Jilid XXXIII
“BAGUS! Tepat sekali sumpahmu ini, karena memang pesanku ini terutama sekali mengenai Kim kong kiam. Kau tahu, pedang ini sesungguhnya bukanlah Kim kong kiam yang aseli, ini hanya tiruan. Adapun pedangku yang aseli bersama kitab Kim kong Kiam sut yang kutulis, sengaja kusembunyikan di puncak menara Kim Hud tah di Gunung Kui san. Kelak, apabila kau benar benar memerlukan dua benda itu, kaulah orangnya yang kubolehkan mewarisinya, dan kau akan dapat mengambilnya dengan mempelihatkan suratku ini.” Sambil berkata demikian, kakek Song menyerahkan sebuah surat yang memang sudah dibuatnya sebelumnya. Surat itu menerangkan bahwa pembawanya boleh mengambil dua benda yang ia simpan di tempat itu.
Beng Han menerima surat bersampul itu sambil bercucuran air mata.
“Eh, mengapa kau menangis?”
“Suhu, mengapakah teecu yang suhu warisi semua ini? Apakah kelak tidak akan menimbulkan kemarahan dari pihak keturunan suhu sendiri? Kim kong kiam adalah pedang pusaka keluarga Song, demikian pula ilmu silat pedang dari suhu adalah ilmu silat keturunan, bagaimana justeru teecu seorang luar yang suhu percaya?”
Diam diam kakek Song makin kagum kepada muridnya ini dan hatinya makin mantap. “Bukan karena aku benci kepada anak cucuku, Beng Han. Sama sekali bukan Bahkan, terus terang saja, aku sengaja melakukan ini untuk.... kalau dapat, menolong dan menjaga keselamatan mereka. Sudahlah, kau tak perlu banyak bertanya dan penuhi saja pesanku. Andaikata kau betul betul telah memerlukan dua benda tersebut dan ingin mewarisinya, kau naiklah ke Kim Hud tah (Menara Bhuddha Emas) dan jangan kau turun kembali sebelum kau mempelajari ilmu pedang itu sampai sempurna betul. Kalau kau mengambil begitu saja dan membawa turun, kau akan celaka.”
Beng Han mencatat dalam otaknya segala pesan suhunya ini dan menyatakan kesanggupannya untuk mentaati semua perintah kakek Song.
Hampir sebulan kemudian, dengan amat tiba tiba, penyakit yang diderita oleh kakek Song kambuh kembali secara hebat! Napasnya menjadi sesak, kepala berat, tubuh lemas dan kedua kaki lumpuh!
Melihat hal ini, orang seisi rumah kaget sekali dan air mata mulai bercucuran. Akan tetapi kakek Song sendiri tersenyum.
“Beng Han, kong kongmu itu memang orang luar biasa pandainya,” katanya teringat akan ramalan Koai Thian Cu. Semenjak tukang gwamia itu datang, dua bulan hanya kurang tiga hari lagi! Tinggal tiga harikah usianya?
Thian te Kiam ong Song Bun Sam mengumpulkan anak cucunya. Di dalam kamarnya yang besar itu penuh dengan orang, semua memperlihatkan wajah muram dan berduka, kecuali si sakit sendiri! Di situ berkumpul Song Tek Hong dan isterinya, Ong Siang Cu serta puteri mereka, Song Bi Hui. Juga Song Siauw Yang dan suaminya Liem Pun Hui serta putera mereka, Liem Kong Hwat hadir. Tadinya Beng Han hendak meninggalkan kamar demi kesopanan tanpa diminta oleh siapa pun sehingga Tek Hong menjadi kagum dan memandangnya dengan terima kasih, akan tetapi kakek Song menahannya.
“Beng Han, kau juga muridku. Guru dan orang tua sederajat, murid dan anak juga setingkat. Maka kau tinggat saja disini mendengarkan pesan pesanku agar ketak kalau anak cucuku ada yang lupa, kau dapat mengingatkan mereka.” Kakek Song berhenti sebentar untuk mengatur napasnya yang amat sukar keluarnya.
“Tek Hong, kau kelak yang mewakili aku mengawasi dan menjaga ketenteraman semua keluarga kita. Kau tahu bahwa dahulu aku telah banyak menanam permusuhan dengan orang orang kalangan hitam (penjahat). Tentu di antara mereka dan keturunan mereka banyak yang mendendam sakit hati. Oleh karena itu, kau dan semua kekeluarga harus selalu waspada dan hati hati. Ketahuilah bahwa Kim kong kiam juga selalu diincar incar orang, oleh karena itu, aku minta supaya pedang Kim kong kiam ini disimpan saja di Liok can, di rumah Siauw Yang,”
Kembali ia mengatur napas dan semua yang mendengarkan menjadi makin berduka.
“Aku tahu, ilmu kepandaian dari mantuku Siang Cu amat lihai. Alangkah baiknya kalau kalian mengadakan tukar menukar kepandaian sehingga kepandaian Bi Hui dan Kong Gwat bertambah, sungguhpun semacam saja kalau dipelajari dengan sempurna akan mengalahkan seratus macam yang tidak dipelajari secara baik. Sayang sayang
aku tak dapat menyaksikan cucu cucuku menikah ”
Kata kata ini memancing isak tangis dari Siauw Yang, Siang Cu, dan Bi Hui.
“Jangan menangis, manusia mana yang tidak akan mati? Kiranya aku masih akan dapat tahan kalau dua tiga hari lagi. Bahkan lucunya.... kalau sampai empat hari aku tidak mati, berarti aku akan hidup beberapa tahun lagi! Ha, ha, ia!”
Ssmua orang yang tidak tahu akan ramalan Koai Thian Cu, mendengar kata kata ini menjad bengong dan mengira bahwa kakek Song telah bicara kacau karena sakitnya.
“Tek Hong, muridku Beng Han ini jangan kau sia sia. Kau pelihara dia baik baik, kau beri pelajaran ilmu silat sebaik baiknya, kau mewakili aku mengajarnya. Kelak ia akan berguna sekali untuk keluarga Song. Kalau dia ingin belajar sastera, biar dia belajar dari mantuku Pun Hui. Dia anak yatim piatu, tak boleh disia sia, harus ditolong. Amat tidak baik menghina seorang anak yatim piatu.”
Beng Han menggigit bibirnya untuk menahan isak tangisnya Hanya sepasang matanya saja tak dapat menahan dan air mata turun bercucuran di sepanjang pipinya, melalui luka di pipi kiri yang masih membekas karena ujung pedang yang dipegang oleh Kui Lian dahulu.
Setelah banyak banyak memesan kepada semua anak cucunya, kakek Song tertidur saking lelahnya. Anak cucunya menjaga secara bergiliran, akan tetapi Beng Han tak mau meninggalkan lantai di depan pembaringan suhunya. Biarpun beberapa kali Tek Hong menyuruh ia mengaso, ia menyatakan tidak lelah dan ingin menjaga terus suhunya sehingga Tek Hong menjadi terharu melihat kebaktian anak ini dan menyetujui permintaannya.
0odwo0
Kita tinggalkan dulu keluarga Song yang sedang prihatin dan diliputi suasana muram karena kakek Song menderita sakit itu dan marilah kita mengikuti perjalanan Kui Lian.
Biarpun ilmu silatnya tidak berapa tinggi, namun dengan bekal ilmu hoat sut yang ia pelajari secara mendalam sehingga ia memiliki kepandaian luar biasa dalam ilmu ini, Kui Lian menjadi amat tabah. Di bagian depan sudah diceritakan betapa ia sampai berani menyerbu ke rumah keluarga Song yang terkenal sebagai sarang naga dan harimau. Akan tetapi, biarpun ia dapat menghilang di depan mata Thian ie Kiam ong Song Bun Sam, namun ia dibikin tidak berdaya oleh kakek sakti itu. Terpaksa ia pergi dengan tangan kosong mengambil putusan untuk kelak datang mencuri pedang kalau kakek itu sudah mati. Dengan sedikit ilmu melihat tanda tanda di muka orang, ia telah melihat tanda kematian yang sudah dekat dari kakek Song, maka terhiburlah hatinya.
Kini Kui Lian menujukan tindakan kakinya ke Soa couw, tempat yang selama ini selalu muncul di dalam alam mimpinya, untuk melakukan idam idamannya yang telah lama ia tahan di hati selama beberapa tahun. Ke Soa couw, ke rumah keluarga Thio. Membalas dendam, menagih perhitungan lama. Dengan senyum manis akan tetapi menyeramkan dan sinar matanya membayangkan kekejian, Kui Lian melakukan perjalanan itu dan kalau membayangkan betapa ia akan melakukan pembalasan dendam, ia tertawa bergelak gelak, ketawa yang nyaring dan merdu, akan tetapi mengandung suara seperti bukan suara manusia lagi.
Kui Lian sengaja memilih hari menjelang tahun baru untuk mendatangi Soa couw. Ia sengaja menanti di luar kota sampai lima hari agar dapat memasuki kota itu tepat di hari malaman Sinchia. Ia sengaja melakukan hal ini untuk memperingati pengalamannya yang luar biasa sengsaranya di malaman Sinchia enam tahun yang lalu.
Kota Soa couw masih sama dengan dulu. Cara penduduknya merayakan malaman Sinchia, masih tidak berubah, sama benar dengan dulu dulu. Rumah rumah dihias indah dicat baru. Orang orang hilir mudik dengan wajah gembira. Di mana mana terdengar orang orang merayakan hari raya itu, tetabuan dibunyikan, mercon mercon membikin bising dan gembira. Semua masih sama dengan enam tahun yang lalu. Akan tetapi, alangkah bedanya Kui Lun sekarang dengan Kui Lian enam tahun yang talu. Enam tahun yang lalu, Kui Lian diseret seret keluar kota, mengalami penghinaan sebesarnya, diusir di tengah malam dan menangis sampai matanya hampir berdarah. Kui Lian enam tahun yang lalu meninggalkan kota Soa couw dengan perasaan perih dan hati remuk redam.
Akan tetapi Kui Lian sekarang memasuki Soa couw dengan senyum manis di bibir, mata bercahaya cahaya penuh kegembiraan hendak tercapai cita cita membalas dendam, menebus sakit hati enam tahun yang lalu. Di sepanjang jalan, ketika pada senja hari Kui Lian memasuki kota Soa couw, orang orang memberi hormat dan menyapanya dengan manis budi dan ramah. Siapa yang tak senang melihat seorang wanita muda cantik jelita yang melihat pakaiannya dan kebutan di tangannya tak salah lagi tentu seorang tokouw (pendeta wanita)? Terutama para pemudanya. Biarpun mulut mereka tentu saja tidak berani kurang ajar terhadap seorang tokouw namun sinar mata mereka lebih kurang ajar dari pada andaikata, mereka berani bicara tak pantas. Memang Kui Lian manis dan cantik, lebih manis dari dulu, lebih cantik. Kerling mata dan senyum bibirnya manis dan matang, pendeknya memenuhi selera setiap laki laki yang memandangnya. Tak seorangpun yang akan dapat mengenal tokouw ini sebagai Kui Lian yang dahulu. Dulu usianya baru enambelas tahun ketika ia terusir, biarpun ia telah mengandung, namun sebenarnya dia masih kanak kanak. Sekarang usianya sudah duapuluh tahun lebih, tubuhnya lebih berisi, sifat kekanak kanakan pada muka dan tubunya sudah lenyap, terganti sifat wanita sepenuhnya.
Di depan gedung keluarga Thio ia berhenti. Biarpun ia terlatih, tetap saja dadanya berdebar keras dan darahnya berdenyar kencang ketika ia melihat rumah gedung ini. Indah dan dihias seperti dahulu pula. Teringat ia betapa dahulu sebelum dijatuhi fitnah dan hukum, beberapa hari di muka ia ikut pula menghias ruangan depan, ikut pula bergembira ria menyambut datangnya Sinchia yang hampir tiba. Sampai lama ia berdiri saja di depan pintu pekarangan depan, matanya tak pernah berkedip, seakan akan hendak menembus rumah itu, dan kadang kadang mata itu bercahaya seperti hendak membakar rumah gedung beserta sekalian isinya. “Suthai hendak mencari siapakah?” teguran tiba tiba ini membuat Kui Lian sadar dari lamunannya. Ia cepat tersenyum manis dan ramah kepada seorang laki laki yang berpakaian seperti pelayan itu. Saking dalamnya ia melamun tadi, sampai ia tidak melihat munculnya pelayan ini.
“Eh, pinto ingin sekali bertemu dengan tuan rumah. Ada urusan yang amat penting sekali. Sukakah kau memberi tahu kepada majikanmu bahwa seorang tokouw dari kuil Cai im tang di luar kota mohon bertemu?”
Pelayan baru yang tidak di kenal oleh Kui Lian. Dia ini seorang mata keranjang yang segera tertarik sekali oleh tokouw yang muda dan cantik manis ini. Maka mendengar permintaan Kui Lian yang diucapkan dengan suara halus dan ramah, timbul kekurangajarannya untuk mengganggu. Memang pada masa itu, bukan jarang terdapat pendeta pendeta laki laki atau wanita yang berlaku nyeleweng, menggunakan pakaian pendeta hanya untuk kedok saja, maka banyak orang yang memandang rendah dan berani menggoda para tokouw atau nikouw. Pelayan itupun timbul kekurangajarannya melihat seorang tokouw muda yang cantik, apalagi ia yang telah pengalaman dalam hal ini melihat senyum dan kerling mata yang genit itu.
“Suthai yang baik. Pada saat seperti ini, loya dan keluarganya tak boleh diganggu. Kalau suthai hendak ikut berpesta gembira, marilah bergembira dan berpesta dengan aku saja. Aku baru mendapat hadiah sepuluh tael dari majikanku,” ia menepuk sakunya di mana terdapat uang hadiah itu.
Kui Lian mendongkol. Digerakkannya hud tim di tangannya, menuding muka pelayan itu dan katanya ketus. “Orang macam engkau ini mana punya uang?” Pelayan itu merogoh sakunya dan... uang sepuluh tael perak yang ia baru saja dapat dari Thio loya, benar benar telah lenyap!
Selagi ia melongo dan pucat, Kui Lian berkata, “Hayo sampaikan pesanku tadi kepada majikanmu!” Pelayan itu tiba tiba nampak kaku dan bagaikan sebuah boneka yang dapat berjalan, ia memutar tubuh dan masuk ke dalam rumah ia telah bergerak bukan karena kehendak sendiri, akan tetapi seluruh kemauannya telah dikuasai oleh pengaruh sihir dari Kui Lian!
Pelayan itu langsung memasuki ruangan dalam di mana Thio Kin sedang makan minum dilayani oleh selir selirnya. Nyonya Thio duduk menemani suaminya. Semua orang memandang pelayan ini dengan heran, dan Thio Kin memandang marah. Akan tetapi pelayan yang masuk bukan atas kehendaknya sendiri dan dalam keadaan tidak sadar itu, tidak perduli, terus saja melangkah maju menghadapi Thio Kin dan berkata tantang,
“Loya, diluar ada seorang tokouw dari kuil Cui im tang hendak bertemu dengan loya untuk urusan yang sangat penting.” Baru saja kata kata ini habis dikeluarkan, iapun terguling dan roboh dalam keadaan pingsan, kaku!
Thio Kin terkejut melihat kejadian ini dan menjadi curiga. Dipanggilnya para pengawalnya yang tetap saja menjaga di malaman tahun baru itu, di ruang belakang sedang minum minum dan main judi. Lima orang pengawal berlari datang kemudian mengikuti rombongan Thio loya yang menuju ke luar untuk melihat tokouw siapakah yang datang itu.
Ketika Thio Kin dan semua orang tiba di luar, mereka tertegun. Apalagi Thio Kin, begitu melihat tokouw itu, melihat matanya seperti tertarik oleh sesuatu yang luar biasa. Di dalam pandang matanya, tokouw itu manis dan cantik sekali, dan selalu bermain mata dengan kerling memikat disertai senyum menantang yang manis sekali.
“Suthai hendak bertemu dengan siapakah? Dan ada keperluan apa?” tanya thio Kin.
Dengan sikap agung dan suara keren Kui Lian berkata, “Ketika tadi aku lewat di depan, aku melihat hawa
siluman di atas rumah ini maka aku menjadi kasihan
kepada penghuni rumah dan hendak mengusir setan.”
Semua orang kaget, akan tetapi Thio Kin dapat melenyapkan rasa kagetnya dan bertanya, “Suthai, apakah tandanya bahwa di dalam rumah ada siluman?”
Kui Lian menunjuk dengan kebutannya ke atas rumah dan berkata, “Kalian lihatlah, di atas rumah itu ada uap kehitaman seperti mega, itulah hawa siluman!”
Thio Kin dan semua orang memandang ke atas dan....
betul saja, mereka melihat uap hitam mengebul tebal di atas wuwungan rumah!
“Celaka....” Thio Kin mengeluh dan cepat ia menjura kepada pendeta wanita yang catik lagi muda itu sambil berkata, “Mohon pertolongan suthai.... tolonglah nyawa kami sekeluarga.” Suaranya menggigil ketakutan, sedangkan para selir sudah sejak tadi saling peluk dengan tubuh menggigil. Hanya Thio hujin yang agak bersikap tenang. Ia memandang tajam kepada tokouw muda ini, sama sekali tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Kui Lian bekas pelayan pribadinya.
“Suthai, tadinya tidak terjadi sesuatu, tidak ada apa apa yang buruk di rumah kami. Mengapa sekarang tiba tiba ada siluman? Dan mengapa pelayan kami tadi begitu melapor tentang kedatanganmu lalu roboh pingsan?” Nyonya ini berkata sambil memandang tajam kepada wajah cantik yang serasa pernah dikenalnya ini.
“Toanio, memang siluman itu baru saja datang. Agaknya sengaja datang di waktu malaman Sinchia, entah mengapa harus kuselidiki lebih dahulu. Adapun pelayan yang pingsan, tentu telah terkena gangguan siluman itu, aku sanggup untuk menyembuhkannya setelah aku memeriksa orangnya.”
Mendengar ini Thio Kin lalu mengajak tokouw itu masuk ke dalam rumah sambil tiada hentinya menyatakan pengharapannya agar tokouw itu cepat cepat mengusir siluman itu dari rumahnya. Pelayan yang pingsan kaku itu masih dalam keadaan seperti tadi, tak dapat siuman kembali biarpun banyak kawannya sudah berusaha membetot betot urat urat tubuhnya dan mengguyur kepalanya dengan air dingin.
Tokouw itu berdiri dan memandang kepada pelayan itu. Lalu katanya, “Dia betul terganggu siluman yang berada di atas rumah. Ambil kotoran manusia dan jejalkan ke dalam mulutnya. Hanya itulah obatnya, dia akan sembuh kembali.”
Biarpun terheran heran akan “obat” aneh ini, Thio Kin menyuruh pelayan pelayannya untuk mentaati perintah tokouw itu. Kasihan sekali pelayan tadi, karena kelancangan mulutnya terhadap Kui Lian sekarang terpaksa merasa dijejali kotoran mulutnya! Akan tetapi benar saja, setelah mulut pelayan yang pingsan kaku itu dipaksa terbuka dan dijejali kotoran manusia, ia siuman kembaii sambil mengeluh, kemudan muntah muntah dan lari ke kamar mandi untuk membersihkan mulutnya! Semua orang, biarpun ketakutan dan merasa ngeri, mau tak mau tertawa melihat hal lucu ini. “Kuharap semua penghuni rumah ini berkumpul agar menyaksikan aku menangkap siluman. Harus lengkap semua keluarga dan pelayan, tidak boleh ada yang ketinggalan serorangpun. Terutama sekali tuan dan nyonya rumah bersama anak anak mereka.” Tentu saja Kui Lian mengharapkan munculnya Thio Sui yang sejak tadi tidak kelihatan di stiu.
“Semua sudah berkumpul,” kata Thio Kin, “kecuali anak kami Thio Sui yang berada di kota raja untuk menghormat calon mertuanya di sana.”
“Dan tiga orang pelayan yang pulang ke kampung menjelang tahun baru,” sambung Thio hujin.
Tokouw muda itu mengeratkan alisnya yang hitam panjang dan melengkung. “Bagi tiga orang pelayan masih tidak apa, akan tetapi kongcu harus dibersihkan dari hawa siluman. Biarlah, tidak apa, asal saja aku diberi tahu di mana ia tinggal di kota raja, aku dapat mengusir hawa siluman yang mengikutinya itu dari jauh.”
“Calon mertuanya adalah seorang pembesar berpangkat siupi she Ma. Di kota raja semua orang mengenal Ma siupi, dan putera kami setelah lulus dalam ujian dan menjadi tiong goan akan melangsungkan pernikahannya di sana dua bulan lagi.”
Kui Lian mengangguk angguk. “Cukuplah, aku dapat mengurusnya dari jauh.” Kemudian ia menyuruh semua orang diam dan berkatalah dia, dengan suara amat berpengaruh sehingga semua mata memandangnya, penuh perhatian, “Semua orang lihatlah kepadaku!” Ia lalu berjalan mundar mandir di dalam ruangan tengah itu, semua mata mengikut gerak geriknya tanpa berkedip. Kemudlan tokouw itu duduk bersila di atas lantai, di tengah tengah ruangan, mulutnya berkemak kemik, tiba tiba ia berkata lantang, “Siluman sudah datang !”
Semua orang, termasuk Thio Kin dan lima orang pengawalnya yang biasanya tabah dan sombong, menjadi gemetar dan para wanita hampir pingsan ketika tiba tiba mereka melihat uap hitam bergulung gulung dari atas turun ke bawah dan berputar putar di depan Kui Lian! Semua tak berani bergerak dan memandang kepada Kui Lian yang menggerak gerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara, seperti sedang bercakap cakap dengan “siluman” berupa uap hitam bergulung gulung di depannya itu. Tak lama kemudian uap hitam menghilang. Semua orang merasa lega hatinya, dan tokouw itu berkata.
“Siluman sudah takluk kepadaku dan bersedia untuk meninggalkan rumah ini. Dia itu adalah roh dari seorang pelayan wanita yang dulu diusir dan sini dalam keadaan mengandung.”
“Kui Lian !” terdengar Thio hujin mengeluh.
Biarpnn sengaja mempermainkan mereka, namun hatinya berdebar ketika mendengar bekas nyonya majikannya itu menyebut namanya.
“Apakah dia dulu pernah menerima penghinaan dari rumah ini?” tanyanya.
Thio Kin hanya menundukkan mukanya, dan Thio hujin yang menjawah lemah, “Ya, ya.... mungkin dia sakit hati ”
“Habis dia mencemarkan nama baik keluarga kami,” tiba tiba Thio Kin membela nama keluarganya dan sama sekali sidak melihat betapa tokouw itu memandangnya dengan mata tajam menusuk. Kui Lian mengangguk angguk, lalu berkata lagi, “Tentu saja roh nya ingin membalas dendam kepada orang orang yang pernah mengganggunya dahulu. Oleh karena itu, penghuni rumah ini yang pernah merasa menjadi musuhnya, yang pernah secara diam diam membencinya, dan merasa senang atas kesengsaraannya dahulu, supaya sekarang berkumpul di sini untuk dibersihkan dan dimintakan maaf. Yang lain lain yang tak pernah mengenalnya, atau yang dulu ada hubungan baik dengan dia, tak usah khawatir, dia takkan mengganggunya dan boleh meninggalkan ruangan ini. Hanya mereka yang pernah membencinya, baik berterang maupun secara diam diam, diharuskan berkumpul di sini bersama loya dan hujin.”
Para pelayan itu memang tentu saja ada yang dulu bergirang melihat nasib buruk Kui Lian, yaitu mereka yang iri hati melihat Kui Lian disayang oleh majikan majikannya, apalagi melihat Kui Lian dikasihi oleh Thio kongcu. Mereka yang pernah merasa benci kepada Kui Lian, tentu ingin sekali dirinya “dibersihkan” dan dibebaskan dari pengaruh dendam siluman itu. Pada masa itu, tidak ada orang yang tidak percaya akan adanya siluman siluman dan dewata dewata, maka tentu saja bagi Kui Lian yang memiliki kepandaian hoat sut yang tinggi, mudah saja melakukan peranannya.
Setelah semua orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan Kui Lian meninggalkan ruangan itu, di situ yang tinggal hanya Thio Kin, Thio hujin, dua orang selir dan tiga orang pelayan wanita. Dua orang selir itu diam diam membenci Kui Lian karena gadis itu menjadi kekasih Thio kocgcu yang secara rahasia mengadakan perhubungan dengan mereka pula. Adapun tiga orang pelayan itu, membenci Kui Lian karena pelayan baru itu dijadikan kepercayaan dan menjadi pelayan pribadi Thio hujin.
Setelah melihat orang orang yang menjadi musuhnya berkumpul di depannya, tiba tiba tokouw itu tertawa, dengan suara ketawanya yang menyeramkan bulu tengkuk. Kemudian ia membuka tutup kepalanya dan membiarkan rambutnya terurai. Rambut yang panjang dan hitam itu berombak ombak menutupi pundak dan punggungnya, sebagian ke depan menutupi dadanya yang berombak karena kemarahannya timbul menghadapi musuh musuhnya ini.
Dalam pandangan wanita wanita di situ, ia kelihatan mengerikan dan menakutkan. Akan tetapi dalam pandangan Thio Kin yang biarpun sudah tua tetap masih mata keranjang itu. Ia kelihatan begitu cantik menarik sehingga mata si bandot tua ini melongo menatapi wajah dan rambutnya! Tetap saja tak seorang di antara mereka yang mengenalnya, biarpun kini mereka merasa seperti pernah ketemu dengan tokouw pengusir siluman ini Kemudian, terdengarlah suara Kui Lian, suara yang nyaring menusuk, diiringi pandang mata bersinar sinar penuh kekejaman, dan senyum menyeringai setengah mengejek.
“Benar benarkah kalian tidak mengenal aku lagi ? Thio
loya hujin, dan yang lain lain? Apakah mata kalian sudah buta semua dan tidak mengenal aku, orang yang dulu kalian hina dan kalian tertawakan....? Ha, ha, ha, tidak hanya perasaan dan hati kalian yang buta, juga mata kalian sudah hampir buta! Lihat baik baik, loya. Lihatan baik baik dengan matamu yang berminyak itu. Ha, ha, kambing tua tak tahu malu. Dan juga, hujin, kau yang bermuka palsu, pura pura berbudi mulia akan tetapi curang. Kalian berdua tidak memperbaiki perbuatan putera kalian, malahan menyalahkan kepada pelayan yang sudah ditimpa kemalangan!”
“Kui Lian.... kau.... kau Kui Lian....!” Kini Thio hujin yang mengenalnya, dan mendengar ini, semua orang terbuka matanya. Para selir kaget, juga para pelayan dan mereka hendak buru buru angkat kaki dari tempat itu. “Berhenti! Kalian tak dapat bergerak! Semua tak kuasa berkutik dan tidak bisa berteriak!” Kedua lengan Kui Lian diangkat, jari jari tangannya dikembangkan, sepasang matanya memancarkan pengaruh yang dahyat dan tujuh
orang itu benar benar tak dapat bergerak! Thio Kin yang ingin berteriak rnemanggil pengawal pengawalnya juga tak dapat mangeluarkan suara. Mereka semua telah jatuh ke dalam pengaruh ilmu sihir yang memancar keluar dari sepuluh jari tangan yang dikembangkan dan dari pandang mata yang mengerikan itu.
Dahulunya Kui Lian bukan searang yang berhati kejam. Dia seorang gadis temah lembut yang baik hati. Akan tetapi, iblis memang tidak berjauhan dengan manusia. Sedikit saja mendapat kesempatan, iblis akan menempatkan diri dalam hati manusia. Kesempatan ini terbuka ketika Kui Lian merasa dibikin sakti hati, ketika gadis itu menaruh dendam kepada orang orang yang membikin dia sengsara. Dendam ini menimbulkan sifat sifat kejam padanya, ingin ia melihat musuh musuhnya tersiksa, menderita seperti dia dahulu, bahkan lebih lagi.
Knt Lian menghadapi Thio Kin dan isterinya. “Kalian yang menjadi biang keladii kesengsaraan dan penderitaanku, kalian tak berhak hidup lebih tama lagi. Thio Kin, kau dan isterimu tak boleh menyaksikan pernikahan anak kalian. Berdoalah minta ampun kepada nenek moyangmu!” Setelah berkata demikian, kebutan di tangan Kui Lian menyambar mengenai kepala bagaian
belakang dari Thio hujin. Hud tim itu menotok jalan darah di belakang kepala dan Thio hujin roboh tak berkutik iagi. Nyawanya melayang tanpa ia sempat mengeluarkan suara.
Thio Kin ketakutan, mukanya pucat, matanya terbelalak dan keringat dingin memenuhi mukanya. Ia ingin minta ampun, ingin berlutut, ingin pula melawan dan memanggil pengawalnya, akan tetapi ia tidak dapat bergerak, tak dapat berteriak, hanya dapat memandang Kui Lian dengan mata melotot. Kemudian datanglah hud tim itu menyambar leher dan dadanya dua kali.
Thio Kin terguling dari kursinya dan dalam keadaan hampir mati terlepaslah ia dari pengaruh sihir, ia menjerit ngeri dan panjang lalu tubuhnya berkelojotan! Kui Lian tertawa bergelak gelak dan air matanya mengucur keluar dari sepasang mata yang sudah kelihatan merah menyeramkan itu “Hi, hi. Hi, hi, mampus kau! Mampus kau!” teriaknya dengan suara parau seperti bukan suaranya sendiri.
Dapat dibayangkan betapa takutnya dua orang selir dan tiga orang pelayan itu. Boleh dibilang semangat mereka sudah setengahnya terbang keluar meninggalkan badan saking takut mereka menghadapi peristiwa mengerikan ini, tanpa dapat bergerak atau berteriak.
Tentu saja jerit yang dikeluarkan oleh Thio Kin dan suara ketawa dari Kui Lian ini terdengar oleh mereka yang berada di luar ruangan itu. Akan tetapi karena mereka ini menduga bahwa di dalam sedang terjadi hal hal yang menyeramkan untuk mengalahkan siluman, hal ini bahkan membikin mereka seram dan takut. Para wanita bahkan sudah lari menjauhkan diri, dan hanya lima orang pengawai itu saja yang berani mendekat dengan golok dicabut. Akan tetapi merekapun tidak berani melongok ke dalam, takut kalau kalau siluman akan mencabut nyawa mereka.
Sementara itu, di dalam ruangan itu Kui Lian menghadapi dua orang selir yang memandangnya dengan muka tak berdarah.
“Kalian benci kepadaku, ya? Kalian anjing anjing betina yang tak tahu malu, kalian membenci padaku karena menganggap aku merampas kekasih kalian, Thio Sui. Anjing betina yang bermain gila dengan anak tiri sendiri, kalian tidak tahu malu dan semenjak sekarang, kalian akan kehabisan rasa malu. Seperti anjing anjing rendah kalian takkan malu melakukan apapun juga!” Dua kali hud tim itu berkelebat dan ujungnya mencambuk kening dua orang selir itu. Tiba tiba mereka berdua itu menjambak jambak rambut sendiri, merasa kepala mereka sakit sakit dan gatal gatal hingga saking tidak tahan lagi, keduanya sampai merenggut pakaian mereka terlepas, bergulingan sambil menangis.
Kui Lian tertawa lagi dengan buas, lalu menghadapi tiga orang pelayan perempuan yang menjadi makin ketakutan melihat semua itu. “Kalian bertiga juga membenci aku? Hmm, benar benar tak punya otak, sama sama pelayan membenci. Daripada punya sedikit otak tak mampu mempergunakannya, lebih baik sama sekali tak punya otak. Kau tidak akan ingat apa apa lagi selama hidupmu! Kembali hud tim itu bergerak gerak memecut kepala tiga orang wanita pelayan itu dan di lain saat tiga orang pelayan ini sudah kehilangan ingatan mereka. Ketika Kui Lian tertawa bergelak, tiga orang wanita ini ikut pula tertawa terkekeh kekeh sehingga suara yang terdengar dari dalam ruangan itu besar benar menegakkan bulu tengkuk.
Lima orang pengawal menjadi kaget dan heran sekali. Dengan memberanikan diri mereka menyerbu masuk karena mendapat firasat yang tidak enak. Alangkah kagetnya ketika mereka berlima melihat keadaan di dalam ruangan itu. Thio loya dan isterinya menggeletak tak bernyawa lagi di atas lantai, dua orang selir dengan telanjang bulat bergulingan di atas lantai sambil menangis dan tiga orang pelayan berjingkrak jingkrak tertawa tawa dengan mata terputar putar. Sedangkan tokouw yang katanya hendak mengusir siluman, berdiri di sudut dengan senyum mengejek. Hud timnya digerak gerakkan secara rahasia untuk menambah pengaruhnya membikin gila lima orang wanita itu!
Ketika seorang di antara para pengawal membungkuk dan memeriksa keadaan Thio Kin dan tahu bahwa majikannya telah tewas, bukan main marahnya.
“Tokouw siluman, apa yang telah kau lakukan?” Bentaknya dengan golok siap di tangan. Kawan kawannya juga siap menghadapi Kui Lian.
Tokouw muda yang rambutnya riap riapan itu tersenyum manis sekali, lalu melangkah maju menghampiri mereka.
“Aku bunuh mereka, dan bikin gila lima anjing ini. Kalian mau bunuh aku? Mari, silahkan. Bunuhlah, hi hi hi.” Kui Lian melenggang maju dengan langkah dan gaya memikat, sepasang matanya memandang tajam, bibirnya tersenyum manis dan kedua tangannya membuka rambut yang menutupi lehernya, memperlihatkan kulit lehernya yang halus dan putih. Sikapnya menantang sekali.
Di dalam gerakan gerakan ini tersembunyi tenaga yang luar biasa dari ilmu hoat sut sehingga lima orang itu hanya berdiri melongo, golok mereka yang terpegang tergantung ke bawah dan mereka menjadi lemas Dalam pandangan mata mereka, Kui Lian demikian cantik dan jelitanya sehingga mereda tak kuasa menggerakkan tangan, apalagi menggunakan golok membacok leher yang halus putih itu! Sambil masih mengerling dan tersenyum senyum, Kui Lian berjalan melalui mereka, keluar dari ruangan menuju ke depan.
Lima orang pengawal itu teringat bahwa majikan mereka telah tewas, maka berkatalah seorang yang tertua, “Kita harus tangkap dia! Dia pembunuh!”
Serentak mereka mengejar dan mengurang Kui Lian. Kui Lian mengangkat kedua tangannya ke depan sambil menatap mata mereka dan lenyaplah dia dari kepungan.
“Aku di sini, kalian hendak menangkap akukah?” tiba tiba mereka mendengar suara dan ternyata wanita itu telah berdiri di sudut, di luar kepungan sambil berjalan tersenyum senyum menghampiri mereka.
“Kepung! Tangkap!” teriak yang tertua dan kembali mereka mengepung Kui Lian. Akan tetapi seperti tadi, sebentar saja wanita itu lenyap dari pandang mata. Ketika mereka mencari cari, mereka melihat berkelebatnya bayangan wanita itu di pekarangan luar. Mereka berteriak teriak sambil mengejar dan di pekarangan luar kembali mereka mengepung. Kini seorang di antara mereka yang termuda dan berani, cepat sekali menubruk dan memeluknya dari belakang.
“Siluman perempuan, hendak lari kemana?” bentaknya sambil mempererat pelukannya. Wanita itu meronta ronta sehingga kawan kawannya terpaksa membantu, ada yang memegarg tangan, ada yang memeluk pinggang dan menjambak rambut. Keadaan menjadi ribut sekali.
Tiba tiba mereka mendengar suara ketawa dari belakang mereka, suara yang membuat mereka tetkejut sekali dan menengok ke belakang. Benar saja, wanita itu telah berdiri di belakang mereka sambil tertawa tawa dan ketika mereka melihat orang tangkapan itu.... terryata adalah pengawal yang tertua yang menyumpah nyumpah. “Gila! Buta! Mengapa aku yang kalian keroyok?” bentaknya berkali kali. Tahulah mereka kini bahwa mereka menghadapi seorang wanita yang pandai seperti siluman. Dengan golok terangkat kelima orang pewgawal ini lalu menyerbu, kini hendak menyerang sungguh sungguh. Akan tetapi, sekelebatan saja lenyaplah Kui Lian, meninggalkan suara ketawa yang mengerikan di malam hari itu.
Keadaan menjadi geger. Lima orang pengawal itu berteriak terteriak, “Ada siluman.... ada siuman ”
Sebentar saja di situ penuh dengan orang orang yang datang karena teriakan teriakan ini dan ramailah rumah gedung keluarga Thio, penuh orang orang yang hendak menonton korban siluman. Keadaan menjadi lebih gaduh dan ribut lagi ketika lima orang wanita yang telah gila sambil berteriak teriak, menangis dan tertawa, berlari lari keluar dari rumah! Kota Soa couw bertambah lima orang gila lagi yang berkeliaran di jalan jalan, yang berturut turut dalam beberapa bulan kemudian mati di pinggir jalan karena kelaparan! Kui Lian telah menagih hutang dan kekejaman enam tahun yang lalu terjadi di rumah keluarga Thio itu sekarang harus ditebus secara mahal sekali.
0odwo0
Keaadaan Thian te Kiam ong Song Bun Sam bertambah payah dan dua hari kemudian semenjak kakek Song ini meninggalkan pesanan pesanan kepada anak cucuknya, ia sudah tak dapat bicara lagi! Anak anak dan cucu cucunya menjaga di dekat pembaringan dan pelahan lahan terdengar isak tangis dari Song Siauw Yang, Ong Siang Cu, dan Song Bi Hui.
Tiba tiba kakek Song membuka matanya, menarik napas panjang seperti mengumpulkan kekuatan terakhir dan hebat, dia dapat bangun dan duduk! Benar benar luar biasa sekali kakek ini. Biarpun dalam keadaan sudah hampir mati, ia masih berhasil mengumpulkan tenaga dan bangun duduk, kemudian dengan tangannya memberi isyarat supaya orang mengambilkan alat tulis. Tek Hong cepat cepat mengambilkan kertas dan tinta pensil dan kakek yang sudah tidak dapat bicara lagi ini mulai menulis huruf huruf yang jelas dan kuat goresannya. Anak cucunya dengan penuh perhatian membaca huruf huruf itu.
Pesanku Terakhir, Bi Hui harus dijodohkan Dengan cucu laki laki Sin tung Lo Kai.
Juga Kong Hwat harus dijodohkan dengan Cucu perempuan Sin tung Lo Kai.
Demikian bunyi tulisan sebagai pesan terakhir dari kakek Song. Tek Hong suami isteri dan Pun Hui suami isteri berlutut di depan pembaringan, menyatakan hendak mentaati perintah kakek Song ini. Tak seorangpun tahu betapa Bi Hui dan Kong Hwat saling bertukar pandang dan muka mereka menjadi pucat sekali.
Pada malam harinya, dengan tenang Thian te Kiam ong Song Bun Sam, pendekar pedang yang tiada keduanya sehingga mendapat julukan Si Raja Pedang meninggal dunia, di antar oleh tangis anak cucunya. Anehnya, tangis yang paling hebat di lakukan oleh Bi Hui dan Kong Hwat. Orang orang hanya mengira bahwa dua orang muda itu saking besar cintanya kepada kong kong mereka maka amat berduka, padahal di dalam kedukaan mereka ini terselip rahasia pribadi. Dua orang muda, atau misan ini ternyata telah saling menukar hati, saling mencinta! Maka dapat dibayangkan betapa kecewa dan berduka hati mereka ketika membaca pesan terakhir dari kong kong mereka bahwa mereka berdua harus dijodohkan dengan cucu cucu dari Sin tung Lo kai. Oleh karena keluarga Song tidak mempunyai sanak saudara yang tinggal di tempat jauh, dan anak cucunya sudah berkumpul di situ, maka jenazah tidak ditahan terlalu lama dan segera dimakamkan dengan upacara yang cukup ramai karena boleh dibilang semua penduduk Tit le tidak ada yang keluar mengantar. Sedikitnya dari satu rumah tentu keluar seorang anggota keluarga yang mengantar rombongan jenazah pendekar besar itu.
Setelah peti jenazah itu dikubur dan makam itu disembahyangi, tiba tiba terdengar suara orang berteriak teriak kecewa, “Terlambat....! Terlambat....” Dan dari bawah berlari lari naiklah beberapa orang ke tempat pemakaman yang merupakan pegunungan kecil itu. Semua orang memandang dan ternyata yang berlari lari naik itu adalah tiga orang. Yang berteriak teriak kecewa tadi adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun lebih, dari pakaiannya ternyata bahwa ia seorang tosu, jubahnya kuning, topinya juga kuning, mukanya panjang kurus dan sepasang matanya tajam setengah terkatup. Dua orang di kanan kirinya adalah dua orang laki laki yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun, berperawakan kekar dan di pinggang mereka tergantung pedang.
Agak jauh di belakang mereka nampak seorang pengemis tua terpincang pincang, dibantu sebatang tongkat bambu, juga sedang menaiki jalan tanjakan, agaknya menonton upacara pemakaman atau hendak mencari sisa sisa makanan sembahyang. Akan tetapi tak seorangpun memperhatikan pengemis pincang ini karena semua orang tertarik oleh tiga orang yang berlari lari naik. Tosu itu tanpa banyak cakap lagi lalu menghampiri makam dan menjura di situ. Sama sekali tidak menperdulikan orang lain. Dua orang laki laki yang nampak kuat itu mencontoh perbuatan tosu dan tetap berdiri di kanan kirinya. “Thian te Kiam ong, kau benar benar orang yang bernasib baik. Atau aku Pat pi Lo cu yang bernasib buruk? Jauh jauh dari See thian (dunia barat) aku datang untuk mencabut julukanmu Raja Pedang, eh, tahu tahunya kau sembunyi di balik peti mati untuk menghindari aku. Terlambat, terlambat....!” Sambil berkata demikian, ia meraih sebatang sumpit yang terletak di depan bongpai (batu nisan) yang tadinya disediakan untuk memperlengkapi alat alat sembahyang, kemudian sekali tangannya menyentil, sumpit itu meluncur mengenai batu nisan, terus amblas dan tembus sampai ke dalam kuburan. Agaknya sumpit itu terus menembus peti mati, karena terdengar suara di dalam tanah belakang bongpai!
“Tosu siluman jangan ganggu makam suhu!” Tiba tiba Beng Han, bocah yang semenjak suhunya meninggal tak pernah terpisah dari jenazah suhunya sampai jenazah itu dimasukkan.peti dan dikubur, melompat marah dan menyerang tosu itu kalang kabut! Anak berusia enam tahun ini mengalami kedukaan besar karena kematian suhunya yang amat ia sayang. Sebagai seorang murid baru yang merasa dirinya terpisah dari keluarga Song, merasa dirinya sebagai “orang luar” yang sebetulnya tidak berhak, ia tidak berani mencampurkan diri ikut berkabung dengan anak cucu kakek Song. Akaa tetapi selama kakek itu meninggal sampai dikuburnya, bocah ini tidak tidur dan hampir tidak mau makan kalau tidak dipaksa karena malu hati kepada Tek Hong yang menjadi orang satu satunya yang suka memperhatikan bocah ini. Mukanya menjadi pucat dan nampak kurus, akan tetapi sepasang matanya bersinar sinar penuh kebencian dan kemarahan ketika ia menyerbu tosu yang menyerang makam suhunya dengan sumpit itu.
Tosu yang mengaku berjutuk Pat pi Locu (Nabi Locu Bertangan Delapan) ini tertegun ketika melihat bocah yang mengaku sebagai murid Thian te Kiam ong ini. Bagaimana kakek Song itu dapat mempunyai seorang murid yang usianya baru enam tahunan? Dan ia melihat betapa serangan bocah itu sama sekali tidak ada artinya, sungguhpun gerakan gerakannya merupakan dasar gerakan ilmu silat tinggi, namun jelas ternyata bahwa bocah ini belum memiliki kepandaian, akan tetapi dasar dasar gerakan yang baik sekali ditambah ketabahan dan semangat besar itu membuat Pat pi Lo cu memuji kagum.
“Kemala belum digosok! Anak baik sekali!” Ia tidak menghiraukan pukulan pukulan kedua tangan Beng Han yang diarahkan ke perut dan bagian tubuh mana saja yang dapat dipukul. Bing Han merasa seperti memukul gunung batu karang kedua kepalan tangannya sakit sakit, akan tetap dengan nekat ia memukuli terus, sambil tiada hentinya memaki, “Tosu jahat, jangan ganggu makam suhu!”
“Beng Han, mundur!” Tek Hong membentak sutenya yang dianggapnya lancang itu. Kemudian ia menarik tangan bocah itu sehingga Beng Han terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Bocah itu masih mengepal kedua tinjunya dan matanya masih melotot terus menatap tosu itu. Dengan tenang Song Tek Hong mengambil sumpit kedua dari depan bongpai, lalu berkata.
“Totiang, kau datang datang menyerang makam ayahku, terpaksa aku membalas perbuatanmu dengan serangan yang sama!” Setelah berkata demikian, sumpit di tangannya itu melayang dengan cepat sekali, meluncur bagaikan anak panah menuju ke dada tosu jubah kuning itu. Dengan mengeluarkan suara “bret!” sumpit itu menembusi jubah dan menancap pada dada Pat pi Locu, menancap hampir setengahnya seperti anak panah tenartcap di batang pohon saja. Akan tetapi tosu itu tidak roboh malahan tertawa sambil mengangguk angguk. “Tidak jelek, tidak jelek....! Tenagamu cukup hebat.” Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tubuhnya dan... sumpit yang menancap pada dadanya itu meluncur keras dan jatuh di tempat yang jauh, tidak kurang dari lima tombak dari tempat ia berdiri. Jubah pada dadanya masih berlubang akan tetapi tidak adanya darah sedikit pun juga membuktikan bahwa ia tidak terluka, Melihat itu, tahulah Tek Hong dan yang lain lain bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang lweekangnya sudah mencapai tingkat tinggi daripada tingkat mereka. Maka mereka bersikap hati hati.
“Bagus, bagus, jadi sicu ini putera Thian te Kiam ong?” kembali tosu itu berkata sambil memandang Tek Hong dengan penuh perhatian.
“Betul aku adalah Song Tek Hong dan Thian te Kiam ong adalah ayahku. Totiang siapakah dan apa artinya semua perbuatan totiang yang tidak pada tempatnya ini?”
Tosu itu tertawa terbahak bahak sambil berdongak ke udara.
“Aku orang sial, kalau dua hari sebelum ayahmu mati aku datang, tentu akan terlaksana idam idaman hatiku. Aku dipanggil orang Pat pi Locu dari barat. Karena sudah puluhan tahun aku mendengar betapa tokoh tokoh dari barat terutama dari Tibet, roboh oleh pedang ayahmu yang disebut Kim kong kiam, maka sengaja aku datang jauh jauh dari tempat yang ribuan mil jauhnya, hanya untuk mencoba ilmu pedang dari Raja Pedang. Tidak tahunya Si Raja Pedang telah mati. Di dunia ini mana ada Raja Pedang ke dua? Kecuali....” Tosu itu memandang kepada Tek Hong dengan meragukan, “kecuali kalau ada di antara anak cucunya yang telah mewarisi ilmu pedangnya. Hmm, sekiranya ada, boleh juga dia itu mewakili Thian te Kiam ong, hendak kubuktikan apakah kepandaian Raja Pedang itu dapat menahan ilmu pedangku selama duapuluh jurus.”
Kata kata ini merupakan tantangan dan hinaan terhadap nama besar Thian te Kiam ong. Beng Han berteriak,
“Tosu bau! Tunggulah kau sepuluh tahun lagi! Aku Thio Beng Han akan mewakili suhu dan memberi hajaran kepada kau ini manusia sombong! Suhu ketika hidupnya memang seorang pendekar besar yang patut disebut Raja Pedang, siapa yang tidak tahu akan hal ini? Kecuali kau, tosu bau yang sombong!”
“Beng Han, diam!” kembali Tek Hong membentak. Ia maju selangkah, memberi hormat kepada tosu itu. “Totiang, kau tentu tahu bahwa kami keluarga Song sedang berkabung dan diliputi kedukaan. Kau seorang beragama apakah tidak dapat merasai hal ini dan tidak mau menghormat perkabungan? Dalam keadaan seperti ini, kami menysal tak dapat melayani kehendakmu yang mencari cari keributan. Datanglah tiga tahun lagi setelah kami melepaskan perkabungan.”
“Ha, ha, ha, aku hanya hendak menguji ilmu pedang dari Thian te Kiam ong. Siapa meghendaki keributan? Aku mau membuktikan apakah betul betul ilmu pedang Thian te Kiam ong tidak terkalahkan. Kalau diantara kalian tidak ada yang menuruni Thian te kiam ong dan tidak becus mainkan pedang, sudahlah, memang nasibku yang sial.”
Baru saja ia menutup kata katanya, terdengar “sreet!” dibarengi sinar berkilauan dan di lain saat Song Tek Hong, Ong Siang Cu, Song Siauw Yang, Liem Pun Hui, Song Bu Hui dan Liem Kong Hwat enam orang telah mencabut pedang masing masing hampir berbareng dan menodongkan ujung pedang pada tosu itu. Gerakan mereka, kecuali Liem Pun Hui seorang yang ilmu silatnya masih rendah adalah amat cepat dan luar basa sehingga Pat pi Lo cu menjadi tercengang.
“Aduh.... aduh.... hebat. Pantas sekali kalau disebut bahwa keluarga Song adalah keluarga pendekar pedang besar. Akan tetapi, apakah kalian enam orang ini hendak mengeroyok aku seorang? Ha, ha, ha!”
“Tosu sombong, untuk memukul anjing saja mengapa harus menggunakan tongkat besar? Tak perlu orang orang tua yang maju, aku seorangpun cukup untuk melayanimu. Kau majulah!” Yang berkata demikian ini adalah Song Bi Hui. Gadis ini memang berdarah panas dan berwatak keras seperti ibunya, lagi pula ia berani sekali. Sejak tadi ia sudah mendongkol sekali melihat lagak tosu ini, hanya ia tahan tahankan hatinya karena ia takut kepada ayahnya. Sekarang, dengan pedang di tangan ia menantang tosu itu secara terang terangan.
Tantangan sudah terlanjur dikeluarkan, Tek Hong dan yang lain lain tidak dapat menarik kembali untuk menjaga nama besar keluarga mereka Hanya Tek Hong dan Siang Cu merasa gelisah sekali karena mereka maklum benar bahwa puteri mereka sama sekali bukan lawan tosu yang lihai itu. Agar jangan disangka hendak mengeroyok terpaksa yang lain lain mengundurkan diri, kecuali Liem Kong Hwat. Ketika Song Siauw Yang menyuruh puteranya mundur, pemuda ini berkata. “Ibu, biarkan aku membantu adik Bi Hui menghadapi mereka!”
“Ha, ha, ha! Apakah ini juga anak anak murid dan Thian te Kiam ong?” tosu itu bertanya.
“Kami berdua adalah cucu dari Thian te Kiam ong. Tak perlu orang tua kami maju, kami berdua cukup untuk mengusir kau, tosu jahat!” sahut Bi Hui dengan pedang melintang di dada, sikapnya garang dan gagah sekali. “Suhu, sudah jauh jauh ikut dengan suhu, berilah teecu berdua kesempatan untuk main main dengan ilmu pedang dan Thian te Kiam ong juga. Kalau teecu berdua kalah, baru suhu yang melayani mereka,” kata seorang di antara dua orang laki laki yang sejak tadi mendampingi Pat pi Lo cu. Mereka ini adalah murid murid dan Pat pi Lo cu. Keduanya orang orang berbangsa Mongol yang sudah sejak kecil berada di Tibet dan nama mereka adalah Ma Thian dan Ma Kian. Sebagai murid murid dari Pat pi Lo cu yang tersayang, mereka ini memang gagah perkasa dan berilmu tinggi.
Ketika Pat pi Lo cu sambil tersenyum mengangggukkan kepala dan melompat mundur, dua saudara kembar she Ma ini lalu mencabut pedang dan menghadapi Bi Hui dan Kong Hwat.
“Kami berdua saudara Ma mohon dari ji wi siauwhiap (kedua pendekar muda)!” Memang mereka adalah kakak beradik kembar yang amat terkenal di dunia barat dengan nama julukan mereka See thian Siang cu (Sepasang Mustika dari Barat). Mereka ini sebetulnya Lo cu dan sejak tadi orang sudah tertarik melihat persamaan itu.
Bi Hui yang tidak sabaran tidak mau berlaku sungkan sungkan lagi. Pedangnya berkelebat cepat melakukan serangan kilat bertubi tubi, disusul oleh Kong Hwat yang tidak mau ketinggalan. Dibandingkan dengan Kong Hwat, ilmu pedang dari Bi Hui biarpun dari satu cabang, namun lebih banyak ragamnya, serta lebih berkembang kembang. Dasarnya memang Kim kong Kiam sut, akan tetapi ilmu pedang ini tidak sembarangan dapat ditatih oleh semua orang. Amat sukar dan dilihat dan latihan latihannya saja, agak membosankan dan seperti tidak ada gunanya. Oleh karena itu jarang orang yang dapat melatih diri sampai sempurna betul. Bahkan Tek Hong dan Siauw yang sendiri yang menerima langsung dari kakek Song, masih belum dapat memetik setengahnya dari ilmu pedang ayah mereka.
Oleh karena inilah maka Bi Hui mencampur pelajaran ilmu pedang ayahnya dengan ilmu pedang dari ibunya yang memiliki ilmu pedang yang amat ganas dan tangkas, warisan dari ilmu kepandaian Lam hai Lo mo. Dalam ilmu pedang, di antara dua orang cucu Thian te Kiam ong ini. Bi Hui lebih ungggul dan berbahaya. Akan tetapi, Kong Hwat lebih tenang dan memiliki keuletan serta tenaga lweetang yang lebih besar.
Akan tetapi, dua orang muda yang biasanya amat bangga akan kepandaian mereka yang memang sudah amat tinggi kalau dibandingkan dengan orang orang muda sebaya, kali ini menemui tandingan setimpal. Sepasang saudara kembar itu ternyata memiliki ilmu pedang yang kuat dan cepat, juga tenaga mereka besar. Yang lebih membingungkan adalah karena mereka itu tidak saja bermuka sama, berpakaian sama. akan tetapi juga gerakan ilmu pedang mereka serupa benar dan mereka bertempur secara berganti ganti, sebentar seorang melayani Bi Hui, lalu dengan gerakan teratur dan cepat ia telah berganti lawan, menghadapi Kong Hwat. Di “kocok” seperti ini oleh sepasang saudara kembar yang cocok dalam kerja samanya, Bi Hui dan Kong Hwat menjadi bingung juga. Akan tetapi dua orang muda ini adalah keturunan pendekar pendekar besar, ilmu silat mereka mempunyai dasar yang ampuh dan hebat, maka dua orang saudara kembar itu masih belum dapat dikatakan menang, sungguhpun tak dapat disangkal pula mereka berada di pihak yang menekan.
Limapuluh jurus berlalu dengan cepatnya dan pertempuran di makam pendekar pedang besar Thian te Kiam ong masih berlangsung terus dengan hebat. Benar benar luar biasa sekali Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Tidak saja di waktu hdupnya terkenal sebagai Raja Pedang dan tokoh kang ouw yang terkenal, bahkan untuk “merayakan” hari pemakamannya saja di tanah kuburannya dilakukan pertempuran pedang yang hebat! Benar benar merupakan “penghormatan” istimewa bagi makam kakek Song Si Raja Pedang.
Tiba tiba berkelebat bayangan kuning di dahului oleh sinar pedang putih yang menyerbu masuk ke dalam kalangan pertempuran.
“Cring cring cring cring....!” Empat batang pedang dari Bi Hui, Kong Hwat, dan kedua orang lawannya terpental oleh sinar pedang putih itu dan empat orang ini dengan cepat melompat ke belakang. Ternyata bahwa yang menolak empat pedang itu adalah Pat pi Lo cu yang kini telah berdiri di tengah dengan pedang di tangan dan tersenyum senyum.
“Cukup! Dapat menghadapi murid muridku selama limapuluh jurus, tanda bahwa kedatanganku tidak sia sia! Cucunya begini lihai, tentu anak dari Thian te Kian ong cukup berharga untuk memberi pelajaran kepadaku Song sicu, majulah mewakili ayahmu, mari kita main main saling menukar siasat ilmu pedang, hitung hitung ukuran sampai di mana tingginya Kim kong Kiam sut dan Tee coan Liok kiam sut!”
Pat pi Lo cu agaknya tidak tahu bahwa dahulu kakek Song telah mempelajari ilmu pedang dari Bu tek Kiam ong dan ia telah berhasil menggabung semua ilmu pedang yang pernah ia pelajari menjadi semacam ilmu pedang yang luar biasa, dan biarpun tetap ilmu pedang itu diberi nama Kim kong Kiam sut sesuai dengan nama pedang yang dipergunakannya, namun sudah jauh bedanya dengan Kim kong Kiam sut yang di pelajarinya dari Kim Kong Taisu.
Mendengar tantangan Pat pi Lo cu ini, Song Tek Hong dan Song Siauw Yang melompat maju, keduanya sudah membawa pedang di tangan.
“Apakah niocu juga anak dan Thian te Kiam ong?” tanya Pat pi Lo cu sambil memandang kepada Siauw Yang yang bersikap gagah “Betul! Kami berdua adalah keturunan dari Thian te Kiam ong. Kau ini tosu tak tahu adat berani sekali menghina makam ayah, benar benar sudah bosan hidup!”
Pat pi Lo cu tertawa bergelak, kelihatannya senang sekali. “Ha, ha, bagus! Kalau ada dua anak Thian te Kiam ong, baru seimbang. Tokoh tokoh Tibet bilang bahwa ilmu kepandaianku yang dangkal hanya kurang lebih setengah kepandaian Thian te Kiam ong. Maka kalau kalian telah mewarisi setengah dari ilmu pedang ayah kalian, benar benar aku akan menghadapi bahaya yang hangat dan menyenangkan. Majulah.”
Tek Hong tadinya tidak bermaksud mengeroyok, karena sebagai seorang pendekar pantang baginya melakukan pengeroyokan. Akan tetapi karena ia maklum bahwa kepandaian kakek ini lebih tinggi daripadanya, dan melihat pula betapa kakek ini menantang mereka berdua, ia merasa girang dan lega bahwa adiknya telah maju membantunya.
“Kalau kau berkukuh hendak memberi pelajaran kepada kami, silahkan, totiang!” kata Tek Hong sambil memasang kuda kuda, diikuti oleh Siauw Yang. Dua orang ini adalah ahli pedang ahli pedang yang ternama sebagai ahli waris Thian te Kiam ong Song Bun Sam, di waktu mudanya kedua orang ini telah menggemparkan dunia kang ouw. Seorang diantara mereka saja sudah merupakan lawan yang amat tangguh dan jarang dapat dikalahkan, apalagi sekarang maju berbareng! Akan tetapi, yang mereka hadapi bukan orang sembarangan. Pat pi Locu adalah seorang tokoh besar di Tibet dan sekitarnya Untuk wilayah barat, nama besar Lo cu Berlengan Delapan ini sudah terkenal sekali. Kiranya hanya beberapa orang guru besar di Tibet atau para Lama tua yang sakti saja yang dapat direndengkan dengan Pat pi Lo cu. Dahulu banyak tokoh tokoh Tibet yang roboh oleh Thian te Kiam ong, di antara mereka adalah Sim thauw hud (Buddha Bekepala Tiga) dan Ang tung hud (Buddha bertongkat Merah) yang menjadi ketua dari Lama aliran Jubah Hitam di Tibet. Mereka berdua ini lihai sekali, namun apabila di bandingkan dengan Pat pi Lo cu, mereka kiranya masih kalah setingkat. Ketika mereka dahulu roboh oleh Thian te Kiam ong, Pat pi Locu masih muda sekali. Sudah sejak mudanya ia mendengar nama besar Thian te Kiam ong yang berturut turut merobohkan tokoh tokoh besar Tibet, bahkan juga See san Ngo sian (Lima Dewa dan See san), para ketua Cheng i pai (Aliran Jubah Hijau) raboh oleh Raja Pedang itu. Tentu saja Pat pi Lo cu menjadi tertarik dan kagum, juga penasaran. Maka ia tidak mau turun gunung, terus saja memperdalam ilmu silatnya dengan idam idaman hati ingin menantang pibu dan mengalahkan Thian te Kiam ong. Oleh karena itulah maka ia khusus mempelajari ilmu pedang dan boleh dibilang semua ahli pedang di daerah barat telah ia petik kepandaiannya, kemudian semua ilmu pedang dari barat itu ia olah sedemikian rupa menjadi ilmu pedang yang luar biasa lihainya. Karena ia mempunyai nama julukan Nabi Lo cu, maka ia memberi nama pada ilmu pedangnya itu Lo cu Kiam hoat.
Pertempuran pedang itu terjadi dengan amat seru dan hebatnya, jauh lebih ramai daripada pertempuran antara dua orang cucu Thian te Kiam ong melawan dua saudara kembar tadi. Gerakan Tek Hong tenang dan kuat, sebaliknya Siauw Yang cepat dan cekatan, sehingga dua buah pedang ini merupakan sepasang pedang yang saling bantu dari kanan kiri dengan keistimewaan dan kelihaian masing masing. Akan tetapi, pedang bersinar putih dari Pat pi Lo cu yang berada ditengah tengah. sinarnya bergulung gulung dan melayani dua pedang lawannya.
Pada saat yang baik, Pat pi Lo cu memutar cepat pedangnya dan sengaja mengadu pedang putihnya menghantam pedang kuning emas di tangan Tek Hong.
“Traang!” dan alangkah kagetnya hati Tek Hong ketika melihat ujung pedangnya patah! Benar benar hal yang tidak mungkin. Bagaimana Kim kong kiam bisa patah oleh lain pedang? Ia melompat mundur dan memandang pedangnya. Makin besar kagetnya melihat dari patahan itu bahwa pedangnya hanya pedang biasa yang dibungkus emas sehingga dari luar memang serupa benar dengan Kim kong kiam.
“Ini bukan Kim kong kiam....” tak terasa lagi Tek Hong berseru. Siauw Yang juga terkejut dan melompat mendekati kakaknya.
Adapun Pat pi Lo cu tertawa mengejek akan tetapi suaranya kecewa ketika ia berkata, “Ah, jangan kata setengahnya, seperempatnya pun kalian belum menguasai ilmu pedang Thian te Kiam ong. Sayang, kedatanganku sia sia saja, ilmu pedang yang kalian miliki itu masih jauh untuk pantas disebut raja raja pedang! Biarlah lain kali kalau kalian atau anak anak kalian sudah maju ilmu pedangnya dan sudah mewarisi semua kepandaian Thian te Kiam ong, aku datang lagi!” Setetah berkata demikian, Pat pi Lo cu mengjak dua orang muridnya pergi dan situ.
Ong Siang Cu sudah mencabut pedangnya hendak menyerang tosu itu, akan tetapi Tek Hong memegang lengan isterinya dan berkata,
“Sudahlah, memang dia betul. Kepandaiannya masih lebih tinggi daripada kepandaian kita. Yang lebih penting adalah pedang Kim kong kiam ini. Mengapa tiba tiba saja menjadi pedang palsu? Dimanakah pedang yang aslinya?” Semua orang tak mengerti, dan setelah upacara pemakaman itu selesai semua, Tek Hong cepat cepat mengajak semua orang pulang karena a hendak mencari Kim kong kiam.
Akan tetapi, sia sia saja, Kim kong kiam yang aseli tidak dapat mereka temukan. Hanya seorang saja yang tahu di mana adanya Kim kong kiam dan orang ini adalah Beng Han. Ingin ia membuka mulut memberi tahu kepada Tek Hong yang sedang bingung, akan tetapi kalau ia teringat akan pesan suhunya, ia tidak berani membocorkan rahasia ini dan menutup mulutnya.
“Ayah tentu sudah tahu akan keadaan pedang palsu ini,” kata Tek ong kepada isterinya dan adiknya, “tak mungkin ayah yang berkepandaian tinggi dan waspada tak dapat membedakan yang aseli dan palsu. Akan tetapi sengaja ayah memesan supaya pedang ini disimpan di rumah Siauw Yang. Apakah gerangan maksudnya? ”
“Benar benar aneh. Di mana adanya pedang yang tulen?” tanya Siauw Yang mengerutkan kening. “Yang palsu suruh menyimpan aku, habis yang tulen ayah berikan kepada siapakah?”
Ong Siang Cu sejak mudanya berwatak keras dan mudah tersinggung, maka mendengar kata kata Siauw Yang ini, ia berkata, “Adik Siauw Yang, sudah terang bahwa pedang Kim kong kiam yang tulen tidak diberikan kepada kami!” “Siapa menduga begitu, so so (kakak ipar)?” kata Siauw Yang tersenyum masam.
Memang wanita paling mudah tersinggung dan paling mudah cakar cakaran. Hal ini sudah di maklumi oleh Tek Hong yang segera mengadang, “Sudahlah, tak perlu saling menaruh curiga. Yang penting, marilah kita bersama berusaha untuk mencari di mana adanya pedang pusaka itu.”
“Betul apa yang dikatakan oleh twako,” kata Pun Hui. “Lebih baik kami besok pulang saja, dan jangan lupa kitapun harus menyelesaikan pesan tentang perjodohon anak kita.”
Siauw Yang dan suaminya lalu mengundurkan diri dan berkemas di kamar mereka, siap untuk berangkat besok pagi.
0odwo0
Bi Hui duduk seorang diri di dalam taman bunga di belakang rumahnya. Taman bunga ini luas dan indah, apalagi malam itu ditimpa cahaya bulan purnama, amatlah indahnya. Akan tetapi segala keindahan ini agaknya tidak terlihat maupun terasa oleh dara itu, ia duduk sambil menundukkan muka, keinginannya berkerut dan beberapa kali ia menarik napas panjang panjang.
“Hui moi....” terdengar bisikan halus dari belakangnya.
Bi Hui tidak menoleh, juga tidak menjawab hanya kini matanya menatap tanah di bawah kakinya menjadi basah dan tak lama kemudian dua butir air mata menitik turun.
Kong Hwat menghampiri gadis itu, berjalan memutar dan berdiri menghadapinya. Wajah pemuda ini nampak muram. “Bi Hui apakah kau juga.... seperti aku pula....
memikirkan tentang perjodohan yang tak menyenangkan hati kita itu ?”
Bi Hui tetap bertunduk, hanya kini ia mengangguk anggukkan kepalanya.
“Memang kong kong terlalu sekali! Mengapa ia meninggalkan pesanan yang gila gilaan itu? Mengapa ia hendak menghalangi kebahagiaan kita dan mencampuri urusan kita? Celakanya orang orang tua kita sudah menyetujui. Benar benar orarg orang tua itu mau enaknya sendiri saja,” kata Kong Hwat dengan gemas dan orang orang tentu akan terkejut mendengar kata kata seperti ini keluar dari mulut pemuda yang biasanya berbakti dan perdiam itu.
Biarpun Bi Hui sedang berduka karena keputusan kong kongnya, dan biarpun ia seorang gadis keras kepala, keras hati dan mudah marah, sekarang mendengar kong kongnya dan orang tuanya di cela oleh Kong Hwat, ia segera memandang pemuda itu dan menambah,
“Koko, jangan kau bicara seperti itu! Kita tidak boleh menyalahkan kong kong, karena kong kong hanya melakukan sesuatu demi kebaikan kita. Mana kong kong tahu menahu tentang.... tentang.... kita? Karena kong kong bersahabat baik dengan Sin tung Lo kai, maka ia meninggalkan pesan itu. Dan tentang orang tuaku, mereka juga tidak bersalah. Mereka hanya melakukan hal yang sudah sewajarnya, yaitu mentaati pesan orang tua sebagai anak anak yang berbakti. Bagaimana kau dapat mencela mereka?”
“Akan tetapi, Hui moi....!” Kong Hwat berseru penasaran sekali. “Apakah kau juga hendak nenyetujui pesanan gila itu? Apakah kau mau menjadi jodoh cucu pengemis jembel itu?”
Kong Hwat masih terlalu muda untuk dapat mengerti watak Bi Hui. Watak dara ini terlalu keras hati, dan biasanya kekerasan hanya akan luluh oleh kelemasan. Andaikata Kong Hwat bersikap lemah dan nelangsa, kiranya Bi Hui akan menaruh kasihan dan aku membela pemuda yang dicintai ini. Akan tetapi kekerasan tak dapat dilawan dengan kekerasan pula, sebab bisa menimbulkan bunga api. Bi Hui menjadi merah mukanya mendengar ejekan Kong Hwat itu. Lalu balas bertanya,
“Kalau kau bagaimana?
“Aku? Hah, aku tidak sudi dengan cucu pengemis itu!” Tiba tiba Bi Hui berdiri, kedua tangannya dikepalkan,
kepalanya dikedikkan dan ia berkata marah, “Kalau begitu kau seorang pemuda yang tak tahu diri, seorang pemuda yang tidak berbakti!”
Kong Hwat terkejut dan melangkah maju, dipegangnya lengan tangan Bi Hui.
“Bi Hui....! Mengapa kau bilang begitu? Bukankah kita saling.... mencinta ?”
“Siapa bilang ?”
“Bi Hui, bukankah dulu pernah kau bilang bahwa kau akan berbahagia sekali kalau kelak menjadi jodohku ?
Bukan menjadi saksi ”
“Memang betul, akan tetapi aku bodoh. Aku tidak tahu bahwa kau sesungguhnya seorang pemuda yang tidak berbakti, seorang pemuda murtad dan berhati palsu. Sebelum kong kong meninggal kau selalu mendekati kong kong, aku tahu karena kau ingin sekali diwarisi Kim kong kiam dan Kim kong Kiam sut. Sekarang, baru saja kong kong meninggal kau sudah mencaci makinya, juga orang orang tua kita kau caci maki. Aku tidak menyangka kau seorang muda tak kenal budi !”
“Bi Hui, jangan kau bilang begitu., ! Semua ini karena
cintaku kepadamu. Aku lebih baik mati daripada melihat kau bersanding dengan seorang pengemis dan aku sendiri dipaksa menikah dengan perempuan pengemis. Bi Hui, ingatlah akan kebahagiaan kita. Mari kita lari minggat saja berdua!”
Sambil berkata demikian, Kong Hwat maju dan mencoba memeluk pundak gadis itu.
“Tidak, aku tidak sudi!” teriak Bi Hui marah sambil merenggutkan tangannya yang dipegang.
“Bi Hui, kekasihku, jantung hatiku tidak ingatkah kau
betapa aku telah bersumpah akan bersetia kepadamu, mencintaimu sampai mati.....?” Kong Hwat merayu dan menyambar pula tangan Bi Hui.
“Kau bersumpah, bukan aku!!” Kembali Bi Hui merenggutkan tangannya.
“Bi Hui, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku lebih baik mati daripada kehilangan cinta kasihmu. Mari kita pergi dari sini, sekarang juga, Bi Hui, manisku....” Dengan gerakan cepat Kong Hwat memeluknya.
“Kau kurang ajar!” Bi Hui menampar.
Kong Hwat miringkan kepala dan menangkap pergelangan tangan kanan yang menamparnya itu. Bi Hui membalikkan lengan dan mengirimkan pukulan siku yang disodokkan ke dada pemuda itu. Kong Hwat terpaksa melepaskan pegangannya, dan pemuda yang telah bernapsu itu kembali hendak memeluk. Ia berlaku nekat dan hendak membawa pergi piauw moinya dengan paksa.
Akan tetapi tiba tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan “plakk....!” Kong Hwat memekik kesakitan ketika mukanya ditampar keras sekali oleh bayangan itu yang ternyata adalah Ong Siang Cu! Bukan main kagetnya hati Kong Hwat melihat bibinya ini yang berdiri di situ dengan mata bercahaya marah.
“Jahanam! Tak kusangka bahwa kau ternyata seorang keparat yang tak tahu malu dan kurang ajar!” Ditahan tahannya kemarahannya. “Kalau tidak melihat muka ayah bundamu, tentu belum puas hatiku kalau belum melihat kepalamu menggelinding di atas tanah!”
Kong Hwat menutupi mukanya yang bengkak dan berlari masuk ke rumah samping di mana ayah bundanya bermalam.
Ong Siang Cu menghampiri puterinya yang duduk. Bi Hui berkata lemah, “Ibu.... mengapa kau pukul dia ?
Biarpun dia kurang ajar, akan tetapi.... dia kan masih keluarga kita sendiri ”
“Tidak perduli! Aku tidak takut! Biar siapa pun juga maju kalau tidak terima dia kupukul, aku takkan mundur!” kata Siang Cu yang sudah “naik pitam”! “Apakah dia tadi mencoba untuk mengganggumu?”
Bi Hui menggelengkan kepala. “Dia hanya mengajak aku minggat, ibu ”
“Minggat??? Jahanam besar, mengapa ia mengajak kau minggat?”
“Karena.... karena katanya untuk menghindar ikatan
jodoh dengan cucu cucu Sin tung Lo kai ” “Kurang ajar, ia memberi hasutan tidak baik kepadamu.
Hmm, akan kulaporkan kepada Siauw Yang ”
Akan tetapi hal ini tak perlu lagi karena terlihat bayangan berkelebat, diikuti bayangan lain yang tidak begitu gesit dan kelihatan Song Siauw Yang berdiri menghadapi Ong Siang Cu dan di belakangnya berlari lari Liem Pun Hui yang menyabar nyabarkan isterinya.
“Sabar.... sabar.... runding dulu....” kata Sasterawan ini. Akan tetapi Siauw Yang sudah habis sabarnya. Tak dapat disalahkan wanita yang hanya mempunyai seorang putera. Tadi melihat Kong Hwat masuk dengan muka bengkak bengkak dan mulut berdarah. Ketika ayah bundanya bertanya kaget, terputus putus ia bilang bahwa ia di tampar oleh Ong Siang Cu, lalu roboh pingsan.! Sebetulnya pemuda itu bukan pingsan karena sakit di mukanya, melainkan karena sakit di hatinya. Siauw Yang tak dapat menahan marahnya, cepat berlari lari ke belakang.
Begitu tiba di depan Siang Cu yang masih marah marah, Siauw Yang lalu menegur, “So so, kau apakan anakku tadi?” Saking marahnya ia tidak memakai banyak peraturan lagi dan tak dapat bicara banyak.
Ong Siang Cu terkenal memiliki watak keras sekali. Melihat sikap Siauw Yang, ia mengira bahwa tentu pemuda yang ditamparnya tadi telah mengadukannya kepada ibunya.
“Kutampar mukanya!” jawabnya lantang dengan sikap menantang, “Anakmu itu kurang ajar sekali, kalau bukan dia, tentu sudah kubunuh tadi tadi juga!”
Merah muka Siauw Yang mendengar ini, dadanya berombak dan alisnya berdiri. Bahkan Pun Hui ketika mendengar ucapan ini, merasa kaget dan berkata, “Mengapa? Apa salahnya Kong Hwat ???”
“So so, kau benar benar menghina kami. Kong Hwat bukan anakmu, bagaimana kau berani turun tangan, bahkan mengancam akan membunuhnya?”
“Kau yang tidak becus mengajar anak!” Siang Cu membentak marah, “Dia berani sekali malam malam mengajak bicara Bi Hui di sini, bahkan membujuk anakku untuk lari minggat. Bukankah anakmu itu gila?”
“So so, kau mau enak sendiri saja. Mau menang sendiri saja. Hanya orang buta yang tak dapat menyangka apa yang tumbuh dalam hati dua anak muda itu. Kau menyalahkan anakku, mengapa tidak menyalahkan anakmu sendiri yang tak tahu malu? Sebagai seorang perempuan, anakmu harus lebih tahu malu dan dapat menjaga diri. Sebaliknya, kau tidak menyalahkan anak sendiri dan berani memukul anakku sampai dia roboh pingsan. Aku tidak terima!”
Dada Siang Cu serasa hendak meledak saking marahnya. Dicabutnya pedangnya dan katanya menantang, “Habis kau mau apa? Kau membela anakmu yang jahat? Rupanya kaupun minta di hajar!”
“So so, kau begini sombong. Kapankah aku pernah kalah olehmu? Kaukira hanya kau saja orang yang mempunyai kepandaian? Demi membela anak majulah!” Siauw Yang juga sudah mencabut pedangnya dan di lain saat dua orang wanita itu sudah bertempur seru dengan pedang bagaikan dua ekor singa betina berebut mangsa. Bi Hui merasa malu dan tidak enak hati melihat dan mendengar percekcokan tadi, sudah lari ke dalam kamarnya dan menangis.
Adalah Pun Hui yang menjadi bingung sekali. Ia menjadi serba salah. Mau membela isterinya, kepandaiannya tidak seberapa, pula memang ia tidak ingin bertempur dengan keluarga sendiri. Mau melerai, ia tidak kuat, maklum bahwa kepandaian dua orang wanita itu tinggi sekali.
“Tahan.... jangan berkelahi....!” Ia berteriak berulang kali, akan tetapi dua orang wanita yang sudah marah sekali itu mana mau mendengarkan kata katanya? Akhirnya saking bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, Pun Hui berlari lari memasuki rumah untuk memanggil Tek Hong.
“Twako, lekas bangun! So so dan ibunya Kong Hwat bertempur hebat!”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Tek Hong ketika kamarnya digedor oleh Pun Hui dan mendengar laporan ini, ia cepat berdandan dan melompat keluar, tak lupa menyambar pedangnya di atas meja.
Benar saja, isterinya dan adiknya itu sedang bertempur dengan sengit, dua gundukan sinar pedang saling menggulung dan menyelimuti bayangan tubuh mereka di bawah sinar bulan. Hebat dan luar biasa pertempuran itu, dan lebih lebih amat berbahaya bagi kedua pihak, karena sedikit saja berlaku lambat tentu akan menjadi korban pedang lihai.
“Tahan senjata!” seru Tek Hong sambil menyerbu ke tengah pertempuran dan menggunakan pedangnya untuk menangkis pedang adiknya.
Melihat suaminya, Ong Siang Cu melompat mundur. Akan tetapi Siauw Yang menjadi marah ketika pedangnya ditangkis hingga terpental oleh Tek Hong ia tidak mau mundur bahkan menyerang Tek Hong sambil membentak, “Kau mau membela isterimu yang menghina ku? Boleh!”
Tek Hong kaget sekali melihat serangan ini, cepat ia mengerahkan tenaga menangkis pedang adiknya dan untuk mencegah Siauw Yang menyarang terus, ia menggunakan tangan kiri untuk mendorong. Tenaga lweekang dari Tek Hong amat besar dan kali ini Siauw Yang tidak menyangka akan serangan kakaknya, maka ia terkena dorongan sampai terhuyung buyung ke belakang dan akan jatuh. Baiknya suaminya cepat mendekatinya dan memeluknya.
Siauw Yang marah sekali, akan tetapi ia di pegang erat erat oleh suaminya yang berkata, “Sabarlah.... sabarlah....
twako datang karena kupanggil ”
Sementara itu, Tek Hong sudah mendengarkan penuturan isterinya tentang Kong Hwat. Mendengar betapa Kong Hwat membujuk Bi Hui untuk minggat, maka Tek Hong metjadi merah padam.
“Siauw Yang,” katanya, suaranya kaku. “Kau benar benar tidak mau berpikir panjang. Anakmu perlu kauberi pengertian, perlu kau tegur, kalau tidak ia kelak akan menyeleweng. Urusan begini saja kau sampai ribut ribut dengan so somu. Kalau so somu sampai menampar Kong Hwat, apakah salahnya itu? Bukankah sudah sepatutnya seorang bibi memberi hajaran kepada keponakannya? Mengapa kau marah marah?”
“Kau berat sebelah! Kalau aku tampar muka Bi Hui sampai bengkak bengkak dan mulutnya berdarah lalu pingsan, apakah kau akan membolehkannya begitu saja?” Siauw Yang balas membentak bentak kakaknya.
“Kalau memang Bi Hui bersalah seperti anakmu yang kurang ajar itu, mengapa tidak boleh?” Siang Cu berkata.
Dua orang ibu yang saling membela anaknya itu tentu akan ribut ribut lagi kalau saja Pun Hui tidak cepat cepat melangkah maju dan berlutut di depan Tek Hong dan Siang Cu. “Twako dan so so, siauwte sebagai orang muda rela dihukum untuk menebus dosa isteriku. Memang kami yang bersalah, sebagai orang orang muda telah berani menantang kaum tua. Ampunkanlah kami....” Sikap dan ucapan Pun Hui ini merupakan pukulan yang lebih hebat dan tepat daripada Siauw Yang yang menggunakan pedangnya untuk ribut ribut. Tek Hong memandang isterinya dan membalas penghormatan iparnya itu dengan menjura.
“Jangan begitu. Pihak kami juga bersalah. Sebetulnya, urusan antara keluarga harus diselesaikan dengan jalan damai,” katanya.
Siauw Yang membetot tangan suaminya, “Hayo kita pulang ke Liok can. Sekarang juga!”
“Malam malam begini....?” jawab Pun Hui, sengaja untuk mencegah agar keberangkatan mereka yang ganjil ini tidak memimbulkan perhatian dan kecurigaan para pelayan dan orang luar.
“Kau tidak mau pulang? Baik, aku dan Kong Hwat akan pulang berdua. Kau boleh tinggal di sini menerima penghinaan orang!” kata Siauw Yang dan cepat cepat ia berlari menuju ke kamarnya. Pun Hui menggeleng geleng kepala dan menjura kepada Tek Hong, katanya, “Twako, harap saja urusan kecil ini tidak meretakkan persatuan keluarga Song.”
Tek Hong menjadi terharu dan malu karena sikap adik iparnya yang ia anggap jauh lebih bijaksana daripada sikap adiknya atau isterinya. Setelah Pun Hui pergi menyusul isterinya dan keluarga itu malam malam pergi meninggalkan Tit le, Tek Hong marah kepada isterinya dan anaknya. Kemudian ia mengejar rombongan itu.
-ooo0dw0ooo-