Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 02

Di dalam dunia bu-lim, seorang guru memilih murid, atau seorang murid mencari guru yang pandai merupakan urusan yang wajar. Lagi-pula, walau pun orangtuanya sendiri mempunyai kepandaian yang tinggi, namun anaknya berguru kepada orang lain, juga bukanlah kejadian yang mengherankan. Menilik kepandaian yang dimiliki Liok Ci Siansing, seandainya Lu Leng benar-benar berguru kepadanya, hal ini juga tidak merendahkan derajat Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sebagai orangtuanya.

Seandainya mereka belum menemukan mayat dalam goa dan cap telapak tangan di balik gunung-gunungan itu, saat ini mereka pasti sudah turun dari kuda masing-masing untuk menyatakan perasaan terima-kasihnya. Tapi, kenyataannya justru berlawanan, maka dalam hati mereka segera berpikir, “Betul, antara kami dengan orang-orang ini tidak pernah terlibat permusuhan apa-apa. Sedangkan Leng-ji lebih tidak mungkin lagi mencari masalah dengan tokoh-tokoh besar ini. Pasti mereka memaksa Leng-ji untuk menjadi muridnya Liok Ci Siansing, tapi karena Leng ji menolak, maka mereka tidak segan-segan membunuhnya.”

Lu Sin Kong hanya berpikir sampai di sini, tapi pandangan Sebun It Nio lebih jauh lagi. “Mereka sengaja berbicara demikian, maksudnya pasti untuk menyelidiki apakah kami sudah menemukan mayat Lu Leng atau belum. Sebaiknya aku pura-pura tidak tahu, jadi kami yang memegang kartu asnya. Kelak dengan mudah kami bisa menuntut balas atas dendam ini.”

Dengan tenang dia tersenyum, "Liok Ci Siansing memandang putera kami begitu tinggi, tentunya kami berterima-kasih sekali. Kami hanya khawatir putera kami itu terlalu bodoh sehingga tidak dapat belajar dengan baik," katanya.

Liok Ci Siansing tertawa terbahak-bahak. "Mengapa Lu Hujin harus merendahkan diri?"

"Sayangnya sekarang kami suami istri masih ada keperluan sedikit. Kami harus berangkat ke Su Cou untuk menyelesaikannya. Sekembalinya nanti, kami akan mengantarkan Leng ji ke gunung Bu Yi San. Bagaimana kalau Liok Ci Siansing dan sahabat lainnya menunggu di bukit Sian Jin Hong saja?" kata Sebun It Nio pula.

Liok Ci Siansing merenung sejenak. "Boleh juga. Kalau begitu, sekarang juga kami mohon diri!"

Kepalanya kembali tertunduk, tangannya mulai memetik harpa. Tiat Cit Siong Jin melangkah dengan tindakan lebar mengikuti di belakangnya. Tidak lama kemudian, keduanya sudah menyeberangi jalan raya lalu menghilang ke dalam hutan.

Setelah kedua orang itu tidak terlihat lagi, Sebun It Nio baru berkata dengan nada berapi-api, "Sebulan kemudian, akan kubuat mereka mati tanpa kubur!"

"Hujin, kalau melihat lagak keduanya, tampaknya mereka tidak tahu menahu urusan ini," kata Lu Sin Kong.

"Sudah terang mereka yang menurunkan tangan keji, bagaimana bisa tidak tahu? Mereka bersikap begini, pasti ada tujuannya, hanya kita saja yang tidak bisa menerka apa maksudnya," sahut Sebun It Nio dengan nada tajam.

Sebetulnya Lu Sin Kong ingin mengatakan bahwa dia tidak tahu bagaimana watak Liok Ci Siansing, tapi mengenai Tiat Cit Siongjin, dia justru jelas sekali. Orang ini adatnya keras, tapi jujur. Rasanya dia tidak mungkin berpura-pura seperti dugaan istrinya.

Keduanya segera mengisi perut dengan ransum kering lalu meneruskan perjalanan. Menjelang sore harinya, mereka dapat melihat di bagian depan terdapat sebuah kota besar. Dari wuwungan rumah terlihat asap mengepul. Rupanya para penduduk sedang mempersiapkan makan malamnya. Mereka segera turun dari kuda masing-masing dan meneruskan dengan berjalan kaki. Maksudnya agar jangan timbul kecurigaan di hati orang-orang yang melihatnya. Bisa-bisa timbul lagi masalah lainnya.

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara tertawa dingin sebanyak dua kali. Mereka segera menolehkan kepalanya. Tampak tiga orang bertubuh kurus kering sedang berlari mendatangi dengan cepat. Kaki mereka seakan tidak menyentuh tanah. Hal ini membuktikan ilmu ginkang ketiga orang itu sangat tinggi sekali. Sekejap saja mereka sudah melewati kuda tunggangan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, bahkan ketiga orang itu masih sempat melirik mereka sekilas.

Gerakan ketiga orang itu menunjukkan bahwa mereka bukan orang sembarangan. Mendapat lirikan sekilas tadi, Lu Sin Kong dan Sebun it Nio segera mencurahkan perhatiannya kepada ketiga orang itu. Pandangan kedua pihak sempat bertemu sesaat. Sebun It Nio melihat sorot mata ketiga orang itu tajam sekali. Sembari menoleh, kaki ketiganya tidak berhenti. Sebentar saja mereka sudah melesat jauh di depan.

Sebun It Nio tertawa dingin. Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu kepada Lu Sin Kong, sekonyong-konyong dari belakang kembali terdengar suara seruan, "Numpang lewat! Numpang lewat!"

Tempat di mana mereka berada sudah dekat sekali dengan kota besar dengan jalannya yang lebar sekali. Walau pun banyak orang dan kuda yang berlalu lalang, tetapi bila orang di belakang itu ingin mendahului, sebetulnya tidak perlu Lu Sin Kong mau pun Sebun it Nio menggeser ke pinggir untuk mereka lewat. Diam-diam hatinya merasa gondok juga.

Dia menolehkan kepalanya, tampak seorang laki-laki yang gemuknya luar biasa dengan menggembol sesuatu seperti bakul batu di pundaknya. Orang itu melenggang-lenggok seperti induk bebek yang sedang bunting. Di kiri kanannya masih ada jalan yang longgar tapi dia tidak mau menepi, malah sengaja mengintil di belakang kudanya Sebun It Nio. Lemak di pipi, leher dan perutnya bergoyang-goyang sementara mulutnya terus berteriak, "Numpang lewat! Numpang lewat!"

Sebun It Nio sudah banyak pengalaman dan pengetahuannya luas pula. Sekali lihat saja, dia dapat menduga bahwa batu yang dipanggul di pundak si Gendut itu paling tidak beratnya mencapai empat ratusan kati. Dia langsung tahu bahwa si Gendut itu bukan orang sembarangan. Lagi-pula, menilik keadaannya, dapat dipastikan bahwa orang itu sengaja mencari gara-gara dengannya.

Sejak semula Sebun It Nio juga sudah tahu, bahwa dalam mengantarkan kotak kayu itu ke Su Cou, sepanjang perjalanan mereka akan bertemu dengan jago-jago yang tidak sedikit jumlahnya. Tujuannya ikut dengan suaminya, sesungguhnya juga karena ingin melihat tokoh-tokoh siapa saja yang akan mereka temui dalam perjalanan. Namun, sebelum keberangkatannya, mereka menemukan kejadian di dalam gudang.

Maka dalam hati Sebun It Nio timbul tekad, dia ingin secepatnya mengantarkan kotak itu ke Su Cou lalu berangkat ke gunung Bu Yi San untuk mencari Liok Ci Siansing, Tiat Cit Siong Jin dan yang lainnya untuk membalas dendam. Niat untuk mengadu kepandaian dengan tokoh-tokoh yang akan merebut kotak dalam perjalanan sudah sirna entah ke mana. Itulah sebabnya sekarang dia memilih diam walau pun si Gemuk terang-terangan mengincar dirinya dengan mencari gara-gara. Ditariknya tali kendali kudanya untuk menepi sejauh tiga ciok.

Si Gemuk juga tidak sungkan sedikit pun juga. Dengan memanggul batu yang berat di pundaknya, dia berjalan dengan langkah lebar di antara Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Malah kepalanya terus menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memperhatikan kedua orang itu.

Sebun It Nio memberi isyarat kepada Lu Sin Kong dengan kedipan matanya agar dia menahan kedongkolan hatinya. Lu Sin Kong hanya menatap si Gemuk dengan pandangan dingin. Tiba-tiba dia melihat di punuk si Gemuk tumbuh daging sebesar kepalan yang warnanya merah matang. Mendadak bayangan seseorang melintas dalam benaknya, dan untuk sesaat dia menjadi tertegun.

Tepat pada saat itulah, si Gemuk mempercepat langkah kakinya. Jangan dilihat tubuhnya yang penuh lemak, belum lagi beban di pundaknya yang begitu berat, namun begitu dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, tahu-tahu gerakannya seperti terbang.

“Ser! Ser! Ser!” Tahu-tahu dia sudah melewati beberapa kereta kuda dan orang-orang yang berlalu lalang dan sekejap saja sudah menuju kota besar di depan.

Lu Sin Kong menarik tali kendali kudanya agar dapat berjalan beriringan dengan istrinya. "Hujin, mungkinkah si Gemuk tadi adalah Ciangbunjin dari perguruan Tai Ci Bun yang berjuluk Pang Sian (si Dewa Gemuk) dan namanya Yu Lao Pun yang sangat terkenal di dunia kang-ouw?" tanyanya.

Sebun It Nio menganggukkan kepalanya. "Tidak salah. Sedangkan ketiga orang yang tubuhnya kurus kering tadi pasti Thai San Sam Sia (Tiga Sesat Dari Gunung Thai San). Apakah kau tidak melihat kalau di pinggang mereka masing-masing terselip sebuah senjata yang aneh?" sahutnya.

Lu Sin Kong baru tersadar mendengar keterangan istrinya. "Betul. Mereka bertiga tentu anak didik Hek Sin Kun dari Thai San."

Sepasang alis Sebun It Nio tampak mengerut. "Urusan ini benar-benar aneh. Thai San Sam Sia itu biasanya malang melintang di wilayah Hopak, San Tung. Dengan beking Hek Sin Kun, mereka berani melakukan kejahatan apa saja, bahkan sebagian besar tokoh dari golongan hitam saja dibuat pening kepalanya oleh mereka. Kalau mereka ingin merebut kotak ini, memang pantas. Tapi Ciangbunjin dari perguruan Tai Ci Bun itu terhitung orang dari golongan lurus, mengapa dia juga ikut mengincar kita?"

Lu Sin Kong tertawa sumbang. "Biar saja. Tunggu saja sampai mereka mengusik kita secara terang-terangan. Taruh kata kita tidak bisa melawan mereka, biarlah mereka mendapatkan kotak kosong ini, toh tak ada gunanya bagi mereka," sahutnya.

Sebun It Nio juga mempunyai pikiran yang sama. Tapi bagaimana pun dia memang lebih cerdik dari pada Lu Sin Kong, maka dia berkata, "Jangan bicara keras-keras! Bagaimana pun malam ini kita harus meneliti kotak itu sekali lagi, siapa tahu kita bisa menemukan rahasianya. Kalau tidak, mengapa si Ki Hok bersedia memberikan imbalan yang begitu besar? Kenapa pula Thai San Sam Sia dan Yu Lao Pun bisa mengikuti jejak kita?"

Baru saja dia selesai bicara, dari belakangnya kembali terdengar suara ratapan yang memilukan sekali. Kepandaian Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah terhitung jago kelas satu. Seandainya mereka berdua bermaksud mendirikan sebuah perguruan, ketenarannya mungkin tidak akan kalah dengan perguruan besar lainnya. Meski pun demikian, begitu mendengar suara ratapan tadi, tidak urung hati keduanya bergetar juga, seakan tiba-tiba mereka dilanda rasa takut yang hebat. Cepat-cepat mereka menenangkan perasaannya, kemudian segera menoleh.

Tampak di belakangnya berjalan dua pemuda yang sedang berkabung. Yang seorang membawa lentera dari kertas, dan yang satunya membawa Leng-ki atau bendera tanda berkabung. Bahkan tangan mereka juga menaburkan kertas-kertas sembahyang sehingga memenuhi sepanjang jalan. Dandanan kedua orang ini sungguh mencurigakan. Rona wajah keduanya juga pucat pasi, tidak mirip sedikit pun dengan orang hidup.

Hal ini membuat perhatian orang-orang di sepanjang jalan beralih kepada mereka berdua. Namun keduanya seakan tidak peduli, mereka tetap mendengarkan suara ratapan yang menyayat hati, bahkan langkah keduanya juga seradak-seruduk sehingga orang-orang di sekitarnya menepi untuk memberi jalan. Kuda-kuda orang-orang yang berlalu lalang juga mengeluarkan ringkikan keras karena didorong ke sana ke mari.

Sebun It Nio tertawa dingin. Dia memalingkan kepalanya seakan tidak menaruh hati sama sekali terhadap sikap kedua orang itu. Sementara itu, kedua orang itu masih saja melangkah dengan seenaknya. Tiba-tiba, mereka menyeruduk ke arah seekor kuda hitam sehingga binatang itu terkejut. Orang yang menunggang di atasnya berdandan seperti piau-su. Ia langsung melonjak bangun dan nyaris terjatuh.

Laki-laki itu gusar sekali, dan terdengar dia memaki, "Sialan! Biar keluarga kalian kematian bapak, juga tidak perlu seruduk ke sana seruduk ke mari!"

Kedua pemuda yang sedang berkabung itu mendongakkan kepalanya. Ternyata bukan suara ratapannya saja yang tidak enak didengar, malah suara bicaranya yang mengandung suara tangisan itu juga membuat telinga orang ikut tergetar.

"Bapak kami baru mati, tanpa sengaja kami mendorongmu, mohon maaf! Mohon maaf!" ucap keduanya serentak.

Sambil bicara, kaki mereka terus melangkah ke depan. Walau pun tindakan kaki mereka seperti orang sempoyongan namun mengandung gaya tersendiri. Dalam sekejap keduanya sudah melewati Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio. Ketika melalui kedua orang itu, mereka malah sempat menoleh dan tersenyum, tapi tampangnya malah terlebih menyeramkan. Setelah itu mereka meneruskan langkah kaki ke depan.

Diam-diam Sebun lt Nio memaki dalam hati, "Bagus! Setan dan iblis model apa saja sudah berkumpul di sini!"

Ketika di saat hatinya memaki, dari belakang terdengar suara ringkikan kuda yang keras dan suara jeritan yang histeris. Dia segera menoleh. Situasi di belakangnya sudah ramai sekali. Kuda hitam yang didorong kedua pemuda tadi sudah terkulai di atas tanah dengan mulut mengeluarkan buih putih. Sedangkan si laki-laki kekar yang duduk di atas punggung binatang itu juga sudah menggelinding di atas tanah. Mulutnya mengeluarkan suara, “Krok, Krok, Krok,” seperti orang yang disembelih. Tidak lama kemudian tubuhnya sudah membujur kaku, dan wajahnya berubah kehijauan. Dapat dipastikan selembar nyawanya sudah melayang.

Sebun It Nio dan Lu Sin Kong sudah lama berkecimpung di dunia bu-lim. Mendengar suara ratapan serta dandanan kedua pemuda tadi, mereka sudah dapat menebak asal-usulnya. Mereka juga tahu, laki-laki berkuda hitam yang mengeluarkan makian tadi pasti akan menerima akibat yang menyedihkan. Namun mereka tidak menyangka kejadiannya bisa begitu cepat, apalagi setelah melihat wajah laki-laki itu, keduanya semakin terkesiap. Rupanya setelah mati, mimik wajah si laki-laki kekar itu bukan saja menyeramkan, tapi tersirat ketakutan yang hebat sekali.

Keduanya langsung teringat mimik wajah Cin Piau Tau sebelum kematiannya. Tampang kedua orang itu memperlihatkan ketakutan yang sama, maka baik Lu Sin Kong maupun Sebun It Nio sama-sama tertegun jadinya. Ketika mereka menoleh kembali kepada kedua pemuda yang dandanannya aneh itu, ternyata bayangan keduanya sudah tidak terlihat lagi.

"Hujin, kalau Kui Sen-Seng Ling telah mengutus kedua anak kesayangannya untuk muncul, kemungkinan dia sendiri juga sudah datang," kata Lu Sin Kong.

Sebun It Nio menganggukkan kepalanya. "Thai San Sam Sia, si Dewa Gemuk Yu Lau Pun, Hek Sin Kun, Kui Sen dari Pak Bong San. Hemm... kita menempuh perjalanan belum sampai dua ratus li, tokoh yang muncul sudah begitu banyak. Mungkin di depan nanti masih ada tontonan yang lebih menarik lagi."

Lu Sin Kong merenung sejenak. "Bagaimana kalau kita mengambil jalan putar dan meneruskan perjalanan tanpa beristirahat?"

Biasanya Sebun It Nio tidak pernah sudi mendengarkan usul orang lain. Tapi saat ini yang terpikir olehnya hanya dapat membalaskan dendam atas kematian anaknya dengan secepatnya. Dia tidak ingin melibatkan diri dalam persengketaan dengan orang lain, maka dia menyahut, "Baik!"

Begitu dekat dengan kota besar itu, mereka segera menarik tali kendali kudanya lalu mengambil jalan lain. Dalam semalaman mereka sudah menempuh perjalanan sejauh seratus li lebih. Sampai keesokan paginya, orangnya masih tidak apa-apa, tapi kuda-kuda tunggang mereka sudah kecapean. Tampaknya kedua binatang itu tidak sanggup meneruskan perjalanan lagi.

Sejak mendirikan Thian Houw Piau Kiok, setidaknya Lu Sin Kong juga sudah malang melintang di dunia bu-lim selama dua puluh tahun lebih. Hampir seluruh wilayah pernah dijelajahinya. Maka dia tahu, bila berjalan terus, sebentar lagi mereka akan sampai di kota Keng Bun Ceng. Walau pun kota itu tidak terlalu besar, namun di tempat ini hasil buminya seperti teh merah sangat terkenal sekali. Daerah ini juga sering menjadi ajang berkumpulnya para pengusaha.

Sepasang suami istri itu berunding sebentar. Mereka mengambil keputusan untuk melepaskan kelelahan perjalanan panjang dengan bermalam di kota ini. Dengan menunggang kuda, keduanya masuk ke dalam kota. Baru sampai di depan pintu gerbangnya, tampak dua orang yang berdandan seperti pelayan penginapan berdiri menyambut mereka. Tangan keduanya membawa sebuah lentera. Lilinnya memang sudah padam, namun raut wajah kedua orang itu tampak jelas. Mereka tampak sudah letih sekali, rupanya sudah menunggu selama sepanjang malam. Melihat Sebun It Nio dan Lu Sin Kong mendatangi, kedua orang yang berdandan seperti pelayan itu segera maju untuk menyambut.

"Apakah kalian berdua suami istri Lu Cong Piau Tau dan Lu Hujin?" tanya mereka serentak.

Lu Sin Kong tertegun. "Betul. Bagaimana kau bisa tahu?"

Wajah kedua pelayan itu berseri-seri seketika. "Tampang Lu Thai Enghiong (Pendekar Besar Lu) gagah perkasa. Sekali lihat saja sudah bisa dikenali. Kami berdua mendapat perintah dan kami sudah menunggu sepanjang malam. Kami berdua menyiapkan dua kamar besar agar kalian bisa beristirahat dengan tenang," sahut salah satunya.

Hati Lu Sin Kong merasa heran. Sedangkan Sebun lt Nio langsung bertanya dengan nada tajam, "Siapa yang memerintahkan kalian untuk menunggu kami di sini?"

Pelayan itu tertawa cekikikan. "Tuan besar itu berpesan, hamba tidak boleh mengatakan apa-apa. Hamba bilang, kalau tuan memaksa hamba bicara, mana mungkin Lu Toaya akan melepaskan hamba begitu saja? Tuan besar itu berkata, tidak perlu takut, Lu Toaya dan Lu Toanio merupakan tokoh-tokoh yang berjiwa besar, mereka tentu tidak gentar menghadapi undangan ini. Tuan dan nyonya berdua, silakan. Semuanya sudah hamba persiapkan dengan rapi," sahutnya.

Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling memandang. Mereka sadar, kalau mengikuti kedua pelayan ini, mungkin akan terjadi pula hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi, orang yang tidak bersedia menyebutkan identitasnya itu telah mengucapkan kata-kata tadi. Maka kalau mereka menolak ikut, bukankah mereka akan menjadi bahan ejekan orang-orang di dunia bu-lim? Rasanya di kota seramai itu, lagi-pula di siang bolong seperti ini tidak mungkin terjadi apa-apa.

Maka, mereka segera mengangukkan kepalanya sambil menyahut, "Baiklah, silakan kalian tunjukkan jalannya!"

Kedua pelayan itu segera mengambil alih tali kendali kuda tunggang mereka dengan penuh semangat, lalu berjalan lebih dulu di depan. Saat itu matahari baru menyingsing. Suasananya masih dingin dan menyegarkan. Setelah melintasi jalan raya dan melewati sebuah tikungan, tampaklah sebuah losmen yang besar sekali.

"Inilah rumah penginapan hamba," kata pelayan tadi.

Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio turun dari kudanya dan masuk ke dalam rumah penginapan. Ternyata ada pula yang ke luar menyambut mereka. Setelah melalui ruangan depan, mereka sampai di sebuah teras terbuka. Si pelayan mengajak mereka menuju kamar di sebelah utara. Kedua kamar itu saling berhubungan, jadi ada pintu yang menembus di dalamnya.

Pelayan itu membukakan pintunya sambil berkata, "Silakan masuk, kalau ada keperluan apa-apa, panggil saja. Semuanya sudah dibayar oleh toaya itu."

Lu Sin Kong mendengus satu kali. Dia juga mengibaskan tangannya. "Tidak ada apa-apa lagi. Kalau tidak dipanggil, jangan sembarang masuk ke kamar kami!" perintahnya.

Sambil berbicara, mereka melangkah masuk ke kamar. Dekorasi kamar itu indah sekali. Di sebelah timur terdapat sebuah tempat tidur yang besar. Di tengah-tengah ruangan ada meja dan bangku yang alasnya terbuat dari batu pualam. Sedangkan kaki meja dan sandaran bangkunya terbuat dari kayu jati yang diukir dengan halus.

Begitu merapatkan pintu kamar, Lu Sin Kong segera melakukan pemeriksaan di dalamnya. Sedangkan Sebun It Nio menguakkan jendela lalu melongokkan kepalanya ke luar. Pandangan matanya mengedar untuk melihat apakah ada orang yang gerak-geriknya mencurigakan, namun tidak terlihat bayangan seorang pun. Hati keduanya terasa gundah. Mereka tidak dapat menerka siapa orangnya yang mengatur semua ini, dan apa pula maksud orang itu.

Keduanya duduk di sisi meja. Lu Sin Kong mengeluarkan kotak kayu dari balik pakaiannya. Sekali lagi Sebun It Nio melepaskan kertas segel yang terdapat di atas kotak kayu itu. Dia ingin memeriksa dengan teliti apakah ada rahasianya atau tidak. Hampir setengah kentungan lamanya mereka mengutak-atik kotak itu. Tampaknya hanya sebuah kotak biasa saja, tidak ada keistimewaan apa-apa. Tapi kalau dibilang tidak ada keistimewaannya, mengapa sepanjang jalan begitu banyak tokoh hitam dan putih yang mengintil di belakang mereka? Semakin dipikir, keduanya semakin tidak habis mengerti. Kotak itu disimpan kembali.

Baru saja mereka bermaksud memanggil pelayan untuk memesan makanan, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, "Lu Toaya, hidangan sudah datang!" Terdengar pula suara pelayan tadi.

Lu Sin Kong dan istrinya saling memandang sekilas. Dalam hati mereka terlintas pikiran yang sama. Tampaknya si pelayan sudah memperhitungkan segalanya dengan matang.

"Masuk!" sahut Lu Sin Kong.

Tampak si pemilik rumah penginapan melangkah masuk bersama dua orang pelayannya. Hidangan yang disuguhkan berupa masakan yang mewah. Ketika kedua pelayan menyiapkan peralatan makan, ternyata mangkok dan sumpit yang disediakan ada tiga pasang.

"Siapa orang yang satunya lagi?" tanya Sebun lt Nio.

"Toaya yang menyuruh hamba menunggu kedatangan tuan dan nyonya berdua. Sebentar Iagi beliau akan tiba," sahut si pelayan.

Kembali hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio dilanda perasaan berat. Mereka juga khawatir di dalam sayuran dan arak telah ditaruh racun sehingga mereka tidak berani menyentuhnya sama sekali.

Belum lama si pemilik penginapan dan pelayannya keluar, dari depan pintu terdengar pula seruan seseorang, "Lu Cong Piau Tau, Lu Hujin, aku yang rendah Toan Bok Ang mohon bertemu!"

“Brakk!” Pintu kamar terbuka dengan sendirinya, kemudian tampak seseorang menjatuhkan dirinya berlutut.

Karena situasi yang mencurigakan, hati Lu Sin Kong mau pun Sebun It Nio sudah dipenuhi rasa anti pati. Maka, mereka tidak membalas penghormatan orang itu, malah Sebun It Nio menyahut dengan nada dingin, "Sahabat tidak perlu banyak adat."

Orang itu mendongakkan kepalanya. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio langsung terpana. Rupanya usia orang itu masih muda sekali, paling banter enam belas atau tujuh belas tahun, dandanannya seperti para pelajar. Jubahnya berwarna hijau, bagian atasnya disulam dengan gambar bambu-bambu berwarna hijau pupus. Raut wajahnya berbentuk kuaci, alisnya bagus, matanya bening, hidungnya mancung dengan bibir yang tipis. Tampaknya sulit diuraikan dengan kata-kata.

Melihat orang yang datang ternyata seorang pemuda yang begitu tampan dan rapi penampilannya, rasa permusuhan dalam hati mereka sudah berkurang sebagian. Bahkan nada suara Sebun It Nio juga jauh lebih lembut dari sebelumnya.

"Saudara mengundang kami di sini, entah ada maksud apa? Silahkan utarakan secara ringkas!"

Pelajar muda yang mengaku bernama Toan Bok Ang itu berubah merah padam wajahnya, "Kalian berdua pasti menyalahkan kelancangan boanpwe yang tidak menerangkan maksud sebelumnya, tapi boanpwe sendiri juga melakukannya karena terpaksa. Mohon kalian sudi memaafkan!" katanya.

Sambil berbicara, dia maju beberapa langkah Ialu menuangkan arak ke dalam cawan. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio hanya memegangi cawan masing-masing tanpa memperlihatkan niat untuk meneguknya. Toan Bok Ang tersenyum.

"Cayhe Toan Bok Ang, walau pun tidakanku kali ini memang mencurigakan, tapi aku bukan macam manusia yang suka menaruh racun dalam arak untuk mencelakai orang. Kalian berdua tidak perlu khawatir." Selesai bicara, dia langsung menuangkan secawan arak lalu langsung diminum di hadapan kedua orang itu.

Tapi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tetap tidak meneguk araknya.

"Tidak perlu bicara yang bukan-bukan. Ada keperluan, harap utarakan langsung!" kata Lu Sin Kong.

Toan Bok Ang meletakkan cawannya kembali, lalu menarik nafas panjang. "Kepergian kalian berdua kali ini, apakah untuk mengawal semacam benda yang sangat penting?" tanyanya.

"Betul," sahut Lu Sin Kong dengan nada dingin.

"Kedatangan cayhe adalah dikarenakan benda itu," kata Toan Bok Ang dengan terus terang.

Kemarahan Lu Sin Kong hampir meluap, sedangkan pikiran Sebun It Nio justru tergerak. "Kalau begitu, tentunya kau tahu benda apa yang kau inginkan, bukan?" tanyanya.

"Tentu saja. Tapi kalau kalian berdua memang tidak tahu, aku juga tidak leluasa mengatakannya. Kalian harus percaya bahwa aku berniat baik. Bila kalian menyerahkan benda itu kepadaku lalu melanjutkan urusan kalian sendiri, pasti kalian tidak akan mengalami kerugian apa-apa," kata Toan Bok Ang.

Tadinya Sebun It Nio ingin memancing ucapannya agar mengatakan benda apa yang diinginkannya. Namun rupanya orang itu tidak bersedia menyebutkannya, maka tanpa sadar hatinya menjadi kesal. "Bagi kami sebetulnya tidak ada masalah apa-apa, namun ada tiga sahabat kami yang mungkin keberatan," sahutnya.

Toan Bok Ang tertawa terbahak-bahak. "Apakah yang merasa keberatan itu sepasang pedang Lu Hujin dan sebatang goloknya Lu Cong Piau Tau? Cayhe juga sudah mengadakan persiapan."

Selesai bicara, dia menyingkapkan lengan bajunya lalu mengeluarkan suatu benda yang cahayanya berkilauan, kemudian diletakkan di atasnya. Sebun It Nio mempertajam pandangannya. Benda yang berkilauan itu halus seperti jari tangan, panjangnya mungkin mencapai enam ciok. Di seluruh permukaannya ada duri yang tajam. Rupanya seutas pecut panjang yang durinya terbuat dari perak.

Melihat Toan Bok Ang mengeluarkan senjatanya, Lu Sin Kong langsung tertawa terbahak-bahak. "Saudara kecil, apakah kau bermaksud merampas benda kawalan kami?" tanyanya.

"Kalau kalian berdua tidak sudi memberi muka kepada cayhe, terpaksa cayhe berlaku lancang untuk merebut barang itu," sahut Toan Bok Ang.

Baik dari usianya, penampilannya, dan cara bicaranya, tampaknya anak muda itu baru pertama kali terjun ke dunia kang-ouw. Bagaimana pun, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio merupakan suami istri yang mempunyai kedudukan di dunia kang-ouw. Maka, mana mungkin mereka sudi bergebrak dengan seorang bocah kemarin sore? Hati mereka terasa mendongkol dan juga geli.

"Saudara kecil, kalau kau benar-benar ingin merampas barang kawalan kami, sebaiknya kau kembali dulu untuk mengajak ayah ibumu atau saudara-saudaramu untuk datang bersama-sama. Kami akan menunggumu di depan, sekarang harap kau pulang saja!"

Wajah Toan Bok Ang merah padam. "Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa aku tidak pantas menandingi kalian?"

Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio tertawa terbahak-bahak. Dengan tawanya itu mereka menyatakan jawabannya. Belum lagi suara tawa mereka tersirap, tiba-tiba dari ruangan depan penginapan itu terdengar suara ratapan yang menyayat hati. Wajah Toan Bok Ang berubah seketika. Dia langsung berdiri dan mencekal pecutnya erat-erat. Di luar pintu tampak bayangan berkelebat, ternyata kedua pemuda yang sedang berkabung tadi sudah berdiri di ambang pintu.

Kedua anak muda itu adalah putera Kui Sen yang nama aslinya Seng Lin. Mereka mendapat julukan Pak Bong Song Kui (Sepasang Setan dari Utara Gunung Bong San). Yang sulung disebut si Perenggut Sukma Seng Cai, sedangkan yang satunya lagi si Pencabut Nyawa Seng Bou.

Wajah Toan Bok Ang merah karena gusar. "Kalian berdua datang untuk apa?!" bentaknya.

"Yang melihat dapat bagian!" sahut kedua pemuda itu serentak. Nada suara mereka seperti orang yang sedang menangis.

"Aku yang menemukan sasaran. Kalau kalian ingin meminta bagian, apakah kalian tidak mengerti peraturan dunia kang-ouw?" kata Toan Bok Ang marah.

Mendengar perdebatan antara kedua belah pihak memperebutkan barang kawalan mereka, diam-diam Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio merasa geli. Dalam hati mereka berpikir, walau pun kepandaian Kui Sen dapat digolongkan seorang jago kelas tinggi, namun masih belum dapat dibandingkan dengan kepandaian mereka. Memang beberapa jurus ilmu silat sesat yang dipelajari Setan itu serta senjata rahasianya sangat berbahaya. Namun mereka berdua tidak merasa takut menghadapinya. Apalagi baru kedua anaknya yang muncul.

Sedangkan pemuda pelajar yang mengaku bernama Toan Bok Ang, taruh kata sejak lahir dari kandungan ibunya dia sudah belajar silat, berarti sampai sekarang latihannya baru enam belas tahun, terlebih-lebih tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Maka diam-diam mereka merasa geli. Keduanya segera berdiri, lalu mundur beberapa langkah sambil menarik dua buah kursi dan duduk di sudut untuk menyaksikan bagaimana kedua pihak akan melakukan pertarungan.

Terdengar si Setan Pencabut Nyawa Seng Bou berkata dengan nada dingin, "Kaulah yang tidak mengerti peraturan dunia kang-ouw. Yang melihat dapat bagian, paham?"

"Bagian kepala...!" Baru membentak dua patah kata, wajah Toan Bok Ang sudah berubah merah padam sehingga dia menghentikan kata-katanya.

Bagaimana pun pengalaman Lu Sin Kong di dunia bu-lim sudah banyak sekali, maka melihat keadaan ini, dia sempat tertegun sejenak. Dia tahu Toan Bok Ang ingin memaki, “Bagian kepala Emakmu!” tapi kata-kata yang terakhir belum sempat diucapkannya, malah wajahnya sudah merah padam. Jangan-jangan... dia itu... perempuan yang menyamar jadi lelaki.

Sepasang Setan dari Bong San itu tertawa menyeramkan. "Kalau kau tidak bersedia membagi juga tidak apa-apa, malah kebetulan, kami akan menelan semuanya!"

Selesai bicara, mereka langsung menangis meraung-raung. Pada saat itu, keadaan di dalam rumah penginapan itu sudah berubah ramai. Mendengar suara bising, para tamu mau pun pelayan penginapan segera berdatangan untuk melihat apa yang telah terjadi. Tapi, baru saja mereka sampai di depan pintu, Seng Bou sudah mengibaskan tangannya dengan tenang. Tiga orang pelayan yang ada di bagian paling depan langsung terhempas jatuh sembari menjerit kesakitan. Melihat keadaan ini, siapa pula yang berani mendekat ke kamar itu?

Begitu kedua orang itu mengeluarkan suara tangisan, hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio berubah tidak tenang. Mereka tahu suara tangisan itu merupakan suatu ilmu sesat yang dapat membuat perasaan orang menjadi gelisah. Hampir sama kegunaannya dengan ilmu "Memanggil Sukma", sayangnya tenaga dalam kedua pemuda ini masih belum cukup tinggi. Seandainya ayah mereka, Kui Sen yang turun tangan sendiri, orang-orang yang tidak memiliki tenaga dalam, bila mendengarnya bisa-bisa pecah panca inderanya sehingga mengucurkan darah dan mati.

Tampak Toan Bok Ang mengerutkan sepasang alisnya. "Ilmu yang rendah seperti ini berani dipamerkan di hadapanku? Apakah kalian sedang bermimpi?!" bentaknya.

Suara ratapan Seng Bou sungguh tidak enak didengar. Tangannya juga bergerak-gerak seperti menari. Dalam telapak tangannya tergenggam sebatang lentera kertas, gagangnya berbentuk panjang dan pipih, kurang lebih empat kali satu setengah ciok. Gayanya memang seperti asal gerak saja, tapi diam-diam mengandung tenaga yang kuat. Meja dan kursi dalam ruangan itu sampai patah berderai, bahkan pakaian Toan Bok Ang tampak berkibar-kibar seperti dilanda angin kencang.

Seng Cai juga bergerak ke sana ke mari seperti orang mabuk, namun dia tidak melancarkan serangan kepada lawan. Setelah beberapa saat, terdengar dia berseru dengan nada meratap, "Kemarikan nyawamu!"

Bendera panjang di tangannya diayunkan ke arah Toan Bok Ang. Dalam waktu bersamaan, Seng Bou juga berteriak, "Kemarikan nyawamu!" Lentera kertasnya disabetkan ke depan.

Melihat serangan sepasang setan yang dahsyat itu, diam-diam Lu Sin Kong dan Sebun It Nio mencemaskan keselamatan Toan Bok Ang. Walau pun sikap Toan Bok Ang angkuh dan bicaranya besar di hadapan mereka berdua, namun baik Lu Sin Kong mau pun Sebun It Nio merasa sayang terhadap bakat serta usianya yang masih muda. Sungguh patut disesalkan seandainya dia mati di tangan sepasang setan ini. Maka diam-diam keduanya sudah menyiapkan segenggam senjata rahasia di tangan. Bila keadaan Toan Bok Ang terjerumus dalam bahaya, mereka akan turun tangan menolongnya.

Tampak bendera dan lentera itu menyerang secara bersamaan. Toan Bok Ang malah tertawa terbahak-bahak. Pecutnya dilontarkan ke depan, tubuhnya menyelinap lewat di antara kedua ‘senjata’ aneh yang menyerbu ke arahnya, dan tangannya bergerak. Bukan saja dia berhasil menghindar dari serangan kedua pemuda itu, tapi malah pecutnya menyabet ke arah lengan Seng Cai. Perubahan jurusnya bukan hanya indah, tapi kecepatan ilmu meringankan tubuhnya malah jarang ditemui dalam dunia bu-lim.

Dalam hati Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio langsung saja melintas sebuah nama ‘Hui Yan Bun’ (Perguruan Walet Terbang). Di dalam dunia bu-lim, perguruan yang terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya memang ada beberapa, tapi baik perguruan atau partai mana pun, tidak ada yang sanggup menandingi perguruan Hui Yan Bun. Keindahan gerakan dan kecepatannya sudah diakui oleh orang-orang di seluruh dunia.

Sekarang mereka melihat Toan Bok Ang dapat menyelinap lewat di antara dua serangan yang begitu berbahaya, bahkan dengan gerakan yang indah. Kalau dia bukan murid perguruan Hui Yan Bun, mana mungkin dia bisa melakukannya? Sejak semula Lu Sin Kong sudah curiga bahwa Toan Bok Ang adalah seorang gadis yang menyamar sebagai laki-laki, sekarang hatinya semakin yakin.

Sejak berdirinya perguruan Hui Yan Bun, sampai sekarang ini sejarahnya sudah mencapai seratus tujuh puluh tahun lebih. Tapi di dalam perguruan itu tidak ada seorang pun anggota laki-laki. Semuanya perempuan. Lagi-pula, begitu masuk menjadi murid perguruan itu, mereka harus bersumpah berat di depan patung leluhurnya untuk tidak menikah seumur hidup. Karena itu pula, hampir lima puluh persen dari jago-jago wanita yang muncul di dunia bu-lim boleh dibilang hasil didikan perguruan Hui Yan Bun.

Toan Bok Ang barusan mengerahkan ilmu meringankan tubuh dari perguruan Hui Yan Bun. Tidak perlu diragukan lagi bahwa dia pasti perempuan yang menyamar sebagai laki-laki. Tampak ayunan pecut di tangannya telah berhasil membuat Seng Cai dan Seng Bou menghindarkan diri. Gerakannya begitu tergesa-gesa, seakan hendak menerobos ke luar lewat pintu. Tapi baru melesat kurang lebih tiga langkah, dia berhenti. Pecut di tangannya kembali diayunkan ke arah lentera ditangan Seng Cai.

Mimik wajah Toan Bok Ang memperlihatkan perasaannya yang sebal. Pecutnya semakin digetarkan sehingga lentera Seng Cai terlilit. Terdengar suara Trang!! Dari suara itu dapat dipastikan bahwa gagang lentera yang dibawa Seng Cai juga terbuat dari baja yang kuat, hanya warnanya dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan batang kayu.

Tiba-tiba saja Seng Cai meraung semakin keras, bahkan diiringi suara jeritan menyayat, "Kemarikan nyawamu! Kemarikan nyawamu!"

Toan Bok Ang gusar sekali. Tangan kanannya menghentak dengan kuat sehingga tubuh lawan tersentak ke depan. Dalam waktu yang bersamaan, tangan satunya mengirimkan sebuah serangan. Sedangkan jarak antara keduanya terhitung sudah dekat. Maka, begitu disentak oleh Toan Bok Ang, wajah Seng Cai terjerembab ke depan dan hampir saling beradu dengan wajahnya sendiri. Cepat-cepat dia menjulurkan tangannya untuk melancarkan serangan. Tampak di dalam telapaknya terdapat segenggam senjata rahasia pula.

Saat itu juga, Seng Bou menggeser langkah kakinya secara diam-diam, tahu-tahu dia sudah di belakang Toan Bok Ang. Bendera panjangnya dihantamkan dari atas ke bawah. Jarak antara Toan Bok Ang dan Seng Cai begitu dekat, maka serangan senjata rahasianya berhasil mencapai sasaran dengan jitu, bahkan menambahkannya dengan sebuah pukulan. Seng Cai terkejut setengah mati. Meski pun terkena serangan lawan, namun lentera di tangannya tetap dicengkeram erat-erat. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, dengan demikian, tubuh Toan Bok Ang sendiri juga ikut terseret.

Bendera di tangan Seng Bun melanda datang dalam waktu yang bersamaan. Cuma, karena majunya langkah kaki Toan Bok Ang, senjata yang aneh itu hanya berhasil mengait selendang yang menutupi kepalanya, sehingga rambutnya yang panjang lepas terurai. Ternyata dugaan Lu Sin Kong tidak keliru, Toan Bok Ang memang seorang gadis yang menyamar sebagai laki-laki.

Toan Bok Ang melihat senjata rahasia Yan Bwe Piau (Piau Ekor Walet)-nya telah berhasil mengenai dada Seng Cai. Dia juga menambahkannya dengan sebuah pukulan. Apalagi pukulan itu tidak ringan, seharusnya orang itu sudah terluka parah. Tapi dia masih mempunyai tenaga untuk menariknya. Toan Bok Ang jadi tidak habis mengerti apa sebabnya. Hatinya sudah merasa adanya gelagat yang kurang beres, namun rupanya firasat itu datangnya agak terlambat.

Terdengar Seng Cai berteriak dengan nada meratap. "Aku kembalikan senjata rahasiamu!" Dadanya dibusungkan, senjata rahasia yang jelas sudah menancap di dadanya malah meluncur ke luar dengan cepat dan menyerang balik ke arah hatinya sendiri.

Perubahan ini, bukan saja tidak disangka-sangka oleh Toan Bok Ang, bahkan Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio sendiri juga merasa di luar dugaan. Mereka tahu, si Setan Seng Ling mempunyai beberapa ilmu sesat andalan, misalnya ‘Ratapan Setan’ yang mengandalkan khikang dalam perut yang disalurkan melalui suara, atau sejenis ilmu meringankan tubuh yang dinamakan ‘Langkah Setan’ serta semacam ilmu lagi yang di sebut ‘Tubuh Setan’.

Ilmu ‘Tubuh Setan’ itu merupakan sejenis ilmu yang sulit dipelajari. Caranya menggunakan hawa murni Im yang lembut untuk melindungi seluruh tubuh. Meski pun senjata tajam kelihatannya sudah menikam ke dalam, namun karena tubuh orang itu sendiri bisa melesak seperti busa yang empuk, maka senjata itu tidak akan melukainya. Ilmu ini hampir mirip dengan ilmu ‘Melunakkan Tubuh’ dari golongan Buddha, cuma caranya saja yang berbeda. Maka dapat dikatakan sulit sekali dipelajari.

Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah melihat ilmu ‘Ratapan Setan’ dari sepasang setan itu yang biasa-biasa saja, maka mereka tidak menyangka Seng Cai sudah berhasil menguasai ilmu ‘Tubuh Setan’ tersebut. Dalam keadaan yang genting itu, mereka hanya bisa melihat senjata rahasia itu melesat kembali ke arah Toan Bok Ang dengan mata mendelik. Rasanya sudah tidak keburu lagi memberikan pertolongan apa-apa.

Bagaimana pun Toan Bok Ang merupakan murid perguruan Hui Yan Bun yang kepandaiannya sudah dapat diandalkan. Dalam keadaan terdesak, dia melepaskan pecut di tangannya, dan tubuhnya segera merunduk bahkan hampir tiarap di atas tanah lalu bergerak ke samping melewati kaki Seng Cai. Jurus ‘Walet tua mencari makan’ yang dikerahkannya bukan hanya indah gerakannya, malah membawa keuntungan baginya. Tubuhnya meliuk lewat dengan lincah, sedangkan senjata rahasia yang tadinya memantul kembali kepadanya, sekarang telah meluncur ke depan dan menyerang ke arah Seng Bou.

Sedangkan Toan Bok Ang sendiri, ketika meliuk lewat di kaki Seng Cai, jari tangannya menjulur ke depan, membalik, lalu mencengkeram betis orang itu kuat-kuat. Tangannya menarik keras-keras, sehingga kaki Seng Cai menjadi limbung dan tubuhnya terjungkal jatuh. Toan Bok Ang menggunakan kesempatan itu untuk berdiri. Tangannya kembali menarik sebuah kursi lalu dihantamkannya ke arah kepala lawan. Gadis itu baru saja terlepas dari bahaya. Kedudukannya dari bertahan berubah menjadi menyerang, bahkan turun tangannya tidak kepalang tanggung.

Tanpa sadar Lu Sin Kong dan Sebun It Nio serentak menyerukan, "Bagus!"

Tampak Seng Bou menggunakan benderanya untuk melindungi bagian dada sehingga senjata rahasia yang meluncur ke arahnya menancap di atas bambu itu. Tepat pada saat itulah, kursi di tangan Toan Bok Ang sudah hampir menimpa kepala Seng Cai. Tapi lawannya juga bukan orang biasa. Setelah terjatuh oleh tarikan tangan Toan Bok Ang, dia langsung menggelinding ke samping. Tubuhnya menjadi terlentang. Melihat datangnya serangan lawan, dia mengeluarkan jeritan histeris, lentera di tangannya diangkat ke atas dan beradu dengan kursi itu.

“Brakkk!!!” Kursi tersebut patah menjadi dua bagian. Sembari terus menjerit, Seng Cai langsung saja menyeruduk ke arah Toan Bok Ang.

Kali ini pihak Toan Bok Ang yang mengalami kerugian. Pandangan matanya terhalang oleh kursi di depannya, sehingga dia tidak tahu bahwa lentera di tangan Seng Cai telah menghantam ke arahnya. Dalam keadaan panik, dia melemparkan kursi yang sudah patah itu ke samping. Melihat datangnya serangan lentera itu, dia langsung mengulurkan tangannya untuk mencengkeram. Lentera yang digunakan sebagai senjata oleh Seng Cai memang terbuat dari kertas, tapi tulang kerangka yang mengelilinginya justru terbuat dari baja putih, sedangkan di permukaannya sudah dilumuri dengan sejenis racun yang ganas.

Melihat Toan Bok Ang ingin mencengkeram kertas lenteranya, Seng Cai segera menariknya sedikit, maksudnya agar tangan gadis itu menyentuh bagian kerangkanya yang tajam. Dengan demikian, bukan saja telapak tangan Toan Bok Ang akan terkoyak, bahkan racun yang ada di permukaan tulang kerangka itu akan dengan cepat menyebar di seluruh tubuhnya.

Tapi Toan Bok Ang juga bukan anak kemarin sore yang tidak bisa apa-apa. Melihat gerakan Seng Cai, dia sudah bisa menebak bahwa kerangka lentera itu pasti mengandung sesuatu yang membahayakan jiwanya. Gerakan tangannya langsung berubah, dari mencengkeram sekarang dia malah menghantam. Seng Cai terpaksa menyurut ke belakang. Toan Bok Ang juga menggunakan kesempatan itu untuk mundur.
Begitu berdiri tegak, dia melihat pecutnya ada tepat di bawah kakinya. Ia segera memungut senjata itu lalu digenggamnya.

Ketiga orang itu terlibat pertarungan yang sengit. Dari awal hingga saat itu baru berlangsung empat lima jurus, namun berbagai posisi yang membahayakan telah terlihat. Senjata ketiga orang itu saling beradu. Diam-diam Lu Sin Kong menarik nafas panjang. Dalam hati ia berpikir bahwa memang benar, gelombang di belakang selalu mendorong ombak yang di depan. Dalam setiap generasi, dari jaman ke jaman, yang muda selalu lebih unggul dari yang tua. Lihat saja usia Toan Bok Ang dan kedua pemuda itu. Tampaknya umur mereka belum mencapai dua puluh tahun, namun kepandaian yang mereka miliki sudah begitu mengejutkan.

Toan Bok Ang masih berkelit ke sana ke mari menghadapi keroyokan kedua orang itu. Lama kelamaan hatinya menjadi kesal juga. "Kalau kalian masih tidak tahu diri, awas saja! Setelah urusan di sini selesai, aku akan menuju Pak Bong San kalian dan meratakannya sehingga menjadi tanah datar!" bentaknya marah.

Sepasang Setan itu tertawa menyeramkan. Suara tawanya lebih mirip dengan suara tangisan. "Kalau urusannya sudah selesai, entah Pak Bong San kami yang rata menjadi tanah atau perguruan Hui Yan Bun-mu yang akan berubah menjadi sungai darah!" ejek keduanya.

Sepasang alis Toan Bok Ang tampak mengerut. "Untuk apa kita bersilat lidah, lebih baik kita mengadu kepandaian saja, bagaimana?" tantang gadis itu.

"Yang menang dapat pusaka, yang kalah ambil langkah seribu!" sahut Seng Cai dengan nada aneh.

"Baik!" teriak Toan Bok Ang sembari mengayunkan pecut di tangannya sehingga menimbulkan guratan warna seperti pelangi.

"Bagus!" seru Sepasang Setan itu serentak. Keduanya menepi untuk menghindari serangan Toan Bok Ang.

Baru saja keduanya bermaksud mengirimkan serangan balasan, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tertawa panjang yang disusul dengan seruan, "Yang menang dapat pusaka, yang kalah mengambil langkah seribu! Sebaiknya kalian cepat-cepat kabur saja!"

Sesosok bayangan berkelebat lalu mengitari kamar itu. Meski pun ruangan tersebut cukup besar, namun gerakan orang yang baru muncul itu menimbulkan getaran yang demikian kuatnya sehingga dinding kamar itu merekah, dan tanah yang mereka pijak seakan-akan dilanda gempa. Melihat kehebatan orang yang datang itu, tidak urung hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio ikut tergetar juga.

Pada saat itulah, orang itu menghentikan gerakannya lalu tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya begitu keras sehingga menutupi suara ratapan Sepasang Setan. Dalam waktu yang bersamaan, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio juga berhasil melihat dengan jelas, orang yang baru datang itu bukan orang lain, yakni si Ciangbunjin dari Tai Ci Bun yang mendapat julukan Pang Sian Yu Lao Pun.

Pek Bong San Song Kui juga sudah melihat jelas orang yang muncul itu. Mereka segera mencelat ke belakang. Toan Bok Ang sendiri juga menyurut mundur satu depa lebih.

"Yu Pek Pek (Paman Yu), kenapa kau juga ikut-ikutan melibatkan diri dalam keramaian ini?" tanyanya.

Pang Sian Yu Lao Pun tertawa terbahak-bahak. Ketika tertawa, lemak di seluruh tubuhnya sampai terguncang-guncang. "A Ang, si Iblis dan Gurumu benar-benar keterlaluan. Dikiranya mengutus kedua orang ini saja, urusannya sudah bisa diselesaikan?"

Mata Toan Bok Ang mengerling ke sana ke mari. "Yu Pek Pek, usir dulu kedua bocah ini, aku masih ada sedikit urusan yang ingin kubicarakan denganmu," katanya pula.

Rupanya antara perguruan Tai Ci Bun dan Hui Yan Bun mempunyai hubungan yang baik. Makanya begitu melihat si Gemuk, Toan Bok Ang langsung menyapanya dengan sebutan ‘paman’.

Terdengar Pang Sian berkata, "Baik!" Pandangan matanya segera beralih kepada Sepasang Setan sambil membentak, "Kalian anak setan dan cucu setan, untuk apa kalian berdiri di sini? Masih tidak bergegas kembali ke Sarang Hantu kalian?"

"Siapa manusia gendut ini?" tanya Seng Cai dengan nada dingin.

Yu Lao Pun tertawa terbahak-bahak. "Tuan Gendut-mu ini tinggal di Bukit Song Kui Hong wilayah Tong Thian Bok, jalan tidak pernah ganti marga, duduk tidak pernah mengubah nama. Sebut saja Yu Lao Pun di hadapan si Setan Tua. Katakan, bila dia ingin kedua anaknya benar-benar mengenakan pakaian berkabung, silakan datang mencariku. Sekarang sebaiknya kalian menggelinding pergi dari sini!" Setiap patah kata yang diucapkannya mengandung hawa murni Tai Ci Kang yang dilatihnya sehingga suaranya bergema di seluruh ruangan dan memekakkan telinga orang yang mendengarnya.

Menunggu ucapannya selesai, wajah Seng Bou memperlihatkan mimik menyeramkan. Setelah mengeluarkan suara tangisan beberapa kali, dia lalu berkata, "Si Gendut Yu, kau rupanya. Apakah kau juga ingin mencari perselisihan dengan kami?"

Yu Lao Pun tertawa keras. "Orang lain takut terhadap keturunan setan kalian yang banyaknya amit-amit, tapi tuan besarmu ini justru tidak takut!" katanya.

"Kalau kau tidak takut kepada kami, apakah kau kira kami takut terhadapmu?" sahut Seng Bou dengan nada aneh.

Yu Lao Pun maju satu langkah. "Bila kalian masih tidak pergi juga, bola batuku ini akan menghantam kalian. Sampai saat itu, kalian tidak akan bisa pulang lagi ke Sarang Hantu dan benar-benar menginjak pintu neraka!" bentaknya.

Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Seng Cai mengangkat lenteranya lalu mengirimkan sebuah serangan.

"Sungguh seorang bocah yang tidak tahu diri!" bentak si Dewa Gemuk sembari menggeser pundaknya sedikit. Batu besarnya dihantamkan ke depan dan tepat mengenai lentera Seng Cai sehingga benda itu berputar.

Seng Cai menjerit histeris, dan menyurut mundur. Sementara itu, Seng Bou sudah mengangkat benderanya untuk menyerang si Dewa Gemuk.

Melihat keadaan ini, Sebun It Nio segera menolehkan kepalanya lalu berkata kepada Lu Sin Kong dengan suara rendah. "Bagaimana pun Sepasang Setan dari Pak Bong San itu tidak mungkin sanggup menandingi si Dewa Gemuk. Namun si Gendut juga tidak bisa mengalahkan mereka dalam waktu yang singkat. Kita gunakan kesempatan ini untuk pergi saja."

Lu Sin Kong menganggukkan kepalanya, lalu tangannya menghantam ke depan, “Brakkk!” Dinding kamar jebol sehingga terlihat lobang yang menganga. Keduanya segera menyusup ke luar lewat lobang itu.

Tapi tiba-tiba terdengar Toan Bok Ang berteriak, "Kalian berdua, tunggu dulu!"

Sebun It Nio menolehkan kepalanya. Tampak Toan Bok Ang sudah menyusul dengan mengayunkan pecutnya. Sebun It Nio tertawa dingin. Begitu gadis itu sudah dekat sekali dengannya, dia baru merundukkan tubuhnya sambil menjulurkan tangannya. Tahu-tahu jalan darah Toan Bok Ang sudah tertotok. Kecepatan gerakannya dan kejituannya dalam mengenali jalan darah benar-benar pantas disebut tokoh nomor satu. Begitu tertotok, tubuh Toan Bok Ang menjadi kaku seketika, dan tidak dapat bergerak sama sekali.

Sebun It Nio berkata dengan nada dingin, "Bocah ingusan, sebaiknya kau pulang saja dan mengurung diri di rumah, biar kali ini aku mengampuni selembar nyawamu!"

Selesai bicara, bersama-sama dengan Lu Sin Kong, dia melesat keluar dari penginapan tersebut. "Kotak itu memang kosong, tapi di balik semua ini pasti terselip rahasia yang besar sekali. Kalau tidak, mana mungkin perhatian si Setan Tua dari Pak Bong San, si Dewa Gemuk bahkan si Nenek dari Hui Yan Bun itu bisa ikut tertarik?" kata Sebun It Nio.

"Asal kita bisa secepatnya sampai di Su Cou, semua urusan ini tentu akan menjadi jelas," sahut Lu Sin Kong.

Sembari berbicara, kedua orang itu tidak menghentikan langkah kakinya, maka dalam sekejap mata mereka kembali menempuh perjalanan sejauh tiga empat li. Saat itu matahari tepat di atas kepala. Kedua orang itu tetap memilih jalan kecil. Jalan itu sepi sekali, maka mereka tidak bertemu dengan siapa pun. Mendadak di sebelah depan tampak dua ekor kuda yang gagah sekali sedang memakan rumput. Ketika melihat kedua ekor kuda itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sama-sama tertegun.

"Eh, bukankah itu kuda tunggang kita?" kata mereka serentak.

Di saat berbicara, jarak mereka semakin dekat. Sekonyong-konyong dari balik ilalang yang tinggi mencelat ke luar tiga orang manusia berpakaian hitam. Mereka bukan lain dari pada tiga laki-laki kurus yang mereka temui sore kemarinnya, yakni Thai San Sam Sia (Tiga sesat dari gunung Thai San).

Tiga orang itu berbaris sejajar. Salah seorang diantaranya berseru dengan nada keras, "Lu Cong Piau Tau, suhu kami mengundang kalian berkunjung ke Lembah Ban Li Kok (Lembah Selaksa Duri) di gunung Thay San. Kami diutus untuk menyambut di sini. Harap kalian tidak menolak sehingga tugas kami dapat dilaksanakan dengan baik."

"Selama ini kami tidak pernah berhubungan dengan guru kalian. Lagi-pula sesat dan lurus selamanya tidak dapat berdampingan. Ada apa dia menyuruh kami mengunjungi tempat tinggalnya?" tanya Sebun It Nio dengan nada dingin.

"Mengenai alasannya, kami tidak tahu. Kami hanya mendapat perintah dari suhu untuk mengajak kalian ke Lembah Ban Li Kok."

Selama beberapa hari itu kemarahan dalam hati Lu Sin Kong sudah ditahan-tahan, entah bagaimana harus melampiaskannya. Maka mendengar undangan yang tidak jelas itu, hatinya bertambah gusar.

“Cringg!!” Goloknya langsung dihunus, kakinya ditekuk sedikit. Jenggot di bawah dagunya melambai-lambai, tampangnya berwibawa sekali. Dengan suara berat dia membentak, "Majulah!"

Tangan ketiga lawannya meraba bagian pinggang. Ternyata mereka mengeluarkan sebuah senjata yang bentuknya aneh. Dibilang golok, rasanya bukan, tapi ada sedikit mirip. Senjata ini merupakan ciptaan guru mereka sendiri. Senjatanya hanya satu, tapi kegunaannya bisa tiga macam.

Melihat Thai San Sam Sia sudah mengeluarkan senjatanya, Lu Sin Kong berkata kepada Sebun It Nio, "Hujin, kau tidak perlu membantuku. Aku ingin tahu apakah tulang tuaku ini masih berguna atau tidak untuk membalaskan dendam bagi Leng-ji!"

Selesai bicara, tubuhnya melesat ke depan, dan goloknya diputar. Dalam satu kali gerak dia menyerang ketiga lawannya sekaligus. Thai San Sam Sia segera mengangkat senjata masing-masing untuk menangkis. Senjata-senjata itu beradu.

“Cring! Trang! Tring!!!”

Dalam waktu yang bersamaan, terdengar Thai San Sam Sia menjerit histeris. Mereka terhuyung-huyung sampai tujuh delapan langkah, setelah itu baru sanggup berdiri tegak kembali. Perlu diketahui bahwa ketiga manusia dari Thai San ini adalah murid-murid kebanggaan Hek Sin Kun. Kepandaian mereka tidak kalah dibandingkan Sepasang Setan dari Pak Bong San, namun dalam satu jurus saja Lu Sin Kong dapat membuat mereka terdesak mundur.

Hati Lu Sin Kong diliputi perasaan bangga. Sembari mengelus jenggotnya, ia tertawa panjang. "Bagaimana? Ingin coba lagi?" tantangnya.

Ketiga manusia sesat dari Thai San itu menggenggam senjata mereka erat-erat, karena itu senjata mereka tidak sampai terlepas dari tangan. Namun telapak tangan masing-masing sudah mengucurkan darah saking kerasnya getaran golok Lu Sin Kong. Mana mungkin mereka berani maju lagi.

Setelah saling pandang sekilas dengan rekan-rekannya, salah satu di antaranya berkata, "Lu Cong Piau Tau tidak sudi memberi muka kepada kami, harap hati-hati saja di jalan!"

Lu Sin Kong tertawa terbahak-bahak. "Akan kubuat kalian bertiga menjadi perkedel!" bentaknya.

Sembari berbicara, kakinya maju ke depan dua langkah. Ketiga manusia sesat itu terkejut setengah mati. Mereka segera mencelat ke belakang.

Sekali lagi Lu Sin Kong tertawa terbahak-bahak. "Kalau aku membunuh kalian sekarang, orang-orang di dunia kang-ouw pasti menganggap aku takut terhadap Hek Sin Kun karena tidak memberi kesempatan kepada kalian untuk melaporkan kejadian ini. Cepat menggelinding!"

Mimik wajah Thai San Sam Sia menunjukkan kemarahan, namun mereka tidak berani mengambil tindakan apa-apa. Ketiganya segera menghambur ke depan sejauh tujuh delapan depa, baru kemudian salah satunya menoleh dan berkata, "Manusia she Lu, sampai jumpa lagi!"

Sebun It Nio tertawa panjang. "Eh, kalian lupa masih ada aku?" teriaknya sembari menimpukkan tiga batang senjata rahasianya ke depan.

Belum sempat timbul pikiran ketiga orang itu untuk menghindar, tahu-tahu sebelah wajah terasa sakit sekali. Ternyata tiga batang senjata rahasia itu telah memutuskan telinga kiri mereka. Saat itu, jarak antara Thai San Sam Sia dengan Sebun It Nio kurang lebih delapan depaan. Namun senjata rahasia itu meluncur dengan cepat, sasarannya juga tepat sekali. Ilmu senjata rahasia perempuan tua itu memang sulit dicari tandingannya. Thai San Sam Sia mengulurkan tangan mereka untuk meraba. Ketika melihat telapak tangan mereka penuh dengan darah, ketiganya tidak berani menunda waktu lagi, segera lari terbirit-birit.

Lu Sin Kong dan Sebun It Nio telah mendapatkan kembali kuda tunggangan mereka. Keduanya segera mencelat ke atas punggung binatang itu lalu melarikannya ke depan. Kedua suami istri itu telah berhasil mengusir tiga manusia sesat dari Thai San itu. Namun mereka sadar, sejak hari itu mereka juga melibatkan diri dalam perselisihan dengan Hek Sin Kun. Namun, mengandalkan kepandaian mereka, belum lagi dukungan dari perguruan Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai, walau pun kepandaian Hek Sin Kun sangat tinggi, keduanya juga tidak menaruh dalam hati.

Hari itu, mereka melanjutkan perjalanan sampai malam. Dalam perjalanan mereka tidak menemui kejadian apa-apa. Memang mereka tidak berminat untuk mencari gara-gara. Maka, mereka memutuskan untuk tidak menginap di rumah penginapan tapi bermalam di alam terbuka di pegunungan.

Kira-kira tengah malam, terdengarlah suara ringkikan kuda yang keras. Keduanya segera tersentak bangun. Tampak ada dua orang yang menarik kuda mereka. Namun kuda-kuda Lu Sin Kong dan Sebun It Nio bukanlah kuda biasa. Binatang-binatang itu sudah terlatih sehingga mengenal baik majikannya. Mereka tidak sudi ditarik oleh orang asing sehingga antara manusia dan binatang saling berkutet. Kuda-kuda itu mendongakkan kepalanya dan meringkik keras sehingga membangunkan kedua majikannya.

Melihat ada orang berani menyelinap di tengah malam untuk mencuri kuda-kudanya, hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio menjadi gusar. Baru saja keduanya bermaksud mencelat bangun, sekonyong-konyong di dalam kegelapan tampak sesosok bayangan berkelebat. Gerakan orang itu gesit sekali, tahu-tahu dia sudah sampai di belakang kedua pencuri kuda itu. Tangannya menjulur untuk mencengkeram bagian leher baju mereka lalu mengangkat tubuh keduanya tinggi-tinggi.

Mulutnya mengeluarkan suara siulan panjang, lalu terdengar ia membentak. "Kenapa anak murid si Setan bisa jadi orang yang begini tidak ada gunanya? Bukannya mencari pekerjaan yang baik malah menjadi pencuri kuda, benar-benar menggelikan!"

Sembari menenteng tubuh kedua orang itu, dia berjalan menghampiri Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Jarak di antara mereka kurang lebih tujuh delapan depa. Maka, begitu melesat dia langsung sampai, seakan kakinya tidak menginjak namun melayang di atas permukaan air.

Melihat gerak-gerik orang itu, mereka segera sadar bahwa yang muncul kali ini pasti seorang tokoh berkepandaian tinggi. Mereka tidak berani ayal, keduanya segera melonjak bangun. Dalam waktu bersamaan, orang itu juga sudah sampai di hadapan mereka. Keduanya segera mendongakkan kepala. Tampak kepala orang itu ditutupi sehelai cadar htam sehingga raut wajahnya tidak kelihatan.

Tapi wajah kedua orang yang ditentengnya justru kelihatan jelas sekali. Keduanya berdandan seperti setan gentayangan dari neraka. Satunya berdandan sebagai Setan Putih dan seorang lagi berdandan sebagai Setan Hitam. Di bawah didikan si Setan Seng Ling, kecuali kedua puteranya sendiri yang berdandan sebagai anak yang sedang berkabung, masih ada delapan murid lainnya yang berdandan aneh. Dua di antaranya selalu mengenakan topeng kepala kerbau dan kuda, dan di antaranya berdandan seperti algojo dunia akhirat, dua lagi berdandan seperti setan tuyul, sisanya yakni kedua orang itu. Dalam dunia kang ouw mereka mendapat sebutan Im Se Pat Kui (Delapan Setan dari Dunia Akhirat).

Sedangkan kedua orang itu sudah pasti si Setan Putih dan si Setan Hitam. Kepandaian kedua orang itu juga tidak di bawah Sepasang Setan dari Pak Bong San. Namun ternyata dengan mudah orang yang baru muncul itu dapat menenteng keduanya tanpa mendapat perlawanan sedikit pun. Hal itu membuktikan bahwa kepandaian orang yang baru muncul itu sudah mencapai tingkat yang demikian tingginya.

Lu Sin Kong tertawa lantang, "Terima-kasih, atas budi tuan yang telah menangkap maling-maling kuda!" katanya.

Orang itu ikut tertawa. "Kedua orang ini bermaksud melukai kuda kalian. Dengan demikian bila esok hari kalian meneruskan perjalanan, tentu akan menemui kesulitan. Mereka akan menggunakan kesempatan ini untuk membokong. Walau pun pastinya kalian tidak merasa takut, tapi perbuatan mereka ini benar-benar menyebalkan, bagaimana pendapat kalian?"

"Apa yang dikatakan sahabat memang benar, kedua orang ini patut mendapat hukuman," sahut Lu Sin Kong.

Tangan orang itu merenggang, kemudian terdengar suara, “Plok! Plok!”

Si Setan Putih dan si Setan Hitam langsung terkulai di atas tanah. Saat mengendorkan cekalannya, tangan orang itu sempat menekan di jalan darah Thian Kui Hiat di tubuh ke dua setan. Kalau menilik kepandaian yang dimiliki orang bercadar hitam itu, dapat dipastikan bahwa si Setan Putih dan si Setan Hitam sudah terluka parah. Meski pun tidak sampai mati, namun mulai saat itu mereka tentu tidak dapat malang melintang di dunia kang-ouw untuk melakukan kejahatan lagi.

Sebun It Nio tertawa. "Menyenangkan! Menyenangkan! Terhadap manusia jahat seperti mereka, kita tidak boleh bersikap ragu-ragu!" pujinya.

"Lu Hujin begitu benci terhadap kejahatan, jiwa yang demikian gagah sudah sulit ditemukan pada jaman ini," kata orang itu.

Sejak kemunculannya, orang itu sudah memamerkan kepandaiannya yang hebat. Sayangnya wajahnya ditutupi cadar hitam, dan pakaiannya pun biasa-biasa saja, tidak ada ciri-ciri yang istimewa, sehingga membuat orang sulit menerka siapa sebetulnya orang itu.

"Kalau bukan tuan yang kepandaiannya begitu tinggi, tentu tidak mudah melaksanakan hukuman kepada kedua orang ini," sahut Lu Sin Kong.

Pada saat itu, si Setan Putih dan si Setan Hitam sedang berusaha meronta untuk bangkit. Orang itu membentak dengan suara keras, "Kalian masih tidak cepat-cepat menyembah dihadapan Lu Cong Piau Tau dan Lu Hujin untuk meminta maaf?"

Sebagai anak murid Kui Sen, kedudukan mereka cukup tinggi di dunia kang-ouw, dan nama mereka juga sangat terkenal. Kali ini mereka menderita kekalahan dengan tragis. Tanpa hujan tanpa angin tahu-tahu sudah terluka parah.

Setelah termenung sesaat, Sang Pak si Setan Putih bertanya, "Kami sudah kenal dengan Lu Cong Piau Tau dan istrinya. Bolehkah kami mengetahui nama besar tuan?"

Orang itu tertawa. "Setelah mengetahui namaku, kalian bisa pulang untuk memberikan laporan kepada Kui Sen, bukan? Namaku tidak terkenal, jauh sekali bila dibandingkan dengan Lu Cong Piau Tau dan istrinya. Tapi bila kalian kembali ke Pak Bong San dan menceritakan secara terperinci bagaimana kalian dirubuhkan, mungkin Kui Sen sendiri akan teringat siapa aku ini. Cepat minta maaf!"

Si Setan Putih dan Setan Hitam menjadi kewalahan. Mereka tidak berdaya. Terpaksa keduanya menyembah di depan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio untuk minta maaf, lalu meninggalkan tempat itu dengan langkah terseret-seret. Sebun It Nio berdiri di sampingnya. Melihat orang itu tidak bersedia menyebutkan identitasnya, maka dia tahu andaikata ditanyakannya pun percuma. Sebaiknya langsung pada duduk persoalannya saja.

"Tuan mengunjungi kami pada tengah malam seperti ini tentunya ada keperluan yang penting sekali. Silakan utarakan saja!" katanya.

Orang itu mengulapkan sepasang tangannya seakan-akan ada debu. Kemudian dia baru berkata, "Tujuan kalian kali ini apakah hendak ke Su Cou?"

"Betul" sahut Lu Sin Kong.

"Keluarga si Pecut Emas-Han Sun sedang dilanda musibah, maka kepergian Anda berdua kali ini mungkin akan menimbulkan salah paham... cayhe sendiri mempunyai sebuah permintaan yang kurang pantas, harap anda berdua sudi mengabulkan!" kata orang misterius itu.

Lu Sin Kong lalu bertanya, "Entah apa permintaan tuan?"

"Kepergian kalian kali ini pasti atas permintaan orang lain untuk mengantarkan sebuah barang. Bolehkah cayhe melihat apa sebetulnya barang itu?"

Melihat orang itu berbicara putar ke sana ke mari, akhirnya tujuannya ternyata kotak yang mereka bawa juga, hati Lu Sin Kong menjadi mendongkol. Maka, sembari tertawa dingin dia menyahut, "Permintaan tuan ini sulit kami kabulkan."

Orang itu menarik nafas panjang. "Cayhe sudah menduga bahwa Lu Cong Piau Tau pasti tidak bersedia. Tapi cayhe bersedia menggunakan seseorang untuk menukar kotak itu. Entah Lu Cong Piau Tau bersedia mengabulkan atau tidak?" tanya orang itu.

Lu Sin Kong tertawa dingin. "Siapa sebetulnya tuan ini? Untuk apa bicara yang bukan-bukan?" sahutnya.

Tapi hati Sebun It Nio langsung tergerak mendengar ucapan orang itu, maka dia segera menyela. "Entah siapa orangnya yang akan tuan gunakan untuk ditukarkan dengan kotak ini?"

"Kalian berdua tentunya...." Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara siulan sebanyak tiga kali. Ketiga kali suara siulan itu berbunyi di tengah keheningan malam sehingga memekakkan telinga orang yang mendengarnya.

Orang itu berkelebat, sekonyong-konyong dia mencelat mundur sejauh satu depa lebih sembari berseru, "Rekan cayhe sudah memanggil, pasti ada keperluan yang penting sekali. Terpaksa cayhe mohon diri dulu!"

Sebun It Nio segera mencelat ke depan. "Sahabat, selesaikan dulu kata-kata!" teriaknya.

Tapi ketika dia berbicara, orang itu sudah menghambur sejauh empat depaan. Sebun It Nio berusaha untuk mengejar, tapi orang itu menjulurkan tangannya untuk mengirimkan sebuah pukulan. Sebun It Nio juga meluncurkan tangannya untuk menyambut.

“Plak!!” kedua tangan beradu.

Sebun It Nio dapat merasa tenaga dalam orang itu kuat sekali. Lagi-pula, dengan cerdik orang itu menggunakan tenaga pantulannya untuk mencelat semakin jauh. Sekejap saja dia sudah menghilang dalam kegelapan malam.

Sebun It Nio tertegun sesaat, baru kemudian menoleh kepada suaminya dan bertanya, "Apakah kau mendengar jelas dari mana suara siulan tadi?"

"Rasanya dari sebelah barat laut," sahut Lu Sin Kong.

"Ayo kita kejar!" ajak Sebun It Nio.

Lu Sin Kong merasa heran. "Orang toh sudah pergi, untuk apa kita mengejarnya?"

Ketika dia berbicara, Sebun It Nio sudah melesat ke depan. Terpaksa Lu Sin Kong mengikuti di belakangnya. Gerakan kedua orang itu cepat sekali. Dalam sekejap mata saja mereka sudah mengitari sebuah bukit. Keduanya segera mendaki ke atas, lalu mengedarkan pandangannya ke bawah. Tampak di bagian kaki bukit terdapat hamparan luas berwarna hitam pekat, entah padang rumput atau hutan. Tidak terlihat bayangan seorang pun. Keduanya mempertajam pandangan. Kecuali hamparan yang gelap itu, di sebelah kanan terdapat sebuah jalan kecil. Selain itu tidak ada apa-apa lagi.

Sebun It Nio menujuk ke arah jalan kecil itu. "Kita menelusuri jalan itu saja!" katanya.

Lu Sin Kong masih tidak mengerti apa maksud istrinya bersikeras mengikuti jejak orang tadi. Maka dia bertanya, "Hujin, untuk apa kita mengejar orang itu?"

"Pokoknya kita kejar saja, kalau sudah berhasil tentu ada alasannya. Kenapa kau begitu cerewet?" bentak Sebun It Nio.

Dari nada istrinya, Lu Sin Kong tahu urusan ini pasti penting sekali. Dia juga sadar bahwa kecerdasan sang istri masih di atas dirinya sendiri, maka dia tidak berani banyak bertanya lagi. Keduanya segera menuruni bukit dan berlari melalui jalan kecil yang dilihatnya tadi. Begitu dekat, keduanya terkejut setengah mati. Rupanya hamparan luas yang tampak di atas bukit merupakan tanah kosong yang penuh dengan duri, yang panjangnya mencapai setengah cun. Duri-duri itu tajam-tajam. Jangankan orang, binatang saja sulit melaluinya. Terlihat jalan kecil yang lebarnya hanya beberapa ciok, maka seandainya mereka berhasil melaluinya, setidak-tidaknya celana dan pakaian mereka pasti akan terkoyak oleh duri-duri yang tajam itu.

Sebun It Nio sempat bimbang sejenak. "Tempat ini sesuai sekali untuk orang yang berlatih ilmu meringankan tubuh," katanya.

Dia menghimpun hawa murninya lalu melompat ke seberang. Tanah kosong itu ditumbuhi tanaman berduri tajam. Bukan hanya batangnya saja, bahkan rantingnya juga runcing-runcing. Aneh sekali, seumur hidup Sebun It Nio belum pernah melihat tanaman seperti itu. Untung saja ilmu ginkang-nya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, maka dia berhasil melaluinya tanpa terluka sedikit pun.

Melihat istrinya sudah melompat ke seberang, Lu Sin Kong segera mengikuti dari belakang. Baru saja Sebun It Nio menginjakkan kakinya di atas tanah, dari depan terlihat puluhan titik sinar berkilauan meluncur datang. Dia terkejut setengah mati. Tubuhnya mencelat ke samping sembari berseru, "Sin Kong, hati-hati!"

Lu Sin Kong juga sudah berhasil melihat datangnya bokongan senjata rahasia itu. Dalam, keadaan genting, terpaksa dia melompat ke samping. Meski pun akhirnya dia berhasil menghindar dari senjata rahasia itu, namun hampir sebagian pakaiannya koyak di sana-sini karena kaitan duri tanaman yang tajam. Setelah berhasil berdiri tegak, Lu Sin Kong tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya mengandung kemarahan.

Golok di tangannya langsung membacok ke belakang sebuah batu besar. Terdengar suara jeritan menyayat. Lu Sin Kong menghambur ke depan lalu menarik tubuh orang itu. Tampak bagian kepalanya penuh berlumuran darah. Lu Sin Kong tidak menyangka pihak lawan yang membokong mereka ternyata begitu tidak berguna. Sekali bacok saja langsung kena sasaran. Dia memperhatikan wajah orang itu sekilas, rasanya belum pernah mengenal orang ini. Kemungkinan salah satu bandit yang ingin merampas kotak yang mereka bawa. Secara serampangan ia melemparkan tubuh orang itu di atas tanah.

Tiba-tiba dia melihat disamping tubuh orang itu terjatuh sesuatu benda. Dia segera maju selangkah, lalu dipungutnya benda itu. Setelah dilihatnya sekilas, tanpa terasa dia menjadi tertegun. Rupanya benda yang dipungutnya itu berupa sebuah lencana yang di atasnya tertulis ‘Te Hio Hiocu Oey’ (Orang bermarga Oey yang menjabat sebagai Hiocu di ruangan Te Hio). Di baliknya lencana itu, tampak gambar kobaran api. Ternyata lencana itu merupakan lambang kedua belas Tongcu dari Hoa San Pai, sedangkan orang yang mati kena bacokannya pasti tongcu dari ruangan Te Hio Tong. Apakah orang-orang dari Hoa San Pai juga ikut-ikutan mengincar mereka?

Lu Sin Kong melemparkan lencana itu ke atas. Goloknya menyabet dalam waktu yang bersamaan, “Trang!!” Lencana itu terpental sampai jauh. Orangnya sendiri meneruskan langkah kakinya ke depan.

Daratan penuh tanaman berduri sudah dilewatinya. Di kejauhan tampak sebuah sungai kecil dengan airnya yang beriak-riak. Tapi, anehnya Sebun It Nio justru menghilang entah ke mana. Diam-diam Lu Sin Kong berpikir dalam hati. Tidak disangka-sangka orang-orang dari Hoa San Pai juga muncul di sini. Apakah orang yang mengenakan cadar hitam tadi merupakan Ciangbunjin mereka yakni Liat Hwe Cousu?

Tapi setelah direnungkan beberapa lama, rasanya tidak mirip. Liat Hwe Cousu adalah orang Tibet. Rambutnya merah, bentuk tubuhnya tinggi besar. Kalau muncul di dunia persilatan, lagaknya banyak, dan pasti diiringi beberapa pengawal. Lu Sin Kong yakin orang yang dikejar istrinya bukan Liat Hwe Cousu. Lawan yang tidak diketahui identitasnya pasti semakin sulit dihadapi. Jangan-jangan istrinya sendiri yang akan menderita kerugian. Baru saja dia bermaksud mengejar ke depan, tiba-tiba dari seberang sungai terdengar suara.

“Ahhh...!!”

Lu Sin Kong mengenali suara itu adalah suara jeritan istrinya. Maka, dengan cemas dia memanggil, "It Nio, di mana kau?"

Tampak sesosok bayangan berkelebat di seberang, tahu-tahu tampak Sebun It Nio berdiri sambil berseru kepadanya. "Coba kau lihat apa ini?"

Melihat istrinya dalam keadaan selamat, hati Lu Sin Kong pun terasa lega. Dia segera melompat ke seberang lalu mendarat di samping Sebun It Nio. Pandangannya mengikuti arah yang ditunjuk sang istri. Di tengah-tengah batang pohon Siong tampak sesuatu yang berkilauan cahayanya. Benda itu seperti golok namun agak pendek sedikit.

"Ah, itu kan golok Leng-ji!" seru Lu Sin Kong dengan suara tercekat, dan tanpa sadar dia langsung berteriak, "Leng-ji! Leng-ji! Di mana kau?"

Sebun It Nio langsung mendengus dingin. "Goloknya memang di sini! Kau kira orangnya ada di sini juga?" sindirnya.

Hati Lu Sin Kong langsung tertekan. "Betul. Aku lupa Leng-ji sudah mati," katanya dengan nada pilu.

Keduanya terdiam. Selama beberapa hari ini, baru kali ini mereka mengungkit nama sang anak yang membuat hati mereka terasa pedih. Setelah beberapa lama, terdengar Sebun It Nio membuka suara, "Kenapa pahamu?"

Lu Sin Kong tahu, istrinya sengaja mengalihkan bahan pembicaraan. Kejadian yang menimpa Lu Leng merupakan pukulan terberat yang pernah mereka derita seumur hidup. Walau pun tenaga dalam keduanya sudah mencapai taraf sangat tinggi, namun orangtua yang kehilangan anaknya pasti sangat sakit hatinya. Kalau dibiarkan berlarut-larut, mereka malah bisa terluka di bagian dalam.

Maka Lu Sin Kong tidak ingin mengungkit kejadian itu lagi. "Ketika menghindari bokongan senjata rahasia lawan, pahaku tertusuk duri. Tapi yang luka hanya kulit luarnya saja, tidak apa-apa," sahutnya.

"Senjata rahasia yang digunakan orang itu mirip dengan senjata rahasia dari Hoa San Pai," kata Sebun lt Nio.

"Memang betul. Orang yang mati dibawah golokku itu ternyata tongcu dari Te Hio Tong yang bermarga Oey."

Sebun it Nio menganggukkan kepalanya. "Tidak salah. Orang itu bernama Oey Han. Aneh, kenapa ilmunya begitu rendah? Hm..., sekarang muncul pula orang Hoa San Pai yang mengincar kita."

Sebetulnya dalam hati kedua suami istri itu ingin sekali melompat ke atas pohon untuk mengambil goloknya Lu Leng, namun mereka khawatir benda itu akan membangkitkan kenangan mereka kepada sang anak, maka sampai sekian lama keduanya tidak mempunyai keberanian untuk mencabutnya. Bahkan mereka membicarakan urusan yang tidak penting.

Sebun It Nio tertawa terkekeh-kekeh. "Tampaknya baik dari golongan sesat mau pun lurus semuanya mengincar kita. Sekarang sudah kepalang tanggung, sebaiknya kita tidak usah mengantarkan kotak ini ke Su Cou, biar kita tunggu mereka di sini saja. Kita suruh mereka mengadu kepandaian, siapa yang menang akan mendapatkan kotak ini. Rasanya, biar pun hubungan Hui Yan Bun dan Tai Ci Bun sangat baik, tapi untuk mendapatkan kotak ini mereka juga akan saling membunuh," katanya.

Lu Sin Kong tidak menjawab. Sampai lama dia merenung, akhirnya ia berkata dengan nada bergetar, "Hujin, bagai... mana kalau kita am... bil saja golok itu?"

"Kau saja yang ambil!" sahut Sebun It Nio dengan nada sedatar mungkin.

Sebetulnya hati kedua suami istri terasa pedih sekali, namun mereka sudah hidup bersama selama puluhan tahun, siapa pun tidak ingin seorang yang lainnya menderita. Kasih sayang antara mereka yang dalam membuat mereka saling menjaga perasaan masing-masing.

Lu Sin Kong mengeraskan hatinya. Dia melompat naik ke atas pohon Siong itu, tampak golok anaknya tertancap pada batang antara dahan dan ranting, di bawahnya terselip selembar kertas. Diam-diam Lu Sin Kong merasa heran. Dicabutnya golok itu, sekaligus tangan satunya meraih kertas tersebut. Setelah itu dia baru mencelat turun.

"Hujin, di bawah golok ada selembar kertas," katanya.

Sebun It Nio mengambil kertas itu dari tangan suaminya lalu diperhatikan beberapa saat. Tapi di atas kertas itu hanya ada lingkaran-lingkaran berwarna hitam, tidak terlihat tulisan satu huruf pun. Walau pun bentuk lingkaran itu ada yang besar dan ada yang kecil, namun perbedaannya tidak banyak. Lagi-pula barisannya rapi sekali. Hal ini membuktikan bahwa tadinya di sana terdapat tulisan yang berderet, tapi kemudian ditutupi oleh seseorang dengan lingkaran-lingkaran dari tinta hitam.

Sebun it Nio membalikkan kertas itu, di belakangnya hanya hamparan putih tanpa tulisan apa-apa. Kembali kedua orang itu tertegun untuk sekian lamanya. Kertas itu tidak berbeda dengan serentetan kejadian lainnya, tetap merupakan misteri. Lu Sin Kong memutar-mutar golok di tangannya, di benaknya kembali timbul bayangan Lu Leng yang lincah saat berlatih dengan golok itu. Tanpa terasa matanya mulai membasah, kemudian air matanya mengalir setetes demi setetes di pipinya yang mulai keriput.

Di saat hatinya semakin pilu, telinganya mendengar Sebun It Nio menegur, "Sin Kong, kita harus melanjutkan perjalanan kembali."

Lu Sin Kong mengiyakan dengan suara deheman. Kemudian ia mendongakkan kepalanya. Tampak sang istri melipat kertas itu dengan rapi lalu dimasukkannya ke dalam saku dengan hati-hati. Dia juga menyelipkan golok Lu Leng di pinggangnya.

Sebun It Nio tertawa getir. "Lihat saja pakaianmu, koyaknya sampai tidak karuan. Sesampainya di kota depan sana, sebaiknya beli lagi satu stel untuk salinan."

Lu Sin Kong memaksakan dirinya untuk tertawa. "Hujin, apakah kau berhasil mengejar orang tadi?"

"Tidak," sahut Sebun It Nio.

"Untuk apa sebetulnya kau mengejar orang itu?" tanya Lu Sin Kong pula.

"Memangnya kau tidak mendengar dia mengatakan bahwa akan menggunakan seseorang untuk menukar kotak itu?"

"Iya, tapi apa hubungannya?"

"Dia sudah tahu bahwa kita tidak bersedia memberikan kotak itu, tapi dia justru mengajukan usul demikian. Seandainya orang yang ia maksudkan tidak penting artinya bagi kita, mungkinkah dia mengajukannya sebagai imbalan?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar