Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 31
Jilid 26
Si nenek bersenyum,
"Bagus ! Bagus!", katanya: "Kau sungguh seorang anak yang
baik?"
"Popo, mengapa kau tidak
menuang air perak kedalam kupingku?" tanya si bocah dengan berani:
"Mengapa kau tidak memaksa aku menelan jarum? Huh huh ! Dulu, waktu masih
kecil, aku sudah tak takut segala siksaan. Apalagi sekarang?"
Kim hoa Popo tertawa
terbahak-bahak. "Kau sudah besar anak, memang kau sudah besar,"
katanya. "Ha ha ha...ho ho ho ..."Sehabis tertawa, ia batuk-batuk,
banyak lebih hebat dari biasanya, sehingga si nona cilik menumbuk-numbuk
punggungnya dan memberikan sebutir yowan kepada nya.
Sesudah berhenti batuk-batuk,
perlahan-lahan si nenek meletakan cekalannya, pada pergelangan tangan Boe Kie
yang bekas dicekal terpeta tapak jari tangan yang berwarna ungu-hitam.
Si nona cilik melirik Boe Kin
seraya berkata "Lekas menghatur terima kasih kepada Popo yang sudah
mengampuni jiwamu."
Boe Kie mengeluarkan suara
dihidung. "Kalau segera dibunuh, mungkin sekali aku lebih senang,"
katanya. "Perlu apa menghaturkan terima kasih?"
Alis si nona berkerut.
"Kau terlalu kepala batu." katanya. "Sudahlah! Aku tak akan
memperdulikan kau lagi." Ia memutar badan, tapi diam-diam ia melirik Boe
Kie lagi.
Si nenek bersenyum. "A
lee," katanya, "dipulau kita, kau seorang diri, tak punya kawan. Apa
tidak baik kalau kita bawa dia kesana, supaya dia bisa menemani kau? Hanya
adatnya tidak begitu bagus."
Si nona yang dipanggil
"A-lee" menepuk-nepuk tangan dan berkata dengan girang. "Bagus
kita bawa dia kesana. Kalau dia membandel, bukankah Popo bisa mencari jalan
untuk menaklukinya?"
Mendengar pembicaraan itu, Boe
Kie jadi bingung.
Si nenek manggut-manggutkan
kepalanya seraya berkata. "Kau ikut aku. Lebih dulu kita cari seorang dan
aku ingin melakukan suatu pekerjaan. Sesudah itu, kita pulang ke pulau Leng coa
to."
"Tidak! Kamu bukan orang
baik-baik." kata Boe Kie dengan gusar.
Si nenek bersenyum. "Kau
sungguh goblok," katanya, "Di pulau kami, kau bisa mendapatkan apapun
jua. Makanan yang lezat, tempat bermain, pemandangan indah yang belum pernah
dilihat oleh mu. Anak baik, sudahlah, kau jangan rewel dan ikutlah Popo."
Tiba-tiba Boe hie memutar
badan dan terus lari. Tapi baru dua tiga tindak, si nenek sudah menghadang
didepannya. "Nak, kau tak akan bisa melarikan diri." katanya dengan
suara lemah lembut. "Ikutilah aku baik-baik, jangan sampai di paksa."
Boe Kie melompat dan kabur
kejurusan lain tapi seperti juga tadi, baru setindak dua, Kim Hoa Popo sudah
mencegat pula. Dengan gusar Boe Kie meninju. Si nenek mengegos sambil meniup
tinja yang menyambar. Di tiup begitu, Boe Kie merasa tangannya seperti disayat
pisau.
Sekonyong-konyong terdengar
teriakan nyaring. "Boe Kie Koko !" Suara itu ialah suara Yo Poet Hwie
yang muncul dari dalam hutan sambil berlari-lari, diikuti oleh ibunya dari
belakang.
Melihat Kim Hoa Popo, paras
muka Siauw Hoe lantas raja berubah pucat. Tapi dengan memberanikan hati, ia
berkata dengan suara gemetar: "Popo, kau tidak akan mencelakakan anak-anak
kecil bukan ?"
Si nenek mendelik. "Kau
masih belum mati?" tanyanya dengan suara dingin, "Jangan campur
campur urusanku. Mari... Mari... Aku mau lihat, mengapa kau belum mati."
Siauw Hoe sebenarnya berhati
tabah. Tapi dalam menghadapi lawan berat dan karena memikirkan keselamatan
puterinya, ia sungkan menerjang bahaya.
Maka itu, seraya menarik
tangan puterinya, ia mundur setindak. "Boe Kie kemari," katanya
dengan suara perlahan.
Baru saja Boe Kie mau
bergerak, si nona cilik sudah menjambret lengannya dan menyengkeram jalan darah
Sam yang hiat, sehingga separoh badannya tidak dapat berkutik lagi,
"Diam!" bentak gadis kecil itu.
Boe Kie kaget, gusar dan
heran," Celaka" ia mengeluh. "Ilmu apa yang digunakan perempuan
kecil ini ?"
Sekonyong-konyong terdengar
suara yang nyaring dan tajam. "Siauw Hoe, mengapa nyalimu begitu kecil ?
Mau mendekati, dekatilah!"
Siauw Hoe kaget bercampur
girang, "Soehoe!" teriaknya, tapi tidak mendapat jawaban. Sesaat
kemudian, disebelah kejauhan muncul seorang nio kouw (pendeta perempuan) yang
mengenakan jubah pertapaan warna abu-abu dan mendatangi dengan tindakan
perlahan. Pendeta itu bukan lain dari pada Ciang boenjin Go bie pay, dan di
belakang mengikuti dua orang murid.
Bahwa dari tempat yang begitu
jauh, ia bisa melihat begitu tegas dan bisa mengirim suara yang begitu nyaring
merupakan bukti dari kelihayan pendata tersebut. Biat coat Soethay, yang
namanya dikenal oleh semua jago Rimba Persilatan, bukan saja jarang turun
gunung, tapi juga jarang menemui manusia. Kalau ia masih menolak untuk menemui
seorang berilmu seperti Thio Sam Hong lain tak usah dibicarakan lagi.
Sesudah datang dekat, in
ternyata berusia setengah tua, kurang lebih empat puluh lima tahun sedang paras
mukanya dapat dikatakan elok hanya sayang kedua alisnya terlalu turun kebawah
sehingga muka yang cantik itu agak menyerupai muka setan Tiauw sie kwi (setan
penggantungan) diatas panggung wayang.
Siauw Hoe menyambut dengan
berlutut seraya berkata. "Soehoe, apa kau baik ?"
"Belum mampus dirongrong
olehmu," jawabnya.
Siauw Hoe tidak berani bangun.
Mendengar suara tertawa dingin dari Teng Bin Koen yang berdiri dibelakang
gurunya, ia segera mengetahui, bahwa kakak seperguruannya itu sudah bicara
banyak tentang dirinya dihadapan sang guru. Jantungnya memukul keras dan
keringat dingin keluar dari dahinya.
"Nenek itu telah
memanggil kau untuk melihat mengapa kau belum mati," kata Biat coat Soe
thay. "Pergilah, dekati dia!"
"Baik.. " kata si
murid yang lalu bangun berdiri dan menghampiri si nenek. "Kim Hoa
Popo," katanya. "Guruku sudah datang. Jangan kau berlaku galak
lagi."
Kim hoa Popo batuk-batuk. Ia
melirik Biat coat Soethay dan manggut-manggukkan kepalanya. "Hm! Kau Ciang
boenjin Go bie pay," katanya. "Benar, aku sudah memukul muridmu.
Habis, mau apa kau ?"
"Bagus," jawabnya.
"Mau pukul, boleh pukul lagi. Biarpun dia mati, tak ada sangkut pautnya
denganku."
Hati Siauw Hoe seperti disayat
pisau, "Soehoe!" teriaknya dengan suara parau, sedang air matanya
mulai mengucur.
Biat coat Soethay biasanya
dikenal sebagai seorang yang selalu mengeloni muridnya, meskipun murid itu
berbuat kesalahan. Sekarang, dengan mengeluarkan perkataan itu terang-terangan
ia mengunjuk, bahwa ia sudah tidak menganggap Siauw Hoe sebagai muridnya lagi.
"Dengan Go bie pay aku
tidak mempunyai permusuhan." kata Kim hoa Popo. "Sesudah memukul
sekali, cukuplah. A-lee, mari kita pergi !"
Sehabis betkata begitu,
perlahan-lahan ia memutar badan.
Melihat cara-cara si nenek
yang dianggapnya kurang ajar, Teng Bin Koen yang belum mengenal kelihayan Kim
hoa Popo, lantas saja naik darah.
Dengan sekali melompat, ia
sudah menghadang dihadapan nenek itu, "Tak tahu adat!" bentaknya.
"Apa kau mau pergi dengan begitu saja, tanpa mengeluarkan sepatah
perkataan sopan?" Seraya barkata begitu, ia mencekal gagang pedang dan
sikapnya galak sekali.
Tangan si nenek bergerak dan
dengan dua jeriji, dia memijit sarung pedang Teng Bin Koen. "Kau mengancam
orang dengan besi rongsokkan!" Katanya sambil tertawa.
Teng Bin Kaoen jadi lebih
gusar dan lalu menarik pedangnya, tapi heran sungguh, pedang itu tak dapat
dihunus.
A lee tertawa geli. "Besi
rosokan sudah berkarat," katanya.
Teng Bin koen coba mencabut
lagi dangan menambah tenaga, tapi pedang itu tetap melekat pada sarungnya. Ia
tak tahu, bahwa karena dipijit, sarung pedang pecah dan melesak kedatam, sehingga
badan pedang tergencet keras.
Paras muka Teng Bin koen
lantas saja berubah merah. Ia merasa jengah dan tak tahu harus berbuat apa.
Biat coat Soethay maju setindak dengan tiga jari tangan, ia menjepit gagang
pedang dan sekali menyentak, sarung itu pecah dan pedangnya terhunus keluar.
"Pedang ini memang bukan senjata mustika, tapi juga bukan besi
rongsokan," katanya dengan suara mendongkol. "Kim hoa Popo, mengapa
kau tidak berdiam di pulau Leng coa to dan menyateroni wilayah Tiong goan?"
Melihat kepandaian nie kouw,
si nenek terkejut. "Pendeta itu besar namanya dan ternyata ia memang
memiliki kepandaian tinggi," katanya didalam hati. "Baiklah aku coba
menjajal ilmunya."
Ia lantas saja berkata sambil
tertawa: "Suami ku sudah meninggal dunia dan di pulau kami, aku merasa
sangat kesepian. Maka itu, aku pergi pesiar, kalau-kalau ada seorang hweeshio
atau toesoe yang cocok untuk dijadikan kawan" dengan berkata begitu
menyebut hweeshio dan toesoe, ia mengejek Biat coat. Ia seolah-olah mau
mengatakan, bahwa sebagai seorang pendeta perempuan, Biat coat Soethay tidak
pantas berkelana diluaran.
Paras muka nie kouw itu, yang
beradat keras dan tidak pernah guyon-guyog, lantas saja berubah. Kedua alisnya
makin turun kebawah. Sambil mengibas pedang, ia membentak : "Keluarkan
senjatamu!"
Semenjak berguru, murid-murid
Goe bie belum pernah melihat guru mereka bertempur. Antara ketiga murid itu,
adalah Kie Siauw Hoe yang sangat berkuatir akan keselamatan sang guru, karena
ia sudah menyaksikan kelihayan Kim hoa Popo.
Sementara itu, Boe Kie, yang
lengannya dicekal A-lee, sudah coba meronta seraya membentak: "Lepaskan!
Perlu apa kau pegang aku?" A lee melirik Kie Siauw Hoe yang kelihatannya
ingin bergerak untuk memberi pertolongan. Ia melepas cekalannya dan berkata:
"Diam disini. Aku mau lihat apa kau bisa lari."
Mendengar tantangan, Kim Hoa
Popo tertawa: "Dulu, ilmu pedang Kwee Siang, Kwee Liehiap, leluhur Goe bie
pay, memang telah menggetarkan dunia persilatan," katanya. "Tapi
sesudah turun kepada murid dan cucu muridnya, berapa bagian yang masih
ketinggalan?"
"Biarpun hanya
ketinggalan sebagian, tapi sudah cukup untuk menyapu bersih segala kawanan
siluman," jawab Biat coat dengan mendongkol.
Untuk sejenak si nenek
mengawasi ujung pedang dan mendadak ia menotol badan pedang lawan dengan
tongkatnya. Tentu saja Biat coat tidak mempermisikan pedangnya ditotol begitu
rupa. Sekali bergerak, ia sudah menikam pundak si nenek, yang sambil
batuk-batut, lantas saja menyapu dengan tongkatnya. Seraya menarik pulang
senjatanya, Biat coat melompat dan bagaikan kilat, ia sudah berada dibelakang
Kim Hoa Popo. Sebelum kakinya hinggap ditanah, pedangnya sudah menyambar, tapi
si-nenek sendiri, tanpa memutar badan, sudah berhasil menangkis dengan
tongkatnya.
Kedua wanita itu adalah jago jago
kelas utama dalam Rimba Persilatan. Baru saja bergebrak tiga empat jurus,
mereka mengetahui, bahwa hari itu mereka mendapat lawan setanding.
Sekonyong-konyong terdengat suara "trang!" dan pedang Biat coat patah
dua. Semua orang, kecuali A-lee, terkesiap. Mereka memandang rendah tongkat si
nenek, sehingga mereka menduga, bahwa patahnya pedang adalah akibat Lweekang
Kim hoa Popo yang sangat tinggi. Tapi si-nenek dan si-pendeta sama-sama tahu
bahwa patahnya pedang itu bukan lantaran keunggulan Lweekang, tapi sebab luar
biasanya tongkat itu yang terbuat daripada San ouw kim, hasil laut diperairan
pulau Leng coa to.
San-ouw-kim adalah semacam
logam istimewa yang merupakan campuran dari beberapa macam logam dan batu
karang, sesudah berada didalam air berlaksa tahun lamanya, logam itu keras dan
berat luar biasa, sehingga bisa memutuskan baja dan menghancur leburkan batu.
Karena mengetahui, bahwa
patahnya pedang bukan sebab lawannya kalah, maka sebagai seorang yang
berkedudukan tinggi, Kim Hoa Popo tidak mendesak. Sambil batuk-batuk, ia
menuggu. Di lain pihak, sebab kuatir guru mereka terluka. Kie Siauw Hoe dan
kedua saudari seperguruannya buru-buru mendekati Biat coat Soethay.
Sementara itu, Ah lee dan Boe
Kie sudah bertengkar lagi. Si nona cilik yang sangat nakal tiba tiba mencekal
pula peegelangan tangan Boe Kie. "Lihatlah, kau tidak akan bisa terlepas
dari tanganku." katanya.
Begitu pergelangan tangannya
tercekal. Boe Kie kembali merasa separuh badannya lemas. Ia bingung dan gusar
dan lalu coba menendang. A lee mencekal lebih keras sambil mengerahkan Lwee
kang, sehingga kaki Boe Kie tidak bisa diangkat tinggi. "Lepas! Mau lepas
tidak?" teriaknya.
"Tidak! Mau apa
kau?" jawab si nona. Mendadak Boe Kie menunduk dan lalu menggigit tangan A
lee.
"Aduh!" teriak si
nona yang terpaksa melepaskan cengkeramannya, tapi tangan kirinya lalu
menyambar muka si bocah. Boe Kie coba melompat mundur, tapi tidak keburu lagi
dan mukanya sudah tercakar. Dilain pihak, tangan A lee mengeluarkan darah
akibat gigitan.
Kim Hoa Popo tidak
menghiraukan kedua anak yang sedang bertengkar itu. Dalam menghadapi lawan
berat, ia tak dapat memecah perhatiannya. Dilain saat, sambil melemparkan
potongan pedang, Biat coat Soethay berkata "Pedang itu pedang muridku dan
ternyata tidak cukup kuat untuk menahan seranganmu." Seraya berkata
begitu, ia membuka sebuah kantong yang tergantung dipudaknya dan mengeluarkan
sebatang pedang tua yang panjangnya empat kaki. Sebelum dihunus, dari sarung
pedang sudah terlihat sehelai sinar hijau sehingga dapat diduga, bahwa senjata
itu senjata luar biasa.
Kim Hoa Popo melirik dan
melihat, bahwa pada sarung pedang itu terdapat dua huruf emas huruf kuno yang
berbunyi: "Ie thian". Ia terkesiap dan berseru tanpa merasa: "Ie
thian kiam!"
Biat coat mengangguk.
"Benar, inilah Ie thian kiam!" katanya.
Sesaat itu, dalam otak si
nenek berkelebat kata-kata yang sudah lama tersiar didalam Rimba Persilatan:
"Boe lim cie coen, po-to-to-liong, hauw leng thia hee, boh kam poet ciong
ie thian
"Sambutlah!" bentak
Biat coat seraya menotol dada si nenek dengan sarung pedang. Ia menyerang tanpa
menghunus ie thian kiam. Kim ho Popo menangkis dengan tongkatnya. Begitu kedua
senjata kebentrok, terdengarlah suara "brt!" dan.. loh! tongkat San
ouw kiam putus jadi dua potong!
Si nenek kaget tidak kepalang.
Sebelum dihunus, Ie thian kiam sudah begitu hebat! Ia mengawasi senjata lawan
dan berkata dengan suara perlahan: "Biat coat Soethay, bolehkah aku
melihat mata pedang itu?"
"Tidak bisa!"
jawabnya dengan suara yang menyeramkan. "Begitu terhunus, pedang tidak
boleh dimasukkan kedalam sarungnya lagi sebelum minum darah!"
Untuk beberapa saat, tanpa
mengeluarkan sepatah kata, kedua jago betina itu saling mengawasi. Dalam
beberapa jurus tadi, mereka sudah mengadu Lweekang yang telah dilatih sela
puluhan tahun. Si nenek tahu bahwa tenaga dalam Biat coat masih kalah setingkat
dari Lweekangnya, tapi cetek dalamnya ilmu pedang pendeta itu masih belum dapat
diukur olehnya. Tapivsebagal pemimpin Go bie pay, ia tentu memiliki kepandaian
luar biasa dan ditambah dengan Ie thian kiam, ia sungguh bukan lawan yang
enteng. Memikir begitu, sambil batuk-batuk ia memutar badan dan lalu berjalan
pergi seraya menuntun tangan si nona cilik.
Ketiga murid Go bie pay tak
tahu, bahwa pedang guru mereka adalah Ie thian kiam yang sudah lama menghilang
dari Rimba Persilatan. Mereka hanya merasa girang, bahwa guru mereka sudah
memperoleh kemenangan. "Soehoe," kata Teng Bin Koen, "Nenek itu
tidak bisa melihat gunung Thaysan dan sudah berani bertempur melawan Soehoe.
Sekarang dia baru tahu kelihayan Soehoe."
Biat coat mengawasi murid itu
yang coba mengumpaknya. "Di kemudian hari, begitu lekas mendengar suara
batuk-batuknya, kamu mesti lekas lekas menyingkir." katanya dengan suara
sungguh. Ia mengatakan begitu sebab meskipun berhasil memutuskan senjata lawan,
ia tahu bahwa Lweekang nenek itu lebih unggul dari pada tenaga dalamnya. Tadi,
waktu ia menotol dengan sarung pedsang, ia menyertai juga dengan tenaga Go bie
kioe yang kang yang sudah dilatihnya selama tiga puluh tahun. Tapi tenaga yang
hebat itu seperti amblas di dalam lautan dan tubuh si nenek sedikit run tidak
bergeming.
Sesaat kemudian, dengan paras
muka yang sangat menyeramkan Biat coat berkata. "Siauw Hoe kemari!"
Ia berjalan kegubuk Ouw Ceng Goe dengan diikuti oleh ketiga muridnya.
"Ibu!" teriak Yo
Poet Hwie sambil mengudak ibunya.
Siauw Hoe mengerti, bahwa
kedatangan gutunya adalah untuk "membersihkan" rumah perguruan dan
meskipun ia sangat disayang, kali ini ia tidak bisa terlolos dari hukuman. Maka
itu, dengan suara membujuk ia segera berkata kepada puterinya "Tidak
boleh, kau tidak boleh masuk. Kau pergilah bermain."
Boe Kie mengawasi masuknya
Biat coat kedalam rumah Ceng Gor sambil berkata didalam hati: "Perempuan
she Teng itu sangat jahat dan dia pasti akan coba mencelakakan Kie Kouwkouw.
Peristiwa dimalam itu telah disaksikan olehku dan pihak yang bersalah adalah
siperempuan she Teng. Biarlah, kalau dia bicara yang tidak-tidak aku akan maju
untuk membela Kie Kouwkouw." Memikir begitu ia lantas saja bersembunyi
dibelakang rumah.
Untuk beberapa saat keadaan
sunyi-sunyi saja. Akhirnya terdengar suara Biat coat. "Siauw Hoe, kau
ceritakanlah."
"Soehoo... aku... aku...
"
"Bin Koen, coba kau
ajukan pertanyaan," memerintah sang guru.
"Soe moay, dalam partai kita,
apakah bunyinya larangan ketiga ?" tanya Bin Koen.
"Dilarang berjina,"
jawabnya.
"Benar.. Larangan
keenam?"
"Dilarang berpihak kepada
orang luar dan mengkhianati rumah perguruan sendiri."
"Apa hukumannya jika
orang melanggar larangan itu?"
Siauw Hoe tidak menjawab. Ia
menengok kepada gurunya dan berkata. "Soehoe, dalam hal ini ada sesuatu
yang sukar dikatakan olehku."
"Disini tak ada orang
luar, kau bicaralah terus terang," kata Biat coat.
Siauw Hoe mengerti, bahwa ia
sedang menghadapi kebinasaan den sekarang ia tak dapat menyembunyikan apapun
jua. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Soehoe, pada enam tahun berselang,
Soe Hoe telah memerintahkan kami, delapan orang saudara seperguruan turun
tangan untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Cia Soen. Pada suatu hari,
teecoe (murid) tiba di Tay soe po. Ditengah jalan, teecoe bertemu dengan
seorang pria setengah tua, usianya kira-kira empat puluh tahun yang mengenakan
baju putih. Dia selalu menguntit toecoe. Teecoe menginap dirumah penginapan, dia
turut menginap disitu, teecoe makan dia makan, teecoe jalan, ia turut jalan.
Semula teecoe tidak menghiraukannya, tapi belakangan, karena merasa tak tahan,
teecoe lalu menegurnya. Tapi dia menjawab seperti orang otak miring. Sebab
gusar, teecoe menghunus pedang lalu menikamnya. Dia tidak membawa senjata,
tetapi diluar dugaanku, ilmu silatnya amat tinggi dan dalam dua tiga jurus, dia
sudah merampas senjata teecoe."
"Dengan bingung, teecoe
kabur dan diapun tidak mengejar. Pada keesokan paginya, waktu mendusin dari
tidur dalam sebuah kamar penginapan, dengan kaget dan heran, teecoe mendapat
kenyataan bahwa pedang teecoe menggeletak disamping bantal kepala. Ketika
teecoe meninggalkan rumah penginapan itu, orang itu mengikuti lagi. Teecoe
mengerti, bahwa teecoe tidak dapat menggunakan kekerasan dan lalu menegurnya
dengam kata-kata yang tajam. Teecoe mengatakan, bahwa dia harus mengenal
kesopanan dan bahwa partai Go bie pay bukan partai yang boleh dibuat permainan.
Biat coat manggut-manggutkan
kepalanya, seperti juga ia menyetujui perkataan murid itu.
Sesudah berdiam sejenak, Siauw
Hoe melanjut kan penuturannya. "Orang-orang itu tertawa tawa dan berkata:
"Ilmu silat seorang yang sudah terpecah menjadi partai ini dan partai itu,
dengan sendirinya sudah merosot. Kalau nona suka mengikuti aku, aku akan
memperlihatkan bahwa dalam ilmu silat masih terdapat lain dunia yang berbeda
dengan dunia mu."
Biat coat Soethay adalah
seorang yang sempit pandangannya. Seumur hidup ia mempelajari ilmu silat dengan
mengasingkan diri sehingga pengetahuannya mengenai dunia luar sangat terbatas.
Mendengar keterangan Siauw Hoe, ia lantas saja merasa ketarik dan berkata.
"Kalau begitu kau boleh coba mengikuti dia dan coba menyelidiki ilmu apa
yang dimilikinya."
Paras muka si murid berubah
merah. "Soehoe, dia seorang yang belum dikenal, bagaimana teecoe bisa
mengikutinya ?"
"Aha! Kau benar!"
kata sang guru, "Kau segera usir dia bukan?"
"Dengan rupa-rupa jalan
teecoe coba menyingkirkan diri, tapi selalu tidak berhasil," jawabnya
"Akhirnya teecoe tertawan..... Teecoe bernasib sial sehingga bertemu
dengan musuh penitisan yang lampau ..... " Berkata sampai disitu, suaranya
makin perlahan.
"Habis bagaimana?"
mendesak Biat coat.
"Teecoe tidak bisa
melawan dan kehormatan teecoe telah dirusak olehnya," Jawabnya dengan
suara hampir tidak kedengaran. "Ia menilik tee coe dengan sangat keras,
sehingga percobaan teecoe untuk bunuh diri selalu gagal. Beberapa bulan
kemudian, seorang musuhnya menyatroni dan dengan menggunakan kesempatan itu,
teecoe baru
bisa kabur. Teecoe hamil, tapi
tidak berani memberitahukan Soehoe dan belakangan teecoe melahirkan seorang
anak perempuan dengan diam diam."
"Apa kautidak
berjusta?" tanya sang guru dengan bengis.
"Biarpun mesti mati
berlaksa kali, teecoe tak akan berani berjusta " jawabnya.
Untuk beberapa lama Biat coat
menundukkan kepala. Akhirnya ia berkata. "Kasihan! Siauw Hoe, kau sangat
tidak beruntung. Dalam hal ini, bukan kau yang bersalah."
Mendengar perkataan sang guru,
Teng Koen sangat mendongkol. Ia mendapat lain bukti, bahwa sang guru sangat
menyayang adik seperguruan itu. Dengan sorot mata membenci ia melirik Siauw
Hoe.
Sesudah menghela napas Biat
coat bertanya. "Sekarang bagaimana pikiranmu? Apa yang mau dilakukan
olehmu ?"
Air mata Siauw Hoe mengucur
deras. "Atas kemauan ayah, teecoe telah ditunangkan dengan In Liok ya dari
Boe tong pay," jawahnya dengan suara parau. "Sesudah kejadian itu,
pernikahan tak akan dapat dilangsungkan lagi. Teecoe hanya ingin memohon
permisi Soehoe supaya teecoe boleh mencukur rambut untuk menjadi pendeta."
Sang guru menggelengkan
kepala. "Itupun bukan jalan yang sempurna," jawabnya. "Siapa
namanya lelaki itu ?"
Siauw Hoe menunduk dan
menjawab dengan suara perlahan. "Dia she Yo, namanya Siauw"
Mendadak, mendadak saja, Biat
coat mencelat dari kursinya, dengan jubahnya dikibarkan, sehingga meja
terlempar.
Boe Kie terkesiap, sedang
ketiga murid Go bie pay itupun tak kurang kaget nya.
"Yo Siauw!" teriak
Biat coat Soethay, "Apakah dia Yo Siauw, si raja siluman dari agama Beng
Kauw, yang menamakan diri sebagai Kong beng Soe cia ?" (Kong beng Soe cia
- Utusan Terang benderang)
"Dia... dia memang orang
Beng kauw," jawab Siauw Hoe dengan suara gemetar. "Dia..... dia
kelihatannya ....... mempunyai.... mempunyai kedudukan tinggi dalam agama
itu."
Muka Biat coat merah padam.
"Dimana dia?" bentaknya pula, "Aku mau cari dia!"
"Menurut keterangannya,
dia bertempat tinggai dipuncak Co bong hong dipegunungan Koen loen san,"
jawabnya, "Tempat tinggalnya itu hanya di beritahukan kepada teecoe
seorang. Tiada orang lain yang mengetahuinya. Soehoe, apa dia musuh partai
kita?"
"HMm!" Biat coat
mengeluarkan suara dihidung, "Bukan hanya musuh besar dari partai kita,
Toa soepehmu, Kouw hung Coen cia dan pentolan Koen loen pay, Yoe liong coe,
mati karena memedi Yo Siauw."
Siauw Hoe ketakutan, tapi
dalam rasa, takut itu berecampur dengan rasa bangga. Kouw bong Coe cia dan Yoe
liong coe adalah jago-jago Bu lim yang namanya tersohor, Tapi mereka mati
karena "dia".
Murid murid Go bie mengetahui,
bahwa guru mereka dan Toasoepeh Kouw bong Coen cia adalah dua murid terutama
dari sang Soe Couw, tapi mereka tak tahu, bahwa diwaktu muda, kedua orang itu
saling mencinta dan sesudah Kouw bong Coe cia meninggal dunia, barulah Biat
coat mencukur rambut.
Biat coat mendongak mengawasi
langit dan mulutnya mencaci. "Bangsat Yo Siauw...... sekarang kau jatuh
juga kedalam tanganku!" Tiba-tiba ia putar tubuh seraya berkata.
"Baiklah! Kau mempunyai banyak kedosaan: menyerahkan diri kepadanya dan melindungi
Pheng Hweeshio, berdosa terhadap kakak seperguruan, menjustai guru, diam-diam
memelihara anak. Itu semua bisa diampuni olehku. Sekarang aku ingin
memerintahkan kau melakukan sesuatu tugas. Sesudah berhasil, kau boleh kembali
ke Go bie san dan aku akan mengangkat kau sebagai ahli waris, mewariskan Ie
thian kiam kepadamu dan kemudian hari kau akan menjadi Ciang boenjin dari
partai kita!"
Semua orang kaget, lebih lebih
Teng Bin Koen Yang lantas saja timbul rasa jelusnya dan menganggap bahwa sang
guru sangat memilih kasih.
"Biarpun mesti masuk
kedalam lautan api, teecoe tak akan menolak perintah Soehoe," kata Siauw
Hoe. "Tapi karena sudah bercacad, teecoe tidak berani memikir untuk
menjadi seorang ahli waris."
"Ikut aku!" kata
sang guru seraya menarik tangan Siauw Hoe dan bertindak keluar. Mereka mendaki
sebuah tanjakan dan berhenti diatas sebidang tanah rumput.
Boe Kie tidak mengerti apa
maunya pendeta itu. Dengan berdiri ditempat tinggi sesudah mengawasi keempat
panjuru, barulah Biat coat menarik tangan Siauw Hoe dan bicara dikuping
muridnya ini. Apa yang dikatakannya tentu saja rahasia besar, sehingga kedua
orang muridnya yang lain tidak diperbolehkan turut mendengar.
Dengan mata tidak berkesip,
Boe Kie terus mengawasi mereka. Sesudah menundukkan kepala beberapa lama, Siauw
Hoe kelihatan menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan sikap yang pasti.
Boe Kie mengerti bahwa sang bibi telah menolak perintah Biat coat. Sesaat
kemudian, si pendeta mengangkat tangan kirinya, tapi tangan itu berhenti
diudara dan ia bicara lagi rupanya sedang coba membujuk pula. Jantung Boe Kie
memukul keras. Siauw Hoe kelihatan berlutut dan kepalanya tetap
digeleng-gelengkan. Tiba-tiba tangan Biat coat turun menghantam batok kepala
muridnya, yang lantas saja roboh terguling. Hati Boe Kie mencelos... bukan main
rasa dukanya.
Sekonyong-konyong terdengar
suara tertawa nyaring, suara Yo Poet Hwie yang menubruk punggung Boe Kie.
"Aha! Sekarang aku berhasil menangkap kau!" teriak si cilik.
Dengan cepat Boe Kie mencekal
tangan si nona dan menutup mulutnya. "Sst! Jangan ribut," bisiknya.
Melihat muka sang kakak yang pucat pasi, si nona jadi kaget dan ketakutan.
Biat coat kembali kerumah Ceng
Goe dengan cepat sekali. "Bin Koen, binasakan anak haram itu," ia
memerintah. "Jangan tinggalkan bibit penyakit."
Sesudah adik seperguruannya
dihukum, biarpun hatinya senang, Bin Koen merasa agak takut. Mendengar perintah
itu, ia segera berjalan pergi untuk mencari Poet Hwie.
Sambil memeluk si none, Boe
Kie menyembunyikan diri diantara rumput alang-alang yang tinggi. Dengan
berbisik ia minta supaya Poet Hwi jangan bersuara dan menyerahkan segala apa
kepada putusan Tuhan. Untung juga, sesudah mencari cari beberapa lama, Bin Koen
tidak ingat kepada rumput tinggi yang bisa digunakan sebagai tempat bersembunyi.
Baru saja ia mau menyelidiki terlebih teliti, gurunya sudah mencaci:
"Manusia goblok! Anak kecil saja kau tak mampu cari."
Murid Biat coat yang satunya
lagi, Pwee Kim Gie namanya, mempunyai hubungan baik dengan Siauw Hoe. Melihat
kekejaman sang guru ia merasa sangat tak tega. Maka itu, ia lantas saja
berkata: "Soehoe, tadi kulihat anak itu lari keluar selat." Ia tahu,
bahwa jika diberitahukan begitu, sang guru, yang beradat sabaran, tentu tidak
mau berabe untuk mencari terlebih jauh. Ia merasa, bahwa sebagai anak yatim
piatu yang baru berusia lima enam tahun, Poet Hwie belum tentu bisa hidup
terus. Tapi biar bagaimana jua, mati lapar atau mati diterkam binatang buas ada
lebih baik daripada mati ditikam Teng Bin Koen.
"Mangapa kau tidak
beritahukan sedari tadi?" tanya Biat coat dengan mendongkol. Dengan
menggunakan ilmu ringan badan, ia segera berlari-lari keluar selat, dengan
diikuti oleh kedua muridnya. Poet Hwie yang tak tahu, bahwa ia baru saja
terlolos dari lubang jarum, mengawasi Boe Kie dengan mata penuh pertanyaan.
Sesudah tindakan ketiga orang
itu tidak terdengar lagi, sambil menuntun Poet Hwie, Boe Kie berlari-lari
mendaki tanjakan. "Boe Kie Koko, orang jahat sudah pergi semua
bukan?" tanyanya sambil tertawa. "Kau mau mengajak aku bermain-main
diatas gunung, bukan?"
Boe Kie tidak menjawab.
Melihat Poet Hwie sudah lelah, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mendukungnya
dan terus lari secepat mungkin kearah Kie Siauw Hoe yang menggeletak diatas
tanah. Sesudah dekat, barulah Poet Hwie melihat ibunya. Ia meronta turun dari
dukungan Boe Kie dan kemudian menubruk ibunya. "Ibu! Ibu!..,."
teriaknya.
Boe Kie buru-buru berlutut dan
memeriksa ke adaan sang bibi. Napas Siauw Hoe tinggal sekali kali dan batok
kepalanya remuk, sehingga biarpun ditolong dewa, ia tak akan bisa hidup terus.
Perlahan-lahan Siauw Hoe
membuka kedua matanya. Melihat puterinya dan Boe Kie, matanya berlinang air dan
bibirnya bergerak. Ia mau bicara, tapi tak sepatah perkataan bisa keluar dari
mulut nya. Boe Kie segera mengeluarkan jarum emas dan menusuk jalan darah
Sinteng, Gin tong dan Sin wie. Semangat Siauw Hoe terbangun dan ia berkata
dengan suara lemah: "Aku memohon.... memohon....supaya kau mengantarkan
Poet Hwie kepada ayahnya...". Lengan kirinya meraba dada, seperti mau mengeluarkan
sesuatu, tapi mendadak ia berkelejat dan menghembuskan napasnya yang
penghabisan.
Sambil menangis keras Poet
Hwie memeluk jenazah ibunya. "Ibu!...ibu!.... Mengapa kau?....
sakit?...." ia sesambat.
Hati Boe Kie seperti disayat
ratusan pisau. Ia ingat, bahwa ia sendiri pernah menangis begitu sambil memeluk
jenazah kedua orang tuanya. Tanpa merasa, air mata mengalir turun dikedua
pipinya.
Sesudah kenyang memeras air
mata Boe Kie ingat pesan sang bibi dan segera mengambil keputusan untuk
menunaikan tugas itu. Ia hanya tahu bahwa orang itu bertempat tinggal dipuncak
Co bong hong, dipegunungan Koen loan san. Ia tak tahu dimana adanya gunung itu
yang sebenarnya berada dalam jarak berlaksa li. Dilain saat, ia juga ingat,
bahwa sebelum meninggal dunia, sang bibi meraba dada, seperti mau mengeluarkan
sesuatu. Ia lantas saja meraba leher Siauw Hoe dan mengeluarkan sepotong Kiat
(??) pay (lembaran besi) yang atasnya diukir gambar setan yang menyeringai dan
mengangkat cakarnya. Pay tersebut digantung dileher Siauw Hoe dengan selembar
tali.
Boe Kie tak tahu apa adanya
benda itu, tapi ia lalu membukanya dan kemudian menggantungnya dileher Poet
Hwie. Sesudah itu, ia mengambil cangkul menggali sebuah lubang dan lalu
menguburkan jenazah Siauw Hoe. Ketika itu karena lelah, Poet Hwie sudah pulas.
Waktu si nona cilik tersadar, dengan berbagai akal ia coba membujuknya, antara
lain ia mengatakan, bahwa sang ibu telah terbang kelangit dan nanti, sesudah
sekian lama akan kembali didunia. Dasar anak kecil, si nona akhirnya dapat juga
dilabui.
Malam itu, sesudah masak nasi
dan makan secara sembarangan, Boe Kie yang sudah terlalu capai, tidur pulas
dengan nyenyak sekali. Pada kepaginya, setelah membuntal pakalan dalam dua
buntalan kecil, ia mengajak Poet Hwie untuk memberi selamat tinggal dan memohon
keberkahan. Sesudah itu, kedua yatim piatu berjalan keluar dari Oaw tiap
kok....
Boe Kie sama sekali tidak
bersenjata. Semula ia ingin membawa potongan tongkat San ouw kim, tapi
dicari-cari, tidak ketemu dan ia menduga, bahwa potongan senjata itu telah
dibawa oleh Teng Bin koen. Mengenai bekal, ia hanya mempunyai tujuh delapan
tahil perak yang diambilnya dari buntalan Kie Siauw Hoe. Ia tak tahu di mana
adanya Koen loen san. Ia hanya menduga, bahwa gunung itu jauh sekali dan uang
sebegitu tentulah sangat tidak mencukupi. Tapi apakah yang dapat diperbuat
olehnya?
Sesudah berjalan setengah
hari, barulah mereka keluar dari selat Ouw tiap kok. Karena Poet Hwi masih
sangat kecil, mereka maju dengan lambat sekali. Sebentar mengaso, sebentar
jalan lagi. Pada malam,itu mereka berada di delam hutan dan diantara kegelapan
malam, mereka mendengar macam-macam binatang burung hantu. Poet Hwie ketakutan
dan mulai menangis keras. Boe Kie juga takut, tapi dalam keadaan, begitu mau
tidak mau ia terpaksa harus membesarkan hati. Tiba tiba ia malihat sebuah guha.
Hatinya jadi girang benar, dan sambil menuntun Poet Hwie, ia masuk ke dalam
guha itu. Dengan kedua tangan ia menekap kuping si nona supaya dia tidak
mendengar suara-suara yang menakutkan.
Dengan menahan rasa lapar,
haus dan takut, kedua anak itu melewati sang malam. Pada keesokan paginya, Boe
Kie mencari bebuahan hutan untuk menangsal perut dan kemudian mereka meneruskan
perjalanan. Di waktu magrib, selagi enak-enak berjalan, sekonyong-konyong poet
Hwie berteriak dan tangannya menuding sebuah pohon. Boe Kie menengok. Ia
terkasiap dan sambil menarik tangan Poet Hwie, ia segera lari. Yang dilihat
mereka adalah dua mayat yang menggelantung di pohon itu. Baru saja belasan
tombak, kaki Boe Kie tersandung batu dan roboh terguling. Waktu merangkak
bangun, dengan memberanikan hati, ia menengok kepohon dan tanpa merasa ia
berteriak. "Ouw Sinshe!" Waktu ia menengok, secara kebetulan angin
meniup dan mayat itu terputar, sehingga mukanya menghadapi Boe Kie yang segera
mengenali bahwa muka itu adalah muka Ouw Ceng Goe. Yang satunya lagi adalah
mayat wanita dan dilihat dari pakainnya, dia pasti bukan lain dari pada Ong Lan
Kouw. Dalam cuaca yang sudah hampir gelap, pemandangan itu sungguh menyeramkan
dan bulu roma Boe Kie bangun semua.
Sesudah bangun berdiri, si
bocah berkata didalam hatinya: "Tidak boleb, aku tidak boleh menjadi
seorang pengecut."
Setindak demi setindak, ia
maju dan mendekati. Dari sebelah kejauhan ada dilihatnya sinar keemas emasan
dipipi kedua mayat itu. Sesudah didekati, sinar itu ternyata keluar dari bunga
emas. "Ah! Ouw Sinhe dan Soe bo tidak terlolos dari tangan Kim-Hoa
popo", ia mengeluh. Kereta yang ditumpangi mereka berada dalam sebuah
selokan dalam keadaan hancur, sedang bangkai keledaipun terdapat dalam selokan
itu.
Malam itu Boe Kie dan poet
Hwie tidur dibawah pohon. Kira-kira tengah malam mereka disadarkan oleh bunyi
binatang. Dibawah sinar rembulan, mereka melihat lima enam ekor anjing hutan
sedang menggerogoti bangkai keledai. Dengan hati berdebar-debar, buru-buru Boe
Kie mendukung Poet Hwie dan memanjat sebuah pohon. Anjing-anjing itu coba
mengudak dan kemudian jalan berputar putar dibawah pohon. Sedang beberapa lama
beberapa lama, barulah mereka meninggalkan pohon itu dan berpesta pora lagi
dengan daging keledai. Pada esokan paginya, barulah kawanan binatang itu
berlalu.
Sesudah anjing-anjing itu
pergi jauh, Boe Kie baru berani turun. Ia segera membuka tambang dan menurunkan
jenazah suami isteri Ouw Ceng Goe. Tiba-tiba terdengar suara "plak"
dan dari atas jatuh sejilid buku. Boe Kie segera menyambutnya dan diatas buku
itu, buku tulisan tangan, tertulis seperti berikut: "Tok soet Tay
coan" (Kitab lengkap mengenai racun).
Boe Kie membalik-balikkan
lembaran yang penuh dengan huruf-huruf kecil. Buku itu menjelaskan sifatnya
macam-macam binatang beracun, burung beracun, kutu beracun, rumput beracun,
dari yang biasa sampai yang aneh aneh. Cara mengganakannya dan cara
mempunahkannya. Sesudah memasukkannya ke dalam saku, dia kemudian mengubur
jenazah suami-istri Ouw Ceng Goe dengan menumpuk batu-batu tanah dan rumput
diatasnya. Sesudah selesai dan memberi hormat dengan berlutut beberapa kali,
sambil menuntun tangan Poet Hwie, ia segera meneruskan perjalanannya.
Diwaktu lohor mereka bertemu
dengan jalan raya dan tak lama kemudian, mereka tiba disebuah kota kecil.
Mereka lalu mencari rumah makan, atau warung untuk menangsal perut. Tapi
sungguh heran, semua rumah tiada penghuninya dan kota kecil itu sunyi senyap
bagaikan kuburan. Dengan apa boleh buat, mereka berjalan terus.
Waktu itu adalah musim rontok,
yaitu musim panen, tapi apa yang tertampak disawah sawah yang tanahnya kering
melela hanyalah rumput alang alang. Boe Kie bingung karena ia tidak mengerti
apa artinya itu semua. Kawan yang satu-satunya, tidak bisa diajak berdamai.
Bahwa dengan menahan lapar si noni cilik masih bisa berjalan terus, sudah dapat
dikatakan mujur.
Berjalan sampai sore, mereka
tiba disebuah hutan. Tiba-tiba Boe Kie melihat mengepulnya asap. Ia merasa girang
sekali, sebab sedari keluar dari selat Ouw tiap kok, baru sekarang ia melihat
asap yang berarti adanya mauusia. Buru-buru mereka menuju kearah asap itu.
Waktu sudah berdekatan, mereka
melihat lima orang lelaki yang pakaiannya compang-camping badannya kurus kering
dan mukanya pucat pasi, sedang berduduk disekitar sebuab perapian dan diatas
api terdapat sebuah kuali yang apinya bergolak-golak seperti sedang memasak
sesuatu.
Begitu melihat Boe Kie dan
Poet Hwie, paras muka mereka berubah terang. Dengan serentak mereka berbangkit.
"Bagus! Bocah, mari sini!", kata salah seorang sambil menggapai.
"Kami sangat lapar sekali
dan ingin meminta sedikit makanan," kata Boe Kie, "Sebagai tanda
terima kasih, kami akan memberi sedikit uang perak."
"Kau mempunyai uang? Coba
keluarkan," kata yang seorang.
Boe Kie merogoh saku dan
mengeluarkan sepotong perak.
Sambil membetot potongan perak
itu, dia bertanya. "Mana orang tuamu?"
"Kami hanya berdua, tak
mempunyai lain kawan," Jawab Boe Kie.
Kelima lelaki itu tertawa terbahak-bahak
dan saling mengawasi satu sama lain.
Karena didorong rasa lapar,
Boe Kie melongok kedalam kuali. Begitu melihat, hatinya mencelos karena apa
yang dimasak mereka hanyalah daun-daun akar, dan sedikit ubi-ubian.
Sambil menyeringai, salah seorang
mencekal tangan Poet Hwie dan berkata "Kambing ini gemuk sekali. Malam ini
kita bisa makan kenyang!"
"Ya! Yang lelaki bisa
ditunda sampai besok." menyambungi kawannya.
Tak kepalang kagetnya Boe Kie.
"Kau.... kau..... mau.... makan daging manusia?" tanyanya
terputus-putus.
Seorang yang bertuhub jangkung
menyeringai dan berkata dengan suara dalam: "Sudah tiga bulan aku tak
permih makan nasi. Daripada mampus ada lebih baik makan, daging manusia."
seraya berkata begitu, ia menjambret leher Boe Kie.
Boe Kie mengegos, tangan
kirinya menangkis, tangan kanannya menepuk pinggang orang itu. Semejak kecil,
ia telah belajar silat di bawah pimpinan Kim-mo Say-ong Cia Soen dan kemudiau
dia juga mempelajari ilmu silat dari Boe-tong pay. Meskipun selama dua tahun
lebih ia tidak berlatih silat karena repot mempelajari ilmu ketabiban, tetapi
apa yang sudah dipelajarinya adalah ilmu-ilmu silat kelas satu di dalam Rimba
Persilatan. Maka itu, tepukan tersebut, yang cukup hebat untuk merobohkan ahli
silat biasa, tentu saja tak dapat ditahan oleh lelaki itu. Tanpa mengeluarkan
suara, dia terpelanting tanpa betkutik lagi.
Seorang kawannya menubruk dan
coba menancapkan pisaunya kedada Boe Kie. Bagaikan kilat Boe Kie menendang
dengan kaki kanannya, dan pisau itu terbang ke tengah udara. Ia menendang
dengan tendangan Wan yo Lian hoan toei yang saling susul dan sesudah kaki
kirinya mampir dijanggut orang itu yang lantas saja jatuh terjengkang. Sesudah
merobohkan dua orang, buru-buru ia menghampiri Poet Hwie yang sudah mulai menangis.
Tiba-tiba ia meresakan angin
dibelakangnya dan dua orang menubruk punggungnya. Dengan sekali berkelit, kedua
penyerang itu menubruk tempat kosong. Dengan cepat la menjambret leher baju
mereka dan lalu menggentuskan kepala mereka. Waktu dilepaskan, mereka roboh
dalam keadaan pingsan.
Sekarang hanya ketinggalan
seorang saja. Biarpun empat kawannya sudah dijatuhkan, ia kelihatannya tidak
merasa jerih dan sambil menghunus golok, io menerjang. Melihat senjata tajam,
sedang ia sendiri bertangan kosong Boe Kie jadi keder, tapi dengan mengepos
kesana kesini ia berhasil menyelamatkan diri dari tiga bacokan. Dalam bacokan
keempat, orang itu menggunakan seantero tenaganya. Dengan cepat Boe Kie
berkelit dan ia membacok angin. Apa celaka, karena terlalu bernapsu dan
menyerang dengan seluruh tenaga, ia terhuyung dan jatuh terguling. Tanpa menyia
nyiakan kesempatan baik, Boe Kie menendang dengan menggunakan ilmu meminjam
tenaga sehingga tubuh orang itu terpental dan jatuh kedalam kuali yang airnya
bergolak-golak.
Jika Boe Kie diperintah untuk
bertempur melawan lima orang itu, ia pasti tak akan berani. Biarpun sedari
kecil ia sudah belajar silat, ia masih belum tahu kepandaiannya sendiri. Kalau
bukan sedang menghadapi bahaya besar, ia tentu tak akan berlaku nekat. Sesudah
merobohkan lima orang itu, ia tercengang dan setelah semangatnya berkumpul
kembali, ia merasa sangat girang.
Baru saja hatinya tenteram,
tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki dan beberapa orang masuk kedalam hutan.
Mendengar suara manusia, Poet Hwie yang belum hilang takutnya lantas saja
menubruk dan memeluk Boe Kie erat-erat. Begitu melihat orang orang yang
mendatangi, Boe Kie jadi girang. "Kan Toaya! Sie Toaya!" serunya.
Ternyata, antara mereka itu
yang terdiri dari lima orang, yang satu adalah Kan Ciat dan yang situ lagi Sie
Kong Wan bersama dua saudara seperguruannya. Mereka berempat telah disembuhkan
Bor Kie waktu terlika akibat pukulan Kim-Hoa Popo. Orang yang kelima adalah
seorang pemuda yang barusan kira-kira duapuluh tahun dan berparas angker.
Dengan pemuda itu, Boe Kie belum, pernah bertemu muka.
Kan Ciat mengawasi dan
berkata. "Saudara Thio, kau juga berada disini? mengapa orang itu?"
Seraya menanya, dia menuding kelima orang yang rebah ditanah.
Dengan suara mendongkol, Boe
Kie lalu menceriterakan apa yang sudah terjadi. Sebagai penutup ia berkata:
"Celaka sungguh! Mereka mau coba makan kami berdua. Untung juga aku
berhasil merobohkannya."
Selagi Boo Kie bicara,Kan Ciat
mengawasi Poet Hwie dengan sorot mata luar biasa dan berkata dengan suara
perlahan: "Lima hari lima malam tak pernah menelan sebutir nasi... hanya
gegares kulit pohon dan rumput.... Hmmm! Dagingnya begitu montok ..... "
Melihat sinar mata kelaparan, seolah-olah sinar mata anjing hutan yang sangat
menakuti, Boe Kie terkejut dan buru-buru ia memeluk Poet Hwie.
"Mana ibunya?" tanya
Sie Kong Wan.
"Kie Lie hiap pergi
membeli beras," jawab Boe Kie.
Apa mau Poet Hwie menyelak:
"Bukan! Ibu telah terbang kelangit!"
Kan Ciat dan Sie Kong Wan
menyeringai.
Mereka tahu, bahwa itu berarti
Kie Siauw Hoe sudah meninggal dunia.
Sie Kong Wan tertawa dingin.
"Beli beras?" tanyanya dengan nada mengejek, "jikalau bisa
mendapatkan sebutir beras dalam jarak lima ratus li di sekitar tempat ini, kau
betul-betul pintar"
Dengan lirikan mata, Kan Ciat
memberi isyarat kepada Sie Kong Wan. Tiba-tiba mereka melompat dengan
berbareng, Kan Ciat mencekal kedua tangan Boe Kie, sedang Sie Kong Wan memeluk
Poet Hwie.
Boe Kie terkesiap. "E-eh
Mau apa kamu?", tanyanya.
"Di seluruh Hong yang hoe
semua manusia kelaparan," jawab Kan Ciat. "Dalam menghadapi
kebinasaan, kami harus menolong diri sendiri. Nona itu bukan sanak familimu.
Dia dapat menyambung jiwa kami...."
"Manusis celaka!"
caci Boe Ka dengan kegusaran yang meluap-luap. "Kamu, manusia-manusia yang
menamakan diri sendiri sebagai orang orang Rimba Persilatan, tapi mau melakukan
perbuatan terkutuk itu? Sungguh memalukan! Apa kamu tidak merasa malu, menjadi
manusia sehina itu?"