Jilid XXXVI
“Ada hawa kematian di sekitar tempat ini, tak mungkin terlewat begitu saja,” kata Koai Thian Cu seperti kepada diri sendiri akan tetapi kata katanya ini mendatangkan rasa
serem kepada yang mendengarnya, apalagi bagi mereka yang sudah mengenal betapa jitu ramalan ramalan kakek itu.
Karena pintu sudah terbuka dan orang orang tua itu masih juga belum bergerak, hal ini menimbulkan ketidaksabaran dua orang laki laki setengah tua yang pakainnya seperti guru silat. Memang mereka ini adalah guru guru silat dari sebelah utara Bukit Kui San. Mereka lalu melompat memasuki pintu menara dengan gerakan gesit dan teratur, saling melindungi dan tentu saja kepandaian mereka sudah tinggi, kalau tidak demikian, selain tak mungkin mereka bisa sampai di tempat itu, juga kalau tidak pandai mereka takkan berani mengganggu Kim hud tah.
“Sudah mulai… sudah mulai...” kata Koai Thian Cu, berseri seri wajahnya seakan akan seorang bocah menjadi gembira menonton pertunjukan yang menarik dimulai!
Dua orang guru silat itu memasuki pintu menara yang gelap dengan langkah seperti harimau harimau mengintai korban, tangan kiri siap menjaga di depan dada, tangan kanan meraba gagang golok yang tergantung di pinggang. Akan terapi tidak terjadi sesuatu. Mereka melangkah terus dan tiba di ruangan terbawah, di mana mereka melihat seorang hwesio tua yang berwajah angker duduk bersila di atas bangku, di dekatnya terdapat sebuah meja di mana terletak sebatang pedang yang mengkilap. Ruangan ini terang karena menerima cahaya penerangan dari luar melalui lubang lubang di dinding atasnya. Inilah Gwat San Hosiang yang bertugas menjaga di bawah ia duduk bersila dengan muka tunduk seperti sedang semadhi.
Dua orang guru silat itu menyapu tempat itu dengan pandang mata mereka. Tidak ada patung emas di situ. Tentu ditingkat atas, pikir mereka saling pandang. Kesunyian tempat itu mengejutkan hati, maka seorang di antara mereka berkata kepada hwesio itu,
“Losuhu, kami dua saudara Kwee, kauwcu (guru silat) dari Tin an bun, sudah memasuki pintu menara!”
Gwat San Hosiang membuka matanya dan mengangkat muka tanpa menggerakkan tubuh. Kaget dua orang kauwsu itu ketika melihat sepasang mata itu mengeluarkan pandangan tajam menyambar.
“Ji wi kauwsu datang kesini mau apakah? Kim hud tah bukan tempat pelesir.”
“Kami datang bukan mau pelesir, melainkan hendak meminjam patung emas!”
Gwat San Hosiang tersenyum. “Kalian juga?”
Dengan muka merah guru silat pertama berkata, nadanya membela diri, “Losuhu, kami berdua adalah guru guru silat yang mengandaikan nafkah hidup dari mengajar ilmu silat. Karena sekarang banyak sekali guru silat, maka kami harus mempunyai modal yang baik, dan modal guru silat hanya ilmu silat yang baik. Oleh karena itu maka kami hendak menambah kepandaian untuk di jadikan modal.”
“Hendak menambah kepandaian mengapa mencari patung emas?” Kembali Gwat San Hosiaog bertanya, masih tersenyum menyindir.
“Bukan patung emasnya yang kami butuhkan, melainkan isinya, kitab yang tersembunyi di dalam patung itu. Patungnya boleh losuhu ambil kembali.”
“Dari mana ji wi kauwsu tahu akan hal itu? Pinceng sendiri belum pernah membuka buka patung keramat itu. Sayang sekali, ji wi kauwsu datang sia sia. Patung emas itu tidak berada di dalam ruangan ini.” “Tentu berada di atas....” dua orang guru silat memandang ke arah tangga yang menuju ke atas.
“Jalan itu terlarang bagi semua orang yang datang dari luar, ji wi tidak boleh melalui anak tangga itu.”
“Losuhu, harap losuhu duduk saja, tak usah repot repot. Biarkan kami berdua sendiri yang akan mencari kitab itu dan terpaksa kami harus meminjam anak tangga itu untuk mencari ke atas.”
“Tugasku menjaga di sini dan siapapun juga takkan dapat mempergunakan anak tangga itu tanpa melewati tubuh pinceng.” Setelah berkata demikian, tahu tahu tubuh yang bersila itu melayang dan dalam keadaan masih bersila tubuh kakek gundul ini telah berpindah ke bawah anak tangga! Karena anak tangga itu sempit dan tubuh nya besar, benar benar jalan ke anak tangga itu terhalang dan kalau orang hendak mempergunakan anak tangga harus lebih dahulu melangkahi atau melewati tubuh Gwat San Hosiang!
“Losuhu, kau mencari penyakit!” bentak guru silat ke dua sambil mencabut goloknya, diikuti oleh saudaranya.
Gwat San Hosiang tertawa. “Masih harus di buktikan dulu siapa yang mencari penyakit, mungkin ji wi kauwsu yang mencari penyakit.”
“Minggir!” bentak dua orang kauwsu itu dan hampir berbareng golok mereka menyambar dari dua jurusan. Serangan ini hebat sekali, karrna bukan saja dilakukan dengan baik dan dari dua jurusan, akan tetapi juga kedudukan hwesio itu amat lemah. Ia sedang bersila dikaki anak tangga dan agaknya tidak mempunyai jalan keluar lagi dari bahaya yang mengancam nyawanya. Akan tetapi, Gwat San Hosiang tidak saja pandai ilmu silat dan pengalamannya sudah banyak, juga ia amat pandai melihat orang dan menaksir kepandaian orang. Ketika dua orang guru silat tadi memasuki pintu menara, sekali melihat dan mendengar gerakan gerakan mereka saja ia sudah dapat menaksir bahwa menghadapi mereka ini tak perlu ia mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga. Oleh karena itu, sekarang melihat serangan mereka, iapun berlaku tenang. Akan tetapi, ia menjadi mendongkol dan marah melihat betapa serangan serangan itu bukanlah serangan biasa, melainkan serangan mengarah matinya! Memang dua orang guru silat yang maklum bahwa mereda berhadapan dengan orang pandai, begitu bergerak terus menyerang bagian bagian berbahaya dan sekali serangan mereka mengenai sasaran, hwesio itu akan tewas atau terluka parah.
“Ji wi mengajak bertaruh nyawa? Baik!” Hwesio tua ini tidak bergerak dari tempat ia bersila, akan tetapi tulang tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan dan tiba tiba ia melakukan gerakan mendorong ke depan sambil berseru, “Pergilah!”
Hebat sekali akibat dari pukulan lweekang yang lihat ini. Bagaikan disambar kilat, tubuh dua orang guru silat itu terlempar keluar dari ruangan itu, terus bergulingan keluar dari pintu menara! Orang pertama terbentur pintu dan goloknya menghantam leher sendiri, sedangkan orang ke dua bergulingan seperti balok digelindingkan. Setelah mereka berhenti terguling guling, mereka sudah tak dapat bergerak lagi, menggeletak di dekat Koai Thian Cu dan....
mati!
“Sudah mulai.... sudah mulai....!” Kakek ini terus mengeluarkan kata kata ini, akan tetapi suaranya seperti orang mewek. Tanpa memperdulikan yang lain lain, kakek ini lalu mempergunakan tongkatnya untuk menggali tanah. Caranya memang luar biasa. Tongkat sekecil itu ketika dipergunakan untuk menggali tanah, ternyata melebihi sebatang pacul hasil kerjanya. Sekali tongkat ditancapkan di tanah, ketika dicabut segumpal besar tanah terbawa ke atas. Dengan cara aneh dan luar biasa ini sebentar saja Koai Thian Cu sudah berhasil membuat atau menggali lubang yang cukup besar dan dalam. Kemudian ia memasukkan dua mayat guru silat itu ke dalam lubang dan menimbuni lubang kembali dengan tanah galian.
“Ha, ha, ha, sekarang Koai Thian Cu bertambah dengan satu pekerjaan lagi. Tidak saja dia tukang silat, tukang sulap dan tukang ramal, juga sekarang dia tukang mengubur mayat!” kata Pat pi Lo cu sambil tertawa terbahak bahak.
Sementara ini, sambil mengeluarkan gerengan keras seperti guntur, seorang hwesio gemuk dengan mata besar melangkah lebar memasuki pintu menara. Dia ini bukan lain adalah hwesio yang kemarin hari dicuri bebek panggangnya oleh Beng Han. Hwesio ini bukan orang sembarangan. Dia bersama Thai Ti Hwesio, seorang anak murid Siauw lim pai yang sudah tinggi ilmu silatnya. Sayang sekali dia menyeleweng, baik menyeleweng dari perguruan silat Siauw lim pai maupun dari peraturan sebagai seorang hwesio. Oleh karena itu, sudah lama Siauw lim pai tidak mengakuinya lagi sebagai murid. Biarpun kepalanya gundul dan jubahnya seperti jubah hwesio pemeluk Agama Buddha, namun cara hidupnya sama sekali tidak seperti seorang pendata. Dia makan daging apa saja, minum arak sampai mabok mabokan dan tidak ada pekerjaan jahat yang ia pantang! Thai Ti Hwesio telah kembali ke asal mulanya, yaitu seorang perampok tunggal Dahulu sebelum ia menjadi hwesio dia adalah seorang perampok yang pada suatu hari di robohkan oleh Kian Wi Taisu tokoh Siauw lim pai, lalu bertobat dan menjadi muridnya. Akan tetapi satelah Kian Wi Taisu meninggal dunia, ia menjadi binal kembali dan datang kembali sifat sifat jahatnya sehingga ia diusir dari Siauw lim pai dan berkeliaran sebagai seorang penjahat keji bersembunyi di kedok hwesio dan jubah pendetanya.
Thai Ti Hwesio memasuki pintu menara itu dengan menyeret tongkat besinya. Sebagai murid Siauw lim pai, ia adalah seorang ahli bermain toya. Begitu masuk dan melihat Gwat San Hosiang, ia berkata dengan suaranya yang lantang dan sombong,
“Hwesio penjaga Kim hud tah. Hayo kau lekas ambil kitab peninggalan Couwsu dan mengembalikannya kepadaku. Kalau tidak aku akan mewakili Ji lai hud untuk menghukummu dengan tiga kali kemplangan dengan toya!”
Melihat hwesio gemuk yang sombong ini. Gwat San Hosiang segera berdiri dari dudaknya dan merangkapkan kedua tangannya. “Omtiohud, yang datang ini seorang hwesio ataukah seorang gila? Ji lai hud tak pernah menghukum orang, melainkan sebaliknya menunjukkan jalan kepada manusia supaya terlepas dari segala ikatan perbuatan dan hukuman. Kau ini siapa dan dari manakah?”
“Kepala gundul bermata bulat. Tidak tahukah kau bahwa kitab peninggalan dari Tat Mo Couwsu itu adalah hakku! Aku adalah Thai Ti hwesio dari Siauw lim pai dan Tat Mo Couwsu adalah guru besar Siauw lim pai.”
Gwat San Hosiang tertawa besar. “Entah kau benar benar seorang murid Siauw lim pai atau bukan, akan tetapi kata katamu ini menggelikan sekali. Ilmu silat biarpun sekarang terpisah pisah dan berganti bulu dengan macam macam nama, asalnya juga satu sumber dan satu pokok. Benda apakah yang tidak berasal dan satu pokok? Thai Ti Hwesio, lebih baik, mengingat bahwa kau sudah rela memakai jubah pendeta dan berkepala gundul, kau keluar lagi saja agar jangan sampai ditertawai orang kalau dua orang hwesio gundul saling gempur.”
“Setan, kau siapakah?” tanya Thai Ti Hwesio marah. “Nama pinceng Gwat San Hosiang, terhitung anak
murid Go bi pai, akan tetapi sekarang bertugas menjaga menara Kim hud tah.”
“Berikan patung emas itu kepadaku!” Thai Ti Hwesio membentak.
“Apa kau tidak melihat bagaimana akibatnya ketika dua orang guru silat tadi melanjutkan kehendak hatinya yang jahat? Pinceng dan dua orang saudara pinceng bertugas menjaga Kim hud tah dan sekalian isinya, bagaimana kau mau begitu saja minta patung emas?”
“Banyak cerewet. Minggir, aku hendak naik!”
Thai Ti Hwesio memutar toyanya dan melompat ke anak tangga. Akan tetapii, sebelum kakinya sampai di anak tangga pertama, ia merasa ada sambaran angin dan kiri yang membuat toyanya terbentur ke samping. Serangan angin ini disusul dengan sambaran pada kakinya yang akan menginjak anak tangga, datangnya demikian cepat sehingga ia menjadi kaget bukan main. Secepat kilat Thai Ti Hwesio lalu berjungkir balik, membuat poksai (salto) ke belakang dengan menotolkan ujung tongkatnya pada lantai. Dengan cara demikian barulah ia terbebas dan serangan ke arah kakinya yang tadi disambar oleh Gwat San Hosiang dengan ujung lengan bajunya.
Marahlah Thai Ti Hwesio Tongkatnya di putar putar di atas kepala, kemudian ia melangkah maju dan menyarang hebat dengan gerak tipu Kauw ong pai san (Raja Monyet Menolak Gunung). Ujung toya itu setelah terpular putar cepat lalu tiba tiba meluncur dan menyambar ke arah kepala Gwat San Hosiang dengan gerakan menghantam lalu dilanjutkan dengan mendorong. Kepala akan pecah dan muka akan bolong kalau serangan ini mengenai sasaran.
Mendengar suara angin dan merasa sambarannya, tahulah Gwat San Hosiang bahwa lawannya ini adalah seorang ahli gwakang yang bertenaga besar sekali. Dari langkah kaki dan gerakan toya, ia mulai percaya bahwa orang ini benar benar murid Siauw lim pai yang pandai. Terkejutlah dia. Sama sekali bukan terkejut karena jerih terhadap hwesio ini, akan tetapi terkejut melihat kenyataan bahwa Siauw lim pai sampai menyuruh orang untuk mengambil kitab. Inilah hebat! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Siauw lim pai sama sekali tidak tahu menahu dan tidak ada sangkut paut dengan perbuatan murid murtad ini.
Menghadapi serangan Kauw ong pai san yang hebat, Gwat San Hosiang berlaku tenang sekali.
Dengan menggerak gerakkan dua ujung lengan jubahnya yang panjang, Gwat San Hosiang berhasil menangkis serangan roya yang hebat dari Thai Ti Hwesio. Hwesio Siauw lim pai ini adalah seorang ahli gwakang, tenaganya besar sekali. Sebaliknya, selain tinggi ilmu gwakangnya, Gwat Sin Hosiang adalah seorang ahli lweekeh. Dengan senjata istimewanya, yaitu dua ujung lengan jubah yang terbuat daripada kain lemas, dengan mudah ia dapat menghadapi serangan toya, senjata yang kaku dan kasar itu. Biarpun hanya ujung lengan jubah yang lemas namun berada di tangan seorang ahli lweekeh dapat berobah menjadi senjata istimewa, dapat dipergunakan sebagai cambuk lemas, dapat pula berubah menjadi kaku dan kuat seperti toya. Gwat San Hosiang dan dua orang suhengnya adalah murid murid seorang tokoh besar Go bi pai yang dulu bertugas menjaga patung emas Buddha di dalam pagoda itu, yakni Thian Lo Hwesio yang lihai. Oleh guru mereka, tiga orang murid ini khusus diwarisi ilmu silat yang aseli dari Tat Mo Couwsu, ilmu silat tangan kosong yang disebut Im yang siang ju (Sepasang Kepalan Im dan Yang). Ilmu silat ini tidak hanya dapat dimainkan dengan dua buah tangan kosong, akan tetapi dalam menghadapi lawan bersenjata yang lihai, tangan kosong dapat berubah menjadi bersenjata ujung lengan baju Oleh karena inilah maka tiga orang kakek ini jubahnya berlengan panjang. Mereka tak pernah mempergunakan senjata dalam pertempnran, karena sepasang kepalan mereka ditambah ujung lengan baju saja jarang ada yang dapat menandingi.
Dengan ilmu silat Im yang siang ju ini, Gwat San Hosiang dapat menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Ia dapat mempergunakan Yang kang maupun Im kang (tenaga kasar atau tenaga lemas) dalam ilmu silat ini, disesuaikan dengan keadaan lawan.
Thai Ti Hwesio ternyata lihai sekali. Gerakan toyanya kuat dan cepat, menyambar nyambar bagaikan seekor naga mengamuk. Kedua ujung toyanya ganti berganti melakukan serangan mengemplang, mendorong, menyerampang atau memukul. Semua serangan merupakan jangkauan tangan maut.
Sampai limapuluh jurus mereka bertempur, akan tetapi sagera ternyata bahwa kapandaian Thai Ti Hwesio masih kalah setingkat. Ia mulai terdesak dan tongkatnya tak dapat lagi banyak menyerang, melainkan dipergunakan untuk melindungi tubuhnya dari desakan serangan sepasang ujung lengan jubah! Biarpun begitu. tidak mudah bagi Gwat San Hosiang untuk cepat cepat mengalahkan Thai Ti Hwesio. “Sute. mengapa begitu lama mengusir anjing gundul ini? Mari kami bantu!” Kata kata ini di ucapkan oleh Gwat Kong Hosiang yang ternyata sudah berada di ruangan bawah ini bersama Gwat Liong Hosiang. Mereka tadinya memang menjaga di tingkat atasan, akan tetapi karena khawatir kalau kalau Gwat San Hosiang kalah, mereka lalu turun tangan membantu.
Tiga orang hwesio penjaga pagoda Kim hud tah ini dengan gerakan serentak melakukan dorongan dengan tangan ke arah Thai Ti Hwesio dan…. tubuh Thai Ti Hwesio yang gemuk itu bagaikan sebuah bola karet terpental keluar pintu! Thai Ti Hwesio merasa dadanya sakit dan ia berteriak kesaktian ketika tubuhnya melayang terus keluar dengan toya masih dipegangnya, bahkan di pegang di depan dada.
Celakanya, ia melayang ke arah seorang pengemis tua yang duduk di atas tanah. Pengemis ini tubuhnya penuh kudis dan selalu garuk garuk kaki dan tangannya ia seperti tidak tahu bahwa hwesio gemuk itu melayang dan hendak menimpanya dengan toya lebih dulu! Beng Han yang melihat hal ini dari atas menara, menjadi kaget dan kasihan sekali kepada pengemis tua itu. Akan tetapi segera semua orang yang menyaksikan hal ini terkejut sekali. Pengemis tua itu menggerakkan tangan kiri yang penuh kudis dan....
tubuh gemuk bundar dari Thai Ti Hwesio seperti daun kering tertiup angin, melayang pergi ke kiri!
Kini tubuh Thai Ti Hwesio meluncur ke arah seorang wanita tua. Nenek ini tubuhnya bongkok dan mukanya penuh keriput, ia berdiri di situ bersama dua orang wanita muda yang berwajah manis dan bersikap gagah. Melihat datangnya tubuh Thai Ti Hwesio, dua orang gadis itu membuang muka dan berkata,
“Menjemukan!” “Menyebalkan!”
Akan tetapi nenek itu dengan mulut menyeringai mengangkat tongkatnya ke atas dan.... tubuh Thai Ti Hwesio diputar putar di atas tongkat seperti seorang penari beetari pring. Sekali nenek ini menggerakkan tongkat, tubuh hwesio sialan itu melayang lagi, kini nenuju ke arah Koai Thian Cu. Toya panjang terlepas dari pegangan Thai Ti Hwesio yang semenjak tadi sudah tak bersuara lagi.
Koai Thian Cu mengulurkan lengan dan menerima tubuh itu, lalu melemparkannya ke atas tanah, ia tertawa bergelak.
“Benar benar semua orang menghendaki aku menjadi tukang urus mayat!” Tanpa banyak kata lagi ia kembali membuat lubang di tanah dan mengubur tubuh Thai Ti Hwesio. Ternyata bahwa setelah dewi tubuhnya dijadikan “bola karet” dan di oper ke sana ke mari oleh orang orang yang berilmu tinggi itu, Thai Ti Hwesio tewas sebelum tubuhnya menyentuh bumi, tanpa diketahui orang pukulan siapakahkz gerangan yang menewaskannya. Entah pukulan tiga hwesio penjaga patung emas, entah pukulan pengemis kudisan itu ataukah sodokan tongkat nenek bongkok.
Melihat betapa berturut turut orang yang menyerbu ke dalam mengalami kekalahan bahkan kehilangan nyawa, agaknya yang lain lain menjadi jerih. Mereka hanya saling pandang dan saling mengharapkan orang lain akan mencoba lebih dulu!
“Ha, ha, ha! Banyak pengecut, banyak pengecut!” kata Koai Thian Cu sambil tertawa bergelak. “Pat pi Lo cu dan kau Sin tung Lo kai, mengapa berdiri diam saja? Apakah kalian takut menyerbu?”
“Tua bangka tukang urus mayat. Kau hanya bicara saja Mengapa kau sendiri tidak lekas lekas menyerbu?” jawab Pat pi Lo cu tersenyum mengejek.
“Mereka maju bertiga, agak sukar....” kata Sin tung Lo kai ragu ragu. “Pula, akupun tidak menghendaki pertempuran yang tidak ada gunanya. Aku hanya mau bicara dengan tiga orang sahabat di dalam.” Setelah berkata demikian, Sin tung Lo kai lalu melangkah maju dan memasuki pintu pagoda itu. Ia memberi tanda kepada dua cucunya dan dua orang cucunya itu, Kwan Sin Hong dan Kwan Li Hwa, berjalan dengan tenang dan tabah mengikuti kong kong mereka.
Gwat Kong Hosiang dan dua sutenya tahu dengan siapa mereda berhadapan. Gwat Kong Hosiang mewakili sute sutenya dan menjura sambil menegur,
“Sin tung Lo kai Thio sicu yang terkenal gagah dan adil ada keperluan apakah memasuki pagoda? Apakah sicu juga mempunyai kehendak buruk yang serupa dengan orang orang itu?” Suara Gwat Kong Hosiang terdengar kaku dan dingin.
Sin tung Lo kai Thio Houw menggerak gerakkan tongkat merah di tangannya dan menarik napas panjang. Lalu katanya, “Dibilang serupa, sama juga. Dikatakan sama. Sesungguhnya lain. Sam wi suhu harap maklum bahwa aku berani menebalkan muka hanya demi kepentingan kedua cucuku ini. Kuharap Sam wi suka menurunkan ilmu warisan Tat Mo Couwsu itu kepada dua orang cucuku ini. Adapun aku sendiri, tua bangka seperti aku ini, untuk apa bersusah susah belajar silat? Kalau sam wi suka menerima permintaanku, aku akan mempertaruhkan nyawa guna membantu sam wi mengusir orang orang yang datang mengganggu sam wi.” Gwat Kong Hosiang menggeleng gelengkan kepalanya. “Thio sicu. Hal itu tidak mungkin. Menyesal sekali
pinceng bertiga tak mungkin memenuhi permintaanmu. Banyak sekali orang menginginkan warisan Couwsu, kalau pinceng berikan kepada sicu, bukankah dunia akan menyebut pinceng bertiga orang orang yang tidak adil dan berat sebelah?”
“Habis, bagaimana keputusan sam wi losuhu?” tanya Sin tung Lo kai mengerutkan alisnya.
“Tidak ada jalan lain. Pinceng bertiga diwajibkan oleh mendiang suhu untuk menjaga pagoda ini serta sekalian isinya. Kalau ada orang datang hendak merampok sesuatu, terpaksa pinceng bertiga mempertaruhkan nyawa untuk mencegahnya.”
“Maaf kalau begitu aku si tua bangka terpaksa akan mencoba kebodohan, kalau kalau ada nasib baik untuk cucu cucuku.”
“Kami harap kalau dapat urungkan saja keherdakmu itu, sicu. Kami bertiga akan amat menyesal kalau sampai terjadi salah tangan terhadap sicu.”
Thio Houw tertawa bergelak. “Mati di tangan sam wi merupakan kehormatan besar. Tunggulah sebentar, aku akan datang lagi.” Setelah berkata demikian, Thio Houw menggandeng tangan Kwan San Hong dan Kwan Li Hwa, diajak keluar dari tempat itu. Baru saja tiba di ambang pintu terdengar suara Gwat Kong.
“Thio sicu, kau dan yang lain lain tunggulah saja di luar. Kami yang akan keluar melayani kalian, tak usah masuk merusak tempat suci ini.”
Thio Houw berjalan keluar. Tiba tiba pintu itu tertutup dari dalam.
Pat pi Lo cu, Koai Thian Cu.dan yang lain lain mendekati Sin tung Lo kai. Mereka mengajukan pertanyaan apa yang terjadi di dalam.
“Mereka hendak keluar menyambut kita. Agaknya mereka sudah nekad hendak bertempur memperebutkan patung itu. Kita tunggu saja di sini, mereka pasti akan keluar,” jawab Thio Houw, kecewa karena ia tidak berhasil membujuk tiga orang hwesio itu untuk menyerahkan warisan Tat Mo Couwsu kepada cucu cucunya. Kalau merebut dengan kekerasan, benar benar bukan hal mudah. Andaikata ia berhasil menangkan tiga hwesio itu dan merampas patung emas yang mengandung ilmu pelajaran tinggi, di situ masih ada Pat pi Lo cu, Koai Thian Cu, dan belum dihitung lagi kakek pengmis kudisan dan nenek bongkok yang lihai lihai itu! Mereka ini sudah pasti takkan tinggal diam dan tentu akan berusaha merampas patung itu pula.
“Pat pi Locu dan kau Koai Thian Cu,” kata Thio Houw setelah berpikir masak masak. “Gwat Kong Hosiang bertiga bukanlah lawan ringan kalau kita maju seorang demi seorang, aku berani bertaruh kita akan kalah semua karena mereka bertekad untuk maju berbareag melindungi patung itu. Di antara kita sudah tidak ada rahasia lagi. Kita masing masing ingin memiliki kitab di dalam patung itu, bukan? Nah, bagaimana kalau diatur begini? Kita bertiga maju berbareng menghadapi mereka bertiga. Dengan cara ini kita banyak harapan menang.”
Pat pi Lo cu mengangguk angguk, menyatakan persetujuannya.
“Jembel tua, kalau kita maju bertiga sampai menang dan patung itu berada di tangan kita, habis siapa di antara kita bertiga yang berhak akan isi patung?” kata Koai Thian Cu, memandang penuh curiga dan mulutnya tertawa mengejek.
“Kalau sudah demikian mudah saja. Tinggal melihat saja nanti siapa di antara kita yang patut memilikinya!” jawab Sin tung Lo kai sambil tertawa juga.
“Bagus, bagus….! Aku setuju. Memang kau jembel tua bangka cerdik sekali, Lo kai!” kata Koai Thian Cu sambil tertawa bergelak. Juga Pat pi Lo cu setuju dengan usul ini.
Tiba tiba terdengar suara keras dan berisik di dalam pagoda seakan akan pagoda itu hendak runtuh. Dindingnya yang tebal tergetar dan suara hiruk pikuk di sebelah dalam menyatakan bahwa ada sesuatu yang runtuh di dalam. Nampak debu mengebul ke luar dari lubang lubang angin di sekeliling pagoda itu.
Semua orang terkejut sekali.
“Eh, apa yang dilakukan oleh tiga orang hwesio itu?” kata Pat pi Lo cu sambil melompat maju. Juga Koai Thian Cu dan Sin tung Lo kai melompat ke depan pintu dergan maksud hendak melihat apa yang terjadi di dalam. Akan tetapi tiga orang kakek ini segera mundur kembali ketika pada saat ini pintu pagoda itu terbuka dari dalam dan keluarlah debu mengebul tebal diikuti pecahan dan bubukan dinding runtuh. Diantara debu dan pecahan dinding ini berkelebat keluar tiga bayangan dan ternyata mereka ini adalah Gwat Kong Hosiang, Gwat Liong Hosiang dan Gwat San Hosiang. Pakaian dan muka serta kepala mereka penuh debu, akan tetapi mereka tidak terluka. Gwat Kong Hosiang membawa sebuah bungkusan yang tidak berapa besar, panjangnya kurang lebih dua kaki.
“Bangunan lama dan lapuk, runtuh dimakan tahun dan abad. Baiknya patung dapat pinceng selamatkan,” kata Gwat Kong Hosiang kepada tiga orang kakek di depannya sebagai penjelasan tentang suara hiruk pikuk tadi. “Runtuh?” tanya Pat pi Lo cu. “Apanya yang runtuh?” Akan tetapi biarpnn bertanya demikian, ia sama sekali tidak perdulikan pagoda itu dan tatapan matanya selalu tertuju ke arah bungkusan kain kuning yang dipondong oleh Gwat Kong Hosiang.
“Anak tangga dari bawah ke atas runtuh semua! Baiknya patung sudah di bawah dan kami semua di bawah,” jawab Gwat Kong Hosiang kemudian disambungnya, “Cu wi sekalian. Setelah pinceng bertiga mengetahui bahwa cu wi datang hendak merampas patung emas dan pinceng sudah siap sedia mempertahankan dengan nyawa, maka sekarang terserah kepada cu wi. Yang Mulia Buddha telah memberi tanda dengan runtuhnya anak tangga tentu karena marah kepada pinceng bertiga yang sudah kelepasan tangan membunuh orang. Sekarang sudah kepalang tanggung, betapapun juga kami bertiga hendak melakukan tugas dan kewajiban sampai saat terakhir dan hanya kalau kami sudah kalah dan roboh, baru patung ini dapat berpisah dari kami.” Kata kata ini dikeluarkan oleh Gwat Kong Hosiang dengan sikap gagah.
Diam diam Sin tung Lo kai Thio Houw kagum sekali melihat tiga orang hwesio Go bi pai itu. Memang Thio Houw tidak ingin dalam urusan ini mengadu nyawa, ia memang ingin sekali mendapatkan kitab untuk cucu cucunya, akan tetapi seberapa bisa jangan sampai terjadi pertumpahan darah dalam usaha memenuhi keinginannya ini. Ia maju dan menjura, “Sam wi Losuhu, memang tak dapat disesalkan sikap samwi yang gagah ini. Akan tetapi, sebaliknya akan sayang sekali kalau ilmu yang tinggi disimpan begitu saja sampai hilang tidak karuan, apalagi kalau sampai terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Oleh karena itu baik diatur begini saja. Sam wi bertiga main main dengan kami bertiga, yaitu aku sendiri, Pat pi Lo cu, dan Koai Thian Cu. Apabila pihak sam wi kalah, patung harus diserahkan kepada kami bertiga. Sebaliknya kalau kami kalah, sudah tentu kami akan pergi dan menyatakan maaf sebesarnya Bagaimana?”
Gwat Kong Hosiang tersenyum pahit. “Pinceng mengerti baik maksud ini dan agaknya orang orang berusaha keras untuk mendapatkan patung ini, tanpa dipikir sama sekali bahwa biarpun pinceng bertiga kalah, tetap saja patung menjadi rebutan dan mendatangkan malapetaka dan permusuhan! Memang Hud couw sudah memberi alamat tidak baik. Baiklah kalau begitu kehendak cuwi, kami sudah siap menanti!”
Sin tung Lo kai tidak percaya akan kejujuran Pat pi Lo cu maupun Koai Thian Cu, maka ia mendahului menerjang Gwat Kong Hosiang sambil berseru, “Maafkan aku! Dengan perbuatannya ini, terpaksa Pat pi Lo cu dan Koai Thian Cu menghadapi Gwat Liong Hosiang dan Gwat San Hosiang yang tidak membawa patung. Namun dua orang kakek ini sudah mendengar akan kejujuran Sin tung Lo kai, maka tidak merasa khawatir kakek pengemis itu akan melarikan diri apabila dapat mengalahkan Gwat Kong Hosiang dan merampas patungnya. Apalagi disitu ada dua orang cucu Sin tung Lo kai yang merupakan tanggungan berharga sekali.
Gwat Kong Hosiang menyambut serangan Sin tung Lo kai mempergunakan ujung lengan baju kanan, sedangkan tangan kiri memeluk patung erat erat. Pertempuran ini amat dahsyat dan ramai karena ternyata kemudian bahwa kepandaian dua orang kakek ini memang setingkat. Sayangnya bahwa Gwat Kong Hosiang memeluk patung sehingga sebelah tangannya tidak dapat dipergunakan dalam pertempuran, maka ia agak terdesak juga oleh tongkat merah yang amat lihai dari kakek pengemis itu. “Sebaliknya, rombongan ke dua dan ke tiga dari pertempuran itu kurang ramai, ilmu kepandaian dari Pat pi Lo cu terlalu lihai bagi Gwat San Hosiang, sedangkan Koai Thian Cu sebentar saja juga sudah membuat Gwat Liong Hosiang bingung dengan serangan serangan tongkat dan hudtimnya. Tukang gwamia iin memang lihai ilmu silatnya, aneh dan banyak tipunya, ia tidak mempergunakan hoatsut karena maklum bahwa kepandaiannya masih setingkat lebih tinggi dari lawannya. Namun ia tidak menyangka bahwa dalam keadaan yang amat terdesak, tiba tiba Gwat Liong Hosiang mengeluarkan seruan keras sekali dan tiba tiba kedua tangannya melakukan serangan pukulan bertubi tubi dengan tenaga pukulan berbeda beda. Kadang kadang tangan kanan mengeluarkan pukulan dengan hawa keras dan panas sedangkan tangan kiri melakukan pukulan lembek dan dingin, kadang kadang juga sebaliknya, inilah puncak ilmu silat Im yang siang jiu yang hebat sekali. Kalau saja Koai Thian Cu bukan seorang ahli yang pengalamannya sudah banyak serta memang tingkatnya lebih tinggi, tentu ia akan terkena pukulan pukulan yang amat membingungkan dan sukar ditangkis ini. Sekali tongkatnya menangkis pukulan dengan hawa Yang, akan tetapi begitu pukulan itu bertemu dengan tongkatnya tiba tiba ujung lengan baju yang tadinya keras berubah lemas sekali, penuh dengan tenaga Im kang yang hebat. Ujung kain itu seakan akan hidup, membelit tongkatnya dan menyendalnya amat keras sehingga Koai Thian Cu tidak menahannya lagi dan tongkatnya terlepas. Kakek ini tidak mau mendapat malu, cepat hudtimnya menyambar seperti kilat. Gwat Liong Hosiang memekik dan roboh tergiling tak bernyawa lagi. Ujung hudtim itu dengan tepat sekali mengenai urat syaraf dan jalan darah terpenting di kepalanya sehingga ia tak dapat tertolong lagi. Melihat suhengnya tewas, Gwat San Hosiang menggigit bibir dan mendesak Pat pi Lo cu untuk membalas kekalahannya. Akan tetapi, berhadapan dengan Pat pi Lo cu, Gwat San Hosiang tak banyak berdaya. Biarpun ia sudah pula mengeluarkan gerakan seperti suhengnya tadi, yakni dengan pukulan Im kang dan Yang kang dicampur adukkan, namun Pat pi Lo cu tetap mendesaknya dengan sepasang kepalan yang ketika dimainkan seakan akan telah berubah menjadi delapan buah. Kedua kakinya bergerak cepat dengan ginkang sempurna sehingga ia seakan akan tidak menginjak tanah lagi. Benar benar tepat sekali julukan Pat pi Locu atau Lo cu Berlengan Delapan dari kakek ini, karena kalau menggerakkan ilmu silat dengan pengerahan tenaga dan kepandaian, ia benar benar seperti Lo cu yang cepat gerakannya karena Lo Cu naik roda api.
Pertempuran antara Sin tung Lo kai dan Gwat Kong Hosiang masih berjalan seru. Dengan patung di dalam pelukan tangan kiri, gerakan Gwat Kong Hosiang kaku dan terhalang, namun sampai limapuluh jurus belum juga Sin tung Lo kai merobohkannya. Hal ini bukan saja karena tingkat kepandaian mereka memang seimbang, akan tetapi terutama sekali oleh karena Sia tung Lo kai Thio Houw tak pernah mau mengeluarkan serangan serangan mematikan. Kakek pengemis ini hanya bermaksud mengalahkan Gwat Kong Hosiang dan merampas patungnya, sama sekali ia tidak berniat membunuh.
Akan terapi ketika Gwat Liang Hosiang roboh dan tewas oleh Koai Thian Cu, tiba tiba berkelebat dua bayangan orang yang datang datang menyerang Gwat Kong Hosiang. Gerakan dua orang ini hebat sekali dan dalam saat, Gwat Kong Hosiang terkena pukulan tangan dan totokan tongkat sehingga hwesio inipun roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi dan patung yang masih tetap di tangannya itu dirampas orang!
Kejadian ini cepat sekali dan tidak terduga oleh Sin tung Lo kai Thio Houw. Ternyata olehnya bahwa yang menyerbu secara pengecut tadi adalah pengemis kudisan yang lihai tadi yang menyerang Gwat Kong Hosiang dengan pukulan yang dahsyat. Adapun orang kedua adalah nenek bongkok yang menyerang dengan tongkatnya. Gerakan nenek ini cepat bukan main sehingga ia yang lebih dahulu mendapat merampas patung dan dibawa lari!
“Soat Li Suthai, serahkan patung itu kepadaku!” teriak pengemis kudisan itu sambil mengejar.
“Bu eng Lo kai, aku yang merampasnya!” nenek itu membantah sambil berlari terus. Dua orang nona yang tadi bersama dia adalah murid muridnya. Melihat gurunya sudah berhasil merampas patung, merekapun diam diam melarikan diri ke lain jurusan. Adapun pengemis kudisan yang bernama Bu eng Lo kai, sama sekali tidak memperdulikan murid murid nenek tadi melainkan mengejar terus dengan gerakan kaki yang cepat sekali.
Sementara itu, Sin tung Lo kai Thio Houw menjadi bingung. Tak disangkanya bahwa dua orang tadi adalah Bu eng Lo kai dan Soat Li Suthai, dua orang kang ouw yang aneh dan selalu menyembunyikan diri di daerah selatan, namun nama mereka dikenal oleh tokoh tokoh besar sebagai ahli silat kenamaan. Pantas saja gerakan meeka tadi lihai sekali, pikir Thio Houw sambil menarik napas panjang.
Hampir pada saat yang sama, Pat pi Lo cu juga sudah merobohkan lawannya, Gwat San Hosiang roboh dan tewas seperti dua orang suhengnya. Benar benar mereka telah memenuhi tugas kewajiban mereka sampai titik darah terakhir. Setelah merobohkan Gwat San Hosiang, Pat pi Lo cu segera lari mengejar pula di belakang Koai Thian Cu yang sudah lebih dulu mengejar sambil berteriak teriak. See thian Siang cu, dua murid kembar dari Pat pi Lo cu tak dapat berbuat lain kecuali mengikuti suhu mereka, sedapat mungkin berlari cepat untuk menyusul suhu mereka.
Juga tokoh tokoh lain yang tadi merasa ragu ragu dan jerih untuk maju dan berusaha merampas patung setelah sekarang melihat patung sudah terampas orang lain beramai ramai lari mengejar Soat Li Suthai. Melihat ini, Sin tung Lo kai Thio Houw tertawa bergelak. Orang orang itu benar benar menjemukan, pikirnya. Melihat cara mereka berlari cepat mengejar sudah terang mereka itu bukanlah lawan tokoh tokoh besar yang sudah lari lebih dulu. Lagak mereka ini seperti anjing anjing kelaparan berebut tulang.
Sin tung Lo kai merasa menyesal sekali bahwa perebutan patung itu sampai berakibat tewasnya tiga orang hwesio penjaga pagoda. Sesungguhnya hal ini tak ia kehendaki. Ia memandang kepada jenazah tiga orang hwesio yang menggeletak di atas tanah sambil menggeleng gelengkan kepala.
“Sian Hong dan kau, Li Hwa, Lihatlah, mereka ini adalah orang orang gagah yang patut dipuji. Mereka ini di tugaskan menjaga pagoda merawat patung emas dan mereka melakukan tugas mereka baik baik, menjaga dengan sungguh sungguh dan rela mengorbankan nyawa demi kesempurnaan tugas. Alangkah suci dan mulia manusia yang dapat setia akan tugasnya seperti mereka ini. Patut kalian jadikan contoh kesetiaan dan kegagahan mereka ini.” Sambil memberi nasehat kepada dua orang cucunya, Sin tung Lo kai lalu mengurus jenazah tiga orang hwesio itu, dibantu oleh Sian Hong yang sudah dewasa. Pemuda ini pendiam seperti ayahnya, juga ia sudah merasa cukup
dengan kepandaian silat yang ia pelajari dari ibu dan kong kongnya, maka tidak berhasilnya kakeknya merampas patung tak membuat kecewa.
Tidak demikian dengan Li Hwa. Gadis cilik ini sudah sejak mendengar tentang pelajaran yang terkandung dalam patung emas sebagai pelajaran ilmu silat yang tinggi dan peningaalan dari dewi Tat Mo Couwsu, selalu merengek kepada kong kongnya. Gadis cilik ini selain tidak puas, ingin memiliki kepandaian melebihi semua orang.
“Mengapa kong kong membiarkan patung itu dirampas nenek jahat tadi? Sekarang habislah harapanku untuk belajar ilmu silat warisankz Tat Mo Couwsu!” kata Li Hwa dengan bibir cemberut.
Thio Houw tertawa, ”Li Hwa, enak saja kau bicara! Mereka itu semua adalah orang orang lihai, kepandaian mereka melebihi kepandaianku, bagaimana aku dapat merampas patung itu dengan mudah saja?”
Li Hwa membanting banting kakinya yang kecil. “Di dunia banyak sekali orang lihai, apalagi sekarang isi patung telah mereka bawa pergi. Bagaimanakah kelak aku akan dapat mengangkat tinggi nama keluarga kita!”
“Li Hwa, mengangkat tinggi nama keluarga bukan dengan kepandaian silat tinggi, melainkan dengan perbuatan yang mulia dan bijaksana. Tentang kepandaian, selain kau adalah calon keluarga keturunan Thian te Kiam ong, apa susahnya? Kau akan berada di dalam keluarga orang orang gagah perkasa dan kiranya mudah kalau kelak kau akan memperdalam ilmu silatmu.”
Wajah Li Hwa menjadi merah. “Kong kong, siapa sudi mengandalkan orang lain? Justeru karena akan tinggal di antara orang orang berkepandaian tinggi, aku tidak suka kalau dipandang sebagai orang yang paling bodoh dan lemah. Sudahlah, dibicarakan juga tidak ada artinya. Kong kong dan Hong ko mengurus jenazah dan aku akan berjalan jalan di sekitar pagoda yang indah ini.” Sambil berkata demikian, gadis cilik yang pandai bicara ini meninggalkan kong kongnya dan kakaknya yang melanjutkan pekerjaan mereka mengubur tiga jenazah para hwesio itu. Sin tung Lo kai Thio Houw menggeleng gelengkan kepala sambil melihat ke arah cucu perempuannya yang berjalan pergi sampai cucunya itu lenyap di tikungan pagoda. Sambil tersenyum senynm ia lalu melanjutkan pekerjaannya menggali tanah. Semua peristiwa yang terjadi di halaman pagoda itu tentu saja kelihatan jelas oleh Beng Han yang menjadi penonton tersembunyi di atap menara. Ia mengintai dari lubang angin dan melihat nyata bagaimana dalam pertempuran dahsyat itu tiga orang hwesio penjaga pagoda telah tewas dan bagaimana patung emas telah dirampas dan dibawa lari oleh seorarg nenek yang lihai, dikejar oleh yang lain lain. Juga dilihatnya dengan hati kecewa bagaimana kong kongnya, Koai Thian Cu, selain telah menewaskan Gwat Liong Hosiang, juga ikut pula mengejar.
Beng Han melihat pula betapa Sin tung Lo kai Thio Houw dan dua orang cucunya yang pernah ia lihat di Tit le, mengubur jenazah Gwat Kong Hosiang dan dua orang sutenya. Juga ia mendengar percakapan antara Thio Houw dan Li Hwa tadi yang dilakukan dengan suara lantang. Diam diam ia makin kagum dan suka kepada Li Hwa yang dianggapnya bersemangat besar untuk menjadi seorang pandai dan gagah perkasa. Dan terbayang pula sikap yang amat mengasih dan baik dari gadis cilik itu terhadap dirinya ketika di Tit le.
Beng Han berlari ke dalam mengambil sebuah bungkusan kuning ketika melihat Li Hwa berjalan mangitari pagoda. Ia menanti sampai gadis cilik itu tiba di bagian lain dan pagoda itu sehingga tidak kelihatan oleh Sin tung Lo kai, kemudian Beng Han membuka sebuah jendela angin dan mengeluarkan tubuhnya sampai sebatas pinggang.
“Haaaiii…!” serunya ke bawah. “Suara yang datangnya dari atas sudah mencapai telinga orang yang berada di bawah Li Hwa menengok ke atas dan setelah mengenal Beng Han, ia malambaikan tangan Beng Han melemparkan bungkusan kuning itu ke bawah bungkusan itu jatuh beberapa tombak jauhnya dari tempat Li Hwa berdiri. Dengan heran sekali Li Hwa mengambil bungkusan kain kuning itu, memandang ke atas beberapa kali sambi membuka bungkusannya. Ternyata isinya sebuah pedang pendek yang bagus sekali dan sebuah kitab kuno. Hati Li Hwa berdebar. Cepat ia membuka lembaran kitab itu dan mendapatkan tulisan disampulnya, IM YANG CIN KENG dan di bawahnya ditulis bahwa kitab itu adalah ciptaan Tat Mo Couwsu dan diperuntukkan mereka yang berjodoh! Adapun pedang itu pada gagangnya terdapat ukiran huruf GIOK POKIAM (Pedang Pusaka Kemala).
Li Hwa menjadi girang, heran, kaget dan tidak tahu maksud pemuda cilik di atas itu. Ketika ia memandang ke atas, Beng Han berkata, suaranya terdengar lambat perlahan akan tetapi jelas,
“Kuberikan padamu! Jangan bilang aku di sini!” Setelah berkata demikian. pemuda cilik itu menarik diri dan lenyap dari depan lubang angin di puncak menara itu.
Sin tung Lo kai Thio Houw adalah seorang berkepandaian tinggi. Biarpun ia berada di sebelah depan pagoda dan Beng Han bicara dari atas belakang pagoda, kakek ini dapat mendengar suaranya. Akan tetapi ia tidak mendengar jelas kata katanya, bahkan tidak tahu pula suara
siapakah itu. Ia merasa khawatir akan keselamatan Li Hwa maka cepat ia meninggakan Sian Hong yang masih bekerja menguruk kuburan tiga jenazah itu.
“Teruskan sendiri, aku mendengar suara di belakang pagoda,” katanya sambil melompat cepat.
Ketika ia tiba di sebelah belakang pagoda, ia melihat Li Hwa berdiri termangu mangu, tangan kanan memegang sebatang pedang dan tangan kiri sebuah kitab. Tadinya gadis cilik ini memandang ke atas pagoda, kemudian setelah melihat kakeknya datang, ia memandang kakeknya dengan wajah berseri.
“Kong kong, lihat! Aku mendapatkan ini!” serunya girang.
Sin tung Lo kai memandang ke arah dua benda yang berada di tangan cucunya. Melihat pedang itu ia tidak tertarik karena memang tidak mengenalnya.
Akan tetapi ketika ia membaca tulisan pada sampul kuno itu, ia terkejut sekali dan berseru keras saking girangnya.
“Inilah dia..!” Kemudian ia memandang ke kanan kiri dan suaranya menjadi perlahan. “Inilah kitab yang tadinya berada di dalam patung emas, peninggalan Tat Mo Couwsu yang diperebutkan sampai mengorbankan jiwa beberapa orang gagah tadi, Li Hwa dari mana kauperoleh ini?”
Li Hwa menggerakkan kepala memandang ke atas menara. Sin tung Lo kai juga memandang ke atas akan tetapi tidak melihat sesuatu yang menarik. Melihat pandang mata kong kongnya penuh selidik ke atas, Li Hwa menjad berdebar. Hampir saja ia membuka rahasia Beng Han dan melanggar janjinya. Dengan suara tenang ia lalu berkata,
“Aku mendapatkan dua benda ini di atas sini, kong kong.” Ditudingnya tanah di bawah kakinya.
“Kau tadi melihat apa di atas? Mengapa kau memandang ke atas menara?” tanya Sin tung Lo kai, masih terus melihat ke puncak pagoda penuh kecurigaan.
“Aku tadi terheran mengapa dua benda yang luar biasa ini berada di sini seakan akan terjatuh dari atas,” jawab Li Hwa dan ia menjadi terkejut dan menyesal mendengar jawabannya sendiri yang dianggap bodoh.
Jawaban ini mengingatkan Sin tung Lo kai akan suara hiruk pikuk sebelum terjadi pertempuran di depan pagoda tadi.
“Aku hendak menengok ke sana kau tunggu di sini!” katanya sambl berlari memutar pagoda. Li Hwa menjadi kaget dan cemas akan tetapi ia tak dapat berbuat apa apa kecuali lari menyusul kong kongnya. Sementara itu, Kwan Sian Hong sudah selesai dengan penguburan jenazah tiga orang hwesio dan pemuda ini melihat adiknya berlari lari dengan muka pucat, cepat ia menghampiri dan bertanya,
“Moi moi, kau kenapakah? Kenapa kau berlari lari dengan muka pucat dan napas memburu?”
“Kong kong hendak naik ke atas menara,” jawab Li Hwa. “Aku takut kalau kalau terjadi sesuatu dengan kong kong. Tempat ini amat menyeramkan.”
Sian Hong mencari kong kongnya dengan pandang matanya, ia melihat kakek itu sedang mendobrak daun pintu pagoda yang tadi tertutup sendiri. Daun pintu itu sukar sekali dibuka. Sin tung Lo kai mengeluarkan tenaganya dan “braaakkk....” daun pintu itu didorongnya dengan paksa sampai pecah. Akan tetapi ia cepat melompat mundur lagi karena dari belakang pintu itu keluar debu dan hancuran dinding. Setelah debu agak berkurang, Sin tung Lo kai melongok ke dalam dan melihat bahwa ruangan bawah pagoda itu penuh dengan hancuran dinding dan anak tangga. Kakek itu merasa ngeri. Anak tangga yang amat tinggi itu ternyata telah roboh ke bawah dan hancur, berikut sebagian dari loteng di atas, entah berapa tingkat yang hancur dan menimpa ke bawah itu. Tidak ada jalan lagi untuk orang naik ke puncak pagoda, juga tidak mungkin turun kalau orang sudah berada di atas menara.
“Mari kita cepat pergi dari sini,” kata kakek itu kepada Li Hwa dan Sian Hong yang sudah memburu ke situ “Agaknya sudah menjadi kehendak Thian bahwa kitab peninggalan Tat Mo Cauwsu harus jatuh kepada Li Hwa. Ini namanya jodoh. Tokok tokoh besar memperebutkannya, tahu tahu kitab itu secara aneh terjatuh ke dalam tangan Li Hwa. Bukankah ini jodoh namanya? Kita harus menjaganya baik baik dan pergi dari sini sebelum mereka mengetahui akan hal ini dan datang ke sini mendatangkan kesukaran bagi kita.”
Dengan tergesa gesa namun gembira sekali Sin tung Lo kai Thio Houw mengajak dua orang cucunya pergi cepat cepat meninggalkan Kim hud tah, pagoda yang mendatangkan keributan karena patung emasnya itu.
Bagaimana kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan pedang Giok po kiam bisa berada di tangan Beng Han dan mengapa pula bocah ini memberikan pedang dan kitab kepada Li Hwa? Pembaca tentu masih ingat bahwa patung emas yang dijadikan rebutan itu tadinya berada di tangan Gwat Kong Hosiang yang menjaga di tingkat teratas. Setelah Gwat Kong Hosiang dan Gwat Liong Hosiang turun membantu sute mereka Gwat San Hosiang menghadapi para penyerbu, dan melihat kedatangan Sin tung Lo kai Thio Houw, Gwat Kong Hosiang lalu mendapat firasat tidak enak. Para penyerbu ternyata banyak dan terdiri dari orang orang pandai. Apalagi ia melihat adanya Koai Thian Cu dan Pat pi Lo cu. Gwat Kong Hosiang sudah dapat menaksir bahwa dia dan dua orang sutenya tentu akhirnya akan kalah juga. Oleh karena itu ia minta Sin tung Lo kai keluar lebih dulu, lalu cepat ia membuka patung emas dengan jalan memutar mutar beberapa kali dengan pengerahan tenaga pada kedua kaki patung. Tiba tiba terdengar suara dan terbukalah lubang pada punggung patung. Diambilnya kitab dan pedang dari dalam patung, lalu ditutupnya kembali dengan cara seperti tadi. Kemudian Gwat Kong Hosiang berlari lari naik ke atas pagoda di bagian paling tinggi, yakni di menara di mana Beng Han berada. Ia menyerahkan kitab dan pedang itu kepada Beng Han dan karena tidak banyak waktu lagi, secara singkat ia berkata,
“Beng Han, kau kuserahi kitab dan pedang ini dan mulai detik ini kaulah yang menjadi penjaganya, terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan terhadap dua benda peninggalan Tat Mo Couwsu ini. Kau sudah dipercaya oleh mendiang Thian te Kiam ong, kiranya patut pula kami percaya.”
Beng Han menerima benda itu dan tidak dapat menjawab apa apa karena hatinya diliputi ketegangan. Ketika hendak pergi, Gwat Kong Hosiang menoleh lagi di ambang pintu dan berkata,
“Ingat, kau takkan bisa turun lagi sebelum menamatkan pelajaran dan memiliki kepandaian tinggi. Kami menghadapi musuh musuh tangguh akan tetapi sebelum kami roboh, kami akan menjaga agar tak seorangpun dapat naik dan mengganggumu di tempat ini.” Setelah berkata demikian Gwat Kong Hosiang keluar dari puncak menara itu. Tak lama kemudian Beng Han mendengar suara hiruk pikuk yang juga terdengar sampai di luar pagoda. Ternyata bahwa tiga orang hwesio kosen itu dengan kepandaian mereka telah memukul dan menghancurkan anak tangga
yang menghubungkan tingkat terbawah sampai ke tingkat teratas! Jalan keluar atau jalan turun bagi Beng Han sudah dimusnahkan!
Adapun Beng Han ketika menerima kitab itu dengan amat ingin tahu ia membuka buka lembarannya dan melihat tulisan di halaman kitab itu : IM YANG CIN KENG. Ia membuka terus dan mendapat kenyataan bahwa kitab itu mengandung pelajaran ilmu silat tinggi. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tanpa disengaja ia membuka lembaran di mana ada tulisan peringatan seperti berikut :
Murid yang mempelajari Im Yang Cin Keng harus bersumpah takkan mempelajari ilmu silat lain !
Melihat tulisan ini, Beng Han terkejut dan timbul perasaan tidak suka akan kitab itu. Juga pedang pusaka Giok po kiam itu biarpun amat indah, baginya tidak seindah Kim kong kiam yang lebih panjang dan sinarnya kekuningan. Pedang Giok po kiam gagangnya terhias batu kemala, bentuknya dan gagangnya serba indah dan mewah sekali, lebih pantas kalau dijadikan pedang penghias dinding. Lebih patut dipakai oleh seorang wanita cantik pesolek!
Inilah sebabnya mengapa tanpa ragu ragu lagi Beng Han melemparkan pedang dan kitab itu kepada Li Hwa. Memang ia amat berterima kasih kepada gadis cilik ini akan sikapnya yang manis dahulu di Tit le, dan kiranya di dunia hanya gadis cilik ini yang pantai memiliki Giak po kiam daripadanya! Beng Han masih terlali kecil untuk mengetahui siapa adanya Tat Mo Couwsu pencipta Im yang cin keng, maka ia memandang rendah isi kitab itu yang dianggapnya tak mungkin dapat menyamai kitab peninggalan Thian te Kiam ong. Sungguh ia tidak tahu bahwa kitab peninggalan Thian te Kiam ong yang berosikan ilmu silat ilmu silat Kim kong kiam sut, Thai tek Kim kong jiu, Soan hong Pek lek jiu, Tee coan Liok kiam sut, dan Ngo heng Sin kiam hoat itu keseluruhannya adalah anak cabang cabang yang bersumber kepada sari pelajaran yang diturunkan oleh Tat Mo Couwsu juga! Jadi Im yang cin keng dan ilmu silat ilmu silat yang diturunkan oleh Thian te Kiam ong adalah secabang atau sesumber.
Setelah keadaan di bawah pagoda tenang kembali, Beng Han mulai mengatur keadaannya. Pertama tama ia membuka pintu dan hendak turun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa anak tangga sudah hancur mulai dari tingkat sembilan ke bawah! Dengan hati hati sekali ia menuruni sisa anak tangga dan hatinya agak lesa ketika ia melihat belasan buah gentong besar yang berisi air bersih! Kiranya tiga orang hwesio itu telah mempersiapkan segalanya dan telah mengisi belasan gentong ini dengan air sumber kecil di dasar pagoda yang kini sudah terhuruk oleh puing anak tangga dan dinding! Akan tetapi Beng Han maklum bahwa belasan gentong air ini takkan mencukupi untuk diminum bertahun tahun, maka ia selalu berlaku hemat sekali, kadang kadang menahan haus dan minum air embun dan kalau datang hujan, tak lupa ia memenuhi gentong gentongnya. Setiap hari, seperti yang dipesan oleh Gwat Kong Hosiang, ia makan telur burung dan sarang burung.
Pada bulan bulan pertama, ia merasa tubuhnya lemas dan sakit sakit. Akan tetapi lambat laun ia merasa biasa, bahkan tubuhnya terasa panas hangat dan kuat! Beng Han benar benar menjadi seorang pertapa luar biasa yang setiap harinya hanya makan telur dan sarang burung yang tinggal beribu ribu di atap pagoda itu. Kita tinggalkan dulu Beng Han yang dengan amat rajin dan prihatin mempelajari ilmu silat dari kitab peninggalan Thian te Kiam ong, terutama sekali metatih Kim kong Kiam sut yang amat sukar dipelajari itu. Mari kita ikuti pengalaman Song Bi Hui, dara jelita yang bernasib malang itu. Telah dituturkan di bagian depan betapa hancur dan sedihnya hati Bi Hui atas kematian ayah bundanya secara demikian. Setengah dipaksa paksa akhirnya ia ikut juga dengan bibinya Song Siauw Yang, pergi dan untuk sementara tinggal di Liok can.
Hati Siauw Yang pada dasarnya memang berbudi. Semenjak peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga kakaknya itu, lenyap sama sekali rasa marah yang dahulu. Ia merasa kasihan sekali kepada Bi Hui dan diam diam ia berunding dengan suaminya.
“Kasihan sekali Bi Hui.... alangkah baiknya kalau dia bisa menjadi isteri Kong Hwat. Aku tahu sejak dahulu bahwa mereka itu saling suka dan akan menjadi suami isteri yang beruntung. Kalau dia menjadi mantu kita, dia akan hidup di antara keluarga sendiri.”
Liem Pun Hui menarik napas panjang mendengar kata kata isterinya ini,
“Memang baik sekali maksud hatimu ini, akan tetapi....
bagaimana bisa dilaksanakan? Kau tentu masih ingat akan pesan mendiang gak hu (ayah mertua) ”
“Bahwa kita harus menjodohkan Kong Hwat dengan cucu perempuan Sin tung Lo kai?” sambung Song Siauw Yang tak sabar. “Memang ayah dahulu berkata demikan, akan tetapi dahulu ayah tidak tahu akan keadaan sebenarnya. Kalau dipikir pikir perjodohan antara Kong Hwat dan cucu Sin tung Lo kai sama sekali tidak tepat, bahkan melanggar tata susila. Coba saja kau pikir. Kau adalah anak angkat dari Sin tung Lo kai Thio Houw, tentu sedikti banyak kau tahu akan wataknya. Ketika kita bertemu dengan dia di rumah Bi Hui, bukankah dia juga mengatakan bahwa cucunya itu masih kecil sekali? Dengan pernyataannya yang terus terang itu bukankah sudah terbayang pernyatannya bahwa ia tidak setuju? Pula, perjodohan belum terikat, kita belum pernah mengajukan pinangan, maka kiraku takkan ada halangannya kalau kita menjodohkan anak kita dengan gadis lain.”
Melihat sikap isterinya yang tegas ini, Pun Hui tersenyum, ia paling suka melihat semangat isterinya yang senantiasa berkobar dan berapi ini.
“Isteriku, kau memikirkan yang satu lupa akan yang ke dua. Memang kiranya tidak berhalangan kalau kita menjodohkan Kong Hwat dengan gadis lain, akan tetapi dengan Bi Hui? Kau harus ingat bahwa Bi Hui juga sudah dicalonkan menjadi mantu Kwan Lee, dijodohkan dengan puteranya! Dan agaknya mereka itu sudah setuju sekali mengambil Bi Hui menjadi mantu. Menurut pandanganku, putera Kwan Lee dan Leng Li yang bernama Kwan Sian Hong itu memang cukup gagah dan patut menjadi suami Bi Hui. Perjodohan antara Kong Hwat dan Li Hwa yang masih kecil itu boleh kita batalkan, akan tetapi mana mungkin membatalkan perjodohan antara Bi Hui dan Sian Hong?”
Mendengar kata kata suaminya, Siauw Yang bungkam, tak dapat bicara lagi. Ia harus mengakui akan ketepatan pendapat suaminya ini dan memang menggagalkan perjodohan itu akan mendatangkan bibit kebencian dan dendam.
“Ah, kalau saja Kong Hwat berada di sini....” akhirnya Siauw Yang berkata menarik napas panjang. “Kalau dia berada di sini dapat kita ajak berunding Aku ingin sekali tahu di mana dia berada dan bagaimana perasaan hatinya terhadap Bi Hui sekarang ”
Harapan ibu ini ternyata terpenuhi kurang lebih sebulan kemudian. Tanpa disangka sangka Liem Kong Hwat datang bersama seorang gadis cantik yang sikapnya aneh sekali! Tentu saja kedatangan Kong Hwat ini mendatangkan kegirangan luar biasa. Begitu bertemu Siauw Yang memeluk puteranya dan menangis terisak isak. Kong Hwat memandang kepada ibunya dengan heran.
“Ibu, mengapa menangis? Apakah kedatanganku menyusahkan hatimu?”
“Kong Hwat... kau tidak tahu.... pamanmu dan bibimu...
terbunuh orang....” Siauw Yang menerangkannya sambil terisak isak. Mendengar ini, Bi Hui yang hadir pula di situ tak dapat menahan tangisnya. Siauw Yang melepaskan pelukannya dari pundak Kong Hwat dan menubruk Bi Hui, memeluk dan mencoba menghiburnya.
Dapat di bayangkan betapa tertusuk rasa hati Kong Hwat melihat ini dan diam diam ia mengerling ke arah gadis cantik yang datang bersamanya tadi. Cia Kui Lian, gadis cantik itu hanya berdiri seperti patung, sama sekali wajahnya yang cantik tak berubah menghadapi semua itu, hanya sinar matanya saja membayangkan ejekan dan seakan akan ia merasa geli di dalam hatinya.
Kong Hwat bukan seorang pemain sandiwara yang baik. Ia tidak dapat memperlihatkan kekagetan pura pura, maka untuk menekan debar hatinya, ia menghadapi ayahnya dan bertanya kepada ayahnya apakah sesungguhnya yang terjadi. Liem Pun Hui menuturkan semua peristiwa yang ia lihat di Tit le, juga tentang Beng Han yang tersangka kemudian dilepas oleh Sin tung Lo kai. Kong Hwat membanting banting kakinya. “Sin tung lo enghiong salah! Mengapa tidak menahan bocah setan itu dan menyiksanya sampai ia mengaku?” katanya penasaran. Kemudian ia berkata kepada Bi Hui, “Hui moi, jangan kau penasaran. Akulah yang akan mencari setan cilik itu dan menyeretnya di depanmu!”
Melihat Bi Hui yang jelita, cinta kasih lama timbul kembali, membuat suara Kong Hwat ketika nenyebut namanya terdengar penuh kasih mesra. Hal ini tentu saja tidak terlewat begitu saja oleh pendengaran Kui Lian yang amat tajam. Diam diam wanita ini melirik dan menyapu wajah ke dua orang muda itu. Lalu tanpa terlihat orang lain, bibirnya yang manis tersenyum aneh.
Setelah gelombang keharuan mereda, baru Siauw Yang melihat dan memperhatikan Kui Lian. Wanita muda itupun menatap pandang matanya. Dari sinar mata Kui Lian memancar kekuatan tersembunyi yang amat berpengaruh dan tak lama kemudian sudah timbul rasa suka dalam hati Siauw Yang terhadap dara aneh itu! Tidak percuma Kui Lian dahulu bertapa, lupa makan lupa tidur untuk memperoleh kekuatan dalam melatih diri dengan ilmu pemikat hati ini.
“Kong Hwat, nona ini siapakah?” akhirnya Siauw Yang bertanya tanpa mengalihkan pandang mata dari wajah yang tersenyum senyum manis dan ramah itu.
Cia Kui Lian cepat menjura dengan hormat kepada Siauw Yang dan Pun Hui sambil mendengarkan kata kata perkenan yang diucapkan oleh kekasihnya.
“Ibu, ayah, dia ini adalah nona Cia Kui Lian seorang pendekar wantia yang berilmu tinggi. Kami bertemu di tengah jalan dan menjadi sahabat.” “Ji wi yang mulia. Telah lama sekali aku yang bodoh mendengar nama besar Thian te Kiam ong, maka alangkah bahagia hatiku ketika aku bertemu dengan Liem Kong Hwat taihiap yang menjadi cucu Thian te Kiam ong. Oleh karena itu, tanpa ragu ragu lagi aku mengikat persaudaraan dengan Liem taihiap dan aku ingin sekali menghadap ji wi untuk minta petunjuk dalam ilmu silat.”
Mendengar kata kata ini Siauw Yang dan suaminya merasa makin suka kepada Kui Lian. Hanya Bi Hui yang diam diam memandang penuh kecurigaan, ia merasa seakan akan ada sesuatu yang mengerikan dan menyeramkan memancar keluar dari diri wanita muda ini. Senyum dan keramahan yang terlihat pada muka manis itu seperti dipaksakan dan merupakan kedok balaka. Mungkin sekali perasaannya ini adalah rasa cemburu melihat Kong Hwat datang bersama Kui Lian.
Ketika Siauw Yang mendengar bahwa Kui Lian adalah seorang gadis perantau yatim piatu yang tidak tentu tempat tinggalnya, ia menjadi kasihan dan berkata,
“Nona, karena kau sudah menjadi saudara angkat dari anak kami, mengingat bahwa kau tidak mempunyai keluarga lagi, kami harap kau suka tinggal di sini sampai kau merasa bosan. Anggaplah kami sebagai wakil orang tuamu dan rumah ini sebagai rumahmu sendiri.”
Kui Lian menjatuhkan diri berlutut dan dengan suara terharu menghaturkan terima kasih.
Siauw Yang mengangkat bangun gadis itu dan berkata ramah,
“Nona, di antara orang sendiri mengapa memakai banyak peraturan sungkan? Jangankan kau telah menjadi saudara angkat anak kami, biarpun tidak demikian, mengingat sesama orang kang ow, kita harus bantu membantu dan saling menyayang. Bolehkah kami mengetahui siapa sebenarnya gurumu yang mulia?”
“Aku yang bodoh pernah belajar beberapa tahun di bawah pimpinan guru Koai Thian Cu.”
Mendengar orang sakti ini, Siauw Yang dan Pun Hui saling pandang. Nama besar Koai Thian Cu adalah nama yang tidak begitu bersih di dalam pandangan orang orang kang ouw karena Koai Thian Cu selain terkenal sebagai tukang gwamia, juga terkenal sebagai ahli sihir dan ilmu hitam. Akan tetapi, yang paling kaget adalah Bi Hui. Tak terasa lagi ia bangkit berdiri dan berkata,
“Setan kecil Thio Beng Han dibawa ke rumah keluarga kami oleh Koai Thian Cu siluman tua!”
Mendengar ini, tiba tiba Kui Lian menjadi pucat sekali mukanya.
“Thio.... Beng Han....? siapa dia....?” tanyanya dengan bibir terasa kering.
“Dia adalah anak yang tersangka membunuh orang tua Bi Hui.” Siauw Yang menerangkan. “Memang dahulu anak itu dibawa oleh Koai Thian Cu kepada mendiang ayah untuk dijadikan murid. Anak itu diterima oleh ayah dan menjadi murid hanya beberapa bulan sampai tiba saatnya ayah meninggal. Beng Han lalu ikut dengan ayah bunda Bi Hu serumah. Kemudian terjadi pembunuhan ngeri itu dan Beng Han didakwa akan tetapi ini hanya dakwaan yang belum ada buktinya dan sama sekali tak masuk di akal, bahkan amat meragukan.”
Tiba tiba Kui Lian nampak beringas. “Kalau benar dia dbawa datang oleh suhu, berarti dia itu masih ada hubungan dengan suhu. Kalau memang betul dia yang bersalah, bukan orang lain, melainkan aku sendiri yang akan menghukumnya. Aku bersumpah demi darahku sendiri!” Sambil berkata demikian, Kui Lian mencabut pedangnya dan di lain saat, semua mata yang memandang melihat wanita muda ini menggoreskan pedang pada lengan tangan yang putih kulit nya sehingga kulit itu pecah dan darah membanjr keluar!
“Eh, nona Cia.... tak perlu kau bersumpah demikian...!” Siauw Yang mencegah. Akan tetapi di lain saat ia dan orang orang lain tertegun melihat betapa dengan mengusap luka di tangan beberapa kali saja dengan pinggiran pedang, luka itu telah tertutup kembali dan setelah darah dibersihkan, lengan itu pulih seperti tak pernah tergores pedang!
“Nona, kau lihai sekali. Pantas menjadi murid Koai Thian Cu!” kata Pun Hui sambil tertawa dan memandang kagum. Ia dapat menduga bahwa nona cantik ini tadi hanya “main sulap” saja.
“Sesungguhnya, ketika aku berguru kepada suhu Koai Thian Cu, aku tidak pernah melihat adanya anak bernama Beng Han itu. Mungkin sekali suhu memungutnya dari jalan dan karena merasa enggan mengurus sendiri lalu memberikannya kepada mendiang Thian te Kiam ong. Akan tetapi dengan terjadinya peristiwa pembunuhan, berarti suhu ikut bertanggung jawab dan tanggung jawab suhu berarti tanggung jawabku pula. Aku yang akan mencari dan menyeret bocah setan itu ke sini.” Kata Kui Lian penuh semangat.
“Aku akan mencarinya sendiri” kata Bi Hui.
“Tidak, aku tadi sudah berjanji akan mencarinya dan menyeretnya ke sini,” kata Kong Hwat tak mau kalah.
Siauw Yang tertawa. “Sudahlah, kita bicarakan hal ini kelak saja, tak perlu berebut. Laginya, belum tentu bocah itu yang berdosa.”
Kong Hwat dan Kui Lian disuruh mengaso. Kui Lian memilih tidur bersama Bi Hui yang lambat laun lalu mulai hilang kecurigaannya, karena Kui Lian pandai sekali membawa diri, kelihatan alim dan sama sekali tidak kelihatan dia mempunyai hubungan sesuatu dengan Kong Hwat kecuali hubungan persaudaraan yang bersih. Lambat akan tetapi pasti, sedikit demi sedikit Bi Hui mulai terpengaruh oleh daya pemikat Kui Lian yang amat kuat. Sama sekali Bi Hui tidak tahu bahwa kalau ia ingin mencari pembunuh ayah bundanya, maka orang yang tiap malam tidur di sampingnya di bawah satu selimut itulah orangnya!
Beberapa pekan kemudian, menjelang tengah malam Kui Lian bangkit dan tempat tidurnya. Di dekatnya Bi Hui tidur nyenyak sekali. Sampai beberapa lama Kui Lian duduk memandang wajah Bi Hui, penuh kebencian. Sinar maut memancar keluar dari sepasang matanya yang tajam. Giginya dikerutkan menahan gemas dan marah. Kemudian Kui Lian melompat turun dengan gerakan ringan tanpa mengeluarkan suara, menghampiri pedang yang ia tetakkan di atas meja dan mencabut ke luar pedangnya Penerangan lilin kecil yang remang remang menimbulkan pemandangan yang menyeramkan ketika wanita yang seperti kemasukan iblis ini mendekati tempat tidur dengan pedang di tangan. Kembali ia berdiri seperti patung menatap wajah Bi Hui, seakan akan masih merasa ragu ragu akan kehendak hatinya.
“Kong Hwat mencintaimu, kau harus mati!” bisik Kui Lian sambil merenggut selimut yang menutupi tubuh Bi Hui, pedangnya diangkat, mata mengincar arah jantung di dada kiri. “Tok tok tok....!” Daun jendela diketok orang perlahan lahan, ketokan yang tidak asing bagi Kui Lian karena semenjak ia berada di situ hampir setiap malam Kong Hwat datang mengetok daun jendela dan mengajaknya keluar untuk mengadakan pertemuan di taman.
Kui Lian menahan marahnya, menarik pulang pedang dan menyimpannya kembali di sarung pedang, membuka jendela lalu melompat keluar di mana Kong Hwat sudah menantinya. Pemuda itu memeluknya dan sambil bergandengan tangan mereka pergi ke taman bunga di belakang. Biasanya, sebelum meninggalkan kamarnya, Kui Lian tentu melakukan sihr dulu atas diri Bi Hui, membuat gads itu tidur nyenyak tak dapat bangun sebelum ia kembali dari taman. Akan tetapi malam ini karena bermaksud membunuh Bi Hui, dalam ketegangan tadi ia lupa menyihir Bi Hui. Apalagi ia lupa mengembalikan selimut yang ia renggut terlepas dari tubuh gadis itu. Angin memasuki kamar dari daun jendela yang terbuka, meniup padam lilin dan mendatangkan dingin pada tubuh Bi Hui yang tidak terlindungi selimut.
Gadis ini bergerak dan terjaga dari tidurnya. Tangannya meraba raba mencari selimut. Terheran ia karena tidak menyentuh Kui Lian yang biasanya tidur di sebelah kirinya. Dalam keadaan sadar betul kini, ia menggerakkan tangan di dalam gelap, mencari terus sampai ke pinggir tempat tidur, Kui Lian tidak ada! Angin yang meniup masuk menyatakan kepadanya bahwa jendela terbuka. Ketika ia menengok kearah jendela, benar saja ia melihat sinar bulan di luar kamar yang gelap gulita itu. Bi Hui merasa heran dan timbul kecurigaannya. Memang biarpun tidak ada alasan baginya untuk mencurigai Kui Lian, namun sikap Kui Lian yang aneh selalu merupakan teka teki baginya. Selalu terasa sesuatu yang aneh dan menyeramkan pada diri Kui Lian.
Bi Hui melompat turun dan menuju ke jendela. Sunyi sekali. Hanya suara angin bermain dengan daun daun pohon di luar.....
Kemana dia.... pikir Bi Hui dan hatinya merasa tidak enak. Dengan hati hati sekali ia lalu melompat keluar dan berindap indap tanpa mengeluarkan suara untuk mencari Kui Lian. Akhirnya ia mendengar suara bisik bisik terbawa angin dari arah taman bunga. Cepat namun hati hati ia menuju ke sana, bersembunyi di balik pohon pohon kembang. Di dalam sinar bulan yang remang remang ia melihat dua bayangan orang di atas bangku di dalam taman dan ketika ia mendekat ia melihat Kong Hwat dan Kui Lian! Bi Hui merasa mukanya panas dan ia cepat meramkan mata dan membalikkan tubuh, tak sudi ia menyaksikan pertemuan yang hina dan tak tahu malu dari dua orang itu. Ia tentu sudah pergi cepat cepat kalau saja tidak mendengar namanya disebut sebut dalam bisikan bisikan mereka. Tanpa disadarinya. Bi Hui berhenti dan memasang telinga, mendengarkan.
“Kui Lian, kau tahu betapa aku mencintaimu dan bahwa kau kuanggap sebagai isteriku biarpun belum ada pengesahan dari orang tuaku. Akan tetapi sebelum aku bertemu dengan kau, aku sudah cinta kepada Bi Hui! Dan orang tuaku mengusulkan supaya aku mengawini gadis itu. Pikirlah baik baik, kekasihku. Kalau aku menolak, orang tuaku akan marah marah dan kiranya akan sukar bagi kita untuk minta ijin dari mereka.”
“Enak saja kau bicara!” terdengar Kui Lian menjawab dengan suara manja. “Kau menikah dengan Bi Hui dan membuang aku? Lebih baik kubunuh siluman betina itu!”
“Hush. jangan bicara begitu, Lian moi. Aku mengawini dia bukan hanya kareaa cinta, akan tetapi.... kau tahu sendirilah! Pula, kalau aku sudah mengawininya, mudah saja bagiku untuk mengawinimu sebagai isteri ke dua. Orang tuaku pasti tidak keberatan karena hal ini sudah lazim terjadi, apalagi kaupun rupa rupanya disuka oleh ayah ibuku.”
“Cih, Bi Hui menjadi nyonya besarmu dan aku hanya menjadi bini muda? Menghina sekali.... menghina sekali...”
Terdengar Kui Lian terisak isak seperti menangis, merengek rengek manja dan Kong Hwat menghibur hibur dengan cumbu rayu! Bi Hui tidak kuat mendengar lebih lanjut. Dadanya seperti hendak meledak, mukanya terasa dibakar api. Cepat namun hati hati ia merayap pergi dan kembali ke kamarnya. Di lain saat ia telah melompat ke atas genteng dan melarikan diri, minggat dari rumah itu, dan Kong Hwat dan Kui Lian yang dalam pandangannya merupakan anjng anjing hina dina yang berbahaya baginya. Tak disangkanya bahwa Kong Hwat berwatak sehina dan serendah itu! Tadinya ia memang ada rasa suka kepada pemuda ini, akan tetapi ah! Ia malu kepada diri sendiri setelah sekarang mendapat kenyataan pemuda macam apa adanya Kong Hwat. Ia merasa heran sekali. Dahulu Kong Hwat tidak begitu. Bahkan beberapa kali ayah bundanya dahulu memuji muji Kong Hwat sebagai seorang pemuda yang baik.
Tentu karena wanita siluman itu! Tiba tiba Bi Hui teringat akan kata kata Beng Han ketika ia dipaksa mengaku tenang pembunuhan ayah bundanya? Dipandang dari sudut tingkat kepandaian juga dipandang dari sudut hubungan keluarga, adalah tidak mungkin. Akan tetapi Kong Hwat pernah dihina oleh ibunya. pernah ditampar oleh ibunya. Dan ada wanita iblis itu di samping Kong Hwat. Sambil berlari lari di malam buta itu, Bi Hui berpikir pikir. Tak terasa lagi air matanya mengalir di sepanjang pipinya kalau ia teringat akan nasibnya. “Mungkin aku dahulu salah terhadap Beng Han. Aku terlalu terburu nafsu. Seharusnya aku tanyai Beng Han baik baik tentang pengakuannya itu. Aku harus mencari Bing Han. Hanya anak itu yang menjadi saksi utama tentang pembunuhan ayah ibu. Kalau bukan Beng Han pembunuhnya, sedikitnya ia tentu tahu siapa yang membunuh.” Demikian Bi Hui mengambil keputusun. Ia harus mencari Beng Han. Kalau ternyata bahwa Kong Hwat dan Kui Lian pembunuh ayah bundanya, ah ia
akan.... akan apakah? Bi Hui ragu ragu. Dapatkah ia
menangkan Kong Hwat? Apa lagi di sana ada Kui Lian yang katanya murid Koai Thian Cu yang lihai ilmunya? Belum lagi diingat bahwa di sana masih ada bibinya, Song Siauw Yang dan pamannya Liem Pun Hui yang berkepandaian tinggi, lebih lebih bibinya. Tentu bibinya takkan membiarkan puteranya diganggu.
“Aku harus mencari Beng Han. Dan aku harus belajar lagi, baru membalas dendam!” dengan pikiran ini Bi Hui melajukan larinya, kemana saja kedua kakinya membawanya, tanpa tujuan.
Setelah matahari terbit, baru ia berhenti berlari ia telah tiba di sebelah hutan kecil ia duduk di bawah pohon, mengaso sambil termenung. Ke mana ia harus pergi? Ia tidak tahu di mana adanya Beng Han. Teringatlah Bi Hui akan Sin tung Lo kai sekeluarga. Bagaimana kalau ia ke sana saja? Tiba tiba mukanya menjadi merah karena ia teringat akan Kwan Sian Hong yang di calonkan sebagai suaminya. Kalau tidak ada urusan perjodohan ini, tentu tanpa ragu ragu lagi ia pergi ke Leng ting karena semenjak dahulu keluarga Sin tung Lo kai adalah sahabat sahabat baik orang tua dan kong kongnya.
Selagi ia termenung di bawah pohon, tibi tiba ia melihat beberapa orang berkejar kejaran. Dua orang di antaranya yang amat cepat gerakannya telah lari ke dalam hutan iotu dan Bi Hui melihat seorang pengemis tua buruk rupa dan kudisan mengejar nenek bongkok yang membawa sebuah bungkusan panjang dari kain kuning.
“Soat Li Suthai, kau masih belum menyerahkan Kim hud (Buddha Emas) itu?” tegur pengemis kudisan itu sambil melakukan gerakan lompatan luar biasa sekali. Tubuhnya melayang ke atas disusul gerakan berjungkir balik sehingga ia melewati atas kepala nenek itu dan di lain saat ia telah berada di depan nenek itu, menghadang jalan!
“Bagus sekali gerakanmu Lo wan seng thian (Monyet Tua Naik ke Langit) tadi, Lo kai (pergemis tua)!” Nenek yang di sebut Soat Li Suthai itu memuji. “Akan tetapi jangan kau kira aku jerih melihat aksimu itu. Kau mau merampas patung? Boleh, tapi coba kau kalahkan dulu tongkatku ini!” Setelah berkata demikian, nenek itu menggerakkan tongkat di tangan kanannya, cepat bagaikan kilat menyambar telah menyerang jembel kudisan, sedangkan lengan kirinya memeluk patung erat erat.
“Ha, ha, ha ha! Kau masih sama betul dengan dulu, haus pertempuran!” kata Bu Eng Lo kai kakek jembel itu sambil cepat mengelak menghindarkan diri dan serangan nenek yang lihai dan berbahaya. “Kau mau bertempur? Hayolah, kulayani kau sampai seribu jurus!”
Dan mereka benar benar bertempur hebat sekali. Bi Hui sampai menahan napas menyaksikan pertempuran ini. Dalam gebrakan beberapa jurus saja tahulah gadis ini bahwa dua orang yang sedang bertempur ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, bahkan lebih pandai daripada mendiang ayah bundanya. Kiranya mereka ini setingkat dengan kong kongnya, Thian te Kiam ong! Tentu saja Bi Hui tak dapat menilai sampai di mana tingkat kepandaian Thian te Kiam ong yang jarang tandingannya itu, dan ia hanya mengira ngira belaka. Akan tetapi sudah jelas bahwa tingkat kepandaian dua orang itu jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian ayah bundanya.
Tongkat di tangan nenek bongkok itu cepat bukan main gerakannya, menyambar nyambar mengeluarkan angin dan gerakannya sukar sekali diikuti oleh pandangan mata Bi Hui. Juga setiap sambaran selalu mengarah jalan darah lawan sehingga setiap gerakan merupakan serangan maut yang sukar dihindarkan lagi. Melihat jalannya sinar tongkat, Bi Hui dapat menduga bahwa ilmu silat itu hampir sama dengan ilmu pedang karena gerakannya seperti ilmu pedang. Agaknya ilmu itu dapat juga dimainkan dengan pedang di tangan.
Akan tetapi kakek kudisan itu tidak kalah lihainya kalau dibandingkan dengan lawannya. Biar pun ia bertangan kosong, namun gerakannya lincah bukan main. Kaki tangannya ringan sekali seakan akan bersayap. Dengan kecepatan yang mengagumkan ia dapat mengelak dan setiap serangan tongkat bahkan melakukan serangan balasan yang cukup hebat karena setiap pukulan tangannya selalu di elakkan cepat cepat oleh nenek itu, atau kalau ditangkis, tongkat bambu itu terpental kebelakang. Dari sini saja Bi Hui dapat menduga bahwa kakek itu seorang ahli ginkang dan lweekang yang istimewa. Dengan gerakan ringan cepat serta tenaga lweekang tinggi ia dapat menghadapi lawan tangguh yang bersenjata hanya dengun tangan kosong saja.
-ooo0dw0ooo-