‘Eh, Paman Beruang. Kalau memang harus didorong,
kaubantulah aku!! kata Lulu rnendongkol karena tidak mengerti maksud binatang
itu. Han Han menghampiri dinding itu mencoba untuk mendorongnya, membantu Lulu.
Akan tetapi tiba-tiba beruang itu memegang pundaknya dan menariknya ke
belakang, lalu menggereng-gereng dan menggeleng-celeng kepala, kemudian membuat
gerakan mendorong lagi dari jauh sambi! menuding-nuding ke arah Han Han.
Mereka telah tiga tahun bergaul dengan binatang itu dan
sedikit banyak sudah dapat mengerti bahasa gerakan ini.
‘Han-ko, agaknya Paman Beruang minta engkau yang
mendorong dinding!! kata Lulu.
Han Han mengerutkan kening. ‘Tidak, aku tadi mendorong
dia tarik ke belakang. Ah, jangan-jangan dinding ini ada rahasianya dan harus
didorong dengan hawa sinkang dari jarak jauh. Mundurlah, Lulu.!
Ketika mendengar ini dan melihat Lulu mundur, beruang itu
mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara seperti kalau dia sedang bersenang
hati. Makin yakin hati Han Han dan ia lalu mundur. Dalam jarak satu meter ia
lalu menekuk kedua lututnya, memusatkan perhatian, menahan napas, mengerahkan
hawa sin-kang di dasar perut dan disalurkan ke arah kedua lengannya lalu
mendorong ke arah dinding.
Karena setiap hari selama tiga tahun ini ia melatih hawa
sakti Im-kang, tentu saja ketika mempergunakan dorongan ini ia pun otomatis
mempergunakan Im-kang. Kemajuan yang diperoleh Han Han selama berlatih tiga
tahun ini amatlah hebatnya. Hawa dingin yang amat dahsyat menyambar dari kedua
tangannya yang mendorong itu dan dinding yang terbuat dari baja itu tergetar
hebat, akan tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Yang sebelah kirinya tergetar
keras, akan tetapi yang sebelah kanan tidak tergoyang sedikit pun.
‘Bagus! Sudah tergetar, Koko! Coba lagi, lebih kuat!!
kata Lulu setengah berteriak, mengharapkan untuk membuka rahasia tempat ini dan
ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi. Sementara itu, suara badai
mengamuk di luar istana terdengar amat santer dan angin malah masuk sampai ke
tempat itu. Dapat dibayangkan betapa hebatnya badai mengamuk kalau anginnya dan
suaranya sampai memasuki ruangan di bawah tanah itu!
Han Han sudah siap untuk mencoba lagi, akan tetapi
beruang itu menggereng-gereng marah dan menggerak-gerakkan kedua kaki depan
tanda tidak setuju, akan tetapi masih tetap membuat gerakan mendorong-derong
dinding. Han Han tidak jadi mendorong lagi, lalu mempergunakan pikirannya.
Memang dia harus mendorong, akan tetapi agaknya keliru cara menggunakan
sinkang. Kalau dorongan ini hanya membutuhkan tenaga kasar, tentu binatang itu
sendiri akan sanggup melakukannya, karena dalam hal tenaga kasar, beruang itu
jauh lebih menang dibandingkan dia. Tentu harus menggunakan sinking, akan
tetapi mengapa salah?
Tiba-tiba ia teringat. Ah, dia melatih sin-kangnya
berdasarkan ilmu-ilmu dari Ma-bin Lo-mo yang ia gabungkan dengan ilmu dari
kitab Sepasang Pedang Iblis, yaitu mempergunakan Im-kang. Inilah agaknya yang
menjadi kesalahannya. Tentu saja ilmu dari penghuni istana di Pulau Es ini
berbeda sinkangnya dengan Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi, tenaga sinkang ada dua macam, kalau tidak
hawa sakti dingin tentu hawa sakti panas, yaitu Yang-kang. Dia sudah mencuri
ilmu ini dari Kang-thouw-kwi, akan tetapi sudah tiga tahun ia tidak pernah
melatih Yang-kang. Betapapun juga, Han Han masih belum melupakan untuk
mempergunakan tenaga yang keluar dari hawa sakti itu. Latihan-latihannya dengan
batu bintang dan dengan nyala api tulang manusia sudah cukup matang.
‘Apakah dengan tenaga Yang-kang?! Ia bertanya kepada
diri sendiri, sedangkan Lulu hanya memandang, tidak berani mengganggu karena
maklum bahwa kakaknya sedang berusaha keras untuk membuka rahasia dinding ini.
Han Han kembali menekuk kedua lututnya, kemudian ia berdiam sampai lama,
berusaha mengobarkan hawa Yang-kang di tubuhnya.
Memang amat sukar dan sebentar saja peluh membasahi muka
dan lehernya, akan tetapi ternyata ia berhasil karena kedua tangannya mulai
menjadi panas, bahkan mengepulkan asap! Lulu terbelalak kagum dan beruang itu
meloncat ke belakang ketakutan. Memang luar biasa sekali anak ini. Keadaan
jasmaninya yang tidak wajar lagi menimbulkan kekuatan mukjizat dan kekuatan
kemauannya bukan main besarnya sehingga hawa sakti di tubuhnya itu lebih
dikuasai kemauannya daripada kematangan latihannya.
Setelah merasa kedua lengannya menggetar-getar dengan
hawa panas seperti dahulu kalau ia berlatih secara diam-diam di daerah
terlarang belakang istana Pangeran Ouwyang Cin Kok, Han Han lalu melakukan
gerakan mendorong untuk kedua kalinya ke arah dinding itu.
Kembali dinding itu tergetar hebat seperti tadi. Akan
tetapi, sekali ini yang tergetar hebat adalah bagian dinding di sebelah
kanannya, sedangkan di sebelah kiri sama sekali tidak bergerak, menjadi
sebaliknya daripada tadi. Beruang itu mulai ‘mengomel! lagi dan
membanting-banting kaki belakang seperti orang marah, lalu menuding-nuding Han
Han lagi sambil menggunakan gerakan mendorong-dorong. Han Han menjadi bingung.
Kalau dengan Im-kang dan Yang-kang keduanya gagal, habis cara bagaimana ia
harus mendorong dinding itu? Sementara itu, kini angin yang masuk dengan santer
membawa pula butiran-butiran es yang keras sehingga mengejutkan mereka.
Han-ko, apa bedanya doronganmu yang pertama dengan yang
ke dua?! Tiba-tiba Lulu yang sejak tadi memperhatikan itu bertanya.
‘Yang pertama menggunakan hawa sakti dingin, yang kedua
menggunakan hawa sakti panas.!
Lulu bertepuk tangan dan wajahnya berseri. ‘Ah,
sekarang aku mengerti! Ketika engkau menggunakan Im-kang yang pertama tadi,
dinding sebelah kiri yang terguncang hebat sedangkan yang kanan tidak bergerak.
Sebaliknya, ketika kau menggunakan Yang-kang, dinding di kanan yang tergetar
sedangkan yang kiri tidak. Sekarang, kau doronglah dengan kedua hawa sakti Im
dan Yang. Kalau lengan kirimu mendorong dengan Im-kang ke sebelah kiri dinding
dan lengan kananmu mendorong dengan Yang-kang ke sebelah kanan, tentu akan
terbuka rahasia ini!
‘Agaknya engkau benar, akan tetapi betapa mungkin
menggunakan dua hawa sakti yang berlawanan secara berbareng?!
‘Mengapa tidak mungkin Koko? Kita pernah membaca kitab
tentang ilmu silat Im-yang-kun yang berada diperpustakaan. Bukankah ilmu itu
pun mempergunakan dua macam sinkang?!
‘Benar, dan sepasang kitab Suhu dan Subo yang diberikan
kepadaku pun mengandung tenaga yang berlawanan. Akan tetapi hal itu dimainkan
oleh dua orang, tentu saja dapat. Kalau aku seorang diri harus mengerahkan
tenaga yang berlawanan, betapa mungkin? Aku belum pernah belajar tentang itu!!
‘Koko, engkau seorang yang paling cerdik dan pandai di
seluruh dunia ini! Apa yang tidak mungkin bagimu? Cobalah, engkau tentu bisa!
Lihat, badai makin hebat mengamuk! Butiran-butiran es seperti peluru dan aku
harus selalu menangkis, akan tetapi butiran-butiran itu hancur kalau mengenai
tubuhmu dan kau seperti tidak merasakan! Koko, aku dapat menduga bahwa tentu
ada tempat persembunyian rahasia dan Paman Beruang agaknya hendak mengajak kita
bersembunyi di tempat itu!!
Han Han menoleh dan melihat betapa beruang itu repot
menutupi mukanya agar jangan terkena hantaman butiran-butiran es yang kalau
mengenai matanya atau hidungnya tentu akan mengakibatkan luka. Binatang ini
ketakutan dan mengeluarkan bunyi seperti anak kucing.
Harus kucoba, pikirnya dan mulailah ia menekuk kedua
lututnya, menghadapi dinding dan mulailah ia mengatur hawa sinkang yang
disalurkan dari pusarnya, naik ke atas dan dia mencoba untuk membaginya menjadi
dua hawa sakti Im dan Yang. Sesungguhnya, hanya orang yang sinkangnya sudah
amat tinggi saja yang akan dapat mengerahkan Im-kang dan Yang-kang secara
berbarengan. Di luar kesadarannya, Han Han telah memiliki tenaga sinkang yang
amat kuat. Akan tetapi karena dia belum pernah berlatih di bawah bimbingan
ahli, maka ia repot sekali membagi sinking ini.
Kedua tangan sakti itu menarik-narik, kadang-kadang
menjadi Im-kang semua yang amat hebat sehingga tubuhnya menggigil kedinginan,
kadang-kadang Yang-kang menang kuat dan semua tenaga menjadi hawa sakti yang
panas membuat kepalanya mengepulkan asap! Ia merasa tersiksa sekali, dadanya
sampai terasa nyeri dan napasnya terengah-engah.
Akan tetapi ketika ia hendak membatalkan usahanya yang
sia-sia ini dan melirik ke arah Lulu, ia melihat adiknya itu memandang
kepadanya penuh kekaguman dan penuh kepercayaan. Hal ini memberi kekuatan luar
biasa kepadanya dan cukup memberi dia kenekatan untuk berusaha sampai berhasil
biarpun dia akan menderita sampai mati sekalipun.
Memang hebat sekali tenaga kemauan hati Han Han. Tenaga
mukjizat inilah yang membuat ia memiliki kekuatanpada matanya sehingga tanpa
belajar ia telah mempunyai kepandaian menundukkan kemauan dan semangat orang
lain! Kini tenaga kemauannya ini ia tujukan ke dalam dan biarpun ia belum
pernah melatih untuk mengendalikan sinkang, kini ia berusaha lagi untuk
‘mencegah! sinkangnya menjadi dua macam, sekali ini dia berhasil!
Akan tetapi keadaannya seperti seorang yang mengendalikan
dua ekor kuda yang berlawanan larinya, sehingga ia harus mengerahkan seluruh
tenaga yang ada melawan sinkang sendiri agar jangan sampai menyeleweng ke kanan
atau ke kiri! Kembali ia mendorong dengan kedua lengan yang berlawanan hawa
saktinya.
Dinding itu tergetar hebat, terdengar keras sampai
mengeluarkan suara dan disusul suara berderit aneh kemudian.. dinding itu
terpecah menjadi dua bagian dan terbuka seperti ada tenaga rahasia mendorongnya
ke kanan kiri!
‘Kau berhasil, Han-ko..!!! Lulu bersorak akan tetapi
kegirangannya segera berubah menjadi kaget ketika melihat .tubuh Han Han roboh
terguling. Lulu cepat melompat dan berhasil memeluk tubuh kakaknya sehingga Han
Han tidak sampai terbanting.
Beruang itu pun berseru girang, akan tetapi ia lalu
menyambar tubuh Han Han, dipondongnya dan ia menunjuk-nunjuk ke bawah di mana
terdapat anak tangga dari batu, memberi isyarat kepada Lulu untuk menuruni anak
tangga sedangkan dia sendiri sambil memondong tubuh Han Han, mengikuti dari
belakang dengan wajah takut-takut.
Lulu yang menjadi cemas melihat kakaknya pingsan, segera
menuruni anak tangga tanpa ragu-ragu, karena ingin segera dapat menolong
kakaknya yang dipondong beruangnya. Melihat kakaknya dipondong beruang itu,
teringatlah ia beberapa tahun yang lalu ketika mula-mula mereka datang, hanya
bedanya, kalau dahulu dia yang mengikuti binatang itu, sekarang dialah yang
berjalan di depan.
Anak tangga itu amat dalam, dua kali lebih dalam daripada
anak tangga yang menuju ke gudang bawah tanah. Dan ketika ia sampai di dasar
anak tangga, Lulu menjadi bengong. Tentu ia sudah bersorak gembira kalau saja
tidak ingat akan keadaan kakaknya. Ruangan yang berada di dasar tangga itu
benar-benar mempesonakan sekali, jauh lebih indah daripada semua ruangan di
atas! Benda-benda yang berada di situ berkilauan, terbuat daripada emas dan
perak. Beruang itu sudah menurunkan tubuh Han Han ke atas lantai yang terbuat
daripada batu putih bersih dan mengkilap, kemudian beruang itu berlari ke
tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga buah patung yang
terbuat daripada batu pualam. Berlutut sambil mengeluarkan suara seperti
menangis.
Biarpun merasa heran sekali, akan tetapi Lulu tidak lagi
memperhatikan binatang itu, tidak pula memperhatikan ruangan yang indah karena
semua perhatiannya telah ia curahkan kepada Han Han yang menggeletak terlentang
di atas tanah. Ia berlutut di dekat kakaknya dan memeriksa. Alangkah kagetnya
ketika ia melihat betapa kulit muka kakaknya itu berwarna dua macam! Yang kanan
berwarna hitam seperti terbakar gosong, adapun yang kiri berwarna putih
kebiruan seperti muka mayat. Han Han rebah tak bergerak, dan napasnya tinggal
satu-satu.
‘Koko., Han-ko... ahhh, Koko..!! Lulu memeluk tubuh
kakaknya dan menjadi kebingungan. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa kakaknya
tentu menderita luka di sebelah dalam, akibat dari pengerahan sinkang yang
dibagi menjadi dua hawa sakti tadi. Ia sudah banyak membaca kitab tentang
latihan sinkang, bahkan dia sendiri sudah melatih diri di bawah bimbingan
kakaknya.
Yang ia latih adalah sebuah kitab dari perpustakaan di
istana Pulau Es itu yang sesuai dengan latihan yang pernah dipelajari Han Han
dari Lauw-pangcu. Tanpa mereka sadari, kalau Han Han menggembleng diri dengan
ilmu kaum sesat, adalah Lulu malah melatih diri dengan ilmu kaum bersih!
Melihat keadaan kakanya sekarang ini, Lulu teringat akan ilmu memindahkan
sinking ke tubuh orang lain untuk membantu orang itu.
Maka, biarpun latihannya belum matang benar, Lulu tanpa
ragu-ragu lagi duduk bersila dan menempelkan kedua telapak tangannya ke dada
dan perut Han Han, kemudian ia mengheningkan cipta, bersamadhi mengumpulkan
semua tenaga dalam di tubuhnya yang ia paksa keluar melalui kedua tangannya
memasuki tubuh Han Han!
Han Han siuman dan merasa betapa ada hawa hangat yang
halus lembut memasuki dadanya. Ketika ia membuka mata dan melihat betapa Lulu
bersila meramkan mata dan menempelkan kedua telapak tangan ke badannya, ia
menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap adiknya ini makin mendalam.
‘Cukuplah, Lulu. Jangan menyia-nyiakan sinkangmu yang
masih belum kuat...! katanya halus sambil mendorong kedua tangan Lulu
perlahan-lahan. Lulu membuka matanya akan tetapi menutup mulutnya yang sudah
akan bertanya ketika ia melihat betapa kakaknya bangkit dan bersila sambil
meramkan mata. Ia tahu bahwa kakaknya sedang mengerahkan tenaga untuk mengobati
diri sendiri dan perlahan-lahan muka kakaknya yang tadinya berwarna dua kini
menjadi pulih kembali. Hatinya menjadi lega dan mulailah dia menyapu keadaan
sekeliling ruangan indah itu dengan pandang matanya.
Ruangan itu benar-benar amat indah. Di tengah ruangan
terdapat tiga buah patung, yang tengah merupakan seorang laki-laki yang tampan
sekali, akan tetapi bagian kepalanya, di dahi, terdapat dua buah lubang
seolah-olah bagian kepala patung ini ada yang menusuknya dengan senjata dua
kali. Di sebelah kiri patung pria ini adalah sebuah patung wanita, cantik
jelita dengan tubuh ramping dan dengan wajah lemah lembut, akan tetapi sebelah
kakinya buntung! Adapun yang berada paling kanan adalah patung seorang wanita
yang juga cantik jelita, lebih tinggi daripada wanita buntung, akan tetapi
kecantikan wanita di kanan ini bercampur dengan kekerasan hati dan kekejaman
yang membayangkan pada wajah cantik itu. Hanya patung inilah yang tidak ada
cacadnya.
Tiba-tiba Lulu tertawa. Memang lucu melihat tingkah laku
beruang es ketika itu. Binatang ini seperti kesurupan atau telah menjadi gila.
Kadang-kadang ia lari dan menjatuhkan diri didepan patung pria, memeluk kaki
patung itu, mengeluarkan suara seperti menangis, kemudian berlutut di depan
patung wanita buntung, berdongak ke atas memandang wajah patung itu dengan
wajah membayangkan rasa saying, akan tetapi selalu ia kembali ke patung sebelah
kanan dan ia berlutut di depan wanita cantik tanpa cacad itu sambil
mengangguk-angguk dan membentur-benturkan kepala ke lantai dan mengeluarkan
suara seperti sedang ketakutan. Melihat beruang itu berlutut di depan tiga
patung dengan tiga macam tingkah laku, kelihatan lucu bukan main sehingga Lulu
tertawa.
Han Han membuka matanya. Ia pun terpesona akan keindahan
ruangan itu dan kini tahulah ia mengapa beruang itu mengajak mereka ke situ.
Dari tempat ini, suara badai mengamuk tidak terdengar lagi dan mereka memang
aman daripada gangguan suara den ancaman hujan butiran ea keras yang
beterbangan seperti peluru. Akan tetapi, melihat beruang itu seperti gila
berlutut di depan tiga buah patung itu, ia memandang terbelalak dan hatinya
berdebar keras.
Tidak salah lagi, tentu patung-patung itu adalah patung
dari para penghuni istana Pulau Es yang telah meninggalkan kesemuanya untuk dia
dan Lulu! Sudah meninggal duniakah mereka bertiga itu? Ia bangkit lalu
menggandeng tangan Lulu, dan berbisik.
‘Lulu, jangan sembrono. Kurasa mereka itu adalah patung
daripada Locianpwe yang dahulu menjadi penghuni Istana Pulau Es. Mari kita
memberi hormat..!
Lulu menurut dan sambil bergandengan tangan mereka
menghampiri tengah ruangan itu. Melihat betapa tiga buah patung itu
menggambarkan Seorang laki-Jaki muda dan tampan dan dua orang wanita yang
cantik jelita seperti puteri-puteri istana, Han Han terbelalak dan meragu.
Inikah manusia-manusia sakti yang menjadi penghuni Istana Pulau Es? Akan
tetapi, menyaksikan sikap beruang itu, ia tidak ragu-ragu lagi dan ia
membimbing tangan Lulu dan diajaknya adiknya itu berlutut di depan ketiga
patung itu sambil berkata.
‘Teecu Sie Han dan Sie Lulu mohon ampun kepada Sam-wi
Locianpwe bahwa teecu berdua berani mendiami Istana Pulau Es tanpa ijin Sam-wi,
dan teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang
ditinggalkan Sam-wi Locianpwe untuk keperluan teecu berdua.!
Beruang itu kelihatann girang sekali melihat Han Han dan
Lulu berlutut. Ia pun berlutut di depan patung pria itu dan mengeluarkan suara
menguik-nguik seolah-olah ia pun menceritakan bahwa dua orang anak-anak itu
adalah orang baik-baik dan selama ini menjadi sahabat-sahabatnya!
‘Koko, mengapa aku bernama Sie Lulu?! Lulu berbisik
setelah mereka bangkit dan melihat-lihat keadaan ruangan yang indah itu.
‘Habis, engkau Adikku. Kalau tidak ber-she Sie seperti
aku, mau pakai she apa lagi?!
‘Koko, para Locianpwe yang katanya orang-orang sakti,
kenapa masih begitu muda-muda dan kelihatan seperti orang-orang lemah?!
‘Hussshhh, jangan berkata demikian, Lulu. Kau lihat
beruang itu mengenal majikan-majikannya, kiranya tidak salah lagi. Mereka
adalah penghuni istana yang tadinya terbuka itu dapat menutup sendiri! Tentu
saja Han Han dan Lulu menjadi terkejut dan merasa seram. Adakah mahluk
tersembunyi di tempat itu yang menutupkan dinding baja ini? Mereka diam-diam
mengambil keputusan untuk tidak memasuki tempat rahasia itu lagi kalau tidak
amat perlu, karena kehadiran mereka seolah-olah mengganggu ketentereman dan
kesunyian tiga patung yang indah itu.
Ke manakah perginya perahu Mancu yang dipimpin oleh
Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga tahun yang laJu ketika perahu itu bertemu
dengan perahu Ma-bin Lo-mo? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan
licik sekali Kang-thouw-kwi dapat mengalahkan Ma-bin Lo-mo dengan anak
panah-anak panah berapi sehingga perahu Ma-bin Lo-mo terbakar dan memaksa
Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya meloncat ke laut meninggalkan perahu
yang terbakar.
Si Setan Botak tertawa bergelak, suara ketawanya yang
mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu terbawa angin laut dan terdengar
sampai jauh, seperti suara ketawa iblis taut sendiri. Adapun Ma-bin Lo-mo dan
tiga orang kawannya, dapat menghindari maut dengan jalan mengapungkan diri
berpegangan kepada bambu-bambu yang mereka renggut putus dari perahu, yaitu
bamboo-bambu pengapung yang dipasang di kanan kiri perahu yang terbakar itu.
Pada saat itu, badai mulai mengamuk dan Gak Liat bersama
anak buahnya terlalu repot dan sibuk menyelamatkan perahu mereka melawan ombak
membadai sehingga mereka tidak melihat betapa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang
pembantunya mempergunakan kekuatan tangan mereka untuk mendayung bambu-bambu
pengapung itu mendekati perahu Mancu itu.
Tidak melihat betapa empat orang sakti itu akhirnya
berhasil menempel di tubuh perahu dan berpegang kuat-kuat sehingga betapapun
badai mengamuk dan perahu itu diayun dan diguncangkan, mereka tetap menempel
pada tubuh perahu seperti empat ekor lintah menempel di perut kerbau.
Setelah badai mereda, perahu itu dibawa jauh dari
sekumpulan pulau-pulau itu dan terdampar di sebuah pulau kecil yang kosong. Gak
Liat dan anak buahnya lalu mendarat dan para perwira Mancu itu lalu
mempergunakan sebuah alat teropong untuk menyelidiki keadaan sekitar pulau itu.
Tiba-tiba seorang di antara para perwira itu berseru keras dalam bahasa Mancu
dan menunjukkan teropongnya ke arah utara.
Sekali meloncat, Gak Liat sudah tiba di dekat perwira ini
dan menyambar teropongnya. Biarpun dia memiliki ilmu tinggi dan pandang matanya
jauh lebih awas daripada mata orang biasa, namun dibandingkan dengan kekuatan
teropong itu ia masih kalah jauh. Ia lalu memakai teropong itu dan menujukan
pandangannya ke utara, kemudian ia berkata girang.
‘Tidak salah lagi! Itulah Pulau Es! Kita berhasil..!!
Teriaknya
Tentu saja hatinya girang ketika ia melihat sebuah puJau
yang putih diliputi salju dan melihat samar-samar sebuah bangunan indah di
tengah pulau, dibagian yang agak tingi. Akan tetapi pada saat itu terdengar
teriakan ngeri dan empat orang perwira Mancu roboh terjungkal dan tewas
seketika.
Seperti iblis-iblis penghuni pulau, muncullah empat orang
kakek yang pakaiannya basah kuyup, dan biarpun keadaan empat orang kakek ini
cukup payah karena terendam di air laut terlalu lama, namun mereka itu dapat
dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si Muka Tengkorak Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si
Muka Bopeng Ouw Kian! Mereka herhasil mendarat pula dan begitu muncul, mereka
berempat menyerang empat orang perwira yang roboh dan tewas seketika!
‘Iblis Muka Kuda! Engkau masih belum mampus?! teriak
Setan Sotak dengan nyaring dan terheran-heran.
‘Si Botak yang buruk! Bukan aku, melainkan engkaulah
yang akan mampus!! balas Ma-bin Lo-mo yang segera maju menerjang Si Setan
Botak. Adapun tiga orang pembantunya sudah dikurung oleh dua puluh enam orang
perwira Mancu. Pertandingan hebat din mati-matian terjadilah di pulau kosong
itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo sudah disambut dengan tangkisan Kang-thouw-kwi.
Dua buah lengan yang amat kuat bertemu dan keduanya
terpental ke belakang. Biarpun hawa sakti yang tersalur di tangan mereka
berlawanan dan amat ber beda, yang seorang adalah ahli Yang-kang dan yang ke
dua adalah ahli Im-kang, namun karena tingkat mereka sudah amat tinggi dan
seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing harus mengakui bahwa lawan
tldak boleh dipandang ringan. Maka mereka segera saling menggempur dengan
hati-hati sekali, karena mereka maklum bahwa satu kali saja terkena pukulan
lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka.
Pertandingan antara tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang
dikeroyok dua puluh enam orang perwira Mancu juga berjalan dengan sengit dan
mati-matian. Para perwira itu bukanlah perajurit-perajurit sembarangan,
melainkan perwira-perwira pilihan yang sengaja diutus oleh kaisar untuk mencari
Pulau Es di bawah pimpinan Setan Botak. Mereka mengeroyok dengan senjata golok
mereka secara teratur dan tidak serampangan karena mereka pun tahu bahwa tiga
orang itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi.
Kalau saja tiga orang sakti itu berada dalam keadaan
segar seperti biasa, biarpun dikeroyok dua puluh enam orang, tipis harapan bagi
para perwira itu untuk dapat menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin
Lo-mo itu telah mengalami penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh
perahu yang diombang-ambingkan gelombang lautan. Gempuran-gempuran air laut
membuat mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan yang
mengerikan, sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga mereka tinggal
setengahnya. Hal inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan terancam. Sampai
puluhan jurus, mereka bertiga belum juga mampu merobohkan seorang di antara
para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas dengan
serangan-serangan berganda yang ganas.
Antara Gak Liat Si Setan Botak dan Siangkoan Lee Si Iblis
Muka Kuda terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Keduanya sekali ini
dapat melanjutkan pertandingan beberapa tahun yang lalu dan sungguhpun mereka
itu merupakan dua di antara para datuk yang enggan untuk saling bermusuhan,
apalagi saling membunuh, namun pertandingan sekali ini lain lagi sifatnya.
Pulau Es sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain merupakan penghalang
terbesar untuk dapat memiliki semua pusaka di pulau itu yang diidam-idamkan
oleh golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum bersih maupun kaum sesat.
Mereka ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es
itu merupakan tempat bertapa Kaoi-lojin, seorang manusia dewa yang memiliki
kesaktian luar biasa dan yang telah meninggalkan benda-benda pusaka termasuk
kitab-kitab pelajaran segala macam ilmu di pulau itu. Karena ingin mendapatkan
benda pusaka, kini Gak Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum
bahwa sebelum berhasil menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan
dapat mencapai idam-idaman hati masing-masing.
Setelah lewat kurang lebih satu jam, pertandingan antara
Gak Liat dan Siangkoan Lee masih berlangsung seru dan sukar untuk diduga siapa
diantara mereka yang lebih unggul dan akan mencapai kemenangan. Memang sudah
tentu sekali seorang di antara mereka akan kalah, akan tetapi hal ini tentu
akan terjadi lama sekali, mungkin sehari penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan
dapat diduga pula bahwa kalau sampai terjadi seorang di antara mereka kalah dan
tewas, dia yang menang tentu takkan keluar sebagai pemenang yang utuh,
sedikitnya tentu akan mengalami luka-luka parah.
Namun dalam pertempuran kurang lebih satu jam itu, telah
terjadi perubahan pada pertandingan antara dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo
dengan para perwira. Tiga orang sakti itu mengamuk hebat sekali, melupakan
kelelahan tubuh nereka karena mereka maklum bahwa kalau mereka tidak dapat
keluar sebagai pemenang, mereka akan tewas di pulau kosong itu.
Swi Coan si muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya
yang ampuh, sebuah thi-pian, yaitu sebatang pecut besi yang biasanya ia
libatkan di pinggang sebagai sabuk. Pecut besi itu kini menyambar-nyambar dan
mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar yang menyambar-nyambar di
atas kepala para pengeroyoknya yang amat banyak jumlahnya itu. Adapun Kek Bu
hwesio tokoh Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang
kelihatan sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya
sendiri yang kini ia lolos dan dipergunakan sebagai senjata.
Jangan dipandang ringan senjata ini, karena di tangan
pendeta kosen ini, jubah itu dapat menjadi lemas dan dipakai melibat senjata
lawan, juga dapat menjadi kaku seperti sebatang tongkat baja. Ouw Kian si muka
bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang pedang yang lemas sekali,
tipis namun amat keras dan tajam sehingga ketika di mainkan, berubah menjadi
segulung sinar putih yang membentuk lingkaran-lingkaran dan melindungi tubuhnya
dari atas ke bawah dari hujan golok yang dilancarkan oleh para pengeroyoknya.
Betapapun lihainya tiga orang tokoh ini dengan
senjata-senjata mereka yang ampuh, namun jumlah pengeroyok terlalu banyak
sehingga setiap kali senjata-senjata mereka itu menyambar, tentu akan bertemu
dengan tangkisan delapan sampai sembilan batang golok di tangan para perwira
Mancu yang rata-rata memiliki tenaga besar.
Setelah pertandingan ini berjalan kurang lebih satu jam,
mereka itu masing-masing telah menewaskan dua pengeroyok sehingga ada enam
orang perwira yang roboh tewas, akan tetapi mereka bertiga pun tidak luput
daripada luka-luka bacokan golok. Biarpun luka-luka itu tidak parah, hanya
merobek kulit dan melukai sedikit daging, namun darah yang keluar membuat
mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka merasa khawatir karena kalau dilanjutkan,
agaknya mereka itu sendiri akan roboh biarpun mungkin mereka akan dapat
menewaskan lebih banyak lawan lagi.
Dengan demikian, keadaan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo
ini terancam bahaya, sedangkan keadaan Ma-bin Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya
untuk menang masih setengah-tengah atau paling banyak dia hanya menang seusap
saja.
Pertandingan yang berlangsung amat serunya ini membuat
mereka semua tidak sempat memperhatikan soal-soal lain yang terjadi di sekitar
pulau kosong itu. Tidak tahu betapa dari sebelah belakang pulau mendarat pula
sebuah perahu layar yang keadaannya pun tidak lebih baik daripada perahu Mancu,
dan jelas tampak bekas-bekas amukan badai sehingga layar perahu ini sebagian
kecil robek-robek, tiangnya ada sebuah yang patah.
Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat turun ke
darat tujuh orang yang gerakannya ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu
adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka itu terdiri dari tujuh orang
kakek yang usianya paling sedikit lima puluh tahun, dan di punggung
masing-masing tampak menggemblok sebatang pedang yang gagangnya terukir indah
dan dihias ronce-ronce beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning dan biru.
Siapakah mereka ini? Para pembaca sudah mengenal mereka,
karena tujuh orang kakek gagah perkasa ini bukan lain adalah Siauw-lim
Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai), jago-jago pedang dari Siauw-lim-pai
yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang mereka. Seperti juga para tokoh
kang-ouw yang lain, mereka ini tertarik akan Pulau Es, bahkan sekali ini atas
perintah ketua Siauw-lim-pai, mereka menggunakan perahu untuk mencari pulau
rahasia itu setelah mendengar bahwa pemerintah Mancu juga menaruh minat atas
pulau yang mengandung benda-benda pusaka yang amat penting bagi dunia persilatan
itu.
Dan seperti juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin
Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun diserang badai sehingga perahu mereka
dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat berbuat sesuatu yang berarti. Tenaga
manusia, betapapun kuat dan pandainya mereka, akan tampak kecil tak berarti
setelah berhadapan dengan kekuasaan alam yang maha hebat. Akhirnya, tanpa
mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar pada pulau kosong itu seperti
juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka terdampar di pantai yang berlawanan
dengan pantai di mana perahu Mancu mendarat.
Siauw-lim Chit-kiam tidak membawa teropong seperti yang
dimiliki para perwira Mancu, maka pandangan mata mereka tidak dapat mencapai
Pulau Es yang tampak samar-samar di jauh. Karena ini, mereka tidak tahu bahwa
Pulau Es yang diidam-idamkan berada tak jauh lagi dari pulau kosong ini. Mereka
lalu mendarat dan tiba-tiba mereka melihat pertandingan hebat yang sedang
berlangsung di pantai yang berlawanan itu. Sebagai orang-orang gagah tentu saja
mereka tertarik sekali menyaksikan pertandingan mati-matian itu, maka tanpa
dikomando mereka lalu berloncatan mendekati tempat pertandingan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika
mendapat kenyataan bahwa yang sedang bertanding itu adalah Setan Botak Gak Liat
melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan Lee, dan banyak sekali perwira Mancu
mengeroyok tiga orang kakek yang keadaannya telah payah dan terancam hebat.
Siauw-lim Chit-kiam mengenal siapa adanya dua orang kakek sakti yang bertanding
mati-matian itu, tahu bahwa mereka itu keduanya adalah datuk-datuk sesat yang
berwatak aneh dan kejam luar biasa.
Bahkan mereka pun hampir saja tewas di tangan Setan Botak
Gak Liat ketika Setan Botak itu membasmi anak buah Lauw-pangcu. Mereka pun tahu
bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat,
yang tidak patut dijadikan sahabat maupun sekutu sungguhpun mereka tahu pula
betapa kakek sakti ini membenci penjajah Mancu.
Akan tetapi kini menyaksikan pertandingan itu, tidaklah
sukar bagi mereka untuk memihak. Bukan sekali-kali karena mereka menaruh
simpati kepada Ma-bin Lo-mo sama sekali tidak. Mereka sebagai tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai yang bernama bersih dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pedang
yang gagah, tentu saja tidak sudi bersekutu dengan manusia iblis seperti Ma-bin
Lo-mo.
Akan tetapi mereka memiliki permusuhan pribadi dengan
Kang-thouw-kwi Gak Liat. Permusuhan itu timbul ketika keponakan wanita mereka,
yaitu Bi-kiam Khok Khim, anak murid Siauw-lim-pai yang cantik, telah menjadi
korban kekejian Gak Liat, telah diperkosa oleh Setan Botak ini.
Di samping permusuhan pribadi ini, juga mereka teringat
akan pembasmian anak buah Lauw-pangcu oleh Set an Botak. Semua ini ditambah
lagi dengan kenyataan sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira
Mancu, yaitu perwira-perwira penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini
memudahkan Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan serta-merta mereka mencabut
pedang sambil menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin
Lo-mo Siangkoan Lee.
‘Kang-thouw-kwi, bersiaplah untuk menerima hukuman atas
dosa-dosamu!! bentak Song Kai Sin yang menjadi wakil dari para sutenya.
Bentakan ini pun merupakan isyarat komando karena serentak mereka bertujuh
sudah mengge rakkan pedang mereka sehingga tampak sinar pedang mereka
bergulung-gulung dan terdengar suara bercuitan nyaring sekali.
Gak Liat terkejut bukan main melihat munculnya tujuh
orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini. Kalau saja dia tidak
sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak gentar menghadapi
Siauw-lim Chit-kiam. Akan tetapi di situ ada Ma-bin Lo-mo, dan dia sudah pernah
bertanding melawan Siauw-lim Chit-kiam yang kalau bergabung merupakan lawan
yang amat tangguh pula.
Kini melihat gulungan sinar pedang itu, ia mengeluarkan
seruan keras dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga
dorongan Ma-bin Lo-mo sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat
sekali, tahu-tahu ia sudah meloncat ke depan Song Kai Sin yang berada paling
dekat lalu mengirim pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Maklum akan lihainya pukulan ini Song Kai Sin meloncat
jauh namun hawa pukulan itu masih menyerempet pundaknya sehingga ia terhuyung.
Pada saat itu, enam orang sutenya sudah menyerang secara berbareng kepada Gak
Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri yang tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah
mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada Setan Botak itu.
Gak Liat terkejut setengah mati. Ia tahu bahwa pukulan
Ma-bin Lo-mo yang paling berbahaya maka ia cepat menangkis dengan lengan kirinya.
‘Dukkk!! Sekali lagi tubuh kedua orang ini terpental
dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong dengan tangannya ke arah enam
sinar pedang, akan tetapi biarpun ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman
maut, pundaknya masih tergurat pedang sehingga bajunya robek dan pundak
berdarah!
Pada saat itu, sebuah dorongan datang lagi dari Ma-bin
Lo-mo. Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya kurang cepat sehingga ia
terdorong ke belakang dan kembali sebuah tusukan pedang mengenai pangkal lengan
kirinya. Kakek ini mengeluarkan gerengan keras dan menggulingkan tubuhnya
menjauhi para pengeroyoknya.
‘Ha-ha-ha.! Ma-bin Lo-mo tertawa dan mendadak kakek ini
membalik dan mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada tujuh orang
Siauw-lim-pai itu.
Serangan ini benar-benar amat tidak terduga sehingga
kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei Kiong roboh terguling dengan muka menjadi
pucat sekali. Untung bahwa pukulan itu ditangkis oleh saudara-saudara mereka
sehingga tenaganya banyak berkurang. Mereka hanya terluka di sebelah dalam yang
tidak terlalu parah, hanya membuat tubuh mereka menggigil kedinhinan, namun
setelah bersila sebentar mengerahkan sinkang, rasa dingin itu lenyap!
Siauw-lim Chit-kiam kini bersatu dan mereka kini terpecah
menjadi tiga kelompok, tidak bergerak-gerak dan saling memandang, menanti pihak
lawan bergerak lebih dulu. Mereka menjadi bingung sendiri karena maklum bahwa
mereka tidak boleh saling bantu. Bagi Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka
paling sulit. Kalau dibuat ukuran, di antara mereka tiga kelompok, kedudukan
Siauw-lim Chit-kiam yang paling lemah. Kalau, mereka mengeroyok Gak Liat dengan
bantuan Ma-bin Lo-mo, tentu mereka akan berhasil membalas dendam dan membunuh
Setan Botak, akan tetapi mereka tahu bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh
sehingga mereka itu akhirnya pasti akan berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang
berhati palsu ini!
Kalau mereka kini menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak
membantu mereka, tentu Ma-bin Lo-mo akan dirobohkan, akan tetapi mereka pun
akan diserang oleh Gak Liat yang mempunyai banyak kawan perwira-perwira Mancu.
Si Setan Botak Gak Liat yang tadinya merasa khawatir
sekali melihat munculnya Siauw-lim Chit-kiam, kini tertawa bergelak melihat
Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia maklum bahwa bukan sekali-kali hal itu
dijakukan oleh Si Muka Kuda karena memiliki rasa setia kawan terhadap dirinya.
Sama sekali bukan. Ia tahu bahwa Ma-bin Lo-mo menganggap bahwa orang-orang
Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing juga dalam memperebutkan pusaka-pusaka Pulau
Es! Maka ia tertawa bergelak dan berkata.
‘Ha-ha-ha, Iblis Muka Kuda! Kiranya engkau cerdik juga.
Pulau Es sudah tampak di depan mata, kalau kita mati-matian saling gempur,
akhirnya kita berdua roboh den enak sekali bagi tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita
menjadi seperti dua ekor anjing tua memperebutkan tulang dan akhirnya
tikus-tikus ini yang akan mendapat tulangnya. Ha-ha-ha!!
Mendengar ini, Siauw-lim Chit-kiam tercengang dan jantung
mereka berdebar. Pulau Es sudah di de pan mata? Benarkah Pulau Es sudah dekat
dengan pulau kosong ini? Adapun Ma-bin Lo-mo juga bersiap-siap. Kalau tadi ia
menyerang Siauw-lim Chit-kiam, bukan sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat.
Ia melihat Gak Liat sudah terluka sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan
Setan Botak itu. Ia tahu bahwa setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu
tenaganya tinggal sedikit karena lelah dan Siauw-lim Chit-kiam ini bukanlah
lawan yang empuk. Dan ia pun tahu bahwa mereka bertujuh ini tentu akan
mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan
bersama dengan Setan Botak. Kini ia meragu dan bersikap hati-hati karena kalau
sampai Setan Botak dapat membujuk mereka ini menghadapinya, ia akan celaka!
Pada saat itu, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang
setelah mendengar disebutnya Pulau Es lalu mencari-cari dengan pandang mata
mereka, tiba-tiba mereka itu melihat ke kiri dan menjadi bengong. Melihat
keadaan mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan
mereka pun terkejut dan melongo. Apakah yang mereka lihat? Kiranya para perwira
yang jumlahnya tinggal dua puluh orang mengeroyok tiga orang pembantu Ma-bin
Lo-mo yang sudah terluka dan mulai kehabisan tenaga itu pun sekarang telah
menghentikan pertempuran mereka. Akan tetapi mereka itu bukan berhenti
bertempur dalam keadaan sewajarnya.
Mereka itu masih dalam sikap bertanding, bahkan berhenti
di tengah-tengah gerakan silat akan tetapi sudah menjadi kaku seperti berubah
menjadi arca-arca batu! Tahulah orang-orang sakti yang memandang heran bahwa
dua puluh orang Mancu dan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan
kaku karena tertotok jalan darah mereka!
Kalau dua puluh orang perwira Mancu itu sampai menjadi
kaku tertotok, hal ini tidaklah amat mengherankan benar. Akan tetapi tiga orang
pembantu Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok
begitu saja. Dan hebatnya, mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok
dalam waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang bergerak-gerak cepat dalam
pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan seperti
itu?
Kenyataan inilah yang membuat mereka makin terbelalak
memandang ketika tampak seorang kakek yang bertubuh tegap tinggi muncul di
pantai. Sebuah perahu nelayan kecil tampak di belakangnya dan kini kakek ini
melangkah perlahan-l.ahan menuju ke tempat mereka. Kakek itu tidak dapat
dilihat mukanya karena tertutup oleh sebuah caping nelayan yang amat lebar.
Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya amat sederhana,
pakaian seorang nelayan miskin. Biarpun kini dia sudah melangkah makin dekat,
sembilan orang sakti itu tetap tidak dapat melihat mukanya yang terus
terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya amat tenang, namun
kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam Kang-thouw-kwi dan
Ma-bin Lo-mo sekalipun menjadi bergidik.
Siauw-lim Chit-kiam juga tidak mengenal kakek nelayan
ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini yang penuh dengan ketenangan, wibawa
yang seolah-olah tergetar keluar dari sikap kakek ini mengingatkan mereka akan
guru mereka, Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, mereka
segera tunduk dan maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang sakti yang
menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai Sin, tujuh orang gagah ini
menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah Song Kai Sin.
‘Teecu bertujuh Siauw-lim Chit-kiam menghaturkan hormat
kepada Locianpwe dan mohon maaf apabila teecu sekalian mengganggu tempat
kediaman Locianpwe tanpa disengaja. Mohon Locianpwe memperkenalkan diri.!
Kakek nelayan itu tetap menyembunyikan mukanya di balik
caping lebar dan terdengarlah suaranya yang halus dan penuh getaran kesabaran
dan welas asih,
‘Chit-wi-sicu datang di pulau kosong milik alam, aku
nelayan tua mana bisa mempunyai pulau ini? Jauh-jauh menempuh bahaya mencari
apa? Lebih baik pulang melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi dunia dan
manusia.!
Sementara itu, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang
menyaksikan keadaan kakek ini, menjadi khawatir hati mereka. Sikap kakek ini
jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan berfihak kepada Siauw-lim Chit-kiam,
karena itu mereka pikir lebih baik turun tangan lebih dulu selagi kakek ini
tidak memperhatikan. Seperti telah bermufakat terlebih dahulu, kedua orang
sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari kanan kiri. Setan Botak melancarkan
pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan kakek itu sedangkan dalam detik yang
sama, Ma-bin Lo-mo menyerang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari kiri.
Siauw-lim Chit-kiam terkejut sekali akan tetapi mereka
tidak sempat lagi berbuat apa-apa, selain itu, menghadapi dua pukulan dahsyat
ini, mereka dapat berbuat apakah? Akan tetapi kakek itu dengan sikap tenang
sekali mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri.
‘Dessss...! Desssss..!!
Dorongan kedua orang kakek sakti dari kanan kiri itu
bertemu dengan lengan kakek nelayan yang dikembangkan. Tenaga mukjizat yang tak
tampak bertumbuk di udara dan akibatnya hebat sekali. Kakek nelayan masih
berdiri tenang dan kini sudah menurunkan kembali kedua lengannya yang
dikembangkan, bahkan lalu bersedakap, tetapi Setan Botak dan Iblis Muka Kuda
jatuh terduduk.
Muka Setan Botak menjadi merah sekali dan kepalanya
mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi pucat kebiruan mukanya den
tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila mengerahkan sinkang masing-masing
untuk memulihkan getaran yang membuat mereka hampir tidak dapat bertahan itu
karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan menyerang diri mereka sendiri.
Kakek nelayan itu bersenandung, suaranya lirih namun
jelas terdengar, ‘Tenaga Im dan Yang adalah hebat sekali dan Ji-Wi telah
dapat menguasainya. Sayang, tenaga murni sehebat itu bukan dipergunakan untuk
menyebar kebaikan, melainkan untuk memupuk keburukan, sungguh sayang karena
akibatnya akan menimpa diri sendiri...!
Setan Botak dan Iblis Muka Kuda itu terbelalak dan mulut
mereka berseru kaget,
Pada saat itu, Siauw-lim Chit-kiam yanng melihat betapa
dua orang kakek iblis itu menyerang Si kakek nelayan, sudah siap dengan pedang
mereka dan kini melihat kesempatan baik, tujuh sinar pedang menyambar ke arah
Setan Botak yang jatuhnya lebih dekat dengan mereka. Kejadiah ini amat cepatnya
sehingga Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri hanya terbelalak, tak kuasa
menghindarkan diri karena dia sendiri masih lemah oleh getaran yang diakibatkan
tangkisan kakek nelayan. Ia maklum bahwa nyawanya berada di ujung rambut, maka
ia hanya mengeluh dan memandang terbelalak.
Mendadak kakek nelayan itu mengibaskan lengan kanannya ke
depan, telapak tangannya mendorong ke arah sinar pedang dan.....
‘Trangggg....!!! Tujuh batang pedang itu runtuh semua di atas tanah dan tujuh
orang pendekar Siauw-lim-pai itu meloncat ke belakang dengan muka pucat.
Kembali kakek itu bersenandung, suaranya tetap halus dan tenang seolah-olah tidak
terjadi apa-apa yang penting.
‘Tujuh pedang lihai takkan ada gunanya kalau titik
sasarannya terpencar, jika titik sasaran dipusatkan, alangkah akan kuatnya...!
Tujuh orang pendekar pedang itu terkejut dan menjadi
girang sekali karena mereka mendapat petunjuk yang menjadi rahasia kekuatan
ilmu pedang mereka dan yang tak pernah mereka pikirkan, maka mereka cepat
mengambil pedang masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
nelayan ini yang mereka ketahui adalah Koai-lojin, manusia dewa yang pernah
mereka dengar disebut-sebut suhu mereka namun yang tak pernah mereka jumpai
itu.
‘Hendaknya Cu-wi sekalian kembali ke tempat asal
masing-masing. Tiada gunanya memperebutkan pusaka karena pusaka yang
diperebutkan melalui cucuran darah orang lain hanya akan mendatangkan kutuk.
Mencari sesuatu harus dengan cucuran keringat sendiri, bukan dengan cucuran
darah orang lain. Dan kalau tidak berjodoh, takkan mendapat.
‘Hendaknya segera Cu-wi meninggalkan tempat berbahaya
ini dan kiranya kepandaian Cu-wi sudah lebih dari cukup untuk melakukan hal-hal
yang bermanfaat bagi dunia dan manusia.! Dia berpaling ke arah Ma-bin Lo-mo dan
berkata.
‘Siangkoan-sicu kehilangan perahu, boleh menggunakan
perahu nelayanku yang berada di sana itu. Nah, selamat berlayar.!
Kakek nelayan itu sudah duduk bersila di atas tanah.
Kiranya di bawah capingnya yang lebar itu terdapat tirai sutera hitam yang
menyembunyikan mukanya, akan tetapi dari balik tirai sutera hitam itu tampak
sepasang mata yang mengeluarkan cahaya lembut namun penuh wibawa sehingga
mereka yang berada di situ, terrnasuk Gak Liat dan Siangkoan Lee yang biasanya
ganas seperti iblis, tidak berani membantah lagi.
Gak Liat bersungut-sungut dan mengumpulkan sisa para
perwira Mancu yang kini tiba-tiba dapat bergerak kembali yang menandakan bahwa
totokan itu memang dilakukan dengan sengaja menghentikan gerakan mereka untuk
beberapa menit saja. Akan tetapi buyarlah harapan Gak Liat yang diam-diam masih
hendak mencari Pulau Es ketika secara aneh sekali semua teropong yang berada di
situ telah lenyap.
Mereka berbondong-bondong kembali ke perahu sambil
membawa mayat teman-teman mereka, dan betapa heran dan mendongkol hati Gak Liat
ketika mendapat kenyataan bahwa teropong-teropong yang disimpan di perahu juga
lenyap semua. Terpaksa mereka melayarkan perahu dan mencari-cari secara ngawur
saja, namun akhirnya tidak berhasil juga dan karena daerah itu banyak diserang
badai, mereka akhirnya pergi ke selatan.
Demikian pula dengan Ma-bin Lo-mo dan tiga orang
pembantunya. Dengan perahu nelayan kecil mereka tidak berani mengambil resiko
diserang badai, maka mereka juga berlayar kembali ke selatan. Siauw-lim
Chit-kiam meninggalkan pulau itu dan mereka langsung berlayar kembali ke
selatan. Di waktu semua orang meninggalkan pulau, terdengar lapat-lapat suara
nyanyian kakek neJayan:
Yang tidak ingin itu cukup dan puas
Yang ingin itu kurang dan kecewa!
Yang tidak mencari akan mendapat
Yang mencari akan sia-sia....!
Yang ada tidak dimanfaatkan
Yang tidak ada dicari-cari!
Tak lama kemudian, setelah tiga buah perahu itu mulai
mengecil dan hanya tampak sebagai titik hitam di kaki langit, tampak kakek
nelayan ini meninggalkan pulau. Dilihat dari jauh, dia seolah-olah melayang di
atas air dengan jubah berkibar-kibar tertiup angin. Akan tetapi andaikata ada
yang dapat melihat dari dekat, akan tampaklah betapa kakek nelayan yang aneh
ini sesungguhnya berdiri di atas dua batang bambu dan bambu itu meluncur cepat
ke depan karena jubah kakek itu tertiup angin dan sengaja dikembangkan sehingga
menjadi pengganti layar!
‘Han-ko....! Sadarlah! Engkau sudah tiga hari tiga
malam di situ!! Lulu berteriak sambil berdiri bertolak pinggang di pondok
taman, memandang kepada Han Han yang duduk bersila tanpa sepatu di atas batu
es. Sebagian tubuh dan di atas kepala Han Han penuh dengan salju membeku. Di
belakangnya, beruang es sedang menggaruk-garuk salju yang menutup air, agaknya
dia mencium ikan di bawah situ.
Lulu kini bukanlah Lulu enam tahun yang lalu. Ketika
datang ke pulau itu terbawa perahu bersama Han Han, usianya baru sembilan
tahun. Kini dia telah menjadi seorang gadis remaja berusia lima belas tahun,
berwajah cantik dengan sepasang mata lebar dan indah, tubuhnya ramping kecil
namun singset dan padat membayangkan tenaga sakti yang amat kuat. Adapun Han
Han yang duduk bersila itu pun bukan kanak-kanak lagi sekarang.
Dia kini telah berusia delapan belas tahun, telah menjadi
seorang jejaka remaja yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap, dadanya
bidang pinggangnya kecil, tubuhnya kelihatan kuat sekali dan bibirnya selalu
tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan jarang ada
orang akan dapat bertahan bertemu pandang dengan pemuda luar biasa itu. Dia
sedang melatih diri dan kini Han Han yang tekun berlatih menghimpun Im-kang
selama enam tahun itu telah memperoleh kemajuan yang amat mentakjubkan.
Tenaga sinkang yang ia kerahkan menjadi Im-kang amat
dahsyat sehingga sekali dorong dengan kekuatan Im-kang, ia dapat membuat air
membeku seketika menjadi gumpalan es yang besar! Dan kalau dia sedang melatih
diri, dia sengaja duduk di luar, membiarkan dirinya diserang hujan salju dan ia
bertelanjang kaki. Namun hawa dingin tidak lagi mengganggunya karena dengan
tenaga sinkang ia telah membuat tubuhnya lebih dingin daripada yang di luar
dirinya, sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi es dan salju yang
melekat pada tubuhnya sampai membeku!
‘Koko! Terlalu sekali kau! Masa aku kau diamkan sampai
tiga hari tiga malam? Benar-benar kakak yang tidak menyayang adik!! Lulu
membanting-banting kaki kanannya dengan jengkel!
Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mendengar ucapan
adiknya ini karena dia masih tenggelam ke dalam samadhi. Alisnya berkerut,
wajahnya berseri dan bibirnya yang tersenyum itu membayangkan senyum yang mengejek.
Dalam keadaan terlelap itu timbul bayangan-bayangan yang menyenangkan hatinya,
yaitu betapa dengan amat mudahnya ia menangkap para perwira yang dahulu
membasmi keluarga orang tuanya, dan membawa mereka itu ke pulau ini, kemudian
melaksanakan pembalasannya dengan memuaskan sekali.
Ia memikirkan dan mencari-cari cara yang paling
mengerikan, paling kejam dan paling menyakitkan untuk membunuh musuh-musuhnya
itu sedikit demikian sedikit, untuk menyiksa mereka dengan siksaan-siksaan yang
mengalahkan siksaan di dalam neraka seperti yang pernah ia baca dalam
kitab-kitab.
Dan ia telah mencurahkan segala perhatiannya kepada
cara-cara penyiksaan ini ketika ia mulai siulian, tepat seperti cara
mencurahkan perhatian dalam samadhi seperti yang pernah diajarkan Toat-beng
Ciu-sian-li kepadanya. Tidaklah mengherankan apabila wajahnya kini mengandung
sinar yang kejam karena pemuda ini tanpa disadari telah melatih diri dengan
ilmu yang amat sesat.
‘Han-ko... Han-ko.... tolong..... Paman Beruang
diserang ular....!!
Kalau lulu hanya mengomel dan marah-marah, kiranya Han
Han takkan dapat sadar dari keadaan samadhinya. Akan tetapi mendengar adiknya
yang dicintanya itu menjerit minta tolong, seketika ia sadar dan membuka
matanya. Setelah pikirannya yang tadi sedang membayangkan siksaan yang paling
kejam terhadap musuh-musuhnya sudah mulai terang, ia menoleh.
Dilihatnya Lulu, sedang menarik seekor ular dari leher
beruang yang terkapar di atas salju sambil berkelojotan. Dia merasa heran
sekali mengapa beruang es yang selain bertenaga besar, juga kebal kulitnya dan
dapat bergerak sigap itu kini terkapar hanya oleh gigitan seekor ular merah
darah yang entah bagaimana tadi menggigit leher beruang dan membelit leher itu.
Pada waktu itu, Lulu telah menjadi seorang gadis remaja
yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan pengerahan sin-kang, ia dapat merenggut
tubuh ular itu terlepas dari tubuh beruang dan ular merah itu tiba-tiba melejit
sehingga terlepaslah pegangan tangan Lulu karena ular itu licin dan tenaganya
ketika melejit besar sekali. Ular merah yang panjangnya ada semeter dan
besarnya hanya seibu jari kaki itu kini meluncur dari bawah dan menyerang ke
arah leher Lulu!
Namun gadis ini sudah menyambar dengan tangannya dan
dengan gerakan manis dan tepat sekali jari telunjuk dan jari tengah tangan
kanannya sudah menangkap dan menjepit leher ular itu. Ia mengangkat tinggi-tinggi
tangannya, dua buah jarinya yang kecil itu seperti sepasang sumpit menjepit,
dan ular itu .tidak dapat melepaskan dirinya lagi, hanya dapat meronta-ronta
dan mulai melibat tangan Lulu yang menjadi jijik dan geli.
Ketika merasa betapa tubuh ular yang licin dan panas itu
menggeliat-geliat dan membelit-belit tangannya, bulu tengkuk Lulu berdiri dan
ia sudah siap mencengkeram kepala ular dan diremas hancur dengan tangan kiri.
‘Tunggu, Moi-moi. Jangan bunuh dulu!! tiba-tiba Han Han
meloncat dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah berada di depan lulu. Gerakan
Han Han benar-benar luar biasa cepatnya dan ginkang yang tidak lumrah manusia
biasa ini pun ia dapatkan dari hasil latihan-latihannya yang menyeleweng.
‘Mau apa kau? Enak-enak saja siulian dan setelah ular
jahat ini kutangkap, tidak boleh kubunuh!! Lulu mengomel.
‘Jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak bagi ular
keparat itu kalau dibunuh begitu saja. Lihat apa yang telah ia lakukan. Lihat
Paman Beruang itu!! Han Han menunjuk ke bawah, Lulu menengok ke arah beruang
dan gadis ini mengeluarkan jerit. Han Han cepat menyambar ular itu dan ia
pegang pada lehernya. Dengan mudah ia melepaskan belitan tubuh ular dari tangan
lulu dan gadis ini pun tidak mempedulikan lagi kepada ular itu, melainkan cepat
menubruk tubuh beruang sambil memekik-mekik memanggil.
‘Paman Beruang.... Paman.....! Akan tetapi beruang es
itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan karena mukanya yarig putih menjadi
biru sedangkan kulit pada telapak keempat kakinya ada totol-totol merah.
Sampai lama Lulu menangisi beruang yang mati itu.
Kemudian baru Lulu teringat mengapa Han Han tidak ikut menangisi beruang yang
mati. Ketika ia menengok, ia melihat Han Han berdiri di bawah pohon yang tidak
berdaun, entah sedang melakukan apa, hanya tampak olehnya asap mengebul
seolah-olah kakaknya itu sedang membakar sesuatu.
‘Apa yang kau lakukan itu, Koko?! Lulu bangkit berdiri
dan berlari menghampiri kakaknya. Ketika melihat apa yang dilakukan Han Han,
gadis ini memandang dengan mata terbelalak. Ternyata Han Han telah mengikat
leher dan ekor ular itu dengan akar halus dan menggantung binatang itu di
pohon, kemudian menggunakan sebatang ranting kering yang bernyala untuk
membakar ular itu sedikit demi sedikit!
Ular itu menggeliat-geliat kepanasan akan tetapi Han Han
tidak membakarnya terus melainkan menyentuh-nyentuh tubuh ular dengan api,
menyiksanya dengan kejam sekali, seolah-olah merasa puas dan gembira
menyaksikan betapa ular itu menggeliat-geliat dan berkelojotan. Andaikata ular itu
dapat bersuara, tentu sudah melolong karena kesakitan.
‘Han-ko, kenapa tidak kau bunuh saja dia?!
‘Ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, Lulu.
Biar dia rasakan hukumannya dan dalam penderitaan sakit ini biar dia sadar akan
dosanya telah membunuh Paman Beruang. Lihat dia menggeliat-geliat berkelojotan!
Setelah dia cukup tersiksa, akan kuambil darahnya untuk kita minum!!
‘Ihhh, jijik! Aku tidak mau!!
‘Mengapa, Lulu? Ingat, ular ini kulitnya berwarna
merah, dan gigitannya amat berbisa. Aku pernah membaca kitab yang menyatakan
bahwa makin berbisa seekor ular, makin lezat dan makin banyak khasiat darah dan
dagingnya. Selain untuk menikmati darahnya dan dagingnya, juga kalau kita makan
dia, berarti kita membalaskan sakit hati Paman Beruang! Apakah kau tidak ingin
membalas dendam kematian raman, Beruang?!
‘Tentu saja! Biar kuhancurkan kepalanya!!
‘Eiiiiit, jangan! Dia harus dihukum dan kalau dibunuh sekarang,
darahnya akan membeku. Darahnya akan kuambil dan kita minum, kemudian dagingnya
kita bakar dan kita makan. Biar arwah Paman Beruang melihatnya dan menjadi
puas. Kepalanya kita kubur bersama mayat Paman Beruang.! Berkata demikian,
sinar mata Han Han bercahaya penuh kepuasan.
‘Koko, kau tidak menengok... dia....?! Lulu menuding ke
arah tubuh beruang
yang sudah menjadi mayat.
‘Perlu apa? Dia sudah mati. Dia bukan Paman Beruang
lagi, dia adalah bangkai yang akan kita kubur nanti. Nah, kau lihat, aku akan
mengambil darah ular keparat ini.! Setelah berkata demikian, Han Han mengambil
sebuah cawan dari dalam rumah, kemudian dengan kekuatan tangannya ia merobek
kulit dan daging di bagian ekor ular itu. Binatang ini berkelojotan dan darah yang
merah sekali mulai menetes-netes keluar yang segera ditadahi Han Han ke dalam
cawan.
Makin deras darah menetes, makin keras tubuh ular
menggeliat dan makin berseri wajah Han Han. Lebih setengah jam darah itu
bertetesan sampai setengah cawan, kemudian tubuh ular itu makin lemah
menggeliat dan akhirnya hanya bergerak-gerak lemas, darahnya tidak menetes
lagi. Han Han membawa cawan darah itu ke dekat mayat beruang di mana Lulu
berlutut sambil membelai bulu beruang dengan penuh kesedihan.
‘Lulu, mari kita minum darah ini di depan mayat Paman
Beruang sebagai tanda pembalasan terhadap ular.! Setelah berkata demikian, Han
Han minum sebagian besar darah ular itu dari cawan, kemudian menyerahkan cawan
dengan sisa darahnya kepada Lulu.
Lulu menerima cawan itu, mukanya berkerut dan
menyeringai. ‘Ihhh, aku... jijik...., Koko!!
‘Lulu,! kata Han Han sambil menjilat sedikit darah ular
di bibirnya dengan lidahnya.
‘Rasanya manis dan enak pula .apakah kau tidak mau
menyenangkan
arwah Paman Beruang? Dia saat ini mungkin sedang
menggereng marah meliha ketidak-setiaanmu.!
Lulu bergidik dan memandang ke kanan kiri seolah-olah
mencari arwah itu, kemudian ia menengok ke arah bangkai beruang itu. Kebetulan
sekali muka beruang itu menghadapnya dan beruang itu mati dengan mata terbuka.
Dalam pandangan Lulu, seolah-olah mata beruang yang sudah mati itu mendelik
marah kepadanya!
Kembali ia bergidik, kemudian sambil meramkan matanya ia
minum darah ular itu sampai habis. Memang benar ada rasa manis, akan tetapi
baunya amis dan ia harus menahan diri dengan meraba leher agar jangan muntah.
‘Koko.... badanku.... menjadi panas....!!
‘Bagus! Itu tandanya bahwa darah ular ini benar-benar
besar khasiatnya, Lulu. Nah, sekarang kau bantu aku memanggang daging ular,
kita makan didepan mayat Paman Beruang sebagai upacara sembahyang, kemudian
kita kubur mayat Paman Beruang bersama kepala ular yang tadi menggigitnya, agar
di akherat Paman Beruang dapat mengejek dan menyiksa ular yang hanya tinggal
kepalanya saja.!
Ular itu sudah mati dan karenanya Lulu tidak jijik lagi.
Han Han menguliti ular itu setelah memenggal kepalanya yang ia putar dan
patahkan begitu saja dengan jari-jari tangannya yang kuat. Kepala ular itu ia
taruh ke dalam telapak kaki depan beruang, kemudian Lulu memanggang daging ular
yang putih kemerahan itu.
‘Upacara! makan daging panggang ular itu lebih
menyenangkan bagi Lulu, karena ternyata bahwa daging itu benar-benar gurih dan
sedap lezat sehingga sebentar saja habislah daging ular sepanjang satu meter
itu! Setelah itu, mereka lalu menggali lubang sampai tampak tanah dan terus
menggali sedalam satu meter lebih, kemudian mengubur mayat beruang bersama
kepala ular.
Lulu menangis terisak-isak ketika mereka menguruk lubang
itu. Teringat kepada beruang yang selama enam tahun menjadi kawan bermain dan
kawan berlatih silat, Lulu menjadi berduka sekali den terus menangis di atas
gundukan salju yang menjadi kuburan beruang. Han Han membiarkan adiknya
menangis.
Dia lalu pergi mencari batu untuk dijadikan batu nisan
kuburan beruang es. Ia mendapatkan sebuah batu lonjong yang terpendam
setengahnya dalam salju. Dengan tenaganya yang besar ia mencabut batu ini dan
heranlah ia melihat betapa di bagian tengah dan bawah batu itu terdapat
ukir-ukiran huruf. Cepat ia membersihkan batu itu dari tanah dan salju,
kemudian membaca huruf-huruf terukir itu.
Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke
sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat!
Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah,
memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di
bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang
terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es?!
Demikianlah bunyi tulisan itu dan jantung Han Han
berdebar. Penulis itu bernama Suma Hoat? Teringatlah ia akan patung yang dipuja
di In-kok-san, yang menurut cerita Ma-bin Lo-mo dan Kim Cu adalah sucouw mereka
bernama Suma Kiat! Dan menurut cerita itu selanjutnya, Ma-bin Lo-mo mempunyai
seorang suheng yang menjadi perantau, yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali,
yaitu putera tunggal sucouw itu dan bernama Suma Hoat! Kalau begitu, suheng
dari Ma-bin Lo-mo itukah penghuni Pulau Es?
Patung pria yang tampan itu adakah itu Suma Hoat? Akan
tetapi coretan, huruf terukir di batu ini amat jauh bedanya dengan
tulisan-tulisan di dinding istana yang amat indah. Coretan ini huruf-hurufnya
buruk dan kasar. Disebut pula tentang ular salju merah. Apakah ular yang telah
membunuh beruang?
Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan lagi. Semua yang
ada hubungannya dengan In-kok-san tidak menarik hatinya, apalagi kalau ia
teringat betapa ia terancam hukuman potong kaki oleh perguruan itu. Membaca
tulisan Suma Hoat itu mengingatkan dia bahwa sampai kini pun tetap ia terancam
bahaya hukuman itu. Cepat ia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan
beruang, dengan ukiran huruf-huruf itu ia taruh di bawah agar tidak tampak!
Ditaruhnya batu nisan di depan kuburan ini membuat Lulu
menangis makin keras, sampai gadis ini tersedu-sedu. Han Han memeluknya,
kemudian setengah memaksanya bangkit berdiri dan menuntunnya ke dalam pondok di
taman.
‘Sudahlah, Lulu, Untuk apa ditangisi lagi? Biar engkau
menangis air mata darah sekalipun, Beruang tidak akan dapat hidup kembali.
Ketahuilah bahwa kini mungkin dia sedang enak-enak mengganyang kepala ular yang
membunuhnya.!!
Akan tetapi hiburan ini tidak menghentikan tangis Lulu
yang karena kematian beruang jadi teringat akan kematian orang tuanya. Gadis
itu terisak-isak menangis sambil bersandar di dada Han Han. Akhirnya pemuda itu
mendiamkannya saja dan tiupan angin laut membuat gadis yang berduka itu
akhirnya tertidur di dalam pelukannya.
Han Han merasa tubuhnya panas dan aneh sekali ada ribuan
ekor semut di balik kulit tubuhnya merayap-rayap. Angin bersilir sejuk dan
akhirnya ia pun tertidur sambil duduk di lantai pondok yang terbuat daripada
marmer, dengan Lulu masih bersandar di dadanya.
Mereka berdua tertidur seperti orang mabuk, tidur nyenyak
sehingga tidak tahu betapa malam telah tiba. Malam bulan purnama clan cahaya
bulan menerobos masuk ke dalam pondok yang tidak berdinding itu. Hawa udara pun
amat dinginnya. Namun aneh sekali, kedua orang muda itu berpeluh!
‘Han-ko..... ah, Han-ko.....!
Han Han membuka matanya, jantungnya berdenyut-denyut
tidak karuan, tubuhnya panas dan telinganya mendengar suara terngiang-ngiang.
Suara panggilan Lulu seperti mengambang di atas lautan suara mengiang itu. Ia
melihat wajah Lulu dekat sekali di atas dadanya, wajah yang cantik jelita,
bersinar-sinar keemasan tertimpa sinar bulan.
Sepasang mata yang lebar dan indah itu kini seperti
berlinang air, memandang kepadanya dengan aneh. Cuping hidung yang kecil itu
kembang-kempis, seolah-olah sukar bernapas dan mulut yang kecil itu pun
terbuka, membantu pernapasan hidung. Ada apakah dengan Lulu? Dan apa yang
terjadi pada dirinya? Ia merasa panas sekali!
‘Han-koko....!! Suara gadis itu seperti mengerang
lirih, muka mereka berdekatan, pandang mata mereka melekat dan ada dorongan
aneh yang membuat Han Han menundukkan mukanya, menyentuh dahi adiknya dengan
hidung. Belaian seperti ini tidaklah aneh bagi mereka. Sudah sering kali kalau
menghibur adiknya, ia mencium dahi atau pipi Lulu. Akan tetapi begitu hidungnya
menyentuh dahi adiknya, jantungnya berdebar keras sekali, napasnya sesak. Ia
seperti mencium bau harum yang tak pernah selamanya ia alami, dan ia terus
mencium, bahkan kini dengan bibirnya, dengan mulutnya!
Gilakah dia? Han Han masih sadar akan hal yang tidak
semestinya ini, dan dia menjadi makin kaget ketika merasa betapa Lulu juga
membalas menciumnya, tidak seperti biasa, melainkan ciuman yang penuh nafsu
panas sehingga akhirnya mulut mereka bertemu dalam ciuman, mesra. Akan tetapi
keduanya seperti terkejut dan keduanya merenggut muka masing-masing, saling
pandang dengan mata terbelalak dan malu, kemudian Han Han melepaskan
pelukannya, pura-pura tidak sadar akan apa yang baru saja terjadi.
‘Aku... aku.... panas sekali....! dengan suara
terputus-putus Han Han berkata lirih untuk menutupi hal yang baru saja terjadi.
‘Aku pun.... begitu..... Koko....! Lulu juga bicara
dengan bingung sambil berusaha mengelakkan pandang mata mereka agar jangan
bertemu.
Han Han yang merasa betapa tubuhnya menjadi panas dan
tidak karuan rasanya, menekan ketegangan yang ditimbulkan oleh ciuman tidak
semestinya tadi dengan tertawa aneh.
‘Heh mungkin racun ular hemmm, tidak tertahankan
panasnya, lebih baik kubuka bajuku!!
Karena dia sudah biasa dalam latihannya membuka baju
atasnya di depan Lulu, maka ia sekarang membuka bajunya dengan maksud agar
keadaan perasaannya biasa kembali. Akan tetapi kini pandang mata Lulu menatap
setiap gerakannya, dan mata yang lebar itu memandangnya penuh kemesraan,
memandang tubuh atasnya yang telanjang itu dengan pandang mata luar biasa.
‘Lulu! Kau kenapa?! Han Han membentak karena pandang
mata itu seperti menembus dadanya dan mendatangkan rangsang yang lebih hebat
lagi. Ia seingaja membentak marah untuk menutupi perasaannya.
Lulu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Pipi gadis
itu menjadi merah seperti dibakar dan pandang matanya seperti orang mabuk.
‘Entahlah...... aku...... pun merasa panas sekali, tak
tertahankan, Koko.....! Gadis itu seperti dalam keadaan tidak sadar membuka
kancing bajunya bagian atas sehingga tampaklah pakaian dalamnya yang tipis. Han
Han meramkan matanya dan meloncat bangun. Ia mengerahkan seluruh sinkangnya
untuk melawan perasaan panas ini, akan tetapi hasilnya malah membuat tubuhnya
makin panas, lalu berubah dingin, dan seluruh tubuh seperti dimasuki
gelembung-gelembung tenaga mukjizat yang membuat ia merasa seperti sebuah bola
karena penuh angin. Ia mengeluh danterhuyung-huyung.
‘Han-ko....., kau kenapa..... hati-hati, kau bisa
jatuh!! Lulu meloncat bangun dan memeluk kakaknya untuk mencegah kakaknya
terguling. Akan tetapi sentuhan tubuh mereka yang tadinya sebagai sentuhan
seperti biasa itu mendatangkan getaran yang aneh dan mereka akhirnya berpelukan
dan kembali mereka berciuman dengan penuh nafsu, penuh gairah dan dalam keadaan
tidak atau setengah sadar!
Seluruh hati dan pikiran mereka sepenuhnya dikuasai oleh
nafsu yang bergolak tak tertahankan, membuat darah mereka mendidih dan pikiran
mereka gelap. Mereka lupa segala, saling membelai mesra, berdekapan dengan mata
dipejamkan. Ketika Han Han membuka mata dan melihat betapa tanpa disadari ia
hampir menelanjangi Lulu yang tidak melawan bahkan membantunya penuh gairah
nafsu berahi, ia terkejut seperti disambar halilintar. Kekuatan batin dan
sinkang Han Han jauh lebih besar daripada Lulu, maka ia masih dapat sadar dan
cepat ia mendorong tubuh adiknya itu sehingga Lulu terhuyung dan roboh
terlentang dengan napas terengah-engah dan mata terpejam, tubuh
menggeliat-geliat.
‘Lulu! Ini tidak benar! Engkau Adikku!!! Han Han
berkata, berteriak dengan suara nyaring.
‘Han-ko..... ahhh, Han-ko..... jangan tinggalkan
aku.... aku bukan Adikmu, Han-ko.....!!
‘Gila!! Han Han membentak lagi, menahan diri sekuatnya
agar tidak menubruk dan memeluk gadis itu, melanjutkan hasrat berahi yang
memenuhi benak dan hatinya.
‘Kita keracunan! Ular merah itu! Keparat....!!
Terlintas dalam benaknya bunyi tulisan pada batu dan kini mengertilah ia
mengapa Suma Hoat mengutuk ular salju merah. Agaknya Suma Hoat juga makan
daging dan darah ular itu dan merasa pula rangsangan nafsu berahi seperti ini.
Teringat akan ini, Han Han lalu mengeluarkan pekik
menyeramkan dan tubuhnya meloncat keluar dari dalam pondok itu. Ia berlari-lari
seperti orang gila menjauhi pondok dan ketika ia tiba di pantai yang
berbatu-batu, ia lalu mengamuk. Dipergunakan kaki tangannya untuk memukul,
menendang, dengan pengerahan tenaga sinkang, kadang-kadang menggunakan tenaga
inti Hwi-yang Sin-ciang di luar kesadarannya, akan tetapi lebih banyak ia
menggunakan tenaga Im-kang.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika batu-batu
besar itu pecah berantakan oleh amukan Han Han yang seperti telah menjadi gila.
Han Han terus mengamuk sepanjang malam sampai pagi, sampai habis tenaga
sinkangnya dan ia menggunakan tenaga biasa sehingga kaki dan tangannya
luka-luka dan akhirnya ia roboh pingsan di antara batu-batu yang sudah hancur
berantakan itu.
Matahari telah naik tinggi ketika Lulu
mengguncang-guncang tubuh Han Han yang menggeletak di pantai, tubuh atas
telanjang, tangan kaki luka-luka. Gadis itu menangis dan memanggil-manggil.
‘Han-koko.. Han-ko... jangan tinggalkan aku...! Han-ko...!!!
Han Han membuka matanya, mengejap-ngejapkan matanya
karena silau oleh sinar matahari.
‘Han-ko, kau kenapa?! Lulu bertanya penuh kekhawatiran,
air mata masih membasahi kedua pipinya.
Han Han menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa
kepeningannya. Juga mengusir pemandangan yang aneh. Kini, melihat wajah Lulu
yang cantik, sepasang pipi yang merah itu, ia merasa berbeda dari biasanya.
Tidak seperti biasanya ia memandang gadis ini seperti adiknya. Kecantikan Lulu
kini menyentuh hatinya dan membingungkannya, sungguhpun gairah gila seperti
yang mendorongnya malam tadi sudah lenyap.
‘Tidak apa.. Aku... aku hanya mimpi buruk... tanpa
sadar, kuhantami batu-batu ini..! ia melihat kaki dan tangannya yang
lecet-lecet.
‘Aku pun mimpi, Koko. Mimpi aneh akan tetapi indah
sekali...!
‘Mimpi apa?! Han Han memandang tajam, diam-diam memaki
diri sendiri nengapa kini Lulu tampak lain dalam pandangannya.
‘Aku tadi pagi terbangun di pondok taman dan... dan
pakaianku tidak karuan, aku mimpi... engkau seperti bukan Kakakku, melainkan..
ah, sungguh aneh akan tetapi aku aku senang sekali, Koko..! Dan gadis itu
menundukkan mukanya. Kedua pipinya menjadi makin kemerahan sampai ke
telinganya.
‘Hushhh! Kau gila! Kita keracunan ular Merah itu!!
Lulu memandang muka Han Han penuh selidik. Gadis ini
masih terlalu murni dan polos dan dia bertanya,
‘Betulkah, Koko? Keracunan ular itu? Akan tetapi..,
setelah mimpi itu, aku.. heran sekali, kau seperti bukan Kakakku dan aku
khawatir kalau-kalau kau akan meninggalkan aku.!
‘Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Lulu, kita
harus meninggalkan pulau ini.!
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara tetap karena di dalam
hatinya Han Han maklum bahwa makin lama mereka berada di pulau itu, makin besar
bahayanya dan ia khawatir bahwa akhirnya ia tidak akan kuat bertahan. Ia
mengeraskan hatinya, memusatkan tenaga batinnya dan kemauannya untuk men gambil
keputusan bahwa gadis ini adalah adiknya, adiknya!
Ia merasa kuat kini dan mulai berani memandang wajah Lulu
lagi, diperkuat oleh kemauannya yang memaksa hati dan pikirannya bahwa Lulu
adalah adiknya, bukan orang lain dan bahwa tidak boleh ia mencinta Lulu seperti
perasaannya malam tadi. Lulu adiknya! Lulu adiknya! Kekuatan kemauan Han Han memang
luar biasa dan ia sudah tenang kembali. Sambil tertawa ia menangkap tangan
Lulu, diajak bangkit berdiri dan sambil berkelakar ia berkata.
‘Kita harus membuat perahu, kita akan meninggalkan
tempat ini secepat mungkin! Kau bocah malas, harus membantu!!
Kekuatan kemauan yang tetpancar keluar dari mata Han Han
mempengaruhi Lulu pula. Gadis itu pun menjadi biasa dan bertanya keras.
‘Eh, anak bodoh dan pelupa. Apakah kau selamanya akan
tinggal di pulau ini sampai menjadi nenek-nenek? Apakah kau tidak ingin
rnencari musuh besarmu?!
Lulu menjadi bersemangat. ‘Betul! Kita harus pergi
mencari musuh besar kita!!
Demikianlah, kedua orang muda itu lalu mulai membuat
perahu. Han Han bukan seorang ahli maka tentu saja membuat perahu amatlah sukar
baginya. Namun, berkat tenaga dan kemauannya yang kuat, tiga hari kemudian
selesailah dia membuat sebuah rakit dari kain dan bambu seadanya,
menggandeng-gandengnya dengan ikatan akar yang cukup kuat. Ia menyediakan dua
buah cabang pohon untuk mendayung. Baru saja selesai ia mengikat sambungan
terakhir, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras sekali dan terdengar
Lulu berlari-lari sambil menjerit-jerit.
‘Ular..! Ular...! Banyak sekali ular...!!
Han Han terkejut dan menengok. Dilihatnya Lulu
beriari-lari menghampirinya dengan wajah pucat penuh jijik dan dari jauh
tampaklah ratusan, mungkin ribuan ekor ular merah mendatangi sambil
mengeluarkan suara mendesis mengerikan sekali.
‘Cepat! Naikkan bekal makanan dan air itu ke atas
perahu!! teriak Han Han dan sibuklah mereka mengangkuti bekal makanan dan
minuman ke atas perahu. Beberapa ekor ular merah sudah datang dekat dan Han Han
membunuhnya dengan injakan-injakan kakinya pada kepala ular-ular itu. Setelah
semua bekal diangkut ke perahu, Han Han lalu mendorong perahu rakit itu ke air
dan bersama Lulu ia mendayung perahunya ke tengah laut.
Ular-ular itu agaknya tidak takut air, buktinya mereka
itu terus mengejar dan berenang sambil terus mendesis-desis. Lulu yang merasa
geli itu memukuli ular-ular terdekat dengan dayungnya. Tenaga pukulan gadis ini
sudah kuat sekali sehingga dalam waktu singkat puluhan ekor ular mati dengan
kepala remuk. Han Han mengerahkan tenaga mendayung perahu yang meluncur cepat
sehingga mereka dapat meninggalkan ular-ular yang mengejar.
Dari jauh, kedua orang anak muda itu memandang ke arah
pulau dengan pandang mata sayu. Betapapun juga, selama enam tahun mereka hidup
di pulau itu, Pulau Es yang tadinya amat indah, namun yang kini menjadi pulau
ular yang menyeramkan. Dari jauh tampak warna merah ular-ular itu seolah-olah
pulau itu penuh dengan bunga-bunga merah yang mulai mekar.
‘Arah mana yang kita tuju ini, Han-ko?! tanya Lulu
sambil membantu kakaknya mendayung.
‘Arah selatan. Pulau Es adanya hanya di utara, maka
kita harus kembali ke selatan.!
‘Bagaimana kau tahu bahwa arah yang kita tempuh ini
menuju ke selatan?!
‘Ha-ha, kau bodoh sekali! Kau tahu dari mana munculnya
matahari?!
‘Nah, kau lihat. Matahari yang baru muncul itu berada
di sebelah kiri kita, berarti kita kini maju ke arah selatan.!
Mulailah Han Han dan Lulu menuju kepada
pengalaman-pengalaman baru dengan hati penuh ketegangan, juga kegembiraan
karena mereka kini akan memasuki dunia ramai yang sudah enam tahun mereka
tinggalkan. Bekal yang mereka bawa cukup banyak, juga mereka membawa bekal
pakaian. Han Han tidak lupa untuk membawa kantung karet berisikan surat-surat
peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es, karena sesuai dengan pesan di luar
sampul, ia hendak menyampaikan surat-surat peninggalan itu kepada yang berhak
sebagai tanda terima kasih dan tanda bakti kepada penghuni Pulau Es. Tentu saja
ia tidak tahu kepada siapa surat itu akan diberikan, akan tetapi hal ini akan
dia selidiki kelak.
Sungguhpun kedua orang muda itu, terutama sekali Han Han,
kini telah merupakan seorang yang memiliki tenaga luar biasa dan jauh sekali
bedanya dengan ketika dahulu menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo, namun perjalanan
pulang ini bukanlah merupakan perjalanan yang mudah. Apa.lagi kalau diingat
bahwu perahu mereka bukanlah perahu biasa, melainkan hanya batang-batang kayu
dan bambu disambung-sambung sehingga biarpun mereka dapat mendayung dengan kuat
dan cepat, namun perahu yang melaju di laut bebas itu sering kali mundur lagi
karena terbawa ombak. Juga dalam perjalanan selama belasan hari ini tiga kali
mereka diserang badai yang ganas sehingga kalau saja mereka tidak kuat-kuat berpegang
kepada rakit itu, tentu mereka sudah terlempar ke laut dan binasa.
Perbekalan mereka hanya sedikit saja yang dapat
diselamatkan selama mereka diserang badai dan akhirnya mereka harus berjuang
melawan ombak selama tiga hari tiga malam, tanpa makan dan minum! Untung bahwa
mereka berdua telah memiliki daya tahan yang luar biasa sehingga mereka hanya
merasa lelah sekali ketika akhirnya mereka berhasil mendarat di pantai yang
sunyi dan penuh dengan hutan liar.
Dapat dibayangkan betapa gembira hati mereka setelah
dapat mendarat, melihat tanah dan pohon-pohon berdaun hijau. Selama enam tahun
mereka tidak pernah melihat tanah karena daratan di Pulau Es itu seluruhnya
tertutup salju dan es membatu.
Juga di Pulau Es, hanya ada beberapa macam tanaman saja
yang dapat hidup dan berdaun, dan sekarang mereka melihat pohon-pohon raksasa yang
hidup subur dengan daun-daun hijau.
Sambil tertawa-tawa kedua orang muda itu lalu mencari
buah-buah yang dapat mereka makan dan ketika mereka menemukan buah-buah apel
yang dapat dimakan dan sudah masak, mereka makan buah-buahan seperti seorang
kelaparan! Han Han juga menangkap seekor rusa yang mereka panggang dagingnya
dan sehari itu mereka berdua berpesta-pora dan makan dengan lahap sampai perut
mereka penuh kekenyangan.
‘Kita mendarat di mana, Koko?!
‘Siapa tahu? Dan aku tidak peduli, pokoknya mendarat di
tanah! Ah, Lulu, aku merasa seolah-olah hidup kembali! Mari kita melanjutkan
perjalanan terus ke selatan. Akhirnya tentu kita bertemu manusia menuju ke kota
raja!!
‘Keluarga Ayahku dahulu tinggal di kota raja!! kata
Lulu dengan suara terharu, teringat akan keluarganya yang sudah terbasmi habis.
‘Dan musuh-musuhku tentu berada di kota raja pula!!
kata Han Han penuh semangat dan terbayanglah wajah-wajah para perwira Mancu
yang menjadi musuh besarnya. Dengan penuh semangat. dan kegembiraan, kedua
orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke barat, menjauhi pantai taut.
Mereka melakukan perjalanan sampai belasan hari, naik turun gunung, masuk
keluar hutan dan belum juga mereka bertemu dengan dusun yang ada manusianya.
Namun mereka tidak menjadi putus asa dan terus melakukan perjalanan seenaknya.
Mereka tidak tergesa-gesa karena tidak ada sesuatu yang memaksa mereka
tergesa-gesa.
Kurang lebih dua bulan kemudian, setelah Han Han dan Lulu
bertemu dengan dusun dan mendapat keterangan bahwa kota raja tidak jauh lagi
berada di sebelah selatan, pada suatu pagi mereka memasuki sebuah hutan besar.
Mereka mengikuti jalan yang masuk ke hutan itu, sebuah jalan umum yang biasa
dipergunakan oleh orang yang melakukan perjalanan jauh. Ada tapak-tapak kereta
menjalur panjang di jalan itu dan dengan hati gembira Han Han dan Lulu berjalan
sambil melihat-lihat burung yang beterbangan di antara dahan-dahan pohon
menyambut datangnya pagi dengan kicau dan tarian mereka dari dahan ke dahan.
Keadaan Han Han mengherankan orang-orang yang melihatnya.
Pemuda ini bertubuh tegap dan jangkung, pakaiannya cukup bersih dan terbuat
dari kain mahal, akan tetapi bentuknya sederhana. Yang amat menarik adalah
rambutnya yang dibiarkan terurai ke punggungnya, rambut yang hitam dan kaku
mengkilap, tak pernah disisir karena Han Han memang sarna sekali tidak
mempunyai keinginan untuk bersolek. Lebih hebat lagi adalah sepasang matanya.
Mata itu kini merupakan dua buah benda yang mengeluarkan sinar aneh.
Kadang-kadang tenang seperti air telaga, seperti orang
termenung kehilangan semangat, kadang-kadang secara tiba-tiba menjadi amat
tajam dan panas seperti mengandung bara api. Tidak pernah ada orang yang berani
menentang pandang mata Han Han dan setlap orang yang beradu pandang menjadi ngeri
mengkirik karena pandang mata itu seolah-olah menelanjangi mereka dan dapat
menembus terus ke lubuk hati.
Lulu juga amat menarik perhatian orang, akan tetapi bukan
karena anehnya, melainkan karena cantik jelitanya dan karena sikapnya yang
polos dan tidak pernah malu-malu seperti gadis-gadis biasa. Sepasang mata gadis
remaja inilah yang menjadi daya penarik luar biasa, sepasang mata yang lebar
dan jeli, yang pandang matanya dapat membuat segala sesuatu di dunia ini tampak
lebih cemerlang, lebih indah.
Pakaian Lulu termasuk mewah dan indah karena gadis ini
memang mengenakan pakaian-pakaian indah yang ia dapatkan di dalam kamarnya.
Bahkan ia memakai pula sebuah anting-anting bermata mutiara yang amat besar dan
mahal. Namun hanya sepasang anting-anting dan pita rambut sutera merah saja,
yang menghias tubuhnya, dengan jikat pinggang kuning emas, baju berwarna merah
muda dan sepatu putih. Gadis remaja ini benar cantik jelita mengagumkan semua
pria yang memandangnya. Akan tetapi setiap orang pria yang memandang kagum,
begitu bertemu pandang dengan kakak gadis itu, seketika mengkeret dan mundur
teratur karena merasa ngeri.
‘Koko, apakah kau mengetahui nama musuh-musuhmu, para
perwira yang membunuh orang tuamu?!
Sebetulnya Han Han tidak pernah merasa suka membicarakan
tentang musuh-musuhnya dengan adik angkatnya ini. Bukankah Lulu seorang anak
per wira Mancu pula? Bicara tentang perwira-perwira Mancu yang menjadi musuh
besarnya tentu mendatangkan rasa tidak enak dalam hati Lulu.
‘Tidak, Lulu. Aku tidak tahu,! jawabnya singkat.
‘Tapi kau mengenal wajah mereka? Aku ingin sekali
melihat mereka yang begitu kejam terhadap keluargamu, Koko. Engkau seorang yang
begini baik. Kalau Ayahku masih ada, tentu perwira-perwira yang kejam itu akan
dilaporkan dan dijatuhi hukuman! Aku masih ingat be tapa Ayah dahulu mencela
keras perajurit-prajurit yang melakukan perampokan.
Han Han diam saja. Hemm, benarkah ayah Lulu perwira yang
baik? Adakah perwira Mancu yang baik? Ma-bin Lo-mo dan semua murid In-kok-san
mengutuk semua orang Mancu. Demikian banyaknya anak-anak yang menjadi murid
Ma-bin Lo-mo adalah korban-korban kebiadaban orang-orang Mancu, termasuk Kim
Cu. Bahkan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak itu, baru menjadi kaki tangan
Mancu saja sudah begitu kejamnya!
Orang-orang Mancu dan kaki tangannya adalah orang-orang
yang seperti iblis! Akan tetapi, Han Han membantah sendiri pendapat ini, Ma-bin
Lo-mo adalah seorang yang anti Mancu, akan tetapi mengapa kekejamannya tidak
kalah oleh Gak Liat? Apakah semua orang yang berkepandaian tinggi di dunia ini
adalah orang-orang berwatak iblis? Han Han menjadi bingung dan ia mengambil
keputusan untuk menentang semua orang-orang yang berilmu tinggi!
‘Kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau mengenal
wajah mereka?!
Han Han mengangguk dan terbayanglah wajah tujuh orang
perwira Mancu itu, terutama Si Muka Kuning dan Si Brewok. Yang lima lainnya
juga akan dikenalinya setiap saat dan tujuh orang ini harus ia bunuh,
lebih-lebih dua orang perwira yang telah memperkosa ibunya dan kakaknya!
‘Aku mengenal mereka, akan tetapi sukar dikatakan...
sudahlah, Lulu. Aku tidak suka membicarakan mereka.!
‘Baiklah, Han-ko. Memang sebuah kenang-kenangan yang
tidak enak. Akan tetapi aku akan mencari Lauw-Pangcu..!
‘Mengapa sukar?! tanya Lulu dan memandang penuh
selidik.
‘Dia seorang pejuang..!
‘Pemberontak, maksudmu?!
‘Ya, pemberontak bagi pihak Mancu, pejuang bagi rakyat.
Sama saja. Kalau tidak dia sudah mati, tentu dia selalu bersembunyi, sukar
ditemukan...!
‘Aku tidak khawatir. Ada engkau di sampingku, masa
tidak dapat mencarinya? Kau tentu akan membantuku, Koko.!
‘Tentu saja, Moi-moi. Hanya, kurasa sukar melawan dia.
Kau takkan menang,
‘Kalau kau membantuku, tentu akan menang!! kata pula
Lulu dengan suara mengandung penuh kepercayaan.
‘Belum tentu. Kawan-kawannya banyak sekali dan amat
lihai..!
Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda dan bunyi roda
kereta. Terpaksa Lulu menghentikan percakapan itu dan hati Han Han menjadi
lega. Bagaimana ia dapat bicara dengan enak hati kalau pembicaraan itu mengenai
permusuhan dengan Lauw-pangcu, gurunya yang pertama? Bagaimana nanti sikap Lauw
Sin Lian puteri Lauw-pangcu kalau dia membantu Lulu memusuhi Lauw-pangcu?
Kereta yang lewat tak lama kemudian menyusul mereka itu
adalah sebuah kereta besar ditarik oleh empat ekor kuda dan di dalamnya tidak
ada penumpangnya, melainkan dua buah peti yang panjangnya ada dua meter, tinggi
dan lebarnya satu meter. Dua buah peti itu ditaruh berjajar di dalam kereta dan
di atas kereta hanya ada seorang kusir dan seorang laki-laki bersenjata golok.
Di kanan kiri dan belakang kereta ada belasan orang
berpakaian piauwsu (pengawal) yang dikepalai oleh seorang laki-laki berjenggot
panjang. Mereka ini semua menunggang kuda, sikap mereka keren dan gerak-gerik
mereka membayangkan bahwa para piauwsu ini memiliki kepandaian si!at yang tidak
lemah. Ketika para piauwsu ini lewat, semua mata mereka ditujukan kepada Lulu
dan mereka tertawa-tawa, pandang mata mereka kagum sekali.
Han Han tidak mempedulikan hat ini, dan Lulu malah
tersenyum, sama sekali dia tidak tahu bahwa mereka itu bersikap kurang ajar.
Han Han hanya memperhatikan sebuah bendera di atas kereta, bendera yang
bersulam gambar seekor burung garuda putih di atas dasar biru, dan empat huruf
besar yang berbunyi HOA SAN PEK ENG (Garuda Putih dari Hoa-san) sedangkan di
bawahnya terdapat dua huruf kecil yang berbunyi Piauwkiok (Perusahaan Pengawal
Barang).
‘Mereka itu ramah!! kata Lulu setelah rombongan piauwsu
ini lewat. Han Han tidak menjawab. Dia juga tidak tahu bahwa seperti kebanyakan
kaum pria kalau melihat wanita cantik, para piauwsu tadi tertawa-tawa dengan
sikap kurang ajar, hanya ia harus mengakui bahwa mereka itu ramah sungguhpun
keramahan mereka tidak menyenangkan hatinya.
‘Hoa-san Pek-eng Piauwkiok! Apa artinya itu, Koko?!
‘Mereka itu adalah rombongan piauwsu, yaitu
pengawal-pengawal barang kiriman dan nama itu adalah merk-nya. Mungkin
piauwkiok itu dipimpin oleh orang dari Hoa-san atau.. ah, benar juga. Agaknya
pemimpinnya adalah seorang anak murid Hoa-san-pai.!
‘Kalau begitu, mereka itu adalah orang-orang kang-ouw,
Koko! Kenapa tidak kau katakan dari tadi?!
‘Kalau mereka orang-orang kang-ouw, habis kau mau apa?!
‘Ah, kita harus berkenalan dengan mereka. Tentu mereka
dapat bercerita banyak tentang dunia kang-ouw. Bukankah engkau menjadi buronan
In-kok-san? Dan engkau pun mencari tahu tentang penghuni Pulau Es, bukankah kau
ingin menyampaikan surat-surat peninggalan manusia sakti itu? Mungkin sekali
para piauwsu yang tentu banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, akan
dapat memberi keterangan kepada kita.!
‘Wah, kau benar juga, Moi-moi. Mari kita kejar mereka!!
Han Han lalu menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan Lulu juga cepat
mengejarnya. Biarpun Lulu tidak dapat bergerak secepat Han Han, namun
dibandingkan dengan orang biasa, gadis ini dapat berlari amat cepat karena ia
memiliki keringanan tubuh, tenaga sinkang, dan napasnya tidak kalah panjang
oleh napas kuda.
Lebih dari seperempat jam mereka berlari cepat dan hutan
itu makin lebat. Ketika mereka tiba di bagian yang berbatu-batu, mereka
mendengar suara ribut-ribut dan sayup-sayup terdengar pula suara beradunya
senjata berdencing-dencing.
‘Koko, ada orang bertempur..!!
‘Hemmm, agaknya para piauwsu itu menghadapi musuh. Mari
kita percepat lari kita!!
Han Han mengerahkan tenaganya meloncat dan tentu saja
Lulu tertinggal jauh. Akan tetapi Lulu sekarang bukan seperti Lulu enam tahun
yang lalu. Dahulu ia penakut, akan tetapi sekarang Lulu menjadi seorang yang
tabah dan pemberani, biarpun tertinggal di belakang ia tidak takut dan
mempercepat juga larinya agar dapat sampai ke tempat pertempuran itu.
Dugaan Han Han ketika dia bicara dengan Lulu tadi
memanglah tepat. Pek-eng-piauwkiok adalah sebuah piauwkiok yang kenamaan di
kota Kwan-teng. Terkenal sebagai piauwkiok yang boleh dipercaya dan yang dapat
menjamin keamanan semua barang kiriman sehingga tidak hanya para saudagar besar
menjadi langganannya, bahkan para bangsawan yang mengirimkan barang-barang
berharga selalu minta diantar dan dikawal oleh perusahaan pengawalan barang
Garuda Putih ini.
Hal ini bukan hanya karena Pek-eng-piauwkiok mempunyai
banyak sekali piauwsu yang cakap dan kosen, melainkan terutama sekali karena
piauwkiok itu dipimpin oleh seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ketua atau
pemimpin piauwkiok ini adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, seorang bekas pendekar
perantauan yang gagah perkasa bernama Tan Bu Kong yang berjuluk Hoa-san Pek-eng
(Garuda Putih dari Hoa-san).
Setelah ia bosan merantau dan sudah berusia lima puluh
tahun, juga mengingat bahwa sebagai seorang kepala keluarga tidak baik kalau
dia menjadi perantau terus, ia membuka piauwkiok itu yang ia beri nama
mengambil dari julukannya yang sudah terkenal. Dalam masa sepuluh tahun saja,
nama piauwkiok itu menjadi terkenal sekali dan setiap pengiriman barang yang
diberi tanda bendera piauwkiok ini tentu akan lewat dengan aman sampai ke
tempat tujuan karena para perampok dan penjahat merasa segan untuk memusuhi
Pek-eng-piauwkiok.
Setelah perusahaannya menjadi besar, Tan-piauwsu lalu
mendatangkan adik-adik seperguruannya, yaitu anak-anak murid Hoa-san-opai yang
masih menganggur untuk membantunya bekerja, mewakilinya mengantar barang-barang
yang penting. Kiriman barang yang tidak begitu penting cukup dikawal oleh
orang-orangnya yang kesemuanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
cukup tinggi. Dengan demikian, selain ia dapat menjamin nafkah hidup para
sutenya, juga mereka dapat berkumpul dan dapat melanjutkan cita-cita yang
dipesansankan oleh guru besar Hoa-san-pai, yaitu diam-diam membantu perjuangan
para patriot yang menentang kekuasaan pemerintah Mancu.
Akan tetapi, perjuangan ini selalu dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi, karena pada waktu itu, kekuasaan pemerintah Mancu sudah
terlalu meluas dan hampir seluruh pedalaman telah diduduki sehingga perlawanan
berupa perang terbuka takkan ada gunanya dan pasti akan mengalami kekalahan dan
kegagalan. Dengan demikian, di samping tugasnya menjadi piauwkiok,
Pek-eng-piauwkiok juga menjadi tempat rahasia dari para patriot untuk
mengadakan pertemuan, perundingan, pengiriman barang-barang rahasia, dan juga
pembantu dalam bidang pembiayaan.
Beberapa hari yang lalu, kantor pusat Pek-eng-piauwkiok
di Kwan-teng kedatangan seorang wanita yang cantik jelita dan berpakaian mewah.
Wanita ini datang berkuda dan melihat pakaiannya, mudah diketahui bahwa dia
adalah seorang gadis Mancu yang berpengaruh dan berkuasa. Kedatangannya saja dikawal
oleh selosin perajurit Mancu yang bersenjata lengkap. Adapun gadis cantik ini
sendiri menunjukkan bahwa dia bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang
memiliki ilmu kepandaian. Hal ini dapat dilihat dari cara melompat turun dari
kuda, dari gerak-geriknya yang gesit, dan dari cara bicaranya. Gadis bangsawan
Mancu ini dengan suara keras menyatakan kepada para penjaga piauwkiok bahwa dia
ingin berjumpa dengan ketua Pek-eng-piauwkiok!
Hati Tan-piauwsu merasa tidak enak, akan tetapi sebagai
seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, ia keluar dengan sikap tenang dan
dengan sikap hormat ia menyambut gadis Mancu yang usianya kurang lebih delapan
belas tahun itu. Ia memberi hormat, mempersilakannya duduk, menghidangkan air
teh kemudian menanyakan maksud kedatangannya.
Biarpun gadis itu masih berpegang kepada kebiasaan lama,
yaitu berpakaian sebagai seorang wanita bangsawan Mancu, namun setelah membuka
mulut bicara, ternyata ia dapat berbicara bahasa Han dengan fasih sekali.
‘Apakah saya berhadapan dengan Tan Bu Kong piauwsu
sendiri yang berjuluk Hoa-san Pek-eng?!
Tan-piauwsu tidak menjadi heran menyaksikan lagak gadis
muda ini. Dalam pengalamannya ia sudah banyak menyaksikan wanita-wanita yang
berkepandaian, dan sudah mendengar bahwa di antara para tokoh Mancu banyak
terdapat wanitaa-wanita yang berilmu tinggi. Apalagi wanita-wanita yang berasal
dari bangsa Khitan dan yang kini banyak masuk dalam pasukan Mancu sehingga
pasukan itu merupakan pasukan gabungan yang amat kuat.
‘Tidak salah dugaan Nona. Saya adalah Tan Bu Kong yang
memimpin piauwkiok ini. Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Nona?!
‘Pek-eng-piauwkiok adalah sebuah piauwkiok kenamaan
yang katanya dapat menjamin keamanan setiap barang kiriman. Sampai di manakah
kebenaran berita itu?!
‘Saya tidak perlu bersombong, Nona. Namun kenyataannya,
selama sepuluh tahun ini, tidak ada barang kiriman yang tidak sampai di tempat
tujuannya. Sungguhpun ada terjadi gangguan-gangguan di tengah jalan, namun
semua gangguan dapat diatasi dan kami belum pernah merugikan para langganan
kami.!
Gadis itu tersenyum mengejek. Senyumnya manis sekali dan
pasti akan mudah merobohkan hati setiap orang pria, akan tetapi di balik senyum
ini membayang kekerasan hati yang dingin membeku sehingga diam-diam
Tan-piauw-su bergi dik. Wanita muda ini amat berbahaya, pikirnya.
‘Hemmm, bagus kalau begitu. Saya memiliki dua buah peti
kiriman yang harus dibawa ke Nam-keng. Apakah engkau berani menjamin bahwa
barang-barang itu akan sampai ke tempat tujuan dengan seJamat, Tan-piauwsu?!
‘Menjamin sampainya barang kiriman ke tempat tujuan
dengan selamat adalah kewajiban mutlak setiap piauwkiok, Nona, karena itu, saya
berani menjamin!!
Kembali senyum mengejek itu sehingga Tan-piauwsu menjadi
mendongkol, akan tetapi segera ditutupnya dengan sikap hati-hati dan waspada.
‘Bagaimana andaikata kiriman itu dirampok di tengah
jalan?!
‘Akan kami bela mati-matian!!
‘Bagaimana andaikata... hemmm, maaf, piauwsu. Bagaimana
andaikata kalian gagal mempertaruhkan keselamatan barang-barang itu dan
kemudian sampai terampas orang?!
‘Hah! Tak mungkin! Dan kalau terjadi demikian.. hal
ini... tak ada lain jalan kecuali mengganti harga barang-barang kiriman itu.!
Gadis itu tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi
yang putih seperti mutiara.
‘Barang-barangku dalam dua peti itu biarpun diganti
dengan seluruh benda milikmu ditambah milik penduduk kota ini masih takkan
cukup, Tan-piauwsu! Dengar baik-baik. Aku menghendaki dua buah peti mati itu
dikirimkan sekarang juga dan berapapun kau minta untuk biayanya akan kubayar!
Akan tetapi, kalau sampai hilang di jalan, tanggungannya adalah nyawamu! Engkau
akan ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak!!
Berubah wajah Tan-piauwsu dan ia nemandang gadis muda itu
dengan alis terangkat.
‘Tentu saja! Selama sepuluh tahun engkau mengawasi
barang, kesemuanya selamat, akan tetapi sekarang mengawal benda penting dari
seorang Puteri Mancu, kalau sampai hilang maka ini berarti bahwa kau sengaja
membikin hilang dan berarti kau memusuhi pemerintah Mancu! Nah, sekarang aku
tanya Beranikah engkau mengawal barang-barangku ini ke Nam-keng? !
Ditanya begitu, Tan-piauwsu merasa tersinggung kehormatannya.
Juga piauwsu yang berpengalaman luas ini berpikir bahwa kalau ia menolak, akan
menimbulkan kesan bahwa dia anti kepada pemerintah Mancu. Ia percaya bahwa para
tokoh kang-ouw tidak ada yang akan mengganggunya, apalagi di daerah selatan ia
memiliki banyak sahabat dan namanya sudah terkenal. Siapa yang akan berani dan
mau mengganggu barang kiriman yang dikawalnya?
‘Baiklah! Akan tetapi karena jaminannya adalah nyawa,
maka biaya pengirimannya tentu harus lipat sepuluh kali dari biasa!!
‘Hi-hik! Jangankan sepuluh kali lipat, biar dua puluh
kali pun kubayar sekarang juga. Nih, cukupkah?! Gadis itu mengeluarkan sebuah
pundi-pundi uang dan melemparkannya di atas meja. Tan-piauwsu mengambilnya dan
membuka. Matanya terbelalak melihat bahwa pundi-pundi itu isinya
potongan-potongan emas belaka yang menurut taksirannya berharga tiga empat
puluh kali daripada tarip biasa!
‘Terlalu banyak! Saya tidak setamak itu dan nyawa saya
yang tua pun tidak semahal ini,! katanya tersenyum.
‘Engkau benar-benar jujur dan gagah, Tan-piauwsu. Saya
boleh berlapang dada kalau dua buah petiku itu dilindungi oleh
Pek-eng-piauw-kiok. Biarlah semua emas itu kuserahkan kepada Pek-eng-piauwkiok,
akan tetapi kuminta hari ini juga barang-barangku dikirim.!
‘Di manakah dua peti itu?!
Gadis itu kembali tersenyum. ‘Sudah tersedia di luar
pintu piauwkiok ini!! Ia bertepuk tangan tiga kali dan selosin pengawalnya
memberi hormat di depan pintu. ‘Bawa masuk dua peti ke sini.!
Para pengawal mundur dan tak lama kemudian mereka masuk lagi
menggotong dua buah peti yang panjangnya dua meter, lebar dan tingginya satu
meter. Peti-peti itu terbuat dari kayu besi yang kuat dan keras, dicat keemasan
dan selain kokoh kuat, juga rapi dan halus. Batas antara peti dan tutupnya
tidak tampak sehingga agaknya untuk membuka peti itu jalan satu-satunya hanya
merusaknya, yaitu membukanya secara paksa. Agaknya hal ini sengaja dilaku kan
untuk mencegah orang luar yang ingin tahu membuka peti-peti itu.
‘Agaknya Nona tidak akan memberi tahu apa isi buah peti
ini?! Tan-piauwsu memancing.
‘Perlukah itu? Tugasmu hanya mengawal dan mengantar
sampai ke tempat tujuan. Tentang isinya adalah rahasiaku, Tan-piauwsu.!
‘Baiklah, dalam waktu paling lama sebulan dua buah peti
ini tentu akan tiba di tempat tujuannya di Nam-keng. Harap Nona suka memberi
alamat penerimanya.!
Gadis Mancu itu lalu menuliskan alamat penerimanya dengan
gerakan tangan cepat dan ternyata huruf-huruf tulisannya amat indah dan halus.
Alamat di Nam-keng itu adalah alamat sebuah rumah penginapan!
‘Eh, mengapa tidak ada nama penerimanya? Hanya nama penginapan.!
‘Tidak perlu karena penerimanya adalah aku sendiri yang
tentu akan berada di rumah penginapan itu pada saat barang-barang itu tiba.!
Tan-piauwsu tidak mau banyak bertanya lagi, padahal
merupakan hal yang aneh kalau gadis ini menyatakan dapat berada di sana lebih
dulu daripada rombongan piauwsu yang melakukan perjalanan cepat! Dia mulai
menaruh curiga, akan tetapi untuk menjaga keselamatan diri dan piauwkioknya,
dia tidak dapat menolak kiriman itu.
‘Nah, sampai bertemu kembali, Tan-piauwsu! Hati-hati,
kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menangkapmu!!
Setelah berkata demikian, gadis itu tertawa dan meninggalkan piauwkiok, dikawal
oleh selosin orang perajurit. Suara derap kaki kuda mereka meninggalkan kesan
yang menyeramkan bagi para piauwsu yang berada di situ, seolah-olah derap kaki
kuda itu mendendangkan peringatan yang mengerikan.
Setelah gadis Mancu yang tidak memperkenalkan namanya
bersama para perajurit Mancu Itu pergi, Tan-piauwsu cepat berkata kepada seorang
di antara sutenya yang bertubuh kurus tinggi.
‘Teng-sute, lekas kau selidiki ke mana mereka itu
pergi!!.
Orang she Teng yang kurus itu mengangguk dan sekali
berkelebat ia sudah lari keluar dari tempat itu. Dia memang ahli ginkang yang
dapat berlari cepat sekali, maka dialah yang disuruh oleh Tan-piauwsu untuk
mengejar rombongan gadis itu dan mengetahui dimana tempat tinggal dan siapa
gerangan gadis aneh itu. Kemudian Tan-piauwsu mengumpulkan lima orang sutenya
yang lain dan diajaknya masuk ke ruangan dalam untuk berunding.
‘Sute sekalian, gadis Mancu tadi amat mencurigakan. Aku
dapat merasa yakin bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Tentu dia
mengandung maksud tertentu di balik pengiriman ini.!
‘Aku pun berpikir demikian, Suheng. Mengapa Suheng
tidak menolak saja tadi?! berkata sutenya yang tertua, seorang berusia lima
puluh tahun lebih, berjenggot panjang dan bertubuh kecil pendek, namun bermata
tajam. Dia ini adalah seorang Hoa-san-pai yang bernama Lie Cit San dan dialah
merupakan orang ke dua di Pek-eng-piauwkiok karena tingkat kepandaiannya pun
paling tinggi di antara para sute dari Tan-piauwsu.
‘Tidak bisa menolak, Sute. Dia sudah sengaja memilih
kita dan kalau aku menolak, dia memiliki alasan untuk mengecap kita sebagai
pemberontak-pemberontak yang tidak mau mengawal barang milik seorang Puteri
Mancu. Aku khawatir kalau-kalau rahasia perjuangan kita tercium oleh mereka dan
sekarang ini mereka menggunakan ujian di balik pengiriman barang.!
‘Dugaanmu bagaimana, Suheng?!
‘Ada dua kemungkinan. Kalau dia mau mengganggu kita,
mungkin dia sendiri yang akan mempersiapkan orang-orangnya untuk merampas
peti-peti itu di tengah jalan sehingga dengan mudah akan menghancurkan kita.!
‘Keji sekali! Akan tetapi kita akan lawan dia, Suheng!!
kata Ok Sun, sutenya yang berangasan, seorang berusia tiga puluh lebih yang
bertubuh kekar dan di pinggangnya tergantung sebuah golok besar.
‘Tentu saja akan kita lawan, akan tetapi ada
kemungkinan lain yang lebih melegakan hati. Yaitu mungkin ini hanya merupakan
ujian bagi kesetiaan kita terhadap Pemerintah Mancu. Kalau benar demikian, kita
akan selamat.!
‘Jangan-jangan dua peti itu terisi peralatan untuk
menghancurkan kawan-kawan seperjuangan kita!! kata seorang sute lain.
‘Hal itu tidak penting dan kurasa tidak demikian. Untuk
menjaga kemungkinan pertama, yaitu gadis aneh itu mengerahkan orang-orang untuk
mengganggu kita di jalan, aku sendiri akan mengawalnya!! kata Tan-piauwsu
sambil mengepal tinju. Dia harus unjuk gigi, dan untuk menjaga nama baik
Pek-eng-piauwkiok, akan dia lawan mati-matian setiap usaha untuk merampas dua
buah peti itu.
Tiba-tiba Kwee Twan Giap, sutenya yang paling muda akan
tetapi terkenal paling cerdik, berkata.
‘Suheng, justeru inilah yang aku khawatirkan. Agaknya
justeru pemikiran dan keputusan Twa-suheng ini yang sudah diperhitungkan
mereka!!
‘Apa maksudmu, Kwee-sute?!
‘Bukan lain, tipu muslihat memancing harimau keluar
dari sarang!!
Tan-piauwsu dan empat orang sutenya yang lain terkejut
dan membelalakkan mata. Tan-piauwsu meninju meja di depannya.
‘Ah, tepat sekali, Sute! Mengapa hal yang mungkin
sekali ini kulupakan? Memancing harimau keluar dari sarang! Ah, bisa jadi
itulah inti dari rahasia pengiriman aneh ini. Kita harus bersiap-siap untuk
kemungkinan itu!!
‘Sebaiknya begini saja, Twa-suheng,! kata pula sute
termuda yang cerdik itu.
‘Pengawalan barang ini diserahkan saja kepada seorang
di antara kami, karena untuk menghadapi gangguan di jalan, kurasa tidaklah amat
berat. Apalagi kalau diingat bahwa perjalanan itu menuju ke Nam-keng. Daerah
sepanjang perjalanan ke selatan penuh dengan sahabat-sahabat kita, sehingga
kalau terjadi sesuatu, banyak sahabat yang dapat membantu. Adapun Suheng
sendiri bersama para Suheng lainnya menjaga di sini untuk menghalau setiap
gangguan dan juga untuk dapat melihat perkembangan, kalau perlu merundingkan
dengan kawan-kawan seperjuangan yang datang dan lewat di kota ini.!
Usul ini dapat diterima dan akhirnya Tan Bu Kong
menetapkan Lie Cit San dan Ok Sun sebagai wakilnya mengawal dua buah peti itu,
membawa pasukan piauwsu pilihan sebanyak lima belas orang. Berangkatlah hari
itu juga dua orang piauwsu dan lima belas orang anak buahnya, mengawal dua buah
peti yang dimasukkan ke dalam kereta yang ditarik empat ekor kuda besar.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, di dalam hutan,
rombongan piauwsu ini bertemu dengan Han Han dan Lulu. Ketika dari jauh mereka
melihat seorang pemuda dan seorang pemudi berjalan di hutan yang liar dan sunyi
itu, Lie Cit San sudah menjadi curiga dan berbisik.
‘Awas, semua siap sedia! Dua orang di depan itu
mencurigakan!!
Demikianlah, rombongan piauwsu itu lewat dan ketika
mereka melihat bahwa yang mereka curigai itu hanyalah seorarg pemuda sederhana
dan seorang gadis remaja yang cantik, mereka tertawa-tawa dan memandang ke arah
Lulu dengan kagum dan tentu saja timbul sifat-sifat kurang ajar mereka,
sungguhpun di depan Lie Cit San dan Ok Sun para anak buah itu tidak berani
mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan.
Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, di bagian yang
berbatu, mendadak muncul sembilan orang laki-laki yang gagah sikapnya dan
mereka ini sengaja menghadang di tengah jalan. Usia sembilan orang ini dari dua
puluh sampai empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka yang rapi dan seperti
biasa dipakai orang-orang yang pandai ilmu silat, mereka itu seperti bukan
golongan perampok. Seorang di antara mereka, yang paling tua, sudah mengangkat
tangan ke atas dan berseru.
‘Pek-eng-piauwsu yang mengawal kereta, berhenti dulu!!
Lie Cit San yang menunggang kuda, segera mengajukan
kudanya, mengerutkan kening dan matanya yang tajam memandang penuh selidik,
kemudian bertanya.
‘Sahabat-sahabat yang berada di depan siapakah dan apa
maksudnya menghentikan kami? Hendaknya diketahui bahwa kami mewakili Suheng
kami Hoa-san Pek-eng untuk mengawal barang-barang dalam kereta menuju ke
Nam-keng. Harap sahabat-sahabat suka minggir dan membiarkan kami lewat!!
Sembilan orang laki-laki itu mengeluarkan suara marah dan
yang tertua di antara mereka segera mengangkat tangan memberi isyarat agar
teman-temannya bersikap tenang. Kemudian ia berkata kepada Lie Cit San.
‘Orang-orang Hoa-san-pai amat sombongnya sehingga
seperti buta, tidak membedakan orang! Kami bukanlah golongan perampok rendah
yang menjadi sahabat para piauwsu! Kami adalah anak-anak murid Siauw-lim-pai
yang sengaja mencegat kalian di sini untuk membalas dendam!!
Lie Cit San terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Dia
memang tahu bahwa beberapa bulan yang lalu terjadi bentrokan antara beberapa
orang anak murid Siauw-lim-pai dengan anak murid Hoa-san-pai, akan tetapi
bentrokan itu terjadi antara orang-orang muda yang masih kurang pengalaman dan
hal itu telah dibereskan oleh golongan tua.
Urusannya hanya kecil karena terjadi hubungan cinta
antara seorang murid wanita Hoa-san-pai dengan seorang murid pria
Siauw-lim-pai. Hubungan cinta ini menimbulkan rasa iri pada saudara-saudara
seperguruan lain sehingga terjadilah bentrokan itu. Dalam bentrokan itu pun
hanya mengakibatkan luka-luka tak berarti di kedua pihak. Mengapa hal yang
sudah padam itu kini hendak digali dan dipanaskan kembali oleh sembilan orang
anak murid Siauw-lim-pai yang tidak dapat dikatakan orang-orang muda ini?
Lie Cit San bukan seorang anak muda yang berdarah panas,
maka ia menyabarkan hatinya dan mengangkat kedua tangan setelah meloncat turun
dari atas kuda. Sutenya, Ok Sun yang tadinya berada di atas kereta, juga
meloncat turun dengan gerakan gesit, berdiri di dekat suhengnya dalam keadaan
siap-siap. Tokoh Hoa-san-pai yang berangasan ini sudah meraba-raba gagang
senjata.
‘Maafkan kalau kami salah menyangka,! kata Lie Cit San.
‘Kiranya Gu-wi adalah para Enghiong dari Siauw-lim-pai! Lebih baik lagi kalau
begitu. Hendaknya Cu-wi suka memberi tahu apakah sebabnya Cu-wi sekalian
menahan kami?!
Ok Sun yang marah menyambung, ‘Biarpun anak-anak murid
Siauw-lim-pai namun lagaknya seperti perampok, menghadang perjalanan orang.
Suheng, kurasa mereka ini telah menjadi antek-antek Mancu dan sekarang mereka
diperalat oleh gadis Mancu itu!!
‘Tutup mulutmu!! bentak seorang pemuda diantara
sembilan orang murid Siauw-lim-pai itu.
Lie Cit San dan pemimpin rombongan Siauw-lim-pai segera
menghardik saudara masing-masing agar suka diam. Kemudian orang Siauw-lim-pai
itu berkata,
‘Aku Liong Tik adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai
yang menjunjung kebenaran dan keadiIan! Maksud kami sembilan orang murid
Siauw-lim-pai menahan kalian tidak lain hanya untuk bertanya apa isinya kereta
yang kalian kawal!!
‘Ada sangkut-paut apakah hal itu dengan kamu
orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong?! bentak Ok Sun yang memang berangasan
dan sebagai seorang murid Hoa-san-pai tentu saja masih panas hatinya oleh
bentrokan antara murid-murid keponakannya dengan murid-murid Siauw-lim-pai
beberapa bulan lalu. Akan tetapi kembali Lie Cit San yang masih sabar itu
menyambung.
‘Mengapakah para sahabat gagah dari Siauw-lim-pai ingin
mengetahui hal itu? Hendaknya Cu-wi sekalian tahu bahwa kami sendiri hanya
bertugas untuk mengawal barang dan sama sekali tidak tahu apa isinya dua buah
peti yang kami kawal, bahkan kami pun tidak ingin mengetahui barang milik orang
lain.!
‘Dua buah peti..?! Sembilan orang Siauw-lim-pai itu
saling pandang penuh arti, kemudian memandang marah ke arah kereta.
Liong Tik yang tertua di antara saudara-saudaranya
mengimbangi kesabaran Lie Cit San dan kini ia berkata, suaranya masih halus
namun nadanya memaksa,
‘Kami percaya bahwa dua orang saudara Hoa-san-pai yang
gagah tidak mengetahui isinya, akan tetapi kami minta agar kedua buah peti itu
dibuka agar kita bersama dapat melihat isinya!!
‘Perampok-perampok berkedok Siauw-Lim-Pai! Kalau
ternyata isinya emas permata tentu kalian akan merampoknya!! bentak Ok Sun
sambil mencabut golok besarnya. Para anak murid Siauw-lim-pai juga sudah
mencabut senjata masing-masing dengan sikap marah.
Lie Cit San menggeleng kepala. ‘Tidak mungkin hal itu
dilakukan,! katanya. ‘Kami harus menjaga nama baik kami sebagai piauwsu,
tidak akan membuka peti kiriman barang orang lain, juga tidak memperbolehkan
siapa juga membukanya.!
‘Twa-suheng, sudah jelas bahwa mereka hendak
menyembunyikan. Kalau tidak lekas turun tangan, mau menanti apa lagi?! bentak
seorang di antara anak murid Siauw-lim-pai yang paling berangasan sambil
meloncat maju dengan pedang di tangan. Ok Sun menggereng dan kedua orang itu
sudah bertanding dengan sengit. Melihat ini, Lie Cit San dan Liong Tik maklum
bahwa bentrokan tak dapat dielakkan lagi, terpaksa mereka pun maju. Lie Cit San
mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang cambuk besi yang kecil
panjang, sedangkan Liong Tik mengeluarkan senjata sepasang tombak bercagak dan
kedua orang ini pun sudah bertanding hebat.
Tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai yang lain sudah
menyerbu ke arah kereta dan mereka disambut oleh lima belas orang anak buah
piauwsu sehingga sebentar saja di situ terjadi pertandingan yang seru,
terdengar bunyi senjata-senjata bertemu diseling teriakan marah mereka.
Pertandingan antara dua orang murid Hoa-san-pai melawan dua orang murid Siauw-lim-pai
terjadi seru dan berimbang, akan tetapi lima belas orang anak buah rombongan
piauwkiok itu segera terdesak hebat oleh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai
dan setelah lewat belasan jurus, mulailan pihak piauwkiok terdesak dan empat
orang sudah roboh terjungkal mandi darah.
Tiba-tiba terdengar bentakan yang amat keras, ‘Semua
berhenti!!!
Aneh sekali. Bentakan itu selain keras dan penuh wibawa,
juga mengandung tenaga mukjizat yang membuat mereka yang sedang bertempur itu
serentak meloncat mundur dengan kaget dan gentar, menahan senjata masing-masing
dan memandang terbelalak kepada seorang pemuda rambut riap-riapan yang
tahu-tahu sudah berada di tengah antara mereka.
Pemuda ini bukan lain adalah Han Han yang segera dapat
memilih pihak karena melihat betapa tadi rombongan piauwsu itu terdesak, bahkan
ada empat orang di antara mereka yang roboh dan tewas. Kini ia memutar tubuh,
membelakangi para piauwsu, menghadapi para murid Siauw-lim-pai dan membentak
marah.
Perampok-perampok laknat, berani kalian mengganggu orang
lewat? Orang-orang jahat macam kalian ini patut dibasmi!!
Para piauwsu yang mengenal Han Han sebagai pemuda yang
tadi mereka lewati, memandang heran namun juga geli. Pemuda hijau macam ini
mana mungkin dapat menakuti hati para anak murid Siauw-lim-pai yang lihai itu.
Dan betul saja dugaan mereka, murid-murid Siauw-lim-pai marah sekali karena
mengira bahwa pemuda liar yang bermata setan ini pasti seorang anak murid
Hoa-san-pai pula. Maka seorang di antara mereka yang termuda, yang tidak
memandang mata kepada Han Han, sudah menerjang sambil membentak.
‘Bocah setan, mampuslah!! Pemuda Siauw-lim-pai itu
bersenjata sebuah toya dan senjata toya ini memang merupakan sebuah di antara
senjata kaum Siauw-lim-pai yang ampuh. Begitu tara digerakkan terdengar bunyi
mengaung dan ujung toya itu tergetar menimbulkan bayangan belasan batang
banyaknya. Kini toya itu rneluncur ke arah tubuh Han Han, menyodok ke dadanya.
Han Han sama sekali tidak bergerak.
‘Krakkk!!! Toya itu dengan tepat menyodok ulu hati Han
Han, akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak bergeming, sebaliknya toya itu
patah-patah rnenjadi tiga potong! Anak murid Siauw-lim-pai itu terdorong
tenaganya sendiri sehingga menubruk tubuh Han Han. Pemuda ini mengangkat tangan
kiri yang terbuka, memukul ke arah tengkuk lawannya.
‘Krekkk!! Murid Siuw-lim-pai roboh dengan batang leher
patah dan tewas seketika!
Peristiwa ini menirnbulkan geger. Delapan orang anak
murid Siauw-lim-pai menjadi marah sekali dan mereka maju dengan senjata mereka
menerjang Han Han. Saking marahnya menyaksikan seorang saudara mereka tewas,
mereka itu lupa akan sifat kegagahan dan delapan orang jagoan Siauw-lim-pai
dengan senjata di tangan kini menerjang dan mengeroyok seorang pemuda tanggung
yang tak terkenal dan bertangan kosong!
Pada saat itu, Lulu juga sudah tiba di situ dan gadis ini
dengan mata berkilat dan muka berseri berteriak-teriak,
‘Han-ko, sikat saja perampok-perampok itu!!
Akibat pengeroyokan itu sungguh hebat! Han Han kaku
sekali gerakannya dan ia tidak mempunyai ilmu silat tertentu untuk dimainkan
menghadapi pengeroyokan itu. Biarpun ia sudah mempelajari gerak kaki, namun
gerak tangannya hanya ia pelajari sepintas lalu saja karena selama enam tahun
ini ia hanya memusatkan ketekunannya untuk memupuk tenaga sinkang.
Ia memasang bhesi dengan kuda-kuda Chi-ma-se, kedua
kakinya terpentang dan lutut ditekuk, akan tetapi kedua lengannya dikembangkan
dan diputar-putar menghadapi setiap serangan para pengeroyok. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kagetnya kedua pihak yang bermusuhan melihat akibat
pertandingan ini. Setiap kali ada senjata datang menyerang, Han Han memapakinya
dengan dorongan atau kibasan tangannya dan.. si penyerang terguling, senjatanya
patah-patah dan orangnya roboh tewas, ada kalanya tewas dengan muka kebiruan
seperti membeku, ada kalanya pula tewas dengan tubuh hitam seperti hangus
terbakar!
Dalam keadaan tidak sadar akan kekuatan sendiri, Han Han
telah ‘mengisi! lengan kiri dengan tenaga inti Im-kang, sedangkan tangan
kanannya mengandung tenaga inti Yang-kang. Kekuatan dan kedahsyatan setiap
gerak tangannya tidak kalah oleh ilmu pukulan Swat-im Sin-kang maupun Hwi-yang
Sin-kang!
Karena dia tidak menyerang hanya memapaki mereka yang
menyerang saja, maka dalam gebrakan-gebrakan itu robohlah tujuh orang murid
Siauw-lim-pai dalam keadaan tak bernyawa lagi, sedangkan Liong Tik dan seorang
sutenya yang lebih tinggi ilmunya dapat meloncat ke belakang sehingga terhindar
dari bahaya maut, akan tetapi juga senjata mereka itu remuk oleh hantaman hawa
pukulan yang keluar dari tangan Han Han.
Pada saat itu keadaan Han Han benar-benar mengerikan
sekali. Ia masih berdiri seperti tadi karena ia telah merobohkan tujuh orang
murid Siauw-lim-pai dalam keadaan tak mengubah kedudukan kaki sama sekali. Ia
berdiri menghadapi Liong Tik dan sutenya, siap menerima serangan, matanya mengeluarkan
cahaya yang tajam sekali, mulutnya tersenyum mengerikan seperti senyum setan
mengejek sehingga wajahnya yang tampan itu kelihatan menyeramkan, kedua
lengannya dikembangkan ke kanan kiri. Karena pihak lawan yang tinggal dua orang
itu terbelalak dan tidak menyerangnya, maka ia pun diam tak bergerak dan sesaat
keadaan di situ menjadi sunyi karena Lie Cit San, Ok Sun dan semua anggauta
piauw-su juga terbelalak dengan hati ngeri.
Derap kaki kuda terdengar jelas di saat yang sunyi itu
dan Lulu menengok ke kanan. Seekor kuda hitam datangseperti terbang cepatnya
dan di atas kuda itu duduk seorang gadis cantik. Bukan duduk, lebih tepat
berdiri karena gadis itu memang berdiri dengan kaki di kanan kiri perut kuda,
di atas tempat kaki.
Dapat berdiri seperti itu selagi kuda membalap dengan
miring membuktikan betapa pandainya gadis cantik ini menunggang kuda. Akan
tetapi wajah gadis itu diliputi kedukaan dan kegelisahan. Melihat betapa anak
murid Siauw-lim-pai banyak yang tewas dan kereta yang membawa dua buah peti
berada di situ dalam keadaan ditinggalkan karena para piauwsu tadi menyambut
penyerbuan para murid Siauw-lim-pai, gadis itu mengeluarkan teriakan nyaring
dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat sekali mendahului kuda dan tahu-tahu ia
telah berada di belakang kereta. Para piauwsu terkejut, akan tetapi sebelum ada
yang sempat bergerak, gadis itu sudah menggerakkan tangan dua kali.
Dua buah peti itu terpukul bagian atasnya oleh dua tangan
yang kecil halus, akan tetapi seketika bagian tutupnya remuk dan terbukalah
kedua peti itu. Si gadis cantik menjenguk ke dalam peti-peti itu dan terdengar
teriakannya menyayat hati.
‘Liok-suhu...! Chit-suhu..!!! Dan gadis itu menangis
tersedu-sedu.
Para piauwsu tercengang keheranan, apalagi setelah Liong
Tik dan seorang sutenya berlari menghampiri kereta, menjenguk isi peti dan
menjatuhkan diri berlutut pula sambil menangis. Lie Cit San dan Ok Sun, diikuti
para piauwsu lari pula mendekat dan ketika mereka melihat isi peti, mereka
terbelalak.
‘Aihhhhh..!!! Lie Cit San dan Ok Sun terhuyung ke
belakang dengan muka pucat sekali. Kiranya di dalam dua buah peti itu terisi
dua sosok mayat orang yang bukan lain adaiah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek,
orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam!
Gadis cantik itu sudah menghentikan tangisnya lalu
bangkit berdiri. Sikapnya dingin sekali, penuh hawa amarah meluap-luap, penuh
dendam sakit hati yang harus dilampiaskan. Ia bertanya kepada Liong Tik dan
sutenya.
‘Siapa yang membunuh saudara-saudaramu itu?!
‘Sukouw (Bibi Guru)... mohon bantuan.. para Sute
dibunuh oleh bocah iblis itu..!!
Liong Tik menuding ke arah Han Han yang masih berdiri
seperti arca. Tadi ia seperti kemasukan pengaruh yang aneh, terdapat rasa
gembira sekali ketika kedua tangannya merobohkan para pengeroyoknya. Akan
tetapi kini Han Han memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu dengan
bengong. Ia baru sadar ketika ada suara wanita membentak di depannya.
‘Siapa engkau yang begini kejam telah membunuh tujuh
orang murid keponakanku?!
Tiba-tiba Lulu yang berdiri di belakang Han Han tertawa
geli sehingga suasana tegang itu menjadi terpecah.
‘Hi-hi-hi, aneh sekali! Melihat muka dan tubuhmu,
usiamu tidak akan banyak selisihnya dengan usiaku, akan tetapi engkau mempunyai
keponakan-keponakan yang sudah tua-tua. Aneh dan lucu, hi-hi-hik!!
Akan tetapi gadis itu tidak mempedulikannya, bahkan
seperti tidak mendengarnya karena gadis itu kini sedang memandang Han Han penuh
perhatian, bahkan wajahnya yang cantik kini menjadi agak pucat, sinar matanya
penuh keheranan dan tidak percaya.
Han Han yang sadar akan teguran suara wanita, mengangkat
muka dan begitu ia memandang wajah gadis cantik di depannya itu, ia terbelalak
dan sampai lama tidak dapat menge1uarkan suara. Kedua orang ini saling pandang,
kadang-kadang meragu, kemudian merasa yakin dan Han Han berkata lirih.
‘Engkau..? Engkau... Han Han..? Dan engkau membantu
Hoa-san-pai, menjadi anjing penjajah Mancu..?!
‘Suci.., sama sekali tidak..!
Kau bukan Suteku 1agi! Kau musuh yang harus mati di
tangankuI! Gadis itu menyerang dengan dahsyat sekali. Biarpun dia menyerang
dengan pukulan tangan ke arah dada Han Han, namun tangan kosong gadis cantik
ini jauh lebih berbahaya daripada serangan senjata para murid Siauw-lim-pai
tadi. Datangnya antep, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat.
‘Dukkkkk.!! Han Han yang tidak menangkis itu terpukul
dadanya, terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi gadis itu sendiri terbanting
roboh! Gadis itu yang sesungguhnya adalah Lauw Sin Lian, terkejut dan meloncat
bangun.
Tangan kanannya yang memukul itu menjadi kebiruan dan tubuhnya
menggigil kedinginan! Cepat-cepat ia menahan napas dan mengerahkan hawa dari
pusarnya sehingga rasa dingin itu dapat diusir. Ia memandang kepada Han Han
dengan mata terbelalak, kemudian ia menoleh kepada dua orang murid keponakannya
sambil berkata, suaranya mengandung isak tertahan.
‘Naikkan jenazah para Sute itu ke atas kereta.! Dua
orang murid Siauw-lim-pai itu segera melaksanakan perintah ini dengan air mata
bercucuran. Lauw Sin Lian meloncat ke atas kereta, diikuti dua orang murid
keponakannya, kemudian setelah sekali lagi menoleh ke arah Han Han dengan
pandang mata penuh kebencian, ia lalu memekik nyaring dan menarik kendali kuda.
Empat ekor kuda itu meringkik dan meloncat ke depan, lalu membalap. Para
piauwsu tidak ada yang berani berkutik. Mereka masih terkejut dan bingung
menyaksikan kenyataan yang amat mengerikan tadi.
‘Suci...!! Han Han mengeluh perlahan, kemudian ia
membalikkan tubuhnya perlahan-lahan, menghadapi anak murid Hoa-san-pai yang
masih berdiri pucat. Pandang mata Han Han mengandung sesuatu yang membuat dua
orang ini bergidik.
‘Kalian.. Kalian.. manusia-manusia iblis! Kiranya
kalianlah yang jahat, dan kalian membuat aku membunuh mereka yang tak
berdosa..!! Suara Han Han perlahan seperti mendesis, namun hal ini bahkan
menambah keseramannya. Dua orang murid Hoa-san-pai itu menggeleng kepala.
Akan tetapi kedua tangan Han Han sudah menyambar,
melakukan gerakan menampar ke depan. Jarak antara mereka masih jauh, ada dua
meter, namun tamparan ini mengandung hawa sinkang yang hebat, mengandung hawa
pukulan yang biasa ia latih di Pulau Es, pukulan-pukulan yang dapat membuat air
membeku menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak lembu!
Dua orang murid Hoa-san-pai itu roboh tanpa dapat
bersambat lagi, roboh dengan tubuh kaku membeku dan tewas seketika! Para anak
buah piauwsu menjadi putat sekali, akan tetapi Han Han sudah menghadapi mereka
dan berkata.
‘Kalian hanya anak buah, tidak tahu apa-apa.. !! Tanpa
berkata apa-apa lagi Han Han lalu menyambar tangan adiknya dan ditariknya lalu
diajak pergi cepat-cepat dari tempat itu. Sebentar saja kedua orang muda ini
lenyap dari tempat itu dan barulah para anggauta piauwkiok itu sibuk mengurus
jenazah kedua orang pimpinan mereka dan empat orang jenazah itu, dengan penuh duka
dan masih menggigil kalau teringat kepada pemuda yang mereka anggap iblis itu,
mereka kembali ke Kwan-teng untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
‘Eh-eh, berhenti dulu, Han-ko..!! Lulu merenggut
tangannya dan terpaksa Han Han berhenti. Wajah pemuda ini keruh tanda bahwa
pikirannya kalut dan hatinya terganggu oleh peristiwa dalam hutan tadi.
‘Han-ko, semua peristiwa tadi amatlah mengherankan
hatiku. Siapakah gadis cantik yang kau sebut Suci tadi? Benarkah dia itu Kakak
Seperguruanmu?!
Han Han yang masih kalut pikirannya itu mengangguk.
‘Dia Suciku, dia Puteri guruku yang pertama. Dia puteri
Lauw-pangcu.! Baru Han Han teringat dan kalau bisa ia hendak menelan kembali
semua kata-kata yang sudah dikeluarkan. Namun terlambat karena Lulu sudah
mendengar semua dan gadis itu tiba-tiba menjerit, lalu membalikkan tubuh dan
lari secepatnya.
‘Eh, Moi-moi.., tunggu dulu..!!! Han Han meloncat dan
cepat mengejar. Sebentar saja ia dapat menyusul dan memegang tangan Lulu. Akan
tetapi Lulu merenggutkan tangannya dan dengan cemberut memandang Han Han dengan
muka merah dan air mata membasahi pipinya.
Jangan dekat-dekat! Jangan pegang-pegang! Kau kiranya
murid musuh besarku! Apakah kau hendak membelanya? Mulai sekarang aku tidak
sudi berdekatan denganmu!!
‘Eh, Lulu jangan begitu. Aku tetap Kakakmu, dan aku
tidak akan membela siapapun juga kecuali engkau Adikku..!
‘Bohong! Mana mungkin membelaku kalau musuh besarku
adalah Gurumu sendiri? Kakek jahat she Lauw itu adalah Gurumu, baru puterinya
saja sudah kau bela tadi! Sudahlah, karena kau murid musuh besarku, berarti
engkau musuhku juga. Nah, kau lekas serang dan bunuh aku.., lekas bunuh aku...
tak mungkin aku dapat membalas kematian keluargaku karena engkau murid musuhku.
Bunuh aku, engkau murid musuh besarku!!
Saking berduka dan marah, omongan Lulu menjadi
kacau-balau tidak karuan dan bercampur dengan isak yang ditahan-tahannya.
Sepasang matanya yang lebar dan yang biasanya bersinar seperti sepasang
matahari kembar itu kini menyuram, dan dua butir air mata jernih seperti
mutiara menggantung di bulu matanya yang lentik.
Han Han melangkah maju dan memegang kedua pundak Lulu,
tersenyum duka dan berkata,
‘Baiklah, lulu. Engkau menganggap aku musuhmu, nah, ini
dadaku sudah terbuka di depanmu. Kau hantamlah aku sampai mati, kalau kau
menganggap aku musuhmu.!
Sepasang mata yang lebar indah itu memandang ke arah dada
Han Han, dada kakaknya yang selama ini menjadi tempat ia bersandar, dan ia
bergidik, akan tetapi mulutnya masih mencela.
‘Kau mengejek! Kau tahu bahwa betapapun keras aku
memukul, takkan melukai dadamu...!
‘Adikku yang manis. Sekali ini aku tidak akan melawan,
dan aku akan senang mati di tanganmu, kalau hal itu memang kau kehendaki dan
akan menyenangkan hatimu. Apakah kau akan senang hatimu kalau kau dapat memukul
mati Kakakmu ini, Moi-moi?!
Lulu menengadahkan mukanya, mereka berpandangan dan Lulu
terisak menangis sambil menubruk kakaknya, menyembunyikan mukanya di dada yang
ditawarkan untuk ia pukul itu. Air matanya membasahi baju dan dada Han Han yang
mengelus-elus kepala adiknya penuh kasih sayang.
‘Lulu, sudahlah jangan menangis. Aku bukan musuhmu
melainkan Kakakmu.!
‘Akan tetapi kau murid Lauw-pangcu musuh besarku.!
‘Sekarang tidak lagi, Lulu. Itu dahulu ketika aku masih
kecil. Engkau mendengar sendiri betapa puterinya tadi mengatakan demikian pula,
bahwa dia bukan Suciku dan aku bukan Sutenya. Puterinya itu pun kini telah
menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang hebat...!
Lulu mengangkat mukanya memandang. Mukanya masih agak
basah, kulit muka yang halus itu kemerahan dan kemarahan sudah menghilang dari
pandang matanya yang kini menatap wajah kakaknya penuh selidik dan juga penuh
kekhawatiran.
‘Koko, engkau... mencinta dia.?!
‘Dia, puteri musuh besarku itu..!
‘Aha! Kau maksudkan Lauw Sin Lian tadi? Dia bekas
Suciku, ahhh... tidak, aku tidak tahu tentang cinta, jangan bertanya yang
bukan-bukan!!
‘Syukurlah, aku akan bingung sekali kalau sampai engkau
mencinta puteri musuh besarku. Akan bagaimanakah sikapku? Dia puteri musuh
besarku akan tetapi juga... eh calon So-so (Kakak Ipar), kan merepotkan hati
namanya!!
‘Hussh, kau memang nakaI, Moi-moi. Apakah lupa baru
saja kau mengamuk dan menangis? Sekarang sudah menggoda orang!!
Lulu tersenyum, giginya yang rapi dan putih berkilat di
balik kemerahan bibirnya. ‘Tapi aku girang, tak mungkin kau menikah dengan
Lauw Sin Lian. Dia sudah marah dan benci kepadamu karena kau telah membunuh
murid-murid keponakannya!!
Han Han menghela napas panjang dan menggeleng-geleng
kepalanya. ‘Lulu, jangan menganggap hal itu seperti main-main! Aku tadi telah
salah membunuh orang. Kusangka tadinya orang-orang Siauw-lim-pai itu yang jahat
dan menjadi perampok, kiranya piauwsu-piauwsu anak murid Hoa-san-pai itu yang
jahat, menyembunyikan dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang mereka bunuh di dalam
peti-peti itu.!
Seketika wajah Lulu menjadi serius dan membayangkan
kekhawatiran. ‘Wah, kalau begitu engkau akan dimusuhi oleh Siauw-lim-pai,
Koko?!
Han Han tersenyum dan pandang matanya membayangkan
ejekan. ‘Aku tidak takut! Mengapa mesti takut karena memang aku membunuh
mereka karena salah sangka? Juga sikap mereka itu sendiri yang mendorongku
membunuh mereka. Bahkan aku akan pergi ke Siauw-lim-pai, mencari Sin Lian untuk
menjelaskan peristiwa itu.!
‘Bagus sekali! Mari kita ke sana, Koko. Engkau ingin
memberi penjelasan kepada Sin Lian dan aku akan bertanya di mana adanya Ayahnya
agaraku dapat membalas dendam! Engkau tentu akan membantuku membunuh
Lauw-pangcu, bukan?!
Han Han merasa serba salah, akan tetapi dengan
sungguh-sungguh ia berkata, ‘Kurasa sekarang engkau telah cukup lihai untuk
mengalahkan Lauw-pangcu, Lulu. Bagaimana mungkin aku dapat turun tangan
terhadap dia yang dahulu amat baik kepadaku? Aku hanya berjanji akan
melindungimu jika kau sekiranya kalah, akan tetapi untuk membantumu
membunuhnya..., wah, berat juga.!
‘Tidak apalah tidak kau bantu juga! Kalau aku kalah,
aku dapat belajar lagi darimu dan lain kali kucari lagi dia dia. Mari kita ke
Siauw-lim-pai mencari Sin Lian, Koko!!
Akan tetapi Han Han menggeleng kepala. ‘Tidak sekarang,
Moi-moi. Aku akan pergi dulu mencari pusat Pek-eng-piauwkiok itu! Aku telah
kesalahan tangan membunuh murid Siauw-lim-pai dan semua itu hanya karena
kejahatan dan kepalsuan orang-orang Pek-eng-piauwkiok. Mungkin dua orang
piauwsu yang mengawal dua peti terisi mayat dua orang di antara Siauw-lim
Chit-kiam itu pun hanya petugas saja.
Tentu ketua piauwkiok itu yang menjadi biang keladi dan
yang bertanggung jawab. Dia yang harus menebus semua kesalahan ini. Setelah aku
menghukum orang yang menjadi biang keladi peristiwa di hutan itu, yang menjadi
pembunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, barulah aku akan mengajakmu
pergi ke Slauw-lim-pai.!
'Tapi, ke mana kau akan mencari Pek-eng-piauwkiok, Koko?
Kita tidak mengenal mereka...!
‘Wah, kau bodoh sekali, Lulu! Kita pergi saja ke
jurusan dari mana mereka datang, kemudian kita bertanya-tanya orang, apa
sukarnya?! Tanpa memberi kesempatan kepada adiknya yang cerewet itu membantah
lagi, Han Han menyambar tangan Lulu dan digandengnya, kemudian mengajak dara
itu pergi meninggalkan tempat itu. Biarpun lama berada di Putau Es, namun Han
Han masih belum kehilangan kecerdikannya kalau tak dapat dikatakan dia makin
cerdik karena ada sesuatu yang aneh dalam dirinya, yang membuat otaknya dapat
bekerja, lebih cepat.
Tepat seperti yang diduganya, dengan mudah mereka dapat
mencari keterangan tentang Pek-eng-piauwkiok. Piauwkiok yang besar dan terkenal
ini berada di kota Kwan-teng, dan dua orang muda itu segera pergi ke kota
Kwan-teng, tidak peduli akan tatapan pandang mata keheranan dan kagum dari
orang-orang yang berjumpa dengan mereka.
Heran melihat Han Han yang aneh dan rambutnya
riap-riapan, kagum menyaksikan Lulu yang cantik jelita. Pandang mata heran dan
kagum ini lama-lama terbiasa bagi mereka. Di dalam hatinya, Han Han mengambil
keputusan untuk menebus semua pembunuhan. yang ia lakukan di hutan tadi,
pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan seakan-akan di luar kesadarannya. Entah
bagaimana, sekali bertemu tanding, ia mendapat perasaan gembira dan senang
sekali merobohkan para lawannya tanpa dasar apa-apa! Dan begitu keluar pulau,
dia telah melakukan pembunuhan terhadap orang-rang Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai, dua partai persilatan yang besar! Karena itu, dia harus
membereskan urusan ini, mencari siapa yang bersalah dan siapa yang menjadi
biang keladinya.
Memang tidak salah pendapat Han Han bahwa Hoa-san-pai
adalah sebuah partai persilatan yang besar dan terkenal, sungguhpun tidaklah
sebesar partai Siauw-lim-pai yang seolah-olah menjadi sumber partai persilatan
di Tiongkok. Hoa-san-pai yang berpusat di puncak Gunung Hoa-san itu mempunyai
banyak sekali anak murid yang pandai-pandai dan dapat dikatakan bahwa hampir
seluruh anak murid Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa
dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pembela keadilan.
Pek-eng-piauwkiok dipimpin oleh Hoa-san Pek-eng Tan Bu
Kong, seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu silatnya. Di dalam anak tangga
tingkat Hoa-san-pai, Tan Bu Kong menduduki tingkat lima. Di samping para
sutenya yang tentu saja lebih rendah tingkatnya, dia telah berhasil membuat
nama besar, tidak hanya mengakibatkan kemajuan dan keuntungan piauwkiok yang ia
pegang, akan tetapi juga sekaligus mengangkat nama besar Hoa-san-pai. Apalagi
karena di samping perusahaannya ini diam-diam Pek-eng-piauwkiok menjadi tempat
pertemuan tersembunyi di antara para patriot yang melakukan gerakan menentang
pemerintah penjajah Mancu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pek-eng-piauwkiok
didatangi seorang gadis Mancu yang cantik jelita dan juga aneh, yang
mengirimkan dua buah peti panjang dengan biaya amat mahal itu. Setelah dua buah
peti itu diberangkatkan, hati Tan Bu Kong yang menjaga di rumah menjadi amat
tidak enak dan selalu gelisah. Dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan
penjagaan ketat dan hatinya makin tidak enak ketika sampai sore sutenya yang ia
suruh mengikuti dan menyelidiki gadis Mancu itu belum juga kembali. Sutenya
itu, Teng Lok, memiliki kepandaian yang boleh diandalkan dan terutama sekali
ginkangnya amat tinggi, tidak kalah oleh dia sendiri. Mengapa sampai sore belum
juga sutenya itu kembali?
Menjelang malam, Tan-piauwsu mendengar suara ribut-ribut
di luar. Cepat ia, meloncat dan berlari keluar dengan jantung berdebar, siap
menghadapi segala kemungkinan karena agaknya para anak buahnya ribut-ribut oleh
sesuatu yang tentunya tidak beres. Ketika ia tiba di luar dan memandang,
wajahnya menjadi pucat dan cepat ia menyongsong ke depan dan berseru.
Adik seperguruannya itu sedang digotong oleh anak buahnya
dan agaknya begitu tiba di depan gedung piauwkiok, adik seperguruannya itu
roboh pingsan. Tidak aneh kalau melihat keadaannya yang demikian mengerikan.
Lengan kanannya buntung sebatas siku dan lehernya terluka mengeluarkan darah.
Cepat orang she Teng ini digotong masuk direbahkan di atas dipan dalam kamar.
Setelah menerima perawatan, akhirnya dia mengerang dan siuman. Luka di lehernya
tidak membahayakan, hanya lengannya yang buntung itu benar-benar mengerikan.
Ketika ia menengok dan memandang suhengnya duduk di situ menjaganya, ia
mengeluh.
‘Ahhh, Suheng... untung siauwte masih hidup... dan
dapat bercerita kepada Suheng..!
Tan Bu Kong menekan pundak sutenya dan dengan terharu
berkata, ‘Tenanglah, Sute dan ceritakan perlahan-lahan dan seenaknya, engkau
masih amat menderita..!
‘Tidak, harus sekarang juga Suheng dengar. Gadis Mancu
itu bukan manusia! Dia seperti iblis! Ketika aku mengikuti keretanya, kusangka
tidak ada yang tahu dan aku terus membayanginya sampai kereta itu berhenti di
luar kota raja di mana terdapat sebuah gedung peristirahatan yang mewah, entah
punya siapa, yang jelas tentu milik seorang pembesar Mancu. Diam-diam aku lalu
menyelidik dan akhirnya aku dapat membekuk seorang pelayan, kuseret keluar dan
di bawah ancaman, dia mengaku bahwa gedung itu tempat peristirahatan Puteri
Nirahai yang katanya adalah puteri Kaisar Mancu dari selir. Akan tetapi pada
saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan gadis Mancu itu telah
berada di situ tanpa kuketahui sama sekali. Dia menyindir bahwa aku sejak tadi
membayangi keretanya dan untuk kelancangan itu aku harus dihukum. Aku
menyatakan bahwa sebagai pimpinan piauwkiok, aku wajib mengetahui alamat
pengirim barang. Dia tidak peduli dan minta supaya aku membuntungi lengan
kananku dengan pedang sendiri!!
‘Ah..., terang dia bersikap tidak baik terhadap kita!!
kat a Tan Bu Kong marah.
‘Bukan hanya tidak baik, bahkan telah direncanakannya,
Suheng! Aku tentu saja tidak mau dan hendak pergi, akan tetapi aku selalu
terguling roboh setiap kali tangannya bergerak mendorongku. Agaknya dia
memiliki sinkang yang luar biasa dan dengan pukulan jarak jauh selalu merobohkan
aku setiap aku hendak pergi. Aku menjadi marah, mencabut pedang dan menyerang
gadis penjajah laknat itu!! Muka Teng Lok menjadi merah karena ia masih
penasaran dan marah terhadap gadis bangsa Mancu itu.
‘Lalu bagaimana, Sute?!
‘Dia lihai sekali. Entah bagaimana aku sendiri tidak
tahu, tiba-tiba pedangku telah dirampasnya dan di lain saat, lenganku telah
terbabat buntung dan leherku terluka. Hanya dengan mengandalkan ginkang saja
aku dapat melarikan diri untuk melapor kepadamu, Suheng.!
Pucat wajah Tan Bu Kong, pucat karena kaget dan marah.
Dia maklum akan gawatnya persoalan. Andaikata gadis itu bukan puteri Mancu,
apalagi puteri kaisar sendiri, tentu dia akan mengerahkan tenaga untuk
mendatangi dan membalas semua ini. Akan tetapi gadis itu adalah puteri Mancu,
kalau diganggu, tentu berarti merupakan perang terbuka menentang Pemerintah
Mancu dan hal ini akan menyeret pula Hoa-san-pai!
‘Itu belum semua, Suheng,! kata pula Teng Lok sambil
memandang wajah suhengnya yang berkerut. ‘Ketika aku lari, aku tahu bahwa
jika dia menghendaki, tentu dia akan dapat mengejar dan membunuhku. Akan tetapi
dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa kita harus bersiap-siap menanti serbuan
orang-orang Siauw-lim-pai. Entah apa maksudnya, akan tetapi aku khawatir
sekali, Suheng. Gadis itu seperti iblis betina yang entah pekerjaan terkutuk
apa yang sedang dia lakukan...!
‘Hemmm..., tentu ada hubungannya dengan peti-peti itu.
Baik kita tunggu saja dan engkau beristirahatlah, Sute sambil merawat diri.
Kelak, karena lengan buntung, tentu Suhu akan dapat memberi ilmu yang khusus
untukmu. Sementara ini, aku akan memperkuat penjagaan, bersiap menanti
datangnya bahaya yang terasa benar olehku sedang mengancam kita.!
Semenjak sore hari itu, sampai tiga hari tiga malam
lamanya, Tan Bu Kong makin gelisah, duduk salah berdiri pun tak enak, makan tak
sedap tidur tak nyenyak, dan selalu menanti-nanti kembalinya rombongan sutenya
yang pergi mengawal dua buah peti itu ke selatan. Dapat dibayangkan betapa
terkejut hatinya ketika pada suatu sore, sepekan kemudian, rombongan anak
buahnya berlari-lari datang dengan wajah kusut, tanpa membawa kereta piauwkiok
dan tanpa dipimpin oleh dua orang sutenya yang bertugas mengantar dua buah peti
itu. Tan-piauwsu membentak para anak buahnya yang bercerita simpang-siur dan
amat gaduh, lalu memerintahkan seorang di antara mereka, yang tertua,
menceritakan semua pengalamannya.
Piauwsu tua itu bercerita sambil mencucurkan air mata,
menceritakan semua peristiwa yang terjadi, betapa kereta mereka dihadang oleh
serombongan anak murid Siauw-lim-pai yang hendak memaksa membuka dua buah peti
itu, kemudian betapa mereka bertanding meJawan anak-anak murid Siauw-lim-pai
dan munculnya seorang pemuda aneh yang rambutnya riap-riapan bersama seorang
dara remaja jelita yang secara mengerikan telah merobohkan dan menewaskan tujuh
orang anak murid Siauw-lim-pai, kemudian betapa muncul seorang gadis anak murid
Siauw-lim-pai yang lihai dan yang membuka dua buah peti dengan secara paksa.
‘Dibuka? Apa isinya...?! Tan-piauwsu bertanya dengan
suara keras saking tegang hatinya.
‘Isinya adalah dua mayat manusia, mayat dua orang di
antara Siauw-lim Chit-kiam..!
‘Hayaaa...!!!! Tan Bu Kong mencelat bangun dari
kursinya dengan muka pucat sekali.
Piauwsu itu lalu melanjutkan ceritanya. Betapa gadis
murid Siauw-lim-pai itu menyerang Si Pemuda aneh namun dapat dikalahkan dan
kemudian gadis itu membawa pergi jenazah-jenazah dalam peti dan jenazah para
anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian, dengan suara terengah-engah dia
menceritakan betapa pemuda aneh itu menjadi marah kepada para piauwsu, dan
dengan sekali gerakan telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun!
‘Ahhh! Siapakah pemuda yang ganas dan kejam itu?!
Tan-piauwsu berseru dengan alis berdiri.
‘Entahlah, hanya kami mendengar gadis murid
Siauw-lim-pai yang lihai itu mengenalnya dan pemuda itu malah menyebut Suci
kepada murid Siauw-lim-pai itu, dan gadis itu menyebut namanya Han Han...!
Akan tetapi, biarpun kedua orang sutenya tewas, hal ini
tidak mengurangi kekhawatiran hati Tan-piauwsu dan kemarahannya terhadap Si
Puteri Mancu. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa pihaknya,
yaitu Pek-eng-piauwkiok yang tentu saja dapat juga dianggap mewakili
Hoa-san-pai, telah diadu domba secara licin dan keji sekali oleh Puteri Mancu
yang lihai itu!
Pantas saja puteri itu menyindir kepada sutenya, Teng Lok
bahwa Hoa-san-pai harus bersiap-siap untuk menghadapi penyerbuan Siauw-Hm-pai!
Kini jelaslah sudah bahwa dua orang tokoh Siauw-Hm-pai itu, kedua orang dari
Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh oleh puteri Mancu yang kemudian memasukkan
dua jenazah itu ke dalam peti dan sengaja menyuruh Pek-eng-piauwkiok
mengawalnya ke selatan.
Dan ia dapat menduga pula bahwa tentu pihak Siauw-lim-pai
secara diam-diam diberi tahu oleh puteri iblis itu sehingga mereka menghadang
kereta dan minta lihat isi peti! Hal ini kalau dipikirkan amat sederhana,
sebuah tipu muslihat yang mudah, akan tetapi betapa kejinya! Tentu saja pihak
Siauw-lim-pai berkeyakinan bahwa dua orang tokoh mereka itu terbunuh oleh
Hoa-san-pai dan tentu akan timbul dendam dan bentrokan hebat antara kedua
partai besar ini.
Tan-piauwsu termenung. Si pembuat urusan ini adalah
puteri Mancu itu, tak salah lagi, sungguhpun ia bergidik kalau mengingat betapa
dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam sampai dapat terbunuh! Padahal dia tahu
bahwa Siauw-lim Chit-kiam adalah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang sakti,
yang memiliki tingkat ilmu kepandaian amat hebatnya, masing-masing merupakan
tokoh Siauw-lim-pai tingkat tiga! Kalau biang keladinya adalah puteri Mancu,
dan yang menjadi korban adalah Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, dua buah partai
yang menentang Mancu, maka mudah saja diduga sebabnya!
Tentu pihak Pemerintah Mancu sengaja mengadu domba
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar dua partai yang me musuhi Mancu ini menjadi
lemah dan saling gempur sendiri. Dan hal ini amatlah berbahaya!
Malam hari itu juga Tan Bu Kong menyuruh seorang sutenya
untuk pergi keHoa-san, miengabarkan peristiwa hebat ini kepada pimpinan
Hoa-san-pai agar dapat mengambil langkah-langkah seperlunya untuk-mencegah
terjadinya pertentangan hebat antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang akan
timbul sebagai akibat taktik adu domba yang amat keji itu. Juga mengundang
tokoh-tokoh sakti Hoa-san-pai untuk diajak mengambil tindakan terhadap puteri
Mancu yang amat sakti dan aneh itu, karena dia maklum bahwa dia sendiri takkan
mungkin dapat mengalahkan puteri Mancu yang telah berhasil membunuh dua orang
sakti seperti dua di antara Siauw-lim Chit-kiam. Atau, andaikata bukan puteri
itu yang membunuh, karena dia masih tidak percaya seorang puteri remaja seperti
itu akan sanggup membunuh dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu ada orang
sakti di belakang puteri itu yang tentu akan melindungi Sang Puteri.
Pada keesokan harinya, tanpa. disangka-sangka muncullah
seorang pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan bersama seorang gadis baju
kuning yang cantik manis. Kedatangan dua orang in sedikit menghibur hati Tan Bu
Kong karena mereka itu, biarpun terhitung sute dan sumoinya, namun murid-murid
dari supeknya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampauinya!
Sutenya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan tinggi
besar, usianya dua puluh tahun lebih, gerak-geriknya halus, wajahnya periang
dan peramah, namun sesungguhnya dia inilah pendekar muda Hoa-san-pai yang
berjuluk Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san)! Adapun gadis cantik
manis berusia antara delapan belas tahun itu pun bukan sembarang orang karena
dialah tokoh kang-ouw yang amat terkenal yang berjuluk Hoa-san Kiam-li (Dewi
Pedang Hoa-san)! Biarpun masih muda, dua orang pendekar Hoa-san ini telah
membuat nama besar dengan perbuatan-perbuatan mereka yang menggemparkan dalam
membela kebenaran dan keadilan.
Ketika melihat wajah suheng mereka yang keruh, pemuda dan
dara ini cepat bertanya apa yang terjadi sehingga menyusahkan hati Tan-piauwsu.
‘Kami berdua menerima pesan Suhu untuk datang membantu
usaha Suheng menghimpun orang-orang gagah yang bergerak menentang kekuasaan
penjajah Mancu,! kata pemuda tampan itu. ‘Mengapa Suheng kelihatan tidak
bersemangat dan berduka?!
Dapat dibayangkan betapa kaget hati dua orang muda
perkasa itu ketika tiba-tiba Tan-piauwsu mengeluh, menarik napas panjang dan
matanya menjadi basah dengan air mata! Suheng mereka, yang gagah perkasa dan
banyak penga.laman di dunia kang-ouw itu, menangis! Tentu terjadi sesuatu yang
amat hebat!
‘Sute dan Sumoi, kedatangan kalian ini merupakan cahaya
penerang bagi hatiku yang sedang gelap, akan tetapi aku membutuhkan bantuan
para Lo-cian-pwe, para Susiok dan Suhu kita di Hoa-san-pai karena tanpa mereka,
kiranya sukar untuk membikin terang perkara yang amat gelap in!! Tan Bu Kong
lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi semenjak puteri Mancu itu
menitipkan dua buah peti untuk dikirim ke selatan.
Mendengar semua itu, Hoa-san Gihiap mengepalkan tinjunya.
‘Ah, jelas. Puteri Mancu itulah yang mengatur semua rencana terkutuk itu!
Biarlah aku akan pergi menangkapnya, kemudian menyeretnya ke Siauw-lim-pai,
memaksanya mengaku akan semua perbuatannya. Hanya dengan jalan itu, semua
perkara dapat dlbereskan, Suheng.!
‘Betul pendapat Wan-suheng!! kata Hoa-san Kiam-li penuh
semangat. ‘Biar aku membantu Wan-suheng menangkap iblis betina itu!!
Tan Bu Kong mengangkat tangan dan menggeleng kepala.
‘Bukan aku kurang percaya akan kesanggupan Sute dan Sumoi, akan tetapi
sungguh sembrono sekali kalau hal itu dilakukan. Pertama, ada kemungkinan
puteri itu memiliki kelihaian yang amat luar biasa kalau benar dia yang
membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam. Kelihaiannya telah dirasakan oleh
Suheng kalian Teng Lok, akan tetapi akan lebih hebat lagi kalau dia dapat
membunuh dua orang Locian-pwe dari Siauw-lim-pai itu. Selain itu, mungkin dia
mempunyai kaw an-kawan yang berilmu tinggi dan hal ini tidak mengherankan kalau
diingat betapa datuk-datuk besar golongan hitam banyak yang menghambakan diri
kepada penjajah Mancu. Hal itu saja sudah menjadi sebab yang harus kita
perhatikan dan sama sekali tidak boleh dianggap ringan. Ada lagi hal yang harus
dipikirkan masak-masak sebelum kalian mengambil keputusan untuk menangkap
puteri itu. Dia adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri, sungguhpun puteri
selir namun kedudukannya amat tinggi sehingga kalau sampai dia kita tawan,
tentu akan timbul geger dan Hoa-san-pai tentu akan diserang secara
terang-terangan oleh bala tentara Mancu. Dalam hal ilmu kepandaian, tentu Sute
dan Sumoi jauh melampaui aku, namun dalam hal pengalaman, aku jauh lebih tua
dan lebih banyak mengalami hal-hal yang sulit. Sehaiknya, Sute dan Sumoi secara
diam-diam melakukan penyelidikan terhadap Puteri itu. Tentu saja kalian harus
berhati-hati, jangan sampai terjadi hal yang menimpa diri Sute Teng Lok. Cukup
kalau Sute dan Sumoi mengetahui latar belakang puteri itu, apakah ada
orang-orang sakti di sana, dan siapa sesungguhnya puteri yang aneh dan lihai
itu.!
Mau tidak mau kedua orang muda perkasa itu harus tunduk
dan merasa kagum akan pandangan yang luas dari suheng mereka itu. Mereka
menyanggupi dan pertemuan antara murid-murid seperguruan itu dilanjutkan dengan
makan minum dalam suasana prihatin.
‘Sebaiknya Sute dan Sumoi melakukan penyelidlkan di
waktu siang saja agar tidak berbahaya. Kita menanti kembalinya utusanku ke
Hoa-san, dan setelah para Locianpwe dari Hoa-san tiba, barulah kita mengambil
keputusan berdasarkan pendapat beliau-beliau itu, agar sepak terjang kita tidak
simpang-siur.! Demikian pesan Tan Bu Kong yang dipatuhi oleh dua orang adik
seperguruannya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda
perkasa itu sudah meninngalkan piauwkiok dan melakukan penyelidikan ke tempat
yang ditunjuk oleh teng Lok, yaitu di luar kota raja yang tidak begitu jauh
dari situ, hanya dalam jarak perjalanan seperempat hari saja.
Pada sore harinya menjelang senja, selagi Tan-piauwsu dan
para anak buahnya duduk menanti kedua orang sutenya itu, juga menanti berita
dari Hoa-san, tiba-tiba muncul dua orang muda di depan pintu gerbang piauwkiok.
Melihat mereka ini, para pengawal yang tempo hari ikut mengawal dua peti
jenazah, menjadi pucat dan gugup. Ada yang berbisik-bisik.
‘Dia datang.! Dia datang..!!!
Ketika Tan Bu Kong menengok dan melihat seorang pemuda
yang berambut panjang riap-riapan, berwajah tampan dan aneh, sinar matanya
tajam sekali dengan sikap tenang muncul di depan pintu menggandeng tangan
seorang dara remaja yang cantik jelita, kemudian mendengar suara
orang-orangnya, hatinya berdebar dan ia dapat menduga bahwa tentu inilah pemuda
aneh yang telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai dan membunuh pula dua
orang sutenya, yaitu Lie Cit San dan Ok Sun. Sejenak Tan-piauwsu terbelalak
keheranan, sama sekali tidak mengira bahwa orang yang dikabarkan amat aneh dan
amat lihai itu hanyalah seorang pemuda remaja yang kelihatannya terlalu tenang
dan terlalu lemah, bahkan terlalu sederhana mendekati tidak normal! Yang
membiarkan rambutnya terurai seperti itu biasanya hanyalah kaum pertapa yang tidak
peduli lagi akan keadaan dirinya!
‘Apakah di sini Pek-eng-piauwkiok?! Han Han, pemuda
itu, bertanya sambil memandang ke arah Tan-piauwsu yang baru muncul dari dalam
dengan langkah lebar.
Tan Bu Kong mengangkat kedua tangan depan dada sebagai
penghormatan sambil menjawab, ‘Benar, di sini adalah kantor
Peng-eng-piauwkiok. Kalau Siauw-enghiong (Pemuda Gagah) ada keperluan, silakan
masuk, kita bicara di dalam!!
Betapapun juga, Han Han yang sudah mengerti akan sopan
santun dan belajar tentang kebudayaan dan kesusastraan semenjak kecil, menjadi
kikuk juga dan terpaksa ia pun membalas dengan mengangkat kedua tangan depan
dada sambil melangkah masuk, diantar oleh tuan rumah memasuki ruangan dalam
yang luas. Di belakang Tan-piauwsu, para pengawal mengikuti dengan wajah
tegang.
Teng Lok masih beristirahat di dalam kamarnya dan di situ
hanya terdapat empat orang sute Tan-piauwsu yang tingkat kepandaiannya belum
dapat diandalkan, sungguhpun tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai jauh
lebih lihai daripada semua pengawal yang bekerja di Pek-eng-piauwkiok.
‘Siauw-enghiong dan Lihiap, silakan duduk,! kata
Tan-piauwsu.
Akan tetapi Han Han tetap berdiri dan Lulu juga berdiri
karena melihat kokonya tidak duduk. Gadis ini hanya memandang ke kanan kiri,
mengagumi perabot rumah yang biarpun tidak seindah perabot di Istana Pulau Es,
namun jauh berbeda. Han Han berkata dengan kening dikerutkan.
‘Harap tidak usah repot-repot karena saya datang untuk
mencari pemimpin Pek-eng-piauwkiok.!
Tan-piauwsu memandang tajam, lalu menjawab, ‘Saya Tan
Bu Kong adalah pemimpin Pek-eng-piauwkiok. Enghiong siapakah dan ada keperluan
apa mencari saya?! Sebagai seorang yang berpengalaman, piauwsu ini tidak
langsung menyatakan mengenai pemuda ini, melainkan pura-pura bertanya akan
maksud kedatangan pemuda itu yang, memang belum dapat ia menduganya.
‘Bagus sekali! Jadi engkau pemimpin piauwkiok ini?
Tan-piauwsu, tidak perlu main sandiwara lagi! Tentu orang-orangmu telah
menceritakan betapa aku telah membunuh kedua orang pembantumu. Engkau tentu
yang bertanggung jawab tentang pengiriman dan pembunuhan dua orang tokoh
Siauw-lim-pai, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Karena itu, aku datang
untuk membunuhmu sebagai tebusan kejahatanmu. Bersiaplah!! Han Han sudah
bergerak hendak memukul.
‘Nanti dulu, Siauw-enghiong! Yang kau bunuh itu adalah
dua orang Suteku, justeru aku ingin bertanya mengapa engkau membunuh mereka?
Dan mengapa pula engkau hendak membunuhku?!
‘Sudah jelas, kalian telah membunuh dua orang dari
Siauw-lim Chit-kiam dan memasukkan jenazah mereka dalam peti. Karena salah
sangka, aku membantu orang-orangmu dan kesalahan tangan membunuh orang-orang
Siauw-lim-pai. Engkaulah yang bertanggung jawab. Aku bukan algojo, tukang bunuh
orang tanpa sebab, maka engkau yang menjadi biang keladinya harus menebus
dosa!! Setelah berkata demikian, Han Han menggerakkan tangan kirinya melakukan pukulan
dengan jari tangan terbuka.
‘Wesssss..!! Angin pukulan yang amat dingin menyambar.
Tan-piauwsu mengenal tenaga sakti yang menyambar ganas. Ia berseru kaget dan
cepat ia meloncat ke kanan untuk mengelak. Sebuah meja yang berdiri dua meter
dibelakangnya menggantikannya kena sambaran tenaga pukulan itu dan pecah
berantakan, terlempar sapai jauh!
Tan Bu Kong merasa ngeri, dan cepat ia melompat mundur
sambil berseru, ‘Nanti dulu, Siauw-enghioog! Aku sama sekali tidak mengerti
tentang jenazah-jenazah itu. Bukan kami yang bertanggung jawab, kami pun
terperosok dalam perangkap musuh..!
‘Sudah ada bukti hendak menyangkal lagi? Koko, orang
ini pintar mainkan lidah, jangan kena dibohongi. Sikat saja!! kata Lulu yang
ingin agar urusan ini cepat selesai sehingga ia dapat mengajak kakaknya mencari
lauw Sin Lian agar dapat ia bertanya tentang musuh besarnya, ayah dari gadis
itu.
Han Han juga berpendapat seperti Lulu. Sudah jelas
buktinya bahwa peti-peti yang berisi jenazah itu diangkut oleh Pek-eng-piauwkiok,
dan jelas pula bahwa ketika orang-orang Siauw-lim-pai minta supaya peti-peti
itu dibuka, para pengawal Pek-eng-piauwkiok rnencegahnya mati-matian. Andaikata
bukan orang Siauw-lim Chit-kiam, setidaknya Pek-eng-piauwkiok tentu bersekutu
untuk rahasiakannya.
‘Tidak perlu banyak cakap lagi!! katanya karena hatinya
amat kesal kalau ia teringat betapa ia telah membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai
yang tidak berdosa dan karenanya Sin Lian, gadis yang dahulu amat baik terhadap
dirinya, yang telah berkali-kali menolongnya, dan yang dengan rajin sekali
memberi petunjuk-petunjuk kepadanya ketika ia mula-mula berlatih silat, menjadi
marah-marah dan membenci kepadanya. Ia memukul lagi dengan tangan kirinya.
Akan tetapi Tan-piauwsu yang sudah siap sedia dan yang
melihat gerakan pemuda aneh itu maklum betapa pemuda itu gerakannya kaku namun
memiliki hawa sakti yang menggiriskan, telah berkelebat cepat, mempergunakan
ginkangnya meloncat tinggi dan melewati tubuh Han Han sambil mengayun tangan
menotok pundak pemuda itu. Tan Bu Kong berjuluk Hoa-san Pek-eng (Garuda Putih
dari Hoa-san), dan julukan ini saja menunjukkan bahwa dia dapat bergerak
tangkas dan cepat seperti seekor burung garuda putih. Kecepatannya yang luar
biasa ini membuat Han Han tak dapat menghindarkan totokan sehingga dua jari
tangan piauwsu itu dengan keras menotok pundaknya.
‘Aduhhhhh..!! Bukan Han Han yang mengaduh, melainkan
Tan-piauwsu sendiri karena tulang kedua jari tangannya hampir patah ketika ia
menotok pundak yang keras dan panas seperti besi membara! Han Han menjadi
marah, lalu memutar tubuhnya sehingga kedua kakinya bersilang, tangan kanan
diayun ke depan mendorong ke arah tubuh Tan-piauwsu yang baru saja turun ke
atas lantai.
‘Aihhh..!!! Tan Bu Kong cepat meloncat lagi ke atas.
‘Byarrr..!!! Pukulan tangan kanan Han Han mengandung
tenaga sakti Yang-kang dan karena pukulannya dielakkan, maka hawa pukulannya
terdorong terus menghantam tiang balok besar. Separuh dari tiang kayu itu
rontok dan mengepulkan asap, sebagian besar gosong seperti terbakar api!
Tan-piauwsu dan para sutenya yang menyaksikan kehebatan
pukulan ini, menahan napas dan mereka telah bersiap-siap untuk mengeroyok.
Namun Han Han tidak mempedulikan mereka, terus mengejar Tan-piauwsu yang
mempergunakan gerakan-gerakan ginkang untuk menghindarkan diri dari setiap
pukulan jarak jauh.
Betapapun cepat gerakan Tan-piauwsu, ternyata gerakan Han
Han yang memiliki tingkat sinkang jauh lebih kuat masih menang cepat! Pemuda
ini mulai meloncat-loncat pula sehingga dalam belasan kali serangan saja,
Tan-piauwsu telah kehilangan lubang untuk mengelak, sehingga ketika ia untuk ke
sekian kalinya meloncat ke atas untuk menghindarkan diri, ia kurang cepat dan
pun dak kirinya masih terkena sambaran hawa sakti dari dorongan tangan kiri Han
Han. Biarpun tidak tepat kenanya, hanya diserempet saja, namun tubuh
Tan-piauwsu terguling dan dia menggigil karena kedinginan. Namun, piauwsu yang
sudah banyak pengalaman ini masih sempat mencegah sute-sutenya dengan teriakan,
!Sute, mundur semua!! Dan ia sendiri lalu meloncat ke
atas karena dorongan tangan kanan Han Han telah menyusulnya.
lantai menjadi berlubang dan mengepulkan asap ketika
terkena sambaran hawa yang keluar dari tangon kanan pemuda sakti itu. Ia mulai
merasa penasaran dan ketika ia hendak menerjang tubuh Tan-piauwsu yang masih
melambung itu tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya,
kemudian tahu-tahu tubuh Tan-piauwsu telah disambar orang itu sehingga kembali
pukulan Han Han luput!
Ternyata yang datang dan sempat menolong Tan-piauwsu dari
bahaya maut itu adalah seorang pemuda tampan sekali, bertubuh tinggi besar dan
di belakangnya berdiri seorang gadis cantik yang sudah mencabut pedang dan sikap
keren berdiri memandang Han Han.
Pemuda itu adalah Hoa-san Gi-hiap dan gadis itu bukan
lain adalah sumoinya, Hoa-san Kiam-li. Mereka berdua baru saja pulang dari
penyelidikan mereka ke gedung tempat tinggal puteri Mancu. Ketika mereka
memasuki piauw-kiok, mereka melihat pertandingan itu dan terkejut sekali mereka
menyaksikan suheng mereka terancam bahaya.
Hoa-san Gi-hiap yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi
daripada Tan-piauwsu, sekali pandang saja maklum bahwa pemuda rambut panjang
itu memiliki sinking yang luar biasa sekali dan bahwa untuk menolong suhengnya,
jalan satu-satunya hanya menyambar tubuhnya dan membawanya pergi. Maka ia cepat
meloncat, menggunakan ginkangnya dan untung ia tidak terlambat sehingga
Tan-piauwsu terhindar dari bencana maut.
‘Siapakah engkau yang datang membikin kacau di sini?!
Hoa-san Gi-hiap menegur setelah ia menurunkan tubuh Tan Bu Kong yang segera
bersila di lantai sambil mengatur napas untuk melawan hawa dingin yang
menerobos masuk melalui pundaknya.
‘Hemmm, dan kau sendiri siapa berani berlancang tangan
mencampuri urusan orang lain?! Han Han juga menegur.
Dua orang muda itu berhadapan, saling memandang dengan
sinar mata tajam. Mereka sama tinggi, hanya Han Han kalah gemuk karena dia
memang agak kurus, sama tampan dan usia mereka pun agaknya sebaya. Para murid
Hoa-san-pai dan para pengawal memandang dengan hati tegang.
Pemuda rambut riap-riapan itu lihai sekali, akan tetapi
mereka pun maklum bahwa pemuda tokoh Hoa-san-pai itu memiliki ilmu kepandaian
yang jauh melampaui tingkat Tan-piawsu sendiri. Juga Hoa-san Kiam-li amat lihai
sehingga dengan adanya dua orang muda itu, hati mereka menjadi lega.
Han Han dan jago muda Hoa-san-pai itu masih saling
berpandangan, tidak menjawab pertanyaan masing-masing yang sama maksudnya. Akan
tetapi pandang mata mereka kini berubah, tidak lagi penuh penasaran dan
kemarahan seperti tadi, melainkan penuh keheranan, keraguan dan menduga-duga.
‘Ya Tuhan..! Bukankah kau... kau Sie Han? Yang dahulu
disebut Han Han, gembel
baik budi yang membagi-bagi roti?! Hoa-san Gi-hiap
berseru penuh keheranan.
‘Dan kau..., gembel cilik nakal, kau Wan Sin Kiat yang
dahulu kepingin menjadi perwira! Benarkah?! teriak Han Han.
Dua orang muda itu saling pandang, kemudian tertawa
bergelak lalu saling tubruk, saling rangkul sambil tertawa-tawa! Semua orang
yang berada di situ memandang dengan mata terbelalak, mereka tertegun dan hanya
dapat mernandang dua orang muda yang tadinya diharapkan akan bertanding dengan
hebat kini malah berpelukan dan tertawa-tawa itu.
‘Koko, siapakah dia ini? Gembel cilik nakal? Kawan
gembelmu di waktu kecil? Wah, ketika aku dahulu menjadi gembel cilik, aku tidak
punya sahabat baik!! kata Lulu yang menghampiri mereka.
Han Han masih tertawa-tawa ketika ia melepaskan
rangkulannya dari pundak Sin Kiat atau Hoa-san Gi-hiap itu. Ia lalu menoleh
kepada adiknya.
‘Lulu, dia ini bernama Wan Sin Kiat, sahabat baikku,
seorang jantan tulen! Sin Kiat, ini Adikku yang manis, namanya Lulu!
Sin Kiat yang tentu saja tidak biasa dengan sikap tulus
wajar seperti itu, menjura kepada Lulu dengan muka merah. Jantungnya terasa
seperti copot tersendal keluar oleh sinar mata yang menyorot dari sepasang mata
yang seperti in tang kembar itu. Ia menahan napas karena harus ia akui bahwa selama
hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang dara sejelita ini. Dan dara ini
adik Han Han!
Setelah menjura dengan hormat tanpa dibalas oleh Lulu
yang hanya memandang kagum melihat wajah tampan dan sikap halus ramah itu, Sin
Kiat menoleh kepada sumoinya yang juga sudah menghampiri mereka.
‘Han Han, dia adalah Sumoiku, namanya Lu Soan Li.
Sumoi, inilah Sie Han, sahabat baikku di waktu kecil!!
Han Han masih ingat untuk melakukan penghormatan dengan
merangkap kedua tangan di depan dada, akan tetapi mulutnya langsung menyatakan
isi hatinya tanpa disadarinya,
Lu Soan Li menjadi merah mukanya, semerah udang direbus
dan semua orang mendengarkan sambil menahan napas. Akan tetapi Soan Li tidak
marah, hanya tersenyum dan membalas penghormatan Han Han.
‘Sute! Apa artinya ini? Dia.. dia sahabatmu?! Tiba-tiba
Tan Bu Kong menegur dan piauwsu ini sudah dapat berdiri, memandang dengan mata
terbelalak penuh rasa heran dan penasaran.
Sin Kiat teringat akan suhengnya. ‘Suheng, dia ini Sie
Han, sahabatku. Han Han, dia ini Tan-suheng. Eh, mengapa kau tadi bertempur
melawan Suheng? Kau hebat bukan main, untung aku keburu datang. Kenapakah kau
memusuhi Suhengku yang baik hati ini?!
Alis Han Han berkerut. ‘Ah, dia Suhengmu, Sin Kiat?
Hemmm sungguh tidak menyenangkan sekali. Harap kau ingat akan persahabatan kita
dan jangan mencampuri urusan ini. Aku datang hendak membunuh orang jahat ini!!
‘Eh, apa artinya ini? Han Han, mengapa begitu?!
‘Sute, mengapa engkau begini lemah? Biarpun di waktu
kecil sahabat, akan tetapi sekarang dia musuh besar kita! Dia seorang kejam
yang telah membunuh kedua Suhengmu Lie Cit San dan Ok Sun!!
Sin Kiat dan Soan Li melangkah mundur sampai tiga tindak
dengan muka pucat. Apalagi Sin Kiat, dia terheran-heran dan sejenak menjadi
bingung mendengar keterangan yang baginya seperti halilintar menyambar ini.
‘Han Han! Benarkah itu? Engkau yang membunuh dua orang
Suhengku yang mengawal kereta?!
Han Han mengangguk. ‘Benar, Sin Kiat. Dan aku akan
membunuh Tan-piauwsu ini pula, harap engkau jangan mencampurinya!!
Dengan wajah pucat Sin Kiat memandang sahabatnya di waktu
kecil itu.
‘Han Han, benarkah engkau menjadi begini kejam
sekarang? Ceritakan mengapa engkau membunuh dua orang Suhengku yang mengawal
kereta dan mengapa pula kau hendak membunuh Tan-suheng. Aku sudah mendengar
penuturan para pengawal Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi sepak terjangmu sungguh
membuat aku tidak mengerti.!
‘Sin Kiat, bukan urusanmu. Minggirlah!!
‘Tidak! Kalau kau tidak mau memberi penjelasan, lebih
baik kau membunuh aku pula, dan tentu akan kucoba melawanmu sekuatku.!
Mereka berpandangan pula. Han Han menghela napas.
‘Engkau keras kepala seperti dulu! Aku membunuh dua orang piauwsu itu karena
mereka jahat, mereka menyembunyikan jenazah dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam
dalam kereta, melarang orang-orang Siauw-lim-pai melihat jenazah, sehingga aku
menjadi tertipu pula, membantu mereka dan kesalahan tangan membunuh tujuh murid
Siauw-lim-pai yang tidak berdosa. Karena itu aku membunuh dua orang piauwsu itu
dan kini aku akan membunuh pula Tan-piauwsu yang sebagai pemimpin menjadi biang
keladi utama!!
Sin Kiat mengangkat tangannya.!Wah, semua adalah
kesalah-pahaman yang amat besar! Semua adalah sahabat-sahabat, baik antara
Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai, maupun antara engkau pribadi dengan kami.
Kita semua telah menjadi korban perbuatan terkutuk, korban tipu muslihat yang
dipasang oleh puteri Mancu yang lihai itu, Tan-suneng, Han Han tidak dapat
dipersalahkan telah membunuh Lie-suheng dan Ok-suheng setelah dia membantu
mereka menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai, Han Han, akulah yang menanggung
bahwa kami semua, terutama Tan-suheng, sama sekali tidak bersalah dalam urusan
dua jenazah dalam peti. Mari kita bicara dan dengarlah penuturanku.! Sin Kiat
menggandeng tangan Han Han, menariknya duduk menghadapi meja besar di ruangan
itu. Lulu mengikuti kakaknya, dan Soan Li juga mengikuti suhengnya, kedua orang
gadis ini tidak ikut bicara karena maklum betapa tegangnya urusan antara mereka
itu.
Setelah mereka mengambil tempat duduk, Wan Sin Kiat
menceritakan semua peristiwa yang terjadi dari semula ketika gadis Mancu, yang
ternyata adalah Puteri, Nirahai seperti ia ketahui dari hasil penyelidikannya
hari itu, mendatangi Pek-eng-piauwkiok mengirimkan dua buah peti dengan biaya
mahal namun dengan janji takkan dibuka dan apabila tidak sampai di tempatnya,
Pek-eng-piauwkiok akan dibasmi dan dianggap pemberontak.
‘Kami tidak mungkin dapat menolak permintaannya yang
luar biasa itu, Sie-enghiong,! Tan-piauwsu memotong cerita sutenya, ‘karena
mengingat bahwa dia itu adalah seorang puteri Kaisar sehingga apabila kami
menolak, tentu kami akan dicap menentang pemerintah. Dan sebagai ksatria yang
memegang teguh janji, tentu saja para pembantuku tidak mau membuka peti-peti
.itu, biarpun dengan taruhan nyawa karena hal itu telah menjadi tugas mereka.
Kalau saja kami tahu bahwa isi dua buah peti adalah jenazah manusia, apalagi
jenazah kedua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang terkenal, biar dihukum
mati sekalipun tentu saja kami tidak sudi menerima permintaan puteri iblis
itu.!
Wan Sin Kiat lalu melanjutkan ceritanya, selain tentang
pengawal kereta yang dihadang oleh anak-anak murid Siauw-lim-pai, juga tentang
suhengnya, Teng Lok yang membayangi Puteri Nirahai dan kemudian terbuntung
lengannya. Ia menutup penuturannya dengan kata-kata,
‘Nah, kau kini mengerti Han Han, bahwa peristiwa ini
sama sekali bukanlah kesalahan pihak kami, juga terutama sekali bukan kesalahan
Tan-piauwsu. Semua ini tentu telah diatur oleh puteri iblis itu yang sengaja
hendak mengadu domba antara pihak Hoa-san-pai dan pihak Siauw-lim-pai. Siasat
kejinya itu pasti akan berhasil baik dan kedua pihak tentu melakukan
pertandingan saling membunuh dalam hutan itu kalau saja tidak muncul engkau
yang mengacaukan semua rencana keji itu, akan tetapi biarpun mengacau, tetap
saja merugikan kedua pihak karena engkau yang masuk pula dalam perangkap telah
membunuh tujuh anak murid Siauw-lim-pai dan dua orang murid Hoa-san-pai.
Keadaan ini gawat sekali, Han Han. Betaì¥à 7 ð ¿ ¼s
7| 7| ¼o ÿÿ ÿÿ ÿÿ l Ö Ö Ö Ö Ö Ö Ö ê º¤
º¤ º¤ º¤
7| 7| ¼o ÿÿ ÿÿ ÿÿ l Ö Ö Ö Ö Ö Ö Ö ê º¤
º¤ º¤ º¤
alannya tipu muslihat yang licin itu. Hatinya merasa
menyesal dan kecewa sekali. Nasibnya benar-benar amat buruk. Dia telah membunuh
tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa karena salah sangka.
Kemudian, dalam marahnya oleh kesalahan tangan itu ia membunuh pula dua orang murid
Hoa-san-pai yang ternyata kemudian tidak berdosa pula! Han Han mengerutkan
keningnya, menggeleng kepala dan berkata.
‘Aahhh.. kalau begitu semua kesalahan tertimpa di
pundakku! Baik Siauw-lim-pai maupun Hoa-san-pai tentu menyalahkan aku karena
aku telah membunuh anak murid mereka. Tan-piauwsu, harap kau maafkan
kekasaranku tadi.! Ia bangkit menjura kepada Tan-piauwsu yang cepat membalas.
Piauwsu ini memandang kagum dan menghela napas karena selama hidupnya baru
sekali ini ia bertemu seorang pemuda yang demikian anehnya dan demikian kuat
sinkangnya.
‘Engkau juga tidak boleh terlalu disalahkan,
Sie-enghiong. Andaikata engkau tidak turun tangan dan terlibat dalam urusan
ini, kurasa antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai tetap saja akan terjadi
pertentangan yang mungkin membawa akibat lebih parah dan lebih berlarut-larut
lagi.!
Sejenak keadaan menjadi sunyi, semua orang tenggelam
dalam lamunan masing-masing menghadapi urusan yang amat tidak menyenangkan hati
itu. Tiba-tiba terdengar suara Lulu.
‘Wah, sialan benar, Koko! Kau membantu rombongan
piauwsu ternyata salah tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai yang tak
berdosa! Kemudian kau membunuh dua orang piauwsu untuk membela kematian
murid-murid Siauw-lim-pai dan ternyata yang kau bunuh itu juga tidak bersalah!
Itulah kalau kau terlalu bernafsu untuk menolong orang, Koko! Sekarang semua
kesalahan ditimpakan kepadamu!!
Semua orang tertegun. Dara remaja yang cantik jelita ini
bicaranya amat kasar, jujur dan tanpa sungkan-sungkan lagi. Akan tetapi Sin
Kiat memandang dengan mata kagum. Semenjak tadi, tiap kali ia memandang Lulu,
jantungnya berdebar tidak karuan dan setiapgerak-gerik Lulu selalu menarik
hatinya, bahkan ketika Lulu mencela Han Han, ia tersenyum dan di dalam hati
membenarkan dara ini seribu prosen!
Memang demikianlah kalau cinta kasih telah menceng keram
hati seorang pemuda. Apa pun yang dilakukan, diucapkan dan dipikir dara yang
dicintanya, selalu benar dan menarik hati! Tanpa disadarinya sendiri, sekali
bertemu dengan Lulu, Wan Sin Kiat pendekar muda Hoa-san-pai ini telah bertekuk
lutut, hatinya jungkir-balik dalam cengkeraman asmara.
‘Menurut pendapat saya, Saudara Sie tidaklah salah. Dia
melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dalam pertempuran dan dengan dasar hendak
berbuat baik. Pembunuhan atas diri tujuh orang murid Siauw-lim-pai terjadi
karena Saudara Sie mengira mereka itu perampok yang hendak mengganggu rombongan
pengawal Pek-eng-piauwkiok. Kemudian, pembunuhan yang dia lakukan atas diri
kedua orang Suheng kami pun didasari pendapat bahwa mereka berdua itu amat
jahat terhadap orang-orang Siauw-lim-pai. Hanya sayang sekali bahwa Saudara Sie
terlalu terburu nafsu, seandainya tidak terburu nafsu dan agak sabar sambil
meneliti keadaan, belum tentu terjadi hal yang amat menyedihkan ini.!
Ucapan yang keluar dari mulut Lu Soan Li terdengar
sungguh-sungguh, dan pandang matanya yang ditujukan kepada Han Han penuh
simpati dan pembelaan. Hal ini terasa pula oleh Han Han sehingga ia bangkit
menjura kepada nona itu sambil berkata.
‘Nona Lu benar-benar amat adil dan aku mengucapkan
terima kasih, juga aku harus mengakui semua kelancanganku yang telah
mengakibatkan bencana ini. Biarlah akan kuhadapi semua akibatnya, bahkan aku
akan menghadap Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai untuk menerima hukuman kalau
perlu!!
Jawaban ini memancing keluar sinar mata yang penuh
kekaguman dari pandang mata Lu Soan Li. Seperti halnya suhengnya yang sekaligus
tergila-gila kepada Lulu, gadis pendekar Hoa-san-pai ini pun amat tertarik akan
pribadi Han Han yang aneh dan penuh dengan sifat-sifat liar ganas namun gagah
perkasa.
‘Ah, engkau tidak boleh dipersalahkan, Han Han!!
Tiba-tiba Wan Sin Kiat berkata.
‘Yang bersalah adalah Puteri Nirahai yang seperti iblis
betina itu! Aku bersama Sumoi sehari tadi pergi menyelidik dan mendapat kabar
bahwa dia itu adalah puteri selir Kaisar Mancu bernama Nirahai dan bahwa kini
dia sedang pergi ke kota raja; agaknya untuk melaporkan hasil muslihatnya
kepada Kaisar. Terkutuk benar puteri Mancu itu. Dan orang-orang Mancu memang
amat jahat, penjajah laknat yang sepatutnya dibasmi dari muka Bumi ini!!
Dalam kemarahan terhadap penjajah Mancu, Sin Kiat bangkit
dari kursinya. Memang semua anak murid Hoa-san-pai adalah patriot-patriot yang
merasa marah melihat tanah air dijajah bangsa Mancu, sehingga menimbulkan rasa
benci kepada bangsa Mancu.
Tiba-tiba semua orang, terutama sekali Sin Kiat sendiri,
dikejutkan oleh bentakan Lulu yang sudah bangkit berdiri pula lalu bertolak
pinggang, matanya yang lebar memancarkan kemarahan, sepasang pipinya menjadi
merah sekali, mulutnya yang kecil cemberut, kepalanya bergerak-gerak sehingga
rambut yang dikepang dua itu bergoyang, satu di depan dada, yang lain di
belakang punggung. Manis bukan main dalam pandangan Sin Kiat, akan tetapi pada
saat itu pemuda ini memandang terbelalak dengan kaget mendengar bentakan Lulu.
‘Eihhh.. eihhhhh..., seenaknya saja membuka mulut,
ya?!! Telunjuk tangan kirinya diangkat menuding ke arah hidung Sin Kiat,
sedangkan tangan kanannya masih bertolak pinggang.
‘Wan Sin Kiat, apakah engkau hendak menyamakan satu
bangsa manusia dengan seladang gandum saja?!
Sin Kiat terbelalak heran. ‘Apa... apa... maksudmu,
Nona..?! Baru sekali ini selama hidupnya, pendekar muda yang biasanya lincah,
ramah, tabah dan pandai bicara itu kehilangan akal dan menjadi gugup.
Lulu memandang tajam dengan sepasang matanya yang lebar
dan indah sehingga Sin Kiat menjadi makin bingung dan gugup, seolah-olah
menjadi seorang pesakitan yang menghadapi jaksa penuntut.
‘Kalau ada beberapa batang gandum yang busuk, orang
menganggap seladang gandum itu busuk. Akan tetapi kalau ada beberapa orang
Mancu jahat, apakah patut kalau seluruh bangsa Mancu dianggap jahat semua?
Kalau begitu, karena aku mendengar bahwa banyak bangsa Han yang menjadi
pengkhianat bangsa, semua bangsa Han adalah pengkhianat, termasuk engkau! Dan
aku tahu bahwa banyak sekali perampok bangsa Han, maka semua bangsa Han adalah
perampok, termasuk engkau! Ada pula bangsa Han yang jahat sekali maka semua
bangsa Han adalah jahat, terutama engkau! Begitukah pendapatmu??!
Muka Sin Kiat menjadi merah, kemudian pucat, dan dengan
gugup ia berkata.
‘Tentu saja tidak, dan.. eh, itu lain lagi.. akan
tetapi.. ahhh, mengapa kau marah-marah karena aku mencela bangsa Mancu yang
menjadi musuh kita, Nona?!
‘Tentu saja marah! Kau mengatakan aku jahat dan patut
dibasmi dari muka bumi, dan kau masih bertanya mengapa aku marah? Hayo, kau
basmilah aku! Kau kira aku takut kepadamu!!!
Han Han hanya memandang sambil tersenyum. Rasakan kau,
Sin Kiat, pikirnya dengan hati geli. Rasakan kau menghadapi adikku yang liar
ini. Ketemu tanding kau!
‘Eh, kapan aku mengatakan demikian, Nona? Bagaimana
ini, Han Han?!
‘Tak usah mencari pelindung! Dan seorang laki-laki
tidak patut plin-plan, bicara mencla-mencle! Bukankah kau tadi mengatakan bahwa
semua bangsa Mancu jahat dan patut dibasmi dari muka bumi ini?!
‘Benar demikian, akan tetapi tidak menyangkut dirimu,
Nona..!
‘Kau bilang semua bangsa Mancu dan kini mengatakan
tidak menyangkut diriku? Aku seorang gadis Mancu, tahukah engkau??!
‘Aihhh...! Sin Kiat terkejut sekali dan semua orang
yang berada di situ pun terkejut, cepat bangkit berdiri dalam keadaan siap
siaga. Kalau gadis ini seorang Mancu, berarti bahwa rahasia Pek-eng-piauwkiok
sebagai anggauta pejuang menjadi bocor!
‘Hayo, siapa yang menganggap aku jahat dan patut
dibasmi? Maju! Aku tidak takut!!! bentak Lulu dengan mata dilebarkan dan sikap
mengancam. Lu Soan Li yang sejak tadi memperhatikan Han Han secara diam-diam
dan melihat betapa pemuda rambut terurai itu tersenyum-senyum geli, dapat lebih
dulu menguasai hatinya. Ia melangkah maju dan memegang pundak Lulu sambil
berkata,
‘Aihhh, Adik Lulu yang baik, siapa sih yang mau
memusuhimu? Suheng telah salah bicara, apakah kau begini kejam untuk
menekannya? Lihat, dia sudah amat menyesal dan kebingungan!!
Dengan muka merah Wan Sin Kiat lalu menjura. ‘Harap
Nona Sie suka memaafkan mulutku yang lancang.!
Lulu cemberut dan mengerling ke arah pemuda tinggi besar
itu.
‘Habis, kau terlalu menghina sih..!!
Han Han tertawa lalu berkata nyaring setelah menyaksikan
ketegangan membayang di wajah semua orang yang hadir,
‘Tak perlu disembunyikan, memang Adikku ini adalah
seorang gadis Mancu, akan tetapi sekarang telah menjadi Adikku, she Sie dan
namanya tetap Lulu. Hendaknya diketahui bahwa semenjak kecil, Adikku ini hidup
sebatangkara dan menderita karena Ayah Bundanya dan seluruh keluarganya dibasmi
habis oleh para pejuang.!
‘Ahhhhh...!! seruan ini keluar dari mulut Sin Kiat.
‘Apa ah-ah-uh-uh-uh sejak tadi? Biar keluargaku dibunuh
habis oleh orang Han, aku tidak begitu tolol untuk menganggap semua orang Han
musuh-musuhku yang harus kubasmi habis dari muka bumi!!
Wajah Sin Kiat makin merah dan ia benar-benar terpukul.
Seolah-olah dibuka matanya betapa kelirunya mendendam kepada bangsa lain hanya
karena terjadi perang, karena sesungguhnya tidak semua orang dari sesuatu
bangsa itu jahat semua atau baik semua.
‘Aku telah mengaku salah, harap Nona maafkan dan mau
hukum apa pun juga aku siap menerimanya.!
Han Han tersenyum lebar. ‘Lulu, dia sudah mengaku salah
dan minta dihukum. Hayo, kau hukumlah dia kalau kau mau!!
Aneh sekali, digoda kakaknya begini, Lulu yang biasanya
lincah dan nakal, kini hanya cemberut, kemudian melengos dengan kedua pipinya
merah. Semua orang merasa lega bahwa tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, akan tetapi tetap saja masih ada rasa tegang di antara mereka
setelah mendengar bahwa dara jelita itu adalah seorang gadis Mancu. Mereka
semua telah menjadi korban kekejian seorang puteri Mancu, kini di situ terdapat
seorang gadis Mancu, bagaimana mereka tidak akan menjadi gelisah dan tidak enak
hati?
‘Keadaan menyedihkan seperti yang kini timbul dalam
hati Sin Kiat dan Lulu adalah akibat perang yang terkutuk!! demikian Han Han berkata
setelah semua orang duduk kembali. ‘Perang yang hanya dicetuskan oleh
beberapa gelintir orang yang berambisi, yang memperebutkan kekuasaan dan
kedudukan, membakar hati semua rakyat, menimbutkan kekejaman-kekejaman,
menimbulkan dendam, menimbulkan kebencian antara bangsa yang sesungguhnya
adalah sesama manusia. Perang menjadikan keluargaku terbasmi orang-orang Mancu
dan sebaliknya menjadikan keluarga Adikku Lulu terbasmi oleh orang-orang Han.
Yang suka akan perang hanyalah mereka yang rnenginginkan kedudukan tinggi dan
kemuliaan di kerajaan. Dengan dalih membela nusa bangsa, mereka ini
mempergunakan kekuatan rakyat yang sebetulnya membenci perang karena perang
hanya mendatangkan malapetaka bagi rakyat jelata, sebaliknya mendatangkan
kemuliaan duniawi bagi para penggerak perang yang mendapat kemenangan! Rakyat
Mancu ditipu oleh para pimpinan mereka, dijadikan bala tentara yang setiap saat
kehilangan nyawanya. Sebaliknya, rakyat pribumi ditipu oleh pimpinan
mereka, dijadikan pula tentara yang mengorbankan nyawa.
Dalihnya berlainan, namun selalu yang muluk-muluk memabukkan dan membodohi
rakyat, padahal semua itu hanya ditujukan kepada pamrih yang satu, yaitu
kemuliaan dan kemenangan bagi para pimpinan!!
Mendengar ucapan penuh nafsu dari pemuda aneh yang
rambutnya terurai kacau itu, Tan-piauwsu sendiri melongo. Ucapan itu mengandung
penuh kepahitan, namun memang pada kenyataannya demikianlah. Dan pendirian
seperti yang diucapkan pemuda ini bahkan menjadi pendirian pula dari banyak
partai persilatan termasuk Hoa-san-pai sendiri ketika terjadi perang saudara.
Akan tetapi hanya dalam perang saudara saja para tokoh
kang-ouw tidak suka mencampurkan diri, diperalat oleh mereka yang memperebutkan
kedudukan dengan saling bunuh antara sebangsa sendiri! Akan tetapi sekarang,
yang menjajah negara adalah bangsa Mancu sehingga pendapat Han Han itu lebih
luas lagi, tidak lagi mengenal bangsa melainkan berlaku untuk seluruh manusia
sedunia!
Ia maklum bahwa tentu bocah itu terpengaruh oleh kasih
sayangnya terhadap adik angkatnya, gadis Mancu itu sehingga pertalian
persaudaraan antara mereka melenyapkan rasa benci kepada bangsa Mancu,
sungguhpun keluarganya sendiri terbasmi oleh orang-orang Manchu.
‘Tepat sekali, Koko!! Lulu bersorak girang. ‘Aku akan
senang sekali melihat para kaisar yang gendut karena banyak makan dan terlalu
senang hidupnya, berikut semua pembesar-pembesar tinggi, mengadakan perang
sendiri, tidak membawa-bawa rakyat jelata! Biarkan mereka itu berperang, kaisar
lawan kaisar, menteri lawan menteri, dan pembesar lawan pembesar. Tentu
badut-badut itu akan terkencing-kencing ketakutan menghadapi
Kembali semua orang terheran. Tidak ada yang mau
membantah pendapat dua orang muda yang aneh itu karena mereka tidak ingin
timbulnya satu kesalahpahaman lagi. Bahkan Tan-piauwsu lalu membelokkan
percakapan.
‘Yang terpenting sekarang kita harus menghadapi
kenyataan. Tak dapat disangkal lagi bahwa pihak Siauw-lim-pai tentu akan
memusuhi Sie-enghiong, juga pihak pimpinan. Hoa-san-pai akan salah paham
terhadap Sie-enghiong. Oleh karena itu, sara harap Ji-wi suka sementara tinggal
di sini menanti datangnya mereka itu. Saya yakin bahwa orang-orang
Siauw-lim-pai tentu akan datang ke sini, mengingat bahwa peristiwa ini timbul
dari Pek-eng-piauwkiok yang membawa dua peti jenazah. Kalau Sie-enghiong berada
di sini, ada kami yang akan menjadi saksi dan yang akan menerangkan duduknya
perkara sebenarnya sehingga semua pihak mengerti bahwa yang menjadi biang
keladinya adalah puteri Mancu itu.!
Han Han mengerutkan keningnya. ‘Akan tetapi, kami tidak
suka mengganggu Cu-wi sekalian. Lebih baik aku dan Adikku pergi, karena aku pun
ingin sekali-kali bertemu dengan puteri Mancu yang demikian lihainya, dan
tentang kemarahan pihak Siauw-lim-pai maupun pimpinan Hoa-san-pai, biarlah kami
sendiri yang menanggungnya.!
Wan Sin Kiat memegang tangan sahabatnya itu. ‘Aih, Han
Han. Mengapa kau banyak sungkan? Kita berada di antara sahabat sendiri. Aku
ingin sekali bercakap-cakap denganmu. Tinggallah di sini barang sepekan. Apakah
engkau sudah melupakan sahabatmu ini? Sahabat senasib sependeritaan di waktu
kecil? Aku ingin mendengar semua pengalamanmu, juga ingin menceritakan
pengalaman-pengalamanku. Demi persahabatan kita, kuharap kau dan Nona Sie sudi
untuk tinggal beberapa hari lamanya di sini.!
Berat juga rasanya hati Han Han untuk menolak. Apalagi
ketika Lu Soan Li merangkul Lulu dan berkata, ‘Adik yang manis, kuharap kau
tidak menolak undangan kami. Aku ingin sekali belajar satu dua pukulan darimu
yang lihai agar bertambah pengertianku!!
‘Aih, Cici. Engkau merendahkan diri. Sebagai tokoh
Hoa-san-pai, agaknya aku yang harus berguru kepadamu!! Dua orang gadis itu
bersendau-gurau, keduanya sama muda remaja, sama cantik jelita. Han Han merasa
kasihan kepada adiknya dan tidak tega untuk memaksanya pergi sekarang juga.
Sudah terlalu lama Lulu tinggal menyendiri di pulau, terlalu lama jauh dari
pergaulan mesra. Kini bertemu dengan gadis Hoa-san-pai itu, timbul kegembiraan
hati Lulu dan sebaiknya kalau mereka tinggal di situ beberapa lamanya. Juga, ia
tidak dapat membantah bahwa ia merasa am at suka kepada sahabat lamanya yang
kini telah menjadi seorang pemuda tampan yang gagah perkasa itu, di samping
merasa suka kepada Lu Soan Li yang cantik manis, pendiam dan memiliki
sifat-sifat gagah dalam gerak-geriknya.
Demikianlah, Han Han dan Lulu tinggal di
Pek-eng-piauwkiok, dijamu dan diperlakukan dengan manis dan hormat oleh
Tan-piauwsu dan para anah buahnya. Mereka telah melupakan rasa dendam bahwa
pemuda ini telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun. Kini mereka maklum bahwa
pemuda ini melakukan hal itu tanpa dasar membenci Hoa-san-pai.
Bahkan tadinya pemuda itu membantu Lie Cit San dan Ok Sun
menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai sehingga membunuh tujuh orang murid
Siauw-lim-pai. Kemudian pemuda itu membunuh dua orang tokoh Hoa-san-pai itu
hanya karena menganggap mereka ini jahat. Semua terjadi karena kesalahpahaman,
terjadi sebagai akibat daripada tipu muslihat keji yang diatur oleh Puteri
Nirahai yang selain lihai juga amat cerdik itu.
Lulu benar-benar mendapatkan kegembiraan di tempat ini.
Dia merupakan sahabat yang amat cocok dengan Lu Soan Li, bahkan ia bersikap
manis terhadap Wan Sin Kiat. Juga Han Han merasa suka kepada Lu Soan Li yang
manis budi dan pendiam. Empat orang muda ini setiap hari berkumpul,
bercakap-cakap dan Han Han mendengarkan penuturan Wan Sin Kiat dengan hati
tertarik.
Ternyata dari penuturan tokoh muda Hoa-san-pai itu bahwa
tidak lama setelah berpisah dari Han Han, Wan Sin Kiat bertemu dengan seorang
tosu aneh. Tosu ini sesungguhnya adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, akan tetapi
berbeda dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang lain, tokoh ini adalah seorang tosu
perantau yang selain wataknya aneh, juga memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi karena ilmu-ilmunya dari Hoa-san-pai mendapat kemajuan pesat setelah ia
banyak merantau dan menyempurnakan ilmu-ilmunya dengan membandirigkannya dengan
ilmu dari lain golongan.
Tosu ini berjuluk Im-yang Seng-cu dan selain Sin Kiat,
dia juga mengambil seorang murid wanita, yaitu Lu Soan Li yang hidupnya juga
sudah sebatangkara, ditinggal mati keluarganya dalam sebuah bencana banjir Sungai
Huang-ho.
Berkat gemblengan suhu mereka yang memiliki kesaktian
melebihi tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya, Sin Kiat dan Soan Li menjadi jago
muda yang lihai sekali, sehingga biarpun menurut tingkat mereka itu terhiturtg
masih sute dan sumoi dari Tan-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu silat, mereka
jauh melampaui tingkat kepandaian sang suheng ini.
Sudah banyak mereka melakukan perbuatan-perbuatan
menggemparkan dunia kang-oì¥à 7 ð ¿ ¼s
7| 7| ¼o ÿÿ ÿÿ ÿÿ l Ö Ö Ö Ö Ö Ö Ö ê º¤
º¤ º¤ º¤
7| 7| ¼o ÿÿ ÿÿ ÿÿ l Ö Ö Ö Ö Ö Ö Ö ê º¤
º¤ º¤ º¤
ngan Im-yang Seng-cu, kemudian betapa bersama sumoinya
dia digembleng oleh gurunya sambil merantau sampai jauh ke selatan dan ke
barat.
Diceritakannya pula pertandingan-pertandingan melawan
kaum penjahat dalam usaha mereka membasmi kejahatan sehingga Sin Kiat mendapat
julukan Hoa-san Gi-hiap dan sumoinya dijuluki Hoa-san Kiam-li. Nama mereka
terkenal di dunia kang-ouw sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang
mengagumkan.
Han Han dan Lulu mendengarkan dengan amat tertarik.
Apalagi Lulu. Dia mendengarkan penuturan pemuda tampan tinggi besar itu seperti
mendengar dongeng yang amat menarik hati. Ia seolah-olah berubah menjadi arca,
pandang matanya melekat dan bergantung kepada bibir Sin Kiat yang
bergerak-gerak ketika bercerita. Baru setelah selesai cerita itu, Lulu menghela
napas panjang, memejamkan matanya sejenak lalu berkata.
‘Wahhh kalian hebat sekali.! Kalian ini
pendekar-pendekar muda yang amat mengagumkan..!! Ketika pandang matanya bertemu
dengan pandang mata Sin Kiat, Lulu melihat betapa pandang mata pemuda itu
bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri seolah-olah ucapan Lulu tadi mendatangkan
rasa bahagia yang luar biasa. Tentu saja Lulu tidak mengerti atau dapat menduga
akan isi hati Sin Kiat, hanya dia pada saat itu merasa betapa wajah pemuda ini
sungguh tampan dan gagah.
Entah mengapa, jantungnya berdebar dan pipinya tiba-tiba
terasa panas. Untuk menghindarkan perasaan yang tidak dikenalnya ini, Lulu
berpaling kepada Soan Li dan berkata,
‘Enci Soan Li, engkau hebat sekali, lain waktu kau
harus memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku!!
Soan Li merangkulnya dan mengerling kepada Han Han.
‘Adik Lulu, engkau seperti mutiara terpendam, tidak
dikenal akan tetapi dalam hal kepandaian, agaknya aku boleh berguru kepadamu!!
‘Wah, Adikku dan aku ini sama sekali tidak memiliki
kepandaian, mana dapat dibandingkan dengan Sin Kiat dan kau, Nona Lu?! Han Han
berkata sambil tersenyum. Gadis itu memandangnya dan sejenak pandang mata
mereka bertemu, bertaut dan seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka sukar
sekali untuk melepaskan pandang mata mereka dari pertemuan yang melekat itu.
Lulu bertepuk tangan. ‘Hi-hik, dari tadi tiada hentinya
kalian saling memandang saja. Ada apakah dengan Enci Soan Li, Koko? Dan mengapa
kau mengerling saja kepada Kakakku, Enci Soan Li?!
‘Ihhh, genit kau, Adik Lulu!! Soan Li menjadi merah
sekali mukanya dan ia mencubit paha Lulu sehingga gadis ini menjerit.
Han Han juga merasa betapa mukanya menjadi panas, maka ia
tertawa dan memandang, ‘Lulu, kita mempunyai mata untuk memandang! Apa
salahnya dipakai memandang sesuatu yang indah dan menarik?!
Ucapan Han Han yang terus terang ini membuat Soan Li
menjadi makin malu dan jengah lagi. Dia sendiri diam-diam menjadi amat heran
akan diri sendiri. Sudah banyak kali terjadi, ia menjadi marah-marah kalau
mendengar ada laki-laki mengeluarkan ucapan-ucapan tentang dirinya, memuji-muji
kecantikannya dan sebagainya.
Bahkan ada laki-laki kurang ajar yang dibunuhnya hanya
karena mengeluarkan ucapan-ucapan yang bermaksud kotor dan kurang ajar. Kini,
mendengar ucapan-ucapan Han Han yang memuji kecantikannya dengan blak-blakan di
depan banyak orang ketika mereka diperkenalkan, kini secara terang-terangan
pula dalam menjawab godaan Lulu, mengapa dia tidak marah malah menjadi...
berdebar jantungnya, berdebar karena girang? Akan tetapi pemuda ini lain
daripada laki-laki lain, dia membela perasaannya sendiri yang tidak wajar.
Pemuda ini secara terang-terangan menyatakan isi hatinya,
tanpa tedeng aling-aling, akan tetapi juga bersih daripada niat-niat kurang
ajar, hal ini dapat dilihat dari pancaran pandang matanya yang wajar dan biasa,
sinar mata kagum yang tidak ditutup-tutupi, seperti kewajaran sinar mata orang
mengagumi bintang di langit atau mawar di taman.
Sin Kiat hanya tersenyum saja melihat sumoinya digoda
Lulu, kemudian ia berkata kepada Han Han, ‘Han Han, sekarang tiba giliranmu
untuk bercerita kepada kami. Tentu pengalamanmu amat menarik hati, terutama
tentang pertemuan dengan Adikmu, dan tentang Gurumu yang tentu amat sakti,
melihat akan kelihaianmu.!
‘Nanti dulu, Sin Kiat. Aku teringat akan tekad hatimu
dahulu. Bukankah kau dahulu pernah menyatakan kepadaku bahwa engkau ingin
menjadi seorang perwira Mancu? Kenapa sekarang engkau sebaliknya malah menjadi
orang yang memusuhi perwira-perwira Mancu?!
Sin Kiat menarik napas panjang. ‘Ada sebabnya memang. Ingatkah
engkau dahulu betapa kau telah membelaku ketika aku dipukuli oleh bangsawan
muda Ouw-yang Seng murid datuk hitam Kang-thouw-kwi itu? Nah, semenjak itu, aku
berbalik haluan, apalagi setelah bertemu dengan Suhu, menerima pelajaran dan
juga mendengarkan wejangan-wejangannya. Han Han, sekarang ceritakanlah
kepadaku, bagaimana engkau bertemu dengan Nona Lulu?!
‘Wah, aku menjadi kikuk sekali kau sebut Nona! Usiamu
tentu tidak banyak selisihnya dengan Han-koko, maka aku akan menyebutmu
Wan-koko dan kau pun menyebut aku Adik seperti biasa Koko menyebutku. Kalau
tidak mau, aku selamanya tidak akan mau bicara dengan.mu!!
Tiba-tiba Lulu berkata kepada Sin Kiat. Pemuda ini
menjadi merah mukanya dan hatinya menjadi girang bukan main.
‘Baiklah, Lulu-moi, dan terima kasih atas kebaikanmu,!
Sin Kiat berdiri dan menjura.
‘Wan, kebetulan sekali usul Lulu ini. Aku pun hendak
mencontohnya dan kuminta Nona Lu Soan Li juga jangan bersungkan-sungkan lagi,
mulai sekarang mau tak mau kusebut Moi-moi dan harap suka menyebut Kakak
kepadaku!!
Jantung di dalam dada Soan Li berdebar. Dia merasa makin
suka kepada kakak beradik yang baru dikenalnya ini. Mereka berdua itu begitu
jujur, begitu polos, dan juga ia dapat menduga bahwa mereka itu memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa sekali.
‘Terima kasih atas kebaikanmu, Han-twako.!
‘Sebetulnya tidak ada yang banyak dapat diceritakan
tentang kami berdua,! kata Han Han. ‘Engkau sudah tahu bahwa aku dahulu di
waktu kecilku adalah seorang bocah gembel seperti engkau, Sin Kiat. Dan aku
bertemu dengan adikku Lulu ini yang juga seorang bocah gembel setelah hidup
terlunta-lunta karena keuarganya terbasmi semua. Nah, kami saling bertemu dan
mengangkat saudara sampai sekarang kami menjadi kakak beradik yang tak pernah
berpisahan.!
‘Han-twako, belehkah aku mengetahui, siapakah Suhumu
yang mulia?! tiba-tiba Soan Li bertanya, mendahului suhengnya, karena ia ingin
sekali mendengar siapa adanya guru dari pemuda yang amat mengagumkan hatinya
ini. Han Han dan Lulu saling berpandangan sejenak. Mereka berdua selama ini
berlatih di Pulau Es, berlatih tanpa guru, hanya mempelajari ilmu dari
kitab-kitab dan berlatih secara ngawur. Ataukah beruang itu dapat dianggap
menjadi guru mereka? Ah, tidak beruang itu hanya teman berlatih. Guru mereka adalah
penghuni-penghuni Pulau Es, pemilik-pemilik istana yang meninggalkan
kitab-kitab pelajaran, akan tetapi siapakah dia itu?
Han Han memiliki pikiran yang tidak lumrah, dapat
berpikir cepat melebihi manusia biasa, dapat mengambil keputusan yang amat tepat
dalam sedetik dua detik pemikiran saja. Ia tahu bahwa Sin Kiat dan Soan Li
adalah murid-murid Hoa-san-pai yang menentang Mancu, dan dia tidak boleh
sekali-kali memperlihatkan sikap bermusuh atau mengaku sebagai pihak yang
bermusuhan. Dia telah belajar ilmu dari Lauw-pangcu, kemudian mencuri ilmu dari
Kang-thouw-kwi Gak Liat. Akan tetapi dua orang ini tidak boleh dia sebut-sebut,
karena menyebut nama Lauw-pangcu berarti menyinggung hati Lulu, menyebut
Kang-thouw-wi Gak Liat sebagai guru lebih tidak mungkin lagi karena Setan Botak
itu adalah kaki tangan Mancu. Dan dia tidak suka berbohong maka ia mendapat
jalan tengah yang baik.
‘Guruku adalah Suhu Siangkoan Lee...!
‘Ahhh..!! Sin Kiat dan Soan Li benar-benar terkejut
mendengar ini. ‘Ma-bin Lo-mo.?!
Han Han memandang wajah Sin Kiat. ‘Benar, mengapa?
Apakah kau mengenal Suhu? Dia juga seorang yang amat setia kepada Kerajaan
Beng-tiauw, bahkan kalau tidak salah dia bekas menteri...!
‘Tentu saja kami telah mendengar namanya. Ah, Ma-bm
Lo-mo, seorang di antara datuk-datuk hitam yang amat sakti. Pantas saja kau
begini lihai, Han Han. Kiranya engkau murid tokoh besar itu!!
Lulu yang mendengarkan ucapan Han Han itu pun diam saja,
hanya memandang dengan sinar mata nakal. Ia menganggap bahwa kakaknya ini tidak
terlalu berbohong, karena memang kakaknya menjadi murid banyak orang sakti, di
antaranya Ma-bn Lo-mo Siangkoan Lee yang hampir membunuhnya, bahkan yang telah
berusaha membakar mereka berdua di perahu. Ia tidak mengerti mengapa kakaknya
seolah-olah tidak mau bercerita terus terang bahwa mereka berdua telah belajar
ilmu di Pulau Es.
Biarpun Lulu dan Han Han baru tinggal di
Pek-eng-piauwkiok selama beberapa hari, namun hubungan empat orang muda ini
menjadi amat akrab. Apalagi karena di situ ada Lulu yang wataknya lincah
jenaka, yang nakal dan tak pernah malu-malu, jujur dan tidak mengenal palsu,
sebentar saja rasa jengah yang membatasi pergaulan mereka menjadi lenyap.
Berkat kelincahan Lulu, Lu Soan Li menjadi tidak malu-malu lagi terhadap Han
Han, juga Sin Kiat makin tertarik kepada gadis Mancu yang benar-benar telah
menjatuhkan hatinya itu.
Sepekan kemudian, ketika Lulu sedang mengumpulkan
bunga-bunga yang dipetiknya dalam taman bunga tak jauh dari gedung
Pek-eng-piauwkiok, ia dikejutkan oleh suara Sin Kiat,
‘Wah, Lulu-moi, setiap pagi kau tentu berada di sini
memetik bunga!!
Dara jelita itu menoleh dan tersenyum. Bagi Sin Kiat,
senyumnya amat manis dan hangat, sehangat matahari di pagi hari itu. Taman
bunga itu menjadi makin cerah dan makin jernih bagi Sin Kiat.
‘Tentu saja, Twako. Bertahun-tahun aku tidak
berkesempatan melihat bunga, sekarang ada begini banyak bunga indiah di sini.
Dahulu aku hanya melihat bunga-bunga es melulu..! Tiba-tiba gadis itu teringat
akan larangan kakaknya untuk bercerita kepada siapa juga tentang Putau Es, maka
ia terikejut dan menghentikan kata-katanya.
Akan tetapi Sin Kiat telah mendengar kalimat terakhir itu
dan dia mendekat.
‘Bunga es? Apa maksudmu, Moi-moi?!
‘Eh... oh... tidak apa-apa...! Lulu yang biasanya. amat
jujur polos dan tidak biasa membohong itu menjadi gagap. Ia tidak senang sekali
untuk menyembun yikan atau merahasiakan sesuatu, karena untuk ini, terpaksa ia
harus pula membohong, padahal ketidakwajaran ini terasa amat asing dan amat
sukar baginya.
Sin Kiat memandang tajam, hatinya merasa tidak enak,
bahkan sakit karena ia mengerti bahwa dara yang dikaguminya ini menyembunyikan
sesuatu dari padanya dan hal ini menimbulkan kesan bahwa Lulu tidak menaruh
kepercayaan penuh kepadanya! Dengan nada sedih ia lalu berkata, tanpa
disadarinya ia memegang kedua tangan Lulu yang penuh bunga.
‘Moi-moi, mengapa engkau tidak percaya kepadaku? Ahhh,
sungguh mati, aku tidak ingin memaksamu untuk membuka sesuatu yang kau
rahasiakan, akan tetapi... ah, ketidakpercayaanmu ini menyakitkan hatiku,
Moi-moi. Tidak tahukah engkau, tidak merasakah engkau betapa aku.. aku cinta
kepadamu, Lulu?!
Lulu tersenyum dan dengan gerakan halus menarik tangannya
sehingga terlepas dari genggaman jari tangan pemuda itu, yang membuat jantungnya
berdebar tidak karuan.
‘Aku merasakan itu dan aku tahu, Twako. Akan tetapi,
tidak kelirukah cintamu itu kau jatuhkan atas diriku? Ingat, aku seorang gadis
Mancu, musuhmu!!
Sin Kiat memandang penuh keharuan. ‘Moi-moi, tak
dapatkah kau memaafkan kesalahan ucapanku ketika pertama kali kita bertemu?
Tidak, aku tidak memusuhi seluruh bangsa Mancu, dan aku hanya akan menentang
yang jahat, siapapun dia dan bangsa apa pun dia. Engkau bagiku bukan bangsa
apa-apa, engkau adalah Lulu, satu-satunya gadis yang pernah dan akan menjadi
pujaan hatiku, menjadi satu-satunya wanita yang kucinta!!
Tiba-tiba Lulu tertawa. Hati Sin Kiat makin sakit,
mengira bahwa dara yang dicintanya ini mentertawakan pernyataan cinta kasihnya!
Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hati bagi seorang pria dari pada cinta
kasihnya ditertawai oleh wanita yang dicintanya.
‘Hi-hi-hik, alangkah lucunya!!
‘Apa yang lucu, Moi-moi? Mengapa engkau tertawa?! Sin
Kiat bertanya, mukanya menjadi agak pucat.
‘Habis, lucu sekali sih! Engkau dan Sumoimu keduanya
telah jatuh cinta kepada aku dan Kakakku, bukankah ini lucu sekali namanya?!
Sin Kiat memandang wajah jelita itu dengan kaget. ‘Apa?
Sumoi mencinta Kakakmu? Ah, bagaimana engkau bisa tahu?!
‘Apa sih sukarnya mengetahui itu? Aku tahu bahwa
Sumoimu mencinta Han-koko dan bahwa engkau mencintaku. Mau bukti? Mari, kau
ikut denganku!! Lulu menancapkan bunga-bunga yang dipetiknya di atas tanah,
kemudian ia memegang tangan Sin Kiat dan menarik pemuda itu, diajak pergi ke
sebelah selatan taman bunga, di mana terdapat pondok yang bercat kuning dan
disebut pondok Cahaya Matahari karena pondok ini menghadap ke timur dan setiap
pagi menerima sinar matahari sepenuhnya. Memang pondok ini dipergunakan untuk
mandi cahaya matahari oleh keluarga Tan-piauwsu.
Sin Kiat menjadi tegang dan juga girang. Ia merasa betapa
kulit telapak tangan yang halus dan hangat menggandengnya. Akan tetapi ia pun
gelisah kalau mengingat bahwa perbuatan dara ini menggandengnya terdorong oleh
sifatnya yang polos dan kekanak-kanakan, bukan sekali-kali terdorong oleh cinta
kasih seperti yang ia harapkan.
Setelah mereka tiba di pondok, Lulu menaruh telunjuknya
di depan mulut sebagai isyarat agar pemuda itu tidak mengeluarkan suara
berisik, kemudian berendap-indap ia mengajak Sin Kiat measuki pondok dari pintu
belakang, terus menembus sampai ke ruangan depan pondok. Lulu berhenti dan
memandang Sin Kiat dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kemenangan. Tangan
kanannya bertolak pinggang, sedangkan tangan kiri menuding ke sebelah luar di
mana tampak Han Han duduk di atas anak tangga pondok itu sambil bercakap-cakap
dengan Soan Li dalam suasana mesra.
‘Nah, betul tidak keteranganku? Itu mereka mengobrol
dengan asyiknya! Sumoimu mencinta Kakakku dan setiap pagi mereka berdua tentu
duduk dan mengobrbl mesra di situ. Semenjak semula sudah kuduga, dalam
pertemuan pertama mereka sudah saling lirak-lirik, hi-hik!!
‘Wah, ini sama sekali tidak boleh..!! kata Sin Kiat
dengan alis dikerutkan.
‘Apa kau bilang? Apanya dan mengapa tidak boleh? Jangan
main-main kau, ya? Apa kau hendak menghina Kakakku? Menganggap Kakakku kurang
berharga untuk Sumoimu?!
Kini Lulu menghadapi Sin Kiat dengan mata terbelalak
marah, kedua tangan di pinggang, sikapnya menantang.
‘Bukan.., bukan begitu, akan tetapi Sumoi... dia.. dia
telah ditunangkan oleh Suhu.. dia sudah mempunyai calon suami...!
Kini Lulu yang terbelalak kaget. ‘Apa kau bilang? Dan
engkau calon suaminya?!
‘Bukan, bukan! Calon suaminya adalah seorang
sastrawan..!
‘Taihiap..! Para pimpinan Hoa-san-pai telah tiba,
Taihiap diminta untuk menyambut..!! Seruan ini keluar dari mulut seorang anak
buah Pek-eng-piauwkiok yang datang berlari-lari. Ia berteriak-teriak sehingga
tidak saja Sin Kiat dan Lulu yang menengok kaget dan percakapan mereka
terputus, juga Han Han dan Soan Li menjadi kaget dan menengok, lalu menghampiri
mereka.
Sepintas lalu Sin Kiat melihat betapa wajah sumoinya
berseri-seri, agak kemerahan sehingga hatinya makin tidak enak. Dia akan merasa
bahagia sekali kalau sumoinya dapat menjadi calon isteri Han Han, andaikata dia
belum bertunangan. Akan tetapi sumoinya telah ditunangkan kepada orang lain!
Berbeda dengan wajah Soan Li, Lulu maupun Sin Kiat melihat betapa wajah Han Han
biasa saja.
Semua urusan mengenai sumoinya itu segera terhapus dari
ingatan Sin Kiat karena pada saat itu ada urusan yang lebih gawat, yaitu dengan
datangnya para pimpinan Hoa-san-pai yang tentu akan timbul persoalan yang amat
gawat dengan Han Han.
‘Han Han, tokoh-tokoh Hoa-san-pai telah tiba, sebaiknya
engkau bersamaku pergi menyambut mereka agar persoalan ini lekas beres.!
Han Han mengangguk, sikapnya tenang sekali, berbeda
dengan Sin Kiat dan sumoinya yang mengerutkan kening dan kelihatan gelisah. Han
Han sudah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, apa pun alasannya, tentu akan
membikin hati para pimpinan Hoa-san-pai menjadi tidak puas. Sungguhpun Sin Kiat
dan Soan Li merupakan dua orang tokoh Hoa-san-pai, namun mereka tidak banyak
mengenal para pimpinan Hoa-san-pai karena mereka itu digembleng oleh guru
mereka, Im-yang Seng-cu, dalam perantauan dan hanya satu kali mereka disuruh
guru mereka pergi menghadap ketua Hoa-san-pai di Puncak Hoa-san. Maka, hanya
ketua Hoa-san-pai saja yang mereka kenal, sedangkan para susiok (paman guru)
lainnya, mereka tidak kenal.
Ketika empat orang muda itu tiba di ruangan dalam yang
lebar, di situ Tan-piauwsu dan para sutenya telah menghadap tiga orang tosu tua
dengan sikap hormat. Sin Kiat dan Soan Li sebagai murid-murid Hoa-san-pai,
cepat melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang tosu itu
yang duduk berjajar di atas bangku-bangku kehormatan.
‘Suhu dan Ji-wi Supek (Dua Uwa Guru), ini adalah Sute
Wan Sin Kiat dan Sumoi Lu Soan Li.! Tan-piauwsu memperkenalkan dua orang muda
itu.
‘Hemmm..!! Tosu yang berjenggot pendek, guru Tan Bu
Kong, mengangguk-angguk dan berkata, ‘Agaknya kalian inikah murid-murid Sute
Im-yang Seng-cu?!
‘Tidak salah dugaan Sam-wi Supek. Teecu berdua adalah
murid-murid Suhu Im-yang Seng-cu. Teecu berdua menghaturkan hormat kepada
Sam-wi Supek,! kata Sin Kiat sambil memberi hormat, yang dicontoh oleh Soan Li.
‘Bagus! Kalian tidak mengecewakan menjadi murid-murid
Hoa-san-pai. Pinto telah mendengar akan sepak-terjang kalian di dunia
kang-ouw,! kata tosu ke dua yang lebih tua dan yang didahinya terdapat cacat
bekas luka memanjang.
‘Duduklah baik-baik di bangku di pinggir sana.! Tosu
ini menunjuk bangku-bangku dengan sikap tidak begitu mengacuhkan. Betapapun
juga, dua orang muda ini hanyalah murid-murid keponakan mereka, dan mereka
bertiga datang untuk membereskan urusan yang amat gawat.
Dengan sikap hormat, Sin Kiat dan Soan Li duduk di atas
bangku-bangku yang ditunjuk oleh tosu codet (luka di dahi) itu, dan diam-diam
Han Han, terutama sekali Lulu, merasa tidak puas menyaksikan sikap angkuh Si
Tosu terhadap sahabat-sahabat baik mereka. Akan tetapi mereka tidak peduli dan
hanya berdiri di pinggiran, tidak jauh dari tempat duduk dua orang sahabat
mereka itu.
Tiga orang tosu tua yang melihat Han Han dan Lulu, tidak
mengacuhkannya pula karena mereka ini mengira bahwa Han Han dan Lulu tentulah
orang-orang muda tak berarti, anggauta keluarga atau pembantu-pembantu di
Pek-eng-piauwkiok.
Tiga orang tosu Hoa-san-pai ini adalah tosu-tosu tingkat
tiga, karena mereka ini adalah murid-murid langsung dari ketua Hoa-san-pai,
yaitu yang bernama Thian Cu Cinjin, seorang tosu yang amat sakti dan sudah
berusia lanjut. Mereka bertiga ini adalah kakak beradik seperguruan. Yang
paling tua adalah tosu tinggi kurus yang berjenggot panjang bernama atau lebih
tepat berjuluk Bhok Seng-cu, yang ke dua adalah tosu codet yang luka dahinya, berjuluk
Kong Seng-cu. Adapun tosu ke tiga adalah guru dari Tan-piauwsu yang berjuluk
Lok Seng-cu.
Mereka ini rata-rata sudah berusia enam puluh tahun
lebih, namun masih nampak sehat dan berwibawa, penuh semangat karena
sesungguhnya, tiga orang tosu inilah yang bertugas untuk melaksanakan segala
peraturan di Hoa-san-pai. Mungkin karena terpengaruh tugas mereka yang harus
dilaksanakan secara baik-baik dan penuh disiplin, maka tiga orang tosu ini
sudah biasa berwatak keras asal benar!
Mereka bertiga tidak begitu ramah ketika diperkenalkan
kepada Sin Kiat dan Soan Li, karena sesungguhnya mereka bertiga tidak suka
kepada Im-yang Seng-cu, tokoh Hoa-san-pai yang dianggap menyeleweng, yaitu
menyeleweng daripada aturan Hoa-san-pai, tidak suka menjadi tosu di Hoa-san-pai
melainkan lebih suka mengembara dan berkeluyuran!
Juga perasaan tidak suka ini timbul pula karena Im-yang
Seng-cu diinggap tidak setia kepada Hoa-san-pai, mempelajari ilmu silat-ilmu
silat lain golongan, bahkan berani ‘mengawinkan! IImu silat Hoa-san-pai yang
aseli dengan ilmu silat golongan lain. Apalagi kalau diingat bahwa mereka itu
tidaklah seguru dengan Im-yag Seng-cu karena Im-yang Seng-cu bukanlah murid
Thian Cu Cinjin, melainkan murid dari Tee Cu Cinjin yang sudah meninggal dunia,
yaitu sute dari Thian Cu Cinjin.
‘Tan Bu Kong, kami mendengar akan pelaporanmu dari
mulut utusan Pek-eng-piauwkiok, karena mengingat akan gawatnya persoalan, maka
kami bertiga dating sendiri untuk memberi hukuman kepada dia yang berdosa.
Benarkah bahwa kedua orang Sutemu Lie Cit San dan Ok Sun dibunuh orang?!
Mendengar pertanyaan ini, berkerut alis Wan Sin Kiat.
Para supeknya ini ternyata adalah orang-orang yang berhati keras dan yang
dipentingkan adalah urusan kematian anak murid Hoa-san-pai, padahal di batik urusan
ini tersembunyi hal yang lebih gawat lagi, yaitu ancaman permusuhan dengan
pihak Siauw-lim-pai. Ataukah mungkin laporan utusan Tan-piauwsu yang tidak
jelas menyampaikan laporan? Namun, ia tidak berani mengganggu, hanya
mendengarkan saja.
‘Benar, Suhu. Sute Lie Cit San dan Sute Ok Sun tewas,
bahkan Sute Teng Lok juga terluka hebat, buntung lengannya. Semua ini terjadi
karena tipu muslihat keji seorang gadis Mancu, seorang puteri Kaisar sendiri
yang bernama Puteri Nirahai..!
‘Siapakah yang membunuh dan melukai Sute-sutemu? Apakah
dia murid Siauw-lim-pai?!
‘Bukan, Suhu. Memang terjadi bentrokan dengan pihak
Siauw-lim-pai, akan tetapi semua itu adalah akibat tipu muslihat keji Puteri
Mancu Nirahai. Sebaiknya teecu menceritakan asalu mula terjadinya peekara yang
heboh ini.!
Melihat betapa tiga orang tosu tua itu diam saja dan
semua memandang kepadanya, Tan Bu Kong segera menceritakan asal mula terjadinya
peristiwa itu. Betapa puteri itu datang mengirim dua buah peti ke selatan dan
betapa dia tidak berani menolak karena tidak ingin dicurigai oleh pemerintah
Mancu akan perjuangan Hoa-.san-pai menentang penjajah.
Kemudian betapa Teng Lok sampai buntung lengannya ketika
menyelidiki keadaan puteri aneh itu. Diceritakannya pula betapa rombongan
piauwsu yang mengantar dua buah peti ke selatan, di tengah jalan dihadang oleh
anak-anak murid Siauw-im-pai yang memaksa mereka membuka peti sehingga terjadi
pertempuran.
‘Pinto telah mendengar penuturan itu dari utusanmu, tak
perlu diulangi lagi,!
Lok Seng-cu memotong tak sabar sambil menggerakkan tangan
kirinya ke atas sehingga ujung lengan bajunya bergetar dan bergoyang.
‘Pinto hanya tertarik mendengar akan kematian
murid-murid Lie Cit San dan Ok Sun. Siapakah yang membunuh mereka?!
Berkerut kening Han Han. Ingin ia melangkah maju dan
menjawab pertanyaan itu, mengaku bahwa dialah yang membunuh dua orang murid
Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Wan Sin Kiat, ia
melihat pemuda itu menggeleng-geleng kepala perlahan sehingga ia membatalkan
niatnya.
Tan-piauwsu juga bingung sekali atas pertanyaan gurunya
yang mendesak-desak itu, seolah-olah tidak hendak memberi kesempatan kepadanya
untuk menjelaskan semua agar kesalahan tangan Han Han itu dapat diperingan
dengan alasan kuat.
Akan tetapi, piauwsu ini yang sudah. merasa yakin akan
kebersihan hati Han Han dalam pembunuhan terhadap dua orang sutenya itu,
memberanikan hatinya dan melanjutkan ceritanya.
‘Pertempuran berat sebelah itu tentu akan berakibat
terbasminya semua anak buah piauwsu yang mengawal kalau saja tidak secara
kebetulan muncul seorang pendekar muda yang membantu pihak Hoa-san-pai dan pemuda
itu memukul tewas tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian pihak
Siauw-lim-pai memaksa membuka dua buah peti kiriman puteri Mancu dan isinya
ternyata adalah..!
‘Mayat-mayat Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua orang
di antara Siauw-lim Chit-kiam! Pinto sudah tahu semua akan hal itu. Bu Kong,
katakan, siapa yang membunuh dua orang Sutemu?!
‘Pendekar muda yang tadinya membantu Hoa-san-pai dan
membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai ketika melihat bahwa dua peti itu berisi
mayat tokoh-tokoh Siauw-lim, menjadi menyesal dan marah sekali, mengira bahwa
pihak Hoa-san-pai yang bersalah, maka dalam kemarahannya ia turun tangan
membunuh kedua orang Sute, tidak tahu bahwa baik pihak Siauw-lim-pai maupun
pihak Hoa-san-pai tidak bersalah karena mereka semua telah termasuk dalam
perangkap dan siasat adu domba puteri Mancu itu..!
‘Tan Bu Kong! Engkau berpihak kepada siapakah? Katakan,
di mana adanya orang yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu!! bentak Lok
Seng-cu dengan nada marah sehingga Tan-piauwsu menjadi jerih dan menundukkan
mukanya.
‘Totiang, akulah orangnya yang membunuh dua orang
muridmu itu!! Tiba-tiba terdengar suara Han Han memecah kesunyian sehingga
suasana menjadi tambah sunyi lagi karena kini kesunyian itu dicekam ketegangan
yang memuncak ketika tiga orang tosu tua itu menoleh dan memandang kepada Han
Han penuh perhatian. Han Han sudah melangkah maju dengan sikap tenang, kemudian
berdiri menghadapi tiga orang Hoa-san-pai itu sambil melanjutkan kata-katanya.
‘Memang aku yang telah membunuh mereka, hal ini tidak
kupungkiri dan aku mohon maaf kepada Totiang bertiga sebagai guru-guru mereka.
Aku merasa menyesal sekali telah membunuh mereka berdua seperti rasa
penyesalanku telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tak bersalah.
Akan tetapi aku tidak merasa bersalah karena aku membunuh dua orang murid
Hoa-san-pai dengan persangkaan bahwa Hoa-san-pai lah yang membunuh dua orang
tokoh Siauw-lim-pai dan kusangka bersikap palsu sehingga menyebabkan aku
kesalahan tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai. Hal itu telah terjadi di
luar kesalahanku, dan aku pasti akan mencari biang keladinya, Puteri Mancu itu.
Nah, kurasa cukup lama aku tinggal di sini bersama Adikku. Tan-piauwsu, dan
juga kalian berdua, Sin Kiat dan Adik Lu Soan Li, aku harus pergi dari sini
setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan minta maaf. Aku hendak pergi
menemui pimpinan Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan. Sampai jumpa
kembali...!
‘Berhenti!! Tiba-tiba Bhok Seng-cu yang tinggi kurus
dan berjenggot panjang membentak. Suaranya mengejutkan semua orang karena
mengandung getaran yang menusuk rongga dada, tanda bahwa kakek ini telah
mempergunakan khikang yang amat kuat.
Han Han yang tadinya, sudah melangkah hendak keluar
diikuti oleh Lulu, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Sikapnya tenang saja,
demikian pula dengan Lulu sehingga Bhok Seng-cu sendiri menjadi terheran-heran.
Hapir semua yang hadir di situ, kecuali Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li yang
rnemiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi, menjadi pucat sekali wajah
mereka karena pengaruh bentakan tadi, akan tetapi dua orang muda ini sama
sekali tidak terpengaruh, kaget sedikit pun tidak!
‘Orang muda, apakah sedemikian murahnya kau menghargai
nyawa dua orang anak murid kami? Cukup dengan pernyataan menyesal dan minta
maaf? Sungguh engkau memandang rendah ke-pada Hoa-san-pai!! kata Bhok Seng-cu
dengan alis terangkat.
‘Habis apa yang harus kulakukan,Totiang? Aku telah lama
menanti kedatangan Totiang di sini, hal itu karena aku memandang Hoa -san-pai,!
jawab Han Han dengan sikap yang masih tenang.Pandang mata pemuda ini bertemu
dengan pandang mata Bhok Seng-cu dan kakek Hoa-san-pai ini bergidik dan
mengalihkan pandang matanya.
‘Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!! bentak Lok
Seng-cu, guru Tan-piauwsu yang menjadi marah sekali kalau teringat betapa
murid-muridnya terbunuh hanya oleh seorang pemuda yang tak di kenaI sama
sekali, bukan pula murid Siauw-lim-pai, bahkan seorang pemuda yang kelihatannya
liar.
Andaikata kedua orang muridnya tewas di tangan seorang
tokoh besar, atau setidaknya oleh anak murid Siauw-lim-pai yang pandai, dia
tidak akan begitu malu.
‘Suheng,! katanya kepada Bhok Seng-cu, ‘bukan hal
yang mustahil kalau pemuda ini menjadi kaki tangan Mancu yang sengaja membunuh
murid-murid Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar taktik adu domba berhasil baik.
Bocah setan ini tak boleh diberi ampun!!
‘Suhu dan Ji-wi Supek, Han Han bukanlah kaki tangan
Mancu..!! Tiba-tiba Wan Sin Kiat berseru dari tempat duduknya karena tidak
tahan lagi mendengar ucapan-ucapan suhunya dan supeknya yang nadanya menekan
Han Han.
‘Teecu mengenal dia baik-baik semenjak dia masih
kanak-kanak karena dia adalah sahabat baik teecu di waktu kecil.!
‘Wan Sin Kiat! Tak patut engkau sebagai anak murid
Hoa-san-pai bicara seperti itu terhadap seorang yang telah membunuh dua orang
Suhengmu! Di mana kesetiaanmu terhadap Hoa-san-pai? Apakah kalau dia ini
menjadi sahabat baikmu di waktu kecil, lalu tak mungkin lagi menjadi kaki
tangan Mancu? Pandangan picik sekali!! bentak Bh'ok Seng-cu sambil menatap
wajah pemuda itu dengan mata melotot.
Sin Kiat menunduk, akan tetapi ia menjawab dengan suara
tenang,
‘Maaf, Supek. Bukan karena itu, melainkan karena dia
adalah murid Ma-bin Lo-mo Siang-koan Lee... ‘
‘Ahhhhh !! Seruan ini keluar dari mulut ketiga orang
tosu tua itu karena mereka benar-benar merasa kaget sekali mendengar bahwa
pemuda ini adalah murid seorang di antara tokoh-tokoh datuk hitam yang amat
terkenal itu. Dan mereka pun maklum bahwa biarpun seorang tokoh datuk hitam,
namun Siangkoan Lee bukanlah seorang yang tunduk kepada pemerintah penjajah
Mancu.
Kini mereka kembali memandang kepada Han Han penuh
perhatian dan dengan pandang mata agak meragu. Akan tetapi hanya sebentar saja
mereka meragu karena segera terdengar suara Bhok Seng-cu yang kaku dan tegas.
‘Kalau dia murid Ma-bin Lo-mo, memang bukan kaki tangan
Mancu. Akan tetapi biarpun demikian, dia telah membunuh dua orang murid
Hoa-san..pai, dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Biarpun murid
Ma-bin Lo-mo tidak boleh menghina kami orang orang Hoa-san-pai!!
‘Suheng, nanti dulu, Suheng!! Tiba-tiba Kong Seng-cu
berkata dan tiba-tiba tubuh tosu ini sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya
dan dengan langkah lebar menghampiri Lulu. Ia menghampiri dan memandang gadis
itu penuh perhatian, mulutnya menggerutu,
‘Adiknya....? ini Adikmu...?!
Han Han yang merasa sebal menyaksikan sikap congkak dari
tiga orang Hoa-san-pai ini berkata,
‘Benar, Totiang. Dia Adik angkatku.!
Lulu yang dipandang penuh perhatian,bahkan kini tosu yang
dahinya terhias bekas luka itu berjalan mengelilinginya sambil memandang
seperti orang mem eriksa kuda yang hendak dibelinya, tersenyum-senyum dan
melirak-lirik dengan sikap lucu dan mentertawakan. Akhirnya tosu itu kembali ke
bangkunya, duduk dan berkata,
‘Gadis ini adalah seorang wanita Mancu!!
Semua orang yang mendengar ini menjadi terheran,
bagaimana tosu codet ini dapat menduga sedemikian tepatnya.
Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu berseru kaget. Lok Seng-cu
memandang kepada Tan-piauwsu dengan pandang mata bengis lalu membentak,
‘Tan Bu Kong! Betulkah bahwa gadis ini seorang wanita
Mancu dan sudah kau biarkan dia menjadi tamumu?!
Sebelum Tan-piauwsu sempat menjawab, Lulu sudah melangkah
maju dan menjawab dengan suara Ian tang sambil memandang kepada Kong Seng-cu,
‘Benar sekali! Aku adalah seorang gadis Mancu dan
namaku Lulu, she Sie karena Kakakku ini pun she Sie. Tosu codet, matamu
benar-benar tajam sekali!!
‘Siancai... ! Apa kata pinto? Dalam jarak sepuluh Ii,
pinto sudah dapat mengenal wanita Mancu! Suheng dan Sute biarpun orang she Sie
ini murid Ma-bin Lo-mo, akan tetapi dia mempunyai Adik angkat wanita Mancu!
Terang bahwa dia telah berkhianat, dan mungkin sekali dia sekarang menjadi kaki
.tangan Puteri Mancu itu! Wah, berbahaya kalau begini, sama sekali tidak boleh
membebaskan dia.!
‘Tosu codet, selain matamu awas sekali, juga hatimu
busuk sekali. Tentu karena kebusukan hatimu maka dahimu menjadi codet, sayang
di dahi, semestinya di lidah agar mulutmu tidak dapat menghamburkan ucapan-ucapan
busuk lagi.!
Lulu yang diam-diam marah kini mulai mem-permainkan tosu
itu. Semua orang terkejut sekali, bahkan Sin Kiat menjadi pucat wajahnya..
Gadis yang dicintanya itu benar-benar berani mati, mengeluarkan omongan yang
seperti itu terhadap Kong seng-cu, seorang di antara ketiga murid ketua
Hoa-san-pai yang berilmu tinggi! Pemuda perkasa ini maklum bah-wa ucapan itu
akan rnempunyai akibat yang berbahaya sekali bagi Han Han dan Lulu, maka ia
memandang dengan jantung berdebar dan muka pucat.
Juga para anak buah Pek-eng-piauw-kiok terutama sekali
Tan Bu Kong, menjadi khawatir sekali, apalagi karena Tan-piauwsu maklum bahwa
perbuatannya menerima seorang gadis Mancu sebagai tamu benar-benar akan
menimbulkan salah paham dari para supeknya.
‘Suhu, harap maafkan teecu. Biarpun dia seorang gadis
Mancu, akan tetapi dia lain lagi, sama sekali tidak menganggap kita sebagai
musuh dan dan dia adalah Adik angkat Sie-taihiap ...!
Ucapan ini malah merupakan angin yang membesarkan api
kemarahan di dada tiga orang tosu itu, terutama sekali Kong Seng-cu yang dihina
dan dimaki oleh seorang gadis Mancu.
‘Bocah Mancu, mampuslah!! bentak Kong Seng-cu dan tanpa
bangkit dari tempat duduknya, kakek berdahi codet ini mengirim pukulan jarak
jauh dengan. dorongan tangan kanannya ke arah dada Lulu. Jarak antara mereka
ada empat meter dan kakek ini yang mermandang rendah gadis Mancu itu yang
disangkanya gadis biasa saja, menaksir bahwa pukulannya ini cukup kuat untuk
merusak isi dada gadis yang dianggapnya jahat dan musuh rakyat itu.
Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lulu dan
jelas tampak betapa baju gadis itu di bagian dadanya berkibar disambar angin
pukulan, akan tetapi gadis itu sendiri berdiri sambil tersenyum-senyum manis,
sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia tidak merasakan datangnya angin
pukulan jarak jauh ini seperti sebongkah batu gunung ditiup angin semilir!
Dan memang sesungguhnyalah bahwa Lulu sama sekali tidak
tahu bahwa dia dipukul orang! Akan tetapi mengapa pukulan jarak jauh yang
mengandung tenaga sakti amat kuat dari tokoh Hoa-san-pai itu sarna sekali tidak
terasa olehnya? Apakah Lulu sudah memiliki kesaktian yang luar biasa seperti
Han Han?
Sebetulnya tidaklah demikian. Seperti kita ketahui,
ketika berdiam di Pulau Es, Lulu juga tekun belajar di bawah bimbingan Han Han.
Akan tetapi berbeda dengan Han Han yang memiliki dasar tidak karuan, bahkan
secara paksa menggembleng diri dengan ilmu dari aliran hitam. Lulu sebaliknya
mempelajari kitab-kitab peninggalan manusia sakti pemilik Istana Pulau Es.
Gadis ini berlatih samadhi dan pengumpulan hawa murni
untuk membentuk tenaga sakti menurut petunjuk kitab yang dibacanya di pulau
itu, dan ternyata ia dapat memiliki sinkang yang murni dan bersih yang amat
kuat dan yang kini telah menjadi satu dengan darah daging dan pernapasannya
sehingga tenaga sakti ini akan bergerak dengan sendirinya setiap kali ada
bahaya mengancam tubuhnya. Juga gadis ini melatih ilmu silat tangan kosong dan
ilmu pedang dari dua buah kitab lain yang sudah amat tua dan tidak berjudul
lagi, ilmu silat tangan kosong yang lebih mirip ilmu tari karena
gerakan-gerakannya indah sekali sehingga sering kali jika sedang berlatih, lulu
ditertawai dan digoda Han Han, dikatakan bahwa tarian adiknya amat indah dan
'bahwa' adiknya bukan mempelajari ilmu silat melainkan ilmu tari.
Namun, dengan ‘ilmu tari! ini,.Lulu sudah dapat membuat
beruang es mengaku kalah! Adapun ilmu pedangnya juga amat indah, akan tetapi
karena dipulau itu mereka tidak mempunyai pedang, Lulu selalu berlatih
mempergunakan sebatang ranting. Dengan adanya sinkang yang sudah mendarah
daging itulah maka tadi ketika Kong Seng-cu melancarkan pukulan jarak jauh yang
mengandalkan tenaga sinkang, begitu angin pukulan menyentuh kulit, otomatis
sinkang di tubuh Lulu bergerak dan menolak serangan dari luar itu maka gadis
ini tidak merasakan apa-apa sungguhpun bajunya sampai berkibar dilanda angin
pukulan jarak jauh tokoh Hoa-san-pai itu!
Wan Sin Kiat menjadi pucat mukanya,dan pandang matanya
menjadi kagum dan heran bukan main. Sebagat murid tersayang dari im-yang
Seng-cu seorang tokoh yang biarpun tingkatnya hanya saudara seperguruan tiga
orang tosu ini namun memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi, dan sebagai
seorang yang ahli dalam ilmu silat Hoa-san-pai, Sin Kiat tadi dapat rnelihat
jelas gerakan Kong Seng-cu dan maklum bahwa supeknya itu dengan secara keji
sekali telah melakukan pukulan jarak jauh yang di-sebut jurus Sian-jin-hian-ko
(Dewa Memberi Buah) dan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat. Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya ketika melihat bahwa gadis yang
telah membuat jantungnya jungkir balik dan bertekuk lutut itu sama sekali tidak
rnerasakan pukulan itu, bahkan berkedip pun tidak, malah senyumnya makin lebar
dan makin manis, mata yang lebar itu makin bersinar-sinar!
‘Eh, Tosu Codet. Engkau mengeluarkan ilmu hitam?!
Setelah bajunya berkibar dan dadanya agak berdenyut kulitnya, barulah Lulu
sadar bahwa tosu itu tadi telah memukulnya dengan pengerahan sinkang, maka ia
sengaja mengejek dan diarn-diam gadis ini bersikap waspada dan hati-hati karena
maklum bahwa para tosu Hoa-san-pai itu benar-benar hendak memusuhi dia dan Han
Han.
Sementara itu, ketika melihat betapa pukulan jarak jauh
yang dilontarkan Kong Seng-cu kepada gadis Mancu itu sama. sekali tidak
berhasil, tiga orang tokoh Hoa.-san-pai ini diam-diam terkejut dan
berhati-hati. Mereka maklum bahwa. gadis Mancu yang masih remaja itu telah
memiliki tenaga sinkang yang hebat dan tidak lumrah dimiliki seorang gadis yang
demikian muda.
Tiga orang tosu itu menjadi serba salah. Mau merintahkan
anak murid turun tangan terhadap Han Han dan Lulu, mereka maklum bahwa
murid-murid yang berada di situ agaknya bukanlah lawan pemuda berambut
riap-riapan dan adiknya yang bertenaga sinkang hebat itu. Mau turun tangan
sendiri, mereka masih merasa tidak enak dan malu karena amatlah menurunkan
derajat bagi mereka untuk turun tangan terhadap dua orang yang masih amat muda,
boleh disebut setengah dewasa itu!
Tiba-tiba pandang meta Bhok Seng cu yang memandangi para
anak murid Hoa-san-pai dan anak buah Pek-eng-piauwkiok itu menatap ke Satu
arah. Ketika Lok Seng-cu dan Kong Seng-cu yang ragu-ragu menoleh ke arah suheng
mereka yang tentu saja sebagai, orang tertua di antara mereka merupakan penentu
terakhir, mereka berdua pun mengikuti arah pandang mata suheng mereka itu dan
wajah mereka berseri.
Mengertilah kedua orang tosu ini akan jalan pikiran
suheng mereka dan merekapun setuju sekali. Tanpa mengeluarkan suara,tiga orang
tosu Hoa-san-pai ini telah bersepakat untuk memerintahkan Wan Sin Kiat dan Lu
Soan Li menghadapi Han Han dan Lulu! Mereka itu sama mudanya sehingga tidak
akan menurunkan nama Hoa-san-pai, mereka berdua itu pun murid-murid Hoa-san-pai
yang lihai ilmunya sehingga di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hoa-san
Gi-hiap dan Hoa-san Kiam-li.
Dan yang menggirangkan hati ketiga orang ,tosu ini, dua
orangmuda itu adalah murid-murid Im-yang Seng-cu, seorang tokoh Hoa-san-pai
yang mereka anggap menyeleweng dan murtad sehingga kalau dua orang murid itu
sampai kalah, Hoa-san-pai tidaklah terlalu merasa malu dan memang tiga orang
tosu ini dalam kebenciannya terhadap Im-yang Seng-cu, menjadi tidak suka pula
kepada Sin Kiat dan Soan Li.
Rasa benci terhadap Im-yang Seng-cu bukan semata karena
tokoh Hoa-san-pai ini meninggalkan Hoa-san-pai, melainkan lebih banyak
terdorong rasa iri hati. Im-yang Seng-cu membuat nama besar bukan bersandar
kepada Hoa-san-pai karena ilmu silatnya telah bercampur dengan ilmu-ilmu silat
lain, dan di sam-ping ini, Im-yang Seng-cu tidak lagi hidup terikat dan
terkurung di Hoa-san, melainkan hidup sebagai seorang pendekar dan petualang
yang bebas dan bebas pula menikmati kesenangan duniawi!
‘Murid-murid Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li! Pinto
memerintahkan kalian untuk menangkap musuh Hoa-san-pai dan adiknya, gadis Mancu
itu. Kerjakan perintah pinto sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang baik!! Bhok
Seng-cu berkata dengan nada suara halus dan muka berseri. Dua orang sutenya
mengangguk-angguk dan tersenyum sambil merabaraba jenggot mereka.
Sin Kiat dan Soan Li menjadi terkejut bukan main
mendengar perintah ini. Wajah mereka berubah dan jantung mereka berdebar karena
mereka tersudut kedalam keadaan yang serba salah. Untuk membantah, perintah itu
keluar. Dari mulut supek mereka dan dikeluarkan atas nama Hoa-san-pai.
Untuk mentaati perintah, bagaimana mereka dapat memusuhi
dua orang muda yang menjadi sahabat baik mereka, bahkan dua orang muda yang
masing-masing telah menjatuhkan hati mereka? Mereka tak tahu harus berbuat apa,
merasa mundur salah maju tidak sesuai dengan suara hati mereka. Apalagi ketika
mereka melihat betapa Han Han dan Lulu kini menoleh dan memandang mereka dengan
sikap tenang dan bahkan Lulu tersenyum-senyum me-mandang Sin Kiat karena gadis
nakal ini agaknya merasa geli, sama sekali tidak kasihan melihat pemuda itu
yang ia tahu menjadi bingung. Baru saja menyatakan cinta, kini disuruh
menyerang !
Teringatlah dua orang murid Hoa-san-pai ini akan pesan
suhu mereka, yaitu Im-yang Seng-cu, ‘Kalian memang dapat disebut murid-murid
Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu yang kuberikan kepada kalian sesungguhnya
bukanlah ilmu aseli dari Hoa-san-pai. Karena itu, kalian harus berhati-hati
terhadap Hoa-san-pai. Para tosu Hoa-san-pai, yaitu Suheng-suheng dan
Sute-suteku, adalah tosu-tosu yang kukuh dan terlalu kaku memegang peraturan
sehingga kadang-kadang mereka itu keras sekali. Memang demikian watak
orang-orang yang terikat oleh keadaan pada lahirnya namun sesungguhnya batinnya
belum dapat mereka sesuaikan dengan keadaan lahir. Mereka banyak yang merasa
iri hati melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan tosu yang hidup serba
bebas dan dapat mengecap kenikmatan hidup tanpa pantangan-pantangan. lebih baik
kalau kalian menjauhkan diri dari urusan Hoa-san-pai.
Demikianlah pesan suhu mereka dan kini, di luar kehendak
mereka, mereka dihadapkan dengan urusan yang amat sulit yang menyangkut
Hoa-san-pai.
‘Mengapa kalian tidak lekas turun tangan? Apakah kalian
hendak menentang perintah pinto dan hendak menjadi murid murtad Hoa-san-pai
pula?! kini suara Bhok Seng-cu terdengar keras dan tidak senang, mengandung
tekanan menyindir bahwa guru kedua orang muda itu adalah seorang murid murtad
Hoa-san-pai
Soan Li hanya dapat memandang kepada suhengnya dengan
pandang mata penuh permohonan agar suheng ini dapat mengambil keputusan. Sin
Kiat menghela napas panjang lalu berkata.
‘Supek, mohon maaf, bukan sekali-kali teecu membantah.
Hanya teecu teringat akan pesan Suhu bahwa segala perbuatan teecu berdua harus
didasarkan kebenaran. Teecu menganggap bahwa Saudara Sie Han dan Lulu tidak
bersalah dalam urusan ini, bagaimana mungkin teecu berdua harus memusuhi
mereka?!
‘Wan Sin Kiat! Bocah ini telah membunuh dua orang murid
Hoa-san-pai yang terhitung Suheng-suhengmu sendiri dan kau masih hendak
membelanya? Dan gadis ini, sudah terang dia itu gadis Mancu, seorang musuh
bangsa kita, dan engkau pun hendak membelanya? Pelajaran macam apakah ini yang
diberikan Gurumu kepada kalian?! bentak Kong Seng-cu.
Ucapan keras yang menambah ketegangan itu disusul suara
Lulu yang perlahan akan tetapi karena keadaan yang amat sunyi, terdengar oleh
semua telinga,
‘Koko, Tosu Codet itu galak sekali! Kalau terjadi
pertempuran, kau bikin mukanya bertambah satu codet lagi, baru puas hatiku!!
‘Hush..!!, Lulu, jangan lancang mulut...!! Han Han
menjawab lirih, akan tetapi tentu saja terdengar pula oleh semua orang. Kong
Seng-cu hampir tak dapat menahan kemarahannya dan ia memandang kepada Lulu
dengan mata melotot. Untuk turun tangan sendiri, ia merasa malu hati, tidak
turun tangan, jantungnya serasa ditusuk-tusuk oleh sindiran dan ejekan gadis
Mancu itu.
‘Supek,! jawab Sin Kiat dengan suara tenang, ‘Suhu
mengajarkan agar teecu tidak sembrono dalam sepak terjang teucu, tidak
menurutkan panasnya hati melainkan menggunakan pertimbangan pikiran dan
liangsim (hati nurani). Biarpun Han Han membunuh kedua orang Suheng teecu, akan
tetapi dia membunuh bukan karena kejahatan, melainkan karena tertipu muslihat
Puteri Mancu. Adapun Adik Lulu ini....dia bukanlah musuh.dia tidak memusuhi
kita.
‘Kreeekkkkk!! Lengan kursi yang di.duduki Bhok Seng-cu
hancur berkeping-keping karena dicengkeram tangan tosu lihai ini yang sudah tak
dapat mengendalikan lagi kemarahannya.
‘Murid murtad!! Ia menudingkan telunjuknya kepada Sin
Kiat, kemudian menoleh ke arah Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap, dan murid-murid
Hoa-san-pai pembantu Tan-piauwsu yang lain sambil berseru,
‘Tangkap dua orang murid murtad ini, dan kami akan
turun tangan sendiri menangkap bocah dan gadis Mancu itu!!
‘Serrr..serrrrr..!! Bhok Seng-cu menggerakkan tangan
kanannya, dua sinar hitam menyambar ke arah Han Han dan Lulu. Itulah hancuran
kayu lengan kursi yang dicengkeramnya tadi, kini ditimpukkan dengan pengerahan
sinkang sehingga merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya, menyambar ke
arah dada Han Han dan Lulu yang sejak tadi hanya berdiri dengan sikap tenang di
tengah ruangan itu.
Han Han mengibaskan tangannya sehingga hancuran kayu itu
runtuh ke bawah, sedangkan, Lulu dengan sikap lincah meloncat ke samping,
mengelak sambil tertawa mengejek,
‘Wah, sayang luput Tosu galak!!
Tan-piauwsu dan para sutenya, juga anak buah
Pek-eng-piauwkiok yang sudah menganggap diri mereka sebagai anak buah
Hoa-san-pai, tidak berani membantah perintah itu dan mereka telah mencabut
senjata masing-masing, kini telah mengurung ruangan itu!
Di luar tahunya semua orang, Kwee Twan Giap sute termuda
dari Tan-piauwsu yang amat cerdik, telah memberi tanda dengan jari tangan agar
Sin Kiat dan SoanLi cepat melarikan diri saja sehingga terhindar pertandingan
antara murid Hoa-san-pai sendiri. Melihat ini, Sin Kiat dan Soan Li mencatat
dalam hati mereka akan niat baik Kwee Twan Giap.
Akan tetapi, sebelum dua orang murid Im-yang Seng-cu ini
sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar pekik .melengking keras sekali
yang membuat semua orang tertegun, bahkan banyak diantara mereka meremang bulu
tengkuk-nya mendengar suara ini. Suara ini keluar dari mulut Han Han yang sudah
meloncat ke depan sambil melengking keras, kemudian berkata.
‘Majulah semua! Tosu-tosu picik, hayo majulah kalian.
Kalau kekerasan yang kalian kehendaki, kekerasan yang kalian dapat!!
Lulu juga meloncat ke dekat kakaknya sambil membusungkan
dadanya yang sudah membusung, ‘Jangan mengeroyok Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li,
keroyoklah kami kalau kalian sudah bosan hidup!!
Akan tetapi tiba-tiba Han Han sudah menggerakkan kedua
tangannya, mendorong ke kanan kiri dan terdengarlah suara hiruk-pikuk jatuhnya
beberapa buah senjata pedang dan golok karena pemiliknya rebah terguling
disambar hawa pukulan hebat luar biasa, yaitu yang menyambar keluar dari kedua
telapak tangan Han Han. Amat mengerikan akibatnya karena empat orang itu roboh
dengan lengan kanan sebatas siku gosong seperti dibakar. Masih untung bahwa Han
Han menyerang mereka mengarah lengan, kalau tubuh mereka yang terkena sambaran
hawa pukulan yang merupakan inti dari Hwi-yang Sin-ciang ini, pasti nyawa
mereka telah melayang!
Lulu menjadi gembira, tubuhnya berkelebat ke kiri dan
sebuah tendangan membuat orang anak buah piauwkiok menjerit kesakitan, lengan
tangannya patah tulangnya dan pedangnya mencelat ke atas. Tubuh Lulu meloncat
dengan gerakan indah dan cepat, seperti seekor burung walet terbang dan
tahu-tahu pedang itu telah berada di tangannya, dan la melayang turun, berdiri
tersenyum-senyum menimang-nimang dan memandang pedang, sikapnya seperti seorang
anak kecil mendapatkan sebuah boneka.
‘Pedang yang bagus sekali!'‘ Ia memainkan ronce-ronce
pedang yang berwarna kuning itu dan mengelus-elus mata pedang yang tajam.
Melihat ini, Tan-piauwsu dan para sute serta anak buah mereka mau tak mau lalu
maju menyerbu, bukan menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, melainkan menyerbu Han Han
dan Lulu yang telah bergerak terlebih dulu. Biarpun sampai mati dalam
pertandingan, mereka ini memilih mati di tangan Han Han dan Lulu yang merupakan
orang-orang lain, bahkan boleh juga dianggap musuh karena Han-Han telah
membunuh dua orang murid Hoa-san-pai sedangkan Lulu adalah seorang gadis Mancu.
Kalau mereka menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, berarti
mereka bermusuhan dengan murid-murid Hoa-san-pai sendiri dan kalau tewas
berarti mati konyol!
‘Han Han...Lulu-moi.., kasihanilah mereka yang tak
berdosa, jangan bunuh mereka..!! Sin Kiat berteriak dengan hati sedih dan amat
terkejut menyaksikan sepak terjang Han Han.
Lulu mendengar getaran suara Sin Kiat ini dan ketika ia
mengerling kepada kakaknya, ia melihat bahwa kakaknya telah diserang nafsunya
yang aneh, yang kadang-kadang datang seperti ketika kakaknya ini menyiksa ular
merah di Pulau Es. Ia cepat berbisik.
‘Koko, jangan bunuh orang...!
Pada saat itu, Han Han memang telah kemasukan nafsu iblis
yang selalu menyerangnya apabila ia mengerahkan sinkang di tubuhnya.
latihan-latihan yang ia tempuh selama bertahun-tahun adalah latihan-latihan
ilmu golongan hitam yang selalu menimbulkan nafsu ingin menyiksa dan membunuh.
Begitu menyaksikan sikap tiga orang tosu Hoa-san-pai, kemarahannya bangkit dan
sekali ia mengerahkan sinkang, nafsu membunuh ini telah bangkit di dadanya,
sepasang matanya yang amat tajam itu menjadi agak kemerahan, napasnya agak
terengah dan ia merasa seolah-olah ia bukan bernapas hawa melainkan api. Akan
tetapi aneh sekali, bisikan suara Lulu itu merupakan embun dingin sejuk yang
seketika dapat menekan gairahnya untuk membunuh musuh sebanyaknya, dan ia
mengangguk sambil berkata lirih.
‘Lulu, kau tahan mereka itu, biar aku menghadapi tiga
orang tosu sombong!!
‘Lulu tersenyum, menggerakkan tubuh ke kanan
menghindarkan bacokan seorang anak buah piauwkiok, tangan kirinya menyambar
tengkuk dan orang itu mengeluh dan roboh dengan mata mendelik, pingsan!
Jurus-jurus pukulan Lulu amat aneh, selain karena memang ilmu silat tangan
kosong yang dilatihnya dari kitab kuno di Pulau Es memang aneh, juga di-tambah
dengan gerakan-gerakan yang ia ciptakan di luar kesengajaannya ketika ia
berlatih dengan beruang es yang lihai sekali.
Biasanya, kalau ia memukul tengkuk beruang es dengan
tangan miring, beruang itu kadang-kadang dapat mengelak atau menangkis, dan
kalau terkena juga, beruang es itu hanya akan terhuyung. Siapakira orang ini
sekali kena disambar tengkuknya terus roboh pingsan!
Hebat bukan main sepak terjang Lulu. Dia kini telah
meloncat dekat kakak nya menyerahkan pedang dengan sikap seperti anak kecil dan
berkata,
‘Aku titip dulu,Koko, jangan sampai hilang pedangkul!
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat, berputaran seperti orang menari,
namun cepat bukan main sehingga para anak buah Peng-eng-piauwkiok hanya melihat
bayangan berkelebatan di sekeliling mereka dan mencium keharuman yang keluar
dari rambut dan pakaian Lulu dan pada detik-detik berikutnya, senjata-senjata
di tangan mereka beterbangan dan orangnya pun mengaduh-aduh, ada yang patah
tulang lenganya, ada yang terkilir kakinya kena tendangan, ada yang pening
kepalanya dengan mata berkunang, karena ditempiling, dan ada pula yang mulas
perutnya kena dicium ujung sepatu gadis itu.
Mereka seolah-olah melawan bayangan setan, membacok ,dan
menusuk secara ngawur karena tidak dapat melihat jelas lawannya, dan tahu-tahu
dua puluh orang lebih telah kehilangan senjata dan tubuh mereka
malang-melintang di ruangan itu!
‘Bukan main !! Sin Kiat berseru sambil menahan napas
saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang ahli silat kelas tinggi, memiliki
ginkang yang hebat, akan tetapi menyaksikan gerakan Lulu, ia menjadi bengong
karena gerakan gadis itu seolah-olah terbang saja!
Betapa mungkin dara remaja itu memiliki ginkang setinggi
itu? Siapakah gerangan gurunya? Melihat gerakannya yang jelas membayangkan ilmu
dari golongan bersih, kaum putih, ia tidak percaya kalau Lulu juga murid Ma-bin
Lo-mo. Kalau Han Han memang amat boleh jadi, karena gerakan dan pukulan pemuda
mengerikan sekali, Jelas termasuk Ilmu dari kaum sesat.
Kini hanya tinggal Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap dan dua
orang sutenya yang lain saja diantara para piauwsu yang belum roboh. Mereka
berempat ketika nnenyaksikan betapa semua anak buah piauwkiok roboh oleh gadis
Mancu itu menjadi kaget akan tetapi juga marah. Tanpa dikomando lagi mereka
sudah mencabut senjata dan menerjang maju.Tentu saja sebagai murid-murid
Hoa-san-pai yang sudah bertingkat empat atau lima ilmu silat mereka sudah hebat
dan gerakan mereka ketika menyerang Lulu tak boleh disamakan dengan gerakan
para anak buah Pek-eng-piauwkiok tadi.
‘Pergilah..!! Terdengar bentakan Han Han yang tidak
membiarkan adiknya. dikeroyok murid-murid Hoa-san-pai ini. Dia membentak dan
kedua tangannya mendorong ke kanan kiri..dan empat orang murid Hoa-san-pai itu
terpental sampai empat meter ke belakang, roboh tak dapat bangkit kembali
karena tulang pundak mereka remuk disambar hawa yang keluar dari kedua telapak
tangan Han Han. Untung bagi mereka bahwa Han Han masih ingat akan cegahan
adiknya sehingga ia membatasi dorongannya dan hanya membuat mereka roboh
pingsan dengan tulang remuk saja.
‘Siancai.. pemuda iblis...!!
Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu dengan gerakan tenang namun
sesunggunnya cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, meloncat turun
dari kursi mereka diikuti oleh Kong Seng-cu.
Melihat tiga orang kakek tokoh Hoa-san-pai itu hendak
turun tangan, diam-diam Sin Kiat dan Soan Li menjadi khawatir sekali. Mereka
maklum akan kelihaian tiga orang supek mereka ini dan karena sekali ini yang
turun tangan adalah tokoh tinggi yang berkepandaian hebat, maka akibatnya pun
tentu mengerikan. Mereka masih bingung dan serba salah, tidak tahu harus
berbuat apa. Membantu sana salah membantu sini tak benar. Maka mereka hanya
memandang bengong dan jantung mereka serasa berhenti berdetik.
‘Koko, mana pedangku! serahkan si Codet galak itu
kepadaku!! kata Lulu yang agaknya tidak mengenal bahaya. Pedang itu tadi oleh
Han Han ditancapkan di atas tanah ketika ia membantu Lulu dan merobohkan empat
orang murid Hoa-san-pai. Kini Lulu menyambar pedang itu dan terus dimainkan
sambil mengejek ke arah Kong Seng-cu.
‘Hayo, Tosu Codet, berani kau melawan pedang wasiatku?!
Kong Seng-cu yang sudah sejak tadi diejek dan
dipermainkan Lulu, memuncak kemarahannya. Ia lupa diri, lupa bahwa adalah
pantangan pertama dan terutama bagi seorang ahli tapa seperti dia untuk mudah
dirangsang nafsu amarah. Dengan seruan keras ia telah mencabut pedangnya dan
menerjang Lulu. Sinar pedangnya yang bersinar kehijauan itu bagaikan kilat
menyambar ke arah leher Lulu!
‘Cring..iiihhhhh...! Pedangmu bagus sekali, Tosu Codet!
Wah, kauberikan saja pedangmu itu padaku dan aku serta kakakku akan
mengampunimu. Hayo, serahkan pedangmu sebagai pengganti nyawamu!!
Lulu berteriak kaget dan mandang pedangnya yang tinggal
sepotong. Ketika menangkis tadi, pedang rampasannya bertemu dengan pedang Kong
Seng-cu yang bersinar kehijauan, dan sekali beradu pedang rampasannya buntung.
Maka ia menjadi tertarik sekali dan wajah serta matanya berseri memandang
pedang kehijauan yang dipegang Kong Seng-cu.
Dapat dibayangkan betapa marah dan mendongkol hati Kong
Seng-cu mendengar ucapan gadis itu. Sudah terang bahwa sekali serang saja,
biarpun gadis itu berhasil menangkisnya, namun pedang gadis itu menjadi buntung
sehingga hal ini dapat dipakai ukuran bahwa dia sudah menang dalam satu
gebrakan. Namun gadis itu masih mengeluarkan ucapan untuk menukar pedangnya
dengan nyawa. Seolah-olah gadis itu baru mau mengampuninya kalau dia sudah
memberi ‘thiap! (sogokan) kepada gadis Mancu itu berupa pedangnya!
Padahal pedangnya itu bukanlah sembarang pedang! ltulah
pedang Cheng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau), sebuah pusaka Hoa-san-pai!
Cheng-kong-kiam ini dahulu amat terkenal didunia kang-ouw sebagai senjata ampuh
dari para pimpinan Hoa-san-pai dan kini berada di tangan Kong Seng-cu karena
dia merupakan seorang diantara pemimpin Hoa-san-pai dan di antara ketiga orang
tosu itu, dialah yang paling pandai dalam kiam-sut (ilmu pedang) Hoa-san-pai.
Dan sekarang, pedang itu diminta oleh Lulu sebagai barang ‘sogokan!. Sung-guh
keterlaluan sekali!
‘Perempuan Mancu keparat, engkau tak patut dibiarkan
hidup!! Kong Seng-cu yang sudah memuncak kemarahannya itu kini menerjang maju
dengan ganas, mengeluarkan jurus-jurus maut dari Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut.
‘Ayaaaaa.., Tosu Codet selain galak juga ganas sekali
!! Mulut Lulu berkata demikian, akan tetapi sesungguhnya dia tidak berpura-pura
dan menjadi kaget sekali. Kasihan dara remaja ini. Biarpun dia telah mewarisi
ilmu silat yang amat tinggi dan aneh dari Pulau Es, akan tetapi dia kurang
pengalaman dan selamanya dia hanya berlatih dalam pertandingan pura-pura
melawan beruang es. Kini dia diserang oleh seorang tosu Hoa-san-pai tingkat
empat yang memegang sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai pula, yang sudah menjadi
ahli pedang sebelum dia terlahir.
Tentu saja dia terkejut dan kewalahan. Baiknya, selama di
Pulau Es, gadis ini telah berlatih secara aneh dan hebat sehingga dia memiliki
sinkang dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa sehingga biarpun terdesak
ia, selalu dapat bergerak cepat, menghindar diri dengan meloncat ke sana
kemari, mengelak terus karena tidak berani menangkis dengan pedangnya yang
tinggi sepotong.
‘Sing-sing-sing..siuuuuutttt..aihhh....! Untuk ke
sekian kalinya,. hampir saja ujung pedang bersinar hijau itu mencium kulit leher
Lulu yang putih halus sehingga gadis itu membelalakkan matanya dan untung ia
masih dapat cepat sekali menarik tubuh ke belakang lalu meloncat keatas dan
berjungkir-balik empat meter disebelah belakangnya. Namun Kong Seng-cu yang
sudah marah dan penasaran itu menerjang terus tanpa mengenal kasihan.
Kong Seng-cu tidak malu menyerang dengan pedangnya karena
tadi Lulu juga memegang pedang, bahkan biarpun sekarang pedang gadis itu
tinggal sepotong, namun masih terus dipegangnya sehingga gadis itu dapat dikatakan
‘bersenjata! dan dia tidak akan disebut menyerang seorang yang bertangan
kosong dengan senjatanya. Berbeda dengan Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu. Mereka
berdua setelah menyaksikan betapa Kong Seng-cu sudah turun tangan terhadap
gadis Mancu yang telah merobohkan para anak buah Pek-eng-piauwkiok, lalu
melangkah maju menghampiri Han Han pula. Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini
memiliki kepandaian yang hebat juga, maka mereka pun tidak malu-malu untuk
turun tangan berdua, sungguhpun mereka masih merasa sungkan menggunakan
senjata.
Mereka percaya bahwa andaikata seorang diri masih
diragukan untuk dapat menundukkan pemuda liar itu, berdua tentu akan dapat
menawannya untuk diseret kedepan ketua Hoa-san-pai. Dengan demi-kian, barulah
nama besar dan wibawa Hoa-san-pai tidak akan tercemar karena tewas dan robohnya
beberapa orang anak murid Hoa-san-pai di tangan bocah ini.
‘Pemuda iblis, menyerahlah!! Lok Seng-cu menggerakkan
tangan mencengkeram ke arah pundak Han Han.
Pemuda ini sudah menjadi marah, apalagi melihat betapa
Lulu diserang dengan pedang oleh Kong Seng-cu. Kini menghadapi cengkeraman
tangan Lok Seng-cu, ia sama sekali tidak mengelak, bahkan menggerakkan tangan
pula menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan lengan kiri.
‘Ayaaaaa.....!! Tubuh Lok Seng-cu terpelanting dan
hampir saja tosu ini roboh kalau saja dia tidak cepat meloncat ke atas dan
berjungkir-balik, wajahnya pucat dan lengan kirinya agak membiru. Hawa dingin
seperti es menusuk nusuk lengannya itu. Dia sudah mendengar akan kelihaian
Ma-bin Lo-mo yang kabarnya memiliki ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan
Sakti Inti Es) yang mengandung Im-kang yang amat kuat. Akan tetapi sungguh sama
sekali tidak pernah disangkanya bahwa murid datuk hitam itu rnemiliki sinkang sekuat
ini! Cepat Lok Seng-cu menghimpun tenaga dalamnya dan segera rasa dingin
rne-nusuk-nusuk itu lenyap kernbali.
Melihat sutenya hampir roboh dalam segebrakan, Bhok
Seng-cu terkejut bukan main dan cepat ia pun menubruk maju dari sebelah kanan
pemuda itu dan mengirim dorongan dengan telapak tangan-nya ke arah dada Han
Han. Dorongan ini .bukan sembarang dorongan, melainkan pukulan sakti yang
dilakukan dengan pengerahan sinkang yang kuat sekali.
Han-Han dapat merasai sambaran angin dahsyat yang panas,
maka ia pun segera membuka tangan kanan dan memapaki telapak tangan kakek itu
yang mendorong-nya.
‘Plak..!! Dua telapak tangan yang mengandung hawa
Yang-kang bertemudan melekat! Bhok Seng-cu kembali tertegun dan cepat-cepat
mengerahkan sinkangnya untuk memperkuat Yang-kang yang mendorong keluar dari
telapak tangannya. Pemuda ini menggunakan Yang-.kang yang amat panas! Hal ini
benar-benar mengagetkan Bhok Seng-cu karena hawa panas yang menyambut telapak
tangannya itu hampir tak tertahankan olehnya!
Melihat betapa suhengnya telah turun tangan akan tetapi
belum mampu merobohkan pemuda itu, Lok Seng-cu menjadi penasaran dan ia pun
menerjang maju dan kini ia memukul dengan mengerahkan hawa Im-kang. Sebagai
seorang tokoh tingkat tinggi Hoa-san-pai, tiga orang tosu ini tentu saja telah
kuat sekali sinkangnya sehingga mereka pun menguasai tenaga Yang-kang maupun
Im-kang. Lok Seng-cu yang sudah merasai betapa pemuda itu tadi menerima
cengkeramannya dengan tangkisan yang mengandung hawa sakti dingin, kini
me-nyerang pula dengan Im-kang karena ia maklum pula melihat jurus yang
dipergunakan suhengnya bahwa Bhok Seng-cu menyerang pemuda itu dengan Yang-kang
dan bahwa pemuda itu menyambut dorongan suhengnya dengan hawa sakti panas pula.
Kesempatan bagus pikirnya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika
tangan kiri pemuda itu menerima telapak tangannya dengan sinkang yang berhawa
dingin pula! Betapa mungkin ini? Dengan tangan kanannya pemuda itu melawan hawa
panas Bhok Seng-cu dengan hawa panas pula, dan dengan tangan kirinya menghadapi
Lok Seng-cu dengan sinkang yang berlawanan, yaitu dengan hawa dingin!
Lok Seng-cu juga merasa betapa hawa dingin yang keluar
dari telapak. tangan pemuda itu amat luar biasa dan hampir ia tidak kuat
menahannya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melawan.
Adapun Bhok Seng-cu yang sudah berkeringat dahinya karena hawa panas menjalari
seluruh tubuhnya, juga mengerahkan tenaga dengan mata setengah dipejamkan untuk
melawan sinkang pemuda itu yang benar-benar amat luarbiasa. Tiga orang ini,
dengan telapak tangan beradu, hanya berdiri tak bergerak, telapak tangan mereka
saling melekat.
Melihat ini, Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menjadi bengong
saking heran dan kagumnya. Han Han seorang diri mampu menahan pukulan-pukulan
sakti kedua orang supek mereka! Mereka sudah menduga bahwa Han Han adalah
seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa, akan tetapi sungguh jauh
melampaui batas dugaan mereka bahwa pemuda itu mampu menahan serangan hawa
sakti kedua orang kakek itu, dan bahkan Han Han masih dapat menengok dan
memperhatikan keadaan Lulu yang terdesak hebat oleh pedang Kong Seng cu yang
lihai.
Dua orang muda ini menjadi makin gelisah dan bingung.
Melihat anak buah Pek-eng-piauwkiok terluka semua termasuk Tan-piauwsu dan tiga
orang sutenya sehingga ruangan itu penuh dengan mereka yang rebah dan
merintih-rintih, kini melihat betapa Lulu terancam maut di ujung pedang Kong
Seng-cu, dan melihat Han han juga bergulat dengan maut, mereka menjadi bingung
tak tahu harus berbuat apa.
Betapapun juga, Han Han dan Lulu jelas merupakan musuh
atau lawan pihak Ho-san-pai, sehingga menurut patut, sebagai murid-murid
Hoa-san-pai pula, mereka semestinya membantu para supek mereka. Kalau mereka
yang memiliki ilmu silat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan tiga orang tosu
itu, bahkan dalam hal ilmu silat mungkin mereka lebih lihai, pada saat itu
turun tangan membantu, tentu Han Han dan lulu takkan dapat bertahan lebih lama
lagi. Namun hati mereka tidak mengijin kan mereka turun tangan dan karena
itu,mereka hanya memandang dengan muka pucat. Apalagi Sin Kiat yang jatuh cinta
kepada lulu, menjadi bingung sekali hatinya ingin sekali membantu lulu
membebaskan gadis itu dari desakan berbahaya pedang Kong Seng-cu, namun
bagaimana mungkin ia melawan supeknya sendiri?
Sementara itu, Han Han memandang ke arah adiknya dengan
hati penuh kekhawatiran. Ia maklum bahwa menghadapi ilmu pedang tosu itu,
adiknya takkan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi. Jangankan lulu, dia
sendiri pun kalau harus bertanding mempergunakan atau mengandalkan ilmu silat,
bukanlah tandingan tosu-tosu Hoa-san-pai ini. Han Han maklum bahwa menghadapi
mereka, ia hanya dapat mengandalkan kekuatan sinkangnya, karena dalam hal ilmu
silat, dia tidak lebih pandai daripada Lulu kalau tidak mau dikatakan bahkan
lebih rendah lagi karena Lulu telah mempelajari ilmu silat dari kitab
peninggalan pemilik Pulau Es. Untuk menolong adiknya, ia harus cepat
menundukkan dua orang kakek ini.
‘Aiiiggghhhhh...!!! Seruan dahsyat ini keluar dari dada
Han Han dan kedua orang tosu yang mempertahankan desakan sinkangnya menjadi
kaget seperti disambar petir ketika tiba-tiba mereka merasakan perubahan pada
kedua lengan pemuda itu. Bhok Seng-cu yang tadinya menghadapi hawa Yang-kang
panas dari tangan Han Han, tiba-tiba merasa betapa telapak tangan pemuda itu
berubah menjadi dingin sekali, terlalu dingin sehingga seluruh lengannya
seperti ditusuk-tusuk jarum!
Di lain pihak, Lok Seng-cu yang tadinya menghadapi
Im-kang dingin, tiba-tiba merasa betapa tangan pemuda itu berubah menjadi panas
luar biasa. Cepat kedua orang tosu itu pun mengubah sin-kang mereka untuk
menyesuaikan diri, akan tetapi kembali Han Han menukar sinkangnya secara
tiba-tiba.
Dua orangtosu itu hampir tidak dapat percaya ke pada
perasaan tangannya sendiri. Selama hidup mereka, belum pernah mereka
menyaksikan hal seperti ini. Betapa mungkin mengubah-ubah sinkang secara
mendadak seperti itu? Karena perubahan-perubahan ini, mereka menjadi kacau dan
tak kuat bertahan lagi, sehingga ketika Han Han mengerahkan tenaga mendorong
tubuh mereka mencelat ke belakang dan mereka roboh terbanting dengan napas
megap-megap hampir putus karena dada mereka terluka oleh sinkang mereka
yang.membalik secara tiba-tiba. Cepat mereka bersila dan memejamkan mata untuk
menolong nyawa mereka yang terancam maut.
Han Han sudah meloncat ke dekat adiknya dan sekali kedua
tangannya mendorong ke depan, Kong Seng-cu tak dapat bertahan. Tosu ini merasa
betapa seluruh tubuhnya menjadi dingin, seolah-olah darah di tubuhnya membeku.
Ia menggigil dan tanpa dapat ia cegah lagi, pedang pusaka Cheng-kong-kiam
terlepas dari tangannya yang menjadi kaku. Lulu cepat menyambar pedang itu dan
tertawa tawa girang sekali, tidak mempedulikan lagi Kong Seng-cu yang sudah
cepat duduk bersila, seperti kedua orang saudara seperguruannya, mengerahkan
tenaga sakti untuk menolong nyawanya yang terancam maut.
Suasana menjadi sunyi, yang terdengar hanya rintihan
beberapa orang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang tak dapat menahan nyeri. Namun,
tak seorang pun tewas dalam pertempuran aneh yang hanya memakan waktu sebentar
saja itu. Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li terlampau terheran-heran sehingga mereka
itu masih bengong. Han Han menggandeng tangan Lulu yang masih mengagumi pedang
rampasannya, kemudian Han Han menoleh kepada dua orang murid Im-yang Seng-cu
sambil berkata.
‘Sin Kiat dan Adik Soan Li, selamat tinggal. Kami
berdua harus pergi sekarang juga!
Lulu juga menoleh kepada dua orang muda itu, tersenyum
manis dan mengedipkan matanya yang lebar kepada Sin Kiat sambil berkata,
‘Selamat berpisah dan sampai jumpa lagi, ya?!
Hati Sin Kiat terasa sakit dan ia bersedih harus berpisah
dari gadis yang telah merampas hatinya itu, akan tetapi pada saat seperti itu
dia tidak dapat berkata apa-apa, apalagi menahannya, bahkan ia maklum. bahwa
paling baik kedua orang itu cepat pergi dari tempat itu. Juga Soan Li hanya
dapat memandang punggung Han Han yang bidang sampai bayangan kedua orang itu
lenyap dari situ, keluar dari piauwkiok melalui pintu gerbang yang sudah tidak
terjaga lagi.
Sin Kiat memandang ke arah tiga orang supeknya yang masih
duduk bersila dengan wajah pucat akan tetapi napas mereka tidak begitu sesak
lagi, kemudian memandang kepada para suhengnya yang terluka. Hatinya berduka
sekali. la segera menghampiri Bhok Seng-cu dan berkata dengan suara terharu.
‘Supek, sungguh teecu merasa menyesal sekali telah
terjadi malapetaka ini.!
‘Teecu mohon maaf tidak dapat membantu Supek,! kata
pula Soan Li.
‘Dia terlalu hebat, seperti dewa....andaikata teecu
berdua melawan pun tidak akan ada gunanya...! kata pula Sin Kiat, masih kagum
bukan main menyaksikan sepak terjang Han Han tadi.
Bhok Seng-cu membuka matanya memandang kepada Sin Kiat
dan Soan Li .Dua orang muda ini terkejut dan otomatis melangkah mundur melihat
betapa sinar mata Bhok Seng-cu penuh dengan api kemarahan.
!Manusia-manusia khianat! Murid-murid murtad! Pergilah!
Mulai detik ini kalian bukanlah murid, melainkan musuh Hoa-san-pai!.
‘Pinto bukan Supek kalian, keparat!, pergi !!! bentak
pula Bhok Seng-cu.
Sin Kiat dan Soan Li saling pandang Di mata gadis itu
tampak dua butir air mata yang ditahannya agar tidak runtuh Sin Kiat menghela
napas panjang, bangkit berdiri karena tadi mereka berlutut, lalu berkata lirih
kepada Soan lie.
‘Marilah kita pergi, Sumoi. Kelak Suhu tentu akan dapat
mengerti keadaan kita...! Soan li juga bangkit berdiri dan pergilah kedua orang
muda itu meninggalkan rumah piauwkiok itu pergi dengan hati perih karena
sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang sudah membuat nama besar dan
mengharumkan nama Hoa-san-pai, kini mereka diusir pergi dan tidak diaku sebagai
murid. Padahal julukan mereka pun memakai nama Hoa-san.
Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan atau partai silat
yang bukan saja paling tua. Banyak orang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai
merupakan sumber dari semua partai persilatan yang kemudian timbul, dan sudah
tentu saja ilmu silat yang keluar itu bercampur baur dengan gerakan-gerakan
dari lain golongan dan suku bangsa sehingga ratusan tahun kemudian, ilmu silat
dari partai lain sudah tak dapat dibedakan lagi dengan sumbernya.
Tentu saja amat berbeda dalam lagak ragam dan
kembangannya saja karena kalau dilihat lebih mendalam pada dasarnya memang
tiada perbedaan dalam ilmu silat yang hanya terdiri dari dua pokok, yaitu
menjaga diri serapat mungkin dan menyerang lawan setepat mungkin.Semenjak
pertama kali didirikan oleh tokoh besar dalam dunia persilatan maupun Agama
Buddha, yaitu Tat Mo Couw-su, Siauw-lim-pai selalu berada di bawah bimbingan
para hwesio sehingga di mana-mana didirikan kuil Siauw-lim atau Siauw-lim-si.
Sesuai dengan alam fikiran manusia yang selalu berubah
ubah, di dalam Siauw-lim-pai sering kali terjadi perubahan yang tentu saja
ditentukan oleh pimpinan setempat dan terdorong oleh keadaan pula. Perubahan
peraturan yang kadang-kadang amat menyolok. Pernah terdapat peraturan dalam
kuil Siauw-lim-si yang mengeluarkan pantangan bagi seluruh murid untuk
berdekatan dengan wanita! Bahkan ada larangan keras bagi tamu-tamu wanita yang
datang bersembahyang ke kuil untuk melangkah melewati pintu tengah yang sudah
dijadikan garis demarkasi!
Mungkin peraturan ini dikeiuarkan untuk memperkuat batin
para murid yang sedang digembleng agar jangan sampai ternoda oleh nafsu berahi
karena sesungguhnya, terutama bagi mereka yang sedang melatih sinkang, hubungan
dengan wanita merupakan pantangan dan penghalang besar sekali bagi penghimpunan
tenaga murni.
Akan tetapi, peraturan yang kelihatan seolah-olah ‘anti
wanita! ini pun tidak dapat dipertahankan dan kembali terjadi perubahan di mana
para tokoh Siauw-lim-pai ada yang mulai menerima murid-murid wanita. Hal ini
terutama sekali terjadi atas kesadaran para tokoh Siauw-lim-pai bahwa dalam
keadaan negara kacau, pihak wanitalah yang sering kali mengalami penghinaan dan
kekejian-kekejian karena pihak wanita termasuk golongan lemah. Maka,dalam
keadaan negara kacau dan kejahatan merajalela, perlu sekali wanita diharuskan
menjadi nikouw (pendeta), sekarang murid murid itu, baik pria maupun wanita
tidak diharuskan mencukur rambut menjadi pendeta, akan tetapi tentu saja mereka
ini sekaligus menjadi pula murid murid agama Budha. Hal ini adalah
penyebarluasan agama mereka melalui perguruan silat.
Demikianlah, peraturan bebas kewajiban menjadi pendeta
ini sudah berjalan seratus tahun lebih, jauh sebelum bangsa Mancu menyerbu
pedalaman dan menjajah dengan mendirikan Kerajaan Ceng sehingga di dalam
Siaw-lim-pai terdapat tokoh-tokoh bukan pendeta seperti Kang-lam Sang-eng, dan
bahkan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai sendiri, murid-murid langsung dari ketua
Siauw-lim-pai, yaitu Siauw-lim Chit-kiam, terdiri dari hanya dua orang hwesio
dan lima orang bukan hwesio.
Pada masa itu, anak murid Si-auw-lim-pai tersebar luas di
kalangan rakyat jelata, ada yang menjadi petani,nelayan, piauwsu, kauwsu (guru
silat) dan banyak pula yang menjadi pendekar-pendekar perantau.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah
guru Siauw-lim Chit-kiam berjuluk Ceng San Hwesio. Hwesio ini usianya kurang
lebih delapan puluh tahun, bertubuh tegap agak kurus, berwajah keren dan penuh
wibawa. Seperi halnya Hoa-san-pai dan banyak perkumpulan silat lainnya,
diam-diam Siauw-lim-pai juga menentang bangsa Mancu yang datang menjajah.
Sunguhpun tidak secara terang-terangan, namun banyak para
pendekar Siauw-lim-pai membantu perjuangan para patriot yang berusaha menentang
dan mengusir penjajah yang.makin lama makin kuat itu. Apalagi karena Ceng San
Hwesio sendiri adalah seorang yang anti penjajahan, sehingga sejak penjajahan
Mancu, lenyaplah sebagian besar kesabarannya sebagai seorang hwesio dan
semangat patriotnya timbul, mengeraskan hatinya dan mengeraskan wajahnya. Di
dalam setiap pertemuan dengan murid-muridnya, dia selalu memberi wejangan agar
para anak murid Siauw-lim-pai melakukan segala usaha untuk menentang bangsa
Mancu kalau perlu dengan taruhan nyawa.
Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja Ceng San Hwesio
memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Dia seorang ahli lweekeh yang sudah
matang sehingga benda apa pun juga yang berada di tangannya dapat menjadi
senjata yang ampuh. Akan tetapi Ceng San Hwesio tidak pernah mempergunakan
senjata, tidak mau mempergunakan tongkat hwesio sebagai senjata seperti
kebiasaan para ketua lainnya, melainkan lebih suka mengandalkan tasbih putih
yang terbuat dari pada biji jagung jali yang besar-besar.
Seperti telah disinggung; di bagian de beberapa kali
telah terjadi bentrokan-bentrokan antara anak murid Hoa-san-pai dan
Siauw-lim-pai. Akan tetapi bentrokan-bentrokan ini hanya terjadi karena urusan
pribadi dan berkat kebijaksanaan para pimpinan kedua pihak, bentrokan antara
kedua partai yang sama-sama menjadi pembantu-pembantu para pejuang itu dapat
diredakan, bahkan diantara para pimpinan telah menghukum murid masing-masing
dan saling minta maaf sehingga urusan dianggap telah selesai.
Ceng San Hwesio yang memegang keras peraturan,
berdisiplin terhadap murid-muridnya, selain memberi hukuman kepada murid-murid
yang menimbulkan.bentrokan juga mengeluarkan ancaman bahwa siapa yang membuat
gara-gara keributan dan menimbulkan bentrokan baru dengan pihak Hoa-san-pai,
akan dihukum berat.
Akan tetapi, beberapa hari kemudian ketika hwesio penjaga
pintu membuka pintu gerbang Siauw-lim-si dan siap untuk menyapu pekarangan, dia
melihat tubuh tiga orang menggeletak di depan pintu. Ketika diperiksa, hwesio
ini kaget sekali mendapat kenyataan bahwa mereka adalah murid-murid
Siauw-lim-pai yang membuka toko obat di kota Seng-kwan.
Segera ia berseru minta tolong dan beberapa orang hwesio
mengangkat tiga batang tubuh itu ke dalam. Dua di antaranya sudah tewas,
sedangkan seorang diantara mereka masih hidup akan tetapi sudah empis-empis
napasnya dan keadaannya payah sekali.
Kebetulan sekali pada waktu itu, dua orang di antara
Siauw-lim Chit-kiam berada di kuil itu. Mereka ini adalah Liok Si Bhok dan
Liong Ki Tek orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam. Ketika
mendengar ribut-ribut, dua orang pendekar pedang Siauw-jim yang sedang
menghadap suhu mereka, segera keluar untuk melihat mewakili Ceng San Hwesio.
Mereka berdua kaget sekali dan cepat memeriksa. Tiga orang anak murid
Siauw-lim-pai itu terluka oleh pedang yang menggorok leher mereka. Yang dua
orang hampir putus lehernya dan telah mati, sedangkan yang masih hidup terluka
parah, tak dapat diharapkan lagi dapat tertolong.
Liong Ki Tek yang bersikap tenang, cepat menotok beberapa
jalan darah dipundak clan punggung orang yang terluka hebat itu sehingga rasa
nyeri tidaklah terlalu hebat lagi. Begitu rasa nyeri mereda, orang yang sekarat
itu mengeluarkan suara yang tidak jelas, berbisik dan seperti mengorok tertahan
di kerongkongannya. Akan tetapi Liong Ki Tek dan Liok Si Bhok sudah dapat
mendenga rapa yang dimaksudkan anak murid yang sekarat itu.
‘....Hoa-san-pai...Tee-kong-bio...! Setelah
mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas itu, anak murid Siauw-lim-pai itu pun
menghembuskan napas terakhir menyusul kedua orang saudaranya yang tewas lebih
dulu.
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek lalu menghadap guru mereka
untuk merundingkan peristiwa menyedihkan itu. Ceng San Hwesio yang biasanya
bersikap tenang saat itu menjadi merah mukanya dan jelas sekali bahwa hwesio
tua ini diserang nafsu kemarahan yang besar.
‘Kalian pergilah, carilah mereka di Tee-kong-bio, akan
tetapi jangan bunuh tangkap mereka dan seret ke sini. Pinceng menghendaki agar
dia menjadi tawanan kita sehingga ada pimpinan Hoa-san-pai yang datang untuk
mendengarkan kekejaman-kekejaman anak murid mereka. Sungguh keji sekali !!
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek segera berangkat
meninggalkan kuil Siauw lim-si untuk mencari Tee-kong-bio (Kuil Dewa Bumi) yang
terletak di luar dusun Ciu-si-bun. Kuil ini sebenarnya hanyalah bekas kuil,
karena sudah tidak dipakai lagi tidak dipergunakan sebagai kuil. Letaknya pun
di luar kota, di pinggir jalan sebuah hutan dan karena tidak ada yang
merawatnya, maka menjadi kotor dan rusak. Akan tetapi, perlengkapan kuil itu
masih ada, seperti meja-meja sembahyang yang reyot, arca-arca dan ukiran-ukiran
di dinding yang sudah berlumut.Tidak ada yang berani mengambil benda-benda di
situ atau mengganggunya karena menurut desas-desus di dusun-dusun sekeliling
tempat itu, Tee-kong-bio sekarang dihuni oleh mahluk-mahluk halus atau
iblis-iblis sehingga tempat itu menjadi angker.
Karena keadaan kuil yang dianggap angker inilah maka
ketika Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek keluar dari dusun Ciu-si-bun menuju ke
kuil itu, keadaan disekeliling tempat itu sunyi seperti kuburan. Waktu itu
sudah menjelang senja, dan sungguhpun cuaca belum gelap, namun tidak ada
penduduk dusun yang berani berada di daerah angker ini. Kesunyian itu amat
terasa oleh dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini dan mereka berjalan terus dengan
tenang dan penuh kewaspadaan.
‘Liong-sute, aku masih ragu-ragu akan kebenaran ucapan
murid yang sudah dalam sekarat itu. Mereka adalah pedagang pedagang obat di
kota, bagaimanama mereka bisa menyebut nama Hoa-san-pai di Tee-kong-bio?!
‘Entahlah, Liok-suheng. Aku sendiripun ragu-ragu. Akan
tetapi, agaknya tidak sembarangan dia mengatakan itu tentu ada hubungannya. Aku
yakin terdapat rahasia dalam peristiwa itu dan rahasianya terletak di kuil
depan itu.!
Liok Si Bhok yang sudah berusia enampuluh tahun lebih itu
mengangguk-angguk. Dia merupakan tokoh ke enam dari Siauw-lim Chit-kiam,
seorang yang bertubuh pendek gemuk namun tubuhnya itu dapat bergerak dengan
gesit sekali, wajahnya bundar dan selalu kelihatan serius, namun mulutnya
hampir tersenyum selalu menandakan bahwa dalam keseriusannya itu sebetulnya dia
adalah seorang yang peramah.
Adapun Liong Ki Tek, orang ketujuh atau yang termuda dari
Siauw-lim Chit-kiam, usianya kurang lebih limapuluh lima tahun, berbeda dengan
suheng ke enam itu, tubuhnya tinggi kurus sehingga tinggi suhengnya hanya
sampai dipundaknya. Sikap orang termuda. Dari Tujuh Pedang Siauw-lim-pai ini
amat tenang sehingga kelihatan lamban, akan tetapi biji matanya yang
bergerak-gerak terus itu menandakan bahwa biarpun tenang ia sarna sekali tidak
lamban melainkan terus waspada dan setiap urat syaraf di tubuhnya sudah siap.
Ketika kedua orang tokoh Siauw-lim-paj ini memasuki
pekarangan kuil Tee-kong-bio yang sunyi, tiba-tiba mereka mendengar kepak sayap
burung. Dengan kaget mereka mengangkat muka memandang. Kiranya ada tiga ekor
burung gagak terbang dari atas genteng kuil itu, agaknya terkejut oleh
kedatangan mereka. Melihat ini, kedua orang itu saling pandang dan menjadi agak
kecewa. Terbangnya tiga ekor burung itu dapat diartikan bahwa di kuil itu tidak
ada orangnya tentu burung yang ketakutan melihat mereka datang itu tidak akan
berani tinggal di situ.
Akan tetapi mereka melangkah maju terus, melewati
pekarangan yang lebar dan yang tertutup rumput agak tinggi itu, sampai di anak
tangga yang cukup tinggi, ada dua puluh anak tangga banyaknya sehingga ruangan
depan kuil itu tingginya hampir dua meter dari tanah dipekarangan. Biarpun
mulut kedua orang kakek ini tidak mengeluarkan suara, namun keduanya seperti
te!ah bersepakat dan melangkahlah mereka menaiki anak tangga dengan langkah
ringan dan sikap tenang. Begitu mereka melangkahi anak tangga terakhir dan tiba
di ruangan depan, terdengar suara bercicit keras daan keduanya siap untuk
menghadapi serangan senjata rahasia ketika pandang mata mereka yang tajam dapat
menangkap meluncurnya dua buah Benda hitam dari sebelah dalam kuil.
Akan tetapi sebelum benda itu menyerang mereka, benda
benda itu menyambar ke atas dan mengeluarkan bunyi bercicit, dan ternyata dua
buah benda hitam itu adalah dua ekor kelelawar besar!
Li-ok Si Bhok dan Liong Ki Tek saling pandang, tersenyum
dan menghela napas panjang. Mereka tadi sudah merasa agak tegang, dan kini
ternyata mereka kecelik. Bahkan keluarnya dua ekor kelelawar dari sebelah dalam
kuil ini lebih meyakinkan dugaan mereka bahwa kuil itu kosong karena kalau
memang ada orangnya, tentu dua ekor kelelawar itu sudah sejak tadi terbang
pergi, tidak menanti kedatangan mereka yang mengejutkan binatang itu.
‘Ah.. Chit-te (Adik ke Tujuh), tempat ini tidak ada
orangnya....! kata Liok Si Bhok, kecewa.
‘Sebaiknya kita menyelidiki keadaan di dalam Liok-heng
(Kakak ke Enam),! jawab Liong Ki Tek. Karena hubungan diantara Siauw-lim
Chit-kiam amat erat sehingga mereka itu bukan hanya merupakan kakak beradik
seperguruan melainkan merasa seperti kakak beradik sekandung kadan-kadang mereka
menyebut kakak dan adik. Mereka maju terus akan tetapi karena hati mereka
merasa makin yakin bahwa kuil itu kosong, mereka tidaklah menjadi tegang lagi,
bahkan ada sebagian atapnya yang runtuh. Arca-arca yang tidak terawat di situ
bahkan kelihatan makin menyeramkan. Mereka melangkah maju terus, meneliti
setiap ruangan yang mereka lalui.
Tiba-tiba keduanya menghentikan langkah karena pada saat
yang sama kedua orang gagah perkasa ini mencium bau yang amat harum. Bau minyak
harum yang biasa dipakai wanita! Mereka mengerutkan kening. Seperti para suheng
mereka, baik yang menjadi hwesio seperti Lui Kong Hwesio dan Lui Pek Hwesio
orang ke dua dan ke lima dari Siauw-lim Chit-kiam, kedua orang ini. Pun
merupakan murid-murid angkatan lama sehingga mereka pemah mengalami pelajaran
pantangan mendekati wanita. Bahkan mereka itu, seperti suheng-suheng mereka,
tidak pernah kawin.