Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 56
Yo Siauw, In Thian Ceng, Pheng
Eng Giok dan yang lain-lain adalah orang-orang yang berpengalaman luas dan
berakal budi. Tapi sekarang mereka menemui jalan buntu. Mereka mengasah otak,
berpikir bolak balik tapi mereka tetap tak bisa menembus misteri yang aneh itu.
Selagi mereka berunding,
tiba-tiba di sebelah barat terdengar suara kedubrakan sebuah pohon siong tua
roboh dengan tiba-tiba. Semua orang kaget dan memburu ke tempat itu. Pohon itu
berada di pinggir sebuah perkarangan yang terkurung tembok dan batang yang
patah menimpa tembok itu. Waktu didekati, pohon itu ternyata roboh karena
terpukul, sebab uraturatnya di bagian yang patah putus semuanya. Dilihat dari
urat-uratnya yang sudah agak kering, pukulan itu bukan baru terjadi, tapi sudah
berselang beberapa hari.
Mendadak beberapa orang
mengeluarkan seruan kaget.
Ih! Lihat ini!
Aha! Di sini terjadi
pertempuran hebat!
Memang dalam perkarangan itu
terlihat tanda-tanda bekas pertempuran. Di atas lantai batu hijau, di dahan
pohon dan di tembok terlihat bekas bacokan senjata tajam atau pukulanpukulan
yang dahsyat. Dilihat dari bekas-bekasnya orang-orang yang bertempur adalah
ahliahli silat kelas satu. Tapak-tapak kaki yang menggores lantai membuktikan
Lweekang yang sangat tinggi dari orang-orang yang berkelahi itu.
Mendadak Wie It Siauw
mengendus bau darah. Dalam pertempuran itu rupanya sudah mengucur banyak darah
tapi karena semalam turun hujan besar, sebagian besar darah itu sudah hanyut
dan hanya ketinggalan di beberapa tempat tertentu.
Perkarangan itu sangat besar
dan tadi waktu diperiksa, orang tidak memeriksa secara teliti sebab di situ tak
terdapat manusia. Kalau pohon siong itu tidak roboh mereka tentu takkan datang
lagi ke sini.
Yo Cosoe, bagaimana
pendapatmu? tanya Pheng Eng Giok. Pada tiga empat hari yang lalu, di sini telah
berlangsung pertempuran yang sangat hebat, jawabnya. Hal ini tak usah
disangsikan lagi. Apakah orang-orang Siauw lim sie terbasmi semua?
Aku sependapat dengan Yo
Cosoe, kata Pheng Eng Giok. Tapi siapa musuhnya Siauw lim sie? Mana ada partai
yang begitu lihay? Apa Kay-pang?
Biarpun partai besar dan
banyak orang pandainya, Kay-pang pasti takkan bisa membasmi semua pendeta dalam
kuil ini, kata Cioe Tian. Yang bisa berbuat begitu hanyalah Beng-kauw kita,
tapi jelas-jelas bukan kitalah yang melakukannya.
Cioe Tian lebih baik kau
jangan mengeluarkan segala omong kosong, kata Tiat koan Toojin. Apakah di
antara kita ada yang tidak tahu bahwa kita tidak melakukan perbuatan ini?
Diluar dugaan perkataan Cioe
Tian yang dikatakan sebagai omong kosong sudah mengingatkan sesuatu kepada Yo
Siauw. Ah!..., ia mengeluarkan seruan tertahan. Kauw coe mari kita pergi lagi
ke Tat-mo tong.
Boe Kie tahu bahwa ajakan itu
mesti ada sebabnya. Baik, katanya.
Dengan cepat semua orang masuk
lagi ke dalam Tat-mo tong. Dalam ruangan itu, di samping sembilan lembar tikar
pecah, di atas meja sembahyang terdapat sebuah patung batu dari Tatmo Couw soe.
Muka patung itu menghadap tembok, dengan punggung menghadap keluar.
Semua orang tahu bahwa itu
adalah untuk memperingati satu kejadian penting dalam hidupnya guru besar
tersebut. Menurut cerita, sesudah bersemedi menghadap tembok selama sembilan
tahun Tat-mo Couw soe berhasil mendapatkan inti sari daripada ilmu silat.
Tapi kita sudah menyelidiki,
ada perlu apa kita datang lagi ke sini? tanya Cioe Tian.
Tanpa meladeni perkataan Cioe
Tian, Yo Siauw berkata kepada In Ya Ong. In Sie heng, aku minta bantuanmu. Mari
kita putar patung Tat-mo Couw soe.
Jangan! cegah In Thian Ceng.
Tat-mo Couw soe adalah pendiri
Siauw lim sie yang dipandang suci dan dipuja bukan saja oleh orang-orang Siauw
lim-pay, tapi juga oleh semua tokoh persilatan di kolong langit.
Eng Ong jangan kuatir, kata Yo
Siauw. Siauw tee bertanggung jawab untuk segala akibatnya, seraya berkata
begitu ia melompat ke atas meja sembahyang dan coba memutar patung itu.
Namun karena terlalu berat,
patung itu tidak bergeming.
Ya Ong, bantulah, kata sang
ayah.
In Ya Ong segera melompat ke
atas dan dengan tenaga dua orang patung itu yang beratnya dua ribu kati lebih
dapat diputar.
Begitu patung diputar, paras
muka semua orang berubah pucat. Ternyata muka patung telah dipapas rata
sehingga merupakan selembar papan batu dan di atasnya terdapat huruf-huruf yang
berbunyi seperti berikut: Lebih dahulu membasmi Siauw lim. Kemudian menumpas
Boe tong. Yang merajai Rimba Persilatan hanyalah Beng-kauw. Huruf-huruf itu
ditulis dengan jari tangan yang seolah-olah memahat papan batu itu.
Tanpa merasa semua orang
mengeluarkan teriakan kaget. Itulah tipu daya yang sangat busuk, yang
menimpakan semua dosa di atas pundak Beng-kauw.
Dengan bersamaan Yo Siauw dan
In Ya Ong melompat turun.
Hidung kerbau Tiat koan!
bentak Cioe Tian. Jika aku tidak mengeluarkan omong kosong, Yo Cosoe pasti tak
bisa menebak kejahatan musuh.
Tiat koan Toojin tidak
meladeni. Ia tak ada kegembiraan untuk bertengkar dengan saudara yang rewel
itu. Yo Cosoe, bagaimana kau dapat memikirkan bahwa pada patung itu terdapat
sesuatu yang luar biasa? tanyanya.
Tadi waktu pertama kali aku
masuk ke sini, aku sudah lihat bahwa patung itu memang digeser orang, jawabnya.
Tapi aku belum dapat berpikir bahwa dalam penggeseran itu bersembunyi tipu daya
yang sangat busuk.
Ada hal lain yang belum
dimengerti olehku, kata Pheng Eng Giok. Tak bisa disangsikan lagi bahwa dengan
huruf-huruf itu musuh ingin menumpahkan dosa di atas pundak Beng-kauw supaya
kita dikeroyok oleh seluruh Rimba Persilatan. Tapi mengapa musuh itu
manghadapkan muka patung ke tembok? Kalau Yo Cosoe tidak berotak cerdas, bukankah
kitapun tak tahu adanya huruf-huruf itu?
Yo Siauw manggut-manggutkan
kepalanya. Patung itu telah diputar lagi oleh orang lain, jawabnya. Dengan
diam-diam, seseorang yang sangat tinggi kepandaiannya telah membantu kita. Kita
telah menerima budi yang sangat besar.
Semua orang segera menanyakan
siapa adanya orang itu.
Yo Siauw menghela nafas dan
berkata, Akupun tak tahu.
Perkataan itu tiba-tiba
diputuskan oleh teriakan Boe Kie. Celaka! Lebih dahulu membasmi Siauw lim,
kemudian menumpas Boe tong menghadapi bencana besar!
Kita harus segera membantu,
kata Wie It Siauw. Dengan memberi bantuan, kitapun bisa menyelidiki siapa
adanya anjing terkutuk itu.
Saat itu, di depan mata Boe
Kie segera terbayang kecintaan Thay soehoe dan para pamannya. Apa Song Wan
Kiauw dan yang lain-lain sudah kembali ke Boe tong?
Di sepanjang jalan ia tak
pernah menerima berita mengenai gerak-gerik rombongan Boe tong. Kalau rombongan
itu terlambat, maka yang berada di gunung hanyalah Thay soehoe, muridmurid
turunan ketiga dan Sam Soepeh Jie Thay Giam yang cacat. Jika musuh menyerang,
bagaimana mereka bisa melawannya? Mengingat begitu, ia bingung bukan main. Para
Cianpwee dan Heng tiang! katanya dengan suara nyaring. Boe tong adalah tempat
asal dari mendiang ayahku. Sekarang Boe tong menghadapi bencana. Kalau sampai
terjadi sesuatu dikemudian hari, aku sukar menginjak bumi lagi sebagai manusia
terhormat. Menolong orang seperti menolong kebakaran, lebih cepat lebih baik.
Sekarang aku ingin minta Wie Hok-ong mengikuti aku untuk berangkat lebih dulu.
Yang lain bisa menyusul belakangan. Kuminta Yo Cosoe dan Gwa kong sudi
mengepalai rombongan kita. Sehabis berkata begitu, ia menyoja dan dengan sekali
berkelabat, ia sudah berada di luar kuil. Wie It Siauw mengikuti dengan ilmu
ringan badan. Dalam sekejap mereka sudah melewati Lip-soat-teng. Dalam ilmu
ringan badan di kolong langit tak ada orang yang bisa menandingi mereka.
Setibanya di kaki gunung Siong
san, siang sudah berganti malam. Tapi mereka meneruskan perjalanan dan jalan
semalaman suntuk, mereka sudah melalui beberapa ratus li. Kecepatan lari Wie It
Siauw tidak kalah dari Boe Kie, tapi dalam jangka waktu panjang, ia kalah
tenaga dalam. Biar bagaimanapun jua, lama-lama mereka merasa lelah. Untuk
mencapai Boe tong san dengan kecepatan seperti sekarang, harus menggunakan
waktu satu hari satu malam lagi, kata Boe Kie di dalam hati. Manusia yang
terdiri darah dan daging tak akan bisa lari terus menerus. Apalagi dalam
menghadapi musuh kelas berat, kita harus menyimpan tenaga!
Berpikir begitu ia segera
berkata, Wie Hok-ong, setibanya di kota aku ingin membeli dua ekor kuda untuk
dijadikan tunggangan.
Wie It Siauw memang sudah
punya niat itu, tapi ia merasa malu hati untuk membuka mulut. Kauw coe beli
kuda sangat repot, katanya sambil tersenyum. Perlu apa kita membuang-buang
waktu?
Tak lama kemudian dari sebelah
depan datang lima-enam penunggang kuda. Dengan sekali melompat Ceng-ek Hok-ong
sudah mengangkat tubuh dua penunggang kuda yang lalu dilepaskan di tanah dengan
perlahan. Kauw coe, naiklah! serunya. Boe Kie ragu. Perbuatan itu tiada bedanya
dengan merampok.
Kauw coe! teriak Wie It Siauw.
Demi kepentingan urusan besar, kita tidak boleh menghiraukan segala hal remeh.
Beberapa orang itu yang
mengerti sedikit ilmu silat segera menyerang. Dengan tangan memegang les kuda,
Wie It Siauw menendang kian kemari dan beberapa golok terpental. Bangsat! Siapa
kau! bentak salah seorang.
Boe Kie mengerti bahwa jika
orang-orang itu diladeni terlalu lama, Beng-kauw akan mendapat lebih banyak
musuh. Maka itu, ia segera melompat ke punggung seekor kuda dan lalu kabur
bersama-sama Wie It Siauw. Orang-orang itu mencaci tapi mereka tidak berani
mengejar.
Biarpun kita berbuat begini
karena terpaksa, tapi orang-orang itupun mungkin mempunyai urusan yang sangat
penting, kata Boe Kie. Aku sungguh merasa tidak enak. Wie It Siauw tertawa
nyaring. Kauw coe, katanya. Janganlah kau memikirkan urusan yang tiada artinya.
Kalau dulu memang benar kita pernah berbuat seenaknya saja. Sehabis berkata
begitu ia tertawa terbahak-bahak.
Mendengar itu Boe Kie
berpikir, Kalau orang menamakan Beng-kauw sebagai agama yang sesat memang
beralasan juga. Tapi dalam hakekatnya apa yang benar dan apa yang salah tak
gampang disimpulkan dengan begitu saja. Ia ingat bahwa dalam memikul beban Kauw
coe yang sangat berat, ia kurang pengalaman dan pengetahuan sehingga ia sering
ragu untuk mengambil keputusan. Meskipun ia memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi tapi urusan-urusan penting di dalam dunia tak bisa dibereskan dengan
mengandalkan ilmu silat saja. Dengan pikiran kusut, ia larikan tunggangannya.
Ia hanya berharap supaya berhadil dalam usaha menyambut Cia Soen. Agar ia bisa
menyerahkan tanggungan yang berat itu kepada ayah angkatnya.
Berpikir sampai di situ,
tiba-tiba berkelabat bayangan manusia dan dua orang menghadang di tengah jalan.
Boe Kie dan Wie It Siauw
menahan kudanya. Yang mencegat mereka adalah pengemis anggota Kay-pang yang
bersenjata tongkat baja dan menggendong karung.
MInggir! bentak Wie It Siauw
sambil mengedut dan menyabet salah seorang dengan cambuk. Pengemis itu
menangkis dengan tongkatnya, sedang kawannya mengeluarkan siulan nyaring seraya
mengibaskan tangan kirinya. Tunggangan Wie It Siauw kaget dan berjingkrak.
Sesaat itu, dari gombolan pohon-pohon melompat pengemis lain, yang dilihat dari
gerakannya berkepandaian cukup tinggi.
Kauw coe, jalanlah lebih dulu!
seru Ceng-ek Hok-ong. Biar aku yang melayani kawanan tikus ini.
Boe Kie dongkol bukan main.
Pencegatannya itu membuktikan bahwa Boe tong-pay benarbenar menghadapi bencana.
Dengan mengingat bahwa Wie It Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat
tinggi sehingga andaikata ia tidak bisa memperoleh kemenangan sedikitnya ia
masih bisa menyelamatkan diri, maka Boe Kie segera menjepit perut kuda dengan
kedua lututnya dan binatang itu segera lompat menerjang. Dua orang pengemis
mencoba merintangi dengan tongkatnya. Sambil mencondongkan badannya, Boe Kie
menangkap kedua tongkat itu lalu dilemparkan. Hampir bersamaan kedua pengemis
itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan roboh di tanah karena tulang betisnya
patah terpukul tongkatnya sendiri. Boe Kie sebenarnya tidak berniat melukai
orang, tetapi karena melihat empat pengemis yang baru datang dan berkepandaian
tinggi, maka ia terpaksa turun tangan untuk membantu Wie It Siauw.
Meskipun Siong san dan Boe
tong san terletak di dua propinsi yang berlainan, tapi lantaran yang satu
berada di Ho-lam barat dan yang lain berada di Ouw-ak utara, maka jarak antara
kedua gunung itu tak begitu jauh. Sesudah melewati Ma san-kauw, daerah di
sebelah selatan adalah tanah datar sehingga kuda bisa lari lebih cepat.
Kira-kira tengah hari setelah melalui Lweehiang, Boe Kie segera berhenti di
satu pasar untuk membeli makanan guna menahan perut.
Selagi makan ia mendadak
mendengar pekik kesakitan dari kudanya. Ia menengok dan dengan terkejut ia
melihat sebatang pisau tertancap di perut kuda dan berkelabat bayangan manusia
yang coba melarikan diri. Tak salah lagi, binatang itu ditikam orang tersebut.
Dengan beberapa lompatan Boe Kie berhasil membekuk orang itu yang ternyata juga
seorang murid Kay-pang dengna baju berlepotan darah kuda. Dengan gusar Boe Kie
menotok Toa-tiohiatnya supaya ia menderita tiga hari tiga malam lamanya.
Boe Kie menjadi bingung
kudanya mati dan ia tak punya uang lagi. Tapi waktu menggeledah tawanannya ia
mendapatkan seratus tail perak lebih. Kau sudah membunuh kudaku biarlah aku
ambil uang ini sebagai gantinya, katanya. Ia pergi ke pasar dan secara
kebetulan ia bertemu kuda yang sikapnya garang. Sesudah melemparkan seratus tail
perak lebih di tanah, tanpa memperdulikan si pemilik kuda, ia melompat ke
punggung kuda yang lalu dilarikannya sekencang-kencangnya.
Tak lama kemudian ia tiba di
Sam koan-tian, di tepi sungai Han-soei. Sungguh untung di pinggir sungai
kelihatan berlabuh sebuah perahu eretan besar. Sambil menuntun kudanya ia turun
ke perahu dan minta diseberangi.
Selagi perahu melaju di tengah
sungai, di depan mata Boe Kie terbayang kejadian di masa lampau. Ia ingat,
sekembalinya dari Siauw lim sie, waktu lagi menyeberangi Han-soei bersama Thay
soehoe ia bertemu Siang Gie Coe dan kemudian menolong nona Sie Coe. Dengan
pikiran melayang ia mengawasi air sungai yang berombak
Mendadak ia tersadar dari
lamunannya karena perahu bergoyang-goyang. Dengan kaget ia menyadari bahwa
perahu bocor, air menerobos masuk dari sebuah liang. Sebagai orang yang pernah
menghuni pulau Peng-hwee to, ia pandai berenang. Tapi bila perahu tenggelam
perjalanannya jadi terlambat. Ia memutar badan dan melihat si juragan perahu
sedang mau melompat ke dalam air dengan bibir tersungging senyuman mengejek.
Gerakan Boe Kie cepat luar biasa. Dengan sekali melompat, ia sudah menjambret
pakaian orang itu yang lalu ditotok sehingga dia berteriak-teriak. Lekas kayuh!
bentak Boe Kie. Kalau kau mau gila lagi, kusodok kedua biji matamu! Sesudah
mendengar ucapan itu, si juragan perahu tidak berani membantah dan segerah
mengayuh sekuat-kuatnya. Selagi dia mengayuh, Boe Kie merobek ujung bajunya
yang lalu digunakan untuk menyumbat liang kebocoran di dasar perahu.
Sesudah tiba di seberang,
sambil mencengkram dada juragan perahu itu, Boe Kie membentak, Siapa yang suruh
kau mencelakai aku?
Dia ketakutan dan menjawab
dengan suara terputus-putus. Siauw jinsiauw jinKay-pang. Tanpa menunggu
selesainya jawaban, Boe Kie melompat ke punggung kuda yang lalu dilarikan ke
arah selatan.
Cuaca sudah mulai berubah
gelap. Sesudah berjalan kira-kira satu jam lagi, kuda itu berlutut karena
terlalu lelah. Sambil menepuk-nepuk punggung kuda itu, Boe Kie berkata, Kuda
biarlah kau mengaso di sini. Aku perlu segera meneruskan perjalanan. Dengan
menggunakan ilmu ringan badan ia segera berlari sekencang-kencangnya.
Sesudah lewat tengah malam,
selagi enak berlari-lari dengna kecepatan kilat, sayup-sayup ia mendengar suara
kaki kuda yang ramai di sebelah depan. Ia menyusul dan melewati rombongan
penunggang kuda itu. Karena gelap dan gerakannya sangat cepat, rombongan yang
dilewati tidak mendusin. Dilihat dari arahnya, rombongan itu yang terdiri dari
dua puluh orang lebih pasti menuju ke Boe tong san. Mereka terus berjalan tanpa
berbicara sehingga Boe Kie tidak bisa mendapat keterangan apapun jua tapi
lapat-lapat ia melihat bahwa orangorang itu berbekal senjata. Mereka tentu mau
menyerang Boe tong san, pikirnya. Untung juga aku keburu menyusul. Dilihat
begini tong-pay belum diserang.
Berselang setengah jam ia
kembali bertemu dengan serombongan orang yang menuju ke Boe tong san. Kejadian
itu terulang beberapa kali sehingga ia telah menyusul dan melewati tidak kurang
dari lima rombongan orang.
Boe Kie jadi bingung sendiri,
Berapa rombongan yang sudah naik ke atas? tanyanya di dalam hati. Apa mereka
sudah bertempur dengan partaiku? Secara resmi ia sebenarnya belum menjadi murid
Boe tong, tapi karena ayahnya ia selalu menganggap dirinya sebagai seorang
anggota Boe tong-pay.
Dalam bingungnya, ia lari
makin cepat. Ketika tiba di tengah-tengah gunung, di sebelah depan tiba-tiba
terdengar suara bentakan dan teriakan. Dengan mengambil jalan mutar, ia
bersembunyi. Di lain saat ia lihat bayangan hitam yang sedang uber-uberan di
depan, tiga menggenakan baju putih mengejar dari belakang.
Kepala gundul! Perlu apa kau
naik ke Boe tong san? teriak salah seorang yang mengejar Usahamu untuk menyampaikan berita tidak ada
gunanya, sambung yang lain. Hampir bersamaan terdengar suara srrr srrr srrr dan
beberapa senjata rahasia menyambar kea rah orang yang dauber. Di dengar dari
suaranya, orang yang melepaskan senjata rahasia bukan sembarang orang.
Kalau begitu dia sahabat,
pikir Boe Kie. Aku harus mencegat ketiga pengejar itu. Ia melompat dan
menyembunyikan diri di belakang pohon. Di lain saat, orang yang dikejar sudah
lewat di depannya. Orang itu gundul kepalanya, benar seorang hwee-shio. Ia
memegang golok yang warnanya kehitam-hitaman dan larinya terpincang-pincang,
rupanya ia sudah terluka. Tiga pengejarnya mengikuti dengan cepat. Mereka
bersenjata tombak bercagak dan Boe Kie mengenali bahwa mereka itu orang-orang
Kay tapi memakai baju putih yang biasa dipakai oleh anggota Beng-kauw.
Darah boe Kie bergolak, Ayah
sering menceritakan bahwa dahulu di bawah pimpinan Kioe cie Sin kay Ang Cit
Kong, Kay-pang adalah sebuah partai yang dihormati dan disegani dalam Rimba
Persilatan, katanya dalam hati. Siapa nyana sekarang partai itu sudah berubah
tidak keruan.
Sementara itu, si pendeta lari
terus dengan langkah limbung. Kepala gundul, berhenti kau! teriak seorang
pengejar. Siauw lim-pay-mu sudah musnah semuanya. Apa yang bisa diperbuat
olehmu seorang diri? Paling baik kau takluk. Beng-kauw bersedia untuk
mengampuni. Boe Kie jadi makin gusar.
Karena merasa tidak bisa lari
lebih jauh, pendeta itu berhenti memutar badan dan membentak seraya
melintangkan goloknya. Manusia siluman! Aku mau lihat sampai kapan kamu masih
bisa berbuat sewenang-wenang. Sekarang aku mau mengadu jiwa dengan kamu.
Ketika anggota Kay-pang itu
segera mengurung si pendeta dan menyerang secara hebat. Tapi pendeta itu
ternyata berkepandaian cukup tinggi dan melawan dengan gagah. Sesudah bertempur
beberapa lama, sambil membentak keras pendeta itu membacok bagaikan kilat dan
golok mampir tepat di lengan kiri seorang lawannya. Selagi musuh-musuhnya
kaget, ia membabat lagi dan sekali ini berhasil melukai pundak seorang musuh
lainnya. Sesudah dua kawannya luka, yang ketiga buru-buru angkat kaki.
Tanpa mengaso lagi pendeta itu
lalu mendaki gunung secepatnya.
Permusuhan antara Beng-kauw
dan Siauw lim serta Boe tong masih belum selesai dan dengan adanya siasat busuk
ini permusuhan akan menghebat, pikir Boe Kie. Kalau aku tunjukkan muka, urusan
mungkin akan lebih sulit. Paling baik aku menguntit dan bertindak dengan
mengimbangi keadaan. Berpikir begitu, dengan menggunakan ilmu ringan badan, ia
mengikuti di belakang pendeta itu.
Waktu hampir mencapai puncak,
tiba-tiba terdengar di belakang, Sahabat dari mana yang datang berkunjung?
Bentakan itu disusul dengan melompat keluarnya empat orang, dua imam, dua orang
biasa dari belakang batu-batu gunung. Mereka adalah murid-murid turunan ketiga
dan keempat dari Boe tong-pay.
Sambil merangkap kedua
tangannya, pendeta itu menjawab. Kong-siang pendeta Siauw lim, mohon berjumpa
dengan Thio Cin-jin dari Boe tong-pay utnuk suatu urusan yang sangat penting.
Mendengar nama Kong-siang, Boe
Kie agak terkejut. Kedudukan pendeta itu ternyata setingkat dengan ketiga Seng
ceng (pendeta suci) dari Siauw lim sie Hong thio Kong-boen, Kong-tie dan
Kong-seng. Tidak heran kalau ilmu silat begitu tinggi. Dia benar seorang
ksatria, pikir Boe Kie. Tanpa memperdulikan bahaya dan lelah, dia datang ke Boe
tong untuk menyampaikan berita.
Tay soe tentu capai, masuklah
untuk minum secangkir teh, kata salah seorang murid Boe tong.
Selagi berjalan, Kong-siang
menyerahkan goloknya kepada salah seorang too-jin sebagai tanda menghormati
bahwa ia tidak berani masuk ke dalam kuil dengan membawa senjata. Boe Kie
pernah berdiam di Boe tong san. Dengan rasa terharu ia melewati pohon rohon dan
batu-batu yang dikenalnya. Keenam murid Boe tong itu lalu mengajak tamunya
masuk ke dalam Sam ceng tian dan Boe Kie segera bersembunyi di luar jendela
untuk mengamat-amati. Too-tiang, lekaslah memberi laporan kepada Thio Cin-jin,
kata Kong-siang. Urusan ini sangat penting dan tidak boleh ditunda-tunda.
Taysoe datang pada waktu yang
tidak tepat, kata si imam dengan suara menyesal. Tahun yang lalu Soe coe
menutup diri dan sampati sekarang sudah setahun lebih. Kami sendiripun sudah
lama tidak pernah bertemu muka dengan orang tua itu.
Alis Kong-siang berkerut,
Kalau begitu, biarlah aku menemui saja Song Thay-hiap, katanya. Too-jin itu
menggeleng-gelengkan kepala. Toa soe-peh belum pulang, jawabnya. Sebagaimana
Taysoe tahu bahwa Toa soe-peh, Soe hoe dan para Soe siok bersama partai Taysoe
sendiri telah pergi menyerang Beng-kauw. Sampai sekarang mereka belum pulang.
Boe Kie kaget. Ia sekarang tahu bahwa rombongan Boe tong-pay pun belum kembali
dan terdapat kemungkinan besar para pamannya mendapat bencana atau sedikitnya
mendapat halangan di tengah jalan.
Kong-siang menghela nafas,
Dilihat begini Boe tong-pay bakal sama nasibnya dengan Siauw lim-pay dan hari
ini sukar meloloskan diri dari mara bahaya, katanya dengan suara duka. Si imam
yang tidak mengerti maksud pertanyaan itu segera berkata, Segala urusan partai
kami untuk sementara diurus oleh Tong hian soe Soe-heng. Aku bisa melaporkan
padanya. Murid siapa Tong hian Too-tiang? tanya Kong-siang. Paras muka pendeta
itu berubah terang. Biarpun Jie Sam-hiap cacat, ia seorang pandai, katanya.
Biarlah aku bicara dengan Jie Samhiap saja.
Baiklah, aku akan menyampaikan
keinginan Taysoe, kata too-jin itu sambil masuk ke dalam. Dengan roman tidak
sabaran, Kong-siang jalan mondar-mandir dalam ruangan itu. Kadangkadang ia
berhenti dan memasang kuping, kalau-kalau musuh sudah tiba.
Tak lama kemudian too-jin yang
tadi keluar dengan tergesa-gesa, Jie Samsoe siok mengundang Taysoe, katanya
seraya membungkuk. Samsoe siok memohon maaf bahwa ia tidak bisa keluar untuk
menyambut Taysoe. Sikap too-jin itu sekarang lebih banyak manis daripada tadi.
Mungkin sekali, sesudah mendengar bahwa yang datang berkunjung adalah seorang
pendeta Siauw lim dari tingkatan Kong Jie Thay Giam sudah memesan supaya dia
berlaku hormat terhadap tamu itu.
Boe Kie sebenarnya sangat
ingin mengintip dari jendela kamar pamannya, tapi ia segera membatalkan niatnya
itu. Sesudah kaki tangannya lumpuh, kuping dan mata Sam soepeh lebih hebat
daripada manusia biasa, pikirnya.
Kalau kau mendengar di luar
jendela, ia pasti akan mengetahui. Berpikir begitu, ia lalu berdiri di tempat
yang berjarak beberapa tombak dari kamar Jie Thay Giam.
Kira-kira sepeminuman teh
dengan tersipu-sipu si imam keluar dari kamar. Ceng-hong! Benggoat! teriaknya.
Kemari!
Dua too-tong (imam kecil)
menghampiri dengna berlari-lari, Ada apa Soesiok? tanyanya.
Sediakan kursi tandu, Sam
soesiok mau keluar, jawabnya.
Kedua too-tong itu mengiyakan
dan segera berlalu untuk mengambil kursi tandu. Tie-kek Too-jin (imam penyambut
tamu) yang menyambut Kong-siang adalah murid baru dari Jie Lian Cioe. Boe Kie
tidak mengenalnya, karena pada waktu ia berada di Boe tong san imam itu belum
menjadi murid. Tapi ia mengenal Ceng-hong dan Beng-goat. Ia pun tahu bahwa
saban kali Jie Thay Giam mau keluar, paman itu selalu digotong dengan kursi
tandu oleh mereka.
Melihat too-tong itu masuk ke
kamar kursi tandu, ia lantas mengikuti dari belakang. Tiba-tiba ia menegur, Ceng-hong,
Beng-goat, apa kalian masih mengenaliku?
Mereka terkejut dan mengawasi.
Mereka merasa bahwa mereka sudah pernah bertemu dengan orang yang menegur itu
tapi mereka lupa siapa orang itu.
Boe Kie tertawa dan berkata,
Aku Boe Kie, Siauw soesiok-mu! Apa kau lupa? (Siauw soesiok artinya Paman
kecil)
Mereka segera mengenali.
Mereka girang tak kepalang. Aha! Siauw soesiok pulang! seru yang satu. Apa kau
sudah sembuh?
Usia mereka bertiga kira-kira
sepantaran. Dulu waktu Boe Kie di Boe tong san, mereka bersahabat dan sering
bermain bersama-sama, main petak umpet, adu lari, adu jangkrik, tangkap kodok
dan sebagainya. Pertemuan yang tidak diduga-duga tentu saja menggirangkan.
Ceng-hong aku ingin menyamar
sebagai kau dan ingin menggantikan tugasmu menggotong. Apa Sam soepeh kenali
aku atau tidak Ceng-hong ragu,Aku bisa
dimarahi, katanya.
Tak mungkin! kata Boe Kie,
Melihatku pulang dengan sehat, Sam soepeh tentu kegirangan. Mana ia ada waktu
untuk mengusir kau?
Kedua too-tong itu tahu bahwa
semua pemimpin Boe tong-pay dari Couw soe sampai pada Boe tong Cit-hiap sangat
mencintai paman kecil itu. Sekarang mendadak Siauw soesiok itu pulang dalam
keadaan sembuh. Kejadian ini tentu saja kejadian yang sangat menggirangkan.
Maka itu mereka berpikir, Apa halangannya
kalau si paman kecil mau berguyon sedikit untuk menggirangkan hati Jie Thay
Giam yang sedang sakit?
Baiklah Siauw soesiok, kami
menurut saja, kata Beng-goat.
Sambil tertawa ha ha hi hi
Ceng-hong segera membuka pakaian imamnya, sepatu dan kaus kakinya yang lalu
diserahkan kepada Boe Kie. Sementara itu Beng-goat membuat kundai imam di
kepala sang paman. Dalam sekejap seorang kong-coe yang tampan sudah berubah
menjadi seorang too-tong.
Siauw soesiok, tak bisa kau
menyamar sebagai Ceng-hong sebab mukamu sangat berlainan, kata Beng-goat.
Begini saja, kau mengaku sebagai seorang murid baru dan menggantikan Ceng-hong
yang keseleo kakinya. Tapi kau harus mempunyai nama. Nama apa yang baik?
Sesudah berpikir sejenak Boe Kie berkata sambil tertawa, Ceng-hong meniup
daun-daun jatuh. Biarlah aku menggunakan nama Sauw-cap. (Ceng-hong Angin,
Sauw-yan Menyapu daun)
Kedua too-tong itu tertawa
nyaring. Ceng-hong menepuk-nepuk tangan dan berseru, Bagus!...Sungguh bagus
nama itu!
Selagi mereka bersenda gurau,
tiba-tiba terdengar teriakan si too-jin penyambut tamu, Hei, lagi apa kamu?
Mengapa belum juga keluar?
Boe Kie dan Beng-goat
buru-buru memikul kursi tandu dan pergi ke kamar Jie Thay Giam.
Dengan hati-hati mereka
mengangkat Jie Sam-hiap dan merebahkannya di kursi. Pendekar Boe tong itu
kelihatannya diliputi kedukaan dan ia tidak memperhatikan kedua too-tong
tersebut. Pergi ke belakang gunung, ke tempat Couw soeya, katanya.
Mereka segera memikul kursi
tandu itu dan berangkat. Beng-goat berjalan di depan dan Boe Kie di belakang
sehingga Jie Thay Giam hanya melihat punggung Beng-goat. Kong-siang sendiri
berjalan di samping tandu. Karena diminta oleh sang paman, too-jin penyambut
tamu itu tidak ikut.
Thio Sam Hong menutup diri
dalam sebuah gubuk kecil, di hutan bambu di belakang gunung. Tempat itu sunyi
senyap kecuali suara burung dan binatang-binatang kecil tidak terdengar suara
apapun juga.
Setibanya di depan gubuk
Beng-goat dan Boe Kie menghentikan langkah. Baru saja Jie Thay Giam mau
memanggil, dari dalam gubuk mendadak terdengar sang guru, Seng ceng Siauw
lim-pay yang mana yang datang berkunjung? Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat
menyambut dari tempat jauh. Hampir bersamaan pintu bambu terbuka dan Thio Sam
Hong berjalan keluar.
Kong-siang kaget. Bagaimana ia
tahu bahwa yang datang adalah pendeta dari Siauw lim sie? tanyanya di dalam
hati. Ah! Mungkin ia sudah diberitahukan oleh too-jin penyambut tamu itu. Tapi
Jie Thay Giam tahu bahwa berkat ilmunya yang sangat tinggi, dengan hanya
mendengar suara langkah kaki Kong-siang, sang guru sudah bisa menebak partai
dari orang yang sedang mendatangi itu, bahkan bisa menebak juga tinggi
rendahnya kepandaian itu. Tapi kali ini tebakan Thio Sam meleset sedikit. Ia
menduga yang datang adalah salah seorang dari ketiga pendeta suci Siauw lim
sie.
Dilain pihak Lweekang Boe Kie
lebih tinggi banyak dari Kong-siang. Oleh karena itu dia bisa menyembunyikan
gerak-geriknya dari pendengaran Thio Sam Hong, sebab pada hakekatnya seseorang
yang Lweekangnya sudah mencapai tingkat tertinggi bisa berbuat sedemikian rupa
sehingga yang berisi menjadi kong, yang ada menjadi tidak ada.
Dengan jantung memukul keras,
Boe Kie mengawasi paras muka Thay soehoenya. Muka itu tetap bersinar merah tapi
dengan rambut dan jenggotnya yang putih semua, paras itu kelihatan lebih tua
daripada delapan sembilan tahun berselang. Ia girang bercampur terharu dan
tanpa terasa air matanya mengalir keluar. Cepat-cepat ia melengos.
Kong-siang merangkap kedua
tangannya, Kong-siang pendeta Siauw lim sie, menghadap Boe tong Cianpwee Thio
Cin-jin, katanya.
Guru besar itu membalas
hormat, Aku tak berani menerima pujian yang sedemikian tinggi, katanya. Taysoe
tak usah menggunakan banyak peradatan. Masuklah.
Mereka berlima segera
melangkah masuk. Dalam ruangan gubuk hanya terdapat sebuah meja dan di atas
meja sebuah poci teh dan sebuah cangkir. Di lantai tergelar selembar tikar dan
di dinding tergantung sebatang pedang kayu. Hanya itulah, tak ada apa-apa lagi.
Thio Cin-jin, kata Kong-siang
dengan suara berduka. Siauw lim-pay telah mengalami bencana hebat yang belum
pernah dialami selama ribuan tahun. Mo-kauw telah menyerang dengan mendadak.
Semua anggota Siauw lim-pay yang berada di dalam kuil dari Hong thio Kong boe
Soe-heng sampai pada pendeta yang tingkatannya paling rendah, kecuali aku
sendiri tidak ada yang lolos. Mereka binasa atau ditawan musuh. Hanya Siauw
ceng sendiri yang luput dan siang malam Siauw ceng kabur ke sini. Serombongan
Mo-kauw yang berjumlah besar sedang menuju ke Boe tong san. Mati hidupnya Rimba
Persilatan Tiong goan sekarang berada dalam tangan Thio Cin-jin seorang.
Sehabis berkata begiut ia menangis sedih sekali.
Biarpun Thio Sam Hong berilmu
tinggi dan berusia seabad lebih, mendengar laporan itu ia terkesiap. Untuk
sejenak ia mengawasi Kong-siang dengan mulut ternganga. Sesudah ia menentramkan
hatinya lalu ia berkat, Dalam Siauw lim sie banyak orang yang pandai. Bagaimana
kalian sampai mendapat kesukaran begitu besar?
Sebagaimana Thio Cin-jin tahu,
Kong-tie dan Kong-seng, Jie-wie Soe-heng dan para murid Siauw lim sie
bersama-sama lima partai besar telah pergi ke daerah barat untuk menumpas
Mo-kauw, kata Kong-siang.
Entah bagaimana mereka
dikalahkan, mereka tertawan.
Boe Kie terkejut, Siapa musuh
itu? tanyanya dalam hati.
Sesudah berdiam sejenak,
Kong-siang meneruskan penuturannya. Pada saat kami mendapat laporan bahwa
rombongan yang menyerang Mo-kauw telah pulang. Hong thio Kong-boen Soe-heng
sangat girang dan lalu keluar menyambut dan membawa murid Siauw lim sie.
Kong-tie dan Kong-seng
Soe-heng dan yang lainnya lantas saja masuk ke dalam kuil dan selain mereka
juga terdapat kurang lebih seratus tawanan. Waktu itu berada di dalam
perkarangan kuil, Kong-boen Soe-heng lalu menanyakan perihal berhasilnya keenam
partai dalam usaha membasmi Mo-kauw. Kong-tie Soe-heng memberikan jawaban yang
tidak terang. Mendadak Kong-seng Soe-heng berteriak, Soe-heng, awas! Kami semua
telah jatuh ke tangan musuh.
Semua tawanan adalah
musuh!.... Sebelum Hong thio bisa berbuat apa-apa semua tawanan sudah menghunus
pedang dan menyerang. Lantaran gugup dan tak membawa senjata, kami segera
terdesak. Semua pintu sudah ditutup musuh. Suatu pertempuran yang sangat hebat,
kami terbasmi, Kong-seng Soe-heng sendiri binasa. Ia tak bisa meneruskan
perkataannya lalu menangis sesegukan.
Thio Sam Hong sangat berduka,
Sungguh jahat! katanya sambil menghela nafas berulangulang.
Sementara itu Kong-siang
mengambil buntalan yang digendong di punggungnya. Ia lalu membuka buntalan itu
yang di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak, semua orang terkesiap karena
di dalamnya terdapat satu kepala manusia, kepala Kong-seng Taysoe salah seorang
dari Siauw lim Seng ceng!
Dengan bersamaan Thio Sam
Hong, Jie Giam dan Boe Kie mengeluarkan teriakan kaget.
Dengan mati-matian aku berhasil
merebut jenazah Kong-seng Soe-heng, kata Kong-siang dengan air mata bercucuran.
Thio Cin-jin, bagaimana caranya kita harus membalas sakit hati yang besar ini?
Seraya berkata begitu ia berlutut di hadapan Thio Sam Hong. Guru besar itu
membungkuk untuk membalas hormat.
Rasa duka dan gusar mengaduk
dalam dada Boe Kie. Ia ingat bahwa dalam pertempuran di Kong beng-teng
Kong-seng Taysoe telah memperlihatkan ksatriaannya dan sifat-sifatnya yang
agung sehingga ia boleh tak usah malu menjadi seorang guru besar dari Siauw
lim-pay itu. Siapa nyana ksatria telah binasa dalam tangannya manusia-manusia
terkutuk?
Melihat Kong-siang masih
mendekam di lantai sambil menangis, Thio Sam Hong mengangsurkan kedua tangannya
dan mengangkatnya seraya berkata, Kong-siang Soe-heng, Siauw lim dan Boe tong
pada hakekatnya adalah sekeluarga. Sakit hati ini tidak bisa tidak dibalas.
Bersamaan dengan perkataan dibalas mendadak saja Kong-siang mengangkat kedua
telapak tangannya dan menghantam ke punggung Thio Sam Hong!
Itulah kejadian yang takkan
diduga oleh siapapun juga, Thio Sam Hogn seorang guru besar yang berpengalaman
sangat luas. Tapi iapun tak pernah mimpi bahwa seorang pendeta beribadat dari
Siauw lim sie yang mempunyai sakit hati hebat dan dari tempat jauh untuk menyampaikan
kabar penting bisa memukul dirinya. Dalam sedetik, pada saat Kong-siang baru
menyentuh punggungnya, ia bahkan menduga bahwa karena terlalu berduka pendeta
itu jadi was-was dan menganggap ia sebagai seorang musuh. Tapi di detik lain ia
terkesiap.
Pukulan itu adalah Kam kong
Pan jiak ciang dari Siauw lim-pay dan Kong-siang telah menghantam dengan
seluruh tenaganya. Muka pendeta itu pucat bagaikan kertas tapi pada bibirnya
tersungging senyuman mengejek.
Melihat kejadian ini kagetnya
Jie Thay Giam, Boe Kie dan Beng-goat bagaikan disambar halilintar. Mereka
terpaksa dan mengawasi dengan mulut ternganga. Karena cacat, Thay Giam tak
dapat membantu gurunya. Untuk beberapa detik, Boe Kie yang belum berpengalaman
masih belum mendusin bahwa dengan pukulan itu si pendeta mencoba mengambil jiwa
Thay soehoe-nya. Sebelum mereka bergerak, Thio Sam Hong sudah angkat tangan
kirinya dan menepuk batok kepala Kong-siang. Berbarengan dengan suara plak
tepuknya yang kelihatan enteng itu sudah menghancurkan kepala si pendeta yang
segera roboh tanpa bersuara lagi. Dengan latihan hampir seabad, Lweekang guru
besar itu sukar diukur bagaimana tingginya. Meskipun Kong-siang serang dengan
ilmu kelas satu, ia masih tak mampu melawan tepukan yang enteng itu.
Sesudah hilang kagetnya, Jie
Thay Giam teriak, Soehoe! Kau. Ia tak meneruskan perkataannya sebab sang guru
sudah pejamkan kedua matanya dan dari kepalanya keluar uap putih, satu tanda
bahwa guru besar itu sudah mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya.
Beberapa saat kemudian, mendadak Sam Hong membuka mulutnya dan memuntahkan
darah.
Boe Kie kaget bukan kepalang.
Ia sekarang tahu bahwa Thay soehoe menderita luka berat.
Kalau darah itu berwarna ungu
hitam maka dengan mempunyai Lweekang yang tinggi kesehatan guru besar itu aka segera
pulih. Tapi darah yang barusan dimuntahkan adalah darah segar. Ini merupakan
petunjuk bahwa isi perut Sam Hong sudah terluka hebat. Sesaat itu beberapa
ingatan keluar masuk dalam otaknya. Apa yang harus diperbuatnya? Apa sebaiknya
ia segera memperkenalkan diri dan menolong Thay soehoenya?
Sebelum ia bisa mengambil
keputusan, di luar pintu mendadak terdengar suara langkah kaki. Langkah itu
cepat sekali datangnya tapi segera berhenti di luar pintu. Orang itu yang
rupanya sedang kebingungan tak berani membuka suara.
Siapa? Apa Cong-hian? Ada apa?
tanya Thay Giam.
Benar, jawab too-jin penyambut
tamu itu. Melaporkan kepada Sam soesiok bahwa sejumlah besar musuh sudah
berkumpul di luar kuil. Mereka mengenakan seragam Mo-kauw. Mereka mau bertemu
dengan Couw soe Ya ya dan mereka mengeluarkan perkataan-perkataan kotor, mereka
bilang mau injak Boe tong-pay sampai jadi tanah rata.
Diam! bentak Thay Giam. Ia
kuatir gurunya jadi lebih sakit karena laporan itu. Perlahan-lahan Thio Sam
Hong membuka kedua matanya dan berkata dengan suara perlahan. Kim kong Pan jiak
ciang benar-benar hebat. Untuk sembuh aku harus beristirahat tiga bulan
lamanya.
Kalau begitu Thay soehoe
menderita luka lebih berat dari dugaanku, kata Boe Kie di dalam hati.
Dalam serangannya ini, Beng-kauw
pasti sudah membuat persiapan sempurna, kata Sam Hong pula. Hai! Bagaimana
dengan Wan Kiauw Lian Cioe dan yang lain-lain? Thay Giam, apa yang harus kita
perbuat?
Si murid tak menyahut. Ia
mengerti bahwa kecuali sang guru dan ia sendiri, murid-murid Boe tong lainnya,
murid-murid turunan ketiga dan keempat tak akan mampu menahan musuh dan mereka
hanya akan membuang jiwa dengan sia-sia. Maka itu, jalan satu-satunya adalah
mengorbankan jiwa sendiri supaya sang guru bisa menyingkirkan diri untuk mengobati
lukanya, untuk membalas sakit hati di kemudian hari. Berpikir begitu, ia segera
berkata dengan suara nyaring, Cong-hian, beritahukan orang-orang itu bahwa aku
akan segera keluar untuk menemui mereka. Minta mereka tunggu di Sam cong tian.
Baiklah, kata Cong-hian yang
lalu berjalan pergi.
Thio Sam Hong dan Jie Thay
Giam sudah menjadi guru dan murid selama puluhan tahun dan mereka sudah saling
mengenal isi hati masing-masing. Mendengar perkatahan Thay Giam, Sam Hong
segera mengerti maksud si murid. Ia tersenyum-senyum dan berkata, Thay Giam,
hidup atau mati, dihormati dan dihina, adalah soal-soal remeh. Tapi pelajaran
istimewa dari Boe Tong Pay tidak boleh karena itu menjadi putus di tengah
jalan. Dalam menutup diri selama delapan belas bulan, aku telah mendapatkan
intisari dari ilmu silat dan telah mengubah Thay Kek Koen serta Thay Kek Kiam.
Kedua ilmu ini sekarang aku hendak turunkan kepadamu.
Thay Giam tertegun. Sebagai
seorang bercacat, mana bisa ia belajar silat? Disamping itu musuh sudah masuk
ke dalam kuil! Mana ada waktu lagi untuk menurunkan ilmu silat? Suhu katanya
dengan tergugu.
Thio Sam Hongtertawa tawar.
Sedari didirikan, Boe Tong Pay kita telah melakukan banyak perbuatan baik,
sehingga menurut pantas partai kita tidak akan musnah dengan begitu
saja,katanya. Thay Kek Koen dan Thay Kek Kiam yang digubah olehku berlainan
dengan ilmu silat yang pernah dikenal semenjak dahulu. Dasar daripada ilmu ini
ialah: yang tenang menindih yang bergerak, yang bergerak belakangan menguasai
yang duluan. Thay Giam, gurumu sudah berusia lebih dari seratus tahun.
Andaikata hari ini dia tidak bertemu dengan musuh berapa tahun lagi dia bisa
hidup?
Aku merasa girang, bahwa pada
saat-saat terakhir dari penghidupanku aku masih bisa mengubah ilmu silat ini.
Wan Kiauw, Lian Cioe, Siong Kee, Lie Heng dan Seng Kok tidak berada di sini.
Kecuali Ceng Soe, diantara murid-murid turunan ketiga dan keempat tidak
terdapat orang yang berpangkat baik. Tapi Ceng Soe pun tak berada di sini.
Maka itu, Thay Giam, kau
adalah orang satu-satunya yang bisa menerima warisan ini.
Dihormatinya atau dihinanya
Boe Tong Pay, disatu waktu tertentu tidaklah menjadi soal. Soal yang penting
adalah semoga Thay kek Koen dapat diwariskan kepada orang-orang yang hidup di
zaman belakangan. Kalau harapanku ini bisa terwujud, maka Boe Tong Pay pasti
akan bisa hidup abadi selama ribuan tahun, ia mengucapkan kata-kata itu dengan semangat gelora seolah-olah melupakan
rombongan musuh yang sudah menumbuh di luar.
Dengan mata mengembang air, Thay Giam manggut-manggutkan
kepalanya. Ia mengerti maksud sang guru. Ia mengerti, bahwa sang guru
memerintahkan supaya ia menelan segala hinaan, agar ia dapat mewariskan ilmu
silat Boe Tong Pay kepada dunia.
Perlahan-lahan Thio Sam Hong
berdiri. Kedua tangannya diturunkan belakang tangannya menghadap ke luar,
jari-jarinya ditekuk sedikit dan kedua kakinya dipentang. Sesudah itu, dengan
perlahan ia mengankat kedua lengannya. Di depan dada, lengan kiri ditekuk,
telapak tangan menghadapi muka, sehingga merupakan Im Ciang. Hampir berbareng,
telapak tangan kanannya dibalik menjadi Yan Ciang. Inilah permulaan Thay Kek
Koen.
Katanya. Sesudah itu, sejurus
demi sejurus, ia mulai bersilat sambil menyebutkan nama-nama setiap pukulan
Lang Ciak Pwee, Tan Pian, Tee Chioe Siang Sit, Pek Ho Liang Cie, Siowsit Youw
Pwee, Cioe Hwie Pee, Cin Po Pan Lan Toei, Jie Hong Sit Pit, Po Houw Kwie Shoa,
Cap Jie Chioe. Dengan sepenuh perhatian Boe Kie mengawas saban pukulan.
Semula ia menduga Thay Suhu
sengaja perlambat gerakannya, supaya Jie Thay Giam bisa melihat dengan tegas.
Pada jurus ketujuh yaitu, Cioe Hwee Pie Pee, dengan Yang Ciang pada tangan kiri
dan Im Ciang pada tangan kanan dan dengan mengawasi tangan kirinya Thio Sam
Hongmendorong telapak tangannya dengan perlahan. Dorongan itu kelihatannya
berat seperti gunung, tapi juga enteng bagaikan bulu burung.
Tiba-tiba Boe Kie mendusin.
Ah! Inilah yang dinamakan perlahan mengalahkan yang cepat, yang tenang
menguasai yang bergerak! katanya di dalam hati. Aku taknyana dalam dunia
terdapat ilmu silat yang begitu lihaI. Ia memang sudah memiliki ilmu silat
tinggi. Begitu dapat menangkap intisari Thay Kek Koen, perhatiannnya jadi lebih
besar.
Thio Sam Hongbersilat terus
dengan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan yang merupakan lingkaran dan setiap
jurus mengandung perubahan Im Yang dari Thay Kek Sit. Ilmu silat itu digubah
dari kitab Ya Keng dari tiongkok purba dan berbeda dengan ilmu silat Tat Mo
CouwSoe. Biarpun belum tentu menang, ilmu itu sedikitnya tidak usah kalah dari
pelajaran Tat Mo.
Kira-kira semakanan nasi Thio
Sam Hongselesai dan lalu berdiri tegak. Sesudah itu ia memberi pelajaran
tentang pukulan-pukulan yang tadi diperlihatkannya.
Jie Thay Giam mendengar tanpa
membuka mulut. Ia tahu, bahwa waktu sudah mendesak dan ia tak keburu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan lagi. Banyak yang tidak dimengerti olehnya dan hanya
diingat saja dalam otaknya. Andaikata sampai terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan atas diri sang guru, ia bisa mengajar Kouw Koat (toori) itu kepada
orang lain, supaya di hari kemudian seseorang yang cerdas dan berbakat bisa
memecahkan artinya yang dalam.
Dilain pihak, Boe Kie berhasil
menyelami hampir seluruh pelajaran itu. Kouw Kaot dan caracara latihan Kian
Koen Tay Lo Ie berbeda dengan thay Kek Koen, tapi pada hakekatnya, dasar kedua
ilmu silat itu adalah sama. Kedua-duanya berdasarkan meminjam tenaga untuk
memukul tenaga. Maka itulah, setiap jurus dan penjelasan Thio Sam Hongdapat
ditangkap olehnya.
Melihat paras bimbang pada
muka muridnya. Thio Sam Hongbertanya, Thay Giam, berapa bagian yang dapat
dimengerti olehmu?
Murid berotak tumpul, hanya mengerti tiga
empat bagian, jawabnya. Tapi murid sudah menghafal semua jurus dan Koaw Koat
yang diberikan Suhu.
Aku banyak menyusahkan kau,
kata pula sang Guru. Kalau Wan Kiauw berada di sini, ia pasti dia, bisa
menangkap lima bagian dari pelajaran ini. Hai! Diantara murid-muridku, Ngo
Soetee-mu yang berotak paling cerdas, hanya sayang, siang-siang ia sudah
meninggal dunia. Jika ia masih hidup, dibawah pimpinanku dalam lima tahun ia
tentu sudah bisa mewarisi seantero pelajaran ini.
Mendengar mendiang ayahnya
disebut-sebut, jantung Boe Kie memukul keras.
Sesudah berdiam sejenak, Thio
Sam Hongberkata pula: Nah sekarang perhatikan ini. Tenaga pukulan kelihatannya
enteng, tapi tidak enteng, agaknya sudah dikerahkan, tapi belum dikerahkan,
seolah-olah putus, tapi sebenarnya belum putus..
Ia berhenti karena dari Sam
Ceng Tian tiba-tiba terdengar teriakan. kalau Thio Sam Hongbersembunyi terus,
lebih dahulu kita binasakan murid-murid dan cucu-cucu muridnya!
Boe! menyambung seorang lain.
Bakar saja kuil ini!
Mampus dibakar terlalu enak
untuk dia, kata orang ketiga sambil tertawa, nyaring. Kita harus tangkap dia,
belenggu kaki tangannya, arak dia ke pusat berbagai partai, supaya semua orang
bisa lihat macamnya gunung Thay San dan Bintang Pak Tauw dari dunia persilatan.
Jarak antara gubuk di belakang
gunung itu dan Sam Ceng Tiang kira-kira satu li, tapi suara mereka terdengar
tegas sekali, sehingga dapat dilihat, bahwa musuh sengaja memperlihatkan
Lweekang mereka dan memang juga, tenaga dalam itu harus diakui kelihatannya.
Mendengar cacian itu, tak
kepalang gusarnya Jie Thay Giam, sehingga kedua matanya seolaholah mengeluarkan
api.
Thay Giam, kata sang guru, apa
kau sudah lupa pesanku? Jika kau tidak bisa menelan hinaan, cara bagaiman akau
bisa memikul tanggung jawab yang sangat berat itu?
Benar, kata si murid sambil
menundukkan kepala.
Kau bercacat dan musuh tentu
tak akan turunkan tangan jahat atas dirimu. Kata pula Thio Sam Hong. Sekali
lagi aku meminta supaya kau menahan napsu amarah. Manakala kau tidak bisa
menyebar pelajaranku kepada turunan yang belakangan, maka aku menjadi seorang
yang berdosa dari partai kita.
Thay Giam mengeluarkan
keringat dingin. Ia mengerti maksud gurunya. Demi kepentingan Boe Tong Pay, ia
diperintah menelan segala hinaan.
Sesudah berkata begitu Thio
Sam Hongmengeluarkan sepasang Loo Han besi dari sakunya dan menyerahkannya
kepada si murid. Menurut katanya Kong Siang, Siauw Lim Pay sudah termusnah,
katanya. Entah benar, entah dusta, kita tak tahu. Tapi bahwa seorang tokoh
Siauw Lim Pay seperti dia menaklukkan kepada musuh dan kemudian membokong aku,
dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa Siauw Lim Pay benar sudah mendapat
bencana. Pada kirakira seratus tahun yang lalu, Kwee Siang Lie Hiap telah
menghadiahkan sepasang Loo Han ini kepadaku. Dihari kemudian serahkan kepadaku
ahli waris Siauw Lim Pay. Aku berharap bahwa dengan bantuan sepasang Loo Han
ini, sebagian ilmu silat Siauw Lim Sie akan dapat mempertahankan! Sesudah
memberi keterangan, sambil mengipaskan tangan jubah, ia bertindak keluar pintu.
Mari kita ikut, kata Thay
Giam, Boe Kie dan Beng Goat lantas saja memikul kursi tandu dan mengikuti di
belakang guru besar itu.
Setibanya di Sam Ceng Tian,
mereka mendapat kenyataan, bahwa di ruangan itu sudah penuh dengan manusia yang
berjumlah kurang lebih tiga ratus orang, Thio Sam Honghanya mengangguk dan
tidak mengeluarkan sepatah kata. Inilah guruku, Thio Cin Jin, kata Jie Thay
Giam dengan suara nyaring. Perlu apa kalian naik ke Boe Tong San?
Semua mata ditujukan kepada
Thio Sam Hong, tokoh tertua dalam rimba persilatan yang namanya menggetarkan
seluruh dunia. Guru besar itu mengenakan jubah hitam warna abu, rambut dan
jenggotnya putih laksana perak, sedang badannya tinggi besar.
Sedang semua orang mengawasi
Thio Sam Hong, Boe Kie menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia mendapat
kenyataan, bahwa separuh dari orang-orang itu memakai seragam Beng Kauw dan
berapa belas orang, yang rupa-rupanya juga jadi pemimpin, mengenakan pakaian
biasa.
Sekonyong-konyong di luar
pintu terdengar teriakan Kauw Coe tiba.
Ruangan Sam Ceng Tian lantas
saja berubah sunyi. Belasan pemimpin itu dengan tergesagesa keluar menyambut,
diikuti oleh yang lain dan dalam sekejab beberapa ratus orang sudah keluar dari
Sam Ceng Tian.
Tak lama kemudian, orang-orang
itu kembali tapi mereka tidak lantas masuk dan berhenti di luar pintu. Boe Kie
melongok keluar dan tiba-tiba saja ia terkesiap, karena ia lihat delapan orang
memikul sebuah joki indah yang dikawal oleh enam tujuh orang dan delapan tukang
pikul itu bukan lain dari Sin Cian Pat Hiong. Cepat-cepat ia mengusap debu
lantai dengan kedua tangannya. Melihat begitu, Beng Goat geli bercampur takut,
ia menduga bahwa perbuatan Boe Kie terdorong oleh perasaan takut. Dalam
bingungnya, iapun segera memoles debu pada mukanya sehingga di lain saat kedua
Too Tong itu sudah berobah menjadi badut wayang.
Joli diturunkan tirai
disingkap dan dari dalam joli, keluar seorang Kong Coe tampan yang menikam
jubah panjang warna putih dengan sulaman obor kemerah-merahan pada tangan
bajunya. Ia itu bukan lain daripada Tio Beng.
Dengan diiring oleh belasan
pemimpin rombongan, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, si nona bertindak
masuk. Seorang pria yang bertubuh jangkung itu maju lebih dulu dan kemudian
berkata sambil membungkuk. Melaporkan pada Kauw Coe, yang itu Thio Sam Hong,
yang itu yang bercacat, Jie Thay Giam, murid ketiga dari Boe Tong Pay.
Tio Beng manggut-manggutkan
kepala. Ia maju beberapa tindak menutup kipasnya dan lalu menyoja seraya
membungkuk. Boan Seng Thio Boe Kie pemimpin Beng Kauw! katanya.
Boan Seng bersyukur, bahwa
hari ini bisa bertemu dengan Gunung Thay san dari rimba persilatan.
Boe Kie kaget dan gusar. Di
dalam hati, ia mencaci wanita itu yang sudah menyamar sebagai dirinya dan
menipu Thay Suhu.
Mendengar nama Thio Boe Kie,
Thio Sam Hongheran, Mengapa namanya bersamaan dengan nama anak Thio Boe Kie?
Tanyanya di dalam hati. Ia membalas hormat dan menjawab, Sebab tak tahu Kauw
Coe dari tempat jauh. Untuk kelainan itu kuharap Kauw coe suka memaafkan.
Bagus, bagus! kata si nona.
Dengan diikuti oleh seorang
Too Tong bagian depan Tie Kek Toojin menyuguhkan the. Tio Beng duduk di kursi
seorang diri. Orang-orang bawahannya berdiri jauh-jauh dengan sikap hormat.
Sebagai seorang yang sudah
memiliki usia seabad lebih dan memiliki ilmu yang sangat tinggi, Thio Sam
Hongmempunyai ketenangan luar biasa dan tak menghiraukan lagi segala apa yang
bersifat keduniawian. Akan tetapi, ikatan antara guru dan murid adalah
sedemikian erat, sehingga dalam ketenangannya, guru besar itu masih memikirkan
keselamatan muridmuridnya.
Dengan tidak mengimbangi
tenaganya yang sangat kecil, beberapa murid Lao Too telah pergi ke tempat Thio
Kauw Coe untuk meminta pelajaran, katanya.
Sampai kini mereka belum
pulang. Apakah Thio Kauw Coe sudi memberi sedikit keterangan? Tio Beng tertawa,
Song Tay Hiap, Jie Tay Hiap, Thio Sie Hiap, dan Boh Cit Hiap sudah berada dalam
tangan Beng Kauw.
Mereka mendapat luka enteng
karena totokan dan sama sekali tidak membahayakan jiwa mereka.
Luka totokan mungkin berarti
luka kena racun, kata Thio Sam Hong.
Tio Beng tersenyum. Thio Cin
Jin kelihatannya sangat mengagulkan kepandaian Boe Tong Pay, katanya. Kalau
Thio Cin Jin menduga kena racun, biarlah kita anggap mereka kena racun.
Thio Sam Hongmengenal
kepandaian murid-muridnya. Mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu pada zaman
itu. Andaikata benar, karena berjumlah kecil mereka tak dapat melawan musuh
yang jumlahnya besar. Biar bagaimanapun jua mesti ada beberapa orang yang bisa
meloloskan diri untuk menyampaikan berita. Jika tidak menggunakan racun, musuh
tak mungkin bisa merobohkan atau menangkap mereka semua.
Mendengar jitunya tebakan guru
besar itu, Tio Beng pun tak mau membantah.
Dimana adanya muridku yang she
In? tanya pula Thio Sam Hong.
Si nona menghela napas, In
Liok Hiap telah dibokong oleh orang-orang Siauw Lim Pay dan keadaannya
bersamaan dengan Jie Sam Hiap, jawabnya. Tulang kaki tangannya dihancurkan
dengan Kim Kong Cie sehingga biarpun tidak binasa, ia sudah menjadi seorang
bercacat yang tidak dapat bergerak pula.
Paras muka Thio Sam Hongjadi
lebih pucat. Ia tahu, Tio Beng tidak berdusta. Tiba-tiba ia memuntahkan darah.
Orang-orang itu yang berdiri
di belakang si nona kelihatan bergirang sebab muntah darah itu sebagai bukti
bahwa Kong Siang sudah berhasil dalam bokongannya. Lawan paling berat sudah
terluka berat dan mereka boleh tak usah takut lagi.
Dengan setulus hati aku ingin
memberi nasehat, hanya aku tak tahu apakah Thio Cin Jin suka mendengarnya, kata
Tio Beng.
Kauw Coe boleh bicara.
Selebur bumi di kolong langit
ini adalah milik kaisar, keangkeran kaisar Mongol kami meliputi empat lautan.
Jika Thio Cin Jin suka menakluk kepada kaisar Hong Siang tentu akan memberi
anugerah dan Boe Tong Pay akan menikmati zaman gilang gemilang. Disamping itu
Song Tay Hiap dan yang lain-lainpun bisa segera pulang dengan selamat.
Thio Sam Hongmendongak dan
mengawasi genteng. Sesudah itu, perlahan-lahan ia berkata dengan suara dingin.
Walaupun Beng Kauw banyak melakukan perbuatan yang tidak patut, semenjak dahulu
agama itu menentang penjajah Goan. Lagi kapan Beng Kauw menakluk kepada
kerajaan? Lao Too belum pernah mendengar kejadian itu.
Meninggalkan tempat gelap dan
pergi ke tempat terang adalah perbuatan seorang gagah sejati, kata Tio Beng.
Siauw Boen dan Kong Tie Seng Ceng sampai pada pendeta yang berkedudukan paling
rendah sudah menunjuk kesetiaannya kepada kerajaan. Tindakan kami adalah demi
kepentingan negara dan mengikuti tindakan segenap orang gagah di seluruh rimba
persilatan. Apa hal itu mengharapkan Thio Cin Jin.
Kedua mata Thio Sam
Hongberkeredepan bagaikan kilat dan sorot matanya yang setajam pisau mengawasi
muka si nona. Orang Goan kejam dan banyak mencelakai rakyat, katanya dengan
suara gemetar. Diwaktu ini, segenap orang gagah di kolong langit bangkit
serentak untuk mengusir penjajah dan merampas pulang sungai dan gunung kita. Di
dalam hati setiap anak cucu Oey Tee terdapat tekad untuk mengusir Tat Coe. Tindakan
inilah yang bisa dinamakan sebagai tindakan demi kepentingan negara. Biarpun
hanya seorang pertapaan, .mengenal juga peribudi luhur. Kong Boen dan Kong Tie
adalah pendeta-pendeta suci. Manabisa mereka ditundukkan dengan kekerasan?
Nona, mengapa kau bicara begitu sembarangan?
Mendadak seorang pria tinggi
besar yang berdiri di belakang Tio Beng melompat ke luar dan membentak. Bangsat
tua, jangan kau menggoyang lidah seenaknya saja! Boe Tong Pay sedang menghadapi
kemusnahan. Kau sendiri tidak takut mati, tapi apakah ratusan imam yang berada
di kuil inI juga tak takut mati? Ia bicara dengan suara yang disertai Lweekang
dan sikapnya garang sekali.
Mendengar cacian itu, Thio Sam
Hongberkata dengan suara tawar. Semenjak dahulu, manusia mana yang tak pernah
mati, aku menggunakan kesetian untuk mencatat kitab sejarah. Katakata itu
adalah sajak gubahan Boe Thian Siang yang sangat dikagumi Thio Sam Hong.
Selama hidup sering kali ia
rasa menyesal, bahwa waktu Boe Thian Siang menghadapi kebinasaan, ia tidak bisa
menolong sebab ilmu silatnya belum cukup tinggi. Sekarang dalam menghadapi
kematiannya sendiri tanpa merasa ia menyebutkan sajak itu. Sesudah berdiam
sejenak, ia menambahkan, Sebenarnya Boe Sin Siang pun terlalu kukuh. Aku hanya
ingin bersetia terhadap nusa dan bangsa. Aku tak perduli apa yang akan ditulis
dalam kitab sejarah, ia lirik Jie Thay Giam dan berkata di dalam hati, aku
hanya mengharap agar Thay Kek Koen bisa diwariskan kepada orang-orang yang
hidup di zaman belakangan. Tapi hai! Jika aku mengharap begitu, bukankah akupun
memikirkan soal sesudah aku meninggal dunia?
Bukankah sikapku jadi
bersamaan dengan sikap Boe Sin Siang? Hai, perduli apa bisa diwariskan atau
tidak! Perduli apa mati hidupnya mati Boe Tong Pay!
Tiba-tiba Tio Beng mengibaskan
tangan kirinya dan pria tinggi besar itu lantas saja mundur sambil membungkuk.
Si nona tersenyum dan berkata, Thio Cin Jin ternyata seorang kukuh, biarlah
untuk sementara kita tidak bicara lagi. Mari! Semua ikut aku! seraya berkata
begitu, ia berbangkit.
Hampir berbareng empat orang
yang tadi berdiri di belakang Tio Beng, melompat dan mengurung Thio Sam Hong.
Keempat orang itu ialah si pria tinggi besar, seorang yang mengenakan dandanan
pakaian pengemis, seorang hwesio kurus dan seorang wanita setengah tua. Dilihat
gerak-geriknya mereka semua ahli silat kelas utama.
Boe Kie kaget, Darimana Tio
KouwNio mendapat orang yang begitu lihai? tanyanya di dalam hati.
Keadaan sudah mendesak! Kalau
Thio Sam Hongtidak mengikut, keempat orang itu pasti akan menggunakan
kekerasan.
Jumlah musuh sangat besar dan
mereka semua kawanan manusia tidak mengenal malu, tidak dapat dibandingkan
dengan enam partai yang mengurung Kong Beng Teng, pikir Boe Kie. Biarpun aku
dapat merobohkan beberapa orang, yang lain pasti dan akan mengerubuti. Sangat
sukar untuk aku melindungi Thay Suhu dan Sam Supeh. Tapi keadaan sudah jadi
begini, Sudahlah! Jalan satu-satunya ialah mengadu jiwa.
Tapi baru saja ia mau
menerjang, di luar pintu mendadak terdengar suara tertawa yang sangat nyaring,
disusul dengan berkelabatnya masuknya satu bayangan hijau.
Gerakan orang itu cepat luar
biasa, laksana angin, bagaikan kilat. Begitu berkelebat masuk, ia sudah berada
di belakang si pria tinggi besar juga cukup lihai. Tanpa memutar badan, ia
menangkis dengan sepenuh tenaga. Tapi orang itu sudah keburu menarik
pukulan-pukulannya dan dengan berbereng tangan kirinya menepuk pundak wanita
setengah tua. Wanita itu berkelit seraya menendang, tapi ia menendang angin,
karena orang itu sudah melompat ke samping dan menghantam si pendeta. Dalam
sekejab ia sudah mengirim empat pukulan kepada empat jago itu. Biar semua
pukulan gagal, kecepatan gerakan itu sungguh menakjubkan. Keempat jago itu
mengerti, bahwa mereka sedang menghadapi lawan berat.
Dengan serentak mereka melompat
mundur untuk melakukan serangan teratur.
Tanpa menghiraukan gerakan
musuhnya, orang yang mengenakan pakaian hijau itu sudah menghampiri Thio Sam
Hong dan sambil membungkuk, ia berkata boanpwee Wie It Siauw, orang sebawahan
Thio Kauw Coe dari Beng Kauw memberi hormat kepada Thio Cin Jin! orang itu,
memang bukan lain daripada Wie It Siauw yang sesudah berhasil mengelakkan
musuh, buru-buru menyusul Boe Kie. Mendengar perkataan, orang sebawahan Thio
Kauw Coe dari Beng Kauw, Thio Sam Hong semula menganggap, bahwa ia adalah kaki
tangan Tio Beng dan serangannya terhadap keempat jago itu hanya berpura-pura.
Maka itu, ia lantas saja
berkata dengan suara tawar Wie Sian Seng tak usah menggunakan banyak peradatan.
Sudah lama kudengar bahwa Ceng
Ek Hok Ong memiliki ilmu ringan badan yang sangat luar biasa. Hari ini baru aku
tahu, bahwa pujian itu bukan pujian kosong!
Wie It Siauw girang, Thio Cin
Jin adalah gunung Thay san dari rimba persilatan, katanya. Pujian Thio Cin Jin
sungguh-sungguh membikin terang muka Boanpwee, sehabis berkata begitu, ia
memutar tubuh dan membentak sambil menuding Tio Beng.
Tio Kouw Nio! Perlu apa kau merusak nama
baiknya Beng Kauw? Kalau kau laki-laki sejati, mengapa kau menggunakan tipu
yang begitu busuk?
Si Nona tertawa geli, aku memang
bukan laki-laki, jawabnya. kalau aku menggunakan tipu busuk, kau mau apa?
Ceng Ek Hok Ong tertegun. Ia
insyaf bahwa ia sudah salah omong. Sesudah kagetnya hilang, ia berkata dengan
sungguh-sungguh. siapa sebenarnya kamu semua, lebih dahulu menyerang Siauw Lim,
kemudian membokong Boe Tong. Kalau kamu hanya bermusuhan dengan Siauw Lim dan
Boe Tong, Beng Kauw tak perlu campur. Tapi kamu menyuruh sebagai orang-orang
Beng Kauw, aku Wie It Siauw tidak bisa tidak campur tangan!
Thio Sam Hongmemang tidak begitu
percaya, bahwa Beng Kauw yang sudah berseteru dengan kerajaan Goan selama
hampir seratus tahun bisa gampang menekuk lutut.
Mendengar perkataan dari Wie
It Siauw, ia berkata di dalam hati. Walaupun Mo Kauw mempunyai nama tak baik,
tapi dalam soal penting para anggotanya ternyata bisa berpendirian secara tegas
sekali.
Sementara itu, Tio Beng sudah
berpaling kepada si pria tinggi besar dan berkata, Dengarlah, suaranya besar
sungguhan! Coba kau jajal-jajal kepandaiannya.
Baik, jawabnya. Sesudah mengencangkan
pinggang, ia segera bertindak ke tengah ruangan, Wie Hok Ong, katanya, aku
meminta pelajaran dari Han Peng Bian Cang-mu!
Wie It Siauw terkejut,
bagaimana dia tahu aku memiliki Han Peng Bian Ciang? tanyanya di dalam hati.
Sesudah tahu aku memiliki ilmu itu, dia masih berani menantang. Dia pasti bukan
lawan yang enteng. Sambil memikir begitu, ia bertanya, Bolehkah aku mendapat
tahu nama tuan?
Sesudah datang menyamar
orang-orang Beng Kauw, apa mungkin kuperkenalkan namaku yang sejati? kata orang
itu. "Wie Hok Ong, pertanyaanmu sungguh tolol!
Wie It Siauw tertawa dingin.
Benar, pertanyaanku pertanyaan tolol, katanya dengan suara mendongkol. Mengapa
juga, setelah rela menjadi anjingnya kaisar Goan dan bersedia menghamba kepada
orang asing, terlebih baik tuan tak memperkenalkan nama sendiri.
Dengan demikian sedikitnya kau
merusak nama leluhurmu.
Didamprat begitu, si tinggi
besar jadi malu juga dan karena malu ia jadi gusar. Sambil membentak keras, ia
menghantam dada Wie It Siauw.
Wie Hok Ong melompat ke
samping, disusul dengan lompatan kedua di belakang lawannya sambil mengirim
satu totokan. Sebab ingin menjajal isi orang itu totokan ini bukan totokan Han
Peng Bian Cian. Orang itu mengegos lalu balas menyerang. Sesudah bertempur
beberapa jurus, Wie It Siauw merasa heran lantaran ia merasai sambaran angin
panas dalam pukulanpukulan lawan. Tiba-tiba ia terkejut karena melihat kedua
telapak tangan orang itu merah bagaikan darah. Apa itu Coe See Cit Cat Siang?
tanyanya di dalam hati.
Ilmu itu sudah lama hilang
dari rimba persilatan, Siapa dia? Bagaimana dia bisa memiliki ilmu yang luar
biasa itu?
Kini Ceng Ek Hok Ong berkelahi
dengan hati-hati. Luka di dalam tubuhnya baru saja sembuh dan sekarang
menghadapi musuh yang berat. Ia segera menggosok kedua telapak tangannya dan
mulai bersilat dengan ilmu Han Peng Bian ciang.
Tak lama kemudian, jalam
pertempuran berubah dari cepat menjadi perlahan karena mereka mulai menguji
tenaga dalam. Sekonyong-konyong dari mulut pintu gerbang masuk serupa benda
yang sangat besar dan menyambar ke tubuh si tinggi besar. Benda itu jauh lebih
besar daripada karung beras. Semua orang kaget, senjata apa itu?
Si tinggi besar terkejut dan
dengan sepenuh tenaga, ia menghantam benda tersebut, yang lantas saja benda itu
terpental setombak lebih, dibarengi dengan teriakan manusia yang menyayat hati.
Ternyata benda itu sebuah karung dan di dalam karung terdapat manusia. Dipukul
dengan Coe See Cit sat ciang, orang itu telah hancur tulangnya.
Si tinggi besar tertegun.
Mendadak ia menggigil karena pada saat itu ia tidak berwaspada, Wie It Siauw
melompat ke belakangnya menotok Toa Toei Hoatnya, di bagian punggung dengan Han
Peng Bian Ciang. Dibokong begitu, ia jadi kalap. Sambil memutar tubuh, ia
menghantam batok kepala Wie It Siauw dengan telapak tangannya.
Nyali Ceng Ek Hok Ong
benar-benar besar. Ia tertawa terbahak-bahak dan berdiri tegak, tidak berkelit
atau menangkis. Si tinggi besar ternyata sudah habis tenaganya. Telapak
tangannya tepat mampir di batok kepala Wie It Siauw, tetapi Wie Hok Ong hanya
seperti diusap-usap.
Melihat gilanya Wie It Siauw,
semua orang menggeleng-gelengkan kepala. Kalau si tinggi besar mempunyai ilmu
untuk bertahan terhadap pukulan Han Peng Bian Ciang, bukankah ia akan mati
konyol? Tapi memang adat Wie Hok Ong yang otak-otakan itu. Makin besar bahaya
yang dihadapi, ia makin gembira. Ia menganggap bokongannya sebagai perbuatan
yang kurang bagus, maka itu ia memasang kepalanya untuk menebus dosa.
Sementara itu si tokoh Kay
Pang (Partai pengemis) sudah membuka karung itu dan mengeluarkan sesosok tubuh
manusia yang berlumuran darah dan yang sudah mati karena pukulan Coe See Cit
Sat Ciang. Mayat itu yang berpakaian compang-camping adalah mayat seorang
pengemis. Entah mengapa dia berada di dalam karung dan menemui ajal secara
mengenaskan.
Tak kepalang gusarnya si tokoh
Kay Pang. Dengan mata merah, dia berteriak, Bangsaat Ia tidak dapat meneruskan
caciannya, sebab pada detik itu, selembar karung menyambar dan mau menelungkup
dirinya. Cepat-cepat ia melompat mundur.
Di lain saat, seorang pendeta
gemuk sudah berdiri di tengah ruangan sambil tertawa haha hihi.
Dia bukan lain daripada Poet
Tay Hweeshio Swee Poet Tek! Sesudah karung Kian Koen It Khie Tay dipecahkan Boe
Kie, ia tak punya senjata yang tepat dan terpaksa membuat beberapa karung biasa
sebagai gantinya. Meskipun ilmu mengentengkan tubuhnya tidak selihai Wie It
Siauw, tapi karena tidak menemui rintangan, ia sudah tiba di Boe Tong San pada
saat yang tepat.
Ia menghampir Thio Sam Hongdan
sambil membungkukkan, ia memperkenalkan diri, Yoe Heng Sian Jin Poet Tay
Hweeshio Swee Poet Tek, orang sebawahan Thio Kauwcoe dari Beng Kauw, memberi
hormat kepada Boe Tong Ciang Kauw Couw Soe Thio Cin Jin.
Guru besar itu membalas hormat
dan berkata sambil tersenyum. Tay Soe banyak capai. Terima kasih atas
kunjunganmu.
Thio Cin Jin, kata pula Swee
Poet Tek dengan suara lantang. Kong Beng Soe Cia, Peh Bie Kie Peh Bie Eng Ong,
empat Sian Jin, lima Kie Soe, berbagai pasukan dari agama kami sudah mendaki
Boe Tong San untuk menghajar kawanan manusia yang tak kenal malu itu, yang
sudah menggunakan nama kami.
Boe Kie dan Wie It Siauw
tertawa geli di dalam hati. Hebat sungguh ngibulnya Poet Tay Hweeshio. Tapi Tio
Beng kaget dan berkuatir. Ia kira benar para pemimpin Beng Kauw sudah tiba dengan
seluruh barisan. Cara bagaimana mereka bisa datang begitu cepat? Siapa yang
membocorkan rahasia? tanyanya dalam hati.
Karena bingung, tanpa merasa
ia bertanya, mana Thio Kauw Coe mu? Suruh dia menemui aku.
Thio Kauw Coe sudah memasang
jaring untuk menjaring kamu semua, jawab Swee Poet Tek.
Orang yang berkedudukan begitu
mulia mana boleh sembarangan menemui manusia seperti kau. Sambil berkata
begitu, ia saling melirik dengan Wie It Siauw dengan sorot mata menanya.
Melihat datangnya bantuan,
tidak kepalang girangnya Boe Kie.
Tio Beng tertawa dingin. Yang
satu kelelawar berabun, yang lain hweesio bau hawa di sini sungguh tidak sedap.
Katanya.