Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 09

Begitu jurus tersebut dikeluarkan, tosu itu sudah tahu akan kedahsyatannya, maka segera menyurut mundur. Ketika tosu itu mundur, Toan Bok Ang justru tidak melanjutkan jurus itu, hanya berdiri diam saja. Tentunya membuat tosu itu terheran-heran, dan sudah barang tentu penjagaannya menjadi lengah. Akan tetapi, Toan Bok Ang tetap tidak menyerangnya.

Tosu itu bergirang dalam hati, dan langsung menggerakkan pedangnya untuk menyerang. Toan Bok Ang mundur, namun tosu itu menyerang lagi dengan jurus ‘Pelangi Menutupi Matahari’. Pedangnya berkelebatan dan menderu-deru mengarah Toan Bok Ang. Di saat tosu itu mengeluarkan jurus tersebut, ketiga tosu lain langsung berseru.

"Suheng hati-hati!"

Ternyata ketiga tosu itu telah melihat jurus yang dikeluarkan Toan Bok Ang tadi belum semuanya, maka ketika tosu itu menyerang dengan jurus Ciang Hong Koan Jit, mereka bertiga berseru memperingatkannya. Namun sudah terlambat, karena badan Toan Bok Ang telah bergerak ke belakang tosu itu.

Gadis itu bergerak menggunakan ginkang andalan Hui Yan Bun, maka gerakannya cepat laksana kilat dan ringan bagaikan kapas. Betapa terkejutnya tosu itu, sebab mendadak Toan Bok Ang menghilang dari hadapannya. Di saat tosu itu mengetahui adanya gelagat tidak beres, Toan Bok Ang justru telah menyerang punggungnya dengan jurus tadi, ‘Burung Walet Beterbangan’.

“Plak! Plak! Plak!”

Terdengar suara itu dan disusul dengan suara jeritan tosu itu. Ternyata badannya terpental ke depan beberapa depa dan punggungnya telah terluka cukup berat.

Toan Bok Ang berdiri di tempat, menatap ketiga tosu lain seraya bertanya dingin. "Siapa lagi yang akan maju?"

Ketiga tosu itu maju serentak. Seketika juga Toan Bok Ang tertawa, kelihatannya gadis itu sudah siap bertarung. Di saat bersamaan, mendadak jago tangguh tingkat kedua Bu Tong Pai, Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh berseru.

"Nona dari Hui Yan Bun dan tosu dari Cing Sia Pai, kalian tidak perlu bertarung lagi!"

Sembari berseru dia mendekati mereka, lalu berdiri di tengah-tengah mereka pula. Jago tangguh dari Bu Tong Pai itu, sejak berada di situ tidak pernah berbicara dengan siapa pun. Namun kini mendadak dia tampil ke tengah-tengah mereka, maka amat mengherankan semua orang.

Sedangkan Toan Bok Ang tahu jelas akan dirinya sendiri, kalau terus bertarung satu persatu, tenaganya justru akan terkuras habis. Dalam hatinya memang menghendaki kemunculan seseorang, kebetulan Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh tampil ke depan.

Ketiga Tosu Cing Sia Pai segera bertanya serentak. "Apa artinya tidak perlu bertarung lagi?! Harap dijelaskan!"

Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh tidak menyahut, melainkan memandang Yok Kun Sih dan Gin Koan Tojin yang sedang bertarung itu seraya berkata.

"Kalian berdua adalah ketua partai, kenapa kalian masih terus bertarung? Setiap orang yang datang di puncak Sian Jin Hong masing-masing punya maksud tertentu, tapi tidak untuk bertarung!"

Ketiga tosu Cing Sia Pai membungkam. Di saat itulah terdengar suara seruan lantang. "Memang benar perkataan Saudara Ouw Yang!"

Suara seruan itu amat nyaring dan tajam, maka menarik perhatian semua orang. Kemudian orang-orang itu memandang ke arah datangnya suara dan tertegun. Ternyata wajah orang yang bersuara itu, aneh sekali. Dia mengenakan pakaian pendek, dan tangannya memegang sebuah kipas rombeng. Yang mengherankan, dia memakai sebuah kedok besar yang tampak tersenyum-senyum, yakni kedok Buddha Berwajah Tertawa.

Sesungguhnya dandanan orang itu tidak aneh, sebab sejak Dinasti Han dandanan tersebut sudah populer. Khususnya untuk menghibur anak-anak setiap tahun, agar anak-anak bergembira ria. Akan tetapi dengan dandanan seperti itu muncul di puncak Sian Jin Hong, justru membuat semua orang terheran-heran dan merasa di luar dugaan. Walau kedok itu tersenyum-senyum, namun tampak sepasang mata orang itu menyorot dingin. Siapa yang menyaksikan sorotan matanya, pasti merasa merinding. Hal lain yang mengherankan, yaitu kapan datangnya orang itu, tiada seorang pun tahu.

Liat Hwe Cousu tampak berbisik-bisik dengan kedua tongcu-nya, kelihatannya dia pun tidak tahu kapan orang itu muncul di puncak Sian Jin Hong. Hanya kini terlihat orang itu duduk di atas sebuah batu besar yang tajam, tapi seakan duduk di tanah datar. Semua orang memandangnya, kemudian mulai berbisik-bisik membicarakannya. Akan tetapi, tetap tiada seorang pun tahu asal-usul orang tersebut. Karena tak ada yang tahu, maka orang-orang itu mulai tidak memperhatikannya lagi.

Orang-orang yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong itu baik dari golongan lurus maupun golongan sesat rata-rata sudah terkenal dalam rimba persilatan. Maka begitu bertemu mereka saling mengenal, termasuk Kim Kut Lau. Namun orang itu, justru tiada seorang yang mengenalnya, pertanda dia bukan orang terkenal, maka sengaja berdandan aneh seperti itu untuk menarik perhatian semua orang. Di saat semua orang sedang berpikir demikian, mendadak orang itu meloncat turun dari batu besar yang didudukinya.

“Plak!” Terdengar suara sepasang kakinya menginjak tanah, sepertinya tidak mengerti ilmu ginkang.

Setelah meloncat turun, orang itu berseru. "Gin Koan Tojin, Yok Kun Sih, kalian berdua tidak perlu bertarung lagi!"

Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih baru bertarung belasan jurus dan belum ada yang kalah, bagaimana mungkin mereka berdua menyudahi pertarungan itu? Oleh karena itu, mereka berdua sama sekali tidak menghiraukan seruan orang itu, melainkan terus melancarkan pukulan.

“Blaaam!” Terdengar suara benturan, membuat mereka berdua mundur selangkah.

Ketika mereka berdua baru mau melancarkan pukulan lagi, kedua-duanya sama-sama tertegun. Ternyata entah sejak kapan, tahu-tahu orang berkedok itu sudah berdiri di tengah-tengah mereka. Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih merupakan jago tangguh tingkat tertinggi dalam rimba persilatan di masa itu. Namun mereka berdua justru tidak tahu, sejak kapan orang berkedok itu berdiri di tengah-tengah mereka berdua, dan itu membuat mereka berdua tidak jadi melancarkan pukulan.

Terdengar orang berkedok itu berkata. "Kalian berdua ingin tahu siapa yang menang dan yang kalah. Tapi kalau kalian bertarung dengan cara demikian, sampai lima ratus jurus pun belum tentu ada hasilnya. Bahkan itu akan menghabiskan waktu kalian sekaligus menelantarkan pokok urusan. Menurut aku, kalah dan menang dapat segera diketahui."

Kini Yok Kun Sih dan Gin Koan Tojin, sudah tahu bahwa orang berkedok itu berkepandaian amat tinggi.

"Ada cara apa agar bisa tahu siapa menang dan kalah?" tanya mereka serentak.

Orang berkedok itu menggeleng-gelengkan kepala. "Dalam hal ilmu silat, tentunya berpokok pada lweekang. Kini banyak jago tangguh di sini. Kalian berdua boleh memperlihatkan lweekang masing-masing, tetapi harus ada orang yang menjadi saksi. Jadi kalian tidak perlu bertarung tidak karuan menghabiskan waktu."

Gin Koan Tojin menyahut sengit. "Apa yang anda katakan memang tidak salah, namun aku dengan dia bukan ingin tahu siapa yang menang dan yang kalah, melainkan berhubungan dengan kematian si Pecut Emas-Han Sun."

Orang berkedok itu tertawa aneh. "Aku tahu! Siapa yang menang tentunya boleh berbuat sesukanya."

Gin Koan Tojin berkata dingin. "Aku kira anda tidak dapat mengambil keputusan itu."

Orang berkedok itu tertawa gelak. "Hahaha!"

Suara tawanya tak sedap didengar. Sebelum suara tawanya lenyap, dia sudah mencelat ke belakang. Gerakannya cepat sekali, tahu-tahu dia sudah berada di sisi sebuah batu besar, lalu mendadak mengayunkan kipas rombengnya.

“Blaaam!” Terdengar suara yang memekakkan telinga. Bukan main! Batu besar itu terbelah menjadi dua.

Kemudian orang itu kembali ke sisi Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih seraya bertanya, "Aku boleh mencampuri atau tidak?"

Usai bertanya mendadak terdengar suara ledakan.

"Blaaam!" ternyata batu besar yang terbelah tadi meledak hancur.

Betapa terkejutnya semua orang, termasuk Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih. Mereka semua terbelalak menyaksikan kejadian itu.

Tam Goat Hua juga merasa heran dalam hati. "Kakak, lweekang orang itu telah mencapai tingkat tertinggi. Entah siapa dia?" tanyanya kemudian kepada kakaknya.

Kakak Tam Goat Hua menggeleng-gelengkan kepala. "Aku pun tidak tahu, sebab banyak orang aneh berkepandaian tinggi dalam rimba persilatan."

Setelah batu besar itu hancur, semua orang mulai membicarakan orang berkedok itu. Dalam hati Gin Koan Tojin, walau tidak terkesan baik terhadap orang berkedok itu tapi amat kagum kepadanya, sebab orang berkedok itu menghantam batu besar itu cuma menggunakan kipas rombeng.

Setelah berpikir sejenak, Gin Koan Tojin pun berkata. "Anda tidak menghendaki kami bertarung di sini, baiklah. Setelah meninggalkan tempat ini, barulah kami lanjutkan."

Orang berkedok itu menggoyang-goyangkan kipasnya. "Kalau begitu memang baik sekali. Namun kalian semua yang datang di tempat ini, belum tentu cuma ingin menonton keramaian. Mungkin pada saatnya, kalian masing-masing pun harus turun tangan. Bagi yang berkepandaian rendah, harus cepat-cepat mengambil keputusan, agar tidak mempermalukan diri sendiri nanti!"

Apa yang diucapkannya justru ditujukan kepada semua orang, dan bernada besar.

Liat Hwe Cousu membuka matanya perlahan-lahan, kemudian membentak. "Siapa anda?!"

Orang berkedok itu tertawa dingin. "Aku adalah aku!" sahutnya.

Usai menyahut, orang itu melangkah pergi. Tapi ketika melewati Tam Goat Hua dan kakaknya ia berhenti sejenak sambil menatap mereka berdua dengan sorot mata tajam. Kemudian dia berjalan lagi dan berhenti di dekat sebuah batu.

Saat itu tengah hari, masih banyak orang datang di puncak Sian Jin Hong. Ketika hari mulai sore, muncullah si Setan-Seng Ling bersama Setan Kepala Kerbau dan Setan Kepala Kuda. Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mia Su-Seng Bou segera menyapanya, kemudian mereka lalu bercakap-cakap dengan suara rendah. Si Setan-Seng Ling segera memandang Tujuh Dewa, Tam Goat Hua dan kakaknya dengan sorotan tajam, setelah itu barulah duduk.

Tam Goat Hua tertawa. "Kak, setan tua tiba, setan kecil langsung mengadu."

Kakak Tam Goat Hua menyahut. "Diam! Entah kenapa ayah masih belum muncul? Lebih baik kita jangan cari gara-gara!"

Tam Goat Hua meleletkan lidahnya, tapi diam tak bersuara lagi.

Tak lama setelah si Setan-Seng Ling duduk, muncul lagi seorang setan dari Istana Setan yang langsung menghampiri si Setan-Seng Ling, kemudian berbisik-bisik. Si Setan-Seng Ling mendongakkan kepala memandang Tam Goat Hua dan kakaknya.

"Benarkah urusan itu?" tanyanya dingin.

"Tidak salah," sahut setan itu.

Semua orang tidak tahu apa yang mereka bisikkan, namun Tam Goat Hua dan kakaknya tahu apa yang mereka bisikkan itu pasti berkaitan dengan dirinya. Kini mereka berdua bersama Tujuh Dewa, Liok Ci Siansing, Pik Giok Sen dan Tiat Cit Song Jin, tentunya tidak merasa takut kepada si Setan-Seng Ling.

Hari itu walau sudah begitu banyak jago tangguh berkumpul di puncak Sian Jin Hong, namun tidak terjadi suatu apa pun. Ketika menjelang malam, muncul lagi dua jago tangguh dari Bu Tong Pai. Mereka memberitahukan bahwa di tengah jalan mereka melihat ketua Tiam Cong Pai bersama belasan jago tangguh telah menuju ke puncak Sian Jin Hong. Lalu tampak dua nenek berpakaian aneh membaur di situ. Di leher kedua nenek itu melingkar seekor ular berkembang-kembang. Siapa pun tidak tahu asal-usul kedua nenek itu. Mendengar pemberitahuan itu semua orang yakin, bahwa tidak lama lagi pihak Go Bi Pai pasti akan menyusul.

Hari sudah malam, keadaan tetap tenang, tak terjadi suatu apa pun. Namun semua orang tahu, ketenangan itu justru merupakan awal dari suatu badai. Sejak Tam Goat Hua kecil, dia hanya mengikuti ayahnya tinggal di sebuah goa untuk belajar ilmu silat. Beberapa tahun ini baru pindah ke daerah Su Cou. Maka dia sama sekali tidak pernah menghadapi situasi seperti itu.

Menurutnya, alangkah baiknya berjalan-jalan ke sana ke mari dan bercakap-cakap dengan partai lain, sebab itu akan menambah pengetahuannya. Akan tetapi, ketika dia sampai di situ, justru telah bentrok dengan Seng Cai dan Seng Bou. Kini si Setan-Seng Ling sudah berada di situ, sehingga membuatnya tidak berani sembarangan pergi. Lagi-pula pihak Hwa San Pai amat membencinya, maka kalau dia meninggalkan Tujuh Dewa, mungkin pihak Hwa San Pai akan menangkapnya Iagi. Oleh karena itu, dia terpaksa tiduran di atas tanah. Sayup-sayup dia mendengar percakapan lirih, ternyata kakaknya bercakap-cakap dengan Han Giok Shia, namun tidak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan.

Di saat bersamaan, mendadak telinganya mendengar suara yang amat lirih. "Anak gadis kecil! Anak gadis kecil!"

Namun karena seruan itu tidak menyebut nama, maka Tam Goat Hua tidak menghiraukannya. Tapi terdengar lagi suara seruan itu. Tam Goat Hua terheran-heran karena suara itu amat lirih, namun terdengar jelas dalam telinganya. Lagi-pula suara itu langsung menerobos ke dalam telinganya, sepertinya ada orang berbisik-bisik di telinganya. Tergerak hati Tam Goat Hua, karena ayahnya pernah memberitahukan tentang ‘Ilmu Penyampai Suara’. Apakah ada orang berkepandaian tinggi sedang memanggilnya?

Karena itu, Tam Goat Hua segera bangun, dan kemudian menengok ke sana ke mari. Dilihatnya di kejauhan beberapa depa, orang berkedok yang duduk di sisi batu sedang melambaikan tangan ke arah dirinya. Tam Goat Hua tercengang dan bingung, sebab tidak tahu mau apa orang berkedok itu memanggilnya. Justru di saat itu tiba-tiba suara lirih itu kembali terdengar.

"Anak gadis kecil, di tempat ini tiada seorang pun yang tahu identitasku. Tapi ayahmu pasti tahu. Kau boleh berlega hati, aku tidak akan mencelakaimu."

Tam Goat Hua tahu jelas, apabila orang berkedok itu mau mencelakainya, gampangnya bagaikan membalikkan telapak tangan. Lagi-pula dia tidak akan dapat menghindar. Maka, perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu mendekati orang berkedok itu.

"Ada urusan apa cianpwee memanggilku?"

Orang berkedok itu tertawa. "Mulutmu cukup manis, langsung memanggilku cianpwee! Aku tanya kau, maukah kau melaksanakan satu urusan?"

Tam Goat Hua tercengang, tapi segera bertanya. "Urusan apa itu?"

Orang berkedok itu tertawa lagi. "Berdasarkan nyalimu, memang cocok sekali. Setelah kau menyelesaikan urusan itu, aku pasti tidak akan merugikanmu. Kau bersedia melaksanakannya?"

Tam Goat Hua tersenyum. "Cianpwee menghendaki aku melaksanakan apa? Bolehkah aku tahu?"

Orang berkedok itu menggoyang-goyangkan kipas rombengnya. "Kukatakan memang gampang dan sederhana sekali...."

Orang berkedok itu menghentikan ucapannya, kemudian menggunakan kipas rombengnya menulis di bawah. 'Lu Leng putra Lu Sin Kong, kini dikurung dalam Neraka Delapan Belas Lapis di Istana Setan. Kau ke Pak Bong San membawanya kemari menemuiku!'

Temangu-mangu Tam Goat Hua mendengar itu, karena dari puncak Sian Jin Hong ke Pak Bong San pergi pulang, itu ribuan mil jaraknya. Seandainya berhasil membawa Lu Leng ke mari, di tempat ini pun sudah tiada siapa-siapa. Lagi-pula Istana Setan Pak Bong San, merupakan markas penting si Setan-Seng Ling, tentunya banyak jebakan dan jago tangguh menjaga di sana. Bagaimana mungkin dapat memasuki Istana Setan itu?

Oleh karena itu, Tam Goat Hua diam saja. Tiba-tiba mata orang berkedok itu menyorot aneh, kemudian dia berkata. "Para jago tangguh Istana Setan semuanya berkumpul di sini. Asal kau berhati-hati, sudah pasti dapat mencapai tujuan. Kenapa kau tidak berani ke sana?"

Tam Goat Hua menyahut. "Bukan aku tidak berani pergi, tapi ayah memerintah kami menunggunya di sini. Maka kalau ayah belum ke mari, aku tidak berani meninggalkan tempat ini."

Orang berkedok itu tertawa dingin. "Sejak kapan kau begitu menurut kata?"

Wajah Tam Goat Hua langsung memerah, sebab gadis itu berani membangkang terhadap ayahnya. Tadi dia mengatakan begitu hanya alasan belaka.

Orang berkedok itu berkata lagi. "Legakanlah hatimu. Kalau ayahmu ke mari, aku akan memberitahukan kepadanya agar dia tidak memarahimu."

Hati Tam Goat Hua tertarik. "Apa yang dikatakan cianpwee memang masuk akal, tapi bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyanya.

"Tentang apa? Tanyalah!" sahut orang berkedok itu.

"Cianpwee akan memberitahukan kepada ayah, namun aku justru tidak tahu siapa cianpwee. Kalau ayah tahu aku mengerjakan sesuatu atas perintah cianpwee, tapi aku tidak tahu siapa cianpwee, bukankah itu menggelikan sekali?"

Orang berkedok itu tertawa. "Hahaha! Anak gadis kecil, kau memang boleh dikatakan licik! Kalau pun aku beritahukan namaku, juga percuma!"

Tam Goat Hua tersenyum. "Kalau begitu, aku terpaksa menolak."

Orang berkedok itu berkata hambar. "Itu terserah kau, aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat, kau jangan menyesal kelak!"

Tam Goat Hua tertawa. "Cianpwee, seandainya aku bersedia pergi ke Istana Setan Pak Bong San, pergi pulang akan memakan waktu sebulan. Apakah di sini belum bubar?"

Orang berkedok itu menyahut. "Kau tidak perlu tahu tentang itu, yang penting aku tetap berada di sini menunggumu. Kau mau pergi tidak? Katakanlah!"

Dalam hati Tam Goat Hua sama sekali belum ada keputusan. Siang hari tadi, dia telah menyaksikan kepandaiannya, tentunya orang berkedok itu adalah seorang cianpwee dalam rimba persilatan, mungkin tingkatannya lebih tinggi dari ayahnya. Padahal Tam Goat Hua terhadap ayahnya, juga tidak begitu jelas. Tentang julukannya pun tidak tahu sama sekali. Akan tetapi, kini Tam Goat Hua telah mengalami dan menyaksikan begitu banyak kejadian, maka tahu ayahnya adalah jago tangguh tingkat tinggi.

Sedangkan nada suara orang berkedok itu, kedengarannya amat kenal ayahnya, sehingga gadis itu berkesimpulan bahwa orang berkedok itu bukan orang sembarangan. Lagi-pula, dia pun tidak memaksa Tam Goat Hua. Dia pun mengatakan gadis tersebut akan memperoleh suatu keuntungan, tentunya bukan merupakan suatu keuntungan biasa. Berpikir sampai di situ, Tam Goat Hua sungguh ingin pergi ke Istana Setan Pak Bong San.

Akan tetapi, dia teringat pula kalau Tiam Cong dan Go Bi Pai tiba, pasti akan terjadi keramaian, sayang sekali tidak menyaksikannya. Selanjutnya pasti tidak akan ada keramaian serupa itu lagi, itu membuatnya merasa enggan pergi. Sedangkan di dalam Istana Setan, pasti banyak jebakan dan berbagai racun, sebab si Nabi Setan-Seng Ling mahir menggunakan racun. Itu amat membahayakan dirinya, kemungkinan besar dia akan mati keracunan di sana.

Di saat Tam Goat Hua sedang berpikir, orang berkedok itu memandang ke langit tanpa bersuara, lama sekali barulah membuka mulut. "Kau sudah berpikir jelas?"

Tam Goat Hua tersenyum getir. "Aku sungguh sulit mengambil keputusan."

Orang berkedok itu tertawa. "Ha ha! Aku tahu kau ingin sekali menyaksikan keramaian di sini! Tapi mungkinkah juga kau takut akan kelihayan Istana Setan Pak Bong San?"

Tam Goat Hua segera menyahut. "Tentunya aku tidak takut akan kelihayan Istana Setan Pak Bong San. Kalau itu merupakan telaga naga atau sarang harimau, aku juga akan ke sana."

Orang berkedok manggut-manggut. "Bagus! Bagus! Kini dalam rimba persilatan banyak kekacauan, masih banyak keramaian seperti di sini. Kau ingin tidak menyaksikannya, itu pun tidak bisa."

Tam Goat Hua terus berpikir, kemudian berkata. "Bolehkah aku berunding dulu dengan kakakku?"

Orang berkedok itu menggelengkan kepala. "Tidak perlu. Kau mau pergi siapa pun tidak boleh tahu. Kau tidak mau pergi, juga tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun. Sebab aku akan cari orang lain. Kepandaian gadis Hui Yan Bun itu cukup Iumayan, bahkan mungkin dia jauh bernyali darimu. Kalau aku menyuruhnya pergi, dia pasti segera pergi."

Begitu mendengar ucapan itu, panaslah hati Tam Goat Hua. "Baik, aku setuju!"

Orang berkedok itu manggut-manggut. "Ini baru benar. Hari ini kau mengabulkannya, aku pun mengatakan, kau tidak akan menyesal kelak."

Tam Goat Hua tertawa. "Kalau pun aku menyesal kelak, tidak jadi masalah."

Orang berkedok itu juga ikut tertawa. "Itu bergantung pada dirimu sendiri, harus bagaimana melaksanakannya. Aku berkata sejujurnya, di dalam Istana Setan amat membahayakan. Kurang berhati-hati, nyawa pasti melayang, maka kau harus berhati-hati dan waspada setiap saat!"

Tam Goat Hua mengangguk. "Apakah cianpwee boleh memberi petunjuk, agar aku dapat terhindar dari bahaya-bahaya itu?"

Orang berkedok itu menggeleng-gelengkan kepala. "Aku pun tidak dapat memberi petunjuk, karena tidak tahu tentang Istana Setan itu. Aku hanya tahu, di dalam Istana Setan terdapat dua buah peta. Salah sebuah peta itu berada pada Seng Ling, yang sebuah lagi berada di dalam Istana Setan. Kalau kau punya kepandaian, boleh mencuri dari badan Seng Ling. Atau sampai di Istana Setan, barulah mencari peta itu agar kau lebih leluasa bergerak di sana."

Setelah mendengar ucapan itu, Tam Goat Hua menarik nafas dingin. Coba pikir, Sebun It Nio dan Lu Sin Kong yang berkepandaian tinggi, masih bukan tandingan si Setan-Seng Ling. Bagaimana mungkin Tam Goat Hua berani mencuri peta tersebut dari badan si Datuk Sesat? Lebih baik berangkat ke Istana Setan Pak Bong San dulu, setelah itu barulah mengambil keputusan.

Berpikir sampai di situ, Tam Goat Hua berkata. "Kalau begitu, aku akan berangkat esok pagi."

Orang berkedok itu menggelengkan kepala. "Tidak, kau harus berangkat malam ini!"

Begitu mendengar orang berkedok itu menyuruhnya berangkat malam ini, Tam Goat Hua menjadi tertegun. "Cianpwee, jarak sini ke Pak Bong San laksaan mil. Kenapa harus buru-buru berangkat malam ini?"

"Gadis liar!" kata orang berkedok seakan menegurnya. "Kau mau berangkat silakan, tidak mau ya sudahlah!"

Begitu mulai bercakap-cakap dengan orang berkedok itu, dalam hati Tam Goat Hua sudah tahu bahwa kalau dia tidak menuruti perkataannya, dalam hidupnya yang akan datang pasti akan terpengaruh besar. Karena kepandaian orang berkedok itu amat tinggi, sedangkan dia telah berjanji akan memberikan suatu kebaikan, tentunya amat bermanfaat bagi dirinya. Kepandaian ayahnya sudah begitu tinggi, namun dalam bidang ilmu silat memang tiada batasnya. Oleh karena itu, dia mau berangkat atau tidak, itu amat mempengaruhi dirinya.

Gadis itu termangu-mangu, lama sekali baru berkata. "Baik, malam ini aku berangkat."

Sepasang mata orang berkedok itu tampak bersinar-sinar. Dia menatap Tam Goat Hua dalam-dalam lalu berkata. "Gadis baik, setelah kau sampai di Istana Setan, segalanya harus berhati-hati!"

Tam Goat Hua tahu jelas, bahwa Istana Setan itu merupakan markas penting si Setan-Seng Ling. Kaum golongan lurus, tiada seorang pun berani meremehkan Istana Setan tersebut. Istana Setan itu berada di dalam perut gunung yang alami. Dulu Seng Ling dikejar-kejar oleh musuhnya, tanpa sengaja dia masuk ke dalam perut gunung tersebut. Ketika itu dia berjalan beberapa hari di dalam perut gunung itu, tapi tidak bisa ke luar. Di saat yang amat genting itu, dia justru memperoleh sebuah peta.

Ternyata ratusan tahun lampau, pernah ada orang tinggal di situ, bahkan meninggalkan sebuah buku pelajaran ilmu silat dan lweekang sesat, akhirnya dia berhasil menguasai ilmu-ilmu tersebut. Sejak itu, dia menamai tempat tersebut Istana Setan. Dia pun menjuluki dirinya sebagai Setan. Puluhan tahun kemudian, Istana Setan amat terkenal dalam rimba persilatan. Si Setan-Seng Ling juga memperbarui Istana Setan. Orang luar sama sekali tidak bisa masuk, sebab Istana Setan merupakan tempat yang amat bahaya, siapa yang berani masuk pasti mati.

"Cianpwee, aku berangkat sekarang," kata Tam Goat Hua yang telah membulatkan tekadnya.

Orang berkedok itu manggut-manggut. "Kau mewakiliku pergi melaksanakan suatu urusan, tentunya aku tidak berharap kau mati di Istana Setan. Tapi mengenai semua jebakan di sana, aku tidak tahu sama sekali. Untung kini para jago tangguh Istana Setan, semuanya berada di sini, itu akan mengurangi hambatan. Sekarang aku menghadiahkan suatu barang kepadamu. Kalau kau merasa pusing dan mual setelah memasuki Istana Setan, pertanda kau telah terkena racun. Cepatlah keluarkan barang ini dan taruhlah ke dalam mulutmu pasti dapat memunahkan berbagai macam racun! Namun kau harus ingat. Sebelum kau terkena racun, janganlah kau membuka kotak ini melihat isinya, agar tidak direbut orang!"

Usai berkata begitu, orang berkedok itu merogoh ke dalam bajunya untuk mengeluarkan sebuah kotak kecil warna hitam, lalu diberikan kepada Tam Goat Hua. Gadis itu menerimanya. Kotak itu amat ringan seakan tidak berisi apa-apa. Karena merasa heran, maka dia mengambil keputusan untuk membuka kotak itu dan melihat isinya. Akan tetapi, apabila Tam Goat Hua membuka kotak itu di hadapan orang berkedok, tentunya orang itu akan marah, maka lebih baik setelah meninggalkan tempat itu, barulah membuka kotak tersebut dan melihat isinya.

Tam Goat Hua menyimpan kotak kecil itu ke dalam bajunya, kemudian menoleh untuk memandang kakaknya. Dilihatnya kakaknya masih tetap bercakap-cakap dengan Han Giok Shia. Gadis itu berpikir, kini ada Han Gik Shia mendampingi kakaknya. Maka dalam beberapa hari, tentu kakaknya tidak akan memperhatikannya. Dia bangkit berdiri, dan orang berkedok itu segera berkata.

"Bagaimana aku kalau mengantarmu sejenak?"

Tam Goat Hua menggelengkan kepala. "Tidak usah!"

Badan Tam Goat Hua bergerak, lalu melesat sejauh beberapa depa. Dia bersembunyi sebentar di balik sebuah batu, setelah itu barulah dia melesat pergi. Dalam waktu sekejap, dia sudah menghilang dalam kegelapan....

Malam itu, di puncak Sian Jin Hong sama sekali tidak terjadi apa-apa. Keesokan harinya, juga tidak terjadi sesuatu. Ketika hari mulai senja, tampak kabut tebal mulai menutup puncak Sian Jin Hong. Mendadak tampak beberapa sosok bayangan berkelebat menerobos kabut tebal itu. Berturut-turut tujuh bayangan itu melesat ke atas puncak Sian Jin Hong. Begitu ketujuh bayangan itu sampai, terdengarlah suara seruan dari orang yang berada di puncak.

"Ketua Tiam Cong datang!"

Tampak tujuh orang melayang turun. Orang yang melayang turun duluan berbadan agak kurus. Dia memakai jubah kelabu. Di pinggangnya bergantung sebilah pedang panjang yang bentuk sarungnya amat aneh. Kalau melihat pedang tersebut, para kaum rimba persilatan pasti tahu bahwa pemiliknya adalah Chu Liok Khie, yakni ketua Tiam Cong Pai.

Enam orang yang menyertainya, berusia lebih muda satu sama lain, tapi yang paling muda sudah berusia empat puluhan. Keenam orang itu, semuanya jago tangguh Tiam Cong Pai, saudara seperguruan Chu Liok Khie. Mereka bertujuh juga adik seperguruan Sebun It Nio.

Chu Liok Khie ketua Tiam Cong Pai memandang semua orang yang berada di situ, kemudian pandangannya berhenti pada Liok Ci Siansing dan kawan-kawannya. Setelah itu mengarah pada Hwe Hong Sian Kouw dan pihak Hui Yan Bun, lalu mendengus.

"Hm...," sambil melangkah ke depan lewat di sisi lingkaran Hui Yan Bun.

Saat itu, semua orang sudah tahu Sebun It Nio mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw. Maka ketika melihat Chu Liok Khie melangkah ke arah Hui Yan Bun, mereka merasa tegang. Mereka mengira kedua pihak itu akan segera bertarung, namun Chu Liok Khie dan keenam saudara seperguruannya, hanya melewati sisi lingkaran Hui Yan Bun saja. Si Walet Hijau-Yok Kun Sih mendongakkan kepala untuk memandang mereka dengan dingin sekali.

Setelah melewati sisi lingkaran Hui Yan Bun, mereka bertujuh lalu melangkah ke arah si Setan-Seng Ling. Dari mata mereka, dapat diketahui bahwa hati mereka penuh diliputi kegusaran. Salah seorang diantara mereka, yang penuh brewok berkata dengan suara keras.

"Toa Suheng (Saudara Seperguruan Tertua), mau turun tangan terhadap siapa duluan?"

Chu Liok Khie menyahut dengan suara dalam. "Tunggu Go Bi Pai datang, baru dibicarakan!"

Sembari menyahut dia berjalan ke sebuah batu besar. Mendadak badannya berputar, tahu-tahu dia sudah menghunus pedangnya. Tampak cahaya putih berkelebatan dan seketika terdengar suara benturan yang amat nyaring.

“Trang! Trang! Trang!”

Batu besar itu telah hancur berterbangan ke mana-mana. Hanya sekejap pedang itu sudah masuk ke dalam sarungnya. Gerakan Chu Liok Khie begitu cepat laksana kilat, sehingga semua orang tidak dapat melihat jelas, bagaimana bentuk pedangnya itu. Setelah itu, mereka bertujuh pun duduk di situ. Wajah lelaki brewok tampak penuh kegusaran. Dia tak henti-hentinya menatap si Setan-Seng Ling dan Hwe Hong Sian Kouw, sambil mulutnya mengoceh tidak karuan.

Mendadak si Walet Hijau-Yok Kun Sih mendongakkan kepala untuk memandang lelaki brewok itu seraya bertanya. "Lam Kiong Seh, kau sedang buang kentut apa?"

Ternyata lelaki brewok itu bernama Lam Kiong Seh, julukannya Pek Lek Kiam (Pedang Halilintar). Namanya cukup terkenal dalam rimba persilatan. Dia mahir Hong Lui Pek Lek Kiam Hoat (Ilmu Pedang Angin Halilintar), yakni ilmu pedang andalan Tiam Cong Pai. Dia pun mahir ilmu pedang lain. Sifatnya amat berangas dan tidak sabaran. Kalau tidak ada yang menegurnya ketika dia mengoceh, dia pun tidak berani sembarangan melampiaskan kegusarannya, karena harus menjaga nama Chu Liok Khie ketua Tiam Cong Pai.

Tapi si Walet Hijau-Yok Kun Sih ketua Hui Yan Bun justru menegurnya dengan dingin, sebab mendengar ocehannya menyinggung Hui Yan Bun. Begitu ada orang menegurnya, Pek Lek Kiam Lam Kiong Seh bergirang dalam hati, dan dia langsung melotot sekaligus membentak.

"Busuk tak dapat dicium, kau sedang buang kentut?!"

Kedudukan si Walet Hijau-Yok Kun Sih dalam rimba persilatan amat tinggi, tapi kini di hadapan begitu banyak orang dimaki Lam Kiong Seh. Dapat dibayangkan betapa malunya dirinya. Wajah langsung berubah dan kemudian dia berkata dingin.

"Lam Kiong Seh, cepat atau lambat kita pasti bertarung, bagaimana kalau sekarang saja?"

Walau Lam Kiong Seh bersifat berangasan dan tidak sabaran, namun dia pun amat cerdik. Ketika si Walet HijauYok Kun Sih menantangnya, dia malah tertawa gelak.

"Hahaha! Kau memang berpengertian, tahu diri sendiri melindungi seorang pembunuh, maka tahu pula kami tidak akan melepaskanmu!"

Yok Kun Sih tertawa panjang. Ketika baru mau menyahut, mendadak Hwe Hong Sian Kouw sudah bangkit berdiri. "Karena sebelumnya terkena pukulan Im Si Ciang, maka kemudian mati di tanganku! Aku yang bertanggung jawab, kenapa kau cari urusan dengan orang lain?"

Lam Kiong Seh tertegun, sehingga tak dapat mengucap sepatah kata pun. Di saat bersamaan, sekonyong-konyong Gin Koan Tojin tertawa panjang, lalu berkata. "Si Pecut Emas-Han Sun, mati di tangan siapa?"

Kali ini, giliran Hwe Hong Sian Kouw tak dapat berkata apa pun. Begitu Gin Koan Tojin menyinggung si Pecut Emas-Han Sun, wajah Han Giok Shia langsung berubah murung.
Tam Ek Hui kakak Tam Goat Hua yang berada di sisinya melihat itu, sepasang alisnya yang berbentuk golok terangkat sedikit. Dia tahu gadis itu berhati keras, maka kalau dia menasihatinya juga tiada gunanya, namun tetap memanggilnya dengan suara rendah.

"Nona Han...."

Han Giok Shia langsung membanting kaki, kemudian menyahut sengit. "Saudara Tam, kau tidak perlu membela orang lain! Dia sudah mengaku. Lagi-pula di hadapan mayat ayahku, aku telah bersumpah akan membalas dendam! Kalau Kim Kut Lau tidak memberitahukan itu, aku... aku nyaris menuduh orang baik!"

Ketika Han Giok Shia melihat mayat ayahnya di menara Hou Yok, di dinding pun terdapat tulisan ‘Tam Lu’. Di saat itu, dia menganggap Tam Sen dan Lu Sin Kong, yang membunuh ayahnya. Namun kemudian dia teringat Tam Ek Hui, maka hatinya jadi kacau. Kini dia sudah tahu siapa pembunuh ayahnya, maka dalam hatinya sudah tidak ada ganjalan terhadap pemuda itu.

Usai Han Giok Shia berkata, hati Tam Ek Hui pun tergerak dan kemudian dia berseru dengan suara nyaring. "Semuanya jangan ribut mulut!"

Di puncak Sian Jin Hong, Tam Ek Hui tidak terhitung jago tangguh nomor satu. Tapi ketika dia berseru nyaring sekaligus tampil, justru amat menarik perhatian semua orang, dan seketika suasana pun menjadi hening.

Dia bertanya kepada Han Giok Shia. "Nona Han, di mana kau menemukan mayat ayahmu?"

Han Giok Shia berkertak gigi seraya menyahut. "Di tingkat teratas menara Hou Yok!"

Begitu mendengar sahutan Han Giok Shia, Hwe Hong Sian Kouw langsung meloncat bangun. "Ah Shia, betulkah begitu?"

Han Giok Shia mendengus, tapi tidak menjawab. Tam Ek Hui segera berkata. "Nona Han, pasti ada sesuatu di balik itu. Kemarin Kim Kut Lau bilang, dia melihat Hwe Hong Sian Kouw menusuk mati ayahmu, lalu bagaimana mayat ayahmu bisa lari ke tingkat teratas menara Hou Yok?"

Han Giok Shia tertegun ketika mendengar ucapan itu. Ternyata kemarin, begitu tahu Hwe Hong Sian Kouw membunuh ayahnya hatinya menjadi kacau, maka tidak memikirkan itu. Lagi-pula semua orang sama sekali tidak tahu, bahwa mayat si Pecut Emas-Han Sun berada di menara Hou Yok. Masalah yang begitu penting, baru diungkap Tam Ek Hui karena ketelitiannya. Semua orang tidak menyangka urusan itu begitu aneh, maka semuanya menjadi tertegun.

Han Giok Shia berkata. "Mungkin setelah membunuh ayahku, dia lalu membawa mayat ayahku ke menara itu."

Hwe Hong Sian Kouw langsung berseru. "Ah Shia...!"

Ucapannya belum selesai, Kim Kut Lau yang duduk di dahan pohon sudah memotongnya. "Nona Han, itu bukan tuduhan! Aku menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, setelah menusuk mati ayahmu, dia langsung berlari ke luar!"

Tam Ek Hui cepat-cepat berkata. "Nona Han, aku menyinggung urusan ini justru ada sesuatu lain!"

Han Giok Shia menyahut dingin. "Itu ada hubungan apa? Yang jelas ayahku mati di tangannya!"

Tam Ek Hui menghela nafas panjang lalu membungkam. Tadi si Walet Hijau-Yok Kun Sih dan Lam Kiong Seh sudah mau bertarung, tapi terhambat oleh pembicaraan itu. Maka sekarang mereka berdua sudah tidak punya alasan untuk bertarung. Lagi-pula Chu Liok Khie juga memberi isyarat kepada Lam Kiong Seh agar tidak banyak urusan. Maka suasana di puncak Sian Jin Hong menjadi hening seketika. Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama, karena mendadak terdengar suara pujian Sang Buddha.

"Omitohud!" Suara itu bagaikan halilintar di siang hari bolong, menggetarkan jantung semua orang.

Betapa terkejutnya hati semua orang yang berada di puncak Sian Jin Hong. Yang mengejutkan bukan suara itu, melainkan semua orang sudah tahu siapa yang datang. Sejak tadi Liat Hwe Cousu Hwa San Pai berada di sana dan berusaha menangkap Tam Goat Hua. Gadis itu terus duduk diam di tempat, tak bergerak sama sekali. Ketika suara pujian Sang Buddha mengalun, dia segera membuka matanya dan badannya langsung bergetar. Seketika suasana di puncak Sian Jin Hong bertambah hening.

Berselang sesaat barulah tampak sosok yang tinggi besar, yang ternyata seorang hweeshio tua berwajah kemerah-merahan sedang melayang ke sana. Hweeshio tua itu mengenakan jubah bhiku warna putih keperakan. Di lehernya melingkar seuntai tasbih dan di wajahnya tersirat rasa belas kasih. Sampai di puncak Sian Jin Hong, hweeshio tua itu kembali menyebut kebesaran Buddha, lalu berkata.

"Siancai! Siancai! Ternyata kalian sudah tiba duluan!"

Di saat hweeshio tua itu berkata, muncul lagi tiga bhiku ke puncak Sian Jin Hong. Ketiga bhiku itu berusia pertengahan. Yang dua tampak mirip sekali, dan keduanya bersikap hambar. Yang satu lagi berwajah besi, namun badannya kurus sekali dan kelihatan akan roboh bila terhembus angin gunung.

Begitu keempat bhiku itu muncul, semua orang tahu bahwa urusan sudah semakin membesar. Padahal mereka hanya mengira Lu Sin Kong akan mengundang beberapa jago tangguh Go Bi Pai ke puncak Sian Jin Hong. Namun tak disangka, dia juga mengundang ketua Go Bi Pai aliran bhiku, Sui Cing Siansu.

Sui Cing Siansu sudah datang, tentunya ketua Go Bi Pai Sok Bun (Aliran Yang Tidak Menyucikan Diri) pasti akan muncul pula. Di saat semua orang berpikir demikian, mendadak terdengar suara siulan, kemudian tampak seseorang berkelebat menuju ke puncak Sian Jin Hong. Dia adalah Lu Sin Kong. Begitu Lu Sin Kong tiba, suasana di tempat itu langsung tegang mencekam. Di belakang Lu Sin Kong tampak empat orang tua. Salah seorang dari mereka penuh brewok dan tampak gagah sekali. Semua orang mengenalinya, yang tidak lain Ang Eng Leng Long, ketua Go Bi Pai aliran tidak menyucikan diri.

Begitu mereka muncul, pihak Tiam Cong Pai langsung menyapa.

"Saudara Chu sudah datang duluan!" seru Lu Sin Kong.

Chu Liok Khie menyahut. "Kami pun baru tiba, saudara Lu. Tentunya kita selesaikan dulu urusan isterimu!"

Lu Sin Kong manggut-manggut. "Tidak salah! Satu persatu harus diselesaikan semua!"

Usai berkata, Lu Sin Kong membalikkan badannya untuk memandang Hwe Hong Sian Kouw seraya membentak. "Sian Kouw, jangan berpura-pura tidak ada urusan!"

Tangan Lu Sin Kong bergerak, golok yang berkilau-kilau itu sudah berada di tangannya. Chu Liok Khie ketua Tiam Cong Pai segera berkata. "Saudara Lu, kalian baru tiba, pasti lelah. Biar aku saja yang turun tangan duluan membalas dendam Suci (Kakak Seperguruan Perempuan)!"

Lu Sin Kong menyahut. "Sebun It Nio adalah isteriku, harus aku pula yang turun tangan membalas dendamnya!"

Lu Sin Kong berjalan ke tanah kosong, kemudian menuding Hwe Hong Sian Kouw dengan goloknya seraya membentak. "Ayo keluar!"

Dia menuding Hwe Hong Sian Kouw dengan golok. Padahal dalam rimba persilatan terdapat satu peraturan, kalau bukan punya dendam kesumat, tidak boleh berlaku demikian. Apabila Hwe Hong Sian Kouw ke luar untuk bertarung, berarti pertarungan antara mati dan hidup. Padahal Lu Sin Kong dan Hwe Hong Sian Kouw adalah jago tangguh dari golongan lurus, tapi kini mereka justru terikat akan suatu dendam kesumat. Itu membuat kaum golongan lurus merasa sakit di hati. Tapi pihak golongan sesat, malah bersorak kegirangan dalam hati.

Terdengar Chu Liok Khie berkata. "Saudara Lu akan menghadapi Hwe Hong Sian Kouw, kami akan mencari setan iblis untuk membuat perhitungan!"

Chu Liok Khie membalikkan badannya, untuk memandang si Setan-Seng Ling seraya membentak. "Setan tua, masih tidak mau ke luar?"

“Trang!” Dia telah menghunus pedangnya.

Tam Ek Hui yang menyaksikan itu menjadi gugup sekali. Karena dia tahu, ayahnya justru ingin meleraikan pertikaian itu, akan tetapi ayahnya malah belum muncul. Entah ayahnya berada di mana?

Apabila mereka mulai bertarung, sudah pasti sulit dileraikan lagi. Berpikir sampai di situ, Tam Ek Hui teringat akan tugasnya, biar bagaimana pun harus menenangkan suasana itu. Oleh karena itu, pemuda tersebut segera bangkit berdiri seraya berkata dengan lantang.

"Chu Tayhiap, Lu Cong Piau Tau! Bisakah kalian berdua mendengar perkataanku?"

Chu Liok Khie dan Lu Sin Kong menolehkan kepala. Ketika melihat yang berbicara itu seorang pemuda tampan yang tak tampak jahat sama sekali, maka mereka berdua bertanya serentak. "Perkataan apa?"

Tam Ek Hui menyahut. "Lu Cong Piau Tau ke mari, justru dikarenakan anak!"

Lu Sin Kong menatapnya tajam. "Maksudmu?"

Tam Ek Hui tersenyum. "Lu Cong Piau Tau telah keliru, karena anakmu masih hidup!"

Lu Sin Kong tertawa sedih. "Anak muda, lebih baik kau menonton keramaian saja!"

Apa yang dikatakan Lu Sin Kong, berarti dia tidak percaya akan apa yang dikatakan pemuda itu. Padahal dia dalam keadaan marah besar, namun masih berlaku sungkan terhadap Tam Ek Hui. Itu disebabkan dia melihat Tam Ek Hui masih muda, tampan dan tampak tenang sekali, punya tulang bagus dan berbakat, tentunya adalah murid orang pandai, maka dia berlaku sungkan kepadanya.

Tam Ek Hui menghela nafas panjang. "Lu Cong Piau Tau, kita semua adalah kaum rimba persilatan, untuk apa menimbulkan bencana hanya dikarenakan sedikit salah paham?"

Mendengar apa yang dikatakan Tam Ek Hui, seketika kemarahan Lu Sin Kong menjadi memuncak. "Bocah, ternyata kau menyuruhku jangan balas dendam!"

"Aku...."

Tam Ek Hui baru berkata sampai di situ, tapi Lu Sin Kong sudah melesat ke arahnya. Bersamaan itu, dia pun mengeluarkan jurus ‘Tiga Lingkaran Menutupi Bulan’. Tam Ek Hui berusia muda, tidak menyangka dirinya bermaksud baik malah diserang. Sam Hoan Toh Goat merupakan jurus andalan Lu Sin Kong. Tampak goloknya berkelebatan mengurung Tam Ek Hui.

Tam Ek Hui segera menekuk sedikit kakinya, lalu berjungkir balik untuk menghindari serangan itu. Walau dia bergerak cepat, namun golok Lu Sin Kong lebih cepat menyabet bahunya. Setelah berdiri tegak sejauh beberapa depa, Tam Ek Hui sama sekali tidak menghiraukan bahunya yang telah berdarah itu.

"Lu Cong Piau Tau, aku tidak berkata menyuruhmu jangan membalas dendam."

Lu Sin Kong tertawa dingin. "Bocah, aku telah mengampunimu, tapi kenapa kau masih banyak omong?"

Ketika Tam Ek Hui mau mengatakan sesuatu, si Sastrawan Se Chi yakni salah seorang dari Tujuh Dewa berseru. "Sobat kecil, kau bermaksud meleraikan pertikaian ini, tapi itu akan sia-sia. Untuk apa kau cari penyakit?"

Tam Ek Hui segera memberi hormat kepada Lu Sin Kong seraya berkata. "Aku tahu tiada kemampuan, tapi harap kalian tunggu kedatangan ayahku! Mau bertarung atau tidak, itu urusan nanti."

Lu Sin Kong bertanya membentak. "Siapa ayahmu?!"

"Ayahku bernama Tam Sen," sahut Tam Ek Hui.

"Ternyata dia!" Lu Sin Kong manggut-manggut.

Mendadak terdengar seorang tertawa lalu berkata. "Tidak begitu banyak orang yang kenal Tam Sen. Namun kalau diungkit tentang orang dari aliran Buddha dan Iblis, majikan pulau Hwe Ciau Tocu yang mahir ilmu Cit Sat Sin Ciang dan Hian Bu Sam Na, Cit Sat Sin Kun yang menggetarkan kolong langit itu, semua orang pasti tahu siapa dia."

Orang yang berkata itu adalah orang berkedok Buddha Tertawa, yang tangannya memegang sebuah kipas rombeng. Suara itu amat mengejutkan semua orang. Go Bi Sui Cing Siansu langsung merangkapkan sepasang tangannya di dada seraya memuji Sang Buddha, Hwa San Liat Hwe Cousu segera bangkit berdiri, sedangkan Tujuh Dewa saling memandang. Dugaan mereka terhadap asal-usul Tam Sen memang tidak salah, tapi justru tidak disangka bahwa dia sendiri adalah Cit Sat Sin Kun.

Sebaliknya Tam Ek Hui malah tertegun. Dia sama sekali tidak tahu apa yang disebut Hwe Ciau Tocu dan bagaimana ayahnya berjuluk Cit Sat Sin Kun? Sebelum Tam Ek Hui bertanya kepadanya, orang berkedok itu tertawa dingin seraya berkata.

"Mungkin dalam waktu sepuluh hari, dia tidak akan ke mari. Lu Cong Piau Tau, bisakah kau menunggu lebih dari sepuluh hari?"

Lu Sin Kong menggeram, sambil menuding Hwe Hong Sian Kouw lagi dengan goloknya.
"Hwe Hong Sian Kouw, di hadapan kaum rimba persilatan, apakah kau tidak berani ke luar bertarung denganku?"

Sementara Chu Liok Khie juga membentak lantang terhadap si Setan-Seng Ling. Akan tetapi, suara mereka justru tertindih oleh suara siulan orang berkedok itu. Suara siulan itu terus bergema entah sampai berapa jauh, bagaikan ombak menderu dan halilintar memecah bumi. Lama sekali barulah dia berkata.

"Hari ini di puncak Sian Jin Hong berkumpul para jago tangguh dari berbagai aliran. Namun kita semua bukanlah kurcaci rimba persilatan, tentunya tidak akan bertarung secara massal! Pertikaian ini memang sulit dileraikan, namun harus diselesaikan satu demi satu! Siapa yang berani bertindak sembarangan, jangan mempersalahkan kalau aku marah!"

Seusai orang itu berkata, semua orang merasa geli tapi juga merasa gusar. Karena nada suaranya seakan menghendaki pertarungan berlangsung lebih lama, agar dia dapat menonton sepuas-puasnya. Oleh karena itu, Ang Eng Leng Long, ketua Go Bi Pai segera bertanya.

"Siapa Anda?"

Orang berkedok itu tertawa terkekeh-kekeh. "He he! Kau tidak perlu bertanya siapa aku. Kalau kau tidak setuju apa yang kukatakan, bagaimana kalau kita coba kepandaian masing-masing?"

Ang Eng Leng Long setuju dalam hati, karena dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya di hadapan semua orang. Dia lalu melangkah lebar ke arah orang berkedok itu, sedangkan orang berkedok itu pun meloncat turun dari batu yang didudukinya.

Ang Eng Leng Long menjulurkan tangannya seraya berkata. "Mari kita berkenalan!"

Dia mengajak bersalaman orang berkedok itu, hanya untuk alasan, tapi yang benar dia ingin mengadu tenaga. Karena Ang Eng Leng Long adalah ketua Go Bi Pai, Lu Sin Kong yang berkepandaian begitu tinggi pun masih bawahannya. Tentu kedudukannya amat tinggi dalam rimba persilatan. Berdasarkan kedudukannya, apabila bertarung tanpa suatu alasan, itu akan merendahkan namanya, maka dia ingin bersalaman dengan orang berkedok itu untuk mengadu tenaga.

"Baik!" sahut orang berkedok itu. Sambil menjulurkan tangan kanannya.

Kemudian mereka bersalaman, tapi Ang Eng Leng Long segera mengerahkan hawa murninya. Betapa dahsyatnya hawa murni itu menerobos ke luar dari jalan darah Lou Kiong Hiat di telapak tangannya. Ketika tenaga yang amat kuat itu menerjang, Ang Eng Leng Long justru merasa telapak tangan pihak lawan berubah lunak, tapi ada tenaga yang amat kuat menghisap tenaganya. Ang Eng Leng Long tertegun dan membatin, ilmu apa itu? Dia tidak berani ceroboh, maka cepat-cepat menarik kembali tenaganya. Seketika terdengar suara.

"Buuum!" salaman mereka terlepas dan masing-masing terpental ke belakang satu langkah.

Kelihatannya tenaga mereka seimbang, karena masing-masing terpental ke belakang. Tapi Ang Eng Leng Long mengerti bahwa dirinya yang kalah mengadu tenaga dengan orang berkedok itu, sebab dia yang mengerahkan tenaga, sebaliknya pihak lawan cuma diam saja. Kemudian dia pula yang menarik kembali tenaganya sendiri, sehingga salaman mereka terlepas. Di situ dapat diketahui tenaga siapa yang lebih kuat. Tapi tidak membuat Ang Eng Leng Long kehilangan muka.

"Anda memang berderajat menjadi si penyelenggara pertemuan ini."

Kejadian yang sebenarnya, hanya dua tiga orang yang dapat mengetahuinya, yaitu Sui Cing Siansu dan Liat Hwe Cousu, sedangkan yang lain tidak tahu sama sekali.

Orang berkedok itu tertawa. "Terima-kasih, saudara!" ucapnya dan kemudian melanjutkan. "Tapi yang lain, apakah ada yang protes?"

Berdasarkan kedudukan Ang Eng Leng Long,ditambah lagi tadi mengadu tenaga dalam keadaan seri, maka orang tidak ada yang protes.

Karena itu, orang berkedok berkata lagi. "Kalau begitu, kita bertanding ilmu silat di sini, tentunya berbeda dengan pertandingan kaum rimba persilatan lain. Kalau mau bertanding ilmu sastra, itu terserah kalian, aku tidak akan mencampurinya. Tapi kalau mau bertanding ilmu silat di tanah datar, itu tak berarti sama sekali." Berkata sampai di sini, mendadak orang berkedok itu merogoh ke dalam bajunya.

"Crak! Crak!" tahu-tahu tangannya sudah menggenggam belasan batang besi sebesar jari kelingking, panjangnya setengah depa. Kedua ujungnya tajam, justru membuat semua orang heran, tidak tahu untuk apa orang berkedok itu mengeluarkan belasan batang besi itu.

Orang berkedok tertawa-tawa, kemudian badannya berputar cepat sekaligus menancapkan batang-batang besi itu di atas batu. Untuk menancap batang-batang besi itu di atas batu, banyak orang yang juga dapat melakukannya. Akan tetapi, tiada seorang pun yang dapat bergerak begitu cepat. Kini semua orang baru melihat jelas, batang-batang besi itu berjumlah enam belas. Setiap depa tertancap sebatang dan membentuk segi empat seluas batu tersebut.

Setelah itu, orang berkedok tersebut berkata. "Batang-batang besi itu amat tajam, siapa yang ingin bertarung, harus di atas batang-batang besi itu!"

Semua orang menyahut dengan gembira. "Bagus!"

Karena orang yang berkepandaian tinggi tentu memiliki lweekang, gwakang dan ginkang, maka kalau bertanding di atas batang-batang besi tajam itu, tentunya amat menarik sekali. Akan tetapi, bagi yang berkepandaian rendah, sudah pasti tidak dapat ikut bertarung.

"Phui!" Mendadak Tiat Cit Song Jin meludah. "Itu apaan?"

Orang berkedok berkata. "Sobat ahli gwakang, aku tahu cara itu agak kurang bijaksana bagimu. Tapi aku punya akal lain."

Usai berkata begitu, orang berkedok berjalan beberapa langkah di sisi-sisi batang-batang besi tajam itu, lalu kembali ke tempat semula sambil tertawa-tawa. Ternyata batu itu sudah agak rata.

"Tiat Cit Song Jin, kau tahu maksudku?"

Tiat Cit Song Jin meludah lagi. "Phui! Aku mana tahu?"

Orang berkedok menyahut. "Kalau ada orang tidak mau bertarung di atas besi tajam, boleh bertarung di atas batu datar. Tapi kalau setiap jurus tidak dapat meninggalkan jejak kaki di atas batu, lebih baik orang itu pulang tidur."

"Bagus! Bagus!" seru Tiat Cit Song Jin sambil tertawa. Dia memang menghendaki demikian.

Tujuh Dewa menyaksikan itu dengan dingin, namun yakin orang berkedok itu tidak hanya berkepandaian amat tinggi, tapi terhadap kepandaian setiap orang yang ada di situ, sepertinya sudah tahu jelas dan memperhitungkannya. Oleh karena itu, Tujuh Dewa amat kagum kepadanya. Akan tetapi, kelihatannya tiada seorang pun yang tahu akan asal-usul orang berkedok itu, bahkan juga tidak mengenalnya.

Itu sungguh mengherankan. Seperti halnya Hwe Ciau Tocu, Cit Sat Sin Kun. Dia sudah hampir dua puluh tahun tidak memunculkan diri. Walau dia tidak memakai julukan Cit Sat Sin Kun, namun memakai nama aslinya Tam Sen, masih dapat diterka asal usulnya. Sedangkan orang berkedok itu, justru tiada seorang pun yang tahu asal-usulnya. Melihat tingkah lakunya, sebentar lurus dan sebentar sesat, sehingga membuat semua orang tidak dapat menduga dia berasal dari mana.

Orang berkedok melanjutkan ucapannya. "Lu Cong Piau Tau dan Hwe Hong Sian Kouw ingin bertarung duluan, dipersilakan naik!"

Terdengar si Walet Hijau-Yok Kun Sih menyahut. "Beberapa hari ini pikiran Hwe Hong Sian Kouw agak terganggu, membuatnya tak bersemangat. Siapa ingin mencarinya untuk membalas dendam, cari aku juga sama!"

Suaranya amat nyaring dan bergema di udara lama sekali. Di saat bersamaan dia pun sudah melesat ke sisi batu besar itu. Kemudian mendadak badannya melambung ke atas dua depa, dengan gerakan ‘Angin Menerpa Bunga Ho’ tahu-tahu dia sudah berdiri di sebuah batang besi tajam, dan sepasang matanya terus menatap Lu Sin Kong. Sebun It Nio mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw, maka Lu Sin Kong cuma ingin membalas dendam itu terhadap si pembunuh itu, jadi merasa enggan untuk bertarung dengan si Walet Hijau-Yok Kun Sih.

Tiba-tiba seseorang berseru. "Bagus sekali! Kebetulan belum membuat perhitungan atas kematian si Pecut Emas-Han Sun!"

Semua orang memandang orang yang berseru itu, ternyata Gin Koan Tojin. Dia melesat ke arah batu besar itu, lalu meloncat ke atas dan berdiri di atas sebatang besi tajam di hadapan Yok Kun Sih.

Orang berkedok tertawa gelak. "Hahaha! Orang yang berkepentingan belum naik, tapi para pembantu malah berebutan naik! Baiklah! Kalian berdua cuma bertanding untuk mengetahui siapa yang menang dan yang kalah, tapi jangan bertarung mati-matian!"

Yok Kun Sih menyahut dingin. "Ini ada hubungan apa denganmu?"

Orang berkedok itu tertawa. "Tidak ada hubungan ya sudahlah!"

Dia segera mundur, lalu duduk di atas sebuah batu sambil mengipasi dirinya dengan kipas rombeng itu. Yok Kun Sih dan Gin Koan Tojin yang berdiri di atas batang besi tajam, hanya berjarak satu depa. Gin Koan Tojin menghimpun lweekangnya, kemudian memberi hormat kepada Yok Kun Sih.

"Silakan, si Walet Hijau-Yok!"

Ketika memberi hormat, Gin Koan Tojin telah menyerangnya dengan lweekang. Kini mereka berdua sama-sama berdiri di atas batang besi tajam, dengan sebelah kaki. Kalau tidak memiliki ginkang tinggi, kaki mereka pasti akan tertembus oleh batang besi tajam itu, maka mereka berdua pun harus berhati-hati. Gin Koan Tojin tahu jelas betapa tingginya ginkang Yok Kun Sih, karena itu dia menyerang duluan tanpa berlaku sungkan-sungkan lagi.

Badan Yok Kun Sih bergerak ringan. Dia berkelit sekaligus hinggap di atas batang besi tajam lain berjarak dua depa. Gin Koan Tojin pun menggeserkan badannya. Sebelah tangannya ikut bergerak, jurus ‘Mendorong Perahu Mengikuti Arus’ dikeluarkannya. Jurus tersebut mengarah tiga buah jalan darah Tiong Hu, Yun Bun dan Sien Ki Hiat di tubuh Yok Kun Sih.

Ketiga jalan darah itu merupakan jalan darah yang amat penting dalam tubuh orang. Di dalam jurus kedua, Gin Koan Tojin sudah turun tangan mengarah jalan darah yang amat penting itu. Dapat diketahui bahwa itu merupakan pertarungan mati-matian. Saat ini Yok Kun Sih sudah tidak bisa mundur, sebab dia berdiri di atas batang besi tajam yang paling pinggir, sedangkan sebelah tangan lain Gin Koan Tojin sudah menepuk, menghalangi arah kiri agar Yok Kun Sih tidak dapat meloncat ke sana.

Kelihatannya jurus Sun Sui Thui Cou amat lihay. Semua orang menduga bahwa Yok Kun Sih tidak akan mampu menghindari serangan itu. Tapi di saat totokan Gin Koan Tojin sampai di depan dadanya, mendadak Yok Kun Sih menekuk badannya. Tampaknya tekukan itu tiada gunanya sama sekali, sebab jurus Sun Sui Thui Cou justru mengarah jalan darah di bagian dada Yok Kun Sih. Walau dia menekuk badannya, jalan darah di bagian dada pasti tertotok.

Akan tetapi, si Walet Hijau-Yok Kun Sih bukan orang yang tak bernama, bagaimana mungkin dia akan kalah di tangan Gin Koan Tojin dalam jurus kedua? Ternyata ketika dia menekukkan badannya, di saat bersamaan dia justru menjulurkan lengan kanannya, mengarah pada urat nadi di tangan kiri Gin Koan Tojin, sekaligus tangan kirinya mendorong ke arah badan Gin Koan Tojin. Yok Kun Sih memiliki lweekang tinggi, maka dorongan tangan kirinya menimbulkan suara menderu-deru.

Begitu melihat Yok Kun Sih mengeluarkan jurus yang amat jitu itu, tertegun hati Gin Koan Tojin. Dia cepat-cepat menarik lengan kanannya, bersamaan itu dia pun mengibaskan tangan kirinya. Ternyata dia mengeluarkan jurus ‘Sungai Perak Melintang’. Jurus itu mengarah ke lengan kanan Yok Kun Sih. Jurus tersebut sungguh indah dan lihay. Tangan Yok Kun Sih yang sudah mendorong ke depan sudah tidak dapat ditarik kembali.

Ketika semua orang baru mau berseru memuji, mendadak terjadi suatu perubahan yang di luar dugaan. Tampak tangan kiri Yok Kun Sih diturunkan ke bawah, dan sekaligus dia bergerak secepat kilat.

“Serr!”

Sebuah cambuk perak sudah berada di tangannya, dan langsung digunakan untuk menyerang Gin Koan Tojin dengan jurus ‘Menyapu Ribuan Prajurit’. Cambuk yang panjangnya kira-kira hampir dua depa itu bergerak cepat sekali, sehingga yang tampak hanya sinar putih berkelebat mengarah ke dada Gin Koan Tojin. Di saat Gin Koan Tojin sudah hampir meraih kemenangan, justru tidak menyangka kalau Yok Kun Sih akan menyerangnya dengan cambuk.

Betapa gusarnya dan terkejutnya Gin Koan Tojin. Terpaksa ia menahan serangannya dan sekonyong-konyong dia merasakan telapak kakinya sakit sekali. Ternyata ujung batang besi yang tajam itu telah menembus alas sepatu kainnya. Gin Koan Tojin tahu jelas, apabila pertarungan itu dilanjutkan, tentu dirinya yang akan celaka. Maka dia cepat-cepat mundur dan mundur lagi, akhirnya meloncat turun.

Semua orang memandang ke arahnya, tampak mukanya tersabet cukup dalam, darah pun mengucur. Untung dia cepat mundur, kalau tidak mungkin kepalanya akan hilang sebelah tersabet cambuk perak Yok Kun Sih.

Setelah meloncat turun, Gin Koan Tojin pun tertawa aneh, kemudian berkata. "Kepandaianku masih rendah, aku mengaku kalah!"

Sembari berkata dia mendekati keempat muridnya, lalu berseru. "Mari kita pergi!"

Mereka berlima langsung melesat pergi meninggalkan puncak Sian Jin Hong. Semua orang tahu, Gin Koan Tojin bisa begitu cepat kalah dikarenakan dia ingin cepat-cepat meraih kemenangan, sehingga membuatnya begitu cepat mengalami kekalahan.

Orang berkedok itu segera berseru lantang. "Sudah pergi lima orang!"

Sembari berkata dia mengeluarkan sebatang besi tajam, lalu mencatat di atas batu yang didudukinya. Semua orang memandang ke arah batu itu. Tampak sebaris tulisan berbunyi demikian, ‘Hui Yan Bun Yok Kun Sih, tiga jurus mengalahkan Gin Koan Tojin’.

Terkejutlah semua orang melihat tulisan itu, karena setiap orang yang bertarung pasti akan dicatatnya di atas batu itu, tentunya akan menyangkut reputasi partai-partai yang berkepentingan. Perlu diketahui, setiap kaum rimba persilatan bertarung, sudah pasti demi reputasi. Kalau sekarang orang berkedok itu mencatat hasil pertarungan mereka, kelak Gin Koan Tojin akan mencari Yok Kun Sih untuk bertanding lagi demi menebus kekalahan itu, bahkan akan merembet ke generasi mendatang kedua partai tersebut. Itu berarti selanjutnya, Cing Sia Pai dan Hui Yang Bun akan saling membunuh.

Oleh karena itu, wajah semua orang tampak berubah hebat dan Sui Cing Siansu segera menyebut kebesaran nama Sang Buddha.

"Omitohud! Siancai! Siancai! Kenapa kau berbuat begitu? Itu seharusnya tidak perlu!"

Orang berkedok itu tertawa gelak. "Hahaha! Aku datang di puncak Sian Jin Hong ini, bukan demi mengambil sesuatu dari Lu Cong Piau Tau, juga tidak membantu siapa pun, melainkan demi pertandingan para partai yang ada di sini. Kenapa aku tidak boleh berbuat begitu?"

Sui Cing Siansu menyahut. "Dalam rimba persilatan sudah banyak yang saling membunuh. Perbuatanmu itu, bukankah akan membuat partai-partai besar saling membunuh selamanya?"

Orang berkedok itu tertawa dingin. "Hweeshio tua kok berpikir begitu jauh? Mereka mau saling membunuh ada urusan apa dengan diriku? Aku mencatat kejadian yang sebenarnya saja, tidak ditambah dan tidak dikurangi."

Wajah Sui Cing Siansu yang kemerah-merahan itu berubah menjadi merah padam, kemudian dia bertanya. "Jadi kau tidak mau berhenti?"

Orang berkedok itu menyahut tegas. "Tentu tidak akan berhenti!"

"Omitohud!" ucap Sui Cing Siansu lalu maju selangkah sekaligus melesat ke depan, sampai di hadapan batu itu.

"Serr!" ternyata dia sudah mengibaskan lengan jubahnya ke permukaan batu itu.

Semua orang tahu, Sui Cing Siansu memiliki Bu Sing Sin Kang (Tenaga Sakti Tiada Tara) aliran Buddha. Kibasan lengan jubahnya itu pasti akan berhasil menghapus tulisan yang terukir di batu itu. Suasana menjadi hening seketika. Di saat ujung lengan jubah Sui Cing Siansu mengarah permukaan batu tersebut, mendadak orang berkedok itu mengipaskan kipas rombengnya ke depan sehingga menimbulkan suara menderu-deru.

“Blaam!” Kedua tenaga itu beradu dan menimbulkan suara yang memekakkan telinga.

Badan orang berkedok itu mendadak melambung ke atas dua depa, sedangkan badan Sui Cing Siansu bergoyang-goyang. Itu membuktikan lweekang orang berkedok seimbang dengan lweekang Sui Cing Siansu. Tentunya hal ini amat mengejutkan semua orang.

Setelah melayang turun dan duduk bersila di atas batu itu, orang berkedok tertawa gelak. "Hahaha! Hweeshio tua, apakah kau takut pihak Go Bi Pai akan meninggalkan nama busuk di batu ini? Kalau tidak, bagaimana mungkin kau melarangku mencatat setiap pertandingan di puncak Sian Jin Hong ini?"

Padahal Sui Cing Siansu sudah mau mengibaskan lengan jubahnya lagi. Tapi ketika mendengar ucapan orang berkedok itu, dia malah tertegun dan tidak jadi mengibaskan lengan jubahnya.

"Aku adalah orang yang menyucikan diri, bagaimana mungkin tega melihat kaum rimba persilatan saling membunuh?" katanya kemudian.

Orang berkedok itu menyahut sambil tertawa. "Lo Siansu, kalau dalam rimba persilatan tidak saling membunuh, apakah harus saling membaca syair?"

Sui Cing Siansu masih ingin menasihatinya, namun Ang Eng Leng Long sudah berseru. "Sui Cing Suheng, biarkan saja! Apakah kita Go Bi Pai benar takut terhadap orang lain?"

Sui Cing Siansu membalikkan badannya. Dilihatnya wajah semua orang tampak tidak senang karena ucapan orang berkedok tadi. Menyaksikan keadaan itu, Sui Cing Siansu menghela nafas panjang. Dia tahu betapa sulitnya mengatasi petaka di puncak Sian Jin Hong ini. Akhirnya badannya berkelebat kembali ke tempatnya.

Orang berkedok itu pun berseru lantang. "Jangan membuang waktu, cepat bertarung lagi!"

Sementara setelah mengalahkan Gin Koan Tojin, Yok Kun Sih terus memperhatikan Lu Sin Kong. Sesungguhnya sudah sejak tadi Thian Hou Lu Sin Kong ingin melesat ke arah batang besi tajam itu, namun terhalang oleh tingkah laku orang berkedok tersebut. Kini dia sudah ingin melesat ke sana, tapi mendadak terdengar Hwe Hong Sian Kouw berkata.

"Kun Sih, ini adalah pertarungan antara mati dan hidup, biar aku saja!"

Sembari berkata badannya pun bergerak, namun tidak mengarah ke batu besar tempat menancap belasan batang besi tajam itu, melainkan mengarah ke tempat Han Giok Shia dan Tam Ek Hui. Betapa terkejutnya Tam Ek Hui. Dia langsung mencelat ke hadapan Han Giok Shia, sekaligus melancarkan sebuah pukulan. Hwe Hong Sian Kouw sudah sampai di situ. Dia pun melancarkan sebuah pukulan untuk menangkis pukulan Tam Ek Hui.

“Blaam!” Kedua pukulan itu beradu.

Kedua telapak tangan mereka saling menempel. Di saat bersamaan mendadak lengan kiri Hwe Hong Sian Kouw mencengkeram bahu Han Giok Shia. Bukan main terkejutnya gadis itu. Dia mau berkelit namun terlambat. Tiba-tiba Hwe Hong Sian Kouw berkata lantang.

"Ah Shia, jangan takut!"

Hwe Hong Sian Kouw sudah berhasil mencengkeram bahu Han Giok Shia, lalu menarik tangannya yang sebelah dan langsung meraih senjata Liat Hwe Soh Sim Lun yang ada di pinggang Han Giok Shia. Begitu berhasil mengambil senjata tersebut, Hwe Hong Sian Kouw melesat pergi. Kini semua orang tahu, bahwa dia mendadak menerjang ke arah Han Giok Shia, hanya ingin mengambil senjata tersebut.

Setelah melesat pergi, Hwe Hong Sian Kouw berkata dengan dingin. "Tidak percuma sebagai putra Cit Sat Sin Kun, mampu menyambut satu pukulanku!"

Harus diketahui, Hwe Hong Sian Kouw adalah seorang pendekar wanita tingkatan tua, yang sudah lama terkenal dalam rimba persilatan. Sedangkan Sebun It Nio pernah mengalami dua kali patah pedangnya karena beradu dengan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun. Itu dikarenakan senjata tersebut dibuat dari besi murni, lagi-pula Hwe Hong Sian Kouw memiliki lweekang yang amat tinggi. Usia Tam Ek Hui baru dua puluhan, tapi dia mampu menyambut sebuah pukulannya, itu sungguh luar biasa!

Seusai berkata begitu, Hwe Hong Sian Kouw mencelat ke atas batang besi tajam itu. Sebenarnya si Walet Hijau-Yok Kun Sih ingin mewakili Hwe Hong Sian Kouw. Sebab sejak kemarin Kim Kut Lau mengungkap kematian si Pecut Emas-Han Sun di tangan Hwe Hong Sian Kouw, itu membuat Hwe Hong Sian Kouw menjadi lesu tak bersemangat sama sekali. Tapi kini setelah melihat Hwe Hong Sian Kouw mengayun-ayunkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun, begitu bertenaga dan cepat laksana kilat, maka legalah hatinya.

"Houw Kouw! Hati-hati!" pesannya.

Hwe Hong Sian Kouw mengangguk, kemudian memandang Lu Sin Kong seraya berkata. "Lu Cong Piau Tau, kini kau boleh membalas dendam isterimu!"

Begitu melihat Hwe Hong Sian Kouw berdiri di atas batang besi tajam, darah Lu Sin Kong mendidih. Dia menggeram dan langsung melesat ke sana lalu berdiri di hadapan Hwe Hong Sian Kouw. Namun ketika Lu Sin Kong baru mau mengayunkan goloknya, mendadak terdengar dua orang berseru serentak.

"Tunggu!"

Semua orang menolehkan kepala ke arah datangnya suara itu. Ternyata yang bersuara adalah si Setan-Seng Ling dan si Duta Api Obor Hwa San Pai. Semua orang tertegun, sebab Lu Sin Kong dan Hwe Hong Sian Kouw yang mau bertarung itu, sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka berdua, tapi kenapa mereka berdua berseru ‘Tunggu’?

Di saat semua orang terheran-heran, si Setan-Seng Ling justru tertawa. "Duta Api Obor, silakan bicara dulu!"

Si Duta Api Obor segera berkata lantang. "Cousu ada perintah. Karena ada sesuatu yang harus ditanyakan kepada Lu Cong Piau Tau, maka siapa yang berani melukainya, justru mau cari gara-gara dengan Hwa San Pai!"

Si Setan Seng Ling bertanya. "Sudah usai berbicara, Duta Api Obor?"

Si Duta Api Obor menyahut. "Sudah, Setan Seng Ling."

Si Setan mengeluarkan tawa yang menyeramkan, tajam dan nyaring menusuk telinga, setelah itu barulah berkata. "Aku dan Lu Cong Piau Tau masih ada suatu urusan yang belum dibicarakan. Maka siapa berani melukainya, berarti mau cari urusan denganku!"

Mendengar itu Lu Sin Kong merasa gusar tapi geli. Dalam hatinya dia berpikir, dari mana munculnya kedua pengawal itu? Sebaliknya Hwe Hong Sian Kouw malah tertawa dingin.

"Yang satu setan iblis yang tak berani menjumpai orang, dan yang satu lagi suka macam-macam. Ternyata pembantu Lu Cong Piau Tau. Kalau begitu, tentunya aku tidak berani melukainya!"

Mulutnya mengatakan tidak berani melukai Lu Sin Kong, namun begitu usai berkata dia mengayunkan Liat Hwe Soh Sim Lun. Begitu turun tangan dia mengeluarkan jurus ‘Sepasang Gagak Api Berterbangan’, sasarannya adalah dada Lu Sin Kong. Semua orang tahu, bahwa apa yang dikatakan Hwe Hong Sian Kouw tadi justru sebaliknya, maka menyerang Lu Sin Kong dengan sengit sekali.

Tampak Lu Sin Kong mengayunkan goloknya, dengan jurus ‘Air Terjun Mengalir’ untuk membacok gelang di ujung senjata Liat Hwe Soh Sim Lun. Bacokan itu sungguh dahsyat, sebab Lu Sin Kong mengerahkan lweekang sepenuhnya. Begitu goloknya diayunkan, terdengar suara menderu-deru yang menggetarkan jantung.

“Trang!”

Terdengar suara benturan dan tampak pula bunga api berpijar. Ujung golok Lu Sin Kong terjepit oleh Liat Hwe Soh Sim Lun. Senjata Hwe Hong Sian Kouw itu dibuat dari baja murni. Gelang yang di ujungnya terus berputar, maka pedang atau golok biasa pasti patah seketika kalau terjepit. Tapi golok di tangan Lu Sin Kong adalah golok emas murni, hadiah pernikahan mereka dari Tiam Cong Pai, guru Sebun It Nio. Maka golok itu sungguh luar biasa, walau belum tergolong golok pusaka.

Kedua senjata itu melekat jadi satu, maka Hwe Hong Sian Kouw dan Lu Sin Kong pun berdiri diam di ujung batang besi tajam itu. Namun kemudian justru Lu Sin Kong yang bergerak duluan, melancarkan sebuah pukulan ke arah kepala lawan. Begitu melihat Lu Sin Kong melancarkan pukulan, hati Hwe Hong Sian Kouw tersentak. Saat ini, kedua senjata itu melekat jadi satu, sedangkan pukulan Lu Sin Kong menghantam ke arahnya. Maka kecuali melepaskan Liat Hwe Soh Sim Lun, tidak ada jalan lagi baginya untuk berkutik.

Namun dalam pertarungan mati-matian itu, bagaimana mungkin Hwe Hong Sian Kouw mau melepaskan senjatanya? Dalam keadaan terdesak, dia pun mengangkat sebelah tangannya untuk menyambut serangan Lu Sin Kong. Pukulan yang dilancarkan Lu Sin Kong dari atas ke bawah, sedangkan pukulan yang dilancarkan Hwe Hong Sian Kouw untuk menangkis dari bawah ke atas, maka itu sungguh merugikan dirinya. Kalau berada di tanah datar, tentunya tidak akan merugikan siapa pun. Namun saat ini, mereka berdua berdiri di ujung batang besi yang tajam. Ketika Hwe Hong Sian Kouw melancarkan pukulan itu, otomatis sebelah kakinya menjadi berat.

“Blaam!”

Pukulan mereka beradu dan terdengar suara benturan yang amat dahsyat. Badan Hwe Hong Sian Kouw terhuyung-huyung.

"Cess!" ujung batang besi yang tajam itu menembus alas sepatu Hwe Hong Sian Kouw.

Walau pukulan Lu Sin Kong tidak mematikan, tapi membuat telapak kaki Hwe Hong Sian Kouw tertusuk ujung besi tajam sehingga berdarah. Begitu melihat lawan terhuyung-huyung ke belakang, Lu Sin Kong membentak keras sambil meloncat ke batang besi lain sekaligus mengayunkan goloknya dengan jurus ‘Sungai Tiang Kang Mengalir Ke Timur’ untuk menyerang Hwe Hong Sian Kouw. Sebelah kaki Hwe Hong Sian Kouw menginjak batang besi lain. Tapi sebelum badannya diam, golok Lu Sin Kong sudah meluncur ke arahnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar