Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 32

"Memang Si Kedok Hitam itu berperut gendut, Akim, lalu kenapa?"

"Sin Wan, kita sungguh bodoh sekali mengapa baru sekarang sadar akan hal itu. Lupakah engkau ketika kita menyerangnya? Pada waktu itu pedangmu yang tumpul tapi ampuh itu sempat membuat dia terkejut dan pedang di tangannya rusak oleh pedang tumpulmu. Dan pedangku ini..." Tiba-tiba Akim mencabut pedangnya yang tidak pernah terpisah darinya dan semua orang terkejut melihat sinar pedang yang mengandung hawa dingin itu.

"Paman Bhok, pedang pemberian mendiang ayah ini adalah pedang pusaka. Coba paman lihat keampuhannya!" Gadis itu melompat ke sudut ruangan itu di mana terdapat sebuah rak besi kemudian sekali pedangnya menyambar, ujung rak besi itu putus seperti terbuat dari kayu lunak saja!

Ketika semua orang masih memandang kaget dan heran, Akim sudah menghampiri Bhok Cun Ki kemudian menyerahkan pedangnya. "Maaf jika aku merusak rak itu, paman, akan tetapi coba paman periksa, apakah kiranya di dunia ini ada ahli silat yang kebal terhadap pedangku ini?"

Biar pun dia sendiri juga kaget dan heran, Bhok Cun Ki menerima pedang itu kemudian memeriksanya. Ia menggelengkan kepalanya. "Pedangmu ini merupakan pusaka ampuh, Akim. Senjata besi biasa saja tidak akan mampu bertahan kalau bertemu pedang ini, apa lagi kulit daging manusia. Betapa pun kebalnya, sukarlah untuk bisa menahan pedangmu ini dengan kekebalan kulit."

"Nah, sekarang tentu engkau ingat, Sin Wan?"

Dan Sin Wan tiba-tiba saja berseru sambil bangkit berdiri. "Benar! Perut gendutnya! Perut gendutnya!"

Tentu saja semua orang menjadi semakin heran dan juga geli. Seolah-olah Sin Wan telah ketularan penyakit Akim dan menyebut-nyebut perut gendut! Akan tetapi dia melanjutkan,

"Ketika kami mengeroyoknya, dan Si Kedok Hitam terkejut karena pedangnya rusak oleh pedangku, saat itu Akim menyerangnya dengan tusukan pedangnya. Serangan Akim itu cepat sekali dan dilakukan pada detik si Kedok Hitam tertegun sehingga pedangnya tepat memasuki perut gendutnya. Aku melihat dengan jelas, tetapi Si Kedok Hitam tidak roboh, bahkan tidak ada darah keluar dari perutnya yang tertusuk pedang!"

Mendengar ini Bhok Cun Ki memukul meja di depannya.

"Brakk…!"

Dan dia pun bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat. "Ahh…, kalau begitu perut gendutnya adalah palsu!"

"Benar sekali, Paman Bhok. Akim telah menemukan rahasia yang amat penting bagi kita! Sekarang tak usah diragukan lagi, Si Kedok Hitam yang oleh anak buahnya disebut Yang Mulia, pemimpin jaringan mata-mata Mongol, adalah seorang pria yang sama sekali tidak gendut perutnya, melainkan tinggi besar dan amat lihai."

Mereka duduk kembali dan tampak betapa Bhok Cun Ki saling pandang dengan Sin Wan, seolah-olah keduanya dapat saling menjenguk isi hati masing-masing. Akhirnya Bhok Cun Ki berkata, "Sin Wan, apakah engkau juga menduga seperti yang menjadi dugaanku?"

Pemuda ini mengangguk. "Memang selama ini sikapnya selalu menentang dan memusuhi aku, paman, seakan secara tidak langsung dia memihak kepada para mata-mata Mongol. Biar pun kita belum dapat memastikannya, akan tetapi dia patut sekali dicurigai, paman, di samping Yauw Siucai itu."

Bhok Cun Ki mengangguk-angguk.

"Ihh…, kalian berdua seperti bicara dalam bahasa rahasia saja! Siapa sih orangnya yang kalian sangka menjadi Si Kedok Hitam itu?" tanya Cu Sui In tak sabar.

Suaminya menghela napas panjang. "Kalau ada orang luar yang tahu, hal ini tentu akan menimbulkan kegemparan. Berbahaya sekali kalau dugaan kita itu keliru, dan berbahaya pula kalau sebelum kita menemukan buktinya, dia telah mendengar akan dugaan kita."

"Akan tetapi, siapakah dia?" Sui In mendesak.

Bhok Cun Ki menengok ke kiri kanan. Ruangan itu tertutup dan tidak tampak seorang pun pembantu keluarga, juga tidak terdengar ada orang di luar ruangan itu. Namun tetap saja dia berkata dengan bisik-bisik, "Jenderal Besar Yauw Ti."

"Ihhh...!" Nyonya Bhok menahan jerit dengan menutupi mulutnya. "Bagaimana mungkin? Dia seorang jenderal besar yang sudah banyak berjasa terhadap kerajaan!"

Suaminya memberi tanda agar isterinya tetap tenang. "Kalian semua tahu bahwa dugaan ini harus kita rahasiakan. Aku, dengan dibantu Sin Wan, Akim, engkau sendiri Sui In dan nona Lim Kui Siang, akan mencari bukti-buktinya. Bahkan secara rahasia aku akan bicara dengan Jenderal Shu Ta, sebab hanya Jenderal Shu Ta yang akan dapat mengendalikan dan mengatasi kalau-kalau benar dia orangnya dan dia hendak mempergunakan kekuatan pasukannya."

"Wah, kalau memang demikian, tentu akan geger dan terjadi perang saudara yang hebat!" seru Ci Han penuh kekhawatiran.

Memang dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau yang menjadi pemberontak itu adalah seorang jenderal besar seperti Jenderal Yauw Ti yang kini mengepalai ratusan ribu orang pasukan!

"Karena itu kita harus bekerja secara rahasia. Jangan sampai dia mengetahui lebih dahulu bahwa dia dicurigai karena hal itu akan membahayakan sekali," kata Bhok Cun Ki. "Dan aku memiliki pula sebuah bukti yang akan membongkar rahasia pimpinan mata-mata itu."

Bhok Cun Ki memasuki kamarnya, kemudian ia kembali ke ruangan itu sambil membawa sebuah benda kecil yang dibungkus dengan kain. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata isinya adalah sebatang paku menghitam.

"Inilah paku yang dahulu melukai pundak Lili pada saat dia bertanding denganku. Paku ini dilepas seseorang dengan maksud membantu Lili dan membunuhku, akan tetapi paku ini dapat tertangkis pedangku. Paku-paku itu runtuh dan sebuah di antaranya, yaitu yang ini, mengenai pundak Lili."

"Paku itu beracun," Cu Sui In membantu suaminya karena dia sudah mendengar kisah itu dan sudah memeriksa senjata rahasia itu dengan teliti, "Akan tetapi tidak ada tanda-tanda siapa pemiliknya."

"Kalau kita dapat menyelidiki tempat tinggal orang-orang yang kita curigai, kemudian kita mendapatkan senjata rahasia yang serupa dengan ini, berarti dialah yang melepas senjata beracun itu, membuktikan bahwa dia terlibat dalam jaringan mata-mata musuh."

Cukup lama mereka mengadakan perundingan, dan pada malam hari itu Sin Wan dan Kui Siang diterima sebagai tamu agung, bahkan sebagai anggota keluarga sendiri. Kui Siang segera akrab dengan Akim dan Ci Hwa, dan malam itu mereka bertiga tinggal sekamar.

Akim yang mempunyai watak jujur terbuka itu tanpa malu-malu lagi menceritakan tentang hubungannya dengan Sin Wan. Dalam kesempatan ini pula, Ci Hwa yang sudah ketularan sikap terbuka itu, mengaku kepada Kui Siang tentang urusannya dengan Sin Wan, betapa dia pernah mencinta Sin Wan namun tidak dibalas oleh pemuda itu.

Mendengar pengakuan dua orang gadis yang pernah mencinta Sin Wan, Kui Siang bukan merasa cemburu atau panas hatinya, bahkan dia merasa bersyukur sekali karena terbukti bahwa suheng-nya itu amat mencintanya sehingga tidak bisa membalas cinta gadis-gadis lain, padahal Akim dan Ci Hwa adalah dua orang gadis yang cantik jelita, bahkan Akim memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin lebih tinggi dibandingkan dia sendiri. Akan tetapi suheng-nya itu tetap setia kepadanya, walau pun dia sendiri pernah marah kepada suheng-nya, menyatakan benci dan tidak ingin bertemu lagi…..!

********************

Panglima Bhok Cun Ki yang cerdik itu diam-diam segera menghubungi Jenderal Shu Ta. Tentu saja Jenderal Besar ini terkejut setengah mati mendengar laporan pembantunya. Hampir dia marah-marah karena tidak percaya bahwa pembantunya yang sudah berjasa besar, Jenderal Yauw Ti, dicurigai sebagai pemimpin jaringan mata-mata Mongol.

Benar-benar mustahil, katanya. Tetapi dengan tenang dan sabar Bhok-ciangkun memberi penjelasan secara terperinci, mengumpulkan semua hasil penyelidikan anak buahnya dan hasil penyelidikan Sin Wan, Lili dan juga Akim.

Mendengar keterangan terperinci itu Jenderal Shu Ta berdiam diri, termenung dengan alis berkerut. Namun dia harus yakin dahulu, pikirnya. Sungguh berbahaya menuduh Jenderal Yauw Ti sebagai pemimpin mata-mata Mongol tanpa ada bukti-bukti yang meyakinkan.

Jenderal Yauw Ti memiliki kekuasaan yang cukup besar, bahkan Kaisar sangat percaya kepada jenderal yang tinggi besar itu. Pendeknya, Jenderal Yauw Ti merupakan orang ke dua sesudah dia yang dekat dan dipercaya Kaisar.

Dia sendiri adalah sute (adik seperguruan) Kaisar, tentu saja hubungannya sangat dekat. Akan tetapi Jenderal Yauw Ti juga sudah melakukan banyak jasa, dan selama ini selalu membuktikan dirinya sebagai seorang jenderal yang cakap dan setia.

"Bhok-ciangkun, dugaanmu ini sangat berbahaya. Engkau harus mampu memperlihatkan bukti, barulah aku berani turun tangan dan berani melapor kepada Sribaginda," akhirnya dia berkata.

"Tentu saja, Shu-goanswe (Jenderal Shu). Saya hanya mohon bantuan paduka, karena tanpa bantuan paduka, bagaimana mungkin saya berani menyelidiki ke dalam rumah dan kantor Jenderal Yauw? Sribaginda telah memberi waktu kepada saya, dan kalau dalam satu bulan saya tidak mampu membongkar jaringan mata-mata ini, seluruh keluarga saya akan menerima hukuman. Saya mohon bantuan paduka."

Jenderal Shu Ta menghela napas panjang. Sering kali dia menghela napas panjang kalau melihat perubahan yang terjadi pada diri suheng-nya yang kini sudah menjadi Kaisar itu. Sekarang Kaisar sudah berubah menjadi seorang yang teramat kejam. Bahkan seorang pembantu yang terbaik dan paling setia sekali pun, dengan mudah akan dijatuhi hukuman mati akibat melakukan kesalahan sedikit saja! Kaisar begitu dipenuhi rasa kecurigaan dan kebencian.

"Baik, aku akan membantumu, ciangkun," kata Jenderal Shu Ta, kemudian mereka bicara dengan sikap serius, mengatur langkah-langkah untuk membongkar rahasia yang sangat membahayakan negara itu.

Sebagai hasil dari rencana siasat mereka itu, pada suatu hari Jenderal Shu Ta, Jenderal Yauw Ti bersama para panglima lainnya dipanggil menghadap Kaisar untuk membicakan tentang keamanan negara. Tentu saja panggilan Kaisar ini adalah hasil dorongan Jenderal Shu Ta yang bermaksud agar Jenderal Yauw bisa mengemukakan pendapat-pendapatnya tentang jaringan mata-mata Mongol yang membahayakan negara, terutama sekali untuk memancing jenderal itu keluar agar Bhok Cun Ki beserta para pembantunya memperoleh kesempatan untuk melakukan penyelidikan ke tempat tinggal dan kantor jenderal yang dicurigai itu. Kaisar tidak mencurigai bujukan Jenderal Shu Ta ini karena memang Kaisar ingin membicarakan mengenai penyerangan terhadap kedua orang puteranya, yaitu Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Chu Hui San.

Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Bhok Cun Ki yang segera menugaskan Sin Wan dan Kui Siang untuk melakukan penyelidikan ke rumah keluarga Jenderal Yauw Ti.

Bagi orang biasa, tentu tidak akan mudah memasuki gedung keluarga Jenderal Yauw Ti tanpa ijin. Namun Sin Wan dan Kui Siang mempergunakan ilmu kepandaian mereka, dan begitu pasukan pengawal yang melakukan perondaan siang malam itu lewat, mereka pun berhasil melompati pagar tembok pada bagian belakang. Sekarang mereka berdua sudah menyelinap ke dalam taman bunga milik keluarga itu.

Sebelumnya mereka berdua sudah mendapat penggambaran yang jelas tentang keadaan gedung itu dan juga mengenai keadaan keluarga Yauw Ti, jenderal yang mereka curigai. Di gedung itu Jenderal Yauw Ti tinggal bersama seorang isteri dan tiga orang selir. Dia hanya mempunyai dua orang anak dari para selirnya, dua orang anak laki-laki yang masih kecil, belum sepuluh tahun usianya.

Sin Wan dan Kui Siang menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak, mendekati bangunan besar. Dua orang tukang taman yang sedang bekerja tidak melihat gerakan dua orang pendekar muda itu dan mereka berhasil meloncat ke atas atap dapur bangunan itu, kemudian bersembunyi di balik wuwungan dan bergerak bagaikan dua ekor kucing tanpa mengeluarkan suara apa pun.

Karena sudah mempelajari keadaan dalam bangunan gedung itu, Sin Wan dan Kui Siang dapat berada di atas kamar besar milik keluarga itu. Melihat betapa kamar yang sangat mewah itu dalam keadaan kosong dan sunyi, Sin Wan berbisik-bisik dengan kekasihnya, mengatur siasat kalau sampai mereka ketahuan orang selagi berada di dalam kamar itu, merencanakan jalan keluar dari kamar tanpa diketahui orang.

Kemudian mereka mulai membuka atap dan bagaikan dua ekor burung rajawali, mereka melayang turun dari atas, masuk ke dalam kamar tanpa mengeluarkan suara. Begitu tiba dalam kamar, dua orang pendekar muda yang sejak tadi menutupi muka mereka dengan kedok coklat dan biru, kedok yang sengaja dibuat mirip dengan kedok yang dipergunakan anak buah Si Kedok Hitam, segera bekerja dengan cepat.

Mereka menggeledah dan mencari-cari apa saja yang dapat menjadi bukti bahwa dugaan mereka benar, yaitu bahwa Jenderal Yauw Ti adalah pemimpin, atau setidaknya memiliki hubungan dengan jaringan mata-mata Mongol.

Sampai kurang lebih satu jam mereka menggeledah, membukai almari serta laci-lacinya, memeriksa seluruh ruangan. Tapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Memang mereka telah menduga bahwa agaknya, andai kata benar bahwa Jenderal Yauw Ti menjadi pemimpin jaringan mata-mata Mongol, pasti tak seorang pun keluarganya yang mengetahui karena hal itu merupakan rahasia pribadi. Hal ini untuk mencegah terjadinya kebocoran, maka kalau dia menyimpan sesuatu yang dapat membuka rahasianya, tentu barang itu disimpan di lain tempat.

"Ke kantornya," bisik Sin Wan.

Mereka berdua segera meloncat lagi keluar dari kamar itu, membetulkan letak atap yang mereka buka dan tidak lama kemudian mereka sudah keluar lagi melalui taman dan pagar tembok di belakang tanpa diketahui orang.

Tak lama kemudian, dengan bekerja cepat agar jangan sampai kedahuluan oleh Jenderal Yauw Ti, dan hal ini sudan diatur oleh Jenderal Shu Ta agar Jenderal Yauw Ti agak lama berada di istana, Sin Wan dan Kui Siang sudah berada di kamar kerja Jenderal Yauw Ti yang terletak di dalam markas pasukan. Tentu saja mereka berdua tidak begitu ceroboh untuk memasuki benteng seperti yang mereka lakukan di rumah kediaman Jenderal Yauw tadi.

Mereka sudah membawa bekal surat perintah dan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta untuk memasuki kamar kerja Jenderal Yauw Ti dan mengambil barang-barang yang diperlukan dalam persidangan di istana. Dengan bekal surat ini, para petugas jaga di markas itu tentu saja tidak berani menghalangi.

Surat perintah dari Jenderal Shu Ta sebagai panglima tertinggi lebih ditaati oleh pasukan di situ dari pada surat dari Kaisar sendiri sekali pun. Sebab itu mereka mempersilakan Sin Wan dan Kui Siang masuk, dan tidak lama kemudian dua orang muda perkasa ini sudah melakukan penggeledahan di dalam kamar kerja Jenderal Yauw Ti setelah mereka berdua menggunakan tenaga untuk membuka daun pintu kamar itu secara paksa.

Untuk menjaga segala kemungkinan, begitu masuk mereka berdua telah mengenakan lagi kedok mereka sungguh pun tadi mereka masuk sebagai utusan Jenderal Shu Ta. Bahkan surat itu pun dibuat oleh Jenderal Shu Ta mempergunakan tanda tangan dan cap palsu. Hal ini untuk menjaga kemungkinan Jenderal Yauw Ti tidak bersalah sehingga dia tidak akan terlibat di dalam penggeledahan itu dan kedua orang muda itu yang akan dianggap sebagai penanggung jawab.

Di ruangan kerja ini pun Sin Wan dan Kui Siang tidak berhasil menemukan sesuatu yang mencurigakan. Mereka hampir putus asa ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka lalu sesosok bayangan berkelebat masuk. Ternyata dia adalah seorang yang mengenakan kedok abu-abu!

"Mau apa kalian di sini?!" bentak si kedok abu-abu dengan suara bengis.

"Ahh, kami sedang sibuk hendak membersihkan tanda-tanda yang terdapat di sini karena sebentar lagi tempat ini akan digeledah oleh pasukan istana. Kini Kaisar telah mencurigai Yang Mulia. Di mana Yang Mulia? Apakah belum pulang dari istana?" kata Sin Wan.

Mendengar ucapan itu, si kedok kelabu nampak terkejut. Sepasang mata di balik kedok itu berkilat. "Kalau begitu, aku harus cepat memberi kabar kepada Pangeran!"

"Siapa Pangeran...?" Sin Wan cepat-cepat menghentikan ucapannya, memaki diri sendiri yang terlanjur bicara. Dan benar saja, mendengar Sin Wan ternyata tidak mengenal siapa pangeran yang dia maksudkan, si kedok abu-abu segera mencabut pedangnya.

"Kalian palsu!" Dan pedangnya sudah menyambar dengan ganas ke arah Sin Wan.


Sin Wan yang menyadari kesalahannya segera mengelak, lantas dari samping Kui Siang sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar dengan totokan dan si kedok abu-abu itu pun terkulai lemas. Sin Wan merampas pedangnya dan menyambut tubuh itu supaya tidak menimbulkan suara gaduh.

"Inilah bukti yang paling baik," bisiknya kepada Kui Siang.

Tak lama kemudian Sin Wan dan Kui Siang keluar dari kamar kerja Jenderal Yauw Ti. Sin Wan menggendong sebuah karung yang nampak terisi penuh, melangkah dengan tenang keluar dari kamar kerja itu.

Ketika para petugas jaga di luar melihat Sin Wan menggendong sebuah karung, mereka memandang heran, tidak bisa menduga apa isi karung itu tapi juga tidak berani bertanya.

"Kami sudah menemukan barang yang dibutuhkan Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti," kata Sin Wan tenang dan para penjaga itu pun tidak berani bertanya. Mereka semua mengenal Jenderal Shu Ta sebagai seorang jenderal yang sangat tegas dan berdisiplin, maka mereka tentu saja tidak berani melanggar surat perintahnya.

Tentu saja isi karung itu adalah si kedok abu-abu yang telah ditangkap oleh Sin Wan dan Kui Siang. Mereka cepat membawa tawanan dalam karung itu ke rumah Bhok Cun Ki.

Semuanya berkumpul di situ. Bhok Cun Ki sendiri, Sui In dan Akim yang belum berhasil membongkar rahasia Yauw Siucai yang selalu berdekatan dengan Pangeran Mahkota, Ci Han dan Ci Hwa. Hanya nyonya Bhok yang berada di dalam, tidak mau turut mencampuri urusan yang menggunakan kekerasan dan membutuhkan kepandaian silat itu.

Setelah tawanan itu dikeluarkan dari karung, lantas dipaksa berlutut di atas lantai dengan kedok terbuka, ternyata dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahun. Dia seorang Han, bukan orang Mongol, bahkan dia seorang anggota pasukan di bawah Jenderal Yauw Ti.

"Dengar baik-baik," kata Bhok Cun Ki yang memimpin pemeriksaan itu. "Jika engkau mau mengaku terus terang, maka hukumanmu akan diperingan. Tetapi jika engkau berbohong dan tidak mau mengaku, maka akan kusuruh tangkap seluruh keluargamu dan kusuruh menyiksa mereka di depan matamu. Nah, jawab yang sebenarnya. Siapa namamu?"

Wajah orang itu menjadi pucat. Tadinya dia bersikap keras dan masa bodoh, akan tetapi ancaman terhadap keluarganya itu mengingatkan dia akan isterinya, tiga orang anaknya yang masih kecil dan ibunya yang sudah tua. Maka luluhlah kekerasan hatinya.

"Nama saya Siauw Jin, ciangkun."

"Katakan, siapa sebenarnya pemimpin para orang berkedok, anggota jaringan mata-mata Mongol itu. Jawab!"

"Saya... saya tidak tahu...."

"Engkau menyebutnya Yang Mulia, bukan?"

Siauw Jin mengangguk. "Kami semua hanya mengenal dia sebagai Yang Mulia, tetapi tak seorang pun di antara kami yang pernah melihat wajahnya. Kami semua tidak tahu siapa sebenarnya Yang Mulia itu."

"Dan siapa yang kau sebut pangeran itu?" tanya pula Bhok Cun Ki.

Wajah orang itu berubah pucat sekali, matanya terbelalak dan dia menggelengkan kepala. "Saya... saya tidak berani…!"

Pada saat itu Sui In menjulurkan tangannya dan jari tangannya sudah menekan tengkuk tawanan itu. Wajah tawanan itu berkerut-kerut sambil keluar rintihan dari mulutnya karena dia merasa betapa tubuhnya seperti ditusuki ratusan batang jarum yang panas, nyerinya tak tertahan lagi. Sui In melepaskan tangannya dan orang itu basah oleh keringat dingin.

"Hayo katakan, siapa pangeran itu!" kini Sui In membentak.

"Atau kau ingin kusuruh tangkap dan menyeret ke sini seluruh keluargamu!" Bhok Cun Ki menambahkan.

"Dia... dia murid Yang Mulia...”

"Hemm, siapa namanya? Di mana?" bentak Bhok-ciangkun lagi.

"Dia adalah Pangeran Yaluta..."

"Pangeran Mongol?"

Tawanan itu mengangguk, dan tiba-tiba dia menjerit lalu terkulai. Ternyata sebatang paku telah menancap pada punggungnya. Sui In cepat mencabut paku itu dan dia pun berkata kepada suaminya.

"Dia bagian kami! Hayo, Akim!" Kemudian wanita perkasa itu meloncat pergi, diikuti Akim karena memang Pangeran Yaluta merupakan bagian mereka. Mereka yakin bahwa yang disebut Pangeran Yaluta itu bukan lain adalah yang menyamar sebagai Yauw Siucai!

Begitu mencabut paku dari punggung tawanan yang diserang secara menggelap, tahulah Sui In bahwa yang dahulu melukai pundak puterinya dengan paku merupakan orang yang sama, yaitu si penyambit tadi. Masih nampak olehnya bayangan putih berkelebat, karena itu dengan cepat dia pun melakukan pengejaran bersama Akim. Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap.

"Hayo, kita langsung saja ke istana Pangeran Mahkota!” kata Sui In. Untuk keperluan ini dia sudah dibekali surat penggeledahan yang ditulis sendiri oleh Jenderal Shu Ta.

Dengan surat perintah dari jenderal Shu Ta itu, benar saja Su In dan Akim tidak menemui kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam istana sang pangeran, biar pun para penjaga menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka mengenal tanda tangan dan cap kebesaran Jenderal Shu Ta, dan kedua orang wanita itu tadi mengatakan bahwa mereka hendak bertemu dengan Yauw Siucai. Entah ada urusan penting apa maka Jenderal Shu Ta sampai memberi kuasa kepada dua orang wanita itu untuk menemui Yauw Siucai dan melakukan penggeledahan!

Karena merasa tidak enak hati walau pun tidak berani menghalangi, kepala jaga kemudian memimpin pasukan kecil untuk masuk ke dalam, hendak melihat apa yang akan terjadi dan untuk berjaga-jaga melindungi sang pangeran.

Sui In dan Akim juga telah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan istana sang pangeran, dan mereka tahu di mana letak kamar pangeran mahkota, di mana pula letak kamar puteranya dan kamar Yauw Siucai. Akan tetapi, ketika mereka lewat di kamar pangeran dan kamar Yauw Siucai, sunyi saja di situ. Seorang pengawal yang berjaga di situ memandang penuh curiga sambil melintangkan tombaknya.

Sui In segera memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta, membuat pengawal itu berdiri tertegun. "Cepat katakan, di mana Yauw Siucai dan Sang Pangeran?"

Pengawal itu masih tertegun dan tidak dapat menjawab, hanya menunjuk ke arah taman. Sui In menggerakkan tangan menotoknya agar pengawal itu tidak membuat banyak ribut, lalu bersama Akim dia berlari ke dalam taman yang luas dan indah itu.

Berindah-indap mereka menghampiri Pangeran Mahkota yang kelihatan sedang duduk di atas bangku menghadapi Yauw Siucai yang kelihatan marah-marah.

"Jika paduka tetap menolak maka terpaksa aku akan membunuhmu!" katanya kacau dan kadang kasar.

"Pangeran, cepat buatkan surat kuasa untukku dan aku tidak akan membunuhmu!"

Walau pun wajahnya pucat, pangeran yang nampak lemah dan tidak bersemangat itu kini mengangkat kepala dan membusungkan dadanya. "Orang she Yauw! Baru sekarang aku menyadari bahwa engkau bukanlah orang baik-baik. Entah siapa engkau, akan tetapi jelas engkau menyusup ke sini untuk menguasai aku!"

"Ahh, pangeran tolol! Kau sudah bosan hidup agaknya!" Yauw Siucai mengangkat tangan kanan ke atas dan memukul ke arah kepala Pangeran Mahkota untuk membunuhnya.

"Jahanam busuk!" Mendadak terdengar teriakan nyaring. Akim sudah meloncat, langsung memukul ke arah dada Yauw Siucai. Yauw Siucai atau Pangeran Yaluta itu amat terkejut ketika merasakan sambaran angin, dia lalu menggerakkan tangan kirinya menangkis.

"Dukk! Plakk...!"

Baik Pangeran Yaluta mau pun Akim terdorong mundur, namun pukulan Yaluta ke arah kepala Pangeran Mahkota tadi meleset dan hanya mengenai ujung pundak kirinya. Walau pun pukulan itu tidak telak dan hanya menyerempet saja, tetapi cukup membuat pangeran itu terpelanting.

Sekarang Yaluta berdiri berhadapan dengan dua orang wanita itu. Wajahnya agak pucat, mulutnya cemberut dan matanya mencorong. Dia segera mengenal dua orang itu. Dia pun tersenyum mengejek.

"Kiranya Bi-coa Sianli yang datang! Hemm, dahulu ketika bersama ayahmu dan puterimu engkau melarikan diri dikejar-kejar pasukan, aku yang menyelamatkan kalian dan...”

"Tutup mulutmu, jahanam palsu! Ternyata engkaulah yang dahulu sudah melukai pundak Lili! Nih, kukembalikan paku-pakumu yang dulu melukai Lili dan tadi telah membunuh anak buahmu sendiri!"

Tangan Sui In bergerak dan dua batang paku itu menjadi dua sinar hitam menyambar ke arah dada dan leher Yaluta! Namun tentu saja pangeran Mongol ini tidak sudi senjatanya makan dirinya sendiri. Sekali dia bergerak, dia sudah mengelak dan dua batang paku itu meluncur lewat.

"Pangeran, lihat baik-baik. Dua orang wanita ini datang untuk membunuh paduka! Bi-coa Sianli ini adalah ibu dari Lili, tentu dia datang untuk membunuh paduka. Ada pun gadis ini adalah pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo, agaknya adik paduka itu memang hendak membunuh paduka maka mengirimnya ke sini. Awas, mereka akan membunuh paduka. Pengawal, cepat kurung dan tangkap kedua orang pembunuh ini. Mereka berdua hendak membunuh sang pangeran!"

Saking bersemangatnya, pengarang sampai bingung membedakan antara Akim dengan Lim Kui Siang he-he-he. Atau Yaluta yang ngaco? Tapi Akim nggak protes kok! Enjoy sajalah...

Belasan orang pengawal yang telah tiba di taman itu menjadi bingung, akan tetapi mereka sudah siap dengan senjata di tangan, menunggu perintah sang pangeran karena perintah dari Yauw Siucai kurang meyakinkan hati mereka.

Akim berkata kepada Pangeran Mahkota. "Maaf, pangeran, apakah paduka masih belum menyadari benar? Tadi orang ini hampir membunuh paduka. Dia adalah seorang mata-mata, dia adalah Pangeran Yaluta, pangeran dari Mongol yang sengaja menyelundup ke sini untuk memimpin jaringan mata-mata Mongol."

Mendengar ucapan ini, pangeran yang kini sudah sadar benar itu mengangguk kemudian berkata kepada para pengawal.

"Tangkap sastrawan gadungan ini!"

"Jangan!" teriak Sui In. "Biarkan kami berdua saja yang menangkapnya. Kalian jaga saja keselamatan pangeran!"

Yaluta tak dapat mengelak lagi, akan tetapi masih mencoba untuk membela diri. "Betapa lucunya. Jika benar aku adalah mata-mata dan memusuhi sang pangeran mahkota, tentu sudah lama aku menyerang atau membunuhnya karena setiap hari aku selalu berdekatan dengannya. Itu hanya fitnah keji!"

"Yaluta, engkau orang Mongol licik! Engkau mendekati sang pangeran untuk menguasai beliau, juga engkau mengadu domba beliau dengan Raja Muda Yung Lo, engkau bahkan hampir membunuh kedua orang pangeran itu di Cin-an!" Sekarang Akim berkata dengan suaranya yang lantang. "Engkau hendak membuat keluarga kerajaan menjadi lemah dan saling bermusuhan!"

"Sudahlah Yaluta, tak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau bekerja sama dengan Yang Mulia memimpin jaringan mata-mata Mongol!"

Mendengar ini, pucatlah wajah Yaluta. Dia menyangka bahwa gurunya sudah terbongkar rahasianya dan tertangkap. Dia menjadi nekat lantas dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, benar! Aku adalah Pangeran Yaluta! Aku hendak membangun kembali Kerajaan Mongol yang jaya! Ha-ha-ha, Kerajaan Beng akan hancur, pangeran mahkotanya pun hanyalah seekor kura-kura yang lemah, ha-ha-ha!"

Semua orang kini merasa yakin. Selagi pangeran Mongol itu masih tertawa, tiba-tiba saja dia sudah menerjang dan menyerang ke arah Pangeran Mahkota yang kini telah dikepung dan dijaga oleh para pengawal. Para pengawal cepat melindungi, dan tiga orang di antara mereka roboh disambar kipas yang digerakkan secara ganas dan dahsyat oleh pangeran Mongol itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Alhamdulillah........sudah selesai membacanya........saya berdoa dan memohon kepada Allah SWT semoga Anda mendapat rezeki yang berlimpah........ Aamiin......