Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 35

Lu Leng dan Toan Bok Ang tidak mau berdebat. Mereka berdua hanya mengeluarkan suara dengusan dingin, kemudian gadis itu berkata terpaksa, "Segalanya sudah pasti harus ada petunjuk Liat Hwe Cianpwee."

"Kalau kalian sudah mengerti, urusan pun gampang dibereskan," sahut Liat Hwe Cousu. Usai berkata Liat Hwe Cousu memandang kuburan nyonya Mo Liong Seh Sih, lama sekali baru berkata, "Makam ini ditimbun dengan batu, maka kita harus mengangkat batu itu satu persatu."

Sebetulnya Lu Leng tidak ingin bekerja sama dengan Liat Hwe Cousu, tapi demi membasmi Liok Ci Khim Mo maka dia terpaksa harus bersabar dan mulai mengangkat batu-batu itu. Lu Leng dan Toan Bok Ang bekerja hampir setengah hari, barulah berhasil mengangkat semua batu itu, sedangkan Liat Hwe Cousu hanya berdiri saja. Terlihat sebuah lempengan besi, yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah gelang.

Ketika Lu Leng hendak menjulurkan tangannya untuk memegang gelang tersebut, mendadak Toan Bok Ang mengeluarkan suara, "Ihh! Apa ini?"

Lu Leng yang sudah membungkukkan badannya, segera tegak kembali sambil memandang ke arah Toan Bok Ang. Gadis itu menunjuk sebuah lempengan besi, di wajahnya tersirat rasa heran. Lu Leng segera mendekatinya, begitu pula Liat Hwe Cousu. Mereka berdua memandang ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu dan seketika juga tertegun. Temyata di celah lempengan besi itu terjepit ujung baju, sepertinya ada orang terburu-buru mengangkat lempengan besi itu, namun lempengan besi itu amat berat sehingga menjepit ujung baju orang tersebut. Seandainya ujung baju itu milik nyonya Mo Liong Seh Sih, memang tidak masuk akal.

Mereka bertiga tertegun, lama sekali barulah Liat Hwe Cousu berkata, “Tidak mungkin ada orang berani masuk, itu pasti baju Nyonya Mo Liong Seh Sih. Agar lebih jelas, lebih baik angkat saja lempengan besi itu. Bukankah kita akan mengetahuinya?"

Lu Leng tidak mendengar apa yang dikatakan Liat Hwe Cousu, dalam hati tetap bercuriga. Kemudian dia membungkukkan badannya sambil menjulurkan tangannya untuk memegang gelang yang di atas lempengan besi tersebut, lalu ditariknya sekuat tenaga. Akan tetapi lempengan besi itu sama sekali tak bergeming. Kemudian Lu Leng memandang Toan Bok Ang seraya berkata,

"Nona Toan, cepat bantu aku! Lempengan besi ini amat berat, aku tak kuat mengangkatnya."

“Tenagaku terbatas sekali, tentunya harus Liat Hwe Cousu yang turun tangan," sahut Toan Bok Ang.

Liat Hwe Cousu tertawa, lalu mendekati lempengan besi itu. Lu Leng segera menyingkir. Liat Hwe Cousu membungkukkan badannya, tangannya memegang gelang itu, lalu menarik sekuat tenaga. Namun lempengan besi itu sama sekali tidak bergerak. Wajah Liat Hwe Cousu memerah saking malunya. Dia mengerahkan lweekang sehingga sekujur badannya berbunyi peletak-peletuk, lalu membentak keras sambil menarik. Barulah dia berhasil mengangkat lempengan besi itu.

Lu Leng tahu bahwa lempengan besi itu amat berat. Maka sebelum Liat Hwe Cousu berhasil mengangkatnya, dia sudah menyiapkan sebuah batu besar. Ketika Liat Hwe Cousu berhasil, Lu Leng segera mendorong batu besar untuk mengganjal lempengan besi tersebut. Liat Hwe Cousu melepaskan lempengan besi itu, dan lempengan besi itu jatuh di atas batu besar tersebut. Ketika lempengan besi itu jatuh di atas batu besar, terdengar pula tiga kali suara berdentang yang memekakkan telinga.

“Trang! Trang! Trang!”

Liat Hwe Cousu terperanjat dan langsung mencelat ke belakang karena khawatir akan adanya serangan senjata rahasia, tapi apa yang dikhawatirkannya itu tidak terjadi. Mereka bertiga memandang lempengan besi itu. Bukan main tebalnya, mungkin beratnya mencapai sepuluh ribuan kati! Hanya terdengar suara dentang tiga kali di dalam kuburan, tapi tiada serangan senjata rahasia.

Hal itu membuat Liat Hwe Cousu terheran-heran. Setelah berpikir sejenak, barulah dia berkata, "Jangan terlampau cepat masuk, Seh tua banyak akalnya! Setelah bunyi itu, mungkin akan meluncur ke luar senjata rahasia."

Walau Lu Leng dan Toan Bok Ang memandang rendah Liat Hwe Cousu, namun mereka berdua tahu bahwa Liat Hwe Cousu amat berpengalaman, maka menurut saja. Cukup lama mereka bertiga berdiri di pinggir lobang itu, tapi tetap tiada serangan senjata rahasia dari dalam lobang kuburan tersebut.

"Liat Hwe Cousu, kok hening saja di dalam lobang kuburan?" tanya Toan Bok Ang.

Sedangkan Liat Hwe Cousu juga merasa heran dalam hati. Setelah berpikir sejenak barulah dia berkata, "Mungkin hanya merupakan permainan Seh tua, itu sulit dikatakan."

"Daripada kita menunggu terlalu lama, lebih baik masuk melihat-lihat, sebab hari sudah hampir malam," kata Lu Leng.

Lu Leng maju selangkah, namun Liat Hwe Cousu cepat-cepat mencegahnya. “Tunggu!" katanya. Badannya bergerak dan dalam sekejap sudah berada di hadapan Lu Leng.

Pemuda itu membiarkannya berjalan lebih dulu. Liat Hwe Cousu meloncat ke dalam lobang itu, lalu disusul oleh Lu Leng dan Toan Bok Ang. Ternyata di dalam lobang itu terdapat sebuah ruang batu yang amat besar. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang terbuat dari tembaga. Selain itu tidak tampak barang lain, kecuali sebuah pipa panjang menempel di dinding batu, yang mulutnya mengarah ke atas.

Liat Hwe Cousu menunjuk pipa itu seraya berkata, "Heran! Tadi terdengar suara dentang tiga kali, seharusnya ada senjata rahasia menyerang ke luar!"

Lu Leng juga merasa heran. "Mungkin sudah terlampau lama, maka tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya."

Dia maju beberapa langkah, lalu memungut ujung baju yang tadi terjepit di lempengan besi, namun ujung baju itu langsung hancur.

"Lu-siauhiap, menurutmu ujung baju milik siapa itu?" tanya Toan Bok Ang.

Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "Bagaimana aku tahu? Di dalam ruang ini tidak terdapat barang lain. Rupanya Panah Bulu Api berada di dalam peti mati tembaga itu."

Saat ini Lu Leng merasakan adanya gelagat ketidak-beresan, namun tidak bisa menduga apa yang akan terjadi. Ujung baju dan bunyi dentang tiga kali tadi sungguh merupakan hal yang amat mencurigakan. Sedangkan Liat Hwe Cousu sudah mendekati peti mati tembaga itu dan memperhatikannya dengan seksama.

Di atas peti mati tembaga itu juga terdapat sebuah gelang. Lama sekali Liat Hwe Cousu
memperhatikan peti mati tembaga itu. Kemudian dia menjulurkan tangannya untuk memegang gelang tersebut, lalu ditariknya ke atas dengan sekuat tenaga sehingga tutup peti mati tembaga itu terangkat ke atas. Di saat bersamaan terdengar bunyi dentang dua kali di dalam peti mati tembaga itu.

Liat Hwe Cousu cepat-cepat mencelat ke belakang, tapi tidak melepaskan tutupan peti mati tembaga itu. Lu Leng dan Toan Bok Ang juga mencelat ke belakang, ke sudut ruang batu. Sepeminum teh kemudian barulah suara di dalam peti mati tembaga itu berhenti. Akan tetapi, sama sekali tidak ada senjata rahasia menyerang ke luar. Kemudian terdengar suara gemerontang, ternyata Liat Hwe Cousu menaruh tutup peti mati tembaga ke bawah.

Mereka bertiga memandang ke dalam peti mati tembaga itu. Tampak seorang wanita tua berbaring di dalam. Wajahnya masih seperti hidup, rambut putih keperak-perakan, dan di mulutnya terdapat sebutir mutiara. Akan tetapi, di dalam peti mati tembaga itu tidak terdapat panah Bulu Api. Mereka bertiga tertegun. Kemudian Liat Hwe Cousu maju dua langkah dan memperhatikan ke dalam peti mati tembaga itu. Air mukanya berubah hebat.

"Kita datang terlambat!" kata Liat Hwe Cousu.

Betapa terkejutnya Lu Leng. Mereka bertiga boleh memasuki makam tersebut, lantaran Mo Liong Seh Sih mengorbankan nyawanya. Seandainya mereka datang terlambat, bukankah sia-sia pengorbanan Mo Liong Seh Sih? Seketika Lu Leng berdiri termangu-mangu di tempat, sepasang kakinya terasa berat sekali, tak mampu bergerak.

Wajah Toan Bok Ang pun berubah. "Liat Hwe Cousu, bagaimana kita bisa datang terlambat?" tanyanya.

Liat Hwe Cousu menunjuk ke dalam peti mati tembaga itu seraya berkata, "Kalian lihatlah!"

Toan Bok Ang masih mengira Liat Hwe Cousu menunjuk mayat yang ada di dalam peti mati tembaga itu. "Mungkin Panah Bulu Api berada di bawah mayat itu. Lebih baik kita...."

Sebelum Toan Bok Ang usai berkata, Liat Hwe Cousu sudah tertawa dingin. "Kau jangan bermimpi. Lihatlah!"

Toan Bok Ang maju dua langkah, lalu melihat ke dalam peti mati tembaga itu dengan penuh perhatian. Peti mati tembaga itu amat besar. Di sisi mayat terdapat tujuh lekukan, jelas ada barang yang amat berat ditaruh di situ sehingga berbekas. Begitu melihat lekukan-lekukan itu Toan Bok Ang segera dapat menduga, pasti bekas ketujuh batang Panah Bulu Api, yang kini telah hilang entah ke mana. Panah Bulu Api merupakan benda pusaka dalam rimba persilatan maka tidak mungkin akan terbang dengan sendirinya. Pasti ada orang memasuki makam nyonya Mo Liong Seh Sih, mencuri ketujuh batang Panah Bulu Api tersebut.

Toan Bok Ang menoleh untuk memandang Lu Leng. Dilihatnya pemuda itu masih berdiri mematung seperti kehilangan sukma. Gadis itu tahu bahwa saat ini batin Lu Leng mengalami pukulan berat, bukan hanya karena dia tidak dapat memperoleh Panah Bulu Api, tapi juga karena amat berduka atas kematian Mo Liong Seh Sih.

Perlahan-lahan Toan Bok Ang mendekatinya, kemudian berkata dengan suara rendah. "Lu-siauhiap, Panah Bulu Api telah dicuri orang."

Lu Leng tidak menyahut, namun mendadak berteriak-teriak. “Tidak! Itu tidak mungkin!"

Toan Bok Ang menghela nafas panjang. "Lu-siauhiap, Panah Bulu Api akan lahir dalam rimba persilatan, tentunya akan dapat dicari jejaknya, maka kau jangan putus asa!" katanya.

Lu Leng memandang Toan Bok Ang dengan tertegun, kemudian air matanya meleleh. Ternyata dia teringat akan kematian Mo Liong Seh Sih. Sedangkan Liat Hwe Cousu berjalan ke sana ke mari, kelihatannya sedang menyelidiki sesuatu, setelah itu dia memungut ujung baju yang telah hancur itu dengan hati-hati sekali.

Kini mereka bertiga sudah tahu bahwa Panah Bulu Api telah dicuri orang, namun tidak tahu kapan dicurinya. Hal itu memang sulit dimengerti. Ujung baju yang terjepit di lempengan itu jelas baju orang yang mencuri Panah Bulu Api, sedangkan bunyi dentang yang mereka dengar, tentunya karena makam itu pernah dibuka orang, maka tiada senjata rahasia menyerang ke luar.

Toan Bok Ang melihat badan Lu Leng bergoyang-goyang seakan mau jatuh. Gadis itu tahu bahwa hati Lu Leng amat berduka. Maka dia cepat-cepat memapahnya agar tidak jatuh. Di saat itulah mendadak Liat Hwe Cousu berseru girang. Toan Bok Ang mengerutkan kening, panah Bulu Api telah hilang dicuri orang, tapi Liat Hwe Cousu kok masih berseru girang?

Gadis itu segera memandang Liat Hwe Cousu. Dilihatnya ketua Hwa San Pai itu masih menundukkan kepala meneliti ujung baju yang dipungutnya tadi. Tak lama Liat Hwe Cousu berseru girang lagi, lalu menyimpan ujung baju itu ke dalam jubahnya dengan hati-hati sekali dan wajahnya tampak berseri-seri.

Menyaksikan tingkah ketua Hwa San Pai itu Toan Bok Ang tergerak hatinya. "Liat Hwe Cousu, apakah kau sudah mengetahui siapa yang memasuki makam ini berdasarkan potongan ujung baju itu?"

Berdasarkan potongan ujung baju untuk mengetahui siapa pencuri panah Bulu Api itu, sesungguhnya merupakan hal yang amat sulit. Tapi Liat Hwe Cousu malah tampak begitu girang, maka membuat Toan Bok Ang terheran-heran dan tidak habis pikir. Liat Hwe Cousu tidak menyahut, hanya tertawa gelak. Kemudian mendadak badannya bergerak dan langsung melesat ke luar melalui lobang itu.

Saat ini Lu Leng amat berduka atas kematian Mo Liong Seh Sih, maka sama sekali tidak memperhatikan gerak-gerik Liat Hwe Cousu. Lain halnya dengan Toan Bok Ang. Ketika melihat Liat Hwe Cousu mendadak melesat ke luar, gadis itu segera tahu adanya gelagat ketidak-beresan. Apalagi melihat Liat Hwe Cousu menoleh ke arah mereka sambil tersenyum, dalam hatinya sudah menduga bahwa ketua Hwa San Pai itu mempunyai niat tidak baik. Maka dia segera menarik Lu Leng seraya berkata.

"Mari kita cepat keluar!"

Lu Leng yang ditarik kelihatannya masih tidak mau meninggalkan kuburan itu. "Mengapa?"

Toan Bok Ang melihat Liat Hwe Cousu sudah hampir menerobos ke luar melalui lobang itu, maka guguplah hatinya. “Cepat! Cepat!"

Mereka berdua mencelat ke atas, namun Liat Hwe Cousu sudah keluar dari lobang itu. Toan Bok Ang terkejut bukan main dan langsung berteriak-teriak sekeras-kerasnya. "Liat Hwe Cousu, kalau kau berniat jahat, Thian (Tuhan) pasti menghukummu!"

"Blaam!" di saat bersamaan terdengar suara yang menggoncangkan kuburan itu dan memekakkan telinga Toan Bok Ang serta Lu Leng, sehingga membuat badan mereka merosot ke bawah.

Ternyata Liat Hwe Cousu menutup lobang itu dengan lempengan besi yang amat berat itu, maka menimbulkan suara keras tadi. Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya Toan Bok Ang dan Lu Leng, akhirnya badan mereka merosot kembali ke bawah. Mereka berdua berdiri tertegun, kemudian Toan Bok Ang mendekap di dada Lu Leng, dan isak tangisnya pun meledak. Padahal Lu Leng ingin mengelak, tapi terlambat sehingga wajahnya menjadi memerah saking jengahnya.

Toan Bok Ang mendongakkan kepala memandang Lu Leng. Walau air matanya meleleh, namun wajahnya tampak gembira. "Lu-siauhiap, tak disangka... kita akan mati bersama di dalam kuburan ini!"

Ucapan gadis itu penuh mengandung cinta kasih yang amat mendalam. Walau hatinya berduka karena akan mati di dalam kuburan itu, namun merasa puas karena akan mati bersama Lu Leng. Sebaliknya bagi Lu Leng, ucapan itu bagaikan jarum menusuk ke dalam hatinya, sebab dia teringat akan dendam kedua orang-tuanya, juga teringat akan kematian Mo Liong Seh Sih. Bagaimana dapat terwujud semua itu?

Mendadak Lu Leng mendorong sehingga Toan Bok Ang terdorong mundur beberapa langkah. Lalu dia mendongakkan kepala dan berteriak-teriak. "Liat Hwe Cousu! Bagus, bagus sekali...!"

Saking kesalnya, Lu Leng tidak tahu harus bagaimana mencaci Liat Hwe Cousu yang amat licik itu. Akhirnya dia jatuh terduduk di sisi peti mati tembaga, lalu menghela nafas panjang. Wajahnya tampak lesu, tak bersemangat sama sekali. "Nona Toan, sesungguhnya Liat Hwe Cousu tidak perlu mencelakai kita dengan cara demikian, tapi... kenapa dia mencelakai kita?"

Setelah terdorong mundur oleh Lu Leng, hati Toan Bok Ang amat berduka sekali dan dia terus berdiri terpaku di tempat. Ketika mendengar pertanyaan Lu Leng, barulah dia menyahut. "Dilihat dari ketika dia melesat ke luar, sepertinya dia sudah tahu siapa pencuri Panah Bulu Api."

Lu Leng tertegun lalu mendongakkan kepala memandang Toan Bok Ang. "Oh, ya?"

Toan Bok Ang melangkah perlahan mendekati Lu Leng, kemudian berkata dengan perlahan, "Menurutku memang begitu. Saat itu hatimu sedang berduka, maka tidak memperhatikan gerak-gerik Liat Hwe Cousu. Dia membolak-balik potongan ujung baju itu, kemudian berseru girang dan melesat ke luar.”

Lu Leng menghela nafas. "Kalau begitu, kita berdua justru merupakan duri dalam matanya. Dia tahu jejak Panah Bulu Api itu. Apabila kita masih hidup, tentunya kita akan menyiarkan berita itu. Seandainya kita mati, bukankah dia seorang diri akan memperoleh Panah Bulu Api itu? Dia berkepandaian amat tinggi, lagi-pula berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Siapa akan tahu dia berhati begitu licik dan rendah?"

Toan Bok Ang juga menghela nafas panjang. "Aaaah! Seh-locianpwee menganggapnya sebagai orang gagah, maka tidak menyangka dia akan berbuat begitu.”

Lu Leng menundukkan kepala, Toan Bok Ang maju selangkah lagi seraya berkata dengan lembut sekali. "Lu-siauhiap, kau jangan terlampau berduka!"

Lu Leng mendongakkan kepala. "Bagaimana aku tidak berduka?"

Toan Bok Ang menyeka air matanya, kemudian memandang Lu Leng sambil tersenyum. "Lu-siauhiap, kau tidak perlu berduka! Liat Hwe Cousu mencelakai kita, itu hanya demi nama saja. Setelah dia memperoleh Panah Bulu Api, tentunya akan pergi menghadapi Liok Ci Khim Mo. Walau kita harus mati di sini, juga tidak akan merasa penasaran, kan?"

Lu Leng tersenyum getir. "Kalau memang begitu, tentunya aku tidak akan mati penasaran."

Toan Bok Ang menggenggam tangan Lu Leng. "Lu-siauhiap, lempengan besi itu di atas dan amat berat. Kita berada di bawah, tentunya tidak dapat mengangkatnya. Hidup dan mati sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu bermuram durja. Alangkah baiknya kita bergembira sebelum mati, mau tunggu apa lagi?"

Ketika berkata demikian, wajah Toan Bok Ang tampak memerah. Lu Leng berpikir, memang ada benarnya apa yang dikatakan gadis itu. Tapi seandainya dirinya bersama Tam Goat Hua, sudah pasti tidak akan mati penasaran di dalam kuburan tersebut. Namun kini Tam Goat Hua entah berada di mana, sedangkan dirinya justru bersama Toan Bok Ang terkurung di dalam kuburan itu. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Lu Leng menarik nafas panjang.

"Nona Toan, aku sungguh sulit melaksanakannya."

Toan Bok Ang mendongakkan kepala, lalu berkata dengan suara rendah. "Lu-siauhiap, walau aku tidak mau mati, namun sebelum mati bisa bersamamu, aku... aku sudah merasa puas sekali. Kau... kau tidak mau, apakah kau sama sekali tidak tahu perasaanku?"

Lu Leng menghela nafas. "Nona Toan, aku tahu bagaimana perasaanmu...."

Toan Bok Ang menggenggam tangannya erat-erat. "Kalau begitu, kau... tidak mencintaiku?"

Lu Leng memandang Toan Bok Ang, lama sekali barulah berkata. "Nona Toan, hari itu apa yang terjadi di Cing Yun Ling, kau pun hadir di situ. Bagaimana isi hatiku, tentunya kau sudah tahu."

Mendengar itu, air mata Toan Bok Ang langsung meleleh. "Lu-siauhiap, aku memang tahu kau mencintai nona Tam. Aku pun pernah memperingatkan diriku sendiri hingga beratus-ratus kali agar jangan mencintaimu. Tapi... justru amat mencintaimu. Lagi-pula nona Tam... tidak akan mencintaimu. Ketika kita ditaruh di satu ranjang, aku... aaah! Kenapa kau begini terhadapku?"

Lu Leng menghela nafas panjang lagi. "Nona Toan, aku... aku tidak seharusnya...."

"Lu-siauhiap, aku tidak menyalahkanmu."

"Nona Toan, aku... ketika aku siuman, aku tidak tahu bahwa kau yang ada di dekatku, melainkan aku mengira nona Tam."

"Hah?!" Wajah Toan Bok Ang berubah pucat pias, kemudian termundur-mundur beberapa langkah dengan bibir bergemetar. "Kalau begitu, aku... aku selama ini bertepuk sebelah tangan?"

Lu Leng tidak tahu harus bagaimana menghibur gadis itu. "Nona Toan, aku... aku..." katanya gagap.

Toan Bok Ang menggoyang-goyangkan sepasang tangannya. Air matanya berderai-derai, lalu membalikkan badannya. "Lu-siauhiap, kenapa hatimu begitu tega?” katanya terisak-isak.

Lu Leng tidak menyahut.

"Kita berdua sudah pasti tidak bisa keluar dari kuburan ini dan akan mati bersama di sini. Kalau hari itu kau menganggap diriku nona Tam, tidak seharusnya kau berterus terang sekarang sehingga membuat hatiku menjadi hancur lebur. Sebelum mati aku ingin bergembira, tapi justru tidak bisa!"

Sesungguhnya entah berapa kali Lu Leng ingin berterus terang kepada gadis itu, namun tiada kesempatan. Kali ini ada kesempatan, sebaliknya malah melukai hati gadis itu. Dia tertegun, kemudian mendongakkan kepala memandang ke atas, dan mendadak melesat ke atas sambil melancarkan sebuah pukulan ke arah lempengan besi yang menutupi lobang itu.

“Blam!” begitu keras pukulannya sehingga tangan Lu Leng terasa sakit sekali, namun lempengan besi itu tidak bergerak sama sekali.

Ketika mendengar suara itu, Toan Bok Ang mendongakkan kepala memandang ke atas. Kebetulan badan Lu Leng sedang merosot ke bawah, sehingga matanya beradu dengan mata Toan Bok Ang. Mata gadis itu tampak begitu sayu, membuat hati Lu Leng terasa tertusuk, dan sekilas timbullah suatu pikiran dalam benaknya. Kini mereka berdua terkurung di dalam kuburan di tempat yang amat sepi. Walau dia terus memukul lempengan besi itu, bagaimana mungkin ada orang mendengarnya? Lu Leng dan Toan Bok Ang akan mati di dalam kuburan, itu memang nyata, lalu kenapa harus membuat hati gadis itu menjadi sedih?

Oleh karena itu Lu Leng mengambil suatu keputusan. Dan setelah sepasang kakinya menginjak lantai, dia segera berkata, "Nona Toan, ketika itu aku memang begitu, apakah kau menghendaki orang yang kau cintai mendustaimu?"

Toan Bok Ang tersenyum getir. “Tiap gadis yang di dunia, tentu tidak mau orang yang dicintainya mendustai dirinya," sahutnya.

"ltu memang benar. Lalu kenapa aku berterus terang, tapi kau malah bilang hatiku begitu tega?" tanya Lu Leng.

"Lu-siauhiap, jelas kau tidak mencintaiku, kenapa kau tidak mau membuat hatiku gembira sedikit? Hatimu memang...." sahut Toan Bok Ang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Karena tahu sudah tidak bisa keluar dari kuburan itu, maka Lu Leng mengambil suatu keputusan agar Toan Bok Ang tidak mati penasaran. Maka seusai gadis itu berkata, Lu Leng tersenyum seraya berkata, "Nona Toan, siapa bilang aku tidak mencintaimu?"

Badan gadis itu tergetar, kelihatannya seperti tidak percaya akan pendengarannya. Apa yang diucapkan Lu Leng barusan merupakan ucapan yang amat manis dan indah. Dia tertegun dan air matanya berderai-derai. Itu bukan air mata duka, melainkan air mata yang penuh kegembiraan. Lama sekali barulah dia bertanya dengan suara yang amat lembut. "Kalau begitu, kau... kau juga mencintaiku?"

Lu Leng memejamkan mata. Di pelupuk matanya justru muncul bayangan Tam Goat Hua, bahkan sepertinya Tam Goat Hua bertanya kepadanya, "Apakah kau mencintai Toan Bok Ang?"

Dalam hatinya menjawab dengan cepat sekali, "Tidak!"

Akan tetapi di mulutnya justru menjawab, "Ya."

Toan Bok Ang segera maju dua langkah. "Lu-siauhiap, kalau begitu kau rela mendampingiku seumur hidup?"

Lu Leng memandang ke sekeliling kuburan. Yang dimaksudkan seumur hidup tentunya hanya sembilan atau sepuluh hari saja. Apa salahnya menjawab "Rela" agar tidak mengecewakan hati gadis itu?

Oleh karena itu dia menyahut, "Rela!"

Betapa gembiranya Toan Bok Ang. Dia langsung mendekap di dada Lu Leng, dan Lu Leng segera memegang bahunya. Toan Bok Ang mendongakkan kepala untuk memandangnya seraya bertanya, "Kau... tidak sekedar mengbiburku?”

Lu Leng berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepala. "Untuk apa aku membohongimu?"

Toan Bok Ang masih kurang percaya, maka bertanya lagi, "Kalau begitu, kau tidak akan mencintai nona Tam?"

Begitu Tam Goat Hua diungkit, hati Lu Leng terasa seperti ditusuk. "Apa gunanya aku mencintainya lagi? Sedangkan dia... dia amat membenciku." Kali ini Lu Leng menyahut dengan sejujurnya.

Mendengar ucapan itu, wajah Toan Bok Ang langsung berseri. "Kini aku adalah gadis yang paling berbahagia di dunia," katanya.

Lu Leng tersenyum. "Kau dan aku akan mati di sini, kenapa kau masih merasa bahagia?"

"Asal bersamamu, aku pasti merasa bahagia. Tahukah kau, ketika aku melihatmu di Cing Yun Ling gunung Go Bi San, hatiku terus berdebar-debar, lho!" sahut Toan Bok Ang sungguh-sungguh.

Lu Leng memandangnya seraya berkata, "Aku sama sekali tidak tahu, aku memang bodoh."

Toan Bok Ang tertawa cekikikan dan mulai menari di hadapan Lu Leng. Begitu gemulai dan indah tariannya. Wajahnya tersenyum-senyum, pertanda hatinya gembira sekali.

Lu Leng menatapnya sejenak, lalu berkata, "Nona Toan...."

Toan Bok Ang cepat-cepat menghampirinya, lalu menutup mulut Lu Leng dengan tangannya seraya berkata, "Aku melarangmu memanggilku demikian."

"Kalau begitu aku harus memanggilmu apa?"

"Berapa usiamu tahun ini?" gadis itu balik bertanya.

"Delapan belas tahun," jawab Lu Leng.

Toan Bok Ang tertawa kecil. "Aku lebih tua dua tahun, kau harus panggil aku apa?"

"Kakak Ang," sahut Lu Leng dengan suara rendah.

Wajah Toan Bok Ang tampak kemerah-merahan. "lni baru benar," katanya.

Lu Leng melihat gadis itu begitu gembira, hatinya pun terhibur. "Kakak Ang, mari kita tutup kembali peti mati tembaga itu, barulah kita bercakap-cakap.”

Toan Bok Ang mengangguk. "Betul. Panah Bulu Api sudah tidak ada, kita tidak boleh membiarkan mayat nyonya Mo Liong Seh Sih terus terhembus angin."

Lu Leng dan Toan Bok Ang mengangkat tutup peti mati tembaga itu untuk diterapkan pada petinya. Namun tiba-tiba Toan Bok Ang melihat suatu benda di dalam peti mati tembaga itu.

"Adik Leng, tunggu!" serunya.

Lu Leng tercengang mendengar seruan gadis itu. "Tunggu apalagi?"

Toan Bok Ang menyahut sambil memandang ke dalam peti mati tembaga itu, "Lihatlah! Mayat nyonya Mo Liong Seh Sih sepertinya menindih sesuatu."

Lu Leng memandang ke dalam peti mati tembaga itu. Dilihatnya di dekat kaki mayat ada sesuatu yang menonjol ke atas. Menyaksikan itu hati Lu Leng bergerak, dan dia segera berkata, "Kita lihat dulu ada apa di bawah kaki mayat itu."

Toan Bok Ang mengangguk, lalu mereka berdua menaruh tutup peti mati tembaga itu ke bawah. Setelah itu Lu Leng menyingkap ujung gaun nyonya Mo Liong Seh Sih. Ternyata di situ terdapat dua buah benda berbentuk bulat, juga terbuat dari tembaga. Menyaksikan kedua benda itu, Lu Leng menjadi kecewa.

"ltu pasti alat yang menggerakkan senjata rahasia," katanya.

Toan Bok Ang malah menggelengkan kepala. "Tidak benar. Alat yang menggerakkan senjata rahasia berada di dinding," Toan Bok Ang menunjuk ke arah dinding.

Memang di dinding itu terdapat banyak lobang yang sepertinya menyimpan senjata rahasia. Lalu apa gunanya kedua benda bulat itu? Lu Leng terus berpikir, kemudian menjulurkan tangannya untuk mengambil kedua benda itu, namun tak terangkat. Lu Leng mengerutkan kening, lalu memutar kedua benda itu ke kiri dan ke kanan. Benda itu bergerak, dan dalam waktu bersamaan terdengar suara.

"Kreek!" peti mati tembaga itu tergeser ke samping.

Lu Leng dan Toan Bok Ang memandang ke tempat itu. Mereka melihat sebuah lobang yang amat gelap. Toan Bok Ang segera mengeluarkan senjata Sian Tian Sin So pemberian Mo Liong Seh Sih, lalu di lempar ke atas dan senjata itu memancarkan cahaya putih. Mereka berdua segera memandang ke dalam lobang itu. Tampak sebuah ruang batu dan sebuah peti mati tembaga pula. Ruang bata itu mirip ruang tempat mereka berada, hanya saja di sisi peti mati tembaga itu terdapat sosok kerangka manusia, namun pakaiannya masih utuh.

Lu Leng dan Toan Bok Ang saling memandang. Tempat ini adalah makam nyonya Mo Liong Seh Sih, tapi kenapa muncul dua buah peti mati tembaga? Siapa pula yang berada di dalam peti mati tembaga yang satu itu? Mereka berdua terheran-heran. Mendadak hati Toan Bok Ang tergerak, dan seketika juga dia membalikkan badannya sekaligus menjulurkan tangannya menyentil wajah nyonya Mo Liong Seh Sih.

"Jangan merusak wajah nyonya Mo Liong Seh Sih!" seru Lu Leng.

Namun telunjuk Toan Bok Ang telah menyentil muka Mo Liong Seh Sih. Terdengar suara berdetak, seperti menyentil sebuah kayu. Seketika dalam hati mereka sudah mengerti dan serentak berseru girang.

"Peti mati tembaga yang di bawah itu baru benar berisi mayat nyonya Mo Liong Seh Sih. Ada pun peti mati tembaga ini hanya berisi sebuah patung kayu," kata Toan Bok Ang.

"Tidak salah. Panah Bulu Api juga pasti berada di dalam peti mati tembaga yang itu," sahut Lu Leng.

Ketika mulai berbicara wajah Lu Leng tampak berseri, namun usai berbicara wajahnya malah berubah muram. Kemudian dia menghela nafas panjang, tentunya membuat Toan Bok Ang terheran-heran.

"Adik Leng, Panah Bulu Api belum dicuri orang. Seharusnya kau bergembira, tapi kenapa malah bermuram durja?"

Lu Leng menghela nafas lagi. "Saat ini aku justru berharap Panah Bulu Api itu dicuri orang dan Liat Hwe Cousu mengetahui jejaknya, sama sekali tidak berharap Panah Bulu Api itu masih berada di dalam makam ini."

Sepasang bola mata Toan Bok Ang berputar sejenak, lalu dia manggut-manggut seraya berkata, "Aku mengerti, Adik Leng. Kalau Panah Bulu Api masih berada di dalam makam ini tentu akan seperti kita, tidak bisa keluar untuk menghadapi Liok Ci Khim Mo. Ya, kan?"

Lu Leng mengangguk. "Tidak salah."

"Adik Leng, apakah benar kita tidak bisa keluar dari makam ini?" tanya Toan Bok Ang.

Pertanyaan tersebut membuat hati Lu Leng tergerak dan membatin, "Benar! Apakah kita tidak bisa keluar? Oh, Lu Leng! Apakah kau tidak akan mati penasaran di dalam makam ini?" Setelah membatin, mendadak sepasang matanya menyorotkan sinar tajam dan penuh percaya diri.

"Mari kita ke bawah melihat-lihat dulu!" sahutnya.

Lu Leng dan Toan Bok Ang segera meloncat ke bawah melalui lobang itu. Tidak salah, itu memang ruang batu. Mereka lalu mendekati sosok kerangka manusia itu. Tampak di bagian tengkorak kepalanya tertembus tiga batang paku panjang berwarna hitam mengkilap. Pakaian yang melekat di kerangka itu amat mewah, berwarna hitam dan merupakan jubah panjang. Di sisi tulang lengan terdapat sebuah golok yang sudah karatan.

Lu Leng memeriksa pakaian itu. Masih utuh, begitu pula ujung baju itu. Setelah memeriksa pakaian tersebut, barulah Lu Leng dan Toan Bok Ang membuka tutup peti mati tembaga itu, lalu memandang ke dalam dengan penuh harapan. Akan tetapi, setelah memandang ke dalam, wajah mereka berdua tampak kecewa. Di dalam peti mati tembaga itu berisi sosok mayat wanita tua berambut keperak-perakan, persis seperti patung orang yang ada di dalam peti mati tembaga di ruang atas. Di sisi mayat itu hanya terdapat bekas Panah Bulu Api, dan secarik kertas berisi tulisan yang berbunyi demikian,

Seh tua! Seh tua! Dulu kau menghina diriku, kini aku balas menghina dirimu. Aku mengambil tujuh batang Panah Bulu Api. Kalau kau merasa tidak senang, kita boleh berduel!

Pada surat itu tidak tertera nama penulisnya. Setelah membaca, Lu Leng tertegun dan membatin, "Sepertinya aku mengenali gaya tulisan ini." Akan tetapi dia tidak ingat di mana dirinya pernah melihat gaya tulisan tersebut.

Ketika melihat Lu Leng terus mengerutkan kening, Toan Bok Ang bertanya dengan lembut. "Adik Leng, kau sedang memikirkan apa?"

"Aku merasa kenal akan gaya tulisan ini," sahut Lu Leng.

Toan Bok Ang menunjuk kerangka itu. "Kertas itu pasti peninggalan orang itu," katanya.

Lu Leng menggelengkan kepala. "Menurutku bukan. Orang itu memang sengaja ke mari membongkar kuburan, sedangkan pencuri Panah Bulu Api justru tidak sengaja menerobos ke dalam makam ini. Tulisannya memberitahukan bahwa dulu dia pernah di pecundang oleh Seh-locianpwee, maka mengajak Seh-locianpwee berduel. Akan tetapi Seh-locianpwee berkelana ke berbagai tempat, sama sekali tidak tahu akan kejadian tersebut."

Toan Bok Ang manggut-manggut. "Memang tidak salah apa yang kau katakan, tapi... kok kau mengenali gaya tulisan itu?"

Lu Leng mengerutkan kening. "Aku pun merasa heran. Kalau orang yang kukenali, bagaimana mungkin aku tidak tahu dia memiliki Panah Bulu Api? Heran! Kok aku mengenali gaya tulisan itu?"

Toan Bok Ang tersenyum. "Adik Leng, kini kau tidak usah memikirkan itu. Yang penting kita harus berupaya agar bisa keluar dari makam ini, setelah itu barulah kau memikirkannya lagi."

Lu Leng mengangguk.

Makam itu terdapat dua ruangan, jalan ke luar satu-satunya hanya melalui lobang yang telah ditutup dengan lempengan besi. Lalu bagaimana cara bisa keluar?

Toan Bok Ang tahu apa yang sedang Lu Leng pikirkan, maka segera berkata, "Adik Leng, tadi kupikir kita memang tidak bisa keluar, namun kini setelah kupikirkan kembali, yakin ada jalannya."

"Jalan apa?" tanya Lu Leng.

Toan Bok Ang menjawab. "Jalan yang kupikirkan itu, mau tidak mau harus mengganggu mayat nyonya Mo Liong Seh Sih. Dari dasar ke atas lobang tertutup itu hanya dua depaan, sedangkan panjang peti mati tembaga satu depa lebih. Kalau disambung bisa mencapai dua depa lebih. Asal kita dapat mendorong lempengan besi itu sampai terbuka sedikit, tentu kita punya akal untuk keluar."

Lu Leng memandang peti mati tembaga itu. Dirasanya apa yang dikatakan Toan Bok Ang itu masuk di akal, walau sulit dilaksanakan namun masih bisa dicoba. Maka dia manggut-manggut, lalu bersama Toan Bok Ang segera berlutut di hadapan peti mati tembaga itu.

"Nyonya tua Mo Liong Seh Sih, kami berdua terpaksa harus mengganggu ketenanganmu. Harap memaafkan kami!" ucap mereka serentak.

Usai berdoa, mereka berdua mengangkat mayat nyonya Mo Liong Seh Sih, lalu ditaruh ke bawah. Berat peti mati tembaga itu mencapai dua tiga ribu kati, maka mereka tidak tahu bagaimana cara menaikkannya ke ruang atas. Setelah berpikir sejenak, mendadak Lu Leng mengangkat peti mati tembaga itu seorang diri seraya berseru,

"Kakak Ang, cepat minggir dikit!"

Toan Bok Ang segera minggir. Dilihatnya wajah Lu Leng memerah karena terlampau mengerahkan tenaga.

"Hati-hati, Adik Leng!" serunya.

Lu Leng membentak keras, kemudian melemparkan peti mati tembaga itu ke atas melalui lobang yang di atas. Peti mati tembaga itu meluncur ke atas, lalu terdengar suara hiruk-pikuk di atas. Lu Leng menarik nafas lega, karena telah berhasil melemparkan peti mati tembaga itu ke ruang atas. Wajahnya sudah berubah seperti biasa.

Toan Bok Ang memandangnya seraya berkata, "Adik Leng, tenagamu sungguh besar!"

"Itu dikarenakan aku makan Cit Sek Ling Che sehingga lweekang-ku bertambah tinggi," sahut Lu Leng.

Toan Bok Ang manggut-manggut, lalu mereka berdua mencelat ke atas melalui lobang itu. Sampai di ruang atas, tampak peti mati tembaga itu menindih peti mati tembaga yang ada di ruang atas. Lu Leng dan Toan Bok Ang menurunkan peti mati tembaga itu, lalu menggeserkan peti mati tembaga yang di ruang atas. Tapi peti mati tembaga tersebut jauh lebih berat dari yang satu itu. Kalau peti mati tembaga yang di ruangan bawah seberat itu, Lu Leng pasti tidak mampu melemparkannya ke atas.

Mereka berdua terheran-heran, karena kedua peti mati tembaga itu sama besar dan bentuknya pun sama, tapi yang satu itu jauh lebih berat. Lu Leng dan Toan Bok Ang saling memandang.

"Mungkinkah patung orang itu amat berat?" katanya.

Lalu segera mengangkat patung orang yang ada di dalam peti mati tembaga. Ternyata patung orang itu tidak begitu berat sehingga membuat gadis itu menjadi terheran-heran.

Lu Leng mengerutkan kening terus berpikir, lama sekali barulah membuka mulut, "Kakak Ang, cobalah kau cari akal agar kita bisa keluar dari makam ini."

Toan Bok Ang mengerutkan kening, setelah itu mengangguk. "Baik. Terlebih dahulu kita harus mendirikan peti mati tembaga itu."

Lu Leng mengangguk lalu mereka berdua berupaya mengangkat peti mati tembaga itu agar berdiri. Ketika hampir berdiri, peti mati tembaga itu bergoyang-goyang.

"Cepat menyingkir!" seru Lu Leng.

Dia cepat-cepat menarik Toan Bok Ang meloncat ke sudut. Terdengar suara hiruk-pikuk memekakkan telinga, ternyata peti mati tembaga itu roboh. Seandainya mereka berdua terlambat menyingkir, tulang-tulang mereka pasti remuk tertimpa peti mati tembaga itu. Lu Leng menarik nafas dalam-dalam, lalu memandang Toan Bok Ang seraya berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Kakak Ang, cara ini tidak bisa dilaksanakan."

Toan Bok Ang memandang peti mati tembaga yang roboh itu, kemudian mendekati dan melongokkan kepalanya ke dalam. "Adik Leng, cepat kemari lihat!" panggilnya sambil menoleh ke arah Lu Leng.

Lu Leng cepat-cepat ke sana, lalu melongokkan kepalanya juga ke dalam peti mati tembaga itu. Ternyata di dalamnya terdapat dua cekungan.

"Adik Leng, ternyata dinding peti itu berongga, maka lebih ringan. Seh-locianpwee tidak memberitahukan tentang itu, pasti ada sebabnya," kata Toan Bok Ang sambil menunjuk peti mati tembaga yang lebih ringan.

Lu Leng segera merogohkan tangan ke dalam bajunya untuk mengeluarkan golok pusakanya, lalu membacok dinding peti mati tembaga yang ringan itu. Memang benar dinding peti mati tembaga itu berongga dan kelihatan ada sesuatu di dalamnya.

“Ternyata di dalamnya ada barang!" seru Toan Bok Ang dengan girang.

Lu Leng tersenyum getir. "Kakak Ang, apa pun yang tersimpan di dalam, percuma juga kita memperolehnya."

"Sulit dikatakan, Adik Leng. Aku lihat kau bukan orang yang pendek umur. Kita berdua senasib. Kau tidak pendek umur, begitu pula aku, bukan?"

Lu Leng tersenyum ketika mendengar ucapan gadis itu. "Kalau begitu keluarkan saja barang yang di dalam itu!"

Toan Bok Ang mengangguk, lalu segera merogohkan tangannya ke dalam rongga dinding peti mati tembaga itu. Dia mengeluarkan gulungan kertas, sepertinya sebuah lukisan. Kertas itu langsung dipaparkannya, ternyata memang sebuah lukisan. Panjangnya mencapai dua depaan dan gemerlapan, entah dibikin dari bahan apa.

Bukan lukisan pemandangan, juga bukan lukisan binatang, melainkan merupakan garis-garis yang tidak karuan. Lurus, bengkok, berbentuk bulat, segi tiga, segi empat dan menyerupai bentuk manusia tanpa kepala atau tiada kaki tangannya, justru amat menyeramkan lukisan-lukisan tersebut. Lama sekali Lu Leng dan Toan Bok Ang memperhatikan lukisan-lukisan itu, namun mereka berdua sama sekali tidak mengerti akan maksudnya.

"Sungguh mengherankan Seh-locianpwee menyimpan lukisan ini di rongga peti mati tembaga. Itu dikarenakan apa?" ujar Toan Bok Ang.

Lu Leng tersenyum getir. "Selain Seh-locianpwee, orang lain pasti tidak mengetahuinya!"

"ltu belum tentu. Coba rogoh lagi, mungkin masih ada barang lain di dalamnya!" kata Toan Bok Ang.

Lu Leng cuma tersenyum getir. Toan Bok Ang menatapnya sejenak, kemudian mulai merogoh ke dalam lagi, namun tidak menemukan apa pun.

"Sudahlah! Tidak usah mencari lagi! Siapa pun tidak akan mengerti tentang lukisan ini, lebih baik disimpan saja!" kata Lu Leng.

Toan Bok Ang mengangguk. Dia segera menggulung kembali lukisan tersebut, lalu diselipkan di pinggangnya, sedangkan Lu Leng terus berupaya mendorong peti mati tembaga itu agar berdiri, namun tidak berhasil juga. Toan Bok Ang merasa tidak tega menyaksikannya.

"Adik Leng, kau beristirahatlah dulu!" katanya.

Lu Leng berhenti, lalu memandang Toan Bok Ang. "Kita berada di dalam makam ini, kian lama ajal kian mendekat. Di sini tiada makanan, kalau kita terus beristirahat akan semakin lemah."

Apa yang dikatakan Lu Leng memang benar, pikir gadis itu. Maka dia menghela nafas panjang seraya berkata, "Apakah aku boleh bantu?"

Lu Leng berpikir sejenak, setelah itu baru menyahut, "Kalau ada tali, aku akan berdiri di atas peti mati tembaga yang satu itu, kemudian menarik ke atas peti mati tembaga yang lain. Apabila kedua peti mati tembaga itu tersambung, maka tidak begitu sulit mendorong lempengan besi penutup lobang itu."

"Tapi ke mana mencari tali itu?" sahut Toan Bok Ang. Berkata sampai di situ, mendadak wajahnya tampak kemerah-merahan. "Kecuali... kecuali..." sambungnya. Mendadak gadis itu mendekap di dada Lu Leng dan tawanya pun meledak.

Lu Leng terheran-heran. "Kakak Ang, apa yang kau tertawakan?"

Toan Bok Ang mendongakkan kepala, wajahnya masih tampak kemerah-merahan. "Hanya ada satu cara kita mendapatkan tali, yaitu dari pakaian kita."

Mendengar itu Lu Leng menjadi tertegun. Itu memang cara terbaik, namun bagaimana mungkin mereka berdua membuka pakaian masing-masing? Ketika Lu Leng ingin menolak, Toan Bok Ang sudah berkata lagi.

“Adik Leng, sesungguhnya tidak apa-apa."

Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "ltu mana boleh?"

"Adik Leng, tadi kau berjanji akan mendampingiku seumur hidup, maka kita sudah seperti suami istri...." Berkata sampai di situ Toan Bok Ang tampak tersipu, namun dalam hatinya justru berbunga-bunga. "Maka... harus takut apa?" lanjutnya.

Sebaliknya hati Lu Leng malah berdebar-debar tegang tidak karuan, sebab tadi dia mengabulkan begitu hanya karena yakin mereka tidak bisa keluar dari makam itu, jadi tidak mau membuat hati gadis itu berduka. Akan tetapi, setelah menemukan kedua buah peti mati tembaga, urusan pun menjadi lain, sebab masih ada jalan untuk meloloskan diri dari makam itu. Kalau tadi menemukan kedua buah peti mati tembaga, tentunya dia tidak akan berkata begitu kepada Toan Bok Ang. Kini dia tidak tahu harus menyesal atau menjelaskannya, sehingga menjadi diam saja.

Melihat Lu Leng diam, Toan Bok Ang segera berkata dengan lembut. "Adik Leng, itu benar bukan?"

Lu Leng terus berpikir, sehingga terjadi pertentangan di dalam hatinya. "Memang tidak salah katamu, tapi... peti mati tembaga begitu berat, bagaimana mungkin bisa ditarik ke atas dengan tali yang dibikin dari pakaian?"

Toan Bok Ang tertegun. "Kalau begitu, kita pasti akan mati di sini?"

Lu Leng tertawa. "Kakak Ang, tadi kau bilang dirimu paling bahagia di dunia, tapi kenapa kini malah ingin cepat-cepat meninggalkan makam ini?"

"Sungguh waktu yang singkat kalau kita hidup di dalam makam ini. Aku... ingin bersamamu puluhan tahun lamanya," sahut Toan Bok Ang sambil tersenyum.

Bukan main terkejutnya hati Lu Leng. Gara-gara Liat Hwe Cousu, akhirnya harus menanamkan suatu cinta yang sulit diuraikan. Apabila tidak bisa keluar, itu memang tidak jadi masalah. Tapi kalau bisa keluar dari makam itu, tentunya akan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Entah harus bagaimana menjernihkannya? Lu Leng tertegun, lama sekali barulah membungkukkan badannya, maksudnya ingin mengangkat peti mati tembaga itu agar berdiri.

"Bagaimana, aku bantu?" tanya Toan Bok Ang.

"Mungkin percuma," sahut Lu Leng.

Di saat Lu Leng baru mau mengangkat peti mati tembaga itu, kebetulan melihat lukisan yang menyelip di pinggang Toan Bok Ang. Seketika hatinya tergerak dan timbul suatu ide dalam hatinya.

"Kakak Ang, aku sudah menemukan tali!"

Toan Bok Ang girang bukan main. "Di mana?"

Lu Leng menjulurkan tangannya untuk menyambar gulungan lukisan yang di pinggang gadis itu. "Lukisan ini panjangnya hampir dua depa, lagi-pula amat kuat. Kalau dibikin tali, pasti dapat menarik peti mati tembaga itu."

"Kalau begitu, bukankah lukisan ini akan rusak?" tanya gadis itu.

Lu Leng tertawa. "Dasar gadis bodoh! Apa gunanya lukisan itu? Yang penting kita harus keluar dari makam ini!"

Toan Bok Ang melotot. "Lain kali kau tidak boleh memanggilku gadis bodoh lagi!"

Menyaksikan sikap gadis itu, Lu Leng tertawa terbahak-bahak saking gelinya. "Hahaha! Gadis bodoh! Gadis bodoh...."

Toan Bok Ang langsung menghujaninya dengan pukulan yang tak bertenaga seraya berteriak-teriak. "Jangan memanggilku begitu! Jangan memanggilku begitu!"

Mendadak Lu Leng tersentak sadar, kenapa dirinya mau bergurau mesra dengan gadis itu? Kemudian Lu Leng diam sambil memandang Toan Bok Ang. Wajah gadis itu kemerah-merahan, menambah kecantikannya. Kalau dia belum berhubungan intim dengan Tam Goat Hua, pasti merasa puas mempunyai istri secantik itu. Karena memikirkan itu, akhirnya Lu Leng menghela nafas panjang.

"Kenapa kau menghela nafas panjang lagi?" tanya Toan Bok Ang terbelalak.

"Aku sedang berfikir, seandainya aku bisa memperistrimu sungguh merasa puas, tapi...." sahut Lu Leng. dia tidak menyadari bahwa dirinya kelepasan berbicara.

"Jangan dilanjutkan!" potong Toan Bok Ang.

Lu Leng tersentak sadar dan berseru dalam hati, "Celaka!" Wajahnya langsung memerah dan tidak tahu harus berkata apalagi.

Toan Bok Ang tersenyum dan menatapnya lembut. "Adik Leng, aku pikir lukisan ini pasti amat penting. Kalau tidak, bagaimana mungkin Seh-locianpwee menyimpannya di dalam lapisan peti mati tembaga itu? Maka kau harus hati-hati memotongnya!" pesannya.

Lu Leng mengangguk dan mulai memotong lukisan itu menjadi empat potong. Kemudian mereka berdua membuat seutas tali dengan keempat potong lukisan itu dan akhirnya berhasil juga. Lu Leng membacok pinggiran peti mati tembaga itu, lalu mengikatkan ujung tali istimewa tersebut di bekas bacokan. Setelah itu dia meloncat ke atas peti mati tembaga yang lain, sekaligus menarik tali istimewa itu.

“Krek! Krek!”

Dugaan Lu Leng memang tidak meleset, lukisan itu amat kuat. Walau peti mati tembaga itu amat berat, namun tali istimewa itu tidak putus ketika ditariknya. Berselang beberapa saat barulah Lu Leng berhasil menarik peti mati tembaga itu ke atas, namun dia sudah lelah sekali. Kedua peti mati tembaga itu menyambung menjadi satu, tapi jarak sampai lobang masih setengah depa. Toan Bok Ang melihat sekujur badan Lu Leng berkeringat. Maka dia segera mendekatinya, lalu menyeka keringat Lu Leng dengan ujung bajunya.

"Kau beristirahatlah dulu, biar aku yang mencobanya!"

"Kakak Ang, kau jangan mencobanya, sebab jarak sampai lobang masih setengah depa, maka harus membungkukkan badan. Kalau terlampau menggunakan tenaga, tulang pinggangmu pasti patah, maka kau jangan mencobanya," sahut Lu Leng.

Wajah Toan Bok Ang langsung muram. "Kalau begitu kau pun jangan mencobanya."

Lu Leng segera duduk bersila di lantai. "Tenagaku lebih besar darimu, tentunya aku harus mencobanya," sahut Lu Leng sambil memejamkan matanya, mulai mengerahkan hawa murni.

"Ujung peti mati tembaga itu bisa muat dua orang, sebentar aku akan ke atas bersamamu," kata Toan Bok Ang.

Lu Leng mengangguk. Berselang beberapa saat kemudian, mendadak Lu Leng bangkit dari duduknya seraya berseru, "Kakak Ang, naik...!"

Akan tetapi Lu Leng langsung diam. Ternyata dia tidak melihat Toan Bok Ang berada di ruang batu itu. Betapa terkejutnya Lu Leng. Dia menengok ke sana ke mari, namun tetap tidak tampak bayangan gadis itu. Ke mana Toan Bok Ang? Mungkinkah dia bersembunyi untuk menakut-nakuti Lu Leng? Oleh karena itu Lu Leng menahan tawanya. Dia mendekati lobang yang menuju ke ruang bawah, lalu melongok ke bawah. Namun di sana hanya tampak mayat nyonya Mo Liong Seh Sih dan sosok kerangka itu, tidak tampak bayangan Toan Bok Ang.

Dia tertegun, kemudian tertawa karena menduga gadis itu bersembunyi di dalam peti mati tembaga. Dia berjalan ke depan untuk melihat-lihat dan seketika mulutnya ternganga lebar. Ternyata Toan Bok Ang tidak bersembunyi di situ, dan kedua peti mati tembaga itu tetap kosong. Hal itu membuat Lu Leng bercuriga. Sejak Mo Liong Seh Sih bunuh diri hingga dirinya terkurung di dalam makam itu, sepertinya bagaikan sebuah mimpi buruk. Apakah semua itu hanya merupakan khayalan belaka? Kalau tidak, lalu Toan Bok Ang menghilang ke mana? Lu Leng menggigit jarinya, tapi masih terasa sakit, itu pertanda dia bukan sedang dalam keadaan bermimpi.

Lalu dia berteriak-teriak memanggil Toan Bok Ang, namun tiada sahutan sama sekali. Di dalam makam itu hanya terdapat dua buah ruang batu, bagaimana mungkin Toan Bok Ang menghilang begitu saja? Lu Leng berusaha mengingat kembali. Ketika dia baru mulai mengerahkan hawa murni, masih mendengar Toan Bok Ang bersenandung, kemudian berjalan mondar-mandir. Setelah itu Lu Leng memusatkan pikirannya, maka tidak mendengar suara gadis itu.

Bagaimana mungkin dalam waktu sekejap Toan Bok Ang menghilang bagaikan asap? Mungkin di saat Lu Leng sedang mengerahkan hawa murni, Toan Bok Ang menemukan jalan rahasia, maka gadis itu berjalan ke luar melalui jalan rahasia tersebut. Akan tetapi Lu Leng merasa heran. Kalau Toan Bok Ang menemukan jalan rahasia, kenapa dia tidak berseru girang? Lagi-pula tidak mengajaknya? Lu Leng terus berpikir, akhirnya dia yakin bahwa Toan Bok Ang telah menemukan jalan rahasia. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja? Oleh karena itu Lu Leng mulai mengetuk dinding-dinding di sekitarnya, namun bersuara padat, tidak ada yang bersuara kosong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar