Pedang Sinar Emas Jilid 34

Jilid XXXIV

SIAUW YANG berkeras tidak mau bicara kepada kakaknya, akan tetapi Pun Hui menyambut kakak iparnya. Tek Hong menyerahkan pedang Kim kong kiam palsu itu kepada Pun Hui sambil berkata,

“Memenuhi pesan mendiang ayah kita, biarpun pedang ini bukan Kim kong kam tulen, akan tetapi harus berada di keluargamu. Oleh karena ini harap moi hu (adik ipar) suka menerima.”

Pun Hui menerima pedang itu dan berkata, “Sudah tentu kami akan mentaati perintah mendiang gak hu dan akan menjaga pedang ini baik baik.”

Akan tetapi Siauw Yang karena masih “panas” hatinya, berkata menyindir, “Hemm, pedang picisan di berikan kita dan pedang pusaka entah di mana?”

Tek Hong marah dan hendak menjawab, akan tetapi, ia menahan kata katanya. Ia maklum bahwa kalau ia membantah, tentu akan terjadi ribut mulut lagi. Ia kenal baik watak adiknya yang sejak kecil memang tidak mau kalah dalam segala hal, dan dalam hal keberanian dan kekerasan hati, kiranya seimbang dengan watak Siang Cu! Maka ia lalu mengucapkan selamat jalan dan segera kembali ke rumahnya sedangkan Liem Pun Ha , Song Siauw Yang, dan Liem Kong Hwat melanjutkan perjalanan mereka ke Liok can.

0odwo0

Di kota raja terjadi pula hal yang amat hebat dan menggegerkan. Pada hari itu terdapat sebuah pesta pernikahan yang ramai dan gembira. Para penduduk yang berpangkat dan hartawan, ramai ramai datang menghadiri pesta itu, sedangkan penduduk yang miskin dan “orang biasa” saja cukup puas dengan menonton dari luar karena tentu saja mereka ini tidak mendapat undangan. Yang mengadakan pesta adalah keluarga Ma yang berpangkat siupi. Siapa orangnya tidak mengenal Ma siupi yang selain hartawan juga bangsawan yang berpengaruh! Ma siupi hanya mempunyai seorang anak perempuan yang kini ia rayakan pernikahannya dengan seorang pemuda yang baru saja lulus dan ujian di kota raja, dan mendapat gelar tiong goan. Pemuda ini bukan lain Thio Sui, yang telah kita kenal.

Dua bulan sudah lewat sejak terjadi peristiwa mengerikan di Soacouw, di mana keluarga Thio ditimpa malapetaka yang dijatuhkan oleh tangan seorang wanita seperti siluman yang membalas dendam. Tentu saja Thio Sui mendengar akan peristiwa ini, menjadi berduka sekali kehilangan ayah bundanya, akan tetapi juga takut sekali. Biarpun tidak menyaksikan dengan mata sendiri, perasaannya mengatakan bahwa yang datang itu tentulah Kui Lian atau arwahnya yang sudah menjadi siluman. Dia tahu bahwa kalau waktu itu ia berada di rumah tentu iapun tidak terlepas daripada kematian yang mengerikan pula. Oleh karena inilah maka ia tidak keberatan perkawinannya dilangsungkan terus biarpun ia seharusnya masih berkabung. Bahkan pemuda itu takut untuk pulang ke Soacouw, terus tinggal saja di kota raja, di rumah mertuanya karena di situ terdapat banyak penjaga dan mertuanya adalah seorang berpangkat yang mempunyai kekuasaan. Siapa dapat mengganggunya di situ?

Pernikahan dilanggungkan dengan pesta meriah. Para tamu, laki laki dan wanita, memenuhi ruangan yang sudah disediakan untuk mereka. Keadaan gembira dan meriah sekali. Di luar orang berjejal hendak menyaksikan pesta ini. 

Tiba tiba Thio Sui merasa seakan akan kepalanya ditarik dan di luar kehendaknya sendiri ia menoleh memandang ke kiri di mana berkumpul tamu tamu wanita, dan ia

melihat Kui Lian duduk diantara para tamu itu. Wanita ini sedang memandangnya dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar ganjil akan tetapi berpengaruh sekali, wajahnya masih seperti dulu akan tetapi membayangkan sesuatu yang mengerikan. Thio Sui menjadi pucat sekali ingin ia membuang muka jangan melihat wanita itu, akan tetapi ia tak kuasa lagi menggerakkan lehernya! Bahkan matanya terus terbelalak, tak kuasa ia memejamkannya. Mulutnya yang hendak berteriak minta tolong itu terkancing. Sekali saja pandang matanya bertemu dengan sinar mata Kui Lian, ia sudah “tertangkap” dan seluruh perasaan dan pikirannya sudah terpengaruh oleh kekuasaan sihir. Kui Lian tersenyum simpul, senyum menyeringai seperi seekor singa betina memperlihatkan taringnya.

Kui Lian bangkit dari tempat duduknya, berjalan dengan lenggang yang menarik hati sambil mengoyang goyang kebutannya. Kini orang orang mulai memperhatikan pengantin pria yang terus menerus memandang wanita berpakaian serba putih dan yang kini berjalan menghampiri pengantin sambil membawa sebuah hudtim. Semua orang terheran. Dari mana datangnya tokouw ini? Juga penganten wanita dari balik tirai muka menoleh kepada Kui Lian yang tersenyum senyum menghampiri mereka.

“Thio kongcu, kionghi (selamat)!” kata Kui Lian, suaranya penuh ejekan sama sekali tidak membayangkan kekecewaan atau kesedihan karena memang sedikitpun ia tidak menpunyai perasaan apa apa terhadap Thio Sui yang tampan itu. Kalau andaikata dahulu ada sedikit rasa cinta maka cinta itu sudah musnah sama sekali oleh perbuatan keluarga Thio kepadanya. Sekarang yang ada hanya benci, benci sampat ketulang tulangnya. Sambil mengucapkan selamat, Kui Lian mengebutkan hudtimnya ke arah kepala Thio Sui. Ujung kebutan itu secara keji telah menotok jalan darah dan urat syaraf di kepalanya. Thio Sui mengeluh dan terguling dari kursinya, pingsan.

“Hi hi hi  pengantin perempuannya cantik sekali,” kata

Kui Lian, kembali kebutannya bergerak dan kali ini disabetkan dengan sepenuh tenaga ke arah muka pengantin wanita. Terdengar suara keras. Tirai muka hancur dan patah patah, ujung kebutan terus mencambuk muka pengantin wanita itu. Pengantin wanita menjerit kesakitan dan terguling roboh. Pada mukanya yang cantik terdapat goresan melintang yang dalam, darah mengucur dan selamanya pengantin wanita itu akan mempunyai muka yang cacad, bergores dari pipi kiri ke pipi kanan. Keadaan merjadi geger di ruangan itu. Tamu tamu wanita menjerit dan saling tabrak dalam usaha mereka melarikan diri dan bersembunyi. Tamu tamu pria juga berjejal jejal, yang penakut hendak menjauhkan diri, yang berani dan memiliki kepandaian hendak menangkap Kui Lian.

“Perempuan siluman dari manakah berani bermain gila di sini?” bentak para penjaga dan para tamu yang memiliki kepandaian. Sebentar saja Kui Lian dikepung oleh puluhan orang laki laki yang memegang senjata di tangan. Adapun Thio Sui dan calon isterinya sudah diangkat orang ke dalam untuk dirawat.

Kui Lian yang dikepung hanya senyum senyum saja. Senyum manis yang mempunyai pengaruh menundukkan hati pria sehingga para pengepung menjadi bengong. Dalam pandangan semua pengepung, belum pernah mereka melihat seorang wanita yang demikian cantik jelita, demikian manis senyumnya. Akan tetapi karena mereka tadi menyaksikan betapa perempuan ini menyerang 

sepasang pengantin, dan dari belakang dikomando oleh Ma siupi agar wanita itu ditangkap, maka para pengepung tetap bergerak. Kepungan makin menyempit.

Kut Lian menggerak gerakkan bibirnya mengucapkan mantera, kebutannya digerak gerakkan seperti menulis huruf di udara matanya menyambar nyambar tajam kepada semua orang yang mengepungnya, kemudian tangan kirinya bergerak melambat kepada orang orang di sebelah kirinya.

“Kalian bertiga roboh!”

Luar biasa sekali. Tiga orang yang berdiri di sebelah kirinya, yang ikut mengepungnya dengan tangan kosong, terhuyung huyung lalu terguling roboh di depan Kui Lian. Kui Lian mengebut ngebutkan hudtimnya di atas kepalanya dan.... dalam pandangan semua pengepung, tiga orang itu berobah menjadi.... Kui Lian. Jadi ada empat orang Kui Lian kini yang terkepung.

“Siluman !”

“Ilmu hitam....! Ilmu sihir jahat !”

Ma siupi yang menyaksikan keanehan ini. menjadi makin marah dan ia dapat menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah membinasakan keluarga calon mantunya di Soacouw.

“Tidak perduli, biar ada empat atau sepuluh, tangkap semua!” Barisan penjaga ditambah sehingga ruangan itu penuh sesak.

Mendengar seruan Ma siupi, semua orang yang mengepung bergerak maju untuk menangkap empat orang wanita yang memegang kebutan semua itu. Kui Lan tertawa bergelak, kebutannya digerak gerakkan ke kanan kiri dan.... keadaan menjadi kalang kabut karena para pengepung itu sama sekali tidak mengganggunya melainkan saling serang dan saling tangkap. Dalam pandang mata mereka, orang orang di sebelah mereka kini telah berubah semua menjadi Kui Lian. Inilah kekuatan sihir yang disebar oleh Kui Lian yang mempengaruhi orang banyak seperti penyakit menjalar. Dapat dibayangkan betapa kacau balaunya dalam pandangan semua pengepung itu, setiap orang yang berada di situ menjadi Kui Lian. Terdengar pekik dan sumpah, orang saling terjang dan saling tangkap. Di dalam keributan ini, dengan enak dan mudah Kui Lian menyelinap keluar dari rumah gedung Ma siupi.

Setelah Kui Lian pergi, perlahan lahan kekuasaan sihirnyapun lenyap dan alangkah kaget semua orang ketika mereka bertempur dengan kawan kawan sendiri. Bahkan Ma siupi yang juga dalam pandangan mata para penjaga berubah menjadi Kui Lian, tahu tahu telah dborgol oleh penjaga.

Ramailah diadakan pengejaran. Sebentar saja seluruh penduduk kota raja panik mendengar bahwa ada siluman jahat mengganggu kota raja.

Kui Lian berjalan dengan lenggang kangkung keluar dari kota raja. Kalau ia teringat akan nasib Thio Sui, ia tersenyum senyum puas. Pemuda itu menjadi biang keladi rusaknya penghidupannya, sekarang biarlah ia menjadi sebab rusaknya hidup Thio Sui. Memang dugaannya tepat, karena begitu siuman dari pingsannya Thio Sui menjerit jerit dan menyerang calon isterinya yang terluka pada mukanya. Tentu saja Ma siupi membatalkan perkawinan itu, melihat bahwa Thio Sui telah menjadi gila. Sebaliknya, anaknya yang dulu terkenal cantik, sekarang menjadi seorang yang bercacat pada mukanya.

Ketika Kui Lian memperlambat jalannya karena sudah merasa aman dan tidak mungkin dapat tertangkap oleh para pengejarnya menurut perkiraannya, tiba tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang.

“Siluman jahat, kau hendak lari ke mana?”

Kui Lian cepat membalikkan tubuhnya dan    hatinya

berdebar debar. Ia melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Belum pernah selama hidupnya ia melihat pemuda segagah dan setampan ini. Pemuda ini mengenakan pakaian seperti seorang pendekar silat, mukanya yang bulat berkulit putih kemerahan, halus kulitnya seperti muka wanita. Sepasang matanya bersinar sinar seperti bintang, dilindungi sepasang alis yang hitam lebat terbentuk golok melintang. Sekaligus jatuhlah hati Kui Lian. Setelah sekarang ia berhasil membalas dendamnya, satu satunya keinginan hanya hidup tenteram dan bahagia. Dengan pemuda seperti ini di sampingnya, kiranya selama hidupnya ia akan menikmati dan dapat bahagia, pikirnya.

Dengan sepasang matanya yang berpengaruh, Kui Lian memandang pemuda itu, mulutnya tersenyum semanis manisnya, lalu ia menjura dengan sikap hormat.

“Seorang enghiong yang gagah perkasa tidak akan sembarangan saja menuduh orang sebagai siluman, apalagi kalau orang itu seorang wanita yang tak berdaya, sama sekali pantang baginya untuk mengganggu. Sahabat yang gagah perkasa, mengapa kau datang datang menuduhku seorang siluman?”

Pemuda itu menatapnya tajam penuh selidik, lalu mencabut pedang sambil berkata, “Orang banyak mengejarmu sampat keluar kota raja dan menurut mereka, kau adalah seorang yang telah melakukan perbuatan keji melukai sepasang pengantin yang sedang dirayakan pernikahannya! Siapa tahu apakah kau benar benar salah ataukah pura pura tidak sadar?” 

Akan tetapi, Kui Lian tidak perdulikan kata kata ini melainkan memandang penuh perhatian kepada pedang di tangan pemuda itu, kemudian berseru perlahan,

“Kim kong kiam....” Ia sudah sering kali mendengar dari suhunya tentang pedang Kim kong kiam dan bahkan suhunya telah menyuruhnya mencuri pedang itu. teringat ia akan kegagalannya ketika berusaha mencuri pedang itu dan tangan Thian te Kiam ong yang sakti.

Di lain pihak, pemuda itu terkejut ketika melihat Kui Lian mengenal pedangnya dan ia makin percaya bahwa wanita cantik sekali di hadapannya itu teatulah bukan wanita sembarangan, dan di pegangnya gagang pedangnya erat erat. Siapakah pemuda yang memegang Kim kong kiam ini? Dia bukan lain adalah Liem Kong Hwat.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, ibu pemuda ini yang marah marah telah meninggalkan Tit le malam malam bersama Pun Hui dan Kong Hwat sendiri pulang ke Liok can. Sakit sekali hati Song Siauw Yang. Berhari hari ia menangis dan memaki maki puteranya sendiri.

“Kau anak tidak berbakti, anak memalukan orang tua! Kalau kau tidak mau belajar ilmu silat lagi sampai melebihi Song Tek Hong dan Ong Siang Cu, kalau kau tidak mau mencari seorang isteri yang jauh melebihi Bi Hui dalam kecantikan dan kepandaiannya, aku benar benar malu mempunyai anak engkau!” Kata kata ini diucapkan berkali kali dan Siauw Yang tidak bisa dihibur oleh suaminya. Melihat keadaan ibunya ini, Kong Hwat menjadi terpukul hatinya dan ia merasa menyesal timbul perkara seperti ini karena gara garanya. Saking menyesalnya melihat keadaan ibunya, ia merasa benci sekali kepada ayah bunda Bi Hui, terutama sekali kepada Ong Siang Cu, bibinya yang telah menamparnya itu. Akhirnya, karena tidak tahan menghadapi makian makian ibunya, tiga hari kemudaan Kong Hwat minggat dari rumahnya membawa pedang Kim kong kiam! Dia pergi menghibur diri dan merantau sampai kekota raja di mana secara kebetulan sekali ia melihat Kui Lian di kejar kejar orang. Sebagai seorang pemuda gagah perkasa dan keturunan pendekar, tentu saja Kong Hwat tidak mau tinggal diam melihat kejadian ini dan segera mempergunakan ilmu lari cepatnya untuk mengejar Kui Lian.

Demikian, kini ia berhadapan dengan Kui Lian yang ternyata mengenal pedang di tangannya.

“Hemm, kau mengenal Kim kong kiam, berarti kau seorang wanita kang ouw. Bukan mustahil kalau kau benar benar telah melakukan perbuatan kejam tadi.”

Kui Lian tersenyum lagi dan diam diam Kong Hwat berdebar jantungnya. Senyum ini baginya begitu manis, kalah senyum Bi Hui, kalah rasa madu. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Kui Lian telah mempergunakan ilmu sihirnya sehingga senyum itu mempunyai pengaruh yang tidak sewajarnya. Mata biasa akan menyatakan tanpa ragu ragu lagi bahwa senyum Bi Hui sepuluh kali lebih manis daripada senyum tokouw ini.

“Siangkong, kau benar benar galak sekali. Nanti dulu, tentang perbuatanku atas diri sepasang pengantin itu ada ceritanya tersendiri untuk urusan itu. Aku ingin sekali tahu apakah hubunganmu dengan Thian te Kiam ong Song Bun Sam maka pedang Kim kong kiam bisa berada di tanganmu?” Sepasang mata yang bersinar ganjil itu dengan amat tajamnya menentang pandang mata Kong Hwat sehingga pemuda itu tak kuasa menentang lebih lama lagi dan terpaksa menundukkan mukanya. Menghadapi wanita ini, ia merasa seakan akan dilucuti senjatanya, seakan akan hilang kekuasaannya. Wanita ini bersikap demikian ramah, demikian wajar sehingga ia merasa malu sendiri mengapa ia tadi terburu nafsu memakinya siluman. Padahal, seperti dikatakan oleh wanita ini, urusan yang terjadi tadi tentu ada latar belakangnya dan ia belum tahu apa latar betakang itu dan siapa pula gerangan yang bersalah.

“Thian te Kiam ong adalah mendiang kakekku. Apakah.... suthai sudah mengenalnya?” Ia merasa tak enak dan kaku sekali menyebut suthai kepada wanita ini. Akan tetapi kalau tidak menyebut suthai, habis menyebut apa lagi? Memang wajah secantik itu tidak patut menjadi wajah seorang pertapa wanita, akan tetapi mengapa pakaiannya serba putih dan kerudung kepalanya serta kebutannya seperti yang biasa dipakai oleh para tokouw?

Melihat keraguan pemuda itu, Kui Lian tertawa geli. “Siangkong, kau tak perlu menyebut suthai, karena aku

memang bukan pendeta, hanya karena aku murid pendeta maka aku meniru niru pakaian guruku. Aku seorang wanita

biasa saja. Tentu saja aku sudah mengenal kakekmu yang sakti itu. Menyesal sekali aku tidak mendengar bahwa ia telah meninggal dunia. Ahh, kiranya kita ini masih terhitung orang segolongan. Di antara orang segolongan, biarlah aku tidak menyimpan nyimpan rahasia lagi. Siangkong, harap kau menyimpan dulu Kim kong kiam itu dan marilah kita saling berkenalan sebelum kita bicara lebih lanjut. Ataukah.... barangkali cucu dari Thian te Kiam ong merasa diri terlalu tinggi untuk berkenalan dengan seorang hina dan bodoh seperti aku?”

Memang Kui Lian pandai sekali bicara dan dalam hal ini Kong Hwat hanya seorang pemuda hijau yang belum banyak pengalaman. Sekaligus pemuda itu menyerah dan dengan malu malu ia menyarungkan pedangnya sambil berkata, “Ah, bagaimana kau bisa bilang begitu? Biarpun aku cucu Thian te Kiam ong, apa sih anehnya dan apa bedanya dengan orang lain? Tentu saja aku tidak keberatan 

untuk berkenalan dengan.... nona. Aku bernama Liem Kong Hwat dan tinggal di Liok can,” kata Kong Hwat sambil menjura.

“Oh, kalau begitu seorang cucu luar dari Thian te Kiam ong Sing Bun Sam?” tanya Kui Lian sambil menatap wajah yang makin lama makin ganteng dalam pemandanganaya itu.

“Betul. Ibuku adalah anak dari Thian te Kiam ong.

Ayahku she Liem, tadinya seorang siucai.”

Buru buru Kui Lian memberi hormat sambil tertawa, memperlihatkan deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih.

“Ahh, kiranya aku berhadapan dengan seorang bun bu enghiong (orang gagah ahli silat dan sastera). Maaf, maaf Aku telah berlaku kurang hormat.”

“Sudahlah, nona. Mengapa banyak sungkan dan merendahkan diri? Kau membikin aku merasa malu saja. Tidak tahu siapakah nona yang gagah dan siapa pula gurumu?”

Dengan suara dibikin merdu dan halus, Kui Lian menjawab, “Namaku Cia Kui Lian, seorang yatim piatu yang sejak kecil ikut suhuku. Guruku itu adalah Koai Thian Cu, seorang tokoh dari selatan dan kenal baik dengan Thian te Kiam ong.”

Tentu saja Kong Hwat belum pernah mendengar nama Koai Thian Cu yang memang jarang muncul di dunia kang ouw.

Akan tetapi ia merasa malu kalau mengaku belum kenal, dan pula memang ia merasa bahwa ia belum luas perhubungannya di dunia kang ouw, maka ia hanya berkata, “Ah, kiranya murid dari seorang guru besar yang terkena! Nona, setelah kita berkenalan, harap kau suka menceritakan tentang peristiwa keributan tadi.”

“Apakah tidak baik kita bicara sambil melanjutkan perjalanan?” tanya Kui Lian. Kong Hwat menyetujui dan berjalanlah dua orang muda itu berdampingan seperti dua orang kenalan lama. Dengan secara licin sekali Kui Lian telah dapat merobah suasana. Kalau tadinya Kong Hwat hendak mengejar dan menangkap “siluman” adalah sekarang pemuda itu berjalan berdampingan secara akrab dan mesra dengan “siluman” itu sendiri! Bercakap cakap dalam suasana persahabatan.

“Liem siangkong, sebetulnya aku menceritakan tentang peristiwa tadi, aku ingin bertanya apakah kau pernah merasa di bikin sakit hati orang?”

Pertanyaan ini hanya untuk menganbil hati dan tidak disengaja oleh Kui Lian, akan tetapi secara tepat sekali telah menancap di ulu hati pemuda itu yang teringat akan sakit hatinya terhadap keluarga Song!

“Tentu saja pernah!” jawabnya.

“Lalu apa yang hendak kaulakukan terhadap orang yang membikin kau sakit hati itu?” Kui Lian kembali memancing, girang bahwa pemuda inipun hanya punya musuh sehingga mudah baginya untuk menarik pemuda ini sebagai kawan dan mengambil hatinya.

Kong Hwat masih terlalu muda untuk dapat melihat betapa dengan amat cerdik keadaan kembali dibalikkan oleh wanita itu. Kalau tadinya dia yang mengejar dan hendak menyelidik, sekarang bahkan wanita cantik itu yang selalu bertanya dan dia yang menjawab! Dia sama sekali tidak merasa akan hal ini, sambil mengerutkan kening ia menjawab, “Apa yang hendak aku  lakukan? Tentu saja membalas hinaan orang kalau saja aku mampu. Sayang kepandaianku masih terlampau rendah.”

Kui Lian kaget. Pemuda ini adalah cucu Thian te Kiam, ong dan dapat diduga bahwa kepandaiannya tentu tinggi sekali. Akan tetapi mengapa pemuda ini agaknya berputus asa dan tidak berdaya menghadapi musuhnya? Alangkah lihainya musuh itu gerangan! Biarpun hatinya ingin sekali tahu, namun Kui Lian tidak mau mendesak, tahu betul bahwa terlalu mendesak hanya akan menimbulkan kecurigaan pemuda ganteng yang sudah memasuki perangkapnya ini.

“Demikian pula aku, siangkong. Ketahuilah, bahwa peristiwa yang terjadi di kota raja tadi, memang kuakui bahwa itu adalah perbuatanku. Memang aku sengaja menyerang dan menghina sepasang pengantin. Akan tetapi perbuatanku itu pun hanya sekedar membalas dendam yang seperti lautan dalamnya.”

Kong Hwat mengangguk angguk, penuh kepercayaan. Makin lama ia makin tertarik kepada Kui Lian dan dianggapnya bahwa seorang gadis seperti ini tak mungkin jahat! Memang kecantikan yang sudah menggilakan hati orang dapat membuat orang itu menjadi orang sebodoh bodohnya dan dapat membuat matanya buta, pikiran sempit, dan pertimbangannya patah!

“Nona Kui Lian, kalau boleh aku mengetahui, sakit hati apakah yang kaudendam terhadap mereka?”

Mendengar pertanyaan ini, tiba tiba Kui Lian menangis tersedu sedu. Air matanya mengucur deras melalui celah celah jari tangan yang dipakai menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang goyang sambil dari mulutnya keluar isak isak tertahan. Menghadapi senjata ampuh kaum wanita ini, Kong Hwat terperosok makin dalam! “Nona, tenanglah dan jangan berduka, Kalau sakit hatimu belum terbatas seluruhnya, dengan adanya aku di sini, aku siap sedia untuk membantumu.” Kata kata ini sama sekali bukan kata kata seorang pendekar gagah perkasa yang bijaksana lagi, melainkan kata kata seorang pemuda yang sudah mulai tergila gila sehingga berani menyatakan siap melakukan apa saja untuk si dia tanpa dipertimbangkan apakah perbuatan itu salah ataukah benar.

Kui Lian menghentikan tangisnya, masih terisak isak. lalu memperlihatkan kerling mata yang penuh pernyataan terima kasih yang besar sekali sehingga Kong Hwat menjadi terharu dibuatnya.

“Liem siangkong, ternyata olehku bahwa Thian masih menaruh kasihan kepada diriku yang sebatangkara sehingga hari ini aku bertemu dengan kau yang begini gagah dan berbudi mulia. Biarpun musuhku itu telah kubalas dan aku sudah puas, namun tetap saja aku menghaturkan banyak terima kasih atas budimu yang mulia.” Tiba tiba Kui Lian menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap dan gerakan yang lemah gemulai dan memikat!

Kong Hwat tersipu sipu melangkah mundur.

“Ah, nona Cia Kui Lian, jangan begitu.... jangan kau merendahkan diri seperti ini. Aku belum berbuat apa apa untuk menolongmu!” Kong Hwat benar benar terharu dan bingung.

Akan tetapi Kui Lian tetap tidak mau bangkit. “Kau seorang berhati mulia dan aku amat berterima kasih telah bertemu dengan orang sebaik ergkau, siangkong. Biarkanlah aku berlutut delapan kali di depan kakimu ”

“Jangan! Jangan, nona. Kau bangunlah!” 

“Aku tidak akan bangun kalau bukan kau yang membangunkan aku, siangkong. Dengan begitu baru percaya bahwa aku tidak seharusnya berlutut di depanmu.”

Terpaksa Kong Hwat melangkah maju, memegang kedua pundak wanita itu dan menariknya berdiri. Hatinya berdebar tidak karuan ketika jari jari tangannya menyentuh pundak yang lunak halus dan hangat. Selama hidupnya belum pernah Kong Hwat bersentuhan dengan wanita, bahkan dengan Bi Hui yang dicintainya juga hanya saling tukar pandang dan menyatakan isi hati dengan sinar mata dan senyum saja. Apalagi ketika ia sudah menarik Kui Lian berdiri, wanita itu lalu menangis dan menjatuhkan kepala di dadanya, Kong Hwat merasa pening dan pandang matanya berputar putar! Akan tetapi di dalam keadaan aneh ini ia merasai suatu kenikmatan hati yang sukar dituliskan. Bau sedap harum yang keluar dari rambut kepala Kui Lian membuatnya sukar bernapas. Hatinya ingin sekali untuk mendekap kepala itu, untuk memeluk tubuh wanita itu yang menyandarkan kepala ke dadanya, akan tatapi rasa malu mencegahnya. Dan ia khawatir kalau kalau ada orang melihat keadaan mereka seperti itu, karena ia berada di jalan raya.

“Nona, jangan begitu, nanti orang melihat kita  ”

Kui Lian menjatuhkan dirinya, lalu memandang. Dua pasang mata bertemu dan Kui Lian yang menundukkan muka dengan sepasang pipi kemerahan. Cantik dan manis sekali.

“Maafkan, Liem siangkong. Karena terlalu bersedih aku sampai lupa diri, Ketahuilah bahwa pengantin laki laki itu adalah seorang she Thio yang sebetulnya semenjak kecil sudah ditunangkan dengan aku. Aku mau bersumpah bahwa aku sama sekali tidak cinta dan tidak suka padanya, akan tetapi karena dia memutuskan pertunangan begitu saja, hal ini berarti hancurnya hidupku. Aku telah menjadi janda sebelum menikah. Pula, ia telah menghina orang tuaku yang miskin sehingga ayah dan ibu sampai membunuh diri saking malu dan berduka. Coba kaupikir, apakah sakit hati dan penghinaan ini tidak hebat? Aku lalu belajar ilmu dan hari ini berhasil aku membalas dendam. Aku tidak tega membunuh, hanya membikin jahanam itu kehilangan ingatannya.”

Mendengar ini, Kong Hwat bernapas lega. Tadinya ia memang merasa kecewa dan khawatir sekali kalau kalau gadis ini melakukan perbuatan kejam untuk merampok atau bagaimana. Cepat ia mengangkat tangan memberi hormat.

“Maafkan, Cia tihiap, maafkan aku banyak banyak. Seharusnya aku membantumu memberi hajaran kepada pemuda Thio yang jahanam itu, akan tetapi sebaliknya, aku malah mengejar ngejarmu dan menganggapmu seorang penjahat. SUngguh aku bermata namun tak pandai melihat.”

“Ah, jangan btang begitu, Liem siankong. Setelah kita menjadi sahabat baik, mengapa mengeluarkan ucapan sungkan? Bukankah kita sudah menjadi sahabat? Tentu saja kalau kau sudi menganggap aku sebagai sahabat ”

“Tentu saja. Aku merasa amat terhormat dan beruntung sekali bisa berjumpa dengan kau, apa lagi dapat menjad sahabatmu.”

“Bagus!” Wajah Kui Lian berseri seri. “Kalau begitu. tak perlu lagi kita saling merasa sungkan dan menggunakan sebutan seperti orang orang asing. Berapakah usiamu?”

“Duapuluh tahun.”

“Luar biasa! Akupun duapuluh. Kalau begitu kita terlahir dalam tahun yang sama, tapi karena kau laki laki biarlah aku menyebutmu koko saja dan kau boleh menyebutku moi moi. Bukankah sebutan ini lebih sedap didengar dan menandakan bahwa kita benar menjadi sahabat baik lahir batin?”

Wajah Kong Hwat menjadi merah sekali, ia heran mengapa gadis ini demikian ramah dan lancar, sedangkan dia yang mendengar saja merasa jengah. Akan tetapi tak dapat disangka! pula bahwa hatinya berdebar aneh dan girang mendengar kata kata Kui Lian.

“Baiklah.... Lian moi, aku memang tidak mempunyai adik perempuan ”

Kui Lian cemberut “Aku bukan adikmu. Hwat ko. Aku adalah sahabat baikmu, sahabat setia dan biasanya sahabat lebih baik dan dekat hubungannya daripada hanya seorang adik!”

Kong Hwat tertawa, tidak dapat melihat sindiran yang genit dalam ucapan itu. Maklum dia masih mula dan belum ada pengalaman.

“Sesukamulah, moi moi.”

“Hwat ko, setelah kita menjadi sahabat baik kurasa tidak ada rahasia lagi di antara kita. Tadi sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku adalah seorang janda kembang, sungguhpun aku belum pernah menikah dan hanya menjadi tunangan semenjak bayi dengan jahanam Thio itu. Maka perlu kiranya aku mengetahui apakah kau sudah mempunyai isteri ataukah seorang tunangan?”

Kong Hwat menggelengkan kepala “Aku belum beristeri, tentang tunangan juga belum.”

“Kekasih? Sudah adakah?” tanya Kui Lian berani. Wajah Kong Hwat merah sekali. Teringat ia akan Bi Hui dan teringat pula ia akan hinaan yang ia derita di rumah Bi Hui di Tit le itu ia tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala sambil menundukkan mukanya. Sepasang alisnya yang tebal itu berkerut dan wajahnya menjadi muram.

Kui Lian melangkah maju dan memegang tangan kanannya Satu perbuatan yang amat berani dan menantang. Kong Hwat merasa betapa kulit tangan yang halus hangat meremas tangannya, ia kaget dan heran, juga bingung tak tahu harus bagaimana, hanya memandang kepada Kui Lian dengan mata bingung dan jengah.

“Koko, aku...... kasihan melihatmu. Kau menyimpan rahasia yang menyedihkan hatimu, ini aku tahu pasti. Tadinya kau bilang sudah pernah dihina orang, dan kiranya hinaan itu ada hubungannya dengan kisah cintamu. Bukankah begitu?” Ia meremas jari jari tangan Kong Hwat sambil memandang dengan tajam dan mesra. “Koko ku yang baik setelah kita bertemu dan merasa saling cocok, mengapa kau menyimpan rahasia lagi? Percayalah seperti juga kesanggupanmu, betapapun pandainya dia, aku akan mempertaruhkan nyawaku yang tak berguna untuk membelamu!”

Kali ini Kong Hwat benar kaget. Debar jantungnya makin mengeras. Bagaimana dara itu sampai demikian mati matian hendak membelanya? Berani mempertaruhkan nyawa? Ah, jawaban untuk ini hanya satu. Cinta! Gadis manis ini mencintainya! Ia memandang dan kembali untuk kesekian kalinya, dua pasang mata memandang. Setiap kali bertemu pandang, makin eratlah cengkeraman pengaruh ilmu sihir yang memancar dari sepasang mata Kui Lian dan makin robohlah pertahanan batin Kong Hwat. Pemuda itu memegang tangan Kui Lian erat erat. “Ah, adikku yang baik, adikku yang manis. Kau benar benar baik hati sekali. Dalam keadaan putus asa dan terhina, aku bertemu dengan seorang seperti engkau, benar benar hatiku terhibur. Sampai mati aku takkan melupakan budimu ini, Lian moi. Akan tetapi kau tidak tahu, orang yang menghinaku itu sepuluh teah lebih pandai daripada aku.”

“Ceritakanlah, siapa dia dan bagaimana dia menghinamu?” Kai Lian mendesak.

“Dia itu adalah bibiku sendiri, isteri dari pamanku. Kakekku Thian te Kiam ong mempunyai dua orang anak, yang laki laki benama Song Tak Hong yaitu pamanku dan yang perempuan adalah Song Siauw Yang ibuku. Paman Song Tek Hong mempunyai seorang anak perempuan bernama Song Bi Hui. Belum lama ini aku dan ayah bundaku berkunjung ke Tit le untuk membantu merawat kong kong sampai datang kematiannya. Pada malam hari....

ketika aku sedang barcakap cakap dengan.... Bi Hui, muncul isteri pamanku itu yang dalam hal ilmu silat, kiranya tidak kalah oleh ibuku sendiri! Dan di situlah aku menerima tamparan dan hinaan!” Kong Hwat menutupi mukanya dan menggigit bibirnya.

Jari jari tangan yang harus merenggut tangan nya itu dan sepasang mata yang bening dan bersinar aneh menatapnya, memaksanya menyambut pandang mata itu.

“Koko, kau.... kau mencinta Song Bi Hui adik misanmu itu, bukan?”

Kong Hwat   merasa   sukar   menjawabnya.   “Dulu....

memang begitu   ”

“Akan tetapi sekarang tidak lagi, bukan? Sekarang kau tidak mencintai nya lagi setelah kau bertemu dengan aku? Bukankah begitu?” 

Kong Hwat memandang gadis itu dengan mata terbuka lebar lebar, ia sudah jatuh betul betul di bawah pengaruh sihir.

“Heran sekali, bagaimana kau bisa tahu begitu tepat?

Menang   betul begitu, Lian moi.”

“Kau sekarang benci dia dan kau.... kau mercinta aku, bukan?”

Kong Hwat mengangguk. “Lian moi, bagaimana kau bisa tahu dan bagaimana kau berani menyatakan ini? Biasanya seorang gadis akan malu malu bicara tentang ini ”

Kui Lian tersenyum lalu memeluk pundak pemuda itu dan menyandarkan kepalanya di dadanya.

“Koko ku yang baik, pujaan hatiku yang kucinta. Aku memang seorang yang suka berterus terang suka bicara secara langsung. Begitu aku melihatmu, hatiku sudah jatuh. Aku cinta kepadamu dan badan serta nyawaku kusediakan untuk membelamu, untuk membahagiakanmu. Ketika tangan kita bersentuh, jari jarimu gemetar, maka aku menduga bahwa kaupun suka kepadaku. Koko, jangan kau ragu ragu, mari kita pergi ke rumah orang yang menghinamu itu dan aku akan membantumu membalaskan dendam ini!”

Kong Hwat memeluk tubuh Kui Lian, tanpa malu malu lagi. Setelah mendengar pengakuan Kui Lian, ia merasa berbahagia sekali dan menganggap bahwa gadis ini patut menjadi calon jodohnya. Patut menjadi pengganti Bi Hui. Gadis ini tidak kalah oleh Bi Hui! Bukankah ibunya bilang bahwa dia harus mendapatkan seorang isteri yang melebihi Bi Hui? Akan tetapi ajakan Kui Lian untuk membalas dendam, kembali mendukakan hatinya.

“Moi moi yang tercinta, kau tidak tahu. Apa kaukira mereka itu orang orang biasa saja? Paman Tek Hong adalah putera kong kong Thian te Kiam ong, kepandaiannya tinggi sekali, lebih tinggi daripada ibuku. Dan kepandaian isterinya juga bukan main tingginya, lagi pula isterinya itu ganas dan galak. Belum lagi ada Bi Hui di sana yang kepandaiannya kiranya tidak kalah olehku. Bagaimana aku dapat menghadapi tiga orang itu?”

“Koko, bukankah kau juga sudah mempelajari ilmu pedang warisan Thian te Kiam ong? Buktinya Kim kong kiam ada padamu. Bukankah kau cucu laki laki tunggal dan kau yang menjadi ahli waris?”

Kong Hwat mencabut pedangnya dan melemparkannya ke tanah dengan wajah kesal dan sebal.

“Kau bilang Kim kong kiam? Sungguh lucu. Inilah celakanya. Aku sudah membanting tulang dan selalu mendekati kakek sebelum meninggal, akan tetapi orang tua yang aneh itu tidak meninggalkan apa apa kepadaku melainkan pedang palsu ini!”

“Palsu?” Kui Lian cepat mengambil pedang itu dari atas tanah dan terlihatlah olehnya ujung pedang itu patah dan nampak bahwa warna kuning hanya sepuhan dari luar saja. “Kalau ini palsu, habis yang aselinya di mana?”

“Itulah yang menyebabkan sakit hati. Tak seorangpun tahu di mana pedang yang tulen, karena kong kong tidak meninggalkan pesan apa apa, Akan tetapi, ibu mempunyai dugaan bahwa pedang itu sengaja disembunyikan oleh paman Tek Hong. Rupa rupanya paman Tek Hong tidak rela pedang itu diwariskan kepada keluarga Liem oleh kong kong. maka diam diam dibuatnya pedang ke dua dan yang tulennya tentu mereka simpan sendiri!”

Kui Lian mengangguk angguk. “Bisa jadi.... bisa jadi....

Kalau begitu, lebih lebih perlunya kau pergi ke Tit le. Tidak hanya untuk membalas hinaan, akan tetapi juga untuk mengambil Kim kong kiam tulen yang sudah menjadi hakmu.” Sambil berkata demikian, Kui Lian merenggutkan tubuhnya dari pangkuan Kong Hwat, berdiri menatap pemuda itu dengan dada membusung, kepala dikedikkan, mata bersinar sinar dan nampak gagah sekali. Melihat kekasihnya seperti ini, dengan gemas Kong Hwat meraihnya dan memeluknya kembali.

“Kau manis dan gagah sekali, penuh semangat. Betul betul makin lama aku makin cinta kepadamu, Lian moi. Kau harus kubawa pulang, kuperkenalkan kepada ayah bundaku dan kau harus menjadi.... isteriku. Kau maukah, sayang?”

Kui Lian memejamkan mata, ingatannya melamun jauh, penuh kebahagiaan. Menjadi isteri seorang pemuda seperti ini, cucu Thian te Kiam ong, keluarga perkasa dan ternama. Pemuda tampan ganteng dan berkepandaian tinggi. Ahh...

apalagi yang lebih dari ini. Ia mengangguk angguk dan tanpa membuka mata ia berbisik, “Aku siap sedia, koko. Sudah kukatakan tadi bahwa badan dan nyawaku ini adalah milikmu. Akan tetapi.... kau harus membalas dendammu lebih dulu, baru aku puas. Aku tidak suka melihat kau selalu bermuram durja dan membawa dendam dan hinaan yang membuat sakit hati di dalam dadamu. Biarlah aku membantumu sehingga aku tidak malu kelak menjadi isterimu setelah aku memperlihatkan kesetiaan dan pembelaanku.”

Kong Hwat memeluknya erat erat penuh kasih sayang “Kui Lian, kau berhati mulia. Akan tetapi, kalau kita menyerbu ke sana hanya untuk menemui kematian, bukankah itu akan sia sia belaka?”

“Apa susahnya kalau kita mati? Mati berdua dengan kau merupakan kenikmatan bagiku, koko ”

Wajah yang cantik manis, tubuh yang menggairahkan, sikap yang menarik penuh tantangan, kerling mata memikat, senyum memadu dengan kata kata yang indah penuh bujuk rayu, semua ini ditambah dan diperkuat oleh ilmu sihir pengasihan yang memancar penuh daya pikat dari sepasang mata dan ujung ujung jari tangan Kui Han. Tidak mengherankan apabila Kong Hwat jatuh dan lupa daratan. Jangankan baru Kong Hwat yang masih hijau, biarpun seorang laki laki yang sudah kawakan dalam menghadapi godaan wanita, kiranya takkan dapat mempertahankan diri lama lama terhadap Kui Lian.

“Kui Lian.... Kui Lian....” Kong Hwat memeluk mesra sambil membelai rambut kekasih nya. “Kau benar benar seorang dewi! Akan tetapi aku tak ingin mati, kasihku. Aku ingin hidup seribu tahun agar dapat menikmati kebahagiaan di sampingmu.”

Tiba tiba Kui Lian merenggutkan tubuhnya dan ia menarik Kong Hwat bangun dan berdiri dari atas rumput. “Koko, kau agaknya tidak percaya akan kesanggupanku? Mungkin dalam hal ilmu sitat aku tidak bisa menangkan mereka, bahkan, mungkin ilmu silatku tidak setinggi kepandaianmu. Akan tetapi, marilah kita buktikan. Apakah kau dapat memukul roboh pohon di sana itu?”

Kong Hwat memandang. Pohon yang ditunjuk oleh Kui Lian itu adalah sebatang pohan siong yang besarnya sama dengan tubuh seorang biasa. Memukul roboh batang pohon sebesar itu kiranya tak mungkin. “Memukul roboh aku tak sanggup, Lian moi. Kalau aku mengerahkan tenaga lweekang mendorongnya, itupun masih belum berani aku memastikan bahwa pohon itu akan roboh.”

“Bukan! Bukan merobohkan dengan memukul dan mendorongnya. Kumaksudkan merobohkannya dari tempat ini.” kata Kui Lian menantang.

Kong Hwat tertawa. “Apa kau mengimpi? Bagaimana bisa merobohkannya dari sini? Aku bukan dewa!”

“Hwat ko, apakah kiranya pamanmu, isteri nya, juga Bi Hui akan sanggup melakukannya?”

“Tak mungkin. Memang kepandaian paman dan isterinya amat tinggi, akan tetapi untuk merobohkan pohon yang batangnya sebesar manusia dan jarak kurang lebih lima tumbak, benar benar adalah hal yang mustahil. Tidak, mereka takkan dapat melakukannya!”

“Mendiang kong kongmu bagaimana? Apakah Thian te Kiam ong kiranya juga tidak mampu merobohkan pohon itu dari tempat ini?”

“Aku pernah mendengar ibu berceritera bahwa kong kong telah amat tinggi ilmunya. Bahkan ilmu pukulan tangan kosong dari kong kong yang disebut Thai lek Kim kong jiu warisan dari Kim Kong Taisu, juga ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu warisan dari Mo bin Sin kun, katanya sudah demikian tinggi hingga bisa memukul roboh seorang lawan dari jarak lima tombak. Akan tetapi, memukul orang mempergunakan tenaga pukulan atau hawa pukulan tidak begitu sukar, biarpun tidak begitu kuat akupun sudah dapat melakukannya. Berbeda sekali dengan memukul sebatang pohon yang tumbuh dengan kokoh kuat. Tak mungkin, moi moi, biarpun Thian te Kiam ong sendiri, takkan mungkin merobohkan pohon itu.” Kui Lian tertawa manis dan mencubit pipi Kong Hwat. “Maka jangan kau memandang rendah pada ku.

Kekasihmu yang bodoh ini sanggup merobohkan pohon itu dari tempat ini!”

“Kau bisa ?? Betul betulkah, Lian moi?”

“Kaulihat baik baik. Lihatlah pohon itu. Lihat daun daunnya yang hebat. Ada cabangnya di sebelah kiri yang bengkak bengkok seperti ular. Lihat baik baik, Hwat ko....

aku akan merobohkannya, roboh bersama sekalian cabang dan daunnya, roboh seperti ditebang, roboh ke sebelah, kiri.... kau lihatlah pukulan mautku!” Kui Han mengeluarkan kata kata ini dengan suara mengguntur, penuh pengaruh ilmu hitam yang dahsyat sehingga Kong Hwat bagaikan terpaku memandang kearah pohon itu, ttak kuasa lagi atas pandang mata dan pikirannya. Kui Lian menggerak gerakkan kedua tangannya ke arah Kong Hwat dan…. pemuda itu melihat betapa pohon besar itu benar benar roboh ke kiri, mengeluarkan suara keras seperti dtsambar petir!

“Hebat....! Hebat! Kepandaianmu seperti kepandaian malaikat....” kata Kong Hwat terheran heran, akan tetapi Kui Lian sudah memeluk dengan mesra.

“Apa kau masih tidak percaya kepada kekasihmu yang bodoh ini?” tanyanya manja.

“Percaya penuh, sepenuh penuhnya. Ha, ha, ha, keluarga Song yang sombong, sekarang kau akan tahu rasa. Rasakanlah datangnya pembalasan dari Liem Kong Hwat dengan calon isterinya.” Pemuda itu tertawa tawa girang dan mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan, mesra sekali. Kalau saja Kong Hwat tahu. Kalau saja ia melihat bagaimana tak lama kemudian setelah ia dan Kui Lian pergi dari situ, seorang anak penggembala kerbau memanjat pohon itu sambil tertawa tawa dan pohon itu sama sekali tidak tumbang, masih berdiri kokoh kuat seperti biasa. Ia tidak tahu bahwa bukan pohon itu yang dirobohkan oleh Kui Lian, melainkan dialah yang dirobohkan, dia yang disihir sehingga dalam penglihatannya pohon itu roboh seperti yang dikatakan oleh Kui Lian.

Dan Kong Hwat tenggelam makin dalam ketika dalam perjalanan itu, tiada hentinya Kui Lian menggoda membujuk rayu, menghujani pelakuan perlakuan manis sehingga mereka berdua melakukan perjalanan seperti sepasang suami isteri yang sedang berbulan madu. Biarpun belum diresmikan oleh pernikahan, Kui Lian telah menjadi isteri dari Kong Hwat, dan mendapatkan cinta kasih pemuda itu yang sudah jatuh di bawah telapak kakinya. Dalam ketidaksadarannya Kong Hwat juga merasa berbahagia sekali. Dalam kesadarannya Kui Lian juga merasa berbahagia. Kiranya segalanya akan berjalan baik dan mereka akan dapat menikmati hidup sampai tua, kalau saja segala ini bisa lancar seperti diingini manusia. Akan tetapi, kepuasan dan kekecewaan selalu datang bergandeng tangan, mempermainkan manusia berganti ganti. Dan cerita ini masih panjang.

0odwo0

“Beng Han, jangan kau memandang rendah ilmu tangan kosong Soan hong pek lek jiu yang hendak kuturunkan kepadamu ini. Mengapa kau begitu keras hati tidak mau mempelajari ilmu silat lain kecuali ilmu Pedang Kim kong Kiam sut? Apa kaukira gampang saja mempelajari ilmu pedang itu?” tanya Tek Hong sambil mengerutkan keningnya karena tidak senang melihat Beng Han menolak pelajaran ilmu silat lain kecuati Kim kong Kiam sut. Beng Han menjatuhkan diri berlutut di depan Song Tek Hong, lalu berkata penuh hormat, “Suheng, harap kau sudi memaafkan, karena bukan sekali kali aku memandang rendah Soan hong pek lek jiu atau ilmu silat lain. Akan tetapi sesungguhnya, aku hanya minta supaya suheng melanjutkan kehendak mendiang suhn. Suhu telah mulai memberi pelajaran dasar dasar ilmu Pedang Kim kong Kiam sut kepadaku, oleh karena ini, kuharap sudilah kiranya suheng melanjutkan usaha suhu dan menurunkan kepadaku pelajaran dasar ilmu Pedang Kim kong Kiam sut,”

Tek Hong mengerutkan keningnya. Dia maklum bahwa Beng Han sutenya ini bukan seorang bocah biasa. Seorang anak berusia enam tahun lebih dapat bicara dengan sikap seperti orang dewasa, dapat berpikir secara mendalam dan memiliki pandangan luas, benar benar bocah ini termasuk bocah yang luar biasa. Apalagi memang ia tahu bahwa Beng Han memiliki bakat yang baik sekali. Dia sendiri tidak dapat mewarisi Kim kong Kiam sut sampai sempurna betul dan boleh dibilang bahwa ilmu kepandaian ayahnya belum ada yang mewarisi dan belum ada yang menggantikan kedudukan ayahnya yang tinggi. Anak Beng Han inikah yang kelak akan mengangkat tinggi tinggi nama keluarga Song?

“Sute, yang kau katakan tadi memang tidak salah. Akan tetapi kau harus tahu bahwa ilmu Pedang Kim kong Kiam sut bukan ilmu biasa saja dan tidak sembarangan orang mampu memilikinya. Ketahuilah bahwa aku sendiri setelah berlatih puluhan tahun, masih belum dapat mewarisi setengahnya saja dari ilmu pedang itu. Juga sucimu dewi-kz Siauw Yang hanya memiliki kurang dan setengahnya, hanya bedanya kalau kau lebih banyak mewarisi bagian pertahanannya, adalah dia mewarisi lebih banyak bagian penyerangannya. Padahal ketika itu kami belajar di bawah pimpinan langsung dari ayah. Apalagi sekarang, kalau kau belajar dari aku, apakah hasilnya nanti? Jangan jangan hanya akan menimbulkan buah tertawaan orang belaka dan akan dianggap bahwa Kim kong Kiam sut amat janggal dan tidak berarti.”

“Suheng, maafkan siauwte. Pertama tama, aku ingat akan pesan dan nasihat suhu dahulu, bahwa ilmu silat sebagai tanaman pohon. Yang perlu mempelajari pokok pokok dan dasar dasarnya, atau diumpamakan batang pohonnya. Tentang perkembangannya, itu tergantung sepenuhnya kepada orang yang mempelajarinya, seperti juga batang pohon yang sudah hidup, tentu akan bersemi, mengeluarkan cabang, daun, kembang dan buah. Kuharap suheng sudi memimpin aku dalam mempelajari dasar dasar Kim kong Kiam sut sampai sempurna. Adapun tentang perkembangannya, biarlah itu digantungkan kepada nasib siauwte saja. Kalau nasib baik, kiranya aku akan dapat memperkembangkan sendiri. Dengan mempelajari dasar Kim kong Kiam sut, berarti aku dan suheng tidak menyia nyiakan harapan mendiang suhu. Dan ke dua, aku bersumpah takkan memperlihatkan Kim kong Kiam sut kepada siapapun juga sebelum sempurna betul seluruhnya agar ilmu kita ini tidak menjadi celaan orang.”

Terpaksa Tek Hong menuruti permintaan sutenya ini yang memang mempunyai alasan kuat sekali. Dengan sungguh sungguh ia mulai melanjutkan latihan sutenya, memberi petunjuk petunjuk memecahkan semua rahasia pokok dari gerakan dasar ilmu Pedang Kim kong Kiam sut. Memang, tepat seperti dikatakan oleh Beng Han tadi, ilmu Silat betapapun tingginya, dasar dasarnya adalah sama dan tak dapat dirobah robah. Seperti hanya Kim kong Kiam sut, dasar pergerakan kaki dan langkah sudah mempunyai ketentuan sendiri. Langkah dan dasar ilmu silat ini tidak begitu di pelajari, bahkan selain Tek Hong dan Siauw Yang sendiri, anak anak mereka, Bi Hui dan Kong Hwat, sudah lama hafal dan dapat menguasai sebaiknya. Akan tetapi, yang sukar adalah kembang tembangnya. Setiap jurus ilmu silat Kim kong Kiam sut ini dapat dipecah menjadi tigapuluh enam gerakan disesuaikan dengan keadaan dan siasat gerakan lawan pada saat dihadapi, oleh karena itu amat sukar dipelajari. Apalagi ilmu pedang ini seluruhnya mempunyai seratus duapuluh jurus!

Beng Han dengan amat tekun melanjutkan latihannya, tak mengenal telah, tak mengenal siang malam. Berkat kecerdikannya, akhirnya ia dapat menguasai pasangan dan kedudukan kaki serta teori teorinya.

Song Bi Hui sering kali mengomel panjang pendek kalau melihat ayahnya tekun melatih Beng Han.

”Ayah memang aneh sekali. Mengapa Kim kong Kiam sut dtiurunkan kepada orang lain? Banyak macam ilmu silat yang dikuasai ayah, mengapa justeru memberikan dasar dasar Kim kong Kiam sut kepada Beng Han?” omelnya di depan ibunya.

“Beng Han biarpun masih kecil terhitung susiok mu (paman gurumu) karena dia murid mending kong kongmu. Oleh karena itu sudah sepatutnya kalau dia mempelajari Kim kong Kiam sut. Mengapa kau ribut?” ibunya menegurnya.

“Aku sama sekali tidak mengiri, ibu. Aku sendiri sudah mempelajari Kim kong Kiam sut dan terus terang saja, aku tidak sanggup. Tidak mengapa ayah mengajarkan ilmu itu kepada orang lain, asal saja jangan Beng Han. Harap ibu pikir baik baik. Siapakah Beng Han itu? Kalau kita tanya tentang asal usulnya, dia sama sekali tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia dibawa ke sini oleh seorang tosu tukang khoamia, seorang tosu gelandangan yang tidak karuan riwayatnya lagi. Kalau kelak Beng Han sudah besar lalu melakukan kejahatan mempergunakan ilmu silat keturunan kita, bukankah nama baik keluarga Song yang akan hancur lebur?”

“Kurasa tidak. Anaknya kelihatan baik dan andaikata kelak dia menyeleweng, masih ada kita untuk memberi hajaran,” kata pula Siang Cu menghibur puterinya. Namun Bi Hui masih nampak ragu ragu dan tidak puas. Entah mengapa, gadis ini merasa kurang suka terhadap Beng Han, Hal ini mungkin ditimbulkan karena kong kongnya dan ayahnya kelihatan begitu sayang kepada Beng Han. Makin baik sikap anak itu terhadap ayah ibunya makin bencilah dia karena mengira bahwa anak itu bersikap baik dan manis untuk “mencuri” ilmu silat keturunan mereka. Memang sikap Beng Han terlalu luar biasa bagi seorang anak berusia enam tahun lebih, kelakuan dan kata katanya membayangkan pikiran yang masak. Tentu saja seorang dara manja seperti Bi Hui yang masih panas darahnya, melihat gejala ganjil ini sebagai perbuatan sengaja yang menyembunyikan maksud buruk.

Telah beberapa hari Tek Hong meraba tidak enak hatinya ia telah menyuruh seorang utusan mengantarkan suratnya kepada Sin tung Lo kai Thio Houw di Leng ting. Dalam suratnya itu dia memberitahukan tentang pesan terakhir dari Thian te Kiam ong tentang perikatan jodoh. Sebagai orang tua pihak wanita, tentu saja Tek Hong merasa tidak patut kalau ia datang mengajukan usul ikatan jodoh, maka sebagai alasan ia katakan bahwa mereka sekeluarga masih berkabung sehingga tidak ada waktu untuk datang sendiri ke Leng ting menghadap pada jago tua itu. Telah sebulan lebih utusannya pergi, akan tetapi sampai hari itu belum juga utusannya kembali. Diterimakah atau ditolakkah usul ikatan jodoh itu? Tek Hong dan isterinya belum pernah melihat cucu Sin tung Lo kai, sungguhpun mereka tahu bahwa Bi sin tung Thio Leng Li, yaitu puteri Sin tung Lo kai dan sahabat baik mereka, mempunyai seorang putera yang sebaya dengan Bi Hui. Sebetulnya mereka tidak ingin buru buru menjodohkan puterinya, akan tetapi semenjak peristiwa di dalam taman dengan Kong Hwat, Tek Hong suami isteri merasa tidak enak hati. Sebagai orang tua, tentu saja mereka dapat menduga bahwa sedikit banyak tentu ada “apa apa” antara Bi Hui dan Kong Hwa. Setelah peristiwa ribut ribut itu, jalan satu satunya yang paling baik adalah cepat cepat mengikat jodoh Bi Hui dengan cucu Sin tung Lo kai seperti yang dipesan oleh Thian te Kiam ong.

Bagaimana dengan Bi Hui sendiri? Gadis ini tentu saja belum diberi tahu. Dan diam diam Bi Hui masih terkenang kepada Kong Hwat. Sungguhpun ia sendiri belum dapat menentukan dan belum yakin apakah ia sesungguhnya jatuh cinta kepada Kong Hwat, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa pemuda itu mendapatkan tempat baik di lubuk hatinya. Ia menganggap kakak misannya itu selain tampan, juga gagah dan berwatak baik. Lebih lebih kalau ia teringat betapa pemuda itu mendapat tamparan dari ibunya, ia makin merasa kasihan dan diam diam merasa menyesal mengapa ibunya berlaku begitu kejam, ia tidak menyalahkan sikap Kong Hwat yang hendak mengajaknya melarikan diri karena pemuda itu takut kehilangan dia yang hendak dijodohkan dengan orang lain.

Perangai Bi Hui makin mudah marah dan mudah tersinggung semenjak terjadnya peristiwa di taman itu. Karena tidak ada orang lain yang boleh menerima timpaan sesalnya, ia sering kali menimpakan kemarahannya kepada Beng Han. Juga pada pagi hari itu ia marah marah kepada Beng Han di taman bunga. Pagi hari itu Bi Hui berjalan jalan di taman bunga, lalu termenung memikirkan di mana adanya Kong Hwat sekarang dan apakah masih ada harapan baginya untuk berjumpa dengan kakak misan itu lagi. Tiba tiba renungannya tergoda oleh suara nyaring di sebelah kiri taman.

“Satu...... satu dua.... satu dua tiga.... satu dua tiga empat....satu dan tiga empat lima... satu dua tiga empat lima enam tujuh....!” Bi Hui menoleh dengan muka sebal. Itulah suara Beng Han dan ia tahu apa artinya suara itu. Bocah itu sedang berlatih langkah langkah dasar ilmu silat Kim kong Kiam sut dengan langkah yang disebut Jit seng pouw (Langkah Tujuh Bntang). Memang Kim kong Kiam sut berdasarkan langkah tujuh bintang. Tujuh bintang itu dapat diatur dalam delapan penjuru sehingga jumlah pergeseran kaki itu macamnya ada tujuh kali detapan, limapuluh enam pasangan atau langkah! Bi Hui hafal benar akan Jit seng pouw ini yang sekarang sedang dilatih secara rajin sekali oleh Beng Han. Dahulu ketika ia mula mula mepelajari Jit seng pouw ini tidak serajin BengHan. Bocah ini pagi, sore, malam tak pernah berhenti berlatih Jit seng pouw dan ini masih dibarengi dengan mulutnya menyebut dan menghitung langkah langkah itu agar hafal betul dan dapat mendarah daging dengan kakinya.

Makin di dengar suara itu makin memanaskan hati, makin dilupakan makin merangsang telinga. Akhirnya Bi Hui membanting kaki dan berdiri dari tempat duduknya, berjalan cepat menghampiri Beng Han.

“Kau kira kau sudah jadi jagoan di sini? Baru bisa begitu saja lagaknya bukan main! Cih, tak tahu malu!” Beng Han menghentikan latihannya, mukanya merah sekali. Bukan baru kali ini ia menerima caci maki gadis ini, akan tatapi ia tak pernah menaruh dendam. Biarpun masih kecil, ia dapat menilai watak orang, dan ia tahu bahwa Bi Hui tentu sedang terganggu hatinya maka kelihatan marah marah selalu. Sambil menjura ia berkata,

“Cici Bi Hui, kau tahu bahwa aku tidak berlagak. Aku hanya melatih diri sesuai dengan petunjuk ayahmu.”

“Tidak berlagak? Kau berlatih dengan mulut berteriak teriak biar semua orang tahu bahwa kau sedang berlatih Kim kong Kiam sut. Hemm, kau, sudah menjadi jagoan, ya?”

“Tidak, Cici Bi Hui Aku hanya seorang sute dari ayah bundamu, sorang yatim piatu yang menumpang di sini.”

Mendengar Beng Han merendahkan diri begini, Bi Hui makin marah, seakan akan ia merasa disindir babwa dialah yang jahat terhadap seorang anak yatim piatu!

“Apa kau bilang? Kau tidak berlagak? Kalau kau betul betul tahu seorang yang menumpangkan diri mengapa kau semalas ini? Kau hanya makan tidur dan berlatih silat. Kau sudah menerima banyak sekali kebaikan dari kami, dan apa balasmu? Membersihkan taman saja tidak mau.”

“Setiap hari kubersihkan, cici  “

“Apa? Berani kau membohong Lihat, kalau sudah dibersihkan bagaimana begini kotor? Penuh daun kering!”

“Memang hari ini belum kubersihkan. Biasanya setelah berlatih baru kubersihkan. Daun daun itu gugur malam tadi.” 

“Tak tahu diri! Setelah beres pekerjaan baru main main. Masa kau ini main main dulu baru bekerja. Benar benar tak tahu diri kau!”

Pada saat itu, muncul Tek Hong dan Siang Cu. “Eh, ada apa sih ribut nbut seperti ini?” tanya Siang Cu.

“Anak ini sejak pagi main main dan berlatih silat dan taman begini kotor. Ketika kutegur katanya baru membersihkan dan bekerja sehabis main main. Mana ada aturan begitu? Kusuruh dia bekerja dulu, baru main main.”

Siang Cu menoleh kepada Beng Han. Nyonya inipun sedang merasa jengkel, mungkin karena utusan mereka ke Leng teng belum juga datang.

“Beng Han, kau jangan selalu membantah kalau diberi tahu oleh B Hui Betapapun juga, kau harus mentaati perintahnya. Apalagi kau yang salah sepagi ini belum apa apa sudah main main. Hayo bekerja!”

Beng Han menundukkan kepala dan memberi hormat. “Memang siauwte yang salah, harap suci maafkan.”

“Beng Han, sikapmu yang selalu merendah rendah itu lama lama menyebalkan!” tiba tiba Tek Hong juga membentaknya. “Kau sudah kuanggap sebagai orang sendiri, mengapa baru mendapat teguran begitu saja sudah bersungkan sungkan dan minta minta maaf segala?”

Bang Han kaget sekali. Kalau ia mendapat hinaan atau makian dari Bi Hui, itu dianggapnya malah lucu, kalau ia ditegur oleh Siang Cu dia hanya akan menghela napas dan tahu diri, akan tetapi teguran dan Tek Hong yang ia anggap sebagai pengganti suhunya, benar benar menusuk hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya. 

“Nah, nah, dia menangis! Benar benar anak ini telah diberi hati oleh ayah. Menjadi manja dan besar kepala!” kata Bi Hui.

“Bi Hui, jangan kau berkata begitu!” Tek Hong membentak anaknya. Ketika ia menoleh. Bang Han telah pergi mengambil sapu untuk memulai bekerja. Ia hanya menghela napas, lalu bersama isterinya pergi duduk di dekat empang ikan. Memang hampir setiap pagi suami isteri ini duduk di dekat empang itu, yaitu di waktu matahari mulai muncul. Mereka tahu bahwa sinar matahari pagi amat perlu bagi kesehatan mereka yang sudah mulai tua.

Wajah Beng Han nampak muram saja sehari itu, dan matanya selalu basah. Dengan sembunyi sembunyi ia menahan isak dan kadang kadang menghapus air matanya. Semua ini tidak terlepas dari penglihatan mata Bi Hui yang tajam.

“Biarlah, kalau kau merasa sakit hati pergi saja dari sini agar jangan menambahkan kejengkelan orang saja.” Bi Hui berkata di dalam hatinya.

Malam tiba. Gelap sekali di luar. Hawa malam yang amat dinginnya membuat seisi rumah sudah tidur nyenyak sebelum tengah malam. Kecuali Beng Han. Bocah ini tidak dapat tidur. Gelisah selalu. Ia teringat akan segala pengalamannya. Diam diam ia merasa rindu kepada ayah dan bunda, akan tetapi dimanakah ia dapat mencari mereka? Tahu saja siapa mereka juga tidak! Di mana adanya kong kongnya, Koai Thian Cu? Ah, hanya Koai Thian Cu dan mendiang Thian te Kiam ong yang benar benar jujur dan baik terhadap dia. Kebaikan suhengnya, Tek Hong seperti dipaksakan. Dia merasa akan hal ini. Tengah malam lewat. Keadaan sunyi sekali, baik di dalam maupun di luar ramah. Akan tetap, di dalam gelap itu, tiba tiba berkelebat dua bayangan orang dengan gerakan gesit sekali memasuki ruangan di dekat taman rumah keluarga Song! Di bawah sinar pelita ruangan belakang ini, nampaklah bahwa mereka ini adalah seorang pemuda tampan dan dw-kz seorang wanita cantik. Liem Kong Hwat dan Cia Kui Lian! Kong Hwat memegang Kim kong kiam palsu sedangkan Kui Lian membawa pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.

Kong Hwat nampak ragu ragu dan takut takut, akan tetapi Kui Lian menarik tangannya dan berbisik, “Jangan takut. Mana kamar mereka?”

Kong Hwat menuding ke depan. Dengan kekuatan sihirnya, Kui Lian dapat membuka pintu tanpa banyak kesukaran dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi, ketika mereka lewat di kamar tengah, seorang pelayan yang tidur di atas lantai menjadi terbangun dan dengan kaget pelayan itu duduk, matanya memandang terbelalak kepada Kong Hwat. Akan tetapi, sekali kebutan dengan hudtim ke arah muka orang itu, Kui Lian telah berhasil membuat orang itu jatuh lagi, tidur atau setengah pingsan! Ujung kebutannya telah dipasang racun penidur yang luar biasa kuatnya.

Mereka maju terus dan tiba di depan kamar Song Tek Hong. Kembali Kong Hwat ragu ragu dan jerih. Ia maklum benar akan kelihaian Tek Hong dan Siang Cu. Akan tetapi kembali Kui Lian menarik tangannya dan dengan kebutan dan sihirnya, Kui Lian berhasil membuka pintu kamar itu dengan amat mudah.

Biarpun jerih, akan tetapi Kong Hwat menjadi bernafsu dan amarahnya timbul ketika ia memasuki kamar bibinya yang pernah menghina dan membikin sakit hatinya. Rasakan pembalasanku sekarang, geramnya di dalam hati. Sementara itu. Kui Lian sudah membuka kelambu dan menudingkan hudtimnya ke arah muka seorang wanita setengah tua yang masih nampak kecantikan wajahnya.

“Dia inikah orangnya?” tanyanya kepada Kong Hwat. Pemuda itu mengangguk, pedang di tangannya gemetar.

Kui Lian lalu mencambukkan kebutannya rada muka Siang Cu yang sedang tidur sambil berkata, “Biar kubalaskan tamparanmu!”

Serangan kebutan ini bukanlah serangan biasa, melainkan serangan ke arah urat syaraf di kening dan disertai hawa yang penuh dengan tenaga hoat sut. Orang lain yang terkena serangan ini pasti akan roboh pingsan dan ingatannya tidak beres lagi. Akan tetapi Ong Siang Cu adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sekali. Begitu kulit mukanya tersentuh, otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi urat uratnya sehingga biarpun totokan itu tepat kenanya, ia masih dapat melompat bangun. Melihat Kong Hwat berdiri di situ bersama seorang wanita, keduanya memegang pedang, tahulah ia bahwa mereka ini datang dengan maksud jahat. Cepat ia menyerang Kong Hwat sambil berseru,

“Bocah keparat, kau benar benar jahat!”

Serangan yang dilakukan oleh Siang Cu luar biasa hebatnya, biarpun dengan tangan kosong saja, akan tetapi kalau berhasil mengenai Kong Hwat, tentu akan dapat merenggut nyawanya. Sayang sekali Siang Cu sudah terpukul oleh kebutan Kui Lian sehingga serangannya tidak jitu, jaga kakinya menjadi limbung. Kong Hwat mengelak dan hanya pundaknya saja yang terlanggar membuat ia berjumpalitan dan mengeluh kesakitan! Di lain saat, Siang Cu yang berhadapan dengan Kui Lian telah kena disihir 

oleh Kui Lian dan nyonya ini berdiri seperti patung memandang kepada Kui Lian dengan sikap seperti hendak menyerang.

Kong Hwat tidak tahu bahwa bibinya ini sudah tak dapat bergerak lagi. Melihat sikapnya, dan marah karena pukulan tadi, Kong Hwat cepat menggerakkan pedangnya, membuat serangan balasan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya itu dengan mudah amblas ke dalam perut bibinya!

“Ayaaa....!” ia melompat ke belakang sambil mencabut pedang yang sudah berlepotan darah, matanya terbelalak memandang darah menyembur keluar dari perut bibinya dan tubuh itu perlahan lahan roboh. Sepasang mata bibinya memandang kepadanya, penuh keheranan dan kebencian, Siang Cu roboh tanpa mengeluarkan suara lagi, masih setengah berada dalam kekuasaan sihir Kui Lian.

Tek Hong melompat setelah tadi mendengar suara ribut ribut dalam kamar. Tadinya Kui Lian memang sudah memasang sihir ketika mulai memasuki kamar maka suami isteri pendekar ini tidak mendengar apa apa dan agak kepulasan. Alangkah kagetnya Tek Hong yang melihat tubuh isterinya berlumur darah menggeletak di lantai dan melihat Kong Hwat berdiam dengan pedang Kim kong kiam palsu berlepotan darah, di sebelahnya dikawani seorang gadis cantik yang bermuka mengerikan.

“Song Tek Hong, lihat padaku!” bentak Kui Lian. Tek Hong tidak menduga apa apa dan menoleh kepada gadis itu, masih belum sadar benar dari tidur. Biarpun dia seorang pendekar besar yang sudah banyak pengalaman, akan tetapi ia tak dapat disalahkan kalau sampai terjatuh ke dalam kekuasaan Kui Lian. Siapa yang dapat menyangka bahwa gadis muda ini seorang ahli sihir? Tek Hong sadar setelah terlambat. Begitu ia memandang Kui Lian, ia merasa betapa sepasang mata gadis itu menembusi matanya dan langsung menguasai hati dan pikirannya.

“Song Tek Hong, kau tak dapat bergerak.... kaku  kaku

seperti balok....” Kui Lian menggerak gerakkan hudtimnya dengan lambaian seperti menulis huruf huruf rahasia di udara dan sepasaag matanya terus menatap wajah itu dengan pandangan tajam menusuk.

Tek Hong meronta, berusaha sekerasnya untuk melepaskan diri dari cengkeraman ilmu sihir yang luar biasa. Nampak urat urat seluruh tubuhnya berkerotokan, tanda bahwa lweekangnya dijalankan untuk memaksa dan mendobrak pengaruh yang menyelubungi tubuhnya dan membuat ia tak dapat bergerak itu.

“Koko, lekas tusuk mati dia....!” kata Kui Lian, terus melanjutkan sihirnya. Ia hampir tidak kuat menguasai Tek Hong, demikian tinggi kepandaian Tek Hong, demikian dahsyat tenaga lweekangnya.

“Lian moi, aku.... aku tidak bisa.... dia.... pamanku ”

“Bodoh, dia melihat kau membunuh isterinya, dia takkan mengampuni kau. Lebih baik lekas bunuh, siapa akan tahu?” Kui Lian mulai terenggah engah dan Tek Hong mulai dapat menggerakkan leher dan tangan. “Lekas, koko, aku.... hampir tak dapat menguasainya lagi...” Kemudian disambung dengan suaranya yang berpengaruh. “Song Tek Hong, jangan bergerak.... kau tak kuasa bergerak kau

harus mentaati perintahku ”

Akan tetapi Tek Hong makin keras berusaha melepaskan diri. Melihat ini dan mendengar kata kata Kui Lian tadi, Kong Hwat tahu bahwa jalan satu satunya untuk menyelamatkan diri hanya mendahului pamannya. Dengan mata dipejamkan ia lalu menggerakkan pedangnya, menusuk dada Tek Hong. Akan tetapi ia berteriak keras dan 

jatuh terguling! Dada Tek Hong begitu keras seperti baja sehingga ketika pedang itu membentur dada, semacam tenaga dahsyat telah menolak dan merobohkan Kong Hwat.

“Pilih bagian berbahaya….” Kui Lian sempat memberi peringatan.

Tahulah Kong Hwat bahwa pamannya itu telah mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya, maka dadanya demikian kuat. Sekali lagi ia menggerakkan pedangnya, kali ini dengan mata terbuka. Menusuk bagian pusar dan pedang itu…. menancap dalam! Tubuh Tek Hong terguling dan darahnya menyembur ke lantai, bercampur dengan darah isterinya! Suami isteri pendekar yang berkepandaian tinggi ini tewas dalam keadaan yang mengecewakan.

Pada saat itu, Beng Han dengan pedang pendek yang biasa ia pakai berlatih, menyerbu masuk dan memaki maki, “Jahanam terkutuk…. kau berani membunuh suheng? Kau…. baru sekarang ia melihat bahwa penjahat itu adalah Kong Hwat dan seorang wanita muda yang tidak dikenalnya. “Kau…. yang…. melakukan ini….?” Saking heran, marah, berduka melihat Tek Hong dan Siang Cu menggeletak di atas lantai penuh darah, dan melihat Kong Hwat, Beng Han sampai tak dapat bicara lagi! Ia segera menubruk maju, pedang pendek yang biasa dipakai berlatih itu ditusukkan ke arah Kong Hwat. Akan tetapi, sekali menggerakkan pedangnya, pedang pendek di tangan Beng Han terlempar dan sebuah dupakan membuat Beng Han roboh bergulingan di atas lantai yang penuh darah sehingga pakaian, tangan. Dan mukanya terkena darah. Melihat bahwa Beng Han dapat menjadi saksi dari perbuatannya, Kong Hwat sudah mengangkat pedang hendak membunuh saja bocah ini. Akan tetapi tiba tiba Kui Lian berseru, “Tahan, jangan bunuh dia!” Kong Hwat memutar tubuh, memandang kepada kekasihnya dengan heran. Akan tetapi Kui Lian tersenyum manis dan tanpa berkata apa apa lagi kebutannya menyambar ke muka Beng Han. Anak ini masih pening karena terbanting dan dadanya terasa sesak oleh tendangan Kong Hwat. Ia masih berusaha mengelak, akan tetapi racun di ujung kebutan sudah bekerja dan ia terguling roboh, pingsan.

Kui Lian lalu mengambil pedang pendek yang tadi dibawa Beng Han, memasukkan ujung pedang itu ke dalam genangan darah sampai di pegangan kemudian menaruh gagang pedang di dalam genggaman tangan kanan Beng Han. Setelah itu, ia lalu membongkar bongkar kamar itu, mengeluarkan uang emas dan perak serta perhiasan perhiasan berharga, membungkus barang barang ini dengan sebuah kain dan meletakkan bungkusan di dekat Beng Han pula. Setelah semua ini beres, barulah ia menarik tangan kekasihnya diajak keluar.

Kong Hwat sekarang mengerti akan akal kekasihnya, akan tetapi ia membantah, “Moi moi, bagaimana kalau ia membuka mulut dan bercerita bahwa aku yang melakukan itu?”

“Bodoh. Siapa percaya padanya? Bukti buktinya, pedangnya yang berlepotan darah dan barang yang ada padanya, menyatakan bahwa dia membunuh untuk merampas. Bukankah kau sudah bercerita bahwa anak itu adalah murid termuda dari Thian te Kiam ong, seorang bocah yang tadinya hanya menumpang saja? Siapa percaya kau yang melakukannya, sedangkan kepandaianmu sama sekali bukan tandingan mereka berdua? Kalau bocah itu lain lagi, dia tinggal di rumah ini, banyak kesempatan baginya untuk melakukan pembunuhan di waktu tuan rumah tidur nyenyak.” Kong Hwat puas sekali, lalu hendak menuju ke kamar Bi Hui. Akan tetapi Kui Lian melarangnya, bahkan cepat cepat menariknya dan mengajaknya keluar dari rumah itu, terus berlari cepat meninggalkan Tit le.

“Eh, Lian moi. Bagaimanakah kau ini? Bukankah kau sudah berjanji hendak mendapatkan Bi Hui untukku? Kau sendiri yang merencanakan semua ini dan sekarang, kau yang melarangku mendapatkan Bi Hui. Apakah kau cemburu, ataukah kau takut kalau kalau cinta kasihku kepadamu akan berubah?”

Kui Lian tersenyum dan memeluk pemuda kekasihnya itu “Koko, aku adalah isterimu yang setia dan aku sudah percaya sepenuhnya kepadamu. Karena besarnya cintaku kepadamu, maka aku hendak membikin kau bahagia, hendak melihat kau bahagia, biarpun syaratnya harus rela bermadu Bi Hui. Tidak, aku tidak cemburu, aku rela membagi cintamu dengan Bi Hui, gadis yang telah kau cinta sebelum kau berjumpa dengan aku. Akan tetapi, kau laki laki bodoh. Kalau kau langsung memasuki kamar Bi Hui, apakah artinya akal kita menimpakan kesalahan ke pundak bocah gila itu? Memang dengan ilmuku, aku dapat membikin Bi Hui cinta kepadamu, akan tetapi kalau semua orang gagah tahu akan perbuatan kita, bukankah itu berarti kita mencari penyakit? Biarlah, kita biarkan Bi Hui dan yang lain lain mengira bahwa bocah itu yang bersalah. Kelak, baru kita muncul untuk menaklukkan Bi Hui, agar kita tidak menimbulkan kecurigaan. Muncul di waktu peristiwa itu terjadi benar benar bodoh.”

Lagi lagi Kong Hwat harus mengakui kelicinan Kui Lian dan sebagai upah ia merayu dan memuji mujinya.

“Lian moi, kau benar benar isteriku yang hebat! Selain cantik manis dan berilmu tinggi, kau juga cerdik sekali, tanpa kau, entah akan apa jadinya dengan aku!” “Ah, bisa saja kau memuji. Aku melakukan semua ini karena cintaku kepadamu. Asal saja kau tidak gampang melupakan bini mu yang hina ini. Asal aku dapat berdampingan dengan kau selama hidupku, apa saja akan kulakukan untukmu, koko.”

Sambil bergandengan tangan mereka melanjutkan perjalanan, bahkan tak lama kemudian Kong Hwat memondong tubuh Kui Lian ketika wanita itu mengeluh kakinya sakit sakti dan lelah. Memang, dalam hal ilmu silat, Kong Hwat menang jauh apalagi dalam ilmu lari cepat. Benar benar harus disesalkan bahwa Liem Kong Hwat, seorang pemuda berkepandaian tinggi yang tadi nya seorang yang berhati lurus dan bersih pula keturunan orang orang gagah, bertemu dengan seorang wanita iblis seperti Kui Lian. Pemuda ini seakan akan sudah tak dapat mempergunakan pikirannya sendiri, dia yang berbuat Kui Lian yang mengemudi. Dengan kepandaian seperti yang dimilikinya, dipimpin oleh otak yang cerdik licin dan watak yang sudah seperti siluman seperti Kui Lian itu, benar benar pasangan ini merupakan bahaya besar yang mengerikan bagi siapa yang mereka musuhi.

0odwo0

Pada keesokan harinya, terdengar ribut ribut di dalam rumah keluarga Song. Keadaan di dalam rumah menjadi geger. Pelayan wanita menjerit jerit pelayan laki laki berlari lari ke sana ke mari.

“Celaka.... ada penjahat    !”

“Pembunuh....! Loya dan toanio terbunuh  !”

“Tolong.... tolong....!” Seorang pelayan menggedor gedor pintu kamar Song Bi Hui.

“Siocia.....! Bangunlah !” Bi Hui melompat dari tempat tidurnya, kepalanya masih agak pening. Seperti beberapa orang pelayan penjaga di depan, iapun terkena pengaruh sihir yang membuat ia tertidur seperti mati, tidak mendengar suara ribut ribut lagi. Kini ia memlompat ke pintu, dibukanya dan mukanya pucat sekali ketika mendengar kata kata “pembunuhan”!

Tanpa bertanya lagi ia lalu menerjang pelayan pelayan itu dan berlari cepat ke kamar ayah bundanya, ia melihat kamar itu sudah penuh pelayan dan ketika ia menerjang masuk, ia melihat ayah bundanya menggeletak dalam gelimangan darah, sudah kaku dan mati, dan di sudut kamar, dua orang pelayan laki laki sedang memegangi Beng Han yang diikat erat erat.

“Ayaaaaah....! Ibuuuuu.... !” Bi Hui memekik dengan suara melengking tinggi, menubruk kedepan dan roboh pingsan di antara jenazah ayah bundanya!

Bi Hui menerima pukulan batin yang hebat sekali ketika melihat keadaan ayah bundanya yang sudah tewas itu. Ia pingsan sampai lama, tubuhnya seperti sudah menjadi mayat. Sia sia saja para pelayan mencoba untuk menyadarkan sehingga terpaksa para pelayan wanita mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di atas tempat tidur di kamarnya sendiri.

Hari sudah siang ketika akhirnya Bi Hui dapat siuman kembali dari pingsannya. Mukanya pucat dan tubuhnya panas sekali. Begitu siuman, ia lalu membuka mata dan mengeluh,

“Ayah.... ibu   !”

Menangislah gadis ini tersedu sedu. Air matanya membanjir seakan akan air bah memecahkan bendungan. Para pelayan mendiamkannya saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, tangis merupakan obat terbaik bagi Bi 

Hui. Kemudian gadis itu teringat dan matanya terbelalak lebar. Ia memandang kepada pelayan pelayan itu dan bertanya.

“Siapa membunuh ayah dan ibu? Siapa ??”

“Entahlah, sioca,” kata pelayan ini takut takut “Hanya sekarang para pelayan laki laki sedang mendesak Beng Han untuk mengaku. Kita mendapatkan loya dan toanio sudah tewas dilantai kamarnya sedangkan di dalam itu terdapat pula Beng Han yang memegang pedang pendek penuh darah dan sebungkus emas permata milik toanio berada di dekatnya. Agaknya.... agaknya iblis telah memasuki pikiran anak itu dan.... menggunakan kesempatan selagi loya dan toanio pulas, memasuki kamar dan ”

Belum habis pelayan ini bicara, Bi Hui sudah melompat, menyambar pedangnya di tembok dan berlari cepat keluar kamar. Sesamparnya di ruangan belakang, ia melihat Beng Han duduk di bangku dengan muka pucat, rambut awut awutan dan mukanya biru biru bekas pukulan. Di depan nya berdiri dua orang pelayan laki laki yang marah marah dan sedang mendesaknya memberi keterangan.

“Bukan aku.... bukan aku....!” Bi Hui mendengar Beng Han menggeleng gelengkan kepala membantah. “Apa kalian sudah gila? Bagaimana aku bisa membunuh suheng sendiri? Aku bukan orang gila dan kalian tentunya belum gila untuk mendakwa begitu keji!”

Bi Hui melompat ke depan Beng Han dan sekali tangan kirinya terayun, pipi Beng Han sudah ditamparnya sedemikian keras sehingga anak itu mencelat dan membentur dinding, pipi kanannya menjadi bengkak seketika dan giginya copot copot!

“Bukti apa yang ada padanya?” tanya Bi Hui kepada dua orang pelayan itu. “Dia berada di kamar loya, tangannya memegang pedang pendek yang berlumur darah, baju, tangan dan mukanya penuh darah dan dia membawa pula sebungkus uang emas dan barang perhiasan toanio. Sudah terang setan cilik ini hendak mencuri dan membunuh loya dan toanio selagi mereka tidur pulas, siocia. Terserah kepada siocia bagaimana hendak menghukumnya. Apakah kita harus menyeretnya ke pengadilan?”

“Biar aku adili anjing ini!” kata Bi Hui penuh kemarahan ketika ia menghampiri Beng Han yang sudah bangun dan mengusap usap pipinya.

“Bi Hui cici, aku bersumpah bahwa aku tidak membunuh suheng dan suci,” kata Beng Han sambil menatap wajah gadis itu dengan tabah.

“Apa kau bilang?” Bi Hui menjambak rambut anak itu dan menyeretnya “Aku sudah tahu bahwa kau adalah seekor anjing yang tak kenal budi. Kau disayang ayah dan ibu, dan kau membalas dengan perbuatan terkutuk. Anjingpun tidak sekeji engkau.” Bi Hui terus menyeret rambut Beng Han dibawa ke ruang tengah di mana jenazah ayah bundanya telah dimasukkan peti.

-ooo0dw0ooo-

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar