-------------------------------
-----------------------------
Bagian 19
Jilid 16
Coan Kian Lam juga sudah turun
dari kuda nya dan sambil mengebas kedua senjatanya, ia melompat kesamping Coei
San.
"Hari ini aku dan So So
bertempur demi kepentingan Gie heng," pikir Coei San. "Sebagai
saudara angkat, hal itu hal yang wajar. Tapi Jie ko belum pernah mengenal Gie
heng, sehingga tidaklah pantas jika ia menerima hinaan karena gara-gara Gie
heng." Memikir begitu, ia lantas saja mengambil suatu keputusan.
Sesaat itu, si tua sudah
menotok dengan pit nya dan Coei San lalu menangkis dengan hanya menggunakan dua
bagian tenaganya. Begitu kedua senjata kebentrok, badan Thio ngohiap kelihatan
bergoyang goyang. Kian Lam jadi girang bukan main. Ia tak nyana pendekar Boe
tong yang begitu di sohorkan, sedemikian 'empuk'. Ia segera bertekad untuk
merubuhkan Ngohiap dalam pertempuran satu lawan satu supaya dalam segebrakan
saja, namanya bisa naik tinggi dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan.
Sambil membela diri, Coei San
memperhatikan ilmu silat musuh. la mendapat kenyataan si kakek gesit dan licin
gerakannya dan caranya menotok jalan darah berbeda dengan ilmu totokan
Tionggoan.
Sesudah bertempur beberapa
lama, Coei San mengetahui bahwa Poan koan pit musuh yang di cekel ditangan
hanya menotok jalanan jalanan darah dibagian punggung dari Leng thay hiat
kebawah, sedang Poan koan pit yang disebelah kanan menotok jalanan jalanan
darah dibagian pinggang dan lutut seperti Ngo kie hiat, Wie to hiat, Kie kauw
biat dan lain lain,
"Soehoe pernah
mengatakan, bahwa walaupun lihay, Tiamhiat dari San liong pay tidak usah
ditakuti," pikirnya. "Hari ini baru aku melihat buktinya,"
Sesudah dapat meraba ilmu silat musuh, pembelaan diri jadi makin sederhana,
karena ia hanya perlu menjaga jalanan-jalanan darah tertentu yang dicecer dengan
totokan totokan.
Sesudah lewat lagi beberapa
jurus, sambil membentak keras, cepat bagaikan kilat, Coei San menyerang dengan
Coretan huruf "Liong" (naga) dengan gaetannya "Srt!"
Ginkauw menggores jalan darah Hong say biat dilutut kanan si tua.
Seraya mengeluarkan teriakan
kesakitan, Kian Lam berlutut. Seperti arus kilat, dengan menggunakan coretan
huruf "Hong" (tajam ), Ngohiap monotok belasan jalanan darah, yaitu
jalanan-jalanan darah yang biasa jadi bulan bulanan sikakek sendiri.
"Sudahlah!
Sudahlah!" mengeluh Kian Lam. "Andaikata dia patung, aku masih tak
mampu menotok belasan jalanan darahnya dalam tempo sekejap mata. Celaka
sungguh! Aku bahkan masih belum pantas untuk menjadi muridnya!"
Seraya menempelkan Ginkauw di
leher Kian Lam, Coei San membentak: "Tuan tuan, mundurlah! Sesudah Coan
Loo eng hiong mengantar kami sampai dikaki Boe tong san, aku akan membuka
jalanan darahnya dan mengembalikannya kepada kalian!" Ia merasa pasti,
bahwa orang orang yang mengepung akan segera mundur.
Tapi diluar dugaan, si wanita
muda mengangkat sepasang goloknya dan berteriak: "Serbu!"
"Tahan !" bantak
Ngohiap. "Maju setindak lagi kakek ini akan menjadi mayat !"
Wanita itu tertawa dingin.
"Serbu!" teriaknya pula. Ia mengeprak kuda dan menerjang, sedikitpun
tidak menghiraukan nasib Coan Kian Lam.
Wanita itu adalah salah
seorang Tocoe dari Sam kang pang dan tujuan mereka yalah menawan, Jie Lian Cioe
dan So So untuk memaksa Coei San memberitahukan tempat sembunyinya Cia Soen.
Coan Kian Lam seorang luar yang hanya menjadi tamu, sehingga mati hidupnya
tidak begitu dihiraukan.
Coei San kaget bukan kepalang.
Ia mengerti, bahwa tak ada gunanya membunuh si kakek. Sesaat itu, tujuh delapan
orang sudah mengurung kereta So So, delapan sembilan musuh mengepung kereta
Lian Cioe, sedang ia sendiri dikurung oleh si wanita bersama enam tujuh orang.
Selagi ia kebingungan,
tiba-tiba Lian Cioe berteriak dengan suara nyaring: "Liok tee, beres kan
Orang-orang itu!"
Coei San tercengang. Apa
kakaknya tengah menggunakan siasat "kota kosong"?
Sekonyong- konyong ditengah
udara terdengar siulan yang panjang dan nyaring. "Ngoko! Setengah mati aku
memikir kau!" teriak seorang. Hampir berbareng dari atas sebuah pohon
besar melompat turun satu bayangan manusia yang lantas saja menerjang sambil
memutar pedang. Orang itu memang bukan lain dari pada In Lie Heng.
Hati Coei San meluap dengan
kegirangan, "Liok tee !" serunya.
Beberapa orang dari Sam kam
pang segera menceggat Lie Heng. Pedang Boe tong Liokhiap berkelebata kelebat
dibarengi dengan suara jatuhnya sejumlah senjata, karena setiap kali pedang
berkelebat ujungnya menggores jalanan darah Sin boen hiat, dipergelangan tangan
musuh.
Wanita itu gusar tak kapalang
dan membentak: "Siapa kau ?" Ia tak dapat bicara terus, sebab kedua
goloknya hampir berbareng jatuh di tanah.
"Ilmu Sin boen Sip sam
kiam yang digubah Soehoe sudah sempurna!" teriak Coei San kegirangan.
Sin boen Sip sam kiam atau
"Tiga belas jurus pedang Sin boen" terdiri dari tiga belas macam
jurus yang berbeda beda gerakannya, tapi setiap jurus mengarah jalanan darah
Sin boen Hiat dipergelangan tangan lawan. Pada sepuluh tahun berselang, waktu
Coei San berada di Boe tong san, Thio Sam Hong pernah mengutarakan niatnya
untuk menggubah ilmu pedang tersebut. Tapi, karena adanya berbagai kesukaran,
pada waktu itu sang guru belum berhasil mencapai maksudnya. Sekarang Coei San
dapat melihat kelihayan Sin boen Sip sam kiam.
Melihat gelagat tidak baik,
wanita itu berseru "Angin keras! Mundur!" Semua kawannya tantas saja
kabur lintang pukang, beberapa antaranya malah tidak keburu menunggang kuda.
Sementara itu, Coei San sudah
membuka jalanan darah Coan Kian Lam yang tertotok. Ia menjemput kedua Poan koan
pit pecundangnya dan menyelipkannya dipinggang si kakek. Dengan kemalu maluan,
si tua buru-buru berlalu.
Sesudah memasukkan pedang
kedalam sarung sambil mencekal tangan kakak seperguruannya, Lie Heng berkata:
"Ngoko, aku sungguh menderita dalam memikiri nasibmu!"
Sang kakak tertawa. "Liok
tee, kau sudah besar sekali," katanya. Waktu mereka berpisahan, In Lie Heng
baru berusia delapan belas tahun. Selang sepuluh tahun. adik yang tadinya kurus
kecil itu sudah berubah menjadi pemuda jangkung yang tampan parasnya.
Sambil menuntun tangan Lie
Heng, Coei San mengajak adik itu menemui isterinya. So So yang tengah menderita
sakit yang tidak enteng manggut manggutkan kepala seraya bersenyum,
"Lioktee!" katanya dengan suara perlahan.
"Bagus!" kata Lie
Hang. "Ngoso juga she In. Aku bukan saja mendapat enso, tapi juga
memperoleh kakak."
"Jieko sungguh
lihay," kata Coei San. "Aku tak mimpi kau bersembunyi dipohon, tapi
ia sudah mengetahuinya."
Lie Heng lantas saja
menuturkan cara bagaimana ia bisa datang kesitu untuk menyambut kakaknya.
Ternyata, pada waktu Siehiap Thio Siong Kee turun gunung untuk membeli barang
guna perayaan ulang tahun gurunya, ia telah bertemu dengan dua orang Kangouw
yang sikapnya sangat mencurigakan.
la curiga lalu menguntit
mereka. Dengan mendengari pembicaraan mereka, ia tahu, bahwa Coei San sudah
pulang dan sudah mempersatukan diri dengan Lian Cioe. Disamping itu, ia juga
tahu, bahwa Sam kang-pang dan Ngo hong to ingin mencegat kedua saudara itu
untuk menanyakan tempat sembunyinya Cia Soen.
Cepat-cepat ia pulang ke Boe
tong san, tapi di tempat gurunya ia hanya bertemu dengan In Lie Heng seorang. Mereka
segera turun gunung untuk menyambut kedua saudara itu. Sedikitpun mereka tidak
merasa kuatir. Mereka menganggap, bahwa orang dari partai-partai kecil tidak
akan bisa berbuat banyak terhadap Lian Cioe dan Coei San. Tapi karena mereka
ingin sekali bertemu dengan Coei San selekas mungkin, maka mereka berjalan
dengan secepat-cepatnya, mereka tak tahu tentang terlukanya Lian Cioe, sebab
kedua orang kangouw itu sama sekali tidak membicarakannya.
Ditengah perjalanan Siong Kee
mengusir orang pandai dari Ngo hong to, sedang tugas menghajar orang orang Sam
kang pang diserahkan kepada In Lie Heng.
Lian Cioe menghela napas.
"Kalau Sietee tidek berwaspada, mungkin sekali hari ini Boe tong pay
ambruk namanya." katanya.
"Benar," menyambungi
Coei San dengan suara jengah. "Siauwtee sendiri pasti tak akan dapat
melindungi Jieko. Hai! Sesudah meninggalkan rumah perguruan sepuluh tahun
lamanya kepandaian Siauwtee sungguh-sungguh kacek terlalu jauh dari
saudara."
"Janganlah Ngoko berkata
begitu," kata Lie Heng seraya tertawa. "Barusan Ngoko telah
memperlihatkan pukulan yang sangat lihay waktu merobohkan si tua bangka dari Ko
lee kok. Sesudah kau pulang, Soehoe pasti akan menurunkan berbagai ilmu
kepadamu. Mengenai Sin boen Sip sam kiam, sekarang juga siauw tee bersedia untuk
memberi penjelasan kepadamu."
Malam itu, mareka menginap
disebuah rumah penginapan di Sian Jan touw. In Lie Heng minta tidur bersama
sama Coei San. Permintaan itu disambut dengan rasa girang oleh sang kakak, yang
juga merasa sangat kangen dengan adiknya itu.
Dalam runtunan Boe tong Cit
hiap, Boh Seng Kok yang berusia paling muda. Tapi walaupun berusia lebib muda,
lagak lagu Boh Seng Kok lebih tua dari pada Lie Heng. Semenjak dulu, Coei San
sangat mencintai Lie Heng yang usianya tidak kacek seberapa dengannya dan
mereka berdua biasa bergaul rapat sekali.
"Ngotee sudah mempunyai
isteri," kata Lian Cioe sambil tertawa. "Jangan kau mempersarnakan
dia seperti pada sepuluh tahun yang lalu. Ngotee, pulangmu sungguh kebetulan.
Sesudah minum arak panjang umur dari Sohoe, kau akan segera minum arak
kegirangan (arak pesta pernikahan) dari Lioktee."
Coei San girang tak kepalang.
Ia menepuk nepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus ! Sungguh
bagus. Siapa pengantin perempuannya?" tanyanya.
Paras muka si adik lantas saja
berubah merah.
"Mutiara (puteri) dari
Kim pian Kie Loo eng hiong di Hian yang," kata Lian Cioe.
"Bagus! Kalau Lioktee
natal, Kim pian (cambuk emas) akan menghantam kepalamu." katanya sambil
tertawa geli.
Lian Cioe bersenyum, tapi pada
mukanya berkelebat sehelai sinar suram. "Kie Kouwnio menggunakan
pedang..." katanya. "Kuharap diantara wanita-wanita bertopeng yang
mencegat kita di tengah sungai, tidak terdapat Kie Kouwnio."
Coei San kagat. "Kalau
begitu ia murid Go bie?" tanyanya.
Lian Cioe mengangguk seraya
berkata "Waktu kita bertempur dipinggir sungai, semua anggauta rombongan
Go bie berkepandaian biasa saja sehingga tak mungkin Kie Kouwnio turut serta
dalam rombongan itu. Jika ia berada disitu untuk kepentingan Ngo teehoe, aku
bisa berdosa terhadap Liok teehoe dan orang bisa mengatakan aku memilih kasih.
Ngotee, Liok teehoe kita berparas cantik, berkepandaian tinggi dan sebagai
murid dari sebuah partai yang tersohor, ia benar-benar merupakan pasangan yang
setimpal dengan adik kita ...."
Mendadak ia berhenti bicara,
karena tiba-tiba ia ingat bahwa In So So adalah puteri seorang pemimpin 'agama'
yang sesat, sehingga dengan memuji nona Kie, seperti juga mengejek isterinya
Coei San. Selagi mencari perkataan untuk memperbaiki kesalahannya,
sekonyong-konyong datang seorang pelayan yang lantas saja berkata: "Jie
ya, ada beberapa orang, yang mengaku sebagai sahabatmu, datang berkunjung
"
"Siapa?" tanya Lian
Cioe.
"Mereka memperkenalkan
diri sebagai murid murid Ngo-hong-to" jawab sipelayan. "Jumlahnya
enam orang."
Lian Cioe bertiga terkejut.
Apakah Siong Kee yang bertanggung jawab untuk mengusir orang orang Ngo-hong-to,
mendapat kecelakaan?
"Aku akan menemui
mereka," kata Coei San yang kuatir keselamatan Lian Cioe yang masih belum
sembuh dari lukanya.
"Undang mereka
masuk," kata Jiehiap kepada si pelayan.
Beberapa lama kemudian,
masuklah enam pria dan seorang wanita. Coei San dan Lie Heng berdiri disamping
Lian Cioe siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi tamu-tamu itu
kelihatan berduka tercampur malu dan merekapun tidak membekal senjata.
Begitu masuk, seorang yang
rupanya menjadi pemimpin dan yang berusia kira-kira empat puluh tahun,
merangkap kedua tangannya dan berkata dengan sikap hormat: "Apakah kalian
Jie Jiehiap, Thio Ngohiap dan In Liok hiap dari Boe-tong-pay? Aku, Ben Ceng
Hooey, murid Ngo-hong-to memberi hormat."
Lian Cioe bertiga lantas sajs
membalas hormat. "Beng Loosoe, selamat bertemu," kata Lian Cioe.
"Kalian duduklah."
Beng Ceng Hoey tidak lantas
berduduk, tapi berkata pula: "Partai kami yang berkedudukan di Ho tong,
propinsi San see, hanyalah sebuah partai kecil yang tidak ada artinya. Sudah
lama kami mendengar nama besarnya Thio Cinjin dan Boe tong Cit hiap, hanya
sebegitu jauh, kami belum mendapat kesetempatan untuk bertemu muka. Hari ini
kami tiba dikaki Boe tong san. Menurut pantas, kami haruslah naik gunung untuk
menemui Thio Cinjin. Tapi mendengar, bahwa beliau sudah berusia seratus tahun
dan selalu hidup dengan mengasingkan diri, kami orang-orang kasar tidak berani
mengganggu ketenteraman beliau. Kalau nanti sudah pulang kegunung kami
mengharap Sam wie suka memberitahukan beliau, bahwa murid-murid Ngo hong to
memberi selamat dan berdoa agar beliau dikurniani dengan rejeki dan umur
panjang oleh Tuhan Yang Maha kuasa."
Mendengar pemberian selamat
kepada gurunya, Lian Cioe yang duduk diatas pembaringan batu sebab lukanya
belum sembuh, buru-buru memegang pundak In Lie Heng dan turun dari pembaringan.
"Terima kasih atas
pemberian selamat dan doa itu," katanya seraya membungkuk.
"Sehagai penduduk
kampung. kami seperti kodok didalam sumur," kata pula Beng Ceng Hoey.
"Kami tak tahu bagaimana luasnya langit dan lebarnya bumi. Dengan berani
mati, kami datang ketempat kalian. Tapi dengan jiwa yang sangat besar, para
pendekar Boe tong berbalik menolong kami, untuk itu kami berterima kasih tidak
habisnya. Kedatangan kami pertama untuk menghaturkan terima kasih yang tak
terhingga. Kedua untuk meminta maaf dan kami memohon agar Sam wie tidak
mencatat kedosaan kami"
Sehabis berkata begitu, Beng
Ceng Hoey kelihatan bingung, seolah-olah merasa takut untuk bicara terus.
"Beng Loosoe boleh bicara
saja tanpa ragu ragu," kata Lian Cioe dengan manis.
"Terlebih dulu aku
memohon janji Jiehiap, bahwa Boe tong pay tak akan menggusari kami, supaya kami
bisa memberi laporan kepada soehoe," katanya.
Lian Cioe tersenyum.
"Apakah kunjungan kalian untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Kim mo
Say ong Cia Soen?" tanyanya. "Kedosaan apa yang telah diperbuat Cia
Soen terhadap partai kalian?"
"Saudaraku, Beng Ceng
Jin, telah binasa dalam tangan Cia Soen !" jawabnya.
Lian Cioe kaget. "Oleh
karena adanya kesukaran yang tidak dapat diatasi kami tidak bisa memberitahukan
kalian mengenai tempatnya Cia Soen," katanya. "Tentang soal menggusari
kalian, baik lah jangan disebut-sebut lagi. Kalau nanti kalian pulang dan
bertemu dengan Ouw Loo yacoe, katakanlah, bahwa Jie Jie, Thio Ngo dan In Liok
menanyakan kesehatan beliau."
"Kalau begitu, kami ingin
meminta diri," kata Beng Ceng Hoey. "Di hari kemudian, andaikata Boe
tong pay memerlukan tenaga kami, biarpun Ngo hong to bertenaga sangat kecil,
murid-murid Ngo hong to pasti tak akan menolak tugas sebagai pesuruh."
Sehabis berkata begitu ia
mengangkat kedua tangan, diturut oleh kelima kawannya, dan kemudian
meninggalkan kamar itu.
Baru berjalan beberapa tindak,
yang wanita mendadak memutar badan dan lalu berlutut dilantai, "Aku yang
rendah sudah bisa mempertahankan kesucian diri berkat pertolongan para pendekar
Boe tong," katanya dengan suara perlahan. "Selama hidup, aku tak akan
melupakan budi yang sangat besar ini."
Biarpun sangat kepingin tahu
duduknya persoalan, tapi mendengar perkataan "kesucian diri." Lian
Cioe bertiga tidak berani menanya lebih jelas. Sesudah berlutut beberapa kali,
ia lalu berjalan keluar untuk menyusul rombongannya.
Beberapa saat sesudah
rombongan Ngo hong to berlalu, tirai mendadak tersingkap dibarengi dengan
masuknya seorang yang segera menubruk dan memeluk Coei San.
"Sieko!" teriak Coei
San, bagaikan kalap bahna girangnya.
Orang itu yalah Siehiap Thio
Siong Kee. Sesudah berpelukan beberapa lama, Coei San berkata: "Sieko, kau
sungguh pintar dan berakal budi. Kau sudah berhasil mengubah sikap orang orang
Ngo-hong-to dari lawan menjadi kawan."
"Ah! itulah sudah terjadi
karena kebetulan saja", sang kakak merendahkan diri.
Siong Kee lantas saja
menuturkan latar belakang kejadian itu.
Wanita cantik itu seorang she
Ouw, puteri kedua dari Ciangboenjin Ngo-hong-to. Suaminya ialah Beng Ceng Hoey.
Kali ini, kedua suami isteri bersama empat orang Soetee dan Soetit telah datang
di Ouwpak untuk menyelidiki Cia Soen. Ditengah jalan mereka bertemu dengan
Tocoe Sam-kang-pang yang memberitahukan, Coei San dari Boe-tong pay mengetahui
dimana adanya Kim mo Say-ong. Ouw-sie lantas saja mengusulkan untuk membekuk
Coei San guna memaksakan pengakuan.
Beng Ceng Seng biasanya sangat
takut isteri, tapi kali itu ia menolak. la mengatakan, bahwa murid Boe-tong-pay
lihay luar biasa, dan jalan yang paling baik yalah menanyakan dengan memakai peradatan.
Kalau tidak diluluskan, coba mencari daya upaya lain. Ouw-sie kukuh pada
pendapatnya, ia mengatakan, bahwa jika Coei San sudah pulang ke Boe-tong-san,
mereka tak akan dapat menangkapnya lagi.
Karena tidak sependapat, kedua
suami isteri itu lantas saja bercekcok, sedang kawan-kawannya yang lain tidak
berani campur mulut.
Ouw-sie jadi sangat gusar
"Setan nyali tikus!" teriaknya. "Kan usul itu untuk membalas
sakit hati saudaramu, bukan untuk kepentinganku. Hmmm! Kapan kau begitu takut
terhadap murid-murid Boe tong! Andai kata dia Thio Coei San memberitahukan
tempat sembunyinya Cia Soen, apakah kau mempunyai nyali untuk mencari musuhmu.
Menikah dengan manusia nyali tikus benar-benar celaka besar!"
Beng Ceng Hoey tidak berani
bertengkar lagi, tapi ia tetap tidak menyetujui usul isterinya untuk
menggunakan song-han-yo (obat pulas) guna membekuk Coei San dan So So. Dalam
gusarnya, malam itu, selagi suaminya pulas, ia menghilang.
Nyonya muda itu pergi dengan
niatan membekuk Coei San dan So So supaya ia bias mengejek suaminya. Diluar
dugaan, gerak geriknya diketahui oleh seorang Tocoe dari Sam kang pang. Melihat
kecantikan Ouw Sie, Tocoe itu mendapat pikiran jahat dan lalu menguntit,
sehingga akhirnya, bukan Coei San dan So So yang kena Bong han yo, tapi, Ouw
Sie sendiri.
Siong Kee yang terus mengintip
gerak-gerik keenam orang Ngo hong to, itu, lalu memberi pertolongan. Sesudah
dihajar dan diperingati keras, ia mengusir Tocoe Sam kang pang itu. Pada Ouw
sie, Siong Kee tidak memperkenalkan nama. Ia hanya mengatakan, bahwa ia adalah
murid Boe tong Pay.
Dengan malu besar, Ouw sie
kembali kepada suaminya dan menceritakan segala apa yang sudah terjadit. Dengan
demikian, Boe tong pay berbalik menjadi tuan penolong.
Sesudah berdamai, mereka
segera mengunjungi Lian Cioe bertiga untuk menghaturkan terima kasih dam
meminta maaf. Supaya Ouw sie tidak terlalu jengah, sesudah mereka berlalu,
barulah Siong Kee muncul.
"Menghajar Tocoe Sam kang
pang itu memang bukan pekerjaan sukar," kata Coei San. "Tapi tindakan
Sieko yang selamanya memberi kesempatan kepada orang-orang yang berdosa, sangat
sesuai dengan pendirian Soehoe."
Siong Kee tertawa.
"Sesudah sepuluh tahun tak bertemu, begitu bertemu Ngotee menghadiahkan
topi tinggi kepadaku." katanya.
Malam itu keempat saudara
seperguruan tidur disatu pembaringan dan mereka beromong-omong terus sampai
pagi.
Meskipun pintar dan berakal
budi, Stong Kee tidak dapat menebak siapa adanya orang yang menyamar seperti
serdadu Goan, menculik Boe Kie dan melukakan Lian Cioe.
Pada esok paginya sesudah
Siong Kee menemui So So, mereka lalu meneruskan perjalanan. Sesudah menginap
lagi semalaman ditengah jalan, barulah mereka mulai mendekati Boe tong san.
Sesudah berpisahan sepuluh
tahun. Coei San kembali kegunung itu yang menjadi tempat tinggalnya sedari
kecil. Mengingat bahwa ia akan segera bertemu dengan guru dan
saudara-saudaranya, biar pun isteri sakit dan anak hilang, kegirangannya
melebihi rasa dukanya.
Setibanya diatas gunung mereka
melihat delapan ekor kuda tertambat didepan kuil.
"Ada tamu," kata
Siong Kee. "Kita masuk saja dari pintu samping."
Sambil menuntun isterinya,
Coei San beramai masuk dari pintu samping. Melihat kembalinya Ngohiap, segenap
penghuni kuil dari imam sampai pesuruh jadi girang bukan main. Begitu masuk, Coei
San segera ingin menemui gurunya, tapi kacung yang merawat sang guru
memberitahukan bahwa Thio Sam Hong masih menutup diri. Karena itu, ia hanya
bisa berlutut didepan kamar sang guru.
Sesudah itu, ia pergi kekamar
Jie Thay Giam. Kacung yang menjaga Jie Samhiap berkata: "Samsoe siok
pules. Apakah mau dibanguni?"
Coei San menggoyangkan
tangannya dan masuk kedalam kamar dengan indap-indap. Dengan hati tersayat, ia
mengawasi kakak seperguruannya yang pucat dan perok mukanya, dengan kulit
membungkus tulang. Keangkeran dan kegagahannya sepuluh tahun berselang sudah
tak kelihatan lagi bayangan bayangannya. Mengingat pengalamannya yang dulu,
bagaimana pada waktu baru naik gunung, ia telah menerima banyak pelajaran dari
kakak itu, air mata Coei San lantas saja mengucur deras.
Sesudah mengawasi beberapa
saat, sambil mendekap muka ia berjalan keluar. "Mana Toasoepeh dan
Citsoesiok?" tanyanya kepada si kacung.
"Lagi menemani tamu di
toathia (ruang besar)," jawabnya.
Ia lalu pergi keruangan
belakang untuk menunggu Toasoeko dan Citsoeteenya. Tapi sesudah menunggu agak
lama, kedua saudara itu belum juga muncul. Kepada seorang toojin yang membawa
teh, ia menanya: "Siapa tamu itu?"
"Kelihatannya seperti
orang dari Piauwkiok," jawabnya.
Sesaat kemudian, In Lie Heng
yang masih sangat kangen pada saudaranya menyusul keruangan belakang dan Coei
San lantas saja menanyakan asal usul tamu itu.
"Tiga orang Cong piauw
tauw," jawab si adik. "Yang satu Kie Thian Pioe, Congpiauwtauw
Houw-po-Piauwkiok di Kim leng, yang satu lagi In Ho Congpiauwtauw
Chin-yang-Piauwkiok di Thaygoan, yang ketiga Kiong Kioe Kee, Congpiauwtauw
Yan-in-Piauwkiok dikota raja."
Coei San terkejut. "Perlu
apa mereka datang kemari?" tanyanya. Ia tahu, bahwa dalam kalangan
Piauwkiok diwilayah Tionggoan, ketiga Piauw kiok itulah yang mempunyai nama
paling besar.
In Lie Heng tertawa.
"Mungkin sekali ada piauw yang kena dirampok dan si perampok sangat lihay
sehingga mereka minta pertolongan Toasoeko," jawabnya.
"Ngoko, selama beberapa
tahun ini. Toasoeko makin mulia sepak terjangnya. Kalau di Kong ouw terjadi
sesuatu, mereka lantas pada datang menemui Toasoeko."
"Toako memarg berhati
mulia seperti Budha." kata Coei San "la tak pernah merasa bosan untuk
menolong sesama manusia. Hai! Sesudah berpisahan sepuluh tahun, apa Toasoeko
tampak banyak lebih tua?"
Sesudah berkata begitu,
hatinya seperti dibetot dan ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Lioik
tee," katanya, "mari kita pergi kebelakang sekosol supaya aku bisa
segera melihat wajah Toako dan Cit tee."
Indap-indap ia masuk ke toa
thia dan mengintip dari belakang sekosol. Song Wan Kiauw dan Boh Seng Kok yang
sedang duduk dikursi tuan rumah tengah bicara dengan tamu tamunya. Wan Kiauw
mengenakan Jubah iman, parasnya tenang, tiada banyak bedanya seperti dulu hari,
hanya rambut dibawah kundainya sudah berawarna abu abu."
Toako itu sebenarnya bukan
seorang toosoe, tapi karena sang guru seorang toosoe dan juga sebab ia menetap
didalain kuil, maka kalau berada di kuil, ia kebanyakan mengenakan jubah imam
dan barulah menukar pakaian biasa bila turun gunung.
Tubuh Boh Seng Kok jauh lebih
jangkung dan besar daripada sepuluh tahun berselang. Meskipun masih berusia
muda, mukanya penuh brewok, sehingga ia kelihatannya lebih tua daripada Coei
San.
Tiba tiba terdengar suara Boh
Seng Kok yang keras: "Toasoekoku tidak pernah menjusta, perkataannya satu
- satu. dua - dua. Apakah kalian masih tidak percaya?"
Coei San kaget. Adat Soetee
itu yang berangasan ternyata belum berubah. Mengapa ia bergusar?
la lalu mengawasi ketiga tamu
itu. Mereka semua berusia kurang lebih lima puluh tahun. Yang satu kelihatan
angker dan garang, yang satunya lagi jangkung kurus, sedang yang ketiga yang
duduk dikursi paling buncit kelihatannya seperti orang sakit. Dibelakang mereka
berdiri lima orang lain, mungkin murid murid mereka.
"Kami tentu tidak bisa
menyangsikan perkataan Song Toahiap," kata sijangkung kurus. "Tapi
apakah kami boleh mendapat tahu, kapan Thio Ngohiap akan pulang?"
Mendengar perkataan Thio
Ngohiap, Coei San terkesiap. "Apa mereka datang untuk menyelidiki
Gieheng?" tanyanya didalam hati.
Sementara itu, Boh Seng Kok
sudah menjawab: "Biarpun kami bertujuh berkepandaian sangat rendah, tapi
dalam hal menolong sesama manusia kami selalu tidak mau ketinggalan. Kawan
kawan dikalangan Kangouw telah menghadiahkan kami dengan julukan Boe tong cit
hiap. Kami sebenarnya merasa malu mendapat julukan itu. Akan tetapi, sesudah
terlanjur menerimanya kami lebih berhatii hati setiap tindakan kami. Thio Ngoko
seorang yang halus budi pekertinya baik adatnya dan seorang yang boen boe coan
cay. Maka itu, omong kosong jika Ngoko dituduh membunuh keluarga Liong boen
Piauw kiok."
Sekarang baru Coei San tahu
maksud kedatangan tamu-tamu itu.
"Nama besar Boe tong Cit
hiap memang sudah dikenal dalam Rimba Persilatan," kata orang yang
sikapnya garang, "Boh Cit hiap tak usah mengagulkan diri!"
Mendengar perkataan yang
menusuk itu, Seng kok segera berkata: "Apa sebenarnya keinginan Kie Cong
piauw tauw. Kau boleh bicara saja terang-terangan "
Orang itu, Kie Thian Pioe,
lantas saja berkata dengan suara gusar: "Aku tidak menyangsikan, bahwa Boe
tong Cit hiap omong satu-satu, omong dua-dua. Tapi, apakah pendeta suci dari
Siauw lim sie berjusta? Dengan mata sendiri, pendeta Siauw lim telah
menyaksikan cara bagaimana keluarga Liong boen Piauw kiok tetah binasa oleh
Thio Ngo hiap...." Perkataan "hiap" diucapkan dengan suara luar
biasa nyaringnya dan nadanya mengejek.
Bukan main gusarnya In Lie
Heng. Selagi ia mau melompat keluar untuk menghadapi piauwsoe itu, Coei San
mencekal tangannya dan mengawasinya dengan sorot mata berduka.
Si-adik tidak berani
membantah. la kagum akan kesabaran kakak seperguruannya.
Dengan mata berapi, Seng Kok
berkata: "Ngoko sekarang belum pulang, Boh Seng Kok dan Coei San mati
hidup bersama-sama."
Boh Seng Kok bangun berdiri.
"Urusannya adalah urusanku. Jika Sam wie ingin cari Coei San carilah aku.
Sam wie memastikan bahwa Ngoko sesudah membunuh keluarga Liong boen Piauwkiok!
Baiklah, pembunuhan itu sama juga telah dilakukan olehku sendiri. Kalau mau
membalas sakit hati, balaslah kepadaku, Boh Seng Kok adalah Thio Coei San, Thio
Coei San adalab Boh Seng Kok. Dalam kepintaran dan kepandaian, aku tak nempel
dengan saudaraku yang kelima itu. Maka boleh dikatakan, untung besar kau
bertemu dengan aku."
Kie Thian Pioe juga meluap
darahnya. Ia melompat bangun seraya membentak: "Kalau tujuan kami benar
untuk mengacau di Boe tong san, orang sedunia akan mentertawai kami sebagai
manusia-manusia yang tak tahu diri. Akan tetapi, sakit hatinya keluarga Touw
Tay Kim sehingga sekarang belum terbalas. Hal itu tak dapat ditelan oleh kami.
Waktu naik kegunung, karena menghargai Thio Cinjin, kami tidak berani membekal
senjata. Sekarang biarlah aku menerima kebinasaan dibawah kaki dan tangan Boh
Cit hiap." Sehabis berkata begitu, dengan tindakan lebar ia berjalan
ketengah ruangan.
Melihat pertempuran akan
segera terjadi, Song Wan Kiauw yang sedari, tadi terus membungkam, mencekal
tangan adiknya seraya berkata: "Dari tempat jauh kalian datang kemari
dengan membawa tuduhan bahwa Ngotee telah membunuh keluarga Liong boen
Piauwkiok. Untung juga, tak lama lagi Ngotee akan pulang. Maka itu, menurut
pendapatku, sebaiknya kalian menunggu sampai Ngotee kembali dan menanyakan
soal-soal itu kepadanya sendiri."
Tamu yang seperti orang sakit,
pemimpin Yan in Piauwkiok Kiang Kioe Kee yang berakal budi, lantas saja
berkata: "Kie Congpiauwtauw, sabar. Duduklah dulu. Memang juga, sebelum
Thio Ngohiap pulang, urusan ini sukar mendapat penyelesaian yang memuaskan.
Sebaiknya kita sekarang menemui Thio Cinjin untuk meminta jawaban. Beliau
adalah gunung Thay san atau bintang Pak tauw dari Rimba Persilatan dan
dihormati oleh segenap orang gagah. Maka itu, tak mungkin beliau melindungi
diri murid sendiri tanpa melihat siapa yang benar siapa yang salah,"
Perkataan itu yang diucapkan
secara sopan, lihay bukan main dan Boh Seng Kok tentu saja mengerti maksudnya.
"Guruku sedang menutup diri dan sampai sekarang belum keluar "
katanya. "Disamping itu, selama beberapa tahun ini, segala urusan selalu
diurus oleh Toa soeko dan kecuali orang yang sangat kenamaan dalam Rimba
Persilatan, Soehoe boleh dikatakan tidak pernah menerima tamu." Dengan
berkata begitu, Boh Cit hap mau mengatakan, bahwa ketiga Congpiauw tauw
tersebut belum cukup tinggi kedudukannya untuk berjumpa dengan Thio Sam Hong.
Tamu yang bertubuh jangkung
kurus, yaitu In Ho dari Chin-yang piauwkiok, tertawa dingin:
"Urusan-urusan dalam dunia memang sering terjadi secara kebetulan,"
katanya: "Secara kebetulan, kedatangan kami terjadi pada saat Thio Cinjin
sedang menutup diri. Tapi soal tujuh puluh jiwa lebih dari keluarga Liong boen
Piauwkiok sukar dielakkan dengan alasan menutup diri."
Dengan perkataan yang sangat
berat itu, buru-buru Kiong Kioe Kee mengedipkan matanya.
Boh Seng Kok gusar tak
kepalang. "Kau mau mengatakan, bahwa guruku menutup diri karena merasa
jeri terhadap kamu?" bentaknya. In Ho tidak menjawab, ia hanya tertawa
dingin.
Biarpun sabar, hinaan terhadap
gurunya yang sangat dihormati umum, sangat mendongkolkan hati Song Wan Kiauw.
Selama banyak tahun, belum pernah ada orang berani mengucapkan kata kata kurang
ajar untuk alamat Thio Sam Hong dihadapan Boe tong Cit hiap. Maka itu, ia
segera berkata dengan suara perlahan.
"Sam wie adalah tamu kami
dan kami tidak berlaku kurang sopan. Marilah kami mengantar kalian keluar dari
kuil ini."
Seraya berkata begitu, ia
mengebas dengan tangan jubahnya dan ........loh! tiga cangkir teh yang berada
dihadapan Kie Thian Pioe, In Ho dan Kiong Kioe Kee serentak terbang dan kemudian
perlahan-lahan turun dihadapan Wan Kiauw.
ltulah pertunjukan Lweekang
yang dahsyat luar biasa. Begitu Wan Kiauw mengebas, Kie Thian Pioe bertiga
merasa dada mereka menyesak, tapi sejenak kemudian, rasa sesak itu menghilang.
Paras muka ketiga orang itu berubah pucat bagaikan kertas. Mereka tahu bahwa
jika mau Song Toahiap dengan mudah dapat mengambil jiwa mereka seperti orang
membalik telapak tangannya sendiri.
Antara mereka, Kie Thian Pioe
lah yang paling polos. Sambil merangkap kedua tangannya ia berkata:
"Terima kasih atas belas kasihan Song Toahiap. Kami minta permisi!"
Wan Kiauw dan Seng Kok
mengantar tamunya sampai diluar kuil.
"Cukuplah, kalian tak
usah mengantar lebih jauh lagi," kata Kie Thian Pioe.
"Kami menghaturkan banyak
terima kasih atas kunjungan kalian," kata Wan Kiauw. "Dilain hari,
kami akan balas mengunjungi pianwkiok kalian di kotaraja, Thay goan dan Kim
leng."
"Itulah kehormatan yang
kami tidak berani menerima." sahut Kie Thian Pioe.
Selagi mereka meagucapkan kata
kata sungkan, tiba tiba datang orang setengah tua yang bertubuh kecil.
"Sietee, berkenalanlah dengan ketiga sahabat ini." kata Wan Kiauw.
Sesudah diperkenalkan sambil
tertawa Thio Siong Kee berkata: "Sungguh kebetulan Samwie datang di sini.
Aku justru ingin menyerahkan beberapa rupa barang." la merogoh sakunya
mengeluarkan tiga bungkusan kecil yang lalu di bagikan kepada ketiga tamu itu.
"Barang apa ini?"
tanya Kie Thian Pioe.
"Jangan buka
disini," kata Siong Kee. "Sesudah turun gunung, barulah kalian boleh
membukanya."
Sesudah ketiga tamu itu
berlalu, Boh Seng Kok berkata dengan tergesa-gesa: "Sieko. Mana Ngo ko?
Apa ia sudah pulang?"
"Pergilah kau menemui
Ngotee," kata Siong Kee seraya bersenyum. "Aku dan Toako akan
menunggu kembalinya ketiga piauwsoe itu."
"Kembalinya ketiga
piauwsoe?" menegas Seng Kok dengan heran. "Mengapa begitu ?"
Tapi, sebab ia ingin lekas-lekas bertemu dengan Coei San tanpa menunggu
jawaban, ia lantas masuk dengan berlari-lari.
Benar saja, baru Boh Cithiap
masuk kedalam, Kie Thian Pioe bertiga sudah kembali dengan terburu-buru dan
begitu berhadapan dengan Wan Kiauw dan Siong Kee, mereka berlutut. Wan Kiauw
dan Siong Kee membalas hormat dan membangunkan ketiga orang itu.
"Kemuliaan para pendekar
Boe tong baru sekarang diketahui aku, si orang she In." Kata In Ho.
"Barusan aku telah mengeluarkan kata-kata yang menghina Thio Cinjin dan
aku sungguh lebih hina dari pada anjing atau babi."
Sehabis berkata begitu, ia
menggapelok mukanya sendiri belasan kali, sehingga jadi bengkak dan matang
biru.
"In Congpiauwtiauw adalah
seorang laki-laki gagah yang mempunyai cita-cita besar," kata Siong Kee.
"Cita-cita untuk merampas pulang, sungai dan gunung (negara) dari tangan
penjajah, mendapat sokongan sepenuhnya dan segenap orang gagah diseluruh
negeri. Bantuan sekecil itu yang diberikan kami adalah selayaknya saja. Perlu
apa In Congpiauwtauw berlaku sampai begitu rupa?"
"Jiwa seluruh keluargaku
telah ditolong oleh Coe hiap (para pendekar)," kata pula In Ho.
"Selama lima tahun, aku
seperti orang mimpi. Untuk kedosaanku, aku harap beliau suka menghajar aku,
supaya hatiku jadi lebih enak."
Siong Kee tertawa.
"Urusan yang sudah lewat sebaiknya jangan disebut-sebut lagi,"
katanya. "Andai kata Soehoe sendiri mendengar perkataan In Congpiauwtauw
yang sangat mulia, beliaupun tak merasa tersinggung," Tapi In Ho yang
masih merasa sangat malu, terus mencaci dirinya sendiri.
Song Wan Kiauw yang tidak
mengerti duduknya persoalan, hanya mengeluarkan perkataan-perkataan merendahkan
diri. Selain In Ho, Kie Thian Pioe dan Kiong Kioe Kee juga tak hentinya
menghaturkan terima kasih. Menurut penglihatan Wan Kiauw, Siong Kee bersikap
sangat manis dan hangat terhadap In Ho, tapi terhadap Kie dan Kiong
Congpiauwtauw, ia bersikap sedang-sedang saja. Mereka bertiga memohon permisi
untuk memberi hormat didepan kamar Thio Sam Hong dan menghaturkan maaf kepada
Beh Sang Kok, tapi permintaan itu semua ditolak dengan manis oleh Wan Kiauw
berdua.
Sesudah ketiga orang itu
berlalu, Siong Kee berkata seraya menghela napas: "Biarpun mereka merasa
sama sekali tidak menyebutkan soal Liong boen Piauwkiok. Dengan lain perkataan,
budi tinggal budi, tapi urusan itu masih belum beres."
Baru saja Wan Kiauw ingin
meminta penjelasan, Coei San sudah muncul sambil berlari-lari. Begitu
berhadapan dengan kakaknya, ia berlutut seraya berkata "Toako ....."
Song Wan Kiauw halus budi
pekertinya. Walaupun terhadap adik seperguruannya, apa pula dalam keadaannya
ini, seperti sekarang selagi hatinya berdebaran, ia tidak dapat melupakan akal
budinya itu, maka ia membalas hormat sambil berlutut juga. la pun berkata
"Ngo tee, oh akhirnya kau pulang juga !"
"Ya, Toako,"
menyahut adik seperguruannya yang nomor lima itu.
Coei San lantas menuturkan hal
ikhwalnya semenjak perpisahan mereka.
Boh Seng Kok yang tidak sabaran,
menyelak: "Ngoko, ketiga piauwsoe itu sangat kurang ajar, mereka tetap
menuduh kaulah yang membinasakan seantero keluarga Liong boen Piauw kiok di Lim
an, kenapa kau berlaku demikian sabar dan tidak hendak pergi menghajar adat
kepada mereka ?"
Mendengar itu, Coei San
menghela napas, romannyn sangat berduka.
"Tentang soal, itu
berliku-liku duduknya, tidak dapat dituturkan dengan sepatah dua patah
kata," katanya. "Tunggu saja sampai Sha-ko sudah mendusin, nanti aku
menjelaskan semua. Bahkan aku masih hendak memohon saudara-saudara membantu
memikirkan suatu daya yang sempurna."
"Jangan kuatir,
Ngoko," berkata In Lie Hang. "Tidak layak perbuatannya Liong boen
Piauw kiok yang mengantarkan Sha-ko pulang dalam keadaan bercacad seumur
hidupnya! Andai kata benar Ngoko telah membinasakan seluruh keluarga nya,
itulah disebabkan kecintaan terhadap saudara sendiri. karena kemurkaanmu pada
satu saat...."
"Liok tee, kau ngaco
!" bentak Lian Cioe. "kalau Soehoe mendengar kata-katamu ini,
pastilah kau bakal dikurung selama tiga bulan! Membinasakan seantero keluarga,
tua dan muda, itu artinya memusnahkan satu rumah tangga, perbuatan demikian itu
mana dapat kita lakukan ?"
Kelima orang itu lantas
mengawasi Thio Coei San, roman siapa tampak sangat berduka.
"Keluarga Liong boen
Piauw kiok itu, seorang pun tidak ada yang kubunuh," berkata Coei Sani
selang sesaat. "Aku tidak berani melupakan ajaran Soehoe dan tidak berani
juga menyeret-nyeret semua saudara."
Mendengar ini lega hati
mereka. Tadinya mereka menyangsikan saudara seperguruan ini. Mereka tidak
percaya saudara mereka melakukan perbuatan sangat terlengas itu. Tetapi pihak
Siauw lim menuduh pasti pembunuhan itu dilakukan Coei San dan mereka itu mengatakan
melihatnya dengan mata kepala sendiri, sedang ketika piauwsoe tadi datang, Coei
San tidak mangajukan dirinya untuk menyangkal atau menegur mereka toh
bercuriga.
Tapi sekarang, sesudah
mendengar pernyataan Coei San, hati mereka lega. Mereka lantas berpikir.
"Didalam urusan ini tentu ada kesulitannya, akan tetapi tidak apalah asal
jangan dia yang melakukan pembunuhan. Biar bagian apapun jua, akhirnya pasti
soal itu akan dapat dibikin terang dan didamaikan."
Kemudian Boh Seng Kok
menanyakan tentang ketiga piauwsoe itu.
"Diantara mereka bertiga,
in Ho yang omongnya kasar adalah yang perlakuannya paling baik," kata
Siong Kee, "diwilayah Shoa say dan Siam say, dia sangat tersohor,
Diam-diam dia telah berserikat dengan orang-orang gagah dikedua propinsi itu,
dengan tujuan untuk merobohkan kerajaan Goan."
"Itulah bagus!"
berseru Song Wan Kiauw berlima.
"Tidak disangka dia
sedemikian bersemangat," kata Boh Seng Kok dengan rasa kagum, "dia
harus dihormati dan dipuji Sieko, kau jangan bicara terus dulu, kau tunggu
sampai aku sudah kembali." Setelah berkata begitu, ia pergi keluar sambil
berlari lari.
Thio Siong Kee benar-benar
berhenti menutur, sebaliknya ia menanyakan Coei San tentang pulau Peng hwee to.
Coei San lantas bercerita
tentang si kera putih yang cerdik luar biasa, sehingga keempat saudaranya
menjadi heran dan kagum.
"Sebenarnya kami berniat
membawa pulang kera itu," kata Coei San pula. "Sesudah berlayar
berapa hari, ia agaknya tidak biasa dengan hawa udara yang hangat, mendadak dia
menerjun ke air, dan berenang kearah utara, mungkin dia niat pulang kepulau
Peng hwee to."
"Sayang, sayang,"
kata In Lie Heng.
"Kera sedemikian kecil,
tetapi begitu kuat, itulah hebat," kata Wan Kiauw.
"Mungkin kera itu bukan
bangsa kera asli," Coei San mengutarakan dugaannya, "Mungkin dia
berjenis tersendiri disebabkan terlahirnya di pulau yang hawa udaranya sangat
luar biasa. "
Wan Kiauw mengangguk.
"Mungkin," katanya. "Ditanah pegunungan dan rimba-rimba kitapun
terdapat binatang binatang yang istimewa."
Selagi mereka bicara, Boh Seng
Kok kembali dengan berlari-lari. "Aku telah menyusul In Piauw soe untuk
menghaturkan maaf dan aku telah memujinya sebagai seorang laki-laki
sejati!" katanya.
Senang saudara-saudaranya
mendengar keterangan itu. Mereka memang telah menduga kemana perginya saudara
itu barusan. Sebagai seorang jujur, Boh Seng Kok tak menghiraukan perjalanan
maafnya itu, sebab kalau tidak, ia bakal tidak dapat tidur tenang.
"Cit tee," kata In
Lie Hang, "penuturan Sieko ditunda sebab musti menantikan kau, tetapi
ceritanya Ngoko tentang si kera cerdik lebih menarik hati Iagi."
"Oh, begitu?" Seng
Kok berjingkrak.
Siong Kee menyelak
"Rencananya In Ho itu sudah diatur rapi..."
"Sieko maaf," Seng
Kok memotong, "tunggu sebentar!...."
"Dasar Cit tee!"
Coei San tertawa yang terpaksa mengulangi ceritanya tentang si kera putih.
"Benar benar aneh,
benar-benar aneh!" seru Seng Kok. "Nah, Sieko giliranmu!"
Siong Kee bersenyum, ia
berkata: "Rencana In Ho itu sudah rapi, dia tinggal menanti harinya untuk
bergerak ditiga tempat ialah Thay goan, Thay tong dan Hoen yang. Siapa tahu,
diantara kawan serikat mereka, ada seorang pengkhianatnya. Tiga hari sebelum
bergerak, dia telah pergi membuka rahasia kepada pihak Mongolia sambil
menyerahkan juga daftar nama-nama rancana gerakan In Ho itu."
"Ah, itulah hebat!"
seru Seng Kok.
"Tapi disana telah
terjadi sesuatu yang kebetulan." kata Siong Kee tertawa. "Ketika itu
aku berada di Thay goan, maksudku mencari Tiekoan Thay goan untuk mengajar adat
kepada nya. Pada tengah malam itu, aku mendapatkan si Tiekoan asyik berbicara
dengan si pengkhianat, merundingkan cara untuk membeber rahasia itu kepada
kaizar serta daya untuk mengirim tentara guna menyapu bersih kawanan pencinta
negara itu. Tanpa ayal lagi, aku melompat masuk dari jendela. Aku bunuh Tiekoan
dan si pengkhianat, kemudian aku merampas daftar nama-nama rencana kerja itu
yang terus dibawa pulang olehku ke Selatan. Di pihak In Ho, orang bingung dan
berkuatir sekali karena lenyapnya daftar dan rencana mereka. Mereka mengerti,
bahwa selain kuatir mereka akan gagal, juga mereka serta keluarga mereka
terancam bahaya kemusnahan. Mereka lantas bekerja mengirim orang untuk memberi
kisikan, agar keluarga mereka pada pergi mengumpatkan diri. Celakanya, tindakan
inipun mendapat halangan, yaitu pintu kota telah ditutup dan pesuruh-pesuruh
ini tidak dapat keluar dari kota."
"Besoknya pagi kekuatiran
mereka ditambah dengan tersiarnya berita pembunuhan atas diri Tie koan,
pembunuhan mana sangat menggemparkan, sebab pembesar negeri mengambil tindakan
menutup pintu kota sambil berbareng melakukan penggledahan luas untuk mencari
dan membekuk si pembunuh gelap. In Ho semua bagaikan rombongan semut di atas
kwali panas. Mereka terutama berkuatir akan keselamatan semua kawan mereka
dikedua propinsi. Untuk beberapa hari mereka hidup seperti tersiksa. Selama itu
tidak terjadi sesuatu dan sipembunuh Tiekoanpun tidak kedapatan. Akhirnya,
urusan menjadi reda. Ketika mereka mengetahui bahwa sipangkhianatpun terbunuh
didalam kantor Tiakoan, mereka menduga ada pertolongan tersembunyi untuk pihak
mereka. Mereka tidak tahu siapa penolong itu. Merekapun sama sekali tidak
menduga aku"
"Jadi yang tadi kau
serahkan pada In Ho itu ialah daftar nama-nama dan rencananya itu?"
"Benar." jawabnya.
"Bagaimana dengan Kiong
Kioe Kee ?" Lie Heng tanya pula. "Bagaimana Sie ko membahtu dia
?"