Pedang Sinar Emas Jilid 38

Jilid XXXVIII

SEKIRANYA yang menyerbu hanya dua orang muda itu, belum tentu kalau Sing tung Lo kai akan menemui kematiannya. Akan tetapi, nasib dan nyawa manusia memang sudah berada dalam kekuasaan Yang Maha Kuasa. Kebetulan sekali di malam hari bukan hanya Kong Hwat dan Kui Lian yang menyerbu rumah Sing tung Lo kai!

Sebelum Kong Hwat dan Kui Lian yang menyerbu lewat tengah malam tiba di situ, telah datang lain orang, seorang laki laki tinggi besar yang usianya tigapuluhan, melompat lompat ke atas genteng dan setibanya di atas rumah itu lalu melayang turun dengan teriakan nyaring,

“Sing tung Lo kai, serahkan kitab dan pedang pusaka warisan Tat Mo Couwsu kepadaku!”

Memang boleh dipuji keberanian orang kasar ini karena tidak seperti penjahat biasa, ia langsung menuju ke ruangan tengah dan berteriak teriak dengan cara laki laki menantang!

Sin tung Lo kai sebentar saja keluar dengan tongkat merahnya. Kakek ini melarang kawan kawannya ikut menghadapi tamunya, melainkan menyuruh mereka menjaga di luar, karena ia khawatir kalau kalau orang ini mempunyai kawan kawan Thio Houw terkejut mendengar ucapan itu, sama sekali tak pernah disangkanya bahwa rahasianya diketahui orang. Biarpun ia menutup rahasia itu, akan tetapi oleh karena ia melatih cucunya di rumah sendiri, mau tak mau rahasia itu bocor juga dan diketahui oleh beberapa orang anggota Ang sin tung Kai pang. Sudah menjadi penyakit umum bahwa orang sukar sekali menyimpan rahasia sehingga tanpa disengaja seorang di antaranya membocorkan rahasia itu sampai terdengar oleh seorang gagah di dunia kang ouw. Orang ini adalah Lee It Kong yang berjuluk Thiat pi (Lengan Besi) Lee It Kong ini seorang berusia tigapuluh tahun yang tinggi besar, berwatak jujur dan kasar, terkenal sebagai perampok tunggal dan maling budiman. Disebut maling budiman oleh karena melakukan perampokan dan pencurian hanya terhadap pembesar pembesar korup dan hartawan hartawan pelit. kemudian hasil daripada rampokan dan pencuriannya selalu ia bagi bagikan kepada orang orang melarat, sedangkan dia sendiri tak pernah memakai pakaian indah maupun hidup beroyal royalan. Hidupnya sederhana, bahkan tidak karuan tempat tinggalnya, setengah gelandangan. Akan tetapi kepandaiannya tinggi, karena Lee It Kong ini adalah seorang anak murid Siauw lim pai yang telah menamatkan pelajarannya masih belum puas lalu belajar lagi ke Kun lun pai. Bahkan ia masih memperdalam ilmunya dengan mempelajari segala macam ilmu silat yang dianggapnya tinggi.

Thiat pi Lee It Kong ini tadinya ikut pula mencoba untuk memperebutkan patung emas di Kim hud tah, akan tetapi kalah dulu oleh nenek Soat Li Suthai yang memang memiliki kepandaian lebih tinggi. Kemudian, karena hubungannya memang luas dan orang orang kang ouw amat suka kepadanya, tanpa disengaja ia mendengar bahwa isi patung telah berada d tangan Sin tung Lo kai. Serta merta ia berangkat ke Leng ting dan menyerbu rumah kakek ketua pengemis itu.

Sin tung Lo kai mengenal Thiat pi Lee It Kong, maka wajahnya menjadi merah karena marah.

“Orang she Lee, kau benar benar tidak tahu malu. Malam malam datang ke sini apakah yang hendak menjadi maling di rumah orang segolongan?” Bentak Sin tung Lo kai, pura pura tidak mendengar tentang disebutnya kitab dan pedang.

Lee It Kong tertawa bergelak. “Ha, ha, ha, Sin tung Lo kai, seperti kau tidak tahu saja aku ini maling macam apa. Di rumahmu seperti ini, apanyakah yang bisa dicuri? Aku datang untuk minta kau sedikit mengalah. Setelah berada di tanganmu setahun lebih kiranya sudah patut kalau aku mendapat giliran untuk membuka mata dan menambah pengetahuan.”

“Apa yang kaumaksudkan, Thiat pi?” tanya Thio Houw, masih pura pura.

“Apalagi kalau bukan rahasia peninggalan Tat Mo Couwsu itu. Tentang pedang, biarlah melihat mukamu yang sudah tua, aku mengalah. Akan tetapi kitab itu harus kauberikan kepadaku!”

“Mengapa harus?”

“Karena akupun membutuhkannya.”

“Thiat pi Lee It Kong. Kau tahu bahwa untuk mendapatkan benda pusaka membutuhkan kepandaian. Kau memiliki kepandaian apakah maka berani kau menghendaki kitab pusaka?”

Lee It Kong orangnya kasar dan jujur, akan tetapi agak bodoh sehingga tidak dapat menangkap arti kata kata yang sesungguhnya menantang ini. Ia membusungkan dadanya dan berkata,

“Aku? aku adalah murid Siauw lim pai, aku dapat memainkan delapanbelas macam senjata ringan dan berat. Kedua lenganku sekeras besi dan aku sanggup mengalahkan lawan yang bagaimana tangguhpun.”

“Hemm, ketahuilah bahwa untuk mendapatkan barang pusaka dari tangan orang lain kau harus dapat mengalahkan dulu orang itu.”

Tiba tiba Lee It Kong tertawa bergelak. “Begitukah? Baik, kau siaplah dan rasai kekerasan tangan Thiat pi Lee taihiap!”

Setelah berkata demikian, ia lalu melakukan serangan dengan kedua tangannya yang bertenaga besar. Sin tung Lo kai mengeluarkan suara menyindir, lalu mengelak dan membalas menerjang dengan hebatnya.

Pertempuran seru terjadi di ruangan tengah yang lapang itu, di bawah penerangan lampu yang cukup terang. Kurang lebih tigapuluh jurus mereka bertempur, terdengar suara ramai ramai dan beradunya senjata di ruangan depan. Sin tung Lo kai menjadi terkejut dan tahu bahwa di luar datang musuh musuh lain menyerbu dan disambut oleh kawan kawannya yang pada waktu itu hanya ada lima orang. Akan tetapi lima orang itu kepandaiannya cukup tinggi maka Sin tung Lo kai agak merasa lega.

Ia merasa gemas juga mengapa si kasar ini ternyata tangguh juga dan ulet sekali. Sudah dua kali tongkat merahnya mengenai pundak dan pinggang, akan tetapi oleh karena Sin tung Lo kai tidak ingin mencelakai, maka kakek ini tidak menggunakan semua tenagannya. Celakanya, tubuh Si Lengan Besi itu ternyata kuat sekali sehingga pukulan pukulan yang dilakukan dengan sebagian tenaga itu seperti tidak dirasainya.

Teriakan teriakan di luar menyatakan bahwa kawan kawannya terluka maka sambil memutar tongkatnya, Sin tung Lo kai mengeluarkan serangan dahsyat Thian pi Lee It Kong mana dapat menahannya? Ia menjerit keras karena terdorong keras dan tubuhnya terlempar ke belakang menabrak dinding dan ia roboh dengan kepala pening. Kebetulan sekali pada saat itu Li Hwa berlari lari keluar dengan pedang Giok po kiam di tangan. Lee It Kong yang masih agak pening, melihat pedang pendek yang mengeluarkan cahaya luar biasa itu, cepat mengulur tangan hendak merampasnya. Akan tetapi Li Hwa yang kaget mendengar adanya musuh musuh datang menyerbu dan melihat kong kongnya baru saja mengalahkan seorang musuh, kini melihat orang tinggi besar yang terlempar tadi mengulur tangan seperti hendak menyerangnya cepat menggerakkan pedangnya. Gerakannya luar biasa lihainya, cepat dan menyamping tidak terduga sama sekali. Gadis ini otomatis mempergunakan jurus ilmu Silat Im yang cin keng dan.... di lain saat lengan tangan Lee It kong terbabat putus sebatas sikunya!

Terdengar pekik dan jerit berbareng. Thiat pi Lee it Keng Si Lengan Besi yang kini menjadi Si Lengan Buntung memekik kesakitan dan menjadi jerih. Sambil menggigit bibir menahan sakit ia masih melompat dan berlari cepat meninggalkan rumah itu. Adapun jerit tadi keluar dari bibir Li Hwa. Gadis cilik ini merasa ngeri juga setelah melihat betapa pedangnya telah membabat putus lengan orang dan sekarang lengan yang berbulu itu masih menggeletak penuh darah di depan kakinya!

“Li Hwa, minggir....! Simpan pedang itu....!” seru Sin tung Lo kai Thio Houw, akan tetapi ia tidak sempat lagi karena tiba tiba dua orang muda menyerangnya dengan pedang. Melihat bahwa mereka itu bukan lain adalah Kong Hwat dan Kui Lian yang siang tadi sudah ia usir, kemarahan Sin tung Lo kai memuncak. Apalagi melihat Kui Lian yang telah menewaskan kawan nya.

“Bagus, kau mengantarkan nyawa sendiri! Tak usah aku susah payah mencarimu!” seru Sin tung Lo kai sambil memutar tongkatnya melakukan serangan serangan yang dahsyat sekali kepada Kui Lian. Karena kakek ini tidak mau memandang wajahnya, sukarlah bagi Kui Lian untuk mempengaruhi dengan ilmu sihirnya, apalagi memang Sin tung Lo kai seorang kakek yang banyak ilmunya. Batinnya sudah kuat dan tidak mudah dipengaruhi ilmu pengasihan, nafsunya terhadap wanita sudah beku.

Melihat kekasihnya didesak hebat, Kong Hwat cepat membantu kekasihnya dan tak lama kemudian Sin tung Lo kai sudah dikeroyok dua. Lima orang pembantu kakek itu ternyata sudah menggeletak tewas oleh dua orang muda ini, roboh seorang demi seorang oleh pedang mereka dibantu hoatsut dari Kui Lian.

Tusukan pedang Kong Hwat yang dilakukan cepat sekali dan samping mengarah lambung Thio Houw membuat kakek ini terpaksa menarik kembali serangannya yang sudah mendesak Kui Lian. Dengan tubuh dimiringkan dan tongkat diputar ia menangkis tusukan Kong Hwat, membuat pedang pemuda itu menyeleweng saking kerasnya tangkisan tongkat merahnya.

Akan tetapi pada saat itu Kui Lian sudah melakukan serangan balasan dengan gerak tipu Giok li touw so (Sang Dewi Menenun) pedangnya seperti jarum jarum keluar masuk kain melakukan serangan gencar kepada kakek itu. Thio Houw cepat membalikkan tongkatnya, memutar tongkatnya merupakan segundukan sinar merah yang “membungkus” pedang Kui Lian, kemudian tangan kirinya dengan gerakan mencengkeram melakukan serangan ke arah kepala Kui Lian dengan ganasnya. Jangan dipandang ringan serangan kuku jari tangan kiri yang dipentang ini, karena dengan mudah jari jari tangan ini dapat menghancurkan tembok, apalagi kepala seorang wanita muda yang halus seperti Kui Lian!

“Ayaaaa....!” Kui Lian berseru kaget dan cepat melompat mundur sambil menarik pedangnya. Sin tung Lo kai tentu akan mendesak terus kalau saja di saat itu pedang Kong Hwat tidak sudah datang menyerangnya pula dari belakang. Pemuda itu kini menyerangnya dengan sebuah gerak tipu dari Ilmu Pedang Kim kong Kiam sut yang biarpun belum sempurna dipelajarinya, namun sudah hebat sekali bagi lawan. Menghadapi serangan yang demikian hebat, terpaksa Sin tung Lo kai meninggalkan Kui Lian untuk menghadapi Kong Hwat. Demikianlah, biarpun kakek ini berusaha mendesak dan merobohkan Kui Lian. namun ia selalu dihalangi oleh Kong Hwat.

“Bangsat curang jangan main keroyokan!” tiba tiba terdengar bentakan nyaring dari Li Hwa, bocah cilik yang usianya baru delapan tahun itu, melompat maju menyerang Kong Hwat dengan pedangnya! Li Hwa tadinya merasa heran dan bingung sekali mendengar tentang keadaan pemuda yang tadinya dicalonkan sebagai jodohnya. Sekarang melihat pemuda itu datang lagi mengeroyok kong kongnya, timbul rasa bencinya, maka tanpa dapat menahan marahnya, bocah cilik yang tabah ini menyerang Kong Hwat. Kong Hwat tersenyum mengejek dan cepat ia menggerakkan pedangnya, membabat pedang di tangan bocah perempuan itu sekuat tenaga.

“Traaanggg !”

“Celaka!” Kong Hwat berteriak kaget karena pedangnya, Kim kong kiam palsu telah patah menjadi dua oleh Giok po kiam.

Kong Hwat cepat menubruk dan hendak merampas pedang dari tangan Li Hwa. Akan tetapi ia meleset kalau mengira bahwa ia akan dapat merampas pedang dengan mudah. Li Hwa amat cepat dan ringan sekali gerakannya, dan pedangnya digerakkan secara istimewa menyerang Kong Hwat! Namun tentu saja ia yang baru belajar ilmu silat tinggi selama setahun lebih, bukan tandingan Kong Hwat yang cepat merangsek dan mendesaknya.

Dilain pihak, Kui Lian menjadi kewalahan sekali menghadapi Sin tung Lo kai yang terus mengamuk dan mendesaknya dengan tongkat merahnya, 

“Sin lung Lo kai, tak tahu malu kau melawan orang muda?” Tiba tiba terdengar suara mengejek disusul suara ketawa menyeramkan seperti burung hantu.

“Suhu, tolong teecu....!” Cia Kui Lian berseru girang mendengar suara ini. Ia sudah terdesak betul betul dan berada dalam keadaan berbahaya. Menghadapi seorang
tokoh persilatan tua yang sudah banyak sekali
pengalamannya ini, hoat sutnya tak dapat
dipergunakannya.
“Sin tung Lo kai, kau tidak lekas lempar tongkatmu mau tunggu kapan lagi?” tiba tiba Koai Thian Cu membentak nyaring, suaranya penuh pengaruh. Biarpun Sin tung Lo kai sudah menahan dengan tenaga lweekangnya dan mengumpulkan semangat, tetap saja tangannya yang memegang tongkat gemetar dan seperti lumpuh. Namun ia berhasil menahan sehingga tongkatnya itu sudah terlepas dari genggaman tangan.

Akan tetapi oleh karena serangan hoatsut dari Koai Thian Cu ini amat hebat dan membutuhkan semua perhatian untuk menghadapi, Sin tung Lo kai menjadi lalai dan lupa akan adanya Kui Lian yang takkan segan segan melakukan segala macam kecurangan. Sesaat kakek pengemis itu berdiri membelakanginya menghadapi Koai Thian Cu, siap melawan mati matian apabila kakek tukang gwamia yang lihai itu menyerang, tiba tiba Kui Lian mengebutkan saputangan merah dengan tangan kiri ke arah mukanya Sin tung Lo kai yang merasa ada hawa menyambar, cepat mengelak, namun hidungnya telah mencium bau yang memabokkan, dan selagi ia terhuyung huyung dengan pikiran kacau. Kebutan di tangan Kui Lian sudah menyambar dan menotok jalan darah kematian di belakang kepalanya. Kakek yang gagah perkasa itu roboh dalam keadaan tak bernyawa pula. Sementara itu, Kong Hwat juga sudah berhasil menangkap kedua lengan Li Hwa yang meronta ronta dengan marah. Gadis cilik ini sama sekali tidak takut dan ia tidak mau melepaskan pedang pusakanya biarpun lengan kanannya dicengkeram oleh Kong Hwat.

“Lepaskan pedangmu!” berkali kali Kong Hwat berkata.

“Tidak sudi!” jawab Li Hwa yang tetap meronta ronta dan menendang nendang dengan kedua kakinya.

Kemudian melihat kakeknya tewas, kemarahan Li Hwa meluap. Ia menangis sambil meronta ronta, bahkan menggunakan gigi untuk menggigit tangan Kong Hwat yang memegangi tangannya, sambil menyumpah

nyumpah.

“Siluman betina, aku bunuh kau....! Aku bunuh kau!

Kong kong !” Li Hwa berteriak teriak.

“Kau harus dipukul! Pergilah menyusul kong kongmu!” kata Kong Hwat marah. Ia melepaskan pegangan tangan kanan untuk diangkat dan memukul kepala bocah itu.

Akan tetapi tiba tiba kepalan tangannya terasa sakit dan ia sampai terhuyung huyung. Koai Thian Cu telah menangkis kepalan itu dan mendorongnya. Di lain saat tubuh Li Hwa sudah di kempit oleh Koai Thian Cu. Sepasang matanya merah dan mengerikan memandang kepada Kong Hwat sehingga pemuda ini menjadi kaget dan ketakutan, Koai Thian Cu kini mengalihkan pandangan matanya kepada Kui Lian. Suaranya parau dan penuh penyesalan ketika ia berkata,

“Kui Lian, tak kusangka kau berubah menjadi siluman ganas. Kau membunuh Sin tung Lo kai secara curang dan memalukan sekali! Hayo kau ceritakan tentang pembunuhan atas diri putera dan mantu Thian te Kiam ong! Ada sangkut paut apakah dengan kau pembunuhan keji itu?”

Muka Kui Lian menjadi pucat dan Kong Hwat merasa tubuhnya menggetar ketakutan. Akan tetapi Kui Lian dapat menetapkan hatinya. Sambil tersenyum manis sekali kepada suhunya, ia menjawab,

“Suhu, teecu tidak mengerti maksud pertanyaanmu. Apa sih hubunganku dengan kematian putera dan mantu Thian te Kiam ong? Teecu tidak tahu ”

Koai Thian cu nampak marah “Kau tidak tahu menahu? Betulkah? Kui Lian, kau berani membohong gurumu? Berlutut kau !!”

Seruan ini demikian nyaring berpengaruh sehingga bukan saja Kui Lian, bahkan Kong Hwat juga sampai lemas kakinya dan tanpa disadarinya iapun menjatuhkan diri berlutut! Kui Lian sudah mewarisi ilmu hoatsut dan karenanya ia lebih dapat bertahan terhadap daya perintah suara gurunya. Iapun tahu bahwa kalau suhunya menggunakan ilmunya memaksa, ia tak dapat tidak akan mengaku. Oleh karena itu ia lalu mendahului memberi pengakuan dengan suara lantang,

“Suhu, ketika suhu menyuruh mencari Kim kong kiam, teecu bertemu dengan koko Liem Kong Hwat ini. Apa dayaku, suhu, teecu jatuh cinta dan akhirnya mengikat perjodohan selama hidup dengan koko Kong Hwat. Kerena cintaku kepadanya, maka teecu membantunya membalas dendam atas diri Song Tek Hong dan isterinya. Jadi bukan semata mata teecu membunuh mereka, akan tetapi ini adalah urusan antara koko Kong Hwat dengan paman dan bibinya. Bukan urusan kita, suhu!”

“Hemm, pandai kau bicara. Memang bukan urusanku, akan tetapi mempunyai seorang murid yang begini jahat seperti engkau, kau benar benar mengotorkan namaku. Kau telah berbuat jina, kau merampok, membunuh dan melakukan hal hal tak tahu malu dengan pemuda keparat ini. Harus ku taruh di mana mukaku?”

“Suhu, apa salahnya orang bercinta? Apakah suhu hendak memaksa teecu selalu melayani cinta suhu seperti dulu? Apakah suhu menghendaki teecu kembli kedalam gua gua yang gelap bersama suhu? Suhu, setiap orang mempunyai kelemahannya terhadap cinta kasih!”

Wajah Koai Thian Cu sebentar pucat sebentar merah. Diingatkan akan hal yang amat memalukan ini, ia seperti menerima pukulan yang luar biasa hebatnya sehingga ia tak dapat menjawab! Terbayang di depan matanya betapa dahulu, ketika Kui Lan masih menjadi muridnya di dalam gua gua yang sunyi, perempuan muda itu untuk dapat memaksanya menurunkan ilmu ilmu hoatsut yang tinggi, tidak ragu ragu menggoda batin kakek itu secara tidak tahu malu. Karena bathin Koai Thian Cu memang tidak begitu kuat, akhirnya kakek ini jatuh dan merendahkan martabatnya dengan perbuatan jina. Sekarang Kui Lian mempergunakan kesempatan ini untuk memukul gurunya sendiri!

Diingatkan akan perbuatannya yang tidak patut itu, Koai Thian Cu tidak kuasa menatap wajah Kui Lian lama lama dan ia tidak ingin wanita itu akan bicara lebih banyak lagi sehingga terdengar orang lain. Sambil mengeluarkan suara seperti orang mengeluh panjang penuh penyesalan, Koai Thian Cu menggerakkan kedua kakinya dan di lain saat ia telah lenyap membawa tubuh Li Hwa bersamanya.

Ku Lian mengeluarkan suara seperti setan tertawa, kemudian setelah meggeledah dan mendapatkan kenyataan bahwa di situ tidak ada Bi Hui dan bahwa yang tinggal didalam rumah hanya kakek pengemis itu bersama Li Hwa dan kawan kawannya, Kong Hwat dan Kui Lian lalu pergi meninggikan tempat itu cepat cepat.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Leng Li dan suaminya ketika mereka mendapat berita dari para anggauta Ang sin tung Kai pang tentang malapetaka yang menimpa keluarganya di Leng ting. Cepat mereka berdua pulang ke Leng ting dan dengan penuh duka mereka mengurus pemakaman jenazah Sin tung Lo kai dan kawan kawannya. Yang amat mendukakan dan menggoyahkan hati Kwan Lee dan Thio Leng Li adalah hilangnya Li Hwa tanpa bekas. Tak seorangpun tahu siapa yang menculik anak itu, juga tak seorangpun tahu siapa yang membunuh Sin tung Lo kai dan kawan kawannya tidak ada saksi hidup lainnya kecuati Li Hwa yang lenyap. Bukti yang terdapat hanyalah sebuah lengan tangan yang menyeramkan. Leng Li tidak membuang potongan lengan ini, melainkan memberinya obat supaya lengan itu tinggal utuh dan kering. Perlu ia menyimpan lengan itu untuk dipergunakan dalam penyelidikannya, karena sudah gagah ini akan menuntut balas dan mencari jejak anaknya yang hilang.

Di antara para anggauta Ang sin tung Kai pang yang banyak jumlahnya, ada yang melihat Kong Hwat dan Kui Lian pada hari pembunuhan itu di kota Leng ting. Mereka melaporkan hal ini kepada Leng Li yang menjadi terkejut dan bingung sekali. Tak mungkin mereka itu ada hubungannya dengan pembunuhan ini, pikirnya. Lagi pula, tak salah lagi, pembunuhnya tentu orang yang tatah kehilangan lengan, agaknya biarpun pembunuh itu berhasil membunuh Sin tung Lo kai dan kawan kawannya, namun ia harus mengorbankan lengan tangannya. Maka Leng Li lalu menyebar anak buahnya untuk menyelidiki seorang kang ouw yang lengan kanannya buntung! Ia sendn lalu pergi ke Liok can untuk berunding dengan Song Siauw Yang tentang Liem Kong Hwat.

“Enci Siauw Yang, harap kau jangan salah mengerti dan menaruh dugaan yang bukan bukan terhadap diriku,” kata Leng Li. “Akan tetapi, sesungguhnya ada hal yang aneh dengan putera mu Liem Kong Hwat itu. Ketika Song taihiap dan istrinya terbunuh, bocah bernama Beng Han itu menuduh bahwa pembunuhnya adalah Liem Kong Hwat dan seorang wanita muda. Sekarang ketika terjadi peristiwa pembunuhan ayahku juga orang orang melihat puteramu bersama seorang wanita muda yang aneh berada di kota Teng ing. Bukan sekali kali aku menuduh yang tidak ada buktinya, akan tetapi kuharap demi kebaikan puteramu sendiri, kau seharusnya melakukan penyelidikan.”

Siauw Yang mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya itu. Hatinya sudah lama kesal melihat kelakuan Kong Hwat. Sebagai seorang wanita ia dapat menduga bahwa tentu ada apa apa yang tidak bersih antara pureranya dan Cia Kui Lian murid Koai Thian Cu itu. Ia hanya mengangguk angguk dan berkata,

“Kami sendiri tidak tahu Kong Hwat berada di mana, akan tetapi ucapanmu itu menang baik sekali, adik Leng Li. Kalau orang lain yang bicara agaknya aku akan tersinggung. Akan tetapi kau bicara sebagai seorang anggauta keluarga, maka terima kasih atas pemberitahuanmu. Aku memang sudah mengambil keputusan untuk sekali kali merantau di dunia kang ouw untuk mencari Kong Hwat.”

“Sukurlah cici. Tentang mencari puteramu aku berjanji akan mengerahkan anak buahku membantumu.”

Demikianlah, dua pasang orang tua yang berprihatin ini lalu merantau untuk mencari anak masing masing. Biarpun Ang sin tung Kai pang merupakan perkumpulan besar yang banyak anggotanya, namun sia sia saja mereka mencari jejak Li Hwa. Hal ini tidak mengherankan, oleh karena mencari jejak Li Hwa berarti mencari jejak Koai Thian Cu, padahal jejak kakek aneh dan sakti ini mana dapat diikuti orang? Koai Thian Cu membawa pergi Li Hwa karena selain untuk menolong nya, juga ia merasa berdosa kepada Sin tung Lo kai dan ingin menebus dosanya dengan menurunkan kepandaiannya kepada Li Hwa. Juga ia melihat pedang di tangan Li Hwa dan gerakan gerakan anak ini mencurigakan. Akhirnya dengan girang ia lalu bahwa murid barunya inilah yang berhasil mewarisi kitab dan pedang peninggalan Tat Mo Couwsu!

Dipinggir kota Kwan leng si sebelah baru terdapat sebuah rumah besar yang megah dan mewah. Melihat betapa setiap hari di pintu gerbang pekarangan depan gedung ini selalu terjaga kuat oleh sedikitnya enam orang yang membawa senjata tajam, orang tentu akan mengira bahwa gedung itu milik seorang pembesar atau bangsawan tinggi. Sebetul nya bukan demikian, karena rumah ini hanya milik seorang hartawan she Bhok yang terkenal di kota Kwan leng si sebagai Bhok wangee (hartawan Bhok) yang dermawan dan kaya raya, memiliki sebagan besar sawah yang terbentang di sekitar pinggir kota. Akan tetapi bagi para perjaga dan tamu tamu yang banyak pergi datang di rumah itu, dia terkenal sebagai Sin siang to Bhok Coan (Sepasang Golok Sakti), seorang bekas kepala perampok besar yang amat terkenal di dunia pok lim!

Bhok Coan ini semenjak mudanya menjadi perampok dan menjagoi dunia penjahat dengan sepasang goloknya. Diapun amat terkenal di dunia kang ouw, terkenal diantara orang orang gagah oleh karena Bhok Coan biarpun seorang perampok, namun amat menghargai persahabatan dengan orang orang gagah. Setelah berhasil dengan “pekerjaannya” itu, dalam usia lamapuluh tahun mulailah Bhok Coan “cuci tangan” dan hidup sebagai seorang hartawan di pinggir kota Kwan leng si itu. Sampai sepuluh tahun ia hidup dalam keadaan aman dan tenteram bersama keluarganya dan terkenal sebagai seorang hartawan yang dermawan. Hanya orang orang dari kalangan liok lim dan kang ouw saja yang suka datang mengunjunginya tahu bahwa hartawan alim ini sebetulnya adalah bekas perampok yang dahulu ditakuti semua orang!

Berbeda dengan biasanya, pada hari itu rumah gedung Bhok wangwe dihias dengan kertas kertas berwarna dan di pekarangan depan dipasangi tarup. Orang orang kota Kwan leng si dan penduduk dusun di sekelilingnya sudah mendengar akan diadakannya pesta di rumah hartawan ini, pesta untuk merayakan she jit (ulang tahun) hartawan itu yang sudah berusia enampuluh tahun tepat.

Sudah lajim apabila seorang tokoh dunia liok lim atau kang ouw mengadakan pesta, yang datang tentu orang orang dan rimba persilatan, baik diundang maupun tidak asal sudah kenal nama pasti memerlukan dalang memberi selamat. Akan tetapi ada keistimewaannya dengan orang she Bhok ini Di depan gedungnya dipasangi tulisan yang berbunyi : 

Setiap orang gagah di dunia diharapkan kehadirannya untuk bergembira dan bantu menghabiskan harta keluarga BHOK yang disediakan untuk pesta ini

Tidak saja di depan gedungnya sendiri, juga di lain lain kota, di rumah tokoh tokoh kang ouw terkemuka yang menjadi sahabat baiknya, Bhok Coan memasang pengumuman seperti ini dengan mencatat hari dan tanggal pesta she jitnya dirayakan! Tentu saja tulisan yang amat kasar namun ramah dan jujur ini menarik perhatian semua orang gagah, biar pun yang belum kenal kepada Bhok Coan, menjadi berani untuk melangkah kaki menyimpang dari tujuan perjalanan untuk ikut hadir dalam pesta orang she Bhok yang aneh itu.

Pada hari yang ditentukan, banyak sekali tamu datang berbondong bondong mengunjungi gedung ini. Tamu tamu terdiri dan bermacam macam orang yang aneh aneh baik bentuk tubuh maupun pakaian mereka. Tentu saja pesta ini amat menarik perhatian penduduk setempat sehingga mereka semenjak pagi sekali sudah memenuhi jalan di luar pekarangan keluarga Bhok, berdesak desakan nenonton para tamu.

Bhok Coan sendiri menyambut kedatangan para tamu. Biarpun usianya sudah enampuluh tahun, Sin siang to Bhok Coan masih kelihatan gagah. Tubuhnya gemuk pendek, dadanya bidang dan membusung ke depan. Di pinggang kirinya tergantung sepasang goloknya yang sudah menjadi kawan setianya semenjak ia berumur dua puluh tahun dan terjun di dunia kang ouw, golok sepasang yang membantunya sehingga namanya menjadi tenar.

Ketika melihat datangnya ketua ketua partai besar seperti Thian Beng Hwesio dari Go bi pai, Thian Cin cu Tosu dari Kun lun pai, Pak Kong Hosiang dan Siauw lim pai, Tiauw Beng Cinjin dan Kim lian pai, dan beberapa tokoh besar dari pelbagai partai terkemuka, diam diam Bhok Coan menjadi berdebar hatinya. Tak disangkanya bahwa ulang tahunnya akan mendapat kunjungan tokoh tokoh besar ini. Akan tetapi tentu saja ini merupakan kehormatan besar sekali baginya dan cepat cepat ia menyambut para “locianpwe” ini dengan segala kehormatan dan menempatkan mereka diruangan terhormat, yaitu di ruangan tengah yang terlihat oleh para tamu yang berada di ruangan lainnya.

Di anara para tamu, banyak juga terlihat tokoh tokoh wanita di dunia kang ouw, bahkan banyak yang tidak dikenal oleh Bhok Coan. Akan tetapi karena percaya bahwa mereka ini tentu orang orang gagah yang memiliki kepandaian, semua diterima oleh tuan rumah dengan ramah tamah. Di antara para wanita ini terdapat seorang wanita muda yang cantik jelita dan amat gagah sikapnya. Ia memberi hormat kepada Bhok Coan dengan kata kata singkat,

“Aku Song Bi Hui, mewakili suhu Bu eng Lo kai dan suthai Soat Li Suthai menghaturkan selamat kepada Bhok Lo enghiong dan mendoakan panjang usia.”

Nama Song Bi Hui tidak dikenal oleh Sin siang to Bhok Coan, akan tetapi demi mendengar nama Bu eng Lo kai dan Soat Li Suthai, ia cepat cepat memberi hormat kepada nona jelita itu sambil berkata,

“Terima kasih, terima kasih.... selamat datang dan silahkan lihiap duduk!” Ia sendiri mengantar tamu ini ke ruangan tengah, tempat terhormat. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Bu eng Lo kai dan Soat Li Suthai yang amat terkenal? Sudah tentu ia harus menempatkan murid dua orang sakti itu di tempat terhormat, kalau tidak ia khawatir akan merendahkan dua orang terkenal itu dan membuat mereka tak enak hati. Semua tokoh di ruangan terhormat itu melirik penuh perhatian ketika nona cantik itu memasuki ruangan diantar oleh tuan runah sendiri. Melihat semua locianpwe yang berada di situ memandang dengan perasaan heran, Sin siang to Bhok Coan menjadi tidak enak sendiri dan sambil menjura dan menggangguk ke kanan kiri ia berkata, “Kiranya dua orang lo cianpwe bernama Bu eng Lo kai dan Soat Li Suthai berhalangan hadir dan mewakilkannya kepada murid mereka, Song lihiap ini.”

Semua orang baru mengerti bahwa nona yang baru masuk ini adalah murid Bu eng Lo kai dan Soat Li Suthai, maka mereka tidak lagi terheran heran, hanya memandang ringan karena biarpun dua orang tokoh besar itu lihai sekali, namun nona ini hanyalah murid saja.

Adapun Bhok Coan yang makin lama merasa makin tak enak hati melihat hadirnya banyak tokoh besar yang sama sekali tidak diduga duganya, lalu mendekati seorang kawan baiknya, yaitu Thio Kun seorang yang terkenal banyak hubungannya dan selalu tahu akan peristiwa peristiwa penting di dunia kang ouw. Ia menyatakan keheranannya tentang kehadiran tokoh tokoh besar ini. Thio Kun menariknya ke samping lalu berkata perlahan,

“Mungkin ada hubungannya dengan muncul nya partai baru yang menyebut diri Thian hwa kauw (Agama Bunga Surga). Kabarnya para locianpwe hendak melakukan pertemuan dan agaknya di sinilah tempatnya,” kata Thio Kun.

Bhok Coan sudah mendengar tentang munculnya perkumpulan agama sesat itu. Memang banyak sekali pihak Mo kauw (agama sesat) yang mendirikan perkumpulan bermacam macam dan yang selalu bertentangan dengan cabang cabang persilatan yang sudah ada, akan tetapi kabarnya Thian hwa kauw ini merupakan perkumpulan agama yang lain daripada yang lain. Kabarnya banyak sekali orang gagah yang menceburkan diri dan mau menjadi anggauta perkumpulan ini, bahkan banyak anak murid partai partai besar meninggalkan perguruan dan menggabungkan diri dengan Thian hwa kauw ini. Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan kiranya sekarang para locianpwe itu hendak merundingkan soal ini di tempatnya, sekalian menghadiri perayaan she jit nya! Diam diam di samping kebanggaan mendapat kehormatan besar ini, juga Sin siang to Bhok Coan merasa gentar. Siapa tahu, kalau kalau akan terjadi sesuatu yang hebat di sini!

Akan tetapi, dalam kegembiraannya Bhok Coan tidak memikirkan pula akan hal itu. Ia menerima ucapan ucapan selamat dan banyak pula menerima sumbangan sumbangan dan tanda mata tanda mata dari para kawannya. Pesta berjalan gembira seakan akan takkan pernah terjadi sesuatu.

Song Bi Hui duduk di antara para locianpwe, kakek kakek dan dan nenek nenek yang sikapnya garang. Namun Bi Hui bersikap tenang saja, sepasang matanya menatap wajah setiap orang penuh perhatian, akan tetapi mulutnya diam saja tak pernah mengeluarkan suara.

Gadis ini banyak sekali berubah kalau di bandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu. Dahulu ia terkenal sebagai seorang gadis yang lincah gembira dan cantik jelita. Sekarang dia masih cantik, biarpun usianya sudah duapuluh delapan tahun lebih, bahkan kecantikannya lebih matang dan lenyap sifat kekanak kanakannya yang dahulu. Wajahnya masih nampak segar dan penuh kelembutan, akan tetapi sinar mata dan tekukan mulutnya membayangkan kegagahan dan kekerasan karena penderitaan. Memang, gadis ini banyak mengalami derita batin semenjak kedua orang tuanya terbunuh. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Bi Hui bertemu dengan dua orang sakti, yaitu Bu eng Lo kai pengemis kudisan dan Soat Li Suthai nenek bongkok. Dua orang ini kepandaiannya tinggi sekali. Lebih tinggi daripada ilmu kepandaian kedua orang tua Bi Hui. Oleh karena itu, menjadi murid mereka berarti kemajuan yang hebat juga untuk Bi Hui. Dari Bu eng Lo kai ia mendapat warisan ilmu ginkang dan silat tangan kosong sedangkan dari Soat Li Suthai ia menerima pelajaran ilmu pedang yang diciptakan dari tongkat nenek yang lihai itu.

Setelah menamatkan pelajarannya, kedua orang gurunya memberi ijin kepada Bi Hui untuk mulai merantau seorang diri dengan tujuan hanya satu, yaitu menyelidik tentang kematian ayah bundanya dan mencari serta membalas pembunuh orang orang tuanya.

“Bi Hui, kau pergilah ke kota Kwan leng si. Di sana Sin siang to Bhok Coan sedang mengadakan pesta she jit nya. Kabarnya tokoh tokoh kang ouw juga hendak mengadakan pertemuan di sana untuk membicarakan tentang munculnya Thian hwa kauw yang menghebohkan itu. Kau wakililah kami untuk datang ke sana. Selain kau akan bertemu dengan orang orang kang ouw, siapa tahu akan dapat mencari keterangan tenang pembunuh pembunuh orang tuamu, juga kau harus mewakili kami mendengar apa yang mereka lakukan terhadap agama baru itu. Sebagai murid kami kaupun harus memperlihatkan kesanggupanmu membantu usaha mereka, asal saja usaha itu menurut pendapatmu baik. Terserah kepadamu untuk mempertimbangkannya. Kami sudah terlalu tua untuk segala urusan macam itu. Nah, kau berangkatlah.”

Maka pergilah Bi Hui, langsung ke Kwan leng si. Ia tidak memperdulikan pandang mata para tamu laki laki, terutama yang muda muda, pandang mata yang mengandung kekaguman dan agak kurang ajar. Diam diam ia mencari cari dan mengharapkan untuk dapat bertemu dengan tiga orang, yaitu Liem Kong Hwat atau Cia Kui Lian atau Sin tung Lo kai Thio Houw. Dari tiga orang ini kiranya ia akan dapat mulai penyelidikannya tentang pembunuhan orang tuanya. Akan tetapi ia tidak melihat seorangpun di antara mereka, maka ia menjadi kecewa dan membuka telinga mendengarkan percakapan para locianpwe yang duduk di dalam ruangan itu.

Tiba tiba seorang kakek tua menepuk meja keras keras sehingga cawan cawan arak berkerontangan.

“Sayang seribu sayang....!” katanya sambil menarik napas panjang. “Kalau Sin tung Lo kai Thio Lo enghiong dapat hadir di sini, alangkah senangnya mengadu kekuatan minum arak dengan dia!”

Seorang kakek lain yang berpakaian seperti tosu di sebelah kiri kakek tadi juga menarik napas.

“Jaman sekarang ini para penjahat tidak seperti dulu. Sekarang banyak oang tak tahu malu, banyak tikus tikus curang dan pengecut. Sin tung Lo kai yang gagah perkasa itu terpaksa tewas dalam keadaan penasaran, tak tahu siapa yang telah membunuhnya.”

Mendengar ini, Bi Hui mengeluh di dalam hatinya. Jadi Sin tung Lo kai juga mengalmi nasib seperti ayah bundanya?

“Pembunuhan pembunuhan keji dan penuh rahasia yang seperti terjadi pada Sin tung Lo kai itu juga terjadi pada diri ketua Leng san pai di timur dan ketua Hek mau pang di pantai Huang ho. Hemm, ini bersamaan benar dengan anehnya kemunculan perkumpulan Thian hwa kauw!” kata Thian Beng Hwesio tokoh Go bi san yang mengebut ngebut kepalanya dengan kipas. Mendengar disebutnya perkumpulan Thian hwa kauw ini, tidak hanya Bi Hui, juga yang lain lain segera menaruh perhatian besar. Tokoh Go bi pai itu melanjutkan kata katanya ketika melihat semua mata memandang ke arahnya.

“Bukan rahasia lagi bahwa munculnya Thian hauw kauw amat mencurigakan dan tak perlu di tutup tutupi lagi bahwa banyak anak murid partai partai besar telah murtad dan memasuki agama sesat itu.”

“Ha, Thian Beng Losuhu lupa menyebutkan bahwa ada tiga orang murid Go bi pai, dua laki laki dan seorang gadis, semua masih amat muda muda, juga menjadi murtad dan ikut ikutan memasuki perkumpulan itu,” berkata seorang kakek dengan tiba tiba sambil mengerling ke arah hwesio yang mengebutkan kipasnya itu.

Thian Beng Hwesio melirik ke arah kakek itu dan mukanya berubah.

“Kirarya Thian Cin Ciu Tosu juga sudah tahu akan hal itu. Hemm, memang memalukan sekali akan tetapi pinceng juga mendengar tentang murid murid Kun lun pai ”

“Memang, memang....” Thian Cin Cu kakek tokoh Kun lun pai mengangguk anggukkan kepala dengan cepat. “Tak perlu pinto menyangkal pula. Bahkan ada lima orarg pemuda anak murid kami yang lenyap dan kabarnya memasuki perkumpulan jahat itu. Benar benar memalukan nama baik kita…”

“Thian hwa kauw harus dibasmi dari muka bumi. Hanya tidak tahu di mana pusatnya, mohon cuwi beri tahu agar pinceng bisa pergi ke sana menangkap kepalanya,” kata Pak Kong Hosiang hwesio tokoh Siauw lim pai dengan suara besar. Tiba tiba seorang pelayan memasuki ruangan itu dan menyerahkan kartu nama kepada Sin siang to Bhok Coan yang berseru gembira ketika membaca nama itu,

“Thiat pi Lee It Kong taihiap datang, lohu harus menyambutnya sendiri!” Cepat ia bangkit dari tempat duduknya dan keluar untuk menyambut tamu baru itu. Tak lama kemudian tuan rumah datang lagi mengiringkan seorang laki laki gagah, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya tampan dan membayangkan perasaan kejujuran, lengannya buntung sebatas siku sehingga lengan bajunya tampak kosong dan tergantung tak berdaya di dekat pinggangnya. Di sebelah kiri laki laki buntung gagah yang bernama Thiat pi Lee It Kong ini, berjalan dua orang kakek terbongkok bongkok dibantu oleh tongkat mereka yang butut. Dua orang kakek ini tidak menarik perhatian orang, mereka ini kelihatan seperti pelayan atau anak buah orang gagah she Lee itu. Padahal mereka itu bukan lain adalah guru dan paman guru orang she Lee itu.

Ketika Thiat pi Lee It Kong dan dua orang kakek itu diantar oleh tuan rumah lewat di dekat ruangan para tamu di bagian kiri, yaitu bagian tamu tamu “biasa” dan bukan tempat terhormat, tiba tiba terdengar seruan tertahan. Karena para tamu sedang bicara gembira, tak seorangpun memperhatikan seruan ini.

Baru saja Thiat pi Lee It Kong dan dua orang kakek itu dipersilahkan duduk di ruangan terhormat, seorang wanita setengah tua yang masih nampak cantik dan keren, memasuki ruangan itu, membawa sebuah bungkusan yang panjangnya ada dua kaki. Wanita ini langsung menghampiri Sin siang to Bhok Coan, lalu memberi hormat dan menyerahkan bungkusan itu kepada tuan rumah sambil berkata, “Bhok lo enghiong, sudilah memberikan bingkisan ini untuk salah seorang tamu yang terhormat!”

Bhok Coan menatap wanita itu. Wanita yang usianya paling banyak limapuluhan tahun, namun potongan muka yang cantik masih membayang jelas. Wanita ini tidak membawa senjata tajam seperti orang orang kang ouw oleh karena tadi ia menempatkan wanita itu di ruangan biasa dan mengira bahwa dia hanya seorang kang ouw biasa saja. Biarpun tidak senang melihat gangguan ini, namun sebagai tuan rumah yang tidak mengenal siapa adanya wanita ini, Bhok Coan menjawab sambil tertawa memperlihatkan keramahan tuan rumah,

“Toanio, bingkisan ini harus disampaikan kepada siapakah? Aku tidak melihat ada tulisan alamatnya di luar bungkusan,”

“Kau bukalah saja, lo enghiong. Nanti kau akan tahu sendiri,” jawab wanita itu, tegas dan sikapnya keren.

Melihat peristiwa ini, semua orang di dalam ruangan terhormat itu menaruh perhatian. Hanya satu orang saja di ruangan itu yang kaget sekali melihat wanita setengah tua itu dan dia ini adalah Song Bi Hui. Akan tetapi, diapun heran dan ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Adapun Sin siang to Bhok Coan sambil tersenyum senyum lalu membuka bungkusan itu mulutnya berkata perlahan,

“Kau aneh sekali, toanio   ”

Akan tetapi, tak dapat di lukiskan betapa terkejutnya ketika bungkusan itu telah di bukanya. Sin siang to Bhok Cian adalah seorang kang ouw yang kawakan, bekas perampok besar yang tidak segan segan melakukan pembunuhan dan sudah sering kali menghadapi hal tebat. Namun, begitu bungkusan itu ia buka, serta merta matanya terbelalak, ia mengeluarkan seruan kaget dan isi bungkusan itu jatuh ke bawah, terlepas dari pegangannya, isi bungkusan itu sebuah lengan tangan lengkap dengan lima buah jari tangannya, jatuh berdebuk di atas lantai di tengah ruangan, mengerikan.

“Toanio, mengapa kau main main?” tegurnya gelisah, tahu bahwa ini adalah tanda yang tidak baik, tanda datangnya kekacauan dalam pesta she jit nya. “Apa kau sengaja hendak mengacaukan pestaku?”

Wanita itu memandang tajam, sikapnya galak. “Bhok enghong, siapa main main denganmu? Bingkisan ini memang diperuntukkan seorang tamumu. Suruh dia datang menerimanya!”

Kini Bhok Coan dan semua orang menoleh ke arah Thait pi Le It Kong. Orang gagah yang buntung lengannya ini satu satunya orang yang kiranya ada hubungan dengan persoalan ini. Akan tetapi Sin siang to Bhok Coan tentu saja tidak mau menghina tamunya dan dengan marah ia kembali berpaling kepada wanita itu dan berkata keras,

“Toanio, sebagai tamu tentu saja kau mendapat penghormatanku. Akan tetapi perbuatan toanio ini benar benar keterlaluan sekali. Harap toanio tidak menghina orang dan mencari gara gara. Ambillah kembali benda menjijikkan ini dan bawalah.”

“Orang she Bhok! Aku hanya minta kau mempersilahkan orang yang berhak menerima bingkisan ini, mengapa kau banyak cerewet? Biarpun hal ini terjadi di rumahmu, akan tetapi sesungguhnya tiada sangkut pautnya denganmu. Mengapa kau seperti hendak melindungi orang itu?” 

“Siapakah dia? Bagaimana aku bisa mengerti siapa orangnya yang wajib menerima benda mengerikan ini?” kata Bhok Coan membela diri.

Wanita itu menggerakkan bibirnya mengarah senyum penuh ejekan dan matanya menyapu ke arah para tamu untuk kemudian berhenti pada wajah Thiat pi Lee It Kong.

“Apa sih sukarnya untuk mengetahui orang nya. Anak kecilpun dapat melihat siapa yang kehilangan lengan di dalam ruangan ini.”

Kini semua mata memandang kembali ke arah Lee It Kong dan semua orang menahan napas, merasa tegang. Tak salah lagi, pikir mereka. Tentu Lee It Kong ada hubungannya dengan peristiwa ini.

Thiat pi Lee It Kong berubah air mukanya ketika tadi ia melihat lengan itu menggelinding ke luar dari bungkusan dan kini menggeletak di atas lantai. Ia masih mengenal lengannya sendiri biarpun lengan itu kulitnya sudah berkerut kerut, sedikitnya ia mengenal bentuk jari jari tangannya Kini melihat semua mata memandang ke arahnya, ia lalu membusungkan dada membesarkan hati, melangkah maju dan menjura kepada wanita itu sambil berkata kepada Sin siang to Bhok Coan,

“Bhok lo enghiong, karena di dalam mangan ini hanya siauwte seorang yang buntung lengannya, tentulah toanio ini ingin berurusan dengan siauwte. Biarkan siauwte membereskan urusan ini.”

Bhok Coan terpaksa mengundurkan diri dan seperti tamu tamunya, iapun kini memandang ke arah dua orang yang telah berhadapan itu. Wanita itu kini memandang kepada Lee It Kong, matanya tajam menyelidik. Adapun Lee lt Kong membungkuk dan berkata, “Toanio memang benar lenganku yang kiri telah buntung, akan tetapi belum tentu kalau lengan yang kau bawa ini adalah benar lenganku. Bagaimana kau bisa memastikan bahwa itu adalah lenganku dan kau sengaja datang ke sini untuk mengacaukan dan menghina tuan rumah?”

Tiba tiba wanita itu melangkah maju, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan kata katanya keras dan nyaring sekali, “Thiat pi Lee It Kong, tidak percuma aku melakukan penyelidikan sampai hampir sepuluh tahun lamanya. Kalau kau benar laki laki, coba katakan di mana kau kehilangan lenganmu?”

Merah muka Thiat pi Lee It Kong dan ia menjawab gagap, “Di.... di. ..” tiba tiba ia menjadi marah karena ia merasa malu sekali kalau harus membuka rahasia mengapa dan bagaimana ia kehilngan lengannya “Hm, kau ini siapakah berani kurang ajar di hadapanku? Di mana aku kehilangan lenganku, sama sekali bukan urusanmu!”

Wanita itu tertawa mengejek “Orang she Lee, potongan lenganmu berada di dalam tanganku. Bagaimana kau ada muka untuk bilang bahwa aku tidak ada urusan dengan hal itu? Kalau kau benar benar jantan dan tahu malu, coba jawab, bukankah kau kehilangan lenganmu itu di Leng ting?”

Thiat pi Lee It Kong adalah seorang laki laki yang mengutamakan kegagahan dan berwatak kasar jujur. Kini kehormatannya dalam ujian. Memang ia merasa malu kalau diketahui orang bagaimana ia kehilangan lengan, akan tetapi ia akan merasa lebih malu lagi kalau tak dapat menjawab pertanyaan wanita ini, apalagi untuk membohong, ia tidak sudi. Sambil membusungkan dada dengan suara keras menjawab, “Betul, aku kehilangan lengan di Leng ting, kau mau apa?”

“Di Leng ting dalam rumah Sin tung Lo kai?” wanita itu mendesak dengan mata berapi.

Wajah Lee It Kong makin merah, rahasia itu agaknya takkan dapat ditutup tutupi lagi. Ia mengangguk, “Betul.”

“Bagus, keparat jahanam. Terimalah pembalasanku!”

Wanita itu tiba tiba mencabut sesuatu dan tahu tahu sebatang tongkat merah pendek telah berada di tangannya. Dengan tongkat ini ia melakuan serangan dahsyat ke arah tenggorokan dan ulu hati Lee It Kong. Sekali serang, ujung tongkat itu telah menotok dua bagian jalan darah yang akan mengantar nyawa orang pulang ke asal kalau mengenai tepat. Lee It Kong mengeluarkan seruan kaget dan cepat menggunakan gerak loncat Koai liong hoan sin (Naga Siluman Berjungkir Balik) untuk menghindarkan diri dari dua totokan tongkat itu. Akan tetapi baru saja tubuh nya yang berjutmpalitan itu turun ke atas lantai, ujung tongkat lawannya kembali telah mengejar dan mengurungnya dengan totokan totokan berbahaya!

“Nanti dulu! Bukan sikap orang gagah menyerang orang tanpa alasan kuat. Aku mau bicara dulu!” teriak Lee It Kong sambil mengelak ke kanan kiri dengan sibuk dan terdesak hebat. Wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan benar benar menahan tongkatnya sehingga Lee It Kong dapat bernapas lega karena untuk sementara terlepas dari ancaman maut.

“Jahanam she Lee, kau masih mau bicara apalagi?” “Kau ini perempuan liar siapakah? Selama hidupku

belum pernah aku berjumpa denganmu, mengapa kau datang datang menyerangku kalang kabut? Coba kaukatakan, apa dosaku?”

Wanita itu tersenyum, masih manis senyumnya namun di balik kemanisan itu tersembunyi ancaman maut yang mengerikan, sambil menudingkan ujung tongkat merahnya ke arah dada Lee It Kong, ia berkata,

“Orang she Lee, kau sudah melakukan dosa besar di Ang sin tung Kai pang, masih tidak mengenal tongkat ini? Aku adalah Thio Leng Li, puteri dan Sin tung Lo kai! Hemm, kau masih ingin mengetahui dosa dosamu? Baiklah, sebelum mampus kau dengarkan lagi dosa dosamu agar di saksikan oleh para enghiong d sini dan agar kau jangan mampus penasaran! Kau telah menyerbu Ang sin tung Kai pang telah membunuh ayahku Sin tung Lo kai dan menculik puteriku, Kwan Li Hwa! Sekarang aku hendak menawanmu, menyiksamu sampai kau mengaku di mana kau sembunyikan anakku kemudian kau akan ku bunuh, kubelek dadamu kucabut jantungmu untuk dipakai bersembahyang di depan makam ayah!”

Tidak hanya Lee It Kong yang mengeluarkan keringat dingin, juga banyak orang menjadi pucat mendengar kata kata yang amat menyeramkan ini. Lee It Kong membanting banting kakinya di lantai sambil berkata,

“Celaka.... celaka....! Lee It Kong, kau memang bernasib sial sekali.” Dia memukuli kepala nya sendiri. “Ingin merebut kitab dan pedang, akibatnya lengan buntung dan masih didakwa menjadi pembunuh dan penculik. Celaka, Thio toanio aku bersumpah bahwa aku tidak membunuh ayah mu dan tidak menculik anakmu.”

“Pengecut rendah! Bukti utama adalah lenganmu yang buntung dan tertinggal di rumah kami masih hendak menyangkal? Benar tak tahu malu!” Sambil berkata 

demikian Thio Leng Li, wanita itu, kembali menggerakkan tongkat merahnya dan menyerang Lee It Kong dengan dahsyat.

“Bukan aku.... aku tidak berdosa....” seru Lee It Kong sambil melompat ke belakang. Namun Leng Li tidak memperdulikan kata katanya lagi, tongkat merahnya mendesak terus dengan gerak gerak tipu paling lihai dari ilmu tongkat warisan Sin tung Kai pang. Sebelum Lee It Kong sempat membalas, tiba tiba ujung tongkat merah telah menotok jalan darah tai twi hiat dan seketika itu juga tubuh yang tinggi besar dari Lee It Kong menjadi tegang dan kaku seperti sebuah patung kayu! Thio Leng Li mengangkat tongkatnya, memukul ke arah pundak lawannya dengan maksud membikin hancur tulang pundak agar selanjutnya orang she Lee itu tidak akan dapat melawan lagi.

Tiba tiba berkelebat bayangan hitam.

“Plak!!” Tongkat merah bertemu dengan tongkat bambu yang menangkis. Thio Leng Li merasa tangannya sakit dan cepat melompat mundur. Di depannya telah berdiri seorang kakek bongkok yang dandanannya sederhana saja. Dia adalah seorang di antara dua kakek yang tadi datang bersama Lee It Kong. Dengan tenang kakek ini menggerakkan tongkatnya menotok punggung Lee It Kong yang segera roboh akan tetapi terbebas dan totokan Leng Li. Dia segera berlutut di depan kakek itu dan berkata,

“Harap suhu lindungi teecu.”

“Hemm, Lee It Kong. Aku tahu bahwa Sin tung Lo kai adalah seorang gagah dan bahwa perkumpulannya Ang sin tung Kai pang adalah perkumpulan terhormat. Tentu anak perempuannya juga bukan orang sembarangan dan dapat dipercaya. Hayo kau ceriterakan dengan sejujurnya, bagaimana kau kehilangan lengan di rumah Sin tung Lo 

kai? Awas, kalau kau membohong, aku sendiri yang akan menghancurkan tulang dipundakmu kemudian menyerahkan kau kepada Thio Lihiap!”

“Ampun, suhu. Sesungguhnya teecu tidak membohong kepada Thio toanio dan teecu tidak sekali sekali merusak nama baik suhu….”

“Cukup! Aku tidak perduli tentang nama. Selamanya aku tak pernah menonjolkan nama. Hayo cerita yang jelas!” bentak kakek itu.

“Kurang lebih sepuluh tahun, teecu mendengar sepintas lalu dari percakapan dua orang anggauta Ang sin tung Kai pang bahwa di rumah Sin tung Lo kai tersimpan kitab dan pedang peninggalan Tat Mo Couwsu, yaitu Im yang cin keng dan Giok po kiam. Karena sudah lama teecu mendengar akan kehebatan dua benda ini dan akan membuat pemiliknya menjadi gagah tak terlawan, teecu memberanikan hati mendatangi Sin tung Lo kai dan minta dua benda itu. Akan tetapi dalam pertempuran dengan Sin tung Lo kai, teecu telah dikalahkan.”

“Jadi kau tidak membunuh Sin tung Lo kai?” tanya gurunya.

“Mana teecu bisa? Dalam pertempuran beberapa belas jurus saja teecu sudah dirobohkan. Bagaimana teecu bisa membunuhnya? Juga, kedatangan teecu itu bukan bermaksud membunuh, melainkan menguji kepandaian sekalian minta pedang dan kitab.”

Kakek itu memutar tubuh menghadapi Thio Leng Li. “Thio toanio, kiranya omongan muridku ini boleh

dipercaya Aku sendiri tidak percaya dia mampu membunuh ayahmu.” Memang tadinya Leng Li juga ragu ragu, masa orang yang dalam beberapa gebrakan saja sudah dapat ia totok ini dapat membunuh ayahnya. Akan tetapi siapa tahu kalau kalau Lee It Kong datang dengan bantuan orang orang pandai. Maka ia masih belum mau mengalah, lalu bertanya kepada Lee It Kong.

“Kalau kau tidak membunuh ayahku, kau apakan anakku Li Hwa? Mengapa ia hilang terculik?”

Jawaban Lee It Kong benar benar mengagetkan dan di luar dugaan orang. “Kau mau tahu tentang anakmu itu? Bukankah dia seorang anak perempuan tujuh delapan tahun, membawa sebatang pedang pendek bertabur kemala?”

“Betul.... betul dia. Li Hwa anakku....!” kata Leng Li penuh gairah dan harapan.

Lee It Kong menarik napas parjang. “Satu satunya hal yang kuketahui adalah bahwa anak perempuanmu itulah yang membikin buntung lenganku ini ”

“Apa kau bilang?” seru Leng Li terheran heran.

“It kong betulkah kata katamu itu?” kakek tadi ikut bertanya kepada muridnya dengan hati mengkal karena sungguh memalukan hatinya sekali mendengar muridnya kena dibuntungi lengannya hanya oleh seorang anak perempuan berusia tujuh delapan tahun.

“Memang betul demikian, suhu.” Kemudian ia menoleh kepada Leng Li sambil berkata, “Ketika aku sudah terpukul roboh oleh Sin tung Lo kai, aku melihat seorang anak perempuan keluar membawa sebatang pedang yang luar biasa, terhias kemala. Aku mengira bahwa tentu itulah pedang pusaka Giok po kiam maka aku berusaha merampasnya. Tidak tahunya sekali bergerak bocah itu 

telah menebas buntung lengan kiriku! Aku lalu melarikan diri meningkatkan buntungan lengan. Nah, aku sudah berceritera kau percaya atau tidak terserah.”

Thio Leng Li termenung sejenak. Agaknya Lee It Kong tidak membohong, oleh karena ceritra seperi itu sesungguhnya merendahkan nama sendiri. Akan tetapi ia merasa amat penasaran dan terutama sekali kecewa oleh karena keterangan Thiat pi Lee It Kong itu membuyarkan semua harapannya. Dengan keterangan tadi keadaan masih sama gelap nya seperti sebelum ia bertemu dengan si lengan buntung ini. Dia masih belum juga tahu siapa pembunuh ayahnya dan terutama sekali tidak tahu di mana adanya Li Hwa.

“Aku baru percaya kalau kau katakan siapa yang membunuh ayah dan siapa penculik anakku. Kau telah menyerbu ke rumahku dan kau telah bertempur dengan ayah. Tentu kau tidak datang seorang diri dan kau tahu siapa orangnya yang berdosa kalau bukan kau. Peristiwa itu terjadi pada satu malam, mustahil kalau kau tidak tahu. Kalau kau tidak mau mengaku terpaksa aku akan menawanmu dan memaksamu!”

Karena di situ ada suhunya, biarpun ia jerih terhadap nyonya kosen ini, Thiat pi Lee It Kong menjadi marah.

“Thio toanio, kau terlalu sekali. Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri hendak menghina orang lain! Aku adalah seorang laki laki, semua perbuatan kupertanggungjawabkan. Aku berani menanggung resikonya. Mengapa aku harus membawa bawa orang lain malam itu? Hanya, terus terang saja kukatakan bahwa ketika aku melarikan diri setelah terluka, kelihatan bayangan dua orang berkelebat cepat ke arah rumahmu itu.” “Sapa mereka?” Leng Li tertarik sekali, kembali timbul harapannya.

“Sayang keadaan gelap, aku tidak mengenal muka mereka, hanya dari bayangan mereka aku dapat menduga bahwa mereka adalah seorang laki laki dan seorang wanita muda.”

Leng Li tertegun. Juga Bi Hui yang sejak tadi mendengarkan percakapan ini terkejut. Dua orang wanita ini mempunyai pikiran dan dugaan yang sama.

Tiba tiba pada saat itu, dari luar rumah terdengar suara nyaring sekali, membuat para tamu terkejut karena suara ini keluar dan pengerahan khikang yang tinggi, “Rombongan utusan Thian hwa kauw tiba, Sin siang to Bhok Coan diminta keluar menyambut... !”

Semua tamu saling pandang dengan muka tercengang, dan biarpun hatinya berdebar gelisah, Sin siang to Bhok Coan tentu saja tidak sudi keluar, bahkan lalu menyuruh seorang pelayan untuk keluar dan melihat siapa yang datang serta menanyakan apa keperluan mereka.

Akan tetapi sebelum pelayan itu sampai di luar, terdengar pula suara tadi. “Sin siang to benar benar tak memandang kepada Thian hwa kauw, perlu diberi rasa!” Dan dari luar masuklah serombongan orang yang amat menarik perhatian semua tamu. Rombongan ini terdiri enam orang pemuda tampan dan enam orang dara cantik. Mereka berjalan merupakan barisan pasangan yang amat menarik dengan pakaian mereka yang mewah dan indah. Hanya satu hal yang amat menyolok pada para muda itu bahwa muka mereka rata rata pucat pias dan mata mereka tak bersinar seperti orang orang kehilangan semangat. Namun harus diakui bahwa mereka itu tampan dan cantik! Di depan duabelas orang pemuda pemudi yang rata rata berusia kurang lebih duapuluh tahun ini berjalan seorang laki laki yang buruk sekali rupanya. Sukar menaksir usianya karena mukanya kerut kerut dan hitam seperti muka monyet, juga tubuhnya bongkok seperti udang mati. Matanya besar besar melotot keluar, nampak lebih tepat menjadi iblis daripada manusia.

Rombongan ini berjalan dengan tenang seperti penuh khidmat. Bahkan kaki pasangan duabelas orang itu melangkah dengan gerakan berbareng seperti barisan tentara terlatih. Mereka ini kedua tangannya masing masing dirangkapkan di depan dada di mana mereka memegang setangkai bunga teratai, ada yang putih, ada yang merah, ada yang ungu. Akan tetapi semua teratai yang mereka pegang itu nampak masih segar seakan akan baru saja mereka petik. Juga kakek atau nenek seperti iblis itu kedua tangannya memegang setangkai bunga teratai yang kiri biru yang kanan ungu, nampaknya lebih besar dari teratai biasa dan di pegangnya dengan cara mengangkatnya tinggi tinggi di atas pundak dekat telinga. Benar benar rombongan yang lucu namun ada juga sifat angker karena muka mereka yang bersungguh sungguh itu.

Sin siang to Bhok Coan merasa gelisah sekali, namun ia membesarkan hatinya, mengangkat dada dan menekan kegelisahanaya, lalu bertindak maju menghampiri rombongan yang sudah memasuki ruangan terhormat itu. Ia menjura dengan hormat lalu berkata kepada si bongkok yang agaknya memimpin rombongan itu.

“Lohu orang she Bhok tak pernah merasa ada urusan dengan fihak Thian hwa kauw, sekarang cu wi datang mengunjungi lohu, tidak tahu apakah hendak ikut bergembira ataukah ada urusan lain?” 

Orang tua bongkok itu memutar mutar biji matanya, jelilatan memandang ke kanan kiri, suaranya parau dan serak.

“Sin siang to Bhok Coan, kau masih belum menginsyafi dosa dosamu? Kau telah memandang rendah kepada kauw cu (ketua agama) kami, dengan tidak mengundang kauw cu kami berarti kau telah menghina kauw cu yang terhormat.”

Sin tiang to Bhok Coan terkejut dan cepat cepat ia menjura sambil berkata ramah. “Ahh, kiranya begitu? Maafkan lohu yang pelupa. Sesungguhnya oleh karena Thian hwa kauw baru berdiri dan lohu belum mengenal kauw cu cu wi sekalian maka lohu tidak berani mengundang. Sekarang, baiklah lohu mengundang cu wi sebagai wakil wakil Thian hwa kauw untuk duduk di ruangan terhormat.”

“Huh, huh, orang she Bhok. Siapa sudi akan undanganmu? Kauw cu kami belum tentu doyan hidangan di sini yang serba kotor. Laginya, kauw cu kami tidak butuh undanganmu melainkan mengutus kami untuk datang menyampaikan hukuman atas dirimu yang sudah menghina perkumpulan kami.”

Sin siang to Bhok Coan menjadi panas perutnya. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami aturan yang luar biasa ini. Orang ber she jit tidak mengirim undangan, masa dianggap menghina, berdosa dan mereka datang hendak menjalankan hukuman. Banyak sudah ia mendengar akan keanehan sikap orang orang sakti yang kadang kadang sewenang wenang dan luar biasa, akan tetapi aturan seperti yang dilakukan oleh kauw cu dari Thian hwa kauw ini baru sekarang ia mendengar dan mengalaminya. 

“Hukuman kepadaku? Hmm, hukuman apakah gerangan?” tanya Sin siang to Bhok Coan menahan dongkolnya.

Orang tua yang masih belum diketahui laki laki atau wanita itu mengeluarkan sehetai kertas bergulung dari saku bajunya, membuka gulungan kertas dengan kedua lengan dilempangkan lalu membaca dengan lagak seorang perajurit membaca surat titah raja,

“Atas perintah kauwcu yang maha mulia dari perkumpulan Agama Thian hwa kauw, kami para pengurus bagian pengadilan memutuskan bahwa orang yang bernama Bhok Coan berjuluk Sin siang to tinggal di kota Kwan leng si telah melakukan pelanggaran dosa besar dengan penghinaan terhadap Thian hwa kauw dan memandang rendah kepada kauw cu yang mulia, tidak mau mengirimkan undangan pada pesta she jitnya. Oleh karena itu diputuskan hukuman kepada Sin siang to Bhok Coan seperti berikut : Semua barang sumbangan yang ia peroleh dari para tamu, harus di bawa ke Thian hwa kauw lebih dulu di mana kauw cu akan mengadakan pemilihan dan mengambil mana yang disukai beliau, baru sisanya boleh diambil olehnya, sepasang siang to di pinggang Bhok Coan harus dibawa ke Thian hwa kauw dan sepuluh hari kemudian setelah Bhok Coan datang menghadap kauw cu dan mohon maaf baru senjatanya akan dikembalikan. Demikianlah perintah ini yang ”

Baru saja orang tua itu membaca sampai di sini, Thiat pi Lee It Kong sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia berderu keras dan dengan lengannya yang tinggal sebelah itu ia menyerang kakek atau nenek yang sedang membaca “surat perintah” menghantam ke arah dadanya dengan keras sekali. julukan Lee It Kong adalah Thiat pi atau Tangan Besi, maka dapat dibayangkan betapa keras dan dahsyat pukulannya ini. Tadi Lee It Kong telah menderita malu di depan orang banyak, kini untuk menebus malunya, ia hendak memperlihatkan kegagahannya dengan jalan membela tuan rumah yang diperlakukan sewenang wenang oleh orang orang Thian hwa kauw itu.

Orang tua itu ternyata tidak menghentikan bacaannya, bahkan tidak bergerak sedkitpun juga, sama sekali tidak perduli akan datangnya hantaman tangan Lee It Kong yang menyambar dadanya. Ia melanjutkan bacaannya, “Demikianlah perintah ini yang harus ditaati oleh Sin sang to Bhok Coan kalau ia sayang akan nyawa “ Baru sa ia selesai membaca, tangan Lee It Kong sudah dekat dengan dadanya, akan tetap tiba tiba Lee It Kong memekik keras, tubuhnya terjengkang ke belakang dan ketika dilihat, jago lengan buntung ini telah tewas dalam keadaan mendelik dan mukanya berubah hitam.

Keadaan menjadi ribut. Guru dan paman guru Lee It Kong tadi melihat betapa dua orang pemuda pemudi yang berdiri di dekat orang tua itu menggerakkan tangan dan dua benda bersinar hitam menyambar ke arah leher Lee It Kong. Tahulah mereka bahwa orang orang Thian hwa kauw itu mempergunakan senjata rahasia berbisa.

“Jahanam Thian hwa kauw, kalian main curang,” seru dua orang kakek ini sambil menggerakkan tongkat bambu mereka menyerbu ke depan. Guru Lee it Kong bernama Tan Lui dan sutenya juga adiknya sendiri bernama Tan Kui, kedua orang kakek ini adalah orang orang dusun yang menjadi petani, namun mereka memiliki kepandaian tinggi.

Tan Lui menyerang kakek bongkok seperti udang ini, sedangkan Tan Kui menggerakkan tongkatnya menyerang dua orang pemuda pemudi yang tadi merobohkan Lee It Kong dengan senjata rahasianya. Kakek atau nenek bongkok itu sebetulnya seorang laki laki tua yang mukanya buruk sekali. Dia adalah kepala pelayan dari Thian hwa kauw, kepandaiannya tinggi dan ia bernama julukan Hak tok kwi (Setan Racun Hitam), nama aslinya tidak di kenal orang lagi. Ketika melihat datangnya serangan Tan Lui ke arah kepalanya, dan mendengar sambaran angin menderu keluar dari tongkat bambu, maklumlah Hek tok kwi bahwa lawannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi ia mengeluarkan suara ketawa cekikikan, cepat menyimpan gulungan kertas yang tadi dibacanya dan tahu tahu sepasang bunga teratai biru dan ungu yang tadinya dimasukkan saku ketika ia membaca surat perintah, kini telah berada di tangannya kembali.

Begitu tongkat menyambar dekat kepalanya, kakek ini mangelak ke kiri dan tangan kanannya yang memegang bunga teratai ungu itu, bergerak membalas serangan lawan dengan memukulkan bunga itu! Benar benar aneh bunga teratai segar dipakai sebagai senjata untuk menyerang! Akan tetapi akibat serangan bunga teratai ungu ini lebih hebat lagi. Memang betul Tan Lui dapat cepat mengelak, namun tiba tiba ia sempoyongan ke belakang seperti orang mabuk dan di lain saat, sambil membalikkan tangkai bunga yang dipakai nya, Hek to kwi sudah menusuk iganya dengan jari jari tangan kanan. Tan Lui roboh terjungkal dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Tan Kui yang menyerang sepasang muda mudi itupun disambut dengan luncuran sinar sinar hitam yang ternyata adalah duri duri pohon berwarna hitam yang berbau keras. Tan Kui sudah maklum akan bahaya ini karena tadipun murid keponakannya tewas oleh duri duri ini. Cepat ia memutar tongkatnya dan semua senjata rahasia itu runtuh. Akan tetapi tiba tiba dua orang muda mudi itu telah menyerangnya dengan gerakan aneh dan cepat, adapun senjata yang mereka pergunakan juga kembang teratai di tangan yang masih segar. Seperti Tan Lui tadi, iapun memandang rendah dan cepat mengelak sambil membalas dengan penyerangan tongkatnya. Namun, tiba tiba ia mencium bau harum yang menyesakkan napas dan memusingkan kepalanya dan tanpa dapat dicegah lagi ia terhuyung huyung. Kembali sinar sinar hitam menyambar dan kali ini dalam keadaan pusing itu Tan Lui tidak berdaya menangkis atau mengelak. Beberapa buah duri berbisa menancap di tempat berbahaya, tepat mengenai jalan darahnya dan ia terjungkal di dekat mayat suheng dan murid keponakannya dalam keadaan tewas pula!

Orang orang kang ouw yang duduk di situ menjadi marah sekali. Memang semenjak tadi mereka sudah membicarakan tentang perkumpulan Thian hwa kauw. Sekarang mereka menyaksikan sendiri sepak terjang perkumpulan itu yang dalam waktu singkat secara keji telah membunuh tiga orang gagah. Serentak para locianpwe yang hadir di situ bangkit dari tempat duduk mereka dan melompat sambil mencabut senjata.

“Jahanam Thian hwa kauw harus dibasmi!” teriak mereka dengan marah. Juga Thio Leng Li yang melihat sikap orang orang Thian hwa kauw ini menjadi tak senang. Apalagi melihat Thiat pi Lee It Kong yang hendak dilawannya itu sudah terbunuh oleh mereka, ia menjadi penasaran sekali.

Hek tok kwi tertawa bergelak melihat mereka semua berdiri. Sama sekali ia tidak menjadi gentar. Juga duabelas muda mudi yang berada di belakangnya, bersikap tenang tenang dan sudah siap sedia menghadapi keroyokan para tamu itu dengan senjata mereka di tangan, senjata yang luar biasa sekali, yaitu setangkai kembang teratai dan duri duri berbisa! “He he he he heh! Masa para locianpwe dari partai partai besar ada muka untuk maju melakukan pengeroyokan seperti sifatnya bajingan bajingan kecil?” Ketika melihat para locianpwe itu melengak dan ragu ragu karena ejekan ini, kembali Hek tok kwi tertawa,

“Heh heh heh! Para suuli dan siulam (dara jelita dan teruna tampan), lepas tirai asap dan laksanakan perintah kauw cu!”

Baru saja kata kata ini keluar dari mulut kakek itu, serentak mereka mengeluarkan sesuatu dari saku baju dan membantingnya di atas lantai di sekeliling mereka.

“Dar dar dar dar....!” Ramai terdengar letusan letuaan dan dalam sekejap mata saja ketika para locianpwe itu melompat mundur dengan kaget, ruangan itu telah penuh asap putih bergumpal gumpal. Asap ini mengandung hawa panas dan amat pedas kalau menyerang mata, maka biarpun para locianpwe di situ berilmu tinggi, mereka terpaksa menutup mata masing masing dan menahan napas. Terdengar orang terbatuk batuk di sana sini, yaitu mereka yang mengisap asap putih itu, dan di sana sini orang berteriak teriak untuk menganjurkan menangkap orang orang Thian hwa kauw. Akan tetapi siapakah yang dapat bergerak dalam keadaan seperti itu? Mata tak dapat dibuka, bernapaspun tidak berani, dan tak dapat dilihat lagi mana kawan mana lawan!

Ketika asap putih itu bergulung gulung naik dan mulai menipis sehingga orang orang dapat membuka mata dan bernapas lagi, ternyata orang orang Thian hwa kauw itu sudah lenyap dari situ. Dan bersama dengan lenyapnya mereka ini, lenyap pula semua benda sumbangan yang tadinya dijajarkan di atas meja panjang, dan lenyap pula sepasang golok di pinggang Bhok Coan sedangkan tuan rumah itu sendiri menggeletak di atas lantai dalam keadaan lemas tertotok. Ketika itu di ruangan lain juga ribut ribut karena ternyata di situ telah lenyap tiga orang pemuda tampan dan tiga orang dara cantik. Menurut mereka yang melihat ketika terjadi ribut ribut tadi, dara dara cantik itu diculik oleh pemuda pemuda Thian hwa kauw yang tampan, sedangkan pemuda pemuda tampan yang menjadi tamu diculik oleh pemudi pemudi Thian hwa kauw. Benar benar hal yang amat hebat. Dalam keadaan cepat sekali tigabelas orang anggauta Thian hwa kauw itu dapat melakukan perbuatan perbuatan itu, benar benar membuktikan kelihaian mereka.

Keadaan menjadi ribut dan para tamu banyak yang berpamit meninggalkan tempat itu, kecuali para locianpwe yang dengan hati mengkal dan malu berunding untuk melawan perkumpulan agama baru yang jahat itu. Juga Thio Leng Li ikut bersidang kemudian diambil keputusan untuk menyerbu Thian hwa kauw sepuluh hari kemudian, yaitu mengantar Sin siang to Bhok Coan yang akan datang di sarang Thian hwa kauw di Kwi ciu.

Tak seorangpun tahu bahwa diam diam Song Bi Hui lenyap pula dari ruangan itu. Mereka hanya mengira bahwa wanita muda itu ketakutan dan lari lebih dulu tanpa pamit. Diam diam mereka mentertawakan gadis yang mengaku murid Bu eng Lo kai dan Soat Li Suthai itu.

Kemanakah perginya Song Bi Hui? Apakah benar dia ketakutan dan melarikan diri di dalam keadaan ribut tadi? Tak mungkin! Tidak mungkin seorang seperti Bi Hui melarikan diri. Semenjak tadi ia mengawasi gerak gerik mereka itu dan diam diam ia merasa amat heran melihat sikap duabelas orang muda mudi yang seakan akan bertindak bukan atas kehendak sendiri.

Memang ketika senjata peledak itu diledakkan, Song Bi Hui tidak berdaya apa apa. Diapun tidak kuat menahan serangan asap putih yang membikin mata pedas, maka diam diam ia lalu berlari keluar mencari hawa yang segar, keluar dari daerah asap putih bergulung gulung itu. Tak lama kemudian, di antara hiruk pikuk dan kepanikan para tamu, ia melihat bayangan bayangan putih dari para angauta thian hwa kauw itu berkelebat keluar. Cepat cepat Bi Hui mengikuti mereka dari belakang, ilmu lari cepat Bi Hui amat tinggi karena gurunya, Bu eng Lo kai (Pengemas Tua Tanpa Bayangan) adalah seorang ahli ginkang yang jarang tandingannya. Maka biarpun para anggota Thian hwa kauw itu rata rata dapat berlari cepat sekali, tidak sukar bagi Bi Hui untuk mengejar mereka. Ketika ia melihat bahwa di antara para orang muda itu ada yang memondong pemuda tampan dan gadis cantik, ia dapat menduga bahwa tentu dalam keributan tadi, orang orang sesat itu telah menculik pemuda pemuda dan pemudi pemudi cantik yang menjadi tamu di rumah Sin sang to Bhok Coan. Hati Bi Hui marah sekali. Sekali ia melompat, tubuhnya bagaikan seekor burung telah melayang melewati rombongan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya rombongan orang Thian hwa kauw itu ketika tahu tahu di depan mereka berdiri seorang wanita muda yang cantik dan gagah, dengan pedang melintang di depan dada.

“Siluman siluman Thian hwa kauw, berhenti dulu!” bentakan Bi Hui amat berpengaruh dan nyaring. Enam pasang muda mudi itu sudah berlari cukup jauh, apa lagi mereka itu semua membawa barang barang berat, bahkan tiga pasang di antara mereka masing masing membawa seorang tawanan, tentu saja mereka sudah telah. Kini melihat adanya rintangan dan melihat tanda dari Hek tok kwi supaya mereka berhenti, enam pasang orang muda itu menurunkan beban masing masing di atas tanah. Barang barang sumbangan yang tadinya berada di atas meja di dalam rumah Sin siang to Bhok Coan, kini diletakkan di 

atas tanah. Juga tiga pasang orang muda yang diculik, dalam keadaan tertotok dilepaskan diatas tanah, di mana mereka rebah tak berdaya sama sekali.

Hek tok kwi memandang kepada Bi Hui dan matanya yang bulat lebar itu terputar putar membayangkan kekaguman.

“Heh heh heh, ini dia wanita ayu yang gagah perkasa, twa kongcu tentu akan berterima kash sekali kalau kita bisa membawanya pulang. Heh heh heh...” Anehnya, mendengar kata kata ini, duabelas orang muda dalam barisan itupun tertawa gembira. Bergidik bulu tengkuk Bi Hui melihat cara mereka tertawa. Macam mayat tertawa, mulutnya tertawa akan tetapi muka dan matanya tidak ikut tertawa! Benar aneh keadaan mereka itu.

“Nona yang baik, kau mau apakah?” tanya Hek tok kwi sambil tertawa tawa.

Bi Hui menudingkan pedangnya ke muka orang bermuka iblis itu.

“Siluman siluman Thian hwa kauw! Urusanmu dengan Sin siang to Bhok Coan, aku tidak perduli karena kalian dan dia sama sama bangsa bangsa perampok dan penjahat! Akan tetapi kalau kalian membunuhi orang begitu saja, mencuri barang barang dan menculik orang orang di depan mataku, aku Song Bi Hui tentu saja takkan mengampuni kalian lagi!”

Mendengar disebutnya sama Song Bi Hui, kakek bongkok itu nampak terkejut, ia melangkah maju dan bertanya penuh perhatian, “Nona bernama Song Bi Hui??”

“Betul!” Bi Hui mengelebatkan pedangnya. Sikapnya menantang. Tiba tiba kakek itu menoleh ke belakang memberi aba aba cepat, “Para siuli dan siulam, hayo kepung dan tawan nona ini hidup hidup! Hati hati, jangan sampai dia terluka parah, twa kongcu akan marah. Tangkap!!”

Serentak duabelas orang muda mudi itu bersama kakek yang lihai tadi, menubruk Bi Hui! Namun Bi Hui telah mendapat gemblengan dari dua orang gurunya. Kepandaiannya sudah jauh meningkat, tidak seperti dahulu lagi. Melihat tigabelas orang lawan itu bergerak maju, tubuhnya berkelebat dan di lain saat pedangnya yang menyambar laksana kilat telah berhasil membacok runtuh empat tangkai bunga teratai dari tangan empat orang pengeroyoknya! Ia tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mempergunakan bunga bunga yang mengandung racun itu guna merobohkannya. Ia maklum bahwa hawa yang terkandung oleh bunga teratai itu semua beracun dan dapat merobohkannya, maka ia sengaja mengeluarkan ginkangnya, berkelebatan ke sana ke mari sambil pedangnya menyambar ke arah lawan.

Namun para pengeroyoknya itu benar benar lihai. Dalam soal ilmu silat, kiranya mereka itu bukan tandingan Bi Hui. Akan tetapi, duabelas orang muda itu dapat bergerak seirama, begitu teratur sehingga mereka merupakan duabelas orang dengan satu otak, seakan akan Bi Hui menghadapi seorang lawan yang mempunyai duapuluh empat buah lengan! Setiap kali Bi Hui keluar dari kepungan, otomatis ia terhadang dan terkepung lagi! Setiap kali pedangnya hendak merobohkan seorang pengeroyok, sebelas orang lain sudah menyerangnya sambil menolong yang seorang itu. Dan semua ini hanya di lakukan dengan bunga bunga teratai berwarna! Mereka meloloskan diri dari serangan pedang dengan jalan mengelak dan membalas serangan dengan pukulan bunga ke arah muka lawan.

-oo0dw0oo-

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar