S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Akuwu yang merasa gelisah itu pun sebetulnya ingin pula lekas-lekas dapat mengatakan persoalannya. Tetapi kata-kata itu seakan-akan tersangkut di kerongkongannya.
Sedang Mahisa Agni telah bertekad untuk tidak akan mengatakan lebih dahulu apakah sebabnya ia menghadap. Bila Akuwu itu sekali lagi bertanya maka ia sudah menyediakan jawabnya, bahwa ia hanyalah sekedar dipanggil.
Namun akhirnya Akuwu Tunggul Ametung itu pun menyadari bahwa lambat atau cepat ia harus mengatakannya. Ia menyesal bahwa ia tidak memanggil beberapa orang tua untuk menghadap dan dapat menyampaikan maksudnya tanpa kesulitan apa-apa. Tetapi semalam pikirannya tak sempat meloncat sampai sejauh itu. Ia demikian tergesa-gesa dan berdebar-debar.
Lambat laun maka Akuwu Tunggul Ametung itu mampu menguasai perasaannya. Lambat laun hatinya menjadi tenang. Sehingga akhirnya, meskipun tidak teratur dan hampir tak terdengar ia berkata, “Agni. Aku kira kau sudah tahu maksudku, kenapa aku berkeras memanggilmu. Kalau aku bukan Akuwu Agni, mungkin aku tidak berkeberatan untuk datang kepadamu sebagai lazimnya laki-laki menginginkan seorang isteri. Sayang aku adalah seorang Akuwu yang terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tak kalah erat seperti ikatan adat itu sendiri.” Tunggul Ametung berhenti sejenak untuk menelan ludahnya. Terasa kerongkongannya menjadi kering. Dan tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung menjadi haus sekali. Namun ia kemudian berkata pula, “Sekarang kau sudah datang memenuhi panggilanku meskipun harus dilakukan berulang kali. Tetapi tak apalah. Yang penting kau dapat mendengar dari mulutku, bahwa aku ingin mengambil Ken Dedes, adikmu untuk menjadi permaisuriku.”
Mahisa Agni mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu seperti ia mendengarkan keputusan hukuman gantung untuk dirinya. Betapa ia berusaha menekan perasaannya, bahkan betapa ia berjuang untuk menindasnya, namun detak jantungnya menjadi semakin keras. Tak dapat lagi ia kini memungkiri perasaannya itu. Ia harus melepaskan dan menyerahkan kepada orang lain, apa yang diinginkannya untuk dirinya sendiri.
Sesaat Mahisa Agni duduk mematung. Kepalanya dalam-dalam terhunjam seakan-akan ingin dilihatnya pusar bumi. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir seperti saling berebutan ingin meloncat keluar dari rongga dadanya yang panas.
Akuwu Tunggul Ametung, Ken Dedes dan pemomongnya melihat perubahan yang terjadi dalam diri Mahisa Agni itu. Tetapi tanggapan mereka berbeda-beda.
Tunggul Ametung sudah merasa melepaskan semua yang menyumbat dadanya dengan cara yang dianggapnya sebaik-baiknya. Karena itu ia mengharap bahwa gejolak di dalam dada Mahisa Agni adalah gejolak perasaan seorang kakak yang berbahagia karena adiknya menemukan kebahagiaannya. Meskipun Tunggul Ametung menduga pula bahwa pasti ada sesuatu perasaan yang masih belum dapat diatasi oleh Mahisa Agni. Pasti ada sesuatu yang kurang menyenangkan kakak gadis itu, ternyata dengan beberapa kali ia menolak panggilannya. Tetapi kini Tunggul Ametung itu merasa telah menyampaikan dengan sebaik yang dapat dilakukannya.
“Mudah-mudahan perasaan anak muda itu sedang berkisar ke arah yang aku harapkan,“ desis Akuwu Tunggul Ametung di dalam hatinya. Namun kadang-kadang timbul pula sifat-sifatnya yang sekeras batu,” katanya di dalam hati itu pula, “Supaya aku tidak perlu mempergunakan kekuasaanku atasnya.”
Sedang Ken Dedes sendiri terkejut mendengar kata-kata Akuwu yang sama sekali tidak diduganya. Ternyata Akuwu yang terlalu menuruti perasaan sendiri itu, mampu menguasai diri sehingga kali ini ia telah bersedia merendahkan dirinya dalam batas kemungkinan yang dapat dilakukan. Karena itu, ketika Ken Dedes mendengar cara Akuwu Tunggul Ametung menyampaikan maksudnya, meskipun katanya tidak tersusun sebaik-baiknya, namun isi dari kata-kata itu telah membuatnya terharu. Tetapi dalam pada itu, kegelisahannya tiba-tiba memuncak ketika ia melihat bagaimana Mahisa Agni sama sekali masih belum menjawab permintaan Akuwu Tunggul Ametung itu. Ia melihat Mahisa Agni menundukkan kepalanya dalam-dalam, tetapi beberapa kali Mahisa Agni menggeser diri seolah-olah ia duduk diatas bara api. Yang mula-mula terungkat di dalam perasaan Ken Dedes adalah kejengkelannya kepada kakaknya itu. Ia menganggap bahwa Mahisa Agni masih belum dapat melepaskan harga dirinya yang berlebih-lebihan. Sikap Akuwu yang lunak dan merendahkan diri itu, pasti dianggapnya suatu kekalahan dari Akuwu Tunggul Ametung yang akan mendorong Mahisa Agni untuk menjadi lebih membanggakan diri. Mahisa Agni pasti menganggap bahwa akhirnya Akuwu itu harus datang untuk menyembahnya memohon agar ia diperkenankan memperisteri adiknya.
“Tidak,“ berkata Ken Dedes di dalam hatinya, “sekarang aku telah melihat sendiri, betapa kakang Mahisa Agni mempunyai sikap yang tidak aku sukai. Ia sama sekali tidak mencerminkan watak ayah yang juga menjadi gurunya. Kakang Mahisa Agni ternyata terlalu sombong, terlalu menilai dirinya terlampau tinggi dan berharga, seolah-olah ia benar-benar berhak menerima penghormatan yang berlebih-lebihan karena aku, karena Akuwu akan mengambil aku tidak segera menyadari dirinya, maka aku akan mengatakan kepada Akuwu Tunggul Ametung bahwa kakang Mahisa Agni, kakak angkatku itu sama sekali bukan orang yang cukup penting untuk menentukan sikap. Bahkan apabila ia menjadi terlampau sombong, biarlah ia diabaikan saja. Tidak dengan Mahisa Agni semuanya akan dapat berlangsung.
Tetapi Mahisa Agni masih juga belum menjawab. Ia harus mengulangi keadaannya yang pedih seperti pada saat ia harus menyampaikan persoalan yang serupa kepada Wiraprana. Namun karena kini ia harus berhadapan dengan orang yang tidak seimbang dalam segenap seginya, terasa dirinya menjadi semakin kecil dan tidak berarti apa-apa.
Ruang paseban dalam yang sepi menjadi bertambah sepi. Mahisa Agni masih belum mengucapkan sepatah katapun. Bahkan keringat dingin mengalir memenuhi tubuhnya.
Dalam pada itu, emban tua, pemomong Ken Dedes itu pun menjadi semakin gelisah pula. Hanya perempuan tua itulah yang dapat meraba perasaan Mahisa Agni mendekati kebenaran. Ia melihat betapa hati anak itu tergores kembali pada lukanya yang lama. Luka yang sudah hampir tidak terasa pedihnya, kini tiba-tiba luka itu kembali menyakitinya.
Tetapi emban tua itu tidak dapat melihat segalanya akan berkembang semakin buruk. Ia tidak ingin melihat semuanya akan menjadi korban keadaan yang sama-sama tidak dikehendaki. Karena itu, maka tiba-tiba terdengar emban itu berdesah. Bukan saja berdesah, tetapi perempuan tua itu tidak dapat menahan perasaannya pula, sehingga tiba-tiba ia menangis terisak-isak.
Tangis itu mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Dengan serta-merta semuanya berpaling ke arah perempuan tua yang kini menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Bibi,“ terdengar Ken Dedes bertanya dalam kecemasan, “kenapa kau menangis bibi?”
Perempuan itu mencoba mengusap air matanya dan menahan isaknya. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya Ken Dedes berkisar mendekatinya, sedang Mahisa Agni memandanginya dengan penuh kecemasan pula.
Tetapi kemudian mereka melihat perempuan tua itu menggelengkan kepalanya. Dicobanya untuk tersenyum dan menjawab, “Hamba tidak apa-apa tuan puteri.”
“Tetapi kenapa kau menangis?”
“Hamba menangis karena kebahagiaan yang mendesak di dalam hati hamba,“ sahut perempuan tua itu.
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Mahisa Agni pun memandanginya dengan pertanyaan yang bergolak di dalam rongga dadanya. Sedang Akuwu Tunggul Ametung duduk di tempatnya seperti patung.
“Hamba tidak dapat menahan rasa haru,“ berkata perempuan tua itu pula, “hamba melihat bahwa kedua momonganku disini berada dalam keadaan yang tak pernah dapat dibayangkan sebelumnya. Tuan puteri akan menjadi seorang permaisuri, sedang angger Mahisa Agni akan menemukan dirinya sebagai seorang saudara tua yang melepas adiknya dalam kebahagiaan. Bukankah dengan demikian angger Mahisa Agni sendiri akan menemukan kebahagiaan itu pula, ia akan melihat salah seorang dari tunas di dalam keluarganya, mekar berkembang dalam taman yang indah. Dijagai oleh seorang juru taman yang perkasa dan bijaksana.“ emban tua itu berhenti sejenak. Raut mukanya yang berkeriput itu masih dibasahi oleh air matanya yang menetes satu-satu.
Ken Dedes tidak menyahut. Ia tertunduk pula dengan rasa haru yang mendalam. Namun perasaan kecewanya terhadap Mahisa Agni masih saja selalu mengganggunya.
Namun kata-kata emban tua itu bagi Mahisa Agni terasa seolah-olah sebuah sentuhan yang tajam pada luka di hatinya. Karena itu, maka terasa dadanya menjadi nyeri bukan buatan. Ia tahu benar maksud kata-kata perempuan tua itu. Perempuan tua yang tidak lain adalah ibunya. Ibunya yang pasti akan berkata kepadanya, “Agni, berbuatlah sebaiknya. Jangan kau ingat kepentingan yang mencengkam dirimu sendiri.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pengorbanan yang diberikannya terasa terlampau berat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Apalagi setelah ia mendengar ibunya mengucapkan kata-katanya yang diketahuinya benar, bahwa kata-kata itu diucapkan kepadanya sebagai suatu permintaan untuk melepaskan Ken Dedes dengan dada yang lapang. Tetapi dadanya tidak selapang seperti yang dikehendakinya.
Namun demikian, dalam keheningan yang semakin mencengkam, Mahisa Agni bergeser setapak. Sekali ia menelan ludahnya, kemudian dengan tangannya ia mengusap lehernya yang seolah-olah tersumbat. Perlahan-lahan terdengar suaranya parau dalam nada yang rendah, “Akuwu,“ katanya, “tiada yang dapat hamba sampaikan, kecuali perasaan bahagia yang setinggi-tingginya, bahwa Akuwu telah berkenan memungut adik hamba yang hina, anak padesan yang tidak berharga, untuk tinggal di dalam istana. Bahkan bukan sebagai hamba sahaya, tetapi untuk menjadi seorang permaisuri,“ kata Mahisa Agni terputus oleh gejolak di dalam dadanya. Dicobanya untuk menekan perasaannya sedalam-dalamnya. Baru sesaat kemudian ia mampu meneruskan, “Karenanya maka tiada lain yang dapat hamba lakukan, kecuali menyerahkannya dengan kedua belah tangan.”
Bukan main pengaruh kata-kata yang meluncur dari mulutnya itu. Pengaruh atas orang-orang yang mendengarnya. Ken Dedes hampir tidak percaya atas pendengarannya. Namun ketika disadarinya bahwa Mahisa Agni benar-benar telah menyerahkannya kepada Akuwu Tunggul Ametung, maka meledaklah kegembiraan dan harunya, sehingga tiba-tiba ia menangis terisak-isak, seperti embannya yang menangis pula. Namun apa yang bergolak di dalam hati emban itu adalah sangat berbeda dengan kelegaan dan keharuan yang bergolak di dalam hati Ken Dedes. Keharuan di dalam hati emban tua itu terdorong oleh keikhlasan Mahisa Agni mengucapkan kata-katanya yang diketahuinya dengan pasti, bahwa setiap kata yang diucapkan oleh Mahisa Agni itu sama tajamnya seperti ujung-ujung tombak yang menusuk menghunjam ke jantung sendiri. Tetapi Mahisa Agni telah mengucapkannya.
Dalam pada itu, Akuwu Tunggul Ametung pun menjadi bergembira sekali. Meskipun dengan cara apapun ia pasti akan dapat memiliki Ken Dedes, namun cara yang dipakainya kini adalah cara yang sebaik-baiknya. Cara yang masih dapat menolong namanya dari berbagai sebutan yang kurang menyenangkan.
Demikian gembiranya maka Akuwu itu pun dengan serta merta berkata, “Bagus. Aku sangat berterima kasih padamu, Agni. Sebagai tanda terima kasihku, maka aku akan menyediakan jabatan yang pantas untukmu di dalam istanaku. Aku telah melihat bagaimana kau mampu bertempur melawan Ken Arok. Karena itu aku dapat memberimu jabatan yang sesuai dengan kemampuanmu itu.”
Ken Dedes yang bergembira itu menjadi semakin bergembira. Dengan demikian, maka Mahisa Agni akan mendapat kesempatan pula untuk kenikmatan hidup yang baik di dalam istana. Apalagi dengan demikian, anak muda itu tidak terpisah dari padanya seperti pada masa kanak-kanak mereka.
“Agni,“ berkata Akuwu Tunggul Ametung kemudian, “Aku dapat menjadikan kau seorang prajurit. Kau tinggal melatih diri dalam beberapa segi, terutama dalam hal tata tertib dan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh setiap prajurit. Kau akan dapat menjadi seorang prajurit pengawal istana yang baik di dalam lingkungan pimpinan Witantra. Kau akan mendapat tugas khusus dari padanya, sebagai pimpinan pengawal permaisuri. Bukankah jabatan itu akan menyenangkan kau dan adikmu?”
Kegembiraan di hati Ken Dedes kini telah memuncak. Dengan serta merta ia menjawab, “Terima kasih Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Dengan demikian maka kakak hamba akan selalu berada didekat hamba seperti pada masa-masa yang lampau, pada masa kami tinggal bersama-sama di padepokan.”
Tetapi kegembiraan mereka itu pun kemudian terganggu ketika mereka melihat wajah Mahisa Agni yang masih saja tertunduk dalam-dalam. Tawaran Akuwu Tunggul Ametung itu menyentuh juga jantung Mahisa Agni. Namun secepat itu pula tumbuhlah berbagai pertimbangan yang memberati hatinya. Di dalam lingkungan prajurit pengawal itu ada seorang anak muda yang sama sekali tidak menyenangkan baginya. Anak muda itu bernama Kebo Ijo yang justru adalah adik seperguruan Witantra. Kecuali daripada itu ia masih mempunyai kewajiban yang tidak akan dapat ditinggalkan. Ia tidak tahu, berapa hari, berapa minggu bahkan berapa bulan bendungannya akan selesai. Ia tidak dapat mengingkari tanggung jawabnya hanya karena ia telah mendapat kedudukan yang baik.
“Aku harus selalu berada diantara mereka,“ berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “kedudukan ini harus tidak menggeser tanggung jawabku.”
Namun jauh di dalam lubuk hatinya, tersembunyi alasan yang jauh lebih tajam dari segala alasan itu. Mahisa Agni tidak akan dapat tinggal di dalam istana itu, melihat setiap hari Ken Dedes yang menjadi seorang permaisuri. Ia tidak yakin, apakah hatinya akan dapat dikendalikannya? Meskipun ia selalu memaksa dirinya memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menemukan kebahagiaan lahir dan batin, namun sebagai manusia maka Mahisa Agni menyadari dirinya, bahwa suatu ketika ia akan dapat menjadi khilaf dan berbuat kesalahan. Itulah sebabnya maka ia harus mempertimbangkan tawaran Akuwu Tunggul Ametung itu masak-masak.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka terdengar Akuwu Tunggul Ametung bertanya, “Bagaimana Agni? Apakah kau tidak bergembira mendengar kesempatan yang aku berikan kepadamu?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Tanpa disengaja ia berpaling, dipandanginya wajah emban tua yang duduk di belakang. Kemudian pandangannya itu berkesan kepada Ken Dedes yang wajahnya seolah-olah kini tersaput oleh keragu-raguan atas sikapnya.
Tetapi wajah Ken Dedes itu bahkan telah meyakinkan bahwa ia tidak akan dapat tinggal di istana bersama-sama dengan Ken Dedes yang akan menjadi permaisuri Akuwu Tunggul Ametung, Karena itu, maka dengan nada datar Mahisa Agni menjawab, “Tuanku. Anugerah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung yang tidak hamba sangka-sangka itu benar-benar telah menggetarkan hati hamba. Hamba menjadi amat gembira dan berterima kasih karenanya. Tetapi Tuanku, mungkin Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengetahuinya, bahwa kini hamba sedang disibukkan oleh suatu tugas yang tidak dapat hamba tinggalkan.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Terasa bahwa ia menjadi kecewa karenanya. Akuwu itu mengharap bahwa Mahisa Agni akan terkejut dan dengan gemetar menyatakan kegembiraan hatinya. Ia mengharap Mahisa Agni dengan serta merta akan menerima jabatan yang diberikannya itu. Bahkan Mahisa Agni akan mengucapkan beribu-ribu terima kasih yang tidak henti-hentinya. Sebagai seorang anak padesan, maka kedudukan yang sedemikian baiknya itu pasti akan membuatnya berangan-angan. Tetapi Mahisa Agni tidak berbuat demikian. Mahisa Agni itu mendengar segala katanya itu dengan hati yang dingin dan dengan wajah yang tidak berkesan apapun meskipun mulutnya mengucap terima kasih dan bergembira karenanya.
Apalagi kemudian, jawab anak muda itu menjadikan dada Akuwu Tunggul Ametung berdebar-debar. Anugerah pangkat itu masih juga diperbandingkan dengan kuwajiban yang lain.
Yang tidak kalah kecewa daripada Akuwu Tunggul Ametung adalah Ken Dedes. Segera ia mengetahui maksud Mahisa Agni tentang kuwajiban yang dikatakannya itu. Sehingga hampir tanpa disadarinya gadis itu berkata mendahului Akuwu Tunggul Ametung, “Kakang, agaknya akan selalu terikat dengan pekerjaan itu. Bukankah tugas yang kau maksud adalah bendungan itu. Setiap kali kau menyebutnya. Setiap kali kau mengatakan, bahwa kau terikat pada bendungan itu. Sekarang, pada saat kakang menerima anugerah yang tidak disangka-sangka dari Akuwu Tunggul Ametung, kakang telah memperbandingkannya pula dengan pekerjaan kakang untuk bendungan itu pula. Kakang, sebenarnya alasan-alasan yang pernah kakang katakan itu sangat menjemukan.“
Ken Dedes itu pun tiba-tiba terdiam ketika ia melihat Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap lehernya yang menjadi panas. Bahkan Ken Dedes itu pun kemudan merasa bahwa ia telah terdorong terlampau jauh oleh kekecewaan yang bergelora di dalam dadanya.
Namun Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia masih menunggu apakah masih ada lagi kata-kata yang akan diucapkan oleh Ken Dedes. Tetapi Ken Dedes itu pun kemudian menundukkan wajahnya pula sambil bergumam lirih, “Maafkan hamba Tuanku Akuwu.”
Akuwu Tunggul Ametung itu mengerutkan keningnya. Betapa ia menjadi kecewa namun ia masih bertanya, “Benarkah yang kau maksud dengan tugas yang tak dapat kau tinggalkan itu adalah bendungan itu?”
Mendengar pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu hati Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak ingin mengingkari tugas yang telah dibebankannya sendiri diatas pundaknya. Sehingga karena itu maka kemudian ia menjawab lirih sambil menundukkan wajahnya, “Ya Tuanku. Tugas hamba adalah menyelesaikan bendungan itu.”
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Terdengar kemudian ia bertanya kembali, “Apakah pamrihmu Agni, bahwa kau lebih mementingkan bendungan itu daripada jabatan yang aku berikan?”
Kini Mahisa Agni tidak dapat mengelak lagi. Ia harus mengatakan menurut kata hatinya. Ia akan membuka dadanya tanpa selembar aling-aling. Sambil menengadahkan wajahnya Mahisa Agni itu pun kemudian menjawab, “Tuanku. Seperti yang hamba katakan, hamba menjadi sangat bergembira dan berterima kasih atas anugerah jabatan yang tiada hamba sangka-sangka. Tetapi Tuanku, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya, bahwa hamba pada saat ini belum dapat menerima anugerah itu, sebab hamba masih terikat oleh tanggung jawab atas bendungan itu. Dengan jabatan yang Tuanku anugerahkan itu, mungkin hamba akan dapat hidup senang tanpa memikirkan lagi kesulitan seperti yang sedang dialami oleh rakyat Panawijen. Hamba tidak lagi harus menunggu air di selokan dan hamba tidak lagi harus berprihatin apabila sawah-sawah menjadi kering. Tetapi Tuanku, maafkan hamba, bahwa hati hamba tidak sampai untuk melakukannya. Sejak kecil hamba hidup dalam satu lingkungan suka dan duka bersama-sama rakyat Panawijen. Itulah sebabnya hamba masih mohon waktu untuk menerima anugerah Tuanku. Hamba ingin berada diantara rakyat Panawijen yang kini sedang menderita kekeringan. Hamba ingin ikut merasakan, betapa kami harus memeras keringat kami untuk masa depan pedukuhan kami. Apabila semua telah selesai, apabila rakyat Panawijen telah hidup dalam keadaan yang baik, maka hamba akan menghadap Tuanku kembali. Jangankah sebuah jabatan yang tidak hamba impikan itu, bahkan menjadi juru taman atau juru pekatik pun akan hamba lakukan.”
Yang mendengar kata-kata Mahisa Agni itu pun tertegun diam. Kata-kata itu benar-benar telah menyentuh hati mereka. Akuwu pun sejenak tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Dipandanginya wajah Mahisa Agni yang memancarkan kebulatan tekadnya, bahwa ia telah menyerahkan seluruh dirinya kepada pekerjaan yang berat itu.
Namun Ken Dedes, yang betapa ia sendiri merasa dihadapkan pada sebuah cermin, tetapi ia merasa cemas, bahwa Akuwu Tunggul Ametung tidak akan senang mendengar jawaban Mahisa Agni itu. Meskipun kini Ken Dedes tidak lagi dapat berteriak memaki-maki Mahisa Agni, tetapi justru ia mencemaskan nasib Mahisa Agni, apabila Akuwu Tunggul Ametung merasa terhina karenanya.
Tetapi Akuwu Tunggui Ametung dapat mengerti pendirian Mahisa Agni, ternyata dengan jawabannya, “Mahisa Agni. Aku berbangga. Aku berbangga mendengar pendirianmu. Satu dari seratus pasti akan menerima anugerah itu tanpa memikirkan orang lain. Tetapi kau berpendapat lain. Kau masih mementingkan kepentingan bersama dari kepentinganmu itu adalah suatu sikap yang jarang terjadi pada saat ini. Pada saat setiap orang menginginkan gelar duniawi. Karena itu Mahisa Agni, aku mengucapkan selamat atas pendirianmu itu, mudah-mudahan bendunganmu akan segera dapat kau selesaikan.”
Jawaban Akuwu itu pun sama sekali tidak disangka oleh Mahisa Agni dan oleh Ken Dedes pula. Karena itu, sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam Mahisa Agni menyahut, “Tiada anugerah yang lebih membahagiakan hamba tuanku, selain pengertian Tuanku tentang diri hamba.”
“Mudah-mudahan pendirianmu itu akan tetap teguh sehingga orang-orang Panawijen yang lain pun akan berpendirian seteguh pendirianmu. Kemakmuran Panawijen adalah sebagian dari kemakmuran Tumapel.”
Betapa besar hati Mahisa Agni menerima pujian itu. Bukan karena ia mendapat penghargaan, tetapi bahwa Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti sepenuhnya tentang dirinya. Bahkan dengan hati yang berdebar-debar ia mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata, “Mahisa Agni. Sepeninggalmu aku akan memerintahkan beberapa orang untuk menyusulmu. Aku akan mengirimkan sekelompok prajurit. Aku akan menyuruh seorang pelayan dalam yang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya menyusulmu. Orang itu adalah Ken Arok. Ia akan membawa duapuluh lima pedati yang ditarik oleh duapuluh lima pasang kerbau, alat-alat lain yang kau perlukan, duapuluh waluku dengan duapuluh pasang lembu untuk melunakkan tanah yang akan digali menjadi parit-parit dan keperluan-keperluan yang dapat aku berikan.”
Dada Mahisa Agni terasa hampir meledak mendengar janji itu. Meledak karena kegembiraan yang mendesak. Dengan serta-merta ia membungkuk lebih dalam lagi sambil menjawab dengan suara parau, “Tuanku, betapa besar terima kasih yang hamba sampaikan. Hamba tidak tahu, bagaimana hamba akan mengatakannya.“
Mahisa Agni terdiam sesaat untuk menelan ludahnya. Terasa tenggorokannya menjadi seolah-olah tersumbat. Namun dipaksanya juga ia berkata, “Hamba beserta seluruh rakyat Panawijen akan menanti kedatangan anugerah dan kemurahan Tuanku itu dengan sepenuh hati.”
Kini Mahisa Agni merasa, bahwa pengorbanannya tidak lagi sia-sia. Ia telah meremas jantungnya sendiri pada saat ia menyerahkan Ken Dedes itu kepada Akuwu karena persoalan-persoalan yang berlaga di dalam dadanya. Namun tanpa diharapkannya, ia mendapatkan sesuatu yang sangat berharga tidak saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh rakyat Panawijen. Duapuluh lima pedati yang ditarik oleh duapuluh lima pasang kerbau. Duapuluh waluku dengan dua puluh pasang lembu. Bukan main. Seluruh Panawijen tidak memiliki perlengkapan sebanyak itu. Ia hanya mampu mengumpulkan empat pedati untuk mengangkut batu-batu dan keperluan-keperluan lain di samping dua belas waluku. Namun kini ia akan mendapat tambahan duapuluh lima pedati kerbau dan duapuluh waluku.
Justru karena itulah maka Mahisa Agni kemudian menjadi tergesa-gesa untuk kembali. Ia ingin segera menyampaikan kabar yang menggembirakan itu kepada kawan-kawannya.
Dengan wajah yang berseri karena kegembiraan Mahisa Agni berkata, “Tuanku, biarlah hamba mohon ijin untuk kembali ke Panawijen. Anugerah tuanku itu pasti akan menambah gairah bagi rakyat. Mudah-mudahan bendungan itu akan lekas selesai.”
“Jangan sekarang,“ jawab Akuwu, “kau harus tinggal di dalam istana ini sedikitnya sepekan. Aku ingin menjamumu supaya kau mendapat kesan yang menyenangkan selama kau berada di dalam istanaku.”
“Terima kasih tuanku, terima kasih,“ sahut Mahisa Agni.
Anak muda itu telah melupakan kepedihan luka di hati sendiri. Yang menguasai jantungnya kini hanyalah pedati, alat-alat dan apapun yang akan sangat berguna bagi bendungannya, “Hamba ingin lekas berada diantara rakyat Panawijen kembali.”
Tunggul Ametung tertawa. Katanya, “Bagus. Tetapi aku tidak memberimu ijin sekarang. Tinggallah di dalam istanaku sehari dua hari kalau kau tidak mau tinggal selama sepekan.”
Mahisa Agni akhirnya tidak dapat menolak permintaan Akuwu Tunggul Ametung. Betapa ia ingin segera pulang kembali, namun ia memenuhi juga permintaan itu untuk tinggal dua hari di istana Tumapel.
Namun betapa makanan yang lezat-lezat ditelannya, tetapi ia lebih senang segera berada diantara kawan-kawannya. Meskipun demikian, ia tidak mau mengecewakan Akuwu dan Ken Dedes. Dimakannya setiap hidangan yang diberikan kepadanya dengan wajah yang terang, meskipun sekali-sekali terasa juga seolah-olah jantungnya tertusuk duri. Tetapi dalam waktu yang pendek itu, ia tahu benar, betapa Akuwu Tunggul Ametung menghargai Ken Dedes benar-benar sebagai seorang gadis yang pantas untuk menjadi permaisurinya. Karena itu, maka ia mengharap bahwa Ken Dedes akan benar-benar menemukan kebahagiaan di hari-hari depannya.
Namun akhirnya Mahisa Agni mohon diri pula kepada Akuwu Tanggul Ametung. Waktu yang hanya dua hari itu terasa sudah terlampau lama. Bendungan yang ditinggalkannya seakan-akan selalu memanggil-manggilnya untuk segera kembali ke Padang Karautan yang panas terik di siang hari dan dingin yang menggigit tulang belulang dimalam hari. Tetapi ia lebih senang tinggal dipadang itu dari pada di dalam istana.
“Aku kira kau telah memilih jalan yang benar, Agni,“ bisik emban tua kepada anak muda itu, ketika Agni akan meninggalkan istana Tumapel.
“Aku mohon restu ibu, mudah-mudahan aku dapat berhasil membangun padukuhan yang tidak kalah suburnya dengan Panawijen,“ sahut Mahisa Agni.
“Kalau kau bekerja dengan sungguh-sungguh ngger, serta tanpa kendat mohon tuntunan kepada Yang Maha Agung, maka pekerjaanmu pasti akan direstui-Nya.”
Pesan itu merupakan bekal yang tidak kalah pentingnya dengan dua puluh lima pedati dan duapuluh waluku. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Agni akan mencoba memenuhinya. Sebab segala sesuatu, usaha yang dilakukan oleh manusia, maka akhirnya Yang Maha Agung lah yang akan menentukan. Namun Yang Maha Agung akan mendengarkan, menyaksikan dan memenuhi permohonan manusia yang dengan sungguh-sungguh berjalan sepanjang jalan yang dikehendaki-Nya.
Demikianlah maka akhirnya Mahisa Agni meninggalkan istana Tumapel. Ken Dedes kini tidak lagi kecewa terhadapnya, bahkan terasa kebanggaan menjalari dadanya pula. Setidak-tidaknya satu dari keluarganya telah ikut membina padukuhan baru yang akan dapat menampung seluruh penghidupan dan kehidupan Panawijen yang kini telah menjadi kering.
Mahisa Agni sendiri tidak menyadari, bahwa ia telah memacu kudanya terlampau cepat. Ia merasa begitu tergesa-gesa, seolah-olah hari-harinya yang akan datang akan menjadi terlampau pendek.
“Aku akan singgah ke Panawijen dahulu,“ katanya di dalam hati, “mungkin ada beberapa hal yang perlu aku pesankan kepada para cantrik di padepokan atau kepada orang-orang tua yang menunggui desa. Mungkin pedati-pedati dari Tumapel akan lebih dahulu singgah di Panawijen, sebab aku lupa berpesan, supaya pedati-pedati itu langsung saja dikirim ke Padang Karautan.”
Dalam pada itu, di bagian lain dari ujung wilayah pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, Empu Sada dan kedua muridnya berjalan tergesa-gesa ke Kemundungan. Mereka telah berpesan agar beberapa orang murid-muridnya dan murid-murid orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo menyingkir sejenak dari padepokan Empu Sada, sebab mungkin Witantra akan berbuat sesuatu atas mereka dengan sepasukan prajurit dalam jumlah yang besar. Mereka harus bersembunyi di tempat-tempat yang tidak begitu dikenal untuk sementara.
Sementara itu Empu Sada dan kedua muridnya langsung mencari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bagi Kuda Sempana perjalanan itu seakan-akan terasa terlampau lama.
“Apakah kita masih harus bermalam lagi guru?” bertanya Kuda Sempana.
“Tidak,“ sahut gurunya, “kita cukup bermalam di perjalanan satu malam. Hari ini kita akan sampai meskipun menjelang senja.”
Kuda Sempana tidak bertanya lagi. Mereka berjalan semakin cepat, seolah-olah mereka takut terlambat.
Di sepanjang jalan, kadang-kadang Empu Sada sempat juga bertanya-tanya di dalam hatinya, apakah yang telah mendorongnya berjalan demikian jauhnya mencari orang-orang yang hampir tak dapat diajak bergaul menurut adab yang berlaku? ”Hem,“ desisnya. Ia mulai ragu-ragu sendiri, “apakah aku akan dapat mempergunakannya? Mereka berdua adalah orang-orang yang liar, sebenarnya liar. Mudah-mudahan aku akan mampu mengendalikannya.”
Tetapi orang tua itu tidak mengatakannya kepada muridnya. Meskipun Kuda Sempana kadang-kadang melihat keragu-raguan itu, namun ternyata gurunya masih juga melangkahkan kakinya menuju ke desa Kemundungan. Tongkatnya yang panjang di tanah yang berdebu.
Bagi Kuda Sempana meragukan gurunya itu telah benar-benar mengecewakan. Ia tahu benar sifat gurunya. Gurunya hanya mau berbuat sesuatu apabila ada pamrih yang dapat memberinya keuntungan. Karena itu, maka berkali-kali ia menjanjikan kepada gurunya, bahwa apabila ada keuntungan yang akan didapatnya berupa benda-benda maka ia sama sekali tidak menginginkannya.
“Apakah yang akan aku dapatkan dari bendungan itu apabila kita kelak akan merusak bendungan dan membunuh Mahisa Agni?” suatu kali Empu Sada bertanya.
Kuda Sempana tidak dapat menjawab. Memang ia tidak melihat keuntungan yang berwujud benda-benda berharga dari perbuatan itu. Perbuatan itu hanyalah sekedar pelepasan dendam yang membara di dada Kuda Sempana.
“Kuda Sempana,“ berkata gurunya, “kali ini kau jangan menilai tenagaku dengan upah yang dapat kau berikan. Kalau kau ingin berbuat demikian, maka harta seluruh istana Tunggul Ametung di Tumapel tidak cukup bernilai dibandingkan dengan apa yang telah dan akan lakukan untukmu. Tetapi aku benar-benar terdorong oleh suatu rasa bertanggung jawab dari seorang guru terhadap muridnya. Aku malu melihat sikap Panji Bojong Santi yang selalu melindungi murid-muridnya apabila benar-benar dihadapkan pada suatu bahaya.”
“Terima kasih guru,“ sahut Kuda Sempana dalam nada yang datar. Tetapi hatinya berkata, “Omong kosong. Aku kenal kau sejak lama. Betapa kau dicengkam oleh ketamakanmu atas harta dan benda.”
Bahu Reksa Kali Elo yang ikut dalam perjalanan itu, hampir tidak ikut serta dalam setiap pembicaraan. Namun semakin lama ia pun menjadi semakin jemu atas sikap Kuda Sempana. Semakin lama, setelah ditimbangnya, maka ia tidak akan mendapat apapun dari perbuatan-perbuatannya yang berbahaya itu. Ketika ia bersama Kuda Sempana mencoba menculik Ken Dedes dari tengah-tengah hutan, maka ia masih mengharap, mungkin calon permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu membawa perhiasan yang sangat berharga, yang dapat menebus lelah dan bahaya yang telah dilakukannya. Tetapi kini harapan itu hampir tidak dilihatnya. Meskipun demikian, ia masih juga berjalan mengikuti gurunya. Siapa tahu, bahwa suatu ketika ia melihat persoalan yang dapat memberinya banyak keuntungan. Mungkin ia akan mendapat lubang-lubang yang dapat membuka hubungan lain yang justru lebih baik, hubungan perdagangan dengan orang-orang yang ditemuinya.
Perjalanan itu pun semakin lama menjadi semakin mendekati padukuhan Kemundungan. Perjalanan itu kini menembus hutan-hutan perdu yang tipis. Kemudian mereka sampai pada tanah berbatu-batu yang gundul. di sana sini tampak tanah yang berwarna coklat keputih-putihan. Disebelah bukit-bukit gundul itulah terletak desa terpencil yang bernama Kemundungan. Desa yang jauh lebih kecil dan terpencil dari padukuhan Panawijen. Tak banyak yang dapat diketahui orang tentang desa terpencil itu.
Melihat daerah yang gundul tandus dan pohon-pohon cemara yang kurus menjulang tinggi, hati Kuda Sempana menjadi berdebar. Belum pernah ia melihat daerah yang segersang itu. Ia pernah melihat daerah Panawijen yang kering. Tetapi tidak segarang alam yang dihadapinya. Tanah yang berbatu-batu, berwarna coklat keputihan.
Empu Sada yang berjalan di paling depan, berpaling sambil berkata, “Inilah pedukuhan kecil itu Kuda Sempana.
“Pegunungan batu guru.”
Empu Sada tersenyum, “Ya,“ jawabnya, “pegunungan yang keras ini agaknya telah membantu membuat Kebo Sindet dan Wong Sarimpat memiliki kelakuannya sekarang.”
“Apakah mereka tinggal di daerah ini sejak kecilnya?” tanya orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo.
“Aku tidak tahu,“ sahut Empu Sada, “tetapi disini dahulu tinggal seorang sakti. Orang itu adalah guru Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
“Siapakah orang sakti itu?”
“Aku baru melihatnya dua kali. Orang itu adalah kawan guruku. Tetapi mereka mempunyai sifat yang jauh berbeda.”
“Apakah perbedaan itu?”
Empu Sada menelan ludahnya. Ia tidak dapat mengatakannya, sebab selama ini sikap dan kelakuannya sendiri tidak dapat dibanggakannya seperti ia ingin membanggakan gurunya. Karena itu maka orang tua itu pun terdiam.
“Bagaimana guru,“ desak Kuda Sempana.
“Aku tidak tahu,“ jawab Empu Sada akhirnya, “aku tidak tahu perbedaan diantara keduanya. Tetapi yang aku dengar, orang sakti yang tinggal di dalam goa didekat Kemundungan itu adalah seorang bangsawan dari Daha. tetapi bangsawan itu merasa dirinya terhina dan terbuang dari lingkungannya karena kesalahan yang tak dapat diampuni lagi. Beruntunglah Bangsawan itu tidak mendapat hukuman sapu sampai mati seperti yang berlaku bagi kesalahan serupa.”
“Apakah kesalahan itu?”
Empu Sada terdiam sejenak. Namun kemudian ia berkata pula, “Aku tidak tahu pasti. Menurut guruku, bangsawan itu telah melanggar hubungan kekeluargaan.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya, katanya, “Kesalahan yang dicari-cari.“
Empu Sada memandang wajah muridnya itu. Wajah yang merah hitam dibakar oleh sinar matahari seperti wajahnya sendiri. Tetapi Empu Sada tidak menyahut. Seperti Kuda Sempana sendiri yang saat ini sedang mencoba melanggar hubungan kekeluargaan meskipun sedang dijalin. Justru keluarga Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu, maka adalah wajar bahwa Kuda Sempana tidak senang mendengar jenis kesalahan itu.
Kini sejenak mereka berdiam diri. Dihadapan mereka tampak segerombol pepohonan yang hijau. Itulah desa Kemundungan.
Setapak-setapak mereka berjalan maju menyusuri jalan sempit di lambung bukit-bukit gundul. Sekali-sekali kaki-kaki mereka menginjak ujung-ujung batu yang runcing dan sekali-sekali duri-duri liar yang tumbuh di sisi-sisi jalan.
Tiba-tiba Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Jangan terkejut apabila kau nanti melihat keanehan-keanehan kedua orang itu.”
“Macam apakah keanehan itu guru?” bertanya Kuda Sempana.
“Sifat dan wataknya yang dapat kau lihat pada gerak-gerik mereka.”
Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo menjadi semakin bimbang. Tanpa disangka-sangka ia berkata, “Apakah kita tidak dapat berbuat lain tanpa mereka?”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah saudara seperguruannya itu dengan tajamnya, “kenapa?” desisnya.
“Apakah kita tidak berusaha mencari jalan lain?” katanya pula.
“Kau melemahkan hatiku,“ sahut Kuda Sempana cepat-cepat, “tak ada jalan lain. Yang kita hadapi adalah Empu Purwa, Panji Bojong Santi dan tukang keris yang gila itu. Apakah guru sendiri bersama kita mampu menghadapinya, seperti yang pernah terjadi di hutan dekat padang Karautan itu?”
Cundaka tidak menjawab. Ia tahu benar betapa keras hati saudara seperguruannya. Tetapi gurunyalah yang berkata, “Aku melihat jalan lain Kuda Sempana.”
“Apa itu guru?”
“Kita tidak ingin membunuh Mahisa Agni atau mengambil Ken Dedes.”
“Tidak,“ teriak Kuda Sempana, “itu harus terjadi. Dendam telah membakar jantungku. Sedangkan tidak ada orang lain yang akan dapat membantu aku selain guru dan kedua orang itu.”
Empu Sada menarik nafas panjang. Ia sudah terlanjur terlibat sehingga sulit baginya untuk melepaskan dirinya. Kuda Sempana adalah muridnya yang telah cukup lama berada di dalam asuhannya. Bagaimanapun juga terasa adanya suatu ikatan diantara mereka yang memaksa Empu Sada kali ini mencoba memenuhi permintaan muridnya itu.
“Aku kenal keduanya,“ gumamnya seperti kepada diri sendiri, “mudah-mudahan aku dapat mengendalikannya.”
Belum lagi Empu Sada mengatupkan mulutnya, mereka dikejutkan oleh suara lecutan yang keras, disusul oleh sebuah teriakan nyaring, “He, siapa itu?”
Sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil menggerakkan dagunya menunjuk ke sebuah ngarai yang agak dalam. “Itu adalah salah seorang dari mereka. Agaknya mereka tidak sedang mengembara.”
“Siapakah ia,“ bertanya Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo.
“Menilik bentuk tubuhnya yang pendek, ia adalah saudara yang muda, Wong Sarimpat,“ jawab gurunya.
Karena Empu Sada belum menjawab maka kembali terdengar teriakan dari bawah kaki mereka, “He siapa kalian? Kalau kalian tidak menjawab, aku dapat membunuh kalian dari sini.”
Sambutan itu telah membuat dada Cundaka berdesir. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, “Sambutan yang kasar.”
Empu Sada tersenyum, “Itulah mereka,“ katanya sambil mengangkat tongkat panjangnya.
Tiba-tiba meledaklah tawa yang riuh dari bawah tebing itu. Orang yang bertubuh pendek namun berdada lebar itu kemudian berlari-lari ke arah seekor kuda yang sedang makan rumput. Dengan gerak yang sangat lincah ia dengan serta-merta meloncat keatas punggung kuda tanpa pelana itu. Dengan satu sentakan pada kendalinya, maka kuda itu pun berlari kencang sekali.
Mereka bertiga berdiri terpaku melihat ketangkasan Wong Sarimpat bermain-main dengan kuda. Meskipun kuda itu sama sekali tidak berpelana, namun Wong Sarimpat sama sekali tidak mendapat kesulitan apapun ketika kuda itu berpacu mendaki tebing menyongsong mereka.
Empu Sada mengangguk-anggukan kepalanya sambil bergumam, “Mereka berdua adalah orang-orang yang cekatan. Aku belum pernah melihat orang mampu menunggang kuda seperti mereka berdua.”
Cundaka dan Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun wajah mereka mengungkapkan perasaan yang berbeda yang merayap di dalam dada masing-masing.
Orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu sama sekali tidak senang melihat sambutan yang kasar dan sombong itu, namun Kuda Sempana menjadi kagum karenanya. Ia mengharap bahwa orang itu benar-benar akan dapat membantu melepaskan, sakit hatinya, membunuh Mahisa Agni dan menggagalkan usahanya dan membuat bendungan. Bahkan kalau mungkin mendapatkan Ken Dedes. Menculiknya dari istana Tumapel.
Kuda yang ditunggangi oleh Wong Sarimpat itu seperti merayap tebing bukit gundul itu. Melingkar-lingkar menyusur dalam yang sempit berbatu-batu. Namun Wong Sarimpat memacu kudanya seperti dikejar setan.
“Mendebarkan,“ gumam Kuda Sempana, “orang itu benar-benar cakap menunggang kuda. Kalau tidak, maka ia pasti sudah terpelanting masuk jurang.”
Empu Sada tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk.
Jarak itu sebenarnya tidak terlampau jauh, tetapi kuda itu tidak dapat langsung meloncat mencapai mereka. Kuda itu harus melingkari beberapa puntuk. Menghilang kemudian muncul kembali. Namun di sepanjang perjalanan itu Wong Sarimpat telah berteriak keras-keras, “He, Empu yang bertongkat panjang, apa kerjamu di situ?”
Empu Sada tidak menjawab. Dibiarkannya Wong Sarimpat berteriak-teriak sendiri.
Akhirnya kuda itu muncul dari balik seonggok batu pada dihadapan mereka. Seorang yang berwajah keras sekeras batu-batu padas di bukit gundul, berbulu lebat dan berkumis melintang duduk diatas punggungnya sambil bertanya, “Apakah kau sekarang bisu?”
Cundaka, yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo adalah seorang yang kasar. Tetapi ketika ia mendengar pertanyaan Wang Sarimpat terhadap gurunya, keningnya berkerut. Jantungnya serasa berdentangan karena perasaan tidak senang mendengar sambutan Wong Sarimpat yang sangat kasar.
Tetapi ia menjadi heran. Gurunya sama sekali tidak marah mendengar sapa itu. Bahkan sambil tersenyum ia menjawab, “Wong Sarimpat. Aku tidak biasa berteriak seperti monyet kepanasan.”
Sekali lagi terdengar Wong Sarimpat tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Ha, masih juga kau bisa berbicara. Apa maumu datang kemari he?”
“Apakah aku tidak kau ajak singgah ke rumahmu?”
Wong Sarimpat membelalakkan matanya. Jawabnya, “Kau jangan menghina Empu tua. Kau tahu aku tidak mempunyai rumah.”
“Apakah yang kau maksudkan dengan rumah Wong Sarimpat?” bertanya Empu Sada, “rumah bukan berarti sebuah bangunan. Rumahmu adalah tempat kau tidur, tempat kau tinggal bersama saudaramu dan tempat kau menyembunyikan kekayaan hasil rampokanmu.”
Kali ini suara tertawa Wong Sarimpat benar-benar memenuhi lereng-lereng bukit gundul. Ia senang mendengar kata-kata Empu Sada yang berusaha menyesuaikan dirinya dengan watak orang itu. Setelah suara tertawa itu mereda maka orang itu menjawab, “Hem, kau ingin melihat tempat aku menyimpan kekayaanku he? Kau suatu ketika akan merampok aku?”
“Tidak,“ sahut Empu Sada, “aku akan berdosa dua kali lipat. Kekayaanmu kau dapatkan dengan jalan yang tidak seharusnya. Kalau aku merampokmu, maka dosamu akan ikut serta bersama harta benda itu di samping dosaku sendiri.”
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya. Dengan tajam dipandanginya wajah Empu Sada. Kemudian katanya, “Apakah kau tidak pernah merampok?”
“Tentu tidak,“ sahut Empu Sada, “aku mendapatkan kekayaanku dengan menjual tenaga. Terjadilah jual beli. Bukankah itu bukan suatu perampokan.”
Wong Sarimpat terdiam sejenak. Kemudian jawabnya, “Sama saja. Hampir sama,“ orang itu terdiam sejenak. Tiba-tiba ia menunjuk kepada Kuda Sempana dan Cundaka sambil bertanya, “Kenapa kau bawa tikus-tikus ini. Inikah pengikut-pengikutmu atau orang-orang yang telah membeli tenagamu itu?”
Cundaka menjadi semakin tidak senang. Wajahnya menjadi berkerut merut. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika Wong Sarimpat membentaknya, “He kenapa kau memandang aku seperti itu. Kau belum pernah mengenal Wong Sarimpat he tikus busuk?”
Bagaimanapun juga pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati. Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pun termasuk orang yang kasar. Hampir-hampir ia lupa dengan siapa ia berhadapan. Namun ketika mulutnya hampir menjawab sekali lagi Wong Sarimpat membentaknya, “Jangan buka mulutmu itu. Kalau kau mencoba juga, paling sedikit empat gigimu akan terlepas.”
Sesuatu terasa menghentak dada Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Resa Kali Elo. Perasaannya sama sekali tidak mau menerima teguran serupa itu. Namun ia tahu benar bahwa Wong Sarimpat adalah orang yang sejajar dengan gurunya. Karena itu bagaimana pun juga hatinya menjadi sakit, namun ia mencoba untuk menahan mulutnya.....
Yang menjawab kemudian adalah Empu Sada, “Jangan terlampau kasar Wong Sarimpat. Anak-anak bisa mati ketakutan melihat tingkah lakumu.”
“Huh, hanya anak-anak cengeng seperti anak-anakmu inilah yang pasti akan mati ketakutan.”
Empu Sada tersenyum kepada kedua muridnya ia berkata, “Inilah pamanmu Wong Sarimpat. Jangan takut dan jangan sakit hati. Sudah menjadi watak dan kebiasaannya, ia berbuat demikian.”
Wong Sarimpat tiba-tiba memotong, “Tidak ini bukan sekedar watak dan sekedar kebiasaannya. Tetapi aku berkata sebenarnya. Ayo, suruh murid-muridmu membuka mulutnya sebelum aku beri kesempatan. Kau akan tahu akibatnya.”
“Mungkin akan terjadi demikian Wong Sarimpat,” sahut Empu Sada, “Tetapi kalau tidak ada Empu Sada berdiri disini.”
Tiba-tiba sekali lagi Wong Sarimpat itu tertawa terbahak-bahak. Katanya diantara suatu tertawanya, “Aku percaya. Kalau begitu aku percaya bahwa kau akan mampu mencegah yang akan aku lakukan. Tetapi aku pun jadi yakin kalau murid-muridmu ini tidak lebih dari tikus cengeng yang tidak dapat berdiri tegak tanpa gurunya.”
Cundaka telah benar-benar menjadi muak mendengar sambutan itu, namun sebelum ia menyahut, terdengar Empu Sada berkata, “Ayo, bawa aku ke sarangmu. Mungkin kau lebih senang aku menyebut sarang daripada rumah.”
“Hem,“ Wong Saripat menarik nafas, “kau akan merampok?”
“Tidak. Aku ingin bertemu kau berdua dengan kakakmu.”
“Apa keperluanmu?”
“Nanti aku katakan.”
“Katakan sekarang.”
“Tidak pantas. Sebelum aku memasuki rumahmu aku tidak akan mengatakan keperluan itu.”
“He. Apa yang tidak pantas? Aku tidak terikat pada adat atau cara apapun. Tak ada yang tidak pantas bagiku apabila aku kehendaki. Tetapi kalau kau ingin bertemu dengan kakang Kebo Sindet. Ikutilah aku.”
Tetapi Wong Sarimpat tidak menunggu jawaban Empu Sada. Dengan serta merta digerakkan kendali kudanya dan segera kuda itu pun berputar dan berlari menuruni tebing.
Demikian orang itu menghilang di balik sebuah puntuk yang menjorok, maka terdengarlah Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
“Itu salah seorang dari mereka,“ desisnya. Kemudian dilanjutkannya, “Apakah kau masih bernafsu Kuda Sempana?”
Kuda Sempana terkejut mendengar pertanyaan gurunya. Tetapi yang lebih dahulu menjawab adalah orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, “Huh, aku menjadi muak melihatnya.”
Tetapi ternyata Kuda Sempana segera menyahut, “Aku mengaguminya. Orang yang demikian adalah orang yang berhati terbuka. Apapun yang dipikirkannya itulah yang dikatakan dan diperbuatnya. Orang yang berwatak demikian adalah sahabat yang sebaik-baiknya. Ia tidak akan berbuat curang dan menyembunyikan persoalan-persoalan yang seharusnya diketahui bersama.
Cundaka mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Kuda Sempana dengan tajamnya. Ia tidak dapat mengerti, kenapa Kuda Sempana mempunyai penilaian demikian terhadap orang yang terlampau kasar itu. Tetapi Cundaka tidak mau bertengkar dengan saudara seperguruannya. Karena itu, maka ia pun kemudian berdiam diri.
Empu Sada sendiri sama sekali tidak memihak keduanya. Dibiarkannya kedua muridnya itu mempunyai tanggapan sendiri-sendiri. Tetapi Empu Sada yang tua itu dapat mengerti sikap keduanya. Cundaka menjadi semakin tidak senang kepada Wong Sarimpat karena orang itu telah membentak-bentaknya. Sedang Kuda Sempana menganggapnya orang yang paling baik untuk seorang sahabat, karena Kuda Sempana sedang memerlukan kawan untuk memuaskan nafsu dendamnya.
Namun betapa Empu Sada hidupnya selalu dipengaruhi oleh keinginannya mendapat harta benda, bahkan sampai dilakukaanya menjual tenaga mengajar puluhan murid hanya sekedar untuk mendapatkan upah tanpa tujuan apa-apa itu, kali ini merasa bahwa ia telah terdorong dalam suatu sikap yang kurang bijaksana. Tetapi semuanya telah terlanjur. Mulutnyalah yang pernah menyebut nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk mempengaruhi lawannya waktu itu, Empu Gandring dan kemudian diulanginya pula dihadapan Bojong Santi. Murid-muridnya itu pun mendengar nama-nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat dari padanya pula.
Empu Sada itu berpaling ketika ia mendengar suara Kuda Sempana, “Guru, apakah kita akan berdiri saja disini?”
“Oh,“ desis Empu Sada, “jadi kita teruskan perjalanan ke rumah Wong Sarimpat.”
“Tentu,“ sahut Kuda Sempana, “aku senang melihat dadanya yang terbuka. Mudah-mudahan kita mendapat kawan yang dapat bersama-sama menyelesaikan pekerjaan ini.”
Empu Sada tidak berkata-kata lagi. Segera ia melangkahkan kakinya meneruskan perjalanan ke rumah Wong Sarimpat.
Perjalanan itu sudah tidak begitu jauh lagi. Tetapi mereka harus berjalan melingkar-lingkar di tebing pegunungan gundul.
Sekali-sekali mereka harus menuruni tebing yang curam, namun sekali-sekali mereka harus berjalan sepanjang jalan yang beranak tangga.
“Apakah paman Wong Sarimpat tadi juga lewat jalan ini, guru?” bertanya Kuda Sempana.
Gurunya menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berpaling. Dengan tongkatnya ia mencoba menahan tubuhnya pada sebuah tebing yang rendah.
“Bukan main, bukan main,“ gumam Kuda Sempana. Ia menjadi semakin kagum melihat jalan yang harus dilewati pula oleh Wong Sarimpat, “Alangkah tangkasnya.”
Tetapi baik gurunya, maupun Cundaka sama sekali tidak menyahut. Dengan hati-hati mereka melangkahkan kaki-kaki mereka menuruni pegunungan gundul itu.
Setelah berjalan melingkar-lingkar akhirnya mereka sampai juga di kaki bukit gundul itu. Sebuah ngarai yang dikelilingi oleh bukit-bukit serupa. Di tengah-tengah ngarai itu tampak sebuah gerumbul yang kecil. Pedukuhan Kemundungan.
Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak tinggal di padukuhan itu. Mereka berada di lereng bukit gundul ini. Mereka ternyata telah membuat sebuah, gubug kecil di muka mulut sebuah goa yang cukup luas. Tak seorang pun tahu, apakah yang mereka simpan di dalam goa itu, selain mereka berdua, kakak beradik dan mereka pun seperguruan pula. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Dengan ragu-ragu Empu Sada berjalan di sepanjang kaki bukit. Ia pernah mengunjungi kedua laki-laki kakak beradik ini dahulu bersama kakak seperguruannya untuk suatu keperluan. Ia kenal keduanya karena kakak seperguruannya itu pula. Tetapi kakak seperguruannya itu kini telah tidak ada lagi. Mati terbunuh. Tetapi itu adalah akibat yang sudah diketahuinya lebih dahulu. Orang yang bermain-main dengan maut, maka maut itu akan datang menghampirinya setiap saat. Saat itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah dimintanya pula membantu mencari pembunuh kakaknya itu. Tetapi bukan main besar upah yang dimintanya. Hampir semua kekayaan kakaknya habis dijualnya untuk memenuhi permintaan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi seperti Kuda Sempana pada saat ini, maka dendamnya kepada pembunuh kakak seperguruannya itu telah menutup segala macam akal dan pikirannya. Apapun yang harus diberikannya, namun pembunuh itu harus dibunuhnya.
Ternyata usahanya saat itu berhasil. Pembunuh kakaknya adalah seorang Empu sakti yang tidak pernah menetap di suatu tempat. Ternyata keduanya bertemu pada suatu tempat yang tidak menyenangkan. Tempat yang dipenuhi oleh bau tuak dan dikelilingi oleh nafsu-nafsu lahiriah yang lain.
Dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu Empu Sada mendengar, bahwa keduanya bertengkar dan kemudian berkelahi hampir semalam suntuk. Namun akhirnya kakak seperguruannya itu terbunuh. Empu Sakti yang bernama Empu Galeh itu menjadi buas dan mencuci tangannya dengan darah kakak seperguruannya itu.
Tetapi ceritera ini tidak pernah diceriterakannya kepada murid-muridnya. Empu Sada menyimpan ceritera itu di dalam hatinya. Bagaimana ia bertiga dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat mencari Empu Galeh. Ternyata Empu Galeh itu mereka temui di tempat yang serupa. Dan perkelahian pun segera terjadi pula.
“Kami telah mengeroyoknya,“ gumam Empu Sada di dalam hati. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang ketika teringat olehnya bagaimana Kebo Sindet mencincang Empu yang telah mati itu. “Mengerikan,” desisnya di dalam hati, “Ternyata Kebo Sindet tidak kalah buasnya dengan Empu Galeh yang sakti itu.”
Sekali-sekali Empu Sada itu berdesis. Kenangan tentang Empu Galeh selalu mengganggunya. Ia telah berjanji dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, bahwa tak seorang pun boleh mengetahui rahasia itu. Murid-murid mereka pun tidak, supaya apabila ada keluarga, saudara seperguruan Empu Galeh, maka berita tentang kematiannya tidak menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Mereka bertiga, Empu Sada dan kedua muridnya kini berjalan menyelusuri kaki bukit gundul itu. Ketika agak jauh dihadapan mereka tampak sebuah gubug kecil di lereng bukit gundul itu, maka berkata Empu Sada kepada kedua muridnya itu, “Itulah rumahnya. Di dalam rumah itu terdapat sebuah mulut goa.”
Bulu-bulu kuduk Cundaka berdesir. Hampir-hampir ia memutuskan untuk kembali sebelum ia sampai ke rumah itu. perlahan-lahan ia berkata kepada gurunya, “Guru, aku kira, aku tidak lagi mempunyai banyak kepentingan. Kalau Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bersedia membantu guru dan Kuda Sempana, maka tenagaku pasti sudah tidak berguna lagi. Karena itu, apakah aku boleh mendahului kembali ke rumahku?”
Empu Sada tiba-tiba menjadi tegang. Ditatapnya wajah muridnya itu. Dengan suara parau ia menjawab, “Jangan. Jangan pergi sebelum kau menginjakkan kakimu ke rumah itu. Dengan demikian akan dapat timbul salah sangka. Dan umurmu tidak akan mencapai fajar besok. Kau tahu, bahwa aku tidak akan dapat melindungimu. Mungkin aku mampu melawan salah seorang dari mereka tetapi yang seorang akan dengan leluasa berbuat atasmu, seperti seekor kucing terhadap seekor tikus yang malang.”
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu menggeram. Tetapi ia tidak berkata apapun. Sekali disambarnya wajah Kuda Sempana dengan sudut matanya. Tetapi wajah itu disaput oleh harapan untuk melepaskan dendamnya.
Kembali mereka berjalan perlahan-lahan menuju ke rumah gubug di lereng bukit itu.
“Dari mana mereka mendapat makan guru?” bertanya Kuda Sempana tiba-tiba.
“Desa itu telah memberinya makan. Setiap orang yang tinggal di Kemundungan adalah orang-orang yang seolah-olah terikat kaki dan tangannya. Mereka bekerja keras, namun mereka tidak dapat berbuat banyak atas hasil jerih payahnya. Hasil tanah mereka, sebagian harus mereka pergunakan untuk memberi kedua orang itu makan sekenyang-kenyang mereka.”
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kini tidak bertanya-tanya lagi. Namun dalam pada itu, timbullah berbagai pertanyaan di dalam kepala Cundaka. Ia pernah pula melakukan pemerasan, bahkan perampokan. Hampir setiap kali ia mendapat bermacam-macam barang dari murid-muridnya. Ia tahu benar, bahwa barang-barang itu adalah barang-barang yang didapatnya dengan jalan yang tidak wajar. Tetapi sekali-sekali ia sempat menikmati hasil dari benda-benda itu. Sekali-sekali ia makan seenak-enaknya, bersuka ria dan berjalan di jalan-jalan kota dengan pakaian yang sebaiknya. Bahkan seolah-olah segala nafsunya telah dimanjakannya. Kini ia berhadapan dengan dua orang laki-laki kakak beradik yang aneh. Mereka merampok, memeras dan segala macam cara untuk mendapatkan kekayaan. Tetapi mereka hidup terpencil, di dalam gubug kecil di lereng sebuah, bukit gundul. Mereka hidup seperti seorang yang semiskin-miskinnya di dunia ini. Pakaian yang kumal, badan tidak terpelihara dan rumah yang terlampau jelek.
“Untuk apakah kekayaan yang ditimbunnya itu,“ katanya di dalam hati. Tiba-tiba tanpa sesadarnya ia bertanya, “Guru, apakah kedua orang itu mempunyai anak?”
Empu Sada berpaling. Sambil mengerutkan keningnya ia menjawab, “Sepanjang yang aku ketahui, kedua orang itu sama sekali tidak pernah kawin.”
Begitu besar desakan pertanyaan di dalam dadanya, maka Cundaka itu berkata, “Hem. Untuk apakah kiranya kekayaan yang disimpannya selama ini? Tak akan ada keturunan yang akan mewarisinya.”
Empu Sada tidak menjawab, dan orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo yang menganggap dirinya seorang pedagang keliling itu tidak bertanya lagi.
Gubug itu kini sudah dekat dihadap mereka. Seekor kuda berdiri lepas dihadapan gubug itu.
Dari dalam gubug itu pun kemudian muncul kembali Wong Sarimpat. Dengan berteriak ia berkata, “Cepat sedikit. Kami sudah gelisah menunggumu. Apakah kau sudah kelaparan?”
Empu Sada tidak menjawab. Beberapa kerut tergores di keningnya. Namun ia harus mencoba menyesuaikan dirinya.
Sebelum mereka sampai di gubug itu, maka Wong Sarimpat pun telah menghilang ke dalam rumahnya. Namun suaranya masih terdengar, “Orang-orang malas itu tertidur di jalan kakang.”
Semakin dekat mereka ke mulut gubug yang kecil itu, maka hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Bukan saja Cundaka, namun juga Kuda Sempana dan bahkan Empu Sada sendiri. Ia mengharap bahwa kedua orang itu masih bersikap seperti terhadap kakak seperguruannya dulu dan seperti sikapnya pada saat mereka bersama-sama membalas dendam atas kematian kakak seperguruan Empu Sada.
Ketika mereka sampai di muka pintu, segera mereka melihat bahwa gubug itu seolah-olah kosong sama sekali. Yang ada didalamnya hanyalah sebuah amben bambu rendah. Selainnya tidak ada apa-apalagi. Diatas amben itu duduk seorang yang berwajah gelap, bertubuh kecil dan tinggi. Itulah Kebo Sindet.
Kembali bulu-bulu duduk Cundaka meremang. Ketika ia menatap sorot mata orang yang bernama Kebo Sindet itu, darahnya seolah-olah jadi membeku. Berbeda dengan Wong Sarimpat, maka orang ini seolah-olah segan untuk berbicara.
“Masuklah,“ Wong Sarimpat mempersilahkan mereka. Tetapi ia masih saja duduk di amben itu pula.
Empu Sada melangkah memasuki ruangan gubug itu diikuti oleh kedua muridnya. Mereka pun kemudian duduk pula pada amben itu juga.
Ketika amben itu bergerit, maka terdengar Kebo Sindet menggeram, “Kau datang lagi kemari?”
Pertanyaan itu pun bukanlah pertanyaan yang lajim bagi dua orang yang telah lama tidak bertemu. Sekali lagi terasa di dada Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo, bahwa kedatangan mereka ke Kemundungan adalah suatu perbuatan yang tidak menyenangkan. Sikap kedua orang itu benar-benar membuat kepalanya pening.
Empu Sada yang mendapat pertanyaan itu menjawab, “Bukankah kau melihat bahwa aku datang lagi kemari.”
“Hem,“ Kebo Sindet menggeram. Tetapi kemudian ia terdiam untuk sesaat. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan sikap apapun. Dingin, bahkan wajah yang gelap itu seolah-olah membeku.
Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Hanya nafas-nafas merekalah yang terdengar berkejaran lewat lubang-lubang hidung mereka.
Matahari yang lesu semakin lama menjadi semakin rendah. Ruangan itu pun semakin lama menjadi semakin suram pula. Ketika sesaat kemudian matahari menyentuh punggung bukit di sebelah barat, maka cahayanya yang kemerah-merahan bertebaran diatas bukit gundul yang keputihan.
Mereka yang berada di ruangan gubug Kebo Sindet masih saja berdiam diri. Sekali-sekali terdengar amben itu bergerit. Dan Cundaka pun menjadi semakin gelisah pula karenanya. ketika tidak disengaja matanya menatap dinding gubug itu, dilihatnya sebuah pintu ereg yang tidak tertutup rapat. Dari celah-celah pintu itu ia melihat sebuah ruangan yang hitam kelam.
“Hem,“ gumamnya di dalam hati, “itulah mulut goa yang dikatakan oleh guru.”
Tiba-tiba Cundaka itu terkejut ketika ia mendengar sutra Kebo Sindet datar, “Ya. Itu adalah mulut goa tempat aku menyimpan semua kekayaanku. Apakah kau mau masuk?”
Orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab.
Dipalingkannya wajahnya memandangi wajah gurunya, seolah-olah ia ingin mendapat pertolongan untuk membebaskan dirinya dari pertanyaan yang tak dapat dijawabnya itu.
Empu Sada itu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Hem, kau sangat baik Kebo Sindet. Tetapi biarlah lain kali saja kami melihat-lihat kekayaan yang tersimpan di dalam goa itu?”
“Lain kali kalau aku sedang pergi?”
“Tentu tidak, adalah tidak sopan untuk melihat rumah seseorang pada saat orang itu pergi.”
“Jangan berbicara tentang kesopanan. Kau juga tidak sopan dengan membunuh Empu Galeh bertiga bersama kami. Tak ada yang sopan di dalam hidup kami dan hidupmu. Nah, jangan menyangkal bahwa suatu ketika kau akan merampok aku apabila kau merasa telah mampu mengalahkan kami. Mungkin sekarang kau sedang memperhitungkan apakah kedua orang ini dapat mengalahkan salah seorang dari kami. Tetapi adalah perbuatan yang sangat gila apabila kau dapat keluar dari dalam goa itu, meskipun kami berdua tidak ada di rumah.”
“Kau terlalu berprasangka. Tetapi aku pun tidak segila yang kau sangka. Aku tidak akan percaya kalau kau menyimpan semua kekayaanmu di dalam goa itu. Goa yang hanya kau tutup dengan sebuah pintu bambu leregan. Kalau benar kekayaanmu kau simpan dalam goa itu, maka goa itu pasti sudah kau tutup dengan batu sebesar mulut goa itu sendiri.”
“Itu urusanmu. Percaya atau tidak percaya. Tetapi di dalam goa itu terdapat banyak sekali kerangka manusia yang mencoba mencari kekayaanku pada saat aku pergi. Tetapi mereka tidak pernah dapat keluar lagi.”
Tiba-tiba Empu Sada tertawa, “Kau memang pandai membual. Wajahmu yang beku itu sama sekali tidak pantas bagi seorang pembual. Apakah aku dapat mempercayainya, bahwa ada orang yang berani memasuki goa milik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”
Kebo Sindet terdiam sesaat. Wajahnya masih gelap dan beku, seolah-olah tidak ada gerak apapun di dalam hatinya yang mampu menggerakkan kulit wajahnya.
Tetapi wajah yang beku itu bagi Cundaka jauh lebih mengerikan dari wajah yang keras sekeras batu padas dengan kumis yang melintang dari Wong Sarimpat. Nada yang datar dari kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut Kebo Sindet terasa lebih menyeramkan dari teriakan-teriakan yang kasar yang diucapkan oleh Wong Sarimpat.
Kini ruangan itu telah menjadi semakin gelap. Tetapi tak seorang pun dari kedua laki-laki itu yang berdiri untuk menyalakan pelita, sehingga mereka kini seolah-olah telah duduk di dalam goa.
Dalam ruang yang menjadi semakin hitam itu terdengar Kebo Sindet berkata, “Katakan apa keperluanmu.”
“Kenapa tergesa-gesa?“ bertanya Empu Sada, “aku akan bermalam disini. Besok aku akan mengatakan keperluanku. Kau tidak keberatan.”
“Terserah kepadamu,“ sahut Kebo Sindet, “tetapi jangan tidur di rumah ini.”
“Kenapa? Dan dimana aku harus tidur.”
“Terserah kepadamu.”
“Kenapa aku tidak boleh bermalam di rumah ini.”
“Kalian akan menyesal. Kadang-kadang penyakitku kambuh. Aku selalu ingin membunuh dengan mencekik leher seseorang apabila aku melihatnya tidur.”
“Gila,“ geram Empu Sada.
Wong Sarimpat pun tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sampai amben itu berguncang. Katanya, “Kau benar-benar penakut. Di bukit gundul itu tidak ada binatang yang perlu kau takuti. Yang ada hanyalah harimau kumbang dan anjing hutan. Lebih baik bagi kalian melawan harimau kumbang dan anjing-anjing hutan itu daripada mati dicekik kakang Kebo Sindet selagi kalian tidur.”
“Kami tidak akan tidur,“ sahut Empu Sada menyentak, “kami akan duduk disini sampai pagi.”
“Kami yang akan tidur,“ berkata Wong Sarimpat.
Meskipun mereka duduk berhadapan, tetapi suaranya menggelegar seperti guntur mangsa kesanga. “Dan kau pasti akan berkata bahwa kami telah berbuat tidak sopan. Tidur dan membiarkan semuanya duduk semalam suntuk.”
Empu Sada mengerutkan keningnya. Ternyata Wong Sarimpat telah membuatnya sangat jengkel. Tetapi Empu Sada masih tetap menyadari keadaannya. Karena itu, sekali lagi ia mencoba menyesuaikan dirinya, jawabnya, “Tak ada kesopanan di dalam hidup kita, bukankah begitu Kebo Sindet. Kalau kalian mau tidur tidurlah.”
“Itulah pula sebabnya kami tidak mempersilahkan kau tidur di gubug ini,“ sahut Wong Sarimpat pula.
Dada Empu Sada serasa menjadi sesak. Sambutan ini benar tidak diharapkannya. Dahulu ketika ia datang dengan kakak seperguruanya ia masih mendapat kesempatan tidur di dalam rumah ini. Tetapi sekarang, kedua orang itu ternyata telah menjadi bertambah liar.
Pada saat Empu Sada hampir saja membuka mulutnya, menjawab kata-kata Wong Sarimpat, terdengar Kebo Sindet mendahului, “Empu Sada, tak ada persoalan yang perlu diperbincangkan tentang itu. Aku tidak mau kau bermalam di rumah ini. Cukup. Sekarang kau mengatakan keperluanmu atau pergi dari rumah ini. Kembalilah besok atau kapan saja apabila kau sudah bersedia untuk mengucapkan kepentinganmu mencari kami berdua.”
Terdengar gigi Empu tua itu gemeretak. Tetapi ketika ia berpaling dan melihat Kuda Sempana, maka kembali ia menekan perasaannya. Ia datang ke tempat itu untuk memenuhi permintaan muridnya itu.
“Baik,“ berkata Empu Sada, “aku akan mengatakan kepentinganku datang kemari. Sesudah itu akan pergi.”
“Kalau kau mau mengatakannya, lekas katakan,“ desak Kebo Sindet. Wajahnya masih tetap membeku. Sinar matanya seakan-akan tanpa memancarkan sesuatu yang tersimpan di dalam hatinya. Beku seperti mata sesosok mayat.
Sekali Empu Sada berpaling kepada murid-muridnya. Tetapi dalam sekejap itu Empu Sada tidak berhasil melihat sorot mata mereka masing-masing. Ruangan itu menjadi semakin lama semakin gelap. Namun tak seorang pun diantara kedua laki-laki kakak beradik itu yang pergi menyalakan api.
Dalam kegelapan dan dalam tatapan yang hanya sepintas itu Empu Sada tidak melihat betapa wajah orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo menjadi berkerut-merut menahan dadanya yang hampir meledak. Tetapi orang itu pun menyadari, bahwa dirinya sendiri hampir tak berarti apapun bagi kedua orang itu.
“Kebo Sindet,“ berkata Empu Sada kemudian, “baiklah aku katakan saja langsung. Aku datang untuk memenuhi permintaan muridku. Ia mempunyai dendam di dalam hatinya. Mungkin kau akan dapat membantunya.”
Tiba-tiba ruangan itu seperti meledak karena suara tertawa Wong Sarimpat. Suara itu bergetar melingkar-lingkar di dalam ruangan yang sempit. Namun Kebo Sindet masih tetap duduk dengan pandangan yang kosong membeku. Seolah-olah tidak terjadi sesuatu pada dirinya, meskipun adiknya tiba-tiba tersentak tertawa.
Suara tertawa Wong Sarimpat itu benar-benar menyakitkan telinga Empu Sada, apalagi Cundaka. Sehingga Empu Sada itu pun berkata, “He, Wong Sarimpat. Suara tertawamu sangat menyakitkan telinga. Kenapa kau tiba-tiba tertawa he.”
Suara tertawa itu masih berkepanjangan. disela-sela suara tertawa itu terdengar Wong Sarimpat berkata, “Kau rupa-rupanya sudah menjadi gila Empu Sada. Kenapa kau pergi kemari hanya karena dendam salah seorang muridmu. Apalah kau sekarang telah berubah menjadi seekor kelinci jinak yang tidak berani berbuat sesuatu. Apalagi atas lawan muridmu?”
Empu Sada tidak segera menjawab. Dibiarkannya Wong Sarimpat tertawa sepuasnya. Baru ketika tertawa itu mereda ia berkata, “Apakah kalian masih akan mendengarkan keteranganku?”
Yang menjawab adalah Kebo Sindet, “berkatalah.”
“Muridku, Kuda Sempana menyimpan dendam di hatinya. Tetapi lawannya adalah seorang yang dilingkari oleh beberapa orang sakti meskipun tidak secara langsung. Orang-orang itu adalah Panji Bojong Santi, Empu Purwa dan Empu Gandring. Itulah sebabnya aku datang kemari. Aku mengharap bahwa kalian masih mempunyai cukup keberanian untuk berbuat bersama aku.”
Wong Sarimpat kini tidak tertawa lagi. Bahkan sekali-sekali dipandangnya wajah kakaknya yang membeku itu. Namun Kebo Sindet tidak segera menjawab. Lebih-lebih dalam kegelapan, tak terlihat sama sekali kesan pada wajah yang mati itu.
Tiba-tiba dari sela-sela bibir Kebo Sindet terdengar suaranya datar, “Kenapa kau kemari?”
Empu Sada mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Aku memerlukan kalian untuk membantu kami. Kalian tidak usah berbuat apapun atas lawan Kuda Sempana. Biarlah anak itu diselesaikan sendiri oleh Kuda Sempana. Tetapi kalian kami minta untuk melindunginya apabila orang-orang gila itu tiba-tiba saja hadir.”
Kebo Sindet kembali terdiam. Kembali ruangan itu dicengkeram kesenyapan yang terdengar adalah nafas-nafas mereka yang kembang kempis bergantian. Namun suara nafas Cundaka lah yang terdengar paling keras dan paling cepat, meskipun dadanya sendiri terasa kian menjadi sesak.
Yang kemudian terdengar adalah suara Kebo Sindet memecah kesepian, “Apa tawaranmu kepada kami untuk melakukan pekerjaan itu?”
“Apa permintaanmu?” bertanya Empu Sada.
“Siapakah lawan itu?”
“Murid Empu Purwa.”
“Untuk menilai pertolongan yang dapat aku berikan, apakah kau dapat mengatakan sedikit tentang murid Empu Purwa itu?”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Tawar menawar dalam jual beli tenaga itu telah berlangsung. Sekarang ia harus mengatakan persoalannya kepada kedua orang liar itu, supaya mendapat tawaran yang sewajarnya.
“Katakanlah Kuda Sempana,“ berkata Empu Sada kepada Kuda Sempana.
Kuda Sempana menggeser dirinya sejengkal maju. Ia ingin melihat wajah-wajah dari kedua laki-laki kakak beradik itu. Tetapi malam menjadi semakin kelam. Apa yang dilihatnya kemudian hanyalah dua buah bayangan hitam yang seolah-olah membeku. Namun gambaran wajah dari kedua orang itu membuat Kuda Sempana harus bersikap hati-hati.
Tetapi sebelum Kuda Sempana mengucapkan sepatah katapun, terdengar suara Kebo Sindet, “Empu Sada, muridmu yang inikah yang berkepentingan dengan pertolonganku.”
“Ya,“ jawab Empu Sada, “kau akan dapat bertanya langsung kepadanya, kenapa ia mendendam.”
“Pantaslah,“ gumam Kebo Sindet, “anak yang berwajah seperti muridmu ini pasti seorang pengecut yang hanya berani mencari pertolongan orang lain. Tetapi katakanlah.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga terasa dadanya berdesir. Tetapi ia kemudian tidak memperdulikannya lagi. Dendamnya kepada Mahisa Agni bukanlah dendam yang biasa. Dendam itu adalah dendam yang paling dalam. Seandainya Mahisa Agni membakar rumahnya. merampas segala miliknya, maka dendamnya tidak akan sedalam dendam yang tersimpan di hatinya kini.
Karena itu maka setelah mengatur derak jantungnya Kuda Sempana berkata perlahan-lahan dan hati-hati, “Paman,“ suaranya dalam dan parau, “aku mendendamnya karena anak muda yang bernama Mahisa Agni itu telah menggagalkan usahaku mendapatkan seorang gadis.”
Tiba-tiba suara Kuda Sempana terputus oleh suara tertawa Wong Sarimpat. Suara itu benar-benar menyesakkan dada. Ruangan yang sempit dan gelap itu terasa menjadi semakin pepat karena gemuruhnya suara Wong Sarimpat.
“O, anak cengeng,” katanya, “kenapa kau menjadi hampir gila karena seorang gadis?”
Kuda Sempana tidak menyahut. Tetapi jantungnya menjadi semakin berdebar-debar. Dalam pada itu kecemasan merambati dinding-dinding hatinya pula. Apakah mereka berdua hanya sekedar akan mentertawakannya dan tidak bersedia membantunya.
Diantara suara tertawa Wong Sarimpat terdengar Kebo Sindet bertanya, “Apakah gadis itu kemudian diperisterikan oleh Mahisa Agni.”
“Tidak,“ sahut Kuda Sempana,“ gadis itu adalah adik Mahisa Agni.”
“Mudah sekali,“ potong Wong Sarimpat, “kau bunuh Mahisa Agni. Kemudian ambil gadis itu.”
Kuda Sempana terdiam. Memang jalan itu adalah jalan yang termudah. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk membunuh Mahisa Agni. Gurunya pun tidak mampu berbuat demikian, karena setiap kali hadir orang-orang yang tidak dikehendakinya.
Empu Sada melihat sikap Wong Sarimpat yang memuakkan itu dengan dahi yang berkerut merut. Dengan serta merta disambungnya kata-kata Kuda Sempana, “Gadis itu adalah anak Empu Purwa.”
Mendengar kata-kata Empu Sada itu, tiba-tiba Wong Sarimpat yang masih saja menahan suara tertawanya itu terdiam. ternyata nama itu telah mempengaruhi perasaannya. Nama yang pernah didengarnya dan diketahuinya, bahwa Empu Purwa adalah seorang yang melampaui kebanyakan orang.”
Ruangan itu kembali menjadi sunyi. Kebo Sindet masih duduk membeku di tempatnya, sedang Wong Sarimpat yang selalu gelisah itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya, “Empu Purwa,“ terdengar orang itu mengulangi.
Cundaka yang duduk diam kini seolah-olah tidak lagi mempedulikan percakapan itu. Ia telah kehilangan minat untuk mengikutinya. Bahkan diam-diam ia berharap di dalam hatinya, mudah-mudahan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak bersedia membantu Kuda Sempana, menyingkirkan Mahisa Agni. Tiba-tiba ia merasa jemu untuk ikut serta dalam persoalan itu. Lebih baik baginya mengembara seorang diri atau bersama satu dua orang muridnya ke pedukuhan-pedukuhan terpencil, pedukuhan asal dari murid-muridnya itu Meskipun sedikit demi sedikit ia akan dapat mengumpulkan beberapa macam benda-benda berharga yang dapat dijualnya di tempat-tempat lain. Itu adalah cara yang telah lama ditempuhnya dengan menamakan dirinya pedagang keliling. Meskipun beberapa kali ia mengalami kegagalan karena berbagai sebab, tetapi pada umumnya ia mendapatkan dagangannya.
“Tetapi Mahisa Agni pernah menghalangi aku,“ katanya di dalam hati, “Ia pernah mencegah aku berbuat demikian di padesan salah seorang muridku yang menyebut dirinya Waraba sebelum Mahisa Agni mengenalku. Apalagi kini.”
“Hem,“ Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu mengeluh di dalam hati, “kalau Mahisa Agni itu telah mati, maka aku tidak akan terganggu lagi.“ Tiba-tiba Cundaka itu tersenyum, timbullah pikiran di dalam kepalanya, “Biarlah Kuda Sempana dan orang-orang gila itu menyelesaikannya. Aku akan mendapat keuntungan dari padanya.”
Kesunyian yang mencengkam ruangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Kebo Sindet datar, “Apakah kau tiba-tiba telah mati Kuda Sempana?”
“Oh, kenapa?“ bertanya Kuda Sempana dengan serta merta.
“Oh,“ Kuda Sempana tergagap, tetapi ia kemudian berceritera tentang Mahisa Agni, tentang Ken Dedes dan ten tang dirinya sendiri. Demikian besar keinginannya untuk mendapatkan bantuan dari Kebo Sindet, sehingga ceriteranya menjadi berkepanjangan. Dikatakannya apa yang diketahuinya tentang Mahisa Agni, tentang Ken Dedes, dan bahkan tentang Tunggul Ametung yang ingin memperisteri Ken Dedes dan dengan sungguh-sungguh ingin menemui Mahisa Agni.”
Tiba-tiba suara Kuda Sempana itu terputus ketika Wong Sarimpat yang menjadi jemu berteriak, “Jangan mengigau. Katakan yang perlu saja. Atau aku sumbat mulutmu dengan tumitku.”
Dada Kuda Sempana itu pun menjadi berdebar-debar, ternyata ia telah berceritera terlampau panjang, sehingga Wong Sarimpat menjadi tidak telaten mendengarnya. Orang yang kasar itu tidak biasa mendengarkan orang lain berbicara terlampau panjang.
Tetapi kembali mereka terkejut ketika kemudian Kebo Sindet berkata datar, “Biarlah Wong Sarimpat. Biarlah ia berceritera tentang musuhnya itu. Terasa dalam kata-katanya, alangkah besar dendamnya kepada anak muda yang bernama Mahisa Agni itu.”
Terasa sesuatu bergetar di dalam dada Empu Sada. Kalimat-kalimat itu bukanlah kalimat-kalimat yang biasa diucapkan oleh Kebo Sindet. Kalimat-kalimat itu adalah kalimat-kalimat yang tersusun dan seolah-olah mengandung suatu sikap persahabatan yang sangat baik. Namun justru karena itulah maka Empu Sada yang telah kenyang makan asin manisnya penghidupan, menjadi bercuriga karenanya. Meskipun demikian orang tua itu sama sekali tidak berkata sepatah katapun.
Berbeda dengan Kuda Sempana sendiri. Tiba-tiba ia merasa bahwa Kebo Sindet benar-benar dapat mengerti perasaan dan keadaannya. Karena itu maka dengan penuh pengharapan ia berkata, “Terima kasih paman. Terima kasih. Ceriteraku tidak terlampau panjang lagi. Aku hanya tinggal akan mengatakan bahwa aku ingin Mahisa Agni tertangkap hidup. Aku ingin ia melihat bendungan yang telah dibuatnya itu pecah dan aku ingin melihat ia menjadi sakit hati dan kecewa sekali. Ia harus mengalami penderitaan batin sebelum tanganku mencabut nyawanya.”
“Bagus, bagus,“ sahut Kebo Sindet, “tetapi aku ingin tahu lebih banyak, hubungan antara Mahisa Agni dan Ken Dedes. Menurut katamu keduanya adalah bukan saudara sekandung. Keduanya adalah saudara angkat meskipun tak ubahnya dengan saudara kandung sendiri. Menurut katamu, kalau Mahisa Agni terbunuh, maka Ken Dedes akan mengalami tekanan batin yang tidak akan teratasi. Apakah kau yakin?”
“Aku yakin,“ jawab Kuda Sempana, “kalau Mahisa Agni terbunuh, maka Ken Dedes akan menjadi sedih sakit dan ia tentu akan mati. Kecuali keduanya adalah saudara angkat yang rukun. Mahisa Agni telah menyelamatkan gadis itu beberapa kali dari tanganku. Dengan demikian, maka ikatan diantara keduanya menjadi semakin erat.”
Tiba-tiba Kebo Sindet itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tak seorang pun yang melihat di dalam kegelapan itu, bahwa wajah yang beku itu tiba-tiba tersenyum, meskipun senyumnya hanya sebuah senyuman yang sangat kecil.
Kemudian terdengar Kebo Sindet itu bertanya pula, “Apakah Tunggul Ametung benar-benar akan mengambil Ken Dedes menjadi permaisurinya?”
“Demikianlah,“ jawab Kuda Sempana,“ tetapi apabila mungkin, maka gadis itu pun sebaiknya dipisahkan dari Akuwu Tunggul Ametung.”
“Kau masih menghendaki?”
Kuda Sempana diam sejenak. Namun kemudian terdengar ia menjawab perlahan-lahan, “Ya.”
Sekali lagi wajah yang mati itu tersenyum di dalam gelap. Tak seorang pun yang melihatnya. Tetapi perasaan Empu Sada seolah-olah mempunyai mata. Ia melihat sesuatu yang tidak wajar, dan seolah-olah ia melihat senyum di bibir Kebo Sindet itu.
Apalagi ketika Kebo Sindet itu kemudian bertanya, “Di manakah dapat kami jumpai Mahisa Agni?”
“Ia sedang membuat bendungan di Padang Karautan.”
“Apakah ia sering meninggalkan padang itu untuk sesuatu keperluan?”
“Mungkin. Tak seorang pun dari anak-anak muda Panawijen yang berani meninggalkan kelompok mereka. Aku kira, Mahisa Agni lah yang selalu mondar-mandir antara Panawijen dan padang Karautan itu apabila diperlukan sesuatu.”
Kebo Sindet mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam kepalanya itu berputar suatu rencana yang tak diketahui oleh siapa pun juga. Rencana yang lain dengan rencana Kuda Sempana sendiri.
“Jalan manakah yang biasa ditempuh oleh Mahisa Agni apabila ia pergi atau kembali ke Panawijen.”
Namun sebelum Kuda Sempana menjawab, terdengar Empu Sada mendahuluinya, “Marilah kita pergi bersama-sama. Aku sudah mengetahui dengan pasti. Jalan manakah yang selalu dilaluinya.”
Kebo Sindet tertegun sejenak, tetapi kemudian ia berkata, “Empu Sada, apakah kau akan memerlukan ikut bersama kami?”
“Kamilah yang berkepentingan. Kalian berdua membantu kami.”
“Kalian akan mengganggu kami,“ berkata Kebo Sindet, “kalau kau percaya kepadaku, serahkan semua persoalan ini kepada kami berdua.”
“Kau berdua akan berhadapan dengan lawan yang terlampau kuat. Mungkin kalian berdua akan bertemu dengan Empu Gandring, Empu Purwa dan Panji Bojong Santi bersama-sama.”
Kembali Kebo Sindet terdiam. Ia mencoba memecahkan persoalan itu di dalam kepalanya. Tiba-tiba ia berkata, “Akan aku pikirkan. Tetapi kapankah kira-kira Ken Dedes akan kawin?”
“Kami tidak tahu,“ sahut Kuda Sempana, “tetapi aku kira segera akan dilakukannya.”
Kembali ruangan itu menjadi sepi. Kembali Empu Sada menimbang-nimbang sikap Kebo Sindet yang meragukannya itu. Tetapi ia tidak dapat menduga, apakah kira-kira yang akan dilakukannya.
Namun dalam pada itu, harapan di dalam dada Kuda Sempana telah menyala berkobar-kobar. Hampir dapat dipastikan, ia akan dapat mengikat Mahisa Agni pada sebuah tonggak kayu. Melecutnya sesuka hati. Meludahi mukanya dan menggurat tubuhnya dengan pedangnya. Melumurinya dengan air asam dan garam.
“Hem,“ Kuda Sempana itu tersenyum sendiri. Musuhnya yang paling dibencinya itu sebentar lagi akan jatuh ke tangannya. Ia tidak peduli apakah ia harus menjual segala miliknya yang telah dikumpulkan selama ia menghambakan diri di istana. Timang emas tretes berlian, pendok emas, binggel dan apa saja, asal dendam dan sakit hatinya dapat terbalas atas Mahisa Agni dan beruntunglah ia kalau kedua orang itu berhasil mengambil Ken Dedes dari istana.
Dan angan-angan yang membubung tinggi itulah yang kemudian mendorong Kuda Sempana untuk kemudian berkata kepada gurunya, “Guru, bagiku, apakah kedua paman ini akan pergi tanpa kami, ataukah kami harus pergi bersama mereka, bukanlah soal bagiku. Yang penting adalah Mahisa Agni jatuh ke tanganku.”
“Anak bodoh,“ desis Empu Sada di dalam hatinya. Tetapi yang diucapkannya adalah, “Kita tidak dapat mengumpankan kedua pamanmu tanpa kami. Kamilah yang tahu, bahwa di sekeliling Mahisa Agni berdiri beberapa kekuatan. Bahkan mungkin Witantra, murid Bojong Santi akan menyerahkan prajurit-prajuritnya yang cukup memiliki kekuatan untuk menangkap kami dan kedua pamanmu sekaligus. Betapa kemampuan kami seorang, tetapi apakah kami masing-masing mampu melawan seratus orang Witantra sekaligus? Kau harus tahu Kuda Sempana, bahwa di istana mempunyai banyak kekuatan yang tersimpan. Banyaklah orang-orang yang sekuat kau. Meskipun aku gurumu, namun aku tidak akan mampu melawan kau dalam jumlah yang cukup. Sebab kekuatan seseorang itu sesuatu ketika akan mencapai titik puncaknya. Dan orang itu tidak akan mampu berbuat melampaui titik puncak itu.”
Kuda Sempana tidak dapat menjawab kata-kata gurunya. Karena itu ia pun terdiam. Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Kebo Sindet, “Baiklah. Kami akan berpikir malam ini. Besok pagi kami akan mengatakan sesuatu kepada kalian tentang rencana ini. Malam ini kalian dapat tidur di rumah ini.”
Sekali lagi dada Empu Sada berdesir. Kini ia sudah yakin seyakin-yakinnya, bahwa ada sesuatu yang terjadi di dalam hati Kebo Sindet. Orang semacam itu sudah tentu tidak akan bersedia merubah keputusannya apabila tidak ada hal yang penting terjadi pada dirinya. Karena itu maka Empu Sada menjawab, “Tidak. Aku tidak akan tidur di rumahmu ini. Kau akan membunuh kami selagi kami tidur.”
“Tidak,“ sahut Kebo Sindet, “aku tidak akan berbuat demikian. Aku tadi hanya menakutimu.”
“Mungkin. Mungkin tadi kalian hanya ingin menakuti kami. Tetapi sekarang mungkin rencana itu benar-benar akan kalian lakukan. Aku ingin tidur di bukit gundul itu. Mungkin aku akan dapat menangkap harimau kumbang.”
Tak ada jawaban. Dan sekali lagi Empu Sada menjadi heran. Ia tidak mendengar Wong Sarimpat tertawa terbahak-bahak.
“Marilah Kuda Sempana dan Cundaka,“ ajak Empu Sada, “kita pergi ke bukit gundul itu.”
Empu Sada tidak menunggu apapun lagi. Terdengar amben itu bergerit dan Empu tua itu pun segera turun dan melangkah ke pintu. Ternyata diluar tampak sedikit lebih terang dari pada di dalam gubug yang sempit itu.
“Tunggu,“ terdengar suara Kebo Sindet.
Empu Sada tertegun sejenak. Ia mencoba berpaling, tetapi yang dilihatnya hanyalah hitam yang pekat dan bayangan-angan yang wajahnya tidak jelas dari orang-orang yang duduk di amben itu.
Tetapi ia mendengar Kebo Sindet berkata pula, “Empu Sada, kalau kau tidak mau bermalam di gubug yang jelek ini, terserahlah kepadamu. Tetapi aku ingin Kuda Sempana tinggal disini. Aku masih memerlukan beberapa keterangan daripadanya.”
Empu Sada itu menggelengkan kepalanya meskipun ia tahu, bahwa di dalam ruangan itu gelapnya bukan main, “Tidak. Kuda Sempana pergi bersama aku.”
“Kenapa kau terlalu berkeras hatimu?” bertanya Kebo Sindet, “bukankah kau datang untuk suatu usaha bekerja bersama? Karena itu maka kau pun harus mempunyai kepercayaan kepada kami.”
“Tidak,“ jawab Empu Sada tegas, “Kedua muridku harus bersama aku.”
Tetapi Empu Sada tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar Kuda Sempana yang seolah-olah sedang terbius oleh angan-angannya untuk segera menangkap Mahisa Agni itu berkata, “Guru apakah keberatannya apabila aku tinggal disini? Aku percaya kepada kedua paman ini, bahwa tidak akan membunuh kami. Seandainya guru keberatan, maka akulah yang akan tinggal selama ini untuk memberikan beberapa penjelasan yang perlu.”
Terdengar Empu Sada menggeram. Ia tidak menyangka bahwa Kuda Sempana akan berbuat demikian. Maka jawabnya, “Kuda Sempana. Kau adalah muridku. Kau harus menurut segala petunjukku. Kau pergi bersama aku. Besok kita kembali kemari untuk mendengarkan penjelasan apakah kedua pamanmu bersedia membantu kami atau tidak.”
Kebo Sindet yang mempunyai perhitungan tersendiri tiba-tiba menyela, “Baiklah. Bawalah Kuda Sempana. Beri aku kesempatan malam ini. Besok aku mengharap kalian datang lagi kemari.”
Empu Sada tidak menjawab. Hatinya bergetar menahan segala macam perasaan. Apalagi Kuda Sempana yang telah menyeretnya ke bukit gundul ini telah mengecewakannya pula.
Kuda Sempana kemudian berkata kepada Kebo Sindet, “Baiklah paman, biarlah aku malam ini mengikuti guru. Besok kami pasti akan kembali.”
“Baiklah,“ sahut Kebo Sindet. Keramahannya itu pun telah semakin meyakinkan Empu Sada bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan telah direncanakan oleh Kebo Sindet itu.”
Cundaka pun kemudian berjalan di belakang gurunya. Seperti gurunya ia tidak minta diri kepada sepasang kakak beradik yang baginya sangat memuakkan tetapi juga mengerikan.
Dengan tergesa-gesa Empu Sada berjalan meninggalkan gubug itu sambil bersungut-sungut. Cundaka berjalan terloncat-loncat di belakangnya. Malam yang gelap semakin lama menjadi semakin dalam. Tetapi di langit bergayutan jutaan bintang yang bercahaya. Ternyata diluar tidak terlalu pepat seperti di dalam gubug yang sempit.
Beberapa langkah di belakang mereka, Kuda Sempana berlari-lari kecil menyusul guru dan saudara seperguruannya. Ketika jarak mereka sudah menjadi semakin dekat, terdengar Kuda Sempana bertanya, “Kemana kita pergi guru?”
Empu Sada berpaling, tetapi ia tidak mengurangi kecepatan langkahnya. Diloncatinya batu-batu padas dan lubang-lubang di sepanjang jalan yang sempit itu.....
Karena Empu Sada tidak segera menjawab, maka kembali Kuda Sempana mendesaknya, “Kemana kita pergi guru?”
“Kemana saja,“ jawab Empu Sada, “kita jauhi rumah kedua orang gila itu.”
“Tetapi,“ potong Kuda Sempana, “bukankah mereka telah menyatakan keinginannya untuk membantu kami.”
Empu Sada tidak menjawab. Langkahnya bahkan menjadi semakin panjang dan cepat.
Kuda Sempana menjadi heran. Agaknya ada yang tidak berkenan di hati gurunya. Namun ia tidak segera menanyakannya. Diikutinya saja kemana gurunya itu pergi.
Dalam pada itu Empu Sada menyusur jalan sempit di kaki lereng bukit gundul. Kemudian dengan susah payah mereka mendaki naik. Meskipun malam menjadi bertambah malam, namun mereka seolah-olah tidak mempedulikannya.
Tiba-tiba mereka mendengar Empu Sada bergumam, “Kita bermalam di bukit gundul itu.”
“Pasti terlampau dingin,“ sahut Kuda Sempana.
“Kita tidak akan membeku seperti minyak di musim bediding. Darah kita cukup panas dan hati kita pun cukup panas.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Ia menjadi semakin yakin bahwa ada yang tidak menyenangkan hati gurunya itu.
Cundaka berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak mau tergelincir dan terbanting ke dalam jurang. Ia hampir-hampir tidak memperhatikan sama sekali percakapan Kuda Sempana dengan gurunya. Tetapi ketika terasa bahwa gurunya menjadi tidak begitu senang terhadap kedua laki-laki kakak beradik itu, maka tergugah kembalilah perasaan muaknya. Tetapi ia masih saja tetap berdiam diri. Apapun yang akan terjadi, maka ia harus pandai mengambil keuntungan. Seandainya orang-orang liar itu benar-benar akan membunuh Mahisa Agni, maka ia pun akan mengambil keuntungan pula dari padanya. Seandainya niat itu diurungkan maka ia tidak terlampau banyak berkepentingan. Bahkan dengan demikian ia akan terhindar dari kemungkinan yang lebih parah. Apabila kemudian Akuwu Tunggul Ametung mengetahuinya, maka sasaran yang pertama-tama dari kemarahannya adalah gurunya, Kuda Sempana dan murid-murid Empu Sada yang lain.
Demikianlah mereka bertiga memanjat tebing gunung gundul itu sambil berdiam diri. Kuda Sempana pun tidak lagi bertanya-tanya. Sedang Empu Sada sama sekali tidak bernafsu untuk berbicara. Meskipun demikian orang tua itu berkata, “Siapkan senjata kalian. Di gunung gundul ini terdapat beberapa jenis binatang. Mungkin kalian akan bertemu dengan harimau kumbang yang mendaki dari hutan-hutan di sekitar bukit ini untuk mencari anjing-anjing liar. Tetapi anjing-anjing liar itu sendiri tidak kalah berbahayanya dari harimau-harimau kumbang. Tetapi yang lebih berbahaya adalah kedua orang liar itu. Mereka akan mampu menerkam kalian lebih cepat dari harimau yang betapapun buasnya.”
Kedua muridnya terkejut mendengar kata-kata itu. Tetapi yang lebih terkejut diantara mereka adalah Kuda Sempana, sehingga dengan serta merta ia menjawab, “Guru. Apakah guru berprasangka? Ketika aku menjumpai paman Wong Sarimpat di lereng gunung gundul ini, maka kesan yang aku dapatkan memang tidak begitu baik. Tetapi bukankah paman Kebo Sindet tidak sekasar paman Wong Sarimpat. Bahkan paman Kebo Sindet ternyata jauh lebih baik dari yang pernah guru katakan tentang kedua orang yang guru sebut sebagai orang-orang liar itu. Paman Kebo Sindet cukup ramah dan baik.”
“Hem,“ Empu Sada menggeram, “kau memang terlampau bodoh Kuda Sempana. Aku mengenal mereka berdua sejak lama. Sejak kakak seperguruanku masih hidup. Mereka adalah orang-orang liar yang tak dapat bersikap baik. Tetapi dahulu aku masih mempercayainya. Mereka waktu itu tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain kecuali berapa banyak kita akan memberinya upah. Tetapi sekarang aku melihat beberapa perbedaan. Mungkin mereka telah terlampau banyak menyimpan kekayaan, sehingga mereka mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkan keadaan lebih saksama. Dan adalah karena kebodohanmu, bahwa kau terlampau banyak berceritera tentang lawanmu itu.”
Kuda Sempana menjadi semakin tidak mengerti. kembali ia bertanya, “Apakah keberatannya guru? Bukankah kita akan bekerja bersama dengan mereka?”
“Kita akan bekerja bersama dengan mereka,“ jawab Empu Sada, “tetapi apakah kau yakin bahwa mereka akan bekerja bersama dengan kita?”
“Mereka tidak mempunyai kepentingan apapun dengan Mahisa Agni,“ sahut Kuda Sempana.
“Mahisa Agni adalah calon kakak ipar Akuwu Tunggul Ametung yang kaya raya. Yang mampu menyediakan emas sebongkah dan berlian segenggam. Alangkah bodohnya kau.”
Kuda Sempana masih belum dapat mengerti maksud gurunya dengan pasti. Namun menurut perasaannya, apapun yang akan dilakukan atas Mahisa Agni kemudian ia tidak perlu mempertimbangkan. Baginya asalkan dendamnya terbalas, maka tak ada lagi alasan untuk membuat perhitungan-perhitungan lain. Ia harus dapat melihat Mahisa Agni terikat pada tonggak kayu tanpa dapat berbuat apapun. Kemudian ia harus melihat, betapa anak muda itu menjadi sangat kecewa karena bendungannya gagal. Yang terakhir ia harus mendengar kabar bahwa Ken Dedes menangis setiap saat menangisi kakaknya yang mati. Kemudian Ken Dedes itu pun akan mati pula. Adalah lebih baik baginya dari pada setiap kali ia mendengar dan melihat gadis itu sebagai seorang permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.
“Gila,“ gumamnya di dalam hati, “bahkan kalau mungkin Tunggul Ametung harus aku bunuh pula.”
Tetapi Kuda Sempana itu kini berdiam diri. Ia berbicara dalam angan-angannya. Berbicara kepada diri sendiri tentang kemenangan yang akan dicapainya untuk melepaskan dendamnya.
Tanpa mereka sadari, maka mereka bertiga kini telah berada di punggung bukit gundul itu. Mereka berjalan diatas batu-batu padas yang keputih-putihan mengandung kapur. Di sana-sini bertebaran gerumbul-gerumbul liar seperti seonggok batu yang berserak-serak.
Tetapi Empu Sada itu masih berjalan terus. Langkahnya masih tetap panjang-panjang dan cepat.
Kuda Sempana yang mempunyai kepentingan langsung dengan kedua laki-laki kakak beradik itu bertanya kembali, “Guru, dimana kita bermalam?”
“Sejauh-jauhnya dari rumah hantu-hantu liar itu.”
“Kenapa sejauh-jauhnya? Besok kita akan terlalu payah. Bukankah kita besok akan kembali lagi kepada mereka?”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Hatinya kini dicengkam oleh keragu-raguan yang tajam. Sebagai seorang tua yang memiliki pengamatan yang jauh, terasa bahwa kedatangannya sama sekali tidak menggantungkannya. Juga tidak bagi murid-muridnya. Tetapi ia masih tidak pasti atas pengamatan perasaannya itu. Apalagi ketika didengarnya Kuda Sempana bertanya tentang apa yang akan dilakukan kini.
Sejenak orang tua itu tidak menjawab. Tetapi langkahnya sama sekali tidak mengendor, meskipun malam menjadi semakin dalam dan angin yang dingin berhembus dari Selatan mengusap kulit mereka yang dilumuri oleh keringat. Keringat yang mengalir karena ketegangan yang menghentak-hentak dada.
Karena Empu Sada tidak menjawab, maka kembali terdengar Kuda Sempana bertanya, “Guru, kemana kita bermalam. Bukankah kita dapat bermalam di tempat ini, tempat yang menurut pendapatku telah terlampau jauh?”
“Tidak Kuda Sempana,“ jawab gurunya. Akhirnya Empu Sada tak dapat menyembunyikan perasaannya, ia ingin menyelamatkan kedua muridnya itu dari bencana meskipun bencana itu belum pasti datang, “Terus terang aku katakan sekarang kepadamu berdua, bahwa sebenarnya aku menaruh curiga kepada kedua orang itu.”
Kuda Sempana terkejut mendengar kata-kata gurunya, dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa guru bercuriga. Memang keduanya tampaknya terlampau kasar dan liar, tetapi menurut anggapanku mereka mempunyai dada terbuka. Dan bukankah mereka telah menanyakan banyak hal tentang Mahisa Agni?”
“Terlampau banyak,“ sahut gurunya.
“Guru, aku tidak tahu, kenapa guru berkeberatan?”
Kembali Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia menjawab terdengar Cundaka berkata, “Ya, aku pun bercuriga kepada mereka.”
Kuda Sempana segera merasa tersinggung mendengar kata-kata saudara seperguruannya itu, sehingga cepat-cepat ia menyahut, “Kenapa kau pun bercuriga? sebenarnya kau tidak berkepentingan sama sekali dengan kedua orang itu. Lebih baik kau tidak usah turut menilainya.”
Cundaka mengerutkan keningnya. Ia tidak senang mendengar teguran Kuda Sempana yang kasar itu. Sehingga kembali ia berkata, “Demikianlah tanggapanku atas kedua orang itu. Berkepentingan atau tidak berkepentingan. Tetapi bagiku mereka berdua adalah orang-orang yang kasar dan memuakkan.”
“Kalau kau tidak mau bekerja bersama dengan mereka, pergilah,“ sahut Kuda Sempana, “tetapi jangan mencoba mengendorkan tekadku untuk membalas sakit hatiku atas Mahisa Agni.”
Tiba-tiba Cundaka itu pun berhenti. Wajahnya menjadi merah karena marah. Dengan tajamnya ia menjawab, “Baik. Aku akan pergi. Aku tidak mau turut campur dalam urusan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kepentinganku sendiri secara langsung. Aku memang pernah mendendam Mahisa Agni. Tetapi aku akan tekun menambah ilmuku sendiri. Kalau kau tak berhasil membinasakannya, maka akan sampai saatnya akulah yang berbuat. Tetapi dengan tanganku sendiri.”
“Jangan terlalu sombong,“ bentak Kuda Sempana yang, tidak kalah marahnya pula. Tetapi ketika ia akan mengumpat-umpat lebih banyak lagi, terdengar Empu Sada berkata, “Apakah yang kalian kerjakan itu. Apakah kalian akan berkelahi diantara kalian sendiri, sedang kalian masing-masing mendendam anak muda yang bernama Mahisa Agni?”
Kedua muridnya itu terdiam. Mereka sekali berpaling, memandangi gurunya yang telah berhenti pula.
Beberapa langkah Empu Sada itu mendekati mereka yang sudah berdiri berhadapan. Bahkan Kuda Sempana telah meraba hulu pedangnya.
“Ternyata kalian telah menjadi gila,“ berkata Empu Sada, “apa kau sangka bahwa setelah kalian berkelahi, maka urusan kalian dengan Mahisa Agni itu dapat selesai.”
“Tetapi ia menghina kedua paman kakak beradik itu guru.”
“Aku mengatakan tanggapan perasaanku atas mereka berdua.”
“Cukup,“ bentak Empu Sada keras-keras, “Betapa marahnya orang tua itu masing-masing murid-muridnya bertengkar diantara mereka, sehingga tongkat panjangnya terayun-ayun hampir menyentuh wajah kedua muridnya berganti-ganti, “Ayo. Siapa yang masih membuka mulutnya, maka mulut itu pasti akan pecah oleh tongkatku ini. Ayo. Siapa yang masih akan mencoba?”
Kedua muridnya menjadi takut melihat gurunya benar-benar marah. Kuda Sempana dan Cundaka segera menundukkan wajahnya dan menyembunyikan perasaannya. Tetapi bukan saja mereka berdua yang mencoba menyembunyikan perasaan yang menghentak-hentak dada masing-masing, tetapi Empu Sada pun mencoba menyembunyikan perasaannya di balik kemarahannya. Orang tua itu pun kemudian merasa, bahwa apa yang telah dilakukan selama ini terhadap murid-muridnya adalah keliru. Muridnya itu satu sama lain sama sekali tidak mempunyai ikatan persaudaraan yang kokoh. Sekali lagi Empu Sada menjadi iri melihat murid-murid Panji Bojong Santi. Mereka seakan-akan mempunyai suatu tataran yang teratur menurut urutan kakak beradik dalam perguruannya.
Tetapi semuanya itu telah terlanjur. Empu Sada hanya dapat menyesali diri sendiri. Ia tidak dapat membentuk murid-muridnya menjadi suatu lingkungan yang terikat oleh perasaan senasib sepenanggungan. Namun itu bukanlah salah murid-muridnya. Empu Sada sendiri memperlakukan mereka tidak adil sebagai murid yang baik. Empu Sada lebih memperhatikan muridnya yang berkedudukan baik dan yang mampu memberinya banyak uang dan harta benda. Tetapi murid-muridnya yang tidak mampu memberinya banyak dan tidak mempunyai kebanggaan apapun tentang dirinya, maka murid-murid itu hanya sedikit sekali mendapat perhatiannya. Sehingga dengan demikian, Empu Sada tidak mempunyai tanggung jawab yang sepenuhnya atas murid-muridnya, dan murid-muridnya pun tidak mempunyai kewajiban yang wajar atas gurunya itu. Murid-muridnya tidak menganggap gurunya sebagai seorang yang wajib dihormati dan disegani sepenuhnya, tetapi sebagai seseorang yang telah memberi mereka itu kepandaian setelah ia menerima upahnya.
Kini Empu Sada menyadarinya. Tak seorang pun dari murid-muridnya yang mempunyai wibawa atas murid-muridnya yang lain sebagai seorang kakak seperguruan terhadap adiknya. Murid-muridnya merasa, bahwa mereka satu sama lain terlepas dari ikatan semacam itu. Kalau ikatan itu ada, maka ikatan itu terlampau lemah.
Namun kesadaran orang tua itu agaknya telah terlampau lambat. Kini ia dihadapkan pada keadaan serba sulit, ia tahu benar bahwa kedua muridnya itu kini berada dalam keadaan yang berlawanan. Yang seorang ingin pergi meninggalkan tempat ini sedang yang lain ingin tinggal untuk mendapatkan orang-orang yang sanggup membantunya.
Empu Sada itu tersadar ketika dikejutkan terdengar suara anjing liar menggonggong bersahut-sahutan.
“Hem,“ desahnya sambil memandangi kedua muridnya itu berganti-ganti. “Sekarang bagaimana?”
Kedua muridnya itu mengangkat wajahnya. Tetapi mereka masih ragu-ragu untuk menjawab. Namun sekali lagi mereka mendengar Empu Sada bertanya, “Sekarang bagaimana?”
Yang mula-mula menjawab adalah orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo, “Kita pergi saja meninggalkan tempat ini.”
“Tidak,“ potong Kuda Sempana cepat-cepat, “kita kembali ke rumah paman Kebo Sindet. Kita telah mengambil keputusan untuk memohon bantuan mereka. Dan agaknya mereka telah membuka pintu selebar-lebarnya.”
“Ya,“ sahut Empu Sada, “mereka telah membuka pintu selebar-lebarnya. Tidak saja untuk memasukkan Mahisa Agni kedalamnya, tetapi kita sendiri akan berkubur di dalam goa itu, apabila malam ini kita kembali.”
“Guru terlampau berprasangka,“ jawab Kuda Sempana dengan tegangnya sehingga urat-urat lehernya seolah-olah akan mencuat keluar.
Empu Sada benar-benar menjadi bingung. Ia tahu, bahwa ia berprasangka, tetapi perasaannya dengan kuatnya memaksanya untuk tidak kembali ke rumah itu. Malam ini, dan bahkan besok pagi.
Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengecewakan Kuda Sempana yang telah menyimpan pengharapan di dalam hatinya sejak dijumpainya Wong Sarimpat.
Dalam pada itu terdengar Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu berdesis, “Aku akan meneruskan perjalanan ini guru. Malam ini aku tidak akan bermalam di bukit gundul ini. Aku akan berjalan terus sejauhnya.”
Belum lagi kalimat itu habis, Kuda Sempana telah memotongnya, “Aku akan kembali ke rumah paman Kebo Sindet dan Paman Wong Sarimpat. Aku tidak akan melepaskan kesempatan ini. Mahisa Agni harus tertangkap hidup-hidup. Bukankah guru seorang diri tidak sanggup melakukannya.”
“Kuda Sempana,“ bentak Empu Sada, “apakah kau sudah kehilangan kepercayaan atas gurumu?”
“Maksudku,“ sahut Kuda Sempana cepat-cepat, “maksudku, guru tidak dapat menyelesaikannya sendiri karena ada orang-orang lain yang ternyata telah terlibat pula, seperti Panji Bojong Santi seperti yang pernah guru katakan, dan mungkin Empu Purwa, ayah gadis itu yang sepengetahuanku selama aku tinggal di Panawijen pada masa kecilku, tidak lebih dari seorang tua yang sakit-sakitan. Namun ternyata guru telah memperhitungkannya pula.”
“Tentang Empu Purwa bertanyalah kepada Kebo Sindet. Ia mengenal orang tua sakit-sakitan itu dengan baik.”
“Jadi guru akan kembali ke gubug itu?”
Kembali Empu Sada diamuk oleh kebimbangan. Sekali-sekali dikejauhan terdengar anjing liar menggonggong bersahutan.
Empu Sada memasang telinganya baik-baik. Anjing itu telah menimbulkan kecurigaannya pula. Terdengar suaranya berkepanjangan dan berputar-putar di lereng bukit gundul ini.
“Apakah anjing itu melihat harimau, atau mereka melihat seseorang mendaki bukit ini?” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada kedua orang muridnya itu.
“Bagaimana guru?” desak Kuda Sempana.
“Aku tidak akan kembali, setidak-tidaknya malam ini,“ sahut Empu Sada, “entahlah besok pagi-pagi. Mungkin malam ini aku dapat mempertimbangkannya. Tetapi malam ini aku akan bermalam di seberang bukit gundul ini.”
“Kenapa terlampau jauh?”
“Banyak bahayanya di bukit gundul ini. Harimau, anjing-anjing liar dan orang-orang liar itu. Tetapi anggaplah kita tidak berprasangka apa pun terhadap kedua laki-laki itu. Maka yang perlu kita perhatikan adalah anjing-anjing liar itu. Anjing-anjing liar itu datang dalam jumlah yang terlampau banyak. Lebih baik melawan dua atau tiga ekor harimau dari pada lima puluh ekor anjing yang menyergap dari segenap penjuru.”
Sebelum Kuda Sempana menjawab, terdengar Cundaka mendahuluinya, “Aku akan pergi. Aku akan pergi.”
“Tunggu,“ cegah Empu Sada, “akulah yang mengambil keputusan.“ Namun kembali orang tua itu mendengar gonggong anjing. Sahut menyahut melingkar-lingkar, sehingga orang tua itu terpaksa mempertimbangkannya.
Cundaka yang hampir melangkahkan kakinya tertegun diam. Ia tidak berani melanggar kata-kata gurunya itu. Ia tahu, bahwa kali ini Empu Sada berkata sebenarnya. Dan ia harus tunduk kepadanya.
Wajah orang tua itu kini diliputi oleh ketegangan yang mencengkam hatinya. Dikejauhan ia masih mendengar gonggong anjing-anjing liar. Kadang-kadang menghilang, namun kadang-kadang serasa menjadi amat dekatnya.
Dengan nada datar orang tua itu berkata, “Tidak kita tidak boleh terpisah-pisah. Kalian dengar gonggong anjing liar itu?”
Kedua muridnya menganggukkan kepalanya mereka.
“Berapa jumlah anjing-anjing liar itu menurut dugaanmu?”
Kedua muridnya terdiam. Namun tiba-tiba mereka merasa ngeri juga mendengar suara anjing itu. Terlampau banyak. Betapapun tangkas mereka mempermainkan pedang, tetapi mereka satu-satu tidak akan dapat melawan sejumlah anjing-anjing liar itu. Anjing-anjing liar itu dapat menyerang dari segenap penjuru. Selagi seseorang mengayunkan senjatanya membunuh seekor diantara mereka, maka seekor yang lain telah menerkam tubuhnya dari arah yang lain. Disusul yang lain lagi, yang lain dan berpuluh-puluh banyaknya. Apalagi mereka sama sekali belum mengenal watak dan tabiat anjing-anjing hutan yang liar itu.
“Turutlah nasehatku,“ berkata Empu Sada kemudian, “anjing-anjing liar dan harimau-harimau kumbang akan merupakan bahaya yang besar bagi kalian. Alangkah malangnya apabila kalian mati dikoyak oleh anjing-anjing liar itu. Bukankah lebih baik kalian mati dibunuh oleh Mahisa Agni.”
Kedua muridnya tidak menjawab. Mereka kini mencoba memperhatikan suara anjing-anjing liar. bersahut-sahutan tak henti-hentinya. Semakin lama menjadi semakin riuh.
Tetapi kemudan mereka terkejut ketika mereka melihat bayangan yang kemerah-merahan bergerak-gerak di sisi tebing.
Cahaya yang bertebaran memancar dari balik gerumbul dan batu-batu yang menjorok di permukaan bukit gundul itu.
Empu Sada mengerutkan keningnya. Ditatapnya cahaya yang kemerahan itu dengan tajamnya, perlahan-lahan ia bergumam, “Obor. Apakah kalian melihat sinar obor itu?”
Kedua muridnya mengangguk.
“Siapa menurut dugaanmu?”
Cundaka lah yang menjawab, “Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
“Mereka tidak memerlukan obor,“ potong Kuda Sempana.
“Lalu siapa menurut dugaanmu Kuda Sempana?“ bertanya Empu Sada.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu guru.”
“Siapkan senjata kalian. Mungkin kita bertemu dengan orang-orang yang tidak bermaksud baik terhadap kita.”
“Aku sudah pasti,“ sela Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo, “mereka adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
“Persetan,“ potong Kuda Sempana pula, “kau menghina mereka berdua. Kau sangka bahwa mata mereka telah menjadi buta, atau setidak-tidaknya rabun? Mereka adalah orang-orang sakti. Apakah matamu lebih baik dari mata mereka?”
“Aku tidak peduli. Disini tidak ada orang lain kecuali mereka berdua,“ sahut Cundaka.
“Kalau begitu kaulah yang buta,“ jawab Kuda Sempana, “kau tidak melihat padukuhan di sebelah rumah paman Kebo Sindet dan paman Wong Sarimpat.”
Orang-orang padukuhan itu tidak lebih dari mayat-mayat yang hidup. Yang berbuat tidak atas kesadaran diri. Mereka adalah alat-alat yang bernyawa dari kedua orang-orang liar itu.”
“Omong kosong. Kau tidak tahu apa-apa tentang kedua orang itu. Kau menjadi iri, ketika kau melihat ada orang yang bersedia membantuku. Kau iri bahwa upah yang akan mereka terima tidak lagi akan aku berikan kepadamu.”
“Kuda Sempana,“ potong Cundaka, “aku masih sanggup menampar mulutmu.”
“Aku bukan tonggak mati Cundaka, yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo.”
Tiba-tiba keduanya memutar diri masing-masing. Kini Kuda Sempana dan Cundaka telah berhadapan. Namun tiba-tiba pula mereka terkejut. Mereka menyadari diri mereka masing-masing ketika mereka berdua telah terpelanting jatuh berguling-guling diatas batu-batu padas yang keputih-putihan.
“Setan,“ terdengar guru mereka itu menggeram, “Kalau kalian masih bertengkar, maka biarlah kalian aku bunuh bersama-sama. Biarlah tubuh kalian hancur disayat oleh anjing-anjing liar itu atau oleh harimau kumbang.”
Kuda Sempana dan Cundaka tertatih-tatih berdiri. Wajah-wajah mereka menjadi merah membara. Tetapi mereka tidak berani berbuat apapun terhadap gurunya.
“Lihatlah,“ berkata Empu Sada, “obor itu menjadi semakin dekat. Sebentar lagi kalian akan melihat seseorang atau dua orang muncul dari balik batu-batu yang menjorok itu. Atau kalian akan melihat, apakah yang datang itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atau bukan. Mereka berdua atau bukan, kita harus menerima mereka dengan penuh kewaspadaan. Kita harus mencoba menyatukan kekuatan kita, bukan kita hancurkan sendiri.”
Kuda Sempana dan Cundaka tidak menjawab. Tetapi mereka pun berpaling ke arah yang ditunjuk oleh Empu Sada.
Dikejauhan mereka melihat cahaya yang kemerahan bertebaran, semakin lama semakin dekat. Gonggong anjing liar pun semakin lama menjadi semakin hilang pula.
Tatapi dengan demikian hati mereka bertiga menjadi semakin berdebar-debar. Dengan mulut terkunci dan mata tidak berkedip mereka menatap ke arah nyala yang memancar kemerah-merahan itu. Bayangannya bergerak di bebatuan dan tebing-tebing bukit gundul di sisi yang menjorok keatas, seperti bayangan hantu yang menari-nari mengerikan menarikan tarian maut.
Empu Sada dan kedua muridnya berdiri tegak seperti patung. Bahkan kadang-kadang nafas mereka tertahan karena ketegangan yang semakin memuncak. Obor itu menjadi semakin dekat.
Darah mereka serasa terhenti ketika dari balik batu yang menjorok, mereka melihat sepasang obor seolah-olah mendaki lereng bukit gundul dan muncul tidak terlampau jauh dihadapan mereka. Sepasang obor yang dibawa oleh sepasang laki-laki.
Dalam pada itu terdengarlah Cundaka menggeram perlahan-lahan, “Apa katamu Kuda Sempana. Mereka berdua pasti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Ayo, katakanlah sekarang, bahwa aku telah menghina mereka. Nanti kau akan dapat mengamati sendiri pada wajah yang kasar sekasar batu padas dan wajah yang beku seperti wajah mayat.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Yang terdengar adalah suara giginya gemeretak menahan marah. Namun yang dilihatnya adalah benar-benar Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. mereka masing-masing membawa sebuah obor. Dan apa yang dilihatnya itu benar-benar tidak masuk di dalam akalnya. Kenapa orang seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat masih memerlukan obor untuk mendekati gunung gundul yang hampir setiap hari dilewatinya. Tetapi ia telah membawa dengan mata kepalanya sendiri. Keduanya benar-benar telah membawa obor di tangan.
Empu Sada masih berdiri diam. Dengan penuh kecurigaan dipandanginya kedua orang itu berjalan ke arah mereka. Setapak-setapak kedua laki-laki kakak beradik itu maju semakin dekat. Dan hati Empu Sada bersama dua orang muridnya menjadi semakin berdebar-debar. Mereka sama sekali belum tahu, apakah yang akan dilakukan oleh kedua orang itu.
Tiba-tiba bukit gundul yang kini telah menjadi sepi karena suara anjing-anjing liar sudah tidak terdengar lagi itu digetarkan oleh suara Wong Sarimpat keras-keras, “Ha, itulah mereka kakang.”
Tak terdengar jawaban. Namun kedua orang itu melangkah semakin cepat.
“Hati-hatilah,“ terdengar Empu Sada berdesis. Tetapi ketika Cundaka meraba hulu pedangnya Empu Sada itu berkata perlahan-lahan, “Jangan.”
Kuda Sempana benar-benar tidak senang melihat sikap Cundaka yang seakan-akan memusuhi kedua orang yang telah menyatakan diri untuk membantunya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Namun berbeda dengan gurunya dan saudara seperguruannya, ia sama sekali tidak menaruh kecurigaan apa-apa kepada mereka berdua.
Yang terdengar kemudian adalah suara Wong Sarimpat kembali, “He, Empu Sada, apakah kau telah menenukan tempat yang baik untuk bermalam?”
Empu Sada tidak segera menjawab. Ia menunggu kedua orang itu menjadi semakin dekat. Tetapi Wong Sarimpat itu telah berteriak lagi, “He, apakah kau sudah menjadi bisu?”
Namun Empu Sada masih membiarkannya berteriak sesuka hatinya meskipun ia menjadi sangat jengkel pula karenanya, apalagi muridnya yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo. Dengan geramnya ia berdesis, “Orang itu benar-benar seperti orang gila.”
“Sekali lagi kau menghinanya,“ sahut Kuda Sempana, “apakah mulutmu ingin disobeknya?”
“Diam,“ potong Empu Sada, “kalian berdualah yang membuat aku hampir menjadi gila.”
Keduanya kini terdiam. Kedua laki-laki kakak beradik itu kini telah menjadi semakin dekat. Hanya beberapa langkah lagi. Dan terdengarlah suara tertawa Wong Sarimpat, “Ha, ternyata kalian masih hidup. Apakah kalian tidak menjumpai gerombolan anjing-anjing liar itu?”
“Tidak,“ sahut Empu Sada.
“Beruntunglah kalian. Kalau kalian bertemu dengan serombongan anjing-anjing itu, maka kalian harus bertempur mati-matian. Mungkin kalian bertiga akan memenangkan pertempuran itu, tetapi kalian akan kehabisan tenaga. Apabila kemudian datang rombongan yang lain atau harimau kumbang, maka kalian akan disantap mereka itu dengan nyamannya.”
“Lebih baik bagi kami bertiga,“ sahut Empu Sada.
“He,“ Wong Sarimpat terkejut, “lebih baik dari apa?”
“Lebih baik berkelahi melawan anjing-anjing liar itu dari pada kami harus mati di dalam gubugmu.”
“Kenapa?”
“Kalian akan mencekik kami selagi kami tidur.”
Kembali terdengar suara tertawa Wong Sarimpat seolah-olah akan membelah gelap malam. Demikian kerasnya sehingga perutnya terguncang. Namun dalam pada itu wajah Kebo Sindet yang beku itu sama sekali tidak bergerak. Wajah itu masih juga beku sebeku wajah sesosok mayat.
Tiba-tiba terdengar suara Kebo Sindet dalam nada yang rendah, “Aku datang karena aku menjadi cemas atas nasib kalian.”
“Apa yang kau cemaskan?” bertanya Empu Sada.
“Kalian belum mengenal bukit ini. Kalian belum mengenal penghuni bukit ini dan kalian belum mengenal siapa yang merajai bukit ini dimalam hari.”
Empu Sada tertegun mendengar kata-kata Kebo Sindet itu. Kata-kata bersahabat yang terasa menyejukkan hati. Tetapi perasaan orang tua itu telah dicengkam oleh kecurigaan, sehingga setiap kalimat yang diucapkan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat terasa bagaikan sebuah jebakan untuk menjeratnya. Tetapi Empu Sada tidak segera menjawab. Dibiarkannya Kebo Sindet berkata terus, “Karena itu kami datang kemari. Kami akan mempersilahkan kalian sekali lagi. Tidurlah di rumah kami. Tetapi agaknya kalian telah benar-benar menganggap sikap kami terlampau menyakitkan hatimu sehingga kalian sama sekali tidak mau mendengarkan permintan kami lagi.”
“Terima kasih,“ sahut Empu Sada, “aku akan tidur disini.”
“Sekali lagi aku memperingatkanmu. Bagaimana dengan anjing liar dan harimau-harimau yang berkeliaran dimalam hari?”
Empu Sada tidak segera menjawab. Disambarnya wajah kedua muridnya dengan sudut pandangannya. Empu tua itu melihat, kesan yang berlawanan pada kedua wajah itu. Sekali lagi ia menyesal. Ia telah menyalakan kecurigaannya terlampau berterus terang dihadapan muridnya, sehingga Cundaka pun menjadi sangat bercuriga dan seolah-olah tidak akan dapat mempercayai apa saja yang dikatakan oleh kedua orang itu seperti perasaannya sendiri. Tetapi dengan demikian, ia telah membuat garis batas antara kedua murid-muridnya itu. Kuda Sempana sangat bernafsu untuk mendapat bantuan melepaskan dendamnya, sedang Cundaka yang tidak terlampau banyak berkepentingan lebih senang meninggalkan tempat itu karena sejak pertama kali ia melihat salah seorang dari kedua orang itu hatinya telah kecewa. Menurut anggapannya kedua orang itu benar-benar memuakkannya
“Bagaimana Empu Sada,“ desak Kebo Sindet, “aku hanya sekedar memberimu peringatan. Aku adalah orang di bukit gundul ini. Aku telah memahami watak daerah ini siang dan malam. Aku tahu apa yang dapat terjadi di siang hari dan apa yang dapat terjadi dimalam hari. Karena itu, maka kali ini aku membawa obor. Kau tahu, apakah gunanya obor ini bagi kami?”
Empu Sada tidak menjawab. Tetapi pertanyaan itu telah menarik perhatian Kuda Sempana dan Cundaka. Mereka memang ingin tahu, kenapa kedua orang itu membawa obor.
“Dimalam hari,“ berkata Kebo Sindet lebih lanjut, “anjing-anjing itu menjadi semakin liar. Dimalam hari gerombolan anjing-anjing itu menjadi semakin banyak. Tetapi mereka tidak begitu berani melihat api. Itulah sebabnya kami membawa obor. Dengan obor di tangan kami tidak usah bersusah payah berkelahi melawan anjing yang jumlahnya tidak terhitung. Kami hanya cukup menggerak-gerakkan obor kami dan anjing-anjing itu tidak berani mendekat. Mereka hanya menyalak dan menggonggong tak habis-habisnya. Tetapi akhirnya mereka pergi. Beruntunglah kalian bahwa kalian belum bertemu dengan gerombolan anjing-anjing itu. Kalau demikian, maka kalian harus perjuangan sekuat-kuat tenaga kalian. Tetapi anjing itu akan datang semakin banyak dan semalam suntuk kalian akan berkelahi. Apabila kalian kehabisan tenaga, maka kalian akan menjadi kerangka di bukit gundul ini.”
Di telinga Kuda Sempana kata-kata itu benar-benar sebagai suatu sikap bersahabat yang pantas dihargai. Ia sama sekali tidak melihat sikap yang pantas dicurigai. Karena itu Kuda Sempana tidak dapat mengerti, kenapa gurunya bersikap aneh terhadap kedua orang itu. Mungkin sikap Kebo Sindet agak berlebihan, tetapi bukankah orang itu mengharap upah dari padanya, sehingga ia bersedia sedikit merendahkan dirinya. Bahkan menyayangkan jiwanya bersama guru dan saudara seperguruannya? Sebab apabila mereka bertiga binasa di bukit gundul itu. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak akan dapat menerima upah lagi dari mereka.
Tetapi Empu Sada menangkap semua itu pun dengan sikap yang berbeda. Seolah-olah terasa padanya, bahwa di balik sikap itu tersembunyi maksud-maksud yang sama sekali tidak menguntungkannya. Karena itu maka jawabnya, “Terima kasih Kebo Sindet. Kalau kau berbaik hati kepada kami, maka biarkan kami tidur disini. Berikan saja obormu itu kepada kami, supaya kami dapat terhindar dari gerombolan anjing-anjing liar itu.
“Obor ini tidak akan dapat menyala terus menerus semalam suntuk Empu Sada,“ sahut Kebo Sindet.
“Kami akan dapat mencari daun-daun kering dan ranting-ranting perdu di gerumbul-gerumbul itu untuk membuat perapian.”
Kebo Sindet mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandangi wajah adiknya, tampaklah wajah itu disaput oleh kegelisahan. Agaknya Wong Sarimpat sedang menahan hati.
Dalam pada itu Empu Sada pun sekali lagi mencoba memahami perasaan kedua muridnya. Kuda Sempana menjadi sangat kecewa mendengar sikap gurunya, sedang Cundaka bersikap acuh tak acuh saja atas pembicaraan itu. Namun sekali-sekali tampaklah wajahnya menjadi tegang dan sekali-sekali tampak jelas bahwa orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu sama sekali tidak senang mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Kebo Sindet. Meskipun demikian ia mencoba menahan dirinya.
Tetapi mata Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang tajam, melihat wajah Cundaka seperti mereka melihat warna hati murid Empu Sada yang seorang itu, sebagaimana mereka dapat membaca hati Kuda Sempana pula. Kebo Sindet yang mempunyai perhitungan tersendiri masih juga membiarkannya berbuat sesuka hati. Wajahnya masih saja membeku sebeku wajah batu-batu di pegunungan gundul itu. Tetapi berbedalah dengan Wong Sarimpat. Wajahnya yang sekeras batu-batu padas menjadi semakin kasar. Sekali-sekali mulutnya berkumat-kamit, namun tak sepatah kata pun yang melontar dari mulutnya.
“Bagaimana Empu?” terdengar suara Kebo Sindet datar.
“Berikan obormu. Satu kau tinggal disini dan satu kau bawa kembali.”
Wajah Kebo Sindet sama sekali tidak menunjukan perasaan apapun di dalam dadanya, tetapi Empu Sada yang cukup matang menghadapinya, melihat bahwa mata orang itu seolah-olah menjadi semakin tajam memandanginya. Dari mata itulah Empu Sada kini mencoba membaca perasaan Kebo Sindet.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Gunung gundul itu menjadi sunyi kembali. Sunyi namun tegang. Dalam pada itu, hati Empu Sada lah yang menjadi gemuruh karena berbagai perasaan yang bergumul didalamnya. Seakan-akan terdengarlah suara Empu Gandring berkata, “hati-hatilah menghadapi kedua orang itu Empu. Mungkin kau akan ditelannya.“ Kemudian suara Panji Bojong Santi, “Bagaimanapun juga, kau masih jauh lebih baik dari kedua orang-orang liar itu Empu Sada.”
Baru kini Empu tua itu menyadari, bahwa ternyata saat itu hatinya sendiri telah dibakar oleh kemarahan dan dendam atas kekalahan dan kegagalan murid-muridnya meskipun ia sendiri telah ikut merencanakan dan menangani usaha itu.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat masih juga berdiri tegang di tempatnya. Sekali-sekali Wong Sarimpat mengeratkan keningnya dan mencoba memandangi wajah kakaknya. Tetapi wajah itu masih sekosong wajah sesosok mayat.
Kuda Sempana dan Cundaka pun terpaku seperti sebatang tonggak mati. Namun pada wajahnya terpancar kesan yang berbeda-beda. Kuda Sempana mengumpat-umpat di dalam hatinya atas sikap gurunya, sedang Cundaka pun tidak senang mendengar jawaban gurunya itu. Cundaka ingin gurunya berkata, “Kita tidak mempunyai urusan lagi. Kami akan pergi. Kami akan kembali ke rumah kami.” Tetapi gurunya masih saja menuruti nafsu Kuda Sempana yang baginya sama sekali tidak akan memberikan keuntungan apa-apa. Membunuh Mahisa Agni atau mendapatkan Ken Dedes, Cundaka tidak akan mendapat apapun juga. Mahisa Agni bukan seorang pangeran yang kaya raya, yang pada mayatnya terdapat jamrut, mirah, intan dan berlian. Anak muda itu sama sekali tidak bertimang dan tidak berkelat bahu emas murni. Apakah sepeninggal Mahisa Agni ia akan mendapat bagian batu-batu bendungan, atau berunjung-berunjung bambu?”
Yang mula-mula memecah kesepian adalah suara Kebo Sindet, “Empu, apakah kau akan berkeras kepala?”
Empu Sada mengerutkan keningnya. Kini ia melihat sikap yang agak wajar dari Kebo Sindet. Orang itu adalah orang yang kasar. Setiap ucapan dan kata-katanya yang baik, sopan dan teratur pastilah menyimpan sesuatu maksud tertentu. Tetapi apabila ia mulai berkata wajar menurut keadaan, sifat dan wataknya, maka agaknya ia akan mulai berterus terang.
“Jangan hiraukan aku,“ sahut Empu Sada, “kau tidak berkepentingan apapun juga seandainya kami dicincang oleh anjing-anjing liar atau oleh macan kumbang sekalipun.”
“Tetapi kalian adalah tamuku. Aku bertanggung jawab akan keselamatanmu sekalian.”
Tiba-tiba Empu Sada tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, “Sejak kapan kau menjadi terlampau baik hati? Sejak kapan kau merasa, bahwa kau adalah tuan rumah di rumahmu sendiri?”
Kebo Sindet terdiam. Ketika ia berpaling melihat wajah adiknya, maka wajah itu telah memerah darah. Namun dada Kebo Sindet itu berdesir ketika ia melihat wajah Cundaka yang seperti Wong Sarimpat, memancarkan kemarahan yang menyala-nyala di dalam hatinya. Meskipun demikian wajahnya yang beku masih juga membeku. Tetapi terdengar ia bertanya, “He tikus kecil. Kenapa matamu menyorotkan kemarahan? Wajahmu yang jelek menjadi bertambah jelek.”
Cundaka hampir saja menjawab pertanyaan itu dengan kasar pula, seandainya Empu Sada tidak menggamitnya. Dan Empu Sada lah yang kemudian menjawab, “Jangan hiraukan anak itu, dan jangan hiraukan kami semuanya. Kalau kau berbaik hati, berikan salah satu obormu. Kalau tidak, tinggalkan kami disini. Kami akan menjaga diri kami sendiri.”
“Tetapi,“ sahut Kebo Sindet, yang kata-katanya amat mengejutkan, apalagi bagi Cundaka, “mata muridmu yang seorang itu amat menarik. Bagaimana kalau aku mengambilnya sebelah Empu.”
Dada Cundaka seakan-akan hampir meledak mendengar penghinaan itu. Tetapi sekali lagi terasa tangan Empu Sada menggamitnya, sehingga kembali ia menyadari dirinya, dengan siapa ia berhadapan. Namun sakit di dalam dadanya, terasa menjadi sangat pedih.
Yang menjawab adalah Empu Sada pula, katanya, “Mata itu masih sangat berguna baginya. Kau tidak akan dapat mempergunakannya. Karena itu jangan bersusah payah. Aku akan menasehatinya, supaya ia dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Tetapi kau jangan membuang waktu untuk urusan-urusan yang tidak berarti. Sekarang bagaimana dengan obormu? Kalau perlu, maka obor itu akan dapat diperhitungkan sama sekali dengan upah yang kau kehendaki atas bantuanmu menangkap Mahisa Agni.”
“Aku belum membicarakan tentang upah yang ingin aku minta darimu,“ sahut Kebo Sindet, “tetapi kalau kau sudah menyebut-nyebutnya, maka biarlah aku mengatakannya. Upah itu tidak terlampau banyak. Beberapa kerat emas dan sebelah mata muridmu itu.”
Cundaka hampir-hampir tidak dapat menguasai dirinya mendengar kata-kata Kebo Sindet. Namun sebelum ia menjawab, terdengar Empu Sada mendahului, “Bagus. Itu permintaanmu. Tetapi bukankah kami dapat menawarnya? Kalau ternyata tawaran kami tidak sesuai, maka permintaan kami akan dapat kami batalkan.”
“Bagaimana tawaranmu?”
“Anak itu tidak berkepentingan,“ sahut Empu Sada, “karena itu, maka ia tidak akan dapat turut membayar upah yang kau kehendaki itu. Semuanya akan dibayar oleh Kuda Sempana. Tetapi sudah tentu tidak sebelah matanya.”
“Tetapi mata Kuda Sempana tidak segarang mata muridmu yang satu itu Empu. Mata itu seperti mata burung hantu.”
Sebelum Empu Sada menyahut terdengar suara Wong Sarimpat seperti akan memecahkan selaput telinga, “Mata yang demikian itulah Empu, yang dapat kami pergunakan untuk tumbal keselamatan pekerjaan kami.“ kemudian terdengar suara Wong Sarimpat tertawa. berkepanjangan. Jauh lebih mengerikan dari suara anjing liar yang menggonggong bersahut-sahutan.
Cundaka kini tidak lagi dapat menahan diri. Betapapun ia merasa kecil, namun di dalam jiwanya membara pula sifat-sifatnya yang keras dan dendam. Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeram.
“He, kenapa kau menggeram tikus,“ bertanya Wong Sarimpat, “apa kau sangka bahwa seekor tikus akan dapat menjadi seekor harimau.”
Mata Cundaka menjadi semakin menyala. Tetapi Wong Sarimpat itu bahkan mentertawakannya semakin keras.
“Cukup,“ tiba Cundaka itu membentak.
Wong Sarimpat benar-benar terkejut mendengar bentakan itu sehingga suara tertawanya terputus. Bukan saja Wong Sarimpat tetapi juga Kebo Sindet dan bahkan Empu Sada sendiri.
Segera Empu Sada merasa bahwa perbuatan Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu sama sekali tidak bijaksana. Seandainya Empu Sada sendirilah yang membentak-bentaknya, maka kedua orang itu tidak akan segera merasa tersinggung, karena Empu Sada adalah orang yang mereka anggap setingkat dengan mereka. Tetapi Cundaka adalah seorang murid yang masih berada jauh dibawah tingkat kedua orang itu, sehingga bentakan itu akan sangat menyinggung harga dari mereka, kedua orang liar dan kasar itu. Dengan demikian maka hal-hal yang tidak diharapkan akan dapat terjadi.
Karena itu maka dengan serta merta Empu Sada berteriak, “Cundaka apakah kau sudah menjadi gila. Ayo mintalah maaf kepada kedua pamanmu.”
Sebenarnya Cundaka sendiri pun terkejut mendengar suaranya. Suaranya itu seakan-akan demikian saja meloncat dari mulutnya. Sehingga ketika ia menyadarinya, maka mau tidak mau dadanya pun menjadi berdebar-debar. Tetapi semuanya sudah terlanjur.
Ketika gurunya memerintahkannya untuk segera minta maaf kepada kedua laki-laki kakak beradik itu, terjadilah keragu-raguan di dalam hatinya. Ingin ia menurut perintah itu, namun betapa ia terlampau merendahkan dirinya sendiri. Karena keragu-raguan itu, maka sejenak ia berdiam diri.
“Ayo,“ perintah gurunya, “mintalah maaf kepada kedua pamanmu. Segera.”
Tak ada pilihan lain bagi Cundaka untuk mematuhi perintah itu. Tetapi selagi ia hampir berhasil mengatasi keragu-raguannya, dan hampir saja ia mengucapkan permintaan maaf itu, terdengar Kuda Sempana berkata, “Jangan terlalu sombong Cundaka. Kau adalah sumber dari kericuhan. Sebenarnya lebih baik apabila kau tidak ada diantara kami. Tetapi kau telah terlanjur membuat suatu kesalahan yang gila. Sekarang kau harus memohon maaf.”
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati Cundaka, sehingga kembali ia kehilangan kesadaran dan menjawab kasar. “Itu adalah urusanku Kuda Sempana. Kau tidak usah mengatur, apa yang sebaiknya aku kerjakan.”
“Cundaka,“ potong Empu Sada, “jangan hiraukan Kuda Sempana.”
“Tetapi ia menghina aku guru.”
“Sekarang kau minta maaf.”
“Aku sudah ingin melakukannya, tetapi Kuda Sempana membuat dadaku terbakar.”
Percakapan itu terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara tertawa Wong Sarimpat. Suara tertawa itu menggeletar lebih keras lagi dari yang pernah mereka dengar. Namun wajah orang itu sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan hatinya. Meskipun ia tertawa tetapi matanya memancarkan kemarahan yang membakar jantungnya Disela-sela suara tertawa itu terdengar ia berkata, “Tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya kau minta maaf kepada kami he orang gila. Kalau kau kemudian minta maaf juga maka itu sama sekali bukan karena kau ingin minta maaf, tetapi itu hanya karena gurumu menyuruhmu. Nah, yang paling baik bagimu adalah mempertanggung jawabkan kesombonganmu itu.”
Kening Empu Sada berkerut-merut karenanya. Ia melihat wajah Cundaka menjadi tegang. Sekilas muridnya itu pun menatap wajahnya, namun kemudian tampaklah Cundaka menjadi bingung. Empu Sada sendiri tidak segera dapat menemukan cara yang sebaiknya untuk mengatasi keadaan, sehingga sejenak ia pun terdiam mematung.
“Nah,“ berkata Wong Sarimpat kepada Kuda Sempana, “kini kami telah pasti. Apakah yang harus kau bayar kepada kami atas pertolongan yang kau harapkan itu Kuda Sempana. Beberapa kerat emas murni dan sebelah mata saudara seperguruanmu. Kalau kau mampu menyediakannya, maka selambat-lambatnya lima hari kami akan membawa Mahisa Agni itu kepadamu. Setuju?”