Dalam pada itu Nyo Ko merasakan darah panas, bergolak di
rongga dadanya, seperti halnya Siao liong-li, rasanya darah itu akan tertumpah
keluar.
Kiranya aliran lwekang Ko-bong-pay itu sangat
mengutamakan soal mengekang perasaan dan pengendalikan napsu, sebab itulah
waktu Siao-liong-li diajarkan oleh gurunya dahulu, ia diharuskan menjauhi
segala macam perasaan suka-duka dan pengaruh dari Iuar. Belakangan ketika
Siao-liong-li tak dapat menahan perasaannya sehingga beberapa kali ia telah
tumpah darah.
Nyo Ko sendiri mendapat ajaran dari Siao-liong-li, aliran
Lwekangnya sama, karena gejolak perasaannya itu, kini kaki dan tangannya terasa
dingin dan darah hampir tersembur dari mulutnya.
Ia menjadi nekat ingin mati saja di hadapan sang Kokoh
yang tidak mau gubris lagi padanya itu, Tapi segera terpikir olehnya:
"Betapa mesranya Kokoh padaku biasanya, bahwa sekarang dia bersikap
sedingin ini padaku, kuyakin pasti-ada sebab musababnya, besar kemungkinan dia
mendapat tekanan dari Kokcu bangsat ini dan terpaksa tidak berani mengakui
diriku. Kalau aku tidak bersabar dan cari jalan keluar, tentu sukar menghadapi
orang-orang di sini."
Karena pikiran itu, serentak semangat jantannya timbul,
ia bertekad akan melabrak musuh dan menyelamatkan Siao-liong-li keluar dari tempat
berbahaya ini. Segera ia mengumpulkan semangat dan menenangkan diri, kemudian
ia tersenyum dan berkata kepada Hoan It-ong: "He, ada apa kau
gembat-gembor tadi? Pegunungan sunyi seperti kuburan ini, kalau tuan muda mau
datang masakah kau mampu mengalangi dan jika kuingin pergi masakah kau dapat
menahan diriku?"
Tadi semua orang menyaksikan keadaan Nyo Ko yang sedih
dan kalap seperti orang gila, tap mendadak bisa berubah menjadi sabar dan
tenang sungguh mereka sangat heran, Karena Hoart It-ong memang tiada maksud
membunuh Nyo Ko sebagai mana perintah sang guru, maka tongkatnya segera
disabetkan ke kaki Nyo Ko.
Kongsun Lik-oh kenal kepandaian Toasuhengnya itu sangat
lihay, meski tubuhnya pendek, tap memiliki tenaga raksasa pembawaan semalam pun
menyaksikan ketahanan Nyo Ko digarang di dalam rumah batu itu, Lwekangnya jelas
tidak rendah, tapi mengingat usianya yang masih muda, rasanya sukar melawan
permainan tongkat Toasu-hengnya, apabila kedua orang sudah bergebrak untuk
menolong pemuda itu pasti sangat sukar.
Karena hasratnya ingin menolong Nyo Ko, walaupun nampak
sang ayah sedang gusar, namun Kongsun Lik-oh tetap nekat dan tampil ke muka,
katanya kepada Nyo Ko: "Nyo-kongcu, tiada gunanya kau buang waktu di sini
dan mengorbankan jiwamu."
Nyo Ko hanya mengangguk dan tersenyum, jawabnya:
"Terima kasih atas maksud baik nona, Tapi aku ingin main-main beberapa
jurus dengan si jenggot panjang ini, eh, apakah kau suka mainan kuncir, biar
kupotong jenggot si cebol ini untukmu."
Kejut sekali Kongsun Lik-oh dan tidak berani menanggapi
ucapan Nyo Ko itu, ia anggap kelakar pemuda itu keterlaluan dan benar-benar
sudah bosan hidup barangkali.
Dalam pada itu Hoan It-ong menjadi gusar juga karena
jenggotnya itu diremehkan Nyo Ko, mendadak ia membuang tongkatnya dan melompat
maju sambil membentak: "Bocah kurangajar! rasakan dulu jenggotku
ini!"
Belum habis ucapannya, mendadak jenggot yang panjang itu
menyabet ke muka si Nyo Ko.
Aembari berkelit Nyo Ko berkata dengan tertawa:
"Lo-wang-tong tidak berhasil memotong jenggotmu, biarlah akupun
mencobanya."
Segera ia mengeluarkan gunting raksasa dari rangselnya
terus menggunting, Tapi sekali miringkan kepalanya, Hoan It-ong putar
jenggotnya terus menghantam kepala lawan dengan kekuatan yang hebat.
Cepat Nyo Ko melompat ke samping, sebalikya guntingnya
terus membalik dan "creng", guntingnya telah mengatup.
Kejut Hoan It-ong tak terkatakan, secepat kilat ia
berjumpalitan ke belakang, sedikit ayal saja jenggotnya pasti sudah tergunting
putus.
Sebenarnya gunting Nyo Ko itu dia pesan dari Pang
Bik-hong untuk digunakan melawan senjata kebut Li Bok-chiu, untuk itu dia sudah
mempelajari gaya permainan kebut lawan dan cara, bagaimana guntingnya harus
bekerja.
Siapa tahu Li Bok-chiu yang diharapkan itu belum pernah
bertemu, kini guntingnya harus menghadapi si kakek cebol yang menggunakan
jenggot panjang sebagai senjata.
Nyo Ko sangat senang, ia yakin betapapun lihaynya jenggot
si kakek juga pasti tidak lebih lihay daripada kebut Li Bok-chiu, karena itu
dia tidak menjadi gentar, guntingnya terus mendesak lawan.
Hoan It-ong sendiri sudah lebih 30 tahun menggunakan
jenggotnya sebagai senjata, apalagi kedua tangannya juga ikut menyerang, tentu
saja tambah lihay.
Malahan Ciu Pek-thong yang maha sakti itupun tidak
berhasil menggunting jenggot Hoan It-ong, maka semua orang menyangka Nyo Ko
pasti juga akan gagal.
Tak terduga permainan gunting Nyo Ko ternyata lebih
lincah dan hidup serta lain dari pada Ciu Pek-thong. tentu saja hal ini
membikin semua orang merasa heran, Padahal bukanlah Nyo Ko lebih tinggi ilmu
silatnya daripada Ciu Pek-thong, soalnya sebelum itu dia sudah mempelajari gaya
permainan kebut Li Bok-chiu dan sudah merancangkan cara bagaimana akan
menggunakan guntingnya, sedangkan gerakan jenggot Hoan It-ong justeru hampir
sama dengan permainan kebut Li Bok-chiu, maka sekali Nyo Ko mulai memainkan
guntingnya, dengan sendirinya terasa sangat lancar dan berada di atas angin.
Begitulah beberapa kali jenggot Hoan It-ong tampak kena
digunting putus, kini ia tak berani lagi meremehkan Nyo Ko yang masih muda itu.
Segera, ia ganti serangan jenggotnya disertai dengan pukulan yang dahsyat,
terkadang sabetan jenggotnya cuma gerak pura-pura, lalu disusul dengan pukulan
lihay sungguhan tapi ada kalanya pukulannya cuma pancingan, lalu jenggotnya
menyabet, sungguh kepandaian yang luar biasa dan lain daripada yang lain.
Setelah beberapa puluh jurus lagi, diam2 Nyo Ko mulai
gelisah, ia pikir Kokcu she Kongsun itu jelas manusia culas dan kejam, ilmu
silatnya pasti juga jauh di atas kakek cebol ini, kalau muridnya tak dapat
dikalahkan lalu cara bagaimana melawan gurunya nanti?
Nyo Ko coba memperhatikan gerak-gerik lawan, tertampak
kelakuan kakek cebol itu sangat lucu dikala menggoyangkan kepala untuk
menya-betkan jenggotnya, semakin keras sabetan jenggot-nya, semakin lucu pula
kepalanya itu bergoyang.
Tiba-tiba hari Nyo Ko tergerak ia telah menemukan cara
mematahkan serangan lawan itu, "cret", ia katupkan guntingnya sambil
melompat mundur dan berseru: "Berhenti dulu !"
Hoan It-ong tidak mengudaknya, ia bertanya: "Adik
cilik jika kau menyerah kalah, nah lekas pergi saja dari sini!"
Tapi Nyo Ko menggeleng dan menjawab: "Aku ingin
tanya, setelah jenggotmu ini dipotong, berapa lama baru dapat tumbuh lagi
sepanjang itu?"
"Itu bukan urusanmu?" sahut Hoan lt-ong dengan
gusar. "Selamanya aku tidak pernah cukur!"
"Sayang, sayang ! sungguh sayang!" ujar Nyo Ko
sambil menggeleng.
"Sayang apa ?" tanya Hoan It-ong melengak.
"Cukup di dalam tiga jurus saja segera jenggotmu
yang panjang ini akan kugunting putus," kata Nyo Ko.
Mana Hoan It-ong mau percaya dalam tiga-jurus saja
dirinya akan dikalahkan oleh Nyo Ko, bukankah sejak tadi mereka sudah bergebrak
beberapa puluh jurus? Dengan pusar ia membentak: "Lihat
seranganku!"--Sebelah tangannya segera memukul.
Cepat Nyo Ko menangkis dengan tangan kiri, gunting di
tangan kanan balas menghantam batok kepala lawan, perawakan Nyo Ko lebih
tinggi, untuk memukul lawan dengan sendirinya mesti dari atas ke bawah, karena
itu Hoan I-ong memiringkan kepalanya untuk menghindar, tak terduga tangan kiri
Nyo Ko lantas menghantam pula kepeIipis kanannya, untuk mengelak terpaksa Hoan
It-ong memiringkan kepala lagi, tapi lantaran serangan lawan teramat cepat dan
caranya memiringkan kepala juga sangat cepat, dengan sendirinya jenggotnya yang
panjang itu ikut tergertak ke atas, padahal gunting Nyo Ko sudah disiapkan di
sebelah kanannya "cret", tanpa ampun lagi jenggotnya tergunting
sepanjang setengah meter.
Semua orang menjerit kaget, ternyata benar Nyo Ko telah
memotong jenggot Hoan It-ong hanya dalam tiga jurus saja seperti apa yang
dikatakan sebelumnya tadi.
Kiranya menurut pengamatan Nyo Ko tadi, diketahuinya
apabila Hoan It-ong hendak menyabet dengan jenggotnya ke kiri misalnya, maka
kepalanya pasti meleng dulu ke sebelah kanan, jika jenggot hendak menyabet ke
atas, maka kepala tentu menunduk lebih dulu.
Dari situlah dia menetapkan siasatnya untuk memotong
jenggot lawan harus pura-pura menghantam kepalanya dengan begitu barulah dia
berani sesumbar akan menggunting jenggot lawan dalam tiga jurus saja.
Hoan It-ong terkesima sejenak, ia merasa sayang dan murka
pula karena jenggot yang sudah dirawatnya selama hidup itu telah digunting
begitu saja, Cepat ia samber kembali tongkatnya, dengan kalap ia serampang
pinggang Nyo Ko.
Waktu masuk tadi Be Kong-co telah dijatuhkan oleh jenggot
Hoan It-ong, maka ia sangat senang melihat jenggot orang terguling putus,
serunya sambil tertawa: "He, Hoan cebol, tampangmu memangnya jelek, tanpa
jenggotmu itu kau menjadi semakin buruk rupa!"
Hoan It-ong tambak gemas sehingga serangannya bertambah
dahsyat pula.
Selama Nyo Ko bergebrak dengan Hoan It-ong, yang
dipikirkan hanya jenggot orang saja sehingga belum diketahui sampai dimana
kekuatan yang sesungguhnya, kini menghadapi tongkat lawan, ia ingin tahu
bagaimana tenaganya, ketika tongkat lawan menyabet tiba, segera ia menangisnya
dengan gunting, "trang", lengan terasa kesemutan dan gunting raksasa
itu telah bengkok. Hanya satu jurus itu saja gunting itu sudah tak dapat
digunakan lagi.
Melihat perubahan itu, Kongsun Lik-oh menguatirkan pula
keselamatan Nyo Ko, cepat ia berseru: "Nyo-kongcu, tenagamu tidak memadai
Toasuhengku, buat apa kau menempurnya lagi?"
Kegusaran Kongsun Kokcu bertambah sengit karena puterinya
berulang kali membela orang luar, ia pelototi anak perempuannya itu, tertampak
si nona mengawasi -Nyo Ko dengan penuh perhatian, ketika ia memandang
Siao-liong-li, tertampak sikapnya hambar saja se-akan2 tidak ambil pusing
terhadap keselamatan Nyo Ko.
Karena itu Kong-sun Kokcu menjadi girang, ia pikir
Siao-liong-li ternyata tidak mencintai Nyo Ko, terbukti keselamatan pemuda itu
sedikitpun tidak dihiraukannya.
Padahal Siao-Iiong-Ii cukup kenal kepintaran dan
kecerdikan Nyo Ko, ilmu silatnya juga pasti tidak dibawah Hoan-It-ong, ia yakin
pertarungan mereka pasti akan dimenangkan pemuda itu, makanya ia sama sekali
tidak berkuatir.
Dalam pada itu Nyo Ko telah membuang guntingnya yang
sudah bengkok itu, lalu berkita: "Hoan-heng, kau pasti bukan tandinganku
lebih baik kau menyerah saja!"
Dengan gusar Hoan It-ong menjawab: "Asalkan kau
sanggup mengalahkan tongkatku ini, segera aku membunuh diri!" Berbareng
tongkatnya terus mengemplang sekerasnya.
Namun sedikit Nyo Ko miringkan tubuhnya, tongkat itu
jatuh disebelahnya, sekali kaki kiri Nyo Ko menginjak, dengan tepat batang
tongkat itu terpijak.
Sekuatnya Hoan It-ong mengangkat tongkatnya ke atas, tapi
tubuh Nyo Ko juga lantas mengikuti gerakan tongkat itu dan terbawa ke udara,
dengan mantap ia berdiri diatas tongkat dengan satu kaki, yaitu kaki kiri.
Beberapa kali Koan it-ong menggerakkan tongkatnya agar Nyo Ko tergetar jatuh,
tapi tak berhasil.
Dengan murka Hoan It-ong hendak memutar tongkatnya, tapi
Nyo Ko keburu melangkah maju melalui batang tongkatnya.
Keruan gerakan aneh Nyo Ko ini sangat mengejutkan Hoan
It-ong, sementara itu Nyo Ko sudah melangkah maju lagi satu tindak, mendadak
kaki kanan melayang ke depan untuk menendang hidung-nya.
Keadaan Hoan It-ong menjadi serba salah, musuh seperti
melengket pada batang tongkatnya, kalau dirinya melompat mundur sama juga
seperti membawa musuh lebih maju, kalau tidak melompat mundur jelas sukar
menghindarkan tendangan lawan, sedang kedua tangan memegangi tongkat dan tak
dapat digunakan menangkis, apalagi jenggotnya sudah tergunting sehingga tiada senjata
buat menghela diri lagi.
Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia membuang tongkatnya
dan melompat mundur untuk menghindari tendangan musuh, "trang", ujung
tongkat mengetok lantai, ujung lain belum lagi jatuh sudah keburu dipegang oleh
Nyo Ko.
Be Kong-co, Nimo Singh dan lainnya bersorak memuji.
Segera Nyo Ko ketokkan tongkat rampasannya itu ke lantai dan bertanya dengan
tertawa "Apa abamu sekarang ?
Muka Hoan It-ong merah padam, jawabnya penasaran:
"Kau main licik, aku tetap tidak merasa kalah !"
"Baik, boleh kita coba lag" ujar Nyo Ko sambil
melemparkan tongkat kepada Hoan It-ong.
Ketika Hoan It-ong hendak menangkap tongkat itu, tak
terduga mendadak tongkat itu melompat ke atas sehingga tangan Hoa It-ong
menangkap angin, sekali ulur tangannya kembali Nyo Ko samber lagi tongkat itu.
Serentak Be Kong-co dan lainnya bersorak pada lebih
keras, sebaliknya muka Hoan It-ong semakin merah padam.
Kim-lun Hoat-ong dan In Kek-si saling pandang dengan
tersenyum, diam-diam mereka memuji kepintaran Nyo Ko. Kemarin mereka
menyaksikan Ciu Pek-thong menimpuk orang dengan ujung tombak yang patab, tapi
ujung tombak itu bisa berubah arah di tengah jalan sebelum mencapai sasarannya,
jelas Nyo Ko telah menirukan cara Ciu Pek-thong itu.
Dengan sendirinya Kongsun Kokcu dan anak muridnya tidak
mengetahui seluk-beluk itu, mereka menjadi kaget dan heran atas kepandaian Nyo
Ko.
"Bagaimana, apakah perlu satu kali lagi ?"
tanya Nyo Ko dengan tertawa.
Hoan It-ong merasa terguntingnya jenggot dan terampasnya
tongkat adalah karena tertipu oleh kelicikan lawan, dengan sendirinya ia tidak
mau mengaku kalah. Dengan suara keras dan gemas ia menjawab: "Jika kau
dapat mengalahkan aku dengan kepandaian sejati barulah aku menyerah
padamu."
"Ilmu silat harus mengutamakan kecerdikan,"
jengek Nyo Ko, "gurumu sendiri teramat tolol, anak muridnya dengan
sendirinya goblok, makanya aku memberi nasehat lebih baik kau cari guru lain
yang lebih pandai saja," jelas ucapannya ini sama saja memaki Kongsun
Kokcu.
Keruan Hoan It-ong bertambah murka, dengan nekat ia
menerjang maju. Dengan melintangkan tongkat Nyo Ko angsurkan senjata
rampasannya itu kepada si kakek sambil berkata : "Sekali ini kau harus
hati-hati, kalau sampai kurebut lagi jangan kau sesalkan orang."
Hoan It-ong tidak berani menjawab, ia genggam tongkat
sekencangnya dan siap siaga, ia pikir untuk dapat merampas lagi tongkat kecuali
kau potong sekalian tanganku ini.
"Awas ! " terdengar Nyo Ko berseru sambil
menubruk ke depan, tahu-tahu tangan kirinya sudah menempel ujung tongkat lawan,
berbareng jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan terus menyolok kedua mata
musuh, malahan kaki kirinya juga ikut menginjak batang tongkat. Inilah jurus
"Go kau-toat-tiang" (merampas tongkat dari mulut anjing galak), suatu
jurus maha sakti dari Pak~kau-pang-hoat kebanggaan K,ay-pang itu.
Dahulu ketika pertemuan besar Kay-pang (kaum pengemis)-di
Kue-san, dengan jurus inilah Ui Yong telah merebut tongkat penggebuk anjing
dari tangan Nyo Kong (ayah Nyo Ko) dan jadilah dia ketua Kay-pang yang
disegani.
Cara merebut senjata lawan dengan jurus sakti itu boleh
di katakan tidak pernah meleset, seratus kali tembak seratus kali kena.
Kalau dua kali yang duluan Nyo Ko berhasil merebut
tongkat lawannya, walaupun caranya juga aneh, tapi gerakannya dapat diikuti
dengan jelas oleh penonton, tapi sekali ini bahkan Hoa It-ong sendiri tidak
tahu bagaimana caranya, sekejap mata saja tahu-tahu tongkatnya sudah berpindah
ke tangan musuh.
"Nah, cebol tua, sekali ini kau takluk tidak?"
seru Be Kong-co.
"Dia pakai ilmu sihir dan bukan kepandaian sejati,
mana aku mau menyerah ?" jawab Hoan lt-ong penasaran.
"Habis cara bagaimana baru kau mau takluk?"
tanya Nyo Ko dengan tertawa.
"Kecuali kau merobohkan aku dengan kepandaian
sejati," sahut Hoan It-ong.
Nyo Ko mengembalikan lagi tongkatnya dan berkata:
"Baikiah, kita boleh coba-coba lagi beberapa jurus"
Hoan It-ong sudah kapok terhadap cara orang merebut
senjatanya dengan bertangan kosong, ia pikir sebaiknya bertanding senjata saja.
Segera ia berkata pula: "Aku sendiri menggunakan senjata sebesar ini,
sebaiknya kau bertangan kosong, andaikata aku menang juga kau merasa
penasaran."
"Jelas kau sudah kapok pada caraku merebut senjatamu
dengan bertangan kosong," ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Baiklah, biar
akupun menggunakan senjata untuk melayani kau." ia coba memandang
sekeliling ruangan, dilihatnya dinding sekitarnya tiada sesuatu pajangan
apapun, apalagi senjata yang dapat digunakan Hanya di halaman sana ada dua
pohon Liu dengan ranting pohon yang berlambaian menghijau permai.
Ia pandang sekejap kepada Siao-liong-li dan berkata:
"Kau ingin she Liu, biarlah kugunakan ranting pohon liu sebagai
senjata," Segera ia melompat ke halaman sana dan mengambil sepotong
ranting liu yang bulat tengahnya sekira tiga senti dan panjang satu meteran
sehingga mirip pentung penggebuk anjing milik Kay-pang, mana daun Liu tidak
dihilangkannya dari ranting itu sehingga kelihatannya lebih luwes.
Diam-diam Hoan It-ong sangat mendongkol, ternyata Nyo Ko
tidak menggunakan senjata yang umum, sebaliknya memakai ranting kayu seperti
mainan anak kecil saja, cara ini jelas sangat meremehkan dia.
Sementara itu Be Kong-co telah berseru: "Adik Nyo,
kau pakai golokku ini!" Segera pula ia melolos goloknya sehingga
memancarkan cahaya kemilauan, sungguh sebatang golok-pusaka yang tajam.
"Terima kasih," kata Nyo Ko, "Si cebol ini
belum mendapatkan guru sakti, kepandaiannya masih terbatas, ranting kayu ini
saja sudah cukup untuk mengajar dia,"
Tidak kepalang gusar Hoan It-ong dengan nada ucapan Nyo
Ko itu kembali menghina nama baik gurunya, ia pikir pertarungan selanjutnya
tidak ada ampun lagi.
Segera ia putar tongkatnya dengan kencang, ia mainkan
ilmu tongkat "Boat-cui-tiang-hoat (permainan tongkat gebyur air) yang
meliputi 9 x 9 ~ 81 jurus.
Permainan tongkatnya itu disebut "gebyur air"
maksudnya air digebyurkan juga takkan tembus, suatu tanda betapa kencang dan
rapat putaran tongkatnya itu.
Semula angin tongkatnya menyamber dahsyat, tapi setelah
belasan jurus, lambat-laun terasa arah tongkatnya rada tergeser ujung
tongkatnya.
Kiranya Nyo Ko telah menggunakan gaya "lengket"
dari Pak - kau - pang - hoat, ujung ranting kayu menempel pada ujung tongkat,
ke timur tongkat itu mengarah, ke timur pula ranting kayunya mengikut dan
begitu pula seterusnya, tapi berbareng itu dia tambahi tenaga betotan atau
tolakan menurut gerakan tongkat lawan sehingga mau-tak-mau ujung tongkat selalu
tergeser arahnya.
ilmu ini adalah sejalan dengan
"Si-nio-boat-jian-kin" (empat tahil menolak ribuan kati), sejenis
ilmu "pinjam tenaga musuh untuk menghantam musuh sendiri) yang pasti
diyakinkan oleh setiap jago silat.
Gaya "lengket" dalam ilmu permainan pentung
kaum Kay-pang itu diciptakan juga menurut kunci ilmu silat tadi, gayanya bagus
dan tenaganya sukar diukur.
Tentu saja Kongsun Kokcu semakin heran sama sekali tak
terduga olehnya bahwa seorang muda belia bisa memiliki ilmu sakti sehebat itu.
Dilihat nya tenaga pada tongkat Hoan It-ong semakin lemah, sebaliknya kekuatan
pada ranting kayu Nyo Ko bertambah dahsyat, belasan jurus lagi seluruh badan
Hoan It-ong sudah terkekang oleh setiap gerakan ranting kayu anak muda itu,
semakin kuat Hoan It-ong putar tongkatnya, semakin berat pula rasanya untuk
menguasai diri sendiri.
Sampai akhirnya dia merasa seperti tersedot ke tengah
pusaran angin lesus yang dahyat sehingga kepala terasa pusing dan pandangan
kabur.
"Mundur, It-ong!" mendadak Kongsun Kokcu
menepuk meja sambil berseru, suaranya menggelegar mengagetkan orang.
Hati NyoKo juga terkesiap, ia pikir masakah begitu mudah
muridmu akan lolos dari tanganku, Sedikit tangannya bergerak, dan gaya
"lengket" dia ganti dengan gaya "putar", ia berdiri tegak,
tapi pergelangan tangannya terus bergerak dalam putaran kecil sehingga Hoan
It-ong ikut terbawa dari kiri ke kanan dan berputar dengan cepat seperti
gasingan.
Semakin cepat Nyo Ko putar tangannya, semakin kencang
pula putaran Hoan It-ong, tongkat baja yang dipegangnya itu juga berputar
menegak seperti poros gasingan saja.
"Kau sanggup berdiri tegak tanpa roboh, betapapun
kau terhitung jagoan!" seru Nyo Ko sambil menyesakkan ranting kayunya ke
atas, lalu ia melompat mundur.
Dalam pada itu lahir batin Hoan It-ong serasa tak
terkuasai Iagi, langkahnya semponyongan, kalau berputar beberapa kali lagi
pasti akan terbanting roboh.
Se-konyong2 Kongsun Kokcu melompat ke atas, selagi
terapung di udara, sebelah tangannya terus menggablok ujung tongkat, lalu
melompat kembali ke tempatnya semula dengan enteng.
Gablokannya kelihatan pelahan, tapi membawa tenaga maha
dahsyat, kontan tongkat baja itu ambles ke tanah hampir semeter dalamnya dan
seketika tidak berputar Iagi. Dengan berpegangan pada tongkat itu barulah Hoan
It-ong tidak jadi jatuh, namun begitu tubuhnya tetap terhuyung kian kemari
laksana orang mabuk.
Siau-siang-cu, In Kik-si dan lainnya sebentar memandang
Nyo Ko, lain saat memandang Kongsun Kokcu, mereka pikir kedua orang ini sama
hebatnya dan sukar ditandingi, biarkan saja keduanya saling genjot, bahkan
mereka berharap kedua orang itu mampus semua.
Hanya Be Kong-co saja yang berhati polos, jika bisa ia
ingin membantu Nyo Ko. Mendadak Hoan It-ong berlari dan berlutut di hadapan
sang guru, ia menyembah beberapa kali, tanpa bicara kepalanya terus dibenturkan
ke tiang rumah.
Perbuatannya ini sungguh tak terduga oleh siapapun, tiada
yang menyangka bahwa watak kakek cebol itu ternyata begitu keras, kalah
bertanding terus menempuh jalan pendek dengan membunuh diri.
Kongsun Kokcu menjerit kaget sambil meloncat maju untuk
menjambret punggung Hoan It-ong tapi lantaran jaraknya terlalu jauh, pula
benturan Hoan It~ong itu dilakukan dengan sangat cepat, jambretnya itu ternyata
luput.
Sementara itu kepala Hoan It-ong telah dibenturkan dengan
sepenuh tenaga, tampaknya kepalanya pasti akan pecah berantakan Tapi mendadak
terasa tempat yang terbentur oleh batok kepalanya itu sangat lunak, empuk
seperti kasur.
Waktu ia menengadah, terlihat Nyo Ko telah berdiri di
depannya dengan menjulurkan kedua tangannya, rupanya pemuda ini berdiri paling
dekat dengan Hoan It-ong, ketika melihat gerak-gerik kakek itu mencurigakan
segara ia bersiap dan sempat mengadang di depan untuk menyelamatkannya.
"Hoan-heng, apakah kau tahu kejadian apa yang paling
menyedihkan di dunia ini?" tanya Nyo Ko.
"Apa itu?" Hoan It-ong balik bertanya dengan
melenggong.
"Akupun tidak tahu." ujar Nyo Ko dengan pedih,
"Hanya duka hatiku berpuluh kali lebih hebat daripadamu, sedangkan aku
sendiri belum lagi bunuh diri, mengapa kau malah melakukan hal demikian?"
"Kau menang bertanding, apa yang membuatmu
berduka?" kata Hoan It-ong.
Nyo Ko menggeleng jawabnya: "Kalah atau menang
bertanding bukan soal bagiku, selama hidupku ini entah sudah berapa kali
dihajar orang. Yang jelas betapa cemas dan kuatirnya gurumu ketika melihat kau
hendah membunuh diri, kalau aku yang membunuh diri tapi guruku sama sekali
tidak ambil pusing. inilah hal yang paling menyedihkan bagiku."
Belum lagi Hoan It-ong paham apa yang dimaksudkan si Nyo
Ko, terdengar Kongsun Kokcu membentaknya:" It-ong; jika kau berbuat bodoh
lagi berarti kau tidak taat kepada perintah garu, Kau berdiri saja disamping
sana, saksikan gurumu membereskan bocah ini."
Hoan It-ong paling hormat kepada sang guru, ia tak berani
membantah dan segera berdiri ke sana sambil melotot kepada Nyo Ko.
Mendengar Nyo Ko mengatakan kalau dia membunuh diri juga
gurunya tidak ambil pusing seketika mata Siao-Iiong-li basah ber-kaca2,
pikirnya: "Jika kau mati, masakah aku mau hidup sendiri?"
Setiap selang sejenak Kongsun Kokcu tentu memandang
sekejap kepada Siao-liong-li untuk mengawasi gerak-geriknya, ketika mendadak
nampak si nona hendak meneteskan air mata lagi segera ia menepuk tangan tiga
kali dan berseru: "Tangkap bocah ini!"
Tepuk tangan tiga kali adalah tanda perintah kepada anak
muridnya, Rupanya Kongsun Kokcu ingin menjaga harga diri dan merasa tidak
sesuai untuk bertempur dengan anak muda seperti Nyo Ko.
Begitulah anak muridnya serentak mengiakan, 16 orang
terbagi berdiri di empat sudut, setiap empat orang lantas membentangkan sebuah
jaring ikan.
Datangnya Nyo Ko berombongan dengan Kim-lun Hoat-ong dan
lain2, kalau persoalannya sudah lanjut begini, pantasnya Kim-lun Hoat-ong harus
membuka suara untuk melerai, tapi dia cuma tersenyum dingin saja dan tetap
menonton belaka.
Kongsun Kokcu tidak tahu maksud sikap Hoat-ong yang tak
acuh itu, ia kira orang mengejeknya takkan mampu menandingi Nyo Ko, diam-diam
ia mendongkol dan hendak memperlihatkan kemahirannya.
Segera ia menepuk tangan lagi tiga kali, serentak ke-16
anak muridnya tadi bergeser bertukar tempat sehingga lingkaran kepungan mereka
terhadap Nyo Ko semakin ciut.
Melihat empat jaring lawan semakin mendekat, seketika Nyo
Ko menjadi bingung dan tak berdaya, Ciu Pek-thong yang maha sakti itu saja
tertawan oleh jaring lawan apalagi diriku? Pula Ciu Pek-thong cuma berusaha
meloloskan diri saja dan dapat melemparkan Be Kong-co dan Hoan It-ong ke dalam
jaring, lalu dia berhasil kabur sebaliknya sekarang aku justeru ingin tinggal
di sini dan, tak ingin lari.
Terdengar diantara anak murid Cui-sian-kok berseragam
hijau itu ada yang bersuit, empat buah jaring mereka serentak bergeser lagi
berganti posisi, sebentar bersilang, lain saat melintang atau menegak, mendatar
atau menyerang dan terus mendesak maju.
Seketika sukar bagi Nyo Ko untuk melanyani kepungan
jaring2 itu, terpaksa ia berputar kayun lari di ruangan itu, dengan Ginkang
maha tinggi aliran Ko-bong-pay ia terus melayang kian kemari, ia menghindari
pertarungan dari depan, tapi berusaha membuat musuh merasa bingung dan tak
dapat meraba ke mana dia hendak bergeser
Namun ke-16 orang itu ternyata tidak ikut berputar
seperti Nyo Ko melainkan terus memper-sempit kepungan mereka.
Sambil berlari Nyo Ko memeriksa pula tempat kelemahan
barisan musuh, setelah mengikuti beberapa kali perubahan, segera dapat ditarik
kesimpulan bahwa barisan jaring musuh itu menirukan jaring labah2, biasanya
labah2 bersembunyi lebih dulu, kalau musuh sudah terjebak barulah mangsanya
ditangkap. ia pikir untuk memboboI-nya harus digunakan senjata rahasia.
Maka sambil berputar cepat segera ia menyiapkan segenggam
Giok-hong-ciam (jarum tawon putih), ketika empat orang di sebelah kiri mulai
mendekat, mendadak tangannya bergerak, tapi yang diincar justeru empat orang di
sebelah kanan.
Senjata rahasia jarum lembut ini biasanya tak pernah
meleset, apalagi jaraknya sekarang sangat dekat, Nyo Ko yakin keempat orang itu
pasti akan termakan oleh jarumnya itu.
Tak terduga gerakan keempat orang itupun sangat cepat,
begitu nampak tangan lawan bergerak serentak mereka mengangkat jaringnya ke
atas, terdengarlah suara gemerincing nyaring pelahan.
Jarum2 itu tersedot seluruhnya oleh jaring.
Kiranya jaring itu teranyam dari benang emas dan baja
yang sebagian bertenaga semberani yang amat kuat, sekali jaring itu
dibentangkan, betapapun lihay senjara rahasia lawan tentu akan tertahan seluruhnya.
Nyo Ko mengira serangannya pasti berhasil tak terduga
jaring musuh ternyata memiliki daya guna sehebat itu, dalam seribu kesibukannya
ia sempat melotot kearah Kongsun Kokcu, ia pikir orang ini sungguh maha lihay
dan dapat menciptakan senjata yang begitu aneh.
Gagal dengan rahasianya, terpaksa Nyo Ko memikirkan jalan
lain untuk membobol kepungan musuh.
Sementara itu jaring lawan sebelah kanan sudah mendekat,
sekali pimpinannya berseru, terlihatlah gemerdepnya cahaya, sehelai jaring
terus menyambar tiba.
Segera Ny Ko mengegos dan bermaksud menerobos ke sebelah
sana, tapi jaring depan dan belakang juga menubruk tiba bersama.
Mau-tak-mau Nyo Ko mengeluh juga, ia pikir sekali ini
diriku pasti akan disiksa habis-habisan oleh Kokcu jahanam ini apabila aku
sampai tertawan olehnya.
Selagi Nyo Ko berkuatir, tiba-tiba terdengar seorang
pemegang jaring di belakang menjerit, waktu dia menoleh, dilihatnya Kongsun
Lik-oh telah jatuh tersungkur, ujung jaring yang dipegangnya menjadi tertarik
juga ke bawah.
Itulah suatu peluang ditengah barisan jaring musuh, tanpa
pikir lagi Nyo Ko, secepat kilat ia melompat ke sana dan menerobos keluar dari
kepungan musuh, Sekilas dilihatnya Kongsun Lik-oh lagi merintih kesakitan, tapi
berulang nona itu memberi isyarat kedipan mata agar Nyo Ko lekas lari
meninggalkan tempat berbahaya itu.
Tergerak hati Nyo Ko, pikirnya: "Nona ini telah
menyelamatkan diriku dengan mengorbankan dirinya, budi kebaikannya sungguh
sukar kubalas, Jika kupergi begini saja, tentu Kokoh akan menikah dengan Kokcu
jahanam itu, Biarlah ku-labrak dia dengan mati-matian, andaikata tertawan dan
tersiksa juga takkan kutinggalkan tempat ini."
Berkorban bagi cinta suci, matipun dia tidak menyesal.
Dia terus berdiri di ujung ruangan sana sambil menatap tajam kepada
Siao-liong-Ii, ia pikir masakah kau sama sekali tidak ambil pusing menyaksikan
aku bergumul dengan malapetaka yang akan menimpa diriku ini.
Terlihat Siao-liong-li tetap menunduk tanpa bersuara.
Akan tetapi rasa sedih dan duka nestapa dalam hatinya saat itu sesungguhnya
jauh melebihi Nyo Ko.
Kalau Nyo Ko tanpa tedeng aling-aling mengutarakan isi
hatinya secara terus terang, biarpun menderita juga tekanan batinnya sudah
terlampiaskan sebagian. Tapi Siao-liong-li hanya tutup mulut saja, padahal dalam
hati penuh rasa kasih sayang kepada pemuda, namun pemuda itu mana bisa
mengetahuinya.
Dalam pada itu Kongsun Kokcu telah menepuk tangan lagi
dua kail keempat jaring ikan yang terbentang tadi serentak mundur, Lalu katanya
terhadap Kongsun Lik-oh. "Mengapa kau ?"
"Kakiku mendadak kejang dan kesakitan," jawab
Kongsun Lik-oh.
Sudah tentu Kongsun Kokcu tahu puterinya jatuh hati
kepada Nyo Ko sehingga pada detik yang menentukan tadi sengaja memberi peluang
kepada pemuda itu untuk lolos, Lantaran dihadapan orang luar, ia merasa tidak
enak untuk mengumbar rasa gusarnya, segera ia mendengus dan berkata.
"Baik, kau mundur saja. Capsiji maju, gantikan tempatnya !"
Dengan Kepala menunduk Kongsun Lik-oh mengundurkan diri,
sedangkan seorang anak muda yang rambutnya dikucir dua mengiakan maju dan
memegang ujung jaring yang dipegang Kongsun Lik-oh tadi.
Kongsun Lik-oh sempat melirik sekejap kepada "Nyo Ko
dengan penuh rasa menyesal. Diam2 Nyo Ko merasa bersalah dan menyesal juga tak
dapat memenuhi maksud baik si nona yang sengaja hendak menolongnya itu.
Kembali Kongsun Kokcu bertepuk tangan lagi empat kali,
mendadak ke-16 anak muridnya tadi mengundurkan diri ke ruangan dalam, Nyo Ko
melengak, ia heran apakah orang mengaku kalah begitu saja?
Ketika ia berpaling, dilihatnya air muka Kongsun Lik-oh
penuh rasa cemas dan kuatir serta berulang memberi isyarat pula kepadanya agar
lekas melarikan diri saja. Melihat sikap nona itu, tampaknya sebentar lagi
bakal datang bencana maut yang sukar dihindarinya.
Nyo Ko hanya tersenyum, sebaliknya ia seret sebuah kursi,
lalu duduk di situ.
Dalam pada itu terdengar di ruangan dalam ada suara
gemerincing nyaring, sejenak kemudian ke-16 anak murid tadi telah muncul lagi,
tangan mereka tetap memegangi jaring, Hanya saja jaring mereka sudah berganti
dengan jaring yang penuh terpasang kaitan dan pisau kecil, melihat sinarnya
yang gemerlapan, jelas kaetan dan pisau2 itu sangat tajam, asal terkurung
ditengah jaring, tentu seluruh tubuh akan tersayat dan mustahil bisa hidup
lagi.
Segera Be Kong-co berteriak "He, sahabat Kokcu,
mengapa kau menggunakan senjata sekeji itu terhadap tamu, kau tahu malu
tidak?"
Sambil menuding Kyo Ko, Kongsun Kokcu berkata:
"Bukan keinginanku hendak membunuh kau, soalnya berulang kali telah
kusuruh kau pergi saja dari sini dan kau tidak mau."
Betapapun Be Kong-co juga ngeri melihat ke-empat jaring
yang berkait tajam itu, segera ia berbangkit dan menarik "Nyo Ko, katanya:
"Adik Nyo, orang busuk macam begini sebaiknya kita jauhi saja, buat apa
kau merecoki dia lagi?"
Nyo Ko tidak menjawab, ia menatap ke arah Siao-liong-li
dan ingin dengar apa yang dikatakan si nona.
Siao-liong-li sendiri memang merasa bimbang, Bahwa dia
mau menikah dengan Kongsun Kokcu adalah karena dia berterima kasih atas
pertolongan jiwanja, pula tempat kediamannya yang indah permai dan terpencil
ini juga cocok sebagai tempat untuk menghindari pencarian Nyo Ko, apalagi
setelah berdiam beberapa hari, ia merasa sang Kokcu adalah seorang yang
berpengetahuan luas dan pandai, jelas seorang yang serba pintar, maka sedikit
banyak timbul juga rasa sukanya dam merasa mantap untuk hidup bersamanya.
Siapa tahu dunia yang luas ini terkadang juga seperti
sangat ciut, justeru Nyo Ko bisa muncul ditanah sunyi ini. Kini menyaksikan
Kongsun Kokcu mengeluarkan barisan jaring berkait itu, ia pikir Nyo Ko pasti
tak terhindar dari kematian, iapun sudah bertekad, asalkan Nyo Ko terkurung
oleh jaring, segera ia sendiripun akan menubruk ke atas jaring itu untuk mati
bersama pemuda itu.
Berpikir sampai disini tanpa terasa ia tersenyum simpul
dan berhati lega.
Sudah tentu lika-liku yang dipikir Sian-liong-li itu
tidak diketahui oleh Nyo Ko, pemuda itu justeru menyangka kebalikannya, ia
pikir diriku sedang terancam bahaya maut, tapi kau masih dapat tersenyum
gembira, keruan rasa pedih hatinya bertambah hebat.
Namun pada saat dia merasa pedih, dongkol dan gelisah
itulah, sekilas timbul sesuatu pikiran pada benaknya, Keputusan apapun yang
diambilnya selalu dilakukannya dengan sangat cepat, tanpa pikir lagi untuk
kedua kalinya, langsung ia mendekati Siao-liong-li, dengan sedikit membungkuk
uf: berkata: "Kokoh, Ko-ji sedang menghadapi kesukaran, mohon pinjam
Kim-Ieng-soh (selendang bergenta emas) dan Ciang-doh (sarung tangan) untuk
kupakai sebentar."
Yang terpikir oleh Siao-liang-Ii pada saat itu adalah
betapa bahagianya dapat mati bersama Nyo Ko, selain itu tiada sesuatu lagi yang
terpikir-olehnya. Karena itu tanpa menjawab ia terus mengeluarkan sepasang
sarung tangan putih dan sehelai selendang sutera putih serta diangsurkan kepada
pemuda itu.
Dengan tenang Nyo Ko menerima benda2 itu, katanya pula
sambil menatap tajam wajah Siao-liong-Ii: "Sekarang engkau telah mengakui
di-riku?"
Dengan penuh kasih sayang Siao-liong-li menjawab dengan
tersenyum : "Di dalam hati sejak tadi sudah kukenali dirimu !"
Seketika semangat Nyo Ko terbangkit, tanyanya pula dengan
suara gemetar: "Jadi kau pasti akan ikut pergi bersamaku dan takkan
menikah dengan Kokcu ini, bukan?
"Ya, aku bertekad akan ikut pergi bersamamu dengan
sendirinya takkan menikah dengan orang lain," jawab Siao-liong-li dengan
tersenyum. "Ko-ji, jelas aku ini adalah isterimu."
Jawaban Siao-liong-li yang cukup tegas ini sudah tentu
sangat mengejutkan orang, terutama Kongsun Kokcu, mukanya menjadi pucat pasi,
mendadak ia bertepuk tangan empat kali dengan keras sebagai tanda perintah
kepada anak muridnya agar melancarkan serangan serentak.
"Tanpa bicara lagi ke-16 anak muridnya tadi terus
bergerak sambil membentang jaring mereka.
Bagi Nyo Ko, ucapan Siao-liong-Ii bagaikan obat mujarab
yang telah menghidupkan dia dari kematian, seketika keberaniannya berlipat
ganda, andaikan di depannya sekarang mengadang lautan api atau minyak mendidih
juga tak terpikir lagi olehnya.
Segera ia memakai sarung tangan yang kebal senjata itu,
sedang Kim-leng-seh pada tangan kanan terus digentakkan hingga menimbulkan
suara "ting-ting" yang nyaring, laksana ular putih saja selendang
sutera putih itu terus menyambar ke depan.
Pada ujung selendang putih itu terikat sebuah keleningan
emas yang dapat berbunyi ketika selendang itu menjulur dan mengkeret lagi,
kontan keleningan emas itu telah tepat mengetok "lm-kok-hiat" lawan
yang berada di sebelah kanan, ketika selendang itu tertarik balik, kembali
seorang lawan di sebelah kiri juga tertutuk, seketika lengan orang itu lemas
tak bertenaga dan dengan sendirinya jaring yang dipegangnya terlepas dari
tangannya.
Dua kali serangan kilat ini benar2 luar biasa, sekaligus
selendang berkeleningan itu bergerak, seketika barisan jaring musuh kena
dibobolkan. Waktu keempat orang yang memegangi jaring sebelah barat tertegun
sejenak, sementara itu Kim-leng-soh yang disabetkan Nyo Ko telah menyambar tiba
pula, "ting-ting", kembali dua orang diantaranya tertotok roboh lagi.
Tapi pada saat itu juga jaring di sebelah belakang telah
menubruk tiba, kaitan dan pisau kecil yang terpasang di jaring itu segera akan
melukainya, terpaksa Nyo Ko gunakan tangan kiri untuk mencengkeram jaring musuh
terus di betot sekuatnya, Karena dia bersarung tangan pusaka, meski kaitan dan
pisau tajam itu tercengkeram olehnya juga takkan melukainya.
Sejak dia menciptakan aliran ilmu silatnya sendiri,
setiap gerak-geriknya boleh dikatakan selalu timbul secara otomatis dan tanpa
ragu. Kini jaring yang kena dicengkeramnya itu segera digentakkan sehingga
jaring berbalik menyamber ke arah para pemegangnya.
Yang dilatih anak murid Cui-sin~kok itu adalah menyerang
dengan jaring serta kemungkinan lolosnya musuh, sama sekaki tak terpikir oleh
mereka bahwa jaring dapat terbalik hendak makan mereka, keruan mereka terkejut
ketika melihat pisau dan kaitan tajam di dalam jaring yang menyambar kepala
mereka itu, sambil menjerit ketakutan cepat mereka melompat mundur dan
melepaskan jaring yang mereka pegang.
Anak muda yang berkuncir kecil tadi lebih lemah, tidak
urung pahanya terluka oleh pisau sehingga mengucurkan darah, ia jatuh
tersungkur dan menangis kesakitan.
"Jangun takut, adik cilik, takkan kulukai kau,"
kata Nyo Ko sambil tertawa, Segera ia taburkan kait jaring yang dirampasnya
itu, sedang tangan lain memutar Kim-leng-soh, terdengar suara gemerincing
nyaring bunyi keleningan serta benturan pisau dan kaitan tajam pada jaring
rampasan itu.
Melihat lceperkasaan Nyo Ko, mana anak murid itu berani
maju lagi, mereka berdiri di sudut sana, cuma tanpa perintah sang guru, biarpun
takut merekapun tak berani melarikan diri, Keadaan yang sesungguhnya mereka
sudah dikalahkan Nyo Ko walaupun secara resmi mereka belum mengaku kaIah.
Be Kong-co terus bertepuk tangan dan bersorak, tapi hanya
dia sendiri saja yang bersorak sehingga terasa kesepian, ia menjadi rikuh
sendiri ia melotot pada Kim-Iun Hoat-ong dan menegur: "He, Hwesio gede,
memangnya kepandaian adik Nyo itu kurang bagus? Mengapa tidak bersorak
memuji?"
"Bagus, bagus sekali kepandaiannya!" jawab
Hoat-ong tertawa, "Tapi kan juga tidak perlu gembar-gembor begitu rupa,
toh!"
"Sebab apa?" omel Be Kong-co pula dengan
mendelik.
Sementara itu Kim-lun Hoat-ong melihat Kongsun Kokcu
sedang melangkah ke tengah ruangan, maka ia tidak gubris lagi apa yang
dikatakan Be Kong-co.
Setelah mendengar ucapan Siao-liong-li yang menyatakan
bertekad ikut pergi bersama Nyo Ko, maka sadarlah Kongsun Kok-cu bahwa
impiannya yang muluk2 selama setengah bulan ini akhirnya cuma kosong belaka, ia
menjadi sangat kecewa dan gusar pula, pikirnya : "Jika kugagal mendapatkan
hatimu. paling tidak aku harus mendapatkan tubuh-mu, Biarlah kubinasakan
binatang cilik ini, dengan begitu mau-tak-mau kau harus ikut padaku, lama2
pikiranmu tentu juga akan berubah."
Meski wataknya kereng dan kejam, tapi iapun dapat
membedakan antara yang benar dan salah. Gadis cantik seperti Siao-liong-li itu
telah menyanggupi sendiri menjadi isterinya dan hari ini akan berlangsung
upacara nikahnya, tapi mendadak muncul si Nyo Ko dan mengacaukan semuanya itu
tentu saja ia sangat murka.
Melihat kedua alis sang Kokcu yang menegak dan merapat
sehingga mata-alisnya seakan-akan tegak semua, Nyo No terkejut dan waswas,
sambil memegang Kim-leng-soh dan jaring rampasannya ia siap siaga sepenuhnya,
ia menyadari mati-sendiri dan sengsara atau bahagia Siao-liong-li hanya
bergantung pada pertarungan yang menentukan ini, maka sedikitpun ia tak berani
gegabah.
Dengan pelahan Kongsun kokcu terus mengitari Nyo Ko,
sebaliknya Kyo Ko juga berputar dengan pelahan, panjangnya sedikitpun tak
pernah meninggalkan tatapan musuh yang tajam itu, Ternyata sang Kokcu masih
belum mau turun tangan, tapi ia tahu sekali musuh sudah menyerang tentu
digunakan jurus serangan yang maha lihay.
Sejenak kemudian, mendadak kedua tangan sang Kokcu
menjulur lurus ke depan tiga kali, lalu bertepuk dan menimbulkan suara
"creng" laksana bunyi dua potong besi yang dibenturkan.
Nyo Ko terkesiap dan melangkah mundur setindak, tapi
tangan kanan Kongsun Kokcu mendadak menyamber tiba, tahu-tahu jaring ikan
rampasan itu kena dicengkeramnya terus dibetot sekuatnya.
Merasa tenaga betotan lawan luar biasa dahsyatnya, tangan
sendiri sampai terasa sakit, terpaksa Nyo Ko melepaskan jaring itu.
Kongsun Kokcu melemparkan jaring itu kepada anak muridnya
tadi sambil membentak: "Mundur-semua!"
Kaku sitam tepukan tangan Kongsun Kokcu itu sangat
mengejutkan orang, sekarang semua orang bertambah kaget dan heran pula bahwa
tangan sang Kokcu yang jelas telanjang itu ternyata tidak gentar akan ketajaman
pisau dan kaitan yang terdapat pada jaring itu.
Biarpun Kongsun Lik-oh adalah anak perempuannya juga
diketahui ilmu silat sang ayah memang sangat tinggi dan tidak tahu ayahnya
memiliki kepandaian sehebat itu, Hanya Hoan It-ong saja sebagai muridnya yang
tertua kenal kepandaian sejati sang guru, ia pandang Nyo Ko dan berkata dalam
hati: "Hari ini kau pasti mampus!"
Setelah jaringnya terebut, Nyo Ko tidak beri kesempatan
lagi kepada lawan untuk mendahuluinya, selendang sutera bergerak, keleningan
berbunyi "ting-ting", sekaligus ia incar dua Hiat-to di bagian leher
dan bahu, serangan ini hanya penjajagan saja, karena Nyo Ko belum tahu betul
betapa lihaynya lawan.
Ilmu silat Kongsun Kokcu memang menyendiri serangan Nyo
Ko itu ternyata tidak digubris olehnya, malahan sebelah tangannya terus
menjulur ke depan. dan mencengkeram lengan Nyo Ko. Terdengar suara
"ting-ting" dua kali, kedua tempat Hiat-to yang diincar Nyo Ko itu
dengan tepat terketok oleh keleningan namun Kongsun Kokcu seperti tidak
merasakan apa2, cengkeramannya tadi mendadak terbuka terus menyodok ke dagu
kiri anak muda itu.
Nyo Ko tahu kalau Lwekang seseorang sudah berlatih
sempurna, maka setiap saat dapat menutup Hiat-to di tubuh sendiri apabila
menghadapi serangan musuh. Ada juga Lwekang yang aneh seperti apa yang dilatih
Auyang Hong secara terbalik itu sehingga membingungkan serangan musuhnya.
Tapi cara Kongsun Kokcu menghadapi serangannya yang sama
sekali se-akan tidak merasakan sesuatu, seperti di tubuhnya tidak terdapat
Hiat-to, kepandaian ini benar2 sangat luar biasa, Nyo Ko mengkeret dan jeri.
Sementara itu kedua tangan Kongsun Kokcu bergerak naik
turun, telapak tangan samar2 bersemu hitam. Angin pukulannya terasa menyamber
dengan dahsyat.
Nyo Ko tahu kelihayan lawan dan tak berani menangkisnya
dengan keras lawan keras, sembari menggunakan Kim-leng-soh untuk melayani
serangan musuh, tangan yang lain digunakan menjaga diri dengan rapat.
Dalam sekejap saja belasan jurus sudah berlangsung, Nyo
Ko memperhatikan setiap serangan musuh dengan cermat, tiba2 hatinya tergerak "ilmu
pukulan Kokcu ini tidak aneh, rasanya aku pernah melihatnya entah di
mana?"
Pada suatu kesempatan mendadak ia melompat mundur sambil
berseru: "He, apakah engkau kenal Wany&n Peng?"
Kiranya Nyo Ko melihat gaya pukulan Kokcu ini serupa
dengan ilmu silat Wanyan Peng, hanya kekuatan Kokcu ini jauh berbeda dengan
Wanyan Peng yang lemah itu.
Kongsun Kokcu tidak menjawab, sebaliknya ia terus
menubruk maju lagi dan melancarkan pukulan dahsyat. Sekali ini Nyo Ko melihat
gaya pukulannya tidak sama dengan Wanyan Peng, untuk menghindar terasa tidak
keburu lagi, terpaksa Nyo Ko menangkisnya dengan tangan kiri.
"PIak", kedua tangan beradu, Nyo Ko tergetar
mundur dua-tiga tindak, sebaliknya Kongsun Kokcu tetap berdiri di tempatnya,
hanya tubuhnya tergeliat sedikit
Kedua tangan begitu beradu terus berpisah pula tapi
kontan Nyo Ko merasakan suatu arus hawa panas menyusup ke tangannya, keruan ia
terkejut pikirnya: "Hebat benar tenaga pukulan jahanam ini, padahal sarung
tangan Kokoh yang kupinjam ini kebal terhadap senjata tajam macam apapun, tapi
ternyata tidak mampu menahan tenaga pukulannya."
Meski kelihatan Kongsun Kokcu berdiri tanpa terhuyung dan
seperti lebih unggul, tapi sesungguhnya dadanya juga terasa sakit karena
getaran tenaga pukulannya Nyo Ko, iapun terkejut dan heran: "Bocah ini
masih muda belia, ternyata mampu menahan pukulanku yang dahsyat ini. Jika
terlibat lebih lama, rasanya belum tentu dapat membinasakan dia, sebaliknya
kalau berakhir sama kuat maka musnahlah pamorku ini."
Mendadak ia bertepuk tangan pula dua kali sehingga
menimbulkan nyaring, ia menoleh kepada puterinya dan berseru: "Ambilkan
senjataku!"
Kongsun Lik-oh menyadari apabila senjata sang ayah
dikeluarkan, maka bagi Nyo Ko hanya ada kematian saja dan tak mungkin bisa
selamat.
Karena sedikit ragu dan merandeknya itu, dengan suara
bengis Kongsun Kokcu membentak pu!a: "Ambilkan senjataku, kau dengar tidak
?"
Dengan muka pucat Kongsun Lik-oh mengiakan dan cepat
berlari keruangan belakang.
Nyo Ko telah mengikuti sikap ayah beranak itu, ia pikir
dengan bertangan kosong saja aku tidak dapat melawannya, apalagi sekarang akan
digunakan lagi senjata apa, mana aku dapat lolos dengan hidup. Mumpung ada
kesempatan, biarlah kulari saja sekarang.
Segera ia mendekati Siao-lioag-li dan mengulurkan tangan,
katanya: "Kokoh, marilah ikut padaku."
Kongsun Kokcu sudah siap pukulannya yang maha dahsyat,
asalkan Siao-liong-li berbangkit dan menggenggam tangan Nyo Ko, seketika dia
akan menubruk maju untuk menghancurkan punggung anak muda itu, ia sudah ambil
keputusan akan membinasakan Nyo Ko andaikan diri sendiri juga akan terluka
parah. Ia pikir kalau sampai calon isteri itu ikut pergi bersama Nyo Ko, lalm
apa artinya pula hidup ini baginya ?
Tak terduga Siao-liong-li tidak lantas berbangkit, ia
hanya menjawab dengan hambar: "Kini belum waktunya, Ko-ji, selama beberapa
hari ini apakah kau baik2 saja?" - Betapa mesranya pertanyaannya yang
terakhir itu jelas tertampak.
"Engkau tidak marah lagi padaku, Kokoh?" jawab
Nyo Ko.
Siao-Iiong-li tersenyum hambar, katanya: "Mana aku
dapat marah padamu? Coba sini, putar tubuhmu!"
Nyo Ko menurut dan memutar tubuhnya, ia tidak tahu apa
kehendak si nona, tiba2 Siao-liong-li mengeluarkan benang dan jarum, kemudian
diukurnya baju bagian punggung Nyo Ko yang robek tercengkeram oleh Koagsun
Kokcu tadi.
"Sudah sekian lamanya kuingin membuatkan S(itaah
baju baru bagimu, tapi mengingat selanjutnya tak bakalan bertemu lagi dengan
kau, untuk apa kubuatkan baju baru? Ai, sungguh tidak nyana engkau akan mencari
ke sini," sembari berkata dengan gegetun, Siao-liong-li lantas menggunakan
sebuah gunting kecil untuk memotong sebagian lengan baju sendiri untuk menambal
baju Nyo Ko yang robek itu.
Dahulu waktu mereka masih tinggal di kuburan kuno,
apabila baju Nyo Ko robek, selalu Siao-liong-li menambalkan bajunya dengan cara
demikian, Kinl kedua orang sudah tidak memikirkan mati hidup lagi dan se~akan2
berada berduaan saja mesti di ruangan itu sorot mata semua orang sedang
memperhatikan gerak-gerik mereka.
Kim-lun Hoat ong lain2 saling pandang dengan heran dan
kagum pula, Kongsun Kokcu juga terkesima, seketika tak tahu apa yang harus
dilakukannya.
"Selama beberapa hari ini aku telah bertemu dengan
beberapa orang yang menarik," tutur Nyo Ko pula, "Coba terka, Kokoh,
darimanakah kuperoleh gunting raksasa itu?"
"Ya, memangnya akupun heran seakan2 kau sudah
menduga sebelumnya bakal bertemu dengan si jenggot cebol itu di sini, maka
sengaja pesan sebuah gunting raksasa untuk memotong jengggotnya," ujar
Siao-liong-Ii.
"Ai, kau sungguh nakal orang memiara jenggotnya
dengan susah payah selama berpuluh tahun, tapi sekejap saja sudah kau potong,
bukankah sangat sayang?"
Melihat betapa kedua orang itu bicara dengan mesranya,
rasa cemburu Kongsun Kokcu seketika berkobar, segera sebelah tangannya
mencengkeram kedada Nyo Ko sambil membentak: "Anak jadah, terlalu
temberang kau, memangnya kau anggap tiada orang lain di sini?"
Tapi kini biarpun langit ambruk atau bumi amblas juga
takkan digubris oleh Nyo Ko, serangan Kongsun Kokcu itu ternyata tidak
dihiraukannya! sama sekali, ia hanya menjawab: "Tunggu sebentar, setelah
bajuku ditambal segera kulayani kau."
Sementara itu jari Kongsun Kokcu sudah tinggal beberapa
senti saja di depan dada Nyo Ko.
Bagaimanapun juga dia harus menjaga harga diri sebagai
seorang guru besar ilmu silat, walaupun murka, betapapun serangannya itu tak
dapat diteruskan lagi ke tubuh lawan yang sama sekali tidak menangkis itu.
Pada saat itulah tiba2 terdengar Kongsua Lik-oh berkata
di belakang: "Ayah, senjatamu ini!"
Kongsua Kokcu tidak berpaling, dia melangkah mundur dua
tindak dan dapatlah menerima senjata yang disodorkan puterinya itu.
Waktu semua orang mengamati terlihat tangan kirinya telah
memegang sebatang golok tebal dengan bagian yang tajam itu berbentuk gergaji dan
mengerdepkan cahaya keemasan, rupanya terbuat dari emas, sedangkan tangan
kanannya memegangi senjata berwarna hitam panjang kecil, senjata aneh itu tidak
mirip golok juga tidak memper pedang, kelihatan bergetar pelahan, tampaknya
batang senjata itu sangat lemas.
Nyata kedua macam senjata itu berbeda satu sama lain
secara terbalik, kalau yang satu, berat dan keras, maka satunya lagi enteng dan
lemas.
Seperti diketahui, bobot emas jauh lebih berat dari pada
besi senjata yang bentuknya sama dan terbuat dari emas bobotnya akan lipat satu
kali dari pada senjata terbuat dari besi biasa.
Tampaknya golok emas bergerigi itu sedikitnya ada 50-60
kati sedangkan pedang atau anggar hitam itu entah terbuat dari logam apa?
Nyo Ko memandang sekejap, sepasang senjata lawan yang
aneh itu, lalu berkata pula kepada Siao-liong-li: "Kokoh, tempo hari aku
bertemu dengan seorang perempuan gendeng, dia telah memberitahukan padaku musuh
pembunuh ayahku."
Hati Siao-liong-li terkesiap, cepat ia bertanya:
"Siapa Musuhmu itu?"
Sambil mengertak gigi Nyo Ko berkata dengan penuh dendam:
"Bagaimana juga kau pasti tak-kan menduga akan mereka, selama ini akupun
menganggap mereka sangat baik padaku."
"Mereka? Mereka siapa?" Siao-liong-li menegas.
"Siapa lagi mereka kalau bukan..." belum sempat
Nyo Ko menerangkan nama yang akan disebutnya, terdengarlah suara mendenging
nyaring memekak teIinganya, itulah suara benturan antara golok emas dan pedang
hitam yang dipegang Kongsun Kokcu itu.
Sekali bergerak, susul menyusul Kongsun Kokcu menusuk
tiga kali, pertama menusuk atas kepala, kedua menusuk leher sebelah kanan dan
ketiga sebelah kiri leher, semuanya menyamber lewat satu-dua senti di atas
kulit.
Rupanya Kokcu itu ingin menjaga diri, kalau lawan tidak
menangkis, maka iapun tidak sudi melukainya, cuma tiga kali tusukannya itu
sungguh amat cepat dan jitu, benar2 kepandaian hebat.
"Sudah!" ucap Siao-Iiong-Ii selesai menambal
baju Nyo Ko sambil menepuk pelahan punggung anak muda itu, Nyo Ko menoleh dan
tersenyum, lalu melangkah maju dengan menenteng Kim-leng-soh.
Meski Kongsun Kokcu sudah lama mengasingkan diri di
lembah sunyi, tapi pandangannya sedikitpun tidak kurang tajamnya, orang yang
mengajarkan ilmu silat padanya itu paham benar berbagai aliran ilmu silat di
dunia dan dahulu pernah berkata padanya bahwa bisa jadi jago kelas satu di
jaman ini mampu menandingi Kangfau (Kungfu) tangan besinya, tapi untuk membobol
barisan jaring ikannya itu belum tentu bisa kecuali Pak~tau-tin dari
Coan-cin-kau yang mungkin dapat menandinginya dengan sama kuat dan siapa lebih
ulet akhirnya akan menang.
Tapi kalau dua macam senjatanya yang berlainan itu
dikeluarkan diduga di dunia ini tiada orang yang sanggup melawannya.
Karena itu ia menduga betapapun tinggi kepandaian Nyo Ko,
dalam sepuluh jurus saja pasti akan dibinasakan olehnya. Tapi ketika
menyaksikan sikap Siao-liong-li yang mesra tadi terhadap anak muda itu, iapun
tahu apabila Nyo Ko mati, maka berarti putus harapan pula rencana pemikahan
nona itu dengan dirinya.
Setelah merenung sejenak, akhirnya ia mendapat akal:
"Harus kupaksa dia (Siao-liong-li) memohon ampun padaku bagi bocah ini,
dalam keadaan begitu, biarpun hatinya tidak rela, mau-tak mau dia harus menikah
juga dengan aku"
Kalau Kongsun Kokcu merenung untuk mencari akal, di pihak
lain Nyo Ko juga sedang memikirkan cara melawan orang, ia pikir orang tidak
takut Hiat-to tertutuk, ini berarti daya guna Kim leng soh tidak banyak
artinya. Meski diri sendiri sudah menciptakan suatu aliran ilmu silat, tapi
belum sempat dipelajari secara matang, sedangkan senjata musuh kelihatan sangat
aneh, sekali dimainkan tentu sangat lihay.
Selagi Nyo Ko merasa tak berdaya, sementara itu terdengar
Kongsun Kokcu telah berseru: "Awas serangan!" Berbareng pedang emas
begerak terus menusuk dada.
Anehnya tusukan itu tidak langsung ke depan, tepi ujung
pedang bergetar dalam lingkaran kecil di depan tubuhnya, Nyo Ko terkejut dan
melompat mundur.
"Maklumlah kalau ujung pedang itu ditusukkan biarpun
hebat jurus seranganya tentu juga akan dapat dipatahkannya, tapi kini ujung
pedang itu terus berputar dalam lingkaran sehingga sukar diraba arah tujuan
ujung pedangnya kalau menangkis ke kiri kuatir musuh menusuk ke kanan malah,
bila menangkis ke atas, siapa tahu kalau dia berbalik menyerang bagian bawah,
Karena ragu2, terpaksa ia melompat mundur saja untuk menghindar.
Tapi Kongsun Kokcu juga sangat gesit, begitu Nyo Ko
melompat mundur, segera dia membayangi lawan, kembali lingkaran pedangnya
bergetar lagi didepan Nyo Ko, makin lama lingkaran ujung pedang itu makin
besar, semula hanya lingkaran seluas dada, beberapa putaran lagi sudah mencakup
bagian perutnya dan kemudian meluas pula ke bagian leher.
Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si dan lainnya adalah maha guru
ilmu silat terkemuka, namun ilmu pedang yang mendesak musuh dengan lingkaran
ujung pedang begitu boleh dikatakan belum pernah mereka lihat, maka mereka
menjadi heran dan terkejut.
Begitulah setiap kali Kongsun Kokcu melancarkan suatu
tusukan, setiap kali pula Nyo Ko terpaksa melompat mundur, belasan kali Nyo Ko
harus menghindar secara begitu tanpa sanggup balas menyerang, Tampaknya
serangan Kongsun Kokcu semakin lihay, apalagi golok bergerigi pada tangannya
yang lain belum pula digunakan, kalau sampai golok emas itupun ikut menyerang,
pasti sukar bagi Nyo Ko untuk menahannya.
Tanpa pikir lagi segera Nyo Ko melompat ke kiri sambil
mengayun Kim-leng-soh, "tring", genta kecil itu menyamber ke depan
untuk mengetok mata kiri musuh. Biarpun Kongsun Kokcu tidak gentar Hiat-to
tertutuk, tapi mata adalah tempat yang lemah dan harus dijaga, cepat ia
miringkan kepala dan segera balas menyerang pula dengan pedang hitam.
Nyo Ko sangat girang, sekali Kim-leng-soh menyendal,
terbelitlah kaki kanan musuh, bara saja hendak dibetot sekuatnya, mendadak
pedang hitam Kongsun Kokcu memotong ke bawah, "sret", selendang
sutera Nyo Ko itu putus dibagian tengah, pedang hitam yang tampaknya mirip
seutas tali itu ternyata tajamnya tidak kepalang.
Terdengar semua orang menjerit kaget, berbareng itu
terdengar pula samberan angin, golok bergerigi sang Kokcu telah membacok ke
arah Nyo Ko, sebisanya Nyo Ko menjatuhkan diri ke lantai dan berguling ke sana,
"trang", suara nyaring menggetar telinga, kiranya Nyo Ko sempat
menyamber tongkat baja Hoan It-ong tadi dan digunakan menangkis ke atas. Karena
benturan golok dan tongkat itu, tangan kedua orang sama sakit kesemutan.
Diam2 Kongsun Kokcu kejut dan heran akan kemampuan Nyo Ko
yang sanggup menahan berpuluh jurus serangannya, Segera goloknya menabas lagi
dari samping, berbareng pedang hitam juga menusuk dari depan.
Supaya diketahui bahwa permainan golok mengutamakan
kekerasan dan kekuatan, sedangkan permainan pedang mengutamakan kelincahan dan
kelemahan, jadi watak kedua jenis senjata itu sama sekali berbeda, maka adalah
hal yang tidak mungkin bahwa seorang dapat menggunakan dua macam senjata itu
sekaligus.
Tapi kini Kongsun Kokcu ternyata dapat memainkan golok
dan pedang dengan lihay, sungguh suatu kepandaian khas yang jarang terdapat di
dunia persilatan.
Sambil mengertak, Nyo Ko putar tongkat baja dan menggunakan
kunci "menutup" dari Pak~kau-pang-hoat, ia bertahan dengan rapat
sehingga seketika pedang dan golok Kongsun Kokcu tidak mampu menembus
pertahanan anak muda itu.
Cuma Pak-kau-pang-hoat mengutamakan pertahanan gerak
serangan, dengan pentung bambu yang enteng, tentu dapat dimainkan dengan gesit
dan lincah sesuka hati, kini Nyo Ko memegang tongkat baja sebagai pengganti
pentung bambu, tentu saja gerak-geriknya tidak leluasa, setelah belasan jurus
ia mulai merasa payah.
Suatu peluang dilihat oleh Kongsun Kokcu mendadak
goloknya menahan keatas, berbareng pedang hitam menabas kebawah,
"krek", kontan tongkat baja tertabas kutung.
"Bagus" teriak Nyo Ko, "Memangnya aku lagi
merasa keberatan memegangi potongan besi ini." - Segera ia putar setengah
potongan tongkat baja itu dan terasa lebih enteng dan lincah.
"Hm, bagus atau tidak, boleh lihat saja nanti!"
jengek Kongsun Kokcu dengan mendongkol, kembali goloknya membacok lagi dari
depan.
Bacokan ini teramat lugu, asalkan Nyo Ko mengegos saja
dengan mudah dapat menghindarkan serangan itu Tak terduga lingkaran ujung
pedang hitam ternyata juga mengurung tubuh Nyo Ko sehingga anak muda itu tidak
dapat bergerak sembarangan, Terpaksa Nyo Ko angkat potongan tongkat untuk
menangkis.
"Trang" suara nyaring keras benturan golok sama
tongkat menerbitkan lelatu api pula. Habis bacokan pertama, menyusul bacokan
kedua dilontarkan lagi oleh Kongsun Kokcu dengan cara yang sama tanpa variasi.
Bahwa pengetahuan ilmu silat Nyo Ko sangat luas, otaknya
juga cerdas, tapi aneh sama sekali ia tidak berdaya mematahkan bacokan lawan
yang begitu2 saja, kecuali menangkis dengan cara seperti tadi terasa tiada
jalan lain yang lebih bagus.
Untuk kedua kalinya golok dan tongkat kutung beradu,
diam2 Nyo Ko mengeluh. Kiranya bacokan kedua kali ini tampaknya begitu saja
tapi tenaganya ternyata bertambah sebagian, ia pikir kalau bacokan begini
berlangsung beberapa kali lagi tentu otot tulang lenganku bisa putus tergetar
oleh tenaga Kokcu ini.
Belum habis terpikir benar saja bacokan ke tiga Kongsun
Kokcu sudah nyambar tiba pula dan tenaganya memang bertambah lagi sebagian.
Kiranya ilmu permainan golok Kongsun kokcu itu meliputi
18 jurus, tenaga setiap jurus selalu bertambah kuat daripada jurus yang duIuan.
Walaupun tenaganya cuma sebagian saja, tapi kalau terus
bertambah dan menumpuk, jadinya bisa berlipat ganda dan sukar ditahan.
Setelah menangkis beberapa kali lagi, tongkat kutung di
tangan Nyo Ko sudah babak belur oleh bacokan golok emas lawan, tangan Nyo Ko
pun tergetar lecet.
Melihat tenaga tangkisan Nyo Ko tidak berkurang, dalam
keadaan bahaya anak muda itu masih tetap mengulum senyum, diam2 Kongsun Kokcu
sangat mendongkol, ia merasa kalau beberapa kali bacokan lagi tak dapat
menaklukan Nyo Ko akan kelihatan dirinya sendiri yang terlalu tak becus,
Maka ketika golok membacok lagi, mendadak pedang hitam
terus menusuk ke perut lawan.
Saat itu Nyo Ko sudah terdesak sampai di pojok ruangan,
melihat ujung pedang menyamber tiba, cepat ia menangkis dengan telapak tangan,
ujung pedang tepat menusuk di tengah telapak tangan, tapi pedang hitam itu
lantas melengkung dan terpental balik. Kiranya sarung tangan dari Siao-liong-li
yang terbuat dari anyaman benang emas itu tidak tertembuskan oleh pedang hitam
yang tajam itu.
Setelah mengetahui sarung tangannya tidak takut pada
senjata lawan, cepat Nyo Ko membaliki tangan untuk menarik ujung pedang musuh,
Tak terduga Kongsun Kokcu telah sedikit menyendal pedangnya yang melengkung
tadi sehingga batang pedang yang lemas itu membaik ke bawah dan melukai lengan
Nyo Ko, darah seketika bercucuran.
Nyo Ko terkejut dan cepat melompat mundur. sebaliknya
Kongsun Kokcu juga tidak mendesak maju, ia mendengus beberapa kali, habis itu
baru melangkah maju dengan pelahan.
Jika Kongsun Kokcu hanya menggunakan salah sebuah
senjatanya saja, tentu Nyo Ko mempunyai akal untuk meIawannya. sekarang musuh
memakai dua macam senjata yang justeru berlawanan, satu keras dan satu lemas
dengan gerak serangan yang berbeda, keruan Nyo Ko tak berdaya dan tercecar
hingga kelabakan.
Walau Nyo Ko terdesak dan serba repot tapi Kim-lun
Hoat-ong, In Kik-si dan lain-lain yang mengikuti pertarungannya itu bertambah
kagum.
Dalam hati mereka sama berpikir "jika aku sendiri
yang harus melayani kedua macam senjata yang berbeda itu, mungkin sejak tadi
jiwaku sudah melayang. Tapi bocah ini ternyata mampu meIayaninya dengan
berbagai cara yang cerdas dan dapat menghindari sekian kali serangan
maut,"
Begitulah Kongsun Kokco masih terus meIancarkan serangan
dengan golok dan secara bergantian kembali bahu Nyo Ko tertusuk lagi satu kali
sehingga bajunya berlepotan darah.
"Kau menyerah tidak?" bentak Kongsun Kokcu.
"Kau bertanding dengan cara yang jauh menguntungkan
kau, tapi masih berani tanya padaku menyerah atau tidak, hahaha, mengapa kau
begini tebal muka, Kongsun Kokcu?" ejek Nyo Ko dengan tersenyum.
Mendadak Kongsun Kokcu menarik kedua serangannya dan
bertanya: "Apa yang menguntungkan aku? Coba katakan." tanya Sang
Kokcu.
"Kau menggunakan senjata se-hari2, sepasang senjata
yang aneh ini mungkin sukar dicari lagi didalam dunia, betul tidak?" ujar
Nyo Ko.
"Memangnya kenapa? Kan senjata di tanganmu itu juga
luar biasa," jawab Kongsun Kokcu,
Nyo Ko membuang tongkat kutung itu dan berkata dengan
tertawa: "Ini kan milik muridmu si jenggot tadi." - Lalu ia
menanggalkan sarung tangan kedua potong selendang sutera yang putus tadi
dijemputnya pula dan dilemparkan kepada Siao-liong-li, kemudian berkata pula:
"Dan ini adalah milik Kokoh yang kupinjam tadi,"
Habis itu Nyo Ko keplok2 tangannya dia kebut2 debu pada
badannya tanpa menghiraukan datrah yang masih mengucur dari lukanya, lalu
berkata pula dengan tertawa: "Nah, kudatang ke sini dengan bertangan
kosong, masakan aku bermaksud memusuhi kau ? sekarang terserah kau, mau bunuh
boleh bunuh. tidak perlu banyak omong lagi."
Melihat sikap anak muda itu tenang sabar, wajahnya cakap,
mesti terluka tapi bicara dan tertawa sesukanya seperti tidak terjadi sesuatu
kalau dibandingkan dirinya sendiri terasa memalukan dan rendah.
"Jika anak muda ini tetap dibiarkan hidup, tentu
Liu-ji akan condong dan jatuh hati padanya."
Tanpa pikir ia mengangguk dari berkata:
"Baiklah." segera pedangnya menusuk ke dada Nyo Ko.
Karena merasa tidak sanggup melawan orang, kyo Ko sudah
ambil keputusan biar dibunuh saja oleh lawannya itu, maka iapun tidak
menghindar ketika tusukan orang tiba, sebaliknya ia menoleh ke sana untuk
memandang Sio-liong-li, pikiranya "Sambil memandangi Kokoh, biar matipun
aku tidak menyesal."
Dilihatnya Sio-liong-Ii sedang melangkah ke arahnya setindak
demi setindak dengan tersenyum manis, kedua pasang mata saling menatap, sama
sekali tidak menghiraukan ancaman pedang hitam Kongsun Kokcu.
Sesungguhnya Kokcu itu belum pernah kenal Nyo Ko sehingga
hakikatnya tidak ada dendam permusuhan apapun, sebabnya dia ingin membinasakan
anak muda itu semuanya gara2 Siao-liong li belaka, sebab itulah ketika tusukan
terakhir itu di lontarkan, tanpa terasa iapun memandang sekejap ke arah
Siao-liong li
Sekali pandang seketika rasa cemburunya berkobar hebat,
tertampak si nona menatap Nyo Ko dengan penuh kasih sayang mesra, waktu ia
melirik Nyo Ko, kelihatan sorot anak muda itupun serupa dengan Siao-liong-Ii,
padahal ujung pedang kini sudah menempel dadanya, asalkan tangannya sedikit
mendorong ke depan, seketika ujung pedang itu akan menembus dadanya, tapi
Siao-liong li ternyata tidak menjadi kuatir dan cemas, Nyo Ko juga tidak
berusaha menangkis kedua orang hanya saling pandang dengan kesan penuh jalinan
perasaan dan melupakan segala apa yang berada di sekitarnya.
Gemas dan dongkol Kongsun Kokcu tak terkirakan, pikirnya:
"Jika kubunuh kau sekarang, akan membuat kau merasa puas dan bahagia
ketika menghadapi ajalnya, aku justru ingin kau menyaksikan sendiri pemikahanku
dengan Liu-ji, habis malaman pengantin barulah kubunoh kau!"
Karena pikiran itu, segera ia berteriak : "Lui - ji,
kau ingin kubunuh dia atau menghendaki ku-ampuni dia?"
Siao-liong-li memandangi Nyo Ko dengan segenap
cita-rasanya dan sama sekali tidak memikirkan Kongsun Kokcu, karena mendadak
mendengar suaranya barulah ia tersadar, katanya cepat dengan kuatir.
"Lekas kesampingkan pedangmu untuk apa kau mengacungkan pedangmu di depan
dadanya?"
Kongsun Kokcu mendengus dan berkata: "Baik, tidaklah
sukar untuk mengampuni jiwanya asalkan kau suruh dia segera pergi dari sini dan
tidak merintangi detik bahagia pernikahan kita nanti."
Sebelum bertemu dengan Nyo Ko sebenarnya Siao-liong-li
sudah bertekad takkan berjumpa lagi dengan anak muda itu, Tapi kini setelah
bertemu kembali mana dia mau lagi menikah dengan Kongsun Kokcu? ia tahu apa
yang menjadi keputusannya akhir2 ini jelas sukar dilaksanakannya, lebih baik
mati saja daripada menikah dengan orang lain, ia lantas berpaling dan berkata
kepada Kongsun Kokcu "Kongsun-siansing aku sangat berterima kasih atas
pertolonganmu, tapi aku tak dapat menikah dengan kau."
Meski sudah tahu alasannya, tapi Kongsun Kokcu masih
bertanya: "Sebab apa?"
Siao-liong-Ii berdiri sejajar dengan Nyo Ko dan memegangi
tangan anak muda itu, dengan tersenyum ia menjawab: "Aku sudah bertekad
akan menjadi suami-isteri dengan dia dan hidup berdampingan selamanya, masakah
kau tak dapat melihat sikap kami ini?"
Tergetar tubuh Kongsun Kokcu, katanya dengan geram :
"Kalau saja tempo hari kau sendiri tidak menyanggupi aku, masakah aku
paksa kau pada waktu kau terancam elmaut? Tapi kau sendiri yang terima
lamaranku, itu, dan timbul dari perasaan sukarela dan iklas?"
Pada dasarnya Siao - liong li masih polos dan belum paham
seluk beluk kehidupan insaniah, tanpa ragu ia menjawab: "Memang betul begitu,
tapi aku merasa berat meninggalkan dia. Nah, kami akan pergi saja, harap kau
jangan marah," Habis itu ia tarik tangan Nyo Ko dan diajaknya pergi.
Ucapan Siao-liong-li ini membikin semua orang saling
pandang dengan melongo, Kongsun Kokcu terus melompat maju dan mengadang di
ambang pintu, serunya dengan serak "untuk bisa keluar dari lembah ini
kecuali kau harus membunuh diriku lebih dulu..."
Siao liong li tersenyum, katanya: "Kau berbudi
menoIong jiwaku, mana boleh kubunuh kau? Lagipula, ilmu silatmu tinggi
betapapun aku takdapat mengalahkan kau."
Sembari bicara ia terus merobek kain baju sendiri untuk
membalut luka Nyo Ko.
"Kongsun-heng," mendadak Kim-lun Hoat-ong
berseru: "lebih baik kau membiarkan mereka pergi saja"
Kongsun Kokcu mendengus tanpa menjawab, dengan air
mukanya penuh gusar, ia tetap menghadang di ambang pintu.
Segera Hoat-ong berkata pula: "Jika ia main pada
dengan sepasang pedangnya, pasti kedua macam senjatamu itupun tak dapat
menandingi mereka, Daripada kalah bertanding memberi tembok isteri lagi, ada
lebih baik kau mengalah saja dan serahkan si dia padanya."
Rupanya Kim lun Hoat-ong masih penasaran karena dia
pernah kalah dibawah ilmu pedang yang dimainkan secara berganda oleh Nyo Ko dan
Siao-liong-li tempo hari, kejadian itu dianggap sebagai hal yang memalukan
baginya. Kini menyaksikan im-yang-siang-to (sepasang senjata berlainan) yang
dimainkan Kongsun Kokcu ternyata sangat lihay dan tidak kalah hebatnya daripada
permainan rodanya sendiri maka ia sengaja memancingnya dengan kata2 untuk
mengadu domba mereka dan dia sendiri dapat menarik keuntungannya.
Padahal seumpamanya dia tidak membakarnya dengan kata2
itu juga Kongsun Kokcu tidak sampai membiarkan Siao-liong-Ii dan Nyo Ko pergi
begitu saja. Karena itu ia melotot gusar kepada Hoat-ong, dalam hati ia memaki
Hoat-ong yang berani mengucapkan kata2 yang meremehkan dirinya, ia ingin kelak
kalau ada kesempatan tentu akan ku-bikin perhitungan dengan kau si Hwesio ini.
Begitulah watak Kongsun Kokcu itu memang tinggi hati dan
congkak, selamanya dia maha kuasa di Cui-sian-kok ini tanpa seorangpun berani
membangkang perintahnya, sekalipun puteri kandung sendiri juga akan dihukum
badan apabila berbuat salah, maka dapat dibayangkan marahnya.
Semakin murka semakin nekat pula Kongsun Kokcu itu,
betapapun ia harus menikah dengan Siao-liong-li meski apapun yang akan terjadi,
dengan gregetan, ia pikir: "sekalipun hatimu tidak kau serahkan padaku,
sedikitnya tubuhmu harus diberikan padaku, Kau tidak mau menikah dengan aku
waktu hidup, sesudah kau mati juga akan kunikahi kau."
Semula dia ingin menggunakan jiwa Nyo Ko sebagai senjata
untuk memaksa Siao-liong-li menyerah kepada keinginannya tapi setelah melihat
kedua muda-mudi itu sama sekali tak takut mati, maka iapun ambil keputusan
takkan melepaskan mereka andaikan kedua orang itu harus dibunuhnya semua.
Bagi Nyo Ko, tanpa terasa semangat tempurnya seketika
berkobar setelah melihat Siao-liong li hanya mencintainya seperti semula,
dengan mantap sigap ia bertanya: "Kongsun-Kokcu, dengan cara bagaimana
barulah engkau mau membiarkan kami pergi?"
Pertanyaan Nyo Ko ini membuat Kongsun Kokcu bertambah
murka, napsu membunuhnya semakin berkobar.
Mendadak terdengar Be Kong-co berseru: "Hei
Kongsun-Kokcu, orang sudah mengatakan tidak mau menjadi isterimu, mengapa kau
merintangi orang?"
Dengan suara banci Siao-siang-cu berkata:
"Jangan sembarangan omong, Be-Kong co, kan Kongsun
kokcu sudah menyiapkan perjamuan besar ini, Kita diundang meramaikan pestanya
yang meriah ini."
"Aha, perjamuan apa? Paling air tawar dan sayur
mentah, apanya yang dapat dirasakan?" seru Be Kong-co, "Jika aku
menjadi nona cantik ini pasti juga aku tidak sudi menjadi isterinya. Nona
cantik melek seperti dia, menjadi permaisuri juga setimpal, untuk apa hidup
susah2 ikut seorang kakek?"
Meski dogol, tapi apa yang dikatakan itupun cukup masuk
diakal Siao-liong-li menoleh dan berkata dengan suara lembut padanya:
"Be-toaya, soalnya Kongsun-siansing telah menyelamatkan jiwaku, betapapun
dalam hatiku tetap... tetap berterima kasih padanya."
"Bagus, si tua Kongsun," seru Be Kong~co pula,
"Jika kau memang seorang berbudi dan bijaksana, lebih baik sekarang juga
kau membiarkan kedua muda-mudi itu melangsungkan pernikahan di sini, kalau
dengan alasan kau telah menolong jiwa si nona, lalu tubuhnya hendak kau gagahi,
huh, jiwa ksatria macam apakah begitu?"
Karena orangnya dogol, ucapannya juga tanpa tedeng aling2
dan sangat menusuk hati, tapi juga sukar dibantah.
Tentu saja Kongsun Kokcu sangat murka, diam2 ia bertekad
semua orang yang memasuki tempatnya ini harus dibunuh seluruhnya, Tapi iapun
tidak memberi reaksi apa2, dengan hambar ia berkata: "Ah, sebenarnya
lembah pegununganku ini bukan sesuatu tempat yang luar biasa, tapi kalau kalian
boleh datang dan pergi sesukanya, rasanya orang terlalu meremehkan diriku, Nona
liu...."
Dengan tersenyum Siao-liong-li memotong. "Sebenarnya
aku tidak she Liu, yang benar she Liong, Soalnya dia she Nyo, maka aku sengaja
dusta padamu bahwa aku she Liu."
Rasa cemburu Kongsun Kokcu bertambah membakar, ia anggap
tidak mendengar ucapan Siao liong-li itu dan berkata: "Nona Liu...."
Tapi belum lanjut ucapannya, mendadak Be Kong-co
menimbrung: "He, sudah jelas nona itu she Liong, mengapa kau tetap
menyebut dia nona Liu?"
Cepat Siao-liong-li menanggapi: "Ya, mungkin
Kongsun-siansing sudah biasa memanggil begitu padaku, Memang salahku karena aku
telah berdusta padanya. Maka biarlah, apa yang dia suka boleh..."
Kongsun Kokcu tetap tidak urus perkataan mereka dan
menyambung: "Nona, Liu, asalkan bocah she Nyo itu mampu mengalahkan
Im-yang-siang-to di tanganku ini, segera kubiarkan dia pergi, Urusan ini harus
kita selesaikan sendiri dan tiada sangkut pautnya dengan orang lain."
Siao-liong-li menghela napas dan berkata
"Kongsun-siansing, sebenarnya aku tidak ingin bertempur dengan kau, tapi
dia sendirian bukan tandinganmu, terpaksa aku membantu dia,"
Kontan alis Kongsun Kokcu terkerut rapat, katanya
"jika kau tidak kuatir karena kau tadi telah muntah darah, maka boleh juga
kau maju sekalian."
Dalam hati Siao-liong-li rada gegetun, terhadap masalah
ini, segera ia berkata pula: "Kami bertarung tidak bersenjata lagi, kami
pasti kalah jika melayani kau dengan tangan kosong, Engkau adalah orang baik,
harap lepaskan saja kepergian kami"
Tiba2 Kim-lun Hoat-ong menyela: "Kongsun-heng, di
tempatmu ini serba ada, masakah kekurangan dua senjata? Cuma perlu
kuperingatkan kau lebih dulu, jika mereka bermain ganda, sepasang pedang mereka
menjadi maha lihay, mungkin jiwamu bisa melayang."
Kongsun Kokcu tidak menanggapi, ia kemudian ke sebelah
kiri dan berkata kepada Nyo Ko. "Kamar di sebelah sana itu adalah kamar
senjata, kalian boleh pilih sendiri senjata apa yang kalian kehendaki"
Nyo Ko saling pandang sekejap dengan Siao-liong-li dan
sama berpikir: "Alangkah baiknya jika dapat berada berduaan di tempat yang
sepi dari orang lain."
Segera mereka bergandengan tangan dan memasuki kamar yang
di tunjuk, pandangan Siao-liong-li selama itu tidak pernah meninggalkan wajah
Nyo Ko, ketika tiba di depan kamar itu dan nampak pintu kamar tertutup, tanpa
pikir ia terus mendorong pintu dan baru saja hendak melangkah masuk ke dalam,
mendadak Nyo Ko ingat sesuatu dan cepat mencegahnya: "Nanti dulu!"
"Ada apa?" tanya Siao-liong-li merandek.
"Apa kau kuatir Kokcu itu menjebak kita? Dia sangat baik, tampaknya takkan
berbuat begitu."
Nyo Ko tidak menjawab, ia menggunakan kakinya untuk
mencoba lantai di bagian dalam pintu dan mendadak terdengar suara mencicit
nyaring disertai gemerdepnya cahaya, delapan pedang tajam tahu2 menusuk keluar
dari kanan kiri pintu, dalam keadaan begitu apabila orang sedang melangkah ke
dalam kamar itu tentu seluruh tubuh akan tertancap oleh pedang2 tajam itu
Siao-liong-li menghela napas dan berkata.
"Ah Ko-ji, kiranya begitu keji hati Kokcu itu,
sungguh aku telah salah menilainya, sudahlah kitapun tidak perlu bertanding
lagi dengan dia dan pergi saja sekarang.."
Mendadak seorang bersuara di belakang mereka: "Kokcu
menyilahkan kalian memilih senjata ke dalam kamar."
Waktu mereka menoleh, tertampak delapan anak murid
berseragam hijau dengan membentang jaring ikan sudah menghadang dibeIakang.
Tampaknya Kongsun Kokcu itu sudah memperhitungkan kemungkinan kaburnya mereka,
maka sengaja mengirimkan anak muridnya untuk mencegat di belakang mereka.
Terpaksa Slao-liong li berkata kepada Nyo Ko.
"Menurut pendapatmu, apakah di kamar senjata ini ada lagi sesuatu yang
aneh?"
Nyo Ko genggam kencang tangan Siao-liong-li, katanya:
"Kokoh, kita telah berkumpul lagi, apa yang perlu kita sesalkan pula?
Biarpun ditembus oleh beribu senjata, paling tidak kita toh mati bersama."
Perasaan Siao-liong-li pun penuh kasih mesra, tanpa pikir
mereka lantas melangkah ke dalam kamar, lalu Nyo Ko merapatkan pintu.
Terlihat baik di dinding, di atas meja, dan di rak
senjata penuh berjajar macam2 senjata, tapi hampir sembilan dari sepuluh adalah
pedang kuno, ada yang panjang dan ada yang pendek sekali, ada yang sudah
karatan, banyak pula yaag mengkilat menyilaukan mata.
Siao-liong-li berdiri berhadapan dengan Nyo Ko dan saling
pandang sejenak, mendadak ia bersuara tertahan terus menubruk ke dalam pelukan
anak muda itu.
Tanpa ayal Nyo Ko mendekap kencang tubuh si nona dan
menciumnya, seketika jiwa raga Siao-liong-Ii serasa dimabuk oleh ciuman itu,
kedua tangannya terus merangkut leher Nyo Ko dan balas mencium dengan mesranya.
"Blang", mendadak pintu kamar didobrak orang,
seorang murid seragam hijau berseru dengan bengis: "Perintah Kokcu,
setelah memilih pedang segera kalian harus keluar lagi!"
Muka Nyo Ko menjadi merah, cepat ia melepaskan Siao-liong-li.
Tapi Siao-liong-li adalah nona yang berpikiran polos dan
suci, ia pikir kalau kumenyukai Nyo Ko, apa salahnya kalau kami berdua saling
peluk dan berciuman, cuma sekarang diganggu orang luar sehingga sukar mencapai
kepuasan Dengan gegetun ia berkata pelahan: "Ko-ji, setelah kita kalahkan
Kokcu itu, bolehlah kau mencium aku lagi seperti barusan ini."
Nyo Ko mengangguk dengan tersenyum, katanya:
"Marilah kita pilih senjata."
"Tampaknya senjata yang tersimpan di sini memang
betul benda mestika seluruhnya," ujar Siao-liong-li, lalu ia mengelilingi
kamar itu untuk mengamati dengan teliti.
Maksud Siao-liong-li hendak memilih sepasang pedang yang
sama panjang dan bobotnya agar nanti digunakan bersama Nyo Ko akan dapat
mendatangkan hasil sebanyaknya. Tapi setelah diperiksa kian kemari ternyata
pedang yang berada disitu tiada yang serupa, Sembari mengamati senjata iapun
bertanya kepada Nyo Ko: "Waktu masuk kamar ini tadi, darimana kan
mengetahui di ambang pintu terpasang jebakan?"
"Aku dapat menerkanya dari air muka Kokcu itu,"
tutur Nyo Ko, "Dia ingin memperisterikan dirimu, tapi sorot matanya
ternyata penuh rasa benci dan dendam. Melihat kepribadiannya, itu aku tidak
percaya dia mau membiarkan kita memilih senjata kita secara rela,"
Kcmbali Siao-liong-li menghela napas pelahan dan berkata
pula: "Menurut kau, apakah kita dapat mengalahkan dia, dengan
Giok-li-kiam-hoat?"
"Meski tinggi ilmu silatnya, tampaknya juga tidak
lebih hebat daripada Kim-lun Hoat-ong." ujar Nyo Ko. "Jika kita
bergabung dapat mengalahkan Hoat-ong, tentu saja kita dapat mengalahkan
dia."
"Ya, sebabnya Hoat-ong terus menerus membakar agar
dia bertarung dengan kita, jelas iapun bermaksud jahat!" kata
Siao-liong-Ii.
"Hati manusia pada umumnya memang jahat tampaknya
kaupun mulai paham," kata Nyo-Ko dengan tersenyum. Tapi ia lantas
menyambung pula dengan rasa kuatir: "Tapi bagaimana dengan kesehatanmu,
tadi kau tumpah darah lagi."
Siao-liong-li tertawa manis, jawabnya: "Kau tahu, di
waktu berduka barulah aku muntah darah, Sekarang aku sangat gembira, apa
artinya sedikit sakit bagiku? Oya, Ko-ji, tampaknya kepandaianmu sudah jauh
lebih maju, jauh berbeda daripada waktu kita bertempur dengan Hoat-ong dahulu.
Kalau waktu itu saja kita dapat mengalahkan dia, apalagi sekarang ?"
Nyo Ko juga yakin pasti akan menang dalam pertarungan
ini, ia genggam kencang tangan si nona dan berkata: "Kokoh, kuharap engkau
berjanji sesuatu padaku"
"Mengapa kau bertanya secara begini?" kata
Siao-liong-li dengan suara lembut "Aku kan bukan lagi gurumu, tapi adalah
isterimu. Apa yang kau kehendaki tentu akan kuturuti."
"Ah... baik sekali, baru... baru sekarang aku
tahu," kata Nyo Ko.
"Sejak malam itu di Cong-lam-san kau berbuat begitu
mesra padaku, sejak itu pula aku sudah bukan lagi gurumu." ucap Siao-liong-li,
"Meski kau tidak mau memperisterikan diriku, dalam hatiku sudah lama
kuakui sebagai isterimu,"
Sesungguhnya pada waktu itu Nyo Ko memang tidak tahu
sebab apakah tiba2 Siau liong-li mengajukan pertanyaan begitu padanya, ia pikir
mungkin hati si nona mendadak terguncang atau bisa jadi dirinya yang lama
tertahan itu mendadak tak bisa dikendalikan lagi, sama sekali tak pernah
terpikir olehnya bahwa In Ci-peng yang telah menggagahi Siao-liong li secara
diam2. Nyo Ko sendiri merasa tidak pernah berbuat apa2 yang melampaui batas
terhadap nona itu.
Tapi kini mendengar suaranya yang halus dan manis itu,
hatinya terguncang juga dan seketika tak dapat menjawab.
Siao-liong-li merapatkan tubuhnya ke dada Nyo Ko, lalu
bertanya: "Kau ingin aku berjanji apa?"
Nyo Ko membelai rambut Siao liong li yg indah itu,
katanya: "Setelah kita mengalahkan Kokcu ini, segera kita pulang ke
kuburan kuno itu untuk selanjutnya engkau tak boleh berpisah lagi dariku biar
apapun yang bakal terjadi..."
Sambil menengadah dan menatap anak muda itu,
Siao-liong-li menjawab: "Memangnya kau kira aku suka berpisah dengan kau?
jika berpisah dengan kau, apa kau kira dukaku tidak melebihi kau ? Sudah tentu
kuterima permintaanmu ini, biarpun langit bakal ambruk atau bumi ambles dan
dunia kiamat juga aku tetap bersamamu."
Girang Nyo Ko sukar dilukiskan selagi dia hendak bicara
pula, tiba2 salah seorang seragam hijau di luar kamar itu berseru:
"Senjata sudah terpilih belum?"
Dengan tersenyum Siao-Iiong-li berkata kepada Nyo Ko:
"Marilah kita lekas pergi saja."-Baru saja ia hendak mengambil dua
pedang seadanya, tiba2 dilihatnya dinding di sebelah kiri sana sebagian besar
terdapat bekas hangus terbakar beberapa buah meja kursi juga rusak bekas
terbakar, ia menjadi rada heran.
Segera Nyo Ko menutur lo-wan-tong itu pernah menerobos ke
dalam kamar senjata ini dan membakarnya serta mengambil sesuatu benda di sini,
bekas hangus terbakar ini jelas hasil perbuatannya itu."
Tiba2 dilihatnya di bawah lukisan di pojok dinding sana
yang tersisa dari bekas hangus itu menonjol keluar dua sarung pedang, tergerak
pikiran Nyo Ko: "Kedua pedang ini semula teraling oleh lukisan itu, tapi
lantaran sebagian lukisan itu terbakar sehingga kelihatanlah bagian pedang itu,
jika pemilik pedang sengaja mengatur begini, jelas sepasang pedang ini pasti
benda mestika."
Ia coba mendekati dan menanggalkan kedua pedang itu,
sebuah ia berikan kepada Siao-liong-li, ia pegang gagang pedang satunya terus
dilolos.
Begitu pedang itu terlolos dari sarungnya, seketika kedua
orang merasakan hawa dingin, batang pedang itu hitam mulus tanpa mengkilat
sedikitpun sehingga mirip sepotong kayu belaka.
Waktu Siao-Iiong li juga melolos pedang yang diterimanya
itu, ternyata serupa benar dengan pedang Nyo Ko, baik besar maupun panjangnya.
Ke-dua pedang itu dijajarkan, seketika menambah hawa segar di dalam ruangan
kamar, cuma kedua pedang itu tak terdapat ujung yang runcing melainkan puntuI,
begitu pula mata pedangnya tidak tajam.
Nyo Ko membalik pedang itu dan terlihat pada batang
pedang terukir dua huruf "Kun-cu" (lelaki), waktu memeriksa pedang
Siao-liong-Ii, di atasnya juga terukir dua huruf "Siok-li"
(perempuan). sebenarnya Nyo Ko tidak menyukai bentuk kedua pedang ini, ia
pandang Siao-liong-li dan ingin tahu bagaimana pikirannya.
Dengan girang Siao-liong-li berkata: "Pedang ini
tidak tajam, kebetulan dapat digunakan melawan Kokcu itu, dia pernah menolong
jiwaku, aku tidak ingin mencelakai dia,"
"Pedang adalah senjata pembunuh, tapi diberi nama
Kun-cu dan Siok-li, aneh" ujar Nyo Ko dengan tertawa, ia coba angkat
pedangnya dan bergaya menusuk dua kali, rasanya sangat cocok dengan bobotnya
dan enak dipakai. Segera ia menambahkan: "Baiklah, biar kita gunakan
sepasang pedang ini."
Siao-liong-li memasukkan kembali pedang ke sarungnya dan
baru akan keluar, tiba2 dilihatnya di atas meja ada sebuah pot bunga dengyi
serangkaian bunga yang cantik sekali, hanya sayang merangkainya awut2an tak
keruan, tanpa pikir lantas dibenahinya rangkaian bunga itu lebih teratur.
"Hai, jangan!" mendadak Nyo No berseru, namun
sudah terlambat, jari Siao-hong-li sudah tertusuk beberapa kali oleh duri
bunga.
Dengan bingung Siao-liong-li menoleh dan bertanya
"Ada apa?"
"ltu adalah bunga cinta, kau sudah tinggal sekian
lama di lembah ini, masakah tidak tahu?" ujar Nyo Ko.
Siao-liong-li mengisap jarinya yang kesakitan itu dan
menjawab sambil menggeleng : "Aku tidak tahu."
Selagi Kyo Ko hendak memberi keterangan, sementara itu
orang berseragam hijau telah mendesak puIa, Terpaksa mereka ikut kembali ke
ruangan besar tadi.
Tampakhya Kongsun Kokcu sudah tidak sabar menunggu, dia
melotot gusar kepada anak muridnya itu, jelas ia marah karena anggap mereka
kurang tegas dan membiarkan Nyo Ko berdiam sekian lama di kamar senjata itu.
Anak muridnya tampak sangat ketakutan sehingga airmuka sama pucat.
Setelah Nyo Ko berdua sudah dekat, lalu Kongsun Kokcu
berkata: "Nona Liu, sudah kau dapatkan senjata pilihanmu?"
Siao-liong-li mengeluarkan Siok-li-kiam (pedang
perempuan) pilihannya itu dan mengangguk: "Kami akan menggunakan sepasang pedang
puntul ini, kamipun tidak berani bertarung sungguhan dengan Kokcu, cukup
asalkan saling menyentuh tubuh saja,"
Kokcu itu terkesiap melihat yang dipilih ternyata
Siok-li-kiam itu, dengan suara bengis ia bertanya: "Siapa yang suruh kau
ambil pedang ini?"
Sembari bertanya sinar matanya terus mengerling ke arah
Kongsun Lik-oh, tapi segera ia menatap tajam lagi terhadap Siao-liong-li.
Dengan rada heran Siao-liong-li menjawab. "Tiada
yang menyuruh aku. Memangnya pedang ini tidak boleh dipakai? jika begitu
biarlah kami menukar yang lain saja."
Kongsun Kokcu melirik gusar sekejap ke arah Nyo Ko dan
berkata: "Untuk menukar pedang kan kalian akan berdiam setengah hari lagi
disana? Tidak perlu tukar, hayolah mulai!"
"Konsun-siansing," kata Siao-liong-li, "sebaiknya
kita bicara di muka dulu, bahwa dia atau aku sekali2 bukan tandinganmu jika
satu lawan satu, sekarang kami berdua melawan kau seorang, jelas keuntungan di
pihak kami, sekalipun kami menang juga tak dapat dianggap sebagai kemampuan
kamu."
"Boleh kau katakan begitu jika nanti kalian sudah
terbukti menang," jengek sang Kokcu, "Kalau kalian dapat mengalahkan
golok dan pedangku ini, tentu kupasrah untuk kalian perbuat sesukamu sebaliknya
kalau kalian yang kalah, maka janji nikah tak boleh lagi kau ingkari"
Siao-liong-ii tersenyum tawar, katanya: "Jika kami
kalah, biar dia dan aku terkubur saja di lembah ini."
Tanpa bicara lagi Kongsun Kokcu lantas angkat senjata,
golok emas menyamber, segera ia membacok ke arah Nyo Ko.
Cepat Nyo Ko angkat pedangnya, dengan jurus
"Pek-ho-hiang-ih" (bunga putih pentang sayap) ia balas menyerang,
itulah jurus asli ilmu pedang Coan-cin-pay.
Walaupun kuat dan tenang sekali jurus pedang Nyo Ko itu,
tapi juga cuma jurus yang jamak saja, diam2 Kongsun Kokcu mendongkol terhadap
Kim-lun Hoat-ong yang telah membual akan kelihayan anak muda itu, Segera pedang
hitam ia tusukkan ke depan, ternyata Siao-liong-li dikesampingkan olehnya,
hanya Nyo Ko yang terus menerus diserangnya.
Dengan penuh perhatian Nyo Ko melayani serangan musuh,
yang digunakannya adalah melulu Coan-sin-kiam-hoat (ilmu pedang Coan-sin-pay)
yang pernah dipelajarinya di kuburan kuno dahulu itu, tapi sejak dia menemukan
intisari ilmu silat dalam renungannya tempo hari itu, cara memainkan ilmu
pedangnya sekarang sudah jauh berbeda daripada waktu menempur Kim-lun Hoat-ong
dahulu.
Menunggu setelah Kongsun Kokcu menyerang tiga kali
barulah Siao-liong-li ikut maju dan menyerangnya. Ternyata Kongsun Kokcu tidak
menangkis serangannya dengan golok emasnya itu, hanya pada waktu serangan
Siao-liong-li tampak gencar dan berbahaya barulah dia menggunakan pedang hitam
untuk menangkis, tampaknya Kongsun Kokcu sengaja mengalah.
Setelah mengikuti beberapa gebrakan, dengan tersenyum
Kim-Iun Hoat-ong berkata: "Kongsun-heng, jika kau masih sayangi si cantik,
akhirnya mungkin kau sendiri yang harus menelan pil pahit."
Dengan mendongkol Kongsun Kokcu menjawab: "Hwesio
gede, kau jangan banyak bacot, bila perlu sebentar boleh kita coba2, sekarang
tidak perlu kau memberi nasihat."
Beberapa jurus lagi, kerja sama kedua pedang,, Nyo Ko dan
Siao-liong-Ii semakin baik, suatu ketika pedang Siao~liong-li menabas dari
kanan dan mendadak pula pedang Nyo Ko juga menabas dari kiri, dalam keadaan
terjepit tanpa pikir Kongsun Kokcu menggunakan golok untuk menangkis serangan
Nyo Ko, berbareng itu ia menggeser mundur sedikit dan pedang hitam digunakan
menangkis serangan Siao-Iiong-li.
"Trang", di luar dugaan, ujung golok emas
terbatas kutung sebagian oleh pedang lawan, Keruan semua orang terkejut, sama
sekali tak tersangka bahwa pedang puntul yang digunakan Siao-liong li itu bisa
begitu tajam.
Nyo Ko dan Siao-liong-li juga merasa heran, padahal
semula mereka memilih sepasang pedang pantul itu hanya oleh karena tertarik
pada namanya saja serta bentuknya yang serupa, tak tahunya secara tidak sengaja
malahan dapat memilih sepasang pedang mestika.
Keruan semangat mereka terbangkit seketika, mereka
menyerang dengan lebih gencar.
Betapapun ilmu silat Kongsun Kokcu memang sangat tinggi
dan dalang sepasang senjatanya yang lemas dan keras itu juga lain daripada yang
lain, makin lama daya tekanannya juga makin kuat, Tapi diam2 iapun heran bahwa
ilmu silat kedua anak muda yang jelas selisih jauh dengan dirinya itu ternyata
bisa begitu lihay dalam permainan ganda itu, ia pikir apa yang dikatakan Hwesio
gede tadi agaknya memang tidak salah, kalau saja aku dikalahkan mereka, wah,
bisa jadi.... sampai di sini ia tak berani membayangkan lebih lanjut.
Se-konyong2 golok di tangan kirinya menyerang ke kanan
dan pedang di tangan kanan menyerang ke kiri, ia keluarkan permainan
Im-yang-to-hoat.
Dengan pedang hitam di tangan kanan Kongsun Kokcu
menyerang Nyo Ko di sebelah kiri dan golok bergigi di tangan kiri menyerang
Siao-liong-li di sebelah kanan yang lihay, pedang hitam yang tadinya lemas itu
kini mendadak berubah lurus keras dan digunakan membacok segala mirip golok,
sebaliknya goloknya yang besar bergigi itu justeru menabas dan menusuk seperti
pedang, Dalam pertarungan sengit itu kelihatan golok se-akan2 berubah pedang
dan pedang seperti berobah menjadi golok, sungguh aneh dan sukar diraba.
Biasanya In Kik-si suka bangga karena mengetahui ilmu
silat apapun di dunia ini, tapi Im-yang-to-hoat yang dimainkan Kongsun Kokcu
ini sungguh belum pernah dilihatnya selama hidup, bahkan mendengarpun belum
pernah.
Segera Be Kong-co berteriak lagi: "He, kakek sialan,
permainanmu yang kacau tak teratur itu ilmu silat apaan?"
Sebenarnya usia Kongsun-Kokcu belum ada 50 tahun, jadi
baru - terhitung setengah umur, malahan dia ingin kawin lagi dengan
Siao-liong-li, tapi berulang kali si dogol Be Kong-co telah berkaok
memanggilnya si "kakek", tentu saja dalam hati ia sangat gemas.
Cuma sekarang iapun tidak sempat urus Be Kong-co, ia
mainkan Im-yang-to-hoat yang telah dilatihnya selama berpuluh tahun ini dengan
tekad mengalahkan dulu Nyo Ko dan Siao-liong-li.
Tadinya permainan ganda sepasang pedang Nyo Ko dan
Siao-liong-li sebenarnya sudah mulai unggul, tapi mendadak pihak lawan berganti
cara bertempur, golok dan pedangnya menyerang secara kacau dengan tipu serangan
yang aneh, seketika mereka menjadi kelabakan terdesak dan berulang menghadapi
bahaya.
Kepandaian Nyo Ko sekarang sudah melebihi Siao-liong-li,
ia lihat daya tekanan pedang lawan lebih kuat daripada golok bergigi, karena
itu ia sengaja menyambuti semua serangan pedang lawan dan membiarkan
Siao-liong-li melayani serangan golok bergigi, ia pikir golok itu jelas tidak
berani lagi diadu dengan pedangnya dan pula takkan besar resikonya.
Cuma permainan golok musuh sangat aneh, ilmu pedang
Coan-cin-kau asli juga sukar menandinginya, terpaksa harus bertindak menurut
keadaan dan melihat gelagat, ia layani musuh dgn ilmu pedang ciptaannya
sendiri.
padahal dahulu Lim Tiau-eng, yaitu kakek guru
Siao-liong-li ketika menciptakan Giok-li-kiam-hoat berdasarkan khayalnya ketika
malang melintang di dunia Kangoow berduaan bersama Ong Tiong-yang, itu
cakal-bakai Coan-cin-kau, sebab itulah yang laki memainkan Coan-cin-kiam-hoat
dan yang perempuan memainkan Giok-Ii-kiam-hoat, dengan demikian keampuhannya
sukar ditandingi oleh jago silat manapun juga.
Tapi sekarang Nyo Ko menyampingkan Coan-cin-kiam-hoat dan
menggunakan ilmu pedang ciptaan sendiri untuk melayani musuh, meski Kiam-hoat
ciptaannya ini juga tidak kurang lihaynya, namun setiap jurus serangannya hanya
cocok dengan cita-rasa pribadinya saja dan tidak cocok main ganda dengan
Giok-li-kiam-hoat yang dimainkan Siao-liong-li, dengan demikian jadinya mereka
se-akan2 bertempur sendiri2 dan dengan sendirinya daya tempurnya menjadi jauh
berkurang.
Kongsun Kokcu- menjadi girang,
"trang-trang-trang", beruntun ia membacok tiga kali dengan
pe-dangnya, berbareng itu golok di tangan lain berturut menyerang juga empat
kali dengan gaya tusukan pedang, serangan aneh ini masih dapat dilayani oleh Nyo
Ko, namun Siao-liong-li menjadi bingung karena tiada kerja sama yang baik dari
Nyo Ko, pikirnya juga ingin menabas lagi ujung golok musuh tapi gerakan golok
Kongsun Kokcu sekarang teramat cepat dan Iincah, betapapun sukar dibentur lagi.
Nyo Ko menyadari gelagat jelek, tanpa pikirkan keadaan
sendiri yang terluka itu, mendadak ia melancarkan suatu jurus serangan
Coan-cin-kiam-hoat yang disebut "Ma-ciu-lok-hoa" (Kuda meloncat
merontokkan bunga), dengan tekanan yang kuat ia paksa Kongsun Kokcu melayani serangannya
dengan kedua senjatanya, dengan demikian Siao-Iiong-li menjadi ringan.
Siao-liong-li sangat berterima kasih melihat anak muda
itu membantunya tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, segera iapun
melancarkan serangan untuk membantu, dengan demikian mereka telah kembali ke
posisi tadi dengan cara menyerang dan bertahan bersama, daya tempur mereka
mendadak tambah kuat pula.
Setelah beberapa jurus berlangsung lagi, dahi Kongsun
Kokcu mulai berkeringat, sebaliknya daya tempur Siao-liong-li dan Nyo Ko
semakin lancar dan kerja sama lebih rapat Ketika Nyo Ko melontarkan suatu
serangan dengan menusuk pinggang lawan, cepat Siao-liong-li membarengi dengan
serangan menusuk muka musuh, jurus ini dilakukan dengan penuh perasaan manis
sambil melirik anak muda itu.
Tapi mendadak dada Siao-liong-li serasa dipukul oleh palu
besar, jari tangan kanan kesakitan dan hampir tidak kuat memegangi pedangnya,
air mukanya seketika berubah dan cepat melompat mundur.
"Hm, rasakan bunga cinta!" jengek Kongsun
Kokcu.
Siao-liong-li tidak paham ucapannya itu. tapi Kyo Ko
mengetahuinya bahwa kesakitan Siao-liong-Ii itu adalah akibat bekerjanya racun
bunga cinta yang dirrinya telah melukai jari tadi, Waktu melancarkan jurus
serangan yang romantis dan perasaan terangsang, maka jarinya lantas kesakitan
sekali.
Karena Nyo Ko sendiri sudah pernah merasakan sakitnya
tertusuk duri bunga cinta itu, ia menjadi kasihan kepada Siao-liong-li, cepat
ia bertanya. "Apakah sangat sakit?"
Kesempatan itu segera digunakan Kongsun Kokcu uutuk
melancarkan serangan gencar dengan golok dan pedang, sementara itu rasa sakit
jari Siao-liong-li sudah berkurang, cepat ia menubruk maju lagi untuk membantu.
"Biarlah kau mengaso lagi sebentar," ujar Nyo
Ko dengan penuh kasih sayang, Diluar dugaan, karena rangsangan perasaannya ini,
jarinya sendiri menjadi kesakitan juga.
Bctapa cerdik dan lihaynya Kongsun Kokcu begitu melihat
ada pduang, segera pedangnya mem-bacok, "cring", Kun-cu-kiam (pedang
lelaki) yang dipegang Nyo Ko terbentur jatuh, menyusul pedang hitamnya terus menyamber
tiba dan mengancam di depan dada anak muda itu.
Siao-liong-Ii terkejut dan hendak menolongnya, tapi dia
teralang oleh golok musuh dan takdapat mendekat
"Tangkap dia !" seru Kongsun Kokcu. serentak
empat murid seragam hijau menubruk maju dengan membentang jaring, sekali tebar,
seketika Nyo Ko tertawan di dalam jaring mereka.
"Bagaimana kau, Liu-ji?" Kongsun Kokcu
berpaling dan bertanya kepada Siao-liong-li
Siao-liong-li menyadari sendirian pasti bukan tandingan
sang Kokcu, ia buang Siok-li-kiam (pe-dang perempuan) ke lantai, terdengar
suara "cring" nyaring, tahu2 Kun-cu-kiam dan Siok-lt-kiam saling
menyerot terus lengket menjadi satu. Rupanya pada kedua pedang itu terdapat
daya semberani yang sangat kuat
Dengan tegas Siao-liong-li lalu berkata:
"Pedang" saja begitu, masakah manusia tidak? Bolehlah kau bunuh saja
kami berdua!"
Kongsun Kokcu mendengus sekali, katanya:
"lkut padaku, sini!" Lalu ia memberi salam
kepada Kim-lun Hoat-ong dan lainnya dan berkata : "Maaf kutinggalkan
sebentar,"
Segera ia mendahului melangkah ke ruangai belakang,
dengan menyeret jaringnya keempat anak muridnya lantas: ikut ke sana".
Karena Nyo Ko sudah tertawan, dengan sendirinya Siao-liong-li juga ikut masuk.
"Hayo, Hwesio Gede dan Mayat Hidup, Kita harus
berdaya menolong kawan kita," seru Be Kong-co kepada Kim-lun Hoat-ong dan
Siau-siang ~cu
Hoat-ong hanya tersenyum saja tanpa menjawab, sedang
Siau-siang-cu lantas menjengek "Hm, kau sendiri berbadan segede gajah,
apakah kau pikir mampu menandingi tuan rumahnya?"
Be Kong-co menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan
merasa tidak berdaya, terpaksa hanya menjawab: "Tidak mampu menandingi
juga harus labrak dia, harus!"
Kongsun Kokcu terus melangkah ke sana dengan bersitegang
leher dan masuk sebuah kamar batu kecil, lalu berkata kepada Siao-Iiong-li:
"Liu-ji, bukan maksudku hendak bikin susah kau, aku cuma berusaha mencegah
kalau2 kau bunuh diri,"
Segera ia memberi tanda, empat muridnya berseragam hijau
terus menutupi tubuh Siao-liong-li dengan sebuah jaring dan diringkus, kemudian
sang Kokcu berkata puIa: "Bawakan sini beberapa ikat bunga cinta,"
Nyo Ko dan Siao-liong-Ii sudah bertekad ingin mati
bersama, keduanya hanya saling pandang dengan tersenyum saja dan tidak ambil
pusing terhadap segala tindak perbuatan Kongsun Kokcu.
Selang tidak lama, se-konyong2 dari luar kamar teruar bau
harum semerbak yang memabokkan, Waktu Nyo Ko berdua menoleh, terlihatlah
belasan anak murid seragam hijau membawa masuk ber-ikat2 rangkuman bunga cinta,
Tangan mereka memakai sarung kulit untuk menjaga tusukan duri bunga itu.
Ketika Kongsun Kokcu memberi tanda perintah agar
rangkuman bunga cinta itu diuruk semuanya di atas badan Nyo Ko, seketika Nyo Ko
merasa sekujur badan se-akan2 digigit oleh be-ribu2 lebah sekaligus, kaki
tangan dan segenap ruas tulang terasa sakit tak tertahan, sampai akhirnya ia
mengerang kesakitan.
Siao-liong-li merasa pedih dan kasihan serta gusar pula,
ia membentak Kongsun Kokcu: "Kau-berbuat apaan ini?"
Dengan tegas Kongsun Kokcu berkata: "Liu-ji,
sekarang adalah waktu upacara pernikahan kita harus berlangsung, tapi bocah ini
telah mengacau ke sini sehingga saat bahagia kita telah dibikin berantakan
olehnya, Sebenarnya aku tidak pernah kenal dia dan tiada permusuhan apapun,
apalagi dia adalah kenalanmu yang lama, asalkan dia mau taat kepada sopan
santun sebagai seorang tamu, dengan sendirinya akupun akan melayani dia dengan
hormat, tapi sekarang urusan sudah begini terpaksa...". sampai di sini ia
memberi tanda agar anak muridnya keluar semua, ia menutup pintu kamar, lalu
menyambung pula: "sekarang aku minta kau memilih sendiri, ingin dia mati
atau hidup, semuanya bergantung kepada keputusanmu."
Di bawah tusukan duri bunga cinta yang tak terhitung
banyaknya itu, sungguh rasa derita Nyo Ko tak tertahankan, cuma dia tidak ingin
si nona menyusahkannya, maka sebisanya dia mengertak gigi dan tutup mulut
menahan rasa sakit.
Siao-liong li memandangi muka anak muda itu dengan penuh
rasa kasih mesra, pada saat itu juga racun duri bunga cinta yang melukai
jarinya itu kumat lagi sehingga kesakitan, diam2 ia pikir: "Aku cuma
tertusuk sedikit saja sudah begini sakit, apalagi dia sekarang sekujur badan
ditusuki duri itu, mana dia tahan!"
Rupanya Kongsun Kokcu tahu isi hati si nona, katanya:
"Liu-ji, dengan setulus hati aku ingin mengikat perjodohan denganmu, semua
itu timbul dari cintaku padamu secara murni dan sama sekali tiada maksud buruk,
dalam hal ini kau sendiri tentu paham."
Siao liong-li-mengangguk dan menjawab dengan pilu
"Kau memang sangat baik padaku, sebelum dia datang ke sini senantiasa kau
menuruti segala keinginanku." - ia menunduk sejenak dan menghela napas
panjang, lalu berkata pula:" Kongsun siansing, kalau saja engkau tidak
menemukan diriku tempo hari dan tidak menyelamatkan jiwaku sehingga aku sudah
mati tanpa persoalan, maka segalanya tentu akan lebih baik bagi kita
bertiga-Tapi sekarang kalau engkau memaksa aku menikah denganmu, tentu aku
tidak akan gembira selama hidup ini dan apa manfaatnya pula hal ini
bagimu?"
Kembali kedua alis Kongsun Kokcu mengerut rapat, dengan
berat ia berkata: "Selamanya aku bicara satu tetap satu, bilang dua tetap
dua, se-kali2 tidak sudi ditipu dan dihina orang, Kau sendiri sudah berjanji
akan menikah dengan aku, maka janji itu harus ditepati Mengenai suka duka atau
sedih bahagia memang dapat berubah dan sukar diduga, biarlah kita ikuti saja
kelanjutannya nanti"
Kemudian dia menyambung pula: "Sekujur badan orang
ini telah terluka oleh duri bunga cinta, selang setiap satu jam rasa, sakitnya
akan bertambah satu bagian puIa, sesudah 6 x 6 - 36 hari nanti dia akan mati
karena rasa sakit tak tertahankan. Tapi dalam waktu 12 jam aku akan dapat
menyembuhkan dia dengan obat mujizat buatanku sendiri, selewatnya 12 jam
biarpun malaikat dewata juga tidak sanggup menolongnya. Maka dia harus mati
atau hidup semuanya bergantung padamu" sembari bicara ia melangkah pelahan
ke pintu , kamar dan membuka pintu, lalu menoleh dan berkata lagi:
"Jikalau lebih suka dia mati kesakitan secara tersiksa, ya, terserah juga
kepadamu, bolehlah kau menunggunya 36 hari di sini dan menyaksikan kematiannya.
Li-ji, sama sekali aku tiada bermaksud membikin celaka dirimu, untuk ini kau
tidak perlu kuatir." - Habis berkata segera ia hendak melangkah keluar
Siao-liong-li percaya apa yang dikatakan itu bukan omong
kosong belaka, ia pikir kalau saja dirinya dapat mati bersama Nyo Ko, maka
segala urusan akan menjadi beres seluruhnya, Tapi Kongsun Kokcu justeru memakai
cara keji ini, tampaknya Nyo Ko sedang menahan rasa sakit, hal ini jelas
kelihatan dari tubuh anak muda itu yang gemetaran, bibirnya tergigit hingga
berdarah, kedua matanya yang jeli dan bersinar tajam itu kini tampak guram.
Terbayang olehnya betapa menderitanya anak muda itu,
apabila rasa sakit itu semakin bertambah pada setiap jam dan terus menerus
tersiksa hingga 36 hari lamanya, mungkin di akhirat sekalipun tiada siksa
derita sehebat itu.
Mengingat begitu, ia menjadi nekat dia berkata:
"Baiklah, Kongsun-siansing, kujanji akan menikah dengan kau, lekas kau
membebaskan dia dan ambilkan obat untuk menolongnya,"
Sejak tadi Kongsun Kokcu mendesak Siao-liong li,
tujuannya justeru ingin si nona mengucapkan demikian, apa yang didengarnya
sekarang membuatnya bergirang tapi juga iri dan gemas, ia tahu sejak kini
perempuan ini hanya akan merasa benci dan dendam padanya dan se-kali2 takkan
ada rasa cinta.
Namun begitu iapun mengangguk dan menjawab: "Baik,
pikiranmu sudah berubah, betapapun ada baiknya bagi kita! Malam nanti setelah
resmi kita menjadi suami-isteri, besok pagi segera kuberikan obat penawar
padanya."
"Silahkan kau mengobati dia lebih dahulu," ujar
Siao-liong-li
"Liu-ji, tampaknya kau terlalu memandang rendah
padaku," kata Kongsun Kokcu, "Biarpun kau sudah berjanji akan menjadi
isteriku, tapi sebenarnya kau tidak sukarela, memangnya aku tidak tahu isi
hatimu dan masakah aku dapat menyembuhkan dia lebih dulu?" sembari berkata
ia terus melepaskan jaring ikan yang membungkus tubuh Siao-liong-li itu. lalu
meninggalkan nona itu bersama Nyo Ko di dalam kamar.
Kedua muda-mudi saling pandang dengan bungkam, sampai
sekian lama barulah Nyo Ko membuka suara dengan pelahan: "Kokoh, aku
sangat bahagia mendapatkan cintamu yang murni, biarpun di alam baka juga aku
akan terhibur, BoIehlah kau pukul mati saja dan engkau lekas kabur sejauhnya
dari sini,"
Siao-liong-li pikir gagasan ini juga baik, setelah
kupukul mati dia, segera akupun membunuh diri. Segera ia mengangkat tangannya
dan mengerahkan tenaga dalam.
Dengan tersenyum simpul dan sorot mata yang halus Nyo Ko
memandangi Siao-liong-li dengan rasa bahagia, desisnya dengan lirih: "Saat
ini adalah malaman pengantin kita berdua,"
Melihat wajah si Nyo Ko yang bersuka ria itu, tiba2
timbul lagi pikiran Siao-liong-li: "Anak muda yang begini cakap, apa
dosanya sehingga Thian harus membuat dia mati konyol sekarang."
Tiba2 dada terasa sesak, tenggorokan terasa anyir, darah
segar hampir tertumpah lagi, tenaga dalam yang sudah terhimpun di tangan
Siao-liong-li itu lenyap seketika, Mendadak ia menubruk ke atas tubuh yang
terbungkus jaring dan penuh bunga cinta itu, seketika beribu duri bunga itu
mencocok tubuhnya, tapi dengan suara halus dia berbisik "Ko-ji biarlah
kita sama-sama menderita."
"Buat apa kau berbuat begitu?" tiba2 suara
seorang menjengek di belakangnya. "Apakah rasa sakit tubuhmu itu dapat
mengurangi rasa deritanya?"
Jelas itulah suara Kongsun Kokcu. Siao-liong li memandang
Nyo Ko sekejap dengan perasaan remuk rendam, pe-lahan2 ia memutar tubuh dan
melangkah keluar kamar dengan menunduk dan tanpa berpaling lagi.
"Adik Nyo," kata Kongsun kokcu kepada -Nyo Ko,
"lewat enam jam lagi nanti kubawakan obat mujarab untuk menolong kau.
Selama enam jam ini kau harus berpikiran tenang dan bersih, sedikitpun tidak
boleh timbul pikiran menyeleweng atau napsu birahi, dengan begitu walaupun ada
rasa sakit juga tidak seberapa hebat,"
Habis berkata ia terus keluar dan merapatkan pintu
kembali. Begitulah tubuh Nyo Ko tersiksa dan hatipun sakit.
"Tadi mengapa Kokoh tidak jadi memukul mati aku
saja?" demikian ia pikir. "Segala macam siksa derita yang pernah
kurasakan kalau dibandingkan apa yang kurasakan sekarang sungguh bukan apa2.
Kokcu ini sungguh keji, mana aku boleh mati begitu saja dan meninggalkan Kokoh
berada dalam cengkeramannya dan menderita selama hidup. Apalagi, sakit hati
kematian ayahnya belum terbalas, mana boleh manusia munafik sebangsa Kwe Cing
dan Ui Yong tidak diberi ganjaran yang setimpal.
Berpikir begitu, serentak timbul semangatnya:
"Tidak, aku tidak boleh mati betapapun tidak boleh mati sekalipun Kokoh
menjadi nyonya rumah di sini juga akan kubebaskan dia dari cengkeraman Kokcu
yang keji itu. Selain itu aku masih harus giat berlatih untuk menuntut balas
sakit hati kematian ayah-ibu."
Dengan tekad harus tetap hidup, segera ia duduk bersila,
meski terjaring dan tidak dapat berduduk dengan baik, namun tenaga dalam dapat
juga dikerahkan dan mulailah dia bersemedi.
Selang agak lama, sudah lewat lohor, datanglah seorang
murid seragam hijau dengan membawa sebuah piring berisi empat potong roti
tawar. Katanya kepada Nyo Ko: "Kokcu mengadakan pesta nikah, biar kaupun
ikut makan yang kenyang,"
Segera ia ambilkan panganan seperti roti tawar itu dan
menyuapi Nyo Ko melalui lubang jaring itu, Tangannya terbungkus oleh kain tebal
untuk menjaga cocokan duri bunga cinta.
Tanpa ragu Nyo Ko menghabiskan empat potong kue itu, ia
pikir kalau hendak perang tanding dengan Kokcu bangsat itu, maka aku tidak
boleh kelaparan dan merusak tubuhku sendiri.
"Eh, tampaknya napsu makanmu cukup besar juga,"
ujar murid seragam nyau itu dengan tertawa, pada saat itulah tiba2 bayangan
hijau berkelebat, secara diam2 telah menyelinap masuk pula seorang murid baju
hijau, dengan berjinjit ia mendekati orang pertama tadi, mendadak ia hantam
sekuatnya di punggung orang itu, sebelum orang pertama sempat melihat siapa
pendatang itu sudah lebih dulu dipukul pingsan.
Waktu Nyo Ko mengamati, ternyata penyergap itu bukan lain
daripada Kongsun Lik-oh, ia berseru kaget. "He, kau..."
"Sssst, jangan bersuara, Nyo-toako, kudatang untuk
menolong kau!" desis Kongsun Lik-oh.
Ia menutup dulu pintu kamar, menyusul ia membukakan
ikatan jaring dan menyingkirkan timbunan bunga cinta serta mengeluarkan Nyo Ko.
Nyo Ko menjadi ragu2 dan berkata: "Wah, jika
diketahui ayahmu...."
"Biarlah kutanggung akibatnya," ujar Kongsun
Lik-oh sambil memetik secomot bunga cinta dan dijejalkan ke dalam mulut murid
baju hijau agar tidak dapat berteriak bila sudah siumafi nanti.. Habis itu ia
bungkus pula orang itu dengan jaring ikan serta ditimbuni bunga cinta, Lalu
bisiknya kepada Nyo Ko: "Nyo-toako, kalau ada orang datang, hendaklah, kau
sembunyi di belakang pintu. Kau keracunan bunga cinta, akan kuambilkan obat
penawarnya ke kamar obat ayah sana."
Nyo Ko sangat berterima kasih, iapun tahu si nona sengaja
menghadapi bahaya besar itu untuk menolongnya padahal mereka berkenalan belum
ada satu hari, tapi nona itu rela mengkhianati bahaya sendiri untuk
menolongnya, dengan terharu ia berkata pula: "Nona, aku....aku....".
namun ia tidak mampu meneruskan lagi.
Kongsun Iik-oh. tersenyum bahagia, ia rela dlhukum mati
ayahnya melihat betapa terima kasih anak muda itu kepadanya. Segera ia berkata
pula:
"Kau tunggu sebentar segera kukembali ke sini."
Habis itu ia menyelinap keluar.
"Mengapa dia begitu baik terhadapku?" demikian
Nyo Ko ter-mangu2 dan merenungkan nasibnya sendiri, ia pikir meski dirinya
berulang mengalami nasib buruk dan sejak kecil dihina dan dianiaya orang, namun
di dunia ini ternyata juga tidak sedikit orang yang berbaik hati padanya.
Selain Kokoh, ada pula Sun-popoh. Ang Chit-kong, juga
ayah angkatnya, yaitu Auyang Hong serta Ui Yok-su ditambah lagi nona cantik
seperti Thia Eng, Liok Bu-siang serta Kongsun Lik-oh sekarang ini, semuanya
sangat baik padanya.
Nyo Ko menjadi heran sendiri apa barangkali bintang
kelahirannya yang terlalu aneh sehingga ada manusia yang begitu kejam padanya,
tapi juga banyak manusia yang teramat baik padanya.
Padahal sebenarnya pengalamannya yang terlalu luar biasa,
orang yang pernah dikenalnya kalau tidak teramat baik padanya tentu terlalu
jahat padanya, soalnya karena wataknya yang cenderung ke sudut ekstrim, siapa
yang cocok dengan wataknya akan dihadapi dengan tulus ikhlas, sebaliknya kalau
tidak cocok akan dipandangnya sebagai musuh.
Cara beginilah dia menghadapi orang lain dan dengan
sendirinya orang lain juga membalasnya dengan cara yang sama.
Begitulah dia menunggu sampai sekian lama dengan sembunyi
di belakang pintu, tapi sampai lama Kongsun Lik-oh masih belum nampak muncul
lagi, sementara itu si murid baju hijau sudah siuman sejak tadi, karena
terbungkus oleh jaring ikan dan ditimbuni pula bunga cinta, kelihatan dia
merasa cemas dan gusar pula.
Semakin lama menunggu semakin kuatir pula Nyo Ko, semula
ia pikir mungkin di kamar obat itu ada orang sehingga belum ada peluang bagi
Kongsun Lik-oh untuk mencuri obat, tapi lama2 ia pikir, urusannya tentu tidak
begitu sederhana, biarpun gagal mencuri obat tentu si nona akan kembali
memberitahukannya, tampaknya urusan banyak buruk daripada selamatnya, Kalau si
nona mati menghadapi bahaya bagiku, mengapa kudiam saja di sini dan tidak
berdaya untuk menolongnya.
Ia coba membuka pintu sedikit, dari celah pintu ia
mengintip keluar, syukur di luar sunyi senyap tiada seorangpun dengan pelahan
ia terus menyelinap keluar. Tapi ia menjadi bingung karena tidak tahu di mana
beradanya Kongsun Lik-oh.
Sedang bingung, tiba2 terdengar suara tindakan orang di
tikungan sana, cepat ia sembunyi di balik tikungan sebelah sini sejenak
kemudian dua anak murid seragam hijau tampak mendatangi dengan jalan berjajar,
tangan masing2 memegang sebilah pentung yang biasanya dipakai sebagai alat
perangkat pesakitan..."
Tergerak hati Nyo Ko: "Apakah mungkin Kongsun Lik-oh
tertangkap oleh ayahnya dan sedang akan diberi hukuman?" Segera ia
mengikuti kedua orang itu dengan hati-hati.
Kedua orang itu sama sekali tidak tahu, mereka berjalan
terus dan membelok kesana dan menikung kesini, akhirnya sampai di depan sebuah
kamar, segera mereka berseru: "Lapor Kokcu, alat rangket sudah siap"
- Lalu mereka mendorong pintu dan masuk ke dalam.
Hati Nyo Ko menjadi berdebar, "Kokcu bangsat itu
ternyata benar ada di sini," katanya di dalam hati.
Dilihatnya sebelah timur kamar itu ada jendela, segera ia
merunduk ke bawah jendela dan melongok ke dalam, benar juga kelihatan Kongsun
Lik-oh sudah tertawan di situ. Tertampak Kokcu duduk di tengah, dua muridnya
dengan pedang terhunus berjaga di kanan-kiri Kongsun Lik-oh
Setelah alat rangket diterima, segera Kongsun Kokcu
mendengus: "Lik-ji, kau adalah darah daging-ku sendiri, sebab apa kau tega
mengkhianati ayahmu?"
Kongsun Lik-oh hanya menunduk dan tidak menjawab.
"Kau telah jatuh hati kepada bocah she Nyo itu,
memangnya kau kira aku tidak tahu?" jengek pula Kongsun Kokcu, "Aku
kan sudah menyatakan akan membebaskan dia, mengapa kau ter-buru2. Bagaimana
kalau besok juga ayah bicara dengan dia dan menjodohkan kau padanya?"
Nyo Ko bukan pemuda dungu, dengan sendirinya iapun
mengetahui Kongsun Lik-oh itu jatuh cinta padanya, sekarang mendengar orang
lain mengutarakan hal itu secara terang2an, betapapun jantungnya berdetak keras
dan air muka menjadi merah.
Se-konyong2 Kongsun Lik-oh angkat kepalanya dan berkata
nyaring: "Ayah, saat ini engkau lagi memikirkan "perkawinanmu"
sendiri, mana engkau sempat memikirkan kepentingan putrimu?"
Kongsun Kokcu hanya mendengus saja dan tidak menanggapi.
Segera Kongsun Lik-oh menyambung pula: "Ya, memang,
anak memang kagum terhadap kepribadian Nyo-kongcu yang setia dan berbudi itu,
Tapi anakpun tahu dalam hatinya sudah terisi oleh Liong-kokoh seorang, sebabnya
anak menolong dia hanya karena tidak setuju atas tindak tanduk ayah dan tiada
tujuan lain."
Hati Nyo Ko sangat terharu mendengar ucapan itu, ia pikir
Kokcu bangsat dan jahat ini ternyata melahirkan puteri yang baik hati
Air muka Kongsun Kokcu kelihatan kaku tanpa menunjuk
sesuatu perasaan, katanya dengan hambar. "Jadi menurut pandanganmu ayahmu
ini orang jahat, tidak berbudi, begitu?"
"Mana anak berani menuduh ayah demikian." ujar
Kongsun Lik-oh, "Cuma... cuma..."
"Cuma apa?" desak Kongsun Kokcu.
"Nyo-kongcu tersiksa oleh tusukan duri bunga cinta,
mana dia sanggup menahan rasa sakitnya," kata Kongsun Lik-oh. "Ayah,
kumohon engkau suka berbuat bajik dan kasihan padanya, sudilah engkau
membebaskan dia."
"Hm, besok aku sendiri dapat membebaskan dia, buat
apa kau ikut campur?" jengek sang ayah.
Untuk sejenak Kongsun Lik-oh termangu diam seperti sedang
memikirkan sesuatu yang diragukan apakah harus diutarakannya atau tidak, tapi
mendadak air mukanya mengunjuk penuh rasa keyakinan secara tegas ia berkata
kepada sang, ayah: "Ayah, anak telah dibesarkan engkau, sedangkan
Nyo-kongcu baru kukenal, sebab apa anak malah membela dia? Apabiia besok ayah
sungguh2 mau mengobati dia dan membebaskan dia, masakah anak berani lagi datang
ke kamar obat ini?"
"Habis apa maksud kedatanganmu ini?" tanya
Kokcu dengan bengis.
"Soalnya anak tahu ayah tidak bermaksud baik
padanya," jawab Lik-oh lantang, "malam nanti setelah ayah kawin
dengan Liong-kokoh, tentu engkau akan membinasakan Nyo-kongcu dengan keji untuk
menghilangkan segala harapan Liong-kokoh,"
Sehari-harinya Kongsun Kokcu jarang memperlihatkan rasa
senang atau gusarnya, segala urusan biasanya diselesaikan secara adil dan baik,
terhadap anak muridnya juga sangat baik, sebab itulah anak buahnya sangat
tunduk padanya.
Tapi Kongsun Lik-oh juga cukup kenal isi hati sang ayah,
menghadapi pengacauan Nyo Ko sekarang jelas ayahnya pasti akan membinasakan
anak muda itu.
Karena isi hatinya dengan jitu kena dikorek oleh anak
perempuannya, Kongsun Kokcu menjadi gusar, jengeknya: "Benar2 piara macan
mendatangkan bencana. Sudah kubesarkan kau, siapa tahu sekarang kau malah
menggigit ayahmu sendiri serahkan sini" Berbareng sebelah tangannya
dijulurkan.
"Apa yang ayah inginkan?" tanya Likoh,
"Masih kau berlagak pilon?" bentak sang Kokcu,
"Goat-ceng-tan (pil putus cinta)! Obat penawar racun bunga cinta
itu!"
"Anak tidak mengambilnya," jawab Lik-oh.
"Habis siapa yang mencurinya?" teriak Kongsun
Kokcu sambil berdiri.
Nyo Ko mengamati isi kamar itu, terlihat di atas meja,
almari, penuh terderet botol obat, dinding juga banyak tergantung rumput obat
yang tidak dikenal namanya, Di sebelah kiri sana bejajar tiga buah anglo
pemasak obat, tentu kamar inilah yang disebut kamar obat.
Melihat muka Kongsun Kokcu yang bersungut itu, jelas
Kongsun Lik-oh pasti akan mendapat hukuman berat Terdengar nona itu berkata
pula: "Ayah, memang betul anak masuk ke sini ingin mencuri obat untuk
menolong Nyo-kongcu, tapi sekian lamanya kucari dan tidak menemukan obat nya,
kalau tidak masakah dapat dipergoki Ayah?"
Dengan suara bengis Kongsun Kokcu membentak "Tempat
obat ini sangat dirahasiakan, beberapa orang luar sejak tadi juga berada di
ruangan tamu, tapi sekarang Coat-ceng-tan bisa hilang mendadak, memangnya obat
itu punya kaki dan dapat lari ?"
Tiba2 Lik-oh bertekuk lutut di depan sang ayah, katanya sambil
menangis. "Ayah, sudilah engkau mengampuni jiwa Nyo-kongcu, suruhlah dia
pergi dari sini dan dilarang datang lagi selamanya."
"Hm, jika keselamatan ayahmu terancam, belum tentu
kau sudi berlutut dan mintakan ampun kepada orang," jengek Kongsun Kokcu.
Lik-oh tidak menjawab lagi, ia hanya menangis sembari
merangkul kedua kaki ayahnya.
"Coat-ceng-tan sudah kau ambil, cara bagaimana aku
dapat menolongnya seperti permintaanmu?" uj'ar Kongsun Kokcu.
"Baiklah, kau tidak mau mengaku juga terserah padamu. Boleh kau tinggal
satu hari di sini, Obat itu sudah kau curi, tapi tak dapat kau antar kepada
bocah itu, selewatnya 12 jam barulah kulepaskan kau nanti." - Habis
berkata ia terus melangkah ke pintu kamar.
Kongsun Lik-oh tahu lihaynya racun bunga cinta itu,
sedikit tercocok durinya saja akan menderita tiga hari, apalagi sekarang
sekujur badan Nyo Ko tertusuk beribu durinya, dalam waktu 12 jam tak diberi
obat tentu akan mati kesakitan, sekarang ayahnya hendak pergi begitu saja, itu
berarti hukuman mati bagi Nyo Ko. Maka cepat ia berseru: "Nanti dulu,
ayah!"
"Apalagi yang hendak kau katakan ?" tanya sang
ayah.
"Ayah, singkirkan dulu mereka," kata Lik-oh
sambil menuding keempat murid baju hijau.
"Setiap penghuni lembah kita ini adalah orang
sendiri dan bersatu hati, tiada sesuatu yang perlu dirahasiakan," ujar
Kokcu.
Wajah Lik-oh tampak merah padam, tapi segera berubah
menjadi pucat, katanya kemudian: "Baiklah engkau tidak percaya kepada
perkataan anak, silakan engkau periksa apakah obat itu ada padaku atau tidak?"
Segera ia membuka baju sendiri, lalu melepaskan gaunnya.
Sama sekali Konasun Kokcu tidak menduga puterinya bisa
berbuat senekat itu, cepat ia memberi tanda agar keempat muridnya keluar, lalu
pintu kamarpun ditutup, Hanya sekejap saja Kongsun Lik-oh sudah menanggalkan
pakaiannya kecuali kutang dan celana dalam, benar juga tidak nampak sesuatu
benda apapun pada tubuhnya.
Dari tempat sembunyinya Nyo Ko dapat melihat seluruh
tubuh si nona yang putih bersih ltu, seketika jantungnya berdetak keras. Dia adalah
pemuda perkasa, sedangkan tubuh Kongsun Lik-oh sangat montok serta berwajah
cantik, betapapun darahnya menjadi bergolak.
Tapi segera teringat pula olehnya: "Ah, dia ingin
menyelamatkan jiwaku sehingga rela membuka baju, wahai Nyo Ko, apabila kau memandangnya
lagi sekejap, maka lebih rendahlah kau daripada bintang." Cepat ia
pejamkan mata, namun karena pikiran kacau, tanpa sengaja dahinya telah
membentur daun jendela.
Betapa lihainya Kongsun Kokcu, hanya suara benturan
sedikit itu saja sudah diketahuinya, diam2 ia mendapatkan akal, ia mendekati
ketiga anglo pemasak obat, anglo yang tengah didorongnya ke samping, anglo
bagian kanan ditariknya ke tengah dan anglo sebelah kiri digeser ke kanan.
Habis itu anglo yang tengah tadi di dorong ke sebelah kiri.
"Baiklah, jika begitu kuterima permintaanmu untuk
mengampuni jiwa bocah itu," kata sang Kokcu kemudian.
Lik-oh sangat girang dan berulang menyembah
"Ayah!" katanya dengan suara gemetar.
Kokcu duduk kembali pada kursi di dekat dinding, lalu
berkata pula: "Tapi peraturanku tentu pula sudah kau ketahui, apa
akibatnya jika sembarangan masuk kamar obat ini tanpa idzinku?"
"Hukuman mati," jawab Lik-oh sambil menunduk.
"Meski kau adalah puteri kandungku, namun peraturan
harus dilaksanakan kau mangkat baik2 saja," kata Kongsun Kokcu dengan
menghela napas sambil melolos pedang hitam dan diangkat ke atas, tiba2 ia
berkata pula dengan suara halus: "Ai, anak Lik, kalau saja selanjutnya kau
tidak membela bocah she Nyo itu, maka jiwamu dapat kuampuni, Diantara kau dan
dia hanya satu saja yang dapat diampuni, coba katakan, mengampunkan dia atau
kau?"
"Dia!" jawab Kongsun Lik-oh dengan suara
pelahan tanpa ragu.
"Bagus, puteriku sungguh seorang yang maha berbudi
dan jauh melebihi ayahmu ini," kata Kokcu, pedangnya terus membacok ke
kepala Lik-oh.
"Nanti dulu." seru Nyo Ko dengan terkejut,
tanpa pikir lagi ia mendobrak jendela dan melompat ke dalam, Selagi tubuh masih
terapung di udara iapun berseru pula: "Persoalan ini tiada sangkut pautnya
dengan nona Kongsun, silakan kau membunuh aku saja,"
Sebelah kakinya telah menutul lantai dan baru tangannya
hendak meraih pedang hitam Kongsun Kokcu, tiba2 tempat kakinya berpijak itu
terasa lembek, seperli menginjak tempat kosong.
Diam2 Nyo Ko mengeluh bisa celaka, dengan mengerahkan
tenaga dalam, sekuataya ia angkat tubuhnya ke atas, dalam keadaan kaki tidak
mendapatkan tempat berpijak, caranya mengangkat tubuh ke atas itu sungguh ilmu
mengentengkan tubuh yang maha hebat.
"Sayang kepandaian sebagus itu!" terdengar
Kongsun Kofccu berseru, mendadak ia dorong Lik-oh sehingga tubuh nona itu
terdoyong ke belakang dan menumbuk badan Nyo Ko.
Nyo Ko dapat merasakan dorongan Kokcu itu sangat keras
apabila tubuh kedua orang tertumbuk tentu Kongsun Lik-oh akan terluka parah,
cepat Nyo Ko menahan pelahan punggung si nona, dengan tenaga dalam yang lunak
ia elakkan daya dorongan itu, tapi karena itu juga ia sendiri menjadi sukar
menggeser lagi ke samping, bersama Kongsun Lik-oh mereka berdua terus anjlok
lurus ke bawah, terasa kosong di bawah kaki, tiada sesuatu yang terinjak,
mereka terus anjlok ke bawah hingga berpuluh meter dan masih belum mencapai
tanah.
Meski cemas dan gugup, tapi dalam hati Nyo Ko masih
memikirkan keselamatan jiwa Kongsun Lik-oh, dalam keadaan gawat ia angkat tubuh
si nona ke atas, pandangannya terasa gelap gulita dan entah akan terjatuh di
tempat mana, entah dibawah kaki nanti apakah lautan api atau rimba belati?
Belum habis berpikir, "byar", tahu2 mereka
berdua terjeblos ke dalam air dan terus tenggelam ke bawah dengan cepat.
Kiranya di bawah kamar obat itu adalah sebuah sumur yang sangat dalam.
Pada detik tubuhnya menyentuh air itupun hati Nyo Ko
lantas bergirang, ia tahu jiwanya dapatlah selamat untuk sementara Bayangkan
saja, mereka terjerumus dari ketinggian ber-puluh2 meter, sekalipun memiliki
kepandaian tinggi juga akan terluka parah apabila terbanting.
Lantaran anjiokan mereka itu sangat keras, dengan sendiri
terceburnya ke dalam air juga dalam mereka terus tenggelam ke bawah se-akan2
tiada hentinya, Sekuatnya Nyo Ko menahan napas, ia tunggu setelah daya
menurunnya sudah rada lambat, dengan tangan kiri ia rangkul Lik-oh dan tangan
kanan digunakan menggayuh air agar dapat timbul ke permukaan air.
Pada saat itu juga hidungnya lantas mengendus bau amis
busuk, berbareng itu terdengar suara percikan gelombang air seperti ada makhluk
raksasa air yang akan menyerangnya.
Sekilas timbul suatu pikiran dalam benak Nyo Ko:
"Kokcu bangsat ini menjebloskan kami berdua ke sini, mana dia bermaksud
baik?" Tanpa pikir tangan kanan terus menghantam ke sebelah, maka
terdengar suara keras disertai berdeburnya air, dengan meminjan daya tolakan
pukulan itu Nyo Ko dapat menongol ke permukaan air dengan merangkul Kongsun
Lik-oh
Sebenarnya Nyo Ko tidak dapat berenang, sebabnya dia sanggup
bertahan dalam adalah berkat menahan napas dengan Lwekangnya yang tinggi
itulah, maka keadaan gelap gulita, hanya terdengar di sebelah kiri dan belakang
suara percikan air yang sangat keras, cepat tangan kanannya menabok kesana dan
mendadak tangannya menahan pada sesuatu benda yang kaku, keras dan dingin,
sungguh tidak kepalang kagetnya, ia pikir: "Masakah betul di dunia ini ada
naga?"
Sekuatnya ia menolak ke bawah sehingga tubuh nya mencelat
ke atas, sebaliknya makhluk air itu kena ditekannya ke bawah air.
Nyo Ko menarik napas panjang2 dan bersiap untuk terjebur
lagi ke dalam air, Tak terduga di mana kakinya menginjak ternyata berada di
atas batu karang, Hal ini sama sekali tak terduga olehnya, Lantaran salah
menggunakan tenaga pada ka-kinya, kakinya menjadi sakit malah menginjak batu.
Saking girangnya rasa sakitpun terlupakan, ia coba meraba
dengan tangan, kiranya batu karang itu terletak di tepi sumur yang dalam itu.
Kuatir diserang lagi oleh makhluk aneh tadi, cepat ia merangkak ke tepian yang
lebih tinggi, di situ ia berduduk untuk mengaso.
Kongsun Lik-oh telah minum beberapa ceguk air dan dalam
keadaan setengah pingsan, Nyo Ko membiarkan nona itu mendekap di atas pahanya
dan memutahkan air.
Terdengar suara batu karang itu dicakar dan digaruk oleh
kuku besar disertai bau busuk amis yang menusuk hidung, kembali dua ekor
makhluk aneh itu merangkak ke atas.
"He, apa itu?" seru Kongsun Lik-oh kaget sambil
bangkit berduduk dan merangkul leher Nyo Ko.
"Jangan takut, sembunyi saja di belakangku,"
ujar Nyo Ko,
Kongsun lik-oh tidak berani bergerak, ia merangkul
semakin kencang, "He,buaya... buaya..." serunya dengan suara gemetar
Ketika masih tinggal di Tho-hoa-to, pernah juga-Nyo Ko
melihat buaya dan tahu binatang itu sangat kejam dan ganas, jauh lebih lihay
daripada serigala atau harimau di daratan, Di kala bermain dengan Kwe Hu dan
kedua saudara Bu, sering mereka bertemu dengan- buaya, tapi merekapun tak
berani mengusiknya dan lebih suka menyingkirinya.
Tak terduga sumur di bawa tanah ini ternyata juga ada
buayanya,
Segera ia berduduk dan mengerahkan tenaga pada kedua
tangan serta mendengarkan dengan cermtat, ia lihat tiga ekor buaya sedang
mendekat.
"Nyo-toako, tidak terduga akan mati bersama di
sini," bisik Kongsun Lik-oh.
"Btarpun mati juga harus kita bunuh beberapa ekor
buaya ini," kata Nyo Ko dengan tertawa.
Dalam pada itu buaya yang paling depan sudah dekat, cepat
Lik-oh berani: "Hantam dia!"
"sebentar Iagi," ujar Nyo Ko sambil menjulurkan
sebelah kaki ke bawah batu karang, setelah merambat lebih dekat lagi, mendadak
buaya pertama tadi membuka mulut hendak menggigit Nyo Ko.
Cepat sekali Nyo Ko menarik kakinya terus menendang ke
bagian tenggorokan binatang itu. Tanpa ampun buaya ita terjungkal dan tercebur
ke dalam sumur, Terdengar suara berdeburnya air, kawanan buaya di dalam sumur
menjadi kacau, sementara itu kedua ekor buaya yang Iain juga sudah mendekat.
Walaupun menderita keracunan bunga cinta, tapi ilmu silat
Nyo Ko sedikitpun tidak terganggu, tendangannya tadi sungguh sangat kuat, habis
kena sasarannya, ia sendiri merasa ujung kaki amat kesakitan. sedangkan buaya
yang tercebur lagi ke sumur itu masih dapat berenang dengan bebas, maka dapat
dibayangkan betapa keras dan kuat kulit dagingnya.
Nyo Ko pikir kalau cuma bertangan kosong tentu sukar
melayani buaya sebanyak itu, akhirnya dirinya dan si nona pasti akan menjadi
isi perut binatang buas itu, rasanya harus mencari akal agar kawasan buaya itu
dapat dibinasakan semua, ia coba meraba batu karang sekitarnya dengan mencari
sepotong batu sebagai senjata, Tapi batu karang itu terasa halus licin, sebutir
pasirpun tiada.
Dalam pada itu dua ekor buaya telah mendekat puIa, cepat
ia tanya Kongsun lik-oh: "Apakah kau membawa senjata?"
"Aku?" si nona mengulang, segera teringat
olehnya tubuh sendiri sekarang hanya mengenakan kutang dan celana dalam saja,
tapi sedang berada dalam pelukan si Nyo Ko, seketika ia merasa malu, namun
dalam hatipun merasa manis bahagia.
Karena perhatiannya tercurah kepada kawanan buaya, Nyo Ko
tidak memperhatikan sikap nona yang kikuk itu, mendadak kedua tangannya
menghantam sekaligus dan tepat mengenai kepala kedua ekor buaya yang sudah
dekat itu, kedua buaya itu kurang gesit dan juga tidak berusaha menghindari
namun kulit dan sisiknya sangat keras, buaya2 itu cuma kelengar saja, lalu
terperosot ke dalam kolam walaupun tidak mati.
Pada saat lain dua ekor buaya merayap tiba, "Pola-
cepat:" sebelah kaki Nyo Ko,mendepak sehingga salah seekor terpental ke
dalam kolam, lantaran terlalu keras menggunakan tenaga sehingga rangkulannya
kepada Kongsun Lik-oh menjadi kurang kencang, tubuh si nona ikut tergeser
miring ke samping dan tergelincir ke bawah
Keruan Kongsun Lik-oh menjerit kaget, syukur sebelah
tangannya sempat menahan pada batu karang, sekuatnya ia meloncat ke atas, pula
Nyo Ko telah bantu menahan punggungnya sehingga dapat-lah si nona tertolong ke
atas. Tapi karena selingan itu, buaya terakhir tadi sudah berada di samping Nyo
Ko, mulutnya terpentang lebar terus menggigit pundak anak muda itu.
Dalam keadaan begitu Nyo Ko tidak sempat memukul atau
menendangnya lagi, walaupun dapat melompat untuk menghindar tapi bila mulut
buaya yang lebar itu terkatup, bukan mustahil badan Kongsun Lik-oh yang akan
menjadi mangsanya, Tiada jalan lain, terpaksa kedua tangan Nyo Ko bekerja
sekaligus, ia pentang mulut buaya itu se-kuatnya, mendadak ia menggertak keras
dan mengerahkan tenaga, terdengarlah suara "kletak" moncong buaya
yang panjang itu sempal dan robek, seketikapun mati.
Walaupun sudah membinasakan buaya buas itu, namun Nyo Ko
sendiripun berkeringat dingin.
"Kau tidak cidera bukan?" tanya Lik-oh kuatir.
"Tidak," jawab Nyo Ko, hatinya sedikit
terguncang mendengar suara si nona yang halus dan penuh simpatik itu. Karena
terlalu kuat mengeluarkan tenaga, kedua lengan sendiri terasa rada sakit.
Memandangi bangkai buaya yang menggeletak diatas batu
karang itu, dalam hati Kongsun Lik-oh sangat kagum, katanya: "Dengan
bertangan kosong cara bagaimana engkau dapat membinasakan dia? Dalam kegelapan
engkau ternyata dapat melihatnya dengan jelas."
"Cukup lama kutinggal di kuburan kuno bersama Kokoh,
asal ada sedikit sinar terang saja dapatlah aku melihatnya," kata Nyo Ko.
Teringat kuburan kuno dan Siao-liong-li, tanpa terasa ia menghela napas,
mendadak seluruh badan kesakitan tak tertahankan ia menjerit sekerasnya.
Dua ekor buaya sebenarnya sedang merambat ke atas karang,
karena jeritan Nyo Ko yang menyeramkan itu, buaya2 itu kaget dan melompat
kembali ke dalam kolam.
Cepat Kongsun Lik-oh memegangi lengan Nyo Ko, tangan yang
lain mengusap pelahan dahi anak muda itu dengan harapan akan dapat mengurangi
rasa sakitnya.
Nyo Ko menyadari tubuhnya sendiri yang keracunan itu,
sekalipun tidak terjeblos ke dalam sumur di bawah tanah ini juga hidupnya
takkan lama, menurut ceritera Kongsun Kokcu itu, katanya akan menderita selama
36 hari baru mati, namun rasa sakit yang sukar ditahan ini, asal kumat beberapa
kali lagi terpaksa aku akan membunuh diri saja.
Tapi sesudah ku mati, nona ini akan kehilangan teman dan
pelindung, bukankah harus dikasihani ? padahal beradanya dia di sini adalah
disebabkan membela diriku, Ya, apapun penderitaanku aku harus bertahan dan
tetap hidup, semoga Kokcu itu mempunyai perasaan sebagai ayah dan akhirnya
berubah pikiran dan mau menolong puterinya keluar dari sini
Karena memikirkan Kongsun Lik-oh, sementara melupakan
Siao-liong-li sehingga rasa sakitnya segera mereda. Katanya kemudian:
"Nona Kongsun jangan kuatir, kuyakin ayahmu pasti akan menolong kau nanti.
Dia cuma benci padaku seorang, terhadapmu dia tentu sayang, kini pasti
menyesali."
Dengan air mata berlinang Kongsun Lik-oh berkata:
"Ketika ibuku masih hidup memang ayah sangat sayang padaku. Tapi setelah
ibu meninggal makin hari makin dinginlah ayah terhadapku Na-mun kutahu dalam...
dalam hatinya tidaklah... tidaklah benci padaku." - ia berhenti sejenak
dan teringat kepada macam2 kejadian aneh, tiba2 ia berkata puIa:
"Nyo-toako, bila kupikir sekarang rasa2nya ayah sebenarnya takut
padaku."
"Mengapa dia bisa takut padamu? Sungguh aneh."
ujar Nyo Ko.
"Memang begitulah," kata Lik-oh "Dahulu
selalu kurasakan gerak-gerik ayah kurang wajar apabila bertemu denganku,
se-akan2 di dalam hatinya tersimpan sesuatu rahasia dan kuatir diketahui
olehku."
Walaupun sudah lama Lik-oh merasa heran atas sikap
ayahnya itu, tapi setiap kali bila memikirkan hal itu, selalu ia anggap mungkin
ayahnya merasa sedih karena wafatnya ibunya sehingga perangainya juga rada
berubah, Tapi terceburnya dia ke dalam kolam buaya ini jelas perangkap yang
telah diatur ayahnya.
Ketika ayahnya menggeser ketiga anglo di kamar obat itu,
jelas itulah pesawat rahasianya. Kalau dikatakan ayah cuma dendam kepada Nyo Ko
dan harus membunuhnya, maka anak muda ini sudah terkena racun bunga cinta,
asalkan tidak diberi obat penawar tentu dia akan binasa, apalagi dia terjeblos
ke dalam kolam buaya, lantas apa sebabnya ayah mesti mendorong diriku pula ke
dalam kolam ini? Tenaga dorongannya yang keras itu jelas tiada lagi punya
perasaan seorang ayah terhadap anak perempuannya.
Begitulah makin dipikir makin sedih hatinya, tapi dalam
hati iapun semakin jelas duduknya perkara, semua tindak dan kata sang ayah
dahulu yang membingungkan dan sering dianggapnya aneh, kalau terpikir sekarang
jelas semua itu disebabkan oleh rasa "takut", cuma apa sebabnya
seorang ayah bisa merasa takut terhadap puteri kandungnya sendiri inilah yang
sukar dipahami.
Dalam pada itu di dalam kolam sedang terjadi hiruk pikuk,
kawanan buaya sedang pesta pori mengganyang bangkai buaya yang dibunuh Nyo Ko
tadi sehingga tiada seekorpun yang menyerang ke atas karang.
Melihat si nona termangu-mangu, Nyo Ko bertanya:
"Apakah mungkin ada sesuatu rahasia ayahmu yang dipergoki olehmu tanpa
sengaja?"
"Tidak," jawab Lik-oh sambil menggeleng
"Tindak tanduk ayah sangat kereng dan tertib, cara menyelesaikan sesuatu
urusan juga adil dan bijaksana sehingga setiap orang sangat hormat dan segan
padanya. Tindakannya terhadap dirimu memang tidak baik, tapi biasanya beliau
tidak pernah berbuat hal2 kurang wajar."
Karena tidak tahu seluk beluk keadaan Cui-sian-kok di
masa Ialu, dengan sendirinya Nyo Ko lebih2 tidak dapat ikut memecahkan
persoalan yang dipikirkan si nona.
Kolam buaya itu berada di bawah tanah yang sangat dalam,
dinginnya menyerupai gua es, apalagi kedua orang basah kuyup, tentu saja, rasa
dinginnya merasuk tulang. Bagi Nyo Ko yang sudah pernah berlatih Lwekang dengan
tidur di dipan batu kemala di kuburan kuno tempat Siao liong-fif itu, sedikit
rasa dingin ini tidaklah menjadi soal, tapi Kongsun Lik-oh jelas tidak tahan,
ia menggigil kedinginan dan meringkuk dalam pelukan NyoKo untuk mencari hangat
Nyo Ko pikir jiwa anak perempuan ini dalam bahaya, dalam
hati tentu merasa sedih dan takut pula, maka ia sengaja berkelekar untuk
menyenangkan hati Lik-oh, dilihatnya kawanan buaya sedang merebut pangan di
dalam kolam secara ganas dan menyeramkan maka dengan tertawa ia berkata:
"Nona Kongsun, jika nanti kita mati semua, pada jelmaan hidup yang akan
datang kau ingin menjelma menjadi apa? Kalau buaya yang buruk ini, terang aku
tidak mau."
Lik-oh tersenyum dan menjawab: "Jika begita boleh
kau menjelma menjadi bunga Cui-sian saja, harum lagi cantik dan disukai setiap
orang."
"Hanya engkau yang sesuai menjelma menjadi
bunga." ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Kalau aku umpama menjelma
menjadi bunga juga paling2 menjadi bunga terompet atau bunga tahi sapi."
Kongsun Lik-oh terkekeh geli, katanya: "Kalau
Giam-lo ong (raja akhirat) suruh kau menjelma menjadi bunga cinta, kau mau
tidak?"
Nyo Ko terdiam dan tidak menjawab, diam2 ia merasa gemas,
pikirnya: "Sebenarnya gabungan ilmu pedangku dengan Kokoh pasti akan dapat
menusukkan Kokcu bangsat itu, konyolnya justeru Kokoh tertusuk oleh duri bunga
cinta di kamar senjata itu, sedangkan Giok-li-kiam-hoat justeru harus dimainkan
oleh dua orang yang bersatu hati dengan penuh rasa mesra baru nampak daya
kerjanya. Ai, agaknya memang sudah takdir dan apa daya, Hanya Kokoh entah
berada di mana sekarang.
Teringat kepada Siao-licng-li, tiba2 luka-di berbagai
tempat tubuhnya menjadi kesakitan lagi.
Melihat anak muda itu diam saja, Kongsun Lik-oh tahu
seharusnya dirinya jangan menyebut lagi bunga cinta, maka cepat ia
menyimpangkan pokok bicara, katanya: "Nyo-toako, engkau dapat melihat
buaya, tapi pandanganku terasa gelap dan tidak melihat apa2"
"Moncong kawanan buaya itu sangat buruk, lebih baik
jangan kau melihatnya. "ujar Nyo Ko tertawa sambil menepuk pelahan bahu si
nona sebagai tanda simpatiknya, Tak terduga kalau tanganya menyentuh badan yang
halus licin tanpa baju, rupanya Kongsun Lik-oh telah membuka pakaiannya ketika
ayahnya menuduh dia mencuri obat sehingga yang dia pakai hanya tinggal kutang
saja, dengan sendirinya dari pundak hingga lengan tiada tertutup oleh sesuatu.
Nyo Ko terkejut dan cepat menarik kembali tangannya,
Lik-oh membayangkan keadaan dirinya tentu telah dapat dilihat seluruhnya oleh
anak muda yang sanggup melihat sesuatu di tempat gelap itu, betapapun ia
menjadi malu.
Kalau tadi mereka saling meringkuk menjadi satu ketika
berusaha menghalau kawanan buaya tanpa memikirkan soal lelaki dan perempuan,
kini yang satu menarik kembali tangannya dan yang lain merasa malu, keadaan
menjadi serba kikuk malah.
Nyo Ko menggeser rada jauh berduduknya dan menanggalkan
baju sendiri untuk diselampirkan pada tubuh si nona. Waktu membuka baju ia
menjadi teringat kepada Siao-liong-li dan juga terbayang si Thia Eng yang telah
menjahitkan bajunya itu, terpikir pula Liok Bu - siang yang rela mati baginya
itu, ia menjadi gegetun takdapat membalas budi kebaikan nona2 itu.
Kongsun Lik-oh lantas memakai baju Nyo Ko itu dan mengikat
tali pinggangnya, tiba2 ia merasa dalam saku baju Nyo Ko itu ada suatu bungkus
kecil, segera ia merogohnya keluar dan diserahkan kepada yang empunya, katanya:
"Apakah ini? Apakah kau takkan menggunakannya?"
Nyo Ko menerimanya dan berkata dengan heran: "Barang
apakah ini?"
"Kan barang di dalam sakumu, masakah kau malah tanya
padaku?" ujar Lik-oh dengan heran.
Waktu Nyo Ko mengamati, kiranya adalah suatu bungkusan
kecil dari kain kasar warna biru yang selamanya belum pernah diIihatnya. Segera
ia membukanya, mendadak pandangannya terbeliak, ternyata bungkusan itu berisi
empat macam barang, di antaranya sebilah belati kecil, pada gagang belati itu
terbingkai sebutir mutiara sebesar biji buah kelengkeng yang mengeluarkan
sinar.
"Hei!" seru Lik-oh sambil mencomot sebuah botol
kecil warna hijau dalam bungkusan itu: "lnilah Coat-ceng-tan!"
Terkejut dan girang pula Nyo Ko, tanyanya : "lnikah
Coat-ceng-tan yang dapat menyembuhkan racun bunga cinta itu?"
"Ya, sampai lama sekali aku mencarinya di kamar obat
ayah dan tidak menemukannya, mengapa malah sudah diambil olehmu?" jawab
Lik - oh kegirangan.
"Cara bagaimana kau mengambilnya ? Kanapa tidak kau
minum saja? Ah, barangkali kau tidak tahu bahwa inilah Coat-ceng-tan yang kita
cari itu?"
Nyo Ko meng-garuk2 kepala, katanya: "Memangnya sama
sekali aku tidak... tidak tahu, botol... botol obat ini mengapa bisa berada
didalam saku bajuku, sungguh aneh."
Berkat cahaya yang terpantul dari belati yang mengkilat
itu, dapat pula Kongsun Lik-oh mehhat benda2 dekatnya, terlihat isi bungkusan
itu kecuali belati dan Coat-ceng-tan masih ada pula secarik kertas dan setengah
potong Lengci (sejenis obat tumbuh2an yang berkhasiat seperti kolesom
dsb."
Tergerak pikiran Lik-oh, katanya: "He, potongan
Lengci itu jelas dipetik oleh Lo-wan-tong itu."
"Lo-wan-tong? Kau tidak keliru?" kata Nyo Ko.
"Ya, pasti dia," jawab Lik-oh. "Kamar
penyimpan Lengci di bawah pengurusanku, Lengci ini jelas2 berasal dari sana,
waktu Lo-wan-tong mengobrak-abrik sini, membakar kitab dan lukisan, mencuri
pedang, merusak anglo dan memetik Lengci, semua adalah perbuatannya."
"Ya, ya tahulah aku!" tiba2 Nyo Ko berseru
menyadari duduknya perkara.
"Sekarang kutahu Ciu-locianpwe itulah yang menaruh
bungkusan kecil ini ke dalam bajuku," kata Nyo Ko. sekarang iapun tahu
sesungguhnya Ciu Pek-tong bermaksud membantunya secara diam2,maka dari sebutan
"Lo-wan-tong" telah digantinya dengan sebutan
"Ciu~locianpwe"
Kongsun Lik-oh juga mulai paham persoalannya, ia tanya:
"Dia yang menyerahkan padamu?"
"Tidak," sahut Nyo Ko. "Tokoh Ba-Iim yang
jenaka ini sungguh sukar dijajaki tindak tanduknya Dia telah mengambil gunting
dan kedokku di luar tahuku, malahan akupun tidak tahu sama sekali kalau dia
juga menaruh bungkusan kecil ini dalam bajuku, Ai, sungguh kepandaianku teramat
jauh kalau dibandingkan orang tua itu."
"Agaknya memang begitulah" kata Lik~oh,
"Ketika ayah menuduh dia mencuri dan suruh dia mengembalikan barangnya,
namun Lo~wan~tong itu telah mem... membuka baju di depan orang banyak dan
memang tidak membekal sesuatu benda apapun."
"Dia membuka baju dan telanjang bulat sehingga Kokcu
juga kena dikelabuhi, kiranya bungkusan, ini sudah dia alihkan ke dalam
bajuku," kata Nyo Ko dengan tertawa.
Lik-oh membuka gabus tutup botol itu, dengan hati2 ia
menuang obat pada telapak tangannya ternyata cuma tertuang keluar satu butir
pil yang berbentuk persegi seperti dadu, warnanya hitam mulus, baunya amis dan
busuk.
Pada umumnya obat pil tentu berbentuk bundar agar mudah
meminumnya, jika obat kapsul tentu juga berbentuk lonjong, tapi pil berbentuk
persegi begini sungguh tidak pernah dilihat oleh Nyo Ko. ia coba mengambilnya
dari tangan si nona dan diamat-amatinya.
"Kemudian Kongsun Lik-oh meng-goyak2 botol itu, lalu
dituang pula serta di-ketok2 pada telapak tangahnya, namun ternyata tiada
isinya lagi.
"Sudah kosong, hanya satu biji ini melulu,"
katanya. "Lekas engkau meminumnya, bisa runyam kalau sampai jatuh ke
kolam."
Selagi Nyo Ko hendak memasukkan pil itu ke mulut, ia jadi
merandek mendengar si nona menyatakan obat itu cuma sata biji melulu, segera ia
menegas: "Mengapa isi botol cuma satu biji? Masih ada tidak di tempat
ayahmu?"
"Justeru cuma ada satu biji ini, maka sangat
berharga, kalau tidak, buat apa ayah marah2 padaku," kata Lik-oh.
Nyo Ko terkejut, katanya: "Jika begitu, dengan cara
bagaimana ayahmu akan menolong Kokohku yang sekujur badan tercocok duri bunga
cinta itu?"
"Pernah kudengar ceritera Toasuhengku, katanya pil
ini mestinya dua biji, tapi entah mengapa kemudian cuma sisa satu biji ini
saja," tutur Lik-oh, "Bahkan resep pembuatan obat ini sudah bilang,
"ayahku sendiripun tidak tahu, sebab itu Toasuheng memberi peringatan agar
waspada dan jangan sampai terkena racun duri bunga itu"
"Wah, jika begitu, kenapa ayahmu belum datang
menolong kau," seru Nyo Ko gegetun.
Kongsun Lik-oh cukup cerdas, ia paham isi hati anak muda
itu, melihat Nyo Ko mengembalikan lagi pil itu ke dalam botol, dengan menghela
napas pelahan ia berkata: "Nyo-toako, sedemikian cintamu terhadap nona Liong,
masakan ayahku tidak tahu diri? Kutahu, engkau bukan mengharapkan ayahku datang
menolong diriku, lebih dari itu engkau justru mengharapkan kubawa serta
Coat-ceng-tan ini ke atas sana untuk menyelamatkan jiwa nona Liong."
Karena isi hatinya dengan tepat dikatai, Nyo Ko tersenyum
dan berkata pula: "Seumpama racun di dalam tubuhku dapat disembuhkan, tapi
sukar juga bagiku untuk hidup di kolam buaya ini, dengan sendiri nya lebih
penting menolong jiwa Kokohku saja,"
Lik-oh tahu tiada gunanya membujuk anak muda itu meminum
pil itu, diam2 ia menyesal tadi telanjur bicara terus terang tentang satu2nya
pil itu, segera ia berkata pula.
"Meski Lengci ini tak dapat menawar racun, tepi
sangat berpaedah bagi kesehatan tubuh, lekas kau memakannya saja."
Nyo Ko mengiakan ia memotong Lengci itu menjadi dua, ia
sendiri makan sebagian, sebagian lagi dijejalkan ke mulut Lik-oh dan berkata:
"Entah kapan baru ayahmu akan datang menolong kau, maka kaupun makan
sepotong Lengci ini untuk menghalau hawa dingin."
Melihat kesungguhan hati anak muda itu, Lik-oh tidak tega
menolaknya, segera ia membuka mulut dan makan potongan Lengci itu.
Umur Lengci itu ada ratusan tahun, setelah makan Lengci,
seketika kedua orang merasakan badan segar dan hangat, semangat terbangkit
segera dan pikiranpun ferang, Tiba2 Lik-oh berkata: "Setelah Coat-ceng-tan
ini dicuri Lo-wan-tong, jelas ayah sudah tahu juga, janjinya menyembuhkan kau
hanya sekadar menipu nona Liong, bahkan memaksa aku menyerahkan obat ini juga
cuma pura2 saja."
Sebenarnya sudah sejak tadi hal ini terpikir oleh Nyo Ko,
cuma dia tidak ingin menambah rasa sedih si nona, maka belum dibeberkannya.
Kini hal itu terucap dari Lik-oh sendiri, maka iapun berkata: "Setelah kau
dilepaskan ayahmu, kelak kau perlu hati2, paling baik kalau berusaha
meninggalkan tempatnya ini."
"O, agaknya kau tidak kenal pribadi ayah," ujar
Lik-oh. "Sekali dia telah mendorong aku ke kolam buaya ini, betapapun dia
takkan melepaskan aku lagi, Nyo-toako, masakah engkau melarang aku mati bersama
kau di sini?"
Selagi Nyo Ko hendak menghiburnya lagi, tiba2 seekor
buaya merambat lagi ke atas karang dan sebelah kakinya tepat meraih kertas yang
jatuh dari bungkusan kecil tadi, Tergerak hati Nyo Ko, katanya: "Coba kita
lihat apa yang tertulis di kertas itu." -- Segera ia angkat belatinya dan
menusukannya pada bagian antara kedua mata buaya, "bles", dengan
mudah saja belati itu menembus kulit buaya yang keras dan tebal itu. Ternyata
belati itu adalah senjata mestika yang sangat tajam.
Buaya itu berkelojotan beberapa kali dan terguling ke
dalam kolam serta binasa.
"Kita mempunyai belati ini, maka celakalah bagi
kawanan buaya itu", ujar Nyo Ko dengan girang, Pelahan ia ambil kertas
yang sudah rada basab itu, belati yang dipegangnya itu dipepetkan pada kertas,
dari pantulan cahaya mutiara di gagang belati itu dapatlah terbaca tulisan di
atas kertas-itu.
Tapi setelah mereka mengamati, satu huruf saja tidak
tertampak, yang ada cuma lukisan menyerupai pemandangan alam, ada rumahnya, ada
bukitnya dan sebagainya.
Nyo Ko merasa lukisan yang berupa corat-coret itu tiada
sesuatu yang menarik, maka kertas itu ditaruhnya lagi ke atas karang, Tapi
Kongsun Lik-oh yang ikut membaca itu mendadak berkata : "lni adalah denah
bangunan perkampungan Cui-sian-kok kita ini, lihatlah, inilah sungai kecil
ketika kalian datang ke sini, yang ini ruangan depan, ini kamar senjata, itu
kamar obat dan..." sembari bicara si nona juga menunjukkan bagian peta
yang dimaksud itu.
"He, lihat ini, lihat!" tiba2 Nyo Ko berseru
heran sambil menunjuk kolam besar yang terlukis di bawah kamar obat itu.
"Ya, inilah kolam buaya dan... ah, malahan ada jalan
tembusannya di sini" kata Lik-oh.
Menurut peta itu, ditepi kolam buaya terlukis sebuah
tembusan, seketika mereka bersemangat, cepat Nyo Ko mengambil peta itu dan
dicocokkan dengan keadaan disekitar kolam, katanya kemudian:
"Jika apa yang terlukis dalam peta ini tidak bohong,
maka selewatnya jalan tembus ini, di sana tentu ada lagi jalan keluarnya,
Cuma..."
"Di sinilah letak keanehannya," sambung Lik-oh.
"Jalan tembus ini terlukis menyerong ke bawah, padahal kolam buaya ini
sudah jauh di bawah tanah, menyerong turun lagi, lalu menembus ke mana?"
Setelah mereka mengamati lagi peta itu, jalan tembus yang
dilukis itupun berhenti sampai di tepi kertas sehingga tidak diketahui menembus
ke mana akhirnya.
"Apakah soal kolam buaya ini pernah kau dengar dari
ayahmu atau Toasuhengmu?" tanya Nyo Ko.
Lik-oh menggeleng, jawabnya: "Sampai sekarang baru
kuketahui di bawah kamar obat terdapat makhluk buas sebanyak ini, mungkin
Toasuheng sendiripun tidak mengetahui"
Nyo Ko mengamati keadaan sekeliling, terlihat di depan
sana ada segulung bayangan yang kelam, agaknya di situlah terletak mulut jalan
tembusan yang dimaksudkan itu, cuma jaraknya agak jauh sehingga tidak kelihatan
dengan jelas, ia menjadi sangsi jangan2 di lorong itu terdapat makhluk buas
lainnya dan bukan mustahil jauh lebih berbahaya daripada kawanan buaya ini.
Tapi daripada duduk menanti ajal ada lebih baik kalau
menyerempet bahaya, asalkan nona Kongsun dapat diselamatkan keluar dari sini
dan dapat mengantar pil ini kepada Kokoh, maka tercapailah sudah cita-citaku.
Segera ia menyerahkan belati ke tangan Lik-oh dan
berkata: "Coba kulihat ke seberang sana." Sekali loncat, tahu2 ia
sudah melayang ke tengah kolam.
Lik-oh menjerit kaget, tertampak sebelah kaki Nyo Ko
menginjak bangkai buaya yang masih mengambang di kolam itu dan sekali Ioncat
lagi, kaki yang Iain, menutul punggung seekor buaya, ketika toaya itu ambles ke
bawah air, namun Nyo Ko juga sudah melayang sampai di seberang, ia berdiri
mepet dinding karang, sebelah tangannya coba meraba ke sana terasa kosong,
segera ia berseru: "Ya, memang betul inilah jalannya-"
Ginkang Kongsun Lik-oh tidak setinggi Nyo Ko, ia tak
berani melompat ke sana menurut cara anak muda itu.
Nyo Ko pikir kalau melompat kembali ke sana untuk
menggendong si nona kesini, karena bobot tubuh kedua orang bertambah berat,
tentu gerak~ geriknya tidak leluasa dan juga sukar menggunakan: buaya sebagai
batu loncatan.
Tapi urusan sudah telanjur, segera ia berseru: "Nona
Kongsun, coba kau lemparkan bajuku itu ke sini setelah kau celup air."
Walaupun tidak tahu apa maksud tujuannya tapi Lik-oh
melakukan juga permintaan anak muda. itu, ia menanggalkan baju Nyo Ko yang
dipakainya itu, dan dicelup ke dalam kolam, lalu ia gulung2 dan berseru:
"lni terimalah!" Sekuatnya ia lantas-menyambitkan gulungan baju basah
itu ke seberang.
Setelah menerima baju itu, segera Nyo Ko melompat ke sisi
sana dan berdiri pada suatu tempat dekukan dinding karang, tangan kiri memegang
kencang pada sebuah tonjolan karang, tangan kanan terus memutar bajunya yang
sudah dibasahi dan diluruskan menjadi sepotong tali besar, serunya. "Coba
kau memperhatikan suaranya!"
Segera ia menyabetkan bajunya ke depan terus ditarik
kembang "bluk", bajunya basah itu tepat memukul pada mulut lorong
itu, berturut ia berbuat begitu tiga kali, lalu bertanya: "Sudah jelas
letak mulut gua ini?"
Dari suara "bluk-bluk" tadi Lik-oh membedakan
arah dan jauh dekat tempatnya, segera ia menjawab: "Ya, kutahu
jelas."
"Sekarang melompatlah dan pegang ujung baju yang
kuayunkan ini, akan kulemparkan kau keseberang sana," kata Nyo Ko.
Sehabis Lik-oh memandang ke sana, tapi keadaan di sana
tetap gelap kelam, ia rada takut dan berkata: "Aku... aku tak..."
"Jangan takut," kata Nyo Ko dengan tertawa.
"Jika kau gagal memegang ujung baju dan tcrjebfos ke
ko!am, segera kuterjun, ke sana untuk menolong kau, Kalau tadi saja kira tidak
takut pada kawanan buaya itu, apalagi sekarang sudah mempunyai belati mestika
ini, kenapa takut?"
Segera ia mengayunkan gulungan bajunya lagi.
Terpaksa Kongsun Lik~oh harus loncat, kedua kakinya
mengencot sekuatnya pada batu karang, segera tubuhnya melayang ke udara,
didengarnya suara menyambernya gulungan baju itu di udara, kedua tangannya
terus merath, syukur tangan kanan dapat memegang ujung baju itu.
Ketika Nyo Ko merasa tangannya terbetot, sekuatnya ia
terus menyendal sehingga tubuh si nona dapat dilontarkan ke mulut gua tadi,
Kuatir kalau nona itu kurang mantap berdirinya, sesudah mengayunkan bajunya ia
terus melompat pula ke sana dan menolak pelahan pada pinggang si nona untuk
kemudian duduklah mereka di mulut gua.
"Bagus sekali gagasanmu ini," seru Lik-oh
kegirangan.
"Tapi di dalam gua ini entah ada makhluk buas apa, terpaksa
kita pasrah nasib saja," ujar Nyo Ko dengan tertawa, Segera ia menerobos
ke dalam lorong gua itu dengan membungkuk badan.
"Gunakan senjata ini untuk membuka jalan," kata
Lik-oh sambil menyodorkan belati kepada Nyo Ko.
Mulut gua itu sangat sempit, terpaksa kedua orang
merangkak maju, Lantaran hawa lembab kolam buaya, dalam gua ternyata berlumut
dan licin, bahkan berbau apek dan busuk.
"Pagi tadi kita masih menikmati pemandangan alam
dengan bunga yang mekar semerbak, siapa tahu beberapa jam kemudian kita telah
berada di tempat seperti ini, sungguh aku telah membikin susah saja
padamu," kata Nyo Ko sembari merangkak ke depan.
"Ini bukan salahmu," ujar Lik-oh, Setelah
merangkak sekian Iamanya, terasalah lorong gua itu memang terus menyerong turun
ke bawah, tapi makin jauh makin kering dan bau busuk juga mulai lenyap.
"Ah, tampaknya habis merasakan pahit kini telah
mulai merasakan manisnya, kita sudah mulai memasuki wilayah bahagia."
"Nyo-toako," kata Lik-oh sambil menghela napas,
"kutahu hatimu sendiri susah, tidak perlu engkau sengaja membikin senang
hatiku."
Belum habis ucapannya, mendadak dari sebelah kiri sana
berkumandang suara gelak tertawa seorang perempuan:
"Hahaha-hahahaaah!"
Jelas sekali suara itu adalah suara orang tertawa, tapi
kedengarannya justeru mirip orang menangis, suara "haha" itu
bernadakan rasa sedih memilukan luar biasa.
Selamanya Nyo Ko dan Kongsun Lik-oh tak pernah mendengar
suara yang bukan tangis dan bukan tawa itu, apalagi di dalam goa yang gelap dan
seram itu mendadak mendengar suara aneh itu, tentu saja lebih mengejutkan
daripada tiba2 keper-gok binatang buas dan makhluk yang menakutkan.
Nyo Ko sebenarnya pemuda yang tabah dan pemberani tapi
tidak urung juga kaget oleh suara itu sehingga ubun2 kepalanya kesakitan membentur
atap gua itu, Lebih2 Lik-oh, ia bahkan mengkilik dan merangkul kencang kaki Nyo
Ko.
Untuk sejenak Nyo Ko berhenti merangkak dan pasang
telinga, tapi sedikitpun tiada suara orang lagi. Kedua orang menjadi serba
salah, ingin maju terus terasa takut, mau mundur terasa penasaran
"Apakah setan?" bisik Lik-oh dengan suara lirih
sekali.
Siapa tahu suara "tangis-tawa" tadi kembali
perkumandang pula, lalu terdengar perkataannya:
"BetuI, aku ini setan, aku ini setan! Haha,
ha-hahaaah!"
Nyo Ko pikir kalau dia mengaku sebagai setan maka pasti
bukanlah setan, dengan berani segera ia menanggapi dengan suara lantang:
"Cayhe bernama Nyo Ko, bersama nona Kongsun ini kami lagi tertimpa
bencana, yang kami harapkan hanya cari selamat dan sama sekali tidak bermaksud jahat
terhadap orang lain."
"Nona Kongsun?" tiba2 orang itu menyela,
"Nona Kongsun apa?"
"Puteri Kongsun Kokcu, namanya Kongsun Lik-oh,"
jawab Nyo Ko.
Habis tanya jawab ini, lalu lenyaplah suara di sebelah
sana, se-akan2 orang itu mendadak hilang sirna tanpa bekas.
Ketika orang itu mengeluarkan suara "tangis bukan
dan tawa tidak" itu, sebenarnya Nyo Ko berdua sangat takut, kini keadaan
menjadi sunyi senyap mendadak, dalam kegelapan kedua orang merasa lebih ngeri
sehingga mereka meringkuk ber-dekapan tanpa berani bergerak.
Selang agak lama, se-konyong2 orang ita membentak
"Kongsun Kokcu apa maksudmu? Apakah Kongsun Ci?" Nadanya penuh rasa
gusar dan dendam.
Dengan menabahkan hati Kongsun Lik-oh menjawab:
"Betul, memang ayahku bernama Ci, apakah Locianpwe kenal ayahku?"
"Hehehe, apakah kukenal dia? Apakah kukenal dia?
Hehe!" demikian orang itu terkekeh aneh.
Lik-oh tak berani menanggapi lagi, terpaksa diam saja.
Selang sejenak pula, mendadak orang itu membentak:
"Dan kau bernama siapa?"
"Wanpwe bernama Lik-oh, Lik artinya hijau dan Oh
artinya kelopak bunga," demikian Lik-oh menjelaskan.
Orang itu mendengus: "Hm! Coba katakan, kau
dilahirkan tahun kapan, bulan dan hari apa serta waktunya?"
Tentu saja Lik-oh ter-heran2, ia tidak mengerti untuk
apakah orang aneh ini menanyakan waktu kelahirannya, apakah bermaksud jahat
padaku ia coba membisiki Nyo Ko: "Bolehkah kukatakan padanya?"
Belum lagi Nyo Ko menjawab, tiba2 orang itu menjengek
lagi: "Tahun ini kau berumur 18, lahir pada pukul 12 siang tanggal 3 bulan
2, betul tidak?"
Lik-oh sangat terkejut serunya tersendat Dari... darimana
engkau meng... mengerti?"
Tiba2 timbul semacam firasat aneh yang sukar terkatakan,
ia merasa yakin manusia aneh ini pasti takkan membikin susah dirinya, cepat ia
mendahului Nyo Ko merangkak ke sana, sesudah berputar beberapa belokan, tiba2
pandangannya terbeliak, terlihat seorang nenek botak dan setengah badan
telanjang berduduk di atas tanah dengan gusar tapi berwibawa.
Lik-oh menjerit kaget sambil berdiri dengan melenggong,
Kuatir si nona mengalami apa2, cepat Nyo Ko menyusul ke sana.
Terlihat tempat di mana si nenek botak itu berduduk
adalah suatu lekukan batu alam, sebuah gua yang tak diketahui berapa dalamnya,
di bagian atas ada sebuah lubang besar yang bulat tengahnya seluas dua-tiga
meter, dari situlah cahaya matahari memancar masuk, Cuma lubang besar itu
terletak ratusan meter tingginya dari permukaan tanah, besar kemungkinan nenek
ini terjatuh dari lubang besar itu dan untuk seterusnya tidak dapat keluar
lagi.
Karena gua itu terletak jauh dibawah tanah, sekalipun
berteriak dan menjerit sekerasnya disitu juga sukar didengar oleh orang lalu di
atas sana. Cuma aneh juga, jatuh dari tempat setinggi itu ternyata nenek botak
ini tidak terbanting mampus, sungguh luar biasa dan sukar dimengerti.
Nyo Ko melihat si nenek menutupi tubuh bagian bawah
dengan kulit pohon dan daun2an, barangkali sudah terlalu lama dia meringkuk di
dalam gua ini sehingga pakaiannya sudah hancur semua.
Nenek itu tahu juga munculnya Nyo Ko, tapi tidak
digubrisnya, melulu Kongsun Lik-oh saja yang diamat-amatinya, tiba2 ia tertawa
sedih, katanya: "Cantik amat kau, nona..."
Lik-oh membalasnya dengan tersenyum manis, ia melangkah
maju dan memberi hormat serta menyapa: "Selamat, Locianpwe!"
Kembali Nenek itu menengadah dan mengeluarkan suara
"tangis bukan tawa tidak" tadi, lalu berkata: "Locianpwe apa?
Hahaha, selamat? Aku selamat! Ahahahahaah!" Habis ini mendadak wajahnya
penuh rasa gusar dan mata melotot
Tentu saja Lik-oh merasa bingung dan takut karena tidak
tahu dimana ucapannya tadi telah membikin marah si nenek, ia menoleh kepada Nyo
Ko sebagai tanda minta bantuan.
Nyo Ko berpendapat mungkin si nenek sudah terlalu lama
hidup terpencil dan tersiksa lahir batin di gua ini sehingga pikirannya menjadi
abnormal, maka ia menggeleng kepada Lik-oh dengan tersenyum sebagai tanda agar
nona itu jangan pikirkan sikap si nenek yang aneh itu.
Disamping itu Nyo Ko justeru lagi berpikir cara bagaimana
dapat merambat kemar lubang di atas itu. Namun letak lubang teramat tinggi,
sekalipun dengan Ginkang yang maha tinggi juga sukar mencapainya.
Dalam pada itu Lik-oh sedang memperhatikan si nenek
dengan penuh perhatian, dilihatnya di atas kepala si nenek yang botak itu cuma
ada beberapa utas rambut yang sangat jarang2, mukanya penuh keriput, namun
kedua matanya bersinar tajam, dari raut mukanya dapat dibayangkan di masa
dahulu si nenek pasti seorang wanita cantik.
Sementara nenek itupun masih memandangi Kongsun Lik-oh
tanpa berkedip. jadinya kedua orang hanya sa'ing pandang saja dan tidak
menggubris Nyo Ko sama sekali.
Sejenak kemudian, tiba2 nenek itu berkata: "Di
sebelah kiri pinggangmu ada sebuah toh merah, betul tidak?"
Kembali Lik-oh terkejut, pikirnya: "Toh merah pada
tubuhku ini sekalipun ayah kandungku juga belum tentu tahu, mengapa nenek yang
terasing di gua bawah tuiah ini malah tahu dengan jelas? Dia juga tahu waktu
kelahiranku, tampaknya dia pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
keluargaku,"
Karena itu, segeru ia bertanya dengan suara lembut: "Nenek,
engkau pasti kenal ayahku dan tentu juga kenal pada mendiang ibuku,
bukan?"
Nenek itu melengak, lalu menggumam: "Mendiang ibumu,
mendiang ibumu? Hahaha, sudah tentu kukenal" Mendadak suaranya berubah
bengis, ia membentak: "Hm pinggangmu ada toh merah seperti kutanyakan tadi
tidak? Lekas buka pakaianmu dan perlihatkan padaku, kalau berbohong sedikit
saja akan kubinasakan kau seketika di sini"
Lik-oh berpaling sekejap kepada Nyo Ko dengan muka merah
jengah, Cepat Nyo Ko membalik tubuh ke sana, Maka Lik-oh membuka baju Nyo Ko
yang dipakainya, lalu menyingkapkan sebagian kutang dan celananya, kelihatanlah
pinggangnya yang putih bersih itu memang betul ada sebuah toh merah sebesar ibu
jari.
Melihat sekejap saja toh merah itu, seketika tubuh si
nenek gemetarah, air matanya mendadak bercucuran terus merangkul Lik-oh dengan
erat sambil berseru: "O, permata hatiku, betapa ibu merindukan kau selama
ini."
Melihat sikap dan air muka si nenek saja, secara otomatis
telah menggugah watak alamiah seorang anak terhadap ibunya, terus saja Lik-oh
mendekap si nenek sekencangnya dan berseru sambil menangisi "O, ibu!"
Mendengar orang dibelakangnya saling berseru, yang
seorang memanggil "permata hati" dan yang lain menyebut ibu. Nyo Ko
terkejut dan cepat berpaling dilihatnya kedua orang saling mendekap kencang,
jelas Kongsun Lik-oh sedang menangis tersedat dan muka si nenek juga kelihatan
penuh ingus dan air mata, ia menjadi heran apakah nenek botak ini benar2 ibu
nona Kongsun?
Pada saat lain mendadak tertampak alis nenek itu menegak
dan air mukanya berubah beringas, mirip sekali dengan Kongsun Kokcu apabila
hendak menyerang orang, Nyo Ko menjadi kuatir kalau nenek ini akan mencelakai
Kongsun Lik-oh, cepat ia melangkah maju.
Tapi segera terlihat si nenek menepuk pelahan bahu Lik-oh
dan membentak: "Coba berdiri sana, aku hendak tanya kau."
Lik-oh tercengang dan menjauhi tubuh si nenek sambil
memanggil lagi sekali: "lbu"
Mendadak nenek itu menbentak dengan bengis. "Untuk
maksud apa Kongsun Ci menyuruh kau ke sini? Suruh kau membohongi aku dengan
kata2 manis, bukan?"
Lik-oh menggeleng dan berseru: "O, ibu, kiranya
engkau masih hidup di dunia ini. O, ibu!" Air mukanya jelas memperlihatkan
rasa girang dan haru, inilah perasaan murni seorang anak dengan ibunya,
sedikitpun tidak pura2.
Tapi nenek botak itu tetap membentak lagi: "Kongsun
Ci bilang aku sudah mati, bukan?"
"Anak telah menderita selama belasan tahun dan
mengira sudah piatu tak beribu, ternyata ibu toh masih hidup dengan baik
sungguh girang hatiku sekarang," kata Lik-oh.
"Dan siapa dia?" tanya si nenek sambil menuding
Nyo Ko. "Untuk apa kau membawanya ke sini?"
"Dengarkan dulu ceritaku, ibu," kata Lik-oh
lalu iapun menguraikan cara bagaimana Nyo Ko datang ke Cui-sian-kok serta
terkena racun duri bunga cinta, cara bagaimana kedua orang kejeblos dalam kolam
buaya, Hanya mengenai Kongsun Kokcu hendak menikah dengan Siao-liong-li tidak
diceritakannya untuk menjaga agar sang ibu tidak menaruh dendam dan cemburu.
Air muka si nenek tertampak lebih tenang setelah mendengar
cerita itu, pandangannya terhadap Nyo Ko juga semakin simpatik Sampai akhirnya
ketika mengetahui Nyo Ko telah membinasakan buaya dan menyelamatkan Lik-ohr
ber-ulang2 nenek itu manggut2 dan berkata: "Bagus, anak muda, bagus tidak
sia2 puteriku penujui kau."
Wajah Lik-oh menjadi merah dan menunduk malu. Nyo Ko pun
merasa serba kikuk untuk menuturkan seluk beluk dirinya, hanya dikatakannya:
"Kongsun-pekbo (bibi), sebaiknya kita mencari akal untuk bisa keluar dari
sini,"
Mendadak si nenek menarik muka dan berkata:
"Kongsun-pekbo apa katamu? selanjutnya jangan lagi kau menyebut perkataan
Kongsun segala, jangan kau kira kaki tanganku ini tak bertenaga, jika ku-hendak
bunuh kau, boleh dikatakan teramat mudah bagiku."
"Crot", mendadak dari mulutnya menyomprot
keluar sesuatu dan terdengarlah suara "cring" yang nyaring, belati
yang terpegang di tangan Nyo Ko itu dengan tepat terbentur, seketika tangan Nyo
Ko terasa kesemutan, "trang", tahu2 belati itu terlepas dan jatuh ke
tanah, Dalam kagetnya cepat Nyo Ko melompat mundur, waktu ia mengawasi, kiranya
di tepi belati ada satu butir biji kurma.
Nyo Ko terkejut dan sangsi pula, pikirnya: "Dengan
tenaga yang kugunakan untuk memegangi belati ini, biarpun roda emas Kim-Ium
Hoat-ong, gada si Darba atau golok bergigi Kongsun Kokcu juga sukar menggetar
jatuh belatiku ini, tapi satu biji kurma yang disemburkan dari mulut nenek ini
mampu menjatuhkan senjata dalam cekalanku, meski aku sendiri memang tidak
bersiaga, namun dari sinipun dapat dibayangkan betapa hebat ilmu silat si nenek
yang sukar diukur ini,"
Melihat kegugupan air muka Nyo Ko, cepat Lik-oh berkata
padanya: "jangan kuatir, Nyo-toako, ibuku pasti takkan mencelakai
kau." Segera ia mendekati dan pegang tangan anak muda itu, lalu berpaling
dan berkata kepada sang ibu : "Engkau jangan marah, ibu, boleh engkau
suruh dia ganti sebutan saja. Dia kan tidak tahu persoalannya."
"Baiklah," ujar nenek itu dengan tertawa,
"nyonya selamanya tidak pernah ganti nama atau she, Thi-cio-lian-hoa (si
bunga teratai bertangan besi) Kiu Jian-jiu ialah diriku ini. Dan cara bagaimana
kau memanggil aku, hehe, memangnya masih perlu tanya? Tidak lekas kau menyembah
dan menyebut "ibu mertua" padaku?
Cepat Lik-oh menyela: "lbu, sebenarnya Nyo-toako dan
anak tiada apa2, dia hanya... hanya bermaksud baik saja kepada anak dan tiada
kehendak..."
"Hm," si nenek alias Kiu Jian-jio mendengus,
"tiada apa2 katamu dan tiada kehendak lain? Habis mengapa kau cuma memakai
baju dalam dan sebaliknya memakai bajunya," - Mendadak ia per-keras
suaranya dan setengah menjerit: "Jika bocah she Nyo ini berani meniru cara
kotor dan rendah seperti Kongsun Ci, hm, tentu akan kubinasakan dia disini.
Nah, orang she Nyo, kau menikahi anakku atau tidak?"
Melihat cara bicaranya seperti orang gila dan sukar
diberi penjelasan, Nyo Ko menjadi serba salah.
Sungguh aneh, baru pertama kali kenal sudah memaksa
dirinya menikahi puterinya? Kalau ditolak secara terang2an, dikuatirkan pula
akan menyinggung perasaan Lik-oh. Apalagi ilmu silat nenek ini sangat tinggi
dan perangainya aneh juga, kalau sampai membikin marah padanya bukan mustahil
seketika akan dibunuh olehnya. Padahal mereka sekarang bernasib sama yakni
terkurung di goa bawah tanah ini, yang penting hanya mencari jalan meloloskan
diri.
Maka dengan tersenyum berkatalah Nyo Ko "Hendaklah
Locianpwe jangan kuatir, nona Kongsun telah menolong aku dengan segala
pengorbanan, Nyo Ko bukanlah manusia yang tidak berperasaan, betapapun budi
kebaikan nona Kongsun takkan kulupakan selama hidup ini,"
Ucapan Nyo Ko ini cukup licin, meski tidak jelas
menyanggupi akan menikahi Kongsun Lik-oh, tapi terasa puas bagi pendengaran Kiu
Jian-Jiu. nenek ini manggut2 dan berkata: "Baiklah kalau begitu."
Kongsun Lik-oh paham isi hati Nyo Ko, dipandangnya
sekejap anak muda itu dengan sorot yang menyesal dan perasaan hampa, lalu
menunduk dan tidak bicara kgi. Selang sejenak baru dia berkata kepada Kiu
Jian-Jio: "Mengapa engkau bisa berada di sini, ibu? Sebab apa ayah justeru
bilang engkau sudah meninggal dunia sehingga membikin anak berduka selama
belasan tahun ini, Bila anak mengetahui engkau berada di sini, dengan cara
apapun juga anak pasti akan mencari ke sini."
Dilihatnya bagian atas tubuh sang ibu telanjang, kalau
baju Nyo Ko itu diberikan padanya berarti ia sendiri yang kurang pakaian,
terpaksa Lik-oh merobek sebagian baju itu untuk disampirkan di atas bahu ibu.
Diam2 Nyo Ko menyayangkan nasib baju yang dibuatkan oleh
Siao-liong-li itu, hatinya menjadi berduka sehingga merangsang racun dari bunga
cinta, seketika sejujur badan terasa kesakitan.
Melihat itu, tiba2 Kiu Jian-jio meraba pangkuannya
seperti hendak mengambil sesuatu, tapi setelah dipikir lagi akhirnya tangan
ditarik kembali dalam keadaan kosong.
Dari gerakan sang ibu Lik-oh melihat sesuatu, segera ia
memohon: "Oh ibu, tentunya engkau dapat menyembuhkan racun bunga cinta
itu, bukan?"
Dengan hambar Kiu Jian-jio menjawab: "Aku sendiri
dalam keadaan susah, orang lain tidak mampu menolong aku, mana aku dapat pula
menolong orang lain?"
"Tapi, asalkan ibu menolong dia, tentu dia akan
berusaha menolong ibu" kata Lik-oh cepat "Andaikah engkau tidak
menolong dia juga Nyo-toako akan membantu kau sepenuh tenaga, BetuI tidak
Nyo-toako."
Sesungguhnya Nyo Ko tidak menaruh simpatik terhadap Kiu
Jian-jio yang eksentrik itu, cuma mengingat si Lik-oh, dengan sendirinya ia
harus membantu sebisanya, maka jawabnya: "Ya, sudah tentu locianpwe telah
berdiam sekian lamanya di sini, keadaan tempat ini tentu sudah sangat apal,
apakah dapat memberi petunjuk sekedarnya?"
Kim Jian-jio menghela napas, katanya: "Meski tempat
ini sangat dalam di bawah tanah, tapi tidaklah sulit jika mau keluar dari
sini."
Ia memandang Nyo Ko sekejap, lalu menyambung. "Tentu
dalam hati kau sedang berpikir, kalau tidak sulit untuk keluar, mengapa engkau
masih menongkrong saja di sini? Ai, ketahuilah bahwa urat nadi kaki dan
tanganku sudah putus, seluruh ilmu silat ku sudah punah"
Sejak tadi Nyo Ko memang melihat anggota badan nenek itu
rada kurang wajar, maka iapun tidak heran mendengar keterangan itu, Tapi Lik-oh
menjerit lantas berseru: "Oh, ibu, siapakah yang mencelakai engkau?
"Kita harus menuntut balas."
"Hmm, menuntut balas? Apakah kau tega
membalasnya?" jengek Kiu Jian-jio, "orang yang memutuskan urat kaki
dan tanganku justeru bukan Iain daripada Kongsun Ci adanya."
Setelah mengetahui nenek itu adalah ibu kandung sendiri,
dalam hati Lik-oh samar2 sudah mulai membayangkan hal demikian, kini sang ibu
mengatakannya sendiri, tidak urung hati Lik-oh tergetar juga, segera ia
bertanya :"Apa sebabnya ayah berbuat begitu terhadap ibu?".
Kiu Jian-jio melirik Nyo Ko sekejap, talu berkata:
"Sebab aku telah membunuh satu orang, seorang perempuan muda cantik
jelita, Hm, sebab aku telah membunuh perempuan yang dicintai Kongsun Ci."
Bicara sampai di sini ia menggertak gigi hingga berbunyi
gemertak.
Lik~oh menjadi takut dan rada menjauhi sang ibu dan
menyurut mendekati Nyo Ko.
Seketika dalam gua itu suasana menjadi sunyi senyap.
Mendadak Kiu Jian-jio berkata: "Kalian sudah lapar bukan? Di sini hanya
bisa mengisi perut dengan kurma.
Habis-berkata ia terus berjongkok dan merangkak ke depan
dengan gerakan yang sangat cepat seperti binatang.
Pedih dan haru hati Nyo Ko dan Lik-oh melihat kelakuan
orang tua itu, sebaliknya Kiu Jian-jio sudah biasa merangkak cara begitu selama
belasan tahun ini, maka bukan soal lagi baginya.
Segera Lik-oh bermaksud menyusul ke sana untuk memayang
ibunya, tapi terlihat orang tua itu sudah berhenti di bawah sebatang pohon
kurma yang besar.
Sukar dibayangkan entah berapa tahun yang lalu dari udara
telah jatuh satu biji bibit kurma dan mulai tumbuh di dalam gua ini, lalu mulai
menjalar dan berkembang biak sehingga seluruhnya di dalam gua kini tumbuh
beberapa puluh pohon kurma.
Kalau saja dahulu tidak pernah terjatuh satu biji kurma
atau bibit kurma itu tidak dapat tumbuh, maka kedatangan Nyo Ko dan Lik-oh di
dalam gua sekarang ini hanya akan menyaksikan setumpuk tulang belulang belaka,
siapakah takkan menduga tulang ini adalah seorang tokoh Bu-lim yang maha sakti,
bahkan Lik-oh juga takkan mengetahui tulang belulang inilah ibu kandungnya
sendiri.
Begitulah Kiu Jian-jio telah menjemput satu biji buah
kurma terus dimakan. Kemudian ia menengadah, sekali semprot biji kurma terbidik
ke atas dan tepat mengenai suatu dahan pohon, dahan pohon kurma itu terguncang
dan rontoklah buah kurma disana hujan.
Nyo Ko manggut2 dan membatin: "Kiranya cacat anggota
badannya telah memaksa dia berlatih ilmu menyemprot biji kurma yang lihay ini,
ini menandakan Thian (Tuhan) memang tidak pernah membikin buntu kehidupan
manusia," - Terpikir demikian, seketika semangatnya terbangkit.
Segera pula Lik-oh mengumpulkan buah kurma dan dibagikan
kepada sang ibu dan Nyo Ko untuk dimakan bersama.
Di dalam gua bawah tanah Lik-oh bertindak secara tertib
sebagai anak yang meladeni sang ibu sebagaimana layaknya seorang nyonya rumah.
Kiu Jian-jio telah mengalami musibah yang mengenaskan sudah beberapa tahun rasa
dendam dan benci terkumpul di dalam hatinya, jangankan dasar wataknya keras,
sekalipun perempuan yang lemah lembut juga akan berubah menjadi eksentrik
apabila mengalami nasib seperti dia.
Namun apapun juga kasih sayang antara ibu dan anak adalah
pembawaan alamiah, apalagi dilihatnya anak perempuan, yang dirindukannya selama
ini ternyata begini cantik dan lemah lembut, akhirnya kelembutan kasih sayang
seorang ibu mengatasi segala perasaannya, dengan suara halus Kiau jian-jiu
lantas bertanya: "Hal busuk apa saja yang dikatakan Kongsun Ci atas
diriku?"
"Selamanya ayah tidak pernah menyinggung persoalan
ibu," tutur Lik~oh- "Waktu kecil pernah kutanya beliau apakah wajahku
mirip ibu dan ku tanyakan pula penyakit apa yang menyebabkan kematian ibu? Tapi
ayah menjadi gusar, aku didamperat habis2an dan seterusnya aku dilarang
menyebut urusan ibu lagi, Beberapa tahun kemudian kucoba bertanya pula dan
kembali ayah marah dan mendamprat diriku."
"Oh bagaimana pikiranmu sendiri ?" tanya Kian
Jiao-jio.
Air mata Lik-oh berlinang, katanya: "Senantiasa anak
berpikir ibu tentu sangat baik dan cantik, tentu ayah dan ibu saling cinta
mencintai, sebab itu ayah suka berduka apabila ada orang lain menyinggung
meninggalnya ibu, dan sebab itulah seterusnya akupun tidak berani bertanya
pula."
"Hm, sekarang kau pasti kecewa sekali, bukan?^
jengek Liu Jian-jio "ibumu ternyata tidak cantik dan juga tidak ramah, tapi
adalah seorang nenek bermuka jelek, galak lagi ganas. Tahu begitu, kukira kau
lebih suka tidak bertemu dengan aku."
Lik-oh merangkul leher sang ibu dan berkata dengan suara
lembut "O, ibu betapapun anak tidak pernah berpikir begitu." -Lalu ia
berpaling dan berkata kepada Nyo Ko: "Nyo-toako, ibuku sangat cantik,
bukan? Dia sangat baik padaku dan juga sangat baik padamu, betul tidak?"
Pertanyaan si nona diucapkan dengan sungguh2 dan penuh
ketulusan hati, dalam batinnya ternyata benar2 menganggap sang ibu adalah
perempuan yang paling sempurna di dunia ini.
Nyo Ko pikir waktu mudanya mungkin si nenek memang
cantik, tapi sekarang apanya yang dapat dikatakan cantik? Mungkin dia baik pada
Lik-oh, tapi baik tidak terhadapku masih harus diuji dahulu. Namun ia tidak
ingin membikin kikuk si nona, terpaksa menjawab: "Memang betul
ucapanmu."
Tapi jelas pada ucapan Nyo Ko tidak setulus ucapan Lik-oh
tadi, hal ini segera dapat dibedakan oleh Kiu Jian-jio, diam2 ia bersyukur
dirinya masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan puterinya, maka
segala sebab musabab penderitaannya haruslah diceritakan kepadanya dengan
sejelasnya.
Begitulah Kiu Jian-jio lantas bertutur. "Anak Lik,
tadi kau bertanya mengapa aku terkurung di sini dan sebab apa Kongsun Ci
mengatakan akui sudah mati, Nah, duduklah yang baik, biar kuceritakan kisahnya
padamu.
Leluhur Kongsun Ci adalah pembesar jaman dinasti Tong,
karena kekacauan negara pada waktu itu keluarga Kongsun berpindah ke lembah
pegunungan sunyi ini. Leluhurnya adalah pembesar militer, maka iapun belajar
ilmu silat keluarga sendiri, bahkan lebih tinggi daripada leluhurnya, namun
ilmu silatnya yang benar2 lihay itu justeru akulah yang mengajarkan dia."
Nyo Ko dan Dk-oh berseru heran bersama, sungguh hal itu
sama sekali diluar dugaan mereka.
Dengan bangga Kiu Jian-jio menyambung pula. "Kalian
masih kecil, dengan sendirinya tak paham seluk-beluknya Hm, di dunia persilatan
siapa yang tidak kenal Thi-cio-pang (perserikatan telapak besi)? Nah, Pangcu
dari organisasi besar itu, Thi-cio-cui-siang-biau (si telapak besi melayang di
atas air ) Kiu Jian-yim adalah kakak kandungku, Coba Nyo Ko, ceritakan
sekadarnya tentang Thi-cio-pang kepada anak Lik biar dia tahu,"
Nyo Ko melengak dan menjawab: "Oh, Wanpwe kurang
pengalaman dan pengetahuan, entah apakah Thi-cio-pang yang dimaksud itu?"
"Kurangajar, kau berani membohongi damperat Kiu
Jian-jiu. "Nama Thi-cio-pang terkenal di mana2, sama tersohornya seperti
Kay-pang, masakah kau tidak tahu?"
"Kalau Kay-pang sih Wanpwe memang pernah dengar"
jawab Nyo Ko, "tapi Thi-cio-pang wah.."
Kiu Jian-jio tambah gusar, kembali ia memaki "Hehe,
percuma kau belajar silat segala, masakah Thi-cio-pang saja tidak tahu,
sungguh..."
Melihat sang ibu marah2, cepat Lik-oh menyela: "Bu,
Nyo-toako masih muda, sejak kecil tinggal di pegunungan yang terpencil maka
tibaklah heran jika seluk-beluk dunia persilatan memang kurang
diketahuinya."
Tapi Kiu Jian-jio tidak menggubrisnya dan masih terus
mengomel
Dimasa diketahui 20-an tahun yang lalu Thi-cio-pang memang
sangat terkenal di dunia Kangouw, tapi kemudian pimpinannya yaitu Thi-cio-ciu
siang biau Kiu Jian-yim telah berguru kepada It teng Taysu dan memeluk agama
Budha, maka anak buah Thi-cio-pang lantas kocar-kacir juga dan bubar.
Tatkala itu Nyo Ko baru lahir, dengan sendirinya belum
tahu apa2. padahal bertemunya ayah-ibu kandungnya besar sangkut-pautnya dengan
Thi-cio pang itu. Kini dia ditanya oleh Kiu Jian-jio, sudah tentu dia melongo
tak dapat menjawab.
Kiu Jian-jio sendiri sudah menyepi selama 30-an tahun di
Cui-sian-kok, segala kejadian di dunia Kangouw hampir tidak diketahuinya, dia
mengira Thi-cio-pang yang bersejarah ratusan tahun itu sekarang itu tentu
bertambah jaya, maka tidaklah heran dia berjingkrak marah2 ketika Nyo Ko
menjawab tidak tahu "Thi-cio-pang" segala.
Biasanya Nyo Ko tidak tahan dibikin sirik orang lain,
kalau sudah gusar, sekalipun gurunya seperti Tio Ci-keng juga dilabraknya
habis-habisan. sekarang Kiu Jiac-jio mendamperatnya tanpa alasan, semula dia
masih tahan, tapi lama2 ia menjadi gregetan juga, segera ia bermaksud balas
memaki nenek itu, tapi baru saja hendak membuka mulut, dilihatnya Lik-oh sedang
memandangnya dengan sorot mata yang lembut penuh rasa menyesal atas sikap
ibunya itu.
Mau tak-mau hati Nyo Ko menjadi lunak kembali, terpaksa
ia hanya angkat bahu sebagai tanda apa boleh buat-saja, ia pikir semakin keji
ibumu memaki aku, semakin baik pula kau terhadapku Omelan si nenek ku anggap
angin lalu saja, hati si cantik harus dihormati ia menjadi lapang dada setelah
ambil keputusan itu, tiba2 otaknya menjadi tajam juga dan berpikir "He,
ilmu silat nona Wanyan Peng tempo hari itu mirip benar dengan Kongsun Ci,
jangan2 mereka sama2 orang Thi-cio-pang?"
Ia coba merenungkan kembali ilmu silat yang pernah
dimainkan Wanyan Peng dahulu ketika mendesak Yalu Ce, rasanya ia masih ingat
sebagian, segera ia berseru "Aha, ingatlah aku!"
Kiu Jiu-jie terkejut oleh teriakan Nyo Ko itu,
damperatnya keras: "Kau menjerit apa?"
"Tentang Thi-cio-pang aku menjadi ingat kepada
seorang tokoh aneh," tutur Nyo Ko. "Kira2 tiga tahun yang lalu,
kulihat tokoh itu bergebrak melawan belasan orang, sendirian dia hajar orang2
itu, akhirnya sembilan di antaranya luka parah dan sembilan orang lagi
dibinasakan olehnya, Konon tokoh Bu-lim yang hebat itu adalah orang
Thi-cio-pang."
"Bagaimana macamnya orang itu?" tanya Kiu
Jian-jio cepat,padahal Nyo Ko cuma membual belaka, tapi sudah telanjur omong,
pula tidak bakal ada saksi, segera ia meneruskan dongengnya: "Orang itu
berkepala botak, usianya antara 60~an, wajahnya merah,perawakannya tinggi
besar, memakai jubah hijau dan mengaku she Kiu."
"Omong kosong!" mendadak Kiu Jian-jio
membentak, "Kedua kakakku sama sekali tidak botak, perawakannya juga tidak
tinggi, selamanya tidak pernah memakai baju hijau, Hm, kau melihat aku botak,
maka kau sangka kakakku juga botak, begitu bukan?"
Diam2 Nyo Ko mengeluh karena dongengnya bisa terbongkar
tapi airmukanya tetap tenang2 saja, jawabnya dengan tertawa. "Ah, sabar
dulu, Locian-pwe, dengarkan lebih lanjut ceritaku ini. Kan Wan-pwe tidak bilang
orang itu adalah kakakmu, memangnya setiap orang she Kiu di dunia ini mesti
kakakmu?"
Kiu Jian-jio menjadi bungkam malah oleh debatan anak muda
itu, terpaksa ia tanya: "Jika, begitu, coba katakan bagaimana ilmu
silatnya?"
Nyo Ko berdiri dan memainkan beberapa jurus silat yang
pernah dilihatnya dari Wanyan Peng itu, akhirnya permainannya semakin lancar
dan menimbulkan samberan angin yang keras, gayanya ilmu tiruan dari Wanyan
Peng, tapi tenaganya adalah milik Nyo Ko dan jauh lebih kuat, bagian kelemahan
Wanyan Peng dapat dicukupi oleh kepandaian Nyo Ko yang memang sudah tinggi
sekarang, maka permainannya menjadi sangat rapi.
Keruan Kiu Jian-jio sangat senang, ia berseru: "Anak
Lik, lihatlah, memang inilah ilmu silat Thi-cio-pang kita, ikutilah yang
cermat!"
Diam2 Nyo Ko merasa geli, ia pikir kalau main lebih lama
lagi bisa jadi rahasianya akan terbongkar maka ia lantas berhenti dan berkata:
"sampai di smi tokoh aneh itu sudah menang total dan selesailah,
pertaruhan dahsyat yang kusaksikan itu."
"BoIeh juga kau dapat mengingatnya sedemikian
jelas," kata Kiu Jian~jio dengan gembira "Eh, siapakah nama tokoh
itu, apakah dia menerangkan padamu?"
"Tokoh aneh itu juga lucu kelakuannya, habis menang
beliau terus pergi begitu saja," sahut Nyo-Ko "Hanya dari korbannya
yang terluka daa menggeletak itu kudengar saling menggerundel dan saling
menyalahkan katanya seharusnya mereka jangan mengganggu Kiu-loyacu dari
Thi-cio-pang, sebab hal itu berarti mereka mencari mampus sendiri."
"Ya, kukira orang she Kiu itu besar kemungkinan
adalah anak murid kakakku," ujar Kiu Jian~ jio dengan girang, Dasarnya dia
memang keranjingan ilmu silat, selama berpuluh tahun dia tak dapat bergerak,
kini menyaksikan Nyo Ko memainkan ilmu silat keluarganya itu, tentu saja ia
sangat senang, maka dengan bersemangat ia membicarakan ilmu telapak tangan besi
andalan Thi-cio-pang mereka dengan Nyo Ko dan Lik-oh.
Nyo Ko sendiri sangat gelisah dan ingin cepat2
meninggalkan gua agar dapat antar Coat-ceng-tan kepada Siao - liong - li, maka
ia tidak sabar mengikuti ocehan nenek botak itu. Segera ia memberi isyarat
kepada Lik-oh, Si nona paham maksudnya, segera ia berkata: "lbu, cara
bagaimana engkau mengajarkan ilmu silatmu kepada ayah?"
"Panggil dia Kongsun Ci, tidak perlu menyebutnya
ayah segala!" bentak Kiu Jian-jio dengan gusar.
"Baiklah, harap ibu suka menerangkan," sahut
Lik-oh.
UHm," Kiu Jian-jio mendengus dengan penuh dendam,
selang sejenak baru dia menyambung: "itulah kejadian lebih 20 tahun yang
lalu. Karena kedua kakakku berselisih paham..."
"Wah jadi aku mempunyai dua paman?" sela
Lik-oh.
"Memangnya kau tidak tahu?" Kiu Jian-jio
menegas dengan suara bengis dan menyalahkan sinona.
"Darimana kudapat tahu?" demikian ia membatin
dalam hati. Segera iapun menjawab: "Ya, sebab selama ini tak pernah ada
orang memberi tahukan padaku."
Teringat bahwa sejak kecil Lik-oh tidak mendapat kasih
sayang ibu, betapapun Kiu Jian-jio menjadi terharu juga, segera suaranya
berubah halus, katanya: "Kedua pamanmu itu adalah saudara kembar, Toaku
(paman pertama) bernama Jian-li dan Jiku (paman kedua) bernama Jian-yim. Karena
kembar, maka wajah mereka dan pakaiannya juga serupa seperti pihang dibelah
dua.
Namun watak kedua orang justeru sangat berbeda, ilmu
silat Ji-kumu sangat tinggi, sedangkan kepandaian Toaku hanya biasa saja-
Kepandaianku adalah ajaran langsung dari Jiko (kakak kedua), namun Toako (kakak
pertama) lebih rapat dengan aku, soalnya Jiko menjabat sebagai pangcu
Thi-cio-pang, wataknya keras, pekerjaannya sibuk dan giat berlatih ilmu
silatnya sehingga jarang bertemu muka dengan aku, sebaliknya Toako suka
berkumpul dengan aku, setiap hari selalu memanggil "adik sayang"
padaku. Tapi kemudian antara Toako dan Jiko terjadi selisih paham dan ribut
mulut dengan sendirinya aku rada condong pada pihak Toako."
"Sebab apakah kedua paman itu berselisih
paham?" tanya Lik-oh.
Tiba2 wajah Kiu Jian-jio menampilkan senyuman, katanya:
"persoalannya tidak dapat dikatakan penting, tapi juga tidak boleh
dianggap remeh, Jiko sendiri juga teramat kukuh pada pendiriannya. Maklumlah
bahwa nama Thi-cio-ciu-siang-biau Kiu Jian-yim sudah sangat terkenal didunia
Kang-ouw, sedangkan nama Kiu Jian-li justeru jarang yang tahu diluaran.
Sebab itulah apabila Toako mengembara di luaran,
terkadang dia suka menggunakan nama Jiko, wajah keduanya memang mirip dan
saudaranya sekandung pula, sebenarnya juga tidak apa2 jika meminjam nama
saudaranya sendiri. Namun Jiko justeru sering mengomel mengenai hal itu dan
menganggap Toako suka berdusta dan menipu orang sehingga merugikan nama
baiknya, Sifat Toako memang sabar dan periang, kalau Jiko marah2 dan ngomel,
selalu Toako tertawa dan minta maaf.
Suatu kali Jiko mendamperat Toako secara keterlaluan, aku
tidak tahan dan menimbrung untuk membela Toako, akibatnya aku sendiri bertengkar
dengan Jiko, dalam gusarku terus saja aku meninggalkan Thi-cio-san dan
seterusnya tak pernah pulang lagi kesana.
"Seorang diri aku terlunta-lunta di dunia Kang ouw,
suatu kali aku mengudak seorang penjahat dan sampai di Cui-sian-kok ini, mungkin
sudah suratan nasib, di sini kubertemu dengan Kongsun Gi dan keduanya lantas
menikah.
Usiaku lebih tua beberapa tahun daripada dia, ilmu
silatku juga lebih tinggi, sehabis menjadi suami-isteri kuanggap dia seperti
adikku saja kuajarkan seluruh kepandaianku kepadanya, bahkan kuladeni dan
mencukupi segala kehendaknya sebagai seorang istri yang baik.
Siapa duga kalau bangsat Kongsun Ci itu ternyata manusia
berhati binatang, air susu dibalasnya dengan air tuba, setelah dia menjadi
kuat, ia tidak ingat lagi ilmu silatnya itu berasal dari siapa?"
Sampai disini ia terus saja menghamburkan caci maki
kepada Kongsun Ci dengan istilah2 kasar dan kotor, semakin memaki semakin
menjadi-jadi.
Muka Lik-oh menjadi merah, ia merasa caci maki sang ibu
itu agak kurang pantas didengar oleh Nyo ko, maka cepat ia memanggil
"Ibu!". Namun hamburan kata- kasar Kiu Jian-jio itu sukar dicegah
lagi.
Nyo Ko sendiri juga sangat benci kepada Kongsun Ci, maka
caci maki Kiu Jian-jio terasa sangat mencocoki seleranya, malahan terkadang ia
sengaja membumbui untuk menambah semangat Kiu Jian-jio, kalau saja tidak rikuh
di hadapan Lik-oh, bisa jadi iapun ikut mencaci maki.
BegituIah Kiu Jian-jio terus mencaci maki dengan istilah
yang paling kasar dan aneh sehingga hampir kehabisan bahan makian barulah dia
berhenti, katanya: "Pada tahun aku mengandung kau, wanita yang sedang
hamil dengan sendirinya bersifat agak aseram Tak terduga, lahirnya saja Kongsun
Ci sangat penurut padaku, tapi diam2 main gila dengan seorang pelayan muda.
SemuIa, aku tidak tahu hubungan gelap mereka, kukira
setelah memperoleh seorang puteri yang menyenangkan dia jadi tambah sayang
padaku. Dua tahun kemudian, waktu kau mulai dapat bicara, pada suatu ketika
tanpa sengaja kudengar bangsat Kongsun Ci sedang berembuk dengan pelayan hina
itu akan meninggalkan Cui-sian kok dan meninggalkan anak isterinya."
"Aku sembunyi dibalik sebatang pohon besar dan
mendengar Kongsun Ci mengatakan jeri kepada kelihayan ilmu silatku, maka ingin
minggat sejauhnya untuk menghindari pencarianku, katanya aku telah mengawasi
dia dengan ketat tanpa kebebasan sedikitpun dia merasa bahagia kalau berada
bersama budak hina itu, tadinya kukira Kongsun Ci mencintai aku dengan segenap
jiwa raganya, keruan hampir saja aku jatuh semaput mendengar ucapannya itu,
sungguh aku ingin menerjang maju dan membinasakan sepasang anjing laki
perempuan yang tidak tahu malu itu.
Namun kemudian aku dapat bersabar mengingat hubungan baik
suami isteri sekian lama, kupikir Kongsun Ci adalah orang baik, tentu dia
tergoda oleh mulut manis budak sisa itu sehingga lupa daratan.
"Maka dengan menahan rasa murka aku tetap
mendengarkan pembicaraan mereka, Kudengar mereka mengambil keputusan akan
minggat bersama tiga hari lagi pada waktu aku mengasingkan diri di kamar untuk
berlatih ilmu, biasanya selama tujuh hari tujuh malam aku mengurung diri di
dalam kamar dan tak pernah keluar, pada kesempatan itulah mereka akan kabur dan
bila kemudian kuketahui toh mereka sudah minggat selama tujuh hari, tentu aku
tak dapat mencari atau menyusul mereka.
Aku benar2 mengkirik mendengar keputusan mereka itu,
diam2 aku bersyukur kepada Tuhan yang maha pengasih yang telah memberi
kesempatan padaku untuk mengetahui rencana busuk mereka itu, kalau tidak,
selewatnya tujuh hari, ke mana lagi aku harus mencari mereka?" - Berkata
sampai di sini Kiu Jian-jio terus mengertak gigi dengan penuh rasa gemas dan
dendam.
"Siapakah nama pelayan muda itu? Apakah dia sangat
cantik?" tanya Lik-oh.
"Huh, cantik apa? Dia cuma penurut saja, apa saja
yang dikatakan Kongsun Ci dia hanya menurut belaka, entah dia mempunyai ilmu
silat apa sehingga bangsat Kongsun Ci itu sampai tergoda olehnya. Hm, budak
hina itu bernama Yu-ji."
Diam2 sekarang Nyo Ko menaruh kasihan kepada Kongsun Ci,
ia pikir bukan mustahil Kiu Jian-jio sendiri terlalu bawel dan main kuasa
sehingga menimbulkan rasa benci suaminya sendiri.
Dalam pada itu Lik-oh telah tanya pula. "Kemudian
bagaimana, Bu?"
"Ya, kedua manusia rendah itu telah berjanji lohor
besoknya akan bertemu lagi di situ, cuma selama dua hari keduanya harus
bersikap wajar seperti tidak terjadi apa2 agar rahasia mereka tidak terbongkar
olehku," tutur Kiu Jian-jio pula.
"Habis itu kedua manusia rendah itu asyik rnasyuk
dengan kata2 mesra yang membikin aku hampir saja kelengar saking gusarnya.Pada
esok hari ketiga aku pura2 bersemedi di kamar latihanku, kutahu Kongsun Ci
beberapa kali mengintip di luar jendela dan dapat kuduga dia pasti sangat
gembira sebab mengira rencana mereka akan berhasil.
Tapi begitu dia pergi, segera aku mendahului menuju
ketempat pertemuan mereka yang sudah ditentukan itu. Benar saja Yu-ji sudah
menunggu di situ, Tanpa bicara aku terus seret dia dan kulemparkan ke semak2
bunga cinta."
Nyo Ko dan Lik-oh berseru kaget bersama demi mendengar
Yu-ji juga terkena racun duri bunga cinta.
Kui Jian-jio melototi kedua orang sekejap, lalu
menyambung ceritanya: "Selang tak lama Kongsun Ci juga menyusul tiba,
ketika melihat kekasihnya menjerit dan berkelojotan di tengah semak2 bunga,
tentu saja dia juga kelabakan. Segera aku meloncat keluar dari balik pohon dan
kucengkeram urat nadi pergelangan tangannya dan membanting dia ke semak2 bunga
pula, sebenarnya keluarga Kongsun mereka mempunyai obat penawar racun bunga
cinta, namanya Coa Keng-tan, maka tepat Kongsun Ci merangkak bangun dan
memayang budak hina itu sembari berlari ke kamar obat, maksudnya ingin
mengambil Coat-ceng-tan. Tapi, hahaha, coba terka, apa yang dilihatnya di
sana?"
"Aku tidak tahu," sahut Lik-oh menggeleng.
"Apa yang dilihatnya?"
Nyo Ko sendiri membatin tentu Coat-ceng-tan itu sudah
dimusnahkannya dan tidak bisa lain.
Benar saja segera terdengar Kiu Jian-jio me-nutur lagi:
"Hahaha, di sana dia melihat di atas meja ada sebuah mangkok besar berisi
air warangan, beberapa ratus pil Coat-ceng-tan terendam di dalam air tuba itu.
Kalau minum Coat-ceng-tan tentu juga akan kena racun Warangan, kalau tidak
minum pil itu juga mati akhirnya, sebenarnya tidak sulit bagi Kongsun Ci untuk
meracik lagi Coat-ceng-tan, sebab obat itu berasal dari resep warisan
leluhurnya namun bahan2 obatnya seketika sukar dikumpulkan untuk meraciknya
juga memerlukan waktu ber-bulan2.
Karena putus asa, segera ia berlari ke-kamarku dan
berlutut dihadapanku, ia minta aku mengampuni jiwa mereka berdua, Rupanya dia
yakin aku pasti tidak tega memusnahkan semua Coat-ceng-tan mengingat hubungan
suami-isteri selama ini dan tentu akan disisakan beberapa biji obat itu.
"Begitulah ber-ulang2 dia menampar pipi sendiri dan
mengutuki perbuatannya, ia bersumpah pula, katanya bila aku mangampuni jiwa
keduanya, segera ia akan mengusir Yu-ji dan takkan bertemu selamanya serta
selanjutnya tak berani timbul pikiran tidak senonoh !agi, Waktu minta ampun
padaku masih di-sebut pula nama Yu-ji, tentu saja aku sangat gusar, segera
kukeluarkan satu biji Coat-ceng-tan kutaruh di atas meja dan berkata padanya:
"Coat-ceng-tan hanya bersisa satu biji ini dan cuma dapat menyelamatkan
jiwa seorang saja, Nah kau boleh pilih sendiri, tolong jiwamu sendiri atau
jiwanya, terserah padamu?"
Dia melenggong sejenak, lalu mengambil obat itu dan
berlari kembali ke kamar obat, segera aku menyusul ke sana, sementara budak
hina itu sedang kelojotan saking kesakitan. Kudengar Kongsun Ci berkata:
"Yu-ji, mangkatlah kau dengan baik, biar kumati bersamamu!"
Habis itu lantas melolos pedang, Melihat Kongsun Ci
begitu setia padanya, Yu-ji tampak sangat berterima kasih dan menjawab dengan
setengah merintih: "Baiklah, mari kita menjadi suami isteri di akhirat
saja."
Segera, Kongsun Ci menusukkan pedangnya ke dada Yu-ji dan
matilah dia.
"Diam2 aku terkejut menyaksikan itu dari luar
jendela, kukuatir dia akan menggorok pula lehernya sendiri, sementara itu
kulihat dia sudah angkat pedangnya, baru hendak kucegah dia, tiba2 pedangnya
di-gosok2kannya pada mayat Yu-ji untuk menghilangkan noda darah, lalu pedang
dimasukkan kembali ke sarungnya, kemudian ia berpaling ke arah jendela dan
berkata:
"Niocu (isteriku), aku sudah insaf dengan setulus
hati, Budak hina ini telah kubunuh, sekarang hendaklah engkau mengampuni
diriku." -Habis berkata ia terus minum sendiri Coat-ceng-tan yang
diambilnya tadi.
"Tindakannya sungguh diluar dugaanku, meski aku
merasa perbuatannya itu rada kelewat kejam dan keji, tapi urusan dapat
diselesaikan cara begitu, betapapun aku merasa puas. Malamnya dia mengadakan
perjamuan di kamar dan ber-ulang2 dia me-nyuguh arak padaku sebagai tanda
permintaan maaf padaku, Aku telah mendamperat dia secara pedas, dia juga
mengaku salah dan bersumpah macam2, ia berjanji selanjutnya tak berani berbuat
lagi."
Sampai di sini, air mata Lik-oh tampak berlinang-linang.
"Memangnya kenapa? Apa kau kasihan kepada budak hina
itu?" tanya Kiu Jian-jio dengan gusar.
Lik-oh menggeleng dan tidak menjawab, yang dia sedihkan
sesungguhnya adalah kekejian hati ayahnya itulah.
Lalu Kiu Jian-jio menyambung pula: "Setelah kuminum
dua cawan arak, dengan tersenyum kukeluarkan pula satu biji Coat-ceng-tan,
kutaruh di atas meja dan berkata padanya: "Caramu membunuh dia tadi
agaknya terlalu buru napsu sedikit, sebenarnya aku cuma ingin menguji
pikiranmu, asalkan kau memohon lagi dengan setulus hati, waktu itu tentu akan
kuberikan kedua biji obat sekaligus untuk menyelamatkan jiwa si cantik
itu."
"lbu," cepat Lik-oh bertanya, "jika dia
benar2 memohon begitu padamu apakah betul kau akan memberikan kedua biji obat
itu padanya?"
Kiu Jian-jio termenung sejenak, lalu menjawab
"Entah, aku sendiri pun tak tahu, Pernah juga timbul pikiran pada waktu
itu untuk menyelamatkan jiwa budak hina itu, dengan demikian kupikir Kongsun Ci
akan berterima kasih padaku, lalu tergugah perasaan padaku. Tapi dia untuk
jiwanya sendiri dia telah buru2 menghabisi kekasihnya itu, tentunya aku tak
dapat disalahkan"
"BegituIah dia termenung memegangi Coat-ceng-tan
kedua itu, kemudian dia angkat cawan dan berkata padaku dengan tertawa:
"Jio-cici, urusan yang sudah selesai buat apa dibicarakan lagi, Marilah
kita menghabiskan secawan ini." Dia-terus membujuk aku minum, akupun tidak
menolak karena merasa suatu ganjelan hati telan kubereskan tanpa terasa aku
telah mabok dan tak sadarkan diri. Waktu aku smman kembali, ternyata aku sudah
berada di gua ini, urat kaki tanganku sudah putus, tapi bangsat keparat Kongsun
Ci itupun tidak berani lagi bertemu dengan aku? Hm tentu dia mengira aku sudah
menjadi tulang belulang disini."
Habis menuturkan kisahnya itu, sorot mata Kiui Jian-jio
menjadi beringas, sikapnya sangat menakutkan.
"lbu, selama belasan tahun engkau hidup di gua ini,
apakah berkat buah korma inilah engkau bisa bertahan sampai sekarang?"
tanya Lik-oh.
"Ya, memangnya kaukira Kongsun Ci mau mengirim nasi
padaku setiap hari?" kata Kiu Jian-jio.
Tidak kepalang pedih dan haru hati Lik-oh, ia memeluk
sang ibu dan berseru: "O, lbu!"
"Apakah Kongsun Ci itu dahulu pernah bicara padamu
tentang gua di dalam tanah ini serta jalan keluarnya?" tanya Nyo Ko.
"Hm, sekian lamanya menjadi suami-isteri, belum
pernah dia mengatakan di bawah perkampungannya ini ada sebuah gua sebesar ini,
lebih2 tidak diketahui di kolam sana banyak buayanya," jawab Kiu Jian-jio,
"Tentang jalan keluar gua ini kukira ada, cuma aku adalah orang cacat, apa
dayaku."
Girang sekali Nyo Ko, cepat ia berseru: "Dengan
tenaga kita bertiga tentu bisa."
Segera Lik-oh menggendong sang ibu, dengan petunjuk nenek
itu mereka segera menyusur keujung gua sebelah sana, setiba disamping sebatang
pohon kurma raksasa, Kiu Jian-jio menuding lubang gua bagian atas dan mengejek:
"Nah, jika kau mampu boleh coba kau melompat keluar dari situ!"
Waktu Nyo Ko menengadah, terlihat lubang gua itu
sedikitnya ada ratusan meter tingginya, andaikan dapat memanjat sampai pucuk
pohon juga tak berguna.
Diam2 Nyo Ko mendongkol melihat sikap Kiu Jian-jio yang
sinis, sikap yang mencemoohkan itu, ia pikir kalau aku tidak mampu keluar toh
kau juga takkan bisa keluar, kenapa mesti menyindir?,
Ia coba berpikir sejenak, ia merasa memang serba susah
dan tak berdaya, akhirnya ia berkata: "Coba kupanjat ke atas pohon,
sekiranya dapat kulihat sesuatu di sana."
Segera ia melompat keatas pohon kurma besar itu dan
memanjat ke pucuknya, dilihatnya dinding gua itu berlekak-lekuk tidak merata
dan tidak selicin di bagian bawah, ia coba menarik napas panjang2, lalu
melompat ke dinding goa terus merambat ke atas. makin merayap makin tinggi,
diam2 ia girang. ia menoleh dan berseru kepada Lik - oh : "Nona Kongsun,
jika aku berhasil keluar goa ini, segera kuturunkan tali untuk mengerek kalian
ke atas."
ia terus merayap hingga ratusan meter, berkat Ginkangnya
yang tinggi segala rintangan dapatkah diatasinya, Tapi ketika 20-an meter
hampir mencapai mulut gua itu, dinding gua itu ternyata licin luar biasa dan
tiada tempat lagi yang dapat dipegang atau dipijak, bahkan dindingnya miring ke
bagian dalam, dalam keadaan begitu hanya cecak, lalat atau sebangsanya saja
yang dapat merayap ke atas tanpa kuatir akan terpeleset ke bawah.
Nyo Ko mengamati sekitar situ, diam2 ia mendapatkan akal.
Segera ia merosot turun ke dasar gua dan berkata kepada Lik-oh berdua:
"Mungkin dapat keluar. Cuma kita harus membuat seutas tambang yang panjang
dan kuat,"
Segera ia mengeluarkan belati dan mengumpulkan kulit
pohon kurma untuk dipintal menjadi tambang yang kuat Lik-oh juga membantunya.
Menjelang magrib barulah mereka berhasil memintal seutas tambang kulit pohon
kurma yang sangat panjang, Nyo Ko menarik dan membetot sekuatnya tambang
buatannya itu, lalu berkata: "Cukup kuat, takkan putus."
Lalu ia memotong sebatang dahan pohon sepanjang tiga
meteran, sebelah ujung tambang itu di-ikatnya di tengah dahan pohon itu, lalu
di bawanya serta memanjat lagi ke atas dinding gua. Setiba di tempat yang dapat
dicapainya tadi, ia pasang kuda2 dan berdiri dengan mantap pada dinding, ia
kumpulkan tenaga pada tangannya, lalu membentak: "Naik!"
Sekuatnya ia lemparkan dahan pohon bertali tadi keluar
mulut gua.
Tenaga yang dia gunakan ternyata sangat tepat, waktu
dahan pohon itu jatuh ke bawah lagi, dengan tepat melintang dan menyangkut di
mulut gua itu, Cepat Nyo Ko menarik tambang panjang itu beberapa kali dan
terasa cantolan dahan pohon sangat kukuh dan cukup kuat menahan bobot tubuhnya.
Dengan girang ia menoleh ke bawah dan berseru: "Aku naik ke atas!"
Habis itu kedua tangannya bekerja cepat bergantian,
dengan gesit ia merambat ke atas. Waktu ia memandang lagi ke bawah, samar2 ia
melihat bayangan kepala Lik-oh dan ibunya telah berubah menjadi dua titik
kecil.
Girang dan lega sekali hati Nyo Ko mengingat tidak lama
lagi dapat menyampaikan Coat-ceng-taa kepada Siao-liong-Ii, karena itu ia
merambat terlebih giat, hanya sebentar saja tangannya sudah dapat meraih dahan
pohon yang melintang di mulut gua itu, sekali tarik, cepat sekali tubuhnya
melayang keluar gua dan menancapkan kakinya di atas tanah.
Ia menarik napas dan membusungkan dada, di lihatnya
rembulan baru muncul dari balik gunung, Hampir sehari terkurung di gua bawah
tanah yang ampek dan gelap itu kini mendapatkan kembali kebebasan terasalah
segar tak terkatakan. Segera ia mengulurkan tali panjang itu kebawah.
Melihat Nyo Ko berhasil keluar gua, kontan Kiu Jian-jio
marah2 dan mendamprat anak perempuannya: "Goblok, mengapa kau membiarkan
dia keluar sendirian? Sesudah keluar masakah dia ingat lagi pada kita?"
"Jangan kuatir, ibu, Nyo-toako bukanlah manusia
begitu," ujar Lik-oh.
"Huh, semua lelaki di dunia ini sama saja, mana ada
yang baik?" kata Kiu Jian-jio dengan gusar Mendadak ia berpaling dan
mengamat-amati Lik-oh dari ubun2 hingga ujung kaki, lalu menatap wajahnya dan
berkata pula: "Anak bodoh, kau telah kena digasak olehnya, bukan?"
Muka Lik-oh" menjadi merah, jawabnya: "Apa yang
kau maksudkan, ibu, aku tidak paham."
Kiu Jian-jio tambah gusar, damperatnya: "Kau tidak paham?
Tapi mengapa mukamu merah? Ketahuilah bahwa terhadap lelaki sedikitpun tidak
boleh longgar, harus kau pegang ekornya kencang2, tidak boleh lena, cermin yang
paling baik adalah nasib ibumu ini!"
Tengah mengomel, mendadak Lik-oh memburu kesana dan menangkap
ujung tali yang dijulurkan Nyo Ko itu, cepat ia mengikat kencang pinggang sang
ibu, katanya dengan tertawa: "Lihatlah-ibu, bukankah Nyo-toako tetap ingat
kepada kita?"
"Hm," Kiu Jian-jio, "kau harus dengar
pesan ibumu ini, nanti setelah berada diluar sana, kau harus kuntit dia
serapatnya, selangkahpun tidak boleh berpisah tahu tidak?"
Lik-oh merasa dongkol, geli dan duka pula, ia tahu maksud
baik sang ibu, tapi iapun pikir masakah Nyo Ko mau memperhatikan dia? Tiba2
matanya menjadi merah dan basah, cepat ia berpaling ke sana,
Kiu Jian-jio hendak mengoceh pula, tapi mendadak
pinggangnya terasa kencang, tubuhnya lantas melayang ke atas.
Sambil mendongak Lik-oh mengikuti sang ibu yang dikerek
ke atas itu. meski yakin sebentar lagi Nyo Ko pasti akan menurunkan lagi
talinya untuk menolong dirinya. namun berada seorang diri di dalam gua
sekarang, mau - tak - mau ia menjadi gemetar dan takut.
Setelah mengerek Kiu Jian-jio keluar gua, ce-pat Nyo Ko
melepaskan tali dari pinggang orang tua itu, lalu di ulur lagi ke dalam gua.
Girang sekali Lik-oh, ia ikat pinggang sendiri dengan tali kulit pohon itu,
lalu ia sendal tali itu beberapa kali sebagai tanda siap, segera terasa tali
itu tertarik kencang, tubuhnya terus mengapung keatas.
Lik-oh melihat pohon kurma dibawah itu makin mengecil,
sebaliknya titik2 bintang di atas sana makin terang, rasanya sebentar lagi
dirinya pasti dapat keluar gua.
Pada saat itulah mendadak terdengar gertakan seorang,
menyusul tali kulit pohon itu lantas mengendus tubuh Lik-oh terus anjlok ke
bawah dengan cepat Terjatuh dari ketinggian ratusan meter itu, mustahil
tubuhnya takkan hancur lebur?
Keruan Lik-oh menjerit kaget, hampir saja ia pingsan,
dirasakan tubuhnya terjerumus terus ke bawah, sedikitpun tak berkuasa.
Sungguh kejutnya tidak kepalang, ia tidak sempat
memikirkan membalik tubuh untuk menghadapi musuh, tapi kedua tangannya
bergantian dengan cepat menarik talinya, Namun segera terdengar angin
menyamber, sebatang tongkat baja yang amat berat telah menghantam tubuhnya.
Dari suara samberan senjata itu Nyo Ko lantasr tahu
penyerang itu ialah Hoat It-ong, dalam keadaan kepepet terpaksa ia gunakan
tangan kiri untuk menangkis, ia berusaha mendorong tongkat lawan ke samping
agar hantaman itu dapat dipatahkan
Hoat lt-ong merasa dendam karena jenggot kesayangannya
kena dikacip oleh Nyo Ko, maka serangannya tidak mengenal ampun. Sekali putar
tongkatnya membalik terus menyabet lagi ke pinggang Nyo Ko dengan sepenuh
tenaga, kalau kena, maka tubuh Nyo Ko pasti akan patah menjadi dua.
Dalam keadaan cuma tangan kanan saja digunakan untuk
menahan bobot tubuh Kongsun Lik-oh, ditambah lagi tali yang panjangnya ratusan
meter itupun cukup berat, lama2 terasa payah juga bagi Nyo Ko. Ketika melihat
tongkat musuh menyamber tiba pula, terpaksa ia gunakan tangan kiri pula untuk
menahannya.
Di luar dugaan bahwa samberan tongkat Hoan It-ong sekali
ini sungguh luar biasa dahsyatnya, begitu tangan kiri Nyo Ko menyentuh tongkat,
seketika tubuhnya tergetar, tangan kanan menjadi kendur, tali yang dipegangnya
terlepas, tanpa ampun tubuh Lik-oh terus anjlok ke bawah dengan cepat.
Di dalam gua itu Lik-oh menjerit kaget, di luar gua Nyo
Ko dan Kiu Jian-jio juga berteriak kuatir, Nyo Ko tidak sempat memikirkan lagi
serangan tongkat musuh, cepat tangan kirinya meraih, dengan setengah berjongkok
ia berusaha memegang tali panjang itu, namun daya jatuh Lik-oh itu sungguh
hebat sekali, bobot tubuh yang ratusan kati itu ditambah daya jatuhnya yang
keras itu total jenderal bisa mencapai ribuan kati beratnya.
Ketika Nyo Ko berhasil memegang tali dan bertahan, segera
iapun kena dibetot oleh daya anjloknya tubuh Lik-oh yang hebat itu, tanpa kuasa
ia sendiripun ikut terjerumus ke dalam gua dengan terjungkir, kepala dibawah
dan kaki di atas.
Meski sekarang ilmu silat Nyo Ko sudah mencapai tingkatan
kelas satu, tapi lantaran tubuh terapung di udara, pula daya turun tubuh Lik-oh
itu se-akan2 membetotnya kebawah, maka ia menjadi mati kutu, kecuali ikut jatuh
ke bawah, kepandaiannya sedikitpun tak dapat di keluarkannya.
Menyaksikan kejadian itu, sungguh rasa kaget dan kuatir
Kiu Jian-jio tidak kurang dari pada Nyo Ko dan Lik-oh. Karena dia lumpuh, ilmu
silatnya sudah punah, sama sekali ia tak dapat berbuat apa2 dan cuma kuatir
belaka. Dilihat tali yang panjangnya beratus meter itu masih terus melorot dan
makin pendek, asalkan tali itu ha-bis, maka riwayat Nyo Ko dan Kangsun Lik-oh
juga tamat
Karena tali itu hampir habis terserot ke dalam gua,
saking kerasnya tertarik oleh bobot tubuh Nyo Ko dan Lik-oh, mendadak bagian tali
yang masih tersisa belasan meter itu beterbangan menyebar kesamping Kiu
Jian-jio. Tergerak pikiran nenek itu, ia pikir keparat cebol itu telah membikin
celaka anak perempuannya, biarlah ku-bikin kau mampus juga.
Sungguh hebat daya jatuh Lik-oh dan berat tali ratusan
meter itu, sehingga Nyo Ko ikut terjerumus jungkir balik ke dalam sumur.
Begitulah ia lantas incar tali itu, sebelah tangannya
menyampuk pelahan, sampukan itu tak memerlukan banyak tenaga, tapi arahnya
sangat tepat, ketika bagian tali itu menyamber ke sana, dengan tepat terus
melilit beberapa putaran di pinggang Hoan It-ong.
Maksud tujuan Kiu Jian-jio sebenarnya ingin membikin Hoan
lt-ong ikut terseret ke dalam gua dan mati terbanting, sebab ia merasa tidak
dapat menyelamatkan jiwa putrinya, Siapa tahu si kakek cebol yang berwajah
jelek ini ternyata memiliki tenaga sakti yang luar biasa kuatnya, ketika
mendadak merasa pinggangnya terbelit tali dan mengencang, cepat ia menggunakan
kepandaian Jian-kin tui ( ilmu membikin berat tubuh laksana ribuan kati ) untuk
menahan geseran tubuhnya.
Namun gabungan bobot tubuh Nyo Ko bersama Lik-oh ditambah
lagi daya anjlokan ke bawah yang maha dahsyat itu tetap menyeretnya ke depan
selangkah demi selangkah menuju mulut gua, tampaknya kalau dia melangkah lagi
satu-dua tindak tentu dia akan ikut terjungkel masuk gua itu, Saking kagetnya
ia pegang tali itu sekuat-kuatnya sambil ditarik kebelakang, bahkan disertai
dengan bentakan menggelegar dan sungguh hebat, tali itu ternyata kena
ditariknya hingga berhenti seketika.
Padahal waktu itu jarak Lik-oh dengan permukaan tanah
hanya tinggal belasan meter saja, boleh dikatakan mendekati detik terakhir
ajalnya, Maklumlah, justru daya anjlokan itulah yang paling berbahaya, biarpun
sepotong batu kecil saja jika dijatuhkan dari tempat setinggi itu juga akan
membawa kekuatan yang amat besar, apalagi bobot tubuh manusia.
Ketika Hoan It-ong berhasil menahan daya anjlokan itu
dengan tenaga saktinya, maka bobot dua tubuh manusia ditambah tali panjang
beratus meter yang seluruhnya paling2 cuma dua-tiga ratus kati saja boleh
dikatakan tiada artinya lagi baginya.
Dengan sebelah tangannya segera ia hendak melepaskan
lilitan tali pada pinggangnya itu dan akan menjerumuskan lagi kedua orang,
Tapi sebelum dia sempat berbuat lebih banyak, se-konyong2
punggungnya terasa sakit sebuah benda runcing tepat mengancam pada
Leng-tay-hiat dibagian tulang punggung, Suara seorang wanita lantas
membentaknya pula: "lekas tarik ke atas!"
Sekali Leng-tay tertusuk, segenap urat nadi putus semua !
Tidak kepalang kaget Hoan It-ong, "sekali
Leng-tay-hiap tertusuk, segenap urat nadi putus semua" adalah istilah yang
sering diucapkan gurunya di waktu mengajarkan ilmu Tiam-hiat padanya, artinya
kalau Hiat-to yang dimaksud itu terserang, maka binasalah orangnya.
Maka Hoat It-ong tidak berani membangkang terpaksa kedua
tangannya bekerja cepat untuk menarik Nyo Ko dan Lik-oh ke atas. Tapi ketika
menahan daya anjlokan tadi ia sudah terlalu hebat mengeluarkan tenaga, kini
dada terasa sesak dan darah bergolak akan tersembur keluar, ia tahu dirinya
telah terluka dalam, celakanya bagian mematikan terancam musuh pula, terpaksa
ia berusaha mati2an menarik tali.
Dengan susah payah akhirnya Nyo Ko dapat ditarik ke atas,
hatinya menjadi rada lega, seketika tangannya menjadi lemas, kontan darah
tertumpah dari mulutnya, dengan lemas iapun roboh terkulai.
Karena robohnya Hoat It-ong itu, tali yang dipegangnya
itu terlepas dan merosot lagi ke dalam gua. Keruan Kiu Jian-jio terkejut, cepat
ia berteriak "Lekas tolong Lik-ji!"
Tanpa disuruh juga Nyo Ko lantas menubruk maju dan syukur
masih keburu memegang tali itu, akhirnya Lik-oh dapat dikerek ke atas.
Mengalami naik turun beberapa kali di lorong sumur itu,
Lik-oh seperti bercanda saja dengan maut, keruan ia pingsan saking ketakutan.
Cepat Nyo Ko menutuk Hiat-to Hoan It-ong agar kakek cebol
itu tidak dapat berkutik, habis itu barulah dia tolong Lik-oh, ia pijat
Jin-tiong-hiat (antara atas bibir dan bawah hidung ) nona itu, tidak Iama nona
itupun siuman.
Pelahan2 Lik-oh membuka matanya, ia tidak tahu lagi
dirinya berada dimana sekarang, di bawah sinar bulan samar2 dilihatnya Nyo Ko
berdiri di depannya dan sedang memandangnya dengan tersenyum simpul.
Tanpa tahan ia terus menubruk ke dalam pelukan pemuda itu
sambil berseru: "O, Nyo-toako, apakah kita sudah berada di akhirat?"
Sambil merangkul si cantik, dengan tertawa Nyo Ko
menjawab: "Ya, kita sudah mati semua,"
Mendengar ucapan Nyo Ko itu mengandung nada kelakar,
cepat Lik-oh mendongak untuk memandang muka pemuda itu, tapi segera dilihatnya
pula sang ibu sedang menatap padanya dengan senyum2 aneh, ia menjadi jengah dan
cepat melepaskan diri dari pelukan Nyo Ko.
Betapapun Nyo Ko sangat kagumi terhadap Kiu Jian-jio yang
lumpuh itu tapi dapat mengatasi Hoan-It-ong untuk menyelamatkan jiwanya, segera
ia bertanya: "Dengan cara bagaimana tadi engkau membikin kakek cebol ini
mati kutu?".
Kiu Jian-jio tersenyum dan angkat sebelah tangannya,
kiranya yang dipegangnya ada sepotong batu kecil yang ujungnya runcing. Karena
kepandaian Kongsun Ci adalah ajaran Kiu Jian-jio sendiri, sedangkan Hoan It-ong
adalah murid Kongsun Ci, maka tidak heran kalau Hoan It-ong dibikin mati kutu
oleh ancaman Kiu Jian-jio walaupun sebenarnya nenek itu tak bertenaga sama
sekali.
Kini yang terpikir oleh Nyo Ko hanya keselamatan
Siao-liong-li saja, sedangkan Kongsun Lik-oh dan Kiu Jian-jio sudah berada di
tempat yang aman, Hoan It-ong juga sudah dibuatnya tak berkutik, segera ia
berkata: "Harap kalian berdua menunggu sebentar, aku perlu mengantarkan
Coat-ceng-tan lebih dulu."
Kiu Jian-jio menjadi heran, tanyanya: "Coat-ceng-tan
apa? Kau juga punya?"
"Ya, lihatlah ini, bukankah ini Coat-eeng-tan
tulen?" jawab Nyo Ko. Lalu ia mengeluarkan botol kecil dan menuang pil
yang berbentuk persegi itu.
Setelah mengambilnya dan diendus beberapa kali, Kiu
Jian-jio berkata: "Betul, inilah Coat-ceng tan, Mengapa obat ini bisa
berada padamu? Kau sendiri terkena racun bunga cinta, mengapa pula kau tidak
meminumnya sendiri?"
"Soal ini cukup panjang untuk diceritakan."
ujar Nyo Ko, "nanti setelah kuantarkan obat ini akan kuceritakan kepada
Locianpwe." Habis itu ia terima kembali obat itu terus hendak melangkah
pergi.
Sedih dan prihatin pula hati Lik-oh, dengan perasaan
hampa ia berkata: "Nyo-toako, kalau ayahku merintangi kau, kukira kau
harus mencari suatu akal yang baik."
"Kembali ayah!" bentak Kiu Jian-jio, "Jika
kau memanggjl dia ayah lagi, selanjutnya kau jangan memanggil ibu padaku,"
"Kuantar obat untuk menyembuhkan Kokoh yang
keracunan itu, tentu Kongsun Kokcu takkan merintangiku," ujar Nyo Ko.
"Tapi kalau dia menjebak dengan cara lain?"
kata Lik-oh pula.
"Apa boleh buat, terpaksa kubertindak menurut
keadaan," jawab Nyo Ko.
Kiu Jian-jio menjadi curiga melihat tekad Nyo Ko itu,
segera ia bertanya: "Jadi kau perlu menemui Kongsun Ci, begitu?"
Nyo Ko mengatakan tanpa sangsi.
"Baik, aku ikut kesana, mungkin dapat kubantu kau
apabila perlu," kata Kiu Jian-jio
Maksud tujuan Nyo Ko hanya ingin menyelamatkan
Siao-liong-ii belaka dan tidak pernah memikirkan urusan Jain, sekarang
mendengar Kiu Jian-jio ingin ikut, mendadak timbul setitik cahaya dalam
benaknya, pikirnya: "Kalau saja isteri pertama Kokcu bangsat muncul
mendadak, masakah dia dapat menikahi Kokoh lagi?"
Sungguh girangnya tak terkatakan, Tapi tiba2 teringat
puia: "Coat-ceng-tan hanya ada satu biji, meski dapat menyelamatkan jiwa
Kokoh, diriku tetap tak terhindar dari kematian." - Berpikir demikian,
seketika ia menjadi sedih pula.
Melihat air muka Nyo Ko sebentar gembira dan lain saat
sedih, Lik-oh menjadi bingung, apalagi ayah-ibunya sebentar lagi bakal bertemu
kembali dan entah bagaimana jadinya nanti, sungguh kacau benar pikirannya.
Sebaliknya Kiu Jian-jio tampak sangat senang dan
bersemangat, ia berseru: "Hayo anak Lik, lekas gendong aku ke sana!"
"Kukira ibu perlu mandi dulu dan berganti
pakaian," ujar Lik-oh.
Sesungguhnya dia cuma takut menyaksikan adegan pertemuan
kembali ayah-bundanya nanti, maka maksudnya sengaja mengulur tempo belaka.
Kiu Jian-jio menjadi gusar, omelnya: "Memangnya
bajuku hancur dan badanku kotor begini karena perbuatan siapa? Apakah..."
Sampai disini, tiba2 teringat olehnya dahulu Toako Kiu Jian-li sering menyamar
menjadi Jiko Kiu Jian-yim untuk menggertak orang di dunia Kangouw dan tidak
sedikit tokoh persilatan yang mengkerut kena di-gertaknya.
Kini diri sendiri dalam keadaan lumpuh dan pasti bukan
tandingan Kongsun Ci, sekalipun nanti berhadapan juga sakit hati sukar
terbalas, jalan satu2nya hanya menyaru sebagai Jiko untuk menggertak Kongsun
Ci, biar nyalinya pecah dan ketakutan setengah mati, habis itu barulah kuturun
tangan menurut gelagat nanti, untungnya Kongsun Ci tidak pernah kenal Jiko,
pula mengira diriku sudah mati di dalam gua bawah tanah itu, dia pasti tidak
curiga.
Begitulah diam2 Kiu Jian-jio merencanakan cara
menundukkan Kongsun Ci nanti, Tapi segera berpikir pula :"Sekian tahun
menjadi isterinya, masakah dia akan pangling padaku?"
Melihat si nenek ter-mangu2 ragu Nyo Ko dapat menerka
sebagian apa yang dipikirkan orang tua itu, katanya kemudian: "Apakah
engkau takut dikenali Kongsun Ci? Haha, jangan kuatir aku mempunyai sesuatu
barang mestika."
Segera ia mengeluarkan kedok kulit dan dipakai pada
mukanya sendiri, benar saja wajahnya lantas berubah sama sekali, seram
menakutkan tanpa emosi.
Kau Jian -jio sangat girang, cepat ia terima kedok kulit
tipis itu, katanya: "Anak Lik, kau mendekati belakang perkampungan dan
sembunyi dihutan sana, lalu kau menyusup kesana mengambilkan sehelai baju
coklat serta sebuah kipas bulu, jangan lupa."
Lik-oh mengiakan, lalu ia berjongkok dan menggendong sang
ibu
Waktu Nyo Ko memandang sekeiilingnya, kiranya mereka
berada di atas bukit yang dikelilingi hutan yang lebat, perkampungan
Cui-sinkouw tampak remang2 di sebelah bukit sana.
Sambil menghela napas Kiu Jian - jio berkata "Bukit
ini bernama Le-kui-hong (bukit hantu) konon dipuncak bukit ini sering ada hantu
yang mengganggu orang, maka biasanya tiada orang berani naik ke sini. Tak
tersangka bahwa kelahiranku kembali didunia ini justeru berada di bukit-ini."
Segera Nyo Ko membentak Hoan It-ong untuk mengorek
keterangannya: "Lekas katakan, untuk apa kau datang ke sini?"
Meski berada dalam cengkeraman musuh, sedikitpun Hoan It
- ong tidak gentar, ia balas membentak: " Tidak perlu banyak omong, lekas
kau bunuh saja diriku!"
"Kongsun Kokcu yang mengirim kau kesini,
bukan?" desak pula Nyo Ko.
"Benar." jawab Hoan It-ong dengan gusar,
"Suhu memerintahkan aku memeriksa sekitar bukit ini untuk menjaga
penyusupan musuh ke sini, Ternyata dugaan beliau tidak meleset, memang betul
ada orang sedang main gila disini,"
Sembari bicara ia terus mengawasi Kiu Jian-jio, ia heran
siapakah nenek botak ini, mengapa nona Kongsun memanggil ibu padanya?
Maklumlah usia Hoan It-ong memang jauh lebih tua dari
pada Kiu Jiang-jio dan Kongsun Ci, dia sudah mahir ilmu silat sebelum berguru
pada Kongsun Ci, waktu masuk perguruan ia tidak pernah bertemu dengan Kiu
Jian-jio karena sudah dijebloskan ke dalam gua bawah tanah oleh Kongsun Ci.
Tapi dari percakapan Nyo Ko bertiga Hoan It-ong yakin mereka pasti akan
memusuhi sang guru.
Kiu Jian-jio menjadi gusar, dari nada ucapan Hoan It-ong
dapat diketahuinya kakek cebol itu jelas sangat setia kepada Kongsun Ci, segera
ia berseru kepada Nyo Ko: "Lekas binasakan dia daripada menanggung risiko
dikemudian hari."
Nyo Ko menoleh, dilihatnya Hoan It-ong tidak gentar
menghadapi kemungkinan dibunuhnya, diam2 ia kagum akan sikapnya yang jantan
itu, iapun tidak ingin membantah keinginan Kiu Jian-jio, maka katanya kepada
Lik-oh: "Nona Kongsun, boleh kau gendong ibumu turun dulu ke sana, segera
aku menyusul setelah kubereskan si cebol ini."
Kongsun Lik-oh kenal pribadinya Toa-suheng-nya yang baik
itu, ia tidak tega melihat Hoan It-ong mati konyol, maka ia mohon ampun:
"Nyo-toako..."
"Lekas berangkat... lekas!" mendadak Kiu
Jian-jio menyentaknya dengan gusar, "Apa yang kukatakan selalu kau bantah,
percuma punya anak perempuan seperti kau."
Lik-oh tak berani bicara Iagi, cepat ia menggendong sang
ibu dan turun dari bukit itu.
Nyo Ko mendekati Hoan It-ong dan membuka Hiat-to bagian
lengan yang ditutuknya tadi, lalu berkata dengan suara tertahan:
"Hoan-heng, Hiat-to pada kakimu yang kututuk tadi akan buyar dengan
sendirinya setelah lewat 6 jam, selamanya kita tidak ada permusuhan apapun, aku
tidak ingin mencelakai kau," Habis berkata ia terus menyusul Lik-oh dengan
Ginkangnya yang tinggi.
Sebenarnya Hoan It-ong sudah pejamkan mata dan menunggu
ajal, sama sekali ia tidak menduga Nyo Ko akan berlaku begitu baik padanya,
seketika ia melenggong kesima dan memandangi bayangan ketiga orang menghilang
dibalik pepohonan yang kelam sana.
Setelah menyusuInya, Nyo Ko merasa langkah Lik-oh terlalu
lambat, segera ia berkata: "Kiu-locianpwe, biar aku saja yang menggendong
engkau."
Tadinya Lik-oh merasa kuatir antara Nyo Ko dan ibunya
sering tidak cocok dalam pembicaraan kini pemuda itu menyatakan mau menggendong
sang ibu, tentu saja ^Lik-oh sangat girang, katanya: "Wah, bikin susah kau
saja."
"Dengan susah payah aku mengandung sepuluh bulan
barulah melahirkan anak perempuan secantik ini, sekarang tanpa kau minta sudah
kuberikan padamu, masakah menggendong sebentar bakal mertua juga enggan?"
demikian omel Kiu Jian-jio.
Nyo Ko melengak dengan perasaan kikuk, ia merasa tidak
enak untuk menanggapi ucapan orang tua itu, Segera ia mengangkat tubuh Kiu
Jian-jio ke punggung sendiri, lalu dibawanya berlari secepat terbang ke bawah
bukit.
Kiu Jian-yim, yaitu kakak kedua Kiu Jian-Jio yang
menjabat ketua Thi-cio-pang dahulu terkenal dengan julukan
Thi-cio-cui-siang-biau, sitelapak tangan besi melayang di permukaan air,
julukan yang menggambarkan kelihayan Ginkangnya. DahuIu dia pernah berkelahi
dengan Ciu Pek-thong secara maraton dimulai dari daerah Tionggoan sampai ke
wilayah barat dekat Tibet, Tokoh yang berkepandaian tinggi seperti Lo-wan-tong
saja sukar menyusulnya.
Sedangkan Kanghu (kepandaian silat-Kungfu) Kiu Jian-jio
adalah ajaran sang kakak, Ginkangnya juga kelas satu, tapi sekarang berada di
punggung Kyo Ko, rasanya pemuda itu berlari sedemikian cepat dan mantap
langkahnya se-olah2 kaki tidak menempel tanah, mau-tak-mau Kiu Jian-jio sangat
kagum dan heran puIa, ia pikir Ginkang anak muda ini jelas tidak sama dengan
Ginkang perguruanku sebagaimana ilmu pukulan yang pernah ia mainkan kemarin,
namun jelas kepandaiannya tidak dibawah kanghu Thi-cio-pang dan sama sekali
tidak boleh diremehkan.
Tadinya Kiu Jian jio merasa rugi kalau anak perempuannya
mendapatkan suami seperti Nyo Ko, soalnya puterinya sudah suka, ia merasa apa
boleh buat. Tapi sekarang ia mulai merasakan bakal menantu ini sedikitpun tidak
merendahkan harga diri anak perempuannya.
BegituIah hanya sebentar saja Nyo Ko sudah membawa Kiu
Jian-jio sampai dibawah bukit, waktu ia menoleh, tertampak Lik-oh masih
tertinggal di pinggang bukit, sejenak kemudian barulah nona itu dapat menyusulnya
dan kelihatan napas memburu dan dahi berkeringat.
Dengan hati2 mereka bertiga memutar ke belakang
perkampungan Cui-sian-kok, Lik-oh tidak berani masuk ke sana melainkan pergi
kepada seorang tetangga untuk meminjam baju buat dipakai sendiri, selain itu
iapun meminjam baju dan kipas yang diperlukan sang ibu.
Kiu Jian-jio mengembalikan bajunya kepada Nyo Ko, lalu
memakai kedok kulit serta memakai baju coklat, dengan tangan memegang kipas
serta dipayang Nyo Ko dan Lik-oh di kanan-kiri, menujulah mereka ke pintu
gerbang perkampungan.
Waktu memasuki pintu itu, pikiran ketiga orang sama2
bergolak hebat, sudah belasan tahun Kiu Jian-jio meninggalkan perkampungan ini
dan sekarang berkunjung lagi ke sini, sungguh sukar dilukiskan perasaannya pada
waktu itu.
Terlihat pintu gerbang perkampungan itu ada beberapa
pasang lampu kerudung warna merah yang sangat besar, jelas itulah pajangan pada
rumah yang sedang berpesta perkawinan, suara tetabuhan juga terdengar
berkumandang dari ruangan pendopo sana.
Ketika para centeng melihat Kiu Jian-jio dan Nyo Ko,
mereka sama melengak bingung, Tapi lantaran mereka didampingi Kongsun Lik-oh,
dengan sendirinya para centeng itu tak berani merintanginya.
Langsung mereka masuk ke ruangan pendopo yang penuh
dengan tetamu dan dalam suasana riang gembira itu.
Kelihatan Kongsun Ci memakai baju merah dan berdandan
sebagai pengantin laki2 berdiri di sebelah kiri Di sebelah kanan pengantin
perempuan bertopi bertabur mutiara dan kembang goyang, meski wajahnya tidak
kelihatan karena memakai kerudung, tapi dilihat dari perawakannya yang ramping,
siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li?
Se-konyong2 sinar api berkelebat menyusul terdengar suara
letusan beberapa kali, suara mercon.
"Tiba saat bahagia, pengantin baru disilakan
bersembahyang!" demikian pembawa upacara berseru.
Pada waktu itulah mendadak Kiu Jian-jio bergelak tertawa,
suaranya menggetar hingga genting rumah sama berkelotek, cahaya lilin juga
berguncang, Menyusul ia berseru lantang: "pengantin baru bersembahyang,
pengantin lama lantas bagaimana?"
Meski urat kaki tangannya sudah putus, namun Lwekangnya
sama sekali belum punah, apalagi selama belasan tahun ia tekun berlatih dalam
gua bawah tanah tanpa terganggu, maka hasil latihan belasan tahun itu boleh
dikatakan satu kali lipat lebih kuat daripada latihan orang biasa.
Maka suara seruannya itu sungguh keras luar biasa
sehingga anak telinga semua orang serasa mendenging, suasana menjadi suram,
sebagian besar lilin yang memenuhi sudut2 ruangan itu sama padam.
Semua orang terkejut dan berpaling ke sana, Kongsun Ci
juga kaget mendengar suara bentakan hebat itu, ia menjadi bingung dan waswas.
Ketika nampak Nyo Ko dan anak perempuannya muncul di situ tanpa kekurangan
sesuatu mendampingi orang berkedok yang aneh itu.
"Siapakah saudara?" segera Kongsun Ci
membentak.
Kiu Jian-jio sengaja membikin serak suaranya dan
menjengek: "Hm, aku adalah sanak pamilimu yang terdekat, masakah kau pura2
tidak kenal padaku?"
Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain2 juga
sama tertarik oleh suara Kiu Jian-jio yang hebat itu, mereka tahu orang aneh
ini pasti bukan sembarang orang, serentak mereka memusatkan perhatian.
Melihat Kiu Jian-jio memakai baju coklat dan membawa
kipas, dandanannya persis seperti Kiu-Jian-yim yang pernah diceritakan oleh
isterinya dahulu, Namun ia merasa janggal bahwa Kiu Jian-yim bisa mendadak
datang ke sini.
Tampaknya kedatangan orang tidak bermaksud baik, diam2 ia
siap siaga, Dengan dingin iapun berkata pula: "Selamanya kita tidak kenal,
mengapa kau mengaku sanak pamiliku segala? Sungguh menggelikan!"
Di antara hadirin itu In Kik-si paling paham kisah dunia
persilatan di masa lampau, melihat dandanan Kiu Jian-jio itu, seketika
pikirannya tergerak, legera iabertanya: "Apakah tuan ini
Thi-cio-cui-siang-biau Kiu Jian-yim, Kiu-locianpwe?"
Kiu Jian-jio sengaja ter-bahak2 dan menggoyang-goyang
kipasnya, lalu menjawab: "Hahahaha! Kukira orang yang kenal diriku sudah
mati semua, kiranya masih sisa seorang kau ini!"
Kongsun Ci tenang saja, katanya kemudian: "Apakah betul
saudara ini Kiu Jian-yim? Hah, kukira tiruan belaka!"
Kiu Jian-jio terkejut akan kecerdikan orang, ia menjadi
ragu pula jangan2 penyamarannya itu telah diketahui Maka ia cuma mendengus saja
tanpa menjawab.
Sementara itu Nyo Ko tidak pedulikan permainan apa yang
sedang terjadi pada bekas suami~ isteri itu, ia menyerobot ke samping
Siao-liong-li, dengan tangan kanan membawa Coat-ceng-tan, tangan kiri-terus
menyingkap kerudung muka si nona sambil berseru : "Kokoh, lekas buka mulut
-mu!"
Jantung Siao-liong-li berdebar juga ketika mendadak
nampak Nyo Ko berada di depannya, WHe, engkau betul sudah sembuh!" serunya
girang bercampur kejut.
Kini Siao-liong-Ii sudah tahu betapa keji hati Kongsun Ci
serta tindak tanduknya yang tidak baik, sebabnya dia menyanggupi akan menjadi
istrinya hanya demi menyelamatkan jiwa Nyo Ko saja, kini nampak anak muda itu
muncul mendadak, disangkanya Kongsun Ci benar pegang janji telah menyembuhkan
racun dalam tubuh Nyo Ko.
Dalam pada itu Nyo Ko terus menyodorkan Coat-ceng-tan
kemulut Siao-ttoog-li sambil berseru: "Lekas telan !"
Siao-liong-li tidak tahu barang apa yang di -suruh makan
itu, namun dia menurut dan menelannya ke dalam perut, Segera terasa suatu arus
hawa segar langsung menyusup kedalam perut.
"He kau berikan dia, kau sendiri lantas bagaimana
?" seru Lik-oh kuatir.
Seketika Siao-liong-li paham duduknya, perkara, tanyanya
dengan kaget: "Jadi kau sendiri belum pernah minum obat penawarnya?"
Nyo Ko tersenyum saja tanpa menjawabnya, sementara itu
ruangan pendopo sedang kacau baIau. Mestinya Kongsun Ci hendak mencegah
pendekatan Nyo Ko dengan Siao~liong-li, tapi iapun jeri pada tokoh berkedok
yang aneh itu, sebelum tahu siapakah lawannya ia tak berani sembarangan
bertindak.
Dalam pada itu Nyo Ko lantas menanggalkan topi pengantin
Siao~liong~li dan di-robek2, lalu nona itu digandeng ke samping ruangan,
katanya: "Kokoh, Kokcu bangsat itu bakal ketemu batunya, marilah kita
menonton permainan yang menarik saja.
Hati Siao-liong li sendiri merasa kacau, ia menggelendot
di tubuh Nyo Ko dan tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Yang paling senang melihat kedatangan Nyo Ko adalah si
dogol Be Kong-co, ia tidak ambil pusing anak muda itu sedang asyik masyuk
dengan Siao-liong-li dan sepantasnya jangan diganggu, ia justeru mendekati
mereka serta bertanya ini dan itu tanpa habis2
Pada 20-an tahun yang lalu In Kik-si sudah dengar nama
Kiu Jian-yim yang termashur dan disegani setiap orang Bu-lim, kini melihat
Lwe-kangnya memang sangat tinggi, diam2 ia ingin berkenalan dengan dia, segera
ia melangkah maju dan memberi hormat, sapanya: "Hari ini adalah hari
bahagia Kongsun Kokcu, apakah Kiu-locianpwe hadir untuk minum arak bahagia
pernikahannya ini?"
"Apakah kau tahu dia pernah apa dengan aku?"
jawab Kiu Jian-jio sambil menuding Kongsun Ci.
In Kik-si menggeIeng. "Tidak tahu, justeru Cayhe
ingin minta penjelasan," katanya.
"Coba kau suruh dia katakan sendiri," ujar Kiu
Jian~jio.
"Apakah kau betul2 Thi-cio-ciu-siang-biau?"
terdengar Kongsun Ci menegas pula, Mendadak ia bertepuk tangan dan berkata
kepada seorang muridnya "Ambilkan kotak surat yang tertaruh di rak sebelah
timur dikamar tulisku!"
Dalam keadaan bingung Lik~oh menarik sebuah kursi untuk
berduduk ibunya.
Kongsun Ci sangat heran anak perempuannya dan Nyo Ko yang
di jerumuskannya ke dalam kolam buaya itu ternyata tidak mati, malahan sekarang
muncul lagi dengan seorang yang mengaku sebagai Kiu Jian-yim.
Tidak lama muridnya telah membawakan kotak surat yang
diminta, Kongsun Ci membuka kotak itu dan mengeluarkan sepucuk surat, katanya
dengan dingin: "Beberapa tahun yang lalu pernah kuterima surat dari Kiu
Jian-yim, kalau benar engkau Kiu Jian-yim, maka surat inilah yang palsu."
Kiu Jian-jio terkejut, pikirnya: "Sejak Jiko
bertengkar dengan aku, selama itu tak pernah memberi kabar, mengapa dia bilang
menerima surat dari Jiko? Dan entah apa yang dikatakan didalam suratnya
itu."
Karena itu segera ia berseru: "Huh, bila kupernah
menulis surat padamu? Benar2 omong kosong belaka!"
Dari logat bicaranya, tiba2 Kongsun Ci teringat kepada
seorang, ia terkejut, seketika keringat dingin membasahi punggungnya. Tapi
segera ia berpikir pula. "Ah, tidak mungkin. Dia sudah mati di gua bawah
tanah itu, tulang belulangnya sekalipun sudah lapuk, manabisa hidup lagi? Tapi
orang ini sebenarnya siapa?"
Segera iapun membentang surat tadi dan di bacanya dengan
suara lantang: "Kepada adik Ci dan adik Jio, sejak Toako tewas di tangan
Kwe Cing dan Ui yong di Thi-cio-hong...."
Mendengar kalimat pertama isi surat itu, seketika hati
Kiu Jian-jio menjadi pedih dan berduka, bentaknya cepat: "Apa katamu?
Siapa bilang Toakoku sudah mati?" selamanya dia berhubungan paling akrab
dengan Kiu Jian-li, kini mendadak mendengar berita kematiannya, dengan
sendirinya ia sangat sedih, tubuhnya gemetar dan suarapun berubah, mau-tak-mau
keluar juga suara kewanitaannya.
Kongsun Ci sangat cerdik, begitu yakin orang yang
dihadapinya ini adalah perempuan meski dalam hatinya bertambah kejut dan
waswas, namun iapun tambah yakin orang pasti bukan Kiu Jian-yim, Maka iapun
meneruskan membaca isi surat tadi: "kakakmu ini merasa menyesal telah
berselisih paham dengan kau sehingga selama ini kita tak pernah berkumpul. Kini
kakak sudah disadarkan oleh It-teng Taysu, golok jagal sudah kubuang, kakak
telah tunduk pada ajaran Budha. Pada hari tua sekarang sering terkenang olehku
betapa senangnya ketika kita berkumpul dahulu, Mudah2-an saja kalian hidup
bahagia dan banyak rejeki...."
Sembari mengikuti bunyi isi surat itu, diam2 Kiu Jian-jio
meneteskan air mata, setelah surat itu habis di baca Kongsun Ci, ia tidak dapat
menahan tangisnya lagi, segera ia berteriak : "O, Toako dan Jiko, tahukah
kalian betapa penderitaanku ini! " mendadak iapun menanggalkan kedoknya
dan membentak :"Kongsun Ci, masih kenal tidak padaku ?"
Suara bentakan yang menggelegar ini seketika membikin
sebagian api lilin padam lagi, sisa api lilin yang lain juga terguncang goyang
dan suram, pada saat itulah mendadak wajah seorang nenek2 yang bengis muncul di
hadapan semua orang.
Seketika mereka terkejut, siapapun tidak berani bersuara,
suasana menjadi sunyi senyap, hati setiap orang ikut berdebar-debar
Sekonyong2 seorang budak tua yang berdiri di pojok sana
ber-lari2 maju sambil berseru: "Cubo," Cubo (majikan perempuan,
Cukong - majikan Iaki-Iaki), kiranya engkau masih segar bugar!"
"Ya, Thio-jiok, syukur kau masih ingat padaku,"
sahut Kiu Jian-jio sambil mengangguk.
Rupanya budak itu sangat setia, ia kegirangan melihat
majikan perempuannya belum mati, berulang2 ia menyembah dan menyatakan syukur,
Di antara tetamu yang hadir itu kecuali rombongan Kim-lun Hoat-ong, selebihnya
kebanyakan adalah para tetangga perkampungan Cui-sian-kok, orang yang berusia
setengah tua kebanyakan masih kenal Kiu Jian-jio, maka serentak mereka merubung
maju untuk bertanya ini dan itu.
"Minggir semua!" bentak Kongsun Ci mendadak.
Semua orang kaget dan terpaksa menyingkir Kongsun Ci
menuding Kiu Jian-jio dan membentak pula: "perempuan hina, mengapa kau
kembali lagi ke sini? Kau masih punya muka bertemu dengan aku?"
Sejak mula Lik-oh berharap ayahnya mau mengaku salah dan
rujuk kembali dengan sang ibu, siapa duga ayahnya telah mengucapkan kata2 yang
begitu kasar dan ketus, saking sedihnya ia berlari ke depan sang ayah, ia
berlutut dan berseru: "O, ayah, ibu tak meninggal beliau tak meninggal.
Lekas ayah minta maaf dan mohon beliau mengampuni!"
"Mohon dia mengampuni?" jengek Kongsun Ci.
"Hm, mengampuni siapa? Memangnya apa salahku?"
"Ayah telah memutuskan urat kaki tangan ibu dan
mengeramnya di gua bawah tanah selama belasan tahun sehingga beliau tersiksa
dalam keadaan mati tidak hidup tidak, betapapun ayah telah membikin susah
ibu," kata Lik-oh dengan terguguk.
"Hm, dia sendiri yang mencelakai aku lebih dulu, kau
tahu tidak?" jengek Kongsun Ci. "Dia melemparkan aku ke semak2 bunga
cinta sehingga aku tersiksa oleh duri bunga itu. Dia merendam obat penawar di
dalam air warangan, aku menjadi serba salah, minum obat penawar itu akan mati,
tok minum juga mati, Apakah kau tahu semua kejadian ini? Dia malah memaksa aku
membunuh... membunuh orang yang kucintai, tahu tidak kau?"
"Tahu, anak sudah tahu semua," sahut Lik-oh
sambil menangisi "Dia bernama Yu-ji."
Sudah belasan tahun Kongsun Ci tidak pernah dengar orang
menyebut nama itu, air mukanya menjadi berubah hebat, ia menengadah dan
menggumam: "Yu-ji ya benar, Yu-Ji kekasihku, perempuan hina yang keji
inilah yang memaksa aku membunuh dia."
Kelihatan air muka Kongsun Ci semakin beringas dan penuh
rasa duka pula ber-ulang2 ia menggumam pelahan: "Yu-ji... Yu-ji..."
Nyo Ko pikir suami-isteri konyol itu jelas bukan manusia
baik2. sedangkan dirinya sendiri mengidap racun dan takkan hidup terlalu lama
lagi di dunia ini, pada kesempatan terakhir ini hanya diharap akan berkumpul
dengan Siao-Iiong-li di suatu tempat yang sunyi dan melewatkan tempo yang tak
lama lagi itu dengan tenteram, maka sama sekali tiada minatnya buat ikut campur
persoalan Kongsun Ci dan isterinya, segera ia menarik Siao-liong-li dan
mengajaknya pergi saja.
"Apakah betul wanita ini adalah isterinya dan benar2
telah dikurung olehnya selama belasan tahun?" tanya Siao-liong-li tiba2
dengan hati yang tulus, sungguh ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang
sejahat itu.
"Ya, mereka suami-isteri cuma saling balas dendam
belaka," kata Nyo Ko.
Siao-liong-li termenung sejenak, lalu berkata dengan
suara tertahan: "Sungguh aku tidak paham. Masakah wanita ini serupa aku
dan juga dipaksa menikah dengan dia?"
Menurut jalan pikirannya, kalau dua orang tidak dipaksa
untuk menikah, seharusnya pasangan itu akan berkasih sayang, mana mungkin saling
menyiksa secara begitu kejam.
"Di dunia ini sedikit sekali orang baik dan lebih
banyak orang jahat," ujar Nyo Ko sambil menggeleng. "Hati orang2
begini memang sukar juga dijajaki orang lain."
Baru saja berkata sampai di sini, mendadak terdengar
Kongsun Ci membentak: "Minggir!" -Berbareng sebelah kakinya mendepak,
kontan tubuh Lik-oh mencelat.
Arah mencelatnya tubuh Kongsun Lik-oh tepat menuju ke
dada Kiu Jian-jio. padahal Kiu Jian-jio dalam keadaan lumpuh, kaki tangannya
lemas tak bertenaga, terpaksa ia menunduk dan ingin mengelak namun tubrukan
Lik-oh itu datangnya teramat cepat, "bIang" dengan tepat tubuh si
nona menumbuk badan ibunya, kontan Kiu Jian-jio jatuh terjengkang bersama
kursinya kepalanya yang botak itu tepat membentur tiang batu dan seketika darah
muncrat serta tak dapat bangun.
Lik-oh sendiri juga jatuh tersungkur dan pingsan karena
depakan sang ayah. Dalam keadaan begitu mau-tak-mau Nyo Ko menjadi gusar
menyaksikan keganasan Kongsun Ci itu, Baru saja ia hendak memburu maju, tiba2
Siao-liong-li melompat maju lebih dulu untuk membangunkan Kiu Jian-jio serta
mengurut beberapa kali di belakang kepala nenek itu untuk membikin mampet
darahnya yang mengucur itu, habis itu ia merobek ujung baju untuk membalut
lukanya dan kemudian ia membentak Kongsun Ci: "Kongsun-siansing, dia
adalah isterimu yang sah, mengapa kau perlakukan dia begini? jika kau sudah
beristeri, kenapa ingin menikahi aku pula? seumpama aku jadi nikah dengan kau,
bukankah kelak kaupun akan perlakukan diriku seperti dia ini?"
Beberapa pertanyaan yang tepat ini membikin Kongsun Ci
melongo dan tak dapat - menjawab, serentak Be Kong-co bersorak memuji,
sedangkan Siau-siaug-cu hanya menanggapi dengan ucapan: "Hm, jitu benar
kata2 nona ini."
Dasar Kongsun Ci sudah ter-gila2 kepada Siao-liong-li
maka iapun tidak menjadi gusar oleh pertanyaan itu, dengan suara halus ia
menjawab: "Liu-ji, mana kau dapat dibandingkan dengan perempuan busuk ini?
cintaku padamu tanpa batas, jika aku mempunyai pikiran buruk padamu, biarlah
aku mati tak terkubur."
"Di dunia ini bagiku cukup hanya dia seorang saja
yang mencintai aku, sekalipun kau suka padaku seratus kali lipat juga aku tidak
kepingin," jawab Siao-liong-li hambar sembari mendekati Nyo Ko dan
menggenggam tangannya.
Tidak kepalang rasa gembira hati Nyo Ko melihat betapa
cinta Siao-liong-li kepadanya, tapi rasa gemasnya kepada Kongsun Ci juga
memuncak bila ingat umurnya tinggal berapa hari saja dan semua itu gara2
perbuatan Kongsun Ci, maka dengan gusar ia menuding dan memaki: "Hm, kau
berani bilang tiada pikiran buruk kepada Kokoh ? Hm, kau menjebloskan aku ke
kolam buaya itu, lalu menipu Kokoh agar mau menikah dengan kau, apakah
perbuatanmu ini baik? Kokoh terkena racun bunga cinta, padahal kau tahu tiada
obat lagi untuk menyelamatkan dia, namun hal ini tidak kau katakan padanya,
apakah ini maksud baikmu?"
Siao-liong-li terkejut mendengar ucapan Nyo -Ko itu
dengan suara gemetar ia menegas: "Apakah betul begitu ?"
"Tapi tidak soal lagi, kau sudah minum obat
penawarnya tadi," ujar Nyo Ko sambil tersenyum.
Senyuman yang pedih dan girang pula mengingat obat
Coat-ceng-tan akhirnya dapat disampaikan dan diminum oleh Siao-Iiong~li, maka
matipun dia rela sekarang?
Kongsun Ci memandang ke sana dan ke sini, sorot matanya
mengusap wajah Kiu Jian-jio, Siao--liong-li dan Nyo Ko bertiga, hatinya penuh
rasa cemburu dan benci serta napsu berahi, ya kecewa, ya malu, macam2 perasaan
berkecamuk menjadi satu. Meski biasanya dia sangat sabar, namun kini dia sudah
berpikiran gelap dan setengah gila, Se-konyong2 ia berjongkok dan melolos
keluar sepasang senjatanya dari bawah selimut merah yang digunakan alas kaki
waktu upacara tadi, "trang." ia bentrok kedua senjata dan membentak:
"Baik, baik sekali! Biarlah hari ini kita gugur
bersama saja."
Karena sama sekali tidak menyangka Kongsun Ci akan
menyembunyikan senjata dibawuh perabot sembahyang pernikahannya itu, maka semua
orang sama berseru kaget
Segera Siao-Iiong-Ii menjengek: "Ko-ji, orang jahat
begini buat apa sungkan2 lagi padanya ?"
"Creng", dari dalam baju pengantinnya iapun
mengeluarkan sepasang pedang hitam lemas itu.
Kun-cu~kiam dan Siok-li~kiam.
"Aha, bagus! jadi demi menolong diriku, maka Kokoh
pura2 mau menikah dengan dia?" seru Nyo Ko girang.
Perlu dimaklumi bahwa meski Siao-liong-li tidak paham
seluk beluk kehidupan manusia umumnya, namun terhadap orang yang dibencinya,
cara turun tangannya sedikitpun tidak kenal ampun, seperti dahulu waktu dia
menuntut balas bagi kematian Sun-popoh, pernah dia mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong
dan membikin kalang-kabut para imam Coan-cin-kau, malahan jiwa Kong-leng-cu Hek
Tay-thong hampir melayang ditangannya, sekarang Kongsun Ci telah membikin dia
merana dan tak dapat berkumpul dengan Nyo Ko, diam2 ia sudah bertekad akan
melabrak orang meski harus korbankan jiwa sendiri.
Sebab itulah di dalam baju pengantinnya itu diam2 ia
sembunyikan sepasang pedang, asalkan Nyo Ko telah diobati, segera ia mencari
kesempatan untuk membunuh Kong-sun Ci, kalau gagal, maka iapun akan membunuh
diri dan takkan mengorbankan kesuciannya di Cui-siang-kok ini.
Para hadirin juga heran dan kaget melihat kedua calon
pengantin itu sama menyembunyikan senjata, hanya beberapa tokoh lihay seperti
Kim-lun Hoat-ong saja sudah menduga pesta nikah ini pasti akan berakhir dengan
keonaran.
Tapi melihat Kiu Jian-jio hanya tertumbuk oleh tubuh
Kongsun Lik-oh saja lantas roboh, jauh tidak seimbang dengan Lwekang yang
maha-tinggi yang diperlihatkannya tadi, mau-tak-mau semua orang mendjadi heran.
Nyo Ko lantas menerima Kun-cu-kiam dari tangan
Siao-liong-li, katanya: "Kokoh, marilah kita bunuh bangsat ini untuk
membalas sakit hatiku."
"Membalas sakit hatimu?" Siao~liong-li menegas
sambil menggetar pedang Siok-li-kiam.
Diam2 hati Nyo Ko berduka, tapi mengingat hal itu tak dapat
dijelaskan kepada Siao-liong-li, terpaksa ia hanya menjawab: "Ya, sudah
tidak sedikit bangsat ini mencelakai orang baik2"
Habis berkata, Kun-cu-kiam bergerak, langsung ia menusuk
iga kiri Kongsun Ci, ia tahu pertarungan sekarang pasti akan berlangsung sangat
dahsyat dan berbahaya pula, ia sendiri mengidap racun, bila kedua orang
memainkan "Giok-li-kiam-hoat" dan merangsang perasaan cinta, maka
mereka akan kesakitan seketika.
Karena itu pandangannya lurus menatap musuh, yang
dimainkan adalah "Coan-cin-kiam-hoat".
Kongsun Ci juga tahu betapa lihaynya ilmu pedang gabungan
kedua muda-mudi itu, maka begitu gebrak segera ia lancarkan serangan
Im-yang-to-hoat yang terbalik itu, pedang hitam bermain dengan gaya golok,
sedangkan golok bergigi bermain dengan gaya pedang, setiap jurus serangannya
lihay luar biasa,
Namun ilmu pedang Coan-cin-pay yang dimainkan Nyo Ko itu
adalah ciptaan Ong Tiong-yang, itu cakal bakal Coan-cin-pay, walaupun tidak
seganas serangan musuh, namun gayanya indah dan perubahannya rumit, dia berjaga
saja dengan rapat dan menyambut setiap serangan musuh dengan baik.
Sudah tentu Siao-liong-li juga tidak kurang lihaynya, ia
membentak nyaring, Siok-Ii-kiam segera menusuk punggung Kongsun Ci.
Dongkol dan menyesal Kongsun Ci tak terperikan, nona
secantik bidadari ini mestinya sudah menjadi isterinya kalau Nyo Ko tidak
muncul, tapi sekarang justeru bergabung dengan anak muda ini untuk
mengerubutnya.
BegituIah makin dipikir makin murka Kongsun Ci, namun
serangannya tetap berjalan dengan ganas.
Di pihak lain Siao~Iiong-li memainkan Giok li-kiam-hoat,
maksudnya ingin mengadakan kontak batin dengan Nyo Ko agar daya ilmu pedang
bisa dikeluarkan seluruhnya, siapa tahu anak muda itu selain menghindarkan adu
pandang dengan dia juga cuma bertempur dengan caranya sendiri.
Siao-liong-li menjadi heran danbersero: "Ko ji,
mengapa kau tidak memandang padaku? Karena rangsangan perasaannya yang penuh
kasih mesra itu, sinar pedangnya memanjang seketika dan serangannya tambah
kuat.
Sebaliknya demi mendengar nada si nona yang menggiurkan
itu, hati Nyo Ko terguncang, dada kesakitan seketika, gerak pedangnya juga
berubah lambat "Bret", tahu2 lengan bajunya tertabas robek oleh
pedang hitam Kongsun Ci.
Siao-Iiong-li terkejut, cepat ia melancarkan tiga kali
serangan untuk mengalangi gempuran Kongsun Ci.
"Aku tak dapat memandang kau dan juga tak dapat
mendengarkan perkataanmu " kata Nyo-Ko.
"Sebab apa?" tanya Siao~liong-li dengan lemah
lembut.
Kuatir terancam bahaya lagi, Nyo Ko sengaja menjawab
dengan suara kasar: "Jika kau ingin aku mati, maka bolehlah kau bicara
dengan aku." Karena timbul amarahnya, rasa sakitnya lantas berhenti
seketika, semua serangan Kongsun Ci dapat ditangkisnya.
"Baiklah, aku tidak bicara lagi," ujar
Siao-liong-li dengan rasa menyesal Tapi mendadak pikirannya tergerak: "Ah,
aku sendiri sudah sembuh dari racun bunga cinta itu, apakah dia belum meminum
obat penawarnya?"
Berpikir begitu, sungguh rasa terima kasih dan kasih
sayangnya tak terbatas mendalamnya, perasaan mesra ini mendorong tenaga,
seketika daya tempur Giok-li-kiam-boatnya bertambah hebat, setiap jurus
serangannya segera melindungi seluruh tubuh Nyo Ko.
Dalam keadaan begitu, seharusnya Nyo Ko harus bergilir
untuk menahan serangan musuh bagi Siao-liong-li, tapi lantaran dia tak berani
melirik, jadinya Siao-liong-li tak terjaga sama sekali dan selalu menjadi
ancaman musuh.
Betapa tajam pandangan Kongsun Ci, hanya beberapa gebrak
sadja ia sudah dapat melihat peluang itu, namun dia tidak ingin mencelakai Siao
liong-li sedikitpun, setiap serangannya selalu dilontarkan kepada Nyo Ko.
Walaupun begitu serangan yang dahsyat itu dapat juga dihadapi oleh pedang nan
lawan yang kuat, dalam beberapa puluh jurus ternyata sedikitpun Kongsun Ci
takdapat berbuat apa2.
Sementara itu Kongsun Lik-oh sudah siuman dan ikut
menonton di sebelah ibunya, dilihatnya Siao-liong-li terus melindungi Nyo Ko
melulu tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, diam2 ia bertanya pada dirinya
sendiri: "Jika aku yang menjadi dia, dalam keadaan gawat antara hidup dan
mati, apakah akupun sanggup mengorbankan diriku untuk membela dia?" ia
menghela napas pelahan dan menjawab sendiri pula:
"Aku pasti akan berbuat sama seperti nona liong ini
kepadanya, tapi dia yang tidak mungkin berbuat begitupula terhadap
diriku."
Tengah mengelamun, tiba2 terdengar Kiu Jian-jiu berseru:
"Golok bukan golok, pedang bukan pedang!"
Sudah tentu Nyo Ko dan Siao-liong-li merasa bingung oleh
seruan itu, mereka tidak paham apa maksudnya.
Terdengar Kiu Jian jio berteriak pula: "Golok adalah
golok, pedang adalah pedang!"
Setelah bertempur dua kali melawan Kongsun Ci, memang
sejak tadi Nyo Ko sudah memikirkan di mana letak keajaiban permainan golok
Kongsun Ci itu, ia merasa anehnya serangan musuh, pedang hitam yang enteng
digunakan membacok dan menabas dengan keras seperti golok, sebaliknya golok
yang berat itu digunakan menusuk dan menyabet secara gesit Kalau saja golok
dimainkan sebagai pedang dan pedang digunakan sebagai golok masih dapat
dimengerti anehnya dalam sekejap permainannya bisa berubah lagi, dalam serangan
pedang nya tampak gaya ilmu pedang dan serangan golok tetap bergaya ilmu golok,
sungguh berubah tak menentu dan sukar diraba.
Kini mendadak mendengar seruan Kiu Jian--jio itu, cepat
juga timbul ilham dalam benak Nyo Ko, diam2 ia membatin apakah maksud Kia
Jian-jio itu hendak mengatakan bahwa gaya pedang dalam permainan golok dan gaya
golok dalam permainan pedang Kongsun Ci itu cuma gaya kembangan belaka ? jika
begitu halnya, biarlah aku mencobanya ?
Begitulah ketika dilihatnya pedang hitam lawan membacok
tiba pula seperti golok, maka Nyo Ko menganggapnya tetap sebagai pedang, segera
ia menangkisnya dengan Kun-cu-kiam, "trang", kedua pedang beradu dan
kedua orang sama tergetar mundur setindak.
Nyata dugaan Nyo Ko tidak keliru, gaya serangan golok
dari pedang hitam itu pada dasarnya tetap pedang, gerakan sebagai bacokan golok
itu cuma gerakan kembangan belaka untuk membikin kabur pandangan lawan, kalau
saja kepandaian pihak lawan kurang, tinggi dan tak dapat melayani dengan tepat,
maka gerakan kembangan seperti golok itupun dapat mencelakai kakinya.
Sekali coba lantas berhasil menjajaki ilmu silat lawan,
Nyo Ko menjadi girang, segera ia perhatikan kelemahan musuh, ia pikir betapa
anehnya serangan musuh, tapi lantaran gerakan kembangannya terlalu banyak,
akhirnya pasti kacau dan kelihatan titik kelemahannya.
Setelah bergebrak beberapa kali lagi, "tiba2
terdengar Kiu Jian- jio berseru pula : "Serang kaki kanannya, kaki
kanannya"
Akan tetapi Nyo Ko merasa bagian kaki lawan sedikitpun
tiada peluang untuk dapat diserang, apalagi golok musuh diputar sedemikian
kencang, hakekatnya sukar ditembus. Tapi lantas teringat olehnya bahwa ilmu
silat Kongsun Ci itu adalah ajaran Kiu Jian-jio, meski kaki tangan nenek botak
itu sudah cacat, namun ilmu silat yang dipahaminya sedikitpun tidak pernah
terlupa, tentu nenek itu dapat melihat titik kelemahan Kongsun Ci. Karena
pikiran itu segera ia menurut dan menyerang kaki kanan musuh.
Cepat Kongsun Ci menangkis dengan goloknya kaki kanannya
ternyata berjaga rapat Tapi lantaran harus menangkis, bahu kiri dan iga kiri
lantas tak terjaga, peluang itu tidak di-sia2kan oleh Nyo Ko, tanpa menunggu
petunjuk Kiu Jian-jio segera ia menyerang dan berhasil merobek baju bawah
ketiak musuh.
Kongsun Ci mengomel gusar sambil melompat mundur, dengan
mendelik ia membentak Kiu Jian-jio: "perempuan hina, lihat nanti kalau aku
tidak membinasakan kau!" Habis itu segera ia menerjang Nyo Ko Iagi.
Selagi Nyo Ko menangkis, terdengar Kiu Jian-jio berseru
pula: Tendang punggungnya!"
Padahal waktu itu kedua orang sedang berhadapan muka,
untuk menendang bagian punggung jelas tidak mungkin, namun sekarang Nyo Ko
sudah rada menaruh kepercayaan kepada petunjuk Kiu Jian-jio, ia pikir ucapan
nenek itu tentu mempunyai arti tertentu, maka tanpa banyak ulah segera ia
menyusup ke belakang musuh.
Cepat Kongsun Ci memutar balik goloknya din menabas ke
belakang. Tapi Kiu Jian-jio sudah lantas berteriak lagi: "Tusuk
dahinya.!"
Nyo Ko menjadi heran, baru saja memutar ke belakang
orang, masakah sekarang diharuskan menusuk dahi lawan di bagian muka, Namun
keadaan sudah mendesak, tanpa pikir segera ia menyerobot ke depan musuh dan
baru saja hendak menusuk tempat yang dianjurkan, se-konyong2 Kiu Jian-jio
berseru pula. "Tabas pantatnya!"
Lik-oh ikut berdebar menyaksikan pertarungan itu, diam2
iapun heran mengapa ibunya bergembar-gembor begitu, bukankah caranya itu
berbalik hendak membantu ayahnya malah?
Dalam pada itu Be Kong co lantas berteriak "He,
jangan kau tertipu nenek itu, adik Nyo, dia sengaja membikin lelah kau."
Namun Nyo Ko justeru percaya kepada seruan Kiu Jian-jio
yang mempunyai tujuan jitu itu, begitu si nenek berseru suruh dia ke depan,
segera ia menyerobot ke depan, bila disuruh memutar ke belakang cepat ia
menyelinap ke belakang.
Benar saja, sesudah berputar beberapa kali cara begitu,
akhirnya iga kanan Kongsun Ci tertampak kelemahan tanpa ayal pedang Nyo Ko
terus menusuk "cret", baju tertembus dan ujung pedang masuk kulit
daging musuh beberapa senti dalamnya, seketika darah segar mengucur dari iga
Kongsun Ci.
Semua orang sama berteriak heran dan berbangkit Kim-lun
Hoat-ong dan Iain2 tahu persoalannya bahwa Kiu lian-jio sebenarnya bukan
memberi petunjuk kepada Nyo Ko caranya memperoleh kemenangan, tapi mengajarkan
dia mencari kesempatan menang dari keadaan yang tidak mungkin menang itu, bukan
ditujukan titik kelemahan Kongsun Ci, tapi suruh Nyo Ko mendesak musuh yang
sama sekali tiada kelemahan itu agar terpaksa memberi titik kelemahan,
Hanya beberapa kali saja Kiu Jian-jio memberi petunjuk,
karena Nyo Ko memang anak yang cerdik dan pintar, segera ia dapat menangkap di
mana letak intisari ilmu silat yang bagus itu, dalam hati ia sangat kagum dan
bersyukur akan petunjuk Kiu Jian-jio yang besar manfaatnya itu.
Cuma untuk bisa memaksa Kongsun Ci memperlihatkan titik
kelemahannya selain lawannya harus lebih unggul ilmu silatnya dan harus pula
paham akan setiap gerak serangan Kongsun Ci, dengan begini barulah dapat
menapsirkan jurus serangan mana yang bakal dilontarkan musuh itu dan memancingnya
menuju kearah yang keliru.
Untuk ini memang cuma Kiu Jian-jio saja yang sanggup, Nyo
Ko sendiri hanya paham maksudnya tapi tidak mampu melakukannya sendiri tanpa
petunjuk nenek itu. Karena itulah dia turut setiap petunjuk Kiu Jian-jio dan
melancarkan serangan berantai mengitari Kongsun Ci, setelah belasan jurus lagi,
kembali kaki Kongsun Ci tertusuk oleh pedangnya.
Meski tidak parah, namun lukanya cukup panjang, diam2
Kongsun Ci sangat mendongkol ia pikir dalam waktu singkat jelas dirinya sukar
mendapat kemenangan malahan kalau bertempur lebih lama bukan mustahil jiwanya
sendiri yang akan melayang dibawah pedang bocah ini.
Dahulu, demi untuk menyelamatkan jiwa sendiri pernah juga
dia membunuh Yu-ji yang dicintainya itu, sekarang keadaan sudah kepepet, maka
iapun tidak memikirkan Siao-liong-li lagi, segera pedang hitam bergerak ke
depan, tapi mendadak goloknya yang membacok ke bahu Siao-Iiong li.
Nyo Ko terkejut, cepat ia menangisnya.
"Tusuk pinggangnya." mendadak Kiu Jian-jio
berseru pula.
Nyo Ko melengak, ia pikir Kokoh sedang terancam, mana
boleh kudiamkan saja? Tapi setiap petunjuk Kiu-locianpwo selalu mengandung arti
yang dalam, bisa jadi cara ini adalah jurus penolong yang bagus, Karena itu
pedangnya terus berputar ke bawah untuk menusuk pinggang musuh.
Pada saat itulah terdengar Siao-Iiong-ii menjerit
kesakitan, lengannya telah terluka, "trang", Siok-li-kiam terjatuh
pula. Menyusul itu Kongsun Ci sempat menangkis serangan Nyo Ko dengan
pedangnya.
Nyo Ko sangat kuatir akan luka Siao-Iiong-li itu,
serunya: "Kokoh, kau mundur saja, biar aku sediri melayani
dia!"-Karena rangsangan perasaannya terhadap Siao-liong-Ii, tiba2 dadanya
terasa sakit.
Dalam keadaan tcrluka, terpaksa Siao-liong-li mundur
kesamping untuk membalut lukanya dengan robekan baju.
Nyo Ko terus bertempur dengan gagah berani, ia sangat
mendongkol terhadap petunjuk Kiu Jian-jio yang keliru itu, pada suatu
kesempatan ia melotot gusar terhadap nenek itu.
Sudah tentu Kiu Jiau-jio paham maksud anak muda itu, ia
menjengek: "Hm, kenapa kau menyalahkan aku? Aku cuma membantu kau
menggem-pur musuh, peduli apa dengan dia? Hmm, biarpun mampus juga aku tidak
peduli nona itu!"
"Kalian suami-isteri benar2 suatu pasangan manusia
yang keji dan kejam!" damperat Nyo Ko dengan gusar.
Makian Nyo Ko kini sungguh sangat tepat dan tajam, namun
Kiu Jian-jio hanya mendengus saja dan tidak marah, ia tetap tenang2 saja
mengikuti pertarungan kedua orang.
Sekilas Nyo Ko melihat Siao-liong-li sedang membalut
lukanya, tampaknya tidak begitu parah, seketika serangannya berubah dengan
bersemangat.
Dari Coan-cin-kiam-hoat ia ganti menyerang dengan
Giok-li-kiam-hoat.
Kongsun Ci rada heran melihat serangan Nyo Ko sekarang
hampir seluruhnya berbeda daripada tadi, kini tampak lebih gesit dan lincah dan
lebih bergaya dibanding tadi yang kereng dan tenang. ia menjadi curiga jangan2
Nyo Ko sengaja main gila untuk memancingnya
Tapi setelah bergebrak lagi beberapa jurus, ternyata gaya
tempur Nyo Ko sekarang serupa dengan Siao-liong-li tadi, segera rasa curiga
Kongsun Ci lenyap, golok dan pedangnya lantas menyerang pula sekaligus.
Maka setelah belasan jurus, lambat laun Nyo Ko terdesak
lagi di bawah angin dan berulang terdesak mundur.
Beberapa kali Kiu Jian-jio berseru memberi petunjuk lagi,
namun Nyo Ko sudah telanjur khe-ki karena nenek itu sengaja membikin susah
Siao-liong-li, maka petunjuknya itu tak digubrisnya lagi,
"Sret-sret", mendadak ia melancarkan serangan empat kali ber-turut2,
ketika Kongsun Ci menangkis secepatnya Nyo Ko menubruk maju, "trang",
ia selentik golok lawan, seketika Kongsun Ci merasa lengannya kesemutan dan
golok hampir terlepas dari pegangan, Pada saat itu juga mendadak Nyo Ko
menubruk maju, jari kirinya menutuk bagian pusarnya.
Nyo Ko kegirangan dan yakin musuh pasti akan roboh dan
terluka parah, Tak terduga, sambil mendoyongkan tubuhnya, mendadak sebelah kaki
Kongsun Ci menendang ke dagu Nyo Ko.
Keruan kejut Nyo Ko tak terkatakan cepat ia melompat ke
samping. Segera teringat olehnya bahwa Hiat-to di tubuh musuh memang sangat
aneh, tadi Sia liong li juga pernah menghantam Hiat-ta orang dengan genta kecil
yang terikat pada ujung selendangnya, jelas Hiat-to yang di arah itu kena
dengan tepat, tapi Kongsun Ci tetap tidak roboh.
Selagi Nyo Ko merasa bingung cara bagaimana untuk bisa
mengalahkan musuh, sementara itu golok dan pedang Kongsun Ci sudah membura tiba
pula, sedangkan Kiu Jian-jio lagi2 berseru: "Golok dan pedangnya
menyilang, pedangnya akan menyerang ke kiri dan goloknya menyerang kanan!"
Tanpa pikir Nyo Ko mengadakan penjagaan rapat seperti
peringatan Kiu Jian-jio itu sehingga buyarlah setiap serangan Kongsun Ci. .
Bicara tentang Kanghu sejati sebenarnya Nyo Ko tak dapat
melawan keuletan Kongsun Ci, hanya berkat petunjuk Kiu Jian-jio saja dapatlah
Nyo Ko mematahkan setiap serangan Kongsun Ci yang lihay itu.
Sementara itu kedua orang sudah bertempur sampai beberapa
ratus jurus, para penonton sama berdebar dan sukar menduga siapa di antaranya
yang bakal menang dan kalah, Kongsun Ci dan Nyo Ko tampaknya sama payahnya,
napas Kongsun Ci kelihatan mulai terengah, sedangkan Nyo Ko juga sudah mandi
keringat, gerak-gerik mereka tidak segesit dan secepat tadi.
Lik-oh pikir kalau pertempuran itu berlangsung lagi,
akhirnya satu diantara dua pasti celaka. Dia tidak mengharapkan Nyo Ko kalah,
tapi iapun tidak tega menyaksikan ayah sendiri celaka, Maka dengan suara
pelahan ia memohon kepada Kiu Jian-jio: "lbu, sebaiknya engkau suruh
mereka berhenti saja, biarlah kita bicara baik2 saja untuk menentukan yang
salah dan benar."
Kiu Jian-jio hanya mendengus saja tanpa menjawab. Sejenak
kemudian barulah ia berkata: "Coba ambilkan dua mangkok teh,"
Dengan pikiran kacau Lik-oh pergi menuangkan dua mangkok
teh dan dibawa ke depan sang ibu, Segera Kiu Jian-jio menanggalkan kain
pembalut lukanya yang berlepotan darah itu. seperti diketahui Siao liong-li
yang merobek baju sendiri untuk membalutkan lukanya itu, sekarang kain pembalut
dilepaskan, darah lantas merembes keluar lagi dari kepalanya.
"Bu!" Lik-oh berseru kuatir.
"Jangan bersuara," kata Kiu Jian-jio, lalu ia
memeras beberapa tetes darah dari kain pembalut itu ke dalam mangkuk Waktu
melihat Lik-oh merasa heran dan curiga, segera ia memeras sedikit darah lagi ke
mangkuk yang lain. ia guncang sedikit mangkuk itu sehingga tetesan darah itu
lantas terbaur dalam air teh, dalam sekejap saja tiada kelihatan apa-apa lagi.
Habis itu Kiu Jian-jio menempelkan lagi kain pembalut
pada lukanya, segera ia berseru: "Tentu mereka sudah lelah bertempur
biarkan masing2 minum semangkuk teh dulu." Lalu ia berkata kepada Lik-oh:
"Antarkan teh ini kepada mereka, seorang semangkuk!"
Lik-oh tahu betapa benci dan dendam sang ibu terhadap
ayah, kalau bisa sang-ayah hendak membinasakan seketika, maka ketika melihat
ibunya meneteskan darah ke dalam mangkuk meski tidak paham apa maksudnya, tapi
ia pikir perbuatan ini tentu tidak menguntungkan ayahnya, tapi kemudian
dilihatnya kedua mangkuk teh itu sama2 diberi tetesan darah, maka rasa
curiganya menjadi lenyap, segera ia membawa kedua mangkuk teh itu ke tengah
ruangan dan berseru: "Ayah, Nyo-toako, sjlakan kalian minum teh
dahulu!"
Memangnya Kongsun Ci dan Nyo Ko lagi kehausan, mendengar
seruan itu, serentak mereka berhenti bertempur dan melompat mundur, lebih dulu
Lik-oh menyodorkan semangkuk teh kepada ayahnya.
Kongsun Ci merasa sangsi, ia pikir teh ini diantarkan
kepadanya atas suruhan Kiu Jian -jio di dalam hal ini pasti ada sesuatu yang
tidak beres, bukan mustahil diberi racun, karena itu ia tidak mau menerima teh
itu, tapi katanya kepada Nyo Ko: "Kau minum dulu."
Sedikitpun Nyo Ko tidak gentar dan sangsi,ia terima
mangkuk itu terus hendak diminumnya, mendadak Kongsun Ci berkata pula
"Baiklah, biar kuminum semangkuk itu!" - Segera pula ia ambil mangkuk
yang dipegang Nyo Ko itu.
Nyo Ko tahu apa artinya itu, dengan tertawa ia berkata:
"Anak perempuanmu sendiri yang menuangkan teh ini, masakah dia menaruh
racun?" Habis berkata ia terus terima mangkuk teh yang lain dan ditenggak
hingga habis.
Kongsun Ci melihat air muka Lik-oh tenang2 saja tanpa
mengunjuk sesuatu perasaan kuatir Nyo Ko akan keracunan, maka percayalah dia
bahwa teh itu tidak berbahaya. Segera iapun minum habis isi mangkuk itu.
"Creng", ia membentrok kedua senjatanya dan berkata:
"Nah, tak perlu mengaso lagi, marilah kita mulai
bertempur pula, Hm, kalau saja perempuan hina itu tidak memberi petunjuk
pada-mu, biarpun kau mempunyai jiwa serep juga sudah melayang sejak tadi."
Pada saat itulah mendadak Kiu Jian-jio menanggapi deagan
suara dingin: "Sekarang ilmu kebalnya sudah pecah, boleh kau incar saja
Hiat-tonya."
Kongsun Ci melengak, segera ia merasakan ujung lidahnya
ada rasa amisnya darah, sungguh kejutnya tak terkatakan. Kiranya ilmu kebal
tutukan Hiat-to yang dilatihnya itu pantang makan minum barang berjiwa, untuk
menjaga segala kemungkinan, maka ia melarang setiap anak buahnya di
Cui-sian-kok untuk makan daging dan barang apa saja yang berbau darah. Meski
orang lain tidak melatih ilmu kebal itu, tapi terpaksa mesti ikut tersiksa.
Walaupun Kongsun Ci sudah berjaga dan hati2 sama sekali
tak terduga olehnya bahwa Kiu Jian~jio akan menaruh darah dalam teh yang
diminumnya itu. Bagi Nyo Ko tentu tidak menjadi soal tapi bagi Kongsun Ci, teh
campur tetesan darah itu seketika membuat ilmu kebalnya itu hancur...
Saking murkanya ia berpaling dan melihat Kiu Jian-jio
sedang komat kamit asyik makan kurma, tangan yang satu menggengam kurma, tangan
yang lain melangsir buah kurma itu ke mulut dan dimakan dengan nikmatnya.
"Ilmu itu adalah pemberianku dan sekarang aku yang
memusnahkannya, kan tidak perlu heran dan kaget toh?" kata Kiu Jian-jiu
dengan tersenyum.
Kedua mata Kongsun Ci merah berapi, ia angkat kedua
senjatanya terus menerjang ke arak Kiu Jian-jio.
Lik-oh terkejut, cepat ia memburu maju hendak melindungi
sang ibu. Tapi mendadak terdengar angin keras menyamber di sebelah telinga,
menyusul terdengar Kongsun Ci menjerit keras2, senjatanya terlepas dari tangan,
sambil menutupi mata kanannya terus berlari keluar, terdengar suara jerit
tangisnya yang mengaung ngeri dan makin menjauh, akhirnya lenyap di tengah
pegunungan.
Para hadirin saling pandang dengan bingung karena tidak
tahu dengan cara bagaimana Kiu Jian-Jiu melukai Kongsun Ci, Hanya Nyo Ko dan
Lik-oh saja yang tahu duduknya perkara, jelas Kiu Jian-Jio menggunakan biji
kurma yang disemprotkan dari mulutnya itu, untuk membutakan mata bekas suaminya
itu, Waktu Nyo Ko bertempur dengan Kongsun Ci, diam2 Kiu Jian-jio sudah
mengumpulkan beberapa biji kurma di dalam mulutnya, cuma waktu itu dia tidak
berani sembarangan bertindak, ia lihat ilmu silat Kongsun Ci sudah jauh lebih
maju, ia kuatir kalau sekali serang tidak kena maka akan membikin runyamnya
urusan dan selanjutnya pasti sukar lagi hendak melukai Kongsun Ci.
Sebab itulah lebih dulu Kiu Jian-jio memunahkan ilmu
kebal Tiam-hiat yang dilatih Kongsun Ci itu dengan teh berdarah, lalu pada saat
Kongsud Ci menjadi murka, mendadak iapun menyerangnya dengan semburan biji
kurma yang merupakan satunya senjata yang dilatihnya selama belasan tahun ini,
baik kekuatannya maupun kejituannya tidak kalah daripada senjata rahasia manapun
juga.
Kalau saja tadi Lik-oh tidak memburu maju mendadak dan
mengalang di depan, bukan mustahil kedua mata Kongsun Ci sudah buta semua,
bahkan kalau dahinya yang kena biji kurma, tentu jiwanya juga melayang
seketika.
Melihat ayahnya mendadak lari pergi, Lik-oh merasa tidak
tega, ia terkesima dan berseru: "Ayah, ayah!"
Segera ia bermaksud berlari keluar untuk melihat
kepergian sang ayah, tapi Kiu Jian-jio lantas menghardiknya dengan suara
bengis: "Jika kau ingin ayah, bolehlah kau pergi bersama dia dan jangan
menemui aku lagi selamanya."
Lik-oh menjadi serba salah, tapi mengingat persoalan ini
memang terpangkal pada kesalahan sang ayah, sedangkan siksa derita sang ibu
jauh melebihi ayah, pula ayahnya sudah pergi jauh, untuk menyusulnya juga tidak
dapat Iagi. terpaksa ia melangkah kembali dan menuuduk dengan diam.
Dengan angkuhnya Kiu Jian-jio duduk di kursinya,
dipandangnya sini dan diliriknya sana, lalu mengejeknya: "Hm, bagus!
Kalian datang untuk pesta pora bukan? Tapi pestanya buyar tanpa jamuan, kalian
tentu kecewa, bukan?"
Semua orang sama ngeri tersapu oleh sorot matanya yang
tajam itu, semuanya kuatir kalau mendadak nenek itu menyemburkan senjata
rahasianya yang aneh dan jiwa bisa melayang seketika. Hanya Kim-lun Hoat-ong,
In Kik-si dan Siau-siang-cu saja yang sama siap siaga.
Bahwa akhirnya Kongsun Ci mengalami nasib begitu, hal
inipun tak terduga oleh Siao-liong-li dan Nyo Ko, mereka sama menghela napas
panjang, lalu saling genggam tangan dengan kencang. walaupun begitu
Siao-liong-Ii tidak lupa kepada budi pertolongan jiwa Kongsun Ci, kini penolong
itu terluka parah dan telah kabur, mau-tak-mau iapun rada menyesal, segera ia
mengedipi Nyo Ko, kedua orang lantas melangkah pergi.
Tapi baru sampai di ambang pintu, mendadak Kiu Jian-jio
membentaknya "Nyo Ko hendak ke mana?"
Nyo Ko memutar balik dan memberi hormat, katanya:
"Kiu-locianpwe, nona Lik-oh, sekarang juga kami mohon diri."-ia tahu
umur sendiri takkan lama lagi, maka iapun tidak mengucapkan "sampai
berjumpa" segala.
Lik~oh membalas hormat anak muda itu tanpa berkata.
sedangkan Kiu Jian-jio lantas menghardik pula dengan gusar "Sudah
kujodohkan puteriku satunya ini padamu, mengapa kau tidak sebut aku sebagai ibu
mertua, bahkan sekarang mau pergi begitu saja?"
Nyo Ko melengak bingung, ia merasa tidak pernah
menyatakan mau terima si nona meski nenek itu memaksa untuk menjodohkan Lik-oh
padanya.
Segera Kiu Jian-jio berkata pula: "Ruangan upacara
di sini sudah tersedia, segala sesuatu juga sudah disiapkan, tamu undanganpun
sudah hadir sekian banyak, kaum persilatan kita juga tidak perlu banyak adat,
sekarang juga kalian berdua boleh menikah saja."
Padahal demi Siao-liong-li, Nyo Ko telah menempur mati2an
dengan Kongsun Ci, ini telah disaksikan sendiri oleh Kim-Iun Hoat-ong dan
lain2.
Kini Kiu Jian-jio memaksa Nyo Ko menjadi mantunya, mereka
tahu sebentar pasti akan terjadi keonaran lagi. Mereka saling pandang dengan
tersenyum dan ada pula yang geleng2 kepala.
Dengan sebuah tangan merangkul bahu Siao-liong-li dan
tangan lain memegangi tangkai Kun-cu-kiam, berkatalah Nyo Ko: "Maksud baik
Kiu-locianpwe kuterima dengan terima kasih, namun hati wanpwe sudah terisi,
sesungguhnya aku tidak jodoh dengan puterimu."
Sembari bicara iapun melangkah mundur pelahan, ia tahu
watak Kiu Jian-jio sangat aneh, bukan mustahil nenek itu mendadak menyemprotkan
biji kurma, maka ia sudah siapkan pedangnya untuk menangkis.
Kiu Jian-jio melotot gusar sekejap ke arah Siao-liong-Ii,
lalu berkata pula: "Hm, rase cilik ini memang amat cantik, pantas yang tua
bangka ter-gila2, yang muda juga kesemsem padanya."
Cepat Lik-oh menyela: "Bu, sudah lama Nyo-toako dan
nona Liong ini terikat oleh janji pernikahan, persoalan mereka biarlah nanti
kuceritakan padamu."
Tapi Kiu Jian-jio lantas mendamperatnya: "Cis, memangnya
kau anggap ibumu ini siapa? Apa yang sudah kukatakan masakah boleh diubah? Nah,
orang she Nyo, mau-tak-mau kau harus tinggal di sini, jangankan anak
perempuanku cukup cantik dan cocok bagimu, sekalipun dia bermuka jelek juga
hari ini kau mesti memper isteri kan dia."
Mendengar ucapan si nenek botak yang tidak se-mena2 itu,
Be Kong-co ter-bahak2 dan berseru: "Haha, suami-isteri yang tinggal di
sini ini benar2 suatu pasangan manusia ajaib, yang laki memaksa perawan orang
untuk menjadi isterinya, yang perempuan juga memaksa pemuda untuk mengawini
puteri-nya. Hahaha, sungguh lucu! Eh, kalau orang menolak boleh tidak?"
"Tidak boleh!" jengek Kiu Jian-jio mendadak.
Dan selagi Be Kong-co bergelak tertawa pula dengan mulut
terbuka, se-konyong2 terdengar suara mendesisnya suatu benda kecil, satu biji
kurma telah menyamber ke dahinya secepat kilat dan tampaknya sukar dihindarkan.
Saking kagetnya cepat Be Kong-co menjongkok,
"plok", dua buah gigi depannya rompal seketika terkena biji kurma
itu, Keruan Be Kong-co menjadi murka, ia mengerang dan menubruk maju.
"Awas, Be-heng!" cepat In Kik-si memperingat
kan.
Namun sudah terlambat, "plak - plok", tahu2 dua
tempat Hiat-to pada kedua kaki Be Kong-co tepat terbidik oleh biji kurma yang
disemprotkan Kiu Jian-jio, kontan kakinya lemas dan jatuh ter-sungkur tak dapat
bangun.
Menyambernya biji2 kurma itu sungguh cepat luar biasa,
Waktu Be Kong-co bergelak tertawa tadi Nyo Ko sudah memperkirakan Kiu Jian-jio
pasti akan menghajar si dogol, segera ia melolos pedang hendak menolongnya,
tapi tetap terlambat sedikit cepat ia membuka Hiat-to kaki Be Kong-co yang
terbidik biji kurma itu dan membangunkannya.
Orang dogol biasanya berhati jujur, begitu pula Be
Kong-co, dia berani mengaku kalah, apalagi melihat Kiu Jian-jio tanpa bergerak,
hanya pentang mulut saja lantas dapat merobobkaanya, hatinya menjadi sangat
kagum, sambil mengacungkan ibu jari ia memuji: "Kau sungguh hebat, nenek
botak, kepandaianmu jauh lebih tinggi daripadaku aku mengaku kalah dan tak
berani lagi padamu,"
Kiu Jian-jio tidak menggubrisnya, ia mendelik pada Nyo Ko
dan bertanya: "Jadi kau tetap tidak mau menikahi puteriku?"
Merasa dibikin malu di depan orang banyak, Kongsun Lik-oh
tidak tahan lagi, ia melolos belati dan mengancam dada sendiri sambil berteriak:
"Ibu, jika engkau tanya dia lagi, segera anak membunuh diri di
depanmu!"
Mendadak Kiu Jiati-jio pentang mulutnya
"berrr", satu biji kurma terus menyamber ke sana dan tepat menghantam
belati yang di pegang Lik-oh itu, begitu hebat tenaganya sehingga belati itu
mencelat dan menancap pada tiang batu. Semua orang sama berseru kaget dan kagum
betapa lihaynya senjata rahasia si nenek.
Nyo Ko pikir tiada gunanya tinggal lebih lama di situ,
segera ia gandeng Siao-liong-li dan diajaknya berangkat
Dengan perasaan pedih cepat Lik-oh mendekati Nyo Ko dan
menyodorkan baju robek yang dipinjamnya dari Nyo Ko tempo tari, katanya dengan
sedih "Nyo toako inilah bajumu!"
"Oh, terima kasih," jawab Nyo Ko dan menerima
kembali baju itu, ia dan Siau-liong-li cukup memahami maksud Lik-oh, yaitu
sengaja mengaling di depan Nyo Ko agar Kiu Jian-jio tidak dapat menyerangnya
dengan biji kurma.
Dengan tersenyum simpul Siao-liong-li juga menyatakan
terima kasihnya dengan mengangguk pelahan. Lik-oh memberi isyarat pula dengan mulutnya
agar kedua orang itu lekas pergi saja.
Akan tetapi mendadak Kiu Jian-jio berteriak pula:
"Nyo Ko, kau tidak mau menikati puteriku, apakah jiwamu juga kau tidak mau
lagi?"
Nyo Ko tersenyum pedih dan melangkah mundur keluar pintu,
Tiba2 Siao-liong-li merandek, hatinya terkesiap, katanya: "Nanti
dulu!" Lalu ia bertanya dengan suara lantang: "Kiu-iocianpwe, apakah
engkau mempunyai obat penawar racun bunga cinta?"
Sebenarnya hal ini sudah terpikir oleh Lik-oh, ia menduga
sang ibu pasti akan menggunakan obat penawar sebagai alat pemeras kepada Nyo Ko
agar anak muda itu mau menikahinya, sebab itulah sejak tadi ia tak berani
memohonkan obat itu bagi Nyo Ko, betapapun ia adalah gadis suci bersih, dengan
sendirinya tidak pantas membela Nyo Ko di depan umum tapi sekarang urusan sudah
gawat, ia tidak dapat memikirkan hal2 itu lagi, segera ia berkata kepada sang
ibu: "Kalau saja Nyo-toako tidak memberi bantuan, tentu saat ini ibu masih
terkurung di gua bawah tanah itu, utang budi harus membalasnya dengan budi,
haraplah ibu suka berusaha menyembuhkan racun yang diidap oleh Nyo-toako
itu,"
"Hm, utang budi balas budi, utang jiwa balas jiwa?
Masakah di dunia ini dapat membedakan budi dan dendam sejelas itu?" jengek
Kiu Jian-jio, "Coba katakan, apakah Kongsun Ci memperlakukan diriku secara
begitu keji juga termasuk balas budinya padaku?"
Mendadak Lik~oh berteriak: "Anak paling benci
terhadap lelaki yang tidak beriman. Kalau orang she Nyo ini juga sengaja
meninggalkan kekasih lama dan ingin menikahi anak, biarpun mati juga anak tidak
sudi menjadi isterinya."
Sebenarnya ucapan Lik-oh ini sangat cocok dengan jalan
pikiran Kiu Jian-jio, tapi segera iapun tahu maksud tujuan Lik-oh, nona itu
teramat cinta kepada Nyo Ko, kalau anak muda itu mau menikahinya tentu saja ia
bersedia pula, cuma terpaksa oleh keadaan sekarang, yang diharapkan adalah
menolong dulu jiwa Nyo Ko.
Kim-Iun Hoat-ong, In Kik-si dan lain-Iain saling pandang
dengan tersenyum menyaksikan adegan "kawin paksa" yang menarik ini.
Sampai sekarang baru Kim~1um Hoat-ong mengetahui Nyo Ko mengidap racun, diam2
ia bergirang dan berharap anak muda itu tetap kepala batu, dengan begitu orang
yang berwatak seperti Kiu Jian-jio itu juga pasti takkan memberi obat
penawarnya apabila tiada mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kehendaknya.
Begitulah sorot mata Kiu Jian-jio mengusap pelahan muka
seriap orang secara bergilir, kemudian ia berkata "Nyo Ko, kulihat orang
yang hadir ini ada yang menginginkan kematianmu, ada juga yang berharap kau
akan hidup terus, Nah. kau sendiri ingin mati atau ingin hidup, hendaklah kau
memikirkan dengan baik!"
Sambil merangkul pinggang Siao-Iiong-li, dengan lantang
Nyo Ko menjawab: "Kalau dia tidak menjadi milikku dan aku tidak dapat
memiliki dia, kami berdua lebih suka mati bersama saja."
"Benar!" tukas Siao-liong-li, dengan tertawa
manis, Keduanya sudah ada perpaduan batin, cinta mereka sudah sedemikian
mendalam, mati-hidup bagi mereka sudah bukan soal lagi.
Tapi Kiu Jian-jio tetap sukar memahami isi hati
Siao-liong li, ia membentak: "Jika bocah itu tidak kutoIong, maka jiwanya
pasti akan melayang, kau tahu tidak hal ini? Dia cuma dapat hidup 36 hari lagi,
kau mengerti tidak?"
"Kalau kau sudi menolongnya dan kami dapat berkumpul
lebih lama beberapa tahun lagi untuk itu sudah tentu kami sangat berterima
kasih," kata Siao-1iong-1i. "Jika kau tidak mau menolongnya maka
biarlah kami berkumpul lagi selama 36 hari juga boleh. Toh kalau dia mati aku
sendiripun tidak bakal hidup terus,"
Waktu bicara, wajahnya yang cantik molek itu sama sekali
tidak memberi sesuatu perasaan kuatir dan sedih, soal mati dan hidup itu
dianggapnya seperti sepele saja.
Tentu Kiu Jian-jio merasa bingung, sebentar ia pandang
Nyo Ko, lain saat ia pandang Siao liong-li pula, dilihatnya kedua muda-mudi itu
saling menatap dengan penuh kasih sayang, rasa cinta murni begini selamanya
belum pernah terasakan oleh Kiu Jian-jio sendiri, bahkan juga tidak pernah
terpikir olehnya ternyata di dunia ini toh ada lelaki dan perempuan yang begitu
mendalam cintanya.
Tanpa terasa ia teringat nasibnya sendiri yang
bersuamikan Kongsun Ci, akhirnya ternyata begini jadinya. Mendadak ia menghela
napas panjang dan air matanya bercucuran.
Segera Lik-oh menubruk maju dan merangkul sang ibu,
katanya dengan menangis: "O, ibu, obatilah dia. Nanti kita pergi mencari
Jiku saja, beliau sangat rindu padamu bukan?"
Karena air matanya itu terangsang pula perasaan halusnya
sebagai wanita segera Kiu Jian-Jio ingat kepada kedua kakaknya, kakak pertama
menurut surat kakak kedua yang di bacakan Kongsun Ci itu katanya sudah tewas di
tangan Kwe Cing dan Ui Yong, sedangkan dirinya sendiri lumpuh dan kakak kedua
sekarang sudah menjadi Hwesio, itu berarti sakit hati kematian kakak pertama
itu sukar dibalas lagi.
Tiba2 teringat oleh Kiu Jian-jio bahwa ilmu silat bocah
she Nyo ini tidak lemah, kalau dia berkeras tidak mau menikahi Lik-oh, boleh
juga kusuruh dia membalaskan sakit hatiku kepada Kwe Cing dan Ui Yong sebagai
imbalannya?
Setelah ambil keputusan demikian, pelahan ia lantas
mengeluarkan sisa satunya Coat-ceng-tan yang masih ada itu, ia potong pil
persegi sebesar gundu itu menjadi dua dengan kukunya ia ambil setengah potong
obat itu dan ditaruh pada telapak tangannya tahi berkata: "Nah, Nyo Ko,
obat akan kuberikan padamu, kau tidak sudi menjadi menantuku juga tak apalah,
tapi kau harus berjanji untuk melakukan sesuatu urusan bagiku."
Nyo Ko saling pandang sekejap dengan Siao-Iiong-li, sama
sekali tak terduga bahwa nenek botak itu mendadak bisa berhati baik kepada
mereka, walaupun kedua orang tidak memikirkan soal mati dan hidup lagi, tapi
kalau ada jalan untuk tetap hidup, sudah tentu hal ini sangat menggembirakan.
Segera ia bertanya: "Urusan apa yang perlu kulakukan
bagi Kiu locianpwe, kalau mampu tentu akan kami kerjakan sepenuh tenaga"
"Aku ingin kau menanggalkan kepala dua orang dan
diserahkan padaku di sini," jawab Kiu Jian-jio.
Mendengar itu, seketika Nyo Ko dan Siao-jiong-li sama
berpikir bahwa satu di antara kedua orang yang ingin dibunuhnya itu pasti
Kongsun Ci adanya. Sudah tentu Nyo Ko tidak mempunyai kesan baik terhadap
Kongsun Ci, setelah buta sebelah mata dan punah pula ilmu kebal Tiam-hiatnya,
dalam waktu singkat keadaan Kongsun Ci tentu sangat payah, untuk mencari dan
membunuhnya rasanya tidak sukar.
Tapi mengingat dia ayah Lik-oh sedangkan nona itu sangat
kesemsem pada dirinya, rasanya menjadi tidak enak kalau ayahnya harus dibunuh.
Dalam hati Siao-liong-li juga merasa utang budi kepada
Kongsun Ci meski orang itu memang jahat dan pantas dibinasakan Tapi melihat
sikap Kiu Jian-jio yang ketus itu, kalau permintaannya tidak dilaksanakan
betapapun obat yang dimilikinya itu pasti takkan diberikan kepada Nyo Ko,
tampaknya urusan ini harus di sanggupi lebih dulu.
Melihat kedua orang itu mengunjuk rasa ragu, Kiu Jian-jio
lantas menjengek: "Akupun tidak tahu antara kalian dengan kedua orang itu
apakah ada hubungan baik atau tidak, yang pasti aku harus membunuh kedua orang
itu." sembari bicara, tangannya memainkan setengah potong pil
Coat-ceng-tan itu dengan -di-lempar2kan ke atas secara padahal Nyo Ko merasa
nada ucapan Kiu Jian-Jio itu seperti bakau Kongsua Ci yang dimaksud segera
iapun bertanya: "Siapakah musuh2 Kiu-locianpwe itu?"
"Masakah kau tidak mendengar isi surat yang dibaca
tadi?" jawab Kiu Jian-jiu, "Yang membunuh Toakoku kan bernama Kwe
Cing dan Ui Yong"
"Aha, bagus sekali, sangat kebetulan!" seru Nyo
Ko kegirangan "Kedua orang itu adalah pembunuh ayahku, seumpama tiada
permintaanmu juga Wanpwe akan menuntut balas kepada kedua orang itu."
Hati Kiu Jian-jio terkesiap, "Apa betul katamu?"
ia menegas.
"Taysu ini juga pernah bersengketa dengan kedua
orang itu, urusanku juga pernah kuceritakan padanya," kata Nyo Ko sambil
menuding Kim-lun Hoat-ong.
Kiu Jian-jio memandang kearah Hoat-ong sebagai tanda
tanya.
"Ya, memang betul, " jawab Hoat-ong sambil
mengangguk, "Tapi saudara Nyo ini waktu itu jelas membantu Kwe Cing dan Ui
Yong serta memusuhiku."
Siao-liong-li dan Kongsun Lik-oh menjadi gemas karena
Hwesio ini senantiasa berusaha mengadu domba, berbareng mereka melototinya.
Namun Kim-lun Hoat-ong anggap tidak tahu saja, dengan tersenyum ia tanya Nyo
Ko: "Saudara Nyo, coba katakan, betul tidak ucapanku tadi?"
"Benar," jawab Nyo Ko dengan tertawa,
"Sesudah kubalas sakit hati ayah-bundaku, kelak aku masih harus minta
petunjuk beberapa jurus lagi kepada Taysu."
"Baik, baik!" ujat Hoat-ong sambil merangkap
kedua tangannya didepan dada.
Kalau kedua orang itu sedang adu mulut, Kiu Jian-jio
sendiri sedang merenungkan persoalannya sendiri, tiba2 ia menyodorkan obat yang
di pegangnya dan berkata kepada Nyo Ko: "Aku tidak urus apakah ucapanmu
benar atau tidak, bolehlah kau makan obat ini."
Nyo Ko mendekatinya dan menerima obat itu, ia menerima
obat itu cuma setengah potong saja, diam2 iapun paham maksud si nenek, katanya
dengan tertawa: "Jadi setengah potong obat lagi harus kutukar dengan
kepala kedua orang itu."
"Benar, kau memang pintar," jawab Kiu Jian-jio
mengangguk.
Nyo Ko pikir minum saja setengah potong obat ini dari
pada sama sekali tidak ada, Maka ia terus memasukkan obat itu ke mulut dan di
telannya kedalam perut.
"Di dunia ini Coat-ceng-tan ini cuma sisa satu biji
saja, sekarang setengahnya sudah kau minum, masih ada separoh akan kusimpan
pada suatu tempat, 18 hari lagi akan kuberikan obat itu jika kau membawa kepala
kedua orang yang kuminta itu," kata Kiu Jian-jio kemudian "Jika kau
tidak melaksanakan perintahku itu, biarpun nanti kau dapat menawan aku serta
menyiksa ku dengan cara apapun juga, maka jangan kau harap akan mendapatkan
separoh pil itu. Nah, cukup sampai di sini saja, selamanya aku bicara dengan
tegas, para tamu silahkan pulang, Nyo-toaya dan nona Liong, kita berjumpa 18
hari lagi." Habis bicara fa terus memejamkan mata tanpa menggubris orang
lain jelas sikapnya itu adalah mengusir tetamu.
"Mengapa memberi batas waktu 18 hari"? tanya
Siao-Iiong-Ii.
Sambil memejamkan mata Kiu Jian-jio menjawab: "Racun
bunga cinta yang mengeram dalam tubuhnya itu mestinya baru akan bekerja 36 hari
lagi. Tapi sekarang dia telah makan separoh pil Coat-ceng-tan sehingga kadar
racun dalam tubuhnya mengumpul menjadi satu, masa kerjanya menjadi tambah cepat
sekali lipat. Maka 18 hari lagi kalau dia makan sisa obat ini seketika racun
dalam tubuh nya akan punah, kalau tidak..." sampai di sini ia tidak
meneruskan lagi melainkan memberi tanda agar semua orang lekas pergi.
Nyo Ko dan SiaoIiong-li tahu orang ini sukar diajak
bicara dengan baik2, segera mereka melangkah pergi, setiba di mulut lembah dan
menemukan kudanya yang di tinggalkan oleh Nyo Ko ketika datang itu, sekali Nyo
Ko bersuit, segera kuda itu berlari keluar dari hutan sana..
Meski Nyo Ko hanya tiga hari saja berada di Cui-sian-kok
itu, namun selama tiga hari itu telah banyak mengalami bahaya dan beberapa kali
hampir melayang jiwanya, kini dapat meninggalkan tempat berbahaya ini dengan buah
hatinya, sungguh ia merasa seperti hidup di dunia lain.
Sementara itu fajar sudah menyingsing, berdiri di tempat
tinggi memandangi perkampungan yang penuh dikeliligi pepohonan yang rindang itu
di bawah sinar sang surya pagi, pemandangan yang menghijau permai itu sungguh
sangat menarik.
Nyo Ko menggandeng Siao-liong-li ke bawah pohon yang
rindang, katanya- "Kokoh "
"Kukira kau jangan memanggil Kokoh lagi
padaku," ujar Siao-liong-li sambil menggelendot di tubuh anak muda itu.
Dalam hati Nyo Ko memang sudah lama tidak menganggap
Siao-liong-li sebagai guru lagi, dia masih memanggil "Kokoh" (bibi)
padanya adalah karena kebiasaan. Maka senang sekali dia mendengar ucapan si
nona tadi, ia berpaling dan menatap bola mata Siao-liong-li yang hitam itu,
lalu bertanya: "Habis aku mesti panggil apa padamu?"
"Kau suka memanggii apa boleh terserah padamu?"
kata Siao-Iiong-Ii.
Nyo Ko termenung sejenak. lalu berkata pula: "Saat2
yang paling menyenangkan selama hidupku adalah pada waktu kita tinggal bersama
di kuburan kuno itu. Tatkala itu kupanggil engkau Kokoh, sampai matipun biarlah
tetap ku panggil kau Kokoh,"
"Eh, kau masih ingat tidak ketika kupukul pantatmu,
apakah waktu itu kaupun sangat senang?" ujar Siao-liong-li dengan tertawa.
Mendadak Nyo Ko merangkul Siao-liong-li ke dalam
pelukannya terasa bau harum lembut dari tubuh si nona berbaur dengan hawa segar
tetumbuhan pegunungan sungguh membikin orang mabuk dan syur serta sukar
mengendalikan diri.
Dengan pelahan Nyo Ko berkata "Kalau kita berada
bersama seperti ini selama 18 hari, kukira kita akan mati bahagia dan tidak
perlu membunuh Kwe Cing dan Ui Yong segala, daripada susah2 pergi ke sana dan
bertempur mati?an, lebih baik kita hidup aman tenteram untuk menikmati
kebahagiaan selama 18 hari ini."
"Terserah bagaimana kehendakmu!" ujar Siao
liong-li, "Dahulu aku selalu menyuruh kau tunduk pada perintahku, sejak
kini aku cuma menuruti perkataanmu."
Biasanya Siao-liong-li sangat dingin, sekarang
perasaannya penuh kasih mesra, mata alisnya hingga badannya serta tangan dan
kaki pun terasa hangatnya cinta kasih, ia merasa bahagia apabila menuruti
perkataan Nyo Ko dengan segenap jiwa raganya.
Nyo Ko termangu memandangi Siao liong-li agak lama
barulah ia berkata dengan pelahan: "Mengapa matamu menggenang air?"
Siao-liong-Ii pegang sebelah tangan anak muda itu dan
ditempelkan pelahan pada pipi sendiri, jawabnya kemudian dengan suara lambat:
"Aku.... aku sendiri tidak tahu" Selang sejenak ia menyambung pula:
"Tentunya disebabkan aku teramat suka padamu."
"Kutahu kau sedang berduka bagi sesuatu
persoalan," ujar Nyo Ko.
Mendadak Siao-liong~Ii mengangkat kepalanya dan air
matapun bercucuran ia mendekap dalam pelukan Nyo Ko, katanya dengan
tersedu-sedan: "Ko-ji. Ko-ji, kau... kita hanya ada waktu 18 hari, mana
bisa cukup."
Nyo Ko mengusap bahu si nona dan berkata: "Ya,
akupun bilang tidak cukup."
"Kuingin kau senantiasa perlakukan aku begini,
selamanya, seratus tahun, seribu tahun," kata Siao-liong-li dengan
ter-sedat2.
Nyo Ko pegang muka Siao-liong-li dan dike-cupnya pelahan
bibirnya yang merah delima itu, lalu berkata dengan tegas: "Baik,
betapapun harus kubunuh Kwe Cing dan Ui Yong."
Ketika ujung lidahnya merasakan asinnya air mata si nona,
seketika cinta berahinya bergejolak, serentak dadanya kesakitan, seluruh
tubuhnya se-akan2 meledak.
Pada saat itulah tiba2 di dengar suara seorang berkata di
tempat ketinggian sebelah sana: "Huh, seumpama ingin ber-kasih2an, kan
harus mencari tempat yang baik dan tidak perlu di tempat terbuka seperti
ini."
Cepat Nyo Ko menoleh, dilihatnya di atas tanjakan bukit
sana berdiri Kim-lun Hoat-ong, ln Kik-si, Siau-siang-cu, Nimo Singh dan Be Kong
co. Yang membuka suara tadi jelas adalah Kim-lun Hoat-ong.
Kiranya waktu Nyo Ko dan Siao-liong li meninggalkan
Cui-sian-kok secara ter-buru2 tanpa menghiraukan orang lain, maka Kim lun
Hoat-ong dan rombongannya diam2 mengikuti di belakang mereka, Saking asyiknya
Nyo Ko dan Siao-liong li- menumpahkan rasa cinta masing2 sehingga mereka tidak
tahu kalau perbuatan mereka itu telah dilihat seluruhnya oleh Hoat-ong dan
rombongannya.
Teringat kepada sikap Kim lun Hoat-ong yang kurang
simpatik, beberapa kali sengaja mengadu domba Nyo Ko dengan Kongsun Ci dan
hampir saja Nyo Ko dicelakai, diam2 Nyo Ko merasa menyesal telah bantu
menyembuhkan luka Hoat-ong ketika dia bersemadi di pegunungan sunyi tempo hari,
tahu begitu tentu Hwesio gede itu sudah dibinasakannya waktu itu.
Melihat sorot mata Nyo Ko yang gusar itu, cepat
Siao-liong-li menghiburnya: "jangan urus orang macam begitu, orang begitu
biarpun hidup selamanya juga tidak lebih bahagia daripada kita hidup selama 18
hari."
Dalam pada itu terdengar Be Kong-co berseru: "Adik
Nyo dan nona Liong, marilah kita pergi ber-sama. pegunungan sunyi begini
masakah ada yang menarik?"
Tapi yang diharapkan Nyo Ko sekarang hanya dapat
berkumpul bersama Siao-liong-li selama masih ada kesempatan, namun orang2 itu
justeru datang mengganggunya, ia tahu Be Kong-co bermaksud baik, maka lantas ia
menjawab: "Silakan Be-toako berangkat dahulu, sebentar Siaute lantas menyusul."
"Baiklah, lekas ya!" kata Be Kong-co,
"Hahaha, kenapa kau ikut ribut?" ujar Kim lun Hoat-ong sambil
bergelak ketawa, "Mereka lebih suka bergadang selama 18 hari di pegunungan
sunyi ini, tapi kau justeru merecoki mereka."
Tentang batas waktu 18 hari seperti apa yang dikatakan
Kiu Jian-jio itu dapat didengar setiap orang, maka Be Kong-co menjadi gusar
mendengar ucapan Kira-lun Hoat-ong itu, mendadak ia menubruk maju dan
menjamberet baju di dada Hoat-eng dan mendamperat.
"Bangsat gundul, hatimu sungguh keji! Kita datang ke
sini suatu rombongan dengan adik Nyo, kau tidak membantu dia saja kudu dimaki,
sekarang kau malah mengejek dan meng-olok2 dia lagi, sebenarnya apa
kehendakmu?"
"Hm, kau lepaskan tidak?" jengek Hoat-ong.
Tidak, kau mau apa?" jawab Be Kong-co dengan gusar
bahkan ia tarik baju orang dengan lebih kencang,
Mendadak kepalan kanan Hoat-ong menjotos ke muka lawan.
"Bagus! Kau ingin berkelahi ya?" seru Be
Kong-co sambil angkat telapak tangannya yang besar itu untuk menangkap kepalan
Hoat-ong.
Tak terduga jotosan Hoat-ong itu ternyata pancingan
belaka, tiba2 tangan kirinya menolak sekuatnya di punggung Be Kong-co, kontan
tubuh Be Kong-co yang besar itu terus mencelat ke sana dan terguling ke bawah
tanjakan bukit itu.
Untunglah lereng bukit itu penuh rumput tebal dan
panjang, pula kulit daging Be Kong-co kasar lagi tebal sehingga tidak mengalami
luka parah, walaupun begitu tidak urung kepalanya juga benjot dan muka matang
biru sampai lama ia tidak sanggup bangun.
Ketika melihat kedua orang mulai bergebrak Nyo Ko tahu Be
Kong-co pasti akan kecundang, saat ia memburu ke sana, namun sudah terlambat,
Be Kong-co sudah telanjur terguling ke bawah, Segera Nyo Ko memayangnya bangun,
ke dua orang lantas naik lagi ke atas bukit.
Meski dongkol, tapi orang dogol juga punya akal dogoI, ia
tahu berkelahi secara berhadapan pasti bukan tandingan Hwesio besar itu, maka
sambil berjalan iapun pura2 merintih kesakitan "Aduh tanganku patah
dipukul bangsat gundul!"
Bahwa Kim-Iun Hoat-ong diundang oleh pangeran MongoI,
yaitu Kubilai, serta diangkat menjadi Koksu kerajaan MongoI, hal ini memangnya
sudah menimbulkan rasa dongkol tokoh2 lain seperti Siau siang-cu, Nimo Singh
dan lain2, sekarang mereka melihat pula Hoat-ong bertindak secara tidak
se-mena2 terhadap kawan sendiri, keruan Siau-siang-cu dan Nimo Singh bertambah
gusar, segera keduanya saling memberi isyarat.
"Hm, kepandaian Taysu memang hebat, pantas
mendapatkan gelar Koksu nomor satu kerajaan MongoI," demikian
Sian-siang-cu lantas mengejek.
"Ah, mana aku..." Hoat-ong berendah hati ia
dapat melihat gelagat bahwa kedua orang ini ada maksud menyerangnya sedangkan
Nyo Ko dan Siao liong-Ii di sebelah lain juga siap2 akan me-labrak, bagaimana
dengan In Kik-si belum lagi diketahui.
Kalau saja dirinya dikerubut, walaupun belum tentu kalah,
namun untuk menang jelas juga sukar, Maka sambil berjalan diam2 iapun mencari
akal untuk meloloskan diri.
Diluar dugaan, sambil berlagak merintih ke-sakitan, diam2
Be Kong-co mendekati belakang Hoat -ong dan mendadak menghantam tepat mengenai
kepalanya.
Dengan kepandaian Kim-Iun Hoat-ong yang maha tinggi itu,
sebenarnya sukar bagi Be Kong-co untuk menyergapnya, tapi sekarang perhatian
Hoat-cng lagi dicurahkan untuk menghadapi kemungkinan kerubutan Nyo Ko,
Siau-siang-cu dan lain2, ia tidak memperhatikan kelakuan si dogol dan akibatnya
kena dihantam keras dari belakang.
Hantaman keras itu membuat kepala Hiat-ong kesakitan dan
mata ber-kunang2, dengan murka tanpa pikir Hoat-ong menyikut ke belakang dan
tepat dada Be Kong-co tersodok, tanpa ampun si dogol menjerit dan rebah ke
bagian depan.
Perawakan Hoat-ong lebih pendek, tubuh Be Kong-co yang
tinggi besar itu tepat rebah dan bersandarkan pada pundaknya Tanpa pikir lagi
Hoat -ong terus panggul tubuh yang gede itu dan di bawa lari ke bawah bukit.
Tindakan Hoat-ong ini benar2 diluar dugaan siapapun juga,
dengan pedang terhunus Nyo Ko yang per-tama2 mengudak ke sana,
Kepandaian Kim-Iun Hoat-ong benar2 luar biasa, meski
memanggul seorang raksasa yang beratnya hampir 300 kati, namun larinya secepat
terbang, Nyo Ko, Siau-liong-li, Nimo Singh dan lain2 juga memiliki Ginkang yang
tinggi, tapi dalam jarak berpuluh meter itu sukar bagi mereka untuk
menyusulnya.
Nyo Ko mempercepat Iangkahnya, lambat laun dapat ia
memperpendek jaraknya dengan Hoat-ong. Ketika sudah dekat, se-konyong2 Hoat-ong
berhenti dan berpaling, katanya dengan menyeringai : "Baik, kalian ingin
maju sekaligus atau suka satu lawan satu?" - Habis berkata ia terus angkat
tubuh Be Kong-co dan mengarahkan kepalanya pada sepotong batu padas yang besar
dengan gerakan akan membenturkan kepala Be Kong-co itu.
Lebih dulu Nyo Ko mengitar ke belakang Hoat-ong untuk
merintangi jalan kaburnya, lalu menjawab: "Jika kau membunuhnya, dengan
sendirinya kami akan mengerubuti kau."
Hoat-ong ter-bahak2 dan melemparkan tubuh Be Kong co ke
tanah, katanya: "Orang dogol begini buat apa kumusuhinya?" - Segera
ia mengeluarkan senjatanya yang khas, yaitu sebuah roda perak dan sebuah lagi
roda tembaga, ia benturkan kedua roda sehingga menerbitkan suara nyaring, lalu
berkata pula dengan angkuh: "Nah, siapa diantara kalian yang ingin maju
lebih dulu?"
"Hihihi, kalau kalian hendak berlatih, orang dagang
seperti diriku lebih suka menjadi peninjau dan menonton saja," kata In
Kik-si dengan tertawa.
Diam2 Hoat-ong merasa lega, ia pikir kalau orang Persia
ini tidak membantu sana sini, maka berkuranglah seorang lawan berat baginya.
Siau-siang-cu paling licin, ia sendiri merasa tidak yakin
dapat menandingi Kim-lun H-oat-ong dan sengaja membiarkan orang lain maju lebih
dulu untuk menghabiskan tenaga musuh, kemudian barulah ia maju lagi untuk
menarik keuntungannya.
Maka ia lantas berkata: "Saudara Singh, kepandaianmu
jauh lebih tinggi, silakan maju lebih dulu!"
Meski watak Nimo Singh sangat berangasan tapi dia bukan
orang bodoh, segera ia tahu maksud Sing siang-cu. Tapi iapun merasa ilmu silat
sendiri cukup tinggi, andaikan tidak dapat menang, rasanya juga takkan kalah,
segera ia pegang sebuah batu padas yang besar, lalu berteriak.
"Baik, biar kucoba kelihayan kedua rodamu itu!"
Berbareng batu padas yang diangkatnya itu terus dikeprukkan ke dada Kim-lun
Hoat-ong.
Memangnya perawakan Nimo Singh pendek, sedangkan batu
padas yang dipegangnya itu sangat besar dan tingginya melebihi dia malah,
bobotnya sedikitnya ada tiga-empat ratus kati. Semua orang terkejut melihat dia
menggunakan batu begitu sebagai senjata.
Kemarin waktu menahan panas di rumah batu itu Nimo Singh
pernah pingsang tergarang, Kim-lun Hoat-ong pikir Lwekang orang cebol ini tidak
seberapa kuat, tak terduga tenaganya ternyata sangat besar dan sanggup
mengangkat batu raksasa itu untuk menghantamnya, ia merasa tidak menguntungkan
keras lawan keras, cepat ia memutar ke samping, sedangkan roda tembaga di
tangan kanan terus memukul ke punggung lawan.
Batu sebesar itu ternyata dapat diputar oleh Nimo Singh
dengan enteng saja, segera ia menangkis dengan batu padas itu, Roda tembaga dan
batu kebentur dan menerbitkan lelatu api disertai suara nyaring memekak
telinga.
Lengan rada kesemutan diam2 ia membatin: "llmu silat
setan hitam ini rada aneh, harus kuhadapi dengan hati2. Tapi dia mengangkat
batu sebesar itu, masakah dia dapat bertahan lama?"
Karena pikiran itu, segera ia putar kedua roda-nya dengan
cepat sambil mengitari Nimo Singh dengan Ginkangnya. .
Setelah menolong bangun Be Kong co, Nyo-Ko berdiri
berjajar Siao-liong-li mengikuti pertaruhan seru itu, dilihatnya tenaga sakti
"Nimo Singh beruang luar biasa, ilmu silatnya juga aneh, diam2 mereka rada
heran.
Setelah berlangsung lagi sekian Iama, tenaga Nimo Singh
sedikipun tidak berkurang, bahkan mendadak ia menggertak satu kali, batu padas
raksasa itu terus dikeprakkanya ke dada Hoat-ong.
Betapapun lihaynya Kim-lun Hoat-ong juga tidak berani
menahan samberan batu sebesar itu, cepat ia melompat ke samping. Tak terduga,
tiba2 Nimo Singh juga ikut melayang maju, batu itu dapat disusulnya, kedua
tangannya mendadak menghantam batu sehingga batu itu menggeser arah dan memburu
ke jurusan Hoat-ong.
Daya samberan batu itu adalah sisa lemparan pertama ditambah
lagi tenaga dorongan kedua kalinya sebab itu lebih hebat daripada samberan
pertama kali tadi.
Bicara tentang ilmu silat sejati sebenarnya Kim-lun
Hoat-ong memang di atas Nimo Singh, cuma tenaga raksasa melempar batu yang
disebut "Sikya-hiat-siang-kang" (llmu Budha melempar gajah) ini
memang luar biasa dan belum pernah dilihatnya seketika ia menjadi kelabakan,
terpaksa ia melompat berkelit pula ketika batu itu menyambar tiba.
Selagi menang segera Nimo Singh mendesak lagi lebih
lanjut, ber-kali2 ia hantam batu itu sehingga daya sambernya bertambah hebat.
Hoat-ong pikir kalau pertarungan begitu terus, akhirnya
dia pasti akan dikalahkan orang keling cebol itu kalau tidak lekas berdaya
lain.
Begitulah sambil bertempur iapun memikirkan upaya cara
berganti serangan untuk memperoleh kemenangan. Pada saat itulah tiba2 terdengar
suara derapan kuda yang riuh disusul dengan panji2 yang berkibar, serombongan
orang berkuda tampak muncul di tempat ketinggian sana.
Nimo Singh dan Kim-lun Hoat-ong sedang bertarung dengan
sengit dan tidak sempat memandang ke sana, tapi Nyo Ko dan lain2 sudah dapat
melihat jelas rombongan itu adalah sepasukan tentera MongoI yang tangkas, di
bawah panji besar yang berkibar itu berdiri seorang perwira muda berjubah
kuning dan membawa busur.
"Hei, berhenti, berhenti!" mendadak perwira itu
berseru sambil melarikan kudanya ke kalangan pertempuran Hoat-ong berdua. Siapa
lagi dia kalau bukan pangeran Mongol, Kubilai.
Mendengar suara itu, Nimo Singh melompat maju lagi dan
menghantam batu padas dengan kedua tangannya batu itu terus melayang ke sana
dan jatuh ke bawah bukit dengan menerbitkan suara gemuruh.
Kubilai melompat turun dari kudanya, sebelah tangannya
menarik Hoat-ong dan tangan lain menggandeng Nimo Singh, katanya dengan
tertawa: "Kiranya kalian sedang berlatih di sini, sungguh banyak menambah
pengalamanku akan kelihaian kalian."
Sudah tentu ia tahu kedua orang itu sedang bertempur
mati2an, tapi demi kehormatan kedua pihak, ia sengaja melerai.
"llmu silat saudara Singh sungguh hebat, bagus,
bagus!" ujar Hoat-ong dengan tersenyum.
Dengan mendelik Nimo Singh menjawab: "Memangnya
kukira Koksu nomer satu pasti luar biasa, kiranya cuma begini saja,Hm!"
Hoat-ong menjadi gusar dan segera akan menanggapi pula,
tapi Kubilai telah menyela: " Wah, pemandangan di sini sungguh indah,
harus di ramaikan dengan minum arak, Hayo, bawakan arak nya, biar kita minum
tiga cawan bersama!"
Bangsa MongoI sudah biasa berkenalan di padang Iuas,
makan minum di manapun tidak menjadi soal, Segera ada pengawal menghaturkan
arak dan dendeng.
Kubilai memandang sekejap ke arah Siao-liong li, diam2 ia
terkesiap akan kecantikannya, Melihat Nyo Ko berdiri sejajar dengan si nona
dengan bergandengan tangan, tampaknya sangat mesra, segera ia tanya Nyo Ko:
"Siapakah nona ini?"
"lnilah nona Liong, guruku dan bakal isteriku,"
jawab Nyo Ko. Sejak pergulatan dengan maut di gua bawah tanah dan akhirnya
selamat, maka watak Nyo Ko menjadi semakin nyentrik, segala tata adat tidak
terpikir olehnya, ia justeru ingin mengumumkan kepada dunia bahwa: inilah Nyo
Ko yang memperistrikan bekas gurunya.
Kalau bangsa Han memang sangat kolot dalam adat
kekeluargaan, maka bangsa Mongol tidak begitu mementingkan tata adat begitu,
sebab itulah Kubilai tidak merasa heran pada ucapan Nyo Ko, malahan bertambah
rasa hormat dalam hatinya demi mendengar nona cantik itu pernah mengajarkan
ilmu silat kepada Nyo Ko.
Dengan tertawa ia ber-kata: "Yang laki gagah dan
yang perempuan caritik, sungguh pasangan yang setimpal Bagus, bagus! Marilah
kita habiskan semangkuk arak ini sebagai ucapan selamatku!" - Habis
berkata, ia angkat mangkuk arak sendiri dan ditenggak hingga habis.
Kim-Iun Hoat-ong tersenyum, iapun habiskan mangkuknya.
Dengan sendirinya yang lain2 juga ikut minum, malahan sekaligus Be Kong-co
menghabiskan tiga mangkuk.
Sebenarnya Siao-liong-li tidak suka kepada orang Mongol,
sekarang didengarnya pujian Kubilai bahwa perjodohannya dengan Nyo Ko setimpal,
betapapun ia menjadi kegirangan dan ikut minum semangkuk arak sehingga semakin
menambah moleknya. Pikirnya: "Orang Han semuanya menganggap aku tidak
boleh menikah dengan Koji, tapi pangeran Mongol ini justeru menyatakan bagus,
tampaknya pandanan orang Mongol jauh lebih luas daripada orang Han."
Karena itu diam2 timbul hasratnya untuk membantu orang Mongol.
Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata pula.
"Kalian tidak pulang selama tiga hari, aku kuatir terjadi sesuatu. soalnya
situasi di Siangyang cukup genting sehingga aku tidak dapat selalu mendampingi
kalian, tapi sudah kutinggalkan pesan di markas agar kalian diharap segera
menuju garis depan di Siangyang apabila kalian sudah pulang. Kebetulan sekarang
kita bertemu di sini, sungguh hatiku sangat lega,"
"Apakah gempuran pasukan kita atas Siangyang cukup
Iancar?" tanya Hoat-ong.
"Sebenarnya panglima yang menjaga Siangyang, yaitu
Lu Bun-hoan adalah seorang bodoh, yang kukuatiri hanyalah Kwe Cing seorang
saja," tutur Kubilai.
Hati Nyo Ko tcrkesiap, cepat ia bertanya: "jadi Kwe
Cing memang berada di Siangyang? Kwe Cing ini adalah pembunuh ayahku, jika
boleh, maka kumohon diberi tugas untuk membunuhnya,"
"Memangnya begitulah maksud tujuan undanganku kepada
para ksatria." kata Kubilai dengan girang. "Cuma kabarnya ilmu silat
Kwe Cing itu tergolong nomor satu di seluruh Tinggoan, banyak pula orang kosen
yang membantunya, beberapa kali pahlawan yang kusuruh membunuhnya mengalami
kegagalan, ada yang tertangkap dan ada yang terbunuh. Sudah tentu kupercaya
pada ketangkasan saudara Nyo, tapi seorang diri terasa kurang kuat, maka
maksudku kalau bisa para ksatria di sini sekaligus menyusup di Siangyang,
dengan begitu kalian dapat turun tangan bersama. Asalkan orang she Kwe itu
terbunuh, dengan mudah pula Siangyang akan dapat kita duduki."
Serentak Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain2
berdiri, kata mereka sambil menyilang tangan di depan dada. "Kami siap
mengikuti semua perintah Ongya dan bertempur sekuat tenaga."
"Bagus, bagus!" seru Kubilai dengan girang,
"Tak peduli siapa yang akan membunuh Kwe Cing nanti, yang pasti setiap
orang yang ikut pergi juga berjasa, Hanya orang yang membunuhnya itulah akan
kuusulkan kepada Sri Baginda agar diberi gelar dan diangkat menjadi jago nomor
satu dari kerajaan Mongol Raya kita."
Gelar bangsawan sih tidak begitu menarik bagi
Siao-siang-cu, Nimo Singh dan lain2, tapi sebutan "jago nomor satu
kerajaan Monggol" adalah cita2 yang mereka harapkan, sebab dengan begitu
namanya akan tersohor ke seluruh jagat
Maklumlah waktu itu kerajaan Mongol lagi jaya2nya,
wilayah kekuasaannya sangat luas dan belum ada bandingannya dalam sejarah,
kecuali benua barat, waktu itu dua pertiga wilayah Tiongkok juga telah
didudukinya, sebagai ukuran luasnya wilayah pendudukan kerajaan Mongol waktu
itu dapat dilukiskan: perjalanan dari pusat pemerintah kerajaan ke empat
penjuru wilayah pendudukannya diperlukan tempo satu tahun sekalipun dengas kuda
yang paling cepat.
Karena itulah dapat dibayangkan betapa membamggakan gelar
"jago nomor satu" itu bagi setiap manusia. Semua orang menjadi
tertarik dan bersemangat setelah mendengar janji Kubilai itu.
Hanya Siao-liong li saja yang memandangi Nyo Ko dengan
rasa cinta yang tak terhingga, ia pikir sebutan dengan gelar bangsawan dan jago
nomor satu segala, yang kuharapkan hanya semoga engkau dapat hidup terus.
BegituIah semua orang terus menenggak arak lagi beberapa
mangkuk, lalu berangkat, Para Busu Mongol membawakan kuda dan Nyo Ko,
Siao-Iiong li serta Kim-lun Hoat-ong dan lain2 sama naik ke atas kuda, mereka
ikut di belakang Kubilai dan dilarikan cepat ke arah Siangyang.
Sepanjang jalan rumah penduduk hampir seluruhnya kosong
melompong dan hangus terbakar, mayat bergelimpangan memenuhi jalan, Setiap
berjumpa orang Han, tanpa kenal ampun prajurit Mongol melakukan pembunuhan.
Tidak kepalang gusar Nyo Ko menyaksikan idaman itu, ia
ingin mencegah perbuatan kejam itu, tapi segan terhadap Kubilai. Diam2 ia hanya
membatin: "Kawanan perajurit Mongol ini sungguh kejam dan menganggap
bangsa Han kami lebih rendah daripada binatang. Nanti setelah kubunuh Kwe Cing
dan Ui Yong, akupun akan membunuh beberapa perwira Mongol yang paling kejam
untuk melampiaskan rasa dendamku."
Kuda tunggangan mereka adalah kuda peran Mongol pilihan,
maka beberapa hari kemudian merekapun sampailah di luar kota Siangyang,
Sementara itu pertempuran pasukan kedua pihak sudah berlangsung sebulan lebih,
di medan peran penuh senjata rusak dan darah berceceran sudah membeku, maka
dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran.
Ketika pasukan Mongol diberitahu oleh kurir bahwa
pangeran Kubilai datang sendiri di garis depan, para panglima perang segera
menyambutnya. Kubilai menyatakan rasa penyesalannya karena kota Siang yang
sudah sekian lama belum dapat diduduki, para panglima itu sama berlutut dan
minta ampun, Kubilai terus keprak kudanya dan dilarikan ke depan dengan cepat.
Para panglima itu tetap berlutut dan tidak berani bangun, semuanya merasa
kebat-kebit.
Diam2 Nyo Ko sangat mengagumi wibawa Kubilai yang luar
biasa itu, biasanya Kubilai sangat ramah tamah terhadap dirinya serta Kim-Iun
Hoat-ong dan lain2, tapi menghadapi para panglimanya ternyata berubah menjadi
sangat kereng dan disegani.
Sementara itu hari sudah terang, pasukan mendapatkan aba2
menyerang, seketika terjadilah hujan panah dan batu yang berhamburan ke benteng
kota, menyusul tembok2 benteng banyak ditempeli tangga panjang, be-ramai2
perajurit Mongol berusaha manjat ke-atas benteng.
Akan tetapi penjagaan benteng juga kuat, beberapa
perajurit Han memegangi kayu besar dan banyak tangga melangit itu didorong
terpental dari tembok benteng.
Akhirnya ada beberapa ratus perajurit berhasil menyerbu
ke atas benteng, sorak-sorai pasukan Mongol menggelegar setiap Pek-hu-tiang
(komandan seratus orang, setingkat kapten) Mongol memimpin pasukannya merayap
ke atas sebagai bala bantuan.
Mendadak terdengar suara genderang dipukul keras,
sepasukan pemanah kerajaan Song muncul di balik tembok sana dapat menahan
majunya pasukan Mongol, menyusul sepasukan lain dengan obor be-ramai2 membakar
tangga panjang sehingga perajurit Mongol yang sedang merayap ke atas benteng
sama jatuh terjungkal ke bawah.
Suasana menjadi gaduh, di tengah pertempuran dahsyat itu,
tiba2 di atas benteng muncul sepasukan Iaki2 gagah perkasa bersenjata golok,
tombak dan pedang, serentak pasukan Mongol yang berhasil menyerbu ke aras
benteng itu disergapnya.
Pasukan laki2 itu tidak memakai seragam pasukan Song ada
yang berbaju hitam ringkas, ada yang berjubah panjang dengan warna yang
berbeda, waktu bertempur juga tidak menuruti peraturan pasukan, namun semuanya
sangat tangkas, jelas tiap2 orang itu memiliki ilmu silat yang terlatih.
Perajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng itu adalah
perajurit pilihan yang sudah berpengalaman dan gagah berani, namun sama sekali
bukan tandingan pasukan laki2 itu, hanya beberapa gebrakan saja satu persatu
mereka dapat dikalahkan dan terbunuh, ada yang menggeletak di atas benteng, ada
yang terlempar ke bawah benteng.
Di antara pasukan laki2 itu ada seorang setengah umur
berjubah abu2 kelihatan paling tangkas, tanpa bersenjata, tapi berlari kian
kemari tanpa.tandingan, di situ pula musuh tercerai berani laksana harimau
menyerbu ke tengah kawanan domba.
Kubilai mengawasi sendiri pertempuran itu, melihat betapa
gagahnya lelaki setengah tua itu, ia menjadi kesima, katanya dengan gegetun:
"Siapa di antara jago2 di dunia ini ada yang lebih hebat daripada orang
ini?"
Nyo Ko berdiri di samping Kubilai, ia lantas berkata:
"Apakah Ongya tahu siapakah dia?"
"Apa mungkin dia ini Kwe Cing?" jawab Kubilai
terkejut.
"Betul, memang dia," kata Nyo Ko.
Sementara itu beberapa ratus perajurit Mongol yang
menyerbu ke atas benteng itu sudah terbunuh dan bersisa beberapa orang saja,
hanya tiga orang Pik-hu-tiang dengan bertumbak dan membawa perisai masih terus
bertempur dengan mati2an.
Ban-hu-tiang (komandan selaksa orang, setingkat kolonel)
yang memimpin pertempuran di bawah benteng kuatir didamperat Kubilai, cepat ia
memerintah agar meniupkan tanduk dan memberi aba2 penyerbuan lagi, serentak
pasukan Mongol menyerang dengan gagah berani untuk menyelamatkan ketiga
Pek-hu-tiang.
Mendadak Kwe Cing bersiul nyaring dan melangkah maju,
ketika salah seorang Pek-hu-tiang menusuknya dengan tumbak, dengan tepat gagang
tumbak kena dipegang Kwe Cing terus didorong ke depan, menyusul sebelah kakinya
melayang dan tepat menendang pada perisai Pek-hu-tiang kedua, meski kedua
Pek-hu-tiang itu sangat gagah, tapi sukar menahan tenaga sakti Kwe Cing,
seketika keduanya mencelat terjungkal ke bawah benteng dan binasa dengan kepala
pecah dan tubuh remuk.
Pek-hu-tiang ketiga berusia lebih tua, rambutnya sudah
ubanan, iapun insaf dirinya tak terluput dari kematian, tapi sekuatnya ia putar
goloknya dan menyerang dengan kalap, Se-konyong2 Kwe Cing menubruk maju, dengan
tepat tangan lawan yang memegang golok itu kena dicengkeramnya, selagi ia
hendak menyusuli dengan sekali hantaman untuk membinasakan Pek-hu-tiang itu,
tiba2 ia melengak Pek-hu-tiang itupun dapat mengenali Kwi Cing cepat ia
berseru: "He, engkau, Kim-to Hunji (menantu raja bergolok emas)!"
Kiranya Pek-hu-tiang ini adalah bekas anak buah Kwe Cing
ketika dahulu Kwe Cing ikut Jengis Khan menyerbu ke wilayah barat Segera Kwe
Cing turun dari kuda dan berlari mendekati benteng, mereka menarik busur dan
membidikan dua panah ke arah Kwe Cing.
Kepandaian memanah kedua orang itu memang lihay, baru
saja terdengar suara teriakan perajurit di atas benteng, tahu2 kedua panah itu
sudah menyamber sampai di depan dada Kwe Cing, tampaknya sukar lagi bagi Kwe
Cing untuk mengelak, tak terduga mendadak kedua tangan Kwe Cing meraih, satu
tangan satu panah telah kena dipegangnya menyusul kedua panah itu berbaIik-
disambit ke musuh..
Belum lagi kedua jago pengawal Mongol tadi melihat jelas
apakah Kwe Cing jadi mati kena panah mereka atau tidak, mendadak kedua panah
sudah menyamber tiba dan menembus dada mereka, kontan mereka binasa. serentak
terdengarlah, suara sorak gemuruh pasukan Song di atas benteng disertai bunyi
genderang yang ber-talu2 sebagai tanda kemenangan.
Kubilai menjadi kesal dan memimpin pasukannya mundur ke
tempat yang diperintahkan tadi, ditengah jalan tiba2 Nyo Ko berkata:
"Ongya tidak perlu masgul, biarlah sebentar Cayhe masuk ke kota sana untuk
membunuh Kwe Cing."
"Tapi Kwe Cing itu serba lihay, namanya memang bukan
omong kosong belaka, kurasa rencanamu hendak membunuhnya rada sukar," ujar
Kubilai sambil menggeleng.
"Beberapa tahun pernah kutinggal di rumahnya, pula
pernah menolong anggota keluarganya, dia pasti tidak curiga apapun
padaku," kata Nyo Ko.
"Tadi kau berdiri di sampingku, mungkin sudah
dilihat olehnya," kata Kubilai pula.
"Sebelumnya sudah kupikirkan hal ini, maka tadi aku
dan nona Liong memakai topi lebar untuk menutupi muka dan pakai mantei bulu
puIa, dia pasti pangling padaku," ujar Nyo Ko.
"Baiklah, jika begitu kuharap kau akan berhasil,
tentang janji anugrah pasti kupenuhi" kata Kubilai.
Nyo Ko mengucapkan terima kasih, Baru saja ia hendak
berangkat bersama Siao-b'ong-li, sekilas dilihatnya Kim-lun Hoat-ong,
Siau~siang-cu dan lain2 menghunjuk rasa kurang senang, segera terpikir oleh Nyo
Ko bahwa orang2 itu tentu kuatir kalau gelar "jago nomor satu" itu
akan direbutnya karena berhasil membunuh Kwe Cing, untuk itu orang2 itu pasti
akan menjegalnya supaya usahanya gagal. Maka Nyo Ko lantas berkata pula kepada
Kubilai: "Ada sesuatu pula ingin kutegaskan kepada Yang Mulia."
"Urusan apa, katakan saja," jawab Kubilai.
"Maksudku membunuh Kwe Cing hanya demi membalas
sakit hati pribadiku," tutur Nyo Ko. "selain itu juga kepalanya
kuperlukan untuk menukar obat penolong jiwa Kokohku, Maka kalau usahaku
berhasil berkat doa restu Ongya, namun gelar jago nomor satu itu sama sekali
tak berani kuterima."
"Apa sebabnya? "tanya Kubilai heran.
"Betapapun kepandaianku belum dapat dibandingkan
dengan tokoh2 yang hadir di sini ini, mana kuberani mengaku sebagai jago nomor
satu?" kata Nyo Ko.
"Sebab itulah Ongya harus terima dulu permohonanku
ini barulah kuberani melaksanakan tugas"
Karena Nyo Ko bicara dengan sungguh2 dan tegas, pula
melihat sikap Siau-siang-cu dan yang lain itu, diam2 Kubilai juga dapat menerka
apa yang menjadi pertimbangan anak muda itu, maka berkatalah dia:
"Baiklah, setiap orang memang mempunyai cita2 sendiri, jika begitu
kehendakmu akupun tidak ingin memaksakan."
Segera Nyo Ko memohon diri dan berangkat bersama
Siao-liong-li. Ditengah jalan mereka membuang topi dan mantel bulu yang mereka
pakai sehingga dandanan sekarang adalah bangsa.
Sampai dibawah benteng kota hari sudah menjelang magrib,
terlihat pintu gerbang benteng tertutup rapat, di atas benteng satu regu
prajurit sedang ronda kian kemari."
"Hei, aku bernama Nyo Ko dan ingin bertemu dengan
Kwe~toaya, Kwe Cing," teriak Nyo Ko.
Ketika mendengar suaranya, perwira yang dinas jaga coba
melongok ke bawah dan melihat Nyo Ko cuma bersama dengan seorang perempuan, ia
percaya pasti bukan musuh yang sengaja hendak menyusup ke kota, segera ia melaporkan
hal itu kepada Kwe Cing.
Tidak lama kemudian dua pemuda muncul diatas benteng dan
melongok keluar, seorang lantas bersuara: "Oh, kiranya Nyo-toako, apakah
cuma kalian berdua?"
Kiranya kedua pemuda itu adalah Bu Tun-it-dan Bu Siu-bun.
Dengan tertawa Nyo Ko lantas meryawabr "Eh, kiranya Bu jiko, Apakah
Kwe-pepek ada di situ?"
"Ada, silahkan masuk saja" Jawab Siu Bun.
Segera ia memberi perintah agar membukakan pintu benteng
dan menurunkan jembatan untuk menyambut datangnya Nyo Ko dan Siao-liong li
Kedua saudara Bu membawa Nyo Ko ke sebuah rumah besar,
dengan wajah berseri Kwe Cing menerima kedatangan mereka, lebih dulu Kwe Cing
memberi hormat kepada Siao-liong-li lalu menarik tangan Nyo Ko, katanya dengan
tertawa girang: "Ko-ji, kedatangan kalian sangat kebetuIan, Musuh sedang
menyerang kota, kedatangan kalian berarti bantuan yang dapat diandalkan bagiku,
sungguh bahagia sekali segenap penduduk kota ini."
Siao-liong-li adalah guru Nyo Ko, maka Kwe Cing
menghormatinya sebagai angkatan yang sama dengan ramah ia menyilakan dia masuk
kedalam rumah, terhadap Nyo Ko iapun sangat sayang dan menggandeng tangannya.
Ketika teringat bahwa orang yang menggandeng tangannya
ini adalah pembunuh ayahnya, sungguh tidak kepalang gemas hati Nyo Ko, kalau
bisa sekali tusuk akan dibinasakannya. Cuma jeri kepada kelihaian Kwe Cing,
maka tidak berani sembarangan bergerak, dengan air mukanya yang gembira, iapun
menanyakan kesehatan sang paman dan tidak lupa pula menanyakan Ui Yong.
Lantaran rasa dendamnya sebegitu jauh ia tidak memberi
sembah hormat kepada Kwe Cing. Namun Kwe Cing memang orang baik, sedikitpun ia
tidak memperhatikan tata adat begitu.
Sampai di ruangan besar, Nyo Ko hendak menemui Ui Yong ke
dalam, namun Kwe Cing telah mencegahnya, katanya: "Bibimu sudah hampir
melahirkan, beberapa hari akhir2 ini kesehatannya ada terganggu, boleh kau
menemuinya lain hari saja."
Diam2 Nyo Ko bergirang, ia justeru kuatir akan kecerdikan
Ui Yong, bukan mustahil maksud kedatangannya ini akan diketahuinya, kalau bibi
itu sedang sakit, maka kebetulan baginya.
Tengah bicara, datanglah utusan panglima kota yaitu Lu
Bun-hoan, yang mengundang Kwe Cing untuk menghadiri perjamuan merayakan
kemenangan yang tadi.
Namun Kwe Cing telah menolak undangan itu dengan alasan
dia sendiri lagi menerima tamu, sudah tentu utusan panglima itu sangat heran,
dilihatnya usia Nyo Ko masih muda dan tiada sesuatu yang luar biasa, entah
mengapa justru anak ini mendapat perhatian Kwe Cing sebesar itu sehingga
menolak undangan sang panglima hanya untuk melayani anak muda itu, Terpaksa
utusan itu pulang melaporkan hal itu kepada Lu Bun-hoan.
Kwe Cing lantas mengadakan perjamuan sederhana di rumah
sendiri untuk merayakan kedatangan Nyo Ko dan Siao-liong-li, ikut hadir di meja
perjamuan adalah Cu Cu-liu, Loh Yu-kah, kedua saudara Bu, Kwe Hu dan lainnya.
Ber-ulang2 Cu Cu-liu mengucapkan terima kasih pada Nyo Ko
yang pernah menolongnya dgn memaki pangeran Hotu dari Mongol itu menyerahkan
obar penawar sehingga Cu Cu-liu terbebas dari renggutan maut.
Sikap Kwe Hu ternyata tawar saja terhadap Nyo Ko, ia cuma
memanggil sekali, lalu tidak bicara pula. Dalam perjamuan itu alis si nona
kelihatan terkerot seperti dirundung suatu persoaIan. Kedua saudara Bu juga,
selalu menghindari adu pandang dengan Nyo Ko, ketiga orang juga tidak berbicara
sejak awal hingga berakhirnya perjamuan.
Sebaliknya Loh Yu-kah dan Cu Cu-liu sangat gembira ria
dan. asyik ngobrol tentang kemenangan gemilang atas pasukan Mongol siangnya.
Waktu perjamuan selesai, sementara itu sudah lewat tengah
malam. Kwe Cing menyuruh Kwe Hu mengawani Siao liong-li tidur sekamar, ia
sendiri menarik Nyo Ko untuk tidur bersama satu ranjang.
Ketika akan pergi Siao-liong-li sempat melirik sekejap
pada Nyo Ko dan agar anak muda itu ber-hati2. Nyo Ko kuatir rahasianya
diketahui orang, cepat ia berpaling dan tidak berani menatap Siao~liong-li
Kwe Cing menggandeng Nyo Ko ke kamar tidurnya, ber-ulang2
ia memuji anak muda itu melawan Kim-lun Hoat-ong di barisan batu2 itu dan
berhasil menyelamatkan Ui Yong, Kwe Hu serta kedua saudara Bu. Habis itu ia
lantas tanya pengalaman Nyo Ko setelah berpisah.
Teringat kejadian tempo hari, diam2 Nyo Ko menyesal telah
menolong Ui Yong dengan matian apabila sudah mengetahui Ui Yong adalah musuhnya
ia kuatir kalau banyak bicara mungkin rahasia tujuannya akan diketahui Kwe
Cing, maka tentang pertemuannya dengan Thia Eng, Liok Bo-siang, Sah Kho dan Ui
Yok-su tak diceritakannya, ia hanya mengaku merawat lukanya di pegunungan
sunyi, kemudian bertemu dengan Kokoh, lalu bersama ke sini untuk mencari paman.
Sembari membuka baju dan mapan tidur, Kwe Cing berkata:
"Ko-ji, saat ini musuh sudah berada di depan mata, keadaan Song Raya kita
benar2 berbahaya, seperti telur di ujung tanduk. Siangyang adalah perisai bagi
tanah air kita, kalau kota ini jatuh, mungkin ber-juta2 rakyat kita akan
menjadi budak orang Mongol. Dengan mataku sendiri kulihat keganasan orang
MongoI, sungguh darahku menjadi mendidih menyaksikan kekejaman musuh
itu...."
Segera Nyo Ko teringat juga keganasan perajurit Mongol yang
dilihatnya sepanjang perjalanan, saking gusarnya iapun mengertak gigi.
"Kaum kita belajar silat dengan sepenuh tenaga,
walaupun tujuannya ingin berbuat kebajikan dan membela kaum kecil, namun ini
hanya sebagian kecil saja daripada tugas kita yang sebenarnya," kata Kwe
Cing pula, "Sebabnya orang Kangouw menyebut aku "Kwe-tayhiap",
kukira bukan disebabkan kepandaianku yang tinggi melainkan menghormati diriku
yang berjuang mati2an demi negara dan rakyat.
Namun aku sendiri merasa tenagaku seorang teramat kecil
dan belum dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan sesungguhnya aku malu
untuk disebut "Tayhiap", Kau masih muda, kepintaranmu dan
kecerdasanmu berlipat ganda daripadaku, hari depanmu pasti cemerlang dan tentu
jauh melebihi diriku. Hanya kuharap kau selalu ingat kepada pesanku ini:
"Demi negara dan rakyat, itulah tugas utama kita", Semoga kelak
namamu termashur dan menjadi seorang Tayhiap (pendekar besar) sejati yang
dihormati segenap rakyat jelata.
Uraian Kwe Cing itu sangat mengena di lubuk hati Nyo Ko,
dilihatnya Kwe Cing bicara dengan sungguh2, simpatik, tapi juga kereng, meski
jelas dia adalah musuh yang membunuh ayahnya, tapi tanpa terasa timbul juga
rasa hormat dan segannya. Segera ia menjawab: "Kwe-pepek, jika engkau
sudah meninggal aku pasti akan ingat selalu perkataanmu ini."
Sudah tentu Kwe Cing tak mengira bahwa malam ini juga si
Nyo Ko akan membunuhnya, dengan rasa sayang ia membelai kepala anak muda itu
dan berkata pula "Ya, memang, berjuang sampai titik darah penghabisan
kalau negara kita runtuh, jiwa pamanmu ini jelas juga takkan tertinggal lagi.
Baiklah, sudah jauh malam, marilah tidur. Kabarnya Kubilai sangat pandai
mengatur pasukan, kemunduran pasukannya tadi mungkin cuma siasat belaka, dalam
beberapa hari ini pasti akan ada pertempuran dahsyat, kau perlu kumpulkan dan
memupuk semangat untuk memperlihatkan segenap kepandaianmu di medan
perang."
Nyo Ko mengiakan saja, lalu membuka baju dan mapan tidur.
Belati yang dibawanya dari Coat-ceng-kok itu diam2 diselipkan nya di pinggang,
ia pikir biar ilmu silatmu beratus kali lebih tinggi, kalau sudah tertidur,
sekali tikam dengan belati ini, masakah kau mampu mengelak?
Karena siangnya bertempur sengit, maka Kwe Ceng rada
lelah, begitu menempel bantal dia terus terpulas. Sebaliknya Nyo Ko
bergolak-golik tak dapat tidur. Dia tidur di bagian dalam, didengarnya
pernapasan Kwe Cing sangat teratur, tarikan dan hembusan napasnya terselang
agak lama, diam2 ia kagum terhadap Lwekang sang paman yang hebat itu.
Agak lama kemudian, suasana terasa hening, hanya dari
jauh terdengar suara peronda sedang melakukan tugasnya pelahan Nyo Ko berduduk
dan meraba belatinya, ia pikir kalau dia sudah kutikam mati, segera kupergi
membunuh Ui Yong pula, rasanya membereskan seorang wanita hamil tak terlalu sulit,
selesai semuanya segera bersama Kokoh kembali ke Coat-ceng-kok untuk mengambil
setengah biji obat itu.
Kemudian kami akan mengasingkan diri di kuburan kuno itu
untuk menikmati kebahagiaan hidup dan takkan peduli apakah dunia ini akan
menjadi milik Song atau direbut Mongol.
Begitulah hatinya sangat senang berpikir sampai di sini,
Tiba2 terdengar suara tangisan seorang anak kecil di rumah tetangga
sana,menyusul suata sang ibu sedang meminang anaknya, suara tangis anak itupun
mulai mereda dan kemudian sunyi senyap pula.
Seketika hati Nyo Ko tergetar, mendadak teringat olehnya
apa yang dilihatnya di perjalanan tempo hari, di mana seorang Busu Mongol telah
menyudet perut seorang bayi dan diangkat ke udara seperti sundukan satai, bayi
itu tidak lantas mati, tapi masih dapat menjerit ngeri.
Segera terpikir olehnya: "Untuk membunuh Kwe Cing
sekarang bagiku sangat mudah. Tapi kalau dia mati, kota ini takkan dapat
dipertahankan lagi dan be-ribu2 anak kecil dalam kota ini tentu akan menjadi
mangsa keganasan perajurit Mongol. Aku sendiri berhasil membalas dendam, tapi
akibatnya jiwa rakyat jelata yang tak terhitung banyaknya akan menjadi korban,
apakah perbuatanku ini dapat dipuji?"
Tapi lantas terpikir pula: "Kalau tidak kubunuh dia,
tentu pula Kiu Jian-jio tak mau memberikan obatnya padaku dan kalau aku mati
pasti juga Kokoh tak dapat hidup lagi," Betapa mendalam cintanya kepada
Siao-liong-li boleh dikatakan tiada taranya, karena itulah menjadi nekat:
"Sudahlah, biar peduli amat dengan jiwa rakyat
Siangyang dan negara segala, ketika aku menderita sengsara, selain Kokoh
seorang siapa lagi yang pernah menaruh belas kasihan padaku? Orang lain tidak
pernah sayang padaku, buat apa aku mesti sayang pada orang lain?"
Begitulah ia lantas angkat belati nya. tenaga dikumpulkan
pada tangan itu, ujung belati mengincar tepat pada dada Kwe Cing.
Lilin di dalam kamar itu sudah dipadamkan tapi Nyo Ko
sudah biasa melihat dalam kegelapan, waktu belatinya akan ditusukan, sekilas ia
memandang wajah Kwe Cing, dilihatnya air muka paman sangat tenang, wajah
seorang welas asih dan berbudi.
Belati sudah tergenggam di tangan Nyo Ko, tapi ia ragu2
untuk turun tangan mengingat keselamatan laksaan jiwa bangsa Han yang akan
menjadi korban keganasan serdadu Mongol yang kejam itu.
----------- nggak nyambung
tidurnya sangat nyenyak. Tiba2 terbayang pula dalam benak
Nyo Ko semua kejadian di masa lampau, betapa kasih sayang paman padanya waktu
tinggal di Tho-hoa-to dan tanpa mengenal lelah sang paman mengantarnya ke
Cong-lam-san untuk belajar siIat, malahan berniat menjodohkan puteri tunggalnya
kepadanya.
Tanpa terasa timbul pikirannya: "Selamanya Kwe pepek
bertindak jujur dan terus terang, beliau adalah seorang tua yang baik budi,
Pribadi seperti dia ini seharusnya tidak mungkin mencelakai ayahku, Apakah
mungkin Sah Koh yang tidak waras itu sembarangan omong? Kalau saja tikaman ini
jadi kulaksanakan dan mungkin ternyata salah membunuh orang baik, bnkankah
dosaku sukar lagi diampuni? Wah, nanti dulu kukira urutan ini harus kuselidiki
dulu.
Pelahan2 ia lantas menyimpan kembali belatinya, ia coba
merenungkan pula satu demi satu kejadian di masa lalu sejak dia bertemu dengan
Kwe Cing dan Ui Yong.
Teringat olehnya sikap Ui Yong yang kurang simpatik
padanya, beberapa kali dipergoki suami isteri ku sedang membicarakan sesuatu
soal apa2, tapi pokok pembicaraan lantas dihentikan begitu dia muncul. Kalau
dipikir, tentu ada sesuatu diantara suami isteri itu sengaja dirahasiakannya.
lngat pula sang bibi resminya menerimanya sebagai murid,
tapi yang diajarkan hanya membaca dan menulis, sedikitpun tidak diajarkan
silat. Apakah keramahan paman Kwe kepadaku itu bukan lantaran dia telah
mencelakai ayahku dan hatinya merasa tidak tenteram, maka sengaja membaiki aku
sekedar menenangkan hatinya yang merasa berdosa itu?
Begitulah Nyo Ko terus bergulang-guling tak dapat pulas.
Dalam pada itu Kwe Cing masih tidur dengan nyenyaknya, namun pada suatu ketika
itu, dapat mengetahui pernapasan Nyo Ko yang rada memburu itu mendadak ia
membuka mata dan bertanya: "Ada apa, Ko-ji? kau tak dapat tidur?"
Badan Nyo Ko rada bergetar, jawabnya: "Oh tidak
apa2"
"Kalau kau tidak biasa tidur bersama orang lain,
bolehlah kutidur di meja saja," kata Kwe Cing dengan tertawa.
"Wah, tidak, tidak apa2" sahut Nyo Ko cepat
"Baiklah, jika begitu lekas tidur." ujar Kwe
Cing. "Orang belajar silat harus mengutamakan menenangkan batin dan
memusatkan pikiran."
Nyo Ka mengiakan. Akan tetapi pikirannya tetap bergoIak
akhirnya ia tidak tahan dan bertanya: "Kwe-pepek, dahulu waktu kau mengantar
diriku ke Cong lam-san,- sampai kuil di kaki gunung itu pernah kutanyakan
sesuatu padamu, apakah paman masih ingat?"
Hati Kwe Cing terkesiap, jawabnya: "Ya, ada
apa?"
"Tatkala mana Kwe-pepek marah2 dan menghantam sebuah
pilar batu sehingga menimbulkan salah paham para Tosu hari Coan-cin-kau, apakah
paman masih ingat persoalanku yang kutanyakan itu?"
"Ya, kalau tidak salah kau tanyai cara bagaimana
meninggalnya ayahmu,"
Dengan tatapan tajam Nyo Ko berkata pula. "Waktu
yang kutanyakan padamu adalah siapa kah yang membunuh ayahku."
"Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu di bunuh
orang?" kata Kwe Cing.
"Memangnya ayahku meninggal secara baik2?"
tanya Nyo Ko dengan suara agak serak.
Kwe Cing terdiam sejenak, ia menghela napas panjang, lalu
berkata pula: "Ayahmu meninggal secara menyedihkan, akan tetapi tiada
siapapun yang membunuhnya, dia sendirilah yang membunuh dirinya sendiri"
Mendadak Nyo Ko bangun berduduk, dengan perasaan yang
sangat terangsang ia berkata: "Tidak Kwe-pepek dusta padaku, mana mungkin
di dunia ini ada orang membunuh dirinya sendiri? seumpama ayahku membunuh diri,
tentu juga ada orang-lain yang menyebabkan kematiannya."
Kwe Cing menjadi berduka dan meneteskan air mata, katanya
pelahan: "Anak Ko, kakekmu dan ayahku adalah saudara angkat, ayahmu dan
diriku juga mengikat persaudaraan. Kalau ayahmu mati secara penasaran masakah
aku tidak berusaha membalas dendam baginya?"
Tubuh Nyo Ko rada gemetar, saking menahan perasaannya
hampir saja ia berucap: "Kau sendiri yang membunuh ayahku dengan
sendirinya kau tidak mungkin membalaskan dendamnya."
Tapi ia tahu sekali ucapannya itu dikeluarkan tentu Kwe
Cing akan waspada dan selanjutnya pasti sukar hendak membunuhnya. Maka Nyo Ko
hanya diam saja, lalu tidak bicara lagi.
"Persoalan ayahmu sebenarnya sangat banyak
lika-likunya dan sukar diceritakan dalam waktu singkat." kata Kwe Cing
pula. "Dahulu waktu kau bertanya, karena kupikir usiamu masih terlalu muda
dan belum dapat memahami sebab musababnya dengan jelas, lantaran itulah aku tidak
mau menjelaskan padamu, sekarang kau sudah dewasa, sudah dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang Jahat, maka setelah orang MongoI dipukul mundur,
biarlah nanti kuceritakan dari awal hingga akhir." jeIasnya. Habis berkata
ia terus membalik dan tidur lagi.
Nyo Ko cukup kenal perangai sang paman yang tegas itu,
sekali dia bilang satu, tidak mungkin berubah menjadi dua, Tapi ia menjadi
ragu2 lagi dan memaki dirinya sendiri: "Wahai, Nyo Ko, biasanya kau
bertindak sesuatu selalu tegas dan berani, mengapa sekarang kau bimbang dan
takut2 ? Apakah kau jeri terhadap ilmu silatnya yang lihay? Bukan saja
kesempatan bagus malam ini kau sia2 kan, besok bila Ui Yong mengetahui maksud
tujuanmu mungkin Kokohmu akan ikut menjadi korban.
Teringat kepada Siao liong li, seketika ia bersemangat
lagi, ia meraba pula belatinya, belati yang menempel kulit perutnya itu serasa
panas oleh suhu badannya. Baru saja ia hendak mencabut belatinya, tiba2
terdengar daun jendela diketok orang tiga tali dengan sangat pelahan.
"Cepat Nyo Ko pura2 tidur, sedangkan Kwe Ceng,
lantas terjaga bangun berduduk serta bertanya "Apakah Yong-ji di situ? Ada
urusan apa?"
Namun suara di luar jendela lantas berhenti, Kwe Ceng
terus berbangkit, dilihatnya Nyo Ko tertidur nyvnyak, ia pikir anak muda itu
baru saja pulas, sebaiknya jangan diganggu lagi. pelahan2 ia lantas membuka
pintu kamar dan keluar, diiihatnya Ui Yong sedang menunggunya di serambi sana,
Kwe Cing mendekati sang isteri dan bertanya dengan suara tertahan "Ada
urusan apa?"
Ui Yong tidak menjawabnya, ia menarik tangan suaminya ke
halaman belakang, setelah memandang sekelilingnya, habis itu baru berkata:
"Percakapanmu dengan Ko-ji sudah kudengar semua. Dia mengandung maksud
buruk, apakah kau tidak tahu?"
Kwe Cing terkejut "Apa? Dia bermaksud buruk
bagaimana? " ia menegas.
"Dari ucapannya itu, tampaknya dia mencurigai kita
berdua yang membunuh ayahnya," tutur Ui Yong.
"Ya bisa jadi dia curiga," Ujar Kwe Cing sambil
menggeleng, "tapi aku sudah berjanji akan menceritakan sebab musabab
kematian ayahnya."
"Memangnya kau benar2 akan menceritakan padanya
tanpa menutupi sesuatu apapun ?" tanyanya.
"Begitu mengenaskan kematian ayahnya, selama ini
akupun selalu merasa bersalah," kata Kwe Cing, "Meski adik Nyo Khong
tersesat ke jalan yang salah, tapi kita juga tidak berusaha menyadarkan dia dan
tidak berdaya menyelamatkan dia."
"Hmm orang macam begitu masakah ada harganya
dibantu?" jengek Ui Yong, "Malahan aku justeru menyesal tidak
membunuhnya sedini mungkin, kalau tidak masakah beberapa gurumu itu sampai
tewas di Thoa hoa-to gara2 perbuatannya?"
Teringat kepada peristiwa yang mengenaskan itu, tanpa
terasa Kwe Cing menghela napas panjang
"Dari anak Hu kudengar kedatangan Ko-ji ini
kelihatan agak aneh, katanya pula kau tidur sekamar dengan dia, Aku menjadi
kuatir terjadi sesuatu, maka sejak tadi aku sudah mengawasi di luar jendela.
Kukira sebaiknya jangan tidur bersamanya, harus diketahui bahwa hati manusia
sukar dijajaki, pula ayahnya... meninggal akibat keracunan karena memukul
bahuku. "
"Yong-ji, itupun tidak dapat dikatakan kau yang
mencelakai dia." ujar Kwe Cing.
"Walau kita memang ada maksud membunuhnya, akhirnya
dia juga mati akibat diriku, maka soal kita sendiri yang turun tangan
membunuhnya atau bukan menjadi tidak penting lagi." kata Ui Yong.
Kwe Cing berpikir sejenak, katanya kemudian "Betul
juga ucapanmu. Kalau begitu sementara ini takkan kuceritakan terus terang
padanya, Yong ji, sudah jauh malam, lekas kembali ke kamarmu dan mengaso, besok
malam biar kupindah tidur ke-markas saja."
Biasanya Kwe Ging memang menuruti segala nasehat Ui Yong,
soalnya ia tahu kecerdasan dan pengetahuan sang isteri memang berkali lipat
lebih pintar daripada dirinya, dugaannya selalu tepat, perhitungannya tak
pernah meleset, meski ia tidak percaya bahwa Nyo Ko bermaksud jahat kepada-nya,
tapi sang isteri sudah bilang begitu, maka ia lantas menurut saja.
Segera Kwe Cing memayang sang isteri kembali ke kamarnya,
katanya: "Kukira selekasnya Hu-ji dinikahkan saja dengan Ko-ji agar
selesailah persoalan kita ini."
"Aku sendiripun bingung menghadapi urusan ini!"
ujar Ui Yong sambil menghela napas. "Kakak Cing, dalam hatiku hanya ada
engkau seorang begitu pula dalam hatimu sama ada aku, akan tetapi puteri kita
itu ternyata tidak seperti kau, juga tak seperti aku, dalam hatinya justeru
sekaligus terisi dua kekasih yang sukar dibedakan mana yang harus dipilih,
inilah yang membuat kita sebagai ayah-bundanya serba susah."
"Dua kekasih" yang dimaksud Ui Yong bukan lain
daripada Bu Tun-si dan Bu Siu-bun. Kedua anak muda ini sama jatuh cinta kepada
Kwe Hu. sebaliknya Kwe hu juga tidak pilih kasih terhadap kedua saudara Bu-itu.
Waktu masih kecil memang tidak menjadi soal, tetapi
ketiganya kini sudah dewasa, persoalan cinta segi tiga inipun menjadi semakin
rumit dan serba sulit.
Menurut pikiran Kwe Cing, dia ingin menjodohkan,
puterinya kepada Nyo Ko dan, untuk kedua saudara Bu akan dicarikan gadis lain
yang setimpal. Namun pikiran Ui Yong terlebih cermat, ia tahu banyak kesulitan
dalam persoalan jodoh ini. Kendatipun dia sangat pintar, menghadapi soal rumit
inipun dia merasa bingung dan tak berdaya.
Begitulah Kwe Cing mengantar isterinya ke dalam kamar,
setelah berbaring dan menyelimutinya, ia duduk di tepi ranjang sambil
menggenggam tangan sang isteri dengan tersenyum bahagia. Selama sebulan ini
keduanya sama sibuk urusan tugas, suami-isteri jarang berkumpul dengan tenang,
sekarang keduanya berhadapan tanpa bicara, namun terasa sangat tenang.
Ui Yong memegangi tangan Kwe Cing dan di-gosok2kannya
pada pipi sendiri, lalu berkata dengan suara lirih: "Engkoh Cing, anak
kita yang kedua ini bolehlah kau berikan suatu nama yang baik."
"Kau tahu aku tidak sanggup, mengapa kau menggoda
aku," jawab Kwe Cing dengan tertawa.
"Kau selalu mengatakan dirimu tidak sanggup apa2,
padahal, engkoh Cing, lelaki diseluruh jagat ini tiada keduanya yang mampu
melebihi kau," kata Ui Yong dengan mesra dan sungguh2
Kwe Cing menunduk dan mencium pelahan muka sang isteri
katanya: "Kalau anak laki2 kita beri sama Boh-to saja, tapi bila
perempuan...." Dia berpikir sejenak, lalu menyambung "Kau saja yang
memberikan namanya."
"Saat ini kita sedang mempertahankan kota Siang yang
ini menghadapi serbuan orang MongoI, karena anak dilahirkan di sini, maka kita
beri nama Yang saja, agar kelak kalau sudah besar anak ini akan selalu ingat
bahwa dia dilahirkan di kota yang sedang berkecamuk peperangan."
"Bagus, diharap saja anak perempuan ini tidak
senakal Tacinya, sudah begitu besar masih membikin repot orang tua saja,"
ujar Kwe Cing.
"Kafau cuma repot sih tidak jadi soal." ujar Ui
Yong dengan tersenyum, "justeru dia.... .ahhh aku malah berharap anak ini
adalah laki2 saja"
Kwe Cing me-raba2 tangan sang isteri dan ber-kata:
"Anak laki2 atau anak perempuan kan sama saja? Sudahlah, lekas tidur,
jangan berpikir macam2"
Setelah menyelimuti sang isteri dan memadamkan lilin,
lalu Kwe Cing kembali ke kamarnya, dilihatnya Nyo Ko masih tidur dengan
lelapnya, di-dengarnya bunyi kentongan tiga kali, segera ia naik tempat tidur
lagi.
Tak diketahuinya bahwa percakapan mereka suami-isteri
dihalaman tadi telah dapat didengar semua oleh Nyo Ko yang sembunyi di balik
pintu.
Waktu Kwe Cing dan Vi Yong menuju ke ruangan dalam Nyo Ko
masih berdiri kesima di balik pintu sambil merenungkan ucapan Ui Yong:
"Aku justeru menyesal tidak membunuhnya lebih dini, ayahnya mati keracunan
akibat memukul bahuku, kita sama ada maksud membunuhnya, tapi akhirnya dia juga
mati akibat diriku."
Dari kata2 itu jadi sudah jelas bahwa ayahku memang tewas
di tangan mereka berdua, hal ini tidak perlu diragukan lagi, demikian pikir Nyo
Ko, Diam2 iapun merasa Ui Yong benar2 maha lihay karena mencurigai dirinya,
kalau malam ini tidak turun tangan, mungkin kelak tiada kesempatan baik lagi.
Begitulah ia lantas berbaring lagi di tempat tidurnya dan menunggu sampai
kembalinya Kwe Cing.
Setelah Kwe Cing merebahkan diri dan memakai selimut,
didengarnya Nyo Ko mengeluarkan suara mengorok pelahan. Diam2 ia pikir anak
muda ini nyenyak benar tidurnya.
Karena itu ia mapan tidur dengan pelahan, kuatir kalau
mengganggu Nyo Ko. Selang tak lama, selagi layap2 akan terpulas, tiba2 terasa
Nyo Ko membalik tubuh dengan pelahan, tapi waktu membalik tubuh tetap
mengeluarkan suara mendengkur
Kwe Cing melengak heran, umumnya orang tidur kalau
membalik tubuh tentu suara mendengkurnya akan berhenti mengapa pernapasan bocah
ini lain daripada yang lain, apakah mungkin latihan Lwekangnya mengalami
kesalahan? jika betul demikian bisa celaka.
Hati Kwe Cing memang polos, sama sekali ia tidak pernah
menyangka Nyo Ko sengaja pura2 mendengkur
Begitulah ketika Nyo Ko membalik tubuh pula pelahan dan
melihat Kwe Cing tetap diam saja, segera ia mengeluarkan suara dengkuran lagi
sambil turun dari tempat tidur. Semula ia berniat menikam Kwe Cing dalam
selimut, tapi diurungkan karena merasa berbahaya menyerangnya dari jarak dekat,
kalau saja sebelum ajalnya Kwe Cing membalas sekali hantam, tentu jiwa sendiri
juga akan melayang. Karena itu ia mengambil keputusan turun tempat tidur dulu,
begitu tikamannya mengenai tempat yang mematikan segera ia akan melompat keluar
jendela dan melarikan diri, Tapi iapun kuatir kalau suara mendengkurnya
berhenti mungkin akan menimbulkan curiga Kwe Cing jika dalam tidurnya itu
merasakan sesuatu yang tidak beres maka sambil turun dari tempat tidur ia tetap
pura2 ngorok.
Karena kelakuannya inilah membikin Kwe Cing semakin
bingung, ia pikir jangan2 bocah ini mengidap penyakit "mimpi
berjalan" Kalau sekarang kubiarkan dia. karena kagetnya bukan mustahil
tenaga dalamnya akan bergolak dan tersesat ke jalan yang keliru, itu berarti
maut bagi anak muda itu.
Karena itulah ia tidak berani bergerak dan tetap pasang
kuping untuk mengikuti gerak gerik Nyo Ko.
Pelahan Nyo Ko mengeluarkan belatinya danbdigenggamnya
kencang di depan dada, dengan hati2 ia mendekati tempat tidur, mendadak ia
angkat belatinya terus hendak ditikamkan ke ulu hati Kwe Cing.
"Ko ji, kau mimpi buruk apa?" pada saat itu
juga mendadak Kwe Cing berseru padanya dengan suara halus.
Sungguh kaget Nyo Kotak terkatakan, begitu ke dua kakinya
menutul, secara membalik tubuhnya terus menerobos keluar jendela. Akan tetapi
kecepatannya tetap kalah cepat daripada Kwe Cing sebelum dia tancapkan kakinya
di luar, tahu2 kedua bahunya sudah dipegang oleh kedua tangan Kwe Cing.
Seketika Nyo Ko putus asa, ia tahu ilmu silat sendiri
se-kali2 bukan tandingan sang paman, melawan juga tiada gunanya, maka ia cuma
pejam mata dan menunggu ajal saja.
Tak terduga Kwe Cine terus mengangkat tubuhnya dan
melompat masuk pula ke dalam kamar, didudukkannya Nyo Ko di tempat tidur dalam
posisi seperti orang lagi semadi.
Diam2 Nyo Ko heran, ia tidak tahu dengan cara bagaimana
dirinya akan disiksa oleh Kwe Cing, Tiba2 teringat pada Siao-liong-li, ia
menarik napas panjang dan segera bermaksud berteriak memperingatkan nona itu
agar lekas melarikan diri.
Melihat si Nyo Ko menghimpun tenaga, Kwe Cing semakin
salah paham bahwa anak muda itu sedang menahan sakit. Cepat ia gunakan
tangannya untuk menahan perut Nyo Ko.
Mestinya Nyo Ko hendak berteriak: tapi perutnya ditekan
sehingga sukar bersuara, sedangkan dalam hati menguatirkan keadaan
Siao-liong-li, ia menjadi kelabakan tapi perutnya ditahan oleh kwe Cing, ingin
merontapun tidak dapat.
Dengan pelahan kemudian Kwe Cing berkata: "Ko-ji,
kau ter-buru2 berlatih, akibatnya malah macet sebaiknya jangan banyak bergerak,
tenangkan pikiranmu, akan kubantu kau meredakan pergolakan tenaga
dalammu."
Nyo Ko tercengang heran karena tidak tahu apa maksud
ucapannya, ia hanya merasakan hawa hangat tersalur dari tangan sang paman ke
dalam perutnya dan terasa sangat menyegarkan.
Segera tahulah Nyo Ko bahwa Kwe Cing sedang membantunya
dengan Lwekang yang tinggi untuk melancarkan tenaga dalamnya. Diam2 ia merasa
geli dan malu diri pula, Nyata sang paman salah sangka latihan Lwekangnya
tersesat sehingga kelakuannya seperti orang sinting.
Agar tidak menimbulkan curiga orang segera ia mengerahkan
tenaga dalam sendiri dan sengaja disalurkan ke sana ke sini tanpa teratur dan
seperti sukar diatasi.
Tehtu saja Kwe Cmg bertambah kuatir, ia kerahkan
tenaganya lebih kuat untuk menghimpun tenaga dalam Nyo Ko yang terpencar itu.
Karena Nyo Ko sudah telanjur berlagak begitu mau-tak mau ia harus berbuat
supaya lebih sungguh2 tampaknya. Dasar Lwekang si Nyo Ko sekarang sudah sangat
tinggi, seketika Kwe Cing kena dikelabui sampai agak lama barulah ia berhasil
melancarkan tenaga dalam si Nyo Ko yang disangkanya nyasar itu.
Setelah kerja keras begitu, akhirnya Nyo Ko merasa
kehabisan tenaga, Kwe Cing juga merasa letih, kedua orang sama2, bersemadi
sehingga fajar barulah segar kembali.
"Sudah baik belum, Ko-ji?" tanya Kwe Cing
dengan tersenyum. "Sungguh tak terduga bahwa tenaga dalammu sudah begini
hebat, hampir saja aku tidak sanggup menolong kau."
Tahu bahwa sang paman tidak sayang mengorbankan tenaga
murninya demi untuk menolongnya mau - tak - mau hati Nyo Ko sangat terharu,
katanya: "Terima kasih atas pertolongan Kwe-pepek, semalam aku hampir saja
celaka."
Diam2 Kwe Cing bersyukur bahwa anak muda ini tidak
menyadari bahwa semalam dia telah angkat belati hendak menikamnya, kalau tahu,
tentu anak muda itu akan menyesal tak terhingga.
Nyata Kwe Cing yang berhati jujur dan baik budi itu tetap
tidak mencurigai perbuatan Nyo Ko itu, ia malahan kuatir kalau Nyo Ko
mengetahui kejadian itu, maka sengaja membelokkan pembicaraan, katanya segera:
"Marilah kau ikut padaku keluar untuk mengontrol pertahanan pasukan
kita."
Nyo Ko mengiakan dan ikut keluar. Kedua orang masing2
menunggang kuda perang dan dilarikan keluar benteng kota.
"Ko-ji," kata Kwe Cing ditengah jalan,
"Lwe-kang kaum Coan-cin-pay adalah ilmu yang baik, meski kemajuannya
lambat, tapi jarang terjadi kemacetan. Kukira kuncinya sudah cukup kau pahami,
nanti kalau musuh sudah mundur akan kujelaskan lebih lanjut."
"Baiklah, kumohon Kwe-pepek jangan menceritakan
kejadian semalam kepada bibi, kalau beliau tahu tentu akan mentertawakan diriku
yang mempelajari ilmu sesat dari Kokoh segala," kata Nyo Ko.
"Teatu takkan kuceritakan," kata Kwe Cing.
"Padahal Kanghu nona Liong itupun bukan kepandaian
jelek, soalnya kau sendiri yang banyak memikirkan hal2 lain dan tidak dapat
memusatkan pelajaranmu pada itu saja."
Nyata ocehan Nyo Ko telah berhasil membohongi Kwe Cing
sehingga tidak bercuriga sedikitpun, ia tahu bila urusan ini diketahui Ui Yong,
maka sukar akan mengelabuhi nyonya maha cerdik itu, ia merasa lega setelah Kwe
Cing berjanji takkan memberitahukan kejadian semalam kepada Ui Yong.
Begitulah kedua orang terus melarikan kuda mereka ke
barat kota, terlihat sebuah sungai kecil terbentang di kaki bukit sana.
"Sungai ini bernama Tan-keh," tutur Kwe Cing,
"Konon dahulu Lau Pi pada jaman Sam-kok itu dikejar pasukan musuh sampai
di tepi sungai ini, Kuda yang ditunggangi Lau Pi bernama Tek-loh, menurut
peramal kuda, katanya kuda itu kurang baik bagi sang majikan. Tak terduga pada
saat gawat itulah sang kuda mampu melompat melintasi sungai kecil itu sehingga
Lau Pi lolos dari kejaran musuh dan selamatlah jiwanya." - Bicara sampai
disini, tiba2 ia turingat kepadar ayah Nyo Ko, katanya pula dengan gegetun:
"Sebenarnya manusia juga sama dengan kuda yang bernama Tek-loh itu, baik
atau buruk sukar diramal, segala sepatu hanya bergatung pada ketentuan pikiran
sekejap saja."
Hati Nyo Ko terkesiap, ia melirik Kwe Cing sekejap,
tampaknya wajah sang paman mengunjuk rasa duka dan menyesal, agaknya ucapan itu
tidak sengaja ditujukan kepadanya, Diam2 ia membatin: "Meski tidak salah
ucapannya, tapi baik itu apakah, buruk itu apa pula? Kalian suami isteri telah
mencelakai ayahku apakah juga perbuatan baik?" -~ sesungguhnya ia sangat
kagum terhadap tindak tanduk Kwe Cing, tapi bila ingat sang ayah yang mati di
tangan suami isteri itu, mau-tak-mau timbul rasa dendamnya.
Begitulah mereka terus melarikan kuda ke atas sebuah
bukit dan memandang jauh ke sana kelihatan air sungai Hansui mengalir memanjang
ke selatan, tertampak pula rakyat ber-kelompok2 mengungsi membanjiri Siangyang.
Sambil menuding kaum pengungsi itu, Kwe Cing berkata:
"Pasukan Mongol pasti mengganas di perkampungan sana sehingga rakyat
jelata kita terpaksa mengungsi menyelamatkan diri, betapa kejamnya orang Mongol
sungguh menggemaskan."
Pada saat itulah, tiba2 dilihatnya rombongan pengungsi
yang menuju pintu benteng itu ber-lari balik, tapi arus pengungsi dari belakang
masih terus membanjir tiba sehingga di luar kota Siangyan seketika kacau balau
dan hiruk pikuk.
Kwe Cing terkejut, ia heran mengapa penjaga pintu gerbang
kota itu tidak membukakan pintu dan membiarkan kaum pengungsi itu masuk.
Cepat ia melarikan kudanya ke sana, terlihat lah satu
regu pemanah berdiri di atas benteng dengan mementang busur menghadap kaum
pengungsi itu.
"Hai, ada apa kalian? Lekas membuka pintu!"
teriak Kwe Cing.
Melihat Kwe Cing, perwira penjaga cepat memerintahkan
membuka pintu gerbang, dan membiarkan Kwe Cing dan Nyo Ko masuk.
"Rakyat dijagal secara kejam oleh musuh, mengapa
tidak membiarkan mereka masuk?" tegur Kwe Cing.
Perwira piket itu menjawab: "Lu-tayswe menguatirkan
diantara kawanan ptngungsi ada mata2 musuh, maka betapapun mereka dilarang
masuk kota agar tidak menimbulkan bencana."
"Andaikata betul ada satu-dua mata2 musuh. yang
terselundup masuk juga tidak boleh mengakibatkan jiwa be-ribu2 rakyat jelata
menjadi korban?" ujar Kwe Cing, "Hayo lekas membuka pintu."
"Sudah lama Kwe Cing ikut berjasa mempertahankan
kota Siangyang, namanya sangat tersohor dan disegani kawan maupun lawan,
perwira itu tidak berani membantah perintahnya, terpaksa ia membukakan pintu
benteng disamping mengirim berita kepada Lu Bun-hoan.
Seketika terjadilah lautan manusia membanjir ke dalam
kota, ketika kawanan pengungsi itu hampir masuk kota semua, mendadak dari jauh
debu mengepul tinggi, pasukan Mongol menyerbu tiba dari arah utara, Perajurit
Song segera siap siaga di belakang tembok benteng, terlihat di depan pasukan
Mongol itu didahului oleh suatu rombongan orang yang berpakaian compang camping
dan tangan membawa pentung dan sebagainya, tapi tiada sesuatu senjata tajam
betul2, cara berjalannya juga tidak teratur, rombongan kaum jembel itu
ber-teriak2: "Jangan memanah, kami adalah rakyat Song!" - Dan pasukan
Mongol yang tangkas itu ternyata berlindung di belakang barisan rakyat itu.
Sejak Jengis Khan memang pasukan Mongol selalu
menggunakan siasat begitu, yakni memakai rakyat negara musuh sebagai perisai
untuk menyerbu kedudukan musuh, asalkan penjaga tidak tega hati dan berhenti
memanah, maka pasukan Mongol lantas menyerbu maju, Cara itu sangat keji dan
ganas, tapi lebih sering berhasil dengan baik, Begitulah maka kelihatan barisan
rakyat itu telah digiring pasukan Mongol dan dipaksa mendekati benteng, makin
lama makin dekat malahan sebagian sudah mulai memanjat tangga.
Saat itu Lu Bun-hoan, panglima pertahanan kota Siangyang,
sedang berkeliling mengawasi penjagaan pasukannya, melihat keadaan berbahaya,
segera ia memberi perintah agar melepaskan panah, seketika terjadilah hujan
panah di tengah jerit tangis rakyat jelata yang jatuh bergelimpangan, rakyat
lainnya lantas membalik dan lari serawutan.
Namun merekapun menjadi mangsa perajurit Mongol yang
menabasnya dgn golok atau menusuknya dgn tumbak, barisan rakyat itu tetap
didesak agar menyerbu ke atas benteng.
Nyo Ko berdiri di samping Kwe Cing. gusar sekali ia
menyaksikan adegan menyedihkan itu.
"Panah! Pahahl" terdengar Lu Bun-hoan
berteriak2 pula memberi perintah. Segera suatu baris anak panah menyamber lagi
ke bawah.
"Hai berhenti! jangan salah membunuh orang
baik," seru Kwe Cing.
"Keadaan segawat ini, andaikan orang baik juga
terpaksa salah membunuhnya," ujar Lu Bun-Hoan.
"Jangan, orang baik mana boleh salah
membunuhnya." kata Kwe Cing pula.
Tergetar hati Nyo Ko, diam2 ia menggumam: "jangan
salah membunuh orang baik, jangan salah membunuh orang baik."
Mendadak Kwe Cing berseru: "Hayo saudara2 anggota
Kay-pang, ikut padaku!"
Segera ia berlari turun dari atas benteng, Nyo Ko juga
akan ikut, tapi Kwe King berkata padanya: "Semalam kau kelihatan kurang
sehat, sebaiknya kau berjaga di sini saja untuk mengawasi keadaanku."
Sebenarnya Nyo Ko ingin ikut Kwe Cing menghajar p rajurit
Mongol yang kejam itu, ia tercengang mendengar ucapan Kwe Cing itu, tapi iapun
tidak dapat berterus terang kejadian semalam, terpaksa ia tetap tinggal di
tempatnya dan menyaksikan Kwe Cing memimpin suatu pasukan tanpa seragam
menerjang keluar benteng terus menyergap sayap kanan pasukan Mongol.
Siasat pasukan Mongol yang "meminjam golok untuk
membunuh orang" adalah cara sekali bertindak mendapat dua hasil, disamping
menjagal bangsa Han juga dapat menggoyahkan hati pasukan Song, Tapi mendadak
terlihat Kwe Cing memimpin pasukan menyerbu tiba, setiap orang berkepandaian
tinggi dan gagah berani.
Pasukan Mongol yang digiring barisan di belakang itu
lantas membagi pasukannya untuk menahan serbuan Kwe Cing itu. Namun pasukan Kwe
Cing itu sebagian besar adalah jago2 pilihan dari Kay-pang, sebagian kecil
lainnya adalah para ksatria yang sengaja datang ke Siangyang untuk ikut
berjuang, serentak mereka menyerbu maju sambil ber-teriak2, semangat tempur
mereka yang menyala-nyala itu sudah membikin pasukan Mongol merasa keder. Maka
begitu kedua pihak bergebrak segera ratusan perajurit Mongol dibinasakan.
Tampaknya pasukan Mongol itu sukar menahan pasukan Kwe
Cing, tiba2 dari samping sana menerjang tiba pula pasukan Mongol lain, Pasukan
Mongol itu memang tangkas dan sudah terlatih, meski barisan pejuang yang
dipimpin Kwe Cing itu berilmu silat tinggi, seketika merekapun sukar
mengalahkan musuh, sementara itu barisan rakyat yang dipaksa menyerbu ke
benteng kota itu lantas berlari serabutan karena pasukan Mongol yang menggiring
mereka itu sebagian terpencar untuk menempur pasukan Kwe Cing.
Pada saat itulah terdengar suara tiupan tanduk disebelah
timur sana, suara derapan kuda pasukan bergemuruh, dan pasukan Jian-jin-tui
(barisan ribuan orang, batalion) Mongol menerjang tiba, menyusul dari sebelah
barat kembali dua pasukan Jian-jin-tui menyerbu datang sehingga rombongan Kwe
Cing itu terkurung di tengah.
Melihat betapa hebatnya pasukan Mongol itu, saking
jerinya Lu Bun-hoan menjadi bingung dan tidak berani mengirim pasukan penolong.
Sambil berdiri di atas benteng, Nyo Ko terus merenungkan
ucapan Kwe Cing tadi: "jangan salah membunuh orang baik! jangan salah
membunuh orang baik?" sementara itu ia melihat sang paman terkepung rapat
oleh pasukan Mongol ia pikir: "Sebabnya Kwe-pepek terkepung musuh sekarang
adalah karena dia tidak mau salah membunuh orang baik2. Padahal rakyat ini
bukan sanak kadangnya, tapi dia toh menyelamatkan mereka tanpa menghiraukan
jiwa sendiri, Lantas apa sebabnya dia mencelakai ayahku?"
Ia memandangi pertempuran sengit di luar benteng itu,
tapi dalam hati terus memikirkan teka-teki yang sukar dipecahkan ini :
"Dia dan ayah adalah saudara angkat, dengan sendirinya hubungan mereka
lain daripada yang lain, tapi akhirnya toh Kwe-pepek mencelakai jiwa ayah,
apakah ayahku memang orang busuk yang sama sekali tak dapat diampuni?"
Selama hidup Nyo Ko tidak pernah melihat ayah-bundanya
sendiri, sejak kecil ia membayangkan sang ayah adalah seorang pendekar budiman,
gagah berani, seorang lelaki sejati di dunia ini, kalau mendadak dia disuruh
mengakui ayahnya adalah orang busuk, betapapun dia tak dapat terima.
Padahal samar2 dalam lubuk hatinya sudah lama terasa
bahwa ayahnya jauh untuk dibandingkan Kwe-pepek, cuma setiap kali kalau timbul
pikiran demikian selalu ia menekannya sekuatnya dan sekarang perasaan ini mau
tak-mau timbul pula dalam benaknya.
Dalam pada itu medan perang di bawah sana masih
berlangsung dengan sengit, suara hiruk pikuk menggelegar menggetar bumi,
rombongan Kwe Cing tampak menerjang kian kemari, tapi tetap sukar menembus
kepungan musuh.
Cu Cu-liu dan kedua saudara Bu masing2 siap memimpin
suatu pasukan hendak keluar benteng untuk membantu, tiba2 terdengar suara
tiupan tanduk yang keras dan sahut menyahut, kembali empat pasukan Jian jin-tui
Mongol menerjang tiba pula.
Cara Kubilai mengatur pasukannya memang lain daripada
yang lain, asalkan pintu gerbang benteng dibuka untuk mengeluarkan bala
bantuan, maka pasukan Mongol yang sudah siap itu segera akan menyerbu masuk
kota.
Keruan Lu Bun-hoan kebat-kebit ketakutan, cepat ia
memberi perintah agar pintu gerbang jangan dibuka. Diperintahkan pula dua regu
perajurit khusus berjaga di pintu gerbang, siapa yang berani membuka pintu
segera akan dibinasakannya.
Suasana diluar dan didalam benteng menjadi kacau balau,
macam2 pikiran juga bertarung seru dalam benak Nyo Ko, sebentar ia berharap Kwe
Cing dilalap saja oleh pertempuran gaduh itu, lain saat ia berharap pula agar
sang paman berhasil mendobrak kepungan musuh.
Tiba2 kelihatan pasukan Mongol rada kacau, be-ribu2
perajurit berkudanya tersiak mundur laksana gelombang surut, dengan sebatang
tumbak panjang Kwe Cing memacu kudanya keluar dari kepungan disertai barisan
orang2 gagah yang dipimpinnya itu, mereka terus menerjang sampai di bawah
tembok benteng, Ketika dekat pintu benteng, Kwe Cing terus memutar balik
berjaga di belakang pasukan, di mana tumbaknya menyamber, beberapa perajurit
dan perwira Mongol lantas terjungkal dari kudanya. Melihat betapa lihaynya Kwe
Cing, seketika pasukan Mongol itu menahan kuda mereka dan tak berani terlalu
mendekat.
Pertahanan kota Siangyang boleh dikatakan tiada artinya
tanpa Kwe Cing, maka Lu Bun-hoan menganggap Kwe Cing sebagai tulang
punggungnya, ia sangat girang melihat Kwe Cing lolos dari kepungan musuh, cepat
ia berseru membuka pintu gerbang.
Tapi pintu gerbang itu hanya dibuka selebar Satu-dua meter
saja dan cuma cukup dimasuki suatu penunggang kuda saja, para ksatria itu ber
turut2 lari ke arah pintu dan menyelinap masuk satu persatu.
Melihat siasat mereka gagal total, pasukan MongcI tidak
tinggal diam, panji komando Kubilai tampak bergerak, dua pasukannya lantas
menyerbu tiba dari kanan-kiri pintu gerbang.
"Lekas masuk, Kwe-tayhiap, kita tidak menunggu orang
lain lagi!" seru Lu Bun-hoan kuatir.
Tapi sebelum seluruh anak buahnya selamat, mana Kwe Cing
mau masuk benteng lebih dulu, ia berbalik menerjang kembali ke sana dan
membinasakan dua jago Mongol yang mengudak paling dekat.
Namun pasukan besar sungguh seperti gelombang samudera
saja di medan perang itu, betapapun tinggi ilmu silat Kwe Cing juga sukar
menahan terjangan pasukan besar itu.
Melihat keadaan sangat berbahaya, Cu Cu-liu yang berdiri
diatas benteng cepat menurunkan seutas tali panjang dan berseru: "Naik ke
sini, adik Kwe!"
Waktu menoleh, Kwe Cing melihat anggota Kay-pang yang
terakhir sudah berhasil menyelinap masuk pintu gerbang, tapi ada balasan
perajurit Mongol sempat ikut menerjang ke dalam, Segera regu penjaga pintu
sibuk menghalau musuh disamping berusaha menutup pintu gerbang sekuatnya!
pelahan2 daun pintu benteng yang tebalnya lebih, setengah meter itu dapatlah
dirapatkan.
Mendadak Kwe Cing membentak keras2, tumbaknya
membinasakan seorang musuh, berbareng itu ia terus meloncat ke atas dan
berhasil berpegang pada tali yang dijulurkan Cu Cu-liu tadi
Dengan cepat Cu Cu-liu menarik talinya ke atas, seketika
tubuh Kwc Cing terapung beberapa meter tingginya ke atas.
"Gunakan panah!" segera Ban-hu tiang pasukan
Mongol yang memimpin pertempuran itu memberi komando, dalam sekejap saja
be-n"bu2 anak panah terus menyamber ke arah Kwe Cing.
Namun sebelumnya Kwe Cing juga sudah memperhitungkan
kemungkinan ini,- ia sudah menanggalkan jubahnya, dengan tangan kanan
berpegangngan tali, tangan kiri memegang jubahnya terus diputar dan dikebutkan
sekuatnya laksana sebuah perisai raksasa. Hanya kuda tunggangannya tadi yang
menjadi korban, berpuluh anak panah bersarang di badan binatang itu hingga
mirip landak.
Cu Cu-liu terus menarik talinya dengan cepat dari semakin
tingginya Kwe Cing terkerek ke atas, tampaknya tinggal beberapa meter lagi dia
akaa mencapai benteng, pada saat itulah tiba2 di tengah pasukan MongoI itu
muncul seorang Hwesio besar dengan berjubah kuning emas, siapa lagi dia kalau
bukan Kim-lum Hoat-ong.
Dari seorang perwira Mongol di sebelahnya Hoat Ong
mengambil busur dan panahnya, ia tahu kepandaian Cu Cu-liu dan Kwe Cing sangat
tinggi kalau memanah mereka tentu tidak berhasil maka anak panah yang
dibidikkan itu justeru mengincar tali yang mengerek Kwe Cing ke atas itu.
Tindakan Kim-lun Hoat-ong ini sungguh keji, anak panah
itu menyambar bagian tali yang sukar dicapai oleh Cu Cu-liu dan Kwe Cing
sehingga kedua orang sukar menangkisnya. Malahan Kim-lun Hoat-ong kuatir kalau
kedua orang itu mendadak menggunakan cara aneh untuk mematahkan serangannya,
maka cepat ia susulkan pula panah kedua dan ketiga, panah kedua mengincar Cu
Cu-liu dan panah ketiga mengarah Kwe Cing.
"Plok", dengan tepat panah pertama telah
mengenai tali sehingga putus, sedangkan panah kedua dan ketiga juga menyambar
secepat kilat ke arah sasarannya. Dan karena talinya putus, dengan sendirinya
tubuh Kwe Cing anjlok ke bawah sehingga dia terluput dari panah ketiga,
sedangkan Cu Cu-liu merasa tangannya yang memegang tali itu mendadak menjadi
ringan, ia berseru kaget dan tahu2 panah kedua juga sudah menyambar tiba.
Panah ini kuat luar biasa, jelas pemanahnya memiliki
tenaga dalam yang lihay, Cu Cu-liu tahu di atas benteng penuh berjubel orang,
baginya tidak sulit untuk menghindar tapi akibatnya panah itu pasti akan
mengenai orang di belakangnya, Cepat ia gunakan dua jarinya untuk menyampuk
pelahan pada batang panah itu sehingga anak panah itu terjatuh ke bawah.
Sementara itu Kwe Cing terkejut ketika merasa tali yang
mengereknya ke atas itu putus, ia tidak cidera sekalipun terjatuh ke bawah
benteng tapi terjeblos di tengah kepungan musuh sebesar itu, betapapun sukar
baginya untuk menerjang keluar.
Sementara itu pasukan musuh sudah berada di depan pintu
gerbang kota, kalau dari dalam benteng dikirim keluar bala bantuan, kesempatan
itu pasti akan digunakan pasukan Mongol untuk menyerbu ke dalam kota.
Dalam keadaan demikian Kwe Cing tidak dapat berpikir
banyak lagi, mendadak sebelah kakinya menutul dinding benteng sehingga tubuhnya
terapung ke atas, menyusul kaki yang lain memancal pula dan begitu sejenisnya
kedua kaki bergantian memanjat.
Ilmu "naik tangga langit" yang hebat ini jarang
yang bisa, andaikan bisa juga setiap panjatan itu hanya sanggup naik satu-dua
meter saja ke atas, tapi Kwe Cing memanjat dinding benteng yang halus licin
itu, bahkan sekali naik dapat tiga-meter tingginya, sungguh kepandaian yang luar
biasa dan mengejutkan seketika suasana di atas dan di bawah benteng menjadi
sunyi senyap ber-ribu2 pasang mata sama memandang Kwe Cing seorang..
Kim-lun Hoat-ong terperanjat akan kelihayan Kwe Cing itu,
ia tahu ilmu naik tangga langit kekuatannya terletak pada loncatan ke atas
secara sekaligus, asal sedikit merandek dan kendur, langkah selanjutnya menjadi
sulit dan gagal. Maka cepat ia membidikkan panah pula ke punggung Kwe Cing,
secepat kilat anak panah itu terus menyambar ke sasarannya.
"Jangan memanah!" serentak pasukan kedua pihak
sama berteriak. Rupanya mereka menjadi sangat kagum menyaksikan kehebatan Kwe
Cing itu dan semua berharap dia akan dapat mencapai benteng dengan selamat
Meski pasukan Mongol itu adalah musuh, tapi merekapun menghormati ksatria dan
pahlawan gagah, serangan secara tidak jujur itu menimbulkan rasa ketidak adilan
mereka.
Ketika merasakan panah menyamber dari belakang dengan
kuat, diam2 Kwe Cing mengeluh, terpaksa ia membaliki tangan untuk menyampuk
panah. Sampukan ke belakang dengan tepat membuat panah itu mencelat pergi,
serentak bergemuruhlah sorak sorai pujian atas ketangkasan Kwe Cing itu. Akan
tetapi di tengah suara riuh ramai itu pula tubuh Kwe Cing telah rada merandek,
puncak benteng yang tertinggal beberapa meter lagi ternyata tak dapat
dicapainya lagi.
Ketika pasukan kedua pihak bertempur dengan sengit, hati
Nyo Ko juga bertentangan seperti pertempuran di medan perang, dilihatnya Kwe
Cing terancam bahaya, sekilas timbul beberapa kali pikiran Nyo Ko: "Dia
adalah musuhku, harus kubunuh dia atau tidak?"
Waktu Kwe Cing sudah hampir mencapai benteng, asalkan Nyo
Ko menghantamnya sekali dari atas, dalam keadaan terapung di udara Kwe Cing
pasti akan terluka dan jatuh binasa, Tapi sedikit ragu saja, Kwe Cing sudah
terperosot lagi ke bawah oleh panah Kim-lun Hoat-ong, dalam keadaan pikiran
kacau, Nyo Ko mendadak memegang kutungan tali di tangan Cu Cu-liu itu terus
menubruk ke bawah benteng dan syukur sebelah tangannya masih keburu
mencengkeram tangan Kwe Ceng.
Perubahan kejadian ini cepat luar biasa, tapi Cu Cu-liu
adalah murid It-teng Taysu, betapa cepat dan tangkas tindakannya, tanpa ayal ia
terus menarik sekuatnya kutungan tali yang masih ditangannya itu. sekali
sendal, segera Nyo Ko dan Kwe Cing terangkat ke atas, laksana dua ekor burung
raksasa kedua orang lantas melayang di udara?
Menyaksikan kejadian luar biasa itu, pasukan kedua pihak
seketika melongo kesima.
Dalam keadaan "terbang" di udara, Kwe Cing
merasa penasaran kalau tidak dapat membalas kelicikan Hoat-ong tadi. Dilihatnya"
Hoat-ong sudah penteng busur dan hendak memanah lagi, maka begitu dia tancapkan
kaki di atas benteng, segera ia rebut busur dan panah dari seorang perajurit,
secepat kilat iapun lepaskan panah ke arah panah yang sudah di bidikkan Hoat-ong
itu, "Prak", panah Kim-lun Hoat-ong tertembak patah menjadi dua.
Ketika Hoat-ong melengak kaget "creng", tahu2 busur yang dipegangnya
juga patah, oleh panah berikutnya yang dilepaskan Kwe Cing.
Sebenarnya kepandaian Kwe Cing dan Kim-lun Hoat-ong boleh
dikatakan seimbang, tapi waktu kecilnya Kwe Cing pernah mendapat pelajaran
memanah dari Cepe, si pemanah sakti kesayangan Jengis Khan, ditambah tenaga
dalam Kwe Cing sendiri maha kuat, maka kepandaiannya memanah sungguh sukar
dicari bandingannya di dunia ini, dengan sendirinya pula Kim-lun Hoat-ong bukan
tandingannya. Ber-turut2 tiga kali, panah pertama mematahkan panah lawan, panah
kedua mematahkan busur dan panah ketiga segera dilepaskan pula dengan mengincar
panji kebesaran Kubilai.
Panji itu sedang ber-kibar2 tertiup angin dan tampaknya
sangat angker di tengah ber-ratus2 ribu perajurit itu, mendadak anak panah
menyambar tiba dan tepat memutuskan tali panji itu, seketika panji kebesaran
Kubilai itu melorot ke bawah dari tiangnya, serentak pula pasukan kedua pihak
berteriak2 gemuruh.
Menyaksikan kelihayan Kwe Cing itu, pula semangat tempur
pasukan sendiri sudah runtuh, cepat Kubilai memberi perintah pasukan mundur.
Kwe Cing berdiri di atas benteng dan menyaksikan pasukan
Mongol mundur dengan teratur, dengan disiplin yang sangat kuat, sedikitpun
tidak kacau, tanpa terasa ia menghela napas dan mengakui kehebatan pasukan
Mongol yang sukar di tandingkan pasukan Song itu.
Teringat kepada situasi negara, ia menjadi sedih dan
mengkerut kening.
Setelah mengundurkan pasukannya hingga ber-puluh li
jauhnya, diam2 Kubilai merenungkan pula akal menggempur Siangyang, ia pikir
dengan adanya Kwe Cing jelas kota itu sukar dibobolkan.
Melihat Kubilai termenung, Kim-lun Hoat~ong lantas
berkata: "Yang Mulia menyaksikan sendiri kalau bocah she Nyo itu tidak
menolongnya, jelas jiwa Kwe Cing sudah melayang di bawah panahku. Memang sudah
kuduga bahwa bocah she Nyo itu adalah manusia yang tak dapat dipercaya.
"Belum tentu begitu halnya," ujar Kubilai.
"Bisa jadi Nyo Ko ingin membunuh sendiri orang she Kwe itu untuk membalas
sakit hati ayahnya, maka ia tidak ingin musuhnya mati ditangan orang
lain,"
Meski Kim-lun Hoat-ong tidak sependapat tapi iapun tidak
berani membantah, terpaksa iapun menyatakan semoga begitulah hendaknya.
"Mundurnya pasukan Mongol sudah tentu membuat girang
Lu Bu-hoan, ia mengadakan perjamuan besar pula untuk merayakan kemenangan itu.
Sekali ini Nyo Ko juga diundang sebagai tamu terhormat, semua orang sama memuji
betapa gagah beraninya menolong Kwe Cing itu. .
Kedua saudara Bu juga ikut hadir dalam pesta itu, melihat
Nyo Ko baru datang sudah lantas berjasa, mereka merasa iri. Mereka menjadi
kuatir pula setelah peristiwa ini Kwe Cing akan semakin berniat menjodohkan
anak perempuannya kepada Nyo Ko, hati mereka menjadi kesal.
Selesai pesta itu, Ui Yong mengundang Nyo Ko keruangan
dalam untuk menemuinya, iapun memberi pujian dengan kata2 halus.
"Ko-ji," kata Kwe Cing, "Tadi kau terlalu
keras menggunakan tenaga, apakah dadamu sekarang terasa sakit?" - Rupanya
dia kuatir kalau Nyo Ko akan tambah parah penyakitnya setelah semalam mengalami
gangguan latihan Lwekang.
Kuatir Ui Yong akan mengusut lebih lanjut apa yang
terjadi semalam, cepat Nyo Ko menyatakan tidak apa2 dan segera pula membelokkan
pembicaraan, katanya: "Kwe-pepek, kepandaianmu memanjat dinding benteng
itu sungguh luar biasa dan tiada bandingannya."
"Sudah beberapa tahun aku tidak berlatih kepandaian
itu sehingga gerak gerikku rada kaku, maka hampir terjadi malapetaka
tadi," ujar Kwe Cing tersenyum. "Sungguh tidak nyana ilmu yang
kupelajari dari Ma-toliang di Mongol dahulu dapat dimanfaatkan sekarang. Kalau
kau suka, Hehehe kuajarkan ilmu itu padamu nanti."
Ui Yong dapat melihat sikap Nyo Ko yang kikuk, waktu
bicara juga seperti sedang memikirkan sesuatu, meski semua orang menyaksikan
anak muda itu menyelamatkan sang suami dengan sepenuh tenaga, tapi ia tetap
waswas, katanya kemudian "Engkoh Cing, malam ini kurasa kurang enak badan,
hendaklah kau suka menjaga di sini."
Kwe Cing lantas ingat pesan sang isteri, segera ia
mengangguk setuju lalu katanya kepada Nyo Ko: "Ko-ji, tentu kau sudan
lelah, bolehlah kau kembali ke kamar untuk mengaso."
Setelah kembali ke kamamya, Nyo Ko duduk termenung
menghadapi meja, sementara itu sudah dekat tengah malam, memandangi api lilin
yang sebentar terang sebentar gelap itu, macam pikiran berkecamuk dalam
benaknya.
Tiba2 terdengar suara ketokan pintu yang pelahan, suara
Siao-liong-li mendesir di luar. "Belum tidur kau?"
Dengan girang Nyo Ko lantas membuka pintu. dilihatnya Siao-liong-li
sudah berdiri di depan pintu dengan baju hijau pupus dan wajah berseri
"Ada urusan apa, Kokoh?" tanya Nyo Ko.
"Aku ingin menjenguk kau," jawab Siao-liong-li
dengan tertawa.
"Akupun merindukan kau," ujar Nyo Ko dengan
suara lembut dan menggenggam tangan si nonar pelahan keduanya lantas ke taman
bunga.
Tetumbuhan di taman bunga itu jarang2 saja, namun bunga
sedap malam mekar semerbak me-ngasyikkan, Siao-liong-li memandang rembulan yang
menghiasi cakrawala, katanya kemudian dengan suara lirih. "Apakah kau
harus membunuhnya dengan tanganmu sendiri? Rasanya waktu sudah sangat
mendesak."
Cepat Nyo Ko mendesis: "Ssst, jangan mempersoalkan
ini, hati2 dengan mata telinga yang tak kelihatan di sini."
Siao-liong-li menatap anak muda itu dengan kesima,
katanya kemudian: "Jika bulan sudah bulat nanti, maka tibalah batas waktu
18 hari."
Sembilan hari sejak ia berpisah dengan Kiu-Jian-jio,
kalau dalam satu-dua hari ini tak dapat membunuh Kwe Cing dan Ui Yong, maka
sukar kembali lagi ke Coa-ceng~kok sebelum racun dalam tubuhnya bekerja, ia
menghela napas dan bersama Siao-Iiong-li mengambil tempat duduk pada sepotong
batu besar. Keduanya berhadapan dengan bungkam, namun kasih mesra yang timbul
dalam hati sukar dibendung, seketika keduanya melupakan urusan permusuhan dan
pertempuran segala.
Lewat lama dan lama sekali, tampaknya sang dewi malam
sudah mulai mendoyong ke barat, malam sunyi dengan hawa yang dingin, tiba2 di
balik gunung2an sana ada suara kaki orang, dua orang mendatangi cuma tidak
kelihatan karena teraling oleh semak bunga, Terdengar suara seorang gadis
berkata: "Jika kau mendesak aku lagi, lebih baik kau gorok leherku saja
dengan pedangmu agar aku terhindar dari penderitaan."
"Hm, hatimu bercabang, memangnya kau sangka aku
tidak tahu?" terdengar seorang lelaki menjawab "Begitu bocah she Nyo
itu datang ke sini, segera ia pamer kepandaian didepan orang banyak, tentu saja
segala sumpah setia dimasa lalu telah kau lupakan semua,"
Dari suara mereka itu jelas ialah Kwe Hu dan Bu Siau-huan
berdua. Siao-liong-Ii mencebir kepada Nyo Ko, maksudnya mencemoohkan anak muda
itu yang digilai oleh gadis di mana saja dia berada.
Nyo Ko tersenyum, ia tarik Siao-liong-li lebih rapat
dengan dirinya dan memberi tanda agar jangan sampai bersuara, maksudnya akan
mendengarkan lebih lanjut percakapan Kwe Hu berdua.
Tampaknya Kwe Hu menjadi marah setelah mendengar ucapan
Bu Siu-bun tadi, dengan suara keras ia menjawab: "Jika begitu, anggaplah
apa yang kita bicarakan dahulu cuma omong kosong saja, Biarlah nanti kupergi sejauhnya,
selamanya takkan bertemu dengan Nyo Ko, kitapun takkan bertemu selamanya."
Lalu terdengar suara kebasan baju, mungkin Bu Siu-bun
ingin menarik lengan baju Kwe Hu, tapi nona itu telah mengebutkannya dengan
keras.
Dengan suara marah Kwe Hu berkata pula: "Kenapa kau
pegang2 segala? Orang datang atau tidak peduli apa dengan aku?" Andaikan
ayah ibu menjodohkan aku kepadanya, biar matipun aku tidak mau menurut. Kalau
ayah memaksa aku, segera aku minggat saja. Hm, sejak kecil si Nyo Ko sombong
meremehkan diriku hm, aku justeru tidak memandang sebelah mata padanya, Ayah
selalu menganggap dia anak baik, hm, aku justeru anggap dia bukan manusia
baik2."
Dengan girang Bu Siu-bun lantas membumbui: "Benar,
benar, bocah itu memang congkak dan mengira dunia ini dia punya, Adik Hu,
anggaplah aku yang salah omong, harap engkau jangan marah. selanjutnya aku
takkan sembarangan omong lagi, kalau berbuat begini lagi, biarlah aku menjelma
menjadi.... menjadi kura2." - Lalu ia bergaya seperti kura merangkak.
Dari nada ucapan Kwe Hu itu, meski omelannya pada Bu
Siu-bun itu membuat anak muda itu bertambah menyembah di telapak kakinya, tapi
hati nona itu tampaknya juga sayang padanya.
Terdengar Bu Siu-bun berkata pula: "Subo (ibu guru)
paling sayang padamu, asalkan kau memohon bantuannya dan beliau berjanji takkan
menjodohkan kau pada bocah she Nyo itu, maka Suhu pasti tak dapat berbuat
apa2"
"Hm, kau tahu apa" jengek Kwe Hu, "Meski
ayah suka menuruti kehendak ibu, tapi kalau meng-hadapi urusan penting,
biasanya ibu selalu mengikuti kemauan ayah."
"Oh, langkah bahagiaku jika kaupun begitu"
terdengar ucapan Bu Siu-bun dengan menghela napas.
Mendadak terdengar suara "plok" disertai jerit
kesakitan Bu Siu-bun, serunya: "He, kenapa kau memukul aku?"
"Habis, mengapa kau bicara seenakmu?" omel Kwe
Hu. "Aku tidak sudi pada si Nyo Ko, akupun takkan menjadi isteri monyong
macammu ini."
"Bagus, baru sekarang kau bicara blak2an kau tidak
sudi menjadi isteriku, tapi lebih suka menjadi isteriku kakakku, ingin
kukatakan... ingin kukatakan..." tapi saking gugupnya Bu Siu-bun tidak
sanggup melanjutkan.
Tiba2 nada ucapan Kwe Hu berubah halus, katanya:
"Bu-jiko, kau baik padaku, ini sudah kau katakan beratus dan beribu kali
dengan sendirinya kutahu perasaanmu yang sungguh2 itu, Meski kakakmu tidak
pernah menyatakan isi hatinya padaku, tapi akupun tahu dia jatuh hati padaku,
Nah, jadi betapa sulitku menghadapi kalian ini, siapapun antara kalian kupilih,
satu di antara kalian tentu akan kecewa dan berduka. Kau sayang padaku dan
memanjakan diriku, tapi kau tidak pernah tahu betapa serba salahku menghadapi
hal ini."
Sejak kecil Bu Tun-si dan Bu Siu bun ditinggalkan
ayah-bundanya, hubungan kakak beradik itu selamanya sangat baik, tapi akhir2
ini keduanya sama2 jatuh cinta pada Kwe Hu sehingga- timbul perang dingin
antara mereka.. Maka Bu Siu bun tidak enak bicara lagi demi Kwe Hu menyinggung
tentang kakaknya itu. Karena gugup dan cemas air matapun ber~linang2.
Kwe Hu ambil saputangan dan dilemparkan kepada anak muda
itu, katanya pula dengan gegetun: "Bu-jiko, kita dibesarkan bersama, aku
hargai kakakmu, tapi aku lebih cocok dengan tutur katamu, Terhadap kalian
berdua sama sekali aku tidak mem-beda2kan, jika sekarang kau memaksa aku bicara
terus terang, coba kalau kau yang menjadi aku, lalu cara bagaimana kau akan
bicara?"
"Aku tidak tahu," ujar Siu-bun. "Aku cuma
ingin katakan padamu, kalau kau dipersunting orang lain, maka aku takkan hidup
lagi."
"Baiklah, malam ini sudah cukup. Siang tadi ayah
bertempur mati2an, tapi kita malah bicara hal yang tidak penting di sini, kalau
diketahui ayah tentu kita akan diomeli. Bu-jiko, ingin kukatakan bagimu,
jikalau kau ingin memperoleh pujian dari-ibuku, mengapa kau tidak berjuang dan
berjasa, sebaliknya setiap hari hanya merecoki diriku saja, bukankah kau akan
dipandang enteng oleh ayah."
"Benar!" seru Bu Siu-bun sambil melonjak.
"Akan kubunuh Kubilai untuk membebaskan Siang-yang dari kepungan musuh,
setelah berhasil masakah kau takkan terima lamaranku?"
"Jika begitu kau berjasa sebesar itu, andaikan aku
tidak mau juga tidak bisa," ujar Kwe Hu dengan tertawa, "Namun di
sekeliling Kubilai tidak sedikit pengawal2 lihay, melulu seorang Kim-lun
Hoat-ong saja sukar dilawan, sebaiknya kau jangan berkhayal dan pergilah tidur
saja."
Akan tetapi Bu Siu-bun sudah mempunyai perhitungan
sendiri, ia pandang pula wajah Kwe Hu yang molek itu, lalu berkata:
"Baiklah. kaupun lekas tidur saja." - ia melangkah pergi beberapa
tindak tiba2 menoleh dan berkata pula: "Adik Hu malam ini kau mimpi atau
tidak?"
"Mana aku tahu?" jawab Kwe Hu tertawa.
"Jika bermimpi, coba kau terka apa yang kau
impikan?" tanya Siu bun. .
"Besar kemungkinan aku akan mimpi melihat seekor
monyet kecil" ujar Kwe Ku dengan tersenyum.
Girang sekali Bu Siu-bun, ia tahu kata2
"monyet" itu adalah kata olok2 si nona padanya, Maka melangkah
pergilah dia dengan setengah berjingkrak.
Siao-liong-Ii dan Nyo Ko saling pandang dengan tersenyum
mengikuti roman kedua muda-mudi itu. Betapapun mereka merasa bangga pada cinta
sendiri yang sukar dibandingi oleh cinta kasih antara Bu Siu-bun dan Kwe Hu
yang tidak menentu itu.
Setelah Siu-bun pergi, Kwe Hu berduduk sendirian sambil
termenung memandangi rembulan. Selang agak lama, ia menghela napas panjang.
Pada saat itulah tiba2 dari balik gunungku muncul seorang
dan menegurnya: "Apa yang sedang kaupikirkan, adik Hu?" Kiranya ialah
Bu Tun-si.
Nyo Ko dan Siac~liong-li terkesiap, kiranya dibalik
gunung2an sana masih ada lagi seorang, dapat diperkirakan sudah sejak tadi Bu
Tun si berada di situ lebih dulu daripada Nyo Ko berdua, kalau tidak, mustahil
Nyo Ko berdua tidak mengetahui kedatangannya..
Dengan mengomel Kwe Hu menjawab: "Kau selalu main
sembunyi. Tentunya sudah kau dengar semua percakapanku dengan Bu-jiko
bukan?"
Bu Tun-si mengangguk ia berdiri agak jauh di depan Kwe
Hu, tapi sorot matanya penuh rasa cinta yang tak terhingga.
Kedua orang terdiam sampai sekian lama, kemudian Kwe Hu
bertanya: "Apa yang hendak kau katakan padaku?"
"O, tidak apa2. tanpa kukatakan juga kau sudah
tahu," ujar Bu Tun-si sambil melangkah pergi.
Nyata watak kedua saudara Bu itu sama sekali berbeda,
yang satu pendiam dan yang lain banyak omong, Kwe Hu ter-mangu2 mengikuti
kepergian Bu Tun-si itu hingga lenyap di balik gunung2 an sana, ia pikir
alangkah baiknya jika di dunia ini tidak ada Bu tua dan Bu muda itu melainkan
cuma ada seorang saja, ia menghela napas gegutun. Dilihatnya rembulan sudah
semakin men-doyong ke barat, ia lantas kembali kekamarnya.
Sesudah Kwe Hu pergi Nyo Ko tanya Siao-liong-li dengan
tertawa: "Jika kau menjadi dia, kau pilih yang mana?"
Siao-Iiong-li berpikir sejenak, kemudian menjawab:
"Pilih kau."
"Aku di luar hitungan," ujar Nyo Ko dengan
tertawa "Nona Kwe sedikitpun tidak suka pada-ku, tidak mungkin aku
terpilih Yang ku maksud-kan jika kau menjadi nona Kwe lalu kau pilih mana
antara kedua saudara Bu itu?"
Siao-liong-li terdiam dan membandingkan kedua saudara Bu
itu, tapi akhirnya ia menjawab: "Aku tetap memilih kau."
Nyo Ko menjadi geli dan terharu pula, Di-rangkulnya
Siao-liong-li dan berkata dengan suara lembut: "Ya, orang lain selalu
berbimbang hati, namun Kokohku hanya menyukai diriku saja."
Begitulah kedua orang itu terus terduduk mengobrol di
situ dengan perasaan bahagia, sementara itu fajar sudah menyingsing tetap
merasa berat untuk berpisah.
Tiba2 datang seorang centing memberitahu bahwa Kwe Cing
mengundang Nyo Ko untuk merundingkan sesuatu urusan.
Melihat centing itu rada gugup dan ter-gesa2, Nyo Ko
pikir pasti ada urusan penting, ia coba tanya: "Apakah paman Kwe sudah
lama mencari aku?"
"Ya, kedua Bu-siauya mendadak menghilang,"
tutur centing itu, "Tentu saja Kwe-toaya dan Kwe-hujin sangat kuatir, nona
Kwe juga menangis saja tadi."
Nyo Ko terkejut, segera iapun paham duduknya perkara,
tentu kedua saudara Bu itu bersaing merebut hati Kwe Hu dan sama2 ingin berjasa
besar, maka mereka telah menuju ke kemah pasukan musuh dengan tujuan membunuh
Kubilai..
Cepat Nyo Ko menuju ke ruangan dalam dan melihat Ui Yong
duduk di sebelah sana dengan cemas, Kwe Cing tampak berjalan mondar mandir,
sedangkan Kwe Hu tampak mengucek matanya yang merah bendol, Diatas meja
tertaruh dua batang pedang.
Melihat kedatangan Nyo Ko, segera Kwe Cing berkata:
"Ko-ji, apakah kau tahu untuk apa kedua saudara Bu itu pergi ke kemah
pasukan musuh? Antara kalian mungkin ada pembicaraan apa2, bisa jadi sebelumnya
kau telah mengetahui sesuatu kehendak mereka?"
"Tapi siautit tidak melihat sesuatu tanda
mencurigakan atas diri kedua adik Bu itu," tutur Nyo~Ko. "Mungkin
mereka ikut sedih-karena kepungan musuh yang sudah sekian lamanya, maka mereka
sengaja menyusup ke markas pasukan musuh, jika mereka berhasil membunuh
seseorang panglima musuh, kan suatu jasa juga."
Kwe Cing menghela napas, katanya sambil menuding kedua
pedang di atas meja: "seumpama maksud tujuan mereka memang baik, tapi
sesungguhnya mereka terlalu tidak tahu diri, senjata mereka saja dirampas orang
dan sengaja dikirim ke sini"
Hal ini rada di luar dugaan Nyo Ko, dia memang sudah
menduga maksud tujuan kedua saudara Bu itu pasti gagal, sebab kepandaian mereka
jelas bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain2. Tapi tidak
menyangka dalam waktu sesingkat itu senjata mereka sudah dikirim pulang oleh
musuh.
Kwe Cing mengambil sepucuk surat yang tertindih dibawah
pedang itu dan disodorkaa kepada Nyo Ko agar membacanya, Kiranya surat itu dari
Kim-lum Hoat ong yang ditujukan kepada Kwe Cing, isinya menyatakan bahwa kedua
saudara Bu kepergok olehnya dan sementara menjadi tamu kehormatan pihak Mongol,
untuk itu Kwe Cing diundang agar suka berkunjung ke sana sekedar omong2, habis
itu dapatlah kedua muridnya itu dibebaskan.
Walaupun nada surat itu sangat ramah, namun jelas
maksudnya kedua saudara Bu itu dijadikan sebagai sandera, hanya kalau Kwe Cing
datang sendiri barulah kedua anak muda itu dapat dilepaskan.
"Bagai mana pendapatmu?" tanya Kwe Cing setelah
Nyo Ko membaca surat itu.
Nyo Ko cukup cerdik, ia tahu Ui Yong jauh lebih pintar
daripada dia, tindakan apa yang harus dilakukan masakah nyonya itu tidak tahu?
Bahwa sekarang dirinya diundang ke sini, maksudnya pasti tidak lain agar dia
mau mengiringi Kwe Cing ke markas musuh, Setiba di sana, sekalipun Kim-lun
Hoat-ong dan kawannya dapat mengalahkan Kwe-Cing, tapi untuk membunuh atau
menangkapnya rasanya sulit.
Dah jika dirinya dan Kokoh ikut pergi membantu, pasti sang
paman akan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi segera berpikir pula olehnya? tapi kalau aku
dan Kokoh mendadak berbalik memiha sana, maka untuk membunuhnya boleh dikatakan
teramat mudah, seumpama aku tidak tega membinasakan dia dengan tanganku sendiri,
kan tidak jelek jika kupinjam tangan Hoat-ong dan lain2 untuk mencelakai
dia?"
Berpikir deraikian, ia tersenyum dan berkata:
"Kwe-pepek, baiklah aku dan Suhu mengiringi engkau ke sana, Kwe-pekbo
sudah pernah menyaksikan paduan pedang kami dapat mengalahkan Kim-lun Hoat-ong,
kalau kita bertiga pergi bersama, rasanya musuh tidak mampu menahan kita."
Dengan girang Kwe Cing berkata: "Sungguh
kecerdikanmu sukar dibandingi kecuali bibimu, Memang begitulah maksud bibimu
mengundang kau ke sini."
Diam2 Nyo Ko menjengek biarpun bibimu secerdik setan juga
sekali tempo akan terjungkal di tanganku, Namun dia tenang2 saja dan menjawab:
"Urusan tidak boleh terlambat, marilah kita berangkat saja sekarang, Aku
dan Suhu menyamar sebagai kacungmu agar musuh tidak menaruh curiga apa2."
Kwe Cing menyatakan setuju, ia berpaling dan berkata
kepada sang isteri: "Yong-ji, kau jangan kuatir, ada Ko-ji dan nona Liong
mendampingiku ke sana, apapun yang terjadi kami akan pulang aku ke sini dengan
selamat," -Habis ini segera ia suruh mengundang Siau-Iiong-li.
Tiba2 Ui Yong berkata: "Tidak, maksudku cuma Ko-ji
saja yang mengiringi kau ke sana. Nona cantik molek seperti nona Liong jangan
kita membiarkan dia ikut menyerempet bahaya, Aku ingin dia tinggal disini
bersamaku."
Nyo Ko melengak, akan tetapi ia lantas paham maksudnya,
nyata sang bibi juga waswas padanya, maka Siao-liong-li sengaja ditahan sebagai
sandera agar dia tidak berani berbuat sembarangan.
Agar tidak menimbulkan curiga, Nyo Ko juga tak mendesak
agar Siao-liong-lj harus ikut, ia hanya diam saja. Tapi Kwe Cing lantas
berkata: "Ilmu pedang nona Liong hebat luar biasa kalau dia ikut pergi
tentu akan banyak menambah kekuatan kita,"
"Badanku terasa kurang enak, mungkin akan melahirkan
dalam sehari dua ini, kalau nona Liong tinggal disini, tentu aku takkan kuatir
apa2" . ujar Ui Yong.
"Benar, benar," ujar Kwe Cing, "Ko-ji,
marilah kita berangkat."
Nyo Ko merasa kewalahan mengadu kepintaran dengan Ui
Yong, tapi Kwe Cing yang jujur dan polos itu pasti bukan tandingan dirinya,
setelah dibereskan di tempat musuh sana, nanti kembali lagi ke sini untuk
menolong Siao-Iiong-Ii kiranya tidak sukar. Maka ia lantas meringkasi
pakaiannya dan ikut berangkat bersama Kwe Cing.
Nyo Ko menunggang kudanya yang kurus itu, sedangkan Kwe
Cing menunggang kuda merah kesayangannya, Kedua ekor kuda itu dapat berlari
cepar, tidak sampai setengah jam mereka sudah sampai di markas besar pasukan
Mongol.
Mendengar kedatangan Kwe Cing, Kubilai terkejut dan
bergirang, cepat ia mengundangnya masuk ke dalam kemah.
Kwe Cing tercengang ketika melihat seorang pangeran muda
berduduk di tengah kemah, mukanya lebar dan daun kupingnya besar, kedua matanya
cekung, ternyata mirip sekali wajah ayahnya,yaitu Tulai. Kwe Cing jadi teringat
pada persaudaraannya dengan Tulai di masa muda dahulu. Tanpa terasa matanya
menjadi merah dan hampir meneteskan air mata.
Cepat Kubilai meninggalkan tempat duduknya dan memberi
hormat kepada Kwe Cing, katanya, "Mendiang ayahku sering berceritera
tentang keperkasaan paman Kwe dan sangat kagum luar biasa, kini dapat berjumpa
dengan paman, sungguh bahagia bagiku."
Kwe Cing membalas hormat dan berkata "hubunganku
dengan Tulai Anda (anda - saudara angkat dalam bahasa MongoI), laksana saudara
sekandung, waktu kecil kami ibu dan anak-bernaung dibawah lindungan haycou
(Jengis Khan) dan telah banyak menerima bantuan beliau. Siapa duga ayahmu yang
gagah perwira itu mendadak wafat dalam usia muda, sungguh aku sangat menyesal
dan ikut berduka cita."
Ucapan Kwe Cing yang sunguh2 dan tulus itu membikin hati
Kubilai terharu juga, segera ia-pun memperkenalkan Siau-siang-cu, In Kik-si dan
lain2, Kwe Cing disilakan duduk pada tempat yang paling terhormat, sedangkan
Nyo Ko berdiri di belakang Kwe Cing dan pura2 tidak kenal dengan semua orang.
Kim-lun Hoat-ong dan lain2 tidak tahu maksud tujuan ikut
sertanya Nyo Ko ini, tapi merekapun tidak menegurnya ketika melihat anak muda
itu tidak menggubris mereka, hanya Be Kong-co saja, dasarnya memang orang
dogol, segera ia berseru: "Eh, Nyo-heng..."
Belurn lanjut ucapannya, mendadak In Kik-si mencubit
sekerasnya pada pantat Be Kong-co, saking kesakitan Be Kong-co menjerit, akan
tetapi In Kik-si lantas berpaling ke sana dan tidak menggubrisnya, karena tidak
tahu siapa yang menyakitinya, Be Kong-co, ngomel dan marah2 sehingga lupa
menyapa Nyo Ko.
Setelah minum secawan arak susu kuda khas Mongok segera
Kwe Cing bermaksud tanya tentang kedua saudara Bu, namun Kubilai sudah lantas
berseru kepada anak buahnya. "Lekas mengundang kedua tuan Bu ke
sini."
Para pengawal mengiakan, tidak lama Bu-Tun-Si dan
Bu-Siu-bun tampak digusur masuk, Kaki dan tangan diikat dengan tali kulit, tali
kulit yang bagian kaki panjangnya tidak lebih dari setengah meter sehingga
terpaksa kedua anak muda itu harus melangkah dengan pelahan.
Melihat sang guru berada disitu, kedua saudara Bu itu
terkejut dan malu, mereka memanggil "Suhu", lalu menunduk dan tidak
berani membuka suara.
Sebenarnya Kwe Cing sangat marah pada kecerobohan
tindakan kedua anak muda itu, tapi demi melihat pakaian mereka lusuh, badan
berlepotan darah, suatu tanda mereka mengalami pertarungan sengit dan akhirnya
baru tertawan, pula melihat kedua orang itu diringkus secara mengenaskan, dari
rasa gusar Kwe Cing menjadi merasa kasihan kepada mereka, ia pikir meski tindakan
mereka terlalu sembrono, tapi tujuannya luhur demi bangsa dan negara, betapapun
jiwa patriotik mereka harus dipuji. Maka dengan suara halus ia lantas berkatai
"Orang persilatan adalah jamak mengalami berbagai gemblengan jiwa dan raga
serta mengalami berbagai kegagalan, semua ini bukan soal apa2"
Kubilai pura2 mengomeli anak buahnya: "Sudah
kuperintahkan melayani kedua tuan Bu ini dengan baik, mengapa kalian berlaku
sekasar ini, lekas membuka ikatan mereka."
Anak buahnya mengiakan dan segera hendak membuka tali
kulit yang meringkus kedua saudara Bu itu. Namun tali kulit itu sangat kencang,
apalagi sebelumnya telah dibasahi dengan air sehingga sukar dibuka begitu saja.
Segera Kwe Cing mendekatinya, ia pegang tali kulit yang mengisi di dada Bu
Tun-si dan dibetotnya ke kanan-kiri, "plok", seketika tali kulit itu
putus, menyusul ia-pun putuskan tali ikatan di tubuh Bu Tun-si dengan cara yang
sama.
Cara Kwe Cing memutuskan tali kulit itu tampaknya sangat
mudah, tapi sebenarnya sukar dilaksanakan jika tak memiliki tenaga dalam yang
kuat. Siau-siang-cu, Nimo Singh dan lain2 saling pandang sekejap, dalam hati
masing2 sama bertambah waswas.
"Lekas bawakan arak dan meminta maaf kedua tuan
Bu," seru Kubilat kepada anak buahnya.
Dalam hati Kwe Cing mulai menimang bahwa pertempuran ini
pasti takkan berakhir dengan damai, sebentar pasti terjadi pertempuran sengit,
kalau kedua saubara Bu itu tidak lekas pergi tentu akan menjadi beban malah
baginya.
Segera Kwe Cing berbangkit dan memberi hormat kepada
Kubilai dan para hadirin katanya "Terima kasihku kepada Ongya dan saudara2
sekalian yang telah memberi pengajaran atas kelancangan murid2ku ini."
Lalu ia berpaling kepada kedua saudara Bu: "Nah,
lekas kalian pulang dan lekas beritahukan kepada Subo bahwa di sini aku
berjumpa dengan putera saudara angkatku, sebentar lagi aku pulang setelah
berbincang dengan sahabat lama ini."
"Tapi Suhu..." karena sudah kapok menghadapi
musuh2 tangguh, Bu Siu-bun menjadi kuatir juga atas keselamatan Kwe Cing.
Tapi Kwe Cing lantas melambaikan tangannya dan membentak
: "Lekas pergi kalian! Lapor kepada Lu-ciang-kun bahwa pertahanan perlu
diperkuat apapun yang bakal terjadi jangan se-kali2 pintu gerbang dibuka untuk
menjaga sergapan musuh secara mendadak."
Ucapan Kwe Cing itu lantang lagi berwibawa dan sengaja
diperdengarkan kepada Kubilai dan anak buahnya, artinya kalau sampai terjadi
apa2 atas diri Kwe Cing, betapapun kota Siangyang tetap harus dipertahankan.
Kedua saudara Bu tahu arti pesan sang guru, mereka tak
berani bicara lagi dan segera memohon diri untuk pulang ke Siangyang.
Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata: "Mungkin
paman Kwe belum tahu bahwa kedua saudara itu datang ke sini hendak membunuh
diriku?"
Kwe Cing mengangguk, jawabnya: "Ya, sebelumnya aku
memang tidak tahu, dasar anak kecil, terlalu sembrono."
"Memangnya sudah kuduga pasti paman Kwe tidak
mengetahui perbuatan mereka, kuyakin paman Kwe pasti takkan menyuruh mereka
berbuat demikian mengingat hubungan baik paman dengan mendiang ayahku,"
kata Kubilai.
"Belum tentu begitu," ujar Kwe Cing tegas.
"Urusan dinas harus diutamakan daripada urusan pribadi. Dahulu Tulai Anda
juga pernah memimpin pasukannya menyerbu Siangyang, waktu itu akupun punya
pikiran hendak melakukan pembunuhan gelap terhadap kakak angkat sendiri agar
pasukan musuh dapat digempur mundur.
Tapi kebetulan Thaycou jatuh sakit, terpaksa pasukan
Mongol mundur kembali ke wilayah sendiri, karena itu persaudaraanku dengan
Tulai Anda tetap terpelihara dengan baik. Di jaman dahulu, seorang pahlawan
tega membunuh anggota keluarga sendiri demi kesetiaannya kepada negara, kalau
anggota keluarga saja boleh dibunuh, apalagi cuma sahabat atau saudara
angkat"
Hati Nyo Ko tergetar mendengar ucapan tegas dan sungguh2
itu, pikirnya: "Pantas saja, memangnya membunuh saudara angkat adalah
kebiasaannya, Entah mendiang ayahku itu berbuat kekalahan apa sehingga tewas di
tangannya, Wahai Kwe Cing, apakah dalam hidupmu sendiri selamanya tak pernah
berbuat sesuatu kesalahan?" BegituIah rasa dendam dan bencinya seketika
timbul lagi dalam benaknya.
Ternyata Kubilai sama sekali tidak marah atas ucapan Kwe
Cing tadi, ia menanggapi dengan tersenyum: "Jika begitu, mengapa paman Kwe
bilang kedua muridmu tadi terlalu sembrono?"
"Mengapa tidak," jawab Kwe Cing.
"Kepandaian mereka masih cetek, mereka tidak tahu diri dan melakukan
pembunuhan gelap, tentu saja gagal, Bahwa mereka pasti akan gagal bukan soal,
yang pasti kau menjadi tambah waspada dan untuk selanjutnya tentu sukar jika
hendak membunuh kau."
Kubilai bergelak tertawa, ia pikir Kwe Cing ini terkenal
polos dan kurang mahir bercakap, tapi nyatanya kata2nya ini teramat tajam.
" Padahal Kwe Cing hanya bicara sesuai dengan
kenyataannya, apa yang dia pikirkan saat itu segera dikatakannya." Kim-lun
Hoat-ong merasa kagum juga melihat sikap Kwe Cing yang tanpa gentar itu meski
berada di tengah pasukan musuh.
Begitu juga Kubilai sangat senang dan menyukai tokoh
macam Kwe Cing ini, ia pikir kalau orang ini dapat dirangkul menjadi
pembantuku, maka nilainya jauh melebihi sepuluh buah kota Siangyang.
Segera ia berkata pula: "Paman Kwe, saat ini
kerajaan Song sedang kemelut, rajanya dan rakyatnya sengsara, banyak pembesar
dorna berkuasa secara se-wenang2. Paman Kwe sendiri adalah ksatria yang gagah
perkasa, mengapa engkau sudi diperbudak oleh raja lalim dan pembesar dorna
itu?"
Mendadak Kwe Cing berdiri dan berseru: "Se-jeIek2nya
orang she Kwe mana kusudi diperalat oleh kaum dorna dan raja lalim. Soalnya aku
benci kepada orang Mongol yang menjajah wilayah negeri kami dan melakakan keganasan
tanpa batas. Darah mendidih dalam rongga dadaku ini bergolak siap berkorban
bagi bangsa dan negaraku."
"Bagus?" seru Kubilai sembil menggebrak meja.
"Marilah kita minum satu cawan bagi keperwiraan paman Kwe." - Habis
ini lantas mendahului menenggak habis semangkuk arak susu kuda.
Walaupun tidak semuanya setuju atas sikap Kubilai itu,
tapi terpaksa semua orang mengiringi minum satu mangkuk. Segera para pengawal
menuangkan lagi mangkuk yang sudah kosong itu.
Segera Kwe Cing berkata pula: "Negara kami luas dan
rakyat banyak dengan peradaban yang tinggi, sejak jaman baheula hingga sekarang
belum pernah bertekuk lutut kepada bangsa lain, Meski orang Mongol mendapatkan
kemenangan untuk sementara, kelak pasti juga akan dienyahkan dari sini dengan
kehancuran yang sukar dibayangkan. Untuk itulah hendaklah Ongya suka
merenungkannya lebih masak agar tidak menyesal di kemudian hari."
"Terima kasih atas petua paman," jawab Kubilai
dengan tertawa.
Melihat sikap orang yang meremehkan ucapannya jtu, segera
Kwe Cing berkata pula: "Baiklah-kumobon diri sekarang juga, sampai bertemu
pula."
"Antar tamu!" seru Kubilai kepada anak buahnya.
Hoat ong dan lain2 saling pandang dengan bingung dan
semuanya menatap ke arah Kubilai, mereka pikir dengan susah payah Kwe Cing sudah
dipancing masuk perangkap, masakah sekarang akan dilepaskan begitu saja?
Tapi jelas kelihatan Kubilai telah mengantar Kwe Cing
keluar kemah dengan penuh hormat, betapapun mereka juga tak berani sembarangan
bertindak.
Sambil melangkah keluar kemah, diam2 Kwe Cing mengakui
kehebatan Kubilai yang tidak boleh diremehkan itu, ia mcngedipi Nyo Ko sambil
mempercepat langkahnya ke tempat kuda.
Mendadak dari samping muncul delapan orang Mongol yang
kekar, seorang diantaranya menegur "He, kau ini Kwe Cing bukan? Kau telah
banyak menewaskan saudara2 kami di Siangyang, sekarang kau berani berlagak ke
sini Ongya membiarkan kau pergi, tapi kami tidak dapat tinggal diam."
Sekali menggertak, serentak kedelapan orang terus
menubruk maju, dengan Judo gaya Mongol mereka terus hendak menjambret baju Kwe
Cing.
Berkelahi secara Mongol ini adalah kebanggaan orang
MongoI, kedelapan orang ini bahkan adalah jago Judo Mongol yang paling lihay
dan sengaja disiapkan oleh Kubilai di situ untuk menangkap Kwe Cing.
Namun Kwe Cing yang sejak kecil tinggal di Mongol juga
mahir kepandaian orang Mongol seperti menunggang kuda, memanah dan bantingan:
(Judo) ala Mongol. Begitu melihat orang2 itu hendak memegangnya, cepat kedua
tangannya meraih ke kanan dan kiri, kaki kanan berbareng menyapu, hanya sekejap
saja empat orang telah dipegangnya terus dibanting, empat orang lagi kena
diserampang oleh kakinya hingga terjungkal.
Yang digunakan Kwe Cing adalah kepandaian bantingan gaya
Mongol asli, cuma dia mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi, tenaganya kuat
luar biasa, tentu saja kedelapan orang itu bukan tandingannya.
"Di luar kemah berjaga seribu perajurit pribadi
Kubilai, seribu orang ini semuanya mahir bantingan, maka bersorak sorailah
mereka demi menyaksikan sekaligus Kwe Cing dapat merobohkan delapan jagoan
mereka itu.
Kwe Cing mengepalkan kedua tangannya dan menanggalkan
kopiahnya sambil berputar satu keliling, ini adalah adat orang MongoI sebagai
balas menghormat kepada sorak pujian para penonton setelah berhasil membanting
jatuh lawannya.
Karena sikap Kwe Cing itu, sorak sorai pasukan Mongol itu
bertambah gemuruh.
Setelah merangkak bangun, kedelapan orang Mongol itu
memandangi Kwe Cing dengan terkesima bingung, entah mesti menubruk maju lagi
atau disudahi sampai di sini saja?
Segera Kwe Cing memberi tanda kepada Nyo Ko agar
berangkat Tapi pada saat itu juga terdengarlah suara tiupan tanduk sahut
menyahut di sana sini, beberapa pasukan Mongol tampak berseliweran di kejauhan
sana, rupanya Kubilai telah mengerahkan pasukannya, Kwe Cing dan Nyo Ko sudah
terkepung rapat di tengah.
Melihat kekuatan musuh yang hebat itu, diam2 Kwe Cing
terkejut ia pikir biarpun berkepandaian setinggi langit juga sukar menembus
kepungan musuh seketat itu, Sungguh tak tersangka bahwa Kubilai akan mengerahkan
pasukannya sebanyak itu hanya untuk melayani Kwe Cing seorang saja, ia kuatir
Nyo Ko merasa gentar maka ia sendiri sedapatnya bersikap tenang, katanya kepada
anak muda itu: "Kuda kita cukup cepat, marilah kita terjang saja dan
rampas dua buah perisai musuh untuk menjaga kalau musuh memanah kuda
kita," - Lalu ia membisiki pula "Lekas menerjang dulu ke selatan,
habis itu kita putar balik ke utara,"
Semula Nyo Ko melengak heran, Siangyang terletak di
selatan, mengapa sang paman mengajaknya menerjang ke utara malah? Tapi ia
lantas paham maksud Kwe Cing itu, tentu sebelumnya Kubilai telah pusatkan
pasukannya di sebelah selatan untuk mengadang dia yang jelas akan kabur pulang
ke Siangyang, sebab itulah penjagaan di sebelah utara tentu kosong.
Terjang dulu ke selatan, lalu membalik terjang ke utara
secara tak terduga", dengan demikian kepungan musuh pasti akan dapat
dibobolkan. "Wah, cara bagaimana harus kugagalkan rencananya ini?"
demikian pikir Nyo Ko
Baru saja timbul pikiran Nyo Ko ini, tiba2 dari kemah
Kubilai sudah melayang keluar beberapa orang dalam sekejap saja orang2 itu
sudah mengadang di depan Kwe Cing, menyusul terdengar suara meraung di udara,
sebuah roda tembaga dan sebuah roda besi menyamber berbareng ke arah kuda Kwe
Cing dan Nyo Ko.
Nyata Kim-lun Hoat-ong sudah ikut turun tangan untuk
merintangi lolosnya mereka.
Melihat samberan kedua roda itu sangat keras, Kwe Cing
tak berani menangkapnya dengan tangan, ia menunduk ke bawah, kedua tangannya
menekan sekuatnya pada leher kedua kuda mereka. seketika kaki depan kuda2 itu
bertekuk lutut dan sepasang roda musuh pun menyamber lewat di atas kepala kuda.
Roda2 itu berputar satu kail di udara, lalu terbang
kembali ke tangan Hoat-ong, Karena rintangan itu pula, tahu2 Nimo Singh dan In
Kik-si sudah menyusul tiba, habis itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu juga
memburu datang. Mereka berempat terus mengelilingi Kwe Cing dan Nyo Ko.
Sebagai tokoh kelas satu di dunia Kangow, Kim-lun
Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain2 sama sekali tidak sudi merosotkan derajat
mereka dengan cara main kerubut. Akan tetapi lantaran Kanghu Kwe Cing terlalu
lihay, pula setiap orang mereka ingin sekali mendapatkan gelar "jago nomor
satu Mongol", dengan sendirinya mereka saling berlomba mendahului.
Segera kelihatan sinar senjata gemerlapan menyilaukan
mata, kecmpat orang sudah menyiapkan senjata masing2.
Kini yang dipegang Kim-lun Hoat-ong adalah senjata roda
emas, In Kik-si bersenjata Kim-pian (ruyung emas) bertaburkan mutiara dan batu
permata. Siau-siang-cu memegang sebatang pentung, pendekar pentung yang biasa
dibawa anggota keluarga yang kematian orang tua. Adapun senjata Nimo Singh
paling aneh, senjatanya melilit pada lengannya dan dapat mulur mengkeret,
tampaknya seperti ular hidup,
Kwe Cing menyadari kalau keempat lawan ini tidak
dibereskan tentu sukar dirinya untuk lolos. Kedudukan kedua pihak adalah 2
lawan 4, untuk menang jelas sulit, tapi asalkan dapat merobohkan salah seorang
musuh, untuk lolos rasanya tidak susah, ia coba mengamat-amati gerakan keempat
lawan dan cara memegang senjata, tampaknya diantara empat lawan itu In Kik-si
adalah paling lemah. Secara mendadak Kwe Cing terus menghantam sekaligus dengan
kedua tangan menuju muka Siau~siang-cu..
Tanpa mengelak Siau-siang-cu malah menegakkan pentungnya
dan menutuk telapak tangan Kwe Cing, Sudah tentu Kwe Cing tak berani meremehkan
musuh ini, ia tahu semakin sepele senjata yang digunakan, semakin tinggi pula
ilmu silat orang itu.
Maka ia tidak berani menyambut pentung orang, cepat ia
membaitki tangannya ke sana, dengan gerakan "Sinliong-pah-bwe",(naga
sakti menggoyang ekor), dengan tepat senjata ruyung In Kik-si kena
dicengkeramnya. caranya membaliki tangan untuk rebut senjata musuh sungguh
cepat dan gesit luar biasa.
Segera ln Kik-si bermaksud menyendal ruyungnya untuk
menggempur musuh, namun sudah terlambat, ujung ruyung sudah terpegang Kwe Cing.
Tapi pengalaman In Kik-si sangat luar, hampir ilmu silat
dari aliran manapun diketahuinya, meski tidak semuanya dilatihnya dengan baik,
namun kepandaiannya memang banyak ragamnya, begitu terasa senjatanya terpegang
musuh, segera ia ikuti gaya tarikan Kwe Cing terus menubruk maju malah,
berbareng itu tangan lain telah bertambah dengan sebatang belati.
"Bagus!" seru Kwe Cing, kedua tangannya
digunakan sekaligus, tangan kanan tetap memegangi ujung ruyung lawan, tangan
kiri berusaha merebut belati. Dalam keadaan tangan kanan merebut senjata kanan
dan tangan kiri merebut senjata kiri lawan jadi kedua tangan Kwe Cing telah
berada dalam keadaan bersilang.
Tadinya In Kik-si mengira dengan tikaman belatinya pasti
dapat memaksa musuh melepaskan ruyungnya, siapa tahu bukannya Kwe Cing
menghindar, sebaliknya belati itupun hendak dirampasnya, jadi bukan saja ruyung
takdapat dipertahankan bahkan belati juga akan terlepas.
Pada saat bahaya itulah tiba2 roda emas Hoat~ong dan
pentung Siau-siang-cu juga menyerang tiba berbareng. Diam2 Kwe Cing kagum
terhadap kelihayan lawan karena tak berhasil membetot lepas ruyung musuh.
Mendadak ia menggertak dan mengerahkan tenaga dalam
sekuatnya melalui ruyung itu, seketika In Kik-si merasa dadanya seperti dipalu,
mata berkunang2 dan darah segar lantas tersembur dari mulutnya.
Pada saat itu pula Kwe Cing lantas melepaskan pegangannya
pada ruyung dan membaliki tangannya untuk melayani serangan roda emas serta
pentung.
In Kik-si tahu lukanya tidak ringan, pelahan ia
meninggalkan kalangan pertempuran dan duduk bersila ditepi sana untuk menahan
muntah lebih lanjut.
Melihat In Kik-si dilukai oleh Kwe Cing, Hoat-ong dan
Siau-siang-cu disamping senang ju-Ift merasa keder. Mereka senang karena
berkurang dengan seorang saingan yang ikut berebut "jago nomor satu
Mongol", tapi melihat betapa lihaynya Kwe Cing, mereka juga keder dan
kuatir kalau merekapun terjungkal di tangan lawan itu.
Begitulah ketiga orang sama2 tidak berani sembarangan
bertindak, mereka sama berjaga dengan rapat. Disamping melayani kedua lawan,
diam2 Kwe Cirig menyelami kedua macam senjata aneh yang dipegang Siau-siang-cu
dan Nimo Singh itu, pantang pendek yang dibawa Siau-siang-cu itu terbuat dari
baja, kecuali keras dan berat seketika sukar diketahui keanehan yang Iain,
sedangkan senjata bentuk ular milik Nimo Singh itu menyerang dengan jurus yang
aneh sekali.
Senjata itu berbentuk ular berbisa yang berkepala
segitiga, badan ular dapat melingkar dengan lemas, kepala dan ekor ular tampak
runcing dan sangat tajam, yang lihay adalah sukar diduga bilamana badan ular
itu akan melingkar dan ke arah mana kepala atau ekor ular itu akan menyerang.
Tapi di tangan Nimo Singn senjata ular itu berterbangan
naik turun dan berputar2 dengan aneka macam perubahan yang hebat
Dahulu Kwe Cing pernah bertempur melawan tongkat ular
milik Auyang Hong ular aneh yang melilit pada tongkatnya itu adalah ular tulen
dan berbisa luar biasa. Tapi senjata ular2an Nimo Singh sekarang meski juga
aneh, namun cuma bentuknya saja seperti ular, tapi sebenarnya benda mati,
betapapun pasti ada titik kelemahannya. Sebab itulah Kwe Cing lebih jeri
terhadap serangan roda Kim-lun Hoat~ong daripada Nimo Singh.
Setelah berlangsung belasan gebrakan, se~konyong2
terdengar suara raungan seorang, kelihatan seorang tinggi besar menerjang tiba,
siapa lagi dia kalau bukan Be Kong-co. senjata Be Kong-co adalah sebatang toya
yang panjang lagi besar, tanpa bicara ia terus mengemplang kepala Kwe Cing dari
belakang Nimo Singh.
Padahal waktu itu empat tokoh itu sedang bertempur dengan
sengitnya dan sama2 berjaga dengan sangat rapat, hakikatnya tiada peluang
sedikitpun bagi orang lain. Tenaga pukulan dan samberan senjata mereka sudah
berbentuk menjadi satu jaringan kekuatan yang maha dahsyat.
Maka kemplangan toya Be Kong-co itu kontan terbentur oleh
jaringan tenaga yang dibentuk empat orang yang sedang saling gempur lagi.
meski tanpa mengeluarkan suara, namun toya itu mendadak
terpental balik, kalau saja Be Kong-6a tidak memiliki tenaga sakti, tentu toya
itu sudah mencelat terlepas dari tangannya atau bisa jadi toya itu akan
mengemplang kepalanya sendiri hingga pecah berantakan.
Tapi begitu merasa gelagat jelek. Be Kong-co terus
berteriak keras dan mengerahkan kekuatannya untuk menahan toyanya sehingga
tidak sampai merugikan diri sendiri, walaupun begitu juga tangannya terasa
kesemutan dan lecet berdarah.
"Aneh, aneh.!" ia berseru, dan mengerahkan
tenaga pula, sekuatnya ia mengemplang lagi.
Ia, mengemplang Kwe Cing dengan berdiri di belakang Nimo
Singh, yang berdiri di depannya sana adalah Kim-lun Hoat-ong, diduganya
kemplangan Be Kong-co ini pasti akan menimbulkan kekuatan lebih besar, tapi ia
cuma menyeringai saja dan tidak mencegahnya.
Nyo Ko juga menyaksikan keadaan itu, ia tahu kepandaian
Be Kong-co terlalu jauh dibandingkan keempat tokoh itu, kalau ikut bertempur
akan bikin susah dirinya sendiri ia suka kepada orang dogol yang barhati polos
itu, pula beberapa kali Be Kong-co membelanya, maka ia tidak tega menyaksikan
si dogoI dicelakai Segera ia membentak: "Be Kong-co awas seranganku!"
Berbareng pedangnya terus menusuk ke punggung orang dogol
itu.
Be Kong-co melengak bingung, katanya: "Adik Nyo,
mengapa kau menyerang padaku?"