Derap kaki kuda yang berlari
congklang memecah kesunyian pagi itu di luar kota Lok-yang. Hari masih terlalu
pagi dan hawa udara dinginnya bukan main, membuat para petani yang biasa bangun
pagi, merasa malas untuk meninggalkan rumahnya, terutama sekali meninggalkan
api unggun atau perapian di dalam rumah yang dapat menghangatkan dan
menyamankan badan. Musim semi menjelang tiba dan hawa dingin musim lalu masih
tertinggal.
Demikian dinginnya hawa udara
pagi itu sehingga para ibu rumah tangga yang hendak memasak sesuatu dengan
minyak, harus lebih dahulu mendekatkan tempat minyak ke api karena minyaknya
telah membeku. Hawa dingin menyusup tulang, maka banyak orang dusun di dalam
rumah mereka merasa heran dan kagum mendengar derap kaki kuda tunggal itu. Begini
dingin menunggang, kuda, pikir mereka. Alangkah akan di¬nginnya bagi si
penunggang.
Memang penunggang kuda itu
patut dikagumi. Dia seorang pria berusia kurang lebih empatpuluh tahun.
Orangnya sungguh patut menunggang kuda yang tinggi besar dan gagah itu. Pria
itu berperawakan agak tinggi, tubuhnya tegap dengan dada yang bidang. Dia
menunggang kuda dengan tubuh tegak lurus, pinggangnya bergerak lemas sesuai
dengan larinya kuda yang congklang. Dari cara dia duduk itu saja mudah
diketahui bahwa dia seorang ahli menunggang kuda.
Pakaiannya seperti pakaian
orang kota, tidak pesolek, namun pakaian itu terbuat dari kain yang kuat dan
nampak bersih, bajunya berwarna biru muda dan celananya kehijauan. Ikat
pinggangnya kuning cerah seperti kain pengikat rambut kepalanya. Wajah pria ini
sungguh mengesankan sebagai seorang pria yang jantan dan gagah perkasa.
Wajah itu bentuknya hampir
persegi karena dagunya yang siku dengan lekuk yang dalam dan membuat dagu itu
nampak keras dan kuat, ditumbuhi jenggot yang terpelihara, hanya sedikit saja
di ujung dagu sedangkan lainnya dicukur licin. Mulutnya selalu membayangkan
senyum penuh pengertian, dan kadang giginya nampak berkilat putih dan berjajar
rapi.
Di antara hidung dan mulutnya
tumbuh kumis, juga lebat akan tetapi terawat rapi, dicukur sebagian dan yang
dibiarkan tumbuh hanya sepanjang bibir atas, dengan kedua ujungnya meruncing
agak ke atas. Hidungnya besar dengan bukit hidung yang tinggi dan ujungnya
mancung.
Sepasang matanya lebar dan
hampir bulat dengan sinar yang tajam dan cerdik. Sepasang mata ini dilindungi
sepasang alis yang menarik perhatian karena amat tebal dan hitam sekali.
Rambutnya juga hitam dan
lebat, digelung ke atas dan diikat dengan kain berwarna kuning. Wajah pria ini
lebih tepat disebut jantan dan gagah dari pada tampan. Wajah yang membuat hati
setiap orang wanita yang mengagumi kegagahan dan kejantanan akan menjadi
terguncang dan tertarik.
Kini dia dan kudanya sudah
meninggalkan dusun dan kota Lok-yang yang berada di balik bukit kecil di depan
yang nampak dipenuhi pohon itu. Agaknya bukit itu subur dan berhutan. Dia lalu
menyentuh perut kudanya dengan tumit, menyuruh kuda itu uutuk berlari cepat
mendaki bukit. Ketika dimasuki hutan yang lebat itu, kembali dia membiarkan
kudanya berjalan seenaknya. Masih terlalu pagi, pikirnya, tidak perlu
tergesa-gesa.
Tiba-tiba, di bagian yang agak
terbuka dari hutan itu, dia melihat dua orang berloncatan keluar dari balik
batang pohon. Dua orang laki-laki yang memegang golok dan dari sikap mereka,
dia dapat menduga bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik. Benar saja
dugaannya. Dua orang yang kelihatan kasar dan berwajah bengis itu, berusia
antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sudah menghadangnya dan seorang di
antara mereka membentak nyaring.
“Berhenti!!”
Pria itu menahan kudanya dan
memandang kepada kedua orang yang menghadangnya dengan senyum mengejek akan
tetapi sinar matanya penuh teguran.
“Hemm, siapakah kalian dan
mengapa pula menahan perjalananku?”
“Tak perlu banyak cakap!”
bentak orang kedua yang matanya sipit sekali. “Turun dari kudamu dan berikan
kuda itu kepada kami, barulah kau boleh melanjutkan perjalananmu!”
“Ehh? Kuda ini adalah kudaku
sendiri, kenapa harus diberikan kepada kalian?”
“Cerewet benar kau! Turun,
atau kami harus memaksamu? Engkau lebih suka mampus di bawah golok kami dari
pada menyerahkan kuda?” bentak orang pertama yang bermuka hitam.
Kini sepasang mata yang lebar
itu mengeluarkan sinar keras dan sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut.
“Hemm, kiranya kalian ini adalah dua orang perampok, ya? Tidak tahukah kalian
bahwa sejahat-jahatnya pencuri, mencuri kuda merupakan dosa yang paling berat,
dan sejahat-jahatnya perampok, merampok kuda juga dapat dihukum berat, dihukum
mati?”
Dua orang perampok itu menjadi
marah. Mereka saling pandang dan mengangguk, sebagai isyarat bahwa mereka tidak
akan bicara lagi, melainkan turun tangan saja terhadap calon korban yang banyak
cakap itu. Dengan golok terangkat tinggi, kedua orang perampok itu menyerbu ke
depan. Akan tetapi pria yang gagah itu nampak tenang saja, lalu berseru sambil
menepuk leher kudanya.
“Hek-ma (Kuda Hitam), hajar
dua ekor anjing ini!”
Kuda tinggi hesar yang disebut
Hek-ma itu tiba-tiba mengeluarkan suara meringkik nyaring dan mengangkat kedua
kaki depan ke atas, dan dengan garangnya ia menubruk ke arah dua orang itu!
Tentu saja dua orang perampok itu terkejut bukan main.
Mereka berlompatan ke sisi
untuk menghindar, akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang lagi, laki-laki
perkasa itu sudah memajukan kudanya dan kakinya menyambar dua kali
berturut-turut dengan kedua kakinya, dan dua orang perampok itu terlempar dan
golok mereka terpental. Mereka terlempar dan terbanting keras, lalu bangkit
kembali dan lari pontang panting sambil terpincang-pincang!
Pria itu tertawa bergelak,
suara ketawanya bebas lepas dan nyaring. Anehnya, kuda hitam itupun
mengeluarkan suara meringkik seperti ikut tertawa bersama penunggangya. Jelas
bahwa kuda itu merupakan seekor binatang tunggangan yang terdidik baik dan
agaknya sudah biasa menghadapi pertempuran.
Memang demikianlah, pria itu
adalah seorang panglima yang amat terkenal di kota raja Dia bernama Cian Hui,
akan tetapi lebih dikenal dengan sebutan Cian Ciang-kun (Perwira Cian). Baru
setahun lebih lamanya dia bertugas sebagai seorang panglima muda dari pasukan
keamanan di kota raja yang bertugas menjaga keamanan kota raja dan sekitarnya,
memberantas kejahatan yang terjadi di daerah kota raja. Bahkan dia sering
dikirim oleh pemerintah pusat untuk melakukan penyelidikan ke daerah-daerah,
membikin terang perkara yang gelap dan dia lebih banyak dikenal sebagai seorang
penyelidik yang ulung dari pada seorang panglima muda pasukan keamanan di kota
raja.
Sebelum menduduki jabatannya
yang sekarang, Cian Ciang-kun adalah seorang perwira dalam pasukan perang yang
terkenal gagah perkasa dan berani. Akan tetapi, setahun lebih yang lalu, ketika
dia sedang melaksanakan tugasnya sebagai perwira, bersama pasukannya membasmi
pemberontakan di daerah utara, terjadilah malapetaka menimpa keluarganya.
Isteri dan anak tunggalnya
yang baru berusia duabelas tahun, ketika melakukan perjalanan ke dusun untuk
menengok keluarga, dihadang perampok dan biarpun duabelas orang pengawal
melakukan perlawanan sengit, akhirnya mereka semua tewas. Isteri dan anak Cian
Ciang-kun juga tewas!
Setelah mendengar akan
malapetaka ini, Cian Hui segera menghadap atasannya dan dia mohon agar
diperbolehkan bekerja sebagai pemberantas para penjahat dan tidak lagi menjadi
perwira pasukan perang. Kalau tidak diperkenankan, dia akan keluar dari
pekerjaannya untuk memberantas kejahatan seorang diri saja. Permintaannya
dikabulkan dan mulailah Cian Ciang-kun dikenal sebagai seorang penyelidik dan
pembasmi kejahatan yang gigih.
Setahun setelah dia menjadi
seorang panglima pasukan keamanan, dia telah melakukan pembersihan terhadap
para penjahat dengan tegas dan keras sehingga kota raja dan sekitarnya menjadi
aman. Tidak ada lagi penjahat berani beraksi karena setiap kali terjadi
kejahatan, Cian Ciang-kun tidak akan berhenti menyelidik dan berusaha untuk
menangkap penjahatnya dan menghukum berat, kalau perlu dibunuhnya seketika!
Tanpa ampun darinya bagi para penjahat!
Demikianlah keadaan Cian Hui
atau Cian Ciang-kun. Sampai sekarang, setahun lebih setelah dia kehilangan
isteri dan anak tunggalnya, dia tidak mau menikah lagi, tinggal menduda. Bahkan
dia tidak mau mengambil selir. Dan kawannya yang paling setia dalam menunai
tugasnya adalah Si Hitam itu, kuda hitam yang tinggi besar dan kuat.
Para penjahat mengenal nama
besar Cian Ciang-kun dan mereka semua tahu bahwa selain gigih menentang
kejahatan, memiliki pasukan keamanan yang besar jumlahnya dan yang mentaatinya,
juga panglima ini memiliki kecerdikan dan memiliki ilmu silat yang tinggi.
Kalau sedang berpakaian seragam atau sedang dinas, dia selalu membawa pedang
sebagai tanda pangkat dan juga sebagai senjata. Akan tetapi, kalau dia
berpakaian preman, dia tidak pernah membawa pedang dan sebagai gantinya, untuk
menjadi bekal senjatanya adalah sebatang suling baja yang terselip di pinggang
dan tersembunyi dibalik bajunya.
Cian Ciang-kun mentertawakan
dua orang perampok yang lari tunggang langgang itu. Dua orang penjahat kecil
yang tidak memiliki kemampuan apapun seperti mereka itu sudah berani mencoba
untuk merampok kuda orang! Sungguh tak tahu diri, pikirnya.
Ketika dia hendak menjalankan
lagi kudanya, tiba-tiba dia melihat serombongan orang berlari ke arahnya dari
depan. Belasan orang yang kesemuanya memegang golok. Orang-orang yang berwajah
bengis dan jahat! Dan dia melihat pula dua orang yang tadi telah dibuatnya lari
tunggang langgang.
Mengertilah dia kini mengapa
dua orang itu tadi berani merampok, kiranya mereka itu mempunyai banyak kawan!
Melihat ada tigabelas orang yang tentu akan mengeroyoknya, Cian Ciang-kun
khawatir kalau-kalau kudanya terluka. Maka dia pun dengan sikap tenang namun
cepat meloncat turun dari kudanya dan membiarkan kudanya di tempat itu,
sedangkan dia sudah berlari ke depan menyambut mereka yang mengacung-acungkan
golok dengan sikap beringas itu.
Melihat betapa orang tinggi
tegap itu kini meloncat turun dari kuda dan menyambut mereka dengan sikap
tenang dan di tangannya tidak nampak adanya senjata, para perampok itu menjadi
lebih berani. Sambil berteriak-teriak, mereka datang menyerbu.
“Tahan......!” Bentakan
menggeledek dari Cian Ciang-kun mengejutkan mereka dan tigabelas orang itu,
biarpun dengan sikap masih beringas dan bengis mengancam, berhenti di depannya
dan memandang kepadanya. Bentakan tadi memang berwibawa sekali dan mempengaruhi
mereka.
“Aku adalah seorang yang
kebetulan lewat di sini dan sedang menuju ke Lok-yang, siapakah kalian ini dan
mengapa kalian mengganggu aku?”
Seorang yang bermuka berewok
dan bertubuh tinggi besar, agaknya pemimpin mereka, berkata dengan suara parau.
“Engkau telah berani memukul dua orang kawan kami!”
“Ah, begitukah? Akan tetapi,
mereka itu hendak merampas kudaku!” Cian Ciang-kun, pura-pura tidak tahu bahwa
dia berhadapan dengan segerombolan perampok.
“Sekarang, bukan hanya kudamu
yang harus diserahkan kepada kami, akan tetapi juga nyawamu!” bentak si
berewok, lalu dia memberi komando kepada teman-temannya, “Keroyok dan bunuh
dia!!”
Hujan senjata golok dan pedang
menyambar dari segala jurusan. Akan tetapi, begitu tangan kanan Cian Ciang-kun
bergerak, dia telah mencabut suling bajanya dan begitu dia menggerakkan senjata
aneh ini, terdengar bunyi melengking seolah-olah suling itu ditiup dan
terdengar suara nyaring, Tiga batang golok terpental dan tiga orang pengeroyok
terhuyung.
Cian Ciang-kun tidak mau
dikepung di tengah. Dia membobol ke kiri dan menangkis tiga batang golok dengan
sulingnya, membuat golok-golok itu terpental dan tiga orang pemegang golok
terhuyung, saking kerasnya tangkisannya tadi. Sebelum mereka sempat mengepung
lagi, Cian Ciang-kun sudah menerjang bagaikan seekor garuda, dan yang
diserangnya adalah si muka berewok! Kepalanya harus ditundukkan dulu, pikirnya.
Si berewok memegang sebatang
golok besar yang kelihatan berat. Melihat betapa Cian Ciang-kun menyerangnya
dengan totokan suling, si berewok sudah menggerakkan goloknya menangkis sambil
mengerahkan tenaganya.
“Trangg.....!” Golok itu
terpental dan hampir terlepas dari pegangan tangan perampok berewok itu. Dia
terkejut setengah mati, tubuhnya terdorong ke belakang. Akan tetapi pada saat
itu, empat orang pengeroyok telah mengayun senjata mereka menyerang Cian
Ciang-kun.
Terpaksa perwira yang gagah
perkasa ini memutar sulingnya menangkis dan kembali empat batang golok dan
pedang terpental. Kakinya menendang beruntun dan robohlah tiga orang lagi. Pada
saat itu, golok besar di tangan si berewok sudah menyambarnya dari belakang.
Cian Hui miringkan tubuhnya dan golok besar lewat di sampingnya. Tangan kirinya
menampar dengan kerasnya.
“Bukkk!!” Punggung si berewok
terkena tamparan tangan kiri Cian Hui dan diapun roboh dan tidak mampu bangkit
kembali. Pingsan! Melihat kehebatan calon korban itu, para perampok menjadi
gentar sekali dan mereka lalu menyelamatkan si berewok, menepang mereka yang
tadi terpelanting, dan merekapun lari cerai berai ke hutan lebat.
Cian Hui tidak mengejar, hanya
berdiri tegak sambil tertawa. Dia menyimpan kembali sulingnya, lalu duduk di
atas batu, di dekat kudanya yang sejak tadi nampak tenang- tenang saja. Memang
Kuda Hitam atau Si Hitam itu sudah biasa menghadapi pertempuran, bahkan sering
dibawa berperang ketika Cian Ciang-kun masih memegang kedudukannya yang dahulu,
maka menghadapi perkelahian tadi, dia sama sekali tidak menjadi panik. Kuda itu
tenang-tenang saja, akan tetapi jangan coba mendekatinya. Kalau dalam keadaan
seperti itu ada orang asing mendekatinya, tentu dia akan menggigit atau
mempergunakan kakinya untuk menyepak.
Cian Ciang-kun menarik napas
panjang. Di mana-mana terdapat orang-orang jahat, pikirnya. Dia tadi sengaja
bersikap lunak, tidak membunuh karena merasa bahwa dia berada di luar daerah
pertanggungan jawabnya. Kalau peristiwa perampokan tadi terjadi di daerah kota
raja, tentu dia akan bersikap lebih keras, mungkin dibunuhnya mereka atau
setidaknya akan dilumpuhkan, ditangkap dan dijebloskan penjara. Dia merasa
heran sekali.
Bagaimana di luar kota
Lok-yang terdapat gerombolan perampok seperti itu? Bagaimana kewibawaan para
pejabat Lok-yang? Dia mencatat hal ini, dan dia akan menegur para pejabat
keamanan di Lok-yang. Biarpun dia tidak bertanggung jawab, namun dia berhak
menegur mereka, karena dia adalah seorang petugas keamanan dari kota raja yang
mengenal dan dikenal semua pejabat pusat.
“Hemm, salahkah pendengaranku
tentang Hek-liong-li?” katanya kepada dirinya sendiri.
Dia mendengar bahwa
Hek-liong-li adalah seorang pendekar wanita, atau setidaknya seorang wanita
yang menentang kejahatan dan yang tinggal di Lok-yang. Kabarnya, wanita itu
ditakuti seluruh penjahat bahkan namanya terkenal luas di dunia kang-ouw. Akan
tetapi mengapa gerombolan yang hanya merupakan penjahat-penjahat kecil tadi,
yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi penjahat besar, masih berani
beraksi di luar kota Lok-yang? Andaikata mereka itu berani menghadapi para
petugas keamanan, apakah mereka tidak takut kepada Hek-liong-li yang kabarnya
amat keras dan tidak mengenal ampun terhadap penjahat?
“Jangan-jangan Hek-liong-li
hanya namanya saja yang besar, akan tetapi sesungguhnya hanya seorang pendekar
wanita biasa saja. Kalau begitu sungguh sia-sia aku membuang waktu dan tenaga
datang ke sini.......” berbagai dugaan timbul di dalam hati Cian Ciang-kun yang
sudah bangkit lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, kembali dia
tertegun karena mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan dan seperti tadi,
kembali dia melihat belasan orang berlarian menuju ke tempat itu. Dia mengenal
beberapa orang di antara belasan orang penyerangnya yang tadi.
Timbul kemarahan di hatinya.
Orang-orang keparat itu tidak tahu diri, pikirnya. Sekali ini dia tidak akan
bersikap lunak lagi. Dia akan memberi hajaran keras, kalau perlu membunuh
pemimpin mereka! Maka, diapun sudah siap berdiri dengan suling di tangan!
Yang datang memang orang-orang
tadi, akan tetapi di antara mereka nampak dua orang yang berpakaian serba hitam
dan memakai kedok hitam pula! Kedok itu hanya merupakan kain hitam yang
menutupi kepala dan hanya ada dua buah lubang untuk melihat, dan lubang hidung
untuk bernapas. Tubuh dua orang ini tinggi besar dan keduanya memegang sebatang
pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Begitu tiba di depan Cian Ciang-kun,
para perampok itu mengepungnya, akan tetapi tidak menyerang seperti tadi hanya
mengepung dalam lingkaran lebar sehingga kudanya juga ikut dikepung. Yang
meloncat maju adalah seorang di antara dua orang berpakaian serba hitam
berkedok hitam itu, yang tubuhnya lebih kurus. Begitu meloncat ke depan, orang
sudah menggerakkan pedangnya.
“Singgg......!” Nampak sinar
berkelebat dan bunyi berdesing nyaring. Cian Ciang-kun maklum bahwa orang ini
lihai, terbukti dari gerakan pedangnya yang demikian cepat dan kuat. Diapun
menggerakkan suling bajanya dan menangkis sambil mengerahkan tenaganya untuk
membuat pedang itu terpental.
“Trangggg......!!!” Bunga api
berpijar menyilaukan mata dan sekali ini Cian Hui terkejut bukan main. Ketika
sulingnya bertemu dengan pedang dia merasa betapa tangan kanannya tergetar
hebat dan sulingnya terpental walaupun orang berkedok itupun berseru kaget dan
pedangnya terpental pula.
Kiranya mereka memiliki tenaga
yang seimbang! Cian Hui memeriksa sulingnya. Tidak rusak dan dia mengangkat
muka memandang.
Orang itu sudah melintangkan
pedang di depan dada. Sebatang pedang yang bentuknya agak melengkung dan hanya
tajam sebelah, gagangnya panjang, tiba-tiba orang itu mengeluarkan teriakan
melengking panjang dan dia sudah menerjang secepat kilat dengan cara
penyerangan pedang yang aneh karena dia memegang gagang pedang itu dengan kedua
tangannya! Bukan main cepatnya pedang itu menyambar dan amat kuat karena
menggunakan kedua tangan. Ketika Cian Hui cepat meloncat ke samping untuk mengelak,
pedang itu membuat gerakan melengkung dan sudah datang lagi menyambar dari arah
yang berlawanan dibarengi teriakan lain yang mengguntur!
“Hemmm......!” Cian Ciang-kun
kembali mengelak sambil menggerakkan sulingnya menangkis dari samping. Kembali
terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar. Karena tidak ingin diserang
terus menerus, ketika orang itu untuk ketiga kalinya membuat gerakan melengkung
dengan pedangnya sehingga pedang itu kembali menyambar, Cian Hui melompat ke
kanan dan tiba-tiba membalikkan, tubuhnya, membalas dengan serangan sulingnya
yang menusuk ke arah mata orang itu.
Sepasang mata yang tajam
mengintai dari balik ke dua lubang. Akan tetapi ternyata orang itupun dapat
bergerak lincah sekali. Dia sudah merendahkan tubuhnya. Namun, suling di tangan
Cian Hui sudah melanjutkan serangan dengan memukul ke bawah, ke arah ubun-ubun
kepala! Orang itu meloncat ke belakang, lalu membalas dengan serangan pedangnya
yang kadang-kadang dipegang dengan satu tangan, kadang-kadang dengan dua tangan
itu.
Terjadilah perkelahian yang
bukan main seru dan dahsyatnya. Orang itu memiliki ilmu silat yang aneh, namun
harus diakui oleh Cian Hui bahwa lawannya itu pandai sekali. Diapun segera
mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu silatnya, juga silat pedang
yang dimainkan dengan suling.
Ilmu silat yang dimainkan Cian
Hui adalah ilmu silat keluarga Cian yang turun temurun, dari aliran utara
bercampur dengan aliran pantai timur karena nenek moyangnya berasal dari
Shan-tung. Ilmu silat keluarga Cian ini mengandalkan kekuatan dan keuletan,
memiliki daya pertahanan yang amat kuat walaupun kurang lincah dalam daya
penyerangan.
Pertandingan itu sungguh amat
seru dan setelah lewat limapuluh jurus, tahulah Cian Hui bahwa dirinya berada
dalam bahaya. Baru menandingi seorang lawan saja, dia hanya mampu
mengimbanginya. Pada hal, lawannya ini masih mempunyai seorang kawan yang juga
berkedok, dan anak buah mereka ada belasan orang! Akan tetapi, Cian Hui adalah
seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar
menghadapi bahaya maut.
Hanya satu yang ditakuti di
dunia ini, yalah melakukan perbuatan sesat! Selama dia berada di pihak yang
benar, dia akan membela diri sampai titik darah terakhir! Maka, diapun tidak
mau memikirkan apa-apa lagi kecuali mencurahkan seluruh perhatiannya untuk
mengalahkan lawannya yang amat lihai itu. Agaknya, lawannya juga penasaran
sekali dan dari gerakannya yang amat ganas, mudah diduga bahwa orang berkedok
itu marah bukan main. Serangannya semakin ganas dan semua ditujukan untuk
membunuhnya.
Tiba-tiba orang berkedok ke
dua berkata, “Jangan bunuh dia! Kita membutuhkan dia hidup-hidup!”
Setelah berkata demikian,
orang berkedok ke dua yang lebih besar tubuhnya itu sudah terjun ke dalam
pertempuran dan diam-diam Cian Hui mengeluh. Orang itu memiliki gerakan yang
lebih gesit daripada lawan pertama! Menghadapi desakan kedua pedang yang
digerakkan secara aneh itu, Cian Hui hanya mampu melindungi dirinya dengan ilmu
silatnya yang amat kuat di segi pertahanan. Sulingnya diputar seperti perisai
yang melindungi seluruh tubuhnya.
“Tempel sulingnya!” tiba-tiba
orang ke dua itu berseru.
Orang pertama menggerakkan
pedangnya dengan kuat, ditangkis oleh suling Cian Hui. Perwira ini terkejut
karena tiba-tiba, ketika sulingnya bertemu pedang, kedua senjata itu saling
melekat! Dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan suling dari pedang lawan, akan
tetapi pada saat itu, tangan kiri orang ke dua sudah menyambar tengkuknya.
“Plakk!” Cian Hui roboh
pingsan!
◄Y►
Cian Hui merasa bahwa dia menunggang
kuda, akan tetapi tidak duduk seperti biasa, melainkan rebah menelungkup dan
melintang di atas seekor kuda! Bukan Si Hitam! Kuda biasa. Dia mencoba
menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi tidak berhasil dan tahulah dia bahwa
kaki tangannya terbelenggu dan bahwa tubuhnya menelungkup dan melintang di atas
kuda, diikat dengan perut kuda!
Dia membuka matanya perlahan,
melirik ke kanan kiri dan diapun teringat. Dia telah menjadi seorang tawanan!
Mereka itu kini menunggang kuda semua, melalui hutan dan dia berada di
tengah-tengah.
Nampak pula olehnya dua orang
berpakaian hitam dan berkedok, juga menunggang kuda berada di depan. Seorang di
antara mereka menuntun Si Hitam. Diam-diam Cian Hui merasa lega. Tentu tidak
ada yang dapat menunggangi Si Hitam dan mungkin sudah ada tadi yang terbanting
jatuh ketika mencoba untuk menunggang Si Hitam. Dan Si hitam kini mau dituntun
karena melihat dia berada pula di situ. Dan dia merasa semakin lega. Dia tidak,
dibunuh! Berarti ada harapan. Selagi masih hidup, dia tidak akan pernah putus
asa.
Kalau mereka menawannya,
berarti mereka menghendaki dia hidup dan teringatlah dia tadi akan ucapan
mereka. Kata-kata mereka terdengar asing walaupun mereka mempergunakan bahasa
daerah Lok-yang. Seorang di antara mereka, yang lebih besar tubuhnya, melarang
kawannya membunuhnya karena mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Untuk apa?
Sukar menduganya karena dia tidak mengenal siapa mereka.
Bersabarlah engkau, katanya
kepada dirinya sendiri. Nanti engkau tentu akan tahu. Dia mencoba tali-tali
yang membelenggu kaki tangannya. Amat kuat! Tidak ada harapan untuk meloloskan
diri sekarang. Lebih baik mengaso, menghimpun tenaga baru karena dia merasa
lelah sekali. Dia lalu membiarkan dirinya lemas dan memejamkan kembali matanya.
Dia teringat akan tugasnya
menuju ke Lok-yang. Mencari Hek-liong-li! Dia belum pernah mengenal pendekar
wanita itu, akan tetapi dia sudah mencatat tentang Hek-liong-li. Menurut
keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li seorang wanita yang cantik dan masih
muda. Usianya sekitar duapuluh lima tahun.
Menurut keterangan yang
diperolehnya, Hek-liong-li bersama seorang rekannya yang juga amat terkenal
bernama atau berjuluk Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sudah membuat nama
besar dengan membasmi banyak sekali penjahat terkenal. Di antara para penjahat
itu terdapat datuk-datuk sesat yang sakti, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua
Berhati Hitam) dan Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), dua orang di
antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang
wanita muda berusia duapuluh lima tahun seperti Hek-liong-li (Nona Naga Hitam)
bersama Pek-liong-eng yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua, telah
berhasil membasmi dan membunuh dua orang di antara Kiu Lo-mo yang kabarnya
memiliki kesaktian yang luar biasa!
Untuk menenangkan hati dan
melewatkan waktu, Cian Hui melanjutkan lamunannya mengingat-ingat tentang
Hek-liong-li seperti yang didengarnya dari keterangan mereka yang pernah
mendengar tentang wanita perkasa itu. Keterangan itu tidak menggambarkan wajah
Hek-liong-li secara terperinci, hanya mengatakan bahwa wanita itu cantik.
Tinggalnya di dalam kota Lok-yang di sebelah barat. Rumahnya besar dan indah,
dan pekarangannya luas. Ada kolam ikan di depan rumah itu, dengan teratai dan
di tengah kolam terdapat sebuah arca seorang puteri cantik menunggang seekor
angsa.
Hanya itulah yang dia ketahui
tentang Hek-liong-li yang kabarnya bernama Lie Kim Cu. Ada lagi berita yang dia
dapat mengenai wanita perkasa itu. Bahwa Hek-liong-li Lie Kim Cu dahulunya
adalah puteri seorang bangsawan tinggi di Lok-yang, seorang bangsawan yang
kabarnya melakukan korupsi karena gila judi sehingga masuk penjara dan tewas di
dalam penjara.
Betapa Lie Kim Cu, ketika itu
masih seorang gadis berusia enambelas tahun, menjadi selir Pangeran Coan Siu
Ong, seorang pangeran keluarga kaisar yang berkedudukan di Lok-yang. Kemudian,
tidak jelas bagaimana beritanya karena tidak ada yang tahu, tiba-tiba saja
gadis itu sudah tidak menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong lagi dan tahu-tahu telah
muncul sebagai seorang wanita sakti pembasmi kejahatan!
Cian Ciang-kun, menghentikan
lamunannya karena mereka telah berhenti. Ketika dia membuka mata, dia melihat
bahwa rombongan itu berhenti di depan sebuah bangunan kuno, bekas kuil yang
sudah tidak dipergunakan lagi, yang berada di dalam hutan.
“Turunkan dia dan bawa ke
kamar ruangan belakang!” kata si kedok hitam yang kurus.
Dua orang anggauta perampok
segera menyeret tubuh Cian Hui turun dari atas punggung kuda. Begitu dia
diturunkan dan berdiri dengan kaki tangan terbelenggu, terdengar ringkik kuda
dan Si Hitam sudah melepaskan diri dan lari menghampiri Cian Hui, mencium-cium
majikannya itu sambil meringkik-ringkik.
Dua orang anggauta perampok
cepat menghampiri dan mereka mencoba untuk memegang kendali kuda, akan tetapi
sambil meringkik marah, Si Hitam membalik dan menyepak mereka sampai tubuh
kedua orang itu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting ke atas tanah dan
mengaduh-aduh karena tulang iga mereka ada yang patah! Cian Hui tersenyum senang,
akan tetapi lebih banyak perampok datang dan mereka mencabut senjata.
“Tenangkan kuda itu, kalau
tidak akan kami bunuh!” tiba-tiba si kedok hitam yang besar berkata kepada Cian
Hui.
Cian Ciang-kun khawatir kalau
sampai kudanya dibunuh, maka diapun mengeluarkan suara bersiul panjang yang
tadinya tinggi lalu menurun. Itulah isyarat bagi Si Hitam untuk menjadi tenang,
dan kuda itupun tidak meringkik lagi, mengibas-ngibaskan ekornya dan tidak
membantah atau meronta ketika seorang anggauta perampok memegang kendali dan
menuntunnya.
Pada saat itu, nampak
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang wanita
yang usianya sekitar tigapuluh tahun, yang seorang berpakaian serba hijau dan
orang kedua berpakaian warna kuning. Mereka itu cantik manis dan keduanya
membawa keranjang kecil yang berisi beberapa macam daun obat. Di punggung
mereka tergantung sebatang pedang.
“Heii, apa yang telah terjadi
di sini?” tanya si baju hijau yang mempunyai tahi lalat kecil di dahinya.
“Kenapa orang ini dibelenggu?
Kalian ini siapa?” tanya yang berpakaian kuning, yang hidungnya mancung.
Melihat munculnya dua orang
wanita yang cantik itu, para anggauta perampok saling pandang dan mereka
menyeringai. “Ha-ha, dua ekor kelinci datang menyerahkan diri kepada kita yang
memang sedang kelaparan!”
“Tangkap mereka dan malam ini
kita berpesta!”
“Aduh manisnya! Siapa yang
lebih dulu menangkapnya, dia yang berhak mendapat bagian pertama!”
Bermacam-macam ucapan mereka
yang nadanya menggoda, kurang ajar dan bahkan cabul. Adapun dua orang berkedok
hitam itu hanya diam saja, memandang dari samping.
Dua orang wanita itu
mengerutkan alisnya, dan mata mereka yang jeli mengeluarkan sinar marah.
“Enci, mereka ini tentu
penjahat-penjahat yang pantas dibasmi. Mari kita hajar mereka!” bentak si baju
kuning.
Akan tetapi, belasan perampok
kasar itu, yang sudah terbiasa melakukan perbuatan maksiat dan jahat, memandang
kepada kepala mereka, yaitu perampok yang berewok. Ketika kepala perampok
inipun hanya menyeringai saja, mereka menjadi berani dan beramai-ramai belasan
orang itu mengepung dua orang wanita itu, seperti segerombolan srigala
mengepung dua ekor domba muda yang lunak dagingnya.
Akan tetapi, dua orang wanita
itu sama sekali bukan dua ekor domba muda yang lunak dagingnya, melainkan dua
ekor harimau muda yang ganas. Begitu keduanya bergerak, nampak bayangan hijau
dan kuning berkelebatan dan pada saat itu, belasan pasang tangan dengan rakus
hendak menerkam. Begitu dua orang wanita itu menampar dan menendang, para perampok
itu mengaduh-aduh dan tubuh mereka berpelantingan!
Terkejutlah si berewok melihat
betapa belasan orang anak buahnya jatuh bangun dijadikan bulan-bulan tamparan
dan tendangan kedua orang wanita itu. Dia menggereng dan dengan golok besarnya
diapun maju menerjang. Akan tetapi, dia disambut oleh wanita baju hijau yang
sudah mencabut pedang dari punggungnya, Terjadilah perkelahian yang seru antara
si berewok dan si baju hijau, sedangkan si baju kuning masih mengamuk dikeroyok
oleh para perampok.
Diam-diam Cian Hui menjadi
kagum. Dua orang wanita yang manis-manis dan kelihatan halus itu, yang tadinya
membawa keranjang memetik daun obat, ternyata dapat bergerak tangkas dan ilmu
silat mereka lihai juga!
“Nona-nona, hati-hati, si
kedok hitam itu lihai sekali!” teriaknya ketika melihat betapa dua orang
berkedok itu melangkah maju.
“Kalian mundur semua!” bentak
si Kedok Hitam yang bertubuh kurus.
Para perampok, juga kepala
perampok berewok, berloncatan mundur dan kini dua orang bertopeng hitam itu
menerjang maju dengan tangan kosong.
Si baju kuning menangkis
pukulan si kedok hitam dan ia mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Dengan
marah ia mencabut pedangnya pula dan kini dua orang wanita itu dengan pedang
mereka menyerang dua orang berkedok hitam itu dengan ganas.
Dua orang berkedok itupun
sudah mengeluarkan senjata mereka, pedang yang agak melengkung dan bergagang
panjang dan lewat belasan jurus saja, tahulah Chin Ciang-kun bahwa dua orang
gadis itu akan kalah. Mereka sudah repot dan main mundur, hanya mampu mengelak
dan menangkis saja.
Melihat ini, Cian Hui merasa
khawatir bukan main. Dua orang wanita itu jelas hendak menolong dirinya, maka
kalau sampai mereka itu roboh tewas atau terluka, apa lagi kalau sampai
terjatuh ke tangan srigala-srigala buas itu yang akan menerkam dan
merobek-robek daging mereka yang lunak, dia akan selalu merasa menyesal karena
dialah yang menjadi penyebabnya.
“Heii, dua orang sobat
berkedok!” teriaknya lantang. “Tidak malukah kalian menyerang dua orang gadis
yang sama sekali tidak bersalah? Mereka tidak ada hubungan sedikitpun dengan
aku. Kalau memang kalian gagah, jangan serang mereka dan hayo lepaskan aku,
biar kita bertanding sampai seribu jurus lagi!”
Biarpun kedua tangan dan
kakinya dibelenggu, namun Cian Ciang-kun masih dapat menggenjotkan tubuhnya ke
atas dan tubuh itupun melompat tinggi ke arah dua orang berkedok dan dari atas,
tubuhnya menubruk ke arah mereka dengan kedua kaki yang terbelenggu lebih
dahulu. Diapun berseru. “Nona-nona, larilah kalian!”
Dua orang berkedok itu
terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa Cian Hui yang sudah terbelenggu itu
masih mampu melakukan penyerangan kepada mereka. Namun, tentu saja serangan itu
tidak ada artinya dan mereka cepat melompat ke samping dan begitu tubuh Cian
Ciang-kun turun, mereka menendang dan Cian Hui roboh terjungkal, lalu ditangkap
oleh beberapa orang anak buah perampok yang menyeretnya ke dalam bangunan bekas
kuil itu. Akan tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh dua wanita tadi untuk
berloncatan dun melarikan dini.
Dua orang berkedok hitam
mencoba untuk melakukan pengejaran, akan tetapi mereka merasa heran sekali
melihat betapa lincahnya dua orang gadis itu bergerak di dalam hutan itu,
seolah-olah mereka sudah hafal benar akan keadaan pohon-pohon dan semak-semak
di situ. Sebentar saja kedua nona itu sudah lenyap.
Dua orang berkedok hitam,
tidak berani mengejar terus. Mereka kurang begitu hafal akan keadaan di hutan
itu dan mereka maklum bahwa menncari musuh di tempat yang demikian penuh semak
belukar, amat berbahaya. Maka, merekapun kembali ke kuil tua dan membiarkan dua
orang gadis itu lolos.
◄Y►
Rumah di sudut barat kota
Lok-yang itu masih baru. Mungil dan indah bentuknya, memiliki pekarangan yang
luas di bagian depan dan juga taman indah di sebelah kiri dan belakang. Kolam
ikan penuh bunga teratai di pekarangan depan itupun indah sekali. Arca puteri
cantik menunggang angsa amat halus pahatannya, dengan sikap manja puteri itu
merangkul leher angsa yang panjang seperti membelai seorang kekasih.
Di sekeliling kolam tumbuh
bunga-bunga mawar beraneka warna, sehingga keharuman semerbak, menyegarkan hawa
di pekarangan itu. Beberapa buah bangku bercat merah hijau dan biru yang mungil
berada di bawah pohon-pohon yang rindang.
Sungguh pekarangan itu membuat
orang akan merasa betah berada di tempat itu. Rumah itu agaknya baru dipugar
dan diperbaiki, catnya masih baru. Temboknya berwarna putih bersih. Jendela dan
pintunya dicat berwarna hijau muda dengan garis-garis merah. Manis sekali, akan
tetapi juga menimbulkan kesan anggun.
Dan melihat bentuk atapnya
yang nampak dari luar, rumah itu tentu amat luas di sebelah dalamnya. Batas
pekarangan rumah itu dengan para tetangga dikelilingi pagar tembok yang
tingginya tidak kurang dari dua meter dan di atas temboknya dipasangi ujung
tombak-tombak meruncing yang dicat merah.
Semua penghuni kota Lok-yang,
tua muda, laki perampuan, tahu belaka bahwa rumah yang indah ini adalah tempat
tinggal Liong-li (Nona Naga) atau yang mereka semua sebut dengan Li-hiap
(Pendekar Wanita) saja. Semua orang menghormatinya dan mengaguminya, juga para
pejahat karena wanita perkasa itu dikenal sebagai seorang pembasmi kejahatan
yang gigih.
Pengaruh Liong-li terhadap
para penjahat lebih besar dari pada pengaruh pasukan keamanan. Tidak ada
penjahat yang berani mencoba-coba untuk mendatangkan kekacauan di Lok-yang
hanya takut kalau sampai bentrok dengan Liong-li! Dan wanita itu tinggal di
situ bersama sembilan orang wanita lain yang menjadi anak buahnya, pelayannya,
juga pembantunya.
Sembilan orang wanita itu
rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai karena mereka digembleng sendiri oleh
Liong-li. Merekapun semuanya manis-manis, berusia antara tigapuluh tahunan dan
mereka ini mudah dikenal karena mereka selalu mengenakan baju cerah berkembang
dengan warna-warna menyolok. Ada yang merah, hijau, kuning, biru dan
sebagainya, tidak ada yang sama sehingga kalau gadis-gadis itu berada di
pekarangan depan rumah melaksanakan pekerjaan membersihkan arca, kolam atau
menyapu pekarangan, mereka itu seperti kembang-kembang besar beraneka warna
menambah semarak pekarangan itu.
Akan tetapi pada siang hari
itu, setelah dari luar nampak masuk dua orang di antara. mereka yang berpakaian
hijau dan kuning, terdengar bunyi kelinting nyaring dari dalam dan semua
pembantu yang sedang bekerja, baik yang sibuk di dapur, di taman belakang atau
di pekarangan, segera memasuki rumah. Suara keleningan nyaring merdu itu adalah
tanda bahwa mereka dipanggil menghadap nona mereka karena ada urusan yang amat
penting.
Mereka berada di sebelah dalam
rumah, di ruangan belakang yang luas. Ruangan ini luas sekali dan tidak
terdapat banyak perabot rumah, kecuali belasan buah bangku kecil di sudut di
mana mereka kini berkumpul. Dan di dekat bangku-bangku itu terdapat pula sebuah
rak berisi segala macam senjata.
Lantainya bersih, temboknya
bersih dan hawanya cukup karena ruangan ini mempunyai banyak jendela yang
dibiarkan terbuka, jendela yang menembus pada taman di belakang rumah. Bahkan
bau semerbak harum bunga memasuki ruangan.
Sebuah lian-bu-thia (ruangan
latihan silat) yang amat baik. Bukan hanya merupakan ruangan latihan silat,
juga tempat ini dipergunakan oleh nona majikan mereka untuk mengadakan rapat
dengan mereka apa bila terjadi perkara penting. Sebelum mereka berkumpul di
situ, tidak lupa mereka tadi menutup semua pintu luar dan samping dan belakang
sehingga tidak akan ada orang luar yang dapat masuk mencuri dengar apa yang
mereka percakapkan di dalam ruangan berlatih silat itu.
Pada hal, mereka tidak pernah
merasa khawatir akan ada orang luar berani masuk tanpa ijin karena rumah itu
dipasangi banyak perangkap dan tanda-tanda yang akan memberitahu kepada mereka
apa bila ada orang asing masuk. Banyak alat rahasia dipasang nona mereka. Salah
injak lantai saja akan menimbulkan bunyi kelenengan. Menyangkut sehelai benang
halus dengan kaki saja akan menimbulkan bunyi bel dan sebagainya. Belum lagi
perangkap yang akan membuat orang asing terjeblos ke dalam lubang di bawah
tanah dan banyak macam lagi.
Hek-liong-li Lie Kim Cu memang
baru saja memugar dan memperbaiki rumah tempat tinggalnya. Ia kini menjadi
seorang kaya raya. Setahun yang lalu, bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay,
rekannya, ia telah berhasil mendapatkan harta karun yang tak dapat dinilai
berapa besarnya, dan setelah membagi harta karun itu dengan Pek-liong-eng, ia
menjadi seorang yang kaya raya.
Mungkin kekayaannya tidak
kalah dibandingkan dengan hartawan atau bangsawan terkaya di Lok-yang! Ia lalu
memperbaiki rumahnya, dan kini di dalam rumah itu bagaikan istana saja, dengan
perabot rumah yang serba indah dan mahal.
Ketika para gadis pembantunya
yang oleh penduduk Lok-yang disebut sebagai Hwa I Kiu-nio (Sembilan Nona Baju
kembang) berlarian datang memasuki ruangan latihan silat itu, Hek-liong-li Lie
Kim Cu atau disingkat Liong-li (Nona Naga) sudah berada di situ, duduk di atas
sebuah kursi gading yang indah sedangkan dua orang di antara para pembantunya,
yaitu yang berpakaian kuning dan hijau sudah duduk di atas bangku, di depannya.
Wajah mereka nampak serius, membuat mereka yang berdatangan merasa tegang.
Setelah sembilan orang
pembantunya berkumpul dan duduk di depannya dengan jajaran rapi, tenang dan
penuh perhatian, Liong-li berkata dengan lirih namun jelas.
“Aku memanggil kalian untuk
mendengarkan pengalaman enci Kuning dan enci Hijau.” Ia menoleh kepada dua
orang pembantu itu, “Kalian ceritakan kembali apa yang telah kaualami tadi.”
Liong-li selalu menyebut enci
(kakak perempuan) kepada sembilan orang pembantunya, dengan menyebutkan warna
pakaian mereka, dan sebaliknya, para pembantu itu menyebutnya Li-hiap (Pendekar
Wanita).
Dua orang pembantu itu lalu
menceritakan pengalaman mereka ketika mereka bertugas mencari daun-daun obat
yang dibutuhkan nona mereka ke Bukit Kuil. Bukit itu disebut Bukit Kuil karena
ada kuilnya yang kuno dan sudah tidak dipergunakan lagi itu. Di bukit itu
memang terdapat banyak tumbuh-tumbuhan obat dan kedua orang wanita ini sudah
hafal akan keadaan di dalam hutan di bukit itu karena seringnya mereka
ditugaskan mencari daun dan akar obat.
Semua pembantu mendengarkan
dengan asyik, dan Liong-li sendiri, walaupun tadi telah menerima laporan, kini
mendengarkan lagi penuh perhatian dan ia duduk di atas kursi gading itu sambil
termenung. Bukan main cantiknya ketika ia duduk seperti itu. Pakaiannya, yang
terbuat dari sutera hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak
putih dan halus mulus, lebih putih dari pada warna gading kursi yang
didudukinya. Wajahnya yang bulat telur dengan dagu meruncing itu nampak cerah.
Mulut yang kecil dangan bibir
merah yang selalu basah itu tak pernah ditinggalkan bayangan senyum. Lesung
pipinya mudah muncul, dan tahi lalat kecil di bawah mata kiri menjadi pemanis.
Seorang wanita berusia duapuluh lima tahun yang mungil, cantik jelita dan
manis.
Apa lagi melihat tubuh yang
padat berisi itu, dengan lekuk lengkung yang sempurna, menggairahkan dan penuh
kewanitaan yang hangat. Sukar membayangkan betapa di bawah kulit halus, di
dalam tubuh yang menggairahkan itu tersembunyi kekuatan dahsyat dan ilmu silat
yang maut! Rambutnya digelung tinggi, dihias tusuk konde perak berbentuk seekor
naga kecil di atas bunga teratai.
Walaupun ia kaya raya, namun
Liong-li tidak suka mengenakan perhiasan emas permata yang serba mahal. Bahkan
hiasan rambutnya itu dari perak dan satu-satunya perhiasan yang terhitung mahal
hanya sebuah gelang batu kemala hijau yang dipakai di lengan kirinya.
Setelah si baju hijau dan baju
kuning selesai menceritakan pengalaman mereka, tujuh orang pembantu lain
mengerutkan alis. Mereka kelihatan penasaran mendengar betapa dua orang kawan
mereka dikalahkan orang. Wanita baju ungu yang merupakan pembantu tertua,
segera berkata kepada Liong-li dengan penuh semangat.
“Li-hiap, biarkan kami beramai
pergi ke Bukit Kuil dan menghajar kawanan perampok itu!”
Kawan-kawannya mengangguk
membenarkan. Ingin mereka menebus kekalahan dua orang kawan mereka!
Akan tetapi Liong-li
menggeleng kepalanya. “Aku memanggil kalian agar kalian tahu duduknya perkara.
Akan tetapi, bukan kewajiban kalian untuk menghadapi perkara ini, melainkan akan
kuhadapi sendiri. Ada dua hal amat menarik hatiku, yaitu adanya dua orang
berkedok hitam itu, dan pria yang menjadi tawanan itu.
“Kalau dua orang itu berkedok
hitam, itu berarti bahwa mereka hendak menyembunyikan keadaan diri mereka, dan
jelas bahwa mereka bukanlah perampok-perampok biasa. Tentu ada hal lain
tersembunyi, ada rahasia di balik semua.
“Apa lagi kalau diingat betapa
mereka itu dalam belasan jurus sudah mampu mendesak Huang-ci (Enci Kuning) dan
Ching-ci (enci Hijau ). Ingin aku membuka kedok mereka dan mengetahui siapa
mereka dan apa maksudnya mereka bersikap penuh rahasia itu. Dan kedua adalah
tawanan itu. Agaknya dia seorang pendekar yang baik budi dan gagah perkasa!”
“Bagaimana Li-hiap dapat
menduga demikian?” tanya si baju ungu, juga yang lain ingin tahu karena mereka
semua sudah mengenal nona mereka yang selain lihai sekali ilmu silatnya, juga
amat cerdik.
“Hemm, mudah saja. Dia sudah
menjadi tawanan dan dibelenggu kaki tangannya, namun dia masih berani melawan,
itu tandanya dia gagah perkasa. Dia mencoba untuk menyelamatkan enci Hijau dan
enci Kuning dan menganjurkan mereka cepat melarikan diri, ini menunjukkan bahwa
dia seorang pendekar yang baik hati. Tentu dia merasa bahwa kalau sampai kedua
enci tertawan musuh atau tewas, maka hal itu disebabkan karena kedua enci
berusaha menolongnya. Tentu hal itu akan mendatangkan perasaan tidak enak di
hati seorang pendekar.
Karena itu, selain ingin tahu,
siapa adanya dua orang berkedok hitam itu, akupun ingin tahu siapa adanya pria
gagah perkasa itu. Nah, kalian jagalah rumah baik-baik. Kalau ada tamu
mencariku, katakan bahwa sore nanti atau malam nanti aku tentu sudah pulang.
Nah, persiapkan air untuk mandi, beri wangi-wangian. Aku ingin badanku sejuk
dan segar dalam menghadapi kemungkinan bahaya!”
Kurang lebih satu jam
kemudian, Liong-li sudah keluar dari rumahnya, mengenakan pakaian serba hitam
dari sutera halus. Kulit muka, leher dan tangannya nampak segar kemerahan
karena baru saja digosok dengan kuat ketika ia mandi.
Wanita ini hampir tidak pernah
mempergunakan bedak atau pemerah pipi dan bibir. Memang tidak perlu, kecuali
kalau dalam suatu peristiwa penting, misalnya kalau ia diundang ke dalam pesta
keluarga bangsawan di Lok-yang dan sebagainya.
Dalam keadaan biasa, ia tidak
pernah menggunakan bedak dan gincu. Kulit mukanya sudah cukup putih mulus dan
segar kemerahan. Kedua pipinya yang baru digosoknya ketika mandi tadi nampak
kemerahan seperti buah delima masak, sepasang bibirnya juga sudah merah basah
tanpa gincu.
Ia mengenakan baju yang agak
longgar dan panjang sehingga pedang Hek-liong-kiam yang tergantung tinggi di
pinggangnya itu tidak terlalu menyolok. Sepatunya juga berwarna hitam karena
pakaian yang serba hitam ditambah rambutnya yang juga amat hitam itu, maka
perhiasan rambut terbuat dari perak itu kelihatan amat menyolok, juga kulitnya
nampak putih mulus.
Begitu keluar dari rumahnya,
tiada hentinya Liong-li harus mengangguk dan tersenyum untuk membalas tegur
sapa dan penghormatan orang kepadanya yang mereka lakukan dengan pandang mata
hormat dan kagum. Ia lalu mengambil jalan kecil yang sunyi agar jangan banyak
terganggu, dan setelah berada di luar kota Lok-yang, ia lalu cepat menuju ke
Bukit Kuil yang nampak dari situ.
Tak lama kemudian ia sudah
mendaki bukit itu dan ketika tiba di tepi hutan, ia meraih ranting pohon dan
mengambil sebatang ranting sebesar lengannya dan panjangnya kurang lebih satu
meter, lalu mempergunakan ranting kayu basah ini sebagai tongkat.
Ia sudah mengenal baik bukit
ini dan tahu di mana adanya kuil tua itu. Bahkan ia melalui jalan setapak yang
hanya dikenal oleh orang yang sudah biasa melaluinya, jalan yang sukar akan
tetapi jauh lebih dekat dari pada kalau melalui jalan biasa yang lebar.
Sementara itu, Cian Hui atau
Cian Ciang-kun dimasukkan ke dalam sebuah ruangan di belakang kuil tua. Ruangan
itu kotor penuh debu dan sarang laba-laba. Dia duduk di atas lantai. Kedua
lengannya dibelenggu ke belakang pinggulnya, dan kedua kakinya dibelenggu pula
dengan rantai sehingga kedua kaki itu hanya dapat direnggangkan selebar satu
meter saja. Dia dapat berjalan, akan tetapi gerakannya amat terbatas karena
kedua tangan diikat ke belakang.
Dia tidak tahu apa yang akan
menimpa dirinya. Ketika dia melihat bahwa dua orang wanita manis ini dapat
lolos dari ancaman bahaya, Cian Hui merasa girang bukan main. Dia hanya
dibiarkan duduk di dalam ruangan itu, tidak diganggu dan para perampok itu
hanya berjaga di luar ruangan, siap dengan senjata mereka. Dua orang berkedok
itu setelah melihat dia berada di ruangan itu, lalu berkata kepada para
perampok agar dia dijaga baik-baik jangan sampai lari.
“Kalau dia mengamuk lagi,
kalian bunuh saja dia!” kata si kedok hitam yang kurus, kemudian keduanya pergi
dan sampai tiga jam lamanya tidak pernah muncul. Pernah dia bertanya kepada
para perampok yang berjaga di luar dan pertanyaan itu dia tujukan kepada si
kepala perampok yang bermuka berewok.
“Hai, Berewok! Kalian sudah
mengambil kudaku, kenapa aku masih ditahan di sini? Apa yang hendak kalian
lakukan dengan aku?”
Dengan wajah geram Si berewok
itu menjawab. “Jangan banyak mulut kau! Atau kau ingin kami menggebukimu
seperti anjing sehingga engkau tidak mampu mengeluarkan suara lagi?”
Cian Hui tertawa bergelak,
suara ketawanya menembus keluar dari kuil itu. “Ha-ha- ha-ha! Kalian ini
perampok-perampok busuk, penjahat-penjahat kecil yang berlagak besar. Aku tahu
bahwa kalian ini adalah antek-antek saja dari dua orang berkedok hitam tadi.
Engkau tidak akan berani menggangguku tanpa si kedok hitam, Berewok! Karena itu
katakan saja, siapa mereka dan apa yang mereka kehendaki dariku. Kalau engkau
mengaku, kelak kalau aku dapat menundukkan mereka, tentu akan kupertimbangkan
dosamu!”
“Manusia sombong! Engkau sudah
seperti anjing dirantai, tinggal kita angkat tangan bunuh saja, dan engkau
masih banyak lagak? Hayo kalau memang engkau berani, berontaklah. Cobalah
engkau mengamuk, hemm...... aku akan senang sekali mencabik-cabik perutmu agar
ususmu berantakan!” Si Berewok marah sekali. Akan tetapi yang ditantangnya
hanya tertawa bergelak.
Pada saat itu terdengar derap
kaki kuda di luar. “Toa-ko, kenapa harus melayani orang sombong ini? Lebih baik
lagi kalau toa-ko mencoba lagi menunggangi kuda setan hitam itu sampai
berhasil. Lihat, ia sudah mulai kelaparan dan lari memutari pohon dengan tidak
sabar.”
Cian Hui diam-diam merasa
sedih. Kudanya akan dipaksa untuk menjadi kuda tunggangan si berewok ini, dan
untuk menjinakkan kuda itu, mereka menggunakan cara membuat kuda itu kelaparan.
Hem, aku harus membuat perhitungan untuk itu, pikirnya.
Si berewok lalu keluar dari
tempat penjagaan di depan ruangan itu. Dan Cian Hui bersiul. Siulnya seperti
siul iseng saja, akan tetapi diam-diam dia memberi isyarat kepada kudanya yang
berada di luar kuil. Kuda itu peka sekali terhadap suara siulnya dan kalau mendengar
siulnya itu, kuda itu tentu akan menjadi tenang.
Dan memang perhitungannya itu
tepat. Kuda hitam itu tadinya dicancang pada sebatang pohon dan ia selalu
gelisah. Bahkan karena merasa lapar, kuda itu berlarian mengelilingi pohon dan
mencoba untuk membikin putus kendali yang mengikatnya. Akan tetapi, begitu Si
Berewok muncul dan ia mendengar suara siulan itu. Kuda Hitam berhenti berlari
dan ia menjadi tenang dan jinak. Bahkan ketika kepala perampok itu mendekatinya
dan mengelus lehernya, ia diam saja.
“Nah, kuda yang baik, engkau
jinaklah dan menjadi kuda tungganganku. Nanti kuberi rumput yang paling enak!”
kata si berewok, perlahan-lahan melepaskan ikatan kuda itu dari pohon.
Melihat betapa kuda itu tetap
jinak, Si Berewok mengira bahwa kuda itu memang betul sudah dapat ditundukkan
dan dijinakkan dengan membiarkan ia kelaparan. Maka dengan girang diapun
melompat ke atas punggung kuda. Disuruhnya kuda itu berjalan, dan semua ini
diturut dengan taat oleh kuda hitam. Si Berewok menjadi semakin girang dan
bangga.
“Ha-ha-ha, aku sudah berhasil
menjinakkannya! Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa dan berteriak-teriak, lalu dia
menarik kendali kudanya dan Si kuda Hitam pun lari ke depan.
Akan tetapi tiba-tiba saja,
telinga kuda itu bergerak-gerak dan pendengarannya yang peka telah menerima
isyarat melalui siulan majikannya! Dia lalu tiba-tiba membalik sehingga
mengejutkan Si Berewok.
“Eh? Kenapa kembali?” Dia
mencoba untuk menarik kendali akan tetapi tetap saja kuda itu tidak menurut dan
berlari seperti kemasukan setan menuju ke kuil. Akhirnya Si berewok membiarkan
saja, hanya memegang kendali dengan kuat dan menjepit perut kuda dengan kedua
pahanya agar jangan sampai dia terpental jatuh.
Kuda Hitam itu berlari terus
dan setelah tiba di depan kuil, kepala perampok mencoba untuk menarik kendali
agar kuda itu berhenti berlari. Akan tetapi, kuda itu tidak berhenti, bahkan
memasuki pekarangan kuil, terus melompat dan masuk ke dalam pintu kuil yang
lebar dan tidak berdaun pintu lagi itu.
Tentu saja Si Berewok menjadi heran
dan juga mulai takut, akan tetapi kuda itu berlari terus menuju ke arah suara
siulan yang memanggilnya! Dia berlari melalui lorong, menerjang sebuah meja
tua, melompati segala penghalang dan memasuki ruangan belakang!
Setelah tiba di depan kamar di
mana Cian Hui ditawan, barulah dia berhenti, mendengus-dengus. Cian Hui terus
bersiul dan kuda itu tiba-tiba meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan,
menggoyang-goyang tubuhnya.
Tentu saja Si Berewok yang
berada di punggungnya terguncang-guncang, akan tetapi kepala perampok ini juga
seorang ahli menunggang kuda. Dia masih dapat duduk terus di punggung kuda,
mencengkeram bulu tengkuk kuda itu dan menempel terus seperti seekor lintah!
Anak buahnya yang melihat kuda
itu mengamuk, pergi menjauh akan tetapi mereka memberi semangat kepada kepala
rampok itu untuk terus bertahan dan agar jangan sampai terlempar dan
terbanting!
Kuda itu terus meloncat-loncat
seperti kemasukan setan, punggungnya dilengkungkan dan akhirnya diapun
merebahkan diri ke samping! Melihat ini, Si Berewok terkejut sekali. Kalau kuda
itu bergulingan, tentu dia akan terhimpit dan mampus! Maka, ketika kuda itu
merebahkan diri, diapun meloncat turun. Begitu meloncat turun, kuda hitam itu
menyepak dengan kaki belakangnya.
“Bukkkk!!” Pinggul dan paha Si
berewok kena disepak. Tubuhnya terlempar dan terbanting pada dinding dan diapun
roboh dan mengaduh-aduh, kepalanya pening, pinggulnya seperti remuk rasanya,
seluruh tubuh, seperti memar dan semua tulang seperti patah-patah.
“Kuda setan! Kuda
terkutuk......!” Dia memaki-maki dan Cian Hui tertawa bergelak. Setelah Cian
Hui berhenti bersiul, kuda itupun menjadi tenang dan jinak kembali!
Pada saat itu, di luar
terdengar bunyi roda kereta. Si Berewok yang agaknya baru tahu bahwa dia
dipermainkan oleh tawanannya dan hendak marah, menunda kemarahannya dan diapun
bangkit menyambut. Munculah dua orang berkedok hitam itu.
“Keretanya sudah siap. Bawalah
dia dan lakukan seperti yang telah kami perintahkan!” kata yang bertubuh besar
kepada kepala perampok yang mengangguk.
“Bagaimana dengan kuda iblis
itu?” tanya si berewok kepada dua orang berkedok hitam.
“Tinggalkan di sini, biar kami
yang urus. Nah, berangkatlah dan hati-hati jangan sampai dia lolos!”
Si Berewok lalu masuk ke dalam
kamar, memegang lengan Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. Cian Hui
bersikap tenang, akan tetapi dia memandang kepada dua orang berkedok hitam itu.
“Sobat, sungguh aku tidak
mengerti apa yang kaukehendaki ini! Mengapa kalian bersikap pengecut, tidak
memperkenalkan diri? Dan kalau memang aku ini musuhmu, mengapa tidak kaubunuh
saja aku? Bukalah kedok kalian dan perkenalkan dirimu kepadaku!”
Akan tetapi, dua orang
berkedok hitam itu hanya memberi isyarat kepada kepala perampok itu.
“Hayo berangkat, jangan banyak
cerewet kau!” bentak kepala perampok dan bersama belasan orang anak buahnya,
dia menyeret Cian Hui yang tidak berdaya itu keluar dari dalam kuil.
Ketika tiba di luar kuil, Cian
Hui melihat sebuah kereta dengan dua ekor kuda siap di situ, sebuah kereta yang
tidak besar dan yang tertutup. Matahari telah naik tinggi dan udara cerah
sekali. Cian Hui bersikap tenang. Kalau dia dibawa pergi dari tempat ini,
dengan kereta, berarti masih banyak kesempatan baginya untuk mencoba meloloskan
diri dari cengkeraman mereka.
Kalau berada di tempat sepi
seperti ini, tentu saja tidak mungkin dia lolos, walaupun dia dapat
memerintahkan kuda hitam untuk membantunya. Terdapat bahaya kuda yang
disayanginya itu akan terbunuh dan diapun tidak akan mampu meloloskan diri
dengan kaki dan tangan terbelenggu seperti itu. Akan tetapi kalau kereta ini
melewati tempat ramai, dan kemungkinan ini besar sekali, dia tentu akan dapat
melompat keluar dan memberontak. Tentu hal ini akan menarik perhatian
orang-orang dan dia mendapat kesempatan untuk diselamatkan.
Si berewok melangkah lebar ke
arah kereta sambil menarik lengan Cian Hui, kemudian membentak. “Nah, masuklah,
atau engkau lebih suka diseret masuk seperti seekor babi?”
Dia menyingkap tirai kereta
dan membuka pintunya dan...... tiba-tiba dia terbelalak, karena di dalam kereta
itu nampak duduk seorang wanita yang cantik sekali, seorang wanita yang
berpakaian serba hitam dan yang tersenyum.
“...... eh, dewi...... eh,
babi...... ah, cantiknya, manisnya........ ah, siapakah engkau dan bagaimana.......?”
Kepala rampok berewok itu menjadi gagap dan salah tingkah karena dia sudah
terpesona melihat wanita berpakaian serba hitam itu.
Memang seorang yang
mempesonakan! Bukan hanya cantik jelita dan manis sekali, wajahnya nampak putih
kemerahan dan mulus karena pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, akan
tetapi juga wajah itu demikian segar dan cerah, senyumnya memikat dan seluruh
ruangan kereta berbau harum seolah wanita itu setangkai bunga mawar yang sedang
mekar dengan indahnya.
Bibir yang merah basah itu
merekah dalam senyum yang manis sekali, dan sebatang ranting yang dipegangnya,
ditodongkannya ke arah hidung si berewok,
“Engkaulah babinya! Babi
berewok!”
“Apa......, apa
kaubilang.....?” Si berewok tergagap karena dia masih terpesona, juga terkejut
karena tidak menduga akan melihat seorang wanita secantik bidadari di dalam
kereta itu. Suara wanita itu demikian merdunya, akan tetapi kata-katanya
sungguh tidak enak didengar!
“Aku bilang engkau babi
berewok yang sekarat!” Wanita itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya bergerak,
ranting di tangannya itu meluncur ke arah leher si berewok. Kepala rampok itu
makin terbelalak, mengeluarkan pekik kesakitan dan diapun roboh terjengkang dan
tubuhnya berkelonjotan dalam sekarat!
Melihat pimpinan mereka roboh
dan berkelonjotan, belasan orang anak buah perampok. itu menjadi terkejut dan
marah. Mereka semua mencabut senjata dan mengepung kereta itu. Kusir kereta,
seorang laki-laki tinggi kurus juga sudah meloncat turun dan mengayun cambuknya
sambil membentak,
“Haiiii! Bagaimana engkau bisa
berada di dalam keretaku?”
Akan tetapi wanita itu berseru
dengan suaranya yang merdu, “Kalian ini tikus-tikus kecil minggir, biar aku
bertemu dengan dua ekor tikus besar berkedok itu!”
Tubuhnya meloncat dari kereta
dan bagaikan seekor burung garuda saja, tubuh itu sudah meluncur keluar dan
melayang ke arah dua orang berkedok yang tadi memandang dengan mata terbelalak
kaget. Dua pasang mata yang tajam dan yang mengintai dari lubang kain penutup
muka itu.
Begitu melihat wanita cantik
berpakaian serba hitam itu meloncat bagaikan terbang ke arah mereka, dua orang
berkedok itu sudah menyambut dengan pedang mereka. Seorang menusukkan pedangnya
ke arah perut dan seorang lagi membacokkan pedang ke arah leher wanita cantik
itu! Betapa cepat, kuat dan juga kejamnya serangan mereka itu. Agaknya mereka
tidak ingin banyak bicara lagi dan langsung menyambut wanita itu dengan
serangan mereka.
Cian Hui memandang dengan muka
agak pucat dan mata penuh kekhawatiran. Dia tahu akan kelihaian dua orang
berkedok itu dan mengkhawatirkan keselamatan wanita cantik, sedangkan dia
sendiri dalam keadaan tidak berdaya sama sekali!
Diapun merasa terheran-heran
mengapa wanita-wanita belaka yang datang bermunculan dan mencoba untuk
menolongnya. Yang pertama adalah dua orang gadis cantik berbaju hijau dan
kuning.
Dan sekarang muncul seorang
gadis lain berpakaian serba hitam yang jauh lebih cantik lagi dari pada dua
gadis cantik pertama itu! Dia sendiri dalam keadaan terbelenggu berhasil
membantu dua orang gadis pertama dan mereka berhasil meloloskan diri dari
pedang dua orang berkedok itu, akan tetapi bagaimana dia akan dapat
menyelamatkan gadis berpakaian serba hitam ini?
“Wuuuuttt!” Pedang pertama
menyambut dengan tusukan kilat ke arah perut.
“Singgg......!” Pedang kedua
berdesing membacok ke arah leher.
Dan Cian Ciang-kun terbelalak!
Tubuh nona berpakaian hitam itu sedang melayang dan disambut dua serangan maut
itu, akan tetapi dengan gerakan yang lemas dan indah, tubuh itu dapat
berjungkir balik, membuat pok-sai (salto) sampai empat kali ke atas dan dua
serangan itupun luput!
Ketika tubuh meluncur ke
bawah, tubuh itu didahului gulungan sinar kehijauan, yaitu sinar yang
ditimbulkan oleh ranting di tangannya yang diputar cepat. Wanita cantik itu kini
meluncur turun dengan kepala di bawah, dan didahului ranting yang diputar,
menyerang ke arah dua orang berkedok bagaikan seekor naga menyambar turun dari
angkasa!
Dua orang berkedok itupun
terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa gadis. berpakaian hitam itu
memiliki kecepatan gerakan yang demikian luar biasa, tanda bahwa ia telah
memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Mereka cepat memutar pedang mereka untuk menangkis.
“Takk! Takk!” Ranting itu
bertemu dengan dua batang pedang, namun ranting itu tidak patah, sebaliknya,
dua orang berkedok itu berloncatan ke belakang karena ranting yang membentur
pedang mereka itu terpental menyerong dan menotok ke arah pergelangan tangan
mereka. Nyaris totokan itu mengenai sasaran. Tentu saja mereka terkejut bukan
main dan maklum bahwa gadis berpakaian hitam itu memang lihai bukan main.
“Hek.... Liong... Li...?” Seru
seorang di antara mereka yang bertubuh lebih besar.
Wanita cantik itu memang Lie
Kim Cu yang berjuluk Hek-liong-li (Wanita Naga Hitam). Namanya bukan saja
terkenal di daerah Lok-yang di mana ia tinggal, akan tetapi juga terkenal di
dunia kang-ouw sebagai seorang wanita sakti yang pernah merobohkan dua orang di
antara Kiu Lo-mo!
Liong-li tersenyum manis dan
menudingkan rantingnya kepada dua orang berkedok hitam itu. “Kalian dua ekor
anjing pengecut! Hayo buka kedok kalian dan perkenalkan diri kepadaku, ataukah
aku yang harus membuka kedok kalian itu dengan ranting di tanganku ini?”
Dua orang berkedok itu kini
yakin bahwa mereka berhadapan dengan Hek-liong-li dan biarpun mereka berkedok,
namun jelas mereka itu nampak jerih, nampak dari gerakan tangan mereka yang
gelisah.
“Kepung dan keroyok!”
tiba-tiba mereka berteriak kepada belasan orang perampok itu.
Mendengar perintah ini,
belasan orang itu lalu menggerakkan senjata mereka menyerang Liong-li. Akan
tetapi, wanita cantik ini menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw,
menghindarkan diri dan menyusup di antara hujan senjata, mengejar dua orang
berkedok itu. Dua orang berkedok itu segera menyambutnya dengan serangan
pedang, dibantu oleh para perampok.
Melihat betapa wanita cantik
jelita itu ternyata adalah Hek-liong-li seperti yang tadi juga sudah diduganya,
Cian Hui kagum dan gembira bukan main. Akan tetapi juga dia merasa khawatir.
Dua orang berkedok itu lihai sekali dan mereka berdua mempergunakan senjata
pedang, sedangkan Liong-li hanya bersenjata sebatang ranting! Di samping itu
masih ada lagi belasan orang perampok yang mengeroyok wanita itu.
Timbul kekhawatiran di dalam
hati Cian Hui. Bagaimanapun juga, kehebatan ilmu kepandaian wanita yang
dijuluki Hek-liong-li itu baru didengarnya saja dan biarpun tadi dia kagum
melihat betapa wanita itu membuat dua orang berkedok nampak gentar, namun ia
masih meragukan apakah dengan hanya senjata ranting di tangan itu Hek-liong-li
akan mampu mengalahkan dua orang berkedok yang dibantu belasan orang anak buah
perampok.
“Suiiiittt......suiitt......
suiiiitttt!” Tiba-tiba Cian Ciang-kun mengeluarkan suara siulan nyaring
melengking.
Itu merupakan siulan perintah
dari kuda hitamnya. Kuda hitam itu masih dicancang di belakang kuil, akan
tetapi begitu mendengar suara siulan ini, dia meronta dan tali pengikatnya
putus, lalu dia lari congklang mengitari kuil menuju ke depan di mana terjadi
perkelahian.
Cian Hui sendiri telah
meloncat ke depan, kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh sehingga dia
tidak dapat mempergunakan kedua tangan. Akan tetapi, kedua kakinya diikat
dengan rantai yang panjangnya sekira satu meter antara kedua kakinya. Biarpun
hal ini tidak memungkinkan dia untuk melakukan tendangan dengan sebelah kaki,
namun dia dapat bergerak leluasa dengan kedua kakinya dan diapun kini meloncat
dan kedua kakinya mendarat di dada seorang anggauta perampok.
“Desss......!” Anggauta
perampok itu terjengkang dan tak mampu bangkit kembali karena selain dadanya
dihantam dua buah kaki itu, juga ketika dia terjengkang, tubuh Cian Hui yang
tegap tinggi itupun menimpa perutnya! Cian Hui bangkit lagi dan dengan cara
yang sama, yaitu menendang dengan kedua kaki sambil meloncat ke depan, dia
mengamuk!
Di dekatnya, Hek-ma (Kuda
Hitam) juga meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan
menyerang perampok terdekat! Atau kalau kedua kaki depannya turun, kedua kaki
belakang menyepak ke belakang dengan kekuatan yang dapat membuat orang yang
disepak terlempar sampai beberapa meter jauhnya!
Sejenak Liong-li melirik ke
arah pria tinggi tegap yang mengamuk bersama kudanya itu dan sinar kagum
memancar dari sepasang mata yang indah dan jeli itu. Akan tetapi segera
Liong-li mencurahkan perhatiannya kepada dua orang lawannya. Ia harus dapat
membuka kedok mereka dan membuka rahasia mereka. Siapa mereka itu dan apa
maksudnya menangkap dan menawan pria yang gagah itu, dan iapun ingin tahu siapa
pria gagah perkasa itu.
Melihat betapa Hek-liong-li
hanya memegang sebatang ranting, tidak mempergunakan pedangnya yang amat
terkenal sebagai pusaka ampuh, yaitu yang disebut Hek-liong-kiam. (Pedang Naga
Hitam), hati kedua orang berkedok itu menjadi besar. Mereka baru dapat
merobohkan Liong-li selagi wanita itu mempergunakan rantingnya, dan belum
sempat mempergunakan pedang pusakanya. Oleh karena itu, mereka berdua segera
menubruk ke depan dan menyerang dengan pedang mereka secara dahsyat sekali.
Akan tetapi, dengan
menggunakan ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, Liong-li seperti menari-nari saja
dan selalu lolos dari sambaran sinar pedang. Bahkan beberapa kali ujung
rantingnya yang menghadang, nyaris berhasil menotok pergelangan atau siku
lengan lawan sehingga dua orang berkedok itu menjadi terkejut bukan main dan
semakin lama mereka menjadi semakin jerih.
Liong-li mempergunakan
kesempatan selagi dua orang menjadi gentar itu untuk mendesak. Ranting di
tangannya berubah menjadi gulungan sinar kehijauan dan dari gulungan itu
kadang-kadang menyambar sinar ujung ranting.
“Lepaskan kedok itu!”
Tiba-tiba Liong-li membentak dan ujung rantingnya menusuk ke arah muka orang
itu dengan getaran yang membuat ujung ranting seperti berubah menjadi dua dan
menyambar ke arah sepasang mata orang yang lebih besar tubuhnya.
Orang itu terkejut sekali.
Matanya terancam dan kalau sampai terkena tusukan ujung ranting, tentu kedua
mata atau satu diantaranya akan menjadi buta! Dia menarik kepala ke belakang
untuk mengelak, akan tetapi ujung ranting itu menusuk dan mengait kedok hitam
sehingga terlepas dan nampak wajah orang itu. Saat itu, tangan kiri Liong-li
bergerak menyambar ke depan dan robohlah orang itu dengan tubuh terkulai lemas!
Melihat ini, orang kedua yang
tubuhnya juga tinggi besar, akan tetapi tidak sebesar orang pertama, menjadi
terkejut dan ketakutan. Dia lalu melompat hendak melarikan diri.
“Hemm, hendak lari ke mana
engkau?” I.iong-li membentak dengan suara halus, tangan kanannya bergerak dan
ranting itupun meluncur bagaikan anak panah.
“Cappp!” punggung belakang
pundak kanan si tinggi besar berkedok itu tertusuk ranting dan diapun roboh.
Melihat dua orang lawannya
sudah roboh., Liong-li lalu memperhatikan pria gagah yang dalam keadaan
terbelenggu kaki tangannya masih mampu mengamuk itu. Dan iapun disuguh
pemandangan yang amat menarik, mengagumkan hatinya.
Pria itu mengamuk, meloncat
dan menendang dengan kedua kakinya, tentu saja setiap kali menendang, kena atau
tidak, tubuhnya terbanting ke atas tanah. Juga kuda hitam itu mengamuk membantu
majikannya, menyepak, menubruk, menggigit! Belasan orang perampok itu
benar-benar menghadapi kuda dan pemilik kuda yang nekat. Namun, pria itu juga
menderita luka dan tubuhnya berdarah bekas bacokan golok.
Melihat hal itu, Liong-li lalu
meloncat dan dua kali tangannya menampar, dua orang perampok terpelanting
roboh. Beberapa kali kakinya terayun dan beberapa orang roboh pula dan
akhirnya, semua perampok yang berjumlah belasan orang itupun roboh semua!
Cian Hui sudah bersiul panjang
menenangkan kuda hitamnya yang kini mendekatinya dan mendengus-dengus, dan
setelah perampok terakhir roboh oleh Liong-li. Kini dia dan wanita itu
berhadapan dan, saling pandang. Sejenak keduanya seperti terpesona, saling
pandang penuh kagum, kemudian Cian Hui berkata dengan senyum cerah.
“Hek-liong-li, alangkah
senangnya mendapat kesempatan menjadi saksi akan kehebatanmu! Aku memang sedang
mencarimu menuju ke Lok-yang, dan siapa sangka, engkau pula malah yang telah
menyelamatkan aku dari ancaman maut!”
“Siapakah engkau dan ada
kepentingan apakah mencariku?” tanya Hek-liong-li dan segala penyelidikan
pandang matanya terhadap diri pria itu mendatangkan kepuasan. Seorang pria yang
jantan dan perkasa, bisiknya dalam hati.
“Namaku Cian Hui dan aku datang
dari kota raja. Ada urusan penting sekali yang mendorongku ke Lok-yang untuk
mencarimu, li-hiap (pendekar wanita). Akan tetapi sampai di sini, aku dihadang
dan ditawan oleh dua orang berkedok itu.”
“Siapakan mereka itu?”
“Aku sendiripun ingin sekali mengetahui.....
heiiii...! Tahan dia......!” Tiba-tiba Cian Hui berseru sambil memandang ke
depan karena kaki tangannya masih terbelenggu.
Mendengar ini, Liong-li cepat
membalikkan tubuhnya dan ia melihat bayangan berkelebat meninggalkan tempat di
mana dua orang berkedok tadi roboh. Liong-li adalah seorang wanita yang teramat
cerdas. Sekilas saja ia sudah menduga bahwa tentu Cian Hui tadi terkejut
melihat bayangan itu melakukan sesuatu, entah apa. Akan tetapi hal itu cukup
membuat ia meloncat seperti terbang cepatnya melakukan pengejaran.
Akan tetapi, bayangan itu
sudah lenyap di balik pohon-pohon dan biarpun Liong-li mengerahkan gin-kang
sehingga tubuhnya berlari bagaikan terbang, tetap saja ia tidak dapat menemukan
lagi bayangan itu yang menghilang seperti iblis saja! Terpaksa ia kembali ke
tempat tadi dan ketika ia membungkuk untuk memeriksa tubuh dua orang berkedok
itu, ternyata mereka telah tewas dan muka mereka hancur dan tidak dapat dikenal
lagi!
“Keparat!” Liong-li memaki
sambil mengepal tinju dan menoleh ke arah lenyapnya bayangan tadi.
Cian Hui meloncat-loncat
seperti katak menghampiri dan melihat keadaan pria jantan itu, Liong-li lalu
memungut sebatang golok milik perampok dan membabat putus belenggu kaki tangan
Cian Hui. Cian Hui tidak memperdulikan luka yang dideritanya di pinggul dan
pundak, dan dia cepat berlutut memeriksa mayat dua orang berkedok itu.
“Aih, sayang.” Dia menarik
napas panjang. “Sungguh iblis itu lihai sekali. Tentu ada rahasia yang amat
gawat sehingga dia datang dan selain membunuh dua orang berkedok ini, juga
merusak mukanya sehingga tidak akan dapat dikenal lagi! Ini saja menunjukkan
bahwa tentu ada hubungannya dengan rahasia yang meliputi pembunuhan di kota
raja!”
“Pembunuhan di kota raja? Apa
maksudmu?” Liong-li bertanya dan menatap wajah pria itu dengan tajam penuh
selidik.
Cian Hui mengangguk dan
kembali menghela napas panjang. “Untuk itulah sebenarnya aku pergi ke Lok-yang
untuk mencarimu, Li-hiap. Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk membongkar
rahasia banyak pembunuhan yang terjadi secara aneh di kota raja. Ketahuilah
bahwa aku adalah seorang perwira pasukan keamanan yang bertugas membasmi
kejahatan yang terjadi di kota raja.”
“Cian Ciang-kun, tidakkah
lebih baik kalau kita bicara di rumahku saja? Sekarang, yang terpenting adalah
menyelidiki siapa sesungguhnya dua orang berkedok ini.”
“8ayang mereka sudah tewas dan
muka mereka tak dapat dikenal......”
“Kita bisa bertanya kepada
anggauta penjahat yang masih hidup,” kata Liong-li dan iapun bangkit dan
meneliti para penjahat yang rebah malang melintang itu. Ada beberapa orang di
antara mereka yang belum tewas dan seorang yang perutya gendut hanya terluka
pada kakinya sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya. Akan tetapi, si
gendut itu mengaduh-aduh dan terbelalak ketakutan ketika Liong-li dan Cian Hui
menghampirinya.
“AMPUN...... ampun.....
jangan........!” dia meratap.
“Hemm, dia inilah yang agaknya
amat berguna bagi kita, Li-hiap,” kata Cian Hui dan Liong-li mengangguk. Dengan
cekatan Cian Ciang-kun mencengkeram rambut kepala si gendut itu dan menariknya
bangun. Penjahat itu terduduk dan semakin ketakutan.
“Apa engkau tidak ingin
mampus?”
“Ampunkan saya......
ampun.....”
“Kami takkan membunuhmu, akan
tetapi katakan siapa adanya dua orang berkedok itu!” bentak Cian Hui dan kini
jari-jari tangannya mencengkeram ke arah pelipis kepala orang itu.
Orang itu merasakan kenyerian
luar biasa, lebih nyeri dari pada luka di kakinya. Dia menjerit-jerit seperti
babi disembelih.
“Ampun...... aduh, ampun......
saya tidak tahu... mereka itu...... mereka muncul dan menaklukkan pemimpin
kami, dan mereka menjanjikan hadiah besar. Kami belum pernah melihat mereka
tanpa kedok......”
Cian Hui agaknya mempercaya
keterangan ini, “Hayo katakan, ke mana kalian tadi diperintahkan membawaku
dalam kereta itu! Awas sekali kau berbohong, kepalamu ini akan kubikin remuk!”
Kembali dia mencengkeram agak kuat sehingga si gendut itu kembali menjerit
kesakitan.
“Aduh, ampun...., kami....
kami diharuskan membawa....... Ciang-kun ke kota raja dan......’
Tiba-tiba terdengar bunyi
desing yang kuat. Cian Hui dan Liong-li meloncat ke samping dan dua batang
benda kecil panjang meluncur lewat. Dan terdengarlah teriakan, teriakan
mengerikan.
Liong-li dan Cian Hui terkejut
bukan main melihat si gendut yang tadi diperiksa dan juga para penjahat yang
tadi masih belum tewas, setelah mengeluarkan teriakan mengerikan lalu diam tak
bergerak dan tewas. Tubuh mereka tertembus anak-anak panah, seperti yang tadi
meluncur dan menyerang mereka.
“Keparat!” Liong-li membentak
dan iapun meloncat ke arah dari mana datangnya anak¬anak panah tadi. Akan
tetapi ia hanya melihat semak-semak bergoyang, orangnya yang tadi bersembunyi
di situ tidak nampak lagi bayangannya. Terpaksa ia kembali ke tempat tadi di
mana ia melihat Cian Hui termenung.
“Sungguh penuh rahasia,” kata
perwira itu. “Aku hendak dibawa ke kota raja? Dan mereka semua tewas! Orang
atau orang-orang yang berdiri di belakang semua ini sungguh amat berbahaya, dan
juga lihai sekali!”
Liong-li tidak menjawab
mrelainkan diam-diam ia menghampiri mereka yang tadi terluka lalu terbunuh oleh
anak panah. Melihat macam anak panah, ia berkesimpulan, bahwa setidaknya tentu
ada dua orang yang tadi menjadi penyerang gelap. Ada enam orang anak buah
penjahat yang tadinya terluka, kini tewas.
Jelas bahwa mereka yang berada
di belakang layar hendak menyimpan rahasia, maka dibunuhnya dua orang yang
berkedok yang ternyata juga hanya anak buah, dan dibunuhnya pula semua anak
buah perampok agar mereka tidak dapat memberi keterangan apapun. Juga mereka
tadi berusaha menyerang Liong-li dan dia!
“Mari kita ke Lok-yang,
Li-hiap. Akan kulaporkan kepada mereka yang berwajib di sana, kemudian kita
bicara di rumahmu,” kata Cian Hui.
Liong-li yang mulai tertarik
sekali dengan peristiwa itu, mengangguk dan mereka mempergunakan kereta yang
tadi didatangkan oleh dua orang berkedok, meninggalkan tempat itu menuju ke
Lok- yang.
◄Y►
Cian Hui memandang kagum
ketika dia tiba di depan rumah yang mungil itu. Liong-li dan dia baru saja pergi
ke markas pasukan keamanan di Lok-yang menemui komandannya. Dan tentu saja
komandan ini terkejut sekali mengenal Cian Ciang-kun dari kota raja yang amat
terkenal itu datang berkunjung bersama Hek-liong-li. Apa lagi ketika dia
mendengar betapa Cian Ciang-kun hampir saja celaka di tangan segerombolan
penjahat di Bukit Kuil.
Mendengar bahwa di sana ada
belasan orang penjahat yang telah menjadi mayat, komandan itu segera mengirim
pasukan untuk mengurus mayat-mayat itu dan memerintahkan pasukannya untuk mengadakan
pembersihan kalau-kalau masih ada sisa anak buah perampok di sekitar tempat
itu. Cian Ciang-kun menitipkan kuda hitam yang tadi mengikuti kereta dari hutan
kepada komandan itu, memesan agar kuda itu diberi makan dan dirawat baik-baik.
Kemudian, dengan naik kereta yang tadinya dibawa para penjahat itu mereka
berdua pergi ke rumah Hek-liong-li.
Rumah itu mungil, tidak
terlalu besar namun indah sekali. Pekarangannya luas, penuh dengan tanaman
bunga beraneka warna. Di tengah pekarangan yang penuh bunga itu terdapat sebuah
kolam ikan, penuh dengan ikan-ikan emas dan di tengah kolam yang juga dihias
bunga teratai merah putih itu terdapat sebuah arca yang ukirannya amat halus.
Arca serang puteri yang cantik, menunggang seekor angsa.
Baru melihat keadaan rumah
mungil itu saja mudah diduga bahwa Hek-liong-li, wanita perkasa yang amat
terkenal itu, tentu kaya raya! Dan dugaannya itu memang benar. Hek-liong-li
menjadi kaya raya tanpa diketahui orang ketika setahun yang lalu ia bersama
Pek-liong-eng Tan Cin Hay mendapatkan harta karun yang tak dapat dinilai
harganya saking banyaknya.
Ketika Cian Hui masih
mengagumi keadaan rumah dan pekarangannya itu, dari dalam bermunculan sembilan
orang wanita yang memakai pakaian beraneka warna dan cerah, dengan wajah mereka
manis itu tersenyum gembira dan mereka menyongsong Hek-liong-li dengan gembira
dan juga penuh hormat.
“Li-hiap sudah pulang......!”
terdengar mereka berseru gembira dan Cian Hui terbelalak ketika dia mengenal
dua orang di antara mereka, yaitu nona baju hijau dan nona baju kuning yang
pernah mencoba untuk menolongnya ketika dia menjadi tawanan dua orang berkedok.
Kini mengertilah dia mengapa
Hek-liong-li dapat muncul secara tiba-tiba dan membebaskannya dari tangan para
penjahat itu. Tentu nona baju hijau dan nona baju kuning itu yang melapor
kepadanya dan wanita perkasa itu lalu turun tangan sendiri menolongnya!
“Aih, kiranya dua orang nona
yang gagah perkasa berada pula di sini......” katanya sambil memberi hormat
kepada dua orang gadis berpakaian hijau dan kuning itu. Dua orang wanita itu
dengan tergopoh membalas penghormatan Cian Hui dan si baju hijau menjawab
dengan tersipu.
“Harap jangan membikin malu
kepada kami. Kami telah gagal membantumu dan masih baik bahwa nona kami tidak
marah kepada kami!”
Liong-li tersenyum memandang
kepada tamunya. “Cian Ciang-kun, maafkan para pembantuku yang tidak mampu
membebaskanmu. Marilah kita bicara di dalam. Kalian kenalilah baik-baik. Tamu
kita ini adalah Cian Ciang-kun, seorang perwira tinggi komandan pasukan keamanan
dari kotaraja yang berkedudukan tinggi!”
“Cian Ciang-kun.......!”
sembilan orang wanita cantik itu memberi hormat dan suara mereka seperti
sekumpulan burung yang berkicau merdu.
“Ah, nona-nona yang cantik dan
gagah, harap jangan sungkan,” Perwira itu membalas penghormatan mereka.
Ketika dibawa memasuki rumah
itu, diam-diam Cian Hui menjadi semakin kagum dan juga semakin yakin bahwa nona
rumah tentu kaya raya. Perabot rumah yang terdapat di situ semuanya indah dan
mahal. Dindingnya dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah yang dibuat
oleh para seniman yang terkenal, tentu amat mahal. Lantainya ditilami permadani
yang tebal. Sutera-sutera halus beraneka warna bergantungan menambah cerah dan
indahnya keadaan dalam ruangan-ruangan di situ.
Liong-li mempersilakan tamunya
memasuki ruangan yang luas, yang letaknya di bagian belakang. Ruangan ini luas
dan kosong dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan
segala macam senjata yang kelihatan bermutu tinggi, beberapa buah kursi dan
sebuah meja panjang berada di sudut pula sehingga ruangan itu nampak luas dan
mudah diketahui bahwa ruangan ini tentulah semacam lian-bu-thia (ruangan
berlatih silat) yang indah. Banyak terdapat jendela di situ sehingga hawanya
sejuk dan nyaman karena jendela-jendela itu menembus ke sebuah taman bunga di
belakang.
Ternyata bahwa rumah mungil
itu dikelilingi taman bunga! Pekarangan di depan sudah merupakan taman, di
belakang, kanan dan kiri juga merupakan taman yang penuh bunga beraneka warna!
Bahkan di taman belakang yang luas itu terdapat pula pondok-pondok kecil mungil
tempat peristirahatan. Tempat yang indah ini dikelilingi dinding yang tinggi
dan di atas dinding dipasangi tombak-tombak runcing sehingga sukar bagi orang
luar untuk masuk melalui dinding pagar itu.
“Silakan duduk, Cian
Ciang-kun. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan tidak akan terdengar
orang lain,” kata Liong-li setelah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan
tugas mereka. Tanpa dijelaskan, sembilan orang gadis cantik itu sudah tahu apa
yang harus mereka lakukan. Ada yang berjaga di sekitar luar ruangan itu, ada
yang sibuk di dapur untuk mempersiapkan hidangan untuk nona majikan mereka dan
tamunya.
Cian Hui menarik napas
panjang. “Sudah lama aku mendengar nama besar Hek-liong-li, dan sekarang aku
merasa kagum bukan main. Keadaan Li-hiap sungguh jauh melebihi apa yang pernah
kudengar.”
“Hemm, jangan terlalu memuji,
ciang-kun. Melebihi dalam hal apa?”
“Segala-galanya. Kelihaian,
kecantikan, kekayaan Li-hiap!”
Liong-li tersenyum dan kedua
pipinya menjadi kemerahan, tanda bahwa pujian itu mengena di hatinya. Diam-diam
ia juga kagum dan girang sekali mendapat pujian seorang pria seperti yang duduk
di depannya itu. Ia tahu benar bahwa pujian itu bukan sekedar rayuan, melainkan
keluar dari hati yang jujur dan tulus.
“Sudahlah, Ciang-kun. Yang
terpenting sekarang sebelum kita bicara, aku harus mengobati luka-lukamu lebih
dulu.”
“Ah, luka-luka ini tidak
seberapa, Li-hiap. Aku dahulu pernah menjadi seorang perwira perang sehingga
luka-luka bagiku sudah biasa......”
“Akan tetapi luka-lukamu itu
harus cepat diobati, kalau tidak, berbahaya dan dapat menjadi semakin parah.
Apa lagi diingat bahwa yang melukaimu adalah penjahat-penjahat yang mungkin
mempergunakan senjata kotor atau beracun. Mari, kau rebahlah di atas lantai,
akan kuperiksa, ciangkun!” kata Liong-li dan di dalam suaranya terkandung
perintah yang berwibawa.
Diam-diam Cian Hui merasa
heran sekali mengapa dia merasa seperti mendengar perintah atasannya yang tidak
mungkin dapat dibantah lagi! Dia lalu bangkit dan melangkah ke sudut ruangan,
merebahkan diri di atas lantai seperti yang diperintahkan Liong-li.
Liong-li bertepuk tangan dua
kali. Seorang gadis berpakaian merah muncul.
“Ang-cici (enci Merah), cepat
ambilkan perabot dan obat untuk mengobati luka di tubuh Cian Ciang-kun!”
Gadis berpakaian merah itu
mengangguk dan pergi. Liong-li lalu berlutut dekat Cian Hui dan dengan
jari-jari tangan yang cekatan dan tidak ragu-ragu, ia merobek baju di bagian
pundak, memeriksa luka di pundak perwira itu. Kemudian iapun merobek celana di
bagian pinggul dan memeriksa luka di situ. Sementara itu, Enci Merah datang
membawa sebuah panci terisi air panas dan perabot yang berupa gunting, pisau
kecil, juga kain putih bersih dan obat bubuk beberapa macam dalam bungkusan.
“Sekarang pergi dan suruh enci
Biru mengambilkan satu stel pakaian luar dalam yang cocok untuk Cian Ciangkun!”
kata Liong-li dan kembali gadis berpakaian merah itu mengangguk lalu keluar
dari situ tanpa bicara. Nampaknya ia amat patuh dan menghormati Liong-li.
Kini Liong-li bekerja. Kedua
tangannya amat cekatan, lembut namun juga tidak ragu- ragu, mencuci luka-luka
itu dengan air panas, kemudian menaruhkan obat bubuk putih lalu menutupi luka
itu dengan semacam obat tempel yang sudah dipanaskan. Selama pengobatan ini,
Cian Hui tidak pernah mengeluarkan keluhan sedikitpun, padahal ketika dicuci
terasa panas dan ketika dibersihkan terasa perih. Setelah diberi obat dan
ditutup koyo, baru terasa nyaman.
Ketika merawat luka-luka itu,
sepasang mata Liong-li hanya ditujukan dan dipusatkan kepada luka itu. Akan
tetapi setelah ia selesai memberi pengobatan, barulah nampak olehnya betapa
pundak dan dada perwira itu bidang dan kokoh kuat, sedangkan pinggulnya juga
penuh otot melingkar dan menunjukkan kejantanan yang mengagumkan hatinya.
“Nah, bahayanya sudah lewat,
Ciang-kun. Untung engkau memiliki tubuh yang sehat kuat dan darah yang bersih
sehingga luka-luka itu akan cepat sembuh dan kering.”
Pada saat itu, seorang gadis
berpakaian serba biru memasuki ruangan dan menyerahkan setumpuk pakaian kepada
Liong-li, kemudian ia keluar lagi.
“Ini pakaian bersih, harap
engkau suka berganti pakaian dulu, baru kita bicara, ciang-kun,” kata pula
Liong-li dan wanita ini lalu bangkit dan berjalan menuju ke sebuah jendela yang
terbuka, lalu berdiri di situ dan memandang keluar.
Cian Hui memandang kagum.
Bukan main wanita ini, pikirnya dan di dalam hatinya timbul suatu kemesraan
yang belum pernah dialaminya selama hidupnya. Rasa kagum dan haru menyelubungi
hatinya. Seorang wanita yang matang, memiliki kecantikan yang hampir sempurna,
ilmu kepandaian tinggi, sikap yang anggun dan berwibawa, kaya raya, cerdik
jujur terbuka, tidak berpura-pura atau bersembunyi di balik kesopanan seperti
para wanita pada umumnya.
Wanita hebat! Diapun mengusir
semua perasaan sungkan, membuka pakaiannya dan berganti pakaian dalam dan luar.
Pakaiannya yang kotor dan robek-robek itu dia gulung dan letakkan di sudut
ruangan.
Pakaian yang dipakainya itu
bersih dan baru, terbuat dari sutera berwarna biru, cocok sekali dengan bentuk
tubuhnya sehingga dia merasa heran. Bahkan dia menjadi semakin heran ketika
merasakan betapa ada sesuatu yang tidak nyaman terasa di hatinya ketika dia
membayangkan bahwa mungkin ada seorang pria kawan dekat wanita hebat ini,
pemilik pakaian yang kini dipakainya itu.
Tanpa menengokpun Liong-li
maklum bahwa Cian Ciang-kun telah selesai berpakaian. Ia memiliki pendengaran
yang amat tajam sehingga ia dapat menangkap gerakan pria itu ketika berpakaian
dan selesai. Maka iapun membalikkan tubuhnya memandang dan ada pancaran kagum
dalam sinar matanya memandang kepada Cian Hui yang memang nampak ganteng dan
gagah dalam pakaian barunya itu.
“Engkau pantas sekali memakai
pakaian itu, Ciang-kun!” ia memuji jujur sambil tersenyum.
Cian Hui mengangkat kedua
tangan depan dada, memberi hormat, “Li-hiap, terima kasih atas segala
kebaikanmu. Sungguh membuat aku merasa sungkan, telah mengganggumu, menganggu
pemilik pakaian ini. Aku harus menghaturkan terima kasih kepada pemilik pakaian
yang kupinjam ini.”
“Itu pakaianku!”
“Tapi, ini pakaian pria dan
ukurannya besar.”
Liong-li tersenyum manis
sekali. “Ciang-kun, di sini aku memiliki segala macam pakaian. Memang
kusediakan kalau-kalau aku membutuhkannya. Ada pakaian kanak-kanak segala umur,
laki dan perempuan, ada pakaian pria dan wanita segala umur dan segala ukuran.
Enci biru yang mengurus tentang pakaian itu. Maka, jangan khawatir, dan pakaian
itu bukan kupinjamkan, biar kaupakai saja, Ciang-kun. Nah, mari kita bicara.
Aku ingin mendengar tentang keributan dan pembunuhan di kota raja itu.”
Cian Hui menghela napas dan
semakin kagum. Wanita yang hebat! Diapun mulai bercerita tentang peristiwa yang
terjadi di kota raja, khususnya di antara para pejabat tinggi dan di istana.
“Aku menerima tugas istimewa
dari Sri baginda Kaisar sendiri untuk menyelidiki dan membongkar rahasia
pembunuhan ini, Li-hiap. Akan tetapi aku menemui jalan buntu dan tidak
berhasil, maka aku teringat kepadamu yang sudah kudengar sebagai seorang pendekar
wanita yang sakti. Aku mohon bantuanmu, karena kiranya hanya engkaulah yang
akan mampu menandingi mereka yang berdiri di belakang layar dan yang mengatur
pembunuhan-pembunuhan itu.”
Cian Hui lalu menceritakan
betapa selama dua bulan ini, di kota raja terjadi geger karena terjadinya
pembunuhan-pembunuhan yang penuh rahasia. Yang menjadi korban pembunuhan adalah
para pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan tinggi dan penting dalam
pemerintahan. Juga beberapa orang pangeran yang dekat dengan kaisar telah
menjadi korban pembunuhan pula.
Cara pembunuhan itu dilakukan
penuh rahasia, para korban adalah pejabat tinggi yang selalu dikawal pasukan
pengawal. Rumah mereka siang malam dijaga pasukan pengawal. Akan tetapi tetap
saja pada suatu pagi mereka ditemukan sudah tewas dengan leher putus dalam
kamar mereka, bersama siapa saja yang kebetulan sekamar dengan mereka malam
itu.
“Yang paling hebat terjadi dua
minggu yang lalu, li-hiap. Seorang panglima telah terbunuh dalam kamarnya, pada
hal kamar itu berada di dalam benteng! Bayangkan saja, pembunuh itu dapat
memasuki benteng dan dapat membunuh Panglima Cu di kamarnya, pada hal panglima
itu adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi! Dan dua orang selirnya yang
tidur bersamanya juga wanita-wanita yang lihai, akan tetapi mereka bertiga
tewas dengan leher putus dalam kamar itu!” Perwira itu kembali menarik napas
panjang. “Sungguh merupakan tugas berat bagiku, maka aku berusaha untuk mohon
bantuanmu.”
Liong-li mendengarkan dengan
tekun dan sabar, tak pernah mengganggu dan setelah perwira itu berhenti
bercerita, baru ia membuat gerakan, tangan kirinya diangkat ke arah kepalanya
dan iapun memegangi dahinya dengan alis berkerut. Ini menandakan bahwa wanita
cantik itu sedang memutar otaknya! Kedua matanya terpejam dan Cian Hui hanya
memandang, tidak berani mengganggu dan dia hanya memandang dengan hati
tertarik. Dia seolah-olah dapat melihat betapa isi dari kepala yang bagus
bentuknya, yang dihias rambut hitam lebat itu, sedang bekerja dengan ajaib.
Tiba-tiba sepasang mata itu
terbuka dan menatap kepadanya, membuat Cian Hui seperti silau karena sepasang
mata itu kini mencorong!
“Cian Ciang-kun, apa yang
kauperoleh dari hasil penyelidikanmu? Apakah semua pembunuhan itu terjadi tanpa
adanya seorang pun saksi yang melihat sesuatu yang mencurigakan?”
“Setiap terjadi pembunuhan,
aku segera menyelidiki sendiri dan sudah kucari keterangan. Akan tetapi tidak
pernah ada orang lain melihat pembunuh itu, hanya ada dua orang, di tempat yang
berlainan melihat bayangan iblis......,” perwira itu berhenti dan kelihatan
ragu-ragu.
“Bayangan Iblis? Apa maksudmu,
Ciang-kun?”
“Ketika Pangeran Cun dibunuh
sebulan yang lalu, dan seorang pejabat tinggi, Menteri Pajak dibunuh seminggu
kemudian, ada orang yang melihat bayangan iblis. Bayangan itu bentuknya seperti
tubuh orang yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. Akan tetapi hanya
bayangannya saja yang nampak di atas dinding putih, itupun hanya sebentar
karena bayangan itu segera lenyap. Mungkin hanya khayal orang yang ketakutan dan
tahyul, Li-hiap. Betapapun juga, berita itu membuat orang ramai menyebut
pembunuh itu Si Bayangan Iblis! Akan tetapi, belum pernah ada yang melihatnya,
dan semua penyelidikanku menemui kegagalan dan jalan buntu. Aku tidak pernah
dapat menemukan jejak, bahkan aku tidak tahu apa yang menjadi sebab dari semua
pembunuhan itu.”
“Dan engkau lalu mencariku
dari kota raja ke sini, dan di tengah perjalanan engkau di- hadang perampok?
Coba ceritakan tentang peristiwa perampokan terhadap dirimu, ciang-kun. Mungkin
kita dapat menemukan jejak dari situ.”
“Aku juga merasa yakin bahwa
ada hubungan yang erat antara semua peristiwa di kota raja itu dengan usaha
penculikan yang dilakukan terhadap diriku. Namun sayang, jejak itu terhapus
dengan kematian semua penjahat itu.”
Cian Hui lalu menceritakan
semua yang telah dialaminya, betapa tadinya belasan orang penjahat itu hendak
merampok kudanya, kemudian muncul dua orang berkedok yang lihai itu sehingga
dia tertawan. Betapa kemudian muncul nona baju hijau dan nona baju kuning yang
berusaha menolongnya, namun mereka berduapun kewalahan menandingi dua orang
berkedok hitam sehingga mereka melarikan diri.
“Kemudian, ketika aku hendak
diculik dan dibawa pergi dengan kereta, engkau muncul, Li-hiap.”
“Itulah yang kusayangkan!” seru
Liong-li. “Kalau saja aku tahu bahwa engkau seorang penyelidik, bahwa semua itu
ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan di kota raja, tentu aku tidak
tergesa-gesa turun tangan dan membiarkan engkau mereka bawa pergi. Dengan
demikian, setidaknya ada harapan untuk dapat menemukan jejak mereka.”
Cian Hui mengangguk-angguk.
“Engkau benar. Akupun berpikiran demikian, akan tetapi bukan berarti bahwa aku
tidak berterima kasih telah kautolong dan kaubebaskan.”
“Semua sudah terlanjur. Kita
harus mulai dari pertama, yaitu tanpa adanya jejak.”
“Kita? Apakah ini berarti
bahwa engkau sudi untuk membantuku dan hendak menyelidiki peristiwa ini? Ah,
kalau begitu terima kasih banyak Li-hiap, sungguh aku merasa gembira sekali dan
bersyukur!” Perwira itu lalu memberi hormat untuk menyatakan terima kasihnya.
“Tidak perlu berterima kasih,
ciang-kun. Aku sudah terlibat di dalamnya, tanpa kauminta sekalipun aku harus
membongkar rahasia ini. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah ada persamaan
antara mereka yang telah menjadi korban pembunuhan-pembunuhan di kota raja
itu?”
“Persamaan bagaimana maksudmu,
Li-hiap?”
“Persamaan di antara para
kurban itu, ciri khas atau sikap yang sama atau mungkin ada pertalian atau
hubungan di antara mereka.......”
“Ah, benar juga......! Kenapa
aku tidak ingat akan hal itu sebelumnya? Para korban itu kesemuanya dekat
dengan Sribaginda Kaisar! Pangeran-pangeran yang terbunuh adalah kesayangan
kaisar, dan para menteri yang menjadi kurban juga merupakan menteri-menteri
yang setia. Itulah persamaan antara mereka.”
“Hemm, itu yang kucari,
Ciang-kun. Kalau begitu, tentu ada komplotan yang diam-diam memusuhi kaisar,
atau setidaknya ingin melihat kaisar menjadi lemah, maka mereka yang dekat
dengan kaisar dan dianggap penghalang, disingkirkan satu demi satu. Dan jelas
ada hubungannya antara semua pembunuhan itu dengan usaha penculikan terhadap
dirimu. Karena engkau merupakan petugas dari kaisar untuk menyelidiki rahasia
ini, maka engkau akan diculik.”
“Akan tetapi mengapa tidak
mereka bunuh saja? Mengapa mereka harus menculikku? Dan dibawa ke kota raja
pula?”
Liong-li menatap wajah perwira
itu dengan tajam dan mulutnya tersenyum manis. “Ciang-kun, harap engkau jangan
berlagak bodoh. Aku yakin bahwa engkau yang sudah dipercaya oleh Sribaginda
untuk melakukan penyelidikan dan membongkar rahasia ini, tentu memiliki
kecerdikan tinggi. Mustahil engkau tidak dapat menduga apa sebabnya mereka
tidak membunuhmu.”
Cian Ciang-kun juga tersenyum.
Memang dia tadi berpura-pura, untuk menguji kecerdikan wanita cantik jelita
itu, akan tetapi, ternyata permainan sandiwaranya ketahuan!
“Baiklah, memang aku sudah
mempunyai dugaan. Akan tetapi aku ingin sekali mendengar pendapatmu, li-hiap.
Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Alasannya mudah diduga, hanya
yang sukar adalah menemukan siapa sesungguhnya yang berdiri di belakang semua
ini. Mereka tidak membunuhmu, melainkan hendak menculikmu, tentu mereka itu,
pemimpin mereka, ingin lebih dahulu mengorek pengakuanmu sampai sejauh mana
hasil penyelidikanmu, Ciang-kun. Mereka khawatir kalau-kalau penyelidikanmu
sudah sedemikian jauhnya sehingga rahasia mereka terancam. Dan mereka hendak
membawamu kota raja seperti pengakuan anggauta perampok itu. Hal ini
menunjukkan bahwa pimpinan komplotan itu tentu berada di kota raja!”
Cian Ciang-kun
mengangguk-angguk kagum. “Engkau hebat, Li-hiap! Memang tepat sekali,
demikianlah pula pendapatku. Dan tentu di kota raja itu telah menanti Si
Bayangan Iblis!”
Liong-li mengangguk. “Besar
kemungkinannya demikian. Yang disebut Si Bayangan Iblis itu tak mungkin seorang
di antara dua orang berkedok itu. Tentu lebih lihai. Akan tetapi, aku mempunyai
perhitungan bahwa Si Bayangan Iblis itupun hanya alat saja, masih ada yang
berdiri di belakang layar, yang mengemudikan semua ini.”
Perwira itu nampak termangu-mangu,
dan dia meraba-raba dagunya yang halus karena dia mencukur rambut pada dagu dan
mukanya, tidak berkumis atau berjenggot.
“Hal itulah yang aneh,
Li-hiap. Aku memiliki jaringan penyelidik yang banyak, kuat dan terampil. Aku
mengenal dan mengetahui benar keadaan di kota raja, mengenal hampir semua
pejabat dan mengetahui keadaan mereka, bahkan rahasia dan keadaan rumah tangga
mereka. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan di antara mereka, tentu aku
mengetahuinya! Agaknya mustahil kalau yang mengemudikan semua komplotan itu
tinggal di kota raja dan lolos dari pengamatan orang-orangku.”
“Bagaimana kalau mereka
bersembunyi di dalam istana? Apakah pengamatanmu juga sampai menembus dinding
istana, Cian Ciang-kun?”
Pertanyaan ini membuat perwira
itu terbelalak, terkejut dan heran. Dia menggeleng kepala.
“Memang tidak sampai ke sana,
akan tetapi...... ah, bagaimana mungkin..... musuh berbahaya itu bersembunyi di
dalam istana? Wah, kalau begitu, keselamatan Sribaginda dalam bahaya!”
Liong-li menggeleng kepala.
“Belum tentu demikian, Ciang-kun. Menurut pendapatku, komplotan itu mempunyai
sasaran yang lebih luas dari pada sekedar membunuh Sribaginda Kaisar. Kalau
memang itu sasarannya, tentu telah terjadi serangan atas diri beliau. Melihat
betapa yang dibunuh adalah pejabat-pejabat dan bangsawan-bangsawan yang dekat
dengan Sribaginda, aku lebih condong menduga bahwa pelakunya atau pimpinannya
menghendaki kelemahan kedudukan Sribaginda Kaisar dan melenyapkan mereka yang
memiliki kekuasaan. Ini membuat aku menduga bahwa tentu dia bermaksud
menonjolkan diri atau memperbesar kekuasaannya sendiri.”
Cian Ciang-kun mengerutkan
alisnya dan dia mengangguk-angguk. Dia dapat melihat kemungkinan-kemungkinan
terjadinya semua yang dikemukakan wanita itu dan hatinya merasa gelisah sekali.
“Ah, kalau benar demikian,
Li-hiap, maka itu adalah permainan tingkat tinggi dan aku sama sekali tidak
berdaya dan tidak memiliki kekuasaan untuk dapat mencampuri urusan yang
menyangkut pribadi atau kekuasaan Sribaginda Kaisar.”
“Apakah kau hendak mengatakan
bahwa engkau tidak mungkin dapat melakukan penyelidikan ke dalam istana?”
“Benar, Li-hiap. Aku adalah
seorang panglima pasukan keamanan yang bertugas menumpas para penjahat di luar
istana, mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kekuasaanku terbatas dan aku
tidak mungkin dapat memasuki istana tanpa ijin dari Sribaginda Kaisar.
“Di istana terdapat pasukan
pengawal yang terbagi pula sebagai pasukan luar istana, pasukan pengawal
Sribaginda, dan pasukan pengawal Thai-kam yang bertugas menjaga keamanan di
bagian paling dalam di istana, sampai ke bagian puteri. Aku hanya bertugas
memimpin pasukan keamanan yang bertugas mengamankan kota raja dan sekitarnya.
Tugasku yang kuterima dari Sribaginda adalah mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan
terhadap para pejabat tinggi itu, yang terjadi di luar istana.
“Dan selama ini memang tidak
pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang penghuni istana maka tidak ada
alasan bagiku untuk minta ijin Sribaginda memasuki istana! Tentu saja ada
kecualinya, yaitu kalau memang sudah terdapat bukti bahwa komplotan pembunuh
itu berada, di dalam istana.”
Liong-li masih mengerutkan
alisnya dan sampai lama mereka berdua berdiam diri. Wanita itu memejamkan mata
dan melihat keadaannya, Cian Ciang-kun tidak berani mengganggu. Dia sendiri
memikirkan kemungkinan terjadinya hal seperti yang dikemukakan wanita perkasa
ini dan diapun merasa ngeri. Kalau benar ada komplotan yang bersembunyi di
dalam istana, sungguh berbahaya sekali!
Tentu saja dia dapat bicara
dengan para panglima pasukan yang bertugas di luar dan dalam istana, namun
paling banyak dia hanya minta agar mereka itu berhati-hati dan melakukan
penyelidikan akan kemungkinan itu. Kepala pengawal Thai-kam tak mungkin dapat
bicara karena kepala pengawal Thai-kam itu menganggap kedudukannya terlalu
tinggi untuk dapat dihubungi oleh seorang panglima pasukan keamanan seperti
dia!
Tiba-tiba Liong-li menepuk
pahanya sendiri dan terkejutlah Cian Ciang-kun yang sedang melamun. Dia
mengangkat muka memandang dan melihat betapa wajah yang cantik itu kemerahan
dan matanya bersinar-sinar.
“Dapat, Ciang-kun!” seru
wanita itu dan ia tersenyum lebar sehingga deretan gigi yang putih seperti
mutiara nampak berkilau.
“Eh, apa maksudmu, Li-hiap?”
“Kita harus bekerja sama. Engkau
dari luar dan aku dari dalam!”
“Maksudmu, engkau akan
menyelundup ke dalam istana?” tanya panglima yang cerdik itu.
Liong-li mengangguk. “Hanya
itulah jalannya. Engkau menyelidiki dari luar, mengamati gerak-gerik semua
pejabat tinggi termasuk mereka yang memimpin keamanan di lingkungan istana. Aku
sendiri harus dapat menyusup ke dalam istana, dan hal ini tentu saja baru
mungkin terjadi kalau engkau membantuku. Dapat saja aku diselundupkan ke
istana, atau akan lebih mudah bagiku untuk menyelidik kalau aku dapat menjadi
penghuni istana sebagai dayang atau pelayan......”
“Ah, tidak mungkin seorang
seperti engkau ini menjadi pelayan di sana, Li-hiap!” kata Cian Ciang-kun.
Kedua pipi itu menjadi semakin
merah. “Kauanggap aku...... terlalu tua dan buruk rupa......?”
“Siapa berkata begitu,
Li-hiap? Sama sekali sebaliknya malah! Engkau terlalu cantik jelita dan......”
“Kalau terlalu baik untuk
menjadi pelayan, dapat dimasukkan sebagai dayang...... tentu saja kalau aku
tidak dianggap terlalu tua untuk itu.”
“Terlalu tua sih tidak,
terlalu dewasa mungkin karena para dayang itu memang biasanya masih remaja,
akan tetapi yang jelas terlalu...... cantik jelita......”
“Ihh, kita bicara serius,
jangan engkau merayu, Ciang-kun!” kata Liong-li dan wajah perwira itu menjadi
merah.
“Maaf, bukan maksudku untuk
memuji kosong, Li-hiap, melainkan akupun bicara sesungguhnya. Kalau engkau
berada di dalam istana bagian puteri, engkau sepantasnya menjadi puteri atau
selir Sribaginda. Maaf, bukan maksudku menghina......”
“Sudahlah, terserah kepadamu,
asal aku dapat diselundupkan ke dalam istana, untuk beberapa hari saja sehingga
aku mendapatkan peluang untuk melakukan penyelidikan dan pengamatan, apa lagi
di waktu malam. Kalau memang komplotan itu bergerak dari dalam istana, tentu
aku akan dapat memergoki mereka. Kalau engkau tidak merayu dan berkata
sebenarnya, aku dapat melakukan sedikit penyamaran agar pantas menjadi seorang
dayang. Coba kautunggu sebentar, Ciang-kun!”
Ia bertepuk tangan dan
muncullah seorang gadis berpakaian coklat. Ia muncul cepat dan berdiri di depan
Liong-li dengan sikap hormat dan siap melakukan segala perintah.
“Ambil perlengkapan penyamaran
ke sini. Cepat!”
Tak lama kemudian, gadis baju
coklat itu kembali membawa peti hitam yang terukir indah. Baru petinya itu saja
sudah merupakan sebuah benda antik yang mahal harganya, pikir Cian Ciang-kun
yang sudah duduk sambil mengamati dengan hati tertarik.
Liong-li, tanpa bicara membuka
tutup peti setelah si baju coklat meninggalkan ruangan itu dan iapun mengambil
botol-botol dan alat-alat seperti alat kecantikan. Hanya sebentar ia bercermin
sambil menata wajahnya dan sepuluh menit kemudian, Cian Ciang-kun sudah
berhadapan dengan seorang wanita yang sama sekali berbeda dengan wajah
Liong-li! Memang masih manis, akan tetapi tidak secantik dan seanggun tadi!
Wajah seorang gadis dusun yang manis dan tidak terlalu menyolok.
“Bagaimana, Ciang-kun?
Bukankah sudah pantas kalau aku mengaku sebagai seorang gadis dusun dan cocok
untuk menjadi seorang pelayan atau seorang dayang di istana?”
Cian Ciang-kun bengong. Bahkan
suara wanita ini berubah sama sekali! Tidak halus merdu lembut seperti tadi,
melainkan suara sederhana yang hanya pantas menjadi suara seorang gadis
pedusunan yang kurang pendidikan dan biasa hidup sederhana. Akhirnya dia
tertawa bergelak saking kagum dan girangnya.
“Ha-ha-ha, engkau seorang
wanita hebat, Li-hiap! Tadi aku masih ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau engkau
akan dikenal sebagai Hek-liong-li setelah berada di dalam istana dan
keselamatanmu terancam. Akan tetapi dengan penyamaran yang sempurna, kuyakin
takkan ada seorangpun yang tahu bahwa engkau adalah Hek-liong-li.
“Baiklah, mari kita ke kota
raja dan di sana aku akan menghubungi rekan-rekanku dan mendengar kalau-kalau
istana membutuhkan pembantu puteri baru sehingga engkau dapat diselundupkan ke
dalam. Engkau tahu, biasanya, kalau istana membutuhkan dayang atau pembantu
baru, kesempatan itu dipergunakan oleh para Thai-kam untuk menerima uang
sogokan. Siapa yang paling berani mengeluarkan uang sogokan, maka dialah yang
akan diterima.”
“Bagus! Tentang uang sogokan,
jangan khawatir. Berapa saja mereka minta akan kubayar!” kata Liong-li gembira.
Merekapun berangkat pada hari
itu juga, tentu saja tidak mengendarai kereta rampasan tadi karena hal itu
tentu akan diketahui pihak lawan. Mereka menggunakan kereta lain dan dengan
menyamar, tak seorangpun menyangka bahwa wanita nenek tua yang bersama Cian
Ciang-kun memasuki kota raja itu adalah Hek-liong-li yang amat terkenal!
◄Y►
Sebelum kita mengikuti
perjalanan Liong-li dan cara bagaimana ia akan menyelundup masuk ke dalam
istana, sebaiknya kita mengenali lebih dahulu keadaan Kaisar Kao Cung dengan
istananya yang megah.
Pada waktu itu (sekitar tahun
669), Kaisar Kao Cung adalah seorang pria berusia kurang lebih empatpuluh
sembilan tahun. Seorang pria yang sebetulnya bertubuh tinggi tegap dan kuat.
Akan tetapi sungguh sayang, karena dia terlalu mengumbar nafsu berahinya,
terlalu membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan dan rayuan para wanita
cantik yang memenuhi haremnya, maka dalam usia empatpuluh sembilan tahun saja
dia sudah nampak tua dan loyo. Kaisar Kao Cung sesungguhnya baik budi dan
ramah, memiliki kebijaksanaan.
Namun sayang, karena terlalu
membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan, dia menjadi lemah dan malas. Dia
tidak bersemangat lagi untuk mengurus tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin
negara. Siang malam dia hanya bersenang-senang bersama para selirnya dan para
dayang, dan dia dapat dibilang menyerahkan segala kekuasaannya dan membiarkan
permaisurinya yang mengurus semua tugasnya! Dan memang harus diakui bahwa
permaisurinya adalah seorang wanita yang bukan main cerdasnya, seorang wanita
yang selain memiliki kecantikan luar biasa, juga memiliki otak yang tajam dan
hati yang keras, ambisius dan penuh semangat!
Bahkan dapat dibilang
permaisuri inilah yang pada delapan tahun yang lalu, membakar semangat suaminya
yang menjadi kaisar itu untuk mengerahkan bala tentara sekuatnya dan menyerang
Korea.
Sejak puluhan tahun yang lain,
ketika Kerajaan Tang belum berdiri, yaitu Kerajaan Sui masih berkuasa di China,
kaisar-kaisar telah berusaha menundukkan Korea. Bahkan ayah dari Kaisar Kao
Cung sendiri, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal sebagai pendekar bangsa
dan pendiri Kerajaan Tang, selalu gagal dalam usahanya menalukkan Korea.
Akan tetapi, berkat siasat dan
semangat permaisuri Kao Cung, maka Kaisar Kao Cung akhirnya berhasil
menundukkan dan menalukkan Korea yang telah dibantu oleh Bangsa Jepang.
Semenjak itulah, Kaisar Kao Cung yakin akan kemampuan permaisurinya dan dia pun
menyerahkan hampir segala urusan pemerintahan ke tangan permaisurinya itu.
Permaisuri yang sekarang telah
berusia empatpuluh tahun lebih itu makin lama semakin berkuasa dan berpengaruh
sehingga hampir semua pejabat tinggi tunduk di bawah kekuasaannya. Baik mereka
yang setuju atau yang tidak setuju harus mengakui bahwa banyak kemajuan dicapai
setelah permaisuri ini memegang kendali pemerintahan. Tentu saja sebagai pelaku
di belakang layar karena segala hal masih harus disetujui dan ditandatangani
oleh Kaisar Kao Cung. Semua orang di istana tahu belaka bahwa kaisar itu
menandatangani apa saja yang disodorkan permaisurinya kepadanya!
Memang, permaisuri dari Kaisar
Kao Cung ini adalah seorang wanita yang hebat luar biasa. Sepak terjangnya amat
menonjol dan tidak mengherankan kalau kemudian namanya diabadikan dalam
sejarah, walaupun di dalam sejarah, keburukannya lebih banyak ditonjolkan dari
pada kebaikannya. Hal inipun mudah dimaklumi kalau diingat bahwa penyusun
sejarah adalah mereka yang tidak suka kepadanya!
Seorang penyusun sejarah
haruslah seorang seniman sejati! Seorang seniman sejati takkan sudi diperalat
oleh golongan manapun, karena seorang seniman sejati adalah seorang manusia
utuh lahir batin yang hanya mengabdi kepada kebenaran, kepada kekuasaan Tuhan,
tidak dipengaruhi penilaian karena menganggap bahwa apa yang ada selalu indah,
tidak baik ataupun buruk, tidak ada perhitungan rugi untung bagi dirinya yang
bebas!
Riwayat permaisuri ini memang
menarik sekali sejak pemunculannya yang pertama di istana kaisar. Agar mengenal
latar belakangnya, sebaiknya kalau kita mengikuti pengalamannya.
Ketika masih seorang gadis
remaja, permaisuri itu bernama Bu Houw yang kemudian disebut juga Bu Cek Thian.
Panggilan akrabnya adalah Bi Houw (Houw yang cantik). Ketika usianya masih
remaja, kurang lebih tigabelas tahun, ia diangkut dari dusun dan dipilih
menjadi seorang dayang di istana. Ketika itu, yang menjadi kaisar adalah ayah
dari Kaisar Kao Cung yang sekarang, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal,
yang dulu bernama Li Si Bin!
Karena hidup di dalam istana
yang megah, serba bersih, dan setiap hari tubuhnya terpelihara baik-baik, juga
karena ia diharuskan mempelajari segala seni yang patut dimiliki semua wanita cantik
dalam istana, Bi Houw tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita
dan pandai membawa diri. Ketika usianya mencapai, enambelas tahun, tidak ada
seorang pun dayang di istana yang mampu menyaingi kecantikannya.
Bagaikan setangkai bunga, ia mulai
mekar dengan indahnya, semerbak mengharum dan membuat setiap yang disentuhnya
menjadi cerah dan hidup. Bahkan para puteri dan selir kaisar merasa kagum dan
iri melihat kesegaran gadis remaja dari dusun yang kini pandai membawa diri
ini.
Pada suatu hari, pagi-pagi
sekali Bi Houw sudah melakukan tugasnya, membersihkan sebuah kamar mandi yang
biasa dipergunakan oleh permaisuri. Tentu saja sepagi itu ia bekerja
membersihkan kamar mandi pribadi permaisuri bukanlah suatu hal yang kebetulan
saja. Ia telah memperhitungkan dan memperhatikan kebiasaan Kaisar Thai Cung.
Setiap kaisar ini tidur di kamar permaisuri, sudah pasti pada pagi hari seperti
itu, Sang Kaisar akan masuk kamar mandi.
Kebiasaan ini sudah
diperhatikan benar-benar oleh Bi Houw, dan pada pagi hari itu, ketika seperti
tidak ditengaja ia telah berada di kamar mandi, ia nampak bersih, segar dan
cerah, cantik jelita dan putih kemerahan bagaikan setangkai kuncup mawar yang
sedang mekar! Gadis berusia enambelas tahun!
Ketika kaisar memasuki kamar mandi,
Bi Houw cepat berlutut dan tidak berani mengangkat muka. Setelah kaisar selesai
dengan keperluannya di kamar mandi untuk membuang air kecil dan hendak keluar,
dengan terampil sekali Bi Houw berlutut di depannya, dengan muka menunduk
sehingga tidak nampak, memegangi dengan kedua tangannya yang mungil sebuah
tempayan air yang terisi air hangat yang harum karena dicampur air mawar,
menjulurkan kedua tangannya agar Sang Kaisar dengan mudah dapat mencuci
tangannya.
Kaisar menunduk dan mencuci
tangan. Ketika dia melihat sepasang tangan yang berkulit putih kemerahan,
jari-jari tangan yang meruncing dengan kuku yang bersih mengkilap terawat baik,
kemudian menunduk pula melihat rambut yang panjang hitam dan halus, yang
mengeluarkan keharuman semerbak, melihat kulit leher yang nampak semakin putih
mulus kemerahan di antara juntaian rambut, kaisar tertarik dan berkata lembut.
“Dayang, coba kau angkat
mukamu, kami hendak melihatnya.”
Bi Houw yang sudah
memperhitungkan ini, dan sudah berulang kali ia bergaya di depan cermin, dengan
tenang dan lembut mengangkat mukanya, muka yang amat cantik manis bagaikan
setangkai bunga baru mekar, dahinya yang halus bagaikan lilin diraut itu
dihiasi anak rambut yang lembut sekali melingkar-lingkar, sepasang mata yang
redup itu setengah terpejam penuh rasa takut dan malu, dihias bulu mata yang
panjang lentik, dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang seperti
dilukis.
Hidung itu mancung kecil dan
lucu, dan mulut amat menggairahkan, dengan sepasang bibir tipis merah membasah
tanpa gincu, dihias lekuk pipi di kanan kiri yang timbul tenggelam, dagu kecil
runcing berlekuk, dan lekuk lengkung dada yang sedang meranum itu membayang di
balik baju tipis.
Semua ini merupakan
bintik-bintik api yang menggetarkan kehangatan dan di pagi hari yang dingin
itu, gairah berahi mulai membara di dalam hati Kaisar Thai Cung. Gairah berahi
yang datang tiba-tiba, mendatangkan kekuatan besar yang mendorongnya untuk
segera menjulurkan kedua lengannya, memondong gadis remaja itu, mendekap
menciuminya, membelai dan membawanya ke atas bangku marmer di dalam kamar mandi
itu.
Tanpa banyak cakap lagi, tidak
seperti biasanya kalau sang kaisar memerawani seorang dayang yang beruntung
menerima anugerah dipilih oleh kaisar, Bi Houw digauli oleh Kaisar Thai Cung di
dalam kamar mandi, tanpa upacara lagi!
Bi Houw menyambut pria tua itu
dengan menggunakan sepenuh kecerdikan dan kepandaiannya yang sudah
dipelajarinya terlebih dahulu. Demikian pandainya gadis ini sehingga semua
usahanya itu tidak nampak, dan Kaisar Thai Cung pada pagi hari itu memetik
kesenangan dan kenikmatan yang jarang dia temukan.
Setelah kaisar
meninggalkannya, Bi Houw melamun dengan hati penuh bahagia. Semua rencananya
berjalan dengan baik! Kaisar telah menjatuhkan pilihannya kepadanya bahkan
telah menganugerahinya dengan hubungan badan itu!
Pada waktu atau jaman itu,
kedudukan seorang kaisar amatlah tingginya. Kaisar dianggap sebagai dewa atau
bahkan Putera Tuhan yang dijelmakan di dunia untuk memimpin manusia. Oleh
karena itu, seorang gadis yang dipilih kaisar seolah-olah mendapatkan keyakinan
bahwa bintangnya akan menjadi terang.
Bi Houw membayangkan betapa ia
tentu akan diangkat menjadi seorang di antara selir-selir utama yang jumlahnya
tujuhpuluh dua orang, menggantikan seorang selir yang sudah dianggap
membosankan dan akan diturunkan pangkatnya oleh kaisar.
Dari selir, ia akan berusaha
agar ia dapat terus menanjak naik sehingga akhirnya akan dapat menduduki
pangkat permaisuri Pertama atau Kedua. Ada dua orang permaisuri, yaitu permaisusi
Istana Timur dan permaisuri Istana Barat. Ia harus berusaha mengangkat dirinya
sampai menjadi seorang di antara yang dua ini!
Akan tetapi malang bagi gadis
remaja itu, harapannya hampa dan penantiannya sia-sia belaka. Kaisar Thai Cung,
pendiri Kerajaan Tang itu, terlalu sibuk dengan urusan pemerintahan, sibuk
dengan perkembangan dan kemajuan kerajaannya.
Peristiwa yang terjadi di
kamar mandi pada pagi hari itu baginya lewat begitu saja dan segera hal itu
terlupa olehnya setelah terjadi. Lewat bagaikan angin lalu, karena bagi kaisar
yaag mempunyai banyak urusan, yang dianggapnya lebih besar dan lebih penting,
maka peristiwa dengan Bi Houw itu kecil dan tidak ada artinya sama sekali.
Apakah artinya seorang gadis remaja kecil, seorang dayang bagi seorang kaisar?
Kekecewaan adalah bagian orang
yang mengharapkan. Harapan mempunyai buah ganda, yaitu kepuasan dan kekecewaan.
Kalau terpenuhi apa yang diharapkan, datanglah kepuasan. Sebaliknya, kalau
tidak terpenuhi, datanglah kekecewaan.
Bi Houw yang ambisius dan
penuh harapan muluk itu, tentu saja tenggelam ke dalam lautan kekecewaan karena
ia sama sekali tidak diperdulikan oleh Kaisar Thai Cung. Bahkan kaisar itu
agaknya sudah lupa akan peristiwa yang terjadi di pagi hari dalam kamar mandi
permaisuri itu.
Betapapun ia memancing dengan
kerling dan senyum kalau kebetulan ia bertemu dengan kaisar, Kaisar Thai Cung
sama sekali tidak nampak bahwa dia teringat atau mengenalnya!
Di dalam kamarnya, Bi Houw
hanya dapat menangis karena sesal dan kecewa. Apa lagi ia sudah terlanjur pamer
kepada para dayang lain bahwa ia telah mendapat “anugerah” dari kaisar di pagi
hari itu! Ia telah membisikkan kepada para dayang lainnya bahwa sebentar lagi
ia akan naik derajatnya dan menjadi seorang di antara Selir Terhormat! Dan kenyataannya
sungguh amat pahit, tidak semanis yang dibayangkan dan diharapkannya.
Akan tetapi, gadis remaja ini
tidak menjadi putus asa. Maklum bahwa ia tidak dapat mengharapkan kenaikan
derajat dari kaisar, iapun segera membuang harapan hampa itu dan matanya mulai
mengerling ke arah yang lain lagi.
Pangeran Mahkota! Pangeran itu
masih seorang pemuda, tampan, gagah dan tentu saja jauh lebih menarik sebagai
pria dibandingkan ayahnya, Sang Kaisar. Pangeran Mahkota itulah merupakan orang
kedua sesudah kaisar yang paling tinggi kedudukannya di seluruh negeri.
Mulailah Bi Houw mengatur
diri, mengatur lagak dan melaburi diri dengan daya pikat yang menarik, dan
iapun menggunakan segala daya kecerdikannya untuk menyelidiki dan mempelajari
kebiasaan Pangeran Mahkota.
Pangeran Mahkota yang kemudian
menjadi Kaisar Kao Cung itu adalah seorang pemuda yang tampan dan suka pelesir.
Sejak kecil dia memang dimanja dan berkecimpung di dalam kesenangan dan
kemewahan. Apa saja yang dikehendakinya tentu terpenuhi!
Sungguh amat merugikan
perkembangan jiwa seseorang kalau di waktu kecil dia dimanjakan oleh keadaan.
Justeru kepahitan keadaan hidup, seperti jamu merupakan gemblengan yang
mematangkan batin. Sebaliknya, kesenangan yang berlimpahan bahkan membius batin
dan menumpulkan akal karena jarang dipergunakan untuk mengatasi kesulitan
hidup.
Tempat tinggal Pangeran
Mahkota merupakan bagian kompleks istana keluarga Kaisar di bagian kiri,
bersambung dengan istana induk melalui sebuah jembatan dan taman indah. Di
jembatan inipun, seperti juga di jalan masuk ke istana induk dari manapun juga,
siang malam dijaga oleh pengawal thai-kam (laki-laki kebiri) demi keselamatan
kaisar.
Dengan mempergunakan suapan
berupa barang-barang berharga, Bi Houw berhasil menarik kepercayaan seorang pengawal
Thai-kam sehingga ia dapat dengan leluasa menggunakan jembatan itu dan
diperbolehkan keluar masuk taman yang merupakan perbatasan antara istana induk
dan istana Pangeran Mahkota. Pada hal, sebagai dayang atau pelayan keluarga
kaisar yang bertugas di istana induk, ia tidak dibenarkan untuk melewati
jembatan ini dan masuk ke daerah tempat tinggal Pangeran Mahkota.
Bi Houw juga menyelidiki
kebiasaan Pangeran Mahkota dan mendengar bahwa satu di antara kebiasaan
Pangeran Mahkota adalah duduk termenung di dalam taman mawar yang berdekatan
dengan jembatan dan taman penghubung itu. Pangeran Mahkota itu, setelah bosan
dan lelah bersenang-senang dengan gadis-gadis cantik bahkan bermain-main dengan
wanita-wanita pelacur di luar istana, kadang-kadang suka menyendiri di dalam
taman mawar, termenung dan menikmati hawa segar sejuk dan suasana hening.
Dalam keadaan seperti itu, dia
selalu menyendiri, tidak mau ditemani pengawal atau dayang. Setelah dayang
membawakan minuman dan makanan, biasanya anggur manis dan makanan kecil, dayang
lalu diperintahkannya untuk pergi meninggalkannya seorang diri. Dalam keadaan
menyendiri itu, Pangeran Mahkota merasa aman tenteram dan kadang-kadang keadaan
menyendiri itu dia pergunakan untuk membaca kitab, baik kitab kesusasteraan, catatan
sejarah maupun kitab tentang ketatanegaraan yang amat penting baginya.
Pada suatu senja yang indah.
Angin semilir lembut mendatangkan hawa yang sejuk segar. Matahari menjelang
terbenam, cahayanya sudah lembut lunak dan di langit bagian timur nampak awan
terbakar dengan sinar merah dengan latar belakang kebiruan dan di sana-sini
nampak awan berpita perak berkilauan.
Pangeran Mahkota memasuki
taman mawar sambil membawa kitab yang sudah dibukanya dan dibacanya sambil
melangkah perlahan-lahan, menuju ke tengah taman di mana terdapat kolam ikan
emas dan bangku yang menjadi tempat yang amat disukainya untuk duduk
menyendiri. Memang nyaman sekali duduk di bangku yang halus itu, di dekat kolam
di mana ikan-ikan emas merah, kuning dan putih berenang, dengan gaya indah,
dikelilingi bunga-bunga mawar yang sedang mekar semerbak mengharum, dengan
kupu-kupu yang beterbangan di sekitarnya, pohon-pohon di sana-sini yang mulai
disibuki oleh suara burung yang pulang sarang.
Putera Mahkota yang berusia
tigapuluhan tahun itu memang tampan dan pada senja itu dia mengenakan pakaian
sutera kuning yang longgar dan indah. Ketika dia melangkah lambat menuju ke
tengah taman, tiba-tiba dia menurunkan kitabnya dan berhenti melangkah. Dia
mendengar suara yang lain dari pada biasanya.
Biasanya, suara yang terdengar
di taman itu kalau dia memasukinya hanyalah suara teriakan burung-burung yang
beterbangan pulang sarang, sesampainya di pohon mereka ini membuat gaduh dengan
suara cecowetan sibuk sekali. Akan tetapi sekali ini, di antara suara
burung-burung, dia mendengar suara manusia. Suara wanita yang sedang membaca
sajak dengan nyanyian sederhana namun merdu bukan main, agaknya terdengar aneh
dan merdu sekali di taman yang sunyi itu.
“......amboi burung murai nan
malang,
warna bulumu memang indah
cemerlang,
suaramu memang merdu gemilang,
namun sayang......
percuma engkau merindukan
burung Hong,
Raja di antara segala burung,
bagimu dia terlampau
agung.......”
Di taman yang indah itu, dalam
suasana yang sunyi dari senja yang mengambang, suara itu terdengar aneh dan
merdu sekali. Hati Pangeran Mahkota itu sudah tertarik sekali, dan jantungnya
berdebar penuh keinginan tahu siapa gerangan wanita yang dapat bernyanyi
semerdu itu di dalam taman mawar pribadinya. Suara itu datang dari arah kiri,
maka diapun tidak jadi menuju ke kolam ikan, melainkan ke pondok ungu yang
berada di sebelah kiri taman.
Pondok ungu ini adalah pondok
kecil di mana dia suka menghibur diri di waktu musim panas, ditemani beberapa
orang dayang atau selirnya. Biarpun dia belum memiliki isteri, namun Pangeran
Mahkota ini sudah memiliki beberapa orang selir.
Akhirnya Pangeran Mahkota
menemukan wanita yang tadi membaca sajak dengan suara nyanyian sederhana namun
merdu itu. Ia seorang gadis berpakaian dayang. Seorang di antara para dayang
ayahnya! Akan tetapi, sungguh seorang gadis remaja yang bukan main! Hati
pangeran itu memang sudah tertarik oleh suara tadi. Kini melihat orangnya, dia
terpesona!
Dan memang Bi Houw sudah
memperhitungkannya dengan masak-masak, berdasarkan penyelidikannya. Ia
mendengar betapa sang pangeran itu seringkali menyatakan rasa muak terhadap
para wanita yang mengelilinginya, yang berlomba untuk menarik perhatiannya
dengan dandanan yang mewah, dengan riasan muka yang seperti boneka digambar!
Karena itu, dalam kesempatan
yang sudah termasuk rencana siasatnya ini, Bi Houw mengenakan pakaian yang
sederhana, pakaian dayang yang tidak mewah namun bersih dan rapi. Nampak jelas
betapa ia segar dan cerah, karena baru saja ia mandi air dingin yang dicampur
air mawar dan seluruh tubuhnya digosoknya keras-keras sehingga baik muka dan
tangannya nampak masih kemerahan seperti kulit seorang bayi yang montok dan
mungil.
Ketika pangeran menghampiri
tempat itu, ia pura-pura tidak tahu dan sedang mengejar kupu-kupu dengan
gerakan yang lincah, jenaka dan penuh kelembutan wanita, berjalan berjingkat
dengan lenggang lenggok lemah gemulai ia menghampiri seekor kupu-kupu yang
hinggap di setangkai bunga.
Melihat ini, Pangeran Mahkota
berhenti melangkah, memandang sambil menggagumi gerak pinggul gadis remaja itu
ketika berindap menghampiri kupu-kupu itu. Ditangkapnya kupu-kupu itu dengan
ibu jari dan telunjuknya, lalu gadis itu duduk di atas bangku, membelakangi
Pangeran Mahkota dan terdengar suaranya lirih manja, namun terdengar jelas oleh
sang Pangeran.
“Kupu-kupu yang tampan, engkau
memang seksi sekali, bersenang-senang dari bunga ke bunga lain, tanpa
memperdulikan aku bunga yang kesepian menanggung rindu, haus akan jamahan dan
belaianmu. Aih, kupu-kupu, sakit hatiku, ingin rasanya aku merobek sayapmu agar
engkau tidak mampu terbang lagi hinggap di bunga-bunga yang lain. Akan tetapi
aku tidak tega, kupu-kupu, aku tidak tega, karena aku terlalu mencintaimu! Aih,
kupu-kupu, engkau pangeran yang agung sedangkan aku...... aku hanya
dayang......”
Gadis itu bangkit, melepaskan
kupu-kupu itu terbang kegirangan, lalu ia membalik dan...... pada saat itu ia
melihat Pangeran Mahkota berdiri di depannya.
“Oohhhhh.......!” Ia mengeluh
ketakutan dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki sang pangeran,
memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah.
“Ampun, pangeran......
ampunkan hamba, karena hamba tidak tahu bahwa paduka berada di sini........”
kata Bi Houw dengan suara gemetar namun terdengar amat merdu.
“Murai yang mungil. jangan
takut, aku tidak marah kepadamu. Bangkitlah!”
“Hamba...... hamba tidak
berani......” Bi Houw berkata dengan gemetar.
Pangeran Mahkota tersenyum,
lalu menjulurkan tangan kanannya, memegang lengan Bi Houw dan menariknya
bangkit berdiri. Gadis itu berdiri, tinggi badannya hanya sampai ke pundak
pangeran itu dan ia menundukkan mukanya sampai dagunya menekan leher.
Dengan lembut sang pangeran
menggunakan ibu jari dan telunjuk kanannya, memegang ujung dagu gadis itu dan
menarik dagu itu ke atas agar dia dapat menatap wajah itu. Dan jantungnya
berdenyut keras saking girangnya. Sebuah wajah yang amat cantik manis, jelita
dan segar! Sejenak dia mengamati wajah yang amat menggairahkan itu biarpun Bi
Houw memejamkan kedua matanya.
“Manis, bukalah matamu, aku
ingin melihatnya,” bisik sang pangeran dan ketika Bi Houw membuka kedua
matanya, pangeran itu seperti melihat sepasang bintang yang mempesonakan! Dari
sepasang mata itu memancar cahaya yang demikian lembut, demikian dalam dan
demikian menantang, mengandung janji sejuta kemesraan dan kehangatan dan
Pangeran Mahkota itupun jatuhlah!
“Engkau cantik jelita......
siapakah namamu?”
“Hamba...... hamba Bi
Houw......”
“Bagaimana engkau bisa berada
di sini, pada hal engkau seorang dayang dari induk istana, bukan?”
“Ampunkan hamba, hamba......
amat terpesona oleh keindahan mawar di sini, ketika penjaga lengah, hamba
menyelinap masuk...... Hamba lupa diri ketika berada di sini, Mohon ampun,
Pangeran......”
“Bi Houw, engkau tadi
mengumpamakan kupu-kupu, pangeran. Siapakah yang kau maksudkan? Dan engkau
mengumpamakan dirimu murai kecil, dan siapa pula burung Hong itu? Hayo jawab
sejujurnya, baru aku mau mempertimbangkan apakah kelancanganmu ini patut
diampuni atau tidak,” kata Pangeran Mahkota sambil tersenyum menggoda.
Bi Houw pura-pura ketakutan.
“Ampunkan hamba...... ampunkan kelancangan hamba...... burung Hong itu......
dia adalah pangeran...... dan pangeran itu...... ah, pangeran itu......”
“Hayo katakan, siapa pangeran
itu?! Kalau tidak berterus terang, akan kupanggil pengawal agar engkau dihukum
cambuk!” Pangeran Mahkota mengancam sambil tersenyum.
Bi Houw tiba-tiba menjatuhkan
diri berlutut dan mencium kaki pangeran itu. “Ampunkan hamba, pangeran.
Pangeran...... pangeran itu...... ah, beliau adalah...... paduka......!
Ampunkan hamba......”
Pangeran Mahkota tertawa
bergelak, senang sekali hatinya. “Aku? Jadi akukah yang membuat engkau rindu?
Ha-ha-ha, nah, aku sudah berada di sini, hendak kulihat sampai di mana
kebenaran pengakuanmu bahwa engkau rindu dan cinta kepadaku!” Dia membungkuk,
mengangkat tubuh yang mungil itu, memondongnya dan membawa Bi Houw memasuki
pondok ungu!
Bi Houw dengan amat cerdiknya
dapat berlagak seperti seorang gadis remaja yang masih hijau, canggung, namun
penuh dengan cinta kasih, penuh kemesraan, kehangatan dan kepasrahan. Namun, di
balik itu, biarpun secara halus, ia menyambut pernyataan cinta pangeran itu
dengan gairah yang panas menggebu, yang membuat Pangeran Mahkota itu merasa
bahwa selama hidupnya baru sekali itulah dia bertemu dengan seorang gadis
perawan yang membuat dia merasa seorang jantan sejati!
Dan pada senja hari itupun
hati Pangeran Mahkota telah jatuh cinta! Dia bukan sekedar iseng, melainkan
benar-benar terpikat dan melekat, jatuh cinta secara mendalam kepada Bi Houw
atau Bu Houw. Dan semenjak pertemuan yang pertama kali itu, mereka berdua
dengan hati-hati seringkali mengadakan pertemuan di taman itu dan menumpahkan
perasaan cinta kasih masing-masing dengan penuh kemesraan!
Demikian pandainya Bi Houw
membawa diri sehingga Sang Pangeran Mahkota merasa yakin bahwa gadis remaja
jelita itu benar-benar mencintanya dengan segenap jiwa raganya, bukan seperti
wanita lain yang hanya mengharapkan agar terangkat derajatnya kalau dapat
berhubungan dengan dia. Dianggapnya bahwa Bi Houw sebagai seorang wanita,
mencinta dia sebagai seorang pria!
Dan diapun jatuh benar-benar,
dan mengambil keputusan untuk menjadikan Bi Houw sebagai isterinya, bahkan
permaisurinya kelak!
Ketika Kaisar Tang Thai Cung
meninggal dunia dalam tahun 649, maka diangkatlah Pangeran Mahkota sebagai
kaisar baru, dan berjuluk Kaisar Tang Kao Cung.
Dan kini terjadilah hal yang
amat berbahaya bagi Bi Houw atau Bu Houw. Memang benar bahwa Kaisar Tang Kao
Cung yang baru memenuhi janjinya, yaitu dia hendak mengangkat Bu Houw menjadi
Permaisuri. Akan tetapi, para pejabat tinggi di istana memperingatkan Kaisar
Tang Kao Cung bahwa menurut catatan dalam istana, Bu Houw adalah seorang dayang
yang pernah digauli oleh mendiang Kaisar Tang Thai Cung! Tentu saja catatan
istana ini ada karena kesalahan Bu Houw sendiri yang memamerkan “kehormatan”
atau anugerah yang diterimanya dari Kaisar Tang Thai Cung dahulu ketika ia
digauli di dalam kamar mandi Permaisuri di suatu pagi.
Menurut peraturan istana,
dayang yang sudah digauli kaisar itu, setelah kaisar meninggal dunia, haruslah
melanjutkan kehidupannya sebagai seorang nikouw (pendeta wanita) dalam wihara
Buddha selama hidupnya! Pada waktu itu, Agama Buddha sedang berkembang dengan
pesat dan diakui oleh pemerintah sehingga memiliki pengaruh yang besar. Sebagai
seorang isteri, walaupun hanya berkedudukan dayang namun sudah digauli kaisar,
maka Bu Houw harus pula berkabung dengan cara hidup dalam biara itu sebagai
seorang pendeta yang setiap hari hanya berdoa dan tidak boleh berhubungan
dengan orang lain apa lagi dengan pria!
Akan tetapi, Kaisar Tang Kao
Cung sudah terlalu mencinta Bu Houw sehingga diam-diam kaisar ini memerintahkan
agar Bu Houw dilindungi dan diperlakukan dengan hormat dan baik. Bahkan ia
dibebaskan dari keharusan menggunduli kepalanya.
Setelah tiga tahun lewat,
yaitu waktu yang dianggap sebagai masa berkabung telah habis, secara diam-diam
Bu Houw dipindahkan dari dalam wihara ke dalam istana induk dan bertentangan
dengan nasihat para menteri, Kaisar Tang Kao Cung memaksakan kehendaknyan untuk
menikah dengan Bu Houw dan mengangkatnya sebagai Permaisuri!
Nafsu yang menguasai diri
manusia ibarat api. Makin diberi umpan, makin diberi jalan, bukan menjadi
kenyang dan puas bahkan menjadi semakin murka! Makin diberi semakin kelaparan
dan kehausan!
Ketika masih menjadi seorang
dayang, Bu Houw bercita-cita untuk diangkat menjadi selir, kemudian
cita-citanya meningkat untuk menjadi permaisuri. Biarpun harapannya terhadap
mendiang Kaisar Tang Thai Cung gagal, namun ia berhasil baik dalam memikat
Pangeran Mahkota sehingga ia berhasil menundukkan pangeran itu dan setelah
pangeran itu menjadi Kaisar Tang Kao Cung, iapun terpenuhi cita-citanya dan
diangkat menjadi Permaisuri. Apakah ini merupakan tujuan terakhir dari ambisinya?
Sudah puaskah nafsu keinginannya?
Jauh dari pada puas! Nafsu
takkan pernah mengenal puas, tak pernah mengenal titik tujuan terakhir selama
si manusianya masih hidup! Bagaikan api, takkan padam selama bahan yang
dibakarnya masih ada.
Setelah diangkat menjadi
Permaisuri, Bu Houw hanya merasa puas sementara saja, untuk kemudian nafsunya
kembali berkobar untuk mencapai kekuasaan yang tertinggi! Dan agaknya ambisinya
inipun mendatangkan harapan karena Kaisar Tang Kao Cung agaknya benar-benar tak
berdaya menghadapi permaisurinya ini.
Kaisar Tang Kao Cung menjadi
jinak dan lunak, tunduk dan taat kepada permaisurinya! Kaisar ini tanpa merasa
dijadikan semacam boneka hidup oleh permaisurinya.
Mulailah Bu Houw mencampuri
urusan kenegaraan, bahkan ia kini dikenal sebagai Bu Cek Thian, Permaisuri
Agung yang berkuasa penuh sesudah Kaisar! Para menteri merasa khawatir sekali,
namun tak seorangpun mampu mengingatkan kaisar, dan kekuasaan Bu Cek Thian
menjadi semakin besar.
Setelah memperoleh kekuasaan
besar dan Kaisar selalu menuruti semua kehendaknya, bahkan mulai mematuhi
nasihat-nasihatnya mengenai bidang pemerintahan, Bu Cek Thian tetap saja tidak
merasa puas. Ada satu hal yang membuat ia merasa hidupnya tidak lengkap, bahkan
merana! Suaminya, Sang Kaisar yang terlampau memanjakan nafsu berahi ketika
masih muda, kini menjadi seorang suami yang lemah dan sama sekali tidak dapat
menandingi dan memuaskan gairah berahinya yang menggebu dan berkobar.
Hal ini membuat Bu Cek Thian
yang sudah tercapai apa yang diharapkannya itu merasa sengsara! Mulailah ia
membentuk pasukan pengawal yang terdiri dari para pria kebiri dan juga
wanita-wanita perkasa dari orang-orang yang dapat dipercayanya, dan yang sudah
bersumpah setia kepadanya. Dengan demikian, maka selain keamanannya selalu
terjamin karena selalu ada sekelompok pengawal yang menjaganya, juga melalui
para pengawal yang dipercaya ini, ia dapat apa saja secara rahasia karena
kelompok pengawal ini menjaga agar rahasianya tidak sampai diketahui orang
lain.
Setelah ia melihat kesetiaan
dan kecerdikan seorang di antara para dayangnya yang bernama Siangkoan Wang-ji,
ia menarik wanita ini sebagai dayang pribadi. Kepada Siangkoan Wang-ji inilah
ia menumpahkan semua perasaan dan kekecewaannya, dan atas nasehat dayang setia
ini pula Bu Cek Thian mulai melakukan penyelewengan untuk memuaskan gairah
berahinya yang bernyala-nyala. yang tak terpuaskan oleh Kaisar Tang Kao Cung,
suaminya yang dianggapnya kurang jantan dan loyo.
Melalui Siangkoan Wang-ji
sebagai perantara, secara bergiliran, dengan perlindungan kelompok pengawal
pribadi, mulailah diselundupkan dua orang perwira istana, kakak beradik yang
bernama Thio Jiang Tiong dan Thio I Ci. Mereka adalah dua orang perwira muda
yang tampan dan gagah.
Tentu saja dua orang kakak beradik
ini merasa seperti kejatuhan rembulan. Mereka tidak berani membuka rahasia dan
diam-diam menikmati “anugerah” dari Sang permaisuri itu. Mereka mendapatkan
seorang wanita yang matang dan cantik jelita, yang menyambut mereka secara
bergiliran dengan gairah yang panas, mereka mendapatkan pula hadiah-hadiah yang
berharga dan tentu saja mereka merasa terhormat.
Di samping itu, mereka juga
tentu takut sekali kalau sampai rahasia itu ketahuan oleh Kaisar. Maka, tanpa
diperintah lagi, untuk mempertahankan kenikmatan dan keuntungsan itu, juga
untuk menyelamatkan diri, mereka itu menutup mulut dan tidak pernah membocorkan
rahasia itu.
Demikianlah riwayat singkat
dari Permaisuri Bu Cek Thian yang pada waktu, biarpun tidak secara terbuka dan
sah, merupakan orang yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan. Bukan
hanya untuk urusan pemerintahan, juga di dalam istana, ialah yang memegang
kuasa penuh. Hanya kadang-kadang saja Kaisar Tang Kao Cung memperlihatkan sikap
yang sesungguhnya, sikap seorang kaisar dan seorang suami, namun pada akhirnya,
dialah yang kalah pengaruh dan tunduk kepada kemauan Sang Permaisuri.
Diri permaisuri itu diliputi
penuh rahasia. Para pejabat tinggi yang setia kepada kaisar, mencemaskan
keadaan itu, apa lagi setelah akhir-akhir ini timbul pembunuhan-pembunuhan
rahasia terhadap beberapa orang pejabat tinggi dan pengeran, para menteri yang
setia menjadi semakin gelisah. Akan tetapi, para pejabat tinggi yang “terpakai”
oleh Bu Cek Thian, yang dipilih menjadi orang-orang yang dipercaya oleh Sang
Permaisuri, tentu saja tidak merasa cemas, bahkan diam-diam mereka merasa
girang sekali karena kepercayaan Sang Permaisuri kepada mereka membuat derajat
dan kekuasaan mereka terangkat naik.
Demikian besar kekuasaan Bu
Cek Thian atas diri kaisar sehingga namanya terkenal di dalam sejarah. Apa lagi
setelah ia melahirkan seorang putera, kekuasaannya menjadi semakin besar dan
Kaisar semakin tunduk kepadanya.
Hanya Bu Cek Thian atau Bu
Houw atau dahulu disebut Bi Houw yang tahu, siapakah sebenarnya ayah kandung
Pangeran Tiong Cung itu! Tentu saja bagi kaisar sendiri dan umum, menganggap
hahwa pangeran itu adalah putera kandung Kaisar Tang Kao Cung! Akan tetapi,
sebelum melahirkan pangeran itu, diam-diam Bu Cek Thian yang sudah merasa tidak
puas dengan suaminya, telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang pria yang
diselundupkan secara rahasia dari luar istana bagian puteri.
Bahkan seorang di antara
mereka itu, termasuk seorang tukang taman muda she Ma yang kemudian tewas
secara aneh karena suatu penyakit perut yang mendadak.
Dan melihat betapa hidung
pangeran Tiong Cung yang besar itu serupa benar dengan bentuk hidung mendiang
penjaga taman Ma, diam-diam Bu Cek Thian sendiri menduga bahwa mungkin tukang
taman itulah ayah kandung puteranya yang sebenarnya.
Kalau tadinya masih ada
menteri yang suka memperingatkan kaisar terhadap Bu Cek Thian, setelah wanita
itu melahirkan putera yang menjadi pangeran mahkota, tentu saja tidak ada lagi
yang berani mencela wanita itu di depan kaisar atau siapapun juga. Kekuasaan Bu
Cek Thian sebagai lbu Suri amatlah besarnya, dan sekali Ibu Suri ini
menudingkan telunjuknya, siapa saja, tidak perduli betapapun besar
kedudukannya, akan ditangkap, dihukum buang ataupun dihukum mati!
Ketika terjadi
pembunuhan-pembunuban rahasia yang menggelisahkan Kaisar, Bu Cek Thian juga
menjadi gelisah dan permaisuri ini yang mengusulkan kepada kaisar untuk
mengutus Cian Ciang-kun, yaitu Cian Hui yang terkenal sebagai seorang detektip
ulung dan pandai itu, untuk malakukan penyelidikan dan membongkar rahasia
pembunuhan yang menggelisahkan itu.
Semua pejabat pemerintah,
terutama sekali yang berkedudukan tinggi, menduga-duga siapakah pembunuh
misterius itu, dan siapa pula yang berdiri di belakangnya. Memang sukar untuk
menduga dan keadaannya membingungkan sekali.
Kalau yang terbunuh itu hanya
orang-orang yang dekat dengan kaisar misalnya, tentu akan timbul dugaan bahwa
pembunuh misterius dan pengaturnya tentulah orang yang tidak suka kepada kaisar
dan orang yang ingin memereteli kekuasaan kaisar dengan menyingkirkan mereka
yang membantu kaisar dan yang setia kepada kaisar. Akan tetapi pada
kenyataannya, banyak pula pejabat tinggi yang terkenal anti dengan
kebijaksanaan kaisar, yang bahkan condong membela dan mendukung kebijaksanaan
Ibu Suri atau Permaisuri, juga terbunuh!
◄Y►
“Ih, kenapa rumahmu sesunyi
ini, Cian Ciang-kun? Engkau seorang pejabat yang penting dan berpengaruh di
kota raja, akan tetapi rumahmu yang besar ini amat sunyi. Aku hanya melihat
beberapa orang pelayan saja di luar tadi dan di dalamnya begini sunyi dan
lengang!” kata “nenek” tua itu yang bukan lain adalah Liong-li yang menyamar
sebagai seorang nenek tua ketika memasuki kota raja bersama Cian Hui. Ucapan
itu keluar dari mulutnya ketika ia bersama tuan rumah itu sudah memasuki rumah
gedung milik Cian Hui, dan mereka tiba di ruangan dalam, duduk berdua saja
menghadapi sebuah meja marmer bundar.
Cian Ciang-kun menarik napas
panjang, pria berusia empatpuluh tahun itu merasa seperti ditusuk jantungnya
mendengar ucapan itu. Ucapan yang amat tepat karena betapa seringnya dia
merasakan kesunyian yang mencekam itu apa bila dia berada di dalam rumahnya.
Begitu terasa kehilangan besar itu, kehilangan isteri dan anaknya, membuat dia
merasa kesepian dan tidak berarti. Hanya kalau dia berada di luar rumahnya,
sedang melakukan tugas, dia bebas dari rasa kesepian itu.
Memang hati dan akal pikiran
ini selalu membutuhkan sesuatu untuk ditempel atau diikat. Kalau ada sesuatu
yang dimiliki, barulah diri merasa ada artinya! Makin penting yang dimilikinya
itu, makin berharga, akan semakin besar pula arti diri. Baik yang dimiliki itu
berupa kedudukan, nama besar, harta benda, kepercayaan, atau orang-orang yang
dicinta, apa saja yang mendatangkan kesenangan, maka hidup seakan-akan baru ada
artinya karena membutuhkan dan dibutuhkan!
Inilah sebabnya, ikatan inilah
yang mendatangkan rasa kecewa, sakit dan duka kalau kita ditinggalkan sesuatu
yang kita miliki dan kita senangi itu, entah itu nama besar, kepopuleran, harta
benda, orang yang disenangi, atau apa saja. Si-aku baru berarti dan “hidup” apa
bila ada yang ditempeli atau diikatnya. Makin banyak ikatan, akan semakin hidup
dan berarti rasanya! Kita lupa bahwa semua yang kita anggap, sebagai milik itu
hanyalah aku-akuan saja, hanya sementara saja seolah-olah hanya dipinjamkan dan
sekali waktu pasti akan berpisah dari kita.”
“Aihh, habis mau bagaimana
lagi, Li-hiap? Aku adalah seorang duda, kehilangan anak isteri. Dan untuk
keperluanku seorang diri saja, cukup dengan bantuan dua orang pelayan pria dan
seorang pelayan wanita yang kau lihat tadi,” kata Cian Hui.
Liong-li tersenyum dan karena
ia tersenyum wajar, bukan senyum buatan sebagai pelengkap penyamaran, maka
“nenek” itu kini nampak manis sekali!
“Cian Ciang-kun, engkau
seorang yang pandai dan cerdik, mengapa bicaramu seperti seorang kakek-kakek
yang lemah dan putus asa saja? Engkau masih muda, engkau jantan dan gagah
menarik, memiliki kedudukan yang baik, tidak kekurangan harta benda, juga
berilmu, pandai ilmu silat dan juga menjadi seorang penyelidik yang terkenal.
Kalau engkau kehendaki. banyaklah gadis cantik jelita yang ingin dan suka
sekali menjadi isterimu. Engkau tinggal pilih saja dan kalau engkau mempunyai
seorang isteri lagi, besar harapan engkau mempunyai keturunan dan membangun sebuah
keluarga baru di dalam rumahmu ini.”
“Ah, cukuplah, Li-hiap. Apa
yang kau ucapkan itu sudah diucapkan pula oleh banyak sahabatku. Dan akupun
pernah mencoba untuk memilih-milih seorang wanita sebagai pengganti isteriku.
Namun sampai sekarang belum juga berhasil! Kalau bukan ada sesuatu pada dirinya
yang tidak kusenangi, atau ada suatu sikapnya yang tidak cocok denganku, tentu
ia seorang yang kuanggap terlalu muda bagiku. Ahhh, semua usahaku sia-sia dan
aku menjadi putus asa. Biarlah, aku tinggal menduda saja.
“Dan bagaimana dengan dirimu,
Li-hiap? Jangan engkau hanya menasihati aku saja. Lihat dirimu! Engkau seorang
yang cantik jelita, berilmu tinggi, kaya raya. Namun engkau tinggal membujang,
tidak berumah tangga, tidak bersuami. Pada hal mencari seorang wanita seperti
engkau ini di dunia hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja! Kalau ada
seorang wanita yang sepersepuluhmu saja baiknya, tentu aku sudah menikah lagi!”
“Ih, ngawur! Engkau terlalu
memujiku dan merendahkan dirimu sendiri, Ciang-kun. Terus terang saja, akupun
amat kagum dan suka padamu. Seperti engkau inilah seorang di antara para pria
yang kuanggap hebat untuk dijadikan suami.”
SEPASANG mata perwira itu
terbelalak.
“Be.... benarkah itu, li-hiap?
Benarkah kata-katamu itu? Aduh, kalau saja engkau suka dan mau, ah, kalau saja
engkau dapat hidup di rumahku ini sebagai teman hidupku selamanya, sebagai
isteriku, akan sempurnalah hidup ini!”
“Huh, melantur kau, Ciang-kun!
Aku tidak mau terikat menjadi isteri siapapun, kalau menjadi teman baik sekali
mungkin...... akan tetapi sudahlah, kelak saja kita bicara tentang urusan
pribadi. Kita menghadapi tugas penting yang harus kita selesaikan. Nah,
sekarang engkau harus mencarikan jalan bagiku agar aku dapat menyelundup ke
dalam istana sebagai seorang gadis dusun yang menjadi seorang dayang, pelayan
atau apa saja, Ciang-kun.”
Cian Hui menarik napas
panjang. Hatinya dipenuhi harapan muluk! Kalau saja wanita ini dapat menjadi
isterinya! Liong-li telah, berterus terang mengatakan bahwa ia kagum dan suka
kepadanya, dan suka pula menjadi teman baiknya. Seorang wanita yang bukan main!
Hebat!
“Baiklah, li-hiap. Aku akan
menghubungi sahabatku yang boleh dipercaya dan yang bertugas di dalam istana
agar engkau dapat diselundupkan di sana. Hal itu mungkin akan makan waktu
dua-tiga hari dan sementara itu, harap engkau suka tinggal dulu di sini. Selama
aku pergi, anggaplah ini rumahmu sendiri, li-hiap. Tiga orang pelayanku akan
kupesan agar mereka mentaati semua perintahmu.”
“Tidak perlu sungkan,
Ciang-kun. Asal aku mendapatkan sebuah kamar di sini sudahlah cukup dan tiga
orang pelayanmu bahkan jangan mendatangi kamarku kalau tidak kupanggil. Kalau
aku membutuhkan sesuatu, aku akan memanggil seorang di antara mereka. Akupun
tidak bisa tinggal diam saja. Selagi engkau mencari hubungan dengan orang dalam
istana itu, akupun akan menggunakan waktu dua-tiga hari ini untuk melakukan
penyelidikan, terutama di waktu malam, dengan jalan meronda. Siapa tahu aku
akan dapat bertemu dengan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)!”
Cian Hui mengangguk-angguk.
“Baiklah, Li-hiap, akan tetapi harap engkau berhati-hati karena menurut berita
yang kuperoleh, Si Bayangan Iblis itu lihai bukan main dan dapat bergerak
seperti iblis saking cepatnya.”
Malam hari itu, setelah cuaca
gelap sesosok bayangan hitam berkelebat di atas wuwungan rumah gedung tempat
tinggal Cian Ciang-kun. Tiga orang pelayan perwira itu sama sekali tidak
melihat bayangan itu, tidak tahu bahwa bayangan itu adalah bayangan “nenek”
yang menjadi tamu tuan mereka.
Memang Liong-li tidak ingin
ada orang melihatnya ketika ia mulai melakukan penyelidikan di kota raja. Ia
mengenakan pakaian serba hitam dan sengaja menutup mukanya dengan saputangan
hitam, hanya nampak sepasang matanya saja yang jeli mencorong tajam. Rambutnya
juga ditutup kain hitam, bahkan pedang pusaka Hek-liong-kiam yang biasanya
tidak pernah berpisah darinya, pada saat itupun tidak dibawanya dan
disembunyikan di suatu tempat yang aman.
Hal ini menunjukkan bahwa
Liong-li tidak ingin ada orang mengetahui bahwa si topeng hitam itu adalah
Hek-liong-li! Hal ini penting sekali. Ia akan menyelundup ke dalam istana dan
biarpun ia menyelundup sambil menyamar, akan tetapi siapa tahu pihak lawan
bermata tajam dan lihai. Pendeknya, jangan sampai lawan mengetahui bahwa yang
kini sedang bergerak di kota raja membantu Cian Ciang-kun adalah Hek-liong-li.
Bergerak secara rahasia begini ia akan dapat merasa lebih leluasa.
Setelah berhasil keluar dari
rumah besar itu, tubuhnya berkelebat dengan cepatnya menembus kegelapan malam dan
kalau tidak kebetulan ada orang lain yang berada di dekatnya, tentu tidak akan
nampak jelas bayangan hitam yang berkelebatan itu. Dan mungkin saja ia yang
akan dikira tokoh yang biasa diberi sebutan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)
karena memang gerakannya itu seperti beterbangan saja saking cepatnya. Dan
iapun tidak melalui jalan yang ramai, melainkan menyelinap dan menyusup di
balik pohon dan rumah, kadang-kadang kalau terpaksa melalui bagian yang ramai
ia melompat ke atas wuwungan rumah dan berloncatan dari genteng rumah yang satu
ke rumah yang lain.
Demikianlah, semalam itu
Liong-li melakukan perondaan. Ia melihat betapa banyaknya orang yang
berkeliaran secara rahasia, maka iapun kagum melihat cara Cian Ciang-kun
bekerja. Tidak salah lagi, orang-orang yang berkeliaran dan berjaga-jaga di
segala tempat itu, tentulah anak buah yang disebar oleh Cian Ciang-kun!
Ia telah mendekati pula tembok
pagar istana yang dijaga ketat. Alangkah kuatnya penjagaan di sana dan seekor
burungpun kalau terbang lewat akan ketahuan penjaga, apa lagi seorang manusia.
Agaknya, tidak akan mungkin kalau ia harus memasuki kompleks istana di balik
pagar itu tanpa diketahui penjaga. Ia hanya mengelilingi kompleks istana itu
dari luar pagar tembok. Hal inipun harus ia lakukan dengan hati-hati sekali
karena di luar pagar tembokpun penjagaan amat ketatnya.
Tidak ada terjadi sesuatu yang
menarik malam itu. Kecuali memergoki beberapa orang yang mencurigakan dan
ketika ia bayangi ternyata mereka itu hanyalah maling-maling biasa yang mencari
korban di malam itu, dan yang ia biarkan saja karena tidak ada hubungannya
dengan tugasnya, ia tidak melihat sesuatu yang dapat dihubungkan dengan
Kwi-eng-cu. Dengan hati agak kecewa dan penasaran, menjelang pagi Liong-li
kembali ke rumah Cian Ciang-kun dan memasuki kamarnya tanpa diketahui tiga
orang pelayan. Iapun tidak tahu apakah Cian Hui sudah berada di dalam kamarnya.
Pada siang harinya Liong-li
keluar dari dalam kamarnya. Ia telah mandi dan makan sarapan pagi yang ia minta
dari seorang pelayan wanita. Mendengar suaranya, Cian Ciang-kun segera datang
menemuinya. Perwira itupun kelihatan lelah seperti orang yang kurang tidur.
Begitu bertemu, Cian Hui mempersilakan Liong-li duduk dan mereka bercakap-cakap
di ruangan dalam setelah pelayan menghidangkan minuman dan mengundurkan diri
tanpa diperintah.
“Bagaimana hasil
penyelidikanmu semalam, li-hiap?”
Liong-li mengangkat muka,
sepasang mata yang tajam di balik penyamaran wajah nenek keriput itu menatap
wajah Cian Hui penuh selidik. “Engkau tahu bahwa aku semalam meninggalkan
kamarku, Ciang-kun?”
Cian Hui tersenyum dan
menggeleng kepalanya. “Sebelum engkau pergi, aku telah lebih dahulu
meninggalkan rumah, dan tiga orang pelayanku sama sekali tidak melihat engkau
pergi. Akan tetapi, ada seorang di antara orang-orangku yang bertugas jaga dan
meronda malam tadi, melihat berkelebatnya bayangan hitam. Dia melapor kepadaku
dan akupun menduga bahwa bayangan itu tentu engkau.”
“Kenapa aku? Bukankah mungkin
bayangan itu adalah Si Bayangan Iblis?”
“Sudah kuceritakan kepadamu,
li-hiap, bahwa Si Bayangan Iblis itu merupakan bayangan yang menakutkan tinggi
besar dan juga di kepalanya ada dua tanduk! Akan tetapi, pembantuku yang
melapor tadi mengatakan hahwa bayangan hitam itu hanya berkelebat cepat, akan
tetapi jelas kepalanya tidak bertanduk dan juga tubuhnya ramping. Karena engkau
kemarin sudah memberitahu kepadaku bahwa malam ini engkau hendak melakukan
penyelidikan, maka tentu saja mudah bagiku untuk mengambil kesimpulan bahwa
engkaulah bayangan itu. Tidak benarkah dugaanku, li-hiap?”
Liong-li mengangguk. “Aku
melihat orang-orangmu itu, Cian Ciang-kun. Suatu usaha penjagaan yang cukup
ketat dan baik. Akan tetapi aku melihat betapa di sekeliling tembok istana
tidak terdapat orangmu yang berjaga melakukan pengamatan, Ciang-kun.”
Cian Hui menarik napas panjang
dengan wajah kesal. “Tadinya memang ada kutaruh orang-orang di sekeliling
istana, li-hiap. Akan tetapi hanya satu malam saja karena pada kesokan harinya
aku ditegur oleh panglima pasukan keamanan yang bertugas untuk menjaga bagian
luar istana. Pengamatan orang-orangku itu membuatnya tersinggung, seolah-olah
aku tidak percaya kepada pasukan yang dipimpinnya. Terpaksa aku menghentikan
penjagaan di sekeliling istana, li-hiap.”
“Hemm, sungguh sulit sekali
kalau keadaannya seperti itu. Biarpun tidak mungkin orang keluar masuk
melompati pagar tembok istana tanpa diketahui penjaga, namun sangat besar
kemungkinannya di beberapa tempat terdapat pintu rahasia dari mana orang dapat
keluar masuk. Dan kalau benar terdapat pintu rahasia, maka seorang yang
memiliki gerakan cepat dapat keluar masuk tanpa diketahui penjaga yang berjaga
di atas tembok pagar itu.
“Semalam aku tidak menemukan
sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi malam ini aku akan melakukan
penyelidikan lagi. Dan bagaimana dengan hasil yang kaudapatkan, Ciang-kun?”
“Sudah kuhubungi dan sahabatku
itu sedang mengusahakan agar engkau dapat diselundupkan masuk sebagai seorang
dayang baru, li-hiap. Dia harus lebih dulu menghubungi kepala Thai-kam dan
beberapa orang pejabat yang berwenang mengurus hal itu. Paling cepat lusa baru
engkau akan dapat memasuki istana.”
“Bagus, kalau begitu masih ada
dua malam lagi untuk melakukan perondaan. Siapa tahu akan menemukan sesuatu.
Sekarang aku minta agar engkau suka memperkenalkan nama dan keadaan orang-orang
penting di dalam istana, juga aku ingin mengetahui orang-orang di luar istana
yang sekiranya terancam bahaya pembunuhan Kwi-eng-cu, yaitu orang-orang yang
dekat dengan kaisar. Siapa tahu, sewaktu aku meronda, orang-orang ini didatangi
pembunuh.”
Dengan senang hati Cian
Ciang-kun memperkenalkan nama para pejabat tinggi di dalam istana, dari Kaisar,
Permaisuri, Putera Mahkota yang masih kecil, kepala Thai-kam yang ada beberapa
orang komandan-komandan pasukan pengawal luar dan dalam istana, dan sebagainya
lagi.
Juga Cian Ciang-kun
memceritakan kepada Liong-li tentang kekuasaan Permaisuri atas diri Kaisar,
betapa Permaisuri itu yang sekarang memegang kendali pemerintahan, walaupun
yang menandatangi semua keputusan masih kaisar. Juga perwira ini dengan
hati-hati menceritakan desas-desus yang didengarnya tentang
penyelewengan-penyelewengan gelap yang dilakukan permaisuri.
Liong-li mendengarkan semua
itu dengan tenang dan tidak merasa heran. Sudah lama ia mengetahui akan
kehidupan para wanita di dalam istana seorang kaisar yang memiliki puluhan,
bahkan sampai ratusan orang wanita yang melayaninya. Tidak mengherankan kalau
seorang permaisuri sampai melakukan penyelewengan gelap. Suaminya, sang kaisar
melakukan penyelewengan secara berterang, bukan dengan hanya seorang dua orang
wanita, bahkan dengan puluhan atau ratusan orang! Betapapun juga, desas-desus
itu dapat pula dicatat sebagai sesuatu yang penting karena siapa tahu, hal itu
ada pula hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan misterius itu.
Ia mencatat pula para pangeran
dan puteri kaisar yang tinggal di dalam istana, wajah mereka, usia mereka, nama
mereka. Ia harus menghafal semua itu karena ternyata jumlah nama yang harus
dikenal dan dihafalnya, terdapat puluhan orang! Sudah dapat ia bayangkan,
betapa akan sukarnya menyelidiki orang sebanyak itu di dalam kompleks istana
yang terjaga ketat. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir. Ia tidak akan
mencari, melainkan akan memaksa dan memancing Si Bayangan Iblis untuk keluar
dari tempat persembunyiannya dan memperkenalkan diri kepadanya!
Seperti malam pertama, pada
malam kedua Liong-li melakukan perondaan, dan sekali ini tempat-tempat yang ia
kunjungi sudah tertentu, yaitu tempat tinggal para pejabat tinggi yang oleh
Cian Ciang-kun dianggap mungkin sekali didatangi Si Bayangan Iblis. Akan
tetapi, malam itupun sunyi saja, dan agaknya Si Bayangan Iblis menghentikan
pembunuhan-pembunuhan misterius itu untuk sementara. Apakah si Bayangan Iblis
sudah tahu bahwa ada seorang wanita sakti sedang berkeliaran melacak jejaknya?
Namun, Hek-liong-li bukan
seorang yang mudah putus asa. Pada malam ketiga, kembali ia melakukan
perondaan. Tengah malam telah tiba ketika bayangannya berkelebat di dekat rumah
gedung tempat tinggal Ciok Tai-jin, seorang pembantu Menteri bagian Pemungutan
Pajak, seorang pejabat tinggi yang menurut keterangan Cian Ciang-kun, amatlah
setia dan jujur, dan karena adanya Ciok Tai-jin inilah maka rakyat tidak
dikenakan pajak semena-mena, juga yang berpenghasilan besar tidak mampu mengelak
dari kewajiban membayar pajak. Mereka yang bekerja di bawah Ciok Tai-jin, tidak
ada yang berani menyelewengkan uang pajak, atau menerima suapan dari pedagang
besar agar pajaknya diperkecil, atau menekan rakyat yang tak berdaya dengan
gertakan-gertakan mengandalkan kedudukan dan kekuasaan mereka.
Penyelewengan para pejabat
dapat dilaksanakan dengan lancar dan baik, segala bentuk penyelewengan atau
korupsi dapat dibasmi kalau dimulai dari atas! Kalau Sang Kaisar jujur dan
bersih, tidak korupsi, sudah pasti Kaisar mampu dan berani untuk bertindak
tegas dan keras terhadap para Menteri yang berani melakukan korupsi. Kalau
Menterinya sudah tidak korupsi, tentu dia akan berani melakukan tindakan tegas
terhadap para pejabat tinggi kepala daerah yang membantunya. Dan demikian
seterusnya, kalau atasannya bersih, dia berani bertindak terhadap bawahannya
sehinggga sampai di kalangan yang paling bawah tidak akan berani melakukan
penyelewengan karena atasannya yang bersih selalu bersikap tegas.
Sebaliknya, biar ditindak
dengan keras bagaimanapun juga terhadap seorang pejabat, kalau dia melihat
atasannya juga menyeleweng, tentu akan sukar membuat dia jera atau sadar. Juga
atasan yang menyeleweng tidak akan berani menegur bawahannya yang menyeleweng.
Bagaikan seorang bapak dalam sebuah keluarga, dialah yang harus lebih dulu
membersihkan diri baru dia akan dapat menegur anak-anaknya kalau mereka itu
menyeleweng dan tegurannya itu akan ditaati.
Kalau si ayah penjudi, betapa
mungkin dia melarang anak-anaknya agar tidak berjudi? Dia baru dapat melarang,
menegur, bahkan menghukum anak-anaknya yang berjudi kalau dia sendiri tidak
berjudi. Bukankah demikian kenyataannya? Sekali lagi, pemberantasan korupsi
baru akan berhasil dengan gemilang kalau pembersihan dilakukan dari atas, terus
menekan ke bawah!
Demikian pula halnya dengan
Ciok Tai-jin, Pembantu Menteri Pajak itu. Dia seorang pejabat tinggi yang
bersih dan jujur lagi setia. Bahkan saking jujurnya, namanya terkenal sebagai
seorang di antara pejabat teladan atasannya sendiri, Sang Menteri Pajak
akhirnya juga terseret ke arah yang baik karena atasan ini merasa malu hati
terhadap pembantu atau wakilnya!
Dan Ciok Tai-jin ini merupakan
seorang di antara mereka yang disebut oleh Cian Hui, yaitu mereka yang mungkin
sekali menjadi incaran Kwi-eng-cu atau Si Bayangan Iblis karena dia adalah
seorang yang setia kepada Kaisar dan penentang segala bentuk penyelewengan
sehingga dia amat dihormat dan dipercaya oleh kaisar.
Liong-li sudah merasa kesal
karena malam ini adalah malam terakhir kalau besok pagi ia dapat diselundupkan
ke istana, dan ia belum pernah melihat sesuatu yang mencurigakan. Akan
sia-sialah ia membuang waktu, tenaga dan berkorban tidak tidur selama tiga
malam selama ini?
Ia bersembunyi di balik
sebatang pohon yang tumbuh di kebun belakang rumah besar itu setelah tadi ia
melakukan pemeriksaan di seluruh permukaan atap rumah itu tanpa berjumpa dengan
sesuatu yang mencurigakan. Ia juga melihat beberapa orang petugas jaga di gardu
jaga pekarangan depan, dan melihat pula beberapa bayangan orang kadang-kadang
lewat di jalan depan rumah. Ia menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah
anak buah Cian Ciang-kun. Akan tetapi apa artinya semua penjaga dan juga anak
buah Cian Ciang-kun itu kalau benar ada seorang pembunuh yang berilmu tinggi
datang? Takkan ada yang dapat melihatnya kalau pembunuh itu mempergunakan
ilmunya.
Buktinya, ia sendiri dapat
memasuki kebun, bahkan melakukan penyelidikan ke atas atap tanpa ada yang
mengetahuinya. Andaikata ia si pembunuh misterius itu, alangkah akan mudahnya
menyelinap masuk dan mencari Ciok Tai-jin untuk dibunuhnya!
Tubuhnya juga mulai merasa
lelah, karena terbawa kesalnya hati tidak mendapatkan hasil apapun dalam
penyelidikannya. Selagi ia ragu-ragu apakah tidak akan ditinggalkannya saja dan
dihentikannya penyelidikannya malam itu, tiba-tiba ia terbelalak dan seluruh
syaraf di tubuhnya menegang, jantung berdebar tegang dan iapun siap siaga.
Ada bayangan berkelebat dan
bayangan ini jelas bukan bayangan anak buah Cian Ciang-kun, karena bayangan itu
berkelebat melompati pagar tembok dan kini bayangan itu menyelinap di sebelah
dalam kebun, bersembunyi di balik batang pohon! Agaknya setelah meloncati pagar
tembok, bayangan itu cepat bersembunyi untuk melihat apakah keadaan di dalam pagar
tembok itu aman.
Liong-li tidak berani bergerak
sedikitpun agar orang itu tidak curiga. Tadi bayangan itu berkelebat cepat
sekali seperti seekor burung saja ketika melayang dan melewati pagar tembok.
Demikian cepatnya sehingga yang dilihatnya hanya bayangan saja dan ia tidak
tahu bagaimana bentuknya, tidak tahu apakah bayangan itu memiliki tanduk
ataukah tidak!
Tak lama kemudian, ia melihat
lagi bayangan itu berkelebat, kini sudah dekat sekali dengan rumah gedung Ciok
Tai-jin. Liong-li terkejut bukan main. Bayangan itu memang pantas disebut
Bayangan Iblis karena tanpa diketahuinya, tahu-tahu bayangan itu telah menyusup
dan telah dekat dengan rumah, dan kini bayangan itu berdiri dekat sinar lampu
gantung di sudut rumah sehingga nampak bayangannya yang tinggi besar dan
jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat dua benda hitam mencuat dari
kepala bayangan itu. Bayangan itu bertanduk!
“Kwi-eng-cu (Bayangan
iblis)......!” serunya dalam hati dan Liong-li cepat menyusup dan mendekat.
Pada saat bayangan itu melayang naik ke atas wuwungan rumah, tubuh Liong-li
juga melayang dan menyusul dengan cepat sekali karena iapun mengerahkan seluruh
tenaga gin-kang sehingga tubuhnya seperti seekor naga hitam menerjang awan.
Kini si Bayangan Iblis yang
terkejut nampaknya ketika tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dan seorang
berpakaian serba hitam berkedok hitam yang bertubuh ramping telah berdiri di
depannya! Liong-li juga memperhatikan orang itu. Memang tinggi akan tetapi
tidak begitu besar, dan “tanduk” itu sesungguhnya bukan tanduk, melainkan kedok
yang bagian atas kepalanya meruncing ke atas kanan kiri sehingga kalau dilihat
dari jauh atau hanya sekelebatan saja memang mirip tanduk.
Akan tetapi, Liong-li tidak
sempat mengamati dengan jelas, bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba
saja, tanpa mengeluarkan suara, si Bayangan Iblis itu telah menerjangnya dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya!
“Hemmm......!” Liong-li
melempar tubuh ke samping sambil berjungkir balik. Tentu jarang ada yang mampu
menghindarkan diri dari hantaman tangan kiri disusul totokan tangan kanan tadi,
pikirnya.
Si Bayangan Iblis sendiri
agaknya juga terkejut dan heran. Memang jarang sekali dia bertemu orang yang
mampu menyelamatkan diri dari serangannya tadi. Biasanya dia tidak mau bekerja
setengah-setengah, sekali serang tentu lawan roboh dan tewas, maka dia selalu
mempergunakan jurus pilihan dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Namun, sekali ini dia kecelik
karena orang berkedok hitam ini mampu menghindarkan diri, bahkan kini dari
samping, lawannya membalas dengan serangan kaki. Kaki itu mencuat dalam bentuk
tendangan yang mengarah lambungnya!
“Wuuuuttt......!” Tendangan
Liong-li luput! Hal inipun memperingatkan Liong-li bahwa ia berhadapan dengan
lawan yang tangguh sekali. Tendangannya tadi merupakan serangan yang dahsyat
dan amat diandalkan, namun lawannya mampu mengelak dengan mudah!
“Huhh!” Suara ini keluar dari
balik kedok lawannya, suara yang seperti mengejek atau mendengus, keluar dari
hidung, kemudian orang itupun menyerang kalang kabut dan Liong-li semakin
kagum. Bukan main hebatnya serangan lawannya, setiap gerakan tangannya
mengandung tenaga yang amat dahsyat dan kuat, dan kecepatannya pun mengagumkan.
Di samping itu, gerakan
silatnya juga aneh sehingga ia tidak mampu mengenalnya. Untuk mengukur tenaga
lawan, ketika lengan kanan lawan itu menyambar dengan cengkeraman ke arah
kepalanya, Liong-li menyambut dengan lengan kanan pula sambil miringkan tubuh
dan mengerahkan seluruh tenaganya.
“Dessss......!!” Hebat bukan
main akibat pertemuan dua buah lengan yang dipenuhi sin-kang (tenaga sakti)
yang sudah mencapai tingkat tinggi itu. Tubuh Liong-li terpental dan ia harus
mempergunakan kelincahannya, melakukan pok-sai (salto) sampai lima kali baru
kakinya turun ke atas genteng dengan ringan. Adapun lawannya terdorong mundur
dan kakinya terjeblos ke dalam genteng yang jebol!
Sukar dikatakan siapa di
antara mereka yang lebih kuat, akan tetapi kini Liong-li sudah siap lagi karena
orang itu sudah meloncat dan menyerangnya lagi, dan terjadilah perkelahian yang
amat hebat di atas wuwungan rumah itu.
Melihat betapa lawan sangat
marah dan bersemangat melakukan penyerangan, Liong-li bersikap tenang, lalu ia
mainkan langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw. Tubuhnya bergerak-gerak, kedua
kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun tubuhnya dapat menyelinap di antara
kedua tangan dan kaki lawan yang menyambar-nyambar dengan ganasnya!
Keributan di atas genteng ini,
apa lagi ketika kaki Kwi-eng-cu (si Bayangan Iblis) tadi terjeblos ke dalam
genteng, tentu saja terdengar oleh para penjaga yang segera berlarian dan
mereka itu memasang obor. Bahkan ada beberapa orang anak buah Cian Ciang-kun
yang kebetulan meronda lewat, segera berdatangan dan tiga orang sudah meloncat
naik ke atas genteng dengan senjata di tangan.
Sejak melihat sinar-sinar
obor, Kwi-eng-cu nampak gugup dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan marah
ketika melihat tiga orang berloncatan naik ke atas genteng. Tiba-tiba tangan
kanan kirinya bergerak dan Liong-li cepat mengelak sambil mengebutkan ujung
lengan bajunya ketika melihat sinar-sinar hitam kecil menyambar.
Ia terhindar dari sambaran
benda-benda yang merupakan senjata rahasia itu, akan tetapi tiga orang yang
berlompatan naik berteriak kesakitan dan merekapun roboh di atas genting.
Liong-li meloncat dan melakukan pengejaran ketika Kwi-eng-cu melompat jauh dari
atas wuwungan itu.
Terjadi kejar-mengejar di atas
wuwungan, akan tetapi si Bayangan Iblis itu sudah melompat turun dan lenyap di
antara pohon-pohon di dalam kebun. Liong-li juga melompat turun. Ia masih
sempat melihat orang yang dikejarnya itu melompati pagar tembok, maka diapun
cepat lari mengejar dan melompati pagar tembok, tidak perduli kepada para
penjaga keamanan yang melihat mereka dan berteriak-teriak mengejar dengan obor
di tangan kiri dan golok di tangan kanan.
Sayang malam itu gelap
sehingga ketika dia tiba di luar pagar tembok rumah Ciok Tai-jin, ia kehilangan
jejak. Akan tetapi, ia melihat sesosok bayangan lari di depan.
“Hemm, hendak lari ke mana
kau?”' teriaknya dan iapun mengejar sambil mengerahkan tenaga. Dan sekali ini
ia berhasil menyusul bayangan itu dan tiba-tiba, Bayangan itupun membalik dan
menusukkan pedangnya ke arah dada Liong-li!
“Hemm......!” Liong-li
mengelak dengan mudah saja dan iapun membalas dengan tendangan kakinya.
Lawannya menarik pedang dan miringkan tubuh, lalu pedang di tangannya itu
menyambar turun untuk memapaki kaki Long-li yang menendang.
Liong-li tersenyum mengejek,
menarik kakinya dan kini tangan kirinya menyambar ke arah pelipis lawan, sedangkan
tangan kanannya menotok ke arah siku kanan yang menonjol ke samping! Gerakannya
cepat sekali dan lawannya mengeluarkan seruan kaget lalu melompat be belakang.
“Hemmmm......!” Liong-li
berseru juga dengan heran lalu kakinya menyambar dahsyat. Orang itu mengelak
lagi, akan tetapi pinggangnya masih kena dicium pinggir sepatu Liong-li
sehingga dia terhuyung, lalu dia membalikkan, tubuhnya dan lari!
“Ehhh?” Liong-li merasa
semakin heran.
Orang berkedok dan berpakaian
hitam ini serupa benar dengan yang ditempurnya di wuwungan rumah tadi, akan
tetapi ia merasakan dengan jelas bahwa tingkat kepandaian orang pertama tadi
jauh lebih tinggi dari pada kepandaian orang berpedang ini, walaupun yang kedua
inipun merupakan lawan tangguh! Ia merasa curiga sekali dan menduga bahwa
agaknya ada dua orang Kwi-eng-cu!
“Hemm, hendak lari ke mana
kau?” teriaknya dan iapun melakukan pengejaran.
Kota raja sudah sunyi sekali
karena malam sudah amat larut, sudah jauh lewat tengah malam. Hanya orang mabok
saja yang masih berkeliaran di jalan raya, akan tetapi karena mereka itu mabok,
tentu saja melihat dua orang lari berkejaran mereka tidak mengambil pusing.
Aku harus tahu di mana
sarangnya, pikir Liong-li. Akan tetapi, orang itu tidak lari ke arah istana
seperti yang disangkanya, bahkan yang diharapkannya, melainkan lari ke arah
selatan menjauhi istana! Pintu gerbang selatan memang tidak jauh dari situ.
Biar dia lari dari pintu
gerbang, pikir Liong-li. Menurut Cian Ciang-kun, pada waktu itu, pintu-pintu
gerbang kotaraja di jaga ketat, maka kalau si bayangan hitam itu lari ke situ,
tentu akan ketahuan dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri keluar pintu
gerbang.
Akan tetapi, ia menahan seruan
kagetnya ketika melihat orang yang dikejarnya itu terus saja berlari
menghampiri pintu gerbang, dan setelah tiba di pintu yang tertutup itu,
tubuhnya meloncat ke atas dan tidak ada seorang pun penjaga yang mencegah
perbuatannya atau yang kelihatan menghadang atau berteriak menegur!
Tentu saja Liong-li tidak
memperdulikan keadaan itu dan terus mengejar dengan melompat ke atas pintu
gerbang pula, melalui bangunan gardu seperti yang dilakukan orang yang
dikejarnya. Setelah tiba di luar pintu gerbang, ia terus mengejar karena
melihat si Bayangan Iblis itu lari ke arah kiri. Akan tetapi, yang dikejarnya
itu lenyap di balik sebatang pohon besar. Untung banyak bintang kini
bermunculan di langit yang telah ditanggalkan awan sehingga biarpun
remang-remang cuaca tidaklah terlalu gelap.
Ketika ia tiba di dekat pohon,
tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Ia mengelak dan membalas serangan
orang itu. Kiranya si Bayangan Iblis telah menyerangnya dengan pedangnya.
Tendangannya membuat lawannya menarik pedang yang kini diangkat tinggi dan
dibacokkan ke arahnya. Akan tetapi tanpa menggerakkan kakinya, dengan tendangan
berantai, Liong-li “memasuki” dada yang terbuka itu.
“Desss!” Perut orang itu
bertemu dengan tumitnya dan orang itupun terjengkang. Dia bergulingan dan
menggerakkan tangan kiri. Liong-li yang mengejar, terpaksa mengelak untuk
menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia sehingga orang itu memperoleh
kesempatan untuk lari lagi.
“Jangan lari kau!” bentak
Liong-li akan tetapi lawan telah menghilang di balik batang pohon di depan.
Ketika ia mengejar, tiba-tiba
ada lagi serangan dari kiri. Ini tidak mungkin orang yang lari tadi, pikirnya
heran, apa lagi ketika serangan itu jauh lebih dahsyat dari pada orang tadi,
walaupun bayangan itu masih sama gesitnya, dan juga berpedang.
Demikian cepat dan dahsyatnya
serangan ini sehingga Liong-li terkejut, nyaris pundaknya terbabat pedang.
Untung ia masih sempat menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw sehingga biarpun
terhuyung, ia mampu menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi itu.
Kemudian, di dalam keremangan
cuaca, ia melihat sebatang ranting pohon di bawah pohon di mana mereka
berkelahi. Ketika pedang membabat dan berputaran untuk menutup semua jalan
keluar, Liong-li menggunakan tubuhnya dan menyambar ranting itu. Sambil
meloncat, ujung rantingnya menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang
pedang.
“Auhh!” Orang itu tidak
menyangka sama sekali akan kelihaian Liong-li dalam menggunakan senjata yang
hanya berupa sebatang ranting itu! Tentu saja Liong-li lihai bukan main
memainkan ranting karena selain ilmu pedang, juga ia telah mewarisi ilmu silat
tongkat dari suhunya, yaitu Huang-ho Kui-bo yang merupakan tokoh sakti yang
terkenal dengan ilmu tongkatnya! Bahkan ilmu pedangnya juga bersumber dari ilmu
memainkan tongkat ini!
Namun orang itu ternyata lihai
juga. Biar pun pergelangan tangan kanannya tertotok ujung ranting, sehingga
pedangnya terlepas, namun pedang itu dapat disambar oleh tangan kirinya dan
iapun memutar pedangnya dengan marah. Liong-li terpaksa melangkah mundur
menghindarkan sambaran pedang. Akan tetapi pada saat itu, lawannya melompat
jauh ke belakang lalu melarikan diri memasuki sebuah hutan kecil.
Liong-li adalah seorang wanita
yang selain sakti, juga cerdik bukan main. Melihat lawannya melompat ke dalam
hutan yang gelap, ia tidak mau mengejar. Apa lagi ia tadi merasa dilawan oleh
tiga orang yang berlainan, walaupun mereka semua mengenakan pakaian dan kedok
yang sama, dan ketiganya lihai dan memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
yang hebat.
Ia tidak mau masuk perangkap
lawan. Selain itu, iapun tidak mau menanti sampai hari menjadi terang karena ia
sendiripun melakukan penyamaran dan tidak ingin dikenal orang. Maka, iapun
cepat memutar tubuhdan lari secepatnya menuju ke pintu gerbang.
Ia harus menyelidiki para
penjaga pintu gerbang, kenapa mereka itu sama sekali tidak menegur dan tidak
menghalangi ketika ia berkejaran dengan Si Bayangan Iblis keluar dari Kota raja
melalui pintu gerbang tadi. Apakah para penjaga itu termasuk sekutu Si Bayangan
Iblis?
Setelah Liong-li memasuki
gardu penjagaan dan melihat belasan orang perajurit penjaga pintu gerbang itu,
barulah ia tahu mengapa Si Bayangan Iblis mampu keluar dari pintu gerbang tanpa
terganggu para penjaga. Kiranya para penjaga itu semua dalam keadaan pingsan
tertotok!
Makin yakinlah hatinya bahwa
Si Bayangan Iblis itu bukan hanya satu orang saja! Yang bertempur dengannya
tadi saja ia taksir tiga orang yang berlainan, dan mungkin lebih banyak lagi
melihat bahwa ada pula yang menotok para penjaga sampai pingsan. Ia tidak
menyadarkan para penjaga. Biarlah, ini bagian Cian Ciang-kun untuk menyelidiki
dan menanyai mereka. Iapun terus saja memasuki kota dan menuju ke rumah Cian
Ciang-kun.
Akan tetapi ketika ia melewati
rumah itu, perasaannya yang peka itu memberi isyarat kepadanya dan
kecerdikannya pun bekerja. Tidak, pikirnya, ia tidak boleh memasuki rumah Cian
Ciang-kun! Siapa tahu kalau ada pihak lawan yang membayanginya. Kalau ia tadi
mampu membayangi lawan, kini berbalik mungkin sekali lawan membayanginya sejak
di luar kota tadi!
Kalau benar demikian, tentu
mereka akan mengetahui bahwa ia tinggal di rumah Cian Ciang-kun sehingga akan
terbongkarlah rahasianya! Dan hal ini berbahaya sekali! Tidak, ia harus dapat
menghilangkan jejaknya sebagai si kedok hitam yang jelas menentang pembunuh
misterius yang berjuluk Kwi-eng-cu itu.
Tanpa ragu dan tanpa menengok
sedikitpun ke arah rumah Cian Ciang-kun maupun ke belakang, Liong-li terus saja
bergerak menuju ke sebuah kuil! Tidak ada tempat yang lebih baik untuk
menghilangkan jejaknya kecuali di kuil besar itu.
Pada masa itu, agama Buddha
sedang berkembang dengan baiknya dan diterima oleh keluarga kaisar, maka kuil
yang berada di kota raja amat besar. Banyak dikunjungi tamu, bahkan ada pula
tamu-tamu yang sengaja bermalam di kuil itu. Juga di situ penuh dengan hwesio
yang beribadat dan saleh.
Selama tiga hari ini, Liong-li
sudah berkeliling kota dalam penyelidikannya, dan iapun tidak melewatkan kuil
ini. Sudah dikunjunginya beberapa kali sebagai seorang nenek, namun tidak ada
yang mencurigakan di kuil itu.
Penyelidikannya membuat ia
tahu akan keadaan kuil itu, maka tanpa ragu lagi ia menyelinap masuk ke dalam
ruangan depan kuil yang sunyi karena baik para tamu maupun para pendeta sudah
beristirahat. Hanya meja sembahyang masih nampak ada lilin bernyala dan asap
sisa hio masih memenuhi ruangan.
Ketika memasuki ruangan itu,
Liong-li diam-diam melepas pakaian hitamnya, kemudian menyelinap ke tempat yang
gelap dan cepat sekali ia merobah penyamarannya. Lima menit kemudian, ketika ia
keluar dari tempat gelap, ia telah menjadi seorang nenek keriputan yang membawa
buntalan dan berjalan agak bongkok, yang masuk ke ruangan di mana para tamu
yang ingin memohon sesuatu di kuil itu bermalam.
Iapun mencampurkan diri dengan
para tamu perempuan yang masih tidur dalam ruangan kosong yang luas itu, tidur
malang melintang dan iapun merebahkan diri memeluk buntalannya yang
sesungguhnya berisi pakaian dan kedok hitamnya tadi. Ia menanti sambil
berpura-pura tidur.
Tak lama kemudian ia mendengar
gerakan kaki di luar ruangan, lalu sebuah kepala muncul di balik jendela.
Sepasang mata yang tajam menyapu ruangan itu. Kepala seorang laki-laki yang
usianya kurang lebih empatpuluh tahun, bermuka persegi dan bermata tajam
sekali. Ia melihat orang itu memiringkan kepala dan iapun tahu bahwa orang itu
sedang melakukan penyelidikan dengan pendengarannya yang tajam terlatih. Maka
iapun mengatur pernapasannya, seperti orang tidur nyenyak.
Tak lama kemudian, kepala
itupun menghilang. Akan tetapi ia masih belum mau bergerak. Ia harus
berhati-hati. Mungkin lawan yang membayanginya sedang mencari-cari di seluruh
kuil karena ia memang tadi menghilang ke dalam kuil.
Benar saja dugaannya. Tak lama
kemudian, kembali kepala itu muncul dan mengamati seluruh ruangan, seluruh
perempuan yang tidur, seperti hendak memilih siapa di antara mereka itu orang
yang dicarinya. Dan Liong-li tetap saja tidak bergerak, bahkan ia mengeluarkan
suara mendengkur lirih! Hatinya tersenyum geli, akan tetapi juga memuji diri
sendiri akan ketelitiannya.
Terdengar kepala di jendela
itu menghela napas, agaknya kecewa karena kehilangan orang yang dibayanginya.
Setelah mengamati semua orang selama hampir seperempat jam lamanya, akhirnya
kepala itupun menghilang dan Liong-li mendengar langkah kaki meninggalkan
tempat itu. Jelas bahwa orang itu tidak ada nafsu lagi untuk menyelidiki,
buktinya langkahnya berat dan acuh.
Setelah terdengar ayam
berkokok dan beberapa orang di antara para tamu wanita itu, ada yang terbangun.
Liong-li juga bangun dan berlagak seperti orang yang baru bangun tidur, membereskan
rambutnya yang awut-awutan lalu bangkit meninggalkan ruangan itu. Sikap dan
penampilannya demikian wajar sehingga tidak mencurigakan siapapun.
Siapa yang akan mencurigai
seorang nenek tua yang mungkin mintakan ramalan untuk dirinya, atau mungkin juga
memintakan obat untuk cucunya yang sakit, di kuil itu? Dengan
terbongkok-bongkok Liong-li yang kini sudah berubah menjadi seorang nenek
keriputan itu meninggalkan kuil, terseok-seok dengan muka tunduk berputar-putar
dulu untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak dibayangi orang, baru ia melewati
gedung Cian Ciang-kun dan memasuki pekarangan.
Tiga orang pelayan itu
memandang heran. Mereka tahu bahwa majikan mereka mempunyai seorang tamu, akan
tetapi setahu mereka, nenek tua yang menjadi tamu itu tidak pernah meninggalkan
kamarnya. Bagaimana sekarang tahu-tahu telah datang dari luar? Untung bahwa
Cian Ciang-kun yang sejak pagi menanti dengan gelisah, segera menyambutnya.
“Aih, bibi, sepagi ini engkau
sudah berjalan-jalan?” tegurnya dan diapun segera membimbing “bibinya” yang
dari dusun itu dan diajaknya masuk.
Tiga orang pelayan itu
menggeleng-geleng kepala setelah majikan mereka menggandeng nenek itu masuk.
Mereka tahu bahwa majikan mereka adalah seorang yang baik budi, akan tetapi
belum pernah mereka melihat majikan mereka mempunyai seorang bibi dari dusun
yang sudah tua dan yang agaknya amat dihormati dan disayang oleh majikan
mereka. Akan tetapi, tentu saja urusan keluarga itu tidak menarik perhatian
mereka.
“Wah, engkau sungguh membuat
aku menjadi gelisah bukan main, Li-hiap. Apa saja yang kaudapatkan semalam
sehingga engkau sampai pulang terlambat dan sudah menyamar lagi sebagai seorang
nenek?” Cian Ciang-kun yang cerdik segera dapat menduga bahwa tentu pendekar
wanita itu telah menemukan sesuatu.
Liong-li lalu menceritakan apa
yang telah dialaminya semalam, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cian
Ciang-kun. Ketika Liong-li bercerita tentang para penjaga pintu gerbang selatan
yang pingsan tertotok semua, dia cepat bertepuk tangan dan seorang pelayan pria
muncul di ambang pintu.
“Cepat kau pergi keluar dan
undang Teng Ciang-kun ke sini. Cepat!”
Pelayan itu berlari keluar dan
tak lama kemudian dia sudah kembali bersama seorang laki-laki berusia
empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dia adalah Teng
Ciang-kun, seorang perwira yang setia membantu Cian Ciang-kun dan tinggalnya
pun di bangunan kecil sebelah depan rumah Cian Ciang-kun yang menjadi
atasannya.
Teng Ciang-kun memberi hormat
tanpa memperdulikan nenek tua yang duduk di situ. Dia adalah seorang petugas
yang setia dan amat baik, melaksanakan segala tugas yang diperintahkan
atasannya dengan taat dan tidak pernah ingin tahu akan urusan pribadi
atasannya. Maka diapun acuh saja melihat hadirnya seorang nenek di situ, hal
yang sebenarnya tidak wajar dan tidak seperti biasa.
“Teng Gun, cepat engkau pergi
ke pintu, gerbang selatan dan selidiki kepada semua perajurit yang bertugas
jaga semalam, apa yang terjadi dengan mereka. Atau lebih baik lagi engkau bawa
saja komandan jaganya ke sini, katakan bahwa aku mempunyai kepentingan dengan
dia. Sekarang juga!”
Teng Gun atau Teng Ciang-kun
memberi hormat lalu pergi. Terdengar suara derap kaki kuda, tanda bahwa dia
berkuda agar dapat melaksanakan tugas itu dengan cepat.
Sambil menanti kembalinya Teng
Ciang-kun, Cian Hui melanjutkan percakapannya dengan Liong-li.
“Jelaslah sekarang bahwa Si
Bayangan Iblis bukan hanya satu orang saja, Ciang-kun. Yang berkelahi dengan
aku sedikitnya ada tiga orang Kwi-eng-cu yang berlainan. Hal ini dapat kukenal
dari tingkat kepandaian mereka. Sungguh berbahaya sekali, mereka itu semua amat
lihai, terutama orang pertama yang kuhadang di atas genteng rumah Ciok Tai-jin.
Terlambat sedikit saja, Si Bayangan Iblis itu tentu sudah masuk dan berhasil
membunuh Ciok Tai-jin.”
“Hemm, belum tentu, Li-hiap.
Ketahuilah bahwa di dalam rumah wakil Menteri Pajak itu terdapat seorang jagoan
yang amat lihai, seorang murid dari orang sakti di Kun-lun-san. Kabarnya jagoan
itu murid Kun-lun-pai yang amat tangguh. Karena adanya jagoan itulah maka
akupun tidak melakukan penjagaan ketat di dekat rumah Ciok Tai-jin, seperti di
rumah para pejabat tinggi lain yang kuanggap mungkin akan diserang oleh
Kwi-eng-cu.”
“Hemm, bagus kalau begitu. Dia
seorang pengawal pribadi pembesar itu?” tanya Liong-li tertarik.
“Bukan pengawal, melainkan
masih anggauta keluarga. Ia adalah keponakan wanita isteri pembesar itu.”
“Hemm, seorang wanita?”
“Ia, seorang wanita yang masih
muda dan cantik, sebaya dengan engkau, li-hiap. Kalau orang melihatnya, tentu
tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang gemblengan
dan lihai sekali. Namanya Sui In dan ia terkenal sekali. Aku sendiri belum
pernah melihat kehebatan ilmu silatnya, namun dari kawan-kawan, aku dapat
mengukur bahwa tingkat kepandaiannya tentu jauh melebihi tingkatku.”
“Wahh.......!” Liong-li
berseru kagum. “Tentu hebat sekali wanita itu, dan kalau usianya sebaya
denganku, tentu ia telah bersuami.......”
“Memang pernah bersuami, akan
tetapi kini ia menjadi janda tanpa anak, karena suaminya menjadi seorang di
antara korban-korban pertama pembunuhan Si Bayangan Iblis. “
“Ahhh......!” Liong-li
termenung.
“Memang kasihan sekali wanita
muda itu. Akan tetapi sudahlah, memang sudah nasibnya dan bukan hanya suaminya
saja yang menjadi korban.”
Pada saat itu terdengar bunyi
derap kaki dua ekor kuda dan tak lama kemudian muncullah Teng Ciang-kun dan
seorang komandan jaga yang nampaknya berwajah kusut dan agak pucat, sinar
matanya memandang ketakutan. Ketika bertemu dengan Cian Hui, dia segera memberi
hormat sambil menekuk lutut kanannya dan suaranya terdengar penuh permohonan,
“Mohon kebijaksanaan Ciang-kun
agar peristiwa itu tidak dilaporkan kepada panglima. Sungguh mati kami
tujuhbelas orang sama sekali tidak berdaya menghadapi bayangan yang bergerak
demikian cepatnya, dan tahu-tahu kami sudah kehilangan kesadaran dan tidak tahu
apa yang telah terjadi. Baru pagi tadi kami sadar dan seperti baru bangun dari
tidur saja. Semua peristiwa itu bagaikan mimpi saja, akan tetapi ketika kami
saling bercakap-cakap, tahulah kami bahwa peristiwa itu bukan mimpi dan kami
ketakutan, tidak berani melapor ke atasan karena kami takut dituduln lengah.”
“Hemm, coba ceritakan dengan
sejelasnya, apa yang telah terjadi, baru akan kupertimbangkan apakah kalian
patut dilaporkan ataukah tidak,” kata Cian Hui dengan suara tegas.
Komandan jaga itu menceritakan
betapa semalam, ketika sebagian anak buahnya berjaga dan meronda dan sebagian
lagi mengaso di gardu, tiba-tiba mereka yang berada di luar gardu berjatuhan
tanpa mengeluarkan suara. Ketika para penjaga lainnya keluar, mereka disambut
oleh bayangan yang berkelebatan dan merekapun roboh satu demi satu.
“Saya sendiri ketika itu
sedang berada di belakang, Mendengar suara berisik di depan, saya segera
berlari keluar dan sempat melihat anak buah saya terakhir roboh dan
berkelebatnya bayangan.......”
“Seperti apa bayangan itu?”
tanya Cian Hui.
Wajah komandan jaga itu
semakin pucat dan dengan gelisah dia mengerling ke arah Liong-li, Hatinya
diliputi keraguan melihat adanya seorang nenek yang tidak dikenalnya di situ,
ikut mendengarkan percakapan yang memalukan itu.
“Hayo katakan. Ini bibiku
sendiri, tidak perlu kau sungkan!” kata pula Cian Hui. “Seperti apa bayangan
itu?”
“Dia...... dia tinggi besar,
bertanduk..... Si Bayangan Iblis.....” suaranya gemetar.
“Lalu apa yang kaulakukan?”
“Saya mencabut pedang dan
menyerang keluar, mengejar Si Bayangan Iblis dengan nekat. Akan tetapi,
tiba-tiba saja pedang saya terlepas dan mata saya menjadi gelap. Tahu-tahu pagi
tadi saya siuman seperti yang lain, seperti baru bangun tidur saja.”
Liong-li yang ikut
mendengarkan dapat memaklumi peristiwa itu. Si Bayangan Iblis memang lihai
bukan main dan memiliki keringanan tubuh dan kegesitan yang luar biasa.
Para penjaga itu adalah
perajurit-perajurit biasa, bukan pasukan khusus, maka tentu saja dengan mudah
dapat dirobohkan Si Bayangan Iblis tanpa mereka mampu mengenalnya. Kalau
pasukan khusus yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan tentu akan lain
lagi halnya, setidaknya para perajurit pasukan khusus tentu akan dapat
melakukan perlawanan dan lebih banyak kemungkinan mereka akan dapat mengenal
bayangan itu.
Agaknya Cian Hui juga
berpendapat demikian, maka setelah dia melirik ke arah Liong-li yang nampak
tidak tertarik, dia lalu berkata, “Sudahlah, engkau boleh pergi. Aku tidak akan
melaporkan ke atasan, akan tetapi mulai sekarang, kalau terjadi hal-hal
mencurigakan di pintu gerbang, engkau harus cepat melaporkannya kepadaku atau
menyampaikan kepada pembantuku Teng Gun.”
Komandan jaga itu nampak
girang mendengar ini. Bagaikan seekor ayam makan padi, kepalanya
mengangguk-angguk dan diapun berpamit lalu pergi dari situ dengan hati lega.
“Bagaimana pendapatmu,
Li-hiap?” setelah mereka hanya berdua saja, Cian Hui bertanya.
Liong-li mengerutkan alisnya.
“Jelas bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu orang saja dan
pembunuhan-pembunuhan misterius itu tentulah didalangi orang pandai yang
mempunyai banyak anak buah! Dan mengingat bahwa mereka itu mampu bergerak
leluasa dam menghilang penuh rahasia, aku semakin condong menduga bahwa mereka
tentu bersembunyi di dalam istana, atau setidaknya, pemimpinnya berada di dalam
istana. Bagaimana Ciang-kun, tentang rencana kita agar aku dapat diseludupkan
ke istana?”
“Beres, Li-hiap! Sore hari ini
juga engkau dapat dibawa ke istana. Sudah kuhubungi para pejabat di istana yang
kukenal baik. Aku menceritakan bahwa engkau keponakanku dari dusun yang ingin
sekali menjadi dayang, dan akhirnya kepala Thai-kam (laki-laki kebiri) yang
mengepalai para dayang, yaitu Bong Thai-kam, dapat menerimamu. Ketika dia
menanyakan namamu, aku mengatakan bahwa engkan she Kim bernama Siauw Hwa, akan
tetapi sejak kecil biasa disebut Akim.”
“Bagus sekali nama itu,
Ciang-kun!” Liong-li memuji.
“Ah, aku hanya ingat bahwa
namamu memakai huruf Kim (emas), maka kupergunakan nama itu yang juga bisa
dipakai sebagai nama keturunan. Sudah kupersiapkan perlengkapan yang harus
kaubawa sebagai seorang gadis dusun, dan sebaiknya kalau engkau menyamar
sebagai gadis dusun yang tidak terlalu cantik akan tetapi juga jangan terlalu
buruk.”
“Kenapa begitu, ciang-kun?”
Liong-li menatap wajah perwira itu sambil tersenyum. “Bagaimana kalau aku
membiarkan wajahku yang aseli?”
“Wah, jangan! Berbahaya kalau
begitu. Baru sehari saja di sana tentu para pangeran akan saling
memperebutkanmu, engkau pantas menjadi seorang puteri!”
“Ih, engkau memuji atau
merayu, ciang-kun?”
“Boleh kauanggap kedua-duanya.
Akan tetapi aku bicara serius. Di istana penuh dengan pangeran-pangeran mata
keranjang, dan aku mendengar di sana penuh dengan hubungan-hubungan gelap dan
kotor karena para pangeran itu tidak malu atau segan untuk mengganggu selir dan
dayang ayah mereka.”
“Hemmm......” Liong-li
mengangguk-ngangguk. Hal inipun tidak aneh baginya karena sudah banyak
mendengar akan kehidupan kotor di balik gemerlapnya kedudukan tinggi dan penuh
kehormatan itu.
“Oleh karena itulah maka amat
berbahaya kalau engkau kelihatan terlalu cantik di istana, Li-hiap. Bukan saja
niatmu melakukan penyelidikan akan menemui banyak rintangan, juga dirimu
sendiri menjadi pusat perhatian dan akan datang gangguan yang akan menyulitkan
keadaan dirimu. Sebaliknya, kalau penyamaranmu itu kelihatan terlalu jelek,
juga akan mencurigakan, karena bagaimana mungkin seorang gadis yang buruk rupa
dapat diterima sebagai dayang?”
“Tidak terlalu cantik akan
tetapi tidak terlalu buruk, hemmm, memang sukar sekali, akan tetapi aku tahu
apa yang kaumaksudkan, Ciang-kun. Jangan khawatir, aku tidak akan nampak
terlalu buruk, akan tetapi setiap orang pria di istana kalau bertemu dengan
aku, sudah pasti tidak akan tertarik.”
“Harap engkau jangan khawatir,
Li-hiap. Aku yang telah menerima bantuanmu, tentu tidak akan membiarkan engkau
begitu saja. Syukur kalau penyelidikanmu berhasil dan rahasia pembunuhan itu
dapat dipecahkan. Andaikata engkau menemui kesulitan di istana dan tidak ada
jalan keluar lagi, akulah yang akan menghadap kaisar sendiri, dan aku yang akan
bertanggung jawab, akan kuceritakan semua kepada kaisar sebab kehadiranmu di
istana dan aku yakin, mengingat akan jasa-jasaku, kaisar akan suka memenuhi
permohonanku untuk mengampuni dan membebaskanmu.”
Terharu juga hati Liong-li
mendengar janji ini. Ia tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar janji kosong. Orang
segagah Cian Hui ini tentu tidak akan mundur dari tanggung jawab. Akan tetapi
ia tidak menghendaki tugas ini gagal seperti itu.
“Kalau aku menemui kesulitan,
tidak perlu engkau menghadap kaisar, Cian Ciang-kun, akan tetapi sampaikan saja
suratku ini kepada rekanku.”
“Pek-liong-eng (Pendekar Naga
Putih)?” Cian Ciang-kun segera menduga.
Liong-li tidak merasa heran.
Memang dunia kang-ouw sudah mengetahui belaka bahwa Hek-liong-li dan
Pek-liong-eng adalah dua sekawan yang tak terpisahkan, apa lagi kalau
menghadapi lawan tangguh dan bahaya besar.
“Benar, apakah engkau sudah
tahu di mana harus mencari dan menemuinya, Ciang-kun?”
Cian Ciang-kun mengangguk.
Sebagai seorang penyelidik terkenal di kota raja, tentu saja dia sudah
menyelidiki di mana alamat pendekar luar biasa yang menjadi rekan dari Hek-liong-li
itu.
“Dusun Pat-kwa-bun dekat
Telaga See-Ouw di Hang-kouw?”
Liong-li mengangguk kagum.
Orang ini memang pantas menjadi seorang penyelidik besar yang terkenal di kota
raja. Ia menyerahkan sesampul surat yang sudah ia persiapkan kepada perwira itu.
“Hanya kalau engkau mendengar
bahwa aku menghadapi kesulitan dan terancam bahaya saja kau serahkan surat ini
kepadanya. Kalau tidak, harap jangan engkau mengganggu ketenteramannya, Cian
Ciang-kun!”
Siang hari itu, Liong-li
beristirahat dan tidur untuk memulihkan kembali tenaganya dan menghilangkan
lelahnya. Ia menghadapi pekerjaan besar dan berbahaya dan ia harus memiliki
tubuh yang sehat dan pikiran yang jernih kalau masuk ke dalam istana sore
nanti.
◄Y►
Dusun Kim-tang merupakan dusun
terakhir di sepanjang jalan panjang menuju ke Telaga See-ouw dan karena semua
pelancong yang menuju ke Telaga See-ouw yang indah itu harus melewati dusun
ini, maka dusun menjadi ramai dan penghuninya semakin banyak. Mereka membuka
kedai-kedai minuman dan makanan, bahkan ada pula yang membuka rumah penginapan
sederhana. Kalau ada pelancong kemalaman di tengah perjalanan, tentu mereka
akan merasa senang sekali mendapatkan rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah
makan di dalam dusun ini.
Karena dusun itu seringkali
dikunjungi pelancong-pelancong dari kota yang hendak pesiar ke Telaga See-ouw,
maka para penghuni dusun itu sudah biasa melihat orang-orang kota yang
berpakaian mewah, melihat pria-pria tampan, dan wanita-wanita cantik.
Itulah sebabnya, ketika
seorang wanita yang amat menarik memasuki sebuah rumah makan di dusun itu pada
suatu sore, tidak ada yang merasa heran, walaupun hampir setiap orang pria yang
melihat wanita ini, otomatis mengangkat muka dan sepasang mata mereka
mengeluarkan sinar penuh kagum. Seorang wanita yang cantik manis dengan tubuh
yang penuh lekuk lengkung yang matang menggairahkan! Seorang wanita yang
membuat setiap orang pria yang berpapasan dengannya tak dapat menahan diri
untuk tidak menoleh dan memandang sekali lagi penuh kagum.
Wanita itu memasuki rumah
makan dengan langkah perlahan dan lenggang yang gontai, tanda bahwa ia lelah.
Namun lenggang yang seenaknya itu bahkan membuat pinggulnya menari-nari dengan
indahnya, tidak dibuat-buat, dan pinggang yang ramping itu seperti batang pohon
yang-liu tertiup angin ribut sehingga meliuk-liuk ke kanan kiri dengan
lenturnya!
Usianya sekitar duapuluh enam
tahun. Wajahnya manis dan jelita, terutama sekali yang indah dan penuh daya
tarik adalah mata dan mulutnya.
Mata itu demikian jeli dan
kocak, dengan kerling-kerling yang amat tajam. Mata yang sipit namun lebar itu
agaknya dapat melihat ke semua arah tanpa menggerakkan leher. Bulu matanya yang
lebat melindungi mata itu sehingga ke mana arah lirikannya tidak begitu
menyidik.
Dan mulutnya! Melihat mulut
itu saja, bagi seorang pria yang panas, sudah merupakan suatu penglihatan yang
menantang dan mendebarkan, seolah-olah mulut itu menantang untuk dicinta dan
dicium. Sepasang bibir yang penuh dan lembut, dengan garis bibir melengkung
seperti gendewa dipentang, kulit bibir tipis dan kemerahan selalu nampak
kebasah-basahan, segar seperti buah masak dan lekuk-lekuk tipis membayang di
kanan kiri mulut. Deretan gigi putih kadang-kadang mengintai dari balik belahan
bibir kalau ia bicara. Bukan main!
Akan tetapi, ada sesuatu pada
wanita itu yang membuat para pria yang memandang kagum, tidak berani
sembarangan memperlihatkan kekaguman mereka secara kurang ajar atau tidak
sopan. Wanita itu mengenakan pakaian serba hijau yang ketat, yang membuat
keindahan bentuk tubuhnya nampak nyata, dengan lekuk lengkung sempurna di
tempat-tempat tertentu.
Dan di punggungnya, selain
tergendong sebuah buntalan pakaian dari kain kuning, juga nampak gagang
sepasang pedang yang disatukan! Dan sikap tenang itu, di samping sepasang pedangnya,
menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang bukan saja cantik jelita, akan
tetapi juga tidak boleh dibuat sembarangan. Seorang wanita kang-ouw!
Dugaan itu tidak keliru.
Wanita ini bukan lain adalah wanita yang pernah dibicarakan oleh Cian Hui kepada
Hek-liong-li. Ia adalah Cu Sui In, keponakan dari isteri CiokTai-jin di kota
raja. Cu Sui In memang benar murid Kun-lun-pai, yang boleh dibilang sudah
menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari Kun-lun-pai.
Hal ini tidaklah aneh kalau
diketahui bahwa wanita ini sejak berusia lima tahun, telah digembleng oleh
seorang di antara pimpinan Kun-lun-pai. Sampai berusia duapuluh tahun, selama
limabelas tahun ia belajar ilmu-ilmu yang tinggi dan ditambah pula dengan
bakatnya, maka setelah dewasa iapun menjadi seorang pendekar wanita
Kun-lun-pai.
Selain lihai ilmu silat tangan
kosongnya, dan pandai memainkan delapanbelas macam senjata, Sui In memiliki
keistimewaan dalam ilmu pedang pasangan dan iapun menerima hadiah sepasang
pedang yang amat baik dari para pimpinan Kun-lun-pai ketika ia meninggalkan
perguruan Kun-lun-pai yang terkenal itu.
Setelah meninggalkan
perguruan, iapun diajak oleh bibinya ke kota raja. Bibinya menjadi isteri
Pembantu Menteri Pajak, Ciok Tai-jin, dan tentu saja sebagai seorang gadis yang
amat cantik, sebentar saja pinangan datang bagaikan hujan. Akhirnya, mengingat
usianya yang sudah duapuluh tahun, dan dalam keadaan yatim piatu, dia tidak
menolak ketika bibinya dan pamannya memilihkan jodoh untuknya.
Jodohnya itu seorang
terpelajar yang sudah lulus ujian negara dan telah diangkat menjadi seorang
pejabat yang memiliki masa depan yang amat baik. Dia seorang pemuda she Cia dan
tentu saja pilihan seorang pejabat tinggi yang jujur seperti Ciok Tai-jin,
pemuda Cia inipun seorang pejabat yang jujur dan aetia. Dan memang benar
pilihan Ciok Tai-jin, dalam waktu lima tahun saja, kedudukan, suami Sui In
meningkat tinggi karena dia dipercaya oleh kaisar dan merupakan seorang pejabat
yang amat baik.
Karena suaminya seorang yang
lembut dan baik, maka setelah menjadi isteri Cia, Sui In mencintai suaminya
dengan sepenuh hatinya. Hanya sayang, setelah menikah selama lima tahun, mereka
tidak dikurniai putera. Dan hal inilah agaknya yang menciptakan kerenggangan,
dalam hubungan suami isteri itu.
Cia Tai-jin, yang masih muda
itu, baru berusia tigapuluhan tahun, mula-mula mengambil seorang selir dengan
alasan agar mendapatkan keturunan. Akan tetapi dari seorang, lalu bertambah
sampai belasan orang!
Sui In merasa terpukul dan
tersiksa batinnya mulailah terdapat kerenggangan dalam hubungan di antara
mereka. Sui In kecewa. Kecewa karena tidak mempunyai anak, kemudian kecewa
karena ia kehilangan suaminya pula, kehilangan cintanya yang membuat hatinya
merasa hambar dan akhirnya iapun tidak lagi mempunyai gairah cinta kepada
suaminya kecuali hanya sebagai seorang wanita yang harus bersikap manis kepada
seorang pria yang telah menjadi suaminya. Hubungan di antara mereka hanya
tinggal hubungan kewajiban belaka, tanpa kasih sayang lagi.
Kemudian, terjadilah
malapetaka itu! Suaminya terbunuh, menjadi korban dari Kwi-eng-cu Si Bayangan
Iblis yang sedang mengamuk dan melakukan serangkaian pembunuhan di kota raja!
Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Sui In yang mendapatkan dirinya
menjadi seorang janda tanpa anak!
Kalau saja suaminya tidak
mempunyai banyak selir, kalau hubungan di antara mereka masih seperti dahulu,
belum tentu suaminya akan terbunuh penjahat! Ia tentu akan mampu melindungi
suaminya. Akan tetapi suaminya mati terbunuh ketika tidur bersama seorang di
antara selir-selirnya, terbunuh bersama selirnya pula. Dan iapun tidak dapat
berbuat sesuatu!
Memang ada juga perasaan marah
dan ia sudah berusaha untuk mencari pembunuh suaminya. Namun, seperti juga
usaha semua orang yang bertugas mencari pembunuh itu, usahanya gagal dan ia
tidak pernah mampu menemukan Si Bayangan Iblis walaupun pernah ia menggagalkan
usaha Si Bayangan Iblis untuk membunuh pamannya, yaitu Ciok Tai-jin!
Ketika itu, iapun hanya
melihat berkelebatnya bayangan yang menyeramkan itu. Ia mengejar, namun tidak
berhasil menemukannya. Dan sejak itu, setelah tahu bahwa pamannya juga
terancam, Sui In selalu berjaga-jaga dan ia mendapatkan sebuah kamar
berdampingan dengan kamar paman dan bibinya.
Rasa kecewa, duka dan marah
membuat Sui In tidak enak makan tidak nyenyak tidur. Kalau saja ia mempunyai
anak, maka ditinggal mati suaminya ini tentu tidak begitu hebat. Kini ia hidup
menjanda, baru berusia duapuluh enam tahun, namun tidak mungkin menikah lagi!
Pada jaman itu, bagi seorang
janda, apa lagi janda seorang pejabat tinggi, tentu saja merupakan hal yang
memalukan dan merendahkan kalau ia menikah lagi! Setiap orang janda dipaksa
oleh lingkungan dan keadaan dan kesusilaan untuk tinggal menjanda selama hidup!
Dan ia baru berusia duapuluh
enam tahun, cantik manis dan bagaikan setangkai bunga sedang semerbak harum,
sedang mekar-mekarnya membuat para kumbang mabok kepayang. Ia merasa seperti
seekor burung dalam sangkar emas yang sempit. Ia ingin terbang, ingin bebas di
udara. Akan tetapi, pamannya perlu dijaga dan dilindungi keselamatannya!
Pamannya orang yang amat baik hati dan ia telah berhutang banyak budi kepada
pamannya.
Dan memang Ciok Tai-jin
seorang yang bijaksana. Pembesar ini cukup waspada dan dia tahu benar betapa
keponakan isterinya yang kini menjadi janda setiap hari termenung dan tenggelam
dalam duka, maka pada suatu malam, dia dan isterinya mengajak janda muda ini
bicara dari hati ke hati.
“Sui In,” kata Ciok Tai-jin.
“Sudah beberapa bulan sejak suamimu meninggal dunia, engkau pindah ke rumah
kami dan engkau menjaga keselamatanku, terutama di waktu malam. Akan tetapi
kami melihat engkau tenggelam dalam duka dan engkau jelas kelihatan tidak betah
tinggal di sini. Engkau jarang makan dan setiap malam menjaga keamanan, hanya
tidur sebentar di waktu siang.
“Sui In, katakanlah, apa yang
kaukehendaki! Jangan sampai kami orang-orang tua yang menjadi penghalang
kebahagiaanmu, kami tahu betapa nasibmu gelap dipenuhi duka, dan kami tidak
ingin menambah beban penderitaan batin yang kaupikul dengan memaksamu bertugas
seperti ini.”
Ditanya demikian, Sui In
menangis. Bibinya merangkulnya dan setelah dapat mengatur pernapasannya yang
penuh duka, Sui In lalu memberi homat kepada paman dan bibinya.
“Sebetulnya, sudah lama saya
ingin bicara, akan tetapi saya takut kalau dianggap sebagai orang yang kejam
dan tidak mengenal budi. Paman terancam penjahat, bagaimana mungkin saya
meninggalkan paman? Ah, saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan atau
saya perbuat. Kalau saja saya dapat mengetahui siapa si laknat Kwi-eng-cu itu!
Tentu akan saya tantang untuk mengadu nyawa!”
“Sui In, katakan saja apa
sebenarnya yang kaukehendaki. Mengenai diriku dan keselamatanku, tidak perlu
kaupikirkan benar. Kalau perlu, aku dapat minta bantuan panglima untuk mengirim
beberapa orang jagoan agar menjadi pengawal pribadiku. Katakanlah, apa
sebenarnya yang kauinginkan?”
“Paman, saya ingin mencari
pembunuh suamiku itu sampai dapat, agar saya dapat membalas kematian suamiku!”
kata Sui In penuh semangat.
“Bukankah selama ini engkau
sudah berusaha mencarinya? Bahkan bukan hanya engkau yang mencarinya.
Pemerintah juga mencari dan aku mendengar bahwa Cian Ciang-kun sendiri yang
turun tangan untuk mencari dan membongkar rahasia Si Bayangan Iblis.”
“Akan tetapi sampai kini tidak
ada hasilnya, paman. Si Bayangan Ib1is itu terlalu lihai dan agaknya saya harus
mencari bantuan.”
“Bantuan siapa, Sui In?”
“Saya mempunyai seorang susiok
(paman guru) yang pandai, paman, dan dia kini kabarnya bertapa di bukit sunyi
dekat Telaga See-ouw. Saya ingin mencari dia dan minta bantuannya. Dengan
bantuannya, tentu saya akan dapat menemukan Si Bayangan Iblis yang mengacau di
kota raja itu.”
Ciok Tai-jin mengangguk-angguk
dan meraba-raba jenggotnya. “Hemm, pikiran yang bagus, Sui In. Kenapa engkau tidak
mencarinya?”
“Itulah paman, yang menjadi
pemikiranku. Aku tahu bahwa paman juga terancam Si Bayangan Iblis, maka saya
tidak berani meninggalkan paman. Saya harus selalu melindungi paman dari
serangannya.”
“Engkau benar sekali, Sui In
keponakanku yang baik, kalau bukan engkau yang melindungi keselamatan pamanmu,
habis siapa lagi yang dapat kami percaya?” kata bibinya yang merasa khawatir
sekali akan keselamatan suaminya.
“Ah, engkau ini hanya
mementingkan diri sendiri saja!” tegur Ciok Tai-jin kepada isterinya, lalu
memandang keponakannya.
“Sui In, mengenai diriku,
jangan khawatir. Aku akan mengundang beberapa orang jagoan untuk melindungiku.
Kalau kaupikir, dengau bantuan susiokmu itu engkau akan dapat menangkap Si
Bayangan Iblis, pergilah mencarinya. Apakah engkau memerlukan pasukan untuk
menemanimu?”
Bukan main girang dan lega
rasa hati Sui In. “Tidak perlu, paman. Saya dapat pergi sendiri saja. Kalau
sudah bertemu susiok, saya akan mengajaknya ke sini, paman. Dia memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari saya, maka dengan bantuannya, tentu
kami akan dapat meringkus Si Bayangan Iblis dan kematian suami saya dapat
terbalas.”
Demikianlah, dengan bekal
pakaian, uang dan membawa sepasang pedangnya Sui In meninggalkan rumah gedung
pamannya dan melakukan perjalanan ke See-ouw. Ia tidak tahu bahwa beberapa hari
setelah ia pergi, rumah gedung Pamannya diserbu Si Bayangan Iblis dan seperti
telah kita ketahui, serbuan itu gagal berkat kehadiran Liong-li. Andakata tidak
ada Liong-li, walaupun di situ terdapat beberapa orang jagoan pengawal yang
diundang Ciok Tai-jin sebagai pengganti Sui In, tentu keselamatan Wakil Menteri
Pajak itu terancam bahaya maut.
Sui In yang melakukan
perjalanan, pada suatu sore tiba di dusun Kim-tang dan karena sehari itu ia
melakukan perjalanan cukup jauh tanpa berhenti, bahkan tidak makan siang,
perutnya terasa lapar dan iapun memasuki sebuah rumah makan di dusun yang ramai
itu. Biarpun ia tahu betapa banyak pasang mata pria melemparkan pandangan kagum
kepadanya, Sui In yang sudah terbiasa akan hal itu, tidak perduli lalu
menghampiri meja kosong yang ditunjukkan seorang pelayan yang menyambutnya.
“Toanio hendak memesan apakah?
Makanan? Minuman?” tanya pelayan muda itu dan pandang matanya yang menatap
wajah tamu itupun penuh dengan kekaguman.
“Aku lapar dan ingin makan.
Beri nasi putih dan masakan apakah yang paling lezat dan terkenal di rumah
makan ini?” Sui In sehari tidak makan dan ia ingin makan enak.
Pelayan itu segara menjawab
tanpa dipikir lagi karena pertanyaan seperti itu seringkali dia dengar dari
para pelancong yang datang dari kota.
“Masakan kami yang paling
lezat dan terkenal adalah Ikan Lee dimasak jahe, nona. Ikan Lee dari Telaga
See-ouw aseli, gemuk dan semua tulangnya dibersihkan. Juga masakan kami Udang
Saus tomat amat sedap. Sup ayam jamur kami juga enak.”
“Cukup sudah. Beri aku masakan
tiga macam itu, nasi putih dan air teh.”
“Arak, toanio (nyonya)?”
“Tidak, atau...... kalau ada
anggur merah yang tidak begitu keras boleh juga beri sebotol kecil saja.”
Pelayan itu mundur dan Sui In
termenung. Ketika ia menjadi pengantin baru, pernah suaminya mengajaknya pesiar
ke Telaga See-ouw. Rumah makan ini belum ada, akan tetapi suaminya juga
menyuruh beli masakan-masakan yang lezat dan mereka makan di perahu.
Pedih rasa hati Sui In. Betapa
lamanya sudah peristiwa yang mesra itu lewat, hanya tinggal kenangan. Jauh
sebelum suaminya meninggal dunia, kemesraan itu sudah lenyap tak berbekas lagi.
Tidak, ia tidak menyalahkan suaminya, hanya menyalahkan nasib dirinya.
Andaikata ia dikurniai putera, tentu suaminya tidak mau menengok wanita lain
dan kemesraan itu dapat dipertahankan.
Sudah, ia tidak mau lagi
mengenangkan semua itu. Dan baru setelah suaminya tewas, ia menemukan dirinya
sendiri. Ketika menikah dengan suaminya itu, tidak ada rasa cinta dalam
batinnya. Itu masalahnya cintanya adalah cinta yang ia paksakan, untuk memenuhi
kewajiban sebagai seorang isteri.
Dan suaminya memang seorang
yang bijaksana. Banyak sudah budi diterimanya dari suaminya, bahkan kini sebagian
besar harta peninggalan suaminya diberikan kepadanya. Ia menjadi seorang janda
yang muda dan kaya.
Hartanya itu ia titipkan
kepada pamannya, Pembantu Menteri Pajak. Dan pihak mertuanya juga mau
membebaskannya, tidak mengikatnya, karena memang ia tidak mempunyai anak dari
keluarga Cia. Mereka itu amat baik kepadanya. Ia berhutang budi kepada keluarga
Cia. Karena itu, ia baru mencari pembunuh suaminya dan membalas dendam itu!
Tak lama kemudian, lamunannya
membuyar ketika pelayan datang membawakan masakan yang dipesannya. Masih
mengepul panas tiga macam masakan itu dihidangkan di depannya, berikut nasi
putih, air teh dan sebotol anggur merah. Hidungnya kembang kempis. Masakan itu
mengepulkan uap yang sedap, juga anggur merah itu ketika dibuka tutupnya,
menghamburkan bau yang harum dan lezat. Perutnya segera berkeruyuk menghadapi
tantangan itu.
Sui In makan seorang diri.
Pelayan tadi tidak membual. Masakan ikan Lee dengan jahe itu sedap bukan main.
Daging ikannya lunak dan sama sekali tidak ada tulangnya. Gurih bukan main, dan
cocok dimakan dengan bumbu penyedap kecap manis. Nasi putihnya juga hangat dan
harum.
Ketika ia mencoba masakan
lain, ia girang dan kagum. Udang saus tomat itupun enak. Udangnya sebesar jari
kaki, dagingnya putih kemerahan dan terasa manis, dan tidak berbau amis. Juga
ikan Lee itu tidak berbau amis. Pandai memang tukang masaknya. Dan sup ayam
dengan jamur itupun sedap dan segar. Kuahnya enak sekali.
Sebagai seorang ahli silat
tingkat tinggi, biarpun sedang tenggelam dalam kenikmatan dan kelezatan makan,
tetap saja Sui In tidak pernah lengah dan baik telinganya, maupun kerling
matanya, tidak pernah melepaskan perhatian terhadap keadaan di sekelilingnya.
Oleh karena itu, iapun tahu ketika ada tiga orang tamu baru saja masuk dan duduk
di meja sudut kiri dalam, hanya terpisah lima meja saja dari tempat duduknya.
Dengan kerling mata ke kiri,
ia melihat bahwa tiga orang itu adalah laki-laki yang berusia antara empatpuluh
sampai limapuluh tahun, ketiganya berpakaian mewah namun masih jelas dapat
diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia persilatan. Yang seorang,
paling tua berusia limapuluhan tahun, bertubuh jangkung dan rambutnya sudah
putih semua walaupun mukanya masih nampak muda. Senyumnya anggun dan sikapnya
berwibawa, sinar matanya tajam dan memerintah. Di punggungnya nampak gagang
sebatang pedang.
Dua orang kawannya bersikap
sebagai orang bawahan, usia mereka kurang lebih empatpuluh sampai empatpuluh
lima tahun. Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan mukanya dipenuhi tawa,
cerah dan lucu, akan tetapi matanya menyinarkan kekejaman. Orang kedua pendek
kurus condong ke arah cebol, akan tetapi mukanya bengis. Dua orang inipun
membawa pedang yang tergantung di punggung.
“Heii, pelayan! Bawa arak
seguci besar! Cepaaatt!!” terdengar si gendut berteriak. Pe- layan berlari-lari
mendatangi dan pria jangkung itu dengan suara lembut namun tegas dan galak,
memesan masakan.
Sui In tidak mau memperhatikan
lagi karena si gendut itu terang-terangan memandangnya dengan sikap kurang
ajar. Apalagi pada saat itu, perhatiannya tertarik oleh seorang tamu baru yang
memasuki ruangan itu. Seorang pria yang bukan main! Pria itu usianya kurang
lebih duapuluh tujuh tahun.
Tubuhnya sedang saja, namun
tegak dan gagah. Wajahnya tampan dan jantan, wajah yang agaknya sudah
digembleng kekerasan hidup. Namun pakaiannya yang terbuat dari sutera
putih-putih itu berpotongan pakaian seorang pelajar atau sasterawan. Pakaian
itulah yang membayangkan kelembutan seorang siu-cai (sarjana), namun lekuk di
dagunya membayangkan kejantanan yang kuat.
Biarpun hanya memandang
sepintas lalu, diam-diam Sui In kagum. Rasa kewanitaannya tersentuh. Seorang
pria yang jantan dan penuh daya tarik, pikirnya. Akan tetapi perasaan itupun
hanya lewat saja, karena ia bukanlah seorang wanita yang mudah terguncang
ketampanan seorang pria. Akan tetapi ia masih sempat melihat betapa pria itupun
ketika duduk di mejanya, hanya terpisah dua meja dari tempatnya, menatap
kepadanya dan diam-diam ia terkejut. Tatapan mata itu sungguh luar biasa.
Sepasang mata yang mencorong
penuh wibawa, akan tetapi karena mulutnya tersenyum, maka wajah itu nampak
lembut. Orang muda itu tentu seorang sarjana yang lembut dan pintar, pikir Sui
In, akan tetapi tentu saja lemah. Seperti mendiang suaminya. Akan tetapi
suaminya memang lemah sekali, bahkan lembut seperti wanita.
Pria di depannya ini jantan,
walaupun hanya seorang sasterawan atau seorang terpelajar. Tidak membawa
senjata, juga tidak nampak bayangan kekerasan. Bahkan pakaiannya yang serba
putih, itu nampak bersih sekali. Sungguh jauh bedanya dengan tiga orang pria
yang pertama itu, penuh kekerasan.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa-tawa dari meja di sudut kanan. Di sana sejak tadi memang ada empat
orang laki-laki muda sedang makan minum dan kini agaknya mereka sudah
mabok-mabokan.
Sui In tadipun sudah melihat
mereka. Empat orang pemuda dari kota, mungkin putera-putera orang kaya atau
orang berpangkat. Usia mereka antara duapuluh sampai duapuluh empat tahun dan
lagak mereka menjemukan. Jelas bahwa mereka adalah orang-orang muda yang royal,
tidak pandai cari uang akan tetapi pandai menghamburkannya.
Tadi pun mereka memandang ke
arah Sui In dengan sinar mata mengandung kekurangajaran, akan tetapi Sui In
tidak memperdulikan mereka, bahkan selanjutnya tidak pernah melirik ke arah
meja mereka karena ia tahu bahwa pemuda-pemuda hidung belang seperti itu,
sekali dilirik tentu akan menjadi semakin berani dan semakin kurang ajar. Ia
tentu saja tidak takut kepada mereka, akan tetapi iapun tidak ingin memancing
keributan.
“Ha-ha-ha, setiap orang dapat
saja membawa pedang, untuk perhiasan!”
“Ha-ha, atau mungkin juga
untuk lagak saja, untuk menakut-nakuti!”
Empat orang pemuda itu
tertawa-tawa lagi. Seorang di antara mereka, yang kepalanya besar,
terang-terangan kini memandang kepada Sui In dan bicaranya kini lebih berani.
“Ia makan minum seorang diri saja, sayang seorang secantik itu. Biar kuajaknya
ia makan minum bersama kita.”
“Huh, kau takkan berani! Ia
tentu sudah bersuami,” kata seorang temannya yang kurus.
“Apa? Aku tidak berani
mengajak seorang wanita? Hemm, biar ia gadis atau isteri orang, kalau Ji-kongcu
(tuan muda Ji) yang mengajaknya, pasti ia mau! Ha-ha-ha, kalian lihat saja!”
Si kepala besar ini bangkit
berdiri ditertawai oleh si kurus yang berpakaian mewah. Dua orang kawan lain
yang berpakaian seperti orang-orang ahli silat hanya tersenyum-senyum saja.
Agaknya mereka ini hanya pengikut dan memang mereka adalah tukang- tukang pukul
pemuda she Ji itu.
Pada saat itu, Sui In sudah
selesai makan dan ia merasa lega bahwa gangguan itu datang setelah ia selesai
makan, karena kalau tidak tentu akan mengganggu selera makannya. Ia merasa
kenyang dan puas. Ikan Lee itu memang lezat sekali, dan jahe itu membuat
perutnya terasa hangat, apa lagi ditambah anggur merah.
Ia tahu bahwa gangguan datang
karena percakapan yang terang-terangan dan tidak lirih itu jelas ditujukan
kepadanya. Di rumah makan itu, hanya ia seoranglah wanita yang makan sendirian.
Ada pula beberapa orang wanita akan tetapi mereka makan dengan keluarga mereka
dan kebetulan wanita yang masih muda hanya ia seorang. Siapa lagi kalau bukan
ia yang mereka maksudkan?
Iapun tidak merasa heran
ketika pemuda berpakaian mewah yang kepalanya besar itu dengan jalan terhuyung
karena setengah mabok, menghampiri mejanya. Ia pura-pura tidak tahu, bersikap
tenang saja sambil menghirup teh panas yang harum dari mangkok teh yang kecil.
Akan tetapi karena kebetulan duduknya menghadap ke arah meja di mana duduk
pemuda berpakaian putih, untuk pertama kalinya sejak ia melihat pemuda ini
masuk, ia memandang dan pada saat itu, si pemuda berpakaian putih juga sedang
memandang ke arah mejanya.
Alis yang tebal hitam dari
pemuda berpakaian putih itu sedikit berkerut ketika dia melihat si kepala besar
mendekati meja Sui In sambil cengar cengir. Akan tetapi, hanya sebentar saja
pandang mata mereka saling bertemu karena keduanya segera mengalihkan pandang
mata.
Sui In harus memperhatikan
pemuda mewah yang kini sudah bediri dekat mejanya, bahkan kedua tangannya
diletakkan di tepi mejanya, dengan jari-jari direntangkan seolah-olah hendak
memamerkan cincin yang. memenuhi semua jari kedua tangannya, kecuali, ibu
jarinya!
“APA engkau hendak menjual
cincin? Tidak, aku tidak butuh cincin!”
Karena kata-kata ini diucapkan
dengan cukup lantang dan Sui In memandang ke arah kedua tangan yang berada di
tepi mejanya, si kepala besar itu terkejut dan mukanya ber¬ubah merah sekali,
apa lagi karena terdengar suara ketawa temannya yang kurus, bahkan ada pula
suara ketawa dari meja lain, entah siapa.
“Heh-heh, Ji-toako, engkau
disangka penjual cincin di pasar, ha-ha!”
Pemuda she Ji itu merasa malu,
akan tetapi dia mengira bahwa wanita cantik di depannya itu tidak sengaja
menghinanya, apa lagi kini dia sudah berada dekat sekali dengan wanita itu, dan
ternyata wanita itu jauh lebih cantik dari pada ketika dilihatnya dari jauh tadi.
Juga ketika bicara, bibir yang menggairahkan itu bergerak¬-gerak manis sekali.
Maka, biarpun merasa malu, pemuda berkepala besar itu tidak dapat marah kepada
seorang wanita secantik itu.
“Toanio, aku bukan penjual
cincin. Semua ini bukan barang dagangan, melainkan milikku pribadi. Ketahuilah,
aku pemuda keluarga Ji, merupakan seorang pemuda yang paling kaya raya, paling
royal dan tidak ada duanya di kota Tung-cu.
“Aku tidak mengenalmu.
Pergilah dan biarkan aku sendiri,” Sui In berkata.
Pemuda itu masih menyeringai.
“Heh-heh, moi-moi (adik) yang manis, harap jangan menjual mahal seperti itu.
Marilah, aku sendiri yang mengundangmu untuk duduk makan minum dengan kami
semeja. Ataukah aku yang menemanimu di sini? Hei, pelayan, cepat hidangkan arak
baru dan semua masakan lezat yang ada di rumah makanmu ini!”
Dia lalu duduk begitu saja dan
berkata kepada Sui In. “Moi-moi, kalau perlu, rumah makan ini bisa kubeli
untukmu, heh-heh!”
Sui In mengerutkan alisnya.
Orang ini semakin kurang ajar, pikirnya, tidak lagi menghargainya dengan
sebutan Toanio (nyonya), melainkan berani menyebut moi-moi yang manis,
seolah-olah ia telah menjadi kekasihnya saja! Akan tetapi, karena tidak ingin
ribut-ribut, ia masih menahan kesabarannya.
“Hemm, sekali lagi kukatakan.
Aku tidak mempunyai urusan denganmu, aku tidak suka nenerima undanganmu, tidak
suka makan minum bersamamu dan tidak suka engkau makan minum di mejaku ini.
Pergilah dan jangan aku kehilangan kesabaranku!”
Kalimat terakhir sudah bernada
keras, dan tanpa disengaja Sui In melihat pula pemuda yang berpakaian serba
putih itu tersenyum sedikit. Juga tiga orang setengah tua yang duduk di sudut
belakang kini memandang ke arah mejanya dengan penuh perhatian.
Gemaslah rasa hati Sui In.
Ulah pemuda kepala besar ini tentu saja telah menarik perhatian orang, dan ia
menduga bahwa tentu mereka semua yang berada di rumah makan itu telah
memperhatikan dirinya. Sudah kepalang tanggung sekarang, tidak perlu lagi ia
menjaga jangan sampai ada keributan. Akan tetapi ia tetap menuangkan lagi
semangkok kecil air teh harum yang masih panas mengepul itu dan meniupinya
perlahan untuk mendinginkannya sebelum diminumnya sedikit demi sedikit.
Si kepala besar itu sungguh
tak tahu diri. Dia adalah seorang pemuda kaya raya, dan putera pejabat yang
sejak kecilnya telah di manja orang tuanya dan para hamba sahayanya, sejak
kecil apapun yang dikehendakinya terlaksana.
Oleh karena itu, setelah
dewasa, diapun menjadi berandalan dan ingin dimanjakan siapapun juga. Dia tidak
mengenal takut karena selalu bergelimang kekayaan dan kekuasaan yang membuat
semua orang takut kepadanya. Mendengar ucapan Sui In, dia mengerutkan alisnya.
“Apa? Engkau berani menolak
ajakanku? Nona manis, jangan sombong engkau! Kalau perlu, aku mampu membeli
dirimu, aku mampu membeli seratus orang perempuan seperti engkau......”
Sui In marah sekali mendengar
ucapan itu dan sebelum kalimat terakhir itu habis diucapkan, ia sudah
membentak, “Pergilah!” Tangan yang memegang mangkok kecil berisi air teh panas
itu bergerak dan air dari dalam mangkok menyiram ke arah muka pemuda kepala
besar.
“Ouhhhhh......!”
Bagi orang yang pernah disiram
mukanya dengan air panas baru akan tahu betapa nyerinya ketika air teh yang
masih panas itu mengenai mata, hidung dan mulut pemuda kepala besar itu. Selagi
dia bangkit dan mengeluarkan teriakan kesakitan, tiba-tiba kaki Sui In di bawah
kolong meja bergerak, menendang.
“Desss......!” Perut itu
tertendang dan si pemuda berkepala besar terlempar jauh! Bahkan, tubuhnya
melewati meja kosong dan meluncur ke arah meja di mana duduk pemuda berpakaian
serba putih yang makan minum seorang diri pula.
Melihat betapa hidangan di
atas mejanya terancam hancur berantakan, tiba-tiba tubuh pemuda berpakaian
putih itu sudah meloncat bangun dan dengan sigapnya dia menjulurkan kedua
tangan, menyambar tubuh yang melayang itu dan sekali dia melontarkan, tubuh
pemuda kepala besar itu berbelok arah melayang ke arah mejanya sendiri.
“Brakkkkk......!” Meja itupun
runtuh dan semua masakan tumpah dan berantakan ketika meja itu tertimpa tubuh
si kepala besar.
“Aduhh...... auhhh,
aduhhhh.......!” Si kepala besar mengaduh-aduh, juga si kurus yang menjadi
temannya mengaduh dan menyumpah-nyumpah karena muka dan pakaiannya juga
berlepotan kuah masakan. Akan tetapi dua orang teman mereka yang lain sudah
dapat berloncatan menghindar dengan gerakan cepat sehingga tidak sampai ikut
tertimpa atau tersiram kuah masakan!
Tiga orang setengah tua yang
sejak tadi melihat, kini saling pandang. Akan tetapi Sui In sudah duduk kembali
menuangkan air teh dalam mangkoknya, minum air teh panas seperti tidak terjadi
sesuatu. Juga pemuda berpakaian putih tadi nampak masih duduk sambil makan
minum, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu! Pada hal, menyambar tubuh yang
melayang lalu melontarkan kembali ke arah yang lain membutuhkan kecekatan
tangan dan juga tenaga besar.
Apa yang diperlihatkan oleh
pemuda berpakaian putih itu sesungguhnya bukan apa-apa baginya. Seperti
permainan kanak-kanak saja karena dia tentu saja dapat melakukan hal-hal yang
jauh lebih sukar dari pada sekedar melemparkan tubuh si kepala besar tadi.
Pemuda itu, walau nampaknya lemah seperti seorang terpelajar, seorang kongcu
(tuan muda), atau seorang siu-cai (sarjana), sebetulnya adalah seorang yang
memiliki nama besar dan kalaupun wajahnya jarang muncul di dunia persilatan dan
orang tidak mengenalnya, namun namanya sudah terkenal di empat penjuru.
Hampir semua orang di dunia
persilatan pernah mendengar namanya yang besar, yaitu nama julukannya. Dia
dijuluki orang Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si
Naga Putih) saja karena ke manapun dia pergi, dia selalu berpakaian putih, dan
sepak terjangnya seperti seekor naga sakti!
Si Naga Putih atau Pendekar
Naga Putih ini bernama Tan Cin Hay, berusia duapuluh tujuh tahun. Wajahnya yang
tampan sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang pria yang gemblengan,
lebih pantas kalau dia menjadi seorang terpelajar. Sikap dan gerak geriknya
jnga lembut, tubuhnya sedang saja dan otot-otot yang kuat itu tersembunyi di
balik pakaian sehingga tidak nampak dari luar. Pakaiannya yang serba putih amat
bersih.
Satu-satunya yang membayangkan
bahwa dia seorang pria jantan yang kadang berwatak keras adalah dagunya yang
berlekuk, dan matanya yang kadang mencorong. Biarpun namanya terkenal sekali di
dunia persilatan, namun kalau tidak perlu, jarang dia keluar ke dunia kang-ouw.
Dia hidup menyendiri di dusun Pat-kwa-bun tak jauh dari Telaga See-ouw, di
dalam sebuah rumah gedung yang megah dan indah. Dari rumahnya ini saja dapat
diketahui bahwa pendekar yang hidup menyendiri itu adalah seorang yang kaya
raya.
Dan memang benar demikian.
Bersama Hek-liong-li Lie Kim Cu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay pernah mendapatkan
harta karun yang amat besar, tak ternilai besarnya. Mereka membagi dua dan dengan
bagian harta karun itu, Pendekar Naga Putih menjadi orang yang kaya raya.
Dia seorang duda. Isterinya
yang tercinta tewas di tangan penjahat, dan sejak itu, dia tidak pernah mau
menikah lagi walaupun kalau dia mau banyak gadis yang akan merasa bangga dan
berbahagia menjadi isterinya. Dia tampan, gagah, berkepandaian tinggi, kaya
raya!
Jangankan wanita yang belum
dikenalnya, bahkan wanita yang pernah bergaul dekat dengannya, yang pernah
berenang di lautan asmara bersamanya, tak pernah ada yang berhasil mengikatnya
sebagai suami. Tidak, dia tidak mau terikat dalam pernikahan dengan seorang
wanita, walaupun dia tidak menolak untuk bercinta dengan seorang wanita yang
menarik hatinya, yang bebas, dan yang tahu bahwa dia tidak akan mau
menikahinya.
Dia pantang mempergunakan
kekayaan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, pantang untuk
menjanjikan pernikahan lalu menipunya. Dia hanya mau mendekati wanita yang
sudah tahu bahwa dia tidak mau terikat, dan kalaupun mereka berdua bercinta,
hal itu dilakukan karena mereka saling merasa suka.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
maklum bahwa di dunia persilatan, banyak tokoh pendekar yang mencela sikapnya
terhadap wanita itu. Banyak pendekar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang
menganggapnya sebagai seorang yang mata keranjang, seorang perayu wanita dan
tukang merusak wanita, seorang petualang cinta yang amat berbahaya bagi setiap
orang wanita!
Namun, dia tidak memperdulikan
anggapan orang. Dia sudah meneliti diri sendiri dan tidak menemukan watak
seperti yang dikatakan orang terhadap dirinya. Tidak, dia tidak akan pernah
memaksa seorang wanita untuk bercinta dengannya, baik memaksa dengan kekerasan
atau memikatnya dengan kekayaannya, kepandaiannya atau ketampanannya.
Dia tidak pernah jatuh cinta
dalam arti seperti cintanya terhadap mendiang isterinya dahulu. Dia tidak
pernah ingin memperisteri seorang wanita. Dan hubungannya dengan seorang wanita
terjadi karena mereka saling mengagumi, saling tertarik, dengan penuh kesadaran
bahwa hubungan itu tidak akan berlanjut ke jenjang pernikahan. Dia tidak pernah
menipu! Bahkan tidak jarang dia menjauhkan diri sebelum terjadi hubungan cinta
kalau seorang gadis atau seorang janda benar jatuh cinta dan menginginkan
menjadi isterinya.
Kini empat orang muda itu
menjadi marah bukan main. Pemuda berkepala besar dan pemuda kurus yang
berpakaian mewah itu adalah dua orang yang merasa diri mereka sebagai
kongcu-kongcu (tuan muda) yang harus ditaati semua perintah mereka. Mereka itu
putera-putera orang kaya raya yang sejak kecil dimanja dan dituruti semua
permintaan mereka.
Dua orang kawan mereka adalah
tukang pukul mereka yang hidup bagaikan lintah, menempel kepada dua orang muda
kaya itu. Ke manapun mereka berdua yang sakunya penuh uang itu pergi, tentu ada
saja pemuda-pemuda tukang pukul yang mengikuti mereka sebagai pengawal dan juga
sebagai pembonceng berbelanja apa saja.
“Hajar perempuan itu!” bentak
si kepala besar yang masih mengaduh-aduh karena mukanya kini seperti udang
direbus, kemerahan terkena kuah dan air teh panas. Dia menuding ke arah Cu Sui
In dengan mata melotot lebar.
“Ia harus mencium kaki kami
untuk minta ampun!” kata pula si kurus yang juga terkena percikan kuah dan kini
dia sibuk membersihkan pakaiannya yang kotor dan basah.
Dua orang tukang pukul itu
menghampiri Cu Sui In dengan sikap mengancam. Sui In sudah selesai makan atau
memang ia sudah kehilangan seleranya, maka ia bangkit dari duduknya dan
menggapai pelayan karena ia ingin membayar harga makanan dan minumannya lalu
pergi dari situ secepatnya.
Seorang pelayan bergegas
datang menghampirinya, akan tetapi dua orang tukang pukul itu mendorongnya
sehingga terpelanting. “Pergi kau!” bentak seorang di antara dua tukang pukul
itu, yang berjenggot kambing.
Orang kedua, yang matanya
juling, berkata kepada Sui In dengan nada memerintah.
“Bocah sombong, hayo cepat
berlutut mohon ampun kepada kedua orang kongcu kami, atau engkau ingin aku
memaksamu berlutut?” Dia menghampiri dengan sikap mengancam.
“Berlutut dan cium kaki kedua
kongcu kami!” bentak pula si jenggot kambing.
Wajah yang manis itu menjadi
merah sekali dan sinar mata yang jeli itu kini mencorong, tanda bahwa Sui In
marah bukan main mendengar ucapan yang nadanya menghina itu.
“Aku tidak ingin mencari
perkara, akan tetapi kalau kalian tidak cepat pergi dari sini dan menutup mulut
kalian yang kotor, terpaksa kalian akan kuhajar!” katanya, lembut namun
mengandung ancaman.
“Heiiiittt!” Si mata juling
segera memasang kuda-kuda, kedua kaki terpentang, kedua lutut ditekuk dan
pinggulnya menonjol ke belakang, kedua lengan menyilang di depan dada, dengan
tangan membentuk cakar. Lagaknya yang digagah-gagahkan itu lucu sekali.
“Hyatttt......!” Si jenggot
kambing juga memasang kuda-kuda, lebih gagah lagi, dengan kaki kiri diangkat
dan lutut ditekuk sehingga kaki kiri menempel di samping lutut kanan sedangkan
kaki kanan berjungkit, tangan kiri di depan pusar dan tangan kanan diangkat
tinggi menuding langit! Seolah-olah dia hendak memainkan ilmu silat yang amat
luar biasa tingginya, setinggi langit. Akan tetapi karena dia tidak dapat
bertahan lama dengan sebelah kaki berjungkit, maka kaki kanan diturunkan dan
kini dia membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang,
kedua tangan terkepal di pinggang, siap untuk menerjang!
Melihat lagak mereka, Sui In
tersenyum mengejek dan menepiskan tangannya seperti orang mengusir lalat.
“Sudahlah, kalian badut-badut menjemukan, aku mau pergi!” Ia lalu melangkah dan
sama sekali tidak memperdulikan kedua orang yang memasang kuda-kuda dan siap
menyerangnya itu.
Melihat betapa gadis itu tidak
takut menghadapi kuda-kuda mereka yang gagah, dua orang tukang pukul itu marah
dan ketika gadis itu lewat di antara mereka, keduanya seperti berlomba lalu
menubruk maju, berlumba untuk merangkul gadis itu. Si jenggot kambing merangkul
leher, dan temannya si mata juling merangkul pinggang Sui In membiarkan sampai
serangan mereka itu datang dekat, lalu tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat
ke depan. Dua orang yang sudah yakin akan berhasil menubruk dan merangkul itu,
girang sekali.
“Bressss......!” Mereka
mengaduh karena mereka ternyata saling tubruk dan saling rangkul, bahkan kepala
mereka saling bertemu dengan kerasnya. Terdengar suara tertawa bergelak dan
yang tertawa ini adalah Pek-liong yang tak dapat menahan kegelian hatinya
melihat lagak dua orang itu, dan diapun girang dan kagum melihat kecekatan
gadis manis itu.
“Keparat kau!” bentak si
jenggot kambing sambil mencabut goloknya.
“Perempuan hina!” bentak pula
si mata juling dan diapun mencabut goloknya. Akan tetapi, Sui In tetap tenang,
tidak mengeluarkan senjatanya karena dara ini sudah dapat mengukur bahwa dua
orang lawannya itu lebih mengandalkan kenekatan dari pada kepandaian. Mereka
itu seperti dua buah tong kosong yang berbunyi nyaring.
Dengan teriakan-teriakan menyeramkan,
ke dua orang itu kini menggerakkan golok mereka dan menerjang ke arah Sui In,
bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan benar-benar menyerang! Namun, Sui
In dengan mudahnya berloncatan mengelak.
Dua orang itu mengamuk terus,
mengejar ke manapun Sui In meloncat sehingga golok mereka menyambar-nyambar dan
merobohkan beberapa buah kursi yang menjadi patah-patah. Melihat ini, pemilik
rumah makan itu menjadi panik. Bisa hancur semua perabotnya!
“Sudah! Sudah......, harap
jangan berkelahi di sini........!” Berulang-ulang dia berteriak.
Melihat ini, Sui In merasa
kasihan, maka ketika dua batang golok itu menyambar, tubuhnya merendah dan
kedua lengannya berkembang, tangannya sudah menotok ke arah siku dua orang
penyerangnya. Golok itu terlepas dan pada detik berikutnya, kaki kanan gadis
itu terangkat dan dua kali bergerak menendang ke arah perut dua orang lawannya.
Kaki itu menendang dengan
gerakan cepat dan indah, dua kali bergerak tanpa turun dulu. Nampaknya
tendangan itu tanpa tenaga, akan tetapi, begitu mengenai perut si jenggot
kambing dan si mata juling, keduanya berteriak kesakitan, dan terjengkang lalu
mengaduh-aduh sambil mengelus perut mereka yang mendadak terasa mulas dan nyeri
sekali!
Kini Sui In melangkah ke arah
meja dua orang pemuda kaya itu, tanpa memperdulikan, lagi dua orang bekas lawan
yang mengaduh-aduh. Matanya yang jeli itu menatap wajah kedua orang pemuda
hartawan itu dengan sinar mencorong.
Dua orang pemuda itu berdiri
menggigil ketakutan melihat betapa dua orang tukang pukul mereka roboh tak
berdaya. Apa lagi melihat sinar mata gadis itu, mereka ketakutan dan kedua kaki
mereka menggigil, dan ketika Sui In tiba di depan mereka, tak dapat ditahan
lagi celana mereka menjadi basah! Melihat ini, Sui In merasa jijik. Tangan kirinya
bergerak, dua kali ke arah muka mereka.
“Plok! Plok!” Tubuh dua orang
pemuda hartawan itu terpelanting dan ketika mereka bangkit duduk sambil
memegangi pipi yang membengkak dan mulut berdarah karena beberapa buah gigi
mereka rontok, gadis itu sudah membayar harga makanan tanpa bicara lagi, dan
melangkah pergi.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
kagum bukan main. Gadis hebat, pikirnya dan dia merasa puas. Kalau lebih banyak
wanita seperti gadis berpakaian hijau itu, tentu berkuranglah laki-laki iseng
yang suka mengganggu wanita dengan cara yang kurang sopan. Diapun mengenal
gerakan wanita itu ketika tadi menghadapi serangan dua batang golok, cara
mengelak, kemudian tendangan beruntun itu.
Gerakan gadis itu mempunyai
ciri khas yang datang dari sumber partai persilatan Kun-lun-pai. Gadis itu
tentu seorang murid Kun-lun-pai, pikirnya. Murid yang sudah jadi, sudah matang
menurut dugaannya. Tentu saja ini hanya dugaan karena untuk menentukan tingkat
gadis itu, dia harus melihat gadis itu bersilat berkelahi sungguh- sungguh,
terutama menggunakan ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedangnya.
Sambil tersenyum dia melihat
betapa empat orang pemuda itu merangkak-rangkak, membayar harga makanan, bahkan
membayar pula kerugian yang timbul karena kerusakan meja kursi dan pecahnya
mangkok piring akibat perkelahian tadi. Kemudian mereka pergi dari situ, si
kepala besar tidak malu-malu menangis dan mengaduh-aduh karena pipinya bengkak
dan banyak giginya sebelah kanan rontok!
Akan tetapi, Cin Hay yang
sudah hampir melupakan lagi gadis berpakaian hijau yang lihai dan menarik itu,
dan hendak melanjutkan makan minumnya, tiba-tiba tertarik melihat sikap tiga
orang pria-pria setengah tua yang tadi dia lihat makan pula di meja lain. Dari
sikap mereka, diapun tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa bertualang
di dunia persilatan. Akan tetapi tadi dia tidak memperhatikan mereka.
Baru sekarang dia menaruh
perhatian ketika melihat betapa tiga orang itu bicara bisik- bisik dan kadang
menoleh ke luar setelah gadis berpakaian hijau tadi meninggalkan rumah makan
itu. Alisnya berkerut. Jelas bahwa mereka itu bukan orang-orang lemah, terutama
sekali orang yang berusia limapuluh tahun dan rambutnya sudah berwarna putih
semua itu.
Pernah dia mendengar akan
seorang tokoh sesat yang rambutnya sudah putih semua dan terkenal ahli bermain
pedang, julukannya Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih). Inikah orangnya? Diapun
memperhatikan dua orang yang lain. Yang seorang berperut gendut, mukanya ramah
akan tetapi matanya bersinar kejam. Orang kedua kurus pendek dengan wajah
bengis.
Tak lama kemudian, tiga orang
ini bangkit dari meja dan membayar harga makanan, lalu bergegas mereka keluar.
Cin Hay melirik ke arah meja mereka. Mereka itu belum selesai makan, akan
tetapi mengapa tergesa-gesa pergi? Dan mereka tadi jelas membicarakan si nona
baju hijau!
Timbul kecurigaannya dan
diapun segera membayar harga makanan lalu melangkah keluar. Di luar masih
terdapat beberapa orang yang tadi tertarik melihat keributan yang terjadi dalam
rumah makan dan mereka itu kini sedang membicarakan gadis baju hijau dengan
kagum.
Cin Hay masih sempat melihat
mengepulnya debu bekas kaki tiga ekor kuda itu menuju ke utara, maka diapun
berjalan dengan langkah lebar menuju ke utara. Setelah keluar dari dusun
Kim-tang, sebagai seorang yang tinggal di daerah Telaga See-ouw, tentu saja dia
mengenal baik daerah ini dan melihat betapa masih nampak debu bekas kaki kuda
mengepul di depan, tahulah dia bahwa tiga orang penunggang kuda itu menuju ke
bukit hutan cemara.
Dia tahu bahwa hutan itu sunyi
dan jarang dikunjungi orang karena selain di sana tidak terdapat binatang
buruan, juga banyak bagian yang berbatu-batu dan tidak mendatangkan hasil
apapun kecuali kayu pohon cemara. Diapun segera mengerahkan tenaga berlari
cepat setelah tiba di jalan yang sunyi, membayangi tiga orang penunggang kuda
itu.
Kini dia sudah kehilangan tiga
orang penunggang kuda karena mereka sudah memasuki hutan di kaki bukit. Cin Hay
yang merasa curiga, terus membayangi, bahkan mempercepat larinya untuk menyusul
karena kalau sudah tiba di hutan, dia dapat membayangi dari jarak yang lebih
dekat tanpa mereka ketahui.
Sementara itu, Sui In setelah
meninggalkan rumah makan, segera melanjutkan perjalanannya. Ia ingin
mengunjungi susioknya (paman gurunya) yang bertapa di Bukit Cemara itu.
Susioknya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai, dan ia percaya bahwa kalau
susioknya membantu, akan lebih mudah baginya untuk mencari Kwi-eng-cu (Si
Bayangan Iblis) sampai dapat dan membalas dendam atas kematian suaminya, juga
menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja selama ini.
Ketika Sui In tiba di luar
dusun, iapun menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke bukit Cemara. Setelah
hampir tiba di kaki bukit, ia merasakan sesuatu yang tidak wajar, yang
membuatnya menengok dan iapun melihat tiga orang penunggang kuda membalapkan
kuda mereka.
Ia tidak tahu siapa mereka,
akan tetapi menduga bahwa tentu mereka itu orang-orang yang hendak membalaskan
kekalahan empat orang pemuda kurang ajar yang dihajarnya di rumah makan tadi.
Maka iapun mempercepat larinya dan tibalah ia di hutan cemara yang mulai dari
kaki bukit. Akan tetapi, tiga orang penunggang kuda itu terus mengejar memasuki
hutan.
Ia menjadi penasaran sekali.
Tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka, dan kalau mereka itu hendak
membela empat orang pemuda kurang ajar tadi, ia akan menghajar mereka pula!
Maka, setelah tiba di tempat terbuka, ia berhenti untuk mengaso dan melihat
siapa mereka yang melakukan pengejaran itu.
Tiga orang penunggang kuda itu
berlompatan turun dari atas kuda mereka ketika melihat bahwa gadis yang mereka
kejar sudah berdiri menanti di atas lapangan terbuka, dengan sikap yang gagah
dan menantang! Tiga orang penunggang kuda itu sesungguhnya bukanlah
tukang-tukang pukul biasa yang hendak membela empat orang pemuda tadi seperti
yang disangka oleh Sui In. Sama sekali bukan!
Mereka adalah tiga orang
setengah tua yang tadi makan pula di rumah makan dan mereka melihat pula ketika
Sui In menghajar para pemuda kurang ajar itu. Justeru gerakan gadis itulah yang
menarik perhatian mereka dan yang membuat mereka melakukan pengejaran.
Gerakan ilmu silat Sui In
ketika menghadapi para pemuda jahat tadi mereka kenal sebagal ilmu silat
Kun-lun-pai. Gadis itu murid Kun-lun-pai dan karenanya harus mati di tangan mereka!
Atau lebih tepat lagi harus mati di tangan laki-laki berambut putih itu, karena
yang dua orang lainnya hanyalah merupakan para pembantunya.
Siapakah mereka bertiga itu?
Dugaan Pek-liong tadi memang tidak keliru. Pria berusia limapuluhan tahun yang
rambutnya sudah putih semua itu adalah Ciong Hu, berjuluk Pek-mau-kwi (Setan
Rambut Putih), seorang tokoh sesat kenamaan. Pek-mau-kwi Ciong Hu ini terkenal
lihai dengan ilmu pedangnya, dan diapun terkenal jahat dan kejam. Dia tidak
pantang melakukan kejahatan apapun asal perbuatan itu menghasilkan keuntungan
baginya.
Adapun dua orang temannya juga
bukan orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh sesat yang namanya ditakuti
orang karena selain kejam, merekapun lihai sekali. Terutama mereka yang suka
mengarungi Sungai Huang-ho dengan perahu, tentu akan mengenal nama mereka.