Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 37 - Hutang Luka Dibayar Luka
Taihiap...., Lihiap...., harap
Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!! tiba-tiba Hek-sin Touw-ong
berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia melihat pemuda itu
kini membuka mata dan tersenyum, mukanya juga tidak sepucat tadi tanda bahwa
pemuda itu telah sehat kembali. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw
yang pandai, akan tetapi tentang urusan racun dia pun tidak banyak tahu, maka
melihat keadaan muridnya dia merasa khawatir bukan main. Sudah dicobanya dengan
segala kekuatannya untuk menyadarkan muridnya, akan tetapi usahanya sia-sia
belaka dan wajah Swi Hwa kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah
dan tanpa sungkan-sungkan dia lalu minta tolong kepada Siluman Kecil dan puteri
Hek-tiauw Lo-mo itu.
Hwee Li yang melihat Kian Bu
telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Swi Hwa.
Touw-ong, muridmu ini mulutnya
jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran ini, Kuharap saja
lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka menghina orang!!
Enci Hwee Li, jangan kurang
ajar, harap lekas sembuhkan dia!! Kian Bu berkata dengan alis berkerut.
Hemmm, baru saja kusembuhkan
kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani bicara kasar kepada
encinya!!
Dalam keadaan biasa, tentu
Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali mendengar ucapan mereka berdua itu,
akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia tidak mempedulikan
hal lain dan cepat berkata kepada Hwee Li, Nona yang baik, harap Nona sudi
menolong muridku dan aku Hek-sin Touw-ong tidak akan melupakan kebaikanmu ini.!
Wajah Hwee Li berseri-seri dan
mulutnya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar-sinar penuh kebanggaan.
Biarpun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja Maling! Seorang tokoh
kang-ouw yang amat terkenal, namanya menjulang tinggi di seluruh perbatasan
Ho-nan dan Ho-pei, juga di seluruh pantai Po-hai. Dan kini raja ini, biarpun
raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan yang demikian halus dan
menghormat! Tentu saja dia bangga sekali!
Aku akan mengobatinya dan
pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang membakar tanah itu
adalah racun yang amat berbahaya, cairan itu kalau mengenai kulit akan membuat
kulit daging dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut saja cairan itu
tidak mampu menghancurkan. Dan baunya juga berbahaya, karena asap racun itu
dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu memang paling suka memakai
racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang digunakan oleh ayah.... eh,
oleh tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan kanak-kanak saja bagiku. Kau
lihat!! Dia lalu menghampiri paku-paku itu setelah asap beracun itu kini padam,
dan menggunakan kedua tangannya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu
dan melempar-lemparkannya ke samping. Paku-paku itu mengeluarkan bunyi
bercuitan, menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan seketika,
pohon-pohon itu menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul
dan mati dalam waktu sebentar saja!
Wajah Hek-sin Touw-ong menjadi
pucat. Bukan main! Ah, Nona yang baik, tolonglah muridku ini....!
Tapi dia tadi bicara kasar
kepadaku....! Hwee Li berlagak jual mahal!
Hwee.... eh, Enci Hwee Li!
Cepat kauobati dia!! Kian Bu berkata dengan suara keras.
Hwee Li mengerling kepadanya.
Hem, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila kepada seorang gadis berpakaian
merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil kiranya paling suka pada
pakaian merah, hemmm....!!
Enci Hwee Li, jangan main-main
begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, mengapa kau main-main seperti itu?
Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan kita. Engkau tidak
membalas budi malah menggoda orang!!
Hwee Li bersungut-sungut
ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja untuk turun tangan mengobati Swi
Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang sudah berpengalaman itu segera dapat
mengenal watak si gadis yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia lalu berkata,
Nona, aku berjanji akan menegur muridku dan selanjutnya dia tidak akan berani lagi
bersikap kasar terhadapmu.! Kakek itu lalu menjura kepada si gadis galak dan
berkata, Kalau muridku telah berlaku salah, biarlah aku sebagai gurunya
mintakan maaf kepadamu!!
Hwee Li memang seorang dara
yang aneh. Dia memang dahulunya selalu dimanja oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan
tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan ramah. Kini, melihat
kakek itu begitu menghormat kepadanya, dia Cepat-cepat menjura dan berkata
dengan muka merah sekali, Aihhh, Touw-ong.... jangan begitu. Sebetulnya aku pun
telah bersikap kasar, kaumaafkanlah aku yang muda. Biar kuobati muridmu
sekarang juga.!
Dia lalu berlari menghampiri
Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan itu. Diambilnya obat
bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat cair seperti arak.
Dengan tutup guci arak yang berbentuk cangkir itu, dia menuangkan arak obat ke
dalamnya, mencampurnya dengan obat bubuk itu. Nampak cairan seperti arak itu
mengeluarkan suara mendesis dan asap mengepul dari dalam cangkir tutup guci. Kemudian,
Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke
dalam hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh perhatian oleh Hek-sin
Touw-ong dan Kian Bu. Diam-diam pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga
geli menyaksikan sikap Hwee-li yang benar-benar menjadi seorang tukang obat
atau seorang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya! Jari-jari
tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti.
!Haaa.... cinggggg....!!
Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan
obat dari cangkirnya. Terdengar suara clegak-cleguk karena Swi Hwa terpaksa
menelan obat itu, kemudian Hwee Li merebahkan kembali kepala gadis itu dan
bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh kepara Hek-sin
Touw-ong sambil tersenyum.
Dia sudah sembuh, sudah
terbebas dari cengkeraman maut racun itu,! katanya seenaknya, lalu menoleh dan
memandang kepada dua orang kakek yang masih rebah tak mampu bergerak karena
tertotok jalan darah mereka.
Eh, akan tetapi.... mengapa
dia belum sadar, Nona?! Hek-sin Touw-ong bertanya dengan suara yang nadanya
masih khawatir.
Hwee Li menoleh ke arah Swi
Hwa dengan sikap tak acuh, lalu berkata, Dia belum kentut, sih!!
Eh, apa....?! Kakek itu
bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak mengerti, mengira dara
berpakaian hitam itu masih marah.
Racun itu sudah buyar, akan
tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau dia sudah kentut,
itu tandanya dia sembuh benar-benar dan sadar....! Sambil berkata demikian,
Hwee Li kini melangkah menghampiri Hek-tiauw Lo-mo.
Enci, benarkah kata-katamu
itu?! tanya Kian Bu sambil mengikutinya, khawatir kalau gadis itu melakukan
hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian Bu bertanya
demikian, dari sebelah belakangnya terdengarlah suara itu.
Puiiittttt....!!
Suara kentut yang nyaring.
Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang dara cantik
juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main!
Suhu....!!
Ah, syukurlah, kau telah
sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona berbaju hitam itu,
maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau tidak ada dia....!
Selanjutnya Kian Bu tidak lagi mendengarkan kata-kata kakek Raja Maling itu
kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah kepada Hwee Li. Gadis ini
menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepasang
mata terbelalak dan berapi-api, kemudian dia mengambil golok gergaji milik
bekas ayahnya itu dan tanpa berkata apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah
leher Hek-tiauw Lo-mo.
Singgggg.... trakkk....!!
Golok itu terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu,
sabetannya menceng dan hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak
kiri kakek itu terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Hwee Li juga tidak
mampu memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu membuat
tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan menoleh kepada
Kian Bu dengan mata berapi karena marahnya.
Kau.... kau malah membantu
dia?! bentaknya marah, kedua tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap
untuk bersilat dan menyerang Kian Bu! Kakinya memasang kuda-kuda dengan satu
kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat ke lutut seperti jurus
Kim-ke-tok-lip, dan tangan kanan dengan telapak ke atas ditarik ke depan pusat,
tangan kiri terbuka miring di depan dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus
Jeng-pai-kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring), dan menghadapi Kian Bu
dengan sikap marah!
Kian Bu sejak tadi sudah
merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan serangan kepada
Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan membunuh kakek
iblis itu, agaknya dia tidak akan mencampurinya dan akan membiarkan saja.
Memang kakek iblis Pulau Neraka ini adalah seorang manusia yang berwatak iblis,
sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kalipun! Akan tetapi, dia teringat
bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek
itu, dan betapa kakek itu amat menyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia membiarkan
gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu menjadi
seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang tidak ingat budi orang lain).
Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li dan bahkan diam-diam
mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan menjadi
jodoh kakaknya. Tentu saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang
manusia durhaka dan dia telah menghalangi gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo.
Enci Hwee Li, tidak
sepantasnya kalau engkau membunuh dia!! Kian Bu menegur, suaranya tegas dan
berwibawa.
Hwee Li membalikkan tubuhnya
menghadap Hek-tiauw Lo-mo dengan mengubah kedudukan kakinya, sikapnya menyerang,
akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu menggeser lagi kakinya
menghadapi pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang, semua
gerakannya dilakukan dengan gerak silat sehingga nampak lucu sekali, akan
tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api.
Kau tahu apa tentang pantas
atau tidak?! Akhirnya dia berkata lantang. Kau tahu apa tentang balas-membalas?
Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang kebaikan dibayar
kebaikan! Dia telah membunuh ibu kandungku, maka aku harus membunuhnya! Apakah
kau hendak menghalangiku?!
Kian Bu menarik napas panjang.
Sama sekali bukan hendak menghalangimu membunuhnya, melainkan menghalangimu
menjadi seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi, dan yang
namanya akan dikutuk manusia di seluruh dunia selama-lamanya!!
Eihhh....?! Saking heran dan
penasaran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia melangkah biasa
menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan kedua tangannya
bertolak pinggang sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari pinggangnya dan
saling bertemu karena pinggangnya kecil ramping seperti pinggang lebah kemit
(lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali).
Aku hendak membunuh orang yang
telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak mengenal budi,
seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?! tanyanya,
lebih heran daripada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar sakti ini
mau mempermainkannya.
Enci, bukankah kau tadi mengatakan
bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar nyawa, dan hutang
kebaikan....!
Bayar kebaikan!! sambung Hwee
Li melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa lanjutannya.
Nah, belasan tahun lamanya
Hek-tiauw Lo-mo merawat dan mendidikmu dengan segala rasa kasih sayang,
bukankah itu berarti bahwa engkau hutang kebaikan kepadanya? Engkau harus
membayar hutang kebaikan itu dengan kebaikan, Enci. Sebaliknya engkau hendak
membunuhnya, bukankah itu berarti bahwa Enci akan menjadi orang yang tidak ingat
budi?!
Hwee Li tertegun dan melongo,
bingung. Akhirnya dia berkata ragu, Akan tetapi dia telah membunuh ibuku....!
Heh, siapa membunuh ibumu? Dia
mati sendiri, tidak kubunuh!! terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata. Dia adalah
seorang manusia iblis, maka biarpun tadi nyaris tewas dan kini pundaknya
terluka, dia tidak kelihatan gentar sedikit pun juga.
Tutup mulutmu yang busuk!!
Hwee Li memaki. Engkau memaksa dia, biarpun tidak membunuh dengan tanganmu,
akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian Bu, dia menyebabkan
kematian ibu, kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku dapat menghadapi
arwah ibuku di alam baka?!
Enci, sebaiknya engkau
memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang berhak membalas
kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas kebaikannya terhadap
dirimu. Kalau sekarang Kau balas kematian ibumu dan kau membunuhnya, mana bisa
engkau membalas kebaikannya terhadap dirimu selama belasan tahun itu?
Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu membalas kebaikannya, lalu kelak engkau
membalas kematian ibumu dan membunuhnya, juga belum terlambat.! Kian Bu
menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini membunuh Hek-tiauw Lo-mo.
Dia memang bisa saja menggunakan kepandaian untuk mencegah pembunuhan itu,
namun hal itu tentu akan menjadi kurang baik. Sebaiknya kalau dia dapat
menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja.
!Benar sekali, Adik Hwee Li.
Omongannya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis gagah perkasa dan baik
budi seperti engkau sampai tidak membalas budi kebaikan orang!! Tiba-tiba
terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara itu adalah Swi Hwa. Tadi gadis
ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia mendengar
penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li. Kemudian dia mendengar
percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu atau yang dikenalnya sebagai Siluman
Kecil. Dia ikut merasa terharu mendengar bahwa ibu gadis itu mati karena
Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu bukanlah anak iblis jahat itu.
Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut enci! oleh Siluman Kecil, lenyap rasa iri
dan tidak senangnya terhadap Hwee Li. Tadinya dia mengira bahwa gadis secantik
jelita itu tidaklah mengherankan kalau menjadi pacar Siluman Kecil dan dia
merasa iri karena memang dahulu pernah dia kagum sekali terhadap Siluman Kecil.
Hwee Li yang mendengar ucapan
ramah itu lalu melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya terhadap Swi Hwa sudah
lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak menghalangi dia. Akan tetapi
uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu membuat dia menjadi bingung dan
ragu-ragu.
Kalau begitu, apa kauminta
agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Dia telah
memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan
menimang-nimangnya? Apakah aku harus merawatnya sampai belasan tahun?! Dia
makin penasaran.
Kian Bu tertawa. Tidak usah
sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak membunuhnya sekarang,
berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus semua kebaikannya itu.
Kalau kelak ada kesempatan dan engkau membunuhnya, bukankah berarti hari ini
engkau telah menebus kebaikannya itu?!
Waaahhhhh, terlalu enak buat
dia!! Hwee Li berkata dengan alis berkerut. Kalau begitu, apakah kita harus
membebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan menghaturkan selamat
jalan kepada mereka, membekali uang untuk mereka sebagai bekal biaya
perjalanan?! Karena jengkel Hwee Li mengeluarkan kata-kata yang berlebihan itu.
Swi Hwa adalah seorang yang
terdidik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona berpakaian hitam itu betapapun
juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan berkata, Adik Hwee Li, kalau aku
boleh mengusulkan, mereka itu tidak perlu dibunuh agar engkau tidak dianggap
tak kenal budi, akan tetapi perbuatan mereka pun harus dihukum. Mereka tertotok,
bagaimana kalau mereka itu dikubur hidup-hidup di tempat ini?!
Wah, cocok!! Hwee Li bersorak.
Dia merasa mendapat teman untuk menentang Kian Bu,. dan dia sudah mendekati Swi
Hwa dan memegang lengannya. Kau memang orang cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil,
kau bisa bicara apa menghadapi dua orang dara yang cerdik seperti kami?!
Siluman Kecil memandang Swi
Hwa dengan heran, akan tetapi dia melihat dara berpakaian merah itu berkedip
kepadanya, maka dia mengangkat pundak dan berkata, Terserah, asal kalian tidak
membunuhnya.!
Adik Hwee Li, terang bahwa kau
tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya. Nah, kau membebaskan
dia dari kematian, itu berarti sudah membalas kebaikannya. Sekarang, mari kita
kubur mereka, mengubur hidup-hidup asal jangan sampai mereka mati.!
Lhoh! Dikubur hidup-hidup mana
bisa tidak mampus?! tanya Hwee Li bingung.
Kita kubur tubuhnya saja biar
kepalanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka akan tersiksa sekali?
Mereka tertotok, kalau sudah tiba saatnya terbebas dari totokan, tentu
orang-orang selihai mereka itu akan mampu membebaskan diri. Sementara itu, biar
mereka tahu rasa. Dengan demikian engkau telah melaksanakan dua macam
pembalasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk dibalas busuk.!
Hwee Li girang sekali dan
bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru yang
menarik. Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, Kau bantulah aku.!
Dua orang dara yang sama
cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali lubang di atas
tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus. Akan tetapi
jangan kira bahwa tangan yang berkulit halus itu tidak mampu menggali lubang
yang besar dengan cepat. Tangan-tangan halus itu mengandung tenaga Iweekang
yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali sebuah
lubang. Kini keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi,
melempar mereka ke dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang
kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka!
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kalang-kabut. Mereka adalah
dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam seperti itu saja, mereka tidak
merasa takut. Biar dikubur seluruh tubuh mereka pun mereka tidak merasa jerih
dan tentu akan dapat mempertahankan nyawa. Akan tetapi yang membuat mereka
marah besar adalah penghinaan itu! Mereka dipermainkan oleh dua orang gadis
remaja!
Hi-hik, biar mereka
digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing-cacing sebelum mereka dapat
membebaskan diri!! kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan.
Kian Bu dan Hek-sin Touw-ong
mendiamkan saja kedua orang gadis itu. Mereka maklum akan akal Swi Hwa untuk
meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai mengubur dua orang
kakek tadi, mereka kini duduk berhadapan di atas rumput. Swi Hwa merangkul Hwee
Li dan berkata sambil tertawa, Adik Hwee Li yang gagah dan cantik, aku
berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan harap kaumaafkan
sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau.!
Hwee Li memang seorang gadis
aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis jahat. Kalau dia
dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia dibaiki, dia akan
lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia mencium pipi halus dari Swi Hwa dan
berkata, Akulah yang telah bersikap kasar. Kaumaafkan aku, Enci yang baik, dan
engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan terima kasih
kepadamu.!
Sementara itu, matahari telah
terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka lalu bersuit panjang dan nyaring disusul
suara melengking memanggil-manggil. Tak lama kemudian terdengar lengking
panjang sebagai jawaban dan dari atas udara menyambar turun burung garuda tadi.
Burung ini memang sudah biasa dengan Hwee Li, malah dia merasa girang karena
dia lebih senang melayani Hwee Li yang selalu bersikap manis kepadanya,
daripada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka bersikap kasar dan kejam kepadanya.
Hwee Li mengelus kepala burung itu dan berkata, Paman garuda, kau baik saja
bukan? Nah, kau boleh beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuhkan
bantuanmu.! Garuda itu mengeluarkan suara nguk-nguk seperti seekor anjing
jinak, lalu terbang ke atas pohon. Hwee Li lalu kembali ke tempat tiga orang
yang sedang bercakap-cakap itu.
Kian Bu, menceritakan bahwa
dia baru saja keluar dari dalam benteng lembah, atas pertanyaan Hek-sin
Touw-ong. Sekarang, kami berdua harus kembali ke sana untuk mencoba
menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan.! Dia menutup ceritanya dengan
singkat karena dia tidak mau banyak menyebut nama puteri itu. Setelah dia
mendengar penuturan Hwee Li bahwa Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka
hatinya telah bertekad bulat untuk menolong puteri itu, biarpun keadaan di
dalam benteng itu amat berbahaya. Kalau perlu, dia siap mengorbankan nyawanya
demi menolong puteri itu!
Suhu, mari kita ikut membantu
mereka ini!! Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan kakek itu pun
mengangguk-angguk tanda setuju biarpun alisnya berkerut karena dia merasa
sangsi apakah mereka berempat akan sanggup menembus benteng yang dihuni
demikian banyaknya orang pandai dan di mana terdapat banyak pula anak buah
Kui-liong-pang.
Akan tetapi sebelum kakek itu
mengeluarkan, Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan suara yang menyatakan
ketidaksenangan hatinya, Terima kasih atas kebaikan Nona hendak membantu kami,
akan tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu kami, karena.... karena....
hemmm....! Kian Bu merasa tidak enak untuk melanjutkan kata-katanya. Dahulu
Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Urusan itu
pun belum diselesaikan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke
pantai Po-hai? Dengan demikian, antara mereka tidak ada hubungan persahabatan,
bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai fihak yang bertentangan.
Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak
enak kalau harus mengemukakan hal itu. Ang-siocia ini telah mencuri pusaka
Sin-siauw Seng-jin, bukan pusakanya! Dan kalau Ang-siocia mencuri, hal itu
tentu saja bukan merupakan suatu keanehan karena memang dia murid Raja Maling!
Sebetulnya hanya kecil saja sangkut-pautnya dengan dirinya, karena pencurian
itu dilakukan sehabis dia memenangkan pertandingan melawan Sin-siauw Seng-jin.
Urusan kecil itu mana dapat disamakan dengan perbuatan guru dan murid ini yang
sekarang telah menolongnya, bahkan dapat dikatakan telah menyelamatkan Hwee Li
pula?
Aihhh, Kian Bu. Kenapa kau
menolak? Enci ini.... eh, siapa namamu tadi, Enci?!
Swi Hwa tersenyum. Namaku Swi
Hwa, she Kang....! katanya sambil mengerling ke arah Siluman Kecil. Mendengar
nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing
dengan nama itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu
betul bahwa baru satu kali saja dia bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika
gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Ketika itu, dia mengira
bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan Ang! itu bukan she, melainkan
berarti merah dan tentu karena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah.
Enci Swi Hwa ini lihai sekali,
dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu terdapat banyak sekali orang pandai dan
berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya amatlah baik dan menguntungkan
bagi kita. Kenapa engkau menolak?!
Aku percaya bahwa mereka ini
lihai sekali, akan tetapi....! dia memandang kepada Swi Hwa dan ada sinar tidak
senang menyorot dari pandang mata pendekar itu.
Swi Hwa tersenyum dan menjura
kepada Kian Bu, katanya halus, Ah, tentu Taihiap masih mendendam karena uangnya
pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap, aku mengambil uangmu karena
ingin memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini uangmu itu, lengkap dengan
kantungnya, kukembalikan kepadamu disertai ucapan maaf sebesarnya!! Seperti
bermain sulap saja, sekali meroboh sakunya, Swi Hwa telah mengeluarkan sebuah
pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada Kian Bu. Tidak ada satu sen
pun berkurang, Taihiap!!
Kian Bu mengenal pundi-pundi
uangnya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya kantung uangnya dahulu
itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main! Bagaimana hal itu dapat
dilakukannya padahal dia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan nona
ini dalam perjalanan? Sambil melongo, diterimanya kantung itu dan dia lalu
berkata, Terima kasih, Nona. Memang ini pundi-pundi uangku. Akan tetapi bukan
soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan tetapi....!
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong
menjura kepada Siluman Kecil dan berkata, Taihiap, muridku yang jahat ini
pernah bercerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka dari dalam rumah
Sin-siauw Seng-jin mendahului Taihiap, tentu hal itu yang membuat Taihiap
meragu, bukan?!
Hati Kian Bu terasa tidak
enak, akan tetapi dia mengangguk. Muridmu telah mengundang aku untuk berkunjung
ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini.! Kian Bu
mengingatkan tantangan Ang-siocia.
Harap Taihiap sudi melupakan
urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka yang ditinggalkan oleh
orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah kitab-kitab palsu. Dan
tentang undangan muridku, biarlah di sini aku mintakan maaf kepada Taihiap....!
Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat mengangkat tangan membangunkan orang tua
itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia mentertawakan Ang-siocia
yang memperoleh kitab-kitab palsu.
Sudahlah, urusan yang lalu
biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku merasa girang bahwa
kita sekarang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan kami di dalam
benteng ini adalah amat berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau sampai membuat
Ji-wi ikut-ikut terancam bahaya.!
Aku ada rencana yang baik
sekali!! Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata bercahaya. Kalau rencanaku
dijalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng itu seperti masuk ke dalam
rumah sendiri, akan tetapi juga agaknya mudah saja menyelamatkan keluarga Kao
dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan tanpa pertempuran!!
Hwee Li sudah merasa girang
sekali mendengar ini. Bagaimana rencanamu itu, Enci?!
Engkau lihat dua orang kakek
itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa Taihiap ini dan engkau
pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bukankah dengan begitu mudah saja bagi
kalian untuk memasuki benteng?!
Ahhh....!! Kian Bu sampai
mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya. Dia, memandang gadis pakaian
merah itu dengan alis berkerut. Sudah gilakah gadis ini, pikirnya. Juga Hwee Li
yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak kepada Swi Hwa.
Enci, jangan main-main....!!
Swi Hwa tertawa geli. Siapa
main-main, adikku sayang? Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada
itu? Bayangkan saja. Dua orang kakek ini menunggang garuda itu membawa kalian
berdua sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan menghalangi mereka di dalam
benteng?!
Tapi.... tapi, itu rencana gila!
Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau mengusulkan agar kita melepaskan dua
orang iblis itu dan membiarkan mereka menangkap kami berdua?! Hwee Li sudah
mulai marah karena merasa dipermainkan.
Akan tetapi jawaban Swi Hwa
mengusir kemarahannya dan membuat dia makin terheran-heran, demikian pula Kian
Bu. Siapa suruh kau membebaskan mereka, adikku? Biarkan mereka digerogoti
semut-semut merah! Aku belum gila menyuruh kau membebaskan dia.!
Eh, bagaimana kau ini? Tadi
kaukatakan....!
Swi Hwa lalu mendekati dan
merangkul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dua
orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepalanya saja di atas tanah itu dan
yang memandang ke arah mereka dengan mata melotot. ....aku dan Suhu yang
menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke dalam benteng....!
Kian Bu terkejut. Sungguh
permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat menyamar sebagai salah satu di antara
mereka, akan tetapi nona itu?
Ah, mana bisa hal itu
dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah ketahuan dan kalau
Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,! katanya.
Juga Hwee Li tidak dapat
menerima rencana itu. Enci Swi Hwa, harap jangan kau main-main. Kita bukan
menghadapi sekumpulan anak-anak kecil yang mudah kaupermainkan dengan
penyamaran. Kita bukan sedang bermain di atas panggung sandiwara....!
Wah, wah! Kalian memandang
rendah kepandaian guruku, ya?! Swi Hwa berdiri sambil bertolak pinggang dan
kelihatan marah. Gurunya lalu menyentuh lengannya, memandang penuh teguran dan
Swi Hwa menurunkan kedua tangannya kembali dan membuang sikapnya yang marah.
Apa yang dikatakan oleh
muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami kira kami dapat
melakukan penyamaran itu sebaik-baiknya.!
Suhu, mereka tentu tidak
percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita bersembunyi di sana sebentar,
Suhu.! Gadis berpakaian merah itu lalu menarik tangan gurunya, diajak pergi ke
belakang semak-semak belukar tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang
agak besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan Kian Bu, terheran-heran dan
tidak percaya, akan tetapi juga tertarik sekali.
Tempat guru dan murid itu
menyelinap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung dengan
pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari balik
pohon-pohon, suara seorang nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan
dagangannya, Sepatuuuuu.... sepatu rumpuuuuut....! Barang baik harga murah
lekas.... beliiiii....!!
Eh? Di dalam tempat sunyi
seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?! tanya Hwee Li dan dia memandang
heran kepada seorang nenek yang datang terbongkok-bongkok membawa beberapa buah
sepatu rumput.
Akan tetapi Kian Bu memandang
kepada nenek itu dan mukanya berubah. Dia....? Dia.... adalah nenek itu....!!
Teringatlah dia akan nenek penjual sepatu rumput di daerah Ho-nan itu.
Jantungnya berdebar. Nenek ini yang dituduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan
uang itu tadi dikembalikan oleh Ang-siocia!
Kau kenapa, Kian Bu? Kau kenal
dia....?! Hwee Li bertanya. Akan tetapi Kian Bu yang masih bingung itu
memandang dan selagi dia hendak lari menghampiri, nenek itu telah lenyap di
balik semak-semak!
Melihat sikap Kian Bu, Hwee Li
makin heran. Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?! Akan tetapi yang ditanya
hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian merah itukah
kiranya yang menyamar sebagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main! Dan dia sudah
bicara dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, namun dia sama sekali
tidak tahu, bahkan uangnya sekantong pun dicurinya atau dicopetnya tanpa dia
merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu penyamarannya, juga hebat ilmu
copetnya!
!Hai, bukankah itu engkau,
Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling jumpa!!
Kian Bu terkejut dan menoleh
ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang pemuda tampan yang
bersikap gembira sekali keluar dari pohon sebelah kanan, sikapnya jelas telah
lama mengenal Kian Bu.
Eh, kau di sini, Kang-kongcu....?!
kata Kian Bu. Tentu saja dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman
seperjalanannya menuju ke Ho-nan tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah
menyelinap pergi lagi.
Tunggu, Kang-kongcu....!! Kian
Bu hendak menghampiri dan tiba-tiba dia tersentak kaget bukan main ketika
teringat akan nama itu. Kang Swi! Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ah,
pantas saja tadi ketika Ang-siocia memperkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa
kepada Hwee Li, dia merasa seperti mengenal baik nama itu. Kang Swi dan Kang
Swi Hwa! Kiranya satu orang! Dia makin kagum dan terheran. Nona itu ternyata
telah menyamar sebagai nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menyamar sebagai
pemuda Kang Swi tanpa dia ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual
sepatu yang mencopet uangnya itu sudah hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai
pemuda Kang Swi lebih hebat pula! Dia telah berhari-hari melakukan perjalanan
bersama pemuda! itu, melihat Kang Swi memasuki sayembara, sampai pertempuran
yang terjadi ketika mereka bertempur memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dan sama
sekali dia tidak tahu bahwa pemuda! itu adalah Ang-siocia pula yang menyamar.
Pantas saja ketika mereka kehabisan kamar penginapan, pemuda! itu tidak mau
tidur sekamar dengan dia!
Hwee Li masih bingung. Eh,
Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan siapa pula pemuda
yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan tetapi begitu muncul
dan melihatmu, mereka terus pergi.!
Wajah Kian Bu menjadi merah.
Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan oleh gadis itu!
Mereka.... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu....!
Enci Swi Hwa? Ah, benarkah?!
Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar
suara tertawa.
Hwee Li hampir menjerit mendengar
suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan terbelalak
memandang kakek raksasa yang berdiri di depannya. Ha-ha-ha, anakku Hwee Li yang
cantik manis, anakku sayang, marilah engkau ikut ayahmu kembali ke Pulau
Neraka....!!
Tidak, tidak....! Engkau bukan
ayahku! Engkau.... heeeee?! Hwee Li teringat, memutar tubuhnya dan melihat
betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih berada di tempat yang tadi, di mana dia
menguburkan tubuh kakek itu bersama kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher! Cepat
dia membalik dan memandang lagi, akan tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo
benar-benar berdiri di depannya! Bulu tengkuknya meremang dan dia menjerit, Kau
iblis tua bangka! Kau setan....!! Dan dia bergerak hendak menyerang. Akan
tetapi, Kian Bu memegang tangannya dan menahannya.
Nanti dulu, Enci Hwee Li.
Lihat dulu baik-baik siapa dia....!
Ha-ha-ha, anak durhaka kau!
Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw Lo-mo? Ha-ha-ha!!
Dan kini raksasa itu tertawa, nampak giginya yang bertaring dan tangan kanannya
sudah mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan kirinya memegang jala hitam
tipis.
Sudah kulihat, dia memang
iblis tua itu!! Hwee Li berkata sambil memandang terbelalak kepada raksasa di
depannya.
Ehhh, Lo-mo, mengapa banyak
membuang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret ke depan Pangeran
Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat besar dan
kedudukan tinggi kelak? Ha-ha-ha, mari kita tangkap mereka!!
Hwee Li terkejut memandang
kakek bermuka tengkorak yang baru muncul. Hek-hwi Lo-kwi! Tidak salah lagi. Dia
cepat menoleh dan melihat betapa kepala Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana!
Bagaimana dua orang kakek iblis ini mampu membebaskan diri sedangkan kepalanya
masih kelihatan di sana? Dia makin bingung dan kini hanya dapat memandang
dengan mata terbelalak seperti melihat setan di tengahari!
Ha-ha-ha, Lo-kwi. Lihat,
bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali? Pantas Pangeran
Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepadanya. Ha-ha-ha!! Hek-tiauw
Lo-mo berkata lagi.
Tiba-tiba Kian Bu menjura
kepada dua orang kakek itu sambil berkata, Kepandaian menyamar dari Locianpwe
dan Nona sungguh membuat saya merasa kagum dan takluk!!
Mendengar ini, baru Hwee Li
sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika Hek-tiauw Lo-mo melangkah
dekat, dia otomatis mundur-mundur. karena jerih.
Hi-hik, Adik Hwee Li, apakah
sekarang engkau merasa takut kepadaku? Sikapmu ini amat menyenangkan, Adik Hwee
Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan Encimu ini dan Suhu?!
Kau.... kau.... Enci Swi
Hwa....!! Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara gadis itu. Akan
tetapi dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis
cantik yang tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah mengubah
diri menjadi seorang kakek raksasa yang tinggi itu? Dengan berindap-indap dia
menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah
yang seperti raksasa bertaring itupun sama. Tubuhnya tinggi besar pun serupa.
Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw
Lo-mo palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguhpun
aneh sekali, tangan Swi Hwa yang tadinya berkulit halus itu kini menjadi kasar
sekali. Dia makin terheran-heran, berjalan mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo palsu
itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi yang hendak
dibelinya.
Bagaimana, Adik Hwee Li?
Apakah masih ada kekurangannya?!
Hwee Li berhadapan dengan Swi
Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat dilepasnya kembali dengan jijik.
Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo sehingga menimbulkan jijik kepadanya.
Bagus sekali, Enci. Sayang ada satu perbedaan menyolok.!
Tanganku terlalu kecil?!
Bukan itu saja, terutama
sekali.... baunya!!
Baunya?!
Ya, kau tadi berbau sedap
harum, sekarang pun masih harum. Padahal, seingatku bau iblis tua itu amat
apek!!
Ha-ha-ha, Lo-mo, agaknya
engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu menjadi harum! Hati-hati,
lebih baik kauhilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu dengan bunga
tahi ayam!! Terdengar Hek-hwa Lo-kwi berkata. Hwee Li bergidik. Kakek ini
memang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka kagumlah dia. Kagum
bukan main dan dia pun menjura.
Hek-sin Touw-ong, aku
benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!!
Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa
kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara mereka sendiri. Nah,
setelah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami berdua membawa kalian ke
dalam benteng sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu akan mudah untuk
mengelabuhi mereka, dan terbuka kesempatan kita untuk menolong mereka yang
ditawan,! kata Hek-sin Touw-ong.
Nanti dulu, Locianpwe. Aku
masih penasaran....! Kian Bu kini memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo palsu alias
Swi Hwa itu. Jadi kalau begitu nenek penjual sepatu itu....!
Akulah yang menyamar, Taihiap.
Maafkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet kantung uangmu?! kata
Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa Hek-tiauw Lo-mo bersikap
seperti itu dan mengeluarkan suara begitu merdu.
Dan.... Kang-kongcu itu....?!
Hi-hik, maaf bahwa aku telah
mempermainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi aku memang sedang bertualang mencari
pengalaman, maka mendengar tentang sayembara itu aku ingin memasuki dan
meluaskan pengetahuan.!
Akan tetapi.... kau telah
membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa gubernur itu adalah
seorang pengkhianat yang agaknya bersekutu dengan Pangeran Nepal?!
Hek-tiauw Lo-mo palsu itu
mengangguk-angguk. Tadinya aku tidak tahu apa-apa. Tahuku hanya aku telah
diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak sebagai pengawal.
Setelah aku tahu duduknya perkara, terus saja aku meninggalkan Ho-nan. Tak sudi
aku menjadi kaki tangan pengkhianat dan pemberontak.!
Kian Bu mengangguk-angguk
dengan hati lega. Kalau begitu baiklah, mari kita berangkat.!
!Akan tetapi tidak mungkin
menunggang garuda kalau berempat,! kata Hwee Li. Terlalu berat bagi garuda dan
juga punggungnya tidak dapat menampung empat orang. Pula, kalau garuda kembali
ke sana tentu akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau-kalau ada bahaya
mengancam, maka biarlah kita jalan kaki saja dan biarkan garudaku terbang di
atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil.!
Semua orang setuju dan Hwee Li
lalu membisiki telinga garuda yang dipanggilnya turun, kemudian menepuk
lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu berangkat
meninggalkan tempat itu.
***
Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah diceritakan di
bagian depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan di tepi sungai
di kaki Pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal dari Sai-cu Kai-ong untuk
pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tanpa pamit dan Kian Lee menduga bahwa
adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti diceritakan oleh Kian Bu
yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah mencuri pusaka palsu yang
disimpan Sin-siauw Seng-jin.
Akan tetapi setelah lama
mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga
tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan
dia menduga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai
pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepandaiannya. Karena telah melakukan
penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee meninggalkan
pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu.
Belum jauh dia meninggalkan
pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tibat-tiba dari jauh dia
melihat orang-orang sedang bertempur, secara aneh dan dari gerakan mereka yang
gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang
memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi
dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu dan akhirnya dia tiba di
dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh
perhatian. Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu
adalah seorang dara cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara
ini mempergunakan sebuah senjata istimewa sekali, yaitu sebatang payung yang
berkembang! Senjata seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian
Lee, karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah
seorang yang ahli bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini
memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang
bersilat, apalagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang
lawan yang amat tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee
memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita itu.
Dara itu cantik jelita dan
manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari
sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan
lekuk lengkungnya yang menonjol dan menggairahkan. Tubuh yang amat menarik dari
seorang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar.
Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan sinarnya
tajam dan aneh, hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis, sehingga
dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya
cekatan dan aneh, keduakakinya kadangkadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda
bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi
fihak lawan.
Adapun dua orang pengeroyok
itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu kepandaian mereka
tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu
silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua
puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh
tahun. Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor
burung beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga
cukup cantik, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekerasan hati dan
keganasan. Adapun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah orang Han aseli.
Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya
tampan sekali dan wajahnya membayangkan kehalusan budi.
Tiba-tiba Kian Lee terkejut
bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok-gosok kedua tangannya
dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan
seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mujijat, maka dia sudah siap untuk
menolong jika ada yang terancam bahaya.
Sumoi, jangan!! tiba-tiba
laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan
pukulannya yang mujijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak
memperbolehkan sumoinya menurunkan tangan maut terhadap dara cantik berpayung
itu.
Hi-hik, kalian ini
pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk
kepada nonamu?! Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring
halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking
yang amat aneh namun menggetarkan perasaan. Kian Lee yang bersembunyi di
belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa betapa
jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan
khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika
mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua
orang pengeroyoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena tertawa-tawa yang
agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan
hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu
dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar
tertutup sebentar terbuka itu!
Kian Lee kaget setengah mati
ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai mengeluarkan suara
tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, akan tetapi ada kekuatan aneh yang
seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu
dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan mulutnya menyeringai, Kian
Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah mempergunakan ilmu
sihir! Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal
dengan kekuatan sihirnya yang mujijat, biarpun dia tidak mempelajari ilmu itu,
namun dia tahu apabila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung
dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal mereka bertiga
itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti
itu. Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hiatinya
merasa tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya.
Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih
terus tertawa-tawa dan kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara
berpayung, bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat
mereka terhuyung-huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja mereka
tertawa terpingkal-pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan
menentang dara tukang sihir itu.
Dengan pengerahan sinkangnya,
Kian Lee mengeluarkan suara melengking yang mengandung khikang, lengkingan
suaranya seperti seekor burung rajawali marah, menggetar dan menggema di
seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh-kekeh itu terkejut bukan
main dan dua orang pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi.
Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu menyerang dara itu.
Siluman jahat!! bentak wanita
baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biarpun dapat dielakkan oleh
dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia terpaksa harus
meloncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka
membentuk perisai yang melindungi tubuhnya, sedang kaki kanannya sudah
menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Namun orang bule itu pun dapat
mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Seketika dara
berpayung itu kini terdesak hebat!
Siapakah dara cantik berpayung
yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah dapat mengenalnya. Dia
memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih
dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun
berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari Puteri Syanti Dewi.
Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui gurunya
karena kakek itu pun tidak berada di dalam Gua Tengkorak. Maka dengan hati
kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu. Ketika pada suatu hari dia tiba di
sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi makin jengkel
melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat
dia masuk, sudah meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong
kedatangannya.
Ah, silakan masuk, silakan,
Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona....!! Dan diiringi seorang
pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan
Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat
betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain dan mengistimewakan dia
dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu
mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!
Nona kelihatan lelah sekali,
tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana....! Kuasa
itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh
tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak melanjutkan kata-katanya karena
Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan melangkah menghampirinya. Laki-laki
itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan
hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata
uang dari saku bajunya dan meletakkannya di atas meja kasir.
Ini untuk harga makanan yang
akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!!
Setelah berkata demikian,
Siang In membalikkan tubuh dan kembali duduk di bangkunya, akan tetapi sekarang
dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi
besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa
dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke
arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak mengambilnya, wajahnya
berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap
sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil
uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat untuk mencongkelnya keluar!
Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar
wanita kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mujijat dan sekali
tekan saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan
permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu
dengan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan
cepat dan baik, dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya
sepatah kata pun.
Akan tetapi segera perhatian
Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan
melihat seorang anak laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan
bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama
seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak laki-laki
berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.
Kenapa belum juga sampai?! terdengar
anak itu bertanya dengan suara merengek. Melihat anak laki-laki itu, timbul
rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian,
mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati,
akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah.
Sssttt, kita makan dulu....!
bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja
dekat meja Siang In.
Anak itu, duduknya kebetulan
menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu lalu
mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil
sepasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan
ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu
menari-nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia
segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton
sumpit menari!
Melihat ini, wanita baju hijau
itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak
itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata
sambil menarik muka manis kepada Siang In, Harap maafkan anak saya yang tidak
tahu aturan!! Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke mejanya.
Siang In mengerutkan alisnya.
Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi aku,
pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biarpun
usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang
perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi, karena dia
merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia tidak
dapat mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, dia merasa tidak senang
karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu.
Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita atau
laki-laki itu, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang masih
perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak!
Tadinya Siang In sudah tidak
mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan orang.
Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita itu, dan hal ini bukannya
aneh. Maka ketika masakan yang dipesannya telah datang, dia segera mulai makan.
Tiba-tiba perhatiannya
tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia
mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan kebetulan Siang In mengenal
bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya!
Sudah kukatakan bahwa tidak
baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja. Sebaiknya
kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami
menanti di sana!! demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan
dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup dapat ditangkap oleh telinga Siang In
yang terlatih. Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya
keluar dari rumah makan dengan cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule
itu memesan masakan dan minta agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena
hendak dibawanya keluar.
Makin besarlah rasa kecurigaan
Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil itu.
Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka berusaha menyembunyikan
anak itu dari umum! Penculikankah? Siang In cepat menyelesaikan makannya dan
ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang dibungkus dan
meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang
itu. Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu
setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali, ternyata orang itu
memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa orang
itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus.
Akan tetapi ketika laki-laki
itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja,
sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki-laki itu
ternyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu
dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan setelah meletakkan
bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu mennbalik berseru dengan
nyaring, Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!!
Siang In terkejut, akan tetapi
sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan dengan langkah gontai dan
tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari
laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan
selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun tidak mempedulikan pandang mata
mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria seperti itu
mendatangkan perasaan nyaman, juga di dalam hatinya dan mempertinggi harga
dirinya!
Laki-laki itu cukup sopan dan
hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung
hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata
penuh selidik dan alis dikerutkan. Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang
sembarangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah mengapa Nona mengikuti
saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan
kami?!