Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 41

Setelah menyerang dengan jurus tersebut, Toan Bok Ang sendiri tidak mengerti mengapa dia begitu sadis terhadap biarawati tua gagu itu. Senjata Sian Tian Sin So memancarkan cahaya putih melesat ke arah biarawati tua gagu. Biarawati tua gagu menggeram, lalu mengangkat pikulan air untuk menangkis. Maka terdengar suara yang menderu-deru disusul kemudian dengan benturan yang menimbulkan suara berdentang nyaring.

Sian Tian Sin So yang merupakan senjata andalan Mo Liong Seh Sih ternyata tidak dapat mematahkan pikulan air itu. Biarawati tua gagu mundur dua langkah, kemudian melihat pikulan airnya. Terdapat bekas cekung. Biarawati tua gagu itu menggeram lagi, lalu segera memutar-mutar pikulan airnya menyerang Toan Bok Ang dengan sengit. Begitu melihat serangan itu Toan Bok Ang tidak menangkis, melainkan berkelit ke arah koridor. Akan tetapi biarawati tua gagu segera mencelat ke hadapan Toan Bok Ang sambil menyerangnya. Karena tak sempat untuk mengelak, Toan Bok Ang menangkis serangan itu.

“Taang!” pikulan air itu tertangkis hingga miring.

Toan Bok Ang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, cepat menyerang dengan jurus Lui Tian Kauw Cak (Kilat Dan Geledek Menggelegar). Jurus tersebut mengancam jalan darah Leng Thai Hiat di punggung biarawati tua gagu itu, Leng Thay Hiat yang ada di punggung, merupakan jalan darah amat penting. Dapat dibayangkan betapa hebatnya jurus yang dilancarkan Toan Bok Ang.

Mendadak badan biarawati tua gagu berputar, sehingga ujung senjata Toan Bok Ang jadi mengarah pada jalan darah Hwa Kay Hiat yang ada di bagian dada biarawati tua gagu itu. Ketika ujung senjata Sian Tian Sin So hampir mengenai jalan darah tersebut, Toan Bok Ang tersadar bahwa serangannya terlampau membahayakan. Namun sudah terlambat! Toan Bok Ang terpaksa memejamkan mata untuk tidak melihat kematian yang mengenaskan biarawati gagu itu. Di saat Toan Bok Ang memejamkan matanya, mendadak badan biarawati tua gagu itu doyong ke belakang sehingga senjata Sian Tian Sin So melewati bagian dadanya. Semula Toan Bok Ang mengira biarawati tua gagu itu tidak dapat menghindar. Maka perubahan itu membuat Toan Bok Ang tertegun.

Di saat bersamaan, pikulan air menyapu ke arah pinggang Toan Bok Ang. Dengan rasa kaget gadis itu langsung menarik nafas dalam-dalam, kemudian badannya mencelat ke atas menghindar dari serangan. Tanpa diduga biarawati itu pun mencelat ke atas sambil mengayunkan pikulan air ke arah kepala Toan Bok Ang. Kali ini Toan Bok Ang tidak dapat berkelit, terpaksa mengayunkan senjata Sian Tian Sin So untuk menangkis serangan itu.

“Taang!” terdengar suara benturan keras.

Senjata Sian Tian Sin So terpental, sedangkan pikulan air itu terus meluncur ke arah kepala Toan Bok Ang. Toan Bok Ang jadi gugup, namun masih sempat miringkan kepalanya sambil meloncat ke belakang. Namun sebelum Toan Bok Ang berdiri tegak, pikulan air telah berkelebat ke arah kepalanya lagi. Kali ini Toan Bok Ang betul-betul tidak dapat menangkis mau pun berkelit. Gadis itu kelihatan pasrah sambil menghela nafas panjang. Namun mendadak saja sesosok bayangan berkelebat ke tempat pertarungan. Seuntai tasbeh tahu-tahu menangkis dan melilit pikulan air hingga tertahan.

Toan Bok Ang tidak melihat jelas siapa yang muncul. Dia cepat-cepat mencelat ke samping, kemudian melihat ke arah sosok bayangan. Orang itu ternyata biarawati tua yang berdoa di ruang depan. Biarawati gagu tersentak kaget melihat kedatangan biarawati tua itu. Biarawati tua menatapnya tajam, kemudian mengibaskan tangannya, maka biarawati tua gagu tidak berani bersuara lagi dan segera mundur. Toan Bok Ang menarik nafas lega. Mendadak biarawati tua menggerakkan tangannya dan tahu-tahu untai tasbeh itu telah melayang kembali ke tangannya.

Biarawati tua membalikkan badannya sambil merangkapkan sepasang tangannya. "Kau ke mari ada petunjuk apa?"

Semula Toan Bok Ang mengira biarawati tua itu juga gagu dan tuli, tapi setelah mendengar pertanyaannya dia segera menyahut, "Aku sedang mencari orang."

"Biarawati gagu memberi-tahukan bahwa kau terus mengikutinya, pasti tidak berniat baik. Temyata kau sedang mencari orang?"

Toan Bok Ang melihat wajah biarawati tua itu penuh welas asih, jelas merupakan biarawati yang berilmu tinggi. Hal itu membuat Toan Bok Ang harus menghormatinya.

"Ya!" Toan Bok Ang menganggukkan kepala.

"Kau mencari siapa?"

Begitu mendengar pertanyaan itu, Toan Bok Ang jadi gusar. Tadi dia mendengar Lu Leng dari ruang dalam, bagaimana mungkin biarawati tua itu tidak tahu? Sekarang malah berpura-pura tidak mengetahuinya.

Toan Bok Ang tersenyum dingin sebelum menjawab pertanyaan biarawati tua itu. "Cari siapa? Cari Lu Leng, Lu-siauhiap!"

Biarawati tua itu memuji kebesaran Sang Buddha. "Omitohud! Kau pasti keliru. Di dalam kuilku ini tidak ada Lu-siauhiap!"

“Tadi aku mendengar suaranya, bagaimana kau katakan tidak ada? Ketika aku mendengar suaranya, aku berada di sisimu, apakah kau tidak mendengarnya?"

Biarawati tua itu menyahut, “Tadi aku dalam keadaan bersemedi, sama sekali tidak mendengar suara apa pun."

Toan Bok Ang tertawa dingin. “Terus terang saja! Lu-siauhiap disembunyikan di mana?"

Biarawati tua itu menggeleng-geleng kepala. "Kau bilang ada orang di sini, kenapa tidak mencarinya? Aku sudah bicara sejujurnya tapi kau tidak percayai.”

Toan Bok Ang menatap biarawati tua itu. Air mukanya tidak tampak sedang berdusta. Dia berpikir sejenak kemudian bertanya, "Sebetulnya siapa kau?"

Biarawati tua itu tertawa hambar. "Aku hidup mengasingkan diri di tempat ini, sudah lama melupakan nama sendiri. Kalau kau tidak berhasil mencari orang itu, lebih baik meninggalkan kuil ini!"

Badan Toan Bok Ang langsung berkelebat melesat ke arah ruang dalam. Tadi dia mendengar dengan jelas, suara Lu Leng berasal dari ruang dalam itu. Barusan biarawati itu menyuruhnya mencari, mungkin ada suatu rahasia. Karena itu Toan Bok Ang segera mencari dengan teliti sekali. Akan tetapi hingga hari mulai malam, Toan Bok Ang tidak menemukan apa pun. Padahal kuil itu tidak begitu besar, hanya terdiri dari beberapa kamar. Toan Bok Ang mencari sampai ke ruang dapur, tapi tetap tak menemukan Lu Leng.

Dengan rasa heran dan bingung Toan Bok Ang kembali ke ruang depan. Tampak biarawati tua itu duduk di situ. Ketika Toan Bok Ang memasuki ruang depan, biarawati tua cuma memandangnya sejenak. Toan Bok Ang amat penasaran karena tidak menemukan Lu Leng. Dia mendekati biarawati tua itu seraya membentak.

"Kenapa kalian macam-macam? Cepat beritahukan!"

Biarawati tua itu tersenyum. "Kau jangan mengacau di ruang sembahyang ini!"

Toan Bok Ang meludah. "Phui! Kalau kau tidak beritahukan aku akan segera turun tangan!"

Biarawati tua itu memandangnya, kemudian berkata dengan hambar, "Kau minggir selangkah!"

Toan Bok Ang tidak tahu apa sebabnya biarawati tua itu menyuruhnya minggir selangkah, namun dia menurut. Biarawati tua menunjuk ke lantai yang terbuat dari batu, dan mendadak diayunkan tasbehnya ke arah lantai batu itu.

“Serrrt!” tasbeh itu menghantam lantai batu, lalu dengan cepat biarawati tua kembali menariknya.

Toan Bok Ang memandang ke arah lantai batu, seketika itu juga hatinya berdebar-debar. Ternyata lantai batu itu terdapat bekas-bekas tasbeh. Hal itu membuat Toan Bok Ang terkejut sekali. Dapat dibayangkan betapa tingginya lweekang biarawati tua itu.

Biarawati tua itu tersenyum dan berkata dengan lembut, "Di sini tidak ada orang yang kau cari itu, aku mau bersemedi, kau boleh pergi sekarang."

Toan Bok Ang tertegun. Kalau bertanding dengan biarawati tua itu, sudah tentu gadis itu bukan lawannya. Kalau begitu, betulkah Lu Leng tidak berada di dalam kuil ini? Atau tadi dia salah dengar? Toan Bok Ang mengingat kembali akan apa yang didengarnya tadi, kemudian hatinya tergetar. Teringat akan teriakan Lu Leng tadi, pasti ditujukan kepada seseorang, tidak mungkin dia berteriak seorang diri. Kini di dalam kuil itu hanya terdapat dua biarawati tua, lalu ke mana orang itu?

Walau tahu dirinya bukan lawan biarawati tua itu, namun Toan Bok Ang tetap bertanya. "Ada berapa orang di dalam kuil ini?"

"Tiga orang," sahut salah seorang biarawati tua.

"Aku menggeledah ke sana ke mari, mengapa hanya kalian berdua saja?" kata Toan Bok Ang.

Biarawati tua itu mengeluarkan suara, "Oh, gadis muda itu tidak ada?"

Toan Bok Ang tertegun. "Gadis muda yang bagaimana?"

"Beberapa hari yang lalu ada seorang gadis muncul di sini. Dia terus memandangku, setelah itu mendadak menangis sambil bertutut, bermohon kepadaku agar dia diterima menjadi biarawati. Aku melihat dia masih muda, maka menasihatinya jangan menggunting rambutnya," tutur biarawati tua itu.

"Bagaimana rupa gadis itu?" tanya Toan Bok Ang.

"Dia memohon kepadaku agar jangan menceritakan tentang dirinya kepada siapa pun. Aku mengabulkannya, maka aku tidak dapat menceritakannya," sahut biarawati tua itu.

Toan Bok Ang menghempaskan kaki seraya berkata, "Urusan ini menyangkut orang yang amat kucintai, kau tidak mau menceritakannya?"

Biarawati tua menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak bisa kuceritakan. Gadis itu tidak tahan, akhirnya pergi. Kalau kau mau menemuinya, lebih baik pergi mencarinya, mungkin dia belum pergi jauh. Kau jangan mengganggu aku lagi," katanya.

Usai berkata, biarawati tua itu memejamkan matanya, lalu mulai membaca doa. Toan Bok Ang amat cemas dan gugup. Dia ingin bergebrak, tapi bukan lawannya. Akhirnya dia meninggalkan kuil itu. Walau belum berhasil mencari Lu Leng, namun juga tidak sia-sia, sebab dia tahu Lu Leng pernah datang di kuil itu. Lu Leng menghilang mendadak kelihatannya bukan terjadi sesuatu, melainkan dikarenakan seorang gadis. Dari suara teriakan itu, jelas gadis tersebut tidak menggubrisnya. Lalu siapa gadis itu? Mengapa gadis itu tidak menggubrisnya dan mengapa Lu Leng begitu menderita?

Berpikir sampai di situ, hati Toan Bok Ang tidak bisa tenang. Namun dia tetap menghibur diri sendiri bahwa Lu Leng hanya mencintainya, sebab Lu Leng sendiri yang menyatakannya. Akan tetapi Toan Bok Ang mulai merasa bahwa di antara dirinya dengan Lu Leng ada yang tidak beres. Walau dia tidak dapat mengetahui urusan apa itu, namun dapat merasakannya dalam hati. Di luar kuil sudah gelap. Toan Bok Ang terus berjalan dengan kepala tertunduk tanpa tujuan. Dia terus bertanya dalam hati, siapa gadis itu?

Sesungguhnya sudah ada jawaban dalam hatinya, bahwa gadis itu pasti Tam Goat Hua. Saat itu air mata Toan Bok Ang telah membasahi pipinya, tapi dia sendiri tidak tahu dari kapan air matanya mulai meleleh. Hingga air matanya mengalir ke pipi, dia baru sadar bahwa air matanya telah bercucuran. Dia tidak menyeka air matanya, hanya terus berjalan dengan kepala tertunduk. Namun entah berapa lama kemudian, mendadak dia berhenti. Ternyata telinganya mendengar suara seseorang yang penuh penderitaan.

Dia segera melesat ke arah datangnya suara, sebab suara itu adalah suara Lu Leng. Namun keadaan di tempat itu amat gelap sehingga dia tidak dapat melihat Lu Leng berada di mana. Maka dia berhenti, lalu berdiri tak bergerak untuk memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tak seberapa lama, dia mendengar lagi seorang wanita menghela nafas panjang dan berkata-kata.

"Adik Leng, kau sudah punya kekasih, tapi kenapa masih tidak mau pergi? Mau apa kau di sini?"

Begitu mendengar suara itu, sekujur badan Toan Bok Ang tergetar keras karena dia mengenali suara itu yang tidak lain suara Tam Goat Hua. Kemudian terdengar suara Lu Leng yang penuh kegembiraan.

"Kakak Goat, akhirnya kau berbicara juga! Kau... kau sudah mulai mempedulikan diriku!"

"Pergilah kau! Aku membuka mulut justru menghendaki kau pergi, selanjutnya jangan datang menemuiku lagi!" sahut Tam Goat Hua hambar.

"Tidak! Aku tidak mau pergi!" kata Lu Leng.

Mendengar pembicaraan itu Toan Bok Ang nyaris pingsan seketika. Badannya langsung sempoyongan, hampir membuatnya terjatuh. Untung di sisinya terdapat sebuah batu besar, maka dia segera bersandar di situ. Saat ini dia merasa sepasang kakinya lemas sekali, hampir tak kuat berdiri.

"Mau apa kau di sini sedangkan orang yang amat kau cintai sedang menunggumu?" tanya Tam Goat Hua hambar.

"Kakak Goat, kau telah salah paham. Orang yang amat kucintai adalah kau," sahut Lu Leng.

Mendengar apa yang diucapkan Lu Leng, sepasang kaki Toan Bok Ang bertambah lemas sehingga kalau tangannya tidak memegang batu besar itu, dia pasti jatuh. Bahwa Lu Leng mencintai Tam Goat Hua, Toan Bok Ang memang sudah mengetahuinya. Namun dia tidak menduga kalau pemuda yang sudah menyatakan cinta kepadanya itu akan mengatakan begitu terhadap Tam Goat Hua. Toan Bok Ang merasa dirinya bagaikan segumpal awan yang melayang-layang di udara.

Terdengar lagi Tam Goat Hua berkata, "Aku tidak akan salah paham. Aku pernah dengar bagaimana Toan Bok Ang mencintaimu, juga mendengar dari mulutmu betapa dalamnya cintamu kepadanya. Adik Leng, anggaplah di dunia ini tiada diriku! Pergilah!"

"Kakak Goat, kau tetap salah paham. Aku berkata begitu kepadanya hanya dikarenakan aku tanpa sengaja telah mengutungkan sebelah lengannya," kata Lu Leng sambil menangis.

Hati Toan Bok Ang makin berduka dan air matanya pun bercucuran dengan deras. Dia menggigit bibirnya sendiri hingga nyaris mengeluarkan darah. Di saat bersamaan, awan yang menutupi bulan melayang lewat sehingga tempat itu berubah menjadi agak terang. Toan Bok Ang memandang ke depan. Dilihatnya Tam Goat Hua duduk di atas tanah dan Lu Leng berdiri di hadapannya sambil menatapnya dengan penuh cinta kasih. Belum pernah Lu Leng menatapnya seperti itu, maka seketika rongga dada Toan Bok Ang seperti terbakar. Kalau dia tidak dapat menekan api yang membara itu, dia sendiri pun tidak tahu, entah apa yang akan terjadi.

Mendadak Toan Bok Ang berdiri tegak, lalu melangkah maju seraya membentak dengan suara mengguntur. "Aku tidak mau kau menaruh kasihan kepadaku!"

Betapa terkejutnya Lu Leng dan Tam Goat Hua. Mereka berdua segera membalikkan badan, kemudian Lu Leng bertanya, "Kakak Ang, bagaimana kau bisa sampai di sini?"

Toan Bok Ang sama sekali tidak mendengar pertanyaan Lu Leng. Dengan air mata berderai-derai dia terus berteriak-teriak. "Aku tidak mau kau menaruh kasihan padaku! Jangan karena sebuah lenganku telah buntung, maka kau menganggap diriku sebagai seekor anjing yang putus kakinya sehingga menaruh kasihan padaku!"

"Nona Toan, dengarkan dulu...." kata Tam Goat Hua.

"Tidak mau dengar! Aku tidak mau dengar! Perkataan apa pun aku tidak mau dengar!" potong Toan Bok Ang. Saking gusarnya nafas Toan Bok Ang menjadi memburu, bahkan kemudian terbatuk-batuk. "Perkataan apa pun aku tidak mau dengar! Di dunia ini apakah masih ada perkataan yang benar?" lanjutnya.

Berkata sampai di situ mendadak dada Toan Bok Ang terasa sakit sekali, kemudian mulutnya mengeluarkan suara, "Uaaak!" ternyata mulutnya menyemburkan darah segar.

Kebetulan Lu Leng sedang mendekatinya, maka darah dari mulut Toan Bok Ang menyembur ke mukanya. Lu Leng tertegun, lalu berseru dengan penuh penderitaan, "Kakak Ang!"

Saat ini Lu Leng memang tiada perkataan lagi. Yang dia cintai dalam hati selama ini adalah Tam Goat Hua. Dia menyatakan cinta kepada Toan Bok Ang sama sekali bukan merupakan rayuan gombal, melainkan karena dia mengutungkan sebelah lengan gadis itu, maka membuatnya amat menyesal lalu mengambil keputusan agar menggembirakan sekaligus membahagiakannya. Namun ketika itu hatinya amat menderita sekali. Apa yang diucapkannya kepada Tam Goat Hua tadi berdasarkan suara hatinya, justru tidak boleh terdengar oleh Toan Bok Ang. Akan tetapi tidak disangka Toan Bok Ang berada di tempat itu dan mendengar semua perkataan Lu Leng.

Lu Leng tertegun ketika mukanya tersembur darah dari mulut Toan Bok Ang. "Kakak Ang, aku...!" serunya sambil maju selangkah.

Berkata sampai di situ Toan Bok Ang sudah mengayunkan tangannya menampar Lu Leng, “Plaak!” tamparan itu telak mendarat di pipi Lu Leng. Setelah itu Toan Bok Ang membalikkan badannya dan langsung melesat pergi.

"Nona Toan, jangan pergi! Kau harus tahu hati adik Leng...!" seru Tam Goat Hua.

Tam Goat Hua berhenti berseru. Dilanjutkan juga percuma, sebab Toan Bok Ang sudah tidak kelihatan lagi. Lu Leng berdiri termangu-mangu di tempat sambil mengusap pipinya yang ditampar Toan Bok Ang.

"Adik Leng, kau harus tahu bahwa kau telah mencelakainya!" kata Tam Goat Hua sambil menatapnya.

Usai berkata Tam Goat Hua melangkah pergi dan tak lama sudah tidak tampak lagi bayangannya. Kini hanya tinggal Lu Leng seorang. Dia terus berdiri mematung. Keadaan di tempat itu berubah menjadi sunyi sepi dan hati Lu Leng pun terasa hampa. Toan Bok Ang pergi, Tam Goat Hua pun sudah pergi. Namun dia kelihatan seperti tidak mengetahuinya. Walau tamparan itu amat keras, namun Lu Leng sama sekali tidak merasa sakit.

Dia terus berdiri mematung di situ dengan sebelah tangannya terus memegang pipinya yang ditampar Toan Bok Ang. Entah berapa lama kemudian barulah dia menurunkan tangannya itu dengan perlahan-lahan. Telapak tangannya ternoda darah Toan Bok Ang. Ditatapnya telapak tangannya itu sampai lama sekali. Dia tak bergerak, tapi tangannya itu bergemetar. Mendadak dia meraba pinggangnya, akan tetapi tidak meraba apa pun di pinggangnya. Sebetulnya dia ingin mengambil golok pusaka Su Yang To untuk membacok lengan kirinya, namun golok pusaka Su Yang To itu entah hilang di mana.

Saking tersiksanya dia menghempaskan dirinya ke tanah, namun kemudian bangkit berdiri lagi. Setelah bangkit berdiri, dia ingin berteriak memanggil Tam Goat Hua dan Toan Bok Ang, namun kedua gadis itu telah pergi. Apakah Lu Leng merupakan pemuda yang tipis perasaan? Tidak! Justru sebaliknya, dia adalah pemuda yang penuh perasaan, bahkan juga memandang amat penting tentang cinta. Tapi nasib telah mempermainkan dirinya, sehingga dia harus terjerat oleh cinta.

Dia maju beberapa langkah menghampiri batu besar itu, lalu dipeluknya erat-erat sepertinya ingin memeluknya sampai hancur. Lu Leng mengerahkan tenaganya tapi mendadak teringat akan kejadiannya ketika bertemu Tam Goat Hua, ketika meninggalkan Tong Hong Pek dan lainnya. Dia melesat pergi belasan mil sampai tiba di sebuah kota kecil. Di kota itu dia membeli tujuh ekor kuda, lalu segera kembali....

Dia tahu bahwa Tong Hong Pek dan lainnya berada di suatu tempat yang tak jauh dari istana Ci Cun Kiong. Sudah barang tentu tempat itu sangat membahayakan mereka semua, maka dia segera kembali. Akan tetapi, apa yang akan terjadi memang di luar dugaannya. Kira-kira beberapa mil lagi sampai di tempat Tong Hong Pek, mendadak dia menghentikan kudanya. Ternyata dia melihat sosok yang ramping sedang berjalan membelakanginya. Orang itu berjalan tidak begitu cepat. Walau mendengar suara ringkikan kuda, tapi dia tetap tidak menoleh. Ketika Lu Leng melihat bayangan belakang orang tersebut, justru dia jadi tertegun.

Pada saat itu Lu Leng tidak berpikir lain kecuali mengejarnya. Sebab kalau tidak, mungkin tidak akan bertemu orang itu lagi. Ternyata ketika melihat bayangan belakang orang itu, Lu Leng sudah mengenalinya, yang tak lain adalah Tam Goat Hua. Walau rambutnya terurai dan gadis itu mengenakan pakaian kasar, namun Lu Leng tetap mengenalinya. Lu Leng tidak menghiraukan apa pun, langsung mengejarnya.

Tapi belasan depa kemudian, mendadak dia teringat akan Tong Hong Pek dan lainnya. Kalau dia tidak kembali, mereka semua pasti cemas dan gugup memikirkannya. Oleh karena itu dia segera mematahkan dahan pohon menggunakan jurus It Ci Keng Thian (Satu Jari Mengejutkan Langit), sebagai tanda bahwa dia pergi melalui tempat itu. Sedangkan Tam Goat Hua terus berjalan, namun dalam sekejap Lu Leng sudah berhasil menyusulnya.

"Kakak Goat!" teriaknya.

Begitu Lu Leng berteriak, sekujur badan Tam Goat Hua tergetar, lalu dia menolehkan kepalanya ke belakang. Kini Lu Leng sudah berada di belakangnya. Lu Leng tertegun ketika melihat wajah gadis itu. Ternyata wajah gadis itu pucat pias bagaikan kertas, tiada warna darah sama sekali. Yang mengejutkan Lu Leng bukan karena wajahnya pucat pias, melainkan karena tatapannya yang amat dingin. Belum pernah Lu Leng menyaksikan wajah Tam Goat Hua seperti itu.

Lu Leng mundur beberapa langkah, setelah itu barulah berseru. "Kakak Goat, kenapa kau?"

Tam Goat Hua tidak menyahut, malah segera melesat pergi laksana kilat. Lu Leng sudah menduga bahwa Tam Goat Hua tidak akan mau bertemu dengan dirinya lagi. Namun dia tidak menduga kalau gadis itu akan menatapnya dengan begitu dingin, seakan terhadap orang yang tak dikenalnya. Ketika Lu Leng dan Tam Goat Hua tanpa sengaja bertemu di gunung Tang Ku Sat, gadis itu segera lari namun wajahnya tidak begitu dingin, hanya diliputi penderitaan. Tapi kini wajahnya justru begitu dingin. Sudah barang tentu membuat Lu Leng menjadi tertegun.

Ketika dia baru mau mengejarnya, gadis itu sudah berada di kejauhan belasan depa. Walau Lu Leng tahu Tam Goat Hua tidak mau menemuinya, tapi dia tetap mengejarnya.
Sembari mengejar Lu Leng berteriak-teriak memanggilnya, namun Tam Goat Hua sama sekali tidak menghiraukannya. Oleh karena itu Lu Leng terus mengejarnya mati-matian. Tak seberapa lama kemudian mereka berdua sampai di sebuah kuil. Tam Goat Hua segera memasuki kuil itu dengan meloncat tembok.

Lu Leng tertegun, namun kemudian mengejar ke dalam juga dengan meloncat tembok. Sampai di dalam dia melihat Tam Goat Hua memasuki ruang dalam, kemudian langsung mengejarnya. Tam Goat Hua duduk bersila di ruang dalam menghadap patung Dewi Kwan Im dan tiga batang hio menyala mengepulkan asap.

Lu Leng tertegun, lalu menghampirinya seraya berseru. "Kakak Goat, kenapa kau menyusahkan diri sendiri?"

Tam Goat Hua tetap duduk bersila tak bergerak, namun wajahnya sudah tidak begitu dingin lagi. Lu Leng sudah berada di hadapannya.

"Kakak Goat, kalau pun kau tidak menghiraukanku, paman Tam berada di tempat yang tak jauh dari sini. Apakah kau juga tidak mau pergi menemui mereka?" katanya sambil menatap.

Tam Goat Hua mengerutkan kening, tapi sama sekali tidak mengeluarkan suara. Mata Lu Leng mulai mengucurkan air mata. "Kakak Goat, kenapa kau tidak mau bicara? Jangan diam saja!" katanya sambil menjulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Tam Goat Hua.

Namun gadis itu tak bergerak dan tangannya amat dingin sekali. Maka Lu Leng terpaksa merenggangkan tangannya.

"Kakak Goat, aku tahu hatimu amat berduka. Kau mau menjadi biarawati, itu adalah urusanmu. Tapi tentunya kau tahu, betapa berdukanya hatiku!" katanya.

Tam Goat Hua duduk bersila bagaikan sebuah patung, sama sekali tidak bergerak. Lu Leng termangu-mangu menatapnya dengan air mata terus berlinang-linang tak henti-hentinya.

"Kakak Goat, Liok Ci Khim Mo membangun istana Ci Cun Kiong di gunung Tiong Tiau San. Kau pasti tahu, guru, paman dan bibi Tam semuanya terluka parah. Kakak Goat, apakah kau tega membiarkannya?" katanya.

Tam Goat Hua tetap tak bergerak, bahkan matanya pun sudah dipejamkan dan wajahnya berubah dingin sekali. Lu Leng tertegun, kemudian menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tam Goat Hua.

"Jangan tidak mempedulikan aku!" katanya dengan penuh penderitaan.

Kebetulan di saat itu Toan BokAng berada di ruang depan, maka dia mendengarkan suara Lu Leng.

"Adik Leng!" teriaknya.

Seharusnya Lu Leng mendengar suara teriakan Toan Bok Ang, namun karena di saat itu perhatiannya sedang tercurah kepada Tam Goat Hua maka dia tidak mendengamya. Akan tetapi Tam Goat Hua justru mendengar teriakan itu dengan jelas, begitu pula apa yang diucapkan Lu Leng, maka hatinya menjadi seperti tersayat. Lu Leng memang menderita sekali, tapi Tam Goat Hua jauh lebih menderita dibandingkan dengan Lu Leng.

Tam Goat Hua meninggalkan Tam Ek Hui dan Han Giok Shia setelah luka mereka sembuh. Dia juga mendengar tentang Liok Ci Khim Mo membangun sebuah istana di gunung Tiong Tiau San dan menyebut dirinya sebagai Bu Lim Ci Cun. Oleh karena itu dia pun berangkat ke gunung tersebut. Sebelum tiba di istana Ci Cun Kiong, dia justru kebetulan tiba di kuil tersebut.

Sejak mengalami perubahan di Cing Yun Ling Go Bi San, yang telah menggagalkan perjodohannya dengan Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, membuat perasaannya menjadi kacau balau. Entah sudah berapa kali dia ingin membunuh diri, namun dibatalkannya. Maka ketika melihat kuil itu, dia langsung masuk. Dilihatnya seorang biarawati tua duduk bersila menghadap patung Dewi Kwan Im sambil membaca doa. Tam Goat Hua termangu-mangu di situ. Maka akhirnya dia mengambil suatu keputusan dan langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan biarawati tua itu. Biarawati tua itu tetap membaca doa, sama sekali tidak menghiraukan Tam Goat Hua.

Lama sekali gadis itu berlutut, kemudian mendongakkan kepala seraya berkata, "Guru, teecu mohon diterima sebagai biarawati!"

Perlahan-lahan biarawati tua itu membuka matanya, lalu menatap Tam Goat Hua dengan lembut sekali. Tatapan itu membuat hati Tam Goat Hua terasa sejuk sehingga menjadi agak tenang.

"Cepatlah bangun, jangan terus berlutut!" katanya dengan tersenyum.

"Guru, teecu mohon diterima menjadi biarawati!" sahut Tam Goat Hua.

Biarawati tua itu tertawa. "Pintu Buddha memang luas sekali, tapi tidak gampang memasukinya."

Tam Goat Hua tertegun ketika mendengar ucapan itu. "Guru, teecu sudah bertekad mau menjadi biarawati," katanya.

Biarawati tua itu menjulurkan tangannya, kemudian menepuk bahu Tam Goat Hua seraya berkata, "Kau masih muda, harus tabah menghadapi segala macam cobaan. Pergilah, karena belum waktunya kau menghadap Sang Buddha!"

Ketika baru masuk, Tam Goat Hua menganggap biarawati tua itu sebagai biarawati biasa. Namun kini ketika melihat sorotan matanya, barulah dia tahu bahwa biarawati tua itu bukan biarawati biasa.

"Guru, luka dalam hati teecu hanya dapat diobati dengan cara teecu menjadi biarawati di kuil ini," katanya setelah lama sekali dia tertegun.

Biarawati tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Sulit! Lebih baik kau pergi saja!"

Bagaimana mungkin Tam Goat Hua mau pergi? Dia terus berlutut di situ.

"Guru, teecu bermohon dengan bersungguh-sungguh!"

Biarawati tua itu menatapnya dalam-dalam, kemudian mengibaskan lengan jubahnya mengangkat bangun Tam Goat Hua. "Rambutmu tidak usah dipotong. Kau boleh mencoba menenangkan hati di kuil ini," katanya.

Tam Goat Hua mengangguk, lalu berjalan ke luar. Di saat itulah dia mendengar biarawati tua itu bergumam.

"Kalau hati resah, tidak gampang memasuki pintu Buddha. Aaah.... puluhan tahun, hati tidak akan bisa tenang!"

Tam Goat Hua tertegun mendengar ucapan itu. "Guru, hati teecu sudah bulat," katanya dengan suara rendah.

Biarawati tua itu manggut-manggut. "Mudah-mudahan demikian!"

Itu kejadian tiga hari yang lalu. Kini Tam Goat Hua mulai bersemedi di dalam kuil itu. Hari pertama dia mengosongkan pikirannya, tidak memikirkan apa pun. Hari kedua muncullah berbagai macam pikiran, tapi dia berusaha menekan semua pikiran itu sehingga dapat tenang kembali. Hari ketiga pikirannya mulai kacau balau, sehingga membuatnya pergi ke luar. Padahal dia hanya ingin jalan-jalan sejenak, tapi tak disangka-sangka justru malah bertemu Lu Leng.

Setelah duduk di ruang dalam, Lu Leng terus berkata. Mendengar apa yang dikatakan Lu Leng, dia merasa ingin berteriak dan menerjang ke luar. Akan tetapi dia dapat menekan perasaannya itu, maka dia tetap tak bergerak. Namun meski pun demikian hatinya semakin kacau, hingga ketika mendengar suara teriakan Toan Bok Ang hatinya sudah tidak bisa tenang sama sekali. Akhirnya dia melesat ke luar melalui jendela.

Begitu melihat Tam Goat Hua melesat ke luar, Lu Leng segera mengejarnya, dan dalam sekejap mereka berdua sudah meninggalkan kuil itu. Maka Toan Bok Ang tidak menemukan Lu Leng di ruang dalam itu. Sementara Tam Goat Hua dan Lu Leng terus melesat pergi. Tujuh delapan mil kemudian barulah Tam Goat Hua berhenti.

"Mengapa kau tidak mempedulikan aku? Mengapa kau tidak mempedulikan aku? Mengapa?" tanya Lu Leng.

Wajah Tam Goat Hua menyiratkan penderitaannya, namun hanya sekilas kemudian berubah dingin.

"Kakak Goat, kau sedang memikirkan apa? Lebih baik kau curahkan, jangan disimpan dalam hati sebab itu tiada gunanya." kata Lu Leng sambil menatapnya.

Tam Goat Hua berteriak-teriak dalam hati. "Jangan mengeluarkan suara! Jangan mengeluarkan suara!"

Akhirnya dia duduk dan tetap mengingatkan dirinya sendiri agar tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi dia tidak dapat bertahan dan akhirnya membuka mulut. Saat itu hari sudah gelap, kebetulan Toan Bok Ang datang di tempat itu dan mendengar percakapan mereka. Sementara Lu Leng masih memeluk batu besar, sesaat kemudian barulah berteriak-teriak dengan penuh penderitaan.

"Kakak Goat, kau tidak boleh menjadi biarawati!" Dia diam sejenak, setelah itu berkata lagi, "Kakak Goat, aku bersalah padamu! Aku telah mencelakai kalian berdua!"

Lu Leng terus bergumam. Berselang beberapa saat, barulah dia melesat pergi. Ternyata dia kembali ke kuil itu.

“Blaam!” dia menghantam pintu kuil, lalu menerjang ke dalam.

Tampak biarawati tua sedang duduk bersila membaca doa di ruang depan, tapi Lu Leng tidak menghiraukannya. Dia langsung menuju ruang dalam. Akan tetapi tiada seorang pun berada di sana. Maka Lu Leng segera kembali ke ruang depan untuk menghadapi biarawati tua.

"Nona Tam ke mana?!" teriaknya.

Biarawati tua itu membuka matanya. "Ketika dia ke mari, aku sudah tahu bahwa dia tidak berjodoh dengan pintu Buddha. Kini aku tidak tahu ke mana dia pergi," sahutnya.

Mendengar itu Lu Leng merasa berduka, tapi juga gembira. Berduka karena berpisah dengan Tam Goat Hua, entah kapan akan bertemu lagi. Gembira karena Tam Goat Hua tidak kembali ke kuil itu, jelas dia batal menjadi biarawati. Dia tidak membuang waktu, maka langsung melesat pergi, dan tak lama sudah sampai di jalan besar. Keadaan di jalan besar itu sunyi sepi, tidak tampak seorang pun kecuali Lu Leng. Dia berusaha menenangkan hatinya. Tam Goat Hua sudah pergi, entah ke mana, tapi Lu Leng akan berusaha mencarinya.

Namun Toan Bok Ang mengalami pukulan batin yang begitu hebat sehingga menyebabkannya muntah darah segar. Entah bagaimana lukanya dan ke mana gadis itu pergi, Lu Leng pun tidak mengetahuinya. Namun biar bagaimana pun dia harus mencarinya juga. Kalau pun gadis itu akan memukulnya setelah bertemu, itu tidak apa-apa. Yang penting Lu Leng tidak mau membiarkannya berkelana seorang diri, karena kini gadis itu hanya mempunyai sebelah lengan.

Lu Leng terus berpikir, lalu kembali ke tempat di mana guru dan lainnya berada. Namun tidak tampak seorang pun di tempat itu, bahkan kuda-kuda mereka pun tidak kelihatan. Legalah hati Lu Leng, sebab dia yakin bahwa Toan Bok Ang pasti menyusul mereka. Karena itu dia langsung melesat meninggalkan tempat itu. Tiga empat mil kemudian, dilihatnya sosok bayangan berkelebat ke arahnya dari arah depan. Sungguh cepat gerakan bayangan itu! Dia bagaikan segulung asap, dalam sekejap sudah berada di dekatnya. Akan tetapi bayangan itu sempoyongan seperti orang mabuk berat. Lu Leng segera berhenti setelah orang itu berada di hadapannya. Lu Leng sudah menduga orang itu pasti Oey Sim Tit, sebab kelihatan dari ginkang-nya yang amat tinggi.

" Saudara Oey!" serunya.

Orang itu langsung berhenti, tapi badannya masih bergoyang-goyang. Lu Leng memandangnya. Tidak salah, orang itu memang Oey Sim Tit. Oey Sim Tit mendongakkan kepala, tampak wajahnya pucat pias dan tersirat rasa ketakutan.

"Saudara Lu, kau... kau bertemu musuh tangguh?" tanyanya gugup.

Lu Leng tahu kenapa Oey Sim Tit bertanya demikian, karena wajahnya masih bernoda darah. Tapi Lu Leng juga terkejut karena Oey Sim Tit bertanya dengan gugup, mungkin dia bertemu musuh tangguh.

"Di mana guruku dan lainnya?" tanyanya tanpa menjawab lebih dulu pertanyaan Oey Sim Tit.

Mata Oey Sim Tit terbeliak lebar. "Mereka... mereka...."

Hanya itu yang diucapkannya, lalu mendadak tangannya meraih ke belakang. Kelihatannya dia seperti ingin meraih sesuatu namun tidak teraih, dan wajahnya tampak menderita. Bukan main terkejutnya Lu Leng.

"Saudara Oey, bagaimana kau?" tanyanya.

"Aku... aku...." sahutnya terputus-putus.

Mendadak badannya condong ke depan. Lu Leng cepat-cepat menahannya agar tidak jatuh, sedangkan sebelah tangan Oey Sim Tit masih meraih ke belakang. Lu Leng melihat punggungnya dan seketika juga dia terbelalak. Ternyata di punggung Oey Sim Tit menancap sebuah belati. Lu Leng memperhatikan belati itu, barulah dia tahu mengapa Oey Sim Tit tidak mati. Ternyata belati itu menancap di samping jalan darah Leng Tay Hiat, lagi pula lukanya tidak mengucurkan darah.

Walau tidak mati, tapi Oey Sim Tit sudah terluka parah. Belati itu tidak boleh dicabut. Sebab kalau dicabut darah pasti mengucur, mungkin akan membuatnya binasa kehabisan darah. Lu Leng tahu kepandaian Oey Sim Tit masih rendah, tapi ilmu ginkang-nya amat tinggi. Kalau bertemu musuh tangguh, kecuali dia tidak mau kabur, sudah pasti dapat meloloskan diri. Kini Lu Leng tidak sempat memikirkan itu. Cepat-cepat dia menaruh Oey Sim Tit ke bawah, lalu menotok jalan darah Sin Tong Hiat dan jalan darah lainnya yang di punggung Oey Sim Tit dengan Kim Kong Sin Ci.

Perlahan-lahan Oey Sim Tit membuka matanya sambil mengeluarkan suara rintihan.

"Saudara Oey, kau telah terluka parah, jangan sembarangan bergerak!" kata Lu Leng.

Oey Sim Tit manggut-manggut. "Aku tahu, saudara Lu. Hidupku sudah tidak lama lagi."

Lu Leng berduka sekali mendengar itu. Oey Sim Tit adalah putra Liok Ci Khim Mo, namun entah sudah berapa kali dia menyelamatkan Lu Leng. Lagi-pula Lu Leng tahu bahwa hatinya amat baik. Kini melihat nyawanya sulit diselamatkan, bagaimana dia tidak berduka? Air mata Lu Leng sudah mengucur.

"Jangan omong sembarangan!" katanya.

Oey Sim Tit tersenyum getir. "Saudara Lu... aku membawa Tong Hong-tayhiap dan lainnya melanjutkan perjalanan. Tak diduga... bertemu musuh tangguh... bertarung mati-matian, aku tak sanggup melawan... mereka... mereka...."

"Saudara Oey, legakanlah hatimu! Tiada seorang pun menyalahkanmu. Siapa musuh tangguh itu?"

Oey Sim Tit membuka mulutnya ingin menyahut, namun cuma bibir yang bergerak. Dia tak mampu mengeluarkan suara, wajah pucat pias, ternyata dia telah pingsan. Lu Leng tertegun. Dia tahu apabila Oey Sim Tit siuman lagi, nyawanya pasti akan melayang. Lu Leng memperhatikan punggungnya, ternyata sudah mulai mengucurkan darah. Menyaksikan Oey Sim Tit sudah sekarat tapi tidak dapat berbuat apa pun, itu membuatnya berduka sekali.

Mendadak Lu Leng bangkit berdiri, lalu bertanya pada dirinya sendiri. Betulkah tidak dapat berbuat sesuatu? Berdasarkan hati nurani, betulkah tidak mampu berbuat apa pun? Kalau ingin menolong Oey Sim Tit, bukan tiada cara sama sekali. Amat gampang sekali, sebab jarak dari tempat itu ke istana Ci Cun Kiong hanya dua tiga puluh mil. Dia dapat menggunakan ilmu ginkang membawa Oey Sim Tit ke sana, sudah barang tentu nyawa Oey Sim Tit dapat diselamatkan, sebab Liok Ci Khim Mo menyimpan begitu banyak obat mujarab, tentunya dapat mengobatinya. Tapi kalau dia membawa Oey Sim Tit ke istana Ci Cun Kiong, sudah pasti harus menghadapi Liok Ci Khim Mo yang amat jahat itu. Dalam hati Lu Leng mulai muncul pertentangan, yakni antara pergi ke istana Ci Cun Kiong atau tidak.

Dia berpikir sejenak, kemudian bergumam, "Lu Leng, kalau kau takut menghadapi bahaya, janganlah menolongnya! Tapi... apakah kau adalah manusia?"

Usai bergumam, Lu Leng membopong Oey Sim Tit dengan hati-hati sekali, lalu melesat pergi mengerahkan ginkang-nya. Ketika berada di pintu gapura, hati Lu Leng pun berdebar-debar tegang. Kalau kini dia meninggalkan Oey Sim Tit, itu masih keburu. Namun wajahnya memerah seketika, sebab dirasanya apa yang dipikirkan itu merupakan perbuatan rendah sekali. Lu Leng berharap akan bertemu penjaga gapura itu, jadi bisa menyerahkan Oey Sim Tit kepada mereka.

Akan tetapi, ketika sampai di pintu gapura itu justru tiada seorang pun berada di sana. Dia terpaksa melesat ke dalam seraya berteriak-teriak, "Ada orang?! Cepat keluar!"

Seusai Lu Leng berteriak, terdengar suara berdesir dan tampak empat sosok bayangan berkelebat ke arahnya. Begitu melihat ada orang muncuI, bukan main girangnya Lu Leng!

"Putra Liok Ci Khim Mo terluka parah, aku mengantarnya ke mari! Kalian harus hati-hati membopongnya, jangan sampai terlambat!"

Mendengar teriakan Lu Leng itu, keempat orang tersebut saling memandang. Kemudian salah seorang dari mereka melangkah maju, tapi lalu mundur lagi. "Yang kau bopong itu memang tuan muda, tapi kau adalah Lu Leng. Kami mengenalmu!" katanya.

“Tidak salah, aku memang Lu Leng. Cepat bopong tuan muda kalian!" sahut Lu Leng.

Keempat orang itu tertawa gelak. "Hahaha! Kau anggap kami anak kecil?"

Lu Leng gusar sekali. "Apa maksud ucapan kalian?"

"Jelas kau yang melukai tuan muda. Tapi kau justru menghendaki kami mendekatimu, lalu kau akan menyerang kami dengan Kim Kong Sin Ci! Ya, kan?" sahut salah seorang dari mereka.

Lu Leng menarik nafas dingin. Dia tidak menyangka kalau keempat orang itu tidak mempercayainya. Mungkin Liok Ci Khim Mo akan salah paham, mengira dia yang melukai Oey Sim Tit. Seketika Lu Leng menjadi serba salah. Dia ingin menaruh Oey Sim Tit, namun hati nuraninya tidak mengizinkan, lagi-pula punggung Oey Sim Tit terus mengucurkan darah. Kalau ditaruhnya ke bawah, nyawa Oey Sim Tit pasti melayang.

Dia berkertak gigi seraya berkata dengan dingin, "Omong kosong! Kalau aku ingin melukai kalian amat gampang sekali, tidak perlu menggunakan akal busuk!"

Keempat orang itu saling memandang, kemudian bertanya serentak, "Kalau kau berniat baik, apakah berani menemui Liok Ci Khim Mo?"

"Kenapa tidak? Cepat tunjukkan jalan!" sahut Lu Leng.

Dua orang dari mereka langsung berkelebat menuju istana Ci Cun Kiong, namun Lu Leng berkata, "Salah seorang harus segera pergi melapor, lukanya amat parah! Kalau terlambat pasti celaka!"

Salah seorang langsung melesat pergi. Yang satu menunjuk jalan, Lu Leng mengikutinya dari belakang. Saat ini Lu Leng tidak berani melesat cepat, karena khawatir menambah parah luka Oey Sim Tit. Sebelum dia sampai di istana Ci Cun Kiong, telinganya sudah mendengar suara lonceng.

“Tang! Tang! Tang!”

Lu Leng menarik nafas dalam-dalam sambil terus berjalan. Tak lama kemudian dia sudah tiba di depan istana itu. Tampak begitu banyak obor sehingga tempat itu menjadi terang benderang. Liok Ci Khim Mo berdiri di situ dengan membawa harpa kuno Pat Liong Khim, wajahnya kelihatan gusar sekali. Di belakangnya berdiri puluhan orang berkepandaian tinggi.

Lu Leng berusaha menenangkan hati, lalu berseru lantang, "Liok Ci Khim Mo, putramu terluka parah. Cepat ambil obat mujarab untuk menolongnya!"

Liok Ci Khim Mo tidak menyahut, melainkan mengibaskan tangannya. Kemudian puluhan orang di belakangnya langsung mengepung Lu Leng, itu membuat Lu Leng gusar bukan main.

"Liok Ci Khim Mo! Putramu terluka parah begini, kau tidak mempedulikannya?!" bentaknya.

Liok Ci Khim Mo tertawa aneh. "Hehehe! Kau yang melukainya, masih ke mari berpura-pura menjadi orang baik? Cepat katakan sejujurnya!"

Lu Leng tertegun. Dia tidak menyangka kalau Liok Ci Khim Mo malah mencurigainya. Setelah berpikir sejenak, Lu Leng tersenyum getir seraya berkata, "Liok Ci Khim Mo, harap tolong dia dulu!"

Liok Ci Khim Mo melangkah maju sambil jari tangannya menyentuh tali senar harpa Pat Liong Khim.

"Kalau kau masih mengulur waktu, pasti terlambat!" kata Lu Leng.

Liok Ci Khim Mo menatap Lu Leng dengan tajam. "Ling Hong Cu!" serunya.

"Ya, hamba di sini!" sahut sescorang.

Tangan Liok Ci Khim Mo bergerak, lalu sebuah kotak kecil melayang ke arah orang itu. Ling Hong Cu menyambutnya dengan wajah tampak kebingungan.

"Kau majulah ke depan. Pil yang ada di dalam kotak kecil itu masukkanlah ke mulut tuan muda!" perintah Liok Ci Khim Mo.

Ling Hong Cu tertegun, sebab dia telah menyaksikan bagaimana kepandaian Lu Leng. Kalau dia ke depan, lalu mendadak Lu Leng menyerangnya dengan Kim Kong Sin Ci, bukankah dia akan binasa seketika? Berpikir sampai di situ, Ling Hong Cu tahu bahwa Liok Ci Khim Mo sendiri tidak berani maju karena takut kepada Lu Leng. Ling Hong Cu memegang kotak kecil itu dengan keringat dingin mulai mengucur ke luar dari keningnya.

Betapa gusarnya Liok Ci Khim Mo menyaksikan itu. "Ling Hong Cu, kau berani membangkang perintahku?!" bentaknya mengguntur.

Sekujur badan Ling Hong Cu bergetar. Menyaksikan itu Lu Leng amat gusar, tapi juga merasa geli. "Sobat Ling, cepat ke mari! Aku tidak akan melukaimu!"

Ling Hong Cu maju selangkah, kemudian bertanya, "Kau berani bersumpah?"

Lu Leng tertawa. "Haha! Kalau aku melukaimu, anggaplah aku binatang!"

Barulah Ling Hong Cu berlega hati, lalu melangkah lebar menghampiri Lu Leng yang membopong Oey Sim Tit. Ketika memasukkan obat ke mulut Oey Sim Tit, tangannya tampak gemetar. Ternyata dia masih takut kalau-kalau Lu Leng mendadak menyerangnya. Setelah memasukkan obat itu ke mulut Oey Sim Tit, dia cepat-cepat melejit ke belakang.

Lu Leng terus memperhatikan Oey Sim Tit, sama sekali tidak menghiraukan Liok Ci Khim Mo dan puluhan orang itu. Berselang sesaat wajah Oey Sim Tit yang pucat pias itu mulai berubah menjadi kemerah-merahan dan luka di punggungnya pun tidak mengucurkan darah lagi. Suasana di tempat itu hening sekali. Tiada seorang pun berani mengeluarkan suara. Saat ini barulah Lu Leng mulai memikirkan caranya meloloskan diri, maka dia mencuri pandang keadaan di sekitarnya.

Dirinya terkurung, maka kalau pun Liok Ci Khim Mo tidak berada di situ, sulit juga baginya meloloskan diri. Namun demikian dia masih mempunyai harapan. Lu Leng memandang Oey Sim Tit lagi. Napasnya sudah tidak memburu seperti tadi. Kelihatannya dia dalam keadaan tidur nyenyak, tidak tahu keadaan di sekitarnya. Lu Leng tahu bahwa obat yang dimasukkan ke mulut Oey Sim Tit tadi merupakan obat mujarab, maka nyawanya sudah tertolong. Namun kini persoalannya justru harus bagaimana cara meloloskan diri!

Setelah berpikir sejenak, dia mendongakkan kepala seraya berkata dengan tenang sekali kepada Liok Ci Khim Mo, "Luka putramu sudah tidak menjadi masalah!"

"Taruh dia ke bawah!" sahut Liok Ci Khim Mo dengan dingin.

Lu Leng tertawa dingin. "Setelah aku menaruh putramu ini ke bawah, lalu kau mau bagaimana?"

Air muka Liok Ci Khim Mo langsung berubah dan jari tangannya mulai bergerak. Lu Leng sudah menduga sebelumnya, maka sebelum Pat liong Khim berbunyi dia sudah menggenggam gagang belati itu. Liok Ci Khim Mo tertegun, sedangkan Lu Leng tertawa panjang.

"Hahaha! Liok Ci Khim Mo! Walau kau membunyikan Pat Liong Khim itu, aku masih punya waktu menekan belati ini ke dalam!"

Ketika jari tangan Liok Ci Khim Mo mulai bergerak, puluhan orang yang mengepung Lu Leng mulai berbisik-bisik. Lalu mendadak terjadi perubahan itu, mereka pun diam seketika.

"Aku mengantar putramu ini ke mari justru berniat baik! Kalau kau ingin mencelakaiku aku terpaksa mengadu nyawa! Bagaimana menurutmu?"

Wajah Liok Ci Khim Mo membesi, sama sekali tidak mengeluarkan suara.

"Cepat suruh mereka yang mengepung diriku mundur!"

Liok Ci Khim Mo tertegun, sedangkan hati Lu Leng berdebar-debar tegang. Tak seberapa lama kemudian tampak Liok Ci Khim Mo mengibaskan tangannya, dan seketika semua orang yang mengepung Lu Leng langsung mundur serentak. Saat itu Lu Leng mengambil keputusan, harus pergi dengan membawa Oey Sim Tit agar Liok Ci Khim Mo tidak membunyikan harpa Pat Liong Khim. Akan tetapi Liok Ci Khim Mo dan lainnya pasti mengejarnya. Saat itu kalau tidak mencelakai Oey Sim Tit, sudah pasti sulit baginya untuk meloloskan diri.

Lu Leng juga berpikir, dia akan menyuruh Liok Ci Khim Mo maju untuk menyambut Oey Sim Tit, lalu menyerangnya dengan Kim Kong Sin Ci. Dengan cara itu tentunya dia dapat merebut Pat Liong Khim. Tapi cara itu tidak bisa dilaksanakan, sebab Liok Ci Khim Mo pasti berjaga-jaga. Walau dia menyayangi putranya, tapi pasti mementingkan dirinya juga. Lu Leng tidak tahu harus bagaimana, justru mendadak Liok Ci Khim Mo membentak keras.

"Cepat taruh dia ke bawah!"

Lu Leng segera menghimpun hawa murninya, kemudian disalurkan pada jari tangannya. Sebelum Liok Ci Khim Mo usai berkata, mendadak tangannya bergerak. Ternyata Lu Leng mencabut belati yang menancap di punggung Oey Sim Tit, dan di saat bersamaan sebelah tangannya mendorong Oey Sim Tit dengan sepenuh tenaga ke arah Liok Ci Khim Mo. Setelah belati itu dicabut, punggung Oey Sim Tit mulai mengucurkan darah lagi.

Menyaksikan itu Liok Ci Khim Mo langsung menggeram, "Jahanam!"

Ketika Liok Ci Khim Mo baru mau membunyikan harpa Pat Liong Khim, justru badan Oey Sim Tit jatuh di hadapannya. Dia tidak tahu bagaimana keadaan putranya, maka membungkukkan badannya untuk melihat. Sesungguhnya itu yang diharapkan Lu Leng. Dia benar-benar menghendaki hal itu, namun Lu Leng sama sekali tidak mengetahui kalau Liok Ci Khim Mo akan berbuat itu atau tidak. Sebab setelah mendorong Oey Sim Tit ke depan, Lu Leng pun segera membalikkan badannya, dan secepat kilat melesat pergi.

Ketika dia baru melesat pergi, sudah ada orang berkelebat menghadangnya. Lu Leng tidak berhenti. Dia terus mengayunkan belati di tangannya menyerang ke depan, sehingga setiap orang yang menghadang langsung roboh tanpa menjerit lagi. Tidak cukup hanya dengan senjatanya, Lu Leng juga melancarkan serangan dengan tangan kiri secara cepat sekali. Dia mengerahkan jurus Thian Te Kun Tun (Langit Bumi Kacau Balau) dan jurus Hong Mong Coh Khai (Turun Hujan Gerimis).

Namun kemudian di hadapan Lu Leng bermunculan pula lima orang yang semuanya merupakan kaum golongan hitam berkepandaian tinggi. Maka tanpa membuang-buang waktu Lu Leng terus menyerang dengan Kim Kong Sin Ci. Sejurus demi sejurus dilancarkannya, semakin lama justru semakin hebat dan dahsyat. Angin telunjuk menyambar ke sana ke mari mengeluarkan suara menderu-deru yang amat dahsyat.

Dua orang di hadapan Lu Leng secepat kilat bergerak mengelak, namun yang terlambat sekejap saja roboh seketika dan menjerit-jerit. Salah seorang terpental deras dan melayang, lalu roboh tak mampu bangkit lagi. Kejadian itu hanya berlangsung singkat. Sementara tanpa mempedulikan mereka Lu Leng terus saja menyerang sambil melesat pergi!

Sementara Liok Ci Khim Mo masih membungkukkan badannya memeriksa Oey Sim Tit. Dia menarik nafas lega. Walau luka di punggung mengucurkan darah, tapi tidak membahayakan nyawa putranya. Ketika dia berdiri, Lu Leng sudah melesat pergi sekitar dua puluh depa. Dengan gusar Liok Ci Khim Mo langsung memetik tali senar harpa Pat Liong Khim. Dia tahu Lu Leng sudah jauh, namun sepertinya dia tidak peduli, tetap mengerahkan ilmunya memetik harpa itu. Maka begitu tali-tali senarnya bergetar terdengarlah suara bagai geledek di udara, dahsyat dan seakan mampu menggetarkan muka bumi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar