Pedang Sinar Emas Jilid 37

Jilid XXXVII 

DIAM DIAM Bi Hui menjadi kagum bukan main. Sukar baginya untuk dapat menyatakan, siapa di antara kedua orang tua itu yang lebih lihai. Jangankan dia yang menjadi penonton dan yang kepandaiannya jauh di bawah tingkat mereka, sedangkan mereka sendiri yang bertempur juga tak pernah dapat membuktikan bahwa yang seorang lebih unggul daripada yang ke dua. Padahal semenjak mereka berkejaran, dua orang tua ini sudah bertempur lebih dari lima kali dan setiap kalinya tidak kurang dari tigaratus jurus!

Tiba tiba terdengar suara keras dari jauh. “Soat Li Suthai! Berikan Kim hud kepadaku!!”

Mendengar suara ini, Soat Li Suthai dan Bu eng Lo kai otomatis menghentikan pertempuran mereka dan saling pandang penuh pengertian.

“Pat pi Lo cu datang….” kata Bu eng Lo kai.

Soat Li Suthai mengangguk diam, lalu menatap wajah kakek kudisan itu tajam tajam sambil berkata.

“Bu eng Lo kai, kiranya kita akan lebih senang kalau benda ini terjatuh ke dalam tangan seorang di antara kita daripada jatuh ke dalam tangan pendeta bau dan Tibet itu.”

“Cocok. Kita gempur saja dia, baru kemudian kita melanjutkan pertempuran untuk menentukan siapa yang lebih patut memiliki Kim hud,” jawab Bu eng Lo kai.

Nenek bongkok itu tersenyum sehingga nampak mulutnya yang ompong. “Kau cerdik sekali, Lo kai,” pujinya mengangguk angguk. Kemudian ia melambaikan tangan kepada dua orang gadis manis yang sudah sampai di situ pula. Mereka ini Kui Eng dan Kui Li, segera menghampiri guru mereka dan berdiri di belakangnya. Dua orang gadis ini setelah berdiri dengan gagahnya, kelihatan betapa sama wajah dan bentuk tubuh mereka. Sukarlah bagi orang lain untuk membedakan mana yang bernama Kui Eng dan mana Kui Li Mereka ini memang saudara kembar yang manis manis dan berkepandaian tinggi. Hanya mereka berdua inilah murid Soat Li Suthai.

Tak lama kemudian sampailah Pat pi Lo cu dan dua orang muridnya, See thian Sian cu (Sepasang Mustika dari Barat) Ma Thian dan Ma Kian. Sikap kedua orang murid yang bertubuh tegap dan gagah ini gembira sekali melihat bahwa akhirnya gurunya dapat menyusul nenek yang membawa lari patung emas.

Pat pi Lo cu tertawa bergelak dan menuding jari telunjuknya ke arah bungkusan kuning yang berada dalam pondongan lengan kiri Soat Li Suthai.

“Ha, ha, ha, Soat Li Suthai, kau benar benar licin dan curang sekali. Tanpa memetik kau telah makan buahnya. Mana ada aturan begitu? Aku telah menewaskan seorang di antara tiga orang hwesio penjaga, maka akulah yang berhak memiliki patung itu. Kalau kau hendak merampas, kau harus merampasnya dari tanganku. Ini aturan kang ouw!”

“Pat pi Lo cu, setan Tibet seperti kau mana tahu akan aturan kang ouw? Aturanku adalah, barang siapa lebih cepat dan cerdik, dia yang menang! Kau menghendaki benda ini? Boleh, asal saja dapat mengalahkan tongkatku.”

“Juga dapat mengalahkan dua kepalan tanganku!” Bu eng Lo kai menyambung sambil menyeringai.

Pat pi Lo cu menggerak gerakkan alisnya. “Eh, eh, kalian maju bersama? Hemm, agaknya memang sejak semula kalian sudah bersekongkol!”

Ma Thian dan Ma Kian melompat maju dan berkata kepada Pat pi Lo cu, “Suhu, ijinkan teecu berdua maju merampas patung emas dan mereka itu!”

Pada saat itu, Kui Eng dan Kui Li juga maju dan berkata kepada Soat Li Suthai.

“Suthai, biarlah teecu berdua memberi hajaran kepada kakek tak tahu diri ini!”

Pat pi Lo cu memandang ke arah dua orang gadis kembar dengan mata terbelalak, sebaliknya Soat Li Suthai juga memandang ke arah Ma Thian dan Ma Kian, nampaknya tertarik dan bingung melihat persamaan mereka. Dua orang tua yang masing masing mempunyai murid kembar ini hanya mengangguk sebagai tanda bahwa mereka setuju murid muridnya maju ke arah masing masing, ingin sekali melihat siapa yang lebih unggul antara dua pasang saudara kembar ini.

Sementara itu, Ma Thian dan Ma Kian berpandangan dengan Kui Eng dan Kui Li. Melihat bahwa mereka sama sama saudara kembar dua pasangan ini menjadi tertarik sekali dan ingin mereka menguji kepandaian masing masing.

Ma Thian mewakili adiknya berkata, “Ji wi lihiap, majulah!”

Kui Eng dan Kui Li senang melihat sikap yang sopan dan mengalah ini, mereka lalu mencabut pedang masing masing. Juga Ma Thian dan Ma Kian mencabut pedang dan bersiap sedia menghadapi dua lawannya.

Bu eng Lo kai, Soat Li Suthai dan Pat pi Lo cu berdiri dengan muka berseri. Mereka ini gembira sekali melihat pertempuran antara dua pasang saudara kembar yang benar benar amat menarik. Bahkan Bi Hui yang duduk di bawah pohon tak jauh dari situ memandang dengan hati tertarik pula. Kalau empat orang itu bertempur ia takkan tahu lagi mana adik mana kakak.

Pertempuran dimulai. Ma Thian dan Ma Kian agaknya sungkan sungkan dan mengalah. Akan tetapi tak mungkin mereka mengalah terus karena pedang di tangan Kui Eng dan hui Li bergerak cepat dan ganas sekali, merupakan dua ekor burung elang menyambar korban, berbahaya dan lihai. Terpaksa dua saudara Ma inipun menggerakkan pedang dengan cepat untuk melindungi diri dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Mereka berempat tak mungkin dapat bertempur menjadi dua rombongan. Karena persamaan wajah mereka sukar membedakan mana lawan sendiri dan mana lawan saudaranya. Maka mereka bertempur seperti seorang lawan saja.

Memang hebat. Kalau dua sekawan bertempur melawan dua orang lawan, masing masing mengandalkan kepandaian sendiri, atau mungkin juga mengandaikan kerja sama. Akan tetapi tidak mungkin dapat bekerja sama seperti dua pasang saudara kembar itu. Seakan akan mereka masing masing merupakan dua orang dengan satu hati dan satu pikiran sehingga gerakan pedang mereka dapat otomatis saling melindungi. Oleh karena inilah maka apabila menghadapi musuh bersama, baik Kui Eng dan Kui Li maupun Ma Thian dan Ma Kian merupakan lawan berat. Mereka seperti satu orang dengan dua kepala sampai lengan dan sampai kaki!

Yang lebih hebat lagi dalam pertempuran ini adalah karena tingkat kepandaian kedua pasangan itu berimbang. Makin lama pertempuran berjalan makin seru dan ramai, tubuh keempat orang itu sampai lenyap terbungkus empat gulungan sinar pedang yang saling membelit dan saling menyelimuti. Berkali kali tiga orang tua yang menonton mengeluarkan suara pujian. Seratus jurus terlewat, namun empat orang itu masih saja belum ada yang menang atau kalah. Bahkan kini pertempiran menjadi makin hebat.

“Pasangan yang cocok sekali....” Bu Eng Lo kai berseru memuji, kagum dan gembira sekali menyaksikan pertempuran yang aneh dan indah ini.

“Jodoh yang baik....!” teriak Pat pi Lo cu tak disengaja, akan tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Ia menoleh kepada Soat Li Suthai yang juga memandang kepadanya ketika mendengar ucapan Pat pi Lo cu tadi. Nenek itu mengangguk anggut dan berkata perlahan,

“Memang..... jodoh yang baik sekali ”

Mereka saling pandang sampai lama, lalu keduanya tertawa bergelak. Dalam berpandangan ini, dua orang tua itu sudah dapat membaca isi hati masing masing. Kemudian mereka melompat ke tengah medan pertempuran sambil berseru,

“Berhenti, tahan senjata!”

Dua pasang saudara kembar itu melompat mundur. Peluh memenuhi kening mereka. Muka mereka merah sekali karena di dalam pertempuran yang hebat tadi, masing masing telah menjaga keras agar pedang di tangan jangan sampai mencelakai lawan! Dengan sendirinya mereka telah mengutarakan isi hati mereka lewat ujung pedang!

“Ha. ha, ha, Ma Thian dan Ma Kian. Aku berpendapat bahwa kalian cocok sekali dengan dua nona kembar ini. Bagaimana kalau Soat Li Suthai menerima kalian menjadi calon suami kedua muridnya?”

Ma Thian dan Ma Kian nampak malu malu dan menundukkan muka. Ma Thian akhirnya menjawab, “Teecu berdua hanya mentaati perintah suhu dengan senang hati.” Soat Li Suthai juga bertanya kepada dua orang muridnya, Kui Eng dan Kui Li, bagaimana pendapat mu dengan dua orang muda kembar ini? Sejak dahulu cita citamu hanya mau menikah dengan dua orang saudara kembar pula yang kepandaiannya tinggi. Nah, bukankah mereka ini cukup memenuhi syarat? Apakah aku harus menerima andaikata guru mereka melamar kalian untuk menjadi calon isteri mereka?”

Kui Eng menjawab dengan pipi kemerahan.

“Terserah kepada Suthai Teecu berdua hanya menurut ”

Pat pi Lo cu dan Soat Li Suthai tertawa bergelak. Juga Bu eng Lo kai tertawa akan tetapi ketawanya masam ketika ia bertanya,

“Pat pi Lo cu, setelah ikatan jodoh yang amat baik ini, habis bagaimana kehendakmu dengan patung emas?”

Terhenti suara ketawa Pat pi Lo cu ketika ia diingatkan akan patung emas, akan tetapi ia lalu berkata menyeringai.

“Tidak apa tidak mendapat patung emas, sebagai gantinya mendapatkan dua mantu perempuan yang cantik manis! Tentu saja Soat Li Suthai juga sependapat dengan aku.“

Soat Li Suthai mengangguk. “Memang, patung emas ini hendak kuberikan sebagai hadiah kepada dua pasang pengantin. Adapun isi nya akan dimiliki oleh putera pertama antara mereka, inilah kata kataku dan siapa berani melanggar akan berhadapan dengan tongkatku!” Sambil berkata demikian Loat Li Suthai memandang kepada Bu eng Lo kai dengan sikap menentang.

“Bu eng Lo kai, kata kata Soat Li Suthai. tadi juga menjadi pernyataanku pula,” kata Pat pi Lo cu. “Oleh 

karena itu, apabila engkau tetap menghendaki patung dan isinya, kau tidak hanya akan menghadapi Soat Li Suthai, akan tetapi juga menghadapi aku!”

Bu eng Lo kai memandang kepada dua orang tua itu, lalu tertawa terkekeh kekeh.

“Lucu.... lucu....! Tadinya aku dan Suthai yang menjadi sekutu, sekarang aku bahkan dihadapkan pada kalian yang dari lawan menjadi kawan. Ha, ha, ha! Sudahlah, mengingat akan pasangan pasangan yang cocok dan jarang kujumpai ini, biarlah kali ini aku mengalah!”

Akan tetapi tiba tiba dan jauh terdengar suara ketawa yang nyaring sekali. Semua orang menengok dan dari jurusan barat datang berlari lari seorang kakek tua yang mereka kenal baik karena dia bukan lain adalah Koai Thian Cu.

“Bagaimana tukang gwamia itu bisa menyusul ke sini?” Soat Li Suthai menggerutu.

“Takut apa? Dia seorang diri bisa berbuat apa terhadap kita bertiga?” kata Pat pi Lo cu.

Setelah Koai Thian Cu tiba di tempat itu, kakek ini agak tertegun melihat Bu eng Lo kai, Soat Li Suthai, dan Pat pi Lo cu berdiri merupakan satu rombongan menghadapinya bersama dua pasang saudara kembar itu. Ia memandang kepada pat pi Lo cu dengan mata bertanya.

“Koai Thian Cu, kalau kau bermaksud mengingini Kim hud, lebih baik kau batalkan maksud hatimu itu. Kini patung emas telah kami sumbangkan kepada dua pasang calon pengantin yang paling istimewa di dunia ini. Patung dan isinya menjadi hak putera pertama yang terlahir di antara mereka!” Pat pi Lo Cu menunjuk kepada dua orang muridnya yang berdiri di samping sepasang saudara kembar Kui Eng dan Kui Li yang nampak kemalu maluan.

Koai Thian Cu melengak. “Jadi kalau aku tetap menghendaki patung atau isinya, aku harus bertempur melawan kalian bertujuh?”

“Demikianlah!” kata Soat Li Sothai dengan sikap menantang. Koai Thian Cu tertawa bergelak sambil mengangkat muka memandang ke atas.

“Sudahlah.... aku tua bangka untuk apa harus mengorbankan nyawa untuk sebuah patung? Baiklah, mengingat kepada dua pasang calon pengantin yang benar benar cocok ini, aku mau mengalah. Akan tetapi harap kau suka membikin puas hatiku membuka patung dan mengeluarkan isinya. Biarpun aku tidak dapat mewarisi, melihat saja benda peninggalan Tat Mo Couwsu sudah dapat menambah panjang umur sedikitnya tiga tahun.”

Soat Li Suthai mengerutkan kening, akan tetapi Pat pi Lo cu dan Bu eng Lo kai hampir barbareng mendesak.

“Aku cocok dengan permintaan Koai Thian Cu. Mari kita sama sama melihat apa isinya patung ini.”

Ketika melihat sikap Soat Li Suthai yang ragu ragu, Pat pi Lo cu berkata, “Soat Li Suthai, mengapa kau kelihatan khawatir? Kita semua adalah orang orang tua yang boleh dipercaya. Pula, seorang saja berlaku khianat, akan menghadapi tiga orang. Kiraku di antara kita takkan ada yang begitu bodoh.”

Mendengar ini, baru Soat Li Suthai hilang kecurigaannya.

Akan tetapi ia mengerutkan alisnya den berkata, “Aku tidak tahu cara membukanya. Untuk memaksa dan merusaknya, sayang sekali. Kelak saja kalau putera pertama muridku terlahir, baru patung ini dibuka secara paksa.”

“Biarpun aku sendiri belum pernah membukanya, akan tetapi aku pernah mendengar bahwa untuk membuka patung itu tanpa merusak, orang harus memutar mutar kaki kiri lima kali ke kanan dan kaki kanan empat kali ke kiri.”

Soat Li Suthai lalu memegang kaki patung dan memutar mutarnya menurut petunjuk Koai Thian Cu. Benar saja, di bagian punggung patung terbuka lubang besar. Dengan hati ingin tahu sekali Soat Li Suthai merogoh ke dalam patung. Akan tetapi wajahnya berubah pucat ketika tangannya tidak menyentuh sesuatu kecuali sehelai kertas. Cepat ditariknya keluar kertas itu dan dibacalah tulisan di atas kertas.

“Celaka.... Kita telah tertipu....!” kata nenek itu, mukanya menjadi agak pucat.

Semua orang mendekat untuk melihat tulisan apa yang terdapat pada kertas itu. Mereka membaca tulisan yang jelas dan tebal seperti mengejek.

Kitab Im yang Cin keng dan Pedang Giok po kiam hanya untuk dia yang berjodoh!

Koai Thian Cu tertawa bergelak gelak sampai keluar air matanya. “Ha, ha, ha, ha, keterlaluan sekali hwesio hwesio itu. Kita dipermainkan semau maunya. Ah, tentu arwah mereka sekarang sedang terbahak bahak mentertawakan kebodohan kita memperebutkan patung kosong. Ha, ha, ha!”

“Hmm, Koai Thian Cu. Kalau aku tidak yakin bahwa selama ini patung itu berada di tangan ku, tentu aku akan mencurigai kau karena kau adalah seorang ahli ilmu hitam. Betapapun juga aku akan mencari dua benda itu!” kata Soat Li Suthai penuh kekecewaan dan malu. “Sudahlah, bagi aku biarpun tidak mendapat barang pusaka akan tetapi mendapatkan dua orang mantu murid yang baik, cukup menggembirakan. Soat Li Suthai, aku akan mengajak kedua murid mu pergi bersama kami agar pernikahan segera dapat ditanggungkan di utara,” kata Pat pi Lo cu.

Soat Li Suthai memandang kepada dua orang muridnya yang masih menundukkan mukanya.

“Kui Eng dan Kui Li, kau pergilah. Bawa patung emas ini, lumayan untuk bekal dan beaya. Gurumu tak dapat menghadiri pernikahanmu karena aku harus mencari kitab dan pedang itu, untuk puteramu kelak. Hanya doa restuku bersama kalian, semoga kalian hidup bahagia dengan suami kalian.”

Kui Eng dan Kui Li menjatuhkan diri berlutut dan berpamit sambil mencucurkan air mata, kemudian mereka ikut pergi bersama Pat pi Lo cu dan dua orang muridnya, yaitu See thian Siang cu Ma Thian dan Ma Kian.

Setelah mereka pergi, Koai Thian Cu kembali tertawa. “Bagus, dengan begitu perjuangan masih belum habis. Masih ada kegembiraan memperebutkan kitab dan pedang itu. Bagus, bagus! Kita sama lihat saja nanti siapa yang berjodoh dengan Im yang Cin keng dan Giok po kiam!”

Kakek ini hendak pergi, akan tetapi tiba tiba Bi Hui melompat dari tempat duduknya dan menyerang Koai Thian Cu dengan tusukan pedangnya sambil berseru.

“Kakek siluman, kaulah yang mendatangkan malapetaka pada keluargaku!”

Serangan pedang dari Bi Hui hebat sekali karena ia menggunakan gerak tipu dari ilmu Pedang Kim kong Kiam sut yang baru sedikit ia pelajari. Biarpun demikian, Koai 

Thian Cu yang jauh lebih tinggi ilmunya itu sampai terkejut dan terpaksa melompat mundur sambil menggerakkan kebutan menangkis pedang itu.

Namun Bi Hui mendesak terus, memutar pedangnya yang menjadi amat ganas dan berbahaya karena ia telah berlaku nekad Bi Hui tahu bahwa kakek ini kepandaiannya amat tinggi dan sebetulnya dia bukanlah lawannya, akan tetapi ia sudah nekad karena sakit hati dan marah.

Koai Thian Cu main mundur dan menangkis. Diam diam ia terkejut sekali ketika mengenal ilmu pedang ini. Ketika ia memperhatikan wajah Bi Hui ia makin terheran lalu mengerahkan tenaga, menahan pedang gadis itu dengan hudtim di tangannya sambil berseru.

“Tahan dulu, bukankah kau cucu Thian te Kiam ong? Bicaralah dulu, nona. Jangan sembrono dan menyerang orang tanpa penjelasan.”

Dari tangkisan hudtim yang membuat tangannya tergetar ini saja Bi Hui maklum bahwa kalau kakek itu menghendaki, ia sudah roboh sejak tadi.

Saking gemas dan sakit hatinya, ia menarik pedang nya lalu menangis!

Soat Li Suthai dan Bu eng Lo kai ketika mendengar bahwa gadis cantik ini cucu Thian te Kam ong. menjadi tertarik sekali.

“He, Koai Thian Cu. Kau telah melakukan perbuatan busuk apakah maka cucu Thian te Kiam ong sampai menaruh dendam?” tanya Soat Li Suthai.

“Aku si tua bangka, biarpun berhati busuk, kiranya belum pernah aku mencelakai cucu Thian te Kiam ong. Aku sendiri tidak tahu mengapa nona ini datang datang menyerangku kalang kabut, padahal aku berani bersumpah tak pernah mengganggunya, jelaskan, nona mengapa kau datang datang menyerangku? Kalau memang aku tua bangka busuk bersalah, boleh kautusuk dadaku tanpa kutangkis!”

Melihat sikap kakek ini, Bi Hui menjadi bingung. Memang kakek ini tidak bersalah apa apa, tegasnya, pribadinya sendiri tidak bersalah. Akan tetapi bukankah malapetaka itu datangnya dari adanya Beng Han di sana, juga, malapetaka ke dua, penghinaan yang ia dengar dari mulut Kong Hwat, bukankah disebabkan oleh Cia Kui Lian, wanita siluman murid Koai Thian Cu ?

“Mungkin kau sendiri tidak berdosa, Koai Thian Cu,” katanya menahan isak, “akan tetapi karena kau telah menyerahkan Beng Han kepada keluargaku, maka terjadi malapetaka menimpa keluargaku. Juga murid perempuanmu yang bernama Cia Kui Lian itu adalah iblis wanita yang tak tahu malu!” Ia lalu menceritakan secara singkat tentang pembunuhan atas diri ayah bundanya, juga ia menuturkan sepintas lalu betapa Kui Lian telah berlaku tak patut dengan Liem Kong Hwat kakak misannya.

Koai Thian Cu menjadi merah mukanya. “Tak kusangka perhitunganku meleset! Aku sudah meramalkan bahwa keluarga Thian te Kiam ong terancam oleh adanya pedang Kim kong kiam, akan tetapi.... ah, ramalan manusia biasa mana bisa benar? Tenangkan hatimu, nona Song. Aku akan mencari Beng Han dan Kui Lian. Akan ku selidiki siapa sebenarnya yang berdosa dalam pembunuhan orang tuamu.” Setelah berkata demkian, Koai Thian Cu melesat pergi dengan cepat sekali.

“Hemm, ucapan seorang ahli sihir dan tukang gwamia seperti dia itu, mana boleh dipercaya?” kata Bu eng Lo kai. Sementara itu, Soat Li Suthai menatap wajah Bi Hui dengan penuh perhatian. Gadis ini jauh lebih cantik dw jelita daripada kedua orang muridnya yang sudah “keluar pintukz”. Juga melihat gerak gerik dan bentuk tubuhnya, nona ini memiliki bakat yang amat baik. Akan tetapi sebagai cucu Thaian te Kiam ong, mengapa kepandaiannya hanya sebegitu saja ketika tadi menyerang Koai Thian Cu? Benar benar Soat Li Suthai merasa aneh. Ia tidak tahu bahwa biarpun ilmu kepandaian Thian te Kiam ong amat tinggi, namun anak cucunya tak dapat mewarisi kepandaiannya, karena ilmu ilmu silatnya, terutama sekali Kim kong Kiam sut, amat sukar dipelajari. Setelah kehilangan dua orang muridnya, nenek ini belum apa apa sudah merasa kesunyian dan ingin mempunya murid baru dan melihat Bi Hui ia merasa suka sekali.

“Nona, kalau kau cucu Thian te Kiam ong, kau behadapan dengan orang orang sendiri. Ketahuilah, aku Soat Li Suthai adalah seorang yang selalu merasa kagum dan mengenang kakek mu dengan hormat dan takluk.”

“Begtu pula aku, nona. Bu eng Lo kai biarpun belum pernah bertemu dengan kakekmu selalu menganggap Thian te Kiam ong sebagai sahabat dan guru. Aku ikut merasa berduka mendengar tentang nasibmu yang buruk,” kata pula Bu Eng Lo kai.

Bi Hui segera menjura dengan hormat.

“Terima kasih banyak atas perhatian dan hiburan locianpwe.”

“Nona, setelah terjadi malapetaka kepada keluargamu, lalu kau tinggal dengan siapa dan sekarang hendak pergi kemana?” tanya Soat Li Suthai.

Kembali air mata bertitik di atas pipi Bi Hui yang kini agak pucat itu. Pertanyaan ini menusuk hatinya, mengingatkan padanya bahwa di dunia ini sekarang ia tidak dapat menyandarkan diri kepada siapapun juga.

“Teecu hidup seorang diri dan tidak punya tempat tinggal. Tujuan hidup teecu hanya merantau menambah kepandaian sambil mencari pembunuh ayah bunda.”

“Bagus!” Tiba tiba Bu eng Lo kai melompat dengan muka girang. “Mari kau ikut padaku, nona. Biarpun aku sudah tua bangka tiada guna, kiranya aku masih dapat menurunkan sedikit kepandaian kepadamu sebagai tanda penghormatanku kepada Thian te Kiam ong.”

Soat Li Suthai mengerutkan kening dan menghadapi Bu eng Lo kai sambil cemberut. “Eh, jembel tua! Kau ini mengapa selalu ingin bersaing dan berebutan dengan aku? Belum juga aku mengambil nona ini sebagai murid, kau sudah mendahuluiku lagi.”

Bu eng Lo kai membelalakkan mata lalu tertawa lebar.

“Siapa tahu bahwa kaupun hendak mengambil murid padanya? Aku melihat dia berbakat baik dan aku kasihan melihat cucu Thian te Kiam ong, maka ingin menurunkan sedikit kepandaianku, apa salahku?”

“Setan! Kau selamanya tidak punya murid. Mengapa sekarang mendadak mau menurunkan kepandaian? Tidak, nona ini akan ikut dengan aku dan mewarisi semua kepandaianku.”

Agaknya dua orang tua itu kembali hendak ribut ribut dan berebutan seperti tadi ketika mereka memperebutkan patung emas. Sementara itu, Bi Hui sudah menjadi girang sekali mendengar ucapan mereka yang masing masing hendak mengambilnya sebagai murid. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata nyaring, “Teecu Song Bi Hui menghaturkan terima kasih kepada ji wi yang mulia. Tentu arwah kong kong juga amat berterima kasih kepada ji wi. Teecu bersedia untuk menjadi murid ji wi suhu dan mempelajari semua yang ji wi ajarkan dengan penuh perhatian.”

Kakek dan nenek itu saling pandang, kemudian sama sama tertawa.

“Memang tak perlu diperebutkan,” kata Soat Li Suthai, “kita berdua mengajarnya, bukankah itu lebih baik lagi.”

Demikianlah, semenjak hari itu. Bi Hui diterima menjadi murid Soat Li Suthai dan Bu eng Lo kai. Kedua orang itu merasa bangga sekali dapat menjadi guru dari cucu Thian te Kiam ong, maka mereka mengajar dengan sungguh sungguh agar jangan memalukan nama sendiri. Apalagi mereka mengajar berdua sehingga hal ini menguntungkan Bi Hui oleh karena kedua orang gurunya seakan akan berlumba dan tak mau saling mengalah, ingin lebih unggul dalam hal mengajar. Tidak mengherankan apabila mereka menuang semua ilmu yang mereka miliki dan otomatis Bi Hui yang menerimanya memperoleh kemajuan pesat sekali.

0odwo0

Waktu yang nampaknya merayap lambat sekali itu tanpa terasa telah lewat bukan main cepatnya, melebihi lajunya anak panah yang terlepas dari busurnya. Tahun demi tahun lewat tak terasa dan tak meninggalkan bekas kecuali kenang kenangan samar. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang terlalu panjang. Kalau kita mengenang segala peristiwa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu akan terasa oleh kita seakan akan yang sepuluh tahun itu hanya baru sepuluh hari saja!

Kim hud tah atau pagoda Buddha Emas kini kelihatan menyeramkan, kotor tak terurus dan tak pernah dikunjungi orang. Semenjak orang orang mendengar bahwa di situ terjadi pertempuran hebat sehingga tiga orang penjaga pagoda tewas dan bahwa anak tangga dari bawah menuju ke atas telah runtuh, tempat itu dijauhi orang. Bahkan belakangan ini tersiar berita bahwa pagoda itu didiami iblis iblis dan siluman siluman. Ada yang bilang bahwa di waktu malam kelihatan cahaya berkelebatan di puncak pagoda. Ada pula yang mendongeng melihat bayangan iblis berkelebatan di atas menara. Bahkan ada yang berani mati mendongeng bahwa siluman naga yang dikurung di bawah pagoda sering kali keluar, menjelma menjadi manusia untuk mencari korban.

Jangankan orang orang biasa, bahkan orang orang kang ouw yang memiliki kepandaian sekalipun merasa jerih mendekati pagoda ini. Selain sia sia saja dan tidak ada gunanya serta tak mungkin naik ke atas juga mereka merasa ngeri dan seram dengan keadaan pagoda yang tidak terawat ini.

Tak seorangpun menyangka bahwa sebetulnya di menara, di puncak pagoda yang amat tinggi itu, sudah hampir sepuluh tahun lamanya tinggal seorang manusia. Seperti kita ketahui Thio Beng Han bocah bernasib malang itu berada di puncak pagoda, hidup dalam keadaan sunyi dan sengsara sekali. Setiap hari hanya makan telur dan sarang burung, minumnya mengandalkan air embun dan air hujan. Sepuluh tahun ia menjadi seorang pertapa yang betul betul bertapa.

Dalam keadaan nelangsa dan sengsara, manusia mendekati Tuhan. Terbukalah mata betapa hidup ini semata mata tergantung kepada kasih Tuhan dan setelah tiada tempat mengeluh, tiada mahluk dapat menolong, kembaliah manusia ke tempat semula, dekat dengan Tuhannya. Kepada Tuhanlah di panjatkan doa dan permohonan. Ada orang bilang bahwa dalam keadaan nasib malang, Tuhan meninggalkannya. Ini bohong dan salah pikir. Tuhan terhadap umat Nya tak pernah berkurang tak pernah berubah seujung rambutpun. Tuhan Maha Kasih, kasihNya suci murni. Buktinya, sejahat jahatnya orang, masih diberinya hidup, masih diberiNya menikmati hidup duniawi. Kalau mau bicara tentang perubahan sikap manusialah yang berubah. Bukan Tuhan pernah meninggalkan manusia, melainkan manusia yang meninggalkan Tuhan, manusia yang menjauhkan diri dari Tuhan. Nasib buruk itu hanya akibat daripada perbuatan sendiri. Tuhan Maha Adil dan Maha Kasih. Tidak ada kekhilafan, tidak ada kesalahan sedikitpun juga, tidak ada cacat cela datang dari Tuhan.

Orang bijak jaman dahulu berkata bahwa untuk berhasil merenungkan sesuatu, untuk memperkuat batin, untuk mencuci diri dan membersihkan batin, paling baik orang pergi mengasingkan diri ke tempat sunyi. Ini memang tepat sekali dan tidak heran apabila orang jaman dahulu banyak yang menjadi ahli tapa. Dari tapa orang dapat mencapai tingkat luhur dan memudahkan manusia mencari jalan mendekati tempat asalnya, di samping Tuhan. Memang tidak mengherankan, karena di dalam tempat sunyi, terpaksa oleh keadaan, sifat sifat jahat dalam batin manusia lenyap sama sekali. Berada seorang diri di tempat sunyi, mau berlaku jahat kalau ala orang lain yang dijahatinya. Dalam bertapa di tempat sunyi, pikiran tidak terganggu keduniawan yang palsu dan membangkitkan angkara, hati dan pikiran menjadi hening bening memudahkan orang teringat akan Tuhan nya.

Demikian pula dengan Beng Han, bocah yang hidup terasing di puncak Kim hud tah itu. Selama sepuluh tahun ia menjadi pertapa, melakukan tapa yang kiranya jarang tandingannya dalam hal kesengsaraan dan kesunyian. Selama sepuluh tahun ia tak pernah melihat manusia lain, jangankan melihat, mendengar suaranyapun tak pernah. Suara yang ia dengar hanya kicau burung, suara binatang hutan sayup sampai, dan bunyi guntur di angkasa. Selama sepuluh tahun ia hanya makan untuk menyambung nyawa, tegasnya makan dan minum hanya untuk memenuhi kebutuhan badan, sama sekali tak pernah menuruti selera dan nafsu.

Keadaan semacam ini membuat Beng Han menjadi lain daripada manusia biasa. Dirinya lebih bersih lahir batin, dan perbedaannya dengan manusia lain tidak saja nampak dalam gerak geriknya yang halus kuat, terutama sekali kelihatan dalam sinar matanya, yang tajam penuh pengaruh dan kekuatan. Sikapnya tenang sekali seakan akan kepercayaannya kepada diri sendiri sudah penuh dan kokoh kuat.

Di samping pembawaan diri yang amat luar biasa berkat berprihatin dan bertapa selama sepuluh tahun ini, juga ia telah melatih Kim kong kiam sut dan yang lain lain sampai sempurna betul. Karena tidak pernah terganggu oleh orang lain persoalan dunia, ia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pelajaran ilmu ilmu silat yang ditinggalkan oleh Thian te Kiam ong. Maka ia dapat mengisap sari pelajaran itu dan kiranya Thian te Kiam ong sendiri yang dapat mengimbangi kesempurnaannya dalam mainkan ilmu ilmu silat itu.

Di dalam pelajaran ilmu sitat yang terdapat di dalam kitab peninggalan Thian te Kiam ong, terdapat pelajaran ilmu lweekang tinggi yang melatih kedua telapak tangan sehingga timbul tenaga menyedot dan kedua telapak tangan. Pelajaran ini terutama di siapkan untuk menghadap lawan bersenjata dengan tangan kosong sehingga sekali menangkap senjata lawan, takkan terlepas lagi. Akan tetapi Beng Han yang berotak cerdik itu lalu menciptakan semacam kepandaian dengan lweekang seperti ini ia tahu bahwa baginya tidak ada jalan turun, kecuali apabila ia dapat merayap melalui dinding di luar pagoda, ia telah melihat betapa cecak dan kadal dapat merayap dengan enaknya di sepanjang dinding. Mulailah ia belajar “merayap” atau merangkak pada dinding kamarnya. Dengan mempergunakan lweekang, ia menyedot dengan kedua telapak tangannya pada dinding sehingga ia dapat menahan tubuhnya. Mula mula ia hanya dapat merayap beberapa meter saja. Akan tetapi berkat latihan hampir tiga tahun, akhirnya ia dapat bertahan merayap di dinding sampai lama mengandalkan kedua telapak tangannya. Tanpa disadarinya Beng Han telah menciptakan ilmu merayap di tembok yang lebih hebat daripada ilmu merayap yang dikenal di dunia kang ouw sebagai ilmu Pek houw yu chong (Cecak Bermain main Di Tembok).

Setelah ia merasa bahwa ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu telah dikuasainya benar benar dan ilmu merayap yang dilatihnya selama ini sudah cukup sempurna, pada pagi hari sekali Beng Han memandang ke bawah melalui lubang angin di tembok luar pagoda. Jarang ia memandang ke luar seperti ini, karena baisanya ia khawatir kalau kalau tempat sembunyinya diketahui orang.

“Aku harus mencari Kong Hwat dan wanita siluman itu,” katanya pada diri sendiri. “Aku harus membuktikan kepada cici Bi Hui bahwa aku tidak berdosa. Kasihan cici Bi Hui...”

Setelah termenung sebentar, Beng Han lalu masuk kembali ke dalam kamarnya, mengikat pedang Kim kong kiam pada punggungnya, membawa pakaiannya yang dibuntal. Sesungguhnya pemuda ini selama sepuluh tahun tidak kekurangan pakaian karena ia dapat menemukan tinggalan pakaian tiga orang hwesio penjaga pagoda. Biarpun besar besar dan tidak karuan potongannya, namun kainnya cukup kuat dan bersih sehingga Beng Han dapat berganti pakaian apabila dikehendakuya. Kini ia bahkan mempunyai bekal beberapa potong pakaian hwesio! Yang dipakainya juga pakaian hwesio yang longgar dan tidak karuan. Sepatunya juga sepatu hwesio yang besar! Kalau saja rambutnya tidak panjang menghitam, tentu ia menjadi seorang hwesio muda.

Setelah sekali lagi memandang tempat di mata ia bertapa selama sepuluh tahun itu dengan pandangan sayang ia mulai melangkah keluar dari lubang angin dan mulai mempergunakan ilmunya merayap turun. Ia tidak perduli andaikata terlihat orang, karena memang ia sudah mengambil keputusan untuk turun di dunia ramai.

Di luar sangkaannya semula, pagoda itu amat tinggi. Biarpun ia sudah cukup berlatih dengan ilmunya merayap tetap saja kedua telapak tangannya terasa sakit dan tenaga lweekangnya hampir habis sebelum ia tiba di bawah. Masih kurang lebih tujuh tombak dari tanah dan kedua tangannya gemetar. Melihat bahwa jarak antara kakinya dan tanah hanya tujuh tombak kurang lebih, Beng Han lalu melepaskan kedua telapak tangannya dan mempergunakan ginkang untuk melayang turun. Tubuhnya ringan seperti daun kering tertiup angin dan kedua kakinya tidak mengeluarkan suara ketika ia tiba di tanah.

Beng Han memandang ke atas, ke arah puncak pagoda di mana ia tinggal selama sepuluh tahun ini. Ia menarik napas panjang dan merasa puas.

“Aku tidak melanggar pesan suhu,” pikirnya. “Aku baru turun setelah tamat pelajaranku. Lebih baik aku lebih dulu pergi ke makam suhu untuk menghaturkan terima kasih.” Ia tidak tahu bahwa semenjak ia merayap turun tadi, dari balik semak semak ada dua orang mendekam dan mengintai dengan pandang mata kagum dan terheran heran.

“Berhenti! Serahkan Kitab Im yang Cin keng dan pedang Giok po kiam kepada kami!”

Beng Han terkejut juga mendengar bentakan yang tiba tiba ini. Ia cepat menengok dan melihat dua orang hwesio tua sekali yang sikapnya keren dan gagah. Yang seorang memegang kipas besar sedangkan hwesio yang ke dua memegang seuntai tasbeh perak. Kalau dua benda ini merupakan senjata maka dapat dibayangkan betapa lihai dua orang hwesio tua yang tadi mengintai turunnya Beng Han dan pagoda ini. Di dalam dunia persilatan telah menjadi kepercayaan bahwa barang siapa mempergunakan senjata yang sederhana maka orang itu tentu berkepandaian tinggi. Makin sederhana senjatanya, makin tinggilah ilmu kepandaian orang itu.

Biarpun Beng Han tidak dapat menduga demikian karena ia memang kurang pengalaman, namun ia masih ingat akan tata susila dan sopan santun. Cepat ia menjura sambil tersenyum dan bertanya,

“Mohon maaf kalau aku yang muda tidak mengerti apa maksud ji wi losuhu. Aku Thio Beng Han tidak pernah bertemu dengan ji wi losuhu. Siapakah ji wi losuhu dan apa gerangan maksud teguran tadi?”

Dua orang hwesio tua itu nampak ragu ragu. Memang, melihat kedudukan mereka yang tinggi, agak tidak patut dan memalukan kalau mereka memperkenalkan diri kepada seorang muda setengah bocah ini, akan tatapi kalau tidak memperkenalkan diri, memang lebih  tidak patut  lagi. Tak mungkin berurusan tanpa memperkenalkan diri dan menceritakan sebab sebab teguran mereka.

“Pinceng adalah Thian Beng Hwesio.” kata hwesio tua pemegang kipas, “dan ini adalah sute Thian Lok Hwesio kami berdua adalah hwesio hwesio dari Go bi pai yang sudah dua tahun mengintai di sini. Kami mendengar bahwa para suheng kami yang menjaga di sini, Gwat Kong Hosiang, Gwat Liong Hosiang, dan Gwat San Hosiang, telah tewas dan Kim hud lenyap dicuri orang. Kemudian kami mendengar bahwa patung emas itu di curi oleh Soat Li Suthai. Telah kami serbu nenek itu. akan tetapi dia dapat membuktikan bahwa benda benda yang terpenting, pusaka Go bi pai yang tadinya berada di dalam patung telah lenyap dicuri orang. Kami telah menduga bahwa tentu ketiga orang suheng kami menyembunyikan kitab dan pedang itu di sekitar pagoda. Ini hari kau orang muda turun dari atas pagoda secara aneh. Tentu kau tahu tentang kitab dan pedang itu!”

Tahulah Beng Han bahwa ia berhadapan dengan dua orang tokoh Go bi pai yang tinggi ilmunya. Memang, dahulu pernah Thian Beng Hwesio dan Thian Lok Hwesio bersama seorang hwesio lain lagi bertempur melawan Song Tek Hong dan Ong Siang Cu dan tiga orang hwesio Go bi pai ini menderita kekalahan. Akan tetapi semenjak itu, Thian Beng Hwesio dan sutenya memperdalam ilmunya dan telah maju pesat sehingga kelihaian mereka sekarang jauh lebih hebat daripada belasan tahun yang lalu. Kini tingkat kepandaian mereka kiranya tidak berbeda jauh dengan tingkat kepandaian Gwat Kong Hosiang bertiga!

“Ji wi losuhu,” jawab Beng Han dengan suara halus dan tenang, “aku tidak menyangkal. Memang kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Gwat Kong Hosiang pernah menyerahkan sebuah kitab yang bernama Im yang Cin keng dan sebuah pedang Giok po kiam kepadaku. Akan tetapi oleh karena aku tidak ingin memiliki dua benda itu dan Gwat Kong Hosiang sudah memberikannya kepadaku, aku telah memberikan dua benda itu kepada orang lain.”

Thian Beng Hwesio biarpun sudah amat tua, namun hatinya masih keras dan ia masih berwatak berangasan.

“Kau bonong! Tak mungkin kitab dan pedang pusaka yang dijadikan rebutan semua orang kang ouw itu kau berikan kepada orang lain begitu saja!” Ia tidak ingat bahwa pemuda ini mengatakan bahwa hal itu terjadi sepuluh tahun yang lalu yang berarti bahwa pemuda itu tentu masih kanak kanak ketika hal itu terjadi.

Beng Han tidak marah, hanya tersenyum ramah. “Kalau losuhu tidak percaya, sudahlah ”

“Kepada siapa kau memberikan kitab dan pedang itu? Hayo mengaku, kepada siapa kau berikan!” Thian Beng Hwesio mendesak dengan sikap mengancam.

Mendengar penanyaan ini, terbayanglah dalam ingatan Beng Han seorang bocah perempuan yang manis dan baik hati. Ia tersenyum mengingat gadis cilik itu, lalu bertanya, “Losuhu, andaikata aku beritahukan siapa dia, losuhu berdua hendak berbuat apakah kepadanya? Mungkin sekali isi kitab itu telah dipelajari nya sampai tamat. Habis, apa yang hendak ji wi lakukan?”

“Kami akan minta kembali kitab dan pedang berikut nyawanya!”

“Nyawanya....??” Beng Han terkejut sekali. “Mengapa demikian, losuhu? Apa salahnya maka ji wi hendak membunuhnya?”

“Karena tidak boleh orang lain bukan anak murid Go bi pai mempelajari isi kitab warisan Tat Mo Couwsu! Maka 

selain kitab dan pedang harus diserahkan kepada kami, juga dia harus menyerahkan nyawanya. Hayo kau beritahukan siapa dia yang membawa dua benda pusaka kami itu!”

Beng Han menjadi marah. “Keterlaluan sekali. Kejam dan tidak adil! Bukankah kitab itu di perebutkan semua oraang dan siapa yang berjodoh dia berhak mempelajari dan memiliknya? Ji wi losuhu, kalau aku tidak mau memberitahukan kepada siapa benda itu kuberikan, kalian hendak berbuat apakah?”

“Akan pinceng paksa kau supaya mengaku!” kata Thian Beng Hwesio sambil menggerak gerakkan kipasnya seakan akan tubuhnya kepanasan. Padahal gerakan ini menandakan bahwa dia sudah mulai kehilangan kesabarannya dan siap menyerang lawan.

“Ji wi losuhu, tadinya aku memang bermaksud memberitahukan kepada ji wi siapa orangnya yang membawa dua benda itu, bahkan aku bersedia membantu untuk mintakan kembali benda benda itu apabila benar benar benda benda itu adalah pusaka dari Go bi pai. Akan tetapi mendengar keputusan ji wi hendak membunuh orangnya, aku menarik kembali niatku tadi. Orang itu tidak bersalah, akulah yang bertanggung jawab karena aku yang memberikan benda benda itu kepadanya. Kalau ji wi losuhu hendak menghukum, hukumlah aku. Sampai mati aku takkan mengkhianati orang itu, karena dia memang tidak bersalah dalam hal ini.”

Ucapan yang gugah dari Beng Han disertai sikapnya yang tenang sekali membuat dua orang hwesio itu saling pandang dengan heran. Alangkah beraninya anak ini, dan tadi mereka berduapun sudah menyaksikan kehebatan ilmu merayap dari pemuda itu ketika menuruni pagoda. Sungguhpun ilmu itu tidak membuktikan kelihaian dalam pertempuran, namun sudah membayangkan bahwa pemuda ini memiliki lweekang tinggi dan bukan orang sembarangan.

“Orang muda, kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan maka kau bersikap sombong dan berani mati. Kami berdua dari Go bi pai tidak biasanya pulang dengan tangan kosong kalau sudah menggerakkan tangan. Agak segan kami kalau harus bertempur denganmu karena tingkat kami jauh lebih tinggi. Barangkali gurumu masih di bawah kami tingkatnya. Coba kausebutkan nama gurumu barangkali kami mengenalnya,” kata Thian Lok Hwesio yang benar benar merasa agak malu kalau harus melayani seorang pemuda dalam kedudukannya sebagai tokoh besar Go bi pai.

Beng Han tersenyum, tahu bahwa dalam kata kata itu tersembunyi kesombongan besar.

“Ji wi losuhu, guruku sudah meninggal dunia dan dahulu orang orang menyebutnya Thian te Kiam ong. Aku menjadi muridnya melalui pelajaran dalam kitabnya.”

“Thian te Kiam ong...??” Hampir berbareng dua orang hwesio itu menyebut nama ini. Mereka kaget dan terheran terheran karena melihat murid Thian te Kiam ong yang sudah lama meninggal dunia itu masih begini muda. “Bocah lancang jangan kau bohong!” bentak Thian Beng Hwesio.

“Mengapa aku harus membohong?” balas Beng Han tak senang. “Agaknya sudah menjadi kebiasaan ji wi losuhu untuk tidak percaya kepada omongan orang lain dan mencari kebenaran sendiri.”

“Tak usah banyak cakap, lekas beritahukan siapa adanya orang yang membawa kitab dan pedang!” Thian Beng Hwesio membentak marah. “Maaf terpaksa aku takkan memberi tahu karena sikap losuhu buruk dan kasar,” jawab Beng Han.

“Kau manusia sombong....!” Thian Beng Hwesio sudah menggerakkan kipasnya Kipas ini bukan sembarang kipas, melainkan sebuah senjata yang amat lihay. Disebutnya kipas Ngo heng san dan di dalam pertempuran merupakan senjata berbahaya dimainkan dengan ilmu Silat Ngo heng kun. Jarang ada orang mampu menghadapi hwesio dengan kipasnya ini.

Akan tetapi Thian Lok Hwesio mencegah suhengnya sambil memutar tasbeh peraknya dan berkata, “Suheng, menghadapi seorang bocah cilik mengapa suheng harus maju sendiri? Biar pinceng menghadapi dan menundukkannya!”

Beng Han sudah siap sedia. Biarpun ia belum memiliki pengalaman bertempur, namun di dalam kitab peninggalan Thian te Kiam ong terdapat banyak penjelasan tentang cara menghadapi lawan tangguh. Ia berlaku tenang dan hati hati sekali, tidak tergesa gesa mencabut Kim kong kiam, melainkan memasang kuda kuda Chit seng pouw dan menaruh kedua tangan dalam sikap pembukaan ilmu Silat Thai lek Kim kong jiu yang tinggi.

Angin dingin bersiut mendahului datangnya tasbeh perak yang menyambar merupakan sinar putih menyilaukan mata. Melihat senjata lawan yang ampuh itu menyambar ke arah kepalanya, Beng Han berlaku tenang sekali ia tidak terburu buru mengelak, melainkan menanti sampai tasbeh itu datang dekat, sama sekali tidak menghiraukan hawa pukulan tasbeh yang cukup dahsyat itu. Tiba tiba dengan sedikit gerakan pundak, Beng Han telah mengangkat kedua tangan ke atas dan menggunakan kedua tangan yang dimiringkan untuk menabas ke bawah pada saat tasbih datang menyerang kepalanya. Dia bukan menangkis, 

melainkan memukul atau membabat tasbeh itu dengan kedua tangan seperti lakunya seorang membabat rumput dengan golok!

Thian Lok Hwesio kaget sekali sampai hampir berteriak. Bukan saja tasbehnya tidak mengenai lawan, bahkan senjata istimewa itu seperti terdorong ke bawah dan tanpa dapat ia cegah lagi senjatanya menghantam batu di atas tanah. Batu itu remuk dan memuncratkan bunga api sedangkan telapak tangan hwesio tua itu terasa perih sekali! Untuk menutupi malunya, Thian Lok Hwesio mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka dan tasbehnya menyambar nyambar cepat dalam serangan bertubi tubi ke arah tubuh pemuda itu.

Beng Han tidak berani berlaku lambat dan sembrono. Pemuda ini cukup maklum akan lihai nya tasbeh lawan, juga maklum bahwa tenaga lweekang dari hwesio tua ini besar sekali. Maka ia mengandalkan kelincahan tubuhnya, bergerak ke sana ke mari seperti bayangan, bersilat dalam ilmu Silat Soan hong pek tek jiu yang cepat sekali gerakannya dan kadang kadang kedua tangannya bergerak menyentil tasbeh kalau senjata terlampau mendekati tubuhnya dan mengancam keselamatannya. Anehnya, setiap kali senjata itu terkena sentilan jari tangannya, senjata itu tentu menyeleweng arahnya! Diam diam Thian Lok Hwesio merasa kaget, kagum dan juga penasaran. Masa dia seorang tokoh besar Go bi pai sampai dipermainkan oleh seorang bocah yang bertangan kosong? Ia makin marah dan tasbehnya menyambar makin kuat dan cepat.

Perlu diketahui bahwa seorang hwesio tua seperti Thian Lok Hwesio yang menjadi tokoh besar Go bi pai, tentu saja ilmu silatnya tinggi dan tenaganya kuat sekali. Ilmu kepandaiannya biarpun tidak setinggi kepandaian Pat pi Lo cu atau Koai Thian Cu umpamanya, akan tetapi kiranya sudah mengimbangi kepandaian Sin tung Lo kai Thio Houw, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan dahsyat tasbeh peraknya ketika ia menyerang Beng Han dengan penasaran dan marah.

Apabila kalau diingat bahwa Beng Han dapat diumpakan sebagai seekor burung yang baru saja turun dari sarang setelah sayapnya benar benar kuat, biarpun pandai terbang akan tetapi belum banyak pengalaman. Demikian pula Beng Han. Kalau saja ia tidak mewarisi ilmu ilmu silat yang luar biasa tingginya disertai ketekunan yang hebat dan ketenangan yang ia dapat dari “bertapa”, tentu ia takkan kuat menahan gelombang serangan yang amat dahsyat dari tasbeh di tangan Thian Lok Hwesio.

Baiknya pemuda itu benar benar telah menguasai ilmu silatnya dengan sempurna. Boleh dibilang beberapa macam ilmu silat tinggi yang ia pelajari dari kitab peninggalan Thian te Kiam ong, sekarang telah mendarah daging dalam dirinya, menjadi satu dengan urat syaraf dan perasaannya sehingga semua gerakannya ketika melindungi diri terjadi seperti otomatis tanpa disengaja atau diatur lagi. Ketenangan dan kecekatannya membuat semua serangan Thian Lok Hwesio gagal dan menghantam angin belaka.

Namun karena ia bertangan kosong sedangkan lawannya menggunakan senjata tasbeh yang mempergunakan untuk memukul, menotok dan mengemplang ke arah muka, Beng Han menjadi keteter dan terdesak hebat. Pemuda ini tadinya hanya membela diri sama karena ia tidak merasa bermusuhan dengan hwesio ini. Akan tetapi oleh karena ia berada dalam keadaan berbahaya apabila mengalah terus, akhirnya ketika tasbih menyambar ke arah mukanya, ia melompat mundur dan mengeluarkan suara keras dari mulutnya sambil mendorongkan kedua tangannya dengan 

jari jari terbuka ke depan, inilah pukulan dari Soan hong pek lek jiu yang hebat, ilmu warisan dari nenek sakti Mo bin Sin kun, guru Thian te Kiam ong.

Pukulan sakti yang telah terlatih hebat oleh Beng Han ini, mana Thian Lok Hwesio mampu menahannya? Bagaikan sebuah balok dihanyutkan gelombang laut membadai, tubuhnya terhuyung ke belakang tak dapat tercegah lagi, tasbehnya membalik dan memukul perutnya sendiri. Baiknya ia masih dapat mengerahkan tenaga perutnya sehingga senjata itu tidak makan tuannya. Baru setelah terhuyung mundur sejauh belasan langkah, Thian Lok Hwesio dapat mengatur keseimbangan badan dan berdiri tegak dengan muka pucat sekali.

“Omitohud.... hebat luar biasa....” Ia mengeluh terengah engah.

Thian Beng Hwesio hampir tak dapat mempercayai matanya sendiri melihat betapa sutenya dikalahkan demikian mudahnya oleh pemuda ini. Ia menjadi penasaran sekali.

“Bocah, kau berani menghina suteku?” bentaknya dan kipasnya dikebutkan ke arah Beng Han.

Pemuda ini merasa angin panas menyambar ke arahnya dari kipas itu. Ia kaget dan maklum bahwa di depannya bergerak seorang pandai, ia tidak berani sembrono. Cepat ia menggerakkan kedua tangannya dan menolak hawa panas itu dengan angin pukulan tangannya Angin pukulan kipas di tangan Thian Beng Hwesio terpukul buyar. Hwesio itu menjadi amat kagum, juga panas hati.

“Bocah, kaulihai juga. Lihat kipas!” Sambil berseru demikian ia menerjang maju dengan serangan kipas yang ternyata lebih hebat dan dahsyat daripada serangan tasbeh dari Thian Lok Hwesio tadi. Beng Han tidak mau terlalu mengalah seperti tadi. Sekarang ia tidak hanya membela diri, melainkan melakukan serangan balasan dengan pukulan pukulan Thai lek Kim kong jiu di campur dengan Soan hong Pek lek jiu yang ampuh. Menghadapi pukulan pukulan ini, sebentar saja Thian Beng Hwesio main mundur dan kipasnya sudah terkena pukulan sampai robek tengahnya.

“Kami harus memaksamu mengaku!” teriak Thian Beng Hwesio nekad. Teriakan ini sebagai penutup malunya karena ia segera memerintahkan sutenya untuk mengeroyok.

Melihat bahwa suhengnya juga tidak mampu mengalahkan pemuda yang masih bertangan kosong itu, Thian Lok Hwesio lalu menyerang dengan tasbehnya membantu Thian Beng Hweso. Untuk mencari dimana adanya barang barang pusaka partainya, dua orang kakek tua ini tidak segan segan atau malu malu lagi untuk mengeroyok seorang muda remaja!

Menghadapi keroyokan dua orang kakek tokoh Go bi pai itu, terpaksa Beng Han melompat mundur sampai dua tombak dan di lain saat ketika dua orang kakek itu mendesaknya, tangannya bergerak dan sinar keemasan seperti pelangi menyambar dan menahan gerakan kipas dan tasbeh. Terdengar suara keras disusul teriakan teriakan Thian Beng Hwesio dan Thian Lok Hwesio. Ternyata kipas dan tasbeh itu telah terbabat putus ujungnya oleh pedang di tangan pemuda itu.

“Pedang Kim kong kiam di tanganku, apakah ji wi losuhu tidak mengenalnya dan masih menyangkal bahwa aku adalah murid suhu Thian te Kiam ong?”

Dua orang hwesio itu kaget setengah mati melihat betapa dalam segebrakan saja pemuda itu dapat merusak senjata mereka. Kalau dilanjutkan pertempuran itu, tidak sukar diduga kesudahannya, pasti mereka akan kalah dan roboh di tangan pemuda yang luar biasa ini. Pula, mereka juga mengenal Kim kong kiam, maka Thian Beng Hwesio menarik napas panjang dan berkata,

“Kau lihai sekali, orang muda, dan patutlah kalau kau menjadi ahli waris kepandaian Thian te Kiam ong. Akan tetapi ketahuilah kami berdua bertugas untuk mencari dan membawa kembali pedang dan kitab pusaka Go bi pai, oleh karena itu biarpun kami harus kehilangan nyawa, kami harus mencari orang yang membawa benda pusaka itu sampai dapat.”

Beng Han dapat menghormati tugas orang lain. Ia berkata, “Ji wi losuhu, aku sendiri akan membantu ji wi untuk mendapatkan kembali kitab dan pedang. Akan tetap aku tetap tidak dapat memberitahukan orangnya kalau ji wi berkukuh hendak membunuh atau mengganggunya. Ketahuilah bahwa orang yang kini membawa kitab dan pedang itu sama sekali tidak berdosa. Dia hanya menerima sebagai hadiah dari tanganku. Adapun aku sendiri juga menerima sebagai hadiah dari Gwat Kong Hosiang, maka ji wi jangan menuduh yang bukan bukan. Menghukum orang, apalagi membunuhnya tanpa alasan yang kuat, sungguh merupakan perbuatan dosa yang harus di pantang oleh ji wi. Aku akan mencari orang itu dan minta kembali kitab dan pedang, kelak kalau sudah berhasil, aku akan pergi ke Go bi san mengembalikannya!”

Setelah berkata demikian, Beng Han menggerakkan kedua kakinya dan sekejap mata saja ia sudah lenyap dari depan dua orang hwesio yang menjadi bengong itu. Memang Beng Han tidak mau mencari “penyakit”, yaitu tidak mau memberi kesempatan kepada hwesio hwesio keras hati agar jangan sampai timbul percekcokan baru Di dalam hatinya ia berjanji untuk mencari Li Hwa, selain untuk minta kembali kitab dan pedang karena isi kitab itu toh sudah dipelajari sampai tamat oleh Li Hwa, juga untuk memberi tahu akan bahaya yang mengancam dari pihak Go bi pai. Dan terutama sekali karena ia amat ingin bertemu dengan bocah perempuan yang dianggapnya sangat baik budi terhadapnya itu.

0odwo0

Semenjak mendapatkan kitab Im yang cin keng dan pedang Giok po kiam, Kwan Li Hwa melatih diri dengan ilmu silat ini di bawah pimpinan Sin tung Lo kai Thio Houw sendiri. Kakek sakti ini maklum bahwa kalau ada orang kang ouw yang mengetahui akan hal ini, pasti mereka takkan tinggal diam dan akan mencoba melakukan perampasan kitab dan pedang. Oleh karena itu ia berlaku keras sekali Cucu perempuannya ini disekap di dalam rumah tak boleh keluar dan di dalam taman bunga di belakang rumah mereka yang terkurung dinding tembok tinggi, yaitu rumah mereka di Leng ting, setiap hari Sin tung Lo kai mengawasi cucunya berlatih silat Biarpun Kwan Siang Hong beberapa kali mengajukan permintaan agar ia diperkenankan berlatih bersama adiknya, namun Sin tung Lo kai berkeras tidak mengijinkannya.

“Kitab dan pedang ini bukanlah benda sembarangan dan terjatuh ke dalam tangan Li Hwa sudah menjadi kehendak Thian. Li Hwa yang berjodoh maka harus dia yang mempelajarinya Kalau kuberikan kepadamu, aku khawatir kita akan menerima kutukan Tat Mo Couwsu. Sian Hong, kau seorang laki laki, selain kepandaianmu dari aku sudah cukup, langkahmu lebar dan kau dapat mencari tambahan kepandaian di dunia kang ouw. Tidak seperti adikmu, seorang perempuan.” Demikian Sin tung Lo kai memberi alasan. Sian Hong seorang pemuda yang taat, menerima alasan ini dan tidak menaruh hati iri. Bahkan ia lalu berpamit dari ayah bundanya untuk merantau agar pengertiannya bertambah. Kedua orang tuanya hanya memberi waktu dua tahun, demikian kata mereka, karena pemuda ini sudah terikat oleh perjodohan dengan Song Bi Hui, cucu Thian te Kiam ong.

Ketika Sin tung Lo kai melihat lihat kitab Im yang cin keng, ia menjadi girang bukan main karena isi kitab itu benar benar merupakan pelajaran ilmu silat yang amat aneh dan tinggi. Di situ terdapat pelajaran lweekang dan ginkang juga terdapat beberapa macam ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang! Membaca sepintas lalu saja tahulah kakek ini bahwa cucunya telah mendapatkan ilmu sitat yang amat hebat, jauh lebih hebat daripada ilmu silatnya sendiri! Maka kakek ini makin tekun melatih cucunya, dan biarpun dia membacanya, ia hanya mengetahui teori teorinya saja agar dapat membri petunjuk. Dia sendiri tidak mau melatih diri karena merasa tidak berhak. Beginilah watak seorang gagah sejati!

Setelah setahun lewat, Thio Leng Li dan suaminya, Kwan Lee pergi ke Lok can mengunjungi Song Siauw Yang dan suaminya. Mereka ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh Pun Hui dan Siauw Yang seperti layaknya sahabat sahabat lama bertemu.

Dalam percakapan gembira, Leng Li dan Kwan Lee menyatakan kepentingan dan kunjungan mereka, yakni selain menengok, juga hendak mempererat dan mengesahkan ikatan dan perjodohan antara Kwan Sian Hong putera mereka dan Song Bi Hui, sebagaimana telah diusulkan dahulu oleh mendiang Thian te Kiam ong.

Mendengar ini, wajah Siauw Yang menjadi muram sekali, nampak berduka. Tentu saja Kwan Lee dan isterinya menjadi heran dan kaget. Memang semenjak mereka datang, mereka telah melihat wajah tuan dan nyonya rumah nampak muram dan seperti tertutup awan gelap.

“Enci Siauw Yang, kau mengapa nampak berduka?” tanya Leng Li.

Siauw Yang menarik napas panjang berkali kali lalu berkata, “Aahh, semenjak ayah meninggal dunia. keluarga kami seperti menerima kutukan. Mula mula terbunuhnya kakakku Tek Hong dan so so secara mengerikan. Kemudian setelah beberapa lama Bi Hui berada di sini, pada suatu malam ia pergi tanpa pamit, entah ke mana perginya sampai sekarang kami tidak tahu. Bahkan pada keesokan harinya, Kong Hwat juga pergi menyusul untuk mencari Bi Hui. Sekarang sudah hampir setahun, mereka belum ada beritanya! Celakalah kami yang ditinggalkan, tak enak makan tak nyenyak tidur. Tadinya kami hendak menyusul, akan tetapi kemanakah? Pula, kalau kami pergi, kami takut kalau kalau mereka pulang. Aaahhh…!” Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Siauw Yang. Tentu saja dia tak mau berceritera tentang percekcokan dengan Siang Cu dan Tek Hong sebelum dua suami isteri itu terbunuh. Juga ia tidak mau berceritera tentang hal yang amat menggelisahkan dan menyusahkan hatinya dan hati suaminya, yakni tentang Kong Hwat. Pemuda ini pergi sehari setelah Bi Hui pergi, dan perginya bersama dengan Kui Lian yang makin lama makin dipikir makin mencurigakan hati mereka. Diam diam mereka dapat menduga bahwa tentu ada hubungan apa apa yang tidak bersih antara putera mereka dengan wanita muda yang cantik dan aneh itu.

Mendengar penuturan ini, Leng Li dan suaminya ikut bingung. Mereka datang untuk bicara tentang perjodohan, tidak tahunya dua orang muda yang bersangkutan semua telah pergi tanpa diketahui ke mana perginya, sudah hampir setahun!

Karena kasihan kepada sahabatnya, Leng Li dan suaminya tinggal di Liok can sampai dua bulan lebih. Adanya mereka berdua di situ merupakan hiburan besar bagi Siauw Yang dan Pun Hui oleh karena sebagaimana diketahui, Pun Hui adalah sahabat baik bahkan kawan sekolah dati Kwan Lee, adapun Siauw Yang dan Leng Li memang telah mengikat tali persahabatan sjak lama. Hubungan mereka seperti saudara, apalagi memang Pun Hui merupakan kakak angkat dari Leng Li.

Sama sekali Leng Li dan suaminya tidak mengira bahwa sepergi mereka, di Leng ting telah terjadi hal hal yang amat hebat!

Kota Leng ting cukup ramai dan di situ terkenal sebagai pusat perkumpulan Ang sin tung Kai pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah) yang masih diketuai oleh Sin tung Lo kai Thio Houw dan diwakili oleh Thio Leng Li yang berjuluk Bi sin tung. Perkumpulan ini bukan semata mata merupakan perkumpulan pengemis, melainkan lebih tepat disebut perkumpulan orang orang gagah yang selalu memupuk perbuatan baik dan membantu rakyat yang tertindas. Oleh karena Leng ting merupakan pusat di mana sang ketua berada, tentu saja di situ terdapat banyak pentolan pentolan Ang sin tung Kai pang yang seringkali datang menghadap Thio Houw untuk memberi laporan tentang keadaan dan minta nasihat nasihat.

Pada suatu hari, hanya tiga pekan semenjak Leng Li dan suami nya berangkat ke Liok can, rumah gedung di mana keluarga itu tinggal kedatangan seorang pemuda ganteng dan seorang gdis cantik yang membawa hudtim. Mereka ini adalah Kong Hwat dan Ku Lian. Sudah setahun mereka ini merantau sampai jauh. Atas desakan Kong Hwat yang selalu merengek manja, mereka mencari jejak Bi Hui, namun sia sia. Ahirnya Kong Hwat mengajak kekasihnya pergi ke Leng ting karena ia menduga bahwa Bi Hui besar sekali kemungkinannya pergi ke rumah calon suaminya! Memikirkan hal ini, ia merasa iri hati dan cemburu sekali terhadap keluarga Sin Tung Lo kai.

Menang, tak salah apabila orang mengatakan bahwa watak seorang sebagian besar terpengaruh dan tergantung kepada pergaulan. Orang yang wataknya baik apabila terpengaruh oleh orang jahat, lambat laun akan menjadi jahat pula. Kong Hwat tadinya berwatak baik, akan tetapi ia masih hijau dan kurang pengalaman. Setelah ia terjerumus ke dalam cengkeraman berbisa dari siluman Kui Lian, moralnya menjadi rusak. Wanita cabul yang menjadi jahat seperti siluman itu menyeratnya ke dalam lembah kehinaan yang penuh nafsu. Selama ia melakukan perjalanan dengan Kui Lian, ia terjerumus makin dalam dan akhirnya pemuda keturunan orang orang gagah ini tidak ragu ragu lagi bersama Kui Lian melakukan segala perbuatan seperti mencuri, merampok dan membunuh orang tanpa berkedip mata! Bahkan, yang lebih hina lagi, mereka berdua melakukan perbuatan perbuatan tak tahu malu yang akan membikin merah muka orang orang sopan. Biarpun Kui Lian betul betul cinta setulusnya kepada Kong Hwat, namun wanita ini tak dapat mengekang nafsunya dan dengan terang terangan dia berani bermain gila dengan laki laki lain, sedangkan iapun memberi kesempatan kepada Kong Hwat untuk mengganggu anak bini orang. Bahkan wanita siluman ini membantunya mendapatkan wanita yang kiranya menarik hati Kong Hwat. Tadinya memang hal ini dilakukan secara sembunyi sembunyi. akan tetapi kemudian, di bawah pengaruh sihir Kui Lian, Kong Hwat dan kekasihnya bersepakat untuk memberi kesempatan kepada masing masing mencari hiburan dan selingan. Benar benar perhubungan mereka amat kotor dan hina. Tidak ada malu lagi, tidak ada cemburu lagi. Mereka merupakan pasangan yang cocok, pasangan yang jahat dan berbahaya sekali. Di samping itu mereka masih terus memperdalam ilmu kepandaian, saling bertukar ilmu hingga menjadi makin lihai.

Kedatangan Kong Hwat dau Kui Lian di rumah Sin tung Lo kai disambut oleh tiga orang anggota Ang sin tung Kai pang yang sudah setengah tua usianya. Mereka ini merupakan tokoh tokoh Ang tin tung Kai pang yang bertugas menjaga tempat tinggal dan mengatur segala keperluan rumah tangga ketua mereka. Pada siang hari itu, seperti biasa Sin tung Lo kai tengah melatih Li Hwa. Kakek ini mempunyai pandangan yang amat jauh, oleh karena itu pada bulan bulan pertama ia menyuruh Li Hwa menghafal seluruh isi kitab itu diluar kepala. Memang pekerjaan ini agak sukar bagi Li Hwa yang lebih pintar bersilat daripada menghafal huruf. Akan tetapi Sin tung Lo kai memaksanya sehingga Li Hwa terpaksa menghafal isi kitab itu. Juga kitab dan pedang tidak ditaruh begitu saja di dalam kamar oleh Sin tung Lo kai, melainkan disimpan di tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Li Hwa dan dia sendiri. Di waktu berlatih, mereka tidak membutuhkan kitab itu, kecuali apabila Li Hwa lupa bagian yang hendak dilatihnya.

Melihat bahwa yang menyambutnya tiga orang setengah tua berpakaian tambal tambalan, hati Kui Lian menjadi tak senang. Biarpun pakaian itu bersih sekali, namun bertambal tambal seperti pakaian pengemis. Kalau Kong Hwat menjura kepada tiga orang itu, sebaliknya Kui Lian menjebikan bibir dan melihat lihat ke arah lukisan di dinding ruangan depan yang amat lebar itu.

“Sicu siapakah dan hendak bertemu dengan siapa?” tanya seorang diantara tiga penyambut itu. 

“Siauwte Liem Kong Hwat dari Liok can hendak bertemu dengan Sin tung Lo kai Thio pangcu,” jawab Kong Hwat yang belum melupakan sopan santun.

Tiga orang pengurus Ang sin tung Kai pang ini sudah lama membantu Thio Houw, maka mendengar bahwa pemuda ini datang dan Liok can, mereka dapat menduga bahwa ini tentulah pemuda cucu Thian te Kiam ong yang akan di jodohkan dengan Kwan siocia. Maka dengan muka berseri mereka memberi hormat, kemudian seorang di antara mereka berseru ke dalam, suaranya keras dan mengandung tenaga khikang yang kuat sehingca suara itu dapat terdengar sampai di tempat jauh.

“Pangcu, di sini ada Liem sicu dari Liok can mohon menghadap pangcu!” Kong Hwat mengerutkan kening. Alangkah kurarg ajarnya pengemis pengemis ini terhadap ketua mereka. Masa melaporkan kedatangan tamu dengan cara berteriak begitu saja. Ia tidak tahu bahwa aturan ini memang diadakan oleh Sin tung Lo kai sendiri semenjak ia melatih ilmu silat kepada Li Hwa, agar tidak ada orang yang berani masuk ke dalam taman atau ruangan belajar silat.

Tak tama kemudian dari belakang rumah terdengar suara nyaring,

“Silahkan tamu yang terhormat duduk menanti sebentar, aku segera keluar menyambut!”

Mendengar ini, tiga orang pengemis itu lalu mempersilahkan Kong Hwat dan Kui Lian untuk duduk menanti di ruang tamu, sedangkan mereka sendiri lalu keluar dan duduk di bangku yang berada di luar rumah, melanjutkan percakapan mereka yang tadi terganggu oleh kedatangan dua orang muda itu. Belum lama Kong Hwat dan Kui Lian duduk di ruang tamu itu, pintu terbuka dan masuklah Sin tung Lo kai bersama Li Hwa. Gadis cilik ini berpakaian ringkas dan wajahnya kemerahan, masih basah oleh peluh karena baru saja ia bertatih silat dengan penuh semangat.

Kong Hwat segera menjura dengan hormat kepada kakek yang membawa tongkat merah itu.

“Harap Thio lopangcu baik bak saja selama ini,” katanya sederhana.

Melihat Kong Hwat, kening Sin tung Lo kai berkerut.

“Eh, eh, kiranya kau? Anak dan mantuku juga pergi ke rumah orang tuamu di Liok can. Apakah kau tidak bertemu dengan mareka? Dan ada kepertuan apakah kau datang ke sini, Liem sicu?”

Tadinya Li Hwa tidak tahu siapa gerangan tamu yang datang, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang dicalonkan sebagai jodohnya, tanpa berkata apa apa lagi dengan pipi kemerahan ia lalu berlari masuk. Melihat ini, Thio Houw tertawa kecil akan tetapi tidak berkata apa apa.

“Lo pangcu, sudah setahun aku pergi dari rumah, mencari adik Bi Hui yang pergi tanpa pamit. Kedatanganku ke sini juga untuk melihat apakah adik Bi Hui berada di sini.”

Sin tung Lo kai memandang tajam dan keningnya makin berkerut dalam. Melihat pemuda ini ia teringat akan penuturan Beng Han bahwa pembunuh Song Tek Hong dan isterinya adalah Kong Hwat dan seorang perempuan muda. Kakek itu mengerling ke arah Kui Lian yang duduk dengan sikap sombong tak mengacuhkannya. “Hemm, kau mencari Song siocia? Dan siapakah bocah ini?” ia menudingkan jari telunjuknya ke arah Kui Lian.

Kui Lian memiliki watak sombong karena merasa bahwa ia berkepandaian. Ia biasa memandang rendah kepada orang lain, maka terhadap kakek inipun ia memandang rendah. Melihat sikap kakek itu yang dianggapnya menghina, ia tertawa genit dan berdiri sambil berkata,

“Kakek ketua jembel, kau menuding nuding kepadaku ada apakah? Aku Cia Kui Lian tidak mempunyai urusan dengan kau. Lebih baik kau lanjutkan urusanmu dengan dia ini dan lebih baik lagi kalau kau lekas lekas mengeluarkan Bi Hui apabita gadis itu disembunyikan di sini agar urusan lekas beres!”

Kong Hwat yang selama ini sudah biasa dengan watak Kui Lian, tidak menjadi heran biarpun ia merasa agak tidak enak, tahu orang macam apa adanya kakek ini.

Mendengar kata kata Kui Lian itu, alis kakek yang sudah putih itu berdiri, matanya mengeluarkan sinar berapi.

“Kau ini siapakah berani bicara macam itu kepada Sin tung Lo kai Thio Houw?” kata kakek itu menahan marah dan sepasang matanya terus menatap tajam.

Kui Lian tersenyum manis dan sikapnya makin genit “Kakek tua, kau ingin tahu namaku? Aku Cia Kui Lian.

Tadi sudah kusebutkan namaku, apakah satu kali saja masih belum memuaskan hatimu?”

Thio Houw membuang muka dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Kong Hwat, sikapnya marah dan penuh teguran.

“Liem sicu, mengapa kau membawa bawa perempuan macam ini ke sini? Hemm, aku heran apakah roh Thian te 

Kiam ong tidak menjadi marah marah melihat cucunya seperti kau ini. Dan aku heran apakah perempuan ini tidak hadir dalam pembunuhan Song taihiap dan isterinya!”

Mendengar ini, wajah Kong Hwat seketika menjadi pucat.

“Lo pangcu jangan kau menghina orang. Cia lihiap ini adalah sahabat baikku yang membantuku di mana mana. Bagaimana kau berani menghinanya? Tentang pembunuhan paman dan bibi, sudah jelas yang membunuhnya bocah setan Beng Han. Lo pangcu, aku datang bukan untuk membicarakan hal itu atau untuk memancing penghinaan, akan tetapi hendak mencari Bi Hui. Dia tidak bisa menjadi cucu mantumu, juga aku tidak, karena Bi Hui dan aku sudah mengikat janji perjodohan sendiri. Kalau Bi Hui bersembunyi di sini, harap kau suruh keluar agar aku dapat mengajaknya pulang.”

Hampir saja Sin tung Lo kai Thio Houw tak dapat percaya akan pendengarannya sendiri dan pandangan matanya sendiri. Inikah pemuda putera Liem Pun Hui dan Song Siauw Yang? Karena Liem Pun Hui masih putera angkatnya, maka pemuda ini terhitung cucu angkatnya pula! Dan pemuda ini juga cucu Thian te Kiam ong! Sudah gilakah pemuda ini!

“Bangsat rendah, kau bicara apa? Hayo pergi dari sini! Tak pantas kau menginjak lantai rumahku. Pergi sebelum aku lupa diri dan menghancurkan kepalamu dan kepala anjing betinamu!” Kemarahan Sin tung Lo koai meluap luap, wataknya yang keras di waktu mudanya timbul kembali karena merasa dihina orang orang muda.

Kong Hwat juga timbul marahnya, ia berdiri dan tersenyum sindir. “Sin tung Lo kai, kaulah yang lebih dulu menghina kami. Kedatangan kami hanya untuk mencari Bi Hui, akan tetapi kau bicara yang bukan bukan. Tentang pergi dari sini, tanpa kau minta kamipun akan pergi. Akan tetapi lebih dulu harus mendapat kepastian apakah Bi Hui tidak berada di sini. Kami bukan percuma membuang waktu dari perjalanan ke sini!”

“Koko, mengapa banyak urusan? Geledah saja di dalam, habis perkara. Kau geledah ke dalam dan kalau ada Bi Hui seret ia keluar. Aku yang menjaga di sini!” kata Kui Lian sambil mencabut pedang menggerak gerakkan hudtimnya.

Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Sin Tung Lo kai menghadapi dua orang muda itu.

“Jahanam keparat! Andaikata Bi Hui berada di sini kalian mau apakah?” Tongkat merah di tangan nya sudah tergetar dan hawa marah membayang d matanya.

“Kalau dia berada di sini, harus pulang ikut dengan aku!” jawab Kong Hwat yang mengandalkan kepandaian Kui Lian dan hendak memasuki ruangan dalam.

“Jangan injakkan kakimu yang kotor di sini! Pergilah!” Sin tung Lo kai marah dan menggerakkan tongkatnya, sekaligus menyerang Kong Hwat dan Kui Lian. Serangan ini hebatnya bukan main mengeluarkan angin berputar seperti angin taufan.

Kong Hwat dan Kui Lan cepat menangkis dengan pedang mereka dan akibatnya, Kong Hwat terhuyung huyung ke belakang dan Kui Lian terpental sampai ke pintu! Memang, kepandaian Sin tung Lo kai amat tinggi dari pada kepandaian dua orang muda itu.

Pada saat itu, tiga orang kakek penjaga yang mendengar teriakan teriakan marah dari ketua mereka, sudah menyerbu masuk dengan tongkat di tangan. Tongkat mereka juga merah seperti yang dipegang oleh Sin tung Lo kai. Seorang di antara mereka berada di dekat Kui Lian. Begitu ia memandang Kui Lian berseru nyaring.

“Berlutut kau....!” Suaranya penuh wibawa, pandang matanya penuh hawa dan pengaruh menundukkan. Hebat sekali, kakek pengemis ini tiba tiba seperti dipukul lututnya dan berlututlah ia di depan Kui Lian. Sambil tertawa menyeramkan Kui Lian menggerakkan kebutannya yang menyambar ke arah kepala kakek itu. Tanpa menjerit kakek ini roboh terguling di atas lantai dan tongkatnya terlepas dari pegangan. Kui Lian dengan pandang mata penuh hawa sihir menghampiri Sin tung Lo kai!

“Pangcu, harap jangan memandang matanya Dia ahli ilmu hitam!” seru seorang di antara dua pengemis yang masih hidup. Dia telah banyak merantau di dunia utara maka ia mengenal ilmu hitam yang lihai dari Kui Lian.

Sin tung Lo kai juga bukan orang yang masih hijau. Mendengar seruan pembantunya itu, tongkat merahnya segera bergerak menyerang dengan hebat ke arah Kui Lian tanpa ia memandang ke wajah wanita itu.

“Koko, kita pergi saja!” seru Kui Liankz sambil menggandeng tangan Kong Hwat dan tangan kirinya mengebutkan saputangan merah.

“Mundur....!” seru Thio Houw yang terpaksa menarik kembali tongkatnya karena ia melihat uap hitam mengebul keluar dari saputangan merah itu dan ia tahu bahwa uap itu tentulah semacam bubuk berbisa yang amat berbahaya.

Baiknya Thio Houw dan dua orang pembantunya sudah melompat mundur sehingga mereka terhindar dari pengaruh bubuk berbisa itu. Akan tetapi ketika mereka memandang, Kui Lian dan Kong Hwat sudah pergi dari situ. Thio Houw hendak mengejar, akan tetapi pembantunya berkata,

“Pangcu, perempuan siluman itu berbahaya sekali. Tidak ada gunanya dikejar!”

“Aku harus menangkapnya!” seru Thio Houw yang terus melompat mengejar. Akan tetapi tiba tiba terdengar ledakan keras dan ruangan depan itu terbakar! Ternyata dalam larinya, Kui Lian telah melepaskan semacam obat peledak yang dapat membakar dan dengan jalan itu membebaskan diri dari kejaran lawan!

Thio Houw terpaksa kembali dan menggeleng gelengkan kepala.

“Berbahaya sekali....” katanya. Cepat api dapat dipadamkan, agan tetapi pembantu yang tadi terpukul oleh hudtim kepalanya, ternyata telah tewas!

“Aku akan cari dan bekuk perempuan itu!” Sin tung Lo kai berkata seorang diri dengan kemarahan meluap luap. “Mungkin Beng Han bicara betul, agaknya pembunuh Song Tek Hong dan isterinya juga siluman wanita itu yang membantu Kong Hwat.” Teringat akan Kong Hwat diam diam kakek ini terheran heran mengapa pemuda itu berwatak demikian jahat.

Malamnya kota Leng ting menjadi gempar dengan terjadinya hal yang hebat. Rumah Sin turg Lo kai di serbu orang, pertempuran hebat terjadi dan pada keesokan harinya ketika orang orang berani mendekati, ternyata Sin tung Lo kai Thio Houw dan lima orang anggota pimpinan Ang sin tung Kai pang telah tewas, dan Kwan Li Hwa telah lenyap! Tidak ada bukti bukti lain kecuali sebuah lengan arang yang putus sebatas siku, lengan laki laki berbulu yang berotot dan nampak kuat menyeramkan! Apakah yang sesungguhnya terjadi di malam yang menyeramkan itu? Memang mudah diduga bahwa orang seperti Cia Kui Lian yang wataknya sudah seperti iblis saja, tidak akan tinggal diam saja setelah terjadi pertempuran siang tadi di rumah Sin tung Lo kai di mana boleh dibilang ia dan Kong Hwat tidak berdaya menghadapi kakek yang lihai itu. Malamnya ia mengajak Kong Hwat menyerbu lagi dengan alasan bahwa sangat boleh jadi Bi Hui disembunyikan oleh kakek itu!

“Kalau tidak disembunyikan, mengapa ia harus marah marah? Dan mengapa pula pemuda yang hendak dijodohkan dengan Bi Hui tidak kelihatan? Kemana pula perginya ayah bunda pemuda itu? Agaknya mereka semua berada di dalam dan sengaja tidak membolehkan Bi Hui memperlihatkan diri,” demikian Kui Lian membujuk bujuk sehingga Kong Hwat akhirnya dapat dibakar hatinya dan setuju untuk menyerbu gedung itu pada malam hari. Ia memang sudah tahu kelihaian Kui Lian di waktu malam dengan senjata senjata rahasia dan sihirnya yang berbahaya. Padahal Kui Lian tidak begitu perduli tentang Bi Hui. Niatnya yang terutama ialah untuk membalas dendam kepada kakek yang danggapnya telah menghinanya siang hari itu.

-ooo0dw0ooo-

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar