Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 31

Serangan itu terlalu cepat datangnya, terlalu dekat dan pada saat itu tubuh Ouwyang Cin memang sudah amat lemah oleh hawa beracun. Karena itu, tanpa dapat dihindarkan lagi, pedang samurai itu menusuk perut Tung-hai-liong Ouwyang Cin kemudian tembus sampai ke punggung! Ouwyang Cin terbelalak, kedua lengannya menyambar dari kanan kiri dan sepuluh buah jarinya mencengkeram kedua pundak Maniyoko dekat leher.


Pemuda Jepang itu terbelalak, tak mampu bergerak karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan nyeri sekali seperti ditusuki seribu batang jarum. Lehernya berubah menghitam yang menjalar terus ke mukanya, kemudian ia pun terkulai, roboh bersama gurunya yang masih mencengkeram dua pundaknya. Guru dan murid itu tewas pada waktu yang bersamaan.

Akim menjadi khawatir sekali melihat betapa ayahnya tadi terluka ketika melawan Ang-bin Moko. Karena kini hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, ia pun mengamuk bersama Ci Han dan dalam waktu singkat saja dia merobohkan dua orang pengeroyok, sedangkan orang ke tiga roboh oleh tusukan pedang Ci Han.

Pada waktu itu perkelahian antara Bhok Cun Ki melawan Pek-bin Moli masih berlangsung seru karena tingkat kedua orang ini memang seimbang. Akan tetapi mendadak terdengar bentakan nyaring,

"Siluman betina, jangan menjual lagak di sini!"

Bentakan itu keluar dari mulut Bi-coa Sianli Cu Sui In! Wanita ini juga mencari jejak para penculik putera tirinya, namun berpencar dari suaminya. Karena dia mencari ke jurusan lain, maka sampai semalam itu dia tidak dapat menemukan Ci Han, bahkan tidak bertemu dengan suaminya.

Menjelang pagi akhirnya ia mengubah arah pencariannya sambil menyusul suaminya, dan pada pagi hari itu dia melihat suaminya sedang bertanding mati-matian melawan seorang wanita tua yang masih cantik, yang berpakaian serba putih dan bermuka pucat bagaikan mayat. Sebagai bekas tokoh kangouw, tentu saja dia segera mengenal bahwa wanita itu adalah Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih) yang merupakan seorang datuk sesat, maka dia pun membentak dan segera terjun membantu suaminya.

Gulungan sinar hitam menyambar dan Pek-bin Moli kaget bukan main. Dia pun mengenal Si Dewi Ular Cantik dengan pedangnya yang bersinar hitam itu, dan mukanya yang sudah pucat kini menjadi semakin pucat. Melawan Bhok Cun Ki saja sudah amat sulit mencapai kemenangan, kini muncul pula tokoh wanita dari Bukit Ular yang lebih lihai lagi ini.

Dia mencoba untuk melawan dengan sabuk ularnya, namun karena hatinya sudah gentar, maka dalam beberapa jurus saja sabuk ularnya telah putus menjadi tiga potong oleh Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) di tangan Cu Sui In. Apa lagi Bhok Cun Ki juga mengurung dengan sinar pedangnya yang indah dan ampuh, maka kini Pek-bin Moli terdesak hebat. Dia masih mencoba untuk menggunakan pukulan beracunnya, yaitu Toat-beng Tok-ciang dan juga totokan Touw-kut-ci.

Akan tetapi kedua orang lawannya terlalu kuat dan sudah menduga bahwa pukulannya itu mengandung racun yang berbahaya. Mereka menghindar sambil menghujankan serangan dan akhirnya, pedang Hek-coa-kiam menyambar dahsyat kemudian membabat leher Pek-bin Moli sehingga iblis betina itu roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika.

Suami isteri itu cepat menghampiri Ci Han yang berdiri seperti patung memandang Akim yang berlutut dan menangis di dekat mayat ayahnya dan suheng-nya. Guru dan murid itu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Sepasang tangan Ouwyang Cin yang menghitam sampai ke pundaknya masih mencengkeram kedua pundak Maniyoko yang tewas dengan mata mendelik dan dari pundak ke kepala berubah menghitam. Sebatang pedang samurai menembus perut Ouwyang Cin, seperti gambaran seorang pendekar samurai yang tewas membunuh diri.

Melihat wajah Tung-hai-liong Ouwyang Cin, berkerut sepasang alis Cu Sui In. Dia segera mengenal datuk itu. "Bukankah dia datuk bajak laut dari timur Ouwyang Cin?"

Bhok Cun Ki mengangguk sambil menghela napas. Peristiwa yang baru terjadi terlampau hebat, dan dia merasa beruntung sekali bahwa puteranya tidak sampai tewas atau cedera dalam peristiwa itu.

"Dan siapa pemuda yang dicekiknya itu?" tanya pula Cu Sui In.

Kini Ci Han yang menjawab. "Dia muridnya sendiri yang bernama Maniyoko, ibu."

"Hemm, jadi yang menculikmu adalah keluarga bajak laut ini, Ci Han?" tanya pula Cu Sui In.

Akim yang masih bercucuran air mata itu mendadak bangkit berdiri. Bajunya berdarah dari luka pada pundak kirinya. "Akulah yang menculik Bhok Ci Han. Aku dan mendiang suheng Maniyoko. Aku siap menerima hukuman!"

Sikapnya tegas dan tabah, akan tetapi suaranya gemetar dan tubuhnya lemas karena dari lukanya memang telah banyak darah mengalir keluar dan dia pun lelah sekali menghadapi pengeroyokan tadi.

"Siapakah gadis ini?" tanya Cu Sui ln, suaranya dingin dan marah.

“Dia bernama Ouwyang Kim, puterinya Ouwyang Cin, ibu."

"Bagus, kalau begitu memang sepantasnya dibunuh sekali supaya tidak mengotori dunia!" Cu Sui In mengangkat pedangnya, akan tetapi sebelum pedang itu menyambar, Ci Han sudah melompat ke depan Akim yang berdiri tegak dan tidak berkedip menanti datangnya serangan.

"Ibu, jangan...!" teriak Ci Han.

Cu Sui In kembali mengerutkan alisnya, kemudian memandang heran. Juga Bhok Cun Ki memandang puteranya, akan tetapi dia lalu berkata lirih kepada isterinya. "Sui In, tenang dulu, biar aku yang mengurusnya."

Sui In mengangguk, dan kini Bhok Cun Ki memandang kepada puteranya yang bersikap melindungi Akim, juga kepada gadis itu yang dengan gagahnya siap menerima hukuman!

"Ci Han, mengapa engkau membela puteri Ouwyang Cin? Bukankah dia dan suheng-nya yang menculikmu?"

"Ayah, nona Ouwyang Kim adalah seorang gadis yang baik, seorang gadis yang gagah perkasa dan jika tidak ada dia yang melindungiku, tentu sudah lama aku tewas di tangan Maniyoko itu. Bagaimana pun juga aku tidak membolehkan siapa pun mengganggunya, apa lagi membunuhnya. Biarlah aku yang dibunuh dulu kalau ibu hendak membunuhnya!"

Melihat sikap ini, Bhok Cun Ki saling pandang penuh arti dengan isterinya. Dia pun masih hendak menyelami perasaan puteranya, "Kami tidak akan membunuhnya, tapi aku harus melaporkannya karena agaknya keluarganya bersekutu dengan gerombolan pemberontak dan mata-mata Mongol."

"Tidak, ayah! Harap ayah jangan tangkap Ouwyang Kim. Aku yang menanggung bahwa dia tidak bersalah..."

Tiba tiba terdengar rintihan Akim. Ci Han cepat membalik lantas merangkul gadis itu yang terkulai sehingga tubuhnya hendak roboh.

"Nona... engkau... kenapa? Engkau... tidak apa-apakah engkau...?" tanya Ci Han sambil mengguncang tubuh gadis yang telah memejamkan matanya dan nampak pucat itu.

"Aku... Ci Han... biarlah... biarlah mereka menghukumku ... biar aku menebus dosa ayah dan suheng...”

"Tidak, Akim. Tidak! Aku yang akan melindungimu!" teriak Ci Han dan gadis itu mengeluh lalu pingsan dalam rangkulan Ci Han.

"Jangan khawatir, Ci Han. Ia hanya pingsan karena kelelahan dan mungkin terlalu banyak darah keluar dari lukanya. Mari kita bawa dia pulang dan kita rawat di rumah."

Ci Han memandang ayahnya, lalu kepada ibu tirinya. "Ayah dan ibu... tidak... tidak akan membunuh atau menawannya...? Tidak, bukan...?”

Bhok Cun Ki tersenyum. Kini dia merasa yakin bahwa puteranya telah jatuh cinta kepada penculiknya sendiri. Cu Sui In juga tersenyum karena dia pun maklum bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tersiksa oleh perasaan cinta itu.

Pada saat itu datang beberapa orang prajurit anak buah Bhok Cun Ki yang tadi turut pula mencari. Bhok-ciangkun segera memberi pesan kepada mereka supaya mengurus semua jenazah dengan baik, bahkan memberikan peti mati yang selayaknya kepada dua jenazah Ouwyang Cin dan Maniyoko dan menyediakan meja sembahyang untuk jenazah guru dan murid itu, di dalam pondok yang terdapat di situ.

Enam mayat yang lain dapat segera dikubur tanpa diadakan upacara sembahyang karena tidak diketahui siapa keluarga mereka. Kemudian, dia, Sui In dan Ci Han membawa Akim yang pingsan dan lemah itu masuk ke kota raja, ke rumah keluarga Bhok.

Bhok Cun Ki dan Cu Sui In memeriksa Akim. Mereka mendapat kenyataan bahwa seperti yang sebelumnya mereka duga, gadis itu pingsan karena lemah, juga akibat tekanan batin melihat kematian ayahnya. Setelah memberi obat dan gadis itu jatuh pulas, mereka tidak mengganggunya, membiarkannya tidur dan memulihkan tenaga.

Di kamar itu pula mereka lalu mendengarkan keterangan Ci Han. Ci Hwa juga berada di situ dan ikut mendengarkan bersama ibunya.

Ci Han lalu menceritakan betapa dia diculik oleh Akim dan Maniyoko, juga betapa Akim hendak membalas dendam karena gadis itu kemarin dulu ditawan oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli bersama enam orang yang menyamar sebagai prajurit dan mengaku disuruh oleh Bhok-ciangkun.

Baru kemudian Akim mengetahui bahwa yang melakukan sandiwara dan melakukan fitnah terhadap Bhok-ciangkun itu bukan lain adalah Maniyoko sendiri yang sudah bersekongkol dengan sepasang iblis bersama enam orang anak buahnya itu. Betapa Akim mati-matian membela dan melindunginya ketika dia akan dibunuh Maniyoko.

"Sesudah tahu bahwa dia dikelabui oleh suheng-nya sendiri, Akim lalu memihak ayah dan aku, melawan Maniyoko serta orang-orangnya, sedangkan ayah dikeroyok sepasang iblis itu. Kemudian muncul ayah Akim yang segera membantu puterinya. Dia lantas bertanding melawan Ang-bin Moko yang berhasil dibunuhnya, akan tetapi agaknya dia keracunan lalu tewas ditusuk samurai oleh Maniyoko yang juga dapat dibunuhnya. Nah, bukankah Akim sama sekali tidak bersalah, ayah? Juga Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang datang-datang memihak kita dan menyerang Ang-bin Moko. Maka tidak sepatutnya kalau sekarang kita membikin susah Akim yang telah kehilangan ayah dan suheng-nya. Yang bersalah adalah Maniyoko, akan tetapi suheng-nya itu sudah menebus dosa dan tewas di tangan gurunya sendiri."

Semua orang mengangguk-angguk, bahkan Cu Sui In tidak lagi menyalahkan Akim yang tadinya menculik Ci Han.

"Tidak, kami memang bersalah... keluarga kami memang tidak benar...”

Semua orang menengok dan yang bicara adalah Akim. Ci Han segera menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Dari sikapnya yang tidak sungkan lagi ini saja dapat diketahui bahwa pemuda ini memang benar-benar jatuh cinta kepada Akim. Sikapnya yang lembut dan tidak sungkan ini sama dengan pengakuannya kepada semua keluarganya bahwa dia telah menemukan pilihan hatinya.

"Akim, engkau masih lemah, tidak perlu banyak bicara. Beristirahatlah dahulu...," Ci Han membujuk.

Akim tersenyum penuh keharuan. Ia sendiri bisa melihat dengan jelas sinar mata pemuda itu pada waktu memandang kepadanya, dapat merasakan getaran di dalam suara itu dan dia pun terharu. Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti ini dapat jatuh cinta kepada seorang gadis liar seperti dirinya?

"Aku harus memperkenalkan diriku agar semua tahu siapa aku sebenarnya. Kalau tidak, aku akan selalu merasa sungkan dan tidak enak. Dan pengakuan ini akan saya berikan kepada Paman Bhok... ehh, maksudku Panglima Bhok...”

"Engkau boleh menyebutku paman, Akim, bahkan aku lebih senang dengan sebutan itu," kata Bhok Cun Ki dengan lembut dan Akim mengangguk dengan pandang mata berterima kasih.

"Begini, Paman Bhok. Belum lama ini ayah kedatangan Bu-tek Kiam-ong, salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, sambil membawa barang-barang berharga hadiah dari yang dia sebut Yang Mulia, yaitu pimpinan orang-orang Mongol yang hendak memberontak dan membangun kembali Kerajaan Mongol. Ayah diajak bekerja sama dan dijanjikan kelak jika berhasil akan dijadikan raja muda. Ayah kena terbujuk dan bersedia memenuhi panggilan pimpinan mata-mata, kemudian berangkat bersama mendiang suheng, yaitu Maniyoko."

Dia berhenti sebentar, menghela napas panjang. Mendengar ini, hati Ci Han merasa tidak enak sekali. Tidak senang dia mendengar gadis yang dicintanya menceritakan keburukan keluarganya sendiri. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati orang tuanya!

"Akim, perlukah engkau ceritakan semua itu? Ayahmu serta suheng-mu sudah meninggal dunia, tidak perlu diceritakan lagi...," kata Ci Han.

"Biarlah, Ci Han. Biar semua orang mengetahui dan mengenal siapa diriku," kata Akim berkeras, kemudian melanjutkan, "Ibu dan aku sendiri tidak senang mendengar ayah bisa terbujuk oleh orang-orang Mongol. lalu mengutus aku untuk menyusul ayah dan Maniyoko yang sudah berangkat ke kota raja, dan ibu minta supaya aku berkeras membujuk ayah jangan sampai melibatkan diri dengan orang-orang Mongol. Maka berangkatlah aku. Aku selalu menentang para pemberontak yang dipimpin orang yang disebut Yang Mulia, yang selalu mengenakan kedok hitam."

Dia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia menolong Sin Wan yang hampir terbunuh oleh Si Kedok Hitam, kemudian tentang penawanan atas dirinya yang dilakukan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang ternyata bekerja sama dengan suheng-nya sendiri, Maniyoko yang menggantikan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol. Betapa dia pernah ditawan pula oleh gerombolan mata-mata itu, kemudian dijadikan sandera untuk memaksa ayahnya dan suheng-nya untuk membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota yang sedang mengadakan pesta di perahu dekat Cin-an.

"Mulai saat itu juga ayahku sudah berbalik sikap, tidak sudi bekerja sama dengan orang-orang Mongol, bahkan menentang mereka. Biar pun demikian, terus terang kuakui bahwa tadinya ayahku memang terkena bujukan orang Mongol. Ayah bercita-cita besar, namun akhirnya..." Akim memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya.

"Sudahlah, Akim. Semua itu sudah berlalu, kami sekeluarga tidak ada yang menyalahkan engkau atau mendiang ayahmu," kata Ci Han menghibur. "Mulai sekarang engkau dapat hidup tenang dan damai di sini, di sampingku..."

Akim terbelalak. Ia memandang pemuda itu, kemudian menoleh dan memandang kepada Bhok-ciangkun dan kedua isterinya, juga kepada Ci Hwa yang semenjak tadi hanya turut mendengarkan saja. Dia melihat betapa semua wajah itu tersenyum cerah, bahkan Sui In mengangguk kepadanya.

"Ci Han, apa... apa artinya ucapanmu itu...?”

Dengan jujur dan tanpa sungkan lagi, Ci Han yang telah jatuh cinta itu mengaku, "Artinya, Akim, bahwa aku cinta padamu dan aku akan minta kepada orang tuaku untuk meminang dirimu."

"Aihhh...!” Akim benar-benar kaget dan juga kagum melihat kejujuran pemuda bangsawan ini. Dia pun harus bersikap jujur, kalau tidak, kelak hal yang disembunyikannya itu hanya akan menjadi gangguan bagi batinnya. "Bagaimana mungkin...?”

"Kenapa tidak mungkin, Akim?" Sui In berkata dengan lembut. "Kalau kalian sudah saling mencinta, dan pihak keluarga menyetujui, mengapa tidak mungkin? Ci Han mencintamu dan kami sekeluarga juga menyetujui, tinggal terserah apakah engkau juga mencintanya dan apakah ibumu akan menyetujuinya."

Mendengar ini Bhok Cun Ki dan isterinya juga mengangguk. Seperti biasanya, Cu Sui In memang lancang dan suka berterus terang, namun juga cerdik sehingga sebelum bicara dia sudah merasa yakin bahwa suaminya mau pun madunya akan cukup bijaksana untuk menyetujui pilihan hati Ci Han.

"Aku...? Aku merasa kagum dan suka sekali kepada Ci Han. Tetapi aku merasa tidak pantas menjadi jodohnya. Bahkan aku pernah jatuh cinta kepada seseorang, tetapi dia menolak cintaku. Terus terang saja, Ci Han, aku pernah jatuh cinta kepada Sin Wan."

Semua orang mengerutkan alisnya, dan Ci Hwa yang ikut mendengarkan menjadi merah sekali mukanya. "Dan sekarang engkau masih cinta padanya?" tanya Ci Hwa karena dia ingin tahu sekali. Meski pun dia tidak ikut bertanya, namun pandang mata Ci Han kepada Akim juga menuntut penjelasan.

Akim tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak. Aku memang mengaku cinta padanya, akan tetapi dia juga berterus terang bahwa dia tidak dapat mencinta gadis lain kecuali sumoi-nya. Aku kemudian sadar. Cinta tak mungkin dipaksakan. Perjodohan tidak mungkin ditunjang cinta sepihak. Aku bahkan kagum kepadanya Sin Wan, seorang yang setia kepada kekasihnya."

Kecuali Nyonya Bhok, keluarga itu adalah keluarga orang gagah yang sangat menghargai kejujuran. Sikap Akim yang terus terang itu mengagumkan hati mereka. Bahkan kini Ci Hwa memandang kepada Akim dengan wajah berseri-seri, lalu tiba-tiba dia pun merangkul Akim.

"Engkau hebat, enci Akim, aku suka sekali mempunyai kakak ipar sepertimu ini!"

Semua orang tersenyum, juga Ci Han tersenyum karena mereka semua tahu dengan hati lega bahwa sesudah mendengar ucapan Akim tadi, Ci Hwa menyadari perasaan hatinya yang lemah dan tidak benar. Dia mencinta Sin Wan, akan tetapi kalau Sin Wan mencinta gadis lain, perlu apa dia harus menyesali diri?

Cinta tidak bisa dipaksakan, dan perjodohan tak mungkin ditunjang cinta sepihak, seperti sebuah bangku tidak mungkin hanya berkaki sebelah. Seketika Ci Hwa menyadari bahwa perasaan masgul dan duka yang selama ini dia rasakan akibat penolakan Sin Wan adalah suatu kebodohan dan kelemahan!

"Eh, kalian tidak membenciku karena itu? Ci Han, engkau tidak marah karena aku pernah mencinta pemuda lain?"

"Kenapa marah? Kenapa menyesal, Akim? Cinta adalah perasaan hati yang amat pribadi. Jatuh cinta berarti tertarik kepada seseorang. Apa bila kita mau jujur, aku sendiri mungkin sudah puluhan kali jatuh cinta, tertarik pada seorang wanita, akan tetapi semua itu hanya menjadi rahasia hatiku sendiri. Itulah bedanya antara engkau dan aku. Kalau aku hanya merahasiakan perasaan hatiku, engkau berterus terang. Engkau jujur dan terbuka, Akim. Yang terpenting, sekarang kita saling tertarik dan saling jatuh cinta. Benarkah dugaanku bahwa engkau pun cinta padaku?"

Akim tersenyum dan mengangguk.

"Kalau begitu engkau setuju kalau kami mengajukan pinangan kepada ibumu?" kini Bhok-ciangkun bertanya.

"Tentu saja aku setuju, paman. Tapi sebelum itu aku harus membalaskan kematian ayah lebih dulu!" Akim mengepal tinju.

"Hemmm, pembunuh ayahmu adalah Ang-bin Moko dan suheng-mu Maniyoko. Dua orang itu sudah tewas, kenapa engkau masih ingin membalas dendam? Kepada siapa?" tanya Bhok Cun Ki.

"Tidak, paman. Yang menjadi biang keladinya adalah Si Kedok Hitam. Aku harus mencari dia dan membunuhnya!" Akim berkata gemas.

"Ah, kalau begitu engkau dapat membantu kami, Akim. Kami pun sedang berusaha keras untuk membasmi jaringan mata-mata Mongol yang dipimpin oleh Si Kedok Hitam itu. Dia amat lihai dan jaringannya amat kuat. Berbahaya sekali bila kita bekerja sendiri-sendiri."

Panglima itu lantas teringat akan ancaman Kaisar yang hendak menghukum mati seluruh keluarganya kalau dalam waktu sebulan dia tidak mampu membasmi jaringan mata-mata Mongol itu! 

"Ketahuilah kalian semua bahwa dalam waktu sebulan aku diharuskan Sribaginda Kaisar untuk membasmi jaringan mata-mata itu. Nah, kita harus mengerahkan segenap tenaga untuk menemukan Si Kedok Hitam itu. Sayang Lili tidak segera pulang, karena tenaganya amat kita butuhkan, juga Sin Wan..."

Pada saat itu seorang pengawal masuk, kemudian melaporkan kedatangan Sin Wan dan Kui Siang. Tentu saja laporan ini membuat Bhok Cun Ki girang sekali.

Tadinya dia mengira bahwa pemuda itu sudah tidak akan mau dan berani lagi datang ke rumahnya, dan dia sekeluarga mulai merasa menyesal telah pernah memaksa pemuda itu untuk mengawini Ci Hwa. Mereka hendak memaksakan sebuah pernikahan dengan cinta sepihak! Biar pun mukanya berubah merah tetapi sekali ini Ci Hwa tidak lari bersembunyi, melainkan bersama Akim dan yang lain keluar menyambut kunjungan Sin Wan.

Sin Wan dan Kui Siang berdiri memberi hormat kepada keluarga tuan rumah, dan diam-diam dia terkejut melihat Akim berada di situ, bergandeng tangan dengan Ci Hwa. Kalau tadinya Sin Wan merasa hatinya tegang, juga sangat sungkan untuk datang ke rumah ini dan bertemu dengan keluarga yang marah kepadanya itu, kini hatinya merasa heran dan lega.

Bukan saja Ci Hwa memandang kepadanya dengan sinar mata biasa dan senyum di bibir, juga Cu Sui In sendiri yang dahulu begitu marah kepadanya, kini menyambut dia dengan senyum di bibir! Bahkan Akim, yang pernah marah dan merasa terhina karena dia tidak dapat membalas cintanya, kini memandang kepadanya tanpa perasaan marah dan benci.

"Paman Bhok, harap maafkan kami kalau kedatangan kami ini telah mengganggu paman sekeluarga," kata Sin Wan sesudah bersama Kui Siang memberi hormat.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan dan engkau sama sekali tidak mengganggu, Sin Wan. Bahkan kebetulan sekali engkau datang karena kami memang memerlukan kehadiranmu untuk membicarakan tentang jaringan mata-mata Mongol," kata Bhok-ciangkun. "Dan ini, siapakah nona ini?"

"Ini adalah sumoi-ku Lim Kui Siang, paman. Dia adalah puteri mendiang bangsawan Lim Cun, pengurus gudang pusaka istana...”

"Ahh! Aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu, nona Lim!" kata Bhok Cun Ki dengan gembira. "Mari, silakan masuk, kita bicara di dalam."

Mereka semua kemudian masuk dan duduk di ruangan dalam. Setelah duduk mengelilingi sebuah meja besar, Akim yang kebetulan saling pandang dengan Sin Wan lalu bertanya, "Sin Wan, inikah sumoi-mu yang menjadi calon jodohmu itu?"

Semua orang tidak kaget lagi mendengar pertanyaan yang demikian jujur dan terbuka dari Akim karena sudah mengenal wataknya. Betapa pun juga, pandangan mata mereka yang ditujukan kepada Sin Wan terlihat rikuh.

Sin Wan tersenyum kemudian menganggukkan kepala. "Benar sekali, Akim. Dan engkau sendiri, bagaimana dapat berada di antara keluarga Paman Bhok?"

"Twako, Akim adalah tunanganku. Kami saling mencinta dan akan menikah!" kata Ci Han.

Sin Wan terkejut akan tetapi juga merasa gembira bukan main. Cepat dia berdiri, diikuti Kui Siang dan memberi selamat kepada mereka. Dengan gembira Ci Han pun membalas ucapan selamat sambil berterima kasih, akan tetapi Akim duduk dan nampak berduka.

Sin Wan yang telah mengenal benar watak gadis itu, tanpa ragu bertanya, "Akim, kenapa engkau kelihatan berduka, padahal sepatutnya engkau bergembira seperti tunanganmu?"

Akim cemberut. "Engkau tidak tahu, Sin Wan. Baru saja ayahku tewas....”

"Ahh...! Apa yang telah terjadi? Paman Bhok, apa yang terjadi di sini?" Sin Wan bertanya dan sekarang sikapnya serius. Dia tidak berani bergurau mengingat bahwa Akim sedang berkabung.

Bhok Cun Ki lalu menceritakan semua yang terjadi, tentang kematian Ouwyang Cin, juga tentang kematian Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli dua orang pembantu utama Si Kedok Hitam, juga kematian Maniyoko yang bersekutu dengan para jagoan Mongol.

"Dengan kegagalan mereka di Cin-an, lalu disusul tewasnya Ang-bin Moko serta Pek-bin Moli, maka kekuatan jaringan mata-mata semakin lemah. Sribaginda Kaisar memanggilku dan memberi waktu selama satu bulan agar aku dapat membasmi jaringan mata-mata itu. Sekarang di sini ada Ouwyang Kim yang membantu, juga engkau dan nona Lim datang sehingga kedudukan kita semakin kuat. Sayang Lili belum juga pulang. Apakah engkau bertemu dengannya di utara, Sin Wan?" Bhok-ciangkun menutup ceritanya.

"Kunjungan kami memang ada hubungannya dengan Lili, paman."

"Wan-twako, mengapa enci Lili tidak pulang bersama-sama dengan engkau dan enci Kui Siang?" Ci Hwa bertanya.

Melihat sikap gadis itu yang sudah biasa terhadap dirinya, seolah-olah tak ada bekas apa-apa di antara mereka, Sin Wan merasa heran akan tetapi juga gembira sekali. Keluarga gadis itu juga merasa lega dan girang. Kiranya kemunculan Akim membawa perubahan kepada Ci Hwa, mendatangkan kesadaran kepada gadis itu.

"Lili tinggal di utara dan dia menitipkan salam kepada seluruh anggota keluarga Bhok. Dia selamat dan sehat saja, tapi untuk sementara ini dia tidak akan pulang ke selatan karena dia ikut dengan Raja Muda Yung Lo ke Peking."

"Ehhh? Apa artinya ini, Sin Wan? Cu Sui In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena mendengar puterinya pergi mengikuti Raja Muda Yung Lo ke Peking.

"Lili menggantikan kedudukan sumoi Lim Kui Siang, menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo karena Kui Siang akan membantuku di sini dalam menghadapi jaringan mata-mata Mongol. Mengenai diri Lili, Raja Muda Yung Lo menitipkan surat kepada kami untuk dihaturkan kepada Paman Bhok."

Sin Wan mengeluarkan surat dari Raja Muda Yung Lo dan menyerahkannya kepada Bhok Cun Ki. Ketika dia membaca surat itu, kedua isterinya segera menghampiri kemudian ikut membaca dari belakang kedua pundaknya.

Wajah ketiganya penuh ketegangan, akan tetapi berubah cerah setelah mereka membaca habis surat itu. Kiranya Raja Muda Yung Lo mengagumi kegagahan Lili, dan karena raja muda ini merasa kehilangan akibat Kui Siang akan membantu calon suaminya membasmi jaringan mata-mata Mongol di kota raja, maka raja muda itu mohon persetujuan keluarga Bhok agar Lili, yang juga sudah setuju, untuk menjadi pengawal pribadinya.

"Nona Lim, selama engkau menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo atau Pangeran Yen, bagaimana sikap dan wataknya? Apakah dia seorang penguasa yang baik, jujur dan adil?" Pertanyaan Bhok-ciangkun ini mewakili pertanyaan seluruh keluarganya.

Kui Siang memejamkan matanya, membayangkan kejantanan dan kegagahan Raja Muda Yung Lo, juga betapa raja muda itu jatuh hati kepadanya dan pernah menawarkan untuk menarik dia menjadi isteri raja muda itu. Kemudian dengan suara bersungguh-sungguh dia berkata,

"Paman Bhok, jika aku boleh mengatakan, kecuali koko Sin Wan, di dunia ini dialah pria yang paling hebat, paling bijaksana, keras dan adil, akan tetapi juga bersusila dan berbudi mulia. Harap paman jangan khawatir. Adik Lili berada di tangan orang yang baik dan boleh dipercaya sepenuhnya.”

Sin Wan tersenyum mendengar jawaban kekasihnya itu, maklum apa yang dipikirkan oleh kekasihnya tentang raja muda itu. Juga dia mengerti akan kekhawatiran hati keluarga itu mendengar Lili menjadi pengawal pribadi raja muda di Peking itu.

"Apa yang diterangkan Siang-moi memang benar sekali. Sudah lama aku mengenal raja muda itu dan mengagumi kegagahannya. Harap paman sekalian tidak merasa khawatir. Raja Muda Yung Lo tidak dapat disamakan dengan Pangeran Mahkota, di sana Lili tidak akan mengalami hal-hal yang buruk seperti ketika menjadi pengawal Pangeran Mahkota."

"Syukurlah, hati kami menjadi lega sesudah mendengar penjelasan kalian. Sekarang mari kita bicara tentang tugas kita. Bagaimana menurut pendapatmu, Sin Wan? Dari mana kita akan memulai penyelidikan kita dan siapa kiranya orang yang dapat dicurigai dan tahu di mana Si Kedok Hitam bersembunyi?"

"Aku sudah membicarakan urusan ini dengan Lili dan kami sependapat bahwa kita harus mencurigai Yauw Siucai, sastrawan yang sekarang menjadi penasehat dan tangan kanan Pangeran Mahkota," kata Sin Wan.

Bhok Cun Ki mengangguk-angguk. "Aku sudah menyebar penyelidik dan memang orang itu patut dicurigai. Kemunculannya di istana Pangeran Mahkota itu sudah mendatangkan perubahan besar pada diri sang pangeran. Kalau dulu pangeran mahkota sudah terkenal sebagai seorang yang selalu mengejar kesenangan, sekarang, setelah ada sastrawan itu, keadaannya menjadi lebih parah lagi. Bukan saja dia selalu berfoya-foya, bahkan senang mengganggu anak isteri orang, dan selain suka mabok-mabokan, dia sekarang juga suka menghisap candu!"

"Memang mencurigakan sekali," kata Cu Sui In membenarkan suaminya. "Menurut cerita, munculnya sastrawan itu di istana pangeran juga amat mencurigakan. Lili bertemu dengan orang she Yauw itu dalam perjalanan, dan sikap sastrawan itu mencurigakan sekali. Lili sama sekali tidak mengenal asal usulnya, dan biar pun penampilannya seperti sastrawan dan bekerja sebagai guru sastra untuk puteranya Pangeran Mahkota, namun menurut Lili, sastrawan itu memiliki ilmu silat yang tinggi."

"Memang dia patut dicurigai, akan tetapi bagaimana mungkin bisa membuat dia membuka kedoknya dan bagaimana kita dapat menyelidiki siapa dia sesungguhnya? Kini dia dekat sekali dengan Pangeran Mahkota, menjadi orang kepercayaannya, maka amat sukar bagi kita untuk mendesaknya," kata Bhok Cun Ki, "Yang ke dua adalah Si Kedok Hitam. Kalau saja kita mampu menemukan orang itu, kiranya semua rahasia jaringan mata-mata akan dapat terbongkar. Tetapi ke mana kita mencari orang tinggi besar yang berperut gendut itu? Ilmu silatnya juga tinggi sekali."

"Nanti dulu...!" tiba-tiba Akim berseru nyaring sehingga mengejutkan Ci Han yang duduk di sampingnya karena pemuda itu mengira bahwa kekasihnya itu diserang rasa nyeri pada pundak yang terluka. Ternyata tidak demikian. Luka pada pundak Akim itu sudah sembuh berkat obat yang mujarab dari Cu Sui In. “Aku teringat sesuatu ketika tadi paman Bhok menyebut Si Kedok Hitam yang berperut gendut. Perut gendut...? Perut gendut....?”

Tentu saja semua orang merasa heran, bahkan merasa geli mendengar gadis itu berulang kali menyebut perut gendut. Tiba-tiba Akim menoleh dan memandang kepada Sin Wan.

"Eh, Sin Wan, masih ingatkah engkau ketika kita berdua menyerang Si Kedok Hitam, lalu datang anak buahnya sehingga aku tertawan olehnya?"

Sin Wan mengangguk dan memejamkan mata untuk membayangkan kembali peristiwa itu. "Ya, aku ingat. Dia lihai sekali, akan tetapi kalau tidak datang kawan-kawannya pada waktu itu, agaknya kita berdua akan dapat merobohkannya."

"Bukan itu, Sin Wan, akan tetapi perut gendutnya!" kata pula Akim dan kini dia kelihatan tegang.

Semua orang tertegun heran karena kembali Akim menyebut tentang perut gendut.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Saya berdoa dan memohon kepada Allah SWT......semoga Anda selalu dalam keadaan sehat.......lahir dan batin..........