Pedang Sinar Emas Jilid 35

Jilid XXXV

MELIHAT dua peti itu, Beng Han menangis. Juga Bi Hui menangis, mendorong tubuh Beng Han didepan meja sembahyang. Beng Han jatuh berlutut dan menangis di depan meja. Bi Hui juga berlutut lalu menangis. Dilihat begitu saja nampaknya dua orang ini sedang sama sama berkabung menangis di depan dua peti mati suami isteri Song. “Ayah dan ibu.... anak telah membawa anjing ini....

menghadap ayah dan ibu.... untuk mengakui dosanya  ”

Bi Hui berbisik.

Beng Han menangis keras dan berkata lantang, “Suheng dan suci, siauwte Beng Han bersumpah bahwa siauwte kelak pasti akan dapat menangkap dan membalaskan dendam suheng berdua kepada bangsat laki wanita jahanam itu.”

Bi Hui berbangkit dan membentak marah. “Tutup mulut! Hayo kau lekas mengakui dosa dosamu di depan ayah dan ibu!”

“Cici Bi Hui, aku tidak berdosa.... ..” kata Beng Han, suaranya bercampur isak.

“Jangan coba menyangkal. Ataukah kau harus kusiksa lebih dulu?” Bi Hui menodongkan ujung pedangnya di dada Beng Han. Ujung pedang itu menembus baju dan melukai kulit didada. Akan tetapi Bang Han tidak merasa takut.....

“Tusuklah dan belek dadaku agar kau dapat melihat bahwa hatiku tidak keji seperti yang kau sangka, cici. Aku benar benar tidak pernah melakukan dosa itu. Aku sama sekali tidak membunuh suheng dan suci. Percayalah!”

“Mengapa pedang pendekmu berlumuran darah dan mengapa tubuh dan pakaianmu juga berlumuran darah....

ayah dan ibu?”

“Aku.... aku bergumul dengan pembunuh pembunuh itu, aku kalah.... terpelanting dilantai yang penuh darah ”

Bi Hui tersenyum sindir, “Hemm, kau mau jadi jagoan, ya? Dan bagaimana kau dapat menjelaskan tentang bungkusan barang barang berharga itu?”

“Itu   itu aku tidak tahu, cici.” “Duk!” Tubuh Beng Han terjengkang kena tendangan Bi Hui dan dari mulut anak itu keluar darah.

“Hayo mengaku!” Bi Hui membentak. “Kalau tidak, hmm, kupenggal lehermu!”

“Aku.... aku tidak membunuh mereka….” Beng Han terengah engah, sukar bernapas. Tendangan tadi hebat sekali dan telah mendatangkan luka di dalam dadanya.

“Kau tidak membunuh? Habis siapa yang membunuh ayah dan ibu menurut pendapatmu?” Bi Hui mengecek.

“Pembunuhnya adalah.... Liem Kong Hwat ”

Bi Hui tersentak kaget, akan tetapi kemarahannya memuncak. Tangan kirinya bergerak, leher Beng Han kena dipukul dan bocah ini terpelanting tak dapat bangun lagi. Ia telah pingsan.

“Guyur dia dengan air dingin!” seru Bi Hui tak puas melihat Beng Han menjadi pingsan karena ia masih hendak bertanya. Dua orang pelayan laki laki itu mengambil air dan mengguyur kepala Beng Han. Anak itu siuman kembali, kepalanya serasa berputaran, lehernya sakit sekali. Ia lalu berlutut lagi di depan peti peti mati.

“Beng Han, manusia laknat. Kau tentu tahu bahwa semua kata katamu tadi tidak ada artinya. Kau sudah berlaku jahat dan melakukan pembunuhan mengapa harus membawa bawa orang lain yang tidak berdosa?”

“Betul, cici. Aku tidak membohong. Pembunuh suheng dan suci adalah Liem Kong Hwat. Tak salah lagi.”

“Keparat, siapa percaya akan obrolanmu? Melawan aku saja belum tentu dia menang, bagaimana dia bisa merobohkan ayah dan ibu? Kau bohong!” “Dia dibantu oleh   oleh seorang siluman wanita, muda

dan cantik, tetapi jahat  siluman itulah yang mengalahkan

suheng dan suci ”

“Kaulah silumannya! Biar ada seribu orang siuman perempuan muda, tak mungkin dapat mengalahkan ayah dan ibu. Kalau kau yang berbuat selagi ayah dan ibu tidur pulas, itu sangat boleh jadi! Kau masih tidak mau mengaku?”

Beng Han yang dihajar sejak tadi oleh dua orang pelayan kemudian oleh Bi Hui, mendengar ini menjadi panas juga.

“Cici. kau tetap menuduh aku dan bahkan membela Liem Kong Hwat yang memang berdosa. Biarpun aku tahu bahwa kau membelanya karena kau mencinta pemuda itu, akan tetapi kelak kau akan menyesal cici, dan arwah suheng berdua akan mengutukmu.”

Bukan main marahnya Bi Hui mendengar ini. “Bukti bukti sudah jelas menyatakan bahwa kau hendak mencuri barang berharga dan membunuh aah dan ibu, masih banyak cerewet, berani sekali kau menghinaku dengan kata kata kotor? Benar benar kau harus mampus di depan peti mati ayah ibu untuk menebus dosa. Bersiaplah menghadap arwah ayah dan ibu!”

Bi Hui melompat mengangkat pedangnya tinggi tinggi hendak memenggal leher Beng Han sedangkan bocah itu sambil berlutut memejamkan mata menanti binasa, Bi Hui mengayun pedangnya dan…. “Trang…!”

Bi Hui melompat mundur cepat cepat karena tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan hamper saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Di depannya berdiri seorang kakek pengemis yang memegang tongkat merah yang pendek dan tongkat itulah yang tadi dipakai menangkis pedang Bi Hui sebelum mengenai leher Beng Han.

Kakek ini sudah tua sekali, pakaiannya tembel tembelan dan biarpun semua rambutnya sudah putih dan mukanya sudah penuh keriput, namun sepasang matanya memancarkan pengaruh luar biasa.

“Nona, kau pernah dengan Thian te Kiam ong? Dan peti mati siapakah ini? Mengapa pula kau hendak membunuh bocah itu?”

Bi Hui maklum bahya ia berhadapan dengan seorang sakti, maka ia menjawab kaku.

“Thian te Kiam ong adalah kong kongku, aku Song Bi Hui dan iri adalah peti mati ayah bundaku yang malam tadi dibunuh oleh anjing cilik ini. Maka aku hendak membunuhnya di depan peti mati ayah dan bundaku. Kau ini orang tua yang menolong pembunuh, siapakah?”

Kakek pengemis itu membelalakkan kedua matanya, sebentar memandang kepada Bi Hui, kemudian kepada dua buah peti mati itu, lalu kepada Beng Han.

“Apa kau bilang.....? Tek Hong dan Siang Cu mati terbunuh malam tadi? Oleh bocah ini....?” Katek itu melangkah maju, menjambak rambut Beng Han dan mengangkat anak itu untuk memeriksa mukanya, seperti seorang jagal memeriksa seekor kelinci, lalu melemparkan tubuh Beng Han ke bawah sehingga anak yang sudah setengah mati itu kembali jatuh di depan peti peti mati. “Tak mungkin dia ini becus membunuh Song Tek Hong putera Thian te Kiam ong dan Ong Siang Cu murid Lam hai Lo mo,” kata kakek pengemis itu. 

Mendengar kakek itu menyebut nyebut nama ayah bundanya, kakeknya dan guru ibunya, Bi Hui makin terkejut dan ia segera berkata lebih hormat.

“Locianpwe, bukti bukti sudah ada yang menyatakan bahwa bocah inilah pembunuh ayah ibu selagi tidur. Akan tetapi siapakah locianpwe ini ?”

“Kau ini tentu cucu Thian te Kiam ong puteri Song Tek Hong, bukan? Jadi kau ini yang hendak di jodohkan dengan cucuku Kwan Sian Heng? Hemm, sungguh tidak kebetulan sekali, kedatanganku disambut oleh peti peti mati. Mengapa tidak kemarin aku datang hingga dapat mencegah terjadinya hal menyedihkan ini? Benar benar sudah nasib, sudah karma ”

“Bukankah locianpwee ini Sin tung Lo Kai?” Bi Hui bertanya mendengar kata kata itu.

Kakek itu mengangguk angguk. “Benar, akulah Sin tung Lo kai, sahabat baik kong kong mu, juga besannya karena pateranya Song Siuw Yang berjodoh dengan putera angkatku Liem Pun Hui.”

Bi Hui lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan menangis tersedu sedu, teringat akan nasib orang tuanya. Pada saat itu masuklah sepasang suami isteri setengah tua, yang laki laki berpakaian seperti sasterawan, yang wanita nampak gagah dan memegang sebatang tongkat merah. Di belakang mereka berjalan seorang pemuda tampan dan gagah, tinggi besar dan wajahnya jujur, menggandeng seorang bocah perempuan berusia enam tahun yang munggil dan manis.

Sepasang suami isteri itu bukan lain adalah puteri Sin tung Lo kai Thio Houw yang bernama Thio Leng Li dan berjuluk Bi sin tung (Nona Cantik Tongkat Sakti) bersama suaminya, seorang sasterawan bernama Kwan Lee kawan 

sekolah Liem Pun Hui. Adapun pemuda gagah tinggi besar itu adalah Kwan Sian Hong putera mereka dan bocah perempuan itu adiknya, Kwan Li Hwa.

Ketika mereka ini mendengar penuturan singkat dari Sin tung Lo kai tentang peristiwa nebat yang menimpa keluarga Song, semua memandang kepada Beng Han dengan mata terbelalak, terkejut, heran juga marah. Bi sin tung Thio Leng Li segera memeluk Bi Hui dan menghiburnya dengan nasihat bahwa, mati hidup ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa.

Beng Han yang menjadi “tontonan” merasa betapa semua orang membencinya. Darah yang mengucur dari luka di jidatnya memasuki matanya, membuat matanya pedas sekali. Dengan canggung dan kaku ia mencoba untuk menghapus darah campur peluh ini, akan tetapi tidak berhasil. Ia meraba raba saku mencari cari, tetapi tidak mendapatkan saputangannya. Tiba tiba sebuah tangan yang munggil menyerahkan sehelai saputangan jambon kepadanya, diikuti kata kata halus.

“Ini, pakai saputanganku untuk menghapus darah di mukamu itu. Mengerikan sekali ”

Beng Han memaksa matanya yang pedas itu memandang dan melihat seorang gadis cilik yang manis. Dengan perasaan terima kasih ia menerima saputangan itu dan menghapus darah di muka dan matanya.

“Siapa namamu?” Gadis cilik itu bertanya. “Aku.... Thio Beng Han ”

“Eh, kau seketurunan dengan kong kong! Kong kong juga ber she Thio!”

“Li Hwa, mundur kau!” bentak Sin tung Lo kai Thio Houw yang melihat cucunya bercakap cakap dan memberi saputangannya kepada Beng Han, bocah yang didakwa menjadi pembunuh itu.

“Locianpwe, perkenankan saya melaksanakan hukuman kepada pembunuh ayah bundaku agar sakit hati dan penasaran ayah ibu dapat terbalas sekarang juga,” kata Bi Hui kepada Sin tung Lo kai (Pengemis Tua Bertongkat Sakti), lalu berdiri da dengan pedang di tangan menghampiri Beng Han.

“Nanti dulu, kau mau apakan dia?” tanya Thio Houw. “Saya hendak membunuhnya di depan meja

sembahyang,” jawab Bi Hui tenang.

“Jangan bunuh dia.... kasihan....” tiba tiba Li Hwa menjerit dan Beng Han kembali memandang kepada gadis cilik ini dengan kagum dan terima kasih. Selama hidupnya ia takkan dapat melupakan wajah gadis cilik ini yang pada saat itu merupakan satu satunya orang yang menaruh kasihan dan perhatian kepada dirinya.

“Nona Bi Hui, nanti dulu, jangan kau tergesa gesa. Aku masih meragukan apakah benar benar bocah ini mampu membunuh ayah bundamu, biarpun dalam keadaan tidur pulas. Apakah kau sudah bertanya kepada semua pelayan dan mereka itu tidak melihat apa apa malam tadi?”

“Sudah, locianpwe. Tak seorangpun di antara mereka melihat orang lain kecuali Beng Han,” jawab Bi Hui. Memang demikian, pelayan pelayan yang semalam melihat Kui Lian dan dirobohkan sudah tak ingat apa apa lagi hanya lapat lapat merasa seperti mimpi. Tentu saja menghadapi peristiwa hebat itu tak seorangpun di antara mereka berani bicara tentang mimpi yang tak masuk akal itu. “Nona Bi Hui, kuharap kau suka bersabar dulu dan berpikir lebih dalam. Andaikata kau sekarang membunuh bocah ini, lalu kelak terbukti bahwa dia itu tidak berdosa bukankah kau akan menjadi pembunuh kejam. Tidak, aku tidak ingin cucu mantuku membunuh bocah tidak berdosa Nona Bi Hui, ayah bundamu mengirim surat kepada kami, mengusulkan perjodohan antara kau dan cucuku Kwan Sian Hong. Oleh karena itu, kuanggap bahwa aku boleh mewakili orang tuamu mengamat amati segala hal yang terjadi di sini dan kiranya aku tidak akan terlalu lancang untuk mengambil keputusan pula dalam urusan bocah ini.”

Memang kalau dipikir pikir, Bi Hui juga masih ragu ragu apakah betul Beng Han dapat membunuh ayah bundanya. Tadi karena terlampau berduka, pula tidak melihat bukti lain, ditambah rasa tidak sukanya kepada Beng Han maka membuat ia kukuh menuduh Beng Han yang menjadi pembunuh ayah bundanya. Sekarang ia mendengar kata kata kakek pengemis itu, hanya menangis dan berkata,

“Terserah pada locianpwe....” Ia lalu menubruk peti mati ibunya dan menangis tersedu sedu, segera ditolong dan dipeluk serta dihibur oleh Bi sin tung Thio Leng Li, caton ibu mertua nya.

Sin tung Lo kai menghadapi Beng Han dan berkata, “Beng Han, bukti bukti menyatakan bahwa kau bersalah. Sekarang hendak bicara apa?”

“Terserah kepada kalian apakah aku bersalah atau tidak. Membela diri tidak ada gunanya, tetap takkan dipercaya. Aku hanya mau bicara begini, bahwa apabila umurku panjang aku akan nencari dan menyeret pembunuh pembunuh suheng dan suci dan memenggal leher mereka di depan makam suheng dan suci!” Sin tung Lo kai mengangguk angguk. Kakek pengemis sakti ini sekelebatan saja tahu bahwa anak di depannya bukannya bocah sembarangan, maka ia makin sangsi apakah benar bocah ini yang menjadi pembunuhnya.

“Baiklah, atas nama keluarga Song, aku membebaskan kau, akan tetapi jangan kira bahwa kami akan menutup mata begitu saja. Kelak sih belum terlambat untuk menghukummu apabila ternyata kau yang bersalah dalam pembunuhan ini.”

Beng Han tidak menjawab, sebaiknya ia lalu berlutut di depan meja sembahyang dan berkata dengan suara tantang dan air mata bercucuran.

“Suheng dan suci, siuwte bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Biar siauwte menebus dengan nyawa kalau siauwte sampai gagal menyeret dua pembunuh itu di depan makam suheng berdua. Harap suheng berdua mengaso dengan tenang.” Setelah berkata demikian, ia menjura kepada Bi Hui dan berkata, “Cici Bi Hui, aku tidak menyesal kepadamu karena aku maklum betapa hancur hatimu kehilangan ayah bunda. Juga aku terima kasih sekali atas kebaikan keluargimu selama aku berada di sini. Cici, baik baiklah menjaga dirimu sendiri. Kelak kita bertemu kembali!”

Pergilah Beng Han ke kamarnya, mengambil pakaian lalu keluar dari rumah itu dengan tubuh sakit semua dan jalanya terhubung huyung, air matanya bercucuran karena ia merasa amat kasihan kepada keluarga Song yang selama ini ia junjung tinggi. Benar benar bocah luar biasa. Setelah menerima siksaan yang menyakitkan semua tubuh, dalam meninggalkan tumah itu ia masih bisa melupakan keadaan diri sendiri dan sebaliknya merasa amat kasihan kepada Bi Hui. 

Setelah Beng Han pergi, seperti kepada diri sendiri Sin tung Lo kai berkata, “Bocah luar biasa.... ah, ingin sekali aku dapat menyaksikan terlaksananya sumpahnya tadi.”

Kedatangan Sin tung Lo kai Thio Houw dan anak cucunya merupakan hiburan besar bagi Bi Hui. Sin tung Lo kai mengurus segalanya, juga mengutus seorang pelayan untuk pergi ke Liok can memberi tahu tentang peristiwa hebat itu kepada Liem Pun Hui dan Song Siauw Yang.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Siauw Yang dan Pun Hui mendengar berita itu. Siauw Yang menangis menjerit jerit. Biarpun ia pernah ribut dengan Siang Cu, akan tetapi sebagai adik ipar, tentu ia merasa berduka sekali mendengar kematian kakak dan iparnya. Cepat ia mengajak suaminya pergi, ke Tit le.

Siauw Yang menubruk peti mati peti mati itu dan menangis sampai jatuh pingsan. Bi Hui menangis bersama bibinya, dan setelah Siauw Yang sadar, dua orang wanita ini saling berpelukan sambil menangis. Lenyap kemarahan lama. Ketika mendengar bahwa Beng Han dibebaskan oleh Sin tung Lo kai, Siauw Yang mengerutkan kening dan berkata, “Kalau bukti bukti menyatakan bahwa anjing cilik itu yang melakukan pembunuhan, mengapa ia di bebaskan dan tidak dihukum menebus nyawa di sini?”

Sin tung Lo kai berkata, “Kesalahannya belum nyata betul, bahkan dipikir pikir, aku berani bertaruh nyawaku yang sudah tua bahwa anak itu tidak berdosa. Selain itu, apabila kelak ternyata dia yang berdosa, akulah yang akan sanggup menyeretnya di depanmu.”

Pun Hui menghibur isterinya sehingga akhirnya Siauw Yang mengalah dan ia sendiri bersumpah hendak menjadi orang pertama yang menusukkan pedang ke dada pembunuh kakaknya dan kakak iparnya. 

Ketika Siauw Yang bercakap cakap dengan Leng Li sahabat lamanya, Leng Li bertanya mengapa Kong Hwat tidak ikut datang.

“Ia di sebut sebut oleh mendiang kakakmu yang katanya menurut pesanan Song lo enghiong, harus di jodohkan dengan puteriku. Kau lihat, puteriku masih kecil, baru betusia enam tahun, agaknya ayahmu itu lupa dan mengira bahwa anak perempuanku sudah dewasa.”

Siauw Yang menarik napas panjang den teringatlah ia akan semua peristiwa yang lalu di rumah kakaknya ini, sehingga mengakibatkan Kong Hwat minggat dari rumah.

“Anak itu pergi merantau untuk meluaskan pengalaman, tentang perjodohan, ah, mana bisa orang tua sekarang memaksa puteranya? Kalau dia belum mempunyai niat, kita ini bisa berbuat apakah?”

Juga sambil lalu Sin tung Lo kai bertanya tentang pemuda itu, ketika dijwab bahwa Kong Hwat sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, ia mengangguk angguk den berkata, “Memang baik sekali bagi seorang muda untuk merantau meluaskan pengalaman. Apa gunanya kepandaian tinggi tanpa pengalaman? Akan mudah tertipu orang dan kadang kadang kepandaian tinggi sama sekali tidak ada gunanya, sebaliknya pengalaman membikin orang menjadi waspada dan tidak mudah tertipu. Sayang dia tidak mengetahui tentang nasib paman dan bibinya yang buruk ”

Setelah selesai menguruskan penguburan jenasah Song Tek Hong dan isterinya di mana Bi Hui menangis sampai beberapa kali pingsan, mereka lalu berunding. Sin tung Lo kai Thio Houw tadinya mengharapkan supaya Bi Hui ikut tinggal di rumah calon mertuanya, yakni Kwan Lee dan Thio Leng Li di kota Leng ting. Akan tetapi Siauw Yang minta dengan sangat supaya keponakannya itu untuk sementara tinggal bersama dia di Liok can. Ternyata Bi Hui memilih tinggal bersama bibinya, karena ia merasa sungkan dan malu malu harus tinggal di runah calon suaminya, apa lagi karena ia belum mengenal mereka semua kecuali Kwan Li Hwa yang ternyata adalah seorang bocah perampuan yang lucu dan pandai bergaul.

0odwo0

Dalam keadaan setengah mati Beng Han melakukan perjalanan keluar dari kota Tit le. Tempat yang ia tuju adalah Gunung Kui san. Ia hendak memenuhi pesan gurunya, untuk pergi ke menara Kim hud tah dipuncak Kui san dan mengambil pedang Kim kong kiam serta kitab pelajaran ilmu pedang dari Thian te Kiam ong, mempelajari itu sampai sempurna baru turun gunung dan membalas dendam terhadap pembunuh pembunuh suheng dan sucinya! Pikirannya sudah buntu, disaat itu tidak ada lain cita cita melainkan mempelajari ilmu silat tinggi peningglan gurunya lalu membalas dendam terhadap Liem Kong Hwat dan siluman wanita itu!

Akan tetapi Kui san bukanlah tempat dekat, ia harus melakukan perjalanan ratusan li, dan keadaannya sungguh tidak baik untuk melakukan pejalanan jauh. Selain ia tidak mempunyai uang sekepingpun, tubuhnyapun terasa sakit sakit. Mukanya bengkak bengkak dan matang biru, leher nya seperti salah urat dan dadanya masih sakit, kadang kadang ia muntah muntah darah segar!

Betapapun juga sengsaranya, anak ini bukan anak sembarangan. Ia mempunyai kekerasan hati seperti baja, mempunyai ketekadan yang mengagumkan. Tak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Bibirnya sampai berdarah darah karena ia menggigit gigitnya menahan rasa sakit yang kadang kadang merangsang dengan hebatnya. Ia melakukan perjalanan sebagai seorang pengemis, mengisi perutnya dengan cara minta minta, bahkan kadang kadang mencuri. Tadinya memang berat sekali baginya untuk minta minta, apalagi mencuri.

Ketika untuk pertama kalinya, yaitu tiga hari kemudian semenjak melarikan diri, saking tak kuat menahan lapar ia mencoba untuk minta makan pada pintu rumah orang, ia dibentak bentak dan diusir. Ada yang memaki makinya, ada pula yang menyuruh anjing mengusirnya! Beng Han menuju ke sebuah restoran di mana banyak terdapat orang orang berpakaian mewah sedang makan minum.

Akan tetapi, belum juga mulutnya terbuka mengeluarkan suara, baru saja kedua kakinya sampai di ambang pintu, seorang tamu gendut yang menghadapi sepiring besar masakan ikan sebesar paha dan tadinya kelihatan berseri gembira, menjadi marah marah dan membentaknya,

“Pergi kau, jembel hina! Membikin jijik saja pada orang makan!”

Mendengar bentakan ini, para pelayan datang membawa tongkat dan mengusirnya setelah memberi pukulan beberapa kali pada kepalanya. Persis seperti orang mengusir anjing!

Sakit di hati Beng Han lebih hebat daripada rasa sakit di kepalanya ketika ia duduk di bawah pohon di pinggir jalan. Akan tetapi ia tidak putus asa. Mungkin orang tadi kebetulan sedang marah marah atau memang kebetulan ia bertemu dengan orang yang berhati kejam, pikirnya. Kalau aku bertemu dengan orang orang yang baik hati, seperti mendiang suhu dan suheng berdua yang tak pernah menolak seorang pengemis, tentu aku akan mendapat makan. Dengan pikiran ini Beng Han kembali pergi ke rumah makan lain. Melihat beberapa orang sedang makan di dekat jendela, ia lalu berkata penahan, “Mohon kasihan dan bantuan, sudah tiga hari saya tidak makan ”

Lima pasang mata menatapnya, disusul suara suara menyindir dan memaki.

“Anak malas! Kalau kau tidak mau bekerja, biar setahun kau takkan makan. Tak tahu malu, masih muda sudah mengemis. Hayo pergi, kuketok kepalamu nanti!”

Beng Han menundukkan mukanya dan pergi. Kerja ???

Kalau ia bekerja kapan ia bisa sampai di Kui san? Karena hinaan dan ejekan inilah maka Beng Han lalu berlaku nekad, yaitu mencuri makanan! Dengan modal kepandaiannya yang ia dapat dari Koai Thian Cu dan Thian te Kiam ong, ia sudah lebih daripada orang orang biasa. Mencuri makanan dari pelayan pelayan restoran bagi nya mudah saja. Sekali sambar dan lari, para pelayan restoran tak seorangpun yang mampu mengejarnya. Andaikata ada yang dapat mengejarnya dengan kepandaiannya Beng Han dapat merobohkannya dan lari lagi.

Demikianlah, dengan cara mnta minta atau kalau perlu mencuri makanan, Beng Han dapat melanjutkan perjalanannya ke Kui san. Dengan bertanya tanya ia dapat mengetahui di mana letaknya gunung itu. Akan tetapi celakanya, keaadaan tubuhnya makin lama makin payah, biarpun mukanya kini sudah tidak bengkak bengkak lagi dan matang birunya sudah hilang akan tetapi rasa sakit pada leher dan dadanya makin menghebat.

Bekal pakaiannya telah di jualnya semua untuk makan, karena kadang kadang ia tidak mempunyai kesempatan untuk mencuri dan terpaksa menukar pakaian dengan makanan. Pakaian yang menempel ditubuhnya sudah kotor dan compang camping, sepatunya sudah dibuang karena sudah rusak semuanya. Beng Han benar benar nenjadi seorang jembel muda!

Pada suatu hari ia tiba di kota Liang ke. Kota ini berada di kaki gunung Kui san. Dari kota itu nampak gunung Kui San menjulang tinggi dan bentuknya seperti raksasa atau iblis yang menakutkan. Dari bawah saja sudah kelihatan bahwa gunung ini amat kaya akan hutan hutan liar dan amat sukar didaki. Akan tetapi ini semua tidak membikin gentar hati Beng Han, bahkan hatinya girang bukan main melihat gunung ini. Setelah melakukan perjalanan yang amat sengsara selama setengah tahun baru ia sampai di kaki gunung itu. Tubuhnya sudah menjadi kurus kering, bukan saja karena kurang makan, terutama sekali karena luka di dalam dadanya. Mukanya selalu pucat dan hanya sepasang matanya saja yang masih kelihatan hidup, bercahaya penuh semangat dan keberanian hidup.

Setelah bertanya tanya ia mendapat keterangan dari penduduk Liang ke yang ramah tamah. Memang ada sebuah menara kuno sekali di puncak Kui san, sebuah menara yang menurut dongeng dahulu pernah dipergunakan oleh Kiang Cu Ge (Seorang tokoh besar dalam dongeng Hong sin pong, yang mendapat kekuasaan sebagai pemberi pangkat kepada roh roh) untuk mengurung dan menghukum tiga ekor naga! Kemudian, menurut dongeng itu, datang Ji Lai Hud (Budha) membebaskan naga naga itu, dari hukuman mereka. Untuk tanda terima kasih, tiga ekor naga sakti itu lalu membuat sebuah patung Buddha daripada emas murni, ditaruh di dalam menara sebagai pujaan.

“Apakah sampai sekarang patung itu masih ada?” tanya Beng Han kepada kakek penjual kipas di pinggir jalan itu.

“Tentu saja masih ada, akan tetapi siapa yang dapat melihatnya? Gunung itu sendiri sudah amat sukar didaki, penuh jurang, hutan hutan liar dan belum lagi binatang binatang buas. Bahkan kabarnya masih ada ular besar seperti liong di dekat puncak. Setelah orang berhasil sampai disana misalnya, tetap saja percuma, karena tidak mungkin dapat memasuki menara, apalagi memanjat naik.”

“Mengapa, lopek?”

“Pintu menara di sebelah dalam sampai ke atas berlapis tujuhbelas buah, semuanya dari baja yang amat kuat dan selalu terkunci rapat. Selama ini, di dalamnya kabarnya ada siluman siluman yang menjaganya, entah siluman entah pertapa pertapa, hal ini banyak yang menduga duga. Pendeknya, selama aku tinggal di sini sudah puluhan tahun, belum pernah aku mendengar ada orang bisa masuk ke dalam.”

Hati Beng Han menjadi kecil mendengar ini. Bagaimana kalau dia sendiri tidak bisa masuk. Apakah waktu setengah tahun dibuang begitu saja secara sia sia? Hampir ia menangis mendengar penuturan itu, akan tetapi ia lalu menenteramkan hatinya. Tak mungkin. Suhu adalah Thian te Kiam ong, tak mungkin dia membohongiku. Kakek ini tanya berceritera karena mendengar dongeng dongeng yang tidak karuan ujung pangkalnya. Ingin sekali Beng Han kalau dapat terbang ke puncak gunung itu, akan tetapi tak dapat ia segera melakukan pendakian. Perutnya telah kosong semenjak kemarin. Selain harus diisi, juga dia harus membawa bekal, karena ia dapat menduga bahwa pendakian itu memerlukan waktu lama dan takkan mungkin ia mendapatkan makanan di tengah perjalanan itu.

Setelah menghaturkan terima kasih kepada kakek yang menganggapnya seorang jembel yang baru datang, ia lalu pergi menuju ke pasar di mana banyak terdapat warung warung nasi dan kedai kedai arak. Ketika ia tiba di depan sebuah restoran besar yang penuh tamu, ia berhenti. Hidungnya kembang kempis ketika ia mencium bau masakan yang amat sedap sehingga beberapa kali menelan ludah.

“Aduh enaknya....” katanya perlahan. Timbul pikirannya untuk merasakan masakan yang amat enak baunya ini. Kalau ia mengemis di sini, tak mungkin ia akan mendapatkan masakan yang baunya membuat ia makin lapar itu. Paling paling hanya akan mendapat makanan makanan bekas atau makanan basi. Jalan satu satunya untuk dapat merasai masakan itu hanya satu, mencuri!

Cepat bagaikan seekor kucing ia menyelinap dan pura pura mencari sisa sisa makanan di belakang restoran itu. Ia mendengar seorang yang suaranya parau membentak bentak pelayan, “Hayo cepat bawa bebek panggang itu ke sini! Aku sudah lapar!”

Yang bicara itu adalah seorang hwesio gundul yang gemuk sekali. Di atas meja di depannya sudah nampak piring piring bekas yang sudah kosong, dan ia tengah makan sepiring mie yang banyak sekali. Di sudut kiri terdapat guci arak besar. Benar benar aneh sekali melihat seorang hwesio makan minum dalam restoran!

Pelayan cepat cepat membawa bebek panggang yang baunya membuat mulut Beng Han berliur tadi, dari dapur hendak dibawa ke meja hwesio itu. Bebek itu masih kelihatan utuh berikut kepalanya, seperti bebek tak berbulu sedang duduk di atas piring yang diletakkan di atas penampan lebar. Kulit bebek itu merah kekuningan masih mengebul hangat dan kelihatan menantang setiap orang kelaparan!

Beng Han menyelinap maju dan sekali melompat dari belakang telah dapat menyambar bebek itu dan dibawanya lari. Gerakannya cukup cepat dan gesit sehingga pelayan itu sana sekali tidak merasa! Setelah ia tiba di dekat meja si gundul dan menurunkan baki dari pundaknya, baru ia melongo melihat piring telah kosong, bebek sudah lenyap.

“Mana bebek panggangnya?” hwesio itu membentak sambil menggebrak meja.

Pelayan itu bengong seketika, lalu menjawab gagap. “Tadi.... tadi bebek itu.... ada.... duduk di piring....

sekarang     apa dia terbang pergi?”

Hwesio itu mengereng seperti harimau, bangkit berdiri dengan kasar sampai bangku yang di dudukinya terpelanting kemudian sekali ia menendang tubuh pelayan itu melayang seperti bebek terbang Tubuh pelayan itu melayang dan hendak jatuh menimpa meja penuh hidangan di mana seorang tosu beserta dua orang laki laki gagah sedang duduk makan minum. Tosu itu mengibaskan ujung lengan bajunya dan.... tubuh pelayan itu terbang balik seperti bola ditendang kembali ke tempat hwesio itu.

“Bagus!” Hwesio gemuk berseru sambil melirik ke arah tosu, dan sekali ia mengulur tangan ia telah menjambak leher baju pelayan tadi.

“Hayo bilang sungguh sungguh, ke mana perginya bebek panggangku?”

“Ampun.... losuhu.... ampun. Sesungguhnya tadi aku sudah membawanya dari dapur. Entah bagaimana dia bisa.... terbang ….”

Hwesio itu melempar pandang ke arah meja tosu tadi dengan curiga ia tidak melihat ada bebek panggang di situ. Lalu sepasang matanya yang besar besar itu memandang keluar restoran. Tiba tiba ia berkata. “Aku sudah melihat pencurinya, Hayo sediakan lagi bebek panggang lain, aku hendak menangkap pencuri cilik itu.” Dengan langkah lebar ia meninggalkan restoran itu langsung mengejar Beng Han yang berlari lari kecil sambil mengggerogoti bebek panggang.

“Pencuri, kau hendak lari ke mana?”

Beng Han kaget sekali, apalagi ketika tiba tiba saja pundaknya dipegang orang dan tubuhnya diputar sehinga ia menghadapi seorang hwesio gemuk dan bermuka menyeramkan.

“Kau mencuri bebek panggangku!” bentak hwesio itu marah.

“Maaf losuhu, teecu, merasa lapar sekali dan bau bebek panggang itu membuat teecu tak dapat menahan keinginan hati lagi. Harap losuhu sudi memaafkan. Kalau teecu tahu nama besar losuhu, kelak kalau ada rejeki teecu akan mengundang suhu dan menjamu seratus ekor bebek panggung sebagai gantinya.”

Mendengar ini, tiba tiba hwesio itu tertawa bergelak. “Ha, ha. ha, ha, kau serigala cilik! Kau tentu murid

orang pandai. Siapa gurumu?”

Melihat keadaan hweesio ini, tahulah Beng Han bahwa ia berhadapan dengan seorang berilmu, maka ia tidak berani membohong “Teccu adalah murid dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam.” Ucapan ini ia keluarkan dengan suara bangga.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba tiba hwesio itu kelihatan beringas, matanya terbeliak dan lain saat tubuh Beng Han telah dilemparkan ke atas. Tenaga lemparan ini demikian hebatnya sehingga tubuh anak itu melayang dan jatuh di puncak wuwungan rumah yang amat tinggi! Beng Han memegangi balok melintang di dekat wuwungan, dipegangnya erat erat karena takut kalau jatuh ke bawah. Bebek panggang yang baru dimakan sedikit itu entah terlempar ke mana.

“Ha, ha, ha, kau murid Thian te Kiam ong? Biar kautunggu suhumu di sana untuk menurunkanmu. Ha, ha, ha!” Hwesio gemuk itu berjalan kekenyangan kembali ke rumah makan.

Biarpun keadaan Beng Han begitu tak berdaya dan berbahaya, anak itu tetap tidak mau berteriak teriak minta tolong. Orang orang yang melihat kejadian ini hanya berkerumun di pinggir jalan menuding nuding ke atas dan sebagian ribut ribut menceriterakan kepada pendatang pendatang baru bahwa anak itu adalah seorang jembel yang mencuri bebek panggang dan dihajar oleh seorang hwesio lihai.

Beng Han yang sudah lemas tubuhnya itu tentu sebentar lagi akan jatuh ke bawah dan akan patah patah tulangnya karena ia sudah hampir tidak kuat mempertahankan diri. Kedua tengahnya yang memeluk balok itu sudah gemetar kelelahan dan ia sudah memejamkan kedua mata untuk menghadapi kematian.

Tiba tiba pada saat itu berkelebat bayangan putih dan tahu tahu Beng Han sudah direnggut orang. Para penonton di jalan mengeluarkan seru kagum melihat seorang kakek tua melayang ke atas seperti seekor burung garuda, kemudian dengan mudahnya menyambar tubuh Beng Han, menjejakkan kaki ke wuwungan dan melompat kembali ke bawah membawa tubuh pengemis cilik itu.

Ketika Beng Han memandang, ternyata yang menolongnya adalah seorang tosu tua yang ia tadi tidak melihat telah lama duduk bersama dua orang muda gagah di dalam restoran. Melihat tosu tua ini, segera Beng Han mengenalnya karena tosu itu bukan lain adalah Pat pi Locu, tosu Tibet lihai yang pernah mengunjungi Tit le dengan maksud menantang pibu (mengadu kepandaian) Thian te Kiam ong akan tetapi karena kakek sakti itu telah meninggal, lalu menyerang makam dan bertempur melawan Song Tek Hong dan Song Siauw Yang. Melihat orang yang memusuhi keluarga Song ini, Beng Han yang tadinya hendak menghaturkan terima kasih, menelan kembali kata katanya dan memandang dengan mata tajam terbelalak.

“Ha, ha, ha, anak baik, kita saling berjumpa pula di sini.

Kau hendak kemanakah?”

Biarpun tidak suka kepada tosu ini, karena merasa bahwa dirinya sudah ditolong dari bahaya maut, Beng Han merasa tidak enak kalau tidak menjawab sejujurnya. Tidak menghaturkan terima kasih atas pertolongan tadi kiranya sudah cukup memperlihatkan rasa tidak sukanya kepada Pat pi Lo cu. Kalau ia tidak mau menjawab penanyaan yang diajukan dengan ramah, ia anggap kurang ajar.

“Aku hendak pergi ke gunung itu.” katanya sambil menatar tubuh dan menudingkan telunjuk nya ke arah Kui san yang nampak puncaknya dari tempat itu.

Sementara itu, dua orang gagah yang tadi duduk makan minum bersama Pat pi Lo cu sudah sampai di situ pula. Beng Han juga mengenai mereka, bukan lain dua orang murid Pat pi Lo cu yang mukanya sama benar, dua saudara kembar See thian Siang cu Ma Thian dan Ma Kian, yang pernah bertempur melawan Kong Hwat dan Bi Hui.

“Hendak ke Kui san?” Pat pi Lo cu mendesak dengan penuh perhatian. Beng Han mengangguk. “Heran, kau pergi ke gunung liar itu hendak mengunjungi siapakah?”

Beng Han mulai tak senang. Kakek ini keterlaluan, pikirnya, mendesak desak dan ingin tahu urusan orang. Tentu saja tak mungkin ia mau menceriterakan tentang niatnya yang dirahasiakan.

“Aku hendak pergi ke Kim hud tah di puncak gunung itu dan selanjutnya harap totiang tidak banyak tanya tanya lagi karena totiang tidak ada sangkut pautnya dengan urusanku.”

Pat pi Lo cu bertukar pandang dengan kedua orang muridnya kemudian ia tertawa tawa dan berkata, “Aha, jadi kau hendak ke Kim hud tah? Eh, anak baik, siapakah yang menyuruhmu kasana? Tentu Thian te Kiam ong yang mengutusmu, bukan?”

Beng Han makin mendongkol. Kakek Tibet ini sudah tahu bahwa suhunya telah meninggal dunia, bahkan kakek ini melihat pula makamnya. Bagaimana sekarang masih pura pura bertanya bahwa dia diutus oleh Thian te Kiam ong? Mengingat ini, ia berkata mendongkol, setengah menyindir, “Benar, guruku menyuruh aku ke sana.”

Wajah Pat pi Lo cu berseri “Bagus! Sudah kuduga! Memang Thian te Kiam ong tukang membohong dan menipu. Peti mati itu tentu kosong dan orangnya masih hidup! Jadi dia juga hendak datang ke Kim hud tah dan kau disuruh mengamat amati lebih dulu dan disuruh menanti di sana?”

Karuan saja hati Beng Han menjadi makin gemas. Gilakah tosu ini? Atau sengaja hendak mempermainkan dia? Baik, diapun akan main main terus! “Memang begitulah kiranya....” jawabnya, lalu dilanjutkan, “dan kalau nanti suhu melihat kau menggangguku terus, aku tidak bertanggung jawab untuk keselamatanmu, totiang.”

Pat pi Lo cu tertawa lagi, nampaknya gembira betul. “Siapa mau mengganggumu? Aku bahkau hendak

mempermudah tugasmu. Kalau kau naik sendiri ke Kui san, kiranya baru sampai di tengah jalan saja kau akan diterkam harimau. Lebih baik mari ikut dengan kami. Kita sama sama menanti munculnya Thian te Kim ong di sana.” Sebelum Beng Han sempat menjawab, lengannya sudah disambar oleh Pat pi Lo cu dan di lain saat ia telah dibawa lari seperti terbang cepatnya menuju ke Gunung Kui san!

Mula mula Beng Han terkejut dan menyesal. Mengapa dia mempermainkan kakek ini, akan tetapi ketika melihat betapa sukar perjalanan mendaki bukit Kui san itu, diam diam ia merasa girang. Memang betul andaikata dia harus mendaki sendiri, belum tentu ia akan sanggup. Apalagi di seranjang jalan banyak ia melihat binatang binatang buas yang tidak berani berbuat sesuatu terhadap Pat pi Lo cu dan dua orang muridnya yang dapat bergerak secepat kijang itu.

Betapapun cepatnya Pat pi Lo cu dan dua orang muridnya mempergunakan ilmu lari cepat berlari mendaki Kui san tetap saja gunung yang penuh jurang dan hutan liar itu tak mudah begitu saja mereka daki dan setelah hari menjadi gelap barulah mereka tiba di puncak, di mana terdapat sebuah menara di dalam taman bunga yang amat indahnya. Menara itu menjulang tinggi seperti raksasa aneh, merupakan pagoda besar bertingkat tujuhbelas, terbuat daripada batu batu putih yang keras.

Pat pi Lo cu menurunkan Beng Han dan mereka duduk di atas batu batu putih yang banyak terdapat di taman itu seperti bangku bangku yang enak diduduki karena licin dan halus permukaannya. See thian Siang cu mengeluarkan buntalan makanan dan mereka mulai makan kue kering dan minum arak. Beng Han juga ditawari dan anak yang kelaparan ini tanpa sungkan sungkan lalu makan sekenyangnya karena persediaan kue kering itu memang cukup banyak. Beng Han tidak biasa minum arak wangi maka setelah habis lima cawan, anak ini menjadi merah mukanya dan segala apa terputar putar di depan mukanya. Akan tetapi, tetap saja pikirannya terang dan sadar sehingga bicaranya tidak mengacau.

“Anak baik, kau bilang kapankah gurumu itu akan tiba di sini?”

“Aku tidak pernah bilang kapan dia datang di sini,” jawab Beng Han, suaranya lantang dan berkumandang di dalam taman yang dikelilingi pohon kembang itu.

“Thian te Kiam ong gurumu itu datang hendak mengambil Kim hud (Buddha Emas), bukan? Dan kau disuruh menyelidiki siapa siapa yang datang di tempat ini?” kembali Pat pi Lo cu memancing dan mendesak.

Sekarang Beng Han benar benar tidak mengerti. Tak mungkin kakek ini main main, pikirnya. Benar benarkah kakek gila ini mengira bahwa suhu nya masih hidup dan dahulu yang dimakamkan itu hanya peti kosong? Benar benar gila!

“Totiang, sebenarnya apakah kehendak totiang? Bukankah totiang sudah melihat sendiri makam suhuku? Suhu Thian te Kiam ong sudah meninggal dunia, hampir setahun yang lalu. Bagaimana totiang mengharapkan bertemu dengan dia disini?”

“Jangan kau bohong! Thian te Kiam ong masih hidup!” Tosu itu membentak. “Totiang, entah aku sudah gila, entah kau yang tidak beres pikiran. Aku bersumpah bahwa aku yang menjaga suhu sampai datang maut merenggut nyawanya. Aku yang selalu berada di samping suhu sampai suhu meninggal dunia. Suhu Thian te Kiam ong benar benar telah meninggalkan dunia ini!” Suara Beng Han lantang karena ia gemas sekali.

Pat pi Lo cu dan murid muridnya menjadi tertegun, bahkan seorang di antara murid muridnya mengeluarkan seruan kecewa.

“Kalau beut begitu, mengapa kau tadi menipu kami? Apa maksudmu naik ke puncak Kui san? Kau mau apakah hendak pergi ke Kim hud tah? Hayo bilang sebelum kupatahkan batang lehermu!” bentak Pat pi Lo cu.

Beng Han tentu saja tidak mau mengaku. Kalau ia mengaku, tentu pedang dan kitab peninggalan suhunya akan jatuh di tangan lain orang den ia lebih baik mati daripada membuka rahasia ini.

“Aku.... aku mendengar akan keindahan puncak gunung ini maka aku datang hendak bertapa di sini”, jawabnya. “Kalau totiang tidak percaya, sudahlah.”

“Kau bohongi Mengapa kau bocah sekecil ini hendak bertapa? Mengapa? Hayo jawab.”

“Itu urusanku sendiri.”

Pada saat itu, Pat pi Lo cu berseru kepada dua orang muridnya, “Awas ada tiga orang datang!”

Akan tetapi terlambat, dua orang muridnya itu mengeluarkan saruan kaget karena mereka di serang oleh dua orang di malam gelap. Mereka menangkis karena merasa ada angin menyambar dan tubuh mereka terpental jauh ketika lengan mereka bertemu dengan lengan lawan yang amat tangguh. Juga Pat pi Lo cu diserang orang dan telah menangkis. Tangkisannya membuat orang itu mengeluh, akan tetapi juga Pat pi Lo cu sendiri merasa lengannya sakit dan pedas. Ia tahu bahwa penyerangnya itu memiliki lweekang yang hanya kalah sedikit olehnya.

Setelah penyerangan ini, keadaan menjadi sunyi lagi dan ternyata Beng Han telah lenyap dari situ!

“Anak setan, dia telah lari ketika terjadi ribut.” Pat pi Lo cu menggerutu, kemudian ia terkejut mendengar keluhan dua orang muridnya. Dalam keadaan remang remang karena bulan hanya muncul sepotong, ia meneriksa lengan dua orang muridnya yang ternyata telah membengkak. Segera ia mengobati mereka dan merasa penasaran sekali.

“Siapakah siluman yang berani main gila?” teriaknya keras keras. “Suhu, jangan jangan Thian te Kiam ong yang muncul dan menolong muridnya,” kata Ma Kian.

Pat pi Lo cu terkejut. Mungkin benar, karena siapakah orangnya yang begitu berani dan lihai sehingga dapat merampas bocah itu di depan dia dan dua orang muridnya?

“Thian te Kiam ong, kalau kau memang sudah datang, jangan bersikap seperti pengecut. Keluarlah dan mari kita bicara!” teriaknya berulang ulang akan tetapi hanya angin malam mempermainkan daun dan bunga yang menjawab teriakan teriakannya itu.

Sementara itu, Beng Han tadi ditotok orang sehingga lumpuh dan tak dapat mengeluarkan suara, kemudian ia dibawa lari oleh tiga orang hwesio tua yang gerakannya seperti iblis saja. Tiga orang hwesio ini benar memutari menara, lalu masuk dari sebuah pintu rahasia yang dapat menutup sendiri setelah mereka memasuki menara itu. Setelah tiba di dalam, Beng Han dibebaskan dari totokan, akan tetap masih dikempit oleh seorang hwesio dan mereka bertiga lalu berjalan melalui anak tangga yang tiada habisnya. Beng Han merasa heran melihat betapa di dalam menara itu tidak segelap diluar menara. Di situ terdapat anak tangga yang melenggok lenggok seperti ular, terus naik dalam bentuk memutar di sepanjang dinding menara dan di tiap tikungan terdapat lampu penerangan. Setelah tiba di tingkat ke sembilan, tiga orang hwesio itu melangkah ke kiri di mana terdapat sebuah ruangan duduk yang lebar. Mereka menurunkan Beng Han dan pergi duduk di atas bangku, berdampingan.

Beng Han baru sekarang melihat wajah mereka dengan jelas kerena di situ digantungi tiga buah lampu penerangan. Ternyata bahwa mereka itu adalah tiga orang hwesio gundul yang sudah amat tua, dan muka mereka kehitaman dan angker sekali. Beng Han teringat akan dongeng tentang tiga ekor naga yang dikurung di menara ini dan diam diam ia bergidik. Siapa tahu kalau kalau tiga orang kakek ini adalah tiga ekor naga yang telah menjadi siluman dan menjelma menjadi manusia? Baru sekarang ia merasa seram dan ia menjatuhkan diri berlutut tanpa dapat mengeluarkan suara.

“Siapa namamu?” tanya seorang di antara tiga hwesio itu, yang tertua.

“Teecu bernama Thio Beng Han, sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap.”

“Apa betul kau murid Thian te Kiam ong Song Ban Sam?”

“Betul, losuhu. Mendiang Thian te Kiam ong Song Bun Sam adalah suhuku.” “Hemm, jadi benar benar sudah meninggal dunia?” hwesio itu menarik napas panjang tanda kecewa. “Ji wi sute. kalau begitu kita betul betul berada dalam bahaya,” katanya kepada dua orang hwesio yang lain. Kemudian ia berpaling kembali kepada Beng Han.

“Kalau kau betul murid Thian te Kiam ong, coba kau buktikan, pelajaran apa yang sudah kau terima dari suhumu sebelum suhumu meninggal.”

Beng Han tahu bahwa tiga orang hwesio ini adalah penjaga menara seperti yang dimaksudkan oleh suhunya, yaitu orang orang yang harus ia serahi surat suhunya. Dan ia maklum pula bahwa mereka tidak percaya kepadanya. Maka ia lalu berdiri dan mulai menggerak gerakkan kakinya mainkan Chit seng pouw, dasar daripada kedudukan Ilmu Pedang Kim kong Kiam sut.

“Cukup.... cukup.... kau memang murid Thian te Kiam ong. Thio Beng Han, kalau kau murid Thian te Kiam ong dan gurumu itu sudah meninggal, bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan Pat pi Lo cu dan datang ke sini tersama dia?”

Beng Han lalu menuturkan pengalamannya, bahwa ia telah melakukan perjalanan setengah tahun dari Tit le sampai di kaki Kui san. Kemudian bagaimana ia diserang oleh seorang hwesio gemuk karena mencuri bebek panggangnya, kemudian ditolong oleh Pat pi Lo cu dan diajak bersama sama naik ke puncak Kui san sampai di menara Kim hud tah.

Tiga orang hwesio itu mengangguk angguk.

“Dasar sudah jodohnya kau harus tiba di tempat ini. Kalau kau seorang diri naik ke puncak, kiranya kau akan tewas d tengah jalan. Akan tetapi, apa maksudmu jauh jauh datang ke puncak Kui san.” “Teecu hendak memenuhi perintah suhu di waktu masih hidup. Suhu meninggalkan pesan kepada teeeu untuk menghadap sam wi losuhu di menara Kin hud tah ini dan menyerahkan sepucuk suratnya.” Ia lalu mengeluarkan surat dari Thian te Kim ong yang selalu disimpannya baik baik di sebehh dalam bajunya, tak pernah terpisah dari tubuh seperti sebuah jimat yang keramat. Surat itu sampai kumal dan kotor.

Segera hwesio tua itu membuka dan membaca dari Thian te Kiam ong dan surat itu berpindah pindah tangan di antara tiga orang hweso tadi. Mereka mengangguk angguk dan memandang kepada Beng Han dengan mata penuh selidik. Kemudian mereka berdiri, hwesio tertua berkata,

“Beng Han, di dalam suratnya suhumu mengangkatmu menjadi ahli warisnya dan meninggalkan kitab pelajaran dan pedang kepadamu. Kitab itu harus kau pelajari sampai tamat dan setelah kau dapat melawan kami dengan pedang Kim kong kiam barulah kau diperbolehkan turun menara ini. Hayo kau kuantar ke atas, tempat suhumu menitipkan barang barang warisannya itu.”

Dengan hati girang sekali Beng Han lalu mengikuti tiga orang hwesio itu bejalan melalui anak tangga yang melingkar lingkar ke atas. Menara itu tinggi sekali, setiap tingkat tidak kurang dari limabelas kaki, jadi tujuhbelas tingkat tidak kurang dari duaratus limapuluh kaki!

Di puncak menara yang tinggi itu merupakan sebuah kamar yang bersih dan berhawa sejuk dan di situ selain terdapat sebuah pembaringan, juga terdapat meja dan beberapa buah kursi. Dan di atas pembaringan itu terletak sebuah peti panjang berwarna hitam. 

“Itulah barang peninggalan Thian te Kiam ong yang dititipkan kepada kami, sekarang jadi milikmu. Buka dan lihatlah.”

Dengan kaki menggigil saking terharu dan girang. Beng Han menghampiri dan membuka peti hitam itu. Di dalamnya terdapat pedang Kim kong kiam tulen, bercahaya kuning menyilaukan mata. Di dekat pedang itu, terdapat sebuah kitab tulisan suhunya. Pada sampul kitab tebal itu tertulis

Menurunkan ilmu yang kudapat dari para suhu Kim kong Taisu, Mo bin sin kun dan Bu Tek Kiam ong kepada murid Thio Beng Han.

Bukan main girangnya hati Beng Han. Setelah meletakkan pedang dan kitab di dalam peti kembali, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang hwesio itu sambil berkata,

“Boanseng telah menerima budi besar dari Sam wi locianpwe. Harap sam wi sudi memberi tahu siapakah sam wi locianpwe agar selama hidup boanseng takkan lupa.”

Hwesio tertua menarik napas panjang lalu berkata, “Setelah kau ditetapkan menjadi ahli waris Thian te Kiam ong dan tinggal di sini sampai bertahun tahun, kau terhitung orang sendiri yang harus mengetahui segala urusan ini.” Kakek ini berpaling kepada dua orang hwesio lain. ‘Sute kalian turunlah dan amat amati mereka yang di luar itu. Biar pinceng mendongeng dulu kepada bocah ini.”

Dua orang hwesio itu menjura, lalu keluar dari ruang puncak itu dan menuruni anak tangga. Hwesio tua itu lalu menyuruh Teng Han duduk di atas bangku, dan iapun duduk menghadapi bocah itu. Waktu itu sudah menjelang tengah malam dan hwesio tua ini mulai berceritera, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Beng Han. Hwesio tua ini adalah Gwat Kong Hosiang dan dua orang sutenya adalah Gwat Liong Hosiang dan Gwat San Hosiang. Mereka ini sudah puluhan tahun tinggal di dalam menara Kim hud tah, diwajibkan menjadi penjaga menara dan penjaga serta perawat patung emas Buddha yang berada ditingkat kesembilan. Mereka melanjutkan pekerjaan guru mereka, yaitu Thian Le hwesio tokoh Go bi pai.

Biarpun cerita bahwa patung Buddha emas itu dibuat oleh tiga ekor naga hanya merupakan dongeng, namun tak seorangpun dapat menceriterakan bagaimana asal usul patung emas itu. Yang semenjak terang turun menurun tokoh tokoh Go bi pai melakukan penjagaan pada patung dan menara ini, dan tempat itu dianggap sebagai tempat keramat. Kakek guru dari Go bi pai pernah meninggalkan pesanan bahwa jangan sampai patung emas itu dicuri orang karena kalau sampai di tangan orang jahat, akan timbul huru hara besar dan dunia takkan aman. Oleh karena kepercayaan pada kakek guru ini, maka pihak Go bi pai selalu menugaskan hwesio hwesio berilmu tinggi untuk melakukan penjagaan.

Ketika Thian Le Hwesio yang menjadi penjaga, maka hwesio ini mendatangkan tiga orang muridnya, yaitu tiga orang hwesio tersebut yang sekarang melanjutkan pekerjaan guru mereka yang sudah tewas dalam pertempuran ketika orang orang jahat mencoba merampas patung emas. Dan tiga orang hwesio ini menerima pemberitahuan rahasia dari suhu mereka bahwa patung emas itu mungkin akan dijadikan rebutan oleh orang orang kang ouw karena di dalam patung itu terdapat kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa, peninggalan dari Tat Mo Couwsu (Sang Budha) sendiri ketika pertama kali berkelana ke Go bi san. Dengan Thian te Kiam ong, tiga orang hwesio ini kenal baik karena Thian te kiam ong Song Bun Sam pernah naik ke Kui san dan mengunjungi menara yang terkenal ini. Pertemuan pendekar besar itu dengan tiga orang hwesio penjaga menara menimbulkan tali persahabatan yang erat, sehingga Thian te Kim ong sudah menyanggupi untuk membantu tiga orang hwesio penjaga itu apabila sewaktu waktu Kui san dikunjungi orang orang jahat dan menara Kim hud tah diserbu orang yang ingin mencuri patung emas. Di lain pihak, tiga orang hwesio itu bersedia pula membantu Thian te Kiam ong sehingga pendekar sakti ini bahkan diperbolehkan menyimpan Kim kong kiam dan kitabnya di menara itu, tingkat paling atas. Inilah sebabnya mengapa tiga orang hwesio itu menjadi amat kecewa mendengar bahwa Thian te Kiam ong benar benar sudah tewas.

“Kalau suhumu masih hidup dan sekarang berada di sini, kami tidak perduli apakah di luar itu ada seratus orang hendak menyerbu Kim hud tah.” Gwat Kong Hosiang menutup ceriteranya.

Beng Han adalah seorang cerdik. Setelah mendengar penuturan tadi, ia dapat menarik kesimpulan bahwa kedatangan Pat pi Lo cu dan murid muridnya di tempat itu bukan sekedar mengantarnya atau hendak bertemu dengan suhu nya saja, tentu ada hubungannya dengan kekhawatiran Gwat Kong Hosiang ini.

“Losuhu, selain Pat pi Lo cu dan dua orang muridnya, teecu tidak melihat orang lain di luar. Kalau hanya tiga orang ini saja, apakah sam wi losuhu tidak dapat menghadapi mereka?”

Gwat Kong Hosiang tersenyum. Tentu saja kami tidak takut menghadapi Pat pi Lo cu dan murid muridnya. Buktinya kami sudah berhasil merampasmu dari tangannya. Biarpun Pat pi Lo cu sendiri lihai, akan tetapi hanya dengan dua orang muridnya saja dia tidak berdaya menghadapi kami bertiga. Sayangnya yang datang bukan hanya bertiga. Hwesio gemuk yang marah marah karena kau colong bebek panggangnya juga sudah datang, dan selain itu masih ada beberapa belas orang lain. Besok pagi pagi tentu akan terjadi keributan di sini.”

Kembali kakek itu menarik napas panjang, nampaknya agak gelisah.

“Sebenarnya mereka itu siapakah, losuhu?”

“Siapa lagi kalau bukan orang orang kang ouw, orang orang ternama ahli silat yang tak pernah puas akan kepandaian masing masing.”

“Apakah sudah pasti mereka itu datang dengan maksud mencuri atau merampas patung emas, siapa tahu kalau mereka itu mengetahui akan simpanan suhu di sini ?”

Gwat Kong Hosiang menggeleng kepalanya.

“Tak mungkin. Gerakan Thian te Kiam ong tak mungkin dapat diikuti orang, betapapun lihai orang itu. Dan yang mengetiahui akan simpanan itu hanyalah kami bertiga. Tidak, mereka itu menang datang untuk merampas patung emas.”

“Akan tetapi, losuhu. Teecu sering kali mendengar bahwa orang orang kang ouw ini tidak perduli tentang harta benda. Pula, dengan kepandaian mereka yang tinggi, sewaktu waktu mereka dapat mencuri emas di rumah rumah orang hartawan. Mengapa untuk mencuri emas saja mereka harus datang jauh jauh ke sini?”

Gwat Kong Hosiang tertawa “ Kau tidak tahu. Beng Han. Sudah kuceriterakan tadi bahwa patung emas itu mengandung rahasia hebat. Di dalamnya terdapat kitab pelajaran ilmu silat luar biasa yang hanya diketahui oleh suhu kami. Kami sedang menanti nanti untuk mencari seorang anak murid Go bi pai yang betul betul berharga menjadi ahli waris kitab ini, oleh karena kitab ini harus menjadi kitab pusaka Go bi pai. Sebelum kami mendapatkan murid itu, kami tidak berani mengeluarkannya, takut kalau kalau terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Sayang sampai sekarang tidak ada anak murid Go bi pai yang cukup berbakat. Kami bertigalah yang menjadi murid murid terpandai di waktu sekarang ini ”

Hwesio itu menarik napas panjang. “Entah bagaimana, hidung, mata, dan telinga orang orang kang ouw memang tajam melebihi anjing anjing pemburu, mereka telah mengetahui akan rahasia itu dan agaknya besok akan terjadi perebutan hebat. Apa boleh buat, kami bertiga sudah bersumpah untuk menjaga patung itu dengan taruhan nyawa.”

“Losuhu, teecu merasa menyesal sekali mengapa teecu begini bodoh. Kalau saja teecu mempelajari kitab suhu sampai tamat, kiranya teecu akan sanggup mewakili suhu membantu kepada sam wi lo suhu.”

Gwat Kong Hosiang tertawa, “Anak baik, tak perlu kau berkhawatir. Apapun yang akan terjadi, kau takan terbawa bawa. Pula, kami bertigapun tidak akan menyerah mentah mentah begitu saja. Sebelum mereka berhasil merampas patung emas, merekapun harus mempertaruhkan nyawa lebih dahulu!”

Kemudian Gwat Kong Hosiang mengajak Beng Han keluar dari ruangan itu dan menuju ke sudut menara. Ia menudingkan telunjuknya ke atas, ke arah pian puncak menara di mana terdengar bunyi burung bercuitan. Ribuan burung telah membuat sarang di tempat tinggi itu. Pantas saja tadi Beng Han lapat lapat mendengar suara gemuruh di sebelah atas.

“Lihatlah, Beng Han! Kau selalu akan tinggal di puncak ini dan tidak boleh turun sebelum tamat pelajaranmu melatih ilmu silat dari kitab peninggalan suhumu! Selain tekun belajar, kau pun mulai saat ini menjadi seorang pertapa yang akan menghadapi hidup serba sukar, bahkan mungkin menghadapi ancaman maut. Disini tidak ada makanan lain kecuali apa yang dapat kau ambil dari sarang sarang burung itu, juga untuk keperluan minum, kau hanya mengandalkan sumur kecil yang berada di dasar menara. Nah, sekarang aku akan turun dan besok apabila terdengar ribut ribut dan kau melihat pertempuran di luar maupun dalam menara jangan sekali kali kau keluar dari ruangan ini! Kalau kau keluar dan menemui bencana, kami akan merasa salah terhadap mendiang suhumu. Mengerti?”

Beng Han menjatuhkan diri berlutut. “Baik, losuhu. Teecu akan memperhatikan dan mentaati semua petunjuk losuhu dan teecu bersunpuh untuk belajar dengan tekun.”

Dengan muka puas Gwat Keng Hosiang lalu keluar dari ruang itu dan berjalandw menuruni anak tangga. Biarpun tubuhyya sakit dan lelah sekali, Beng Hankz tidak mau tidur, sebaliknya ia mengeluarkan kitab peninggalan suhunya dan mulai membuka buka lembaran pertama.

Saking lelahnya, Beng Han jatuh tertidur di atas pembaringan dengan kitab ditangan dan ia tidur sampai matahari snh naik dan sinarnya menembus celah celah dan lobang hawa di puncak menara.

Tiba tiba ia terbangun oleh suara ribut ribut. Ia merasa kaget dan menyesal mendapatkan dirinya tertidur dengan kitab di tangan, cepat ia menyimpan kitab itu dan menggosok gosok matanya. “Hwesio, hwesio Gwat Keng, Gwat Liong, dan Gwat San! Kalian lekas keluarlah menyambut aku untuk diperhitungkan nasibmu karena aku melihat hawa kematian di sekitar tempat ini!”

Suara ini terdengar halus akan tetapi mengandung getaran tinggi sehinga biarpun tempat di mana Beng Hjn berada amat tinggi, tetap saja telinganya menjadi sakit dimasuki gema suara itu. Akan tetapi ia menjadi berdebar, kaget dan girang sekali. Ia mengenal suara ini. Tak bisa salah lagi. Inilah suara kakeknya, Koai Thian Cu!

“Kong kong…” tak terasa lagi Beng Han berseru, akan tetapi suaranya lenyap ditelan ruangan yang lebar dan tinggi itu. Ia berlari menuruni anak tangga, akan tetapi tiba tiba ia menghentikan larinya dan cepat cepat melompat kembali ke dalam ruangan. Ia teringat akan pesan Gwat Kong Hosiang malam tadi bahwa apa pun yang terjadi, ia sama sekali tidak boleh keluar dari tempat itu!

Beng Han berlari menuju ke pinggir ruangan puncak menara dan mengintai keluar menara melalui lubang lubang angin. Dan ia benar benar melihat kong kongnya berdiri di sana, jauh di bawah, kelihatan kecil sekali. Kong kongnya masih seperti dulu satu setengah tahun yang lalu, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, tongkat di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.

Dari tempat yang amat tinggi itu Beng Han dapat melihat kesekeliling tempat dengan jelas. Ketika ia memandang ke sana ke mari melalui lubang lubang hawa, terlihat olehnya bahwa dugaan Gwat Kong Hosiang semalam memang terbukti. Di sana sini kelihatan orang orang yang sikap dan bentuknya aneh. Ada tosu, ada hwesio, ada pengemis, bahkan ada pula beberapa orang wanita tua muda, juga ada yang berpakaian seperti panglima perang. Seluruhnya ada enambelas orang termasuk Koai Thian Cu dan Pat pi Lo cu beserta dua orang muridnya. Ia juga melihat Sin tung Lo kai Thio Houw berada di situ bersama dua orang cucunya. Melihat gadis cilik yang amat baik terhadap dia ketika dia hendak dihukum di rumah Bi Hui dahulu, wajah Beng Han berseri. Alangkah inginnya ia memberi tanda kepada gadis cilik itu bahwa dia berada di tempat ini. Gadis cilik itu tentu akan senang sekali kalau bisa ikut naik kesini, melihat orang orang itu dari tempat yang begini tingginya!

Baik kita tinggalkan Beng Han yang melihat semua peristiwa di depan manara itu dari tempat tinggi dengan amat jelas, sungguhpun orang orang yang bicara di bawah banyak yang tak dapat ia tangkap dengan pendengarannya dan kita menengok ke bawah dan di luar menara.

Memang betul seperti apa yang telah diceriterakan oleh Gwat Kong Hosiang kepada Beng Han malam tadi. Orang orang di dunia kong auw paling haus akan ilmu yang tinggi tinggi. Ketika terdengar berita bahwa di dalam Buddha Emas di Kim hud tah tersembunyi sebuah kitab ilmu silat yang kuno dan tinggi, berbondong bondong orang kang ouw datang dan mencoba untuk mencurinya. Akan tetapi berkali kali para pencuri kang ouw ini gagal karena ketiga orang hwesio Go bi pai yang menjaga di situ bukanlah orang orang sembarangan.

Dan pada hari itu, seperti telah dijanji saja enambelas orang dari kalangan atas datang berkumpul di bawah menara. Sebetulnya bukan karena telah di janji, melainkan mereka tidak mau didahului oleh orang lain. Mendengar ada orang orang pandai datang ke Kui san hendak merampas kitab, orang orang itu takut kalau didahului, maka beramai ramai mereka datang dan kini berkumpul di sekitar menara besar dan tinggi itu. Suara Koai Thian Cu yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikangnya tadi tentu saja terdengar oleh Gwat Kong Hosiang dan dua orang sutenya. Tak lama kemudian terdengar suara dari dalam menara sebelah bawah,

“Koai Thian Cu, mati hidup di tangan Yang Maha Kuasa, kami tak perlu tahu berapa panjangnya usia kami di dunia. Pintu menara sudah kami buka, siapa bermaksud baik akan disambut baik. Mati karena melakukan perbuatan jahat, bukankah itu mengecewakan sekali?”

Terdengar suara berteriak dan pintu dan paling bawah dari menara itu terbuka dari dalam. Pintu itu terbuka merupakan gua yang lebar dan hitam, akan tetapi tidak kelihatan seorangpun muncul dari pintu.

Koai Thian Cu dan lain lain tokoh yang hadir tak jauh dari situ bukanlah orang orang bodoh yang suka berlaku ceroboh. Kakek tukang gwamia ini hanya tertawa lebar melihat pintu menara sudah terbuka, akan tetapi ia tidak mau buru buru masuk. Sebaliknya ia menoleh ke kanan kiri dan belakang, lalu berkata,

“Jauh jauh kalian sudah melakukan perjalanan ke menara ini, setelah sekarang pintu menara terbuka, mengapa tidak lekas lekas masuk. Tunggu kapan lagi? Ha, ha, ha hi, hi, hi, ..!”

Kata kata ini terang merupakan ejekan bagi semua orang gagah yang berkumpul di luar menara. Pat pi Lo cu mendengar ejekan ini lalu tertawa bergelak.

“Koai Thian Cu, kau ini tua bangka benar benar tak tahu malu. Kau menyindir orang orang yang datang di sini, habis kau sendiri hari ini berada disini. Bukankah itu sama dengan seorang maling berteriak copet??? Apa kau tidak malu terhadap raja pengemis yang hadir di sini?” Dengan 

menyebut raja pengemis ini sudah terang sekali Pat pi Lo cu maksudkan Sin tung Lo kai Thio Houw, ketua dari Ang sin tung Kaipang yang terkenal itu.

Semenjak tadi, diam diam Sin tung Lo kai terkejut melihat dua orang kakek ini. Apalagi setelah mendengar mereka bicara. Tadinya ia hanya menduga bahwa dua orang kakek itu tentu orang orang sakti yang berkepandaian tinggi, ternyata dari gerak geriknya. Kemudian setelah ia mendengar kakek dua menyebut nama kakek pertama sebagai Koai Thian Cu lalu menyinggung nyinggungnya, ia makin tercengang. Nama besar Koai Thiankz Cu tentu saja ia pernah mendengar biarpun belum pernah ia melihat orangnya. Jadi inikah orang sakti yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai sekali ilmu hoat sutnya dan pandai pula melihat nasib orang? Hanya ia belum tahu siapa gerangan kakek tosu yang dikawani dua orang laki laki gagah bermuka kembar itu, yang dari kata katanya ternyata telah menyindirnya. Akan tetapi karena ia belum kenal kepada dua orang itu, dan pada waktu itu di situ berkumpul banyak orang orang gagah yang sebagian tak dikenalnya, ia pura pura tidak tahu dan diam saja. Siapa tahu kalau dewi di situ ada pula raja pengemis yang lain, pikirnya,

“Pat pi Lo cu, bagaimana kau berani main main terhadap seorang raja pengemis? Biarpun ia hanya pengemis dan berpakaian seperti jembel, tetap dia seorang raja! Apa kau lupa bahwa Ang sin tung Kaipang amat terkenal? Jangan main main, ah!”

Untuk kedua kalinya Sin tung Lo kai Thio Houw tertegun. Jelas bahwa Koai Thian Cu juga mengenalnya, dan sekarang baru ia tahu bahwa tosu ke dua yang aneh itu adalah Pat pi Lo cu. Nama ini belum pernah ia dengar, akan tetapi ia dapat menduga bahwa kakek inipun tentu lihai bukan main. Akan tetapi sebagai seorang locianpwe yang sudah terkenal memiliki kepandaian dan kedudukan tinggi, biarpun ia menghormat, ia tidak mau berlebihan dan menyapa mereka dengan sikap seperti orang orang setingkat, ia menjura dan berkata, “Ji wi beng yu (dua sahabat) dari selatan dan utara harap maafkan aku yang bermata lamur dan berlaku kurang hormat.” Ia menjura kepada Koai Thian Cu, kemudian kepada Pat pi Lo cu. Akan tetapi alangkah mendongkolnya ketika dua orang kakek itu sama sekali tidak membalas penghormatannya, bahkan tertawa ha ha hi hi!

“He, Koai Thian Cu. Kau sebagai tosu tukang goamia yang merantau ke sana kemari kadang kadang kelaparan, datang ke sini masih dapat dimaklumi seperti aku sendiri. Akan tetapi seorang raja datang hendak mencuri ilmu baru, benar benar merendahkan martabatnya!” kata Pat pi Lo cu.

Merah telinga Sin tung Lo kai mendengar ejekan ini. Ia menancapkan tongkat merahnya ke atas sebuah batu di atas tanah dan.... ujung tongkat itu menancap pada batu kecil itu, sama sekali tidak merusaknya seakan akan batu itu terbuat daripada bahan yang basah dan empuk! Ia membiarkan tongkatnya berdiri di atas batu itu, kemudian ia berkata,

“Aku. si tua bangka tinggal menanti maut menjemput nyawa, untuk apa segala kedudukan? Sebaliknya, ada pepatah bilang bahwa untuk belajar, tidak ada usia tua. Aku ingin belajar, apa sih jeleknya? Apalagi karena kepandaian aku si tua bangka ini memang amat rendah, perlu diperbaiki banyak sekali. Yang terlalu adalah mereka yang sudah pandai dalam segala macam ilmu, bahkan pandai menghitung bintang di langit, masih saja hendak menambah ilmunya. Benar benar seperti hendak bersaing dengan dewakz!” Karena hatinya panas, Sin tung Lo kai sampai berani menyerang Koai Thian Cu dengan kata kata, atau lebih tepat lagi, ia mengelak dari serangan kata kata Pat pi Lo cu dan “mengopernya” kepada Koai Thian Cu!

Kakek tukang gwamia ini tertawa terkekeh kekek. “Kakek kakek tua bangka mau mampus pada tidak tahu diri. Ha, ha, ha, ha! Aku sih lain lagi. Aku mencarikan ilmu untuk cucuku!”

Beng Han yang mendengar suara lantang kong kongnya dari atas, menjadi amat terharu dan bertitiklah air matanya, ia tahu bahwa yang dimaksudkan oleh kong kongnya itu adalah dia sendiri. Kakek itu hendak mencari kitab kitab pelajaran untuknya!

Selagi tiga orang kakek ini saling serang dengan kata kata, dari dalam menara terdengar lagi suara orang, “Cu wi yang datang harap maafkan, pinceng tidak dapat keluar menyambut. Pintu menara terbuka tidak ada yang mau masuk, bukan salah pinceng. Jalan menuju ke Kui san memang tak pernah terbuka atau tertutup. Kami bertugas menjaga dengan nyawa kami sebagai taruhan kami melakukan tugas. Dunia sudah cukup kacau, pinceng akan berterima kasih sekali kalau cu wi tidak menambahnya dan suka pergi meninggalkan tempat ini dengan aman.” Kata kata ini keluar dari mulut Gwat Sin Hosing yang bertugas menjaga di tingkat paling bawah.

-ooo0dw0ooo-

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar