelah Toan Bok Ang pergi awan gelap itu buyar terhembus angin dan bulan mulai menampakkan diri.

Saat itulah Tam Goat Hua mengeluarkan suara seruan. "Di mana nona Toan?"

Begitu mendengar suara seruan Tam Goat Hua, Lu Leng, Tam Ek Hui dan Han Giok Shia segera menengok ke sana-ke mari. Barulah kemudian mereka sadar bahwa Toan Bok Ang sudah tidak berada di dalam lembah.

"Jarak dari sini ke istana Ci Cun Kiong tidak begitu jauh. Kalau Nona Toan pergi seorang diri pasti akan celaka!" ujar Tam Ek Hui.

"Kita harus segera pergi mencarinya!" sahut Tam Goat Hua.

Maka keempat muda-mudi itu melesat ke luar meninggalkan lembah. Dan ketika baru tiba di mulut lembah, mendadak terdengar suara bentakan.

"Siapa?!"

Bentakan itu kedengarannya seperti di tempat jauh, namun suaranya amat nyaring dan mengejutkan. Seketika keempatnya kaget dan langsung berhenti. Mereka saling memandang dengan kening berkerut. Belum sempat mereka berbuat sesuatu sudah terdengar suara langkah, menyusul tampak pula cahaya obor. Walau masih berjarak dua tiga puluh depa, tapi Lu Leng dan lainnya sudah melihat orang yang berjalan di depan. Orang itu tak lain adalah Kou Hun Siu. Terlihat belasan orang mengikuti di belakangnya. Bukan main terkejutnya Lu Leng berempat.

Tam Goat Hua segera berkata dengan suara rendah, "Celaka! Jejak kita telah ketahuan oleh Kou Hun Siu, kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini!"

Han Giok Shia tercengang. "Mengapa kita takut pada mereka?"

"Bukan takut pada mereka, melainkan takut pada Liok Ci Khim Mo!" sahut Tam Goat Hua. "Kalau bertarung melawan mereka di sini, sudah pasti Liok Ci Khim Mo akan datang ke mari. Kita tidak mampu melawannya! Namun ayah dan yang lain tidak tahu akan hal ini, apabila mereka kembali tentunya akan celaka!"

Tam Ek Hui manggut-manggut. "Benar!"

"Kalau guru dan mereka kembali tidak bertemu kita, lantas bagaimana?" kata Lu Leng.

Di saat mereka berbicara Kou Hun Siu dan lainnya sudah makin dekat, hanya berjarak enam tujuh depa saja.

Tam Goat Hua segera berkata, "Aku punya ide. Aku akan menaruh belati pusaka di mulut lembah! Kalau mereka kembali ke situ, begitu melihat belati pusaka ini pasti tahu kita telah bertemu musuh tangguh!"

Tam Ek Hui ingin mengatakan, Song Ciok Cit belati itu merupakan benda pusaka rimba persilatan, tidak bisa begitu saja ditaruh di tempat ini. Akan tetapi ketika dia baru mau membuka mulut, Kou Hun Siu dan lainnya justru sudah semakin dekat. Tam Goat Hua segera melempar belati pusaka itu ke tanah, lalu bersiul panjang. Seketika itu mereka berempat langsung melesat pergi. Mereka hanya berharap dapat memancing Kou Hun Siu dan lainnya meninggalkan lembah itu.

Tak lama kemudian keempatnya sudah sampai di sebuah rimba yang terdapat sebidang tanah kosong. Sementara Kou Hun Siu dan lainnya terus mengejar dengan membawa obor. Keempat muda-mudi itu ternyata berhenti di tanah kosong. Ketika mereka membalikkan badan, tampak belasan orang mengejar sampai di situ! Namun anehnya, di antara orang-orang itu tak tampak Kou Hun Siu.

Ternyata hari itu setelah menghentikan semua perangkap Lorong Rahasia, Kou Hun Siu segera pergi ke dalam gudang pusaka. Dia mengambil Jala Bumi, disimpan ke dalam baju. Setelah itu segera pula menjulurkan tangannya untuk mengambil Seng Kim. Ketika tangannya hampir menjamah benda pusaka itu, mendadak ia menarik kembali tangannya. Ternyata di dalam gudang pusaka sudah tidak ada apa-apa.

Semua perangkap yang ada di situ sudah tidak berfungsi. Lalu mengapa mendadak dia menarik kembali tangannya dan tidak berani mengambil Seng Kim itu? Ternyata dia teringat akan pesan Mo Liong Seh Sih, siapa yang berhasil memasuki gudang pusaka hanya diperbolehkan mengambil satu macam benda pusaka saja. Siapa yang berani mengambil lebih, pasti mati mengenaskan. Kini walau semua perangkap sudah tidak berfungsi, namun ingat Toan Bok Ang pernah mengatakan sebagian perangkap di situ tidak dikendalikan dari pusat penggerak yang di bawah air terjun.

Kou Hun Siu tidak berani memastikan benar atau tidaknya perkataan Toan Bok Ang itu. Kalau berani coba menempuh bahaya, mungkin akan berhasil mengambil semua benda pusaka yang ada di situ. Akan tetapi mendadak pikirannya itu berubah. Berdasarkan kepandaiannya dan ditambah Jala Bumi, mungkin dirinya sudah tiada tanding di dunia persilatan. Karena itu, untuk apa harus menempuh bahaya mengambil benda pusaka lain? Berpikir begitu Kou Hun Siu tidak berani mengambil benda pusaka lain, sebaliknya malah cepat-cepat meninggalkan gudang pusaka tersebut.

Tak lama setelah Kou Hun Siu meninggalkan Lorong Rahasia itu, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan lainnya sudah menggerakkan pusat penggerak semua perangkap yang di dalam Lorong Rahasia. Kou Hun Siu tidak tahu akan hal tersebut. Dia justru menganggap semua perangkap yang ada di situ berfungsi sendiri. Tentu saja dia jadi mempercayai apa yang dikatakan Toan Bok Ang dan bersyukur dalam hati, dirinya tidak serakah dan telah meninggalkan gudang pusaka itu. Kalau tidak, nyawanya pasti melayang di sana. Justru karena itu, yang beruntung adalah Tam Ek Hui dan lainnya. Mereka memperoleh benda-benda pusaka itu.

Kou Hun Siu yang telah memperoleh Jala Bumi langsung kembali ke istana Ci Cun Kiong. Baru satu hari tiba di istana sudah terdengar informasi bahwa ada beberapa orang yang mencurigakan sedang menuju ke arah istana. Yang dimaksudkan orang-orang mencurigakan itu sesungguhnya adalah Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, Cit Sat Sin Kun-Tam Sen, Seh Cing Hua, Lu Leng dan lainnya berjumlah delapan orang.

Mereka melakukan perjalanan dengan hati hati, namun di setiap penjuru ada anggota istana Ci Cun Kiong. Maka kalau terjadi sesuatu, para anggota di setiap daerah menggunakan kuda jempolan menuju ke istana Ci Cun Kiong untuk melapor. Dalam waktu beberapa hari laporan tersebut pasti sudah sampai di tempat tujuan. Setelah menerima laporan itu Kou Hun Siu sudah menerka, di antara orang-orang itu pasti terdapat Cit Sat Sin Kun-Tam Sen suami isteri. Oleh karena itu dia membawa dua belas jago tangguh untuk mencari mereka.

Ia justru menemukan Tam Goat Hua berempat, namun tidak melihat Cit Sat Sin Kun-Tam Sen suami isteri. Dia pun berpikir. Dua belas orang yang dibawanya merupakan pesilat tangguh golongan hitam, tidak mungkin tidak mampu melawan mereka berempat. Maka dia mengambil keputusan untuk mencari yang lain guna menjajal keampuhan Jala Bumi yang diperolehnya belum lama ini. Sebab itu ketika kedua belas pesilat tangguh golongan hitam pergi mencari Lu Leng berempat, dia memisahkan diri untuk pergi mencari Cit Sat Sin Kun-Tam Sen suami isteri dan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Kejadian itu telah diceritakan di atas.

Sementara Lu Leng dan lainnya yang tidak melihat Kou Hun Siu bersama orang-orang itu langsung menarik nafas lega. Sedangkan kedua belas orang itu segera mengepung mereka berempat. Tam Ek Hui menatap semua orang itu, di antaranya ada yang dikenalnya.

"Kalian berjumlah dua belas orang, kami cuma berempat. Itu berarti tiga lawan satu! Bagaimana jika berpencar agar tidak kacau balau?" seru Tam Ek Hui sambil tertawa panjang.

Salah seorang bertampang bengis, tangannya memegang sebuah martil tembaga. Dia langsung membentak dengan mata menatap Tam Ek Hui. "Setan kecil! Ajalmu sudah tiba, kenapa masih tenang-tenang saja?"

Tam Ek Hui tertawa lagi. "Tentunya kau tahu! Ya, kan?" sahutnya tenang.

Usai menyahut Tam Ek Hui langsung melesat ke hadapan orang itu. Orang bengis itu pun segera mengayunkan martil tembaga yang di tangannya, menyerang Tam Ek Hui. Tam Ek Hui membungkukkan badannya sedikit dan tahu-tahu sudah mengeluarkan senjata Can Thian Cin. Tampak cahaya hijau berkelebat menyambut martil tembaga itu.

“Trang!” terdengar suara benturan senjata, martil tembaga itu telah kutung.

"Aaaakh...!" jeritan menyayat terdengar menyusul dentang keras tadi.

Ternyata sebagian kepala orang itu telah terpapas, darah pun langsung mengucur deras membasahi tubuhnya. Begitu melihat Tam Ek Hui berhasil membunuh salah seorang itu hanya dengan satu jurus, Han Giok Shia bersiul panjang kemudian menggerakkan senjata.

Perlu diketahui, sepasang roda yang ada di ujung senjatanya telah diganti dengan Liang Siang Lun, benda pusaka yang diperolehnya dari gudang pusaka. Tampak dua orang menangkis senjatanya dengan pedang. Akan tetapi mendadak Han Giok Shia mengeluarkan jurus Hong Hoang Tiam Thau (Burung Phoenix Memanggutkan Kepala).

“Trang! Trang!” terdengar suara benturan senjata dua kali.

Tampak kedua orang itu terkejut dan langsung meloncat mundur saat melihat pedang di tangan mereka ternyata sudah kutung. Mereka seperti tak percaya melihat hal itu. Sementara Han Giok Shia merasa gembira mengetahui senjatanya ternyata begitu hebat, maka ia segera maju dan langsung menyerang dengan jurus Hong Hoang Can Pheng (Burung Phoenix Mengembangkan Sayap). Terdengar suara jeritan dua kali, kedua orang itu roboh berlumuran darah!

Lu Leng dan Tam Goat Hua yang melihat mereka berdua begitu turun tangan sudah berhasil membunuh tiga orang, segera pula bersiul panjang dan menyerang orang-orang itu. Walau kedua belas orang itu merupakan pesilat tangguh dari golongan hitam, namun bagaimana mungkin kepandaian mereka dapat menandingi kepandaian Lu Leng dan lainnya. Begitu turun tangan, Lu Leng langsung menggunakan ilmu Kim Kong Sin Ci, mengeluarkan jurus Sing Hong Cak Yun (Sepasang Puncak Menembus Awan).

“Bum! Bum!” terdengar seperti suara ledakan dua kali, kemudian disusul jeritan yang menyayat hati. Tampak dua orang terpental lalu roboh dan tak bergerak lagi. Tewas!

Tam Goat Hua juga telah menyerang dengan rantai besi. Salah seorang terhantam ujung rantai besi itu.

“Praak!” orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah, lalu roboh pula dan muntah darah.

Dalam waktu sekejap sudah sebelas orang roboh binasa, masih tersisa satu orang. Ternyata orang itu begitu melihat teman-temannya roboh binasa satu persatu, langsung menyembunyikan diri di balik sebuah pohon. Setelah melihat teman-temannya binasa semua, orang itu ketakutan setengah mati dan segera melarikan diri!

Akan tetapi Tam Ek Hui langsung berseru. "Jangan membiarkannya pergi melapor!"

Han Giok Shia cepat-cepat melesat ke arah orang itu dan langsung melancarkan sebuah pukulan Thai Im Chiang.

"Aaaakh...!” orang itu roboh seketika dan menggelepar-gelepar, berselang sesaat barulah mati dengan wajah berubah kehitam-hitaman!

Tam Ek Hui, Lu Leng, Tam Goat Hua dan Han Giok Shia memandang mayat-mayat itu. Kemudian Han Giok Shia tertawa. "Haha! Hari ini baru bisa melampiaskan kedongkolan di dalam hati, puaslah hatiku sekarang!”

"Entah guru dan lainnya sudah kembali atau belum? Kita harus segera kembali ke lembah itu!" usul Lu Leng.

Tam Ek Hui mengerutkan kening. "Heran! Mengapa Kou Hun Siu hilang mendadak?" gumamnya.

Tiba-tiba terdengar suara tawa kering. Setelah itu terdengar pula suara orang bernada kering pula, "Ternyata masih ada orang merindukan aku!"

Dengan terkejut mereka berempat segera menoleh ke samping. Tampak seorang tua berdiri tak jauh dari situ. Orang itu ternyata Kou Hun Siu! Walau mereka berempat merasa terkejut akan kemunculan Kou Hun Siu, tapi yakin dalam hati bahwa mereka berempat masih sanggup melawannya.

Kou Hun Siu menatap mereka dengan tajam, lalu memandang mayat-mayat yang tergeletak di tanah. "Ombak belakang mendorong ombak depan. Kalian berempat masih muda, tapi sudah berkepandaian begitu tinggi!" ujar orang itu itu memuji.

Tam Goat Hua menyahut, "Kou Hun Siu, kau tahu dirimu tidak mampu melawan?"

Kou Hun Siu tertawa panjang. "Kalian berempat jangan lupa, jahe tua lebih pedas dari jahe muda, lho!" ujarnya masih dengan diiringi suara tawa keringnya.

Tam Ek Hui segera menyahut, "Tidak salah, jahe tua memang lebih pedas! Namun senjata andalan si jahe tua justru sudah berada di tangan kami. Itu pertanda semakin tua semakin pikun!"

Kejadian hilangnya pusaka itu tentu sangat memalukan bagi Kou Hun Siu, maka dapat dibayangkan betapa gusarnya Kou Hun Siu mendengar itu. Akan tetapi dia amat licik sehingga tidak tersirat pada wajahnya, hanya terdengar suara tawanya yang dingin. "Kalah atau menang merupakan hal yang wajar. Lihat, malam ini apakah aku berhasil atau tidak merebut kembali senjataku itu?"

Mendengar percakapan itu Han Giok Shia sudah tidak sabaran. Tangannya memegang Liang Siang Lun lalu membentak dengan sengit. "Kalau begitu, cepatlah kau turun tangan!"

Kou Hun Siu sudah mengenali senjata yang di tangan Tam Ek Hui. Namanya Can Thian Cin, benda pusaka dari gudang di Istana Iblis! Saat dia memandang ke arah Han Giok Shia, segera pula mengenali sepasang roda bundar itu yang merupakan benda pusaka golongan Buddha! Begitu melihat senjata itu, Kou Hun Siu pun tersentak dalam hati. Dia segera mundur beberapa langkah seraya mengeluarkan senjata pusakanya, yaitu Jala Bumi!

Ketika melihat Kou Hun Siu mundur, Han Giok Shia mengira Kou Hun Siu ingin melarikan diri. Maka dia segera maju sambil menyerang dengan jurus Hong Hoang Tong Seng (Burung Phoenix Lahir Kembali), seketika senjata Jit Goat Soh Sim Lun-nya berkelebat-kelebat menimbulkan angin yang menderu-deru. Kou Hun Siu cepat-cepat mundur setindak. Saat bersamaan tampak sepasang lengan jubahnya menggembung, lalu dikibaskan ke arah Han Giok Shia. Han Giok Shia yang sudah tidak sempat berkelit terpaksa menyambut serangan itu dengan jurus Sio Ngo Peng Goat (Bidadari Mengejar Bulan). Kedua tenaga itu beradu, terlihat Han Giok Shia mundur selangkah.

Lu Leng dan lainnya yang melihat Han Giok Shia sudah berada di bawah angin langsung bersiul panjang sambil menerjang ke arah Kou Hun Siu. Sejak memperoleh Jala Bumi, Kou Hun Siu tidak pernah menggunakan senjata tersebut. Ketika melihat mereka bertiga menerjang ke arahnya, diam-diam dia bergirang dalam hati sebab dia justru tak ingin mereka berpencar karena akan sulit menangkap dengan Jala Bumi. Kini mereka menerjang ke arahnya serentak, maka dia ingin menangkap mereka semua.

Kou Hun Siu memekik aneh dan mendadak badannya mencelat ke atas sekitar tiga depa tingginya. Lu Leng mendengus, lalu dia pun ikut mencelat ke atas. Namun Tam Goat Hua segera berseru memperingatkan.

"Adik Leng, hati-hati Jala Buminya...!"

Meski pun Tam Goat Hua begitu cepat berseru, tapi gerakan Kou Hun Siu ternyata jauh lebih cepat. Mendadak Kou Hun Siu bersiul panjang. Bersamaan dengan itu Lu Leng berempat pun merasa di depan mata tiba-tiba berubah gelap, sepertinya ada awan gelap menutupi mereka.

Mengetahui hal itu Tam Goat Hua berteriak, "Kita harus menerjang ke samping!"

Mereka berempat pernah mendengar dari Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tentang kelihayan Jala Bumi. Saat ini awan gelap yang menutup di atas kepala mereka pasti Jala Bumi yang dimaksudkan itu. Oleh karena itu begitu mendengar suara teriakan Tam Goat Hua, Lu Leng dan lainnya bergerak cepat melesat ke samping. Gerakan mereka berempat cepat sekali, akan tetapi jala itu justru melebar belasan depa sehingga membuat mereka membentur sesuatu, sulit untuk melesat pergi lagi.

Saat ini mereka berempat sudah berpencar, maka tidak tahu keadaan satu sama lain. Mereka berempat merasa berada di tempat yang amat gelap, namun senjata Can Thian Cin yang di tangan Tam Ek Hui malah semakin memancarkan cahaya. Ternyata mereka berempat berada di dalam jala yang amat halus, tidak tampak pemandangan di luar. Tam Ek Hui menggerakkan senjatanya ke depan, namun Can Thian Cin itu tidak dapat merobek jala tersebut. Bukan main terkejutnya Tam Ek Hui.

"Aku sudah terkurung di dalam Jala Bumi! Bagaimana kalian?" Tam Ek Hui berteriak.

Terdengar Lu Leng, Tam Goat Hua dan Han Giok Shia menyahut serentak, "Kami juga terkurung di dalam Jala Bumi!"

Walau jarak mereka agak jauh, tapi sama-sama terkurung di dalam Jala Bumi. Hanya saja mereka terpencar di empat sudut dan sulit sekali untuk meloloskan diri.

Kou Hun Siu tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Kalian ingin lolos, itu lebih sulit dari mendaki langit."

Usai berkata, dia menyeret jala itu ke sebuah pohon lalu diikatkannya ujungnya pada pohon tersebut. Setelah itu dia tertawa gelak lagi sambil meninggalkan tempat itu. Setelah meninggalkan tempat itu Kou Hun Siu baru bertemu Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek dan lainnya. Pada waktu itu Kou Hun Siu memang tidak membawa Jala Bumi. Kalau Giok Bin Sin Kun, Cit Sat Sin Kun dan Seh Cing Hua tahu akan hal itu, mungkin Kou Hun Siu sudah mati di tempat itu.

Mengapa Kou Hun Siu berani meninggalkan Lu Leng dan lainnya yang terkurung di dalam Jala Bumi? Karena dia tahu bahwa Jala Bumi mengandung racun, satu jam kemudian mereka berempat pasti akan mati di dalam jala itu. Ketika Kou Hun Siu pergi sambil tertawa gelak, Lu Leng dan lainnya berusaha keluar dari dalam jala, tapl sia-sia sebab mereka tak berdaya sama sekali. Jangankan keluar, mau saling berdekatan pun tidak bisa.

Han Giok Shia yang tidak sabaran langsung mencaci maki, "Apa Liang Siang Lun tiada gunanya sama sekali? Kalau tidak dapat merobek Jala Bumi ini, lalu terhitung benda pusaka apa?"

"Adik Han, jangan berkata begitu! Setiap benda pasti ada lawannya, bukan Liang Siang Lun tiada gunanya," sahut Tam Goat Hua dengan suara dalam.

Han Giok Shia menghela nafas panjang. "Aaah! Kalau kita tidak bisa keluar dari jala ini, apa gunanya?" keluhnya.

"Kakak, senjata Can Thian Cin masih berada di tanganmu?" tanya Tam Goat Hua kepada Tam Ek Hui dengan suara dalam.

"Ada!" sahut Tam Ek Hui.

"Kakak Goat, aku sudah pikirkan itu. Mungkin dengan senjata itu kita bisa keluar dari jala ini," sela Lu Leng.

"Aku sependapat denganmu," sahut Tam Goat Hua.

Akan tetapi Tam Ek Hui justru menghela nafas panjang.

"Mengapa kau menghela nafas?" tanya Han Giok Shia.

"Tadi aku sudah mencoba merobek jala ini dengan senjata Can Thian Cin, namun tiada hasilnya," sahut Tam Ek Hui.

Mendengar itu Han Giok Shia jadi putus asa. "Yaaaah! Kalau begitu..." keluhnya.

"Kakak, kau mengerahkan lweekang?" tanya Tam Goat Hua.

"Tadi aku tidak mengerahkan lweekang..." sahut Tam Ek Hui.

"Kakak, cobalah gunakan senjata Can Thian Cin itu, dan kerahkan lweekang-mu!" kata Tam Goat Hua.

Tam Ek Hui menurut. Dia mengerahkan lweekang-nya, lalu menggunakan senjata Can Thian Cin untuk merobek jala tersebut. Akan tetapi tetap tiada hasilnya!

"Bagaimana? Apakah jala ini sudah berlubang?" tanya Han Giok Shia.

Tam Ek Hui menghela nafas. "Senjata Can Thian Cin sama sekali tidak dapat merobek Jala Bumi."

Han Giok Shia langsung mendamprat. "Can Thian Cin! Senjata pusaka apa itu? Tiada gunanya...."

Mendadak Tam Goat Hua berseru dengan nada girang. "Aku punya akal!"

"Akal apa?" tanya Han Giok Shia.

"Kakak, gunakan senjata Can Thian Cin untuk menggali lubang!" sahut Tam Goat Shia.

Tam Ek Hui tercengang. "Untuk apa menggali lubang?" tanyanya tidak mengerti.

"Untuk mengubur diri kita barangkali," sela Han Giok Shia.

"Menggali lubang di tanah, mungkin kita bisa keluar dari lubang itu," kata Lu Leng sambil tertawa.

Tam Ek Hui bersorak kegirangan, kemudian menggunakan senjata Can Thian Cin menggali di tanah. Tak seberapa lama dia sudah berhasil menggali sebuah lubang di tanah dan langsung meloncat ke dalam. Setelah itu dia menggali lagi sebuah terowongan dari dalam lubang tersebut. Berselang beberapa saat dia berhasil menggali sebuah terowongan, lalu muncul di permukaan tanah tak jauh dari jala itu. Bukan main girangnya Tam Ek Hui.

"Aku sudah keluar! Aku sudah keluar...!" serunya.

Han Giok Shia segera menegurnya, "Cepat lepaskan kami! Jangan cuma bersorak-sorak seperti orang gila!" tegur Han Giok Shia.

"Baik!" sahut Tam Ek Hui.

Dia memandang jala itu, tampak ujungnya terikat pada sebuah pohon. Dia segera mendekati pohon itu, lalu melepaskan ikatan ujung jala. Mendadak dia menyentakkan jala itu ke atas, seketika juga Tam Goat Hua, Han Giok Shia dan Lu Leng melesat ke luar. Setelah mereka bertiga melesat ke luar, jala itu merosot ke bawah lagi. Mereka semua menarik nafas lega karena berhasil keluar dari jala. Perlahan-lahan Tam Ek Hui menarik jala itu. Sungguh menakjubkan, jala itu terus mengecil dan akhirnya menjadi sebesar telapak tangan.

"Tua bangka bangsat Kou Hun Siu itu entah pergi ke mana? Kita harus mencarinya untuk membuat perhitungan!" kata Han Giok Shia.

"Jangan terburu-buru! Jala itu mengandung racun. Cukup lama kita terkurung di dalamnya, tentunya kita sudah terkena racun. Lebih baik kita mencari suatu tempat yang sunyi untuk bersembunyi guna menghimpun hawa murni kita untuk mengusir racun dari tubuh kita," sahut Tam Goat Hua.

Han Giok Shia, Tam Ek Hui dan Lu Leng mengangguk, lalu segera melesat pergi. Mereka berhasil menemukan sebuah goa, lalu duduk menghimpun hawa murni di dalam goa itu. Tak seberapa lama setelah mereka berempat meninggalkan tempat itu, Kou Hun Siu justru membawa Liok Ci Khim Mo ke sana. Ketika melihat Lu Leng dan lainnya, bahkan Jala Buminya tidak kelihatan di sana, bukan main gusarnya Kou Hun Siu! Dia ingin segera pergi mencari mereka, namun Liok Ci Khim Mo khawatir ada orang memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerbu ke istana Ci Cun Kiong. Maka dia mengambil keputusan harus segera kembali ke istana Ci Cun Kiong. Walau Kou Hun Siu tidak begitu setuju, tapi tidak berani membantah.

Seandainya pada waktu itu Liok Ci Khim Mo mau menuruti kemauan Kou Hun Siu, sudah pasti Toan Bok Ang berhasil memperoleh Busur Api dan meninggalkan istana Ci Cun Kiong. Namun sungguh sayang sekali! Di saat Toan Bok Ang baru keluar dari pintu ruang rahasia bawah tanah, Liok Ci Khim Mo dan Kou Hun Siu sudah tiba di sana sehingga Toan Bok Ang terluka berat oleh Pat Liong Thian Im.

Toan Bok Ang sadar bahwa bayangan-bayangan tadi semuanya hanya merupakan khayalan karena dirinya telah terpengaruh Pat Liong Thian Im. Namun saat ini lukanya sudah terlampau parah. Walau dia paham dalam hati, tapi justru telah kehilangan kekuatan untuk melawan, boleh dikatakan sudah tak berdaya sama sekali. Perlahan-lahan Toan Bok Ang menoleh ke arah Oey Sim Tit yang kebetulan juga sedang memandang ke arahnya. Wajahnya bertambah buruk tak sedap dipandang.

Toan Bok Ang memanggilnya dengan suara lemah, "Saudara Oey...." Karena gadis itu membuka mulut, darah segarnya menyembur ke luar.

Oey Sim Tit menutup wajahnya. "Nona Toan, kau tak usah memanggilku. Tadi aku menyuruhmu cepat-cepat pergi, tapi kau tidak mau. Kini aku... aku tak mampu menolongmu."

Toan Bok Ang memandangnya. Dari nada ucapannya Oey Sim Tit masih ingin menolongnya, hanya saja dalam keadaan seperti itu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Toan Bok Ang ingin membuka mulut lagi, namun...

"Uaaakh...!" ternyata darah segarnya menyembur ke luar lagi.

Sementara Liok Ci Khim Mo bertambah gusar karena melihat Toan Bok Ang masih belum mati. Mendadak dia berhenti memetik tali senar harpa kunonya. Suasana di tempat itu berubah menjadi hening seketika. Toan Bok Ang menarik nafas lega, sedangkan Oey Sim Tit merasa girang.

"Ayah! Apakah ayah... bersedia melepaskan nona Toan?" tanya Oey Sim Tit kepada Liok Ci Khim Mo.

Kou Hun Siu juga bertanya dengan heran, "Mengapa Ci Cun berhenti?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar