Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 31

Lu Leng melihat kedua wanita itu berhati jujur dan amat setia kepada sang majikan, akhirnya dia menghela nafas panjang. "Kalau begitu kalian berdua tidak usah mempedulikanku. Biar aku pergi mencari sendiri, maka kalian berdua tidak melanggar pesan majikan kalian. Bukankah itu baik sekali?"

Mendengar kata-kata Lu Leng itu, mereka langsung berhenti menangis lalu tertawa seraya berkata. "Baik! Baik sekali! Hei! Maukah kau makan daging makhluk itu?"

Begitu teringat akan bentuk makhluk aneh itu, seketika perut Lu Leng merasa mual. "Tidak mau, tidak mau! Tapi perutku sudah lapar, tolong ambilkan makanan lain untukku!"

Kedua wanita itu mengangguk, lalu segera berjalan pergi setelah Lu Leng membuka tali pancingan yang mengikat mereka. Tak seberapa lama kemudian mereka berdua sudah kembali dengan membawa berbagai macam buah-buahan, dua ekor ikan besar dan semangkok nasi yang masih mengepulkan asap. Tanpa sungkan-sungkan lagi Lu Leng langsung bersantap dengan lahapnya hingga kenyang. Kedua wanita itu berdiri di hadapan Lu Leng dengan sikap hormat. Seusai Lu Leng makan, mereka berdua cepat-cepat membereskan semua itu.

Setelah kenyang, Lu Leng justru merasa telapak tangannya sakit sekali dan lima jari tangannya tidak bisa bergerak. Seketika dia berpikir, majikan istana ini bukan orang biasa, pasti menyimpan berbagai macam obat. Maka dia segera berkata.

"Tanganku terluka, apakah kalian berdua punya obat?"

Kedua wanita itu saling memandang sejenak. "Ada. Luka di tanganmu amat parah? Coba kami lihat!" kata wanita yang lebih tua.

Lu Leng membuka pembalut telapak tangannya. Dia menahan rasa sakit sambil memperlihatkan lukanya kepada kedua wanita itu. Saat ini Lu Leng merasa heran karena luka di telapak tangannya masih begitu sakit, padahal sudah lewat sekian lama, seharusnya sudah tidak terasa sakit lagi. Akan tetapi kini rasa sakitnya bukannya berkurang, malahan bertambah. Ketika membuka pembalut itu, Lu Leng amat berhati-hati sekali. Begitu pembalut itu terbuka, langsung tercium bau busuk.

"Haaah!" seru kedua wanita itu lalu memandang telapak tangan Lu Leng.

Lu Leng pun terbelalak bahkan tampak terkejut sekali. Ternyata telapak tangannya sudah berlobang. Daging di pinggiran lobang itu sudah mulai membusuk dan mengeluarkan darah berwarna ungu.

"Aneh! Luka itu seperti terkena racun Siau Goan San!" kata wanita yang lebih muda.

"Betul. Telapak tangannya terluka oleh senjata rahasia berupa jarum beracun," sahut wanita yang lebih tua.

Ketika mendengar perkataan kedua wanita itu, Lu Leng tertegun dan membungkam seketika. Karena kedua wanita itu kelihatannya tidak pernah berkecimpung dalam rimba persilatan, lagi-pula tutur bahasa maupun gerak-gerik mereka berdua tampak agak ketolol-tololan, jelas bukan wanita pintar. Akan tetapi ketika melihat luka di telapak tangan Lu Leng, mereka berdua justru tahu senjata apa yang melukai telapak tangannya dan tahu pula racun apa itu!

Setelah tertegun, hatinya menduga bahwa mereka berdua adalah komplotan Hek Sin Kun, hanya berpura-pura tolol untuk menipunya. Karena menduga begitu, wajah Lu Leng langsung berubah. Dia mendadak bangkit berdiri seraya membentak. "Bagaimana kalian bisa tahu itu?!"

Wajah kedua wanita itu tampak biasa, kemudian yang lebih tua menyahut, "Jarum beracun itu adalah senjata peninggalan majikan kami yang kami gunakan untuk membunuh sapi hutan. Maka ketika melihat luka di tanganmu, tentunya kami tahu. Kalau bukan terkena racun Siau Goan San, apakah terkena racun lain?"

Sementara Lu Leng terus memperhatikan mereka berdua, namun tidak tampak sikap yang dibuat-buat. Mereka berdua kelihatan wajar-wajar saja. Namun kecurigaan Lu Leng tidak sirna begitu saja, karena kaum rimba persilatan tahu bahwa jarum beracun itu merupakan senjata rahasia andalan Hek Sin Kun dan tidak pernah terdengar tokoh lain menggunakan senjata rahasia tersebut.

Oleh karena itu, Lu Leng segera bertanya. "Lalu siapa majikan kalian? Cepat bilang!"

Kedua wanita itu saling memandangi lama sekali barulah yang lebih muda menyahut, "Tidak bisa bilang. Majikan kami pernah berpesan, setelah dia pergi, kalau ada orang ke mari pasti adalah majikan muda atau nona. Kau ke mari melalui tebing belakang, sudah bagus kami mau mengajakmu ke mari. Kenapa kau masih mendesak kami untuk memberitahukan tentang majikan kami?"

Lu Leng menghela nafas panjang, kemudian menaruh tangannya di atas meja batu. "Kalian tahu tentang racun ini, tentunya punya obat penawarnya, kan?" tanyanya.

Kedua wanita itu tertawa. "Tentu punya. Kau tunggu sebentar," sahut wanita yang lebih muda.

Kedua wanita itu berlari ke dalam sambil tertawa-tawa. Sedangkan Lu Leng tidak habis pikir dan terheran-heran, kenapa kedua wanita itu kelihatan tidak berniat jahat terhadap dirinya, malah sebaliknya tampak gembira sekali. Lu Leng menengok ke sana ke mari. Dia ingin menemukan sesuatu untuk dapat mengetahui identitas sang majikan, tetapi sama sekali tidak melihat sesuatu yang diinginkannya. Lu Leng terus menunggu, tapi kedua wanita itu belum muncul juga. Tiba-tiba dia teringat akan mutiara Soat Hun Cu, kenapa tidak dikeluarkan untuk dicoba?

Di saat dia baru mau mengeluarkan Soat Hun Cu, terdengarlah suara tawa kedua wanita itu. Ternyata mereka berdua sudah kembali dan wanita yang lebih muda tampak membawa sebuah kotak giok. Sampai di hadapan Lu Leng, wanita tersebut segera menaruh kotak giok itu ke atas meja batu.

"Majikan bilang, barang yang di dalam kotak ini dapat memunahkan segala macam racun. Cobalah kau buka, entah barang itu dapat dimakan atau tidak," katanya.

Yang dapat memunahkan segala macam racun hanya ginseng salju yang ribuan tahun dan Cit Sek Ling Che, bagaimana mungkin mereka memilikinya? Lu Leng tidak menyangka kalau kedua wanita itu pandai membual pula. Sembari berpikir Lu Leng membuka kotak giok itu. Ketika baru terbuka sedikit, sudah tercium aroma yang amat wangi. Begitu mencium aroma tersebut semangat Lu Leng langsung bertambah.

“Ihh!” Lu Leng mengeluarkan suara seraya membuka kotak giok itu.

Setelah kotak giok itu terbuka, seketika juga Lu Leng tertegun. Ternyata kotak giok itu berisi Ling Che tujuh warna dan itu sungguh di luar dugaan Lu Leng, sebab Ling Che tersebut merupakan rumput dewa yang diimpi-impikan setiap kaum rimba persilatan. Apabila Ling Che tersebut jatuh ke dalam rimba persilatan sudah pasti akan menimbulkan banjir darah. Setiap kaum rimba persilatan akan saling membunuh karena memperebutkan Cit Sek Ling Che tersebut.

Akan tetapi kedua wanita itu justru menantinya begitu saja, bahkan diberikan kepada Lu Leng seakan merupakan obat biasa. Padahal Ling Che tujuh warna itu, selain dapat memunahkan segala macam racun juga dapat menambah lweekang di atas sepuluh tahun latihan. Maka tidak mengherankan kalau Lu Leng tertegun seketika sehingga mulutnya ternganga lebar. Dia tidak berhati tamak. Kalau orang lain pasti sudah menjulurkan tangannya untuk mengambilnya. Namun Lu Leng berhati jujur dan gagah, tidak tergiur oleh barang tersebut. Setelah berpikir sejenak, dia menutup kembali kotak giok itu.

Kedua wanita itu tampak kecewa sekali. "Bagaimana? Tiada gunanya?" tanya wanita yang lebih tua.

Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala lalu balik bertanya, "Tahukah kalian berdua, rumput apa itu?"

Kedua wanita itu saling memandang, kemudian menggeleng kepala. "Entahlah! Paling juga akar rumput!" sahut wanita yang lebih tua.

Lu Leng tertawa. "Rumput ini disebut Cit Sek Ling Che, yakni semacam rumput dewa yang sulit diketemukan. Siapa yang makan rumput Cit Sek Ling Che, lweekang-nya pasti bertambah. Kenapa kalian berdua sembarangan memberikan kepada orang?"

Kedua wanita itu tertegun. "Sesungguhnya kami sudah melupakan rumput ini. Padahal majikan kami sudah berpesan, siapa yang lebih dulu ke mari, dialah yang harus diberi. Majikan kami juga menjelaskan tentang rumput itu, tapi kami sudah lupa. Kalau kau bisa membaca, majikan kami meninggalkan tulisan di dalam kotak itu, kau boleh membacanya."

Mendengar itu Lu Leng tertarik. Dibukanya lagi kotak giok tersebut, kemudian diangkatnya rumput Ling Che tujuh warna itu. Di dasar kotak giok memang terdapat tulisan yang amat kecil, Lu Leng segera membacanya.

Setelah aku berusia di atas tujuh puluh, kepandaianku sudah hampir mencapai kesempurnaan dengan ilmu iblis, tergolong ilmu silat antara sesat dan lurus, maka kuciptakan ilmu lain....

Membaca sampai di sini, tanpa sadar Lu Leng berseru. "Sungguh bermulut besar!"

Usai berseru, Lu Leng membaca lagi.

Tanpa sengaja kuperoleh Cit Sek Ling Che, yakni semacam rumput dewa. Kalau aku memakannya, lweekang-ku pasti akan bertambah. Namun kupikir hampir semalam, dalam hal ilmu silat tiada batasnya, lagi-pula usia manusia amat terbatas, percuma aku makan Cit Sek Ling Che tersebut.

Membaca sampai di sini, Lu Leng manggut-manggut, kemudian melanjutkan membaca,

Cit Sek Ling Che kusimpan di dalam kotak giok, itu agar tidak rusak. Kedua putraku yang tak berbakti, setelah meninggalkan istana ini tidak pernah pulang. Siapa di antara mereka berdua pulang lebih dulu, akan memperoleh Cit Sek Ling Che ini. Kalau putriku juga tidak juga datang, maka Cit Sek Ling Che akan kuberikan kepada orang yang datang duluan. Setelah makan Ling Che ini, lweekang pasti maju, jangan mencelakai kedua putraku!

Di bawah tulisan itu tidak terdapat tanda tangan, kecuali terukir gambar seekor naga kecil. Lu Leng segera menutup kembali kotak giok itu, kemudian langsung berlutut. Melihat apa yang dikerjakan Lu Leng kedua wanita itu terkejut keheranan.

"Hei! Apa yang kau perbuat?!" tanya mereka dengan kening berkerut.

Lu Leng tidak menghiraukan mereka. Dia malah mengangkat kotak giok itu, lalu menyembah tiga kali. “Terimakasih atas pemberian locianpwee. Aku...."

Berkata sampai di situ Lu Leng tertegun karena lanjutan kalimat yang ingin dia ucapkan menyatakan bahwa lweekang-nya pasti maju setelah makan Cit Sek Ling Che itu, sehingga kedua putranya saja tidak dapat melawan. Maka kalau bertemu kedua putranya, tidak akan menjatuhkan tangan jahat terhadap mereka. Karena Lu Leng menerima pemberian Cit Sek Ling Che itu, tentunya dia harus mendengar perkataan pemberinya. Tetapi siapa kedua putra tokoh tua rimba persilatan itu?

Beliau menyebut mereka sebagai anak yang tak berbakti, berarti kedua putranya sering melakukan kejahatan. Berpikir sampai di sini, Lu Leng jadi ragu menerima pemberian Cit Sek Ling Che itu. Namun tokoh tua rimba persilatan itu berniat memberikannya, jadi tidak salah menerimanya. Bukankah ini merupakan kesempatan baginya? Kedua putranya yang tak berbakti itu, kini kemungkinan besar sudah tiada. Kalau pun masih hidup, belum tentu dia akan bertemu keduanya. Kenapa harus banyak berpikir?

Setelah berpikir demikian, hati Lu Leng kembali tenang. "Aku berjanji, apabila bertemu kedua putra cianpwee, tidak akan sembarangan menurunkan tangan kejam terhadap mereka," ujar Lu Leng kemudian berjanji di depan kotak itu.

Usai berkata begitu, Lu Leng bangkit berdiri, lalu makan Cit Sek Ling Che itu. Kedua wanita di dekatnya tampak tertawa, merasa geli melihat yang diperbuat pemuda itu. Namun Lu Leng tidak menggubris mereka. Setelah makan Cit Sek Ling Che dia segera duduk sambil memejamkan mata. Lama sekali Lu Leng tidak bergerak, tentu saja ini mengejutkan kedua wanita tersebut.

"Eh? Apakah itu rumput beracun? Kok setelah memakannya dia tak bergerak sama sekali seperti mati?" gumam salah seorang mereka dengan mata menatap Lu Leng yang sedang memusatkan diri.

"Jangan omong yang bukan-bukan! Bagaimana mungkin majikan berdusta? Lagi-pula majikan juga sering duduk tak bergerak, kau lupa, ya?" sahut yang lain memperingatkan kawannya.

Saat ini Lu Leng sudah dalam keadaan kosong, apabila ada musuh datang menyerang, sudah pasti dia tidak dapat melawan. Karena saat ini dia sedang menghimpun hawa murni agar menyatu dengan Cit Sek Ling Che yang dimakannya. Karena tidak mengetahui hal yang sebenarnya, kedua wanita itu tertawa-tawa, merasa lucu. Bahkan mereka anggap tindak-tanduk Lu Leng sebagai permainan anak-anak. Salah seorang wanita itu mencolok pipinya, yang satu menjewer telinganya. Lu Leng tetap diam saja. Akhirnya kedua wanita itu bosan juga.

"Kakak, bagaimana kalau kita pergi melihat gadis yang terkurung di dalam formasi itu?"

"Baik, tapi kau tidak boleh menolongnya!"

Wanita yang lebih muda itu manggut-manggut, kemudian keduanya segera beranjak dari ruang besar tersebut. Mereka menuju ke sebuah goa. Sampai di goa itu terdapat sebuah lembah yang hanya ditumbuhi rerumputan hijau menghampar. Tampak di tengah-tengah lembah terdapat sebidang tanah, dan di tengah tanah itu ada jala besar. Keempat penjuru dipagari dengan terali besi. Setelah keluar dari goa kedua wanita itu saling memberi isyarat agar tidak mengeluarkan suara.

Di dalam jala besar itu terdapat semacam formasi yang menghalangi mulut lembah. Siapa pun yang memasuki mulut lembah itu pasti terperangkap ke dalam formasi tersebut. Di dalamnya terdapat batu-batu berbentuk aneh. Golok-golok tajam dan berbagai senjata berdiri tegak di atas tanah. Bahkan tampak ada pula banyak tengkorak dan tulang belulang yang berserak tak karuan.

Saat itu di dalam formasi itu tampak tiga sosok bayangan. Sesosok bayangan berada di dekat mulut lembah, berlari ke sana ke mari seperti sedang mencari-cari sesuatu, sedangkan dua sosok bayangan lain sudah berada di tengah-tengah formasi tersebut, memindah-mindahkan batu-batu berbentuk aneh itu. Menyaksikan itu kedua wanita tersebut tertegun.

Wanita yang lebih muda berkata dengan suara rendah. "Kakak, tadi aku bilang kau tidak percaya. Sekarang lihatlah sendiri, orang berpakaian hitam dan gadis itu sudah menerobos ke tengah formasi. Tentu dua hari lagi mereka memasuki tempat ini!"

"Majikan pernah bilang, dia membuat formasi ini dengan susah-payah. Kecuali tuan muda dan nona, siapa pun tidak akan mengerti tentang formasi itu. Apakah orang berpakaian hitam itu adalah tuan muda?"

Wanita yang lebih muda berpikir, setelah itu berkata, "Tidak mungkin! Kalau dia tuan muda, pasti sudah menerobos ke luar dari kemarin. Gadis itu... matanya amat mirip nyonya majikan, jangan-jangan dia adalah nona!"

"Jangan asal berbicara! Ketika nyonya majikan meninggal, kita masih kecil, bagaimana mungkin nona masih begitu muda?"

Wanita yang lebih muda itu diam, memandang lagi ke arah gadis yang berada di mulut lembah. Setelah berlari-lari sejenak, gadis itu berhenti dengan wajah lesu. Nafasnya tampak terengah-engah.

"Aaaah! Lu-siauhiap, tak kusangka kita tidak akan berjumpa lagi! Sungguh aku akan mati penasaran jika harus mati di tempat ini!"

Suara gadis itu menyedihkan membuat kedua wanita tua ikut bersedih mendengarnya. "Dia amat rindu pada Lu-siauhiap. Kenapa setan kecil itu tidak datang bersamanya?"

"Urusan orang, kenapa kau turut campur?"

Walau berkata begitu, tapi air matanya terus meleleh. Hal itu membuktikan mereka berdua berhati baik dan berperasaan halus. Gadis yang terkurung di mulut lembah mendongakkan kepala, kemudian menghela nafas beberapa kali. Setelah itu berlari lagi, namun karena tempat itu cukup luas tampak dia seperti hanya berputar-putar di sana. Tidak lama dia jatuh terduduk dan menangis sedih. Kedua wanita itu tidak tega menyaksikannya, lalu masuk kembali ke goa.

Hari mulai gelap, pertanda malam hampir turun meningkup bumi. Namun gadis itu terus menangis.

"Dasar cengeng! Yang terkurung di dalam jebakan ini bukan kau seorang, untuk apa kau terus-menerus menangis? Gurumu amat terkenal, kalau begitu kau telah mempermalukan gurumu!" seru seorang yang dikurung di dalam formasi perangkap dengan suara membentak keras.

Gadis itu langsung berhenti dari tangisnya, dan tak lama kemudian terdengar pula suara gadis lain. "Kau jangan mencacinya, kasihan dia!"

Suara yang parau itu terdengar lagi, "Kasihan apa? Dia selalu menyebut Lu-siauhiap, Kalau terdengar oleh gurunya, pasti mampus dipukul!"

Terdengar suara helaan nafas gadis itu, yang lain diam. Sesaat suasana jadi hening, hanya terdengar bunyi-bunyi jangkrik yang menyambut datangnya hawa malam. Keesokan paginya kedua orang wanita tua keluar lagi dari dalam goa. Mata mereka tampak membengkak, sepertinya menangis semalaman. Mereka berdiri di atas sebuah batu sambil memandang ke depan. Tampak dua orang sedang berlari di lembah sana, sedangkan gadis yang di mulut lembah, masih duduk juga di tanah. Dia berusaha bangkit berdiri tapi terkulai lagi.

Kedua wanita itu saling memandang. Yang muda memberi isyarat, kemudian mereka masuk ke goa langsung menuju ke istana. Di ruang besar itu tampak Lu Leng masih duduk bersila, wajahnya segar dan luka di tangannya sudah sembuh. Kelima jari tangannya sudah bisa bergerak seperti biasa.

Sampai di ruang besar itu, kedua wanita memandang Lu Leng sejenak, kemudian yang muda membanting kaki seraya berkata, "Kakak, gadis itu sudah terkurung empat hari, kelihatannya dia sudah hampir mati. Meski pun majikan mempersalahkan, aku harus tetap menolongnya ke luar dari perangkap itu!"

"Kau ingin cari mati?" tukas kawannya dengan kening berkernyit heran.

"Kakak, menolong orang adalah perbuatan baik, kenapa malah mau cari mati?"

"Aku tidak peduli. Majikan berpesan begitu, tidak boleh melepaskan siapa pun yang di dalam jebakan. Kalau yang masuk itu orang jahat, bagaimana?"

Wanita yang lebih muda tertawa. "Hahaha! Kalau gadis itu orang jahat, kau penggal kepalaku!"

Wanita yang lebih tua itu mengernyitkan kening, menatap kawannya yang ngotot ingin menolong orang dalam perangkap di lembah sana. "Kau bilang gadis itu bukan orang jahat?" tanyanya setengah mendengus.

Wanita yang lebih muda langsung mengangguk. "Tentu!"

"Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi menolongnya?"

Wanita yang lebih muda terperangah, seakan tak percaya jawaban temannya. "Boleh aku menolongnya?"

"Kita harus pergi menolongnya!" sahut yang satu sambil mengangguk.

Kedua wanita itu tertawa, lalu berlari pergi menuju ke lembah. Sementara itu Lu Leng yang masih dalam keadaan duduk bersila, sama sekali tidak mendengar atau melihat gerak-gerik kedua wanita itu, sebab kini hawa murninya sedang berjalan di bagian Jin Tok, jalan darah yang sangat berbahaya. Kalau sampai terganggu bisa-bisa tersesat!

Kedua wanita itu sudah sampai di mulut lembah, serentak mereka berseru dengan suara keras. "Nona jangan takut! Asalkan kau orang baik, kami akan menolongmu ke luar!"

Kedua wanita itu langsung berusaha masuk ke dalam perangkap. Namun mendadak terdengar suara bentakan parau di dalam formasi jebakan itu. "Toa Sah, Ji Sah! Betulkah itu kalian berdua?!"

Betapa kagetnya kedua wanita itu ketika mendengar suara bentakan. Wajah mereka langsung berubah dan mendadak pula keduanya langsung berlutut. Mereka menyembah tiga kali dengan wajah seperti ketakutan. "Siapa kau? Bagaimana bisa mengenal kami?" tanya mereka dengan menggeragap.

Terdengar suara tawa amat keras yang disusul kemudian oleh bentakan sengit. "Masih tidak mau menuntun aku keluar dari jebakan ini?"

Kedua wanita itu terkejut lalu berkata dengan tersendat-sendat. "Kau... kau adalah..."

"Bagaimana bisa mengenal kalian kalau bukan majikan kalian? Kenapa kalian berdua masih diam saja? Mau digebuk, ya?!" bentak orang bersuara parau itu.

Toa Sah dan Ji Sah saling memandang, kemudian bangkit berdiri dan langsung melesat ke dalam. Mereka urungkan niat semula untuk menolong gadis itu.

Suara parau itu terdengar lagi. "Cukup menuntun aku seorang keluar, yang lain biarkan saja!"

Gadis yang bersama orang itu tertawa panjang menyedihkan, setelah itu berkata, "Paman, legakanlah hatimu! Hatiku telah mati. Kau mau berbuat baik atau jahat terhadap diriku, itu terserah. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini!"

Terdengar suara tawa dingin. Tampak tiga sosok bayangan melesat ke luar dari dalam formasi itu. Kemudian tampak pula seorang berpakaian hitam mengikuti di belakang Toa Sah dan Ji Sah. Orang berpakaian hitam melesat lebih cepat ke hadapan kedua wanita itu, lalu mengayunkan tangannya.

“Plak! Plak!” ternyata dia menampar pipi kedua wanita itu.

Keduanya langsung terpekik kaget dan terpental jatuh ke tanah. Pipi mereka berwarna merah dan membengkak. Orang berpakaian hitam berdiri tegak. Kini baru terlihat jelas wajahnya, kurus tak berwarna darah sedikit pun. Sepasang matanya menyorot tajam sehingga tampak menakutkan. Orang berpakaian hitam itu tidak lain adalah Hek Sin Kun!

Ketika berusia tujuh tahun Toa Sah dan Ji Sah diselamatkan sang majikan. Sejak itu tidak pernah bermain di tempat yang jauh mau pun bergaul dengan orang lain. Maka mereka tidak pernah tahu orang berpakaian hitam yang berdiri di hadapan itu. Mereka berdua masih ingat, ketika sang majikan mau meninggalkan istananya pernah berpesan, bahwa siapa pun yang mengenal Toa Sah dan Ji Sah adalah juga majikan mereka. Karena itu, walau tadi sudah ditampar begitu keras oleh Hek Sin Kun, kedua wanita tidak berani menjerit marah sedikit pun kecuali hanya suara kaget.

"Dasar tolol! Melihat aku terkurung di dalam perangkap sehari semalam, kalian tidak mau menuntun ke luar. Apa kalian berdua mau berontak?"

Kedua wanita merangkak bangun dengan kepala tertunduk lalu menyahut dengan suara rendah. "Kami tidak tahu siapa tuan sebenarnya!"

Hek Sin Kun membentak lagi. "Kini kalian berdua sudah tahu siapa aku?!"

Toa Sah dan Ji Sah saling memandang. "Tuanku majikan kecil?" tanya Ji Sah. "Kenapa engkau tidak mengerti cara memecahkan formasi itu?"

Hek Sin Kun membentak sengit. "Aku adalah majikan kecil! Sesungguhnya aku bisa memecahkan formasi itu, hanya saja sudah lupa!"

Toa Sah dan Ji Sah berdua memberi hormat, kemudian berdiri dengan kepala tertunduk. Sementara Hek Sin Kun menengok ke sana ke mari, lalu bertanya kepada keduanya. "Di mana istana ayahku?"

Kedua wanita itu menunjuk ke arah goa. "Melalui goa itu akan sampai di istana!" sahut Toa Sah memberitahukan.

Hek Sin Kun tertawa dingin. "Cepat kalian tunjukkan jalan!"

Kedua wanita itu mengangguk, lalu melangkah menuju goa. Namun Toa Sah membalikkan badan dan berkata, "Majikan kecil, kami punya sebuah permintaan!"

"Permintaan apa!"

Ji Sah segera menjawab. "Gadis yang di mulut lembah sudah terkurung empat hari empat malam, kami ingin...."

Hek Sin Kun langsung membentak. "Tidak boleh!"

Kedua wanita itu mengucurkan air mata, kemudian segera melesat pergi ke dalam goa. Perlu dijelaskan di sini, istana tempat Lu Leng sedang duduk bersila adalah milik tokoh aneh rimba persilatan bernama Mo Liong Seh Sih! Kepandaian yang dimilikinya di luar aliran lurus dan sesat. Dia memiliki ilmu kepandaian yang amat aneh, maka peri-lakunya pun amat aneh.

Ketika berusia empat puluhan dia bertekad terus berlatih ilmu silat. Karena itu mereka suami istri terus berlatih di dalam istana tersebut, bahkan mulai menulis kitab iblis. Pada waktu itu kedua putranya sudah berkecimpung di dalam rimba persilatan. Nama mereka berdua cukup terkenal yaitu Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau. Seh Cing Hua, putrinya, juga amat terkenal dalam rimba persilatan.

Mo Liong Seh Sih pernah menyuruh anak-anaknya hidup menyepi, namun mereka semua tidak mau sehingga amat menggusarkan Mo Liong Seh Sih. Akhirnya mereka membangun sebuah istana di tempat itu. Kebetulan mereka menyelamatkan dua anak gadis, yang lalu dibawa ke istana dijadikan pelayan. Kedua anak gadis itu adalah Toa Sah dan Ji Sah. Mo Liong Seh Sih yang menamai mereka demikian.

Beberapa tahun kemudian nyonya Mo Liong Seh Sih meninggal, maka Mo Liong Seh Sih seorang diri melanjutkan menulis Kitab Iblis tersebut. Kitab Iblis rampung. Ternyata penulisan kitab tersebut menyita waktu hidupnya selama dua puluh tahun. Mo Liong Seh Sih meninggalkan istana dengan membawa Kitab Iblis, dia mulai berusaha mencari tahu kabar tentang kedua putranya. Namun nama kedua putranya amat buruk dalam rimba persilatan. Sedangkan putrinya sudah menikah, bermukim di pulau Hwe Ciau To. Mo Liong Seh Sih berangkat ke pulau tersebut, dan Kitab Iblis diberikan kepada Tok Ciu Lo Sat-Seh Cing Hua putrinya.

Padahal Mo Liong Seh Sih bermaksud baik, tidak tahunya justru membuat rumah tangga putrinya jadi pecah berantakan. Setelah meninggalkan pulau Hwe Ciau To, Mo Liong Seh Sih berangkat ke gunung Thay San menemui kedua putranya. Kedua putranya mengusulkan agar Mo Liong Seh Sih mendirikan sebuah partai baru supaya dapat bersaing dengan partai lain, sekaligus mengibarkan nama mereka di tengah rimba persilatan.

Akan tetapi setelah Mo Liong Seh Sih terus-menerus menyelami ilmu silat, semakin tua semakin matang. Namun bersamaan dengan itu timbul kesadaran dalam hatinya, bahwa ilmu silat ternyata tak ada batasnya. Semakin digali, semakin dalam untuk menemukan ilmu-ilmu yang lebih hebat. Maka ketika kedua putranya mengusulkan begitu, dia hanya tertawa. Dalam pembicaraan, kedua putranya tahu tentang Kitab Iblis tersebut yang telah diberikan kepada Tok Ciu Lo Sat-Seh Cing Hua.

Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau tahu, apabila mereka berdua bisa memperoleh Kitab Iblis tersebut, maka dapat menjagoi rimba persilatan. Namun keduanya juga tahu, tidak gampang mendekati Tok Ciu Lo Sat-Seh Cing Hua, walau dia ini adik mereka sendiri. Sedangkan kepandaian Cit Sat Sin Kun-Tam Sen jauh di atas mereka. Maka Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau tidak berani pergi ke pulau Hwe Ciau To. Setelah Cit Sat Sin Kun-Tam Sen bersama anak-anaknya menetap di Hou Yok, tanpa sengaja Tam Goat Hua bertemu dengan Kim Kut Lau. Karena gadis itu amat mirip Seh Cing Hua ibunya, Kim Kut Lau bisa menduga asal-usulnya.

Karena itu Kim Kut Lau menangkapnya, dibawa ke Sai Thian Bok dan dirantai di sana. Maksud Kim Kut Lau akan menukarkan Tam Goat Hua dengan Kitab Iblis. Gadis itu berada di tangannya, tentu Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan Tok Ciu Lo Sat pasti akan menyerahkan Kitab Iblis kepadanya. Tapi Kim Kut Lau ternyata tidak tahu, Cit Sat Sin Kun dan Tok Ciu Lo Sat-Seh Cing Hua telah berpisah gara-gara Kitab Iblis tersebut. Lagi-pula ketika Tam Goat Hua dirantai di gunung Sai Thian Bok, kebetulan muncul Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Mereka melepaskan Tam Goat Hua.

Ketika itu Mo Liong Seh Sih sama sekali tidak menghiraukan usul kedua putranya, hanya dikatakan bahwa kepandaian mereka sudah cukup untuk menjaga diri. Tapi kalau tidak tahu diri dan mau bersaing dalam rimba persilatan, sudah pasti ada yang lebih tangguh. Siapa yang berani menyatakan dirinya nomor wahid di kolong langit? Sedangkan Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau, kalau tidak tahu tentang itu kelak nama mereka berdua pasti hancur. Namun Mo Liong Seh Sih juga menjelaskan. Kelak jika keduanya mengalami nasib kekalahan yang hingga mereka harus mendapatkan pertolongan masih ada tempat bagi mereka untuk berteduh dan berlindung.

Tokoh sehebat dan setinggi apa pun ilmunya, tak seorang pun yang bisa mencapai ke tempat itu, kecuali mampu mengatasi rangkaian perintang yang telah dibuat untuk menutup tempat itu. Tempat tersebut berada di lembah gunung Tong Ku Sat. Bahkan dengan sejelas-jelasnya Mo Liong Seh Sih menerangkan bagaimana memecahkan rangkaian formasi perangkap penghalang tempat itu. Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau cuma mendengar, namun tidak begitu memperhatikan penjelasan-penjelasan tentang formasi tersebut.

Karena itu Mo Liong Seh Sih menambahkan, apabila mereka berdua terkurung dan tidak dapat memecahkan formasi, maka harus berseru memanggil Toa Sah dan Ji Sah. Kedua wanita itu akan menuntun mereka ke luar. Namun kalau kedua wanita itu sudah mati, mereka berdua akan mati di dalam formasi. Setelah meninggalkan gunung Thay San, sejak itu Mo Liong Seh Sih entah menghilang ke mana, tiada jejaknya sama sekali. Sedangkan Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau sama sekali tidak menaruh hati pada apa yang dikatakan ayah mereka itu. Mereka berdua hanya menaruh perhatian terhadap Kitab Iblis. Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau tidak tahu bahwa di dalam istana Mo Liong Seh Sih terdapat rumput Cit Sek Ling Che yang jauh lebih berharga ketimbang Kitab Iblis.

Waktu berputar. Kehidupan rimba persilatan semakin gempar dengan munculnya tokoh sesat Liok Ci Khim Mo. Para tokoh persilatan menyembunyikan diri. Pada saat itulah Hek Sin Kun baru teringat akan pesan ayahnya. Maka dia berangkat ke gunung Tang Ku Sat. Seperti Lu Leng, dia pun mendengar pembicaraan wanita buruk rupa dengan Huang Yen mengenai Panah Bulu Api yang dapat melawan Pat Liong Thian Im. Hal itu pula yang dapat membuatnya bertarung melawan Lu Leng.

Orang berpakaian hitam itu adalah Hek Sin Kun. Gadis yang bersamanya dan mengeluarkan tawa panjang yang menyedihkan ternyata Tam Goat Hua. Setelah menerjang ke luar dari ruang besar di Go Bi San waktu itu, jejaknya telah hilang. Lalu bagaimana bisa bersama Hek Sin Kun? Ternyata telah terjadi hal-hal yang berliku-liku.

Ketika itu hati Tam Goat Hua telah hampa, tidak tahu baiknya harus memikirkan apa. Pikirannya kacau balau, tak mampu memikirkan nasib malang yang telah menimpa diri nya. Padahal sesungguhnya, seorang gadis mencintai seorang lelaki yang layak menjadi ayahnya memang kelihatan tidak masuk akal. Namun benarkah tidak masuk akal, sebab cinta merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cinta memang aneh, sesuatu yang kadang sulit dipikir dengan akal sehat.

Tam Goat Hua mencintai Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Ketika pertama kali mencurahkan perasaan hatinya itu, Tong Hong Pek menganggapnya masih berpikiran seperti anak-anak, maka dia cuma tertawa. Namun tidak lama, Tong Hong Pek tahu Tam Goat Hua tidak main-main, melainkan sungguh-sungguh mencintainya. Tentu saja Tong Hong Pek tidak kuasa menolak cintanya itu. Dalam keadaan begitu Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek tahu jelas, apabila dia memperistri Tam Goat Hua, tentu tidak akan terluput dari pergunjingan kaum rimba persilatan. Namun dia tidak menghiraukan itu. Tak ada salahnya memperistri Tam Goat Hua!

Kaum rimba persilatan memang tak menduga hal itu. Namun mereka hanya berani mempergunjingkannya secara diam-diam. Dan ketika menjelang pernikahan, Tong Hong Pek dengan Tam Goat Hua gembira sekali. Akan tetapi mendadak saja terjadi hal yang tak diduga-duga. Saat itu Tam Goat Hua dan Lu Leng terpengaruh oleh Pat Liong Thian Im, sehingga menyebabkan mereka berdua melakukan hubungan intim seperti suami istri.

Tam Goat Hua merasa sangat malu, pedih dan merasa bersalah terhadap Tong Hong Pek. Dia tahu kejadian itu bukan kesalahan Lu Leng! Namun anehnya dia benar-benar jadi sangat benci terhadap Lu Leng, dan bahkan membenci semua orang. Ketika Pat Liong Thian Im berhenti, dia langsung menampar Lu Leng dua kali dengan sengit sekali, padahal di saat itu hati Lu Leng pun sangat berduka dan penuh penyesalan.

Walau dia amat mencintainya, tapi ketika tahu Tam Goat Hua mencintai Tong Hong Pek, Lu Leng menahan rasa sakit dalam hati, lalu mengundurkan diri. Setelah itu Tam Goat Hua pun meninggalkan ruang besar, dia terus melesat pergi bagaikan panah terlepas dari busur. Ketika hari mulai terang, dia terkulai jatuh di tanah. Dia masih ingin bangkit berdiri, namun sudah tiada tenaga sama sekali, tak kuat berdiri lagi. Tam Goat Hua tergeletak di tanah dengan nafas terengah-engah. Dia menangis.

Ternyata dia berada di tengah-tengah gunung Go Bi San. Tak seorang pun dijumpai di sana, yang ada hanya monyet yang tak terhitung banyaknya, Monyet-monyet itu mengelilinginya seperti amat bersimpati padanya. Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek menemukan pakaian Tam Goat Hua yang berwarna merah itu. Ternyata ketika Tam Goat Hua terus berlari, pakaiannya menyangkut di dahan pohon sehingga terlepas, akhirnya tertiup angin dan jatuh dekat jurang. Maka Tong Hong Pek mengira Tam Goat Hua telah bunuh diri ke dalam jurang.

Ketika itu Tam Goat Hua menangis entah berapa lama, akhirnya yang mengucur sudah bukan air mata, melainkan darah. Dia tertawa gelak, kemudian berhenti menangis karena sudah mengambil keputusan untuk mati di tempat itu. Beberapa tahun kemudian, kalau ada orang menemukannya, dia pasti sudah menjadi sosok tengkorak. Siapa akan tahu sosok tengkorak itu adalah Tam Goat Hua, yang pernah menikmati percintaan tapi juga hancur oleh percintaan pula?

Ketika berpikir untuk mati, hati Tam Goat Hua justru merasa tenang. Tangisnya berhenti periahan-lahan. Saat itu sudah tengah hari, sinar matahari menyorot wajahnya. Tercermin kedukaannya yang amat dalam. Dia ingin bangkit berdiri, namun tiada berdaya. Terpaksa dia diam. Hatinya terus bermohon agar ajal lekas tiba, ingin dia mengakhiri hidupnya dalam usia muda. Tak seberapa lama mendadak terdengar suara monyet-monyet itu berbunyi terus menerus sehingga jadi berisik sekali.

Tam Goat Hua menoleh, seketika juga monyet-monyet itu diam tak berani berbunyi lagi. Saat itu dia merasa heran, semua monyet itu menjatuhkan diri berlutut ke arah Tam Goat Hua. Gadis itu menghela nafas panjang dan bertanya dalam hati, apakah monyet-monyet itu tahu aku sudah mau mati, maka dengan cara berlutut mengantarnya? Tam Goat Hua tersenyum getir, kemudian menyebut nama Tong Hong Pek dalam hati. Ketika mau memejamkan mata, tiba-tiba di hadapannya bertambah dua sosok bayangan. Tertegun Tam Goat Hua, kenapa di saat mau mati masih tidak bisa tenang, harus mengalami suatu gangguan lagi?

Karena sudah berkeputusan untuk mati, Tam Goat Hua malas mendongakkan kepala melihat siapa kedua orang itu. Dia hanya memandang kedua sosok bayangan tergambar di tanah. Begitu memandang hatinya amat terkejut, karena sepasang lengan mereka amat panjang, hampir menyentuh tanah. Tam Goat Hua memandang dengan penuh perhatian, sepertinya itu bukan manusia. Akhirnya Tam Goat Hua pun mendongakkan kepala, ternyata dua ekor monyet tua berdiri di sisinya.

Kedua monyet tua berbulu keperak-perakan itu entah sudah berapa lama hidup di dalam rimba ini. Kedua ekor monyet tua memandang Tam Goat Hua. Ketika gadis itu mendongakkan kepala, langsung mengeluarkan suara seakan mengatakan sesuatu. Tapi bagaimana mungkin Tam Goat Hua mengerti? Setelah mengeluarkan suara, kedua ekor monyet tua itu melesat pergi bagaikan kilat. Tam Goat Hua tersenyum getir, Dia merasa makin lama makin lemah, sepertinya ajal sudah mendekat. Dipejamkan matanya menunggu ajal datang menjemput. Akan tetapi, saat dia merasa sukmanya mulai melayang, mendadak terdengar suara parau seperti ke luar dari mulut orang tua.

"Gadis kecil, jangan mati! Cepat buka matamu melihat cahaya mentari!"

Suara itu kedengaran lamban dan lirih. Namun setelah mendengar suara itu, dia sama sekali tidak berani membangkang. Karena itu Tam Goat Hua membuka matanya. Cahaya mentari menyorotkan ke arah matanya. Terasa perih sekali, namun juga membuatnya merasa masih hidup di dunia! Tam Goat Hua melihat kedua ekor monyet tua berdiri di hadapannya. Tampak pula seorang yang sudah tua sekali berdiri di tengah-tengah kedua ekor monyet tua itu. Sekujur badan orang tua itu berwarna seperti besi, memancarkan cahaya bergemerlapan. Kerutan di keningnya tidak begitu banyak, sulit mengetahui usianya.

Namun Tam Goat Hua sama sekali tidak ingin tahu siapa orang tua tersebut. Dia hanya tersenyum getir ke arah orang tua itu, kemudian berkata dengan suara yang amat lemah. "Kakek tua, kau hidup begitu lama, tentu sudah mengalami banyak sekali penderitaan. Aku... sudah tidak akan mengalami penderitaan apa pun lagi!"

Wajah orangtua itu tampak berubah, namun sepasang matanya menyorot tajam memancarkan cahaya. Cahaya matanya membuat hati Tam Goat Hua tergetar. Seketika itu pula terdengar suara bentakan si orang tua bagaikan geledek.

"Omong kosong! Manusia hidup selalu tidak terlepas dari penderitaan, tetapi apakah tiada kebahagiaan sama sekali? Tidak bisa sembarangan menginginkan mati!"

Mendengar perkataan orang tua itu, Tam Goat Hua tertawa. "Bahagia? Aku... aku memang pernah merasakan kebahagiaan. Tapi... mulai sekarang sudah tidak ada lagi!"

Orangtua itu tertawa gelak. "Gadis kecil, jangan omong kosong lagi! Kau ingin mati, tapi jangan harap aku memperbolehkan kau mati!"

Gadis itu tercenung. “Haruskah aku memperpanjang masa penderitaan yang menyakitkan itu?” pikir Tam Goat Hua.

Kemudian dengan tatapan mata kosong dia memandang orang tua itu, sepertinya bermohon padanya jangan mempedulikannya, agar dia bisa mati dengan tenang tanpa gangguan. Orang tua itu mundur selangkah, kemudian mengibas-ngibaskan tangannya ke arah kedua ekor monyet tua di sampingnya. Kedua ekor monyet tua itu mengeluarkan siulan panjang, mendadak saja mereka menerjang ke arah Tam Goat Hua. Yang satu memegang kepala, yang lain memegang kaki, tahu-tahu gadis itu sudah diangkat.

Orang tua itu mengayunkan kakinya, kelihatan lamban tapi cepat bagaikan kilat. Kedua ekor monyet tua yang mengangkat Tam Goat Hua juga melesat pergi membawanya. Terdengar suara yang menderu-deru melewati telinga gadis itu, pepohonan yang berada di sana tampak bergerak ke belakang dengan cepat sekali. Walau kedua ekor monyet tua melesat begitu cepat, tapi tetap tidak bisa menyusul orang tua itu. Kini Tam Goat Hua baru tahu, orang tua itu pasti tokoh tua rimba persilatan yang hidup menyendiri di tempat itu, namun tidak tahu siapa dia.

Tak seberapa lama kemudian, orang tua dan kedua ekor monyet tua yang membawa Tam Goat Hua memasuki sebuah lembah. Tam Goat Hua memandang lembah itu. Tidak begitu luas, tapi di tengah-tengah terdapat dua buah gubuk. Ada tiga buah batu besar teronggok di samping gubuk-gubuk itu. Seperti batu biasa, namun ketika Tam Goat Hua memandangnya dengan penuh perhatian, dia terkejut menyaksikan cekungan pada ketiga batu itu, sebab cekungan itu ternyata bekas punggung orang! Ya, bekas punggung manusia. Tiga orang manusia yang berbeda telah pernah bersandar di batu itu.

Sejak bersama Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, pengetahuan Tam Goat Hua bertambah luas. Ketika melihat bekas-bekas punggung di batu-batu itu, terkejutlah dia. Apakah benar ketiga orang duduk bersandar di situ hingga meninggalkan bekas punggungnya? Kalau benar, dapat dibayangkan betapa tingginya lweekang mereka bertiga. Tam Goat Hua cuma memandang sejenak, sebab kemudian sudah dibawa ke dalam gubuk.

Orang-tua itu memberi isyarat pada kedua ekor monyet tua. Segera kedua ekor monyet tua menaruh Tam Goat Hua ke atas ranjang bambu. Setelah itu, orang tua tersebut menghampiri ranjang bambu sambil memandang Tam Goat Hua sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Gadis kecil, kau memandang hambar terhadap urusan, jangan terlampau dipikirkan!"

Tam Goat Hua tertegun mendengar ucapan si kakek tua. "Kau... kau tahu urusanku?" tanyanya dengan suara menggeragap.

Orangtua itu menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak tahu urusanmu, tapi tahu kau punya urusan. Batinmu terpukul berat sehingga nyaris membuat hawa murnimu bubar. Kalau aku terlambat selangkah, nyawamu sudah melayang."

Tam Goat Hua tertawa getir. "Bukankah lebih baik mati?"

Orang tua itu membentak. "Omong kosong!"

Tam Goat Hua menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak omong kosong!"

Tangan orang tua itu merogoh ke dalam bajunya. Ketika dikeluarkan lagi, langsung menyentil hingga menimbulkan suara berdesir. Tampak sebuah benda kecil meluncur ke arah mulut Tam Goat Hua. Gadis itu ingin merapatkan mulutnya, namun sudah terlambat, benda kecil itu sudah masuk ke mulutnya. Begitu kena ludah, benda itu langsung mencair dan mengalir ke dalam tenggorokannya. Tak lama kemudian, Tam Goat Hua merasa nyaman sekali. Dia tahu benda kecil itu pasti semacam obat mujarab.

"Kakek tua, kenapa harus menyia-nyiakan obat mujarab ini?"

Orang tua itu tercengang, Ditatapnya wajah gadis cantik itu. "Gadis kecil, kau punya orang-tua? Punya saudara? Punya kekasih? Punya orang yang mencintaimu?"

Tam Goat Hua manggut-manggut. "Semua punya!"

Orang tua itu menjulurkan tangannya, perlahan menepuk bahu Tam Goat Hua dua kali. "Nona kecil, kalau begitu kau tidak boleh mati. Kau harus tahu hidup di dunia tidak cuma kau seorang, Walau nyawamu milikmu, kau tidak berhak menghabisinya."

Tertegun Tam Goat Hua mendengar itu, kemudian dia memejamkan mata. Seketika muncul begitu banyak bayangan orang di benaknya. Ayah, kakak, Tong Hong Pek, juga bayangan Lu Leng. Akhirnya dia menghela nafas panjang.

Orangtua itu tertawa terkekeh-kekeh. "Gadis kecil, kau sudah mengerti?"

Tam Goat Hua menggeleng kepala. "Kakek tua. Meski aku terus berpikir, belum tentu akan mengerti!"

Orang tua itu masih tertawa. "Kalau begitu, jangan berhenti berpikir! Suatu saat kau pasti mengerti! Yang kau makan tadi adalah obat Kiu Coan Tay Hoan Tan. Aku berani mengatakan di kolong langit hanya tinggal sebutir itu!"

Begitu dengar obat Kiu Coan Tay Hoan Tan, Tam Goat Hua tahu dia tidak akan mati karena obat tersebut merupakan obat nomor satu dalam rimba persilatan. Ketika membuat obat tersebut, pembuatnya hanya menghasilkan sembilan butir. Sisa bahannya dibuat jadi obat Kiu Coan Siau Hoan Tan! Jangan kata Kiu Coan Tay Hoan Tan, Kiu Coan Siau Hoan Tan pun sulit diperoleh.

Telah diceritakan di atas, ketika Lu Sin Kong dan Sebun It Nio terkena pukulan Im Si Ciang, sampai di rumah si Pecut Emas-Han Sun, Han Sun memberikan mereka dua butir obat Kiu Coan Siau Hoan Tan, yang membuat Lu Sin Kong dan Sebun It Nio terbelalak kaget! Tam Goat Hua juga tahu khasiat obat Kiu Coan Siau Hoan Tan. Setelah makan obat itu, dia pasti pulih dan lweekang-nya akan bertambah pesat. Namun gadis itu sama sekali tidak merasa gembira, wajahnya masih tampak murung. Karena merasa, meski pun dirinya hidup tetap tak ada artinya. Karena itu dia tertawa getir.

"Kakek tua, sungguh kau menyia-nyiakan obat Kiu Coan Siau Hoan Tan ini!"

Orang tua itu tercenung lagi, sepasang matanya menyorot tajam ke wajah Tam Goat Hua. "Gadis kecil, kalau urusan yang mengganjal dalam hati amat menyusahkan, kau boleh pergi ke suatu tempat yang sepi untuk hidup menyendiri. Sepuluh dua puluh tahun atau tiga puluh tahun kemudian, kau pasti akan menyadari. Tindakanmu ini hal yang amat bodoh! Kalau kau mati sekarang, bukankah kau tidak akan menyadari hal tersebut?"

"Kakek tua, apakah karena ini kau hidup menyendiri di sini?"

Sepasang mata orang tua itu menyorot tajam lagi. "Omong kosong! Aku hidup di sini karena ada sebab lain!"

Tam Goat Hua berpikir. Teringat akan Tok Ciu Lo Sat-Seh Cing Hua ibunya, pernah membawanya ke sebuah goa. Di sana ibunya banyak bercerita mengenai kakeknya yang tinggal di sebuah lembah. Bahwa kelak dirinya akan dibawa ke tempat kakeknya itu. Tanpa ibunya, tak pernah ada orang lain bisa ke sana. Teringat akan itu, Tam Goat Hua menganggap perkataan orang tua ini memang masuk akal.

"Kakek tua, aku yakin kakek tua adalah orang aneh dalam rimba persilatan! Entah apa sebenarnya sebutan kakek tua!"

Orang tua itu tertawa. "Hahaha! Beritahukan dulu siapa kau sebenarnya?!"

"Namaku Tam Goat Hua, Ayahku Cit Sat Sin Kun-Tam Sen dan ibuku Tok Ciu Lo Sat-Seh Cing Hua!"

Orang tua itu manggut-manggut. "Aku pernah mendengar tentang mereka berdua. Ayahmu Cit Sat Sin Kun cukup lumayan!"

Padahal Cit Sat Sin Kun-Tam Sen memiliki ilmu pukulan Cit Sat Sin Ciang yang sangat tersohor di rimba persilatan. Orang tua itu hanya mengatakan cukup lumayan. Kedengarannya menganggap remeh akan ilmu pukulan tersebut.

"Sudah lama aku tinggal di sini, tidak mencampuri urusan luar lagi. Setelah aku jelaskan ini, terserah kau mau memilih tinggal atau tidak di sini. Yang penting kau jangan mengganggu ketenanganku di sini!"

Tam Goat Hua mengangguk. "Kalau begitu, bolehkah aku tahu siapa kakek tua?"

Orang tua itu tampak berpikir sejenak. "Kau pernah dengar nama Beng Tu Lojin?"

Begitu mendengar nama tersebut, Tam Goat Hua terkejut bukan main. Beng Tu Lojin adalah ketua Go Bi Pai generasi dulu, juga guru Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, Sui Cing Siansu, Ang Eng Leng Long yang telah binasa, Lu Sin Kong dan lainnya. Kepandaian Beng Tu Lojin amat tinggi, boleh dikatakan tiada duanya dalam rimba persilatan. Namun beliau sudah lama meninggal. Kini orang tua itu mengaku sebagai Beng Tu Lojin. Benarkah dia Beng Tu Lojin ketua Go Bi Pai? Namun bagaimana orang yang sudah mati bisa hidup kembali?

Ketika Tam Goat Hua termangu-mangu, orang tua itu berkata lagi. "Jangan salah paham, aku hanya bertanya padamu, pernahkah kau dengar nama Beng Tu Lojin?"

Tam Goat Hua mengangguk. "Pernah!"

"Kalau begitu, pernahkah kau dengar nama dua orang lagi, yaitu Tiang Pek San Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po dari daerah Miau?"

Tam Goat Hua langsung menyahut. "Pernah!"

Usai menyahut hati Tam Goat Hua tergetar, ada rasa tak sabar, maka tanpa sadar segera melanjutkan. "Kakek tua, yang kakek tua tanyakan itu adalah Thian Ho Si Lo. Apakah Kakek tua adalah...."

Mendengar pertanyaan Tam Goat Hua yang belum selesai, orang tua itu manggut-manggut. "Tidak salah, aku adalah salah satu Thian Ho Si Lo, Thiat Ye Tocu Tiat Sin Ong!"

Ketika orang tua itu menyebut namanya, Tam Goat Hua sudah tidak merasa kaget lagi, sebab orang tua ini memang memiliki ginkang yang amat tinggi. Yang membuatnya merasa heran, yakni kenapa orang tua itu sudah sekian lama tinggal di tempat ini? Karena setelah Beng Tu Lojin meninggal, tiga tahun kemudian Tong Hong Pek diusir dari pintu perguruan. Tong Hong Pek pergi ke gunung salju mencari Soat Hun Cu. Dua puluh tahun kemudian baru muncul dalam rimba persilatan lagi.

Ketika Beng Tu Lojin meninggal, Pian Liong Sian Po, Thian Sun Sianjin dan Tiat Sin Ong masih pergi melawat. Namun sejak itu, mereka bertiga menghilang entah ke mana, tiada jejak mereka sama sekali. Hal inilah yang kemudian menjadi suatu teka-teki dalam rimba persilatan. Karena Thian Sun Sianjin tidak pulang ke gunung Tiang Pek San, Pian Liong Sian Po juga tidak kembali ke daerah Miau, begitu pula Tiat Sin Ong tidak pulang ke pulau Tiat Ye To. Ketiga tokoh ini lenyap begitu saja bagai ditelan bumi.

Hingga beberapa hari lalu, Tam Goat Hua baru tahu tentang Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po dari Lu Leng dan Han Giok Shia. Kenapa kedua orang itu berada di pulau Hek Ciok To, memang menjadi sebuah teka-teki pula. Kini dia bertemu Tiat Sin Ong di gunung Go Bi San, tokoh yang pernah dianggap musnah dari muka bumi ini. Bukankah ini suatu yang sangat mengherankan?

Terdengar suara tawa Tiat Sin Ong. "Gadis kecil, kau pasti merasa heran, kenapa aku bisa berada di tempat ini?"

Tam Goat Hua manggut-manggut. "Ya! Karena Thian Sun Sianjin dan Pian Liong Sian Po...."

"Kenapa mereka berdua?" tanya Tiat Sin Ong menatap gadis itu. "Lebih baik kau tidak usah memberitahukan!" ujarnya kemudian.

"Kuberitahukan juga tidak apa-apa! Belum lama ini ada orang menemukan mereka berdua. Karena bertarung akhirnya mereka binasa di sebuah pulau!"

Tiat Sin Ong terbelalak. "Kalau begitu kini hanya tertinggal aku yang belum juga mampus!" ucapannya itu amat sederhana, namun mengandung kedukaan.

"Mengenai hilangnya cianpwee bertiga dalam rimba persilatan merupakan suatu teka-teki. Entah bagaimana kakek tua bisa tinggal di dalam gunung Go Bi San ini?"

Tiat Sin Ong menyahut, "Memangnya aku ingin tinggal di sini? Belasan tahun lalu terpaksa, beberapa tahun belakangan baru merasa tidak mau meninggalkan tempat ini. Maka aku tetap tinggal di sini!"

Tam Goat Hua tercengang. Berdasarkan kepandaian yang dimiliki Tiat Sin Ong, siapa yang bisa melarangnya meninggalkan tempat ini?

Sebelum Tam Goat Hua bertanya, Tiat Sin Ong sudah berkata, "Gadis kecil, kau melihat ketiga batu besar itu?"

Tam Goat Hua mengangguk.

"Baik! Aku akan bercerita sejelas-jelasnya, maukah kau mendengarnya?"

Tam Goat Hua amat tertarik. Dia mengangguk. Rasa duka dalam hatinya mulai sirna dengan sendirinya. "Kakek tua, tuturkanlah! Aku ingin sekali mendengarnya."

Tiat Sin Ong menghela nafas panjang. "Padahal sesungguhnya, hanya karena nama. Kalau dipikir kembali, itu amat menggelikan!"

Tam Goat Hua juga ikut menghela nafas panjang. "Memang betul apa yang dikatakan kakek tua!"

Tiat Sin Ong tertawa dan berkata, "Gadis kecil, usiamu masih muda. Kau tahu apa?" Berkata sampai di situ, Tiat Sin Ong menghela nafas panjang lagi seraya melanjutkan, "Ketika itu, aku, Thian Sun Sianjin, Pian Liong Sian Po dan Beng Tu Lojin disebut Thian Ho Si Lo (Empat Tokoh Tua Sungai Langit)! Walau kepandaian yang kami miliki berbeda, namun tiada seorang pun dapat menandingi kami berempat. Kami berempat memang tidak pernah bertanding secara terbuka, namun masing-masing masih memiliki hati yang ingin menang. Maka secara diam-diam kami pun bertanding. Kami mengakui kepandaian Beng Tu Lojin paling tinggi di antara kami berempat...”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar