Wanita iblis Jilid 02

Jilid 02

“SETIAP jurus dari ilmu Chit-sing-tun-hing ini me mpunyai tujuh perubahan. Sama sekali me mpunyai e mpat puluh sembilan jurus perubahan. Tadi yang kuajarkan sudah e mpat jurus, berarti dua puluh delapan jurus perubahan. Ketika kau mera mkan mata, maka kau kehilangan empat jurus itu. Mengingat sekarang kaupun sudah menginsyafi kekeliruan, maka kuperingatkan. Yang kelewat me mang tak  dapat ditolong lagi, tetapi masih ada sisa t iga jurus ini, harus kau perhatikan benar-benar. Asal kau dapat mengingat separoh saja, berarti kedatanganmu ke mari takkan sia-s ia.”

“Caramu me mberi pelajaran yang sedemikian cepatnya, siapakah yang dapat mengikuti, terang kau me mang sengaja hendak menyimpan kepandaianmu!” lengking Lui- ing.

Su Bo-tun tertawa dingin: “Hm, jika tak me mandang pada Soh-in-kim-chi tentu sudah kure muk kepala mu. Kau yang tak mengerti sendiri, masih menyalahkan orang!”

Hui- ing marah, serunya tak gentar: “Kalau sekali lihat sudah bisa, perlu apa aku gentayangan datang ke sini?”

Kali ini kata-kata Hui-ing tajam sekali dan beralasan, sehingga Su Bo-tun tercengang. Ia garuk-garuk kepala  berkata seorang diri: “Apakah benar-benar me mang caraku mengajar yang kurang baik?”

“Hm, me mang cara mu yang kurang baik, mengapa aku yang dipersalahkan tak becus belajar?” gerutu Hui- ing.

Su Bo-tun mendengus: “Hm, tak peduli caraku mengajar salah atau tidak. Tetapi salahmu sendiri kalau kau tak dapat mengikut i pelajaranku. Pokoknya aku tidak menyembunyikan ilmu itu. Nah, tiga jurus kali tujuh gerak perubahan itu akan kulakukan dengan perlahan. Kalau kau mas ih tak ma mpu menirukan, jangan banyak cerewet!”

Tiba-tiba Su Bo-tun berteriak: “Hai, apa yang kau lihat!” “Lihat tubuhmu yang berputar-putar seperti roda. Mataku

kabur, tak mungkin dapat kuikuti gerakanmu!” sahut Hui-ing.

“Ho, makanya kau tak mengerti. Dalam bertempur, kalau lawan sa mpai dapat mengetahui gerakan tubuh kita, itu berarti bukan ilmu kepandaian!”

Hui- ing terkesiap. Diam-dia m ia mengakui kebenaran kata- kata Su Bo-tun. “Lalu apa yang harus aku perhatikan?” serunya. Seumur hidup belum pernah aku melihat seorang budak perempuan setolol kau. Lebih dulu telah kuatur letak dari ketujuh jurus itu dan setiap jurus telah kubekasi dengan telapak kaki. Sudah tentu kau harus perhatikan gerak perpindahan kakiku!” seru So Bo-tun. Tanpa menunggu jawaban Hui- ing, Su Bo-tun terus saja mulai bergerak lagi.

Kali ini benar-benar Hui-ing tak mau mengabaikan. Seluruh perhatian ditumpahkan untuk mengikuti gerak langkah Su Bo- tun. Dan gerak langkah tokoh aneh itupun jauh lebih perlahan dari yang semula. Setiap gerakan, dapat dilihat dengan tegas. Setiap langkah dan gerakan tubuh selalu berlainan. Setelah dua puluh satu kali melakukan gerak perubahan, tiba-tiba Su Bo-tun berhenti.

“Empat puluh se mbilan perubahan dari ketujuh jurus Chit- sing-tun-hing telah kuajarkan selesai. Kau dapat me mpelajari sampai berapa bagian, itu terserah padamu. Kuberi waktu  tiga hari untuk berlatih. Tiga hari ke mudian aku akan mulai mengajari lagi ilmu untuk me lawan ketujuh jurus itu!” kata Su Bo-tun seraya terus melangkah keluar.  Sama  sekali ia  tak mau me mandang Hui- ing.

Dari kedua orang tuanya, Hui-ing sudah mendapat latihan dasar  yang   kokoh.  Walaupun   sifat-sifatnya   sering mengha mbat sehingga ia belum dapat menghirup seluruh kepandaian ayah-bundanya, tetapi kepandaian yang telah dimiliki, telah me ncapai tingkatan yang dapat digolongkan sejajar dengan jago silat kelas satu.

Selama me mperhatikan gerak  langkah  Su  Bo-tun  tadi,  dia m-dia m Hui- ing me mberi penilaian tinggi. Ilmu silat Su Bo- tun itu me mang bukan sembarangan. Dia m-dia m ia menyesal mengapa tadi ia tidak menaruh perhatian semestinya sehingga menghilangkan beberapa jurus yang penting.

Tetapi Hui- ing seorang dara yang berhati tinggi. Walaupun begitu tetapi tak mau minta pad Su Bo-tun agar mengulang pelajarannya lagi. Pikirnya itu percuma, toh tentu ditolak! Setelah beberapa lama termenung tiba-tiba ia terbelalak: “Mengapa aku termenung seperti patung?” Segera  ia  mulai me lakukan gerak langkah seperti yang diajarkan Su Bo-tun tadi. Tetapi apa yang dilihat dan diingatnya ternyata tak semudah seperti waktu dipraktekkan ia dapatkan setiap gerakan sukar sekali. Kalau bukan salah langkah tentu posisi tubuhnya yang tak mirip dengan yang diajarkan Su Bo-tun.

Dara itu penasaran. Dua tiga puluh kali ia mengulang gerakannya. Tetapi ia merasa tetap tak menyerupai gerakan Su Bo-tun. Kini baru ia menyadari sampai di mana kehebatan ilmu Chit-sing-tun-heng itu. Benar-benar sebuah ilmu silat yang luar biasa indah dan saktinya.

Selama diasuh oleh ayahbundanya, Hui-ing selalu menonjol kecerdasannya. Tak peduli ilmu pukulan apa saja  sekali belajar tentu berhasil. Dia maju pesat sekli dalam pelajaran ilmu silat.  Tetapi apa  yang  ia  hadapi saat itu  benar-benar me mbuatnya penasaran sekali. Tak pernah sela ma ini ia merasa setolol seperti saat itu. Srtiap langkah dan gerak yang dilakukan, selalu tak sesuai dengan ajaran Su Bo-tun. Dan karena ma kin penasaran, gerakannyapun makin kacau, ma kin salah.

Akhirnya karena kesal hati, ia duduk beristirahat. Sekalipun begitu tak pernah pikirannya berhenti untuk merenungi ajaran Su Bo-tun tadi. Tetapi hasilnya setali tiga uang. Bagaimana dipikir dan merenungkan, tetapi ia menemui jalan buntu. Akhirnya karena marah dan penasaran, menangislah  ia tergugu-gugu.

Setelah beberapa saat menangis, hawa penasaran dalam hatinya agak turun, pikirannya pun mulai tenang. Segera ia pejamkan mata duduk berse medhi.

Setelah ketenangannya kembali, barulah ia berbangkit lagi dan mulai me lakukan latihan. Hasilnya, ia berhasil mela kukan dua buah gerakan yang benar. Tetapi langkah-langkah selanjutnya, lagi-lagi menjadi  kacau balau. Buru-buru ia berhenti dan duduk me nyalurkan napas lagi. Setelah hatinya tenang, ia baru mula i berlatih lagi.

Hui- ing benar-benar telah mengerahkan segenap perhatian dan semangatnya untuk mene mbus ke macetan. Sedemikian asyik masyuk dara itu me mpe lajari ilmu Chit-sing-tun-heng sehingga sudah dua kali Siu- lam masuk ke dalam goa, ia tak tahu sama sekali.

Karena tak mau mengganggu sumoaynya, terpaksa Siu-lam keluar lagi. Setelah member i pelajaran, Su Bo-tun segera masuk ke dalam pondoknya. Kim-po pun sibuk seorang diri, entah apa dikerjakannya. Walaupun sudah kenal dengan Siu- lam tetapi pemuda bermuka hitam itu tak mau menegur tetamunya. Terpaksa Siu- lam mondar- mandir seorang diri. Baru setelah ha mpir ma la m, Kim-po keluar dari pondok dan mengha mpirinya: “Telah kusediakan tempat beristirahat untukmu, silahkan ikut!” katanya.

Kim-po me mbawa tetamu masuk ke dalam pondok.  Ia diberi sebuah bilik: “Itulah bilik untuk saudara.  Sedikit hidangan telah kusediakan juga di situ,” katanya seraya terus tinggalkan tetamunya.

Karena lapar, Siu-lam menyantap juga bubur dan  dua  maca m masa kan sayur. Ke mudian ia berbaring di atas tumpukan rumput. Ia bergulak-gulik tak dapat mera mkan mata. Pikirannya melayang-layang. Membayangkan nasibnya yang diderita keluarga gurunya dan betapa reaksi Hui- ing apabila nanti mengetahui tentang berita duka itu. Ia menutup renungan seram itu dengan helaan sebuah napas….

Tiba-tiba terdengar sebuah suitan panjang yang mengaum di angkasa. Siu-lam menya mbar pedang dan lari keluar menuju ke deretan tiang karang yang menjadi jalan ke karang Co-yang-ping. Sesosok bayangan hitam tengah berloncatan dari tiang karang yang satu ke tiang karang yang lain. Dalam sekejap saja, orang itu pun sudah tiba di tiang karang yang terakhir.

Siu-la m dan orang itu hanya terpisah tiga to mbak jauhnya. Betapa kejut Siu-lam ketika melihat siapa orang itu.  “Tio supek, wanpwe sengaja menyambut kedatangan supek!”

“Hiantit, lekas bantu aku me lintasi jurang ini!” sahut Tio It- ping dengan nada yang le mah.

Siu-la m terkejut. Cepat ia membuka baju luar lalu dirobek- robek dan disambung-sa mbung lalu dilontarkan kea rah Tio It- ping. Ah! Sambungan mantel itu tak cukup panjangnya. Kurang dua to mba k.

“Tunggu dulu, supeh! Akan kucari tali!” seru Siu-la m. “Jangan, tak perlu!” tiba-tiba Tio It-ping berseru: “Aku tak

sanggup  menahan   lukaku.   Jangan  buang  waktu,   lekas  le mparkan sa mbungan kain itu sekali lagi!”

Siu-la m ma kin kaget. Jelas kalau supehnya itu menderita luka parah. Ia bingung. Untuk mencar i tali,  mungkin terlambat. Tetapi jika melontarkan sa mbungan kain,  juga besar bahayanya. Apabila  supehnya  tak  kuat,  tentu  akan me layang jatuh ke dalam jurang. Tetapi apa boleh buat. Dicobanya sekali lagi untuk melontarkan sa mbungan kain mantel itu.

Pada saat ujung sambungan mantel melayang, Tio It- pingpun enjot tubuhnya melayang dan menyambar ujung sambungan mantel. Siu-la m kerahkan seluruh tenaganya untuk menariknya ke atas lalu dipeluknya. Dengan hati-hati diletakkannya tubuh Tio It-ping di atas karang.

“Apakah supeh mender ita luka berat?” tanyanya cemas.

Tio It-ping menghe la napas dan menganggukkan kepala: “Lukaku.. parah… huak…” tiba-tiba ia muntah darah.  Lalu mera mkan mata. Siu-la m bingung sekali. Hendak dipondongnya sang supeh ke dalam pondok dan minta Su Bo-tun menolongnya. Tetapi ketika berpaling tahu-tahu Su Bo-tun sudah berdiri tak jauh di belakangnya.

“Su locianpwe, inilah….”

“Tak usah bilang, dia berna ma Tio It-ping. Tigapuluh tahun yang lalu sudah kenal aku. Tak perlu kau perkenalkan lagi,” sahut Su Bo-tun dingin.

Siu-la m mendongko l sekali. Terhadap seorang kenalan, Su Bo-tun tetap bersikap dingin.

“Supehku menderita luka parah. Demi me menda m persahabatan lama, sukalah lo-cianpwe meno longnya,” terpaksa Siu-la m me minta.

“Jika kau gunakan Soh- in-kim-chi me minta, tentu akan kuberinya pertolongan. Tetapi jika tak mau menukar dengan uang emas itu, akupun tak punya kewajiban menolongnya,” sahut Su Bo-tun.

“Menolong orang jauh lebih mulia dari mengadakan sesaji sembahyangan. Apalagi locianpwe kenal dengan supehku. Menolong jiwa orang bukan seperti orang berolok-olok!” seru Siu-la m.

“Siapa berolok-olo k denganmu!” bentak Su Bo-tun, “Apa yang kukatakan se mua nyata.”

Siu-la m tertawa dingin: “Locianpwe benar-benar seorang berhati dingin. Baru mala m ini  mataku terbuka  dan dapat  me lihat seorang manus ia luar biasa!”

“Barang siapa pernah menolo ng aku tentu kuberinya sebuah uang e mas. Pertanda aku berhutang budi padanya. Tetapi yang tak pernah menolong aku, aku tak peduli karena tak merasa berhutang apa-apa. Tio It-ping pernah aku beri sebuah uang emas itu. Jika dia mau menyerahkan lagi, tentu akan kubantunya!” Serentak Siu-la m merogoh uang Soh-in- kim- chi dari bajunya. Tetapi ketika hendak diserahkan pada Su Bo-tun, sekonyong-konyong   Tio   It-ping    me mbuka    mata    dan me mandangnya beringas. Siu-lam buru-buru masukkan lagi uang itu ke bajunya.

“Apakah keponakanku Hui- ing berada di Coh-yang-ping sini?” tanya Tio It-ping.

Siu-la m mengiakan.  Dia  menerangkan  bahwa  gadis  itu me mbawa uang e mas Soh-in-kim-chi untuk ditukarkan dengan ilmu silat Chit-sing-tun-hing kepada Su Bo-tun.

Su Bo-tun diam saja. Hanya matanya me mandang tawar kepada Siu-la m. Sebaliknya Tio It-ping tertawa tergelak. “Bagus, bagus, kalau begitu uang emas yang kau bawa itu boleh kau tukarkan dengan ilmu silat Hok- hou-pat-ciang…” tiba-tiba  ia  berhenti  berkata.   Luka  dalam  yang  diderita me mbengkah. Dada serasa pecah. Buru-buru Siu-la m mencegahnya supaya jangan memikirkan  ia  (Siu- la m). Untung e mas itu lebih baik ditukarkan dengan obat.

“Bagus, me mang sudah selayaknya tukar-menukar itu. Bukan aku ber mulut besar. Tetapi lukanya yang sepele itu, sekali kuobati tentu se mbuh!”

“Jangan! Jangan!” serentak Tio It-ping berseru. “Ilmu silat Chit-sing-tun-sing dan Hok-hou-pat-ciang itu adalah ilmu simpanannya yang paling istimewa. Jika  kalian  berdua masing- masing dapat me mperolehnya, cukuplah  berharga untuk ditukar dengan jiwaku!”

“Hm, me mang ilmu silat Chit-sing-tun-s ing dan Hok-hou- pat-ciang itu tiada taranya di dunia persilatan, tetapi jangan harap orang dapat me mpelajarinya dengan se mpurna dalam waktu empat-lima bulan. Sekalipun kuberikan tetapi belum tentu kalian ma mpu menerimanya seluruhnya.  Apakah kau  tak lebih sayang pada jiwa mu sendiri?” “Sekalipun mati, aku tetap tak sudi minta pertolonganmu dengan uang Soh-in- kim-chi ini. Apalagi aku belum pasti mati!” Tio It-ping mendengus.

“Supeh, sakit hati kedua guruku hanya mengandal tenaga supeh. Jika supeh sampai kena apa-apa, sakit hati itu tentu sukar terhimpas. Apalagi ilmu silat Hok-ho u-pat-ciang belum tentu yang paling sakti di dunia persilatan. Lebih baik aku tak me mpe lajarinya sajalah!” seru Siu- la m.

Tio It-ping anggap ucapan anak muda itu me mang beralasan. Jika ia sa mpai mati, sukarlah bagi kedua  anak muda itu untuk me nuntut balas.

Melihat supehnya berdiam, tahulah Siu- lam bahwa sang supeh menyetujui. Segera ia merogoh uang emas Soh-in-kim- chi untuk diserahkan pada Su Bo-tun. Sekonyong-ko nyong terdengar kesiur angin menderu tajam di udara dan segulung sinar bianglala menya mbar ke arah Tio It-ping.

Su Bo-tun pun loncat mundur beberapa langkah. Siu-la m cepat-cepat meme luk supehnya dan menggelundung ke samping. Tangan kanannya menangkis pedang.  Tring… pedang terpental ke udara dan tangan Siu-lampun kese mutan. Siu-la m me ncabut pedangnya lagi dan timpukkan kepada penyerangan gelap itu. Dan dengan sebuah gerak loncatan, ia me lenting ke sa mping Su Bo-tun serta menyerahkan uang kepadanya: “Inilah uangmu Soh-in-kim-chi! ”

Begitu menya mbuti uang e mas,  Su  Bo-tun  pun  segera me lesat ke hadapan Siu-lam dan me mbentak: “Hm, siapakah yang tengah mala m berani mengacau di te mpatku ini!”

Cepat sekali muncul tiga orang berloncatan dari satu ke lain tiang jembatan. Dan tahu-tahu muncullah  seorang  lelaki kurus berumur e mpatpuluh tahun tangan mencekal sebatang golok Kui-than-to. Di belakangnya mengiring dua orang lagi yang bertubuh kekar. Masing- masing me mbawa golok. “Hm, masih ada beberapa kawan lagi?” tegur Su Bo-tun sedingin es.

Ketiga orang itu bertubuh pendek-pendek. Salah seorang segera menyahut: “Hanya kami bertiga saudara. Apakah terlalu banyak!”

Su Bo-tun menyeringa i: “Tidak! Apa maksud kalian  ke sini?”

Orang pendek ketiga me lengking: “Lo-toa, kata-kata orang banci ini menusuk telinga. Bunuh saja sekali!”

“Lo-sa m, jangan ngaco!” bentak si pendek yang dipanggil Lo-toa atau kakak pertama. Ke mudian ia me mberi hor mat kepada Su Bo-tun: “Karena hendak me mburu seorang musuh, kami telah kesalahan masuk di tempat saudara. Jika saudara tak ikut ca mpur, begitu orang itu telah kubunuh kamipun segera meninggalkan te mpat ini!”

“Sela ma orang tak menyalahi aku, akupun tak mau menyalahi orang,” jawab Su Bo-tun. “Siapakah yang kalian hendak bunuh itu?”

“Dia!” seru si pendek seraya menuding kepada Tio It-ping.

Su Bo-tun menimang-nimang uang emas Soh- in-kim-chi di tangannya, serunya: “Terserah, aku takkan  ikut  campur. Tetapi harap tunggu setelah kuobati lukanya sa mpai se mbuh. Dan karena kalian berani datang ke sini tanpa izin, sebagai hukuman kalian harus me motong sebuah jari kalian sendiri. Tiga hari ke mudian, tunggulah di tiang batu jembatan. Terserah kalian dapat me mbunuhnya atau tidak!”

Enak saja ia mengucapkan kata-katanya. Seolah-olah yakin orang tunduk pada perintahnya.

Si pendek yang paling tua, tiba-tiba menengadah tertawa gelak-gelak: “Kami Beng-ga k-sam- liau, belum pernah bertemu dengan orang yang berani bicara begitu sinis…” “Apa itu Beng-gak-sam- liau atau Beng-gak-liok- liau!” tukas Su Bo-tun, “Aku tak suka banyak omong, kalian dengar atau tidak?”

Seorang pendek pertama yang menyebut dirinya sebagai Beng-gak-sa m-liau (Tiga Setan Gunung Beng-gak), berpaling kepada kedua kawannya dan tertawa: “Tua Bangka ini besar sekali mulutnya. Lo-sa m, berilah ajaran padanya!”

Si pendek yang dipanggil Lo-sa m (adik ketiga), melesat ke hadapan Su Bo-tun dan tanpa berkata apa-apa terus memukul dadanya. Tetapi Su Bo-tun menyurut mundur. Enak saja tampaknya ia menghindari ke belakang itu tetapi bagi ketiga Beng-gak-sa m-liau, gerak penghindaran itu benar-benar mengejutkan.

Tiba-tiba Su Bo-tun berputar-putar seperti sebuah roda dan tahu-tahu sudah berada di belakang si pendek.  Dengan sebuah gerakan yang sukar diikut i mata, orang she Su itu sudah mencabut pedang yang terselip di punggung si pendek. Wut… tring! Begitu Su Bo-tun menabas, secepat itu juga si pendek sudah menyambutnya dengan kelingking tangan kiri. Pedangpun terpental.

Siu-la m leletkan lidah. Kecepatan dan kelihayan kedua orang itu bergerak, benar-benar baru pertama kali ini ia saksikan. Dia m-dia m ia merasa kecil. Kepandaian yang dimilikinya sekarang ini mas ih jauh sekali dengan mereka….

Pertempuran makin berlangsung seru. Si orang pendek loncat ke udara, sambil me mutar goloknya dalam jurus Awan- menutup-re mbulan, ia menyerang kepala Su Bo-tun.

Su Bo-tun tertawa dingin. Berputar-putar menyelinap dari curahan golok, ia menyerang seorang pendek lainnya.

Si pendek no mor tiga yang melayang ke udara tadi, karena serangannya luput, meluncur menyerang ke arah Tio It-ping. Siu-la m  terkejut.  Dia   tak  punya   senjata  lagi.  Untuk me larikan supehnya, ia merasa kalah tinggi ilmu ginkangnya dengan musuh. Untung dalam saat-saat berbahaya  itu, dengan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya, Su Bo-tun sudah melesat di dekat Siu-lam. Tring…. terdengar benturan suara tajam. Si pendek Lo-sam  jungkir  balik di udara  dan  me luncur ke belakang. Tetapi Su Bo-tun sendiripun tersurut mundur selangkah….

Sejak muncul di dunia persilatan, baru pertama kali ketiga Setan Pendek dari Gunung Beng- gak ketemu batunya. Mereka tercengang-cengang me mandang Su Bo-tun.

“Apa yang kukatakan tentu kulaksanakan!” seru Su Bo-tun. “Lekas potong jarimu dan segera enyah dari Coh-yang-ping sini. Tiga hari ke mudian tunggulah orang buronanmu itu di tiang je mbatan. Jika  masih banyak bicara, jangan  harap kalian bisa keluar dari Coh-yang-ping sini!”

Si pendek Lo-toa me mandang ke arah Lo-sa m yang ternyata telah kehilangan sebuah jarinya, tegurnya: “Bagaimana luka mu?”

“Jangan kuatir, toako,” sahut Lo-sam dengan menggigit bibir, “Sekalipun lenganku putus, aku tak takut.”

“Hm,” Lo-toa mendengus, ke mudian berpaling menghadap ke arah Su Bo-tun: “Sejak keluar ke dunia persilatan baru pertama kali ini ka mi Beng-gak-sa m-liau menderita kerugian. Dengan dapat mengutungi sebuah jari saudaraku, kepandaianmu tentu lebih tinggi dari kami bertiga. Tetapi….”

“Jika tak terima, silahkan kalian maju bertiga. Aku bersedia menga lah sa mpai sepuluh jurus….” tukas Su Bo-tun.

“Kalau dalam sepuluh jurus kami tak ma mpu melukaimu, kami bersedia me motong jari dan tinggalkan tempat ini!” tukar Lo-toa. “Hm, kalau tidak terpaksa hendak menyelesaikan hutang budi, masakan aku sudi me mberi ke murahan pada mu. Ayo, majulah!” seru Su Bo-tun. Ia lemparkan golok kepada si Lo- sam, serunya: “Akan kuberimu kemurahan lebih banyak lagi. Sepuluh pukulan boleh kalian ganti dengan serangan golok!”

Kata-kata garang dari orang she Su itu benar-benar mengejutkan sekalian orang. Bukan saja ketiga jago kate itu mur ka pun Siu-la m dan Tio It-ping kaget.

Lo-sam me mungut golok yang dile mpar Su Bo-tun lalu loncat menerjang lawan. Lo-toa dan Lo-ji pun segera ikut menyerang. Ketiga tokoh-tokoh kate dari gunung  Beng-gak itu menyerang hebat. Su Bo-tun dilanda hujan golok yang deras.

Tapi sesuai dengan ucapannya yang garang Su Bo-tun dapat menghindari dengan gerakan yang luar biasa indahnya. Dalam beberapa detik saja, sepuluh jurus telah selesai.

“Berhenti!” tiba-tiba Lo-toa berseru. Serentak hujan golokpun berhenti. Lo-toa memandang kepada kedua saudaranya. Tiba-tiba ia me motong jari kelingkingnya sendiri lalu le mparkan goloknya ke dalam jurang. Dipungutnya jari kelingking yang jatuh di tanah itu lalu ditelannya.

Lo-ji dan Lo-sa m terkesiap. Tapi mereka pun me ngikuti perbuatan kakaknya. Setelah masing- masing me motong jari kelingkingnya, ketiga jago pendek itu segera lari tinggalkan Coh-yang-ping.

Setelah ketiga orang kate itu lenyap, Su Bo-tun segera perintah Siu- lam me mbawa Tio It-ping ke dalam gubuk.

Dengan me mbawa sebatang lilin dan sebuah peti obat, Su Bo-tun mengha mpiri ke  pembaringan.  Sejenak memandang Tio It-ping ia me mberi perintah: “Duduk dan salurkan napasmu. Pertama hendak kutusuki tubuhmu dengan jarum, lalu kusaluri tenaga dalamku dan akhirnya minumlah pil buatanku. Dalam tiga hari, ke mungkinan tentu kau se mbuh!” “Jangan kuatir, sembuh atau belum dalam tiga hari aku tentu pergi dari sini,” sahut Tio It-ping.

“Tidak!” bentak Su Bo-tun. “Aku tidak sudi hutang budi orang. Sela ma luka mu belum se mbuh tak kuijinkan kau keluar dari Coh-yang-ping ini.”

Tio It-ping tertawa hambar. Tak mau ia banyak bicara dengan manus ia aneh itu lagi. Segera ia duduk peja mkan mata dan salurkan napas. Su Bo-tun pun cepat bekerja. Ia menge luarkan dua bilah jarum e mas. Perta ma kali ia tusuk dada Tio It-ping dengan sebilah jarum, lalu yang sebilah lagi ditusukkan ke sa mping dada.

Sepenanak nasi lamanya, barulah Su Bo-tun mencabut jarumnya, kemudian ia duduk di belakang Tio It-ping  dan mene mpe lkan telapak tangannya ke punggungnya Tio It-ping. Seketika Tio It-ping rasakan tubuhnya dibanjiri hawa hangat. Ketika ia menyalur kan napas, ternyata jauh lebih enak dan longgar dari tadi. Diam-dia m ia me muji kepandaian orang she Su itu.

Selesai   menyaluri   tenaga    dalam,    Su    Bo-tun    lalu me mber ikan sebuah pil hitam kepada Tio It-ping. “Sekalipun bukan pil dewa, tetapi pil Kiu-coan-hwat-hiat-tan ini telah menggunakan waktuku sepuluh tahun untuk me mbuatnya. Tiap satu sejam, ma kanlah sebutir. Jika besok luka mu tak menga la mi perubahan apa-apa, dalam tiga hari kau tentu sembuh!” Su Bo-tun me letakkan lima butir pil lalu ngeloyor pergi.

Siu-la m menunggu dengan sabar di dekat supehnya. Entah berapa lama kemudian, tiba-tiba Tio It-ping me mbuka mata  dan berseru: “Orang she Su itu benar-benar manusia aneh.  Dia hanya me mperbolehkan kita tinggal di sini sela ma tiga hari. Dalam dua hari ini kau harus  berusaha  tinggalkan tempat ini.” Siu-la m terkejut. “Tetapi luka supeh mas ih belum se mbuh, aku….”

“Jangan kuatir, aku tentu sembuh dalam tiga hari,” kata Tio It-ping,  “Yang  penting  ialah  cara  bagaimana  kau  dapat  me lintasi je mbatan batu itu. Walaupun Beng-gak-sam- liu telah dihalau Su Bo-tun, tetapi mereka tentu masih se mbunyi di je mbatan batu. Jelas kau bukan tandingan mereka. Sukar bagimu dapat me lintasi je mbatan itu.”

Siu-la m me nghibur supehnya supaya jangan banyak pikiran. Yang penting supaya supehnya itu lekas se mbuh.

Tio It-ping kerutkan dahi: “Kecuali kita me mpunyai sebiji uang  emas  Soh- in-kim-chi  lagi  untuk  minta   Su   Bo-tun me lindungi kau keluar dari Coh-yang-ping, rasanya tiada jalan lagi.”

Walaupun belum la ma keluar ke dunia persilatan, namun nama Beng-ga k-sam- liu itu belum pernah kudengar. Apakah mereka tergolong tokoh-toko h terna ma?” seru Siu- la m.

Tio It-ping menghela napas: “Walaupun tidak semua tokoh- tokoh Kanglam kukenal, tetapi sebagai hasil dari persilatan selama berpuluh tahun ini, banyaklah tokoh-to koh persilatan yang kuketahui. Tetapi siapa ketiga jago kate itu dan di mana letak gunung Beng-gak, aku benar-benar tak tahu. Belum lagi aku berhasil menyelidiki musuh- musuh gurumu, aku malah mender ita luka berat.”

Siu-la m menyatakan bahwa supehnya itu telah berusaha sekuat tenaga untuk mencari musuh gurunya.

“Hm, meskipun belum mengetahui siapa pe mbunuhnya tetapi sedikit banyak aku sudah dapat menduga sebab-sebab pembunuhan itu. Asal kutemukan letak Beng-ga k, tentu mudahlah mencari musuh itu. Peristiwa pembunuhan kedua gurumu itu me mang bukan pe mbunuhan biasa…” Tio It-ping berhenti sejenak, “Mungkin, mungkin pada sumoay mu kau dapat me mperoleh jejak si pembunuh.” “Biarlah kutanyakan padanya…!” buru-buru Siu-la m berseru. Tetapi Tio It-ping gelengkan kepala.

“Gurumu itu seorang yang berhati-hati. Segala apa tentu telah direncanakan dengan cer mat. Tetapi sumoay mu itu seorang dara yang kekanak-kanakan. Jika  dugaanku  tak keliru, sumoaymu itu tentu me mbawa benda yang luar biasa pentingnya. Sekali benda itu diketahui orang, jiwanya tentu terancam maut.” Tio It-ping berhenti sejenak, lalu katanya pula: “Yang penting sekarang ini ialah: kesatu, kau harus menanyakan benda yang dibawa sumoaymu itu. Kedua, mencari akal supaya lolos dari pencegatan Beng-gak-sa m-liau. Aku merasa salah lari kesini. Syukur mereka  belum mengetahui bahwa benda yang mereka kejar-kejar  itu ternyata berada di Coh-yang-ping sini. Aku kuatir…”

“Harap supeh beristirahat dulu, aku hendak mencari  sumoay,” kata Siu-la m seraya tinggalkan pondok.

Ternyata di dalam ruang guha batu, Ciu Hui- ing sedang asyik berlatih diri. Sedemikian asyiknya sehingga ia tak tahu kalau Siu- lam datang. Siu-la m pun tak mau mengganggu sumoaynya. Ia berdiri di a mbang pintu.

Sepeminum teh la manya, Hui-ing berhenti dan duduk di tanah, mendekap muka dan menangis. Siu-lam haru melihat tingkah laku sumoaynya yang aneh itu.

Puas menangis dara itupun duduk bersila menyalurkan napas. Siu-lam tak mau mengganggunya. Dia m-dia m ia menghe la napas. Sumoaynya itu seorang gadis re maja. Kini tentu tersinggung di bawah perintah seorang guru bengis seperti Su Bo-tun.

Beberapa lama ke mudian Hui-ing me mbuka mata.  Ketika me lihat suhengnya berdiri menunggu di pintu, ia bangkit dan tertawa. “Eh, mengapa suheng tak mau  me mbangunkan aku?” Siu-la m mengatakan bahwa ia tak mau mengganggu sang sumoay yang tengah meyakinkan ilmu tenaga dala m.

“Eh, apakah sudah terang tanah?” Hui-ing berseru agak kaget. Ternyata ia telah me mpelajar i ilmu Chit-sing-tun-heng semala m suntuk.

“Sumoay, kau benar-benar giat belajar!”

Hui- ing mengo me l panjang pendek tentang sukarnya pelajaran dari Su Bo-tun. Siu-la m menghiburnya dan menganjur kan supaya dara itu terus berlatih dengan giat. Makin sukar ilmu silat itu, tentu ma kin luar biasa saktinya.

“Suheng, mana uang emas Soh-in-kim-chi itu?”  tiba-tiba Hui- ing bertanya.

“Sudah kuberikan kepada Su Bo-tun,” jawab Siu- la m. Kemudian ia menanyakan apakah pesan ayah bunda Hui- ing tatkala menyuruh dara itu ke Coh-yang-ping.

“Setelah selesai belajar pada Su Bo-tun, ayah suruh aku segera ke gunung Ki-he-nia di tepi telaga Se-ou untuk mencari si Tukang Pancing Lim Cing-s iu. Ayah dan ibu menunggu di sana!”

Hampir Siu-la m mengucur kan air mata. Buru-bur u ia alihkan pe mbicaraan: “Mengingat sumoay belum pernah menge mbara keluar, tentulah waktu berangkat suhu me mberi bekal apa-apa kepada mu, bukan?”

Hui- ing tertawa mengikik: “Benar, me mang me mberi bekal. Tetapi entah benda apa itu, sebuah bungkusan kecil dari kain kuning kusam! ”

“Bolehkah aku melihatnya?”

Hui- ing gelengkan kepala: “Tidak! Ayah pesan wanti-wanti tak boleh me mbukanya dan harus diserahkan pada Tukang Pancing  Lim  Ching-siu   itu.   Aku   sendiripun   tak   boleh me mbukanya, apalagi kau!” Siu-la m kerutkan dahi. “Tak boleh me mbuka tak apa, tetapi masakan melihat bungkusannya saja tak boleh?”

Melihat suhengnya kecewa, Hui-ing terpaksa menge luarkan sebuah bungkusan kecil dan diserahkan pada Siu-la m. “Nih, apanya yang menarik dengan bungkusan kain kusam ini!”

Setelah me meriksa sejenak, berkatalah Siu-la m: “Eh, entah bagaimana aku benar-benar tertarik sekali untuk melihat isi bungkusan ini. Apakah sumoay mengijinkan?”

“Tidak!” Hui-ing menggeleng. “Jika ayah tahu dia tentu marah sekali kepadaku….”

Dia m-dia m Siu-la m kagum atas sikap Hui- ing. Biasanya dara  itu  bersifat  kekanak-kanakan  tetapi  ternyata  dalam me laksanakan pesan, ia bersikap serius.

“Bagus, kali ini kau benar-benar bersikap seperti orang dewasa, sumoay,” katanya tertawa.

Hui- ing me masukkan lipatan kain kuning itu ke dalam bajunya lagi. “Jangan coba-coba me mancing aku, jangan harap aku mau me mbuka bungkusan ini!”

Siu-la m segera pamit dan suruh Hui- ing berist irahat, agar dapat berlatih terus.

“Ingat, kalau ketemu si tua Bangka Su itu jangan lupa tanyakan padanya apakah kau boleh tinggal di sini sela ma tiga bulan sa mpai pelajaranku selesai!” Hui-ing me mberi pesan.

Siu-la m tertawa dan terus melangkah keluar ke tempat supehnya lagi. Keadaan Tio It-ping jauh lebih baik.

“Apakah yang kau peroleh dari sumoay mu?” tegurnya dengan tersenyum.

“Benar seperti yang diduga  supeh. Tetapi entah apa isinya,” kata Siu- lam me nuturkan.

“Mengapa tidak kau buka?” “Sumoay berkeras tak mau karena bukan barangnya. Jika kupaksa, dikuatirkan ia marah.”

“Kenalkah supeh akan orang yang berna ma Lin Ching-s iu bergelar Si Tukang Pancing dari Telaga Se-ou?”

“Hai,  itulah   susiok  (pa man   guru)  dari  suhumu.   Kau me manggil kakek guru…” seru Tio It-ping. Ke mudian katanya pula: “Mungkin benda dalam bungkusan kuning itulah yang menimbulkan peristiwa pembunuhan kedua gurumu. Ah, betapa cermat suhumu mengatur rencana toh akhirnya kuketahui juga!”

Siu-la m heran, dan me minta penjelasan:

“Turut dugaanku dan setelah me lalui analisa lebih dala m, ke mudian terbukti sumoaymu me mbawa benda itu, jelas bahwa dugaanku seratus persen benar.”

“Ya, ya, memang supeh me nduga tepat, tetapi apakah sebenarnya yang berada di dalam bungkusan kain kuning itu?”

Tio It-ping menghela napas: “Telah aku katakan pada mu, berkat bertahun-tahun aku menge mbara, aku kenal dan tahu markas  maupun  sarang  partai-partai  persilatan  dan gerombo lan-gero mbolan penjahat. Tetapi belum pernah selama ini kudengar tentang tempat yang  disebut Beng-gak itu serta ketiga tokoh Beng-ga k-sam- liau. Tetapi yang je las Beng-gak itu tentulah sebuah tempat misterius….”

Tio It-ping berhenti sejenak, lalu katanya pula: “Dengan munculnya tokoh-tokoh dari Beng-ga k ke dunia persilatan, jelas tentu me mpunyai tujuan besar.  Yang  nyata  suhumu me mpunyai simpanan benda-benda pusaka yang mungkin tiada terdapat di dunia lagi.  Oleh karena itu mereka menyerang suhumu…” ia berhenti sejenak. “Yang penting sekarang ialah cara bagaimana kau dapat lolos dari karang Coh-yang-ping ini!” “Maksud supeh hendak suruh aku dan sumoay lolos?” tanya Siu-la m.

Tio It-ping mengangguk. “Kakek gurumu Tukang Pancing Lim Ching-s iu tidak kalah kepandaiannya dengan Su Bo-tun. Disuruhnya sumoay mu menyingkir ke Coh-yang-ping sini adalah hanya siasat. Dari sini ke Ki-he-nia, jaraknya jauh sekali. Sumoay mu belum pernah menge mbara. Jika seorang diri mengadakan perjalanan tentu akan menarik perhatian dan besar bahayanya….” tiba-tiba Tio It-ping berhenti karena terkerat oleh teriakan si tolol Seng Kim-po (murid Su Bo-tun): “Hai, siapakah yang berani mat i datang ke Coh-yang-ping itu?”

“Hm, lancang benar mulutmu, akan kupersen dua buah tamparan!” Terdengar sebuah lengking suara gadis disusul dengan dua buah ta mparan ke pipi orang.

Siu-la m cepat me lesat keluar dan apa yang disaksikannya, me mbuat jantungnya berdebar keras. Di bawah sinar bintang suram tampa klah tubuh si dara baju putih, dara yang telah merawat jenazah suhu dan subonya tempo hari. Dan di belakangnya tampak ketiga orang kate Beng-gak-sa m- liau tadi.

Si tolol Kim-po rupanya terlongong- longong karena mendapat ta mparan. Pada lain kejap ia gelagapan dan balas menjotos. Tetapi si dara baju putih hanya ganda  tertawa hina. Tanpa  menghindar  ia  angkat  tangan  kirinya   dan  mena mpar. Hek… Kim-po mendeha m dan tersurut  mundur tiga langkah. Tangan terkulai ke bawah seperti terkena tusukan….

Habis mena mpar si tolol Kim-po, si dara baju putih tak mau menyerangnya lagi. Ia hanya me mandang Su Bo-tun yang ternyata juga sudah muncul.

“Mengapa kau tak mau turun tangan? Tunggu apa lagi?” tegur si dara baju putih. “Ilmumu mengebut jalan darah sudah ha mpir se mpurna. Makanya sekali gerak kau dapat merubuhkan muridku yang tidak berguna itu,” Su Bo-tun.

Siu-la m terkejut me lihat kedinginan hati Su Bo-tun. Masakah muridnya dipukul orang dia tinggal diam saja. Kalau dara baju putih itu menyerang lagi bukankah Kim-po akan celaka?

Si dara baju putih berpaling ke belakang dan bertanya kepada Beng-gak-sa m- liau: “Apakah benar si tua Bangka ini?”

Rupanya Beng-gak-sam- liau jeri dan menghor mat sekali kepada dara baju putih itu, sahut mereka: “Benar!”

Si dara baju putih me ma ndang Su Bo-tun dari kaki sa mpai ke ujung kepala, serunya dingin: “Ciu Pwe, putrid dari Ciu lo- enghiong apakah bersembunyi di sarangmu sini?”

Sahut Su Bo-tun: “Selamanya aku tak suka menjawab pertanyaan orang!”

Tiba-tiba si dara menga lihkan pandangannya ke arah Siu- lam yang tegak di muka pintu, ke mudian me mandang Su Bo- tun lagi, serunya: “Kunasehati, lebih baik jangan turut campur urusan ini dan lekas se mbunyi!”

“Benar, me mang aku tak suka ca mpur urusan orang la in.

Tetapi aku tak pernah me larikan diri!” sahut Su Bo-tun.

Si dara mendengus pelahan lalu mengha mpir i ke tempat Siu-la m. Siu-la m terkejut.  Tio It-ping baru saja sembuh, jika si dara itu menyerangnya, tentu sang supeh celaka.  Segera dia menghadang di depan pintu: “Mengapa tengah mala m begini kau seorang nona hendak masuk ke ka mar orang?”

Sepasang mata si dara berkilat-kilat dan serentak wajahnyapun bengis. Tetapi pada lain kejap reda pula. Ia berhenti me mandang Siu-la m. Ketika berpandangan mata, Siu-la m pun menggigil. Sinar mata dara itu dingin sekali. Tiba-tiba si dara ayunkan langkah hendak masuk. Dalam gugupnya Siu- lam lintangkan  tangan kiri ke pintu dan tangan kanan mendorong ke muka dengan jurus Long-jo ng-kiau-yan atau Ombak Menda mpar Karang….

Dalam kegugupan itu Siu-la m telah menyerang dengan sepenuh tenaga. Walaupun tak dapat mengundurkan si dara namun paling t idak tentu dapat menahannya.

Tetapi hasilnya benar-benar me mbuat ia terkejut bukan kepalang. Tepat pada saat tangan Siu-la m bergerak, dara itupun sudah menyelinap ke dalam pondok. Karena pukulannya luput, tubuh Siu-la m menjorok  ke muka. Ia terkejut ketika sesosok tubuh lain menyelinap  ke dalam pondok lagi. Tetapi rasa kejut itu cepat berubah menjadi rasa lega ketika mengetahui yang masuk itu Su Bo-tun. Rupanya  Su Bo-tun menyusul si dara.

Si dara baju putih mengha mpiri ke tempat Tio It-ping yang tengah bersemedhi. Sedang Su Bo-tun mengikuti di belakangnya. Jarak Su Bo-tun dengan dara itu dekat sekali Sekali tutuk, tentu dapat mengenai punggung si dara. Tetapi anehnya dara itu tenang-tenang saja. Bahkan tak ma u ia berpaling ke belakang. Su Bo-tun  tak  mau  bergerak. Rupanya ia tengah menimang-nimang langkah yang hendak  dia mbil terhadap dara itu….

Sekalipun begitu, tetapi Siu-la m tetap gelisah. Cepat-cepat ia lari ke dalam pondok dan menghadang di muka supehnya. Lilin besar dalam ruang pondok itu sudah padam hingga ruang menjadi  gelap.  Ta mpa k  si   dara   baju   putih   bergerak me langkah maju perlahan- lahan….

“Nak, nyalakanlah lilin,” tiba-tiba Tio It-ping me mberi perintah kepada Siu-la m.

Siu-la m mengerti maksud supehnya. Dalam pondok itu hanya dia paling le mah kepandaiannya. Jika si dara sa mpai turun tangan, tentu dialah yang paling menderita. Ia  segera me lakukan perintah supehnya menyalakan lilin. Seketika ruangan terang.

Tio It-ping me mandang berganti-ganti pada si dara dan Su Bo-tun kemudian me meja mkan mata lagi. Seolah-olah ia tak mengacuhkan kehadiran si dara dan Su Bo-tun.

Si dara maju ke depan Siu-la m dan ulurkan tangan menyiaknya: “Minggirlah!”

Siu-la m hendak menangkis. Tetapi pada saat ia mengangkat tangan, terasa jalan darah di lengannya tersambar angin. Celaka, ia tentu terkena totokan atau terpaksa menyingkir. Ia pilih menyingkir  dua langkah ke samping. Berpaling kepala dilihatnya ketiga  Beng-gak-sa m-  liau me njaga di a mbang pintu dengan wajah beringas.

Tiba-tiba dara itu berpaling kepada Su Bo-tun, serunya: “Kaukah yang me mbiarkan dia tinggal di sini merawat lukanya?”

“Ya!”

Dara baju putih itu tertawa dingin. Kemudian ia bertanya kepada Tio It-ping: “Di mana puteri dari Ciu Pwe?”

Tio It-ping me mbuka mata perlahan-lahan dan tertawa tawar. “Siapa kau? Mengapa kau hendak mencar i puteri dari Ciu lo-enghiong?”

“Kau mau mengatakan tidak?!” dara baju putih setengah  me mbentak.

Tiba-tiba Tio It-ping peja mkan mata  dan tertawa: “Di daerah Kanglam yang begitu luas, di mana saja orang bebas menye mbunyikan diri!”

Si dara angkat tangan kanannya dan berhamburan ketiga Beng-gak-sa m-liau loncat ke dalam ruang seraya tegak berjajar-jajar. Su Bo-tun kerutkan dahi tetapi ia tetap tak bertindak apa-apa.

“Ringkus dulu orang itu!” perintah si dara kepada Beng- gak-sam- liau.

Ketiga orang pendek itu segera hendak bertindak tetapi tiba-tiba Su Bo-tun me mbentak: “Berhenti! Tak kubiarkan kalian bertindak semau sendiri di sini!”

“Aku hendak menangkapnya, kau mau apa?” lengking si dara.

“Kau tak percaya ucapanku, coba saja!” Su Bo-tun mulai marah.

“Baik!”  si  dara  menyambut  tantangan   orang   dengan me mber i isyarat tangan. Lo-tao, Beng-gak-sam- liau yang tertua, segera ulurkan tangan mencengkera m dada Tio It- ping. Tetapi serempak dengan itu, serangkum tenaga dalam yang kuat berhamburan me landa Lo-toa sehingga jago ke satu dari Beng-ga k-sa m-liau itu terpental mundur dua langkah.

Si dara mendengus: “Hm,  kalian  bertiga  tak  sanggup mer ingkus seorang yang sudah terluka!”

Ketiga jago pendek itu takut kepada si dara. Setelah saling berpandangan, mereka menyahut dengan hormat: “Si tua Bangka ini hebat sekali. Jika dia me lindungi….”

“Kalau begitu bunuh dulu tua Bangka itu baru tangkap si orang yang terluka!”

Beng-gak-sa m-liau terkesiap. Seru mereka: “Jika kami sanggup melawannya tentu tak berani merepotkan Sam Kounio!”

Dengan tawar si dara berseru: “Tak apalah! Jika kalian sampai mati dibunuhnya, nanti aku yang me mba laskan!”

Seketika berubahlah wajah ketiga jago pendek itu. Na mun mereka takut me mbantah perintahnya. Lo-toa memandang kepada kedua adiknya: “Karena Sam kounio sudah me mberi perintah, kita matipun tak jadi apa!” ia menutup kata-katanya dengan loncat menyerang Su Bo-tun.

Su Bo-tun seorang manus ia yang berhati dingin berwatak eksentrik. Mendengar kata-kata si dara, bukan  main marahnya: “Ho, kau kira aku tak berani  me mbunuh orangmu?”  Menghindar  dari  serangan  Lo-toa,   ia   balas me mukul.

Ilmu gerak penghindaran me mang menjadi keistimewaan dari Su Bo-tun yang dituangkan dalam ilmu Cit-s ing-tun-heng. Dan gerakan balas me mukul merupa kan ilmunya yang paling istimewa seperti yang diciptakan dalam ilmu Hok- hou-pat- ciang atau Delapan Ta mparan Macam Mendeka m.

Hek… punggung Lo-toa remuk dan didahului  oleh semburan darah dari mulut, jago kesatu dari Beng-gak-sa m- liau itupun roboh tak bernyawa.

Menyaksikan pe mbunuhan yang mengerikan itu, tampaknya si dara acuh tak acuh saja. Serunya dengan hambar: “Kalian tiga saudara selalu runtang-runtung. Hidup bersama, matipun seharusnya bersama. Tidakkah bahagia kalau kalian mati bersa ma di tangan seseorang?”

Kedua jago pendek itu tertawa meringis: “Terima kasih atas nasehat Sam kounio. Kami akan mati dengan mera m!”

“Matilah dengan ikhlas. Jangan kuatir, tentu akan kubalaskan!” sahut si dara.

Tiba-tiba kedua Beng-gak-sa m- liau itu tertawa dingin: “Hm, siasat Sam kuonio untuk melenyapkan orang-orang yang tak kau sukai, me mang halus sekali. Tetapi  percayalah,  Toa kuonio tentu mendengar juga peristiwa ke matian ka mi di sini.”

Kedua Beng-gak-sa m- liau itu menutup kata-katanya dengan menyerang Su Bo-tun dari kanan dan kiri, mengarah jalan darah yang vital. Su Bo-tun tak berani mere mehkan serangan kalap dari kedua orang pendek itu. Cepat ia berkisar menghindar ke samping lalu berputar-putar dengan gerak ilmu Chit-sing-tun- heng.

Serangan luput, kedua Beng-gak-sam- liau itu berputar tubuh lalu menyerang pula dengan dahsyat. Tetapi ilmu Chit- sing-tun-heng benar-benar luar biasa anehnya. Su Bo-tun seperti berubah menjadi gulungan sinar yang berputar-putar sukar ditentukan arahnya. Tanpa disadari kedua Beng-gak- sam-liau itupun ikut dibawa berputar-putar dan serangan merekapun menjadi kacau balau tak teratur lagi.

Walaupun dalam ilmu kepandaian Lo-toa yang paling tinggi, tetapi Lo-ji terkenal paling keras dan berangasan wataknya. Tiga e mpat puluh pukulan telah dilancarkan. Dahsyat dan gencar. Namun sedikitpun mere ka tak ma mpu menyentuh ujung baju lawan. Mereka semakin  marah,   serangannya makin kalap.

Rupanya beberapa saat kemudian Su Bo-tun anggap sudah keliwatan la ma te mponya. Ia rubah gerakan-gerakannya menjadi perlahan. Agar musuh dapat mengetahui gerakannya dan terpancing menyerang. Kedua Beng-gak-sa m- liau benar- benar menyerang dahsyat. Setelah dua jurus, Su Bo-tun menyelak di tengah mereka.

Kedua jago pendek itu sudah menyadari, hari itu mereka pasti mati. Andaikata luput dari ke matian di tangan Su  Bo- tun, pun mereka tentu tak dapat lolos dari tangan si dara yang ganas. Satu-satunya kemungkinan yang masih  diharapkan ialah berusaha sekuat tenaga untuk merobohkan Su Bo-tun. Apabila hal itu berhasil tentulah si dara baju putih tak punya alasan kuat untuk me mbunuh mereka.

Kesempatan itu mereka anggap sudah tiba ketika Su Bo-tun mulai la mbat gerakannya. Mereka segera lancarkan serangan sedahsyat-dahsyatnya. Tiba-tiba Su Bo-tun menggelincir ke samping karena terlalu menggunakan  seluruh tenaganya, kedua Beng-gak-sa m- liau itu menjorok ke muka dan saling berbenturan sendiri. Su Bo-tun ayunkan kedua tangannya. Punggung kedua jago pendek itu mas ing- masing menerima sebuah pukulan. Hanya sekali mereka menjerit la lu terkapar putus jiwanya.

Dingin-dingin saja si dara baju putih me mandang ketiga mayat Beng-gak-sa m-liau, serunya kepada Su Bo-tun: “Sekaligus tiga jiwa sudah kau bunuh. Apakah kau merasa berhak untuk masih hidup?”

“Karena sudah terlanjur me mbuka pantangan me mbunuh, me mbunuh seorang lagi pun tak apa!” sahut Su Bo-tun.

Si dara mengha mpiri Tio It-ping dan menegurnya: “Bagaimana luka mu, masih berat atau tidak?”

Tio It-ping merenung. Melihat cara si dara me minjam tangan Su Bo-tun untuk me mbunuh ketiga Beng-gak-sa m-liau, tampaknya dara itu me mpunyai ma ksud  me mbantunya. Tetapi ia tak mengerti bagaimana sikap dara itu yang sebenarnya.

“Eh, mengapa kau diam saja!” tegur dara itu pula.

“Kalau sudah baik, kau ma u apa? Dan kalau belum, kau hendak bagaimana?” akhirnya Tio It-ping menjawab.

“Jika sudah baik, segeralah kau me milih cara bunuh diri yang kau senangi. Lebih cepat mati, lebih enak. Jika luka mu belum baik, biarlah kutolong, me mbebaskan kau dengan sebuah pukulan, agar kau mati dengan cepat!” seru si dara.

Sebagai seorang persilatan yang berpengalaman, dapatlah samar-sa mar Tio It-ping menangkap dara itu. Ujarnya sambil tertawa hambar:  “Aku sudah tua, tak ada yang harus disesalkan kalau mat i.” Ia berbangkit lalu melangkah.

Tiba-tiba Su Bo-tun me lesat ke hadapannya: “Luka mu belum se mbuh, jangan bergerak se maumu….” “Kalau begitu, kau harus mewakilinya mati!” seru si dara. Su Bo-tun berpaling: “Mungkin tak se mudah itu!”

Walaupun si dara dengan Su Bo-tun telah bertengkar kata- kata tajam, tetapi sampai saat itu mereka belum mau  bergerak menyerang lebih dulu.

Tiba-tiba dara itu melengking: “J iwa ka mi bertiga ditukar dengan jiwa mu, toh aku mas ih untung.”

Belum Su Bo-tun menyahut, tiba-tiba dari luar pintu pondok yang gelap, terdengar sebuah suara parau berseru: “Sam kounio, siapakah yang berani mati me mbunuh orang Beng-gak kita itu?”

Siu-la m berpaling. Seorang ma nusia aneh muncul di ambang pintu. Seorang bertubuh tinggi kurus, matanya berkilat-kilat me mancarkan api, me mandang lekat-lekat pada Su Bo-tun. Dalam pakaian hitam orang itu ma kin seram tampaknya. Lehernya panjang, mulut lebar, dan wajahnya pucat lesi. Kedua matanya luar biasa besarnya.

“Kalau tak terima, silahkan coba!” Su Bo-tun tertawa hina.

Manusia aneh itu me langkah ke dala m. Ia terus ulurkan tangan mencengkera m dada Su Bo-tun. Su Bo-tun  balas mena mpar dada orang itu.

Orang yang kurus tinggi itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa tangkasnya. Pada saat Su Bo-tun mengangkat tangan, iapun sudah menarik tangannya dan me lesat keluar pondok: “Ayo kita bertempur di luar sini!” tantangnya.

“Seumur hidup aku tak pernah menerima perintah orang. Kalau mau berkelahi, silahkan masuk!” jawab Su Bo-tun. Dia takut kalau keluar me ladeni si manusia aneh, dara baju putih akan menyerang Tio It-ping.

Karena bertubuh jangkung, orang aneh itu tak leluasa berkelahi di dalam pondok. Mendengar Su Bo-tun tak mau keluar, marahlah ia: “Hei, akan kubakar  pondokmu.  Coba saja, mau keluar tidak?”

Karena suaranya parau, teriakan orang itu benar-benar menyerupai ta mbur pecah yang menyakitkan anak telinga.

“Cobalah kalau mau me mbakar!” dengus Su Bo-tun. “Mengapa   aku   takut?”   seru   orang   t inggi  itu  seraya

menge luarkan korek api.   Setelah menyulut, lalu  ia le mparkan

ke atas atap pondok.

Tetapi Su Bo-tun sudah siap-siap. Begitu orang itu timpukkan korek api, Su Bo-tun pun sudah mena mparnya. Cepat orang tinggi itu melurus kan tangan kiri untuk menyongsong ta mparan lawan. Terdengar letupan keras dan tubuh Su Bo-tun pun tergoncang dua. Sedang manusia aneh itu tersurut mundur tiga langkah. Korek apinyapun berhamburan padam.

Kedua manusia aneh itu tertegun. Pada lain saat tiba-tiba orang jangkung itu berputar tubuh dan sekali melesat sudah berada di bawah serambi. Sekali dua tangannya menarik, dua buah tiang penglari rumah itu jebol, debu dan atap rumbia berhamburan….

Siu-la m peja mkan mata. Tahu-tahu ia rasakan leher bajunya dicengkeram orang. Ia hendak berteriak tetapi ia merasa tubuhnya terangkat ke udara. Dan ketika me mbuka mata, ia sudah berada di luar pagar tembok dan tubuhnya sedang meluncur turun. Buru- buru ia e mpos se mangat, berjumpa litan di udara lalu meluncur turun.

Cepat sekali otaknya yang cerdas dapat menduga bahwa yang menolo ngnya itu si dara baju putih. Dalam hati: “Kalau benar ia maui jiwanya, tak mungkin aku lolos!”

Lebih lanjut Siu-la m menduga, si dara itu tentu ber maksud meno long dan menyuruhnya melar ikan diri, tapi bagaimana dengan supeh yang masih belum se mbuh? Tengah Siu- lam merancang keputusan, tiba-tiba terdengar suara si dara baju putih melengking: “Kau sudah mender ita luka parah. Jika  mau  me mbunuhmu  sudah mudah.  Tetapi aku tak mau me mbunuh orang yang tak dapat melawan. Jika kau tak mau lari, jangan salahkan aku keja m!”

Sahut Tio It-ping: “Jangan ber mulut besar dulu. Dalam pertempuran ma lam ini belum dapat dipastikan siapa yang kalah!”

Siu-la m terkejut. Ia menanggapi kata-kata Tio It-ping itu sebagai suatu isyarat agar ia segera lari. Sedang Tio It-ping karena me mpunyai Su Bo-tun sebagai pelindung, tentu tidak berbahaya.

Siu-la m anggap anjuran supehnya itu benar. Segera ia lari menuju ke ruang batu dalam gua. Hui-ing tampak tidur di  sudut ruangan. Rupanya dara itu letih berlatih ilmu Chit-sing- tun-heng hingga tak mendengar r ibut-ribut di luar.

Setelah tertegun sejenak, akhirnya Siu-la m mengha mpiri dan me mbangunkan sumoaynya. Hui-ing pun tersenyum: “Apakah sudah terang tanah?” tetapi ia berhenti karena matanya me mandang keluar goa mas ih gelap.

“Tengah mala m begini kau datang kemari apa perlunya?” ia menegur Siu- la m.

“Coh-yang-ping telah kedatangan musuh kuat dan saat ini sedang bertempur dengan Su lo-cianpwee,” kata Siu-la m, “Selain berjumlah banyak pun mereka sakti-sakti.”

“Kau hendak suruh aku melihat rama i-ra mai itu? Bagus!” teriak Hui-ing girang.

Siu-la m gugup. Buru-buru ia menghadang si dara yang hendak me langkah keluar: “Jika tak ada urusan penting, masa ma la m- mala m begini datang padamu. Aku hendak minta kau me larikan diri dari pertempuran itu.” Hui- ing tertawa mengolo k: “Kulihat nyalimu kecil sekali, suheng. Kau takut tetapi aku tidak. Aku harus melihat pertempuran itu.”

Kata Siu-la m serius: “Kepandaian Su lo-cianpwee luar biasa saktinya, tetapi toh kewalahan menghadapi mere ka. Lebih  baik kita me larikan diri saja!”

Melihat kesungguhan sang suheng, Hui- ingpun hentikan tertawanya: “Benarkah itu?”

“Kapankah aku pernah me mbohongimu!” kata Siu-la m terus menarik tangan sang sumoay diajak lari.

Siu-la m seorang cer mat. Ketika masuk ke karang Coh- yang-ping dia m-dia m ia me mperhatikan situasi te mpat itu. Selain gunduk-gunduk batu yang menjadi penghubung Coh- yang-ping, rasanya tiada lain jalan lagi. Dia merasa kepandaiannya tidak ma mpu loncat sa mpai tiga to mbak jauhnya. Dan andaikata dapat, iapun  harus  menghadapi orang Beng-gak yang tentu sembunyi di sekitar tempat itu.

“Sumoay, tahukah kau jalan keluar dari sini kecuali dari jembatan batu itu?” tanyanya.

“Pertama kali datang ke Coh-yang-ping, pemuda ber muka hitam itu me mberi peringatan kepadaku agar jangan blusukan ke sebelah dalam goa. Jika ada apa-apa, jangan salahkan  dia!” kata Hui- ing.

Karena jalan lain tidak ada lagi, Siu-la m me mutuskan untuk bersembunyi saja. Setelah musuh- musuh itu pergi barulah ia tinggalkan Coh-yang-ping. Segera ia balik  masuk  ke  dalam goa lagi. Ia menyusup sampai dua puluhan to mbak jauhnya. Lorong goa me mbe lok ke kiri, ma kin se mpit. Hanya cukup untuk seorang. Rupanya merupakan ujung terakhir dari goa.

Saat itu tengah malam. Lorong goa makin gelap sekali. Siu-la m suruh Hui-ing me nanti, ia hendak menyusup  keluar me lihat keadaan. Lorong ma kin se mpit dan naik turun berbelok-belo k sukar dilintasi. Setelah me lalui tujuh-delapan tikungan, tiba-tiba lorong putus terhalang sebuah goa sebesar tahang air, yang menurun ke bawah.

Siu-la m ngeri me lihatnya. Kebanyakan goa semacam itu tentu dihuni ular atau binatang berbisa. Tengah ia meragu, tiba-tiba terdengar Hui-ing tertawa nyaring: “Mengapa tidak maju terus. Perlu apa terlongong di situ?”

“Ah, jalanan buntu!” Siu- lam menghe la napas.

“Kau tidak bisa terus, lebih baik ke mba li saja,” seru Hui-ing. “Tetapi mus uh terlalu kuat, tak mungkin kita dapat lolos!” “Mundur  ma ju  serba  sukar, habis bagaimana? Hm, kau

bernyali kecil. Tinggallah di sini, aku yang akan keluar menghadapi orang-orang itu!” Hui- ing terus berputar diri dan me langkah pergi.

“Hai, kembali dulu, Ing-moay!” Siu-la m berteriak gugup, “Di sini sebenarnya ada jalan, tetapi….”

“Tetapi bagaimana!?” seru Hui- ing.

“Di sini terdapat goa sebesar tahang air, kukuatir terdapat ular dan binatang beracun!”

“Oh, biarlah aku yang me mpelopor i masuk! ” seru si dara. Tetapi ketika melihat keadaan goa yang melandai ke bawah, tertawalah dara itu: “Celaka, mana aku bisa merayap dengan kepala di bawah kaki di atas?”

“Tak ada pilihan lain!” sahut Siu-la m.

“Baik!” Hui- ing menyambuti dan terus merayap ke dalam goa, Siu-la m mengikuti di belakangnya.

Goa itu curam sekali menurunnya. Penuh dengan pakis (lumut) yang licin. Dengan mengguna kan seluruh tenaga dan perhatian barulah kedua anak muda itu berhasil merayap sejauh sepuluhan tombak. Akhirnya Hui-ing tak tahan lagi: “Sudahlah,  goa  begini  licin  dan berbahaya. Apalagi belum tentu bisa tembus jalan keluar!”

“Bagaia mana?  Kau takut?” Siu- lam tertawa.

“Huh, siapa bilang aku takut?” tiba-tiba Hui-ing marah dan terus percepat langkahnya merayap ke bawah.

Siu-la m kuatir sumoaynya terbentur batu.  Ia  meneriaki dara itu jangan cepat-cepat merayap. Baru ia berseru begitu, tiba-tiba Hui-ing menjerit. Dara itu tergelincir ke bawah….

Siu-la m terkejut sekali. Tanpa menghiraukan bahaya apa- apa, iapun meluncur menyusul sumoaynya: “Sumoay,  hati- hatilah….” Baru ia berteriak, tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah.

Bum… terdengar tubuh kedua pemuda itu terbentur dasar goa. “Bagaimana, sakitkah?” Hui- ing tertawa.

Ketika me mandang ke muka, tampak sumoaynya duduk menyikap kedua lutut. Mulutnya tertawa-tawa.

“Dan kau sendiri bagaimana, sumoay?” serunya. “Kalau sakit masakan aku bisa tertawa?” sahut Hui- ing.

Me mandang ke sekeliling, berkatalah Siu- la m: “Te mpat ini cukup baik, sayang kelewat le mbab!”

“Eh, apakah tiada lubang keluar lainnya? Kalau harus merayap ke atas, mungkin kita akan tergelincir. Kalau tak dapat keluar, kita tentu mati  kelaparan di sini,” Hui- ing bersungut-sungut.

Siu-la m me mandang ke atas. Tapi mulut liang di atas kira- kira dua to mbak tingginya. Suatu jarak yang tak mungkin dicapai. Apalagi dinding liang licin sekali.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa  dingin:  “Sekali terjerumus dalam liang ini, jangan harap seumur hidup kalian dapat keluar!” Hui- ing menjerit kaget dan merapat pada suhengnya: “Apakah itu bukan suara manusia?”

Siu-la m sendiri juga terkejut sekali. Na mun diberanikan juga untuk menegur: “Siapakah itu?”

Segera ia hendak menyulut korek api, tetapi seketika itu juga serangkum angin kuat me landanya. Tubuhnya terseret!

Hui- ing cepat mencabut pedangnya: “Hm, tak peduli kau setan atau manusia, aku tak takut. Lepaskan suhengku, kalau tidak….” Ia taburkan pedang dan berhamburanlah sinar pedang me menuhi ruangan liang.

Kembali dari sudut liang terdengar tertawa dingin dan serempak sebuah benda mengaum ke arah si dara. Wut, Hui- ing menyabetnya tetapi benda itu seolah-olah me mpunyai mata. Dapat menghindar i lalu hinggap di pergelangan tangan Hui- ing.

“Celaka!” dara itu mengeluh karena pergelangan tangannya ternyata terjirat seutas tali. Tali mengencang keras dan mau tak mau terlepaslah pedangnya.

Sekali tarik, Hui-ing yang terjerat tangan kanannya itupun terseret ke muka. Kejut dan marah dara itu bukan kepalang. Baru pertama kali ia berte mpur, sudah dikalahkan dan ditangkap hidup-hidup oleh musuh. Belum dapat ia menumpahkan ke marahannya, tahu-tahu bahunya tertutuk. Dara itupun rubuh ke tanah.

Sekalipun tertutuk jalan darahnya, tetapi Hui- ing mas ih sadar pikirannya. Ia merasa tubuhnya dijalari sebuah tangan yang kurus kering. Hendak menjerit tak dapat, hendak meronta tak ma mpu. Dara  itu  menangis karena  menahan  ma lu dan ke marahan yang meluap- luap. Karena ia jatuh tengkurap, maka tak dapatlah ia me lihat siapakah yang jail kepadanya itu. Ketika tangan kurus itu meraba ke dada, tiba-tiba berhenti dan dengan sebuah gurangan jari yang ringan, robeklah pakaian si dara!

Hui- ing ma kin gelisah. Tangan kurus itu ternyata berhenti di bagian bajunya yang dipergunakan menyimpan buntalan kain kuning. Benda yang oleh ayahnya disuruh menyerahkan pada Tukang Pancing Lim Ching-siu.

Sebelum dapat berbuat apa-apa, tangan kurus itu pun sudah menga mbil keluar bungkusan kain itu. Pada lain saat terdengar bungkusan itu dirobek.

Kira-kira sepeminum teh la manya, Hui-ing rasakan jalan darahnya yang tertutuk itu  diurut-urut.  Seketika  darahnya me mancar ke mba li. Hui-ing segera hendak loncat bangun tetapi dia dibentak oleh sebuah suara dingin: “Budak perempuan, jika berani mencuri kese mpatan melarikan diri, tulang-tulangmu akan kure muk-re muk. Biar kau merasakan kesakitan yang paling hebat. Mati tidak hidup tidak. Dan kusuruh kau tinggal di sini mene mani aku!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar