Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 55 - Tidak Berkesan tetapi Cinta
Suara pemuda itu demikian
penuh perhatian dan penuh iba sehingga Siang In merasa hatinya tertusuk dan
kini dia makin terisak! Dia menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya
bergerak-gerak dan air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.
Suara halus yang menghibur itu malah membuatnya terharu dan makin berduka!
Bertahun-tahun dia mencari pemuda ini, setelah dia hampir putus asa, tiba-tiba
saja pemuda ini muncul di depannya, seperti dalam mimpi, dan menghibur dia
seperti menghibur seorang anak kecil yang cengeng sedang menangis!
Melihat Siang In menangis
makin sedih, Kian Bu menjadi bingung. Kenapakah, Nona? Siapa yang menyakiti
hatimu....?! tanyanya.
Akan tetapi Siang In tidak
mampu menjawab, tersedu-sedu dan ketika dara itu bingung mencari saputangan di
kedua sakunya tanpa hasil, tiba-tiba Kian Bu menyodorkan saputangannya,
saputangan sutera berwarna biru muda. Tanpa berkata apa-apa Kian Bu menyodorkan
saputangannya dan tanpa berkata apa-apa pula Siang In menerimanya dengan pundak
masih terguncang oleh tangis, kemudian dia mempergunakan saputangan itu untuk
mengusap air mata dan membersihkan hidungnya!
Kian Bu mengikuti semua
gerakan ini dengan hati tertarik dan rasa iba makin menebal. Kini Siang In sudah
dapat menguasai dirinya, tangisnya terhenti dan air matanya tidak mengucur
lagi, sungguhpun mata dan terutama ujung hidungnya masih merah! Tanpa bicara
pula dia menyerahkan kembali saputangan biru yang kini menjadi basah itu. Kian
Bu menerimanya dan tanpa berkata apa-apa juga lalu menyimpan saputangan basah
itu ke dalam saku bajunya.
Jadi engkaukah kiranya yang
menolongku tadi?! Tiba-tiba Siang In bertanya, biarpun suaranya masih agak
serak-serak basah karena habis menangis, namun dia benar-benar telah sembuh
dari rasa mengkal dan kesalnya, kini memandang kepada Kian Bu dengan sepasang
mata yang membuat Kian Bu tidak berani menentang terlalu lama!
Untuk menjawab pertanyaan itu,
dia mengangguk. Kenapa engkau menangis sedih seperti itu tadi?!
Akan tetapi Siang In seperti
tidak mendengar pertanyaan itu karena sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu,
dia malah bertanya, pertanyaan tiba-tiba yang membuat Kian Bu memandang heran,
Sungguh tak pernah kusangka bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu! Apakah engkau
Siluman Kecil?!
Kian Bu memandang heran, akan
tetapi dia mengangguk.
Dan engkau Suma Kian Bu?!
Makin heranlah Kian Bu. Dara
ini benar-benar aneh bukan main! Begini muda, paling banyak sembilan belas
tahun usianya, begini cantik jelita, akan tetapi memiliki kekuatan sihir yang
aneh! Juga wataknya begini luar biasa, baru saja menangis begitu sedih,
sekarang sudah tidak kelihatan berduka lagi biarpun mata dan hidungnya masih
merah. Hidung yang kecil mancung dan tipis itu kemerahan, menambah cantiknya!
Heiii, bukankah engkau Suma
Kian Bu? Apakah bukan? Kenapa diam saja?!
Kian Bu terkejut dan gagap.
Eh.... ohhh.... benar, Nona. Aku bernama Suma Kian Bu. Kenapa Nona bertanya
lagi? Apakah kakakku tidak menceritakan kepadamu?!
Siang In hanya mengangguk dan
semenjak tadi sepasang matanya tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu,
memandang penuh selidik. Sudah bertahun-tahun dia ingin bertemu dengan orang
ini, ingin bicara, mencurahkan semua isi hatinya, dan kini setelah berhadapan,
timbul rasa takut yang amat besar di dalam hatinya, takut kepada diri sendiri!
Bagaimana kalau dugaannya selama ini benar, bahwa.... bahwa dia jatuh cinta
kepada pendekar ini? Berubahnya keadaan Kian Bu, rambutnya yang menjadi putih
semua, tidak mengubah perasaan hatinya, bahkan timbul semacam rasa iba yang
besar, yang mengharukan hati Siang In. Akan tetapi, dia teringat akan hubungan
Kian Bu dengan Hwee Li, kemesraan dan keakraban mereka, maka jantungnya
berdebar penuh ketegangan.
Mengapa Nona tadi menangis di
sini setelah berhasil mengalahkan pendeta Nepal itu, kalau aku boleh
mengetahui?! kembali Kian Bu bertanya agak mendesak karena hatinya masih merasa
penasaran.
Tadi aku menangis karena duka
dan jengkel,! jawab Siang In tak acuh.
Ahhh! Kusangka engkau
sakit....! kata Kian Bu, membayangkan keinginan hatinya bahwa dia ingin tahu
mengapa nona itu berduka dan jengkel.
Siang In bangkit berdiri,
mengebutkan pakaiannya yang agak kotor karena pertempuran tadi, lalu otomatis
kedua tangannya diangkat ke atas untuk membereskan rambutnya yang awut-awutan.
Gerakan ini adalah ciri khas wanita, gerakan yang manis sekali karena ketika
kedua lengan diangkat itu, tubuh yang ramping dan padat itu makin menonjol dan
kedua lengan itu membentuk lengkung-lengkung indah, jari-jari tangan yang
lentik itu pun seperti menari-nari di antara rambut yang hitam halus dan
panjang. Kembali Kian Bu memandang seperti terpesona. Biasanya, tidak pernah
dia memperhatikan wanita, akan tetapi entah mengapa, kini dia memperhatikan
setiap gerakan dara ini, seolah-olah setiap gerakan yang betapa kecil pun amat
berarti baginya.
Akan tetapi sekarang aku tidak
berduka atau jengkel lagi, dan aku sama sekali tidak sakit. Lihat, aku sudah
tidak menangis lagi!! Dan dara itu tersenyum manis. Melihat bibir itu merekah
kemerahan, memperlihatkan kilatan gigi berderet rapi yang nampak sekilas, Kian
Bu melongo dan tak disengaja atau disadarinya lagi pemuda ini menelan ludahnya.
Bukan main dara ini, bukan
main anehnya dan manisnya! Baru saja menangis demikian sedihnya, kini sudah
tersenyum secerah itu. Seperti hari hujan lebat tiba-tiba menjadi terang dan
matahari bersinar amat cerahnya.
Eh, Kian Bu, di mana itu
temanmu yang cantik?! tiba-tiba saja dara itu bertanya, sampai pemuda itu
terkejut dibuatnya.
Teman cantik? Siapa?! kata Kian
Bu.
Aih, masin pura-pura lagi!
Siapa pula kalau bukan Hwee Li yang cantik itu? Bukankah dia itu sahabat baikmu
dan bukankah engkau sudah mengejarnya ketika mendengar dia dilarikan oleh
Pangeran Liong Bian Cu? Apakah engkau tidak berhasil menolongnya?!
Kian Bu menarik napas panjang,
wajahnya membayangkan kekhawatiran. Itulah yang menjadi pengganjal hatinya
sejak dia mencari kakaknya. Dia tahu bahwa Kian Lee mengejar Pangeran Nepal
untuk menolong Hwee Li, akan tetapi sampai kini dia tidak berhasil menemukan
mereka dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Hwee Li yang dilarikan
Pangeran Nepal. Melihat pemuda itu menarik napas panjang dan wajahnya muram,
Siang In tersenyum mengejek untuk menutupi perasaan hatinya yang panas oleh
cemburu!
Engkau tentu mencinta sekali
kepada Hwee Li, bukan? Dan engkau khawatir akan keselamatannya?!
Mendengar ini, Kian Bu
teringat betapa dara ini amat membenci Hwee Li, atau sebaliknya Hwee Li
membenci dara ini karena cemburu, maka mendengar ucapan itu dia cepat menjawab,
Harap Nona jangan salah mengerti. Hwee Li adalah seorang sahabat baikku, tentu
saja aku merasa khawatir mendengar dia dilarikan Pangeran Nepal. Akan tetapi
tidak ada perasaan saling cinta antara kami seperti yang Nona sangka itu.!
Jawaban ini benar-benar menyenangkan
hati Siang In dan senyumnya makin cerah, lalu dia berkata, Ahhh, kalau begitu
aku telah berdosa terhadap Hwee Li! Kiranya dia seorang yang setia terhadap
cintanya. Kian Bu, aku sudah salah sangka sehingga aku merasa kasihan kepada
Kian Lee dan membenci Hwee Li.!
Mengapa begitu, Nona?!
Ih, engkau ini menjemukan!
Nona-nonaan segala macam, seperti kita ini belum pernah berkenalan saja!!
Kian Bu menahan senyumnya.
Memang dara ini luar biasa sekali, tiada keduanya di dunia ini. Begitu lucu! Padahal,
memang dia belum pernah berkenalan dengan dara ini, mengapa sikap dara ini
demikian polos terbuka? Akan tetapi, dia tidak mau membikin hati gadis itu
tidak senang, maka katanya lagi, Mengapa tadinya engkau merasa kasihan kepada
Lee-ko dan membenci.... Enci Hwee Li?!
Karena kusangka engkau dan
Hwee Li sudah saling jatuh cinta!!
Berdebar rasa jantung Kian Bu.
Andaikata benar begitu, mengapa?! Dia mendesak, menatap wajah yang ayu itu
penuh perhatian dan penuh selidik.
Siang In juga memandang. Dua pasang
mata bertemu, akan tetapi Siang In lalu membuang muka. Mengapa? Tentu saja aku
kasihan kepada Kian Lee karena cintanya terhadap Hwee Li menjadi sia-sia, dan
aku membenci Hwee Li karena berarti dia gadis tidak setia. Akan tetapi syukur,
engkau dan dia tidak saling mencinta!!
Ucapan ini membuat jantung
Kian Bu makin berdebar girang. Kalau begitu.... kalau begitu.... kami, aku dan
Hwee Li juga salah sangka! Kami mengira bahwa antara engkau dan Lee-ko....!
Ya, ada apa? Bicara mengapa
gagap-gugup begitu? Beginikah Pendekar Siluman Kecil yang terkenal itu? Bicara
saja takut!!
Kami berdua tadinya mengira
bahwa kalian sudah saling cinta. Ah, kiranya tidak, sungguh gembira hatiku!!
Kian Bu berkata, wajahnya berseri-seri.
Kini Siang In yang memandang
penuh selidik, demikian tajam sinar kedua matanya yang jeli dan mempunyai
kekuatan sihir itu sehingga Kian Bu teringat akan sinar mata ayahnya.
Kenapa begitu? Kenapa kau
gembira? Kenapa hatimu gembira mendengar bahwa aku dan Kian Lee tidak saling
mencinta?!
Kian Bu terkejut. Tentu saja
dia tidak berani mengatakan bahwa dia girang karena dengan demikian berarti
bahwa hati Siang In masih bebas!, maka dia cepat berkata, Sama dengan alasanmu
tadi. Aku gembira karena hubungan cinta kasih antara Kian Lee koko dan Enci
Hwee Li tidak menjadi putus.!
Hemmm, kukira....! Siang In
menundukkan mukanya, tangannya memetik ujung rumput dan jari-jari tangannya
mempermainkan rumput itu.
Kaukira apa, Nona?!
Sepasang mata itu mengerling
tajam penuh tuntutan, Kian Bu terperanjat karena ingat bahwa kembali dia
memanggil nona. Akan tetapi dia merasa sungkan untuk menyebut nama gadis itu.
Eh, kaukira apa?! Dia
mengulang, tanpa menyebut nama apa pun di belakang pertanyaan itu.
Siang In tersenyum. Tidak
apa-apa....!
Keduanya terdiam. Siang In
masih menunduk dan kini melangkah lambat ke arah sebatang pohon, lalu bersandar
ke pohon itu, matanya dipejamkan. Kian Bu juga melangkah mengikutinya, akan
tetapi pemuda ini tidak tahu lagi harus berkata apa. Berada di dekat dara ini
dia merasa canggung, bingung, akan tetapi juga gembira dan senang sekali.
Seolah-olah dia baru mengenal dara ini, akan tetapi juga hatinya was-was karena
dia takut kalau-kalau tidak menyenangkan hati dara yang lucu dan aneh ini.
Hening keadaan di situ. Kian
Bu memandang wajah yang bersandar batang pohon dengan mata terpejam. Wajah yang
cantik molek. Kulit pipinya halus kemerahan, hidungnya kecil lucu, dan dia
seolah-olah dapat merasakan napas hangat yang keluar dari hidung dan bibir yang
setengah terbuka itu. Tiba-tiba Siang In membuka matanya dan Kian Bu yang
sedang bengong memandang wajahnya itu gelagapan, cepat menundukkan mukanya,
pura-pura menendang-nendang batu kecil dengan sepatunya. Dia merasa heran
mengapa dia menjadi begini kikuk di depan dara ini, padahal dia bukan anak
kecil lagi. Sama sekali bukan. Bahkan dia sudah pernah berhubungan erat dengan
wanita, dalam arti sedalam-dalamnya, yaitu ketika untuk beberapa lamanya dia
tenggelam dalam peluk rayu Siluman Kucing. Dia sudah cukup dewasa, akan tetapi
mengapa berhadapan dengan dara ini dia merasa seperti seorang anak kecil?
Tak kusangka sama sekali bahwa
Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu,! terdengar dara itu berkata dan Kian Bu
cepat mengangkat muka memandang. Kalau aku tahu, tentu sudah dulu-dulu aku
dapat menjumpaimu.!
Sekarang kita sudah saling
jumpa,! kata Kian Bu, mencoba untuk senyum dan membesarkan hatinya mengusir
rasa canggung.
Dara itu rnenarik napas
panjang. Kian Bu, tahukah engkau betapa sudah bertahun-tahun lamanya aku
menginginkan pertemuan ini? Betapa aku mencari-carimu sampai bertahun-tahun,
sampai aku pergi ke Bhutan dan menjelajahi seluruh negeri, mencari-carimu?!
Tentu saja hati Kian Bu merasa
heran bukan main mendengar pengakuan ini. Biarpun dia amat tertarik kepada dara
ini, begitu bertemu, yaitu ketika dara ini berkelahi dengan Hwee Li secara
mati-matian, dia sudah tertarik sekali kepada dara ini. Memang dia tidak pernah
dapat melupakan Teng Siang In, dara yang ketika beberapa tahun yang lalu sudah
nampak cantik jelita dan lincah jenaka, apalagi karena dia pernah mencium dara
ini. Mana mungkin dia dapat melupakan Siang In?
Akan tetapi, dia harus mengaku
terus terang bahwa selama ini dia tidak pernah lagi memikirkan Siang In, dan
peristiwa yang lalu itu dianggapnya sudah lewat begitu saja, sampai pada saat
dia bertemu kembali dengan Siang In ketika Siang In bertanding melawan Hwee Li.
Barulah perhatiannya tertarik dan pengalaman-pengalaman yang lalu bersama Siang
In teringat olehnya, membuat dia merasa canggung sekali. Akan tetapi kini mendengar
betapa dara itu mencarinya selama bertahun-tahun jauh ke Bhutan, dia
benar-benar merasa terkejut dan heran sekali.
Engkau? Mencariku selama
bertahun-tahun? Sungguh nengherankan sekali! Siang In, ada urusan apakah engkau
mencari-cariku?! Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai berkurang rasa
canggung yang menghimpit hati Kian Bu, sungguhpun dia masih seperti terpesona
oleh segala gerak-gerik dara ini. Dara ini adalah seorang kenalan lama, akan
tetapi seperti seorang sahabat baru saja bagi Kian Bu. Dulu, di waktu dia
berjumpa dan berkenalan dengan Siang In, dara ini masih merupakan seorang dara
remaja, akan tetapi sekarang Siang In telah dewasa, sungguhpun masih belum
kehilangan kelincahannya, kegalakannya dan keanehan wataknya. Dulu, dara ini
suka sekali menggoda orang, mengejek dan menirukan gerak-gerik orang.
Mendengar pertanyaan Kian Bu
itu tiba-tiba saja sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar marah.
Engkau sudah lupa ataukah engkau pura-pura lupa akan perbuatanmu yang biadab
beberapa tahun yang lalu, yang kaulakukan kepadaku?!
Seketika wajah Kian Bu
rnenjadi merah sekali dan kembali dia menjadi gelisah, gugup dan canggung!
Jantungnya berdebar tegang dan tentu saja dia tahu apa yang dimaksudkan oleh
dara itu! Ah, celaka sekali. Kiranya ciumannya dahulu itu menggores perasaan
dara ini dan agaknya hal itu dijadikan dendam yang hebat oleh Siang In!
Dengan muka masih merah sekali
dan pandang mata hampir tidak berani hertemu dengan sinar mata dara itu, Kian
Bu berkata, kepalanya menunduk, suaranya terdengar penuh penyesalan besar,
Aihhh.... itukah maksudmu? Memang.... aku menyesal sekali, aku mohon maaf
sebesarnya atas kelancangan dan kekurang-ajaranku itu, Siang In, akan tetapi,
hal itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, ketika kita masih.... eh,
sama-sama belum dewasa benar. Aku sungguh menyesal dan harap kau suka
memafkanku....!
Maafkan, setelah selama
bertahun-tahun aku tak pernah dapat melupakan penghinaan itu! Maafkan begitu
saja? Aih, terlalu enak di situ dan celaka di sini kalau begitu! Susah payah
aku mencarimu bertahun-tahun, setelah sekarang dapat saling jumpa, hanya cukup
dengan maaf-memaafkan begitu saja?!
Kian Bu menarik napas panjang,
hatinya merasa menyesal dan berduka sekali. Siapa duga, kenakalannya di waktu
remaja itu agaknya kini akan mempunyai akibat yang hebat pula! Dara yang
menarik hatinya ini, yang benar-benar membangkitkan rasa kagum dan suka di
hatinya, ternyata mengandung dendam hebat kepadanya dan bahkan tidak bersedia
memaafkan!
Memang hidupnya selalu dirundung
malang dan agaknya memang dia harus selalu menderita dalam asmara. Pertama-tama
dia merasakan hati kiamat untuk pertama kalinya ketika cinta kasihnya terhadap
Puteri Syanti Dewi tidak terbalas karena Puteri Bhutan itu mencinta Tek Hoat.
Kemudian dia terbenam ke dalam pelukan seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li,
Siluman Kucing, yang sama sekali hanya mendasarkan hubungan antara mereka
karena nafsu berahi semata sehingga dia terseret ke dalam gelombang nafsu
berahi yang menghanyutkan.
Hal itu pun mendatangkan
penyesalan yang amat hebat di dalam hatinya. Setelah itu, dia harus pula
melihat kehancuran hati seorang dara yang amat baik, yaitu Phang Cui Lan,
karena dia tidak dapat memaksa diri membalas cinta dara yang bijaksana itu. Dan
masih ada lagi Ang-siocia yang dia lihat ada gejala jatuh cinta kepadanya pula,
dan juga dia tidak mungkin dapat membalas cinta murid Raja Maling itu.
Kini, setelah dia tertarik
secara hebat kepada Siang In, dara yang di waktu remajanya memang pernah
menarik hatinya akan tetapi karena ketika itu Siang In masih merupakan seorang
dara remaja, maka hal itu tidak berkesan mendalam di hatinya, setelah kini dia
merasa suka sekali, mungkin jatuh cinta kepada Siang In, dara ini malah
menyimpan dendam sakit hati kepadanya karena kenakalannya dahulu, yaitu mencium
dara ini, ciuman yang sesungguhnya ketika itu tidak berkesan amat mendalam di
hatinya, akan tetapi yang sekarang, setelah timbul rasa kagumnya terhadap Siang
In, agaknya menjadi hidup kembali dan mendatangkan kesan yang amat mendalam.
Aku sudah salah.... aku sudah
berdosa besar, terserah kepadamu, hendak memberi hukuman apa kepadaku kalau
engkau tidak dapat memaafkan aku, Siang In,! katanya dengan nada sedih dan muka
tunduk sehingga dia tidak melihat betapa sinar mata yang tadinya keras dari
dara itu kini melembut, bahkan nampak dara itu seperti terharu.
Selama bertahun-tahun ini aku
mencarimu untuk.... untuk membunuhmu!!
Kian Bu mengangkat mukanya dan
terbelalak. Membunuhku....? Hanya untuk kesalahan.... men.... eh, menciummu
itu....? Siang In, engkau agak terlalu keras! Memang aku bersalah dan aku
menyesal, aku minta maaf, akan tetapi engkau hendak membunuhku? Ini sih....
keterlaluan....! Wajah pemuda itu berubah agak pucat karena dia merasa
penasaran.
Memang tadinya aku ingin
membunuhmu, sungguhpun aku tahu bahwa tidak mungkin aku akan dapat
melakukannya. Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada semua ilmu kumiliki,
bahkan guruku sendiri sekalipun takkan mampu menandingimu. Biarpun begitu, aku
tetap akan berusaha membunuhmu karena apa yang kaulakukan itu hanya dapat
dicuci dengan melayangnya nyawamu atau nyawaku.!
Kian Bu terkejut bukan main,
wajahnya menjadi pucat. Ah, Siang In, mengapa pikiranmu demikian sempit? Urusan
yang telah lalu itu terjadi ketika kita masih remaja dan aku.... aku masih
belum dewasa. Mengapa kaujadikan soal yang demikian hebatnya? Tidak bisakah
engkau memaafkan aku?!
Dara itu menyandarkan
punggungnya di atas batang pohon dan sejenak dia menatap wajah Kian Bu penuh
perhatian, lalu dia menarik napas. Memang aku sudah meragu, dan agaknya hanya
ada dua pilihan bagiku, membunuhmu atau memaafkanmu. Akan tetapi untuk itu, aku
harus yakin dulu dan inilah yang membuat aku selama bertahun-tahun ini
ragu-ragu dan selama hidupku akan meragu kalau tidak ada keyakinan sekarang
juga selagi kita bertemu. He, Kian Bu! Benarkah engkau menyesali perbuatanmu
dahulu itu? Benarkah engkau menyesal dan minta maaf bahwa engkau dahulu pernah
menciumku?!
Timbul harapan di dalam hati
Kian Bu. Tadinya dia sudah khawatir setengah mati. Dara seaneh Siang In ini
mungkin saja melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya, kalau tidak berhasil
membunuhnya mungkin saja akan membunuh diri untuk mencuci aib! dan kalau sampai
terjadi demikian, tentu selama hidupnya dia akan merana dan merasa berdosa. Dan
dia.... dia mulai tertarik dan mencinta dara ini! Maka, mendengar pertanyaan
itu, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siang
In!
Siang In, demi Langit dan
Bumi, aku sungguh merasa menyesal dengan perbuatanku beberapa tahun yang lalu
itu, dan aku mohon maaf kepadamu atas perbuatanku itu,! katanya dengan wajah
sungguh-sungguh karena memang dia rela minta maaf seperti itu daripada harus
melihat dara itu mati di tangannya atau mati membunuh diri! Dia menundukkan mukanya
sehingga tidak melihat betapa perbuatannya itu membuat wajah yang cantik itu
sejenak berseri dan matanya bercahaya! Akan tetapi hanya sebentar saja karena
sambil bersandar kepada batang pohon itu, Siang In berkata dengan suara seperti
orang yang sama sekali tidak tertarik atau bahkan kesal melihat sikap Kian Bu
yang berlutut kepadanya mohon maaf itu!
Tidak begitu mudah untuk
memaafkan dan menghabiskan persoalan itu begitu saja! Aku harus yakin dulu dan
untuk membuktikan penyesalanmu, engkau harus dapat memenuhi permintaanku.!
Suaranya terdengar keras dan tenang, akan tetapi suara itu agak gemetar, tanda
bahwa di balik ketenangannya, dara itu hendak menyembunyikan perasaan
tegangnya.
Mendengar ini, Kian Bu
meloncat berdiri, timbul harapannya. Baik, aku akan memenuhi semua
permintaanmu, Siang In! Katakanlah, apa yang harus kulakukan?! Kian Bu maklum
sepenuhnya bahwa kesanggupan seperti itu merupakan kebodohan, akan tetapi
kesanggupannya itu tidaklah ngawur, karena berdasarkan keyakinan hatinya bahwa seorang
gadis gagah perkasa seperti Siang In, yang sudah bersahabat erat dengan
kakaknya, tentulah merupakan seorang gadis yang berjiwa luhur dan tidak akan
minta dia melakukan suatu kejahatan.
Dengan sikap
ditenang-tenangkan, namun matanya sayu dan suaranya gemetar, juga tangan yang
menunjuk ke mukanya sendiri itu menggigil, berkatalah Siang In, Kian Bu....
kau.... kau harus mencium bibirku seperti dulu!!
Wajah Kian Bu menjadi pucat
dan matanya memandang terbelalak kepada wajah dara itu, tangan kanan mengusap
dagu penuh keheranan. Hampir dia tidak percaya akan apa yang didengarnya keluar
dari mulut gadis itu. Minta dicium bibirnya? Bagaimana pula ini? Sedangkan
ciumannya beberapa tahun yang lalu itu saja membuat dara ini menjadi sakit hati
dan menaruh dendam sampai bertahun-tahun mencarinya untuk membunuhnya.
Bagaimana sekarang dara itu minta dicium lagi? Gilakah dara cantik jelita ini?
Atau.... jangan-jangan dara ini telah tersesat sedemikian jauhnya, menjadi
wanita cabul semacam Mauw Siauw Moli? Celaka? Akan tetapi, dara itu kelihatan
wajar saja, sepasang matanya bahkan kelihatan betapa dara itu menahan
kengerian, senyumnya hilang dan tubuhnya menggigil, tanda bahwa apa yang
dimintanya merupakan hal yang sama sekali asing baginya dan dia merasa ngeri
dan takut. Akan tetapi, kalau dara ini tidak gila dan bukan seorang wanita yang
cabul, mengapa mengajukan permintaan seperti itu?
Siang In....! Kian Bu
mendengar suaranya sendiri dengan perasaan heran karena suaranya itu menjadi
bisik-bisik dan agak parau penuh perasaan tegang, .... apa artinya ini....?!
Suara Siang In juga
berbisik-bisik dan parau, jelas suara itu menggetar penuh ketegangan, suara
yang dipaksakan keluar karena sesungguhnya, saking tegangnya dara itu sudah
merasa amat sukar untuk bicara, Hanya.... ini sajalah.... yang dapat
menentukan.... apakah aku akan membunuhmu atau memaafkanmu....!
Setelah berkata demikian,
sambil menyandarkan tubuhnya di batang pohon itu, Siang In memejamkan matanya,
agaknya tidak kuat lagi dia menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata penuh
selidik, penuh pertanyaan, dan penuh keheranan itu.
Kian Bu mengerutkan alisnya,
otaknya bekerja cepat. Akhirnya dia tak dapat berbuat lain kecuali menuruti
permintaan gila itu. Dia masih belum tahu mengapa dara ini mendasarkan pilihannya
kepada ciuman! Akan tetapi karena dia sudah menyatakan sanggup untuk melakukan
apa saja yang diminta Siang In, maka tidak mungkin dia menarik kembali
janjinya. Dia sudah matang memperoleh pendidikan! Siluman Kucing sehingga
mencium bukan merupakan hal yang terlalu aneh baginya. Akan tetapi, sekali ini,
Kian Bu menggigil, tubuhnya terasa panas dingin dan kepalanya terasa puyeng!
Dia merasa seperti terkena sihir yang amat kuat, maka cepat dia mengerahkan
tenaga sinkangnya untuk mengusir perasaan itu. Namun, dia tidak tersihir,
tenaga sinkangnya tidak berhasil mengusir sesuatu karena memang ketegangannya
itu sudah sewajarnya, datang dari dalam. Amat berat rasanya melaksanakan tugas
ini! Dia tertarik kepada Siang In, bahkan dia merasa jatuh cinta. Tentu saja,
untuk mencium dara ini merupakan hal yang amat menyenangkan, jangankan satu
kali, biar disuruh menciumnya seribu kali pun dia sanggup. Akan tetapi bukan
dalam keadaan seperti ini! Bukan ciuman untuk percobaan atau untuk ujian
belaka! Dan dia masih belum juga mengerti mengapa dara yang mendendam sakit
hati karena pernah diciumnya lagi untuk meyakinkan hatinya apakah dia akan
membunuh atau memaafkan! Sungguh tak masuk akal dan gila! Namun, tidak ada
pilihan lain bagi Kian Bu.
Kian Bu melangkah maju, lalu
diraihnya kedua pundak dara itu, ditariknya mendekat. Merasa betapa kedua
pundaknya disentuh, Siang In makin keras memejamkan matanya, kedua kakinya
menggigil dan napasnya terengah-engah, jelas bahwa dara itu merasa tegang bukan
main. Wajahnya ditengadahkan, mulutnya agak terbuka karena napasnya
tersengal-sengal.
Melihat wajah yang demikian
cantiknya, mulut yang demikian menggairahkan, dan kedua pundak yang lembut di
bawah telapak tangannya, jantung Kian Bu berdebar. Biar apa pun jadinya, biar
akibatnya dia akan dibunuh atau dimaafkan, dia harus mencurahkan segenap
perasaannya sekarang juga. Gadis ini minta dicium, baik, dia akan menciumnya
dengan sepenuh perasaan hatinya, sepenuh kemesraannya, akan dicurahkan rasa
berahi dan kasih sayangnya dalam ciuman itu!
Didekapnya tubuh itu,
dirangkulnya sampai tubuh bagian depan mereka bertemu ketat, kemudian Kian Bu
mendekatkan mukanya dan perlahan-lahan diciumnya sepasang bibir yang setengah
terbuka itu, diciumnya dengan penuh perasaan dan sepenuh kemesraan yang
terkandung di dalam hatinya terhadap Siang In. Seketika naik sedu-sedan dari
dalam dada Siang In dan kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan, akan tetapi
kedua tangan dara itu tiba-tiba merangkul leher Kian Bu dan bibirnya membalas
ciuman itu. Keduanya seperti tenggelam bersama ke dalam ciuman itu, merasa
seolaholah hati mereka saling bertemu, bertaut dan bersatu.
Siang In....!! Seluruh lahir
batin Kian Bu mengeluh dan memanggil nama ini, ciumannya makin mesra, akan
tetapi tiba-tiba pemuda itu terkejut sekali karena kalau tadinya Siang In
merangkulnya dan membalas ciumannya penuh gairah, kini tiba-tiba dara itu
menjadi lemas dalam pelukannya. Ketika dia melepaskan ciumannya untuk memandang
wajah itu, terdengar dari mulut dara itu keluhan lirih dan wajahnya pucat
sekali, matanya terpejam dan tubuhnya lunglai. Melihat bahwa dara itu telah
pingsan, Kian Bu terkejut setengah mati!
Siang In....!! Kini mulutnya
yang memanggil nama ini untuk membangunkannya, akan tetapi dara itu tetap
pingsan, seperti orang tidur pulas, dan detak jantungnya lemah sekali. Kian Bu
cepat memeriksa pukulan nadi dan detakan jantung, dan dia menjadi gelisah
ketika melihat bahwa keadaan tubuh dara itu lemah sekali. Cepat dipondongnya
tubuh itu, lalu direbahkannya di atas rumput hijau dan dengan penuh
kekhawatiran, dia lalu menempelkan telapak tangannya di atas perut, dekat ulu
hati dan disalurkannya tenaga yang hangat untuk membantu bekerjanya perjalanan
darah dan pernapasan gadis itu yang amat lemah!
Siang In.... ah, Siang In....,
maafkan aku.... maafkan aku....!! Kian Bu meratap penuh kekhawatiran dan
sekarang dia yakin benar bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, bukan hanya
baru sekarang, bahkan mungkin semenjak mereka bertemu beberapa tahun dahulu,
ketika mereka masih sama remaja, dalam sebuah hutan (baca cerita Kisah Sepasang
Rajawali).
Dia sungguh merasa bingung dan
heran terhadap dara ini, apalagi ketika dia melihat bahwa Siang In memegang
sebuah pisau yang amat tajam runcing, pisau kecil yang tadi tentu dipegangnya
dan kalau dara itu menghendaki, ketika mereka berpelukan dan berciuman tadi,
sekali tusuk saja tentu akan tewaslah Kian Bu! Betapapun saktinya dia, dalam
keadaan berpelukan dan berciuman tadi, dia tentu menjadi lengah dan sama sekali
tidak akan mampu menghindarkan tusukan pisau itu. Akan tetapi, dara ini tidak
menyerangnya dan bahkan pingsan! Ini saja sudah menjadi bukti bagi Kian Bu
bahwa dara itu tidak hendak membunuhnya, berarti mengampuninya!
Siang In.... sadarlah....,
kaumaafkan aku....! bisiknya dan sekali ini, terdorong oleh rasa haru dan
sayangnya, dia mendekatkan mukanya dan dengan sepenuh kasih hatinya, dia
mencium dahi dara itu yang agak basah oleh keringat.
Kian Bu....! Suara itu lemah
menggetar dan Kian Bu girang bukan main, melihat dara itu telah membuka matanya
dan memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, sepasang mata indah itu
seperti terkatup, atau setengah terpejam, dan dua sinar mata yang aneh memancar
dari balik bulu mata hitam lentik yang setengah menyembunyikan mata itu.
Siang In.... kau.... kau tidak
apa-apa, bukan? Kau.... kaumaafkan aku, bukan?!
Siang In tersenyum. Bukan main
manisnya, biarpun wajahnya masih pucat dan bibirnya agak gemetar, seperti
seekor kelinci yang baru saja terlepas dari ancaman harimau.
Kini tak perlu lagi engkau
minta maaf, Kian Bu. Lihat, aku tidak akan membunuhmu dan aku memaafkan sudah,
aku malah bersyukur akan hal yang telah terjadi itu.! Dan sekali menggerakkan
tangannya, pisau tajam runcing itu melesat dan lenyap ke dalam semak-semak.
Tringgg....!! Pisau itu
mencelat, membalik dan meluncur ke arah Siang In dengan kecepatan kilat.
Ahhh!! Kian Bu menggerakkan
tangannya dan sekali mengibaskan tangan, pisau kecil itu melesat ke bawah masuk
ke dalam tanah sampai tidak lagi nampak gagangnya. Pemuda ini cepat membalikkan
tubuh memandang ke arah semak-semak, dan Siang In juga sudah meloncat bangun
dan memandang ke arah semak-semak itu dengan mata terbelalak.
Dari dalam semak-semak itu
keluarlah seorang wanita. Siang In dan Kian Bu terlonjak kaget melihat wanita
cantik ini, cantik pesolek yang berdiri tersenyum mengejek kepada mereka. Siang
In samar-samar masih mengenal wanita ini, dan bagi Kian Bu, perjumpaannya
dengan wanita ini benar-benar amat mengejutkan hatinya. Bagaimana dia tidak
akan terkejut ketika mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Siluman Kucing?
Mauw Siauw Mo-li yang bernama
Lauw Hong Kui itu benar-benar luar biasa sekali. Usianya sekarang tentu sudah
mendekati empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan muda dan cantik
jelita. Pakaiannya rapi dan indah, rambutnya digelung halus dan dihias intan
permata, mukanya yang cantik itu dibedaki dan yang perlu warna merah dipoles
gincu. Tubuhnya masih ramping padat, dan terutama sekali gayanya ketika dia
melangkah maju, lenggangnya sungguh memikat seperti lenggang seekor harimau
kelaparan! Sepasang matanya seperti hendak menelan Kian Bu bulat-bulat, penuh
dengan rayuan.
Seperti telah diceritakan
dalam Kisah Sepasang Rajawali, wanita cantik ini pernah berhasil merayu dan
membujuk Kian Bu beberapa tahun yang lalu ketika Kian Bu masih remaja, sehingga
pemuda itu terjatuh ke dalam pelukan wanita cabul ini. Akhirnya Kian Bu insyaf
dan menjauhkan diri, namun betapapun juga, wanita pertama yang pernah
dikenalnya sebagai teman bermain cinta ini tentu saja selalu masih mendatangkan
kenangan padanya dan betapapun juga, dia tidak dapat membenci wanita yang dia
tahu amat mencintanya lahir batin ini. Maka, melihat munculnya Mauw Siauw
Mo-li, tentu saja Kian Bu menjadi terkejut dan makin khawatirlah dia karena
sekarang dia tahu bahwa sejak tadi wanita cabul ini mengintai dan melihat
perbuatannya ketika dia saling berciuman dengan Siang In tadi.
Dan Siang In juga ingat akan
wanita ini, yang sejak dahulu tidak disukainya, dianggapnya seorang wanita
perayu yang cabul dan menjemukan. Dia mengenal wanita iblis cabul yang lihai
ini, maka dia pun kaget melihat kemunculannya yang tidak terduga sama sekali
dan wajahnya yang tadinya pucat seketika menjadi merah ketika dia teringat
bahwa perbuatannya bersama Kian Bu tadi tentu terlihat oleh wanita cabul ini
yang sejak tadi telah bersembunyi di balik semak-semak. Kalau saja dia tahu
bahwa iblis betina ini tadi bersembunyi di dalam semak-semak itu, tentu dia
akan melontarkan pisaunya dengan tenaga sepenuhnya!
Melihat Kian Bu memandangnya
dengan alis berkerut dan dara jelita itu memandangnya dengan mata terbelalak,
keduanya jelas memperlihatkan sikap tidak senang, Mauw Siauw Mo-li malah
tertawa. Suara ketawanya merdu, mengandung suara seperti seekor kucing, dan
gayanya memikat sekali, kemudian lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor
kucing habis makan daging dan darah, dan gerakan bibir yang dijilat-jilat lidah
ini amat menggairahkan karena memang dimaksudkan untuk membangkitkan berahi
pria yang memandangnya.
Hi-hi-hik, setelah mendapatkan
baju baru lalu mencampakkan baju lama, setelah menemukan makanan baru lalu
melupakan kelezatan makanan lama, itulah watak laki-laki dan agaknya engkau
tidak terkecuali, Kian Bu! Mendapatkan kekasih baru lupa kepada kekasih lama. Hi-hi-hik,
dan tak kusangka bahwa pemuda tampan yang kini sudah berjuluk Pendekar Siluman
Kecil kiranya hanya seorang laki-laki yang pembosan.!
Sinar mata Kian Bu menyambar
dan kalau saja sinar mata itu dapat dipergunakan untuk menyerang, tentu Siluman
Kucing itu sudah menghadapi serangan maut! Mauw Siauw Mo-li, mau apa engkau
datang mengacau di sini? Pergilah sebelum aku hilang sabar dan menghalaumu
dengan kekerasan!! bentak Kian Bu, mukanya sudah menjadi merah sekali. Dia
memang tidak mungkin membenci wanita ini yang bagaimanapun juga pernah
menghiburnya, akan tetapi melihat wanita itu bersikap mengejek di depan Siang
In, tentu saja dia menjadi marah dan tidak ingin wanita itu bicara yang
bukan-bukan seperti itu.
He-he-he, engkau marah, Kian
Bu? Sekarang engkau marah, akan tetapi beberapa tahun yang lalu.... hemmm, di
atas kereta itu, lupakah....!
Tutup mulutmu yang kotor! Dan
pergilah!! bentak Kian Bu sambil melangkah maju setindak, kedua tangan dikepal
dan sinar matanya penuh ancaman. Tentu saja dia marah karena wanita cabul rtu
mengingatkan betapa dulu di atas kereta anak buah Lembah Bunga Hitam, dia dan
wanita cabul itu telah bermain cinta dengan mesra (baca Kisah Sepasang
Rajawali)! Diingatkan akan hal yang amat memalukan hatinya itu, apalagi di
depan Siang In, benar-benar membuat dia naik darah!
Hemmm, hendak kulihat apakah
pendekar yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil itu benar-benar tega
membunuhku dan melupakan segala-galanya,! kata wanita itu dan pada saat itu
terdengar suara dahsyat dari jauh.
Sumoi, memang dia itu
laki-laki tak tahu malu, perayu jahat! Puteriku pun dirayunya sampai
habis-habisan dan sekarang malah puteriku diculik oleh kakaknya. Memang
anak-anak Pendekar Siluman Pulau Es ini kurang ajar sekali dan harus dibasmi
habis!! Muncullah seorang kakek raksasa yang ganas, yang bukan lain adalah
Hek-tiauw Lo-mo!
Melihat munculnya kakek ini,
Kian Bu makin marah. Bagus! Kalian dua orang manusia iblis, selalu melakukan
kejahatan di dunia ini dan sudah sepatutnya kalau aku turun tangan melenyapkan
kalian!!
Kian Bu, kalau aku tak dapat
mendapatkan tubuhmu, biarlah kuperoleh nyawamu! Suheng, mari kita bunuh dia,
baru nanti dara itu kuhadiahkan kepadamu!! Setelah berkata demikian, Mauw Siauw
Mo-li sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Sinar hijau pedangnya meluncur
cepat ke arah Kian Bu.
Mendengar kata-kata itu,
lenyaplah sisa-sisa kenangan dan perasaan lembut di dalam hati Kian Bu terhadap
wanita itu dan dengan cepat dia mengelak lalu balas menyerang dengan dorongan
tangan kiri ke arah perut wanita itu. Mauw Siauw Mo-li sudah mengenal kelihaian
Kian Bu, apalagi setelah pemuda ini berjuluk Siluman Kecil yang sakti dan
dikenal di seluruh dunia kang-ouw, maka dia tidak berani lengah. Cepat dia
meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh.
Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo
yang membenci semua orang Pulau Es, mengeluarkan teriakan dahsyat dan dia pun
sudah menerjang ke depan dengan golok gergaji di tangan kanan. Bacokan golok
yang mempunyai gerakan berputar ini disusul tamparan tangan kiri yang
mengeluarkan uap hitam. Tamparan ini bahkan lebih dahsyat daripada senjata
golok gergajinya yang mengerikan itu, karena pukulan itu adalah Ilmu
Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang amat ampuh, suatu ilmu yang
diperolehnya dari kitab curian milik Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok
dari Gurung Pasir Go-bi.
Namun Pendekar Siluman Kecil
sudah melesat dan menghindarkan diri dari serangan raksasa itu dengan kecepatan
kilat, tubuhnya berkelebat seperti kilat, bahkan dia sudah membalas serangan
itu dengan kontan, menerjang dari atas setelah tubuhnya tadi melesat naik
seperti burung terbang. Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengelak sambil memutar
goloknya, bayangan Kian Bu sudah mencelat ke arah Mauw Siauw Mo-li dan
menyerang dengan tendangan kilat yang hampir saja mengenai lengan wanita cabul
itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
Terjadilah perkelahian yang
amat seru dan hebat. Tingkat kepandaian Siluman Kecil Suma Kian Bu pada waktu
itu sudah amat tinggi sehingga andaikata dia harus melawan dua orang kakak
beradik seperguruan itu satu lawan satu, maka kiranya dia akan berhasil
merobohkan lawan dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dua
orang manusia iblis itu maju bersama dan karena mereka itu adalah kakak dan
adik seperguruan, tentu saja mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik.
Mereka saling mengenal dasar gerakan mereka yang sesumber, maka kerja sama
mereka teratur sekali dan kelihaian mereka tentu saja menjadi berganda, membuat
Kian Bu harus berhati-hati dan pemuda ini mempergunakan ilmunya yang luar
biasa, yaitu Sin-ho-coan-in, ilmu yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti
kilat dengan kecepatan luar biasa sehingga dua orang lawannya menjadi bingung
seperti mengejar-ngejar bayangan.
Siang In sejak tadi menonton
dengan mata terbelalak. Dia masih kagum dan juga ngeri, kagum kepada Kian Bu
yang luar biasa hebatnya itu, dan ngeri menyaksikan keganasan dua orang yang
mengeroyok Siluman Kecil itu. Dari gerakan-gerakan mereka, dia dapat menilai
bahwa tingkat kepandaian silatnya mungkin hanya dapat menandingi wanita siluman
itu, sungguhpun dia tahu bahwa tidak akan mudah bagi dia untuk merobohkan
wanita yang amat lihai itu, dan dia pun tahu bahwa dibandingkan dengan raksasa
itu, dia masih kalah jauh. Dan kini, dua orang lihai itu menyerang dengan
senjata yang ampuh, namun Kian Bu menghadapi mereka hanya dengan bertangan
kosong, dan pemuda itu sama sekali tidak kelihatan terdesak!
Siang In tidak bergerak
membantu Kian Bu. Selain bingung menyaksikan gerakan Kian Bu yang mencelat ke
sana-sini secepat itu dan takut kalau bantuannya malah akan mengacaukan
gerakannya, juga dia merasa tidak enak mendengar ucapan-ucapan Siluman Kucing
tadi. Apalagi mendengar ucapan Hek-tiauw Lo-mo bahwa Kian Bu merayu puterinya
habis-habisan! Hatinya mulai merasa tidak senang dan kini dia hanya menonton
sambil berjaga-jaga untuk membantu Kian Bu apabila perlu, sungguhpun kini dia
merasa hampir yakin bahwa Kian Bu pasti akan dapat mengatasi kedua orang
lawannya.
Dugaan Siang In memang tidak
keliru. Dengan kecepatan gerakan Ilmu Sin-ho coan-in, Kian Bu mulai mendesak
kedua orang lawannya. Dia lebih banyak menyerang, karena dua orang lawan itu
sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk menyerang bayangan yang
berkelebatan menyambar mereka dari segala jurusan itu. Sedemikian cepatnya
gerakan Kian Bu sehingga dia seolah-olah berubah menjadi beberapa orang
banyaknya!
Hyaaaaakkk....!! Hek-tiauw
Lo-mo membentak dan tangan kirinya bergerak. Sinar hitam lebar menyambar ke
arah bayangan Kian Bu dan itu adalah senjata rahasianya yang amat ampuh dan
bebahaya, yaitu jala hitam terbuat dari benang lembut yang amat kuat. Jala itu
menyambar cepat sekali, akan tetapi gerakan Kian Bu masih lebih cepat karena
dia sudah dapat menghindarkan diri, bahkan tangannya menyambar ujung jala dan
ditariknya jala itu ke arah sinar hijau dari pedang Mauw Siauw Mo-li yang
menusuknya.
Brettt....!! Jala itu terobek
pedang, akan tetapi pedang hijau di tangan wanita cabul itu pun terbelit jala.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kian Bu untuk menendang. Wanita itu masih
berusaha menghindarkan tendangan dengan melempar tubuh ke belakang dan menarik
pedang sekuatnya, namun tetap saja pangkal paha kirinya tercium ujung sepatu.
Aduhhh....!! Wanita itu
terpental dan pedangnya sudah terlepas dari libatan jala, kemudian dia
terbanting dan bergulingan lalu meloncat berdiri sambil meringis dan tangan
kirinya mengelus-elus pangkal paha yang terasa nyeri dan panas. Akan tetapi,
hatinya lebih panas lagi daripada pangkal pahanya yang tidak terluka parah
hanya nyeri dan panas itu, karena dia mengingat betapa dahulu, bagian tubuh itu
pernah diusap dan dibelai sayang oleh Kian Bu, akan tetapi kini ditendang! Dia
merasa terhina sekali.
Sementara itu, melihat jalanya
robek, Hek-tiauw Lo-mo membentak dan goloknya membacok ke arah Kian Bu, disusul
hantaman tangan kirinya. Kian Bu miringkan tubuhnya ke kanan, membiarkan golok
menyambar lewat dan melihat tangan kiri lawan yang mengeluarkan asap itu
memukulnya dengan tangan terbuka ke arah dada, dia pun cepat memapaki dengan
tangan kanannya.
Desss!! Dua telapak tangan
bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terjengkang dan
roboh bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Biarpun dia tidak terluka
parah, namun tenaga pukulannya yang membalik karena kalah kuat bertemu dengan
hawa sinkang lawan tadi telah memukulnya sendiri, membuat napasnya sesak dan
tubuhnya gemetar!
Akan tetapi pada saat itu,
Mauw Siauw Mo-li yang melihat bahwa dia dan suhengnya takkan mampu mengalahkan
Kian Bu, sudah melontarkan beberapa buah benda hitam ke arah Siang In! Dara ini
tidak tahu benda apa yang menyambar ke arahnya itu, maka dengan cepat dia
hendak menangkis.
Jangan ditangkis....!! Kian Bu
berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Siang In telah
dipondongnya dan dibawanya berloncatan ke kanan kiri. Terdengar ledakan-ledakan
keras bertubi-tubi, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Kian Bu yang
memondong tubuh Siang In. Setelah ledakan tidak terdengar lagi, tempat itu menjadi
gelap oleh asap hitam dan dua orang manusia iblis itu telah lenyap.
Kian Bu beberapa kali melompat
jauh, keluar dari lingkungan asap itu, lalu menurunkan Siang In dan mengomel
gemas, Hemmm, lain kali aku tidak akan memberi kesempatan kepada mereka untuk
melarikan diri.!
Siang In memandang kagum
kepada Kian Bu, lalu menghampirinya dan memegang kedua lengannya, Kian Bu,
engkau hebat sekali....! katanya.
Mereka saling berpegang
tangan, berhadapan dan saling pandang dengan mesra. Ketika pandang mata mereka
bertaut, yakinlah Kian Bu bahwa dia benar-benar mencinta dara ini. Semua rasa
cintanya terpancar dari pandang matanya, terasa benar oleh Siang In dan membuat
bulu tengkuk dara itu meremang dan dia cepat-cepat menundukkan mukanya. Dara
lincah yang biasanya suka menggoda orang itu kini kemalu-maluan menatap sinar
mata yang demikian penuh cinta kasih.
Akan tetapi Siang In segera
teringat akan semua ucapan dua orang manusia iblis tadi, maka alisnya berkerut
dan rasa malu, tadi lenyap ketika dia mengangkat mukanya dan bertanya, Kian Bu,
apa artinya ucapan raksasa tadi bahwa engkau merayu puterinya?!
Kian Bu tersenyum. Puterinya
adalah Hwee Li, dan sudah kuceritakan kepadamu tentang Hwee Li. Agaknya dia pun
menyangka bahwa antara Hwee Li dan aku ada hubungan yang tidak dikehendakinya,
padahal di antara kami hanya terdapat tali persahabatan saja, dan Hwee Li
mencinta kakakku....!
Dan ucapan-ucapan wanita tadi?
Dia....! Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia merasa malu
mengingat dan membayangkan arti ucapan wanita tadi.
Wajah Kian Bu menjadi muram
dan alisnya berkerut. Ah, jangan kaudengarkan ucapan iblis betina itu! Dia
curang dan bicaranya sama sekali tidak ada artinya, tidak perlu didengar dan
dipercaya. Sudah terlalu banyak dia membuat malapetaka.!
Agaknya Siang In percaya dan
wajahnya berseri kembali, dan setelah mereka saling pandang kembali timbul
kemesraan dan rasa malu, apalagi ketika Kian Bu mendekatkan muka sehingga
hidung pemuda itu menyentuh pelipisnya, dia cepat menundukkan mukanya. Seketika
Kian Bu sudah melupakan dua orang musuh tadi, kini dia teringat akan ciuman
yang membuat dara itu tadi menjadi pingsan!
Siang In, betapa engkau tadi
membuat aku hampir mati karena khawatir. Mengapa engkau menjadi pingsan tanpa
sebab? Dan apa artinya pisau yang berada di tanganmu tadi? Mengapa pula
engkau.... menyuruh aku.... menciummu? Semua itu merupakan teka-teki bagiku,
mengundang banyak dugaan yang membingungkan. Maukah engkau menjelaskan
kepadaku, Sayang?!
Mendengar sebutan itu, wajah
Siang In menjadi merah sekali dan sambil menunduk dia tersenyum malu-malu dan
penuh rasa bahagia. Jari-jari tangannya yang saling genggam dengan jari tangan
Kian Bu itu gemetar dan dari jari-jari tangan kedua orang muda ini tersalur
getaran-getaran yang penuh arti, terasa sampai ke dasar jantung.
Getaran-getaran cinta yang tak perlu lagi dinyatakan dengan kata-kata yang
dalam keadaan seperti itu sudah kehilangan arti dan kegunaannya, bahkan hanya
mendatangkan kecanggungan belaka. Bahasa cinta melalui getaran sentuhan,
melalui senyum dan terutama melalui sinar mata sudah lebih dari cukup mewakili
suara hati masing-masing, jauh lebih sempurna daripada kata-kata yang biasanya
hampa dan dibuat-buat. Getaran dan sinar mata tidak mungkin dapat dibuat-buat
seperti suara melalui kata-kata.
Kian Bu, sebelum aku menjawab,
aku ingin lebih dulu mengetahui isi hatimu. Jawablah, adakah engkau merasakan
sesuatu dalam.... dalam.... ciuman tadi?!
Ahhh....!! Dengan mesra Kian
Bu merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya, jantungnya berdegup dekat
telinga Siang In yang seolah-olah mendengar bisikan hati melalui degup jantung
itu. Siang In.... aku merasakan sesuatu yang ajaib, seolah-olah langit terbuka
dan kita berdua terbang ke angkasa, aku.... aku.... ah, sukarlah menceritakan
apa yang kurasakan tadi sampai.... sampai aku terkejut melihat engkau
terkulai....!
Siang In menyandarkan
kepalanya di dada yang kuat itu, lalu bisiknya halus, ....lanjutkan....
lanjutkan....!
Mula-mula aku merasa heran dan
terkejut, lalu takut-takut untuk menciummu seperti yang kauminta, Siang In.
Akan tetapi ketika aku melakukannya, ahhh.... dunia seakan kiamat! Aku merasa
seperti tidak berpijak di atas bumi lagi.... dan.... dan pada detik itu juga
tahulah aku....! Kian Bu berhenti dan menunduk, mencium rambut kepala yang
bersandar di dadanya itu.
Tahu apakah, Kian Bu....?!
Suara itu makin lirih, berbisik dan gemetar.
Aku tahu dan yakin benar, pada
saat aku menciummu tadi, bahwa aku cinta padamu, Siang In.!
Inilah yang dikehendaki oleh
Siang In. Pengakuan inilah, sungguhpun dia telah merasakan cinta pemuda itu
melalui ciuman, melalui tatapan mata, melalui sentuhan ujung jari-jari tangan,
melalui degup jantung di dekat telinganya, namun belum puas hatinya kalau belum
mendengar pengakuan itu melalui mulut.
Memang demikianlah keadaan
kita manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita sudah terdidik dan terbiasa
untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata sehingga terjerumuslah kita
semua ke dalam dunia penuh kepalsuan yang tersembunyi di balik kata-kata manis!
Dan kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata manis dan senyum buatan ini oleh kita
dinamai peradaban. Sesungguhnya peradaban yang tidak beradab. Kita namakan pula
kesopanan. Kesopanan yang tidak sopan. Kita sudah terbiasa untuk menilai
keadaan luarnya saja. Inilah yang menyebabkan kita sering tergelincir oleh
kemanisan kata-kata dan sikap palsu. Kita tidak lagi peka untuk mengenal
keadaan yang lebih mendalam, karena perasaan kita sudah dibikin tumpul oleh
kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral oranglah kata-kata aku cinta
padamu! sehingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum palsu, sikap
menghormat, menjilat, yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar dan palsu
adanya. Hal ini dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling kita,
bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau membuka mata memandang dan
mengamati apa adanya. Dapatkah kita hidup tanpa menjadi hamba kepalsuan ini?
Demikianlah pula dengan Siang
In. Dia sudah yakin benar akan perasaan Kian Bu kepadanya, namun tidak puaslah
hatinya kalau dia tidak mendengar pernyataan cinta itu melalui kata-kata,
padahal pernyataan macam ini sesungguhnya tidak ada harganya sama sekali,
karena apakah artinya kata-kata hampa dibandingkan dengan perasaan yang murni
dan agung itu?
Cinta asmara lautan rahasia
kemesraan sejuta.
Menciptakan embun sakti
menembus lubuk hati.
Anggur semanis madu bunga dan
lagu merdu.
Kepuasan yang nikmat sorga
yang memikat.
Namun juga membawa bara api
menghanguskan hati.
Sepahit empedu maki kutuk menggebu.
Kekecewaan mencekam neraka
jahanam!
Cinta asmara, lautan
suka-duka....
Sampai lama rasanya ucapan
Kian Bu dalam kalimat terakhir tadi, yaitu aku cinta padamu! bergema di dalam
ruang hati Siang In, membuat dia seperti terlena, seperti terayun dalam buaian
kasih sayang yang membawanya terbang ke sorga ke tujuh!
Sekarang akan kuceritakan
padamu, Kian Bu. Dengarlah akan tetapi jangan menatap wajahku, aku.... aku malu
sesungguhnya untuk menceritakan. Akan tetapi karena engkau cinta padaku,
seperti yang baru saja kaukatakan, biarlah kuceritakan kepadamu juga.! Siang In
memejamkan matanya dan masih bersandar di dada Kian Bu, kemudian dia
melanjutkan dengan suara lirih berbisik-bisik.
Semenjak engkau menciumku di
dalam hutan beberapa tahun yang lalu itu, aku.... tidak pernah lagi dapat
melupakanmu, tidak pernah dapat melupakan saat engkau menciumku itu. Ada dua
macam perasaan selalu berperang di dalam hatiku, yaitu perasaan terhina yang
menimbulkan benci dan perasaan gembira yang sukar dilukiskan. Perasaan-perasaan
yang berperang itulah yang menimbulkan suka dan benci kepada bayanganmu. Maka
setelah aku selesai mempelajari ilmu dari suhu, aku lalu pergi mencarimu,
sampai aku tiba di Bhutan dan di tempat-tempat jauh. Aku mencarimu dengan dua
macam niat, yaitu membunuhmu atau memaafkanmu. Dan dua niat itu hanya dapat
ditentukan oleh perasaan hatiku kepadamu, apakah benci ataukah cinta! Maka aku
mengambil keputusan, yaitu kalau aku bertemu denganmu, sebelum melakukan
sesuatu, aku harus lebih dulu yakin, apakah aku benci atau cinta kepadamu,
apakah ciumanmu itu mendatangkan duka atau suka. Dan untuk dapat merasa yakin,
aku harus minta kaucium sekali lagi! Nah, kini engkau mengerti mengapa aku
minta cium padamu.! Siang In masih memejamkan mata karena dia menceritakan ini
dengan perasaan malu sekali.
Kian Bu tahu betapa berat dan
malu rasa hati kekasihnya itu untuk menceritakan semua ini, maka dia pun tidak
mau menambah beban itu dengan menatap wajahnya, melainkan mencium rambut kepala
itu dengan mesra. Ah, engkau memang seorang dara yang luar biasa, aneh, berani,
jujur dan.... hebat!!
Biarpun yang dicium hanya
rambut kepalanya, akan tetapi Siang In sudah merasa betapa seluruh tubuhnya
tergetar dan jantung berdebar. Dengarkan dulu ceritaku, Kian Bu.! Dia mengeluh
dan agak menjauhkan kepalanya untuk menghentikan pemuda itu menciumi rambutnya.
!Lanjutkanlah, Siang In.!
Ketika engkau menciumku untuk
kedua kalinya, aku diam-diam sudah mempersiapkan pisau itu. Kalau dari ciuman
itu aku menjadi yakin bahwa aku benci padamu, maka pisau itu akan menewaskanmu
di saat itu juga, karena hanya saat itulah kesempatan satu-satunya bagiku untuk
membalas dendam. Dalam keadaan biasa, mana mungkin aku dapat menandingimu? Nah,
itulah sebabnya mengapa aku memegang pisau itu.!
Hebat! Engkau memang pintar
sekali!! Kian Bu memuji dan hati Siang In merasa senang sekali. Ah, betapa
cinta asmara membuat orang menjadi buta akan kenyataan. Andaikata pada saat itu
perasaan Kian Bu terhadap Siang In lain, tentu bukan pujian yang keluar dari mulut
pemuda ini. Mungkin sebutan pintar itu akan berubah menjadi sebutan curang atau
pengecut! Jelaslah bahwa penilaian terhadap suatu tindakan atau perbuatan itu
tergantung dari keadaan batin seseorang. Bagi seorang yang sedang mencinta,
maka segala macam perbuatan orang yang dicintanya itu akan nampak baik dan
benar belaka. Sebaliknya, bagi seorang yang sedang membenci, maka segala macam
perbuatan orang yang dibencinya itu akan nampak jahat dan salah belaka. Oleh
karena itu sudah jelas pula bahwa penilaian adalah palsu, karena penilaian
didasari atas rasa suka atau tidak suka. Penilaian hanya mendatangkan konflik,
karena yang dinilai baik oleh A, belum tentu dinilai baik oleh B, dan mungkin
dinilai jahat oleh C, dan selanjutnya. Apa adanya dan yang sesungguhnya tidak
baik tidak pula jahat, tidak bagus dan tidak pula jelek, karena baik dan buruk
hanyalah hasil penilaian dan kita sudah tahu bahwa penilaian adalah palsu.
Pengertian yang mendalam dan menyeluruh tentang kenyataan ini akan membuat kita
hanya mengamati belaka tanpa penilaian sehingga kita tidak terseret untuk
mengambil kesimpulan, pendapat, melainkan mengamati saja penuh kewaspadaan.
Sekarang tentang mengapa aku
menjadi pingsan. Ohhh, Kian Bu, bagaimana aku dapat menjelaskan itu? Ketika
engkau menciumku, aku.... aku merasa.... seperti yang kaurasakan pula, aku
merasa bahwa itulah sesungguhnya yang kurindukan selama ini, pelukan dan
ciumanmu, dirimu.... dan aku tahu bahwa aku cinta padamu, Kian Bu. Mengingat
betapa pisau sudah di tangan, betapa hampir saja aku membunuh satu-satunya pria
yang kucinta semenjak bertahun-tahun yang lalu, membuat aku begitu tegang dan
terharu sampai aku tidak ingat apa-apa lagi....!
Siang In, dewiku.... pujaan
hatiku....!
Kian Bu merasa terharu sekali
dan kini dia mendekap lebih erat, mengangkat wajah ayu itu dan menciuminya
dengan sepenuh perasaan cintanya.
Siang In mengeluh lirih dan
mandah saja, bahkan kadang-kadang membalas ciuman itu, terdorong oleh perasaan
hatinya yang mencinta. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman Kian Bu makin lama
makin panas, dara itu lalu menarik dirinya, mukanya merah sekali, pandang
matanya setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dan terengah. Ketika Kian
Bu hendak merangkulnya, dia menolak halus dengan kedua tangannya.
Jangan.... sudah cukup, Kian
Bu, jangan....! bisiknya di antara napasnya yang terengah.
Wajah Kian Bu juga merah
padam, matanya mengeluarkan sinar aneh. Kenapa, Siang In? Kenapa....? Bukankah
kita saling mencinta....?!
Siang In melangkah mundur dua
langkah. Justeru karena cinta kita, maka kita harus tidak melanjutkan itu, Kian
Bu. Tidak baik kalau dilanjutkan. Karena cinta kita, maka kita harus saling
menjaga, kita harus mempertahankan, menunda dan menyimpan itu sampai pada
saatnya yang tepat, yaitu.... kelak kalau kita sudah menjadi suami isteri,
sudah menikah!!
Mendengar ini, seketika
sadarlah Kian Bu dan dia merasa malu sendiri. Memang tadi, setelah menciumi
wajah Siang In, setelah merasa betapa bibir yang lunak itu membalas ciumannya,
dia tenggelam dalam gelombang nafsu berahi yang mendorong-dorongnya untuk
bertindak lebih jauh, untuk memuaskan gelora nafsu berahinya! Celaka, semua ini
adalah gara-gara Siluman Kucing, keluhnya dalam hati. Dia memandang wajah
kekasihnya dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut karena merasa berdosa
sekali.
Ah, betapa bijaksana engkau,
dewiku. Betapa murni hatimu, dan aku.... aku memang bersalah. Aku bersumpah
tidak akan berani mengganggumu lagi sampai.... sampai kita menikah kelak.!
Siang In tertawa, suara
ketawanya merdu dan nyaring karena semua itu amat menyenangkan hatinya. Dia
mengulurkan tangan, memegang tangan pemuda itu dan menariknya bangun.
Sudah, kalau kelihatan orang
lain, disangka kita ini sedang berlatih main sandiwara! Kita saling mencinta,
dan kita akan menikah! Dua hal ini merupakan rahasia besar dalam batin kita,
Kian Bu. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah bundamu.!
Benar, memang aku pun ingin
membawamu pulang ke Pulau Es.!
Kalau begitu, mari kita pergi.
Eh, apakah perutmu tidak lapar?!
Ditanya begitu, Kian Bu
terbelalak, lalu tertawa. Ha-ha-ha, memang benar kata orang bahwa cinta membuat
kita lupa makan lupa tidur. Aku sampai lupa bahwa sejak kemarin perutku belum
kemasukan apa-apa dan setelah sekarang kauperingatkan, baru terasa betapa lapar
perutku!!
Aku lebih percaya kepada
kata-kata orang bahwa cinta membuat kita selalu merasa lapar!!
Eh, mengapa begitu?!
Habis, cinta membuat hati
menjadi senang, dan hati senang membuat perut selalu merasa lapar dan apa pun
yang kita makan terasa lezat. Pendapat ini kudukung karena lebih sehat daripada
pendapatmu tadi yang membuat kita kelaparan dan kecapaian. Kalau menurut
pendapatmu itu, bisa-bisa orang yang jatuh cinta lekas mati karena kurang makan
dan kurang tidur, bukan?!
Kian Bu tertawa. Kekasihnya
ini selain cantik jelita, gagah perkasa, penuh keberanian, baik budi dan jujur,
juga lincah jenaka dan pandai bicara! Pendeknya, segala macam kebaikan wanita
terdapat lengkap dalam diri kekasihnya ini, pikirnya bangga!
Kau memang hebat, Siang In.
Hebat segala-galanya!!
Hi-hik, engkau belum merasakan
masakanku! Kalau engkau sudah menikmati lezatnya masakanku, engkau akan
kehabisan kata-kata untuk memujiku. Tunggu saja. Mari kita mencari
bahan-bahannya dulu dalam hutan itu.! Digandengnya lengan Kian Bu dan dua orang
muda itu sambil tersenyum dan tertawa gembira, bergandeng tangan meninggalkan
tempat itu.