Pedang Sinar Emas Jilid 32

Jilid XXXII

KENG KI berdiri terpaku Tangan kanannya tergantung di belakang, tangan kiri menjambak jambak rambut, rasa nyeri punggungnya berdenyut denyut. Lebih baik kutinggalkan saja dia, ia termenung. Akan tetapi apa

jadinya kalau di tinggalkan? Dia akan kelaparan atau akan terjatuh ke dalam tangan orang yang takkan membiarkan saja wanita cantik ini tidak diganggu. Pula, ia sendiri sudah tidak punya apa apa, diusir mentah mentah oleh keluarga Thio, karena perempuan celaka ini, pikirnya. Tiba tiba ia mendapat pikiran yang amat baik. Mengapa tidak? Aku dapat membalasnya, juga menolongnya, dan menolong diriku sendiri. Keng Ki tersenyum.

“Tidak, Kui Lian. Kau tidak seharusnya mati, kau masih muda dan kau harus ingat akan anak di kandunganmu,”

katanya sambil menarik bangun Kui Lian dengan halus. Kui Lian merasa tertusuk hatinya diingatkan akan kandungannya, maka ia menangis tersedu sedu.

“Sudahlah, mari kau ikut saja dengan aku, aku akan mencarikan tempat tinggal yang baik untukmu,” Keng Ki menghibur

“Gan twako,   kalau   aku   tidak   mengingat   akan....

kandunganku ini.... aku lebih baik mati menyusul ayah bundaku ”

“Hushh.... sudahlah, adikku yang baik. Jangan putus asa, dunia masih terang, hidup masih panjang. Biadab orang orang jahanam seperti keluarga Thio terutama sekali Tho Sui pemuda keparat itu, cepat cepat mampus dimakan iblis di hari tahun baru ini. Angkat muka, Kui Lian, musim semi telah tiba, kau tidak boleh bermuram durja, rezeki akan pergi menjauhi kita kalau kita tidak menyambutnya dengan wajah berseri.”

Kui Lian merasa berterima kasih sekali. Alangkah baiknya hati Keng Ki Sambil memegang tangan pemuda itu erat erat, ia melangkah maju, penuh harapan untuk masa depan.

“Gan twako, hidupku selanjutnya hanya mengandalkan kepadamu saja,” katanya lemah. “Kau tertimpa bencana oleh karena aku, dan kau tidak sakit hati malah kau bersiap menolongku.... alangkah mulia hatimu ”

“Aah, jangan berkata demikian. Kita kan senasib? Asal selanjutnya kau taat kepadaku, ku tanggung kau akan mendapat tempat dan kedudukan yang baik.”

Maka berjalanlah dua orang itu, di hari tahun baru, di tempat sunyi sepi, menuju ke timur ke arah matahari, menyongsong terbitnya raja sehari. Kui Lian yang hatinya masih terluka oleh karena dikecewakan kepercayaannya terhadap manusia itu, kembali menerima pukulan batin yang hebat. Tadinya ia percaya penuh kepada Keng Ki, menggantungkan harapannya kepada pemuda ini yang ia anggap seorang yang semulia mulianya. Akan tetapi apakah yang terjadi?

Ketika mereka tiba di kota Kun san, Keng Ki bilang bahwa dia mempunyai seorang bibi di kota ini. Dengan segala senang hati Kui Lian mengikuti Keng Ki mampir di rumah bibinya itu. Ternyata bibi dan Keng Ki itu seorang janda yang sudah setengah tua, ramah tamah sekali, agak genit, rumahnya teratur rapi dan bersih, penuh bunga bunga dan di situ Kui Lian bertemu dengan empat orang wanita muda yang cantik cantik pulasan. Sikap mereka yang genit, bedak dan gincu tebal itu membuat Kui Lian merasa tidak enak dan tidak senang. Akan tetapi oleh karena bibi Keng Ki itu menyatakan bahwa empat orang wanita itu adalah anak anaknya, Kui Lian menelan kesebalannya dan bersikap halus dan ramah.

Di luar pengetahuan Kui Dan, Keng Ki telah main mata dengan perempuan setengah tua itu. Perempuan itu tersenyum senyum, kemudian mempersilahkan Kui Lian mengaso di ruangan dalam.

“Mengasolah dulu, adikku. Aku ada urusan penting sekali di sebuah kantor di kota ini, urusan pembelian rumah. Kalau sudah selesai, tentu aku akan datang menjemputmu.”

Kui Lian yang sudah percaya penuh kepada pemuda ini, tentu saja menurut, bahkan diam diam ia berdoa semoga pemuda itu segera berhasil dalam usahanya mencari rumah tinggal. Dan dia merasa senang diperbolehkan mengaso di dalam sebuah kamar seorang diri, di mana ia baringkan tubuhnya yang lelah dan sebentar saja ia tertidur nyenyak. Hari telah sore ketika Kui Lian terjaga dari tidurnya, ia terjaga karena suara ribut ribut dan ketika ia membuka matanya, ia melihat “bibi” tadi sudah berdiri di situ dan nampak marah marah.

“Hayo bangun! Enak saja kau sedari pagi tidur sampat sore. Jangan kira aku membelimu hanya untuk memeliharamu dan kau boleh malas malasan di sini. Lekas kau bersolek, itu bedak, itu yanci dan pakaianmu itu ganti dengan ini. Sebentar lagi gelap dan tamu tamu mulai datang.”

Karuan saja Kui Lian melongo. Dia adalah seorang wanita berasal dari dusun, kemudian hidup di dalam rumah keluarga Thio, tidak pernah keluar. Mana ia tahu bahwa ia telah tersesat ke dalam rumah pelcuran? Mana ia dapat menduga bahwa wanita wanita yang genit tadi adalah pelacur pelacur dan bahwa bibi ini bukan lain adalah seorang pedagang wanita? Mana ia tahu bahwa Keng Ki telah menjualnya kepada “bibi” ini?

“Bibi, apa.... apa artinya ini  ?” tanyanya gagap.

“Bibi. , bibi.... siapa bibimu? Mulai sekarang kau harus menyebutku Cia ma, tahu? Dan kau jangan pura pura tarik muka suci dan terheran heran. Aku membelimu dari orang muda itu seharga tiga puluh tael perak bukan untuk main main. Kau harus mulai melayani tamu malam ini juga!”

Kui Lian menjadi pucat sekali, matanya berkunang dan ia tentu roboh kalau tidak lekas lekas memegang pinggiran tempat tidur ia sekarang tahu, walaupun masih menduga duga.

“Apa....? Apa artinya ini....? Mana Gan twako? Bukankah dia mencari rumah dan sebentar akan datang ke sini menjemputku?” Cia ma menjadi marah, ia melangkah maju dan menarik tangan Kui Lian dengan paksa, menurunkannya.

“Jangan banyak tingkah! Apa betul betul kau masih berpura pura lagi? Bukankah kau bisa melacur di rumah keluarga hartawan? Masih berpura pura seperti seorang gadis suci saja lagi. Lekas bereskan dirimu, lalu bereskan pembaringan ini. Kau bikin kusut saja tidur sehari penuh. Atau kau mau dicambuk atau kuseret ke pengadilan karena hendak menipuku untuk tigapuluh tael perak?”

Benar benar Kui Lian terkejut dan bingung.

“Tidak!” katanya menggeleng geleng kepala, mukanya pucat dan kedua tangan diangkat ke atas menahan mulut yang hendak menjerit jerit. “Tidak.... aku tidak tahu apa

yang kaumaksudkan. Aku.... aku tidak mau tinggal di sini lagi.... aku mau pergi.... mencari Gan twako. Kau perempuan jahat!”

Melihat bahwa benar benar Kui Lian ketakutan dan agaknya tidak berpura pura, Cia ma menjadi agak sabar. Mungkin aku telah dibodohi oleh bangsat tadi. Ia membeli diri Kui Lian untuk tigapuluh tael perak dan mendengar dari Keng Ki bahwa Kui Lian adalah seorang bunga raja kelas tinggi yang pernah mejadi rebutan di rumah seorang hartawan besar sehingga gadis ini diserahkan kepadanya.

“Eh   nona, benar benarkan kau tidak tahu urusannya?

Pemuda tadi telah menjual dirimu kepadaku. Ini suratnya! Kau bisa baca? Nah, kau lihat sendiri, ini surat penjualannya. Kau sudah menjadi milikku yang syah. Aku membeli dirimu karena mendengar bahwa kau sudah biasa dengan pekerjaan ini. Kau harus melayani tamu tamuku.”

“Tidak, aku  tidak sudi, lebih baik kau bunuh aku.” Cia ma mengerutkan keningnya. “Eh, kenapa begitu? Kalau kau tidak mau bekerja, mana kembalikan uangku tigapuluh tael perak, ditambah sewa kamar untuk tidurmu tadi!”

“Dari mana aku dapat uang tigapuluh tael perak?” kata Kui Lian, hatinya berdarah, lukanya merekah lagi karena baru sekarang terbuka matanya bahwa Keng Ki tidak tebth baik danpada keluarga Thio!

“Kalau tidak punya uang, kau harus bekerja. Kau harus mengerti. Aku berhak memaksamu dengan surat penjualan ini dan tidak seorangpun di dunia ini dapat melarangku.” Muka Cia ma kelihatan begitu beringas dan ganas sehingga Kui Lian menjadi ketakutan.

“Nah, itu. Ada tamu tamu datang, lekas kau berhias!” kata Cia ma menoleh ke arah pintu.

“Eh, Cia ma....! Di mana kau? Mana bunga baru yang kau janjikan?” terdengar suara keras seorang pria dan disusul oleh suara ketawa laki laki lain.

“Tunggu, Teng kongcu.... aku sudah dapat. Tunggu dan duduklah sebentar!” kata Cia ma ke arah luar. Kemudian ia menoleh kepada Kui Lian dan berbisik, “Lekas kau berdandan. Rejeki nomplok! Yang datang itu adalah putera tihu, Teng kongcu!”

Akas tetapi Kui Lian sudah begitu ketakutan sehingga tiba tiba sambil terisak ia mendorong Cia ma ke samping, kemudian melarikan diri keluar.

“Heii....tunggu.... tangkap dia.... penipu! Hayo kembalikan uangku !” Cia ma mengejar dari belakang.

Dua orang laki laki muda yang menanti di ruangan depan, melihat seorang gadis cantik dengan rambut awut awutan berlari keluar dikejar oleh Cia ma, menjadi tertarik. 

Pemuda tinggi kurus yang tadi bicara, yaitu Teng kongcu putera tihu, cepat mengulur tangan dan menangkap lengan Kui Lian yang berlari di depannya.

“Lepaskan aku....! Lepaskan aku….!” Kui Lian meronta ronta. Akan tetapi oleh karena Cia ma berteriak teriak supaya pemuda itu jangan melepaskannya, Teng kongcu bahkan menarik dan memeluk tubuh Kui Lian sambil tersenyum senyum.

“Cia ma, kembang mawar hutan yang liar ini baik sekali!” Ia memuji.

Akan tetapi, sebelum Cia ma dapat menangkapnya tiba tiba Kui Lian menggunakan giginya yang putih dan kuat untuk menggigit tangan Teng kongcu sekuatnya.

“Aduuuhhh! Benar benar kuda betina liar....!” Pemuda itu berteriak kesaktian dan terpaksa melepaskan pelukannya, ditertawai oleh kawannya. Kui Lian berlari terus keluar dan ke jalan. Cia ma mengejar ngejar sambil memaki maki.

“Bangsat perempuan.... Tangkap, tangkap. Dia menipu uangku.... Tolong bantu tangkap!” Beberapa orang menghadang dan akhirnya Kui Lian tertangkap, dijambak rambutnya yang terurai dan diseret seret oleh Cia ma.

“Aku beri dia tigapuluh tael perak dan dia hendak lari. Banar benar penipu kecil!” Cia ma menerangkan kepada orang orang yang menonton di pinggir jalan.

Kebetutan sekali pada saat itu dari selatan datang seorang kakek yang amat aneh pakaiannya. Tambal tambalan bermacam macam warna. Potongan pakaian dan rambutnya seperti tosu. Tangan kanan memegang kebutan, tangan kiri memegang tongkat dan sepanjang jalan ia berteriak teriak. 

“Gwa mia....! Gwa mia....? Nasib manusia di tangan Thian akan terapi usaha manusia dapat mengurangi kesengsaraan dan menambah kebahagiaan! Gwa mia....

Gwa mia  !”

Ternyata ia seorang tosu tukang gwa mia, yaitu tukang peramal nasib orang. Jenggotnya yang panjang putih itu melambai lambai tertiup angin di depan dadanya, matanya jernih dan tajam seperti mata kanak kanak, bibirnya selalu tersenyum ramah.

Melihat ribut ribut antara Cia ma dan Kui Lian, tosu tukang gwa mia ini menghentikan teriakan teriakannya yang menawarkan pekerjaannya, lalu melangkah menghampiri Cia ma yang masih menyeret nyeret rambut Kui Lian.

“Heh, calon mayat busuk. Kau hidup tinggal tiga bulan lagi, tidak mencari jalan terang, bahkan memupuk dosa! Nyonya muda ini sedang mendapat kurnia Thian, mengandung seorang anak laki laki, bagaimana kau berani menyeret nyeretnya seperti itu?”

Biarpun suara ini halus dan mukanya tetap ramah, Cia ma kaget setengah mati sehingga ia melepaskan jambakan tangannya pada rambut Kut Lian yang hitam dan panjang. Kui Lian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu itu sambil menangis, Cia ma memandang kepada tosu dengan mata melotot, kemudian ia bengong melihat wajah tosu ini, mati kutunya ia tidak berani berlaku galak, karena wajah kakek itu benar benar mempunyai pengaruh yang besar sekali. Tubuh Cia ma mulai gemetar, apalagi kalau ia ingat kata kata kakek ini bahwa usianya tinggal tiga bulan.

“Dia.... dia telah menipu uangku tigapuluh tael. Aku membelinya akan tetapi ia hendak melarikan diri. Harap totiang suka pertimbangkan. Orang seperti aku yang miskin ini kalau ditipu tigapuluh perak, bukankah akan menjadi bangkrut?”

Tosu itu mengulurkan tangannya yang memegang kebutan kepada Cia ma.

“Nah, ini terimalah kembali uangmu. Aku tebus nyonya muda ini,” katanya.

Cia ma memandang dan dengan hati girang menerima tiga potong perak dari sepuluh tael sebuah. Tadinya ia sudah merasa jengkel dan khawatir sekali melihat keadaan Kui Lian, takut kalau kalau kali ini ia rugi. Tentu saja ia merasa girang mendapatkan uangnya kembali dan terlepas dari gadis yang nekat itu.

“Terima kasih, totiang, terima kasih,” katanya tersenyum senyum dan segera pergi dari situ, takut kalau kalau tosu itu berubah ingatan dan minta kembali uangnya. Akan tetapi tidak demikian dengan orang orang yang berada di situ. Bukan kejadian biasa seorang tosu aneh “membeli” kembali seorang gadis dari tangan tengkulak pelacur. Bahkan peristiwa yang luar biasa, sejak manusia tercipta sampai sekarang. Maka banyaklah orang di situ berkumpul, hanya untuk melihat apa yang selanjutnya akan terjadi dengan nona dan tosu itu. Cia ma sudah dilupakan orang seperti seorang pelaku yang sudah menghilang di balik layar.

“Anak, kau sudah bebas. Pulanglah kembali ke tempat asalmu,” kata tosu itu sambil mengipas ngipas lehernya dengan kebutan.

Mendengar kata kata ini, Kui Lian yang masih berlutut itu tiba tiba menangis sedih. 

“Totiang, dari mana tempat asalku kalau bukan alam baka? Kalau totiang menyuruh aku pulang kembali, bunuh saja aku ”

“Eh, eh, payah aku !” Tosu itu tertawa.

“Apa kati tidak punya rumah? Tidak punya orang tua atau keluarga?”

Kui Lian menggeleng kepala. “Aku seorang yatim piatu, ayahku kesengsaraan, ibuku penderitaan, totiang sudah menebus dan membeli diriku berarti aku milik totiang, terserah hendak totiang bawa ke mana.”

Tosu itu menggeleng geleng kepalanya.

“Anak baik, mari kau ikut padaku!” Tosu itu lalu mengulurkan tongkatnya yang dipegang oleh Kui Lian. Aneh sekali, begitu tangan gadis itu memegang ujung tongkat, ia merasa tubuhnya kuat. Tadi ia merasa lemas sekali, akan tetapi tongkat itu seakan akan mengalirkan hawa hangat yang menggetarkan tubuhnya dan mengusir kelelahan, sebaliknya mendatangkan tenaga. Tosu itu lalu berjalan, diikuti oleh Kui Lian yang masih memegangi tongkat.

“Bandot tua, kau yang sudah mau mampus ini masih tidak tahu malu menginginkan diri seorang perempuan muda? Gadis itu calon milikku!” Tiba tiba terdengar bentakan dan dua orang muda tahu tahu sudah melompat menghadang di depan tosu itu. Mereka ini bukan lain adalah Teng kongcu dan kawannya, seorang tukang pukul dan ahli silat di Kun san yang selalu berada di dekat Teng kongcu sebagai pelindung dan pelaksana tugas tugas kasar. Tukang pukul yang masih muda itu menyeringai dan menghampiri tosu tukang gwa mia itu dengan sikap mengancam, sedangkan Teng kongcu lalu menyambar tangan Kui Lian, hendak ditariknya. 

Kui Lian meronta dan membetot tangannya yang terpegang, dan.... Teng kongcu berteriak, tubuhnya terpelanting sampai jauh.

Melihat majikannya terpelanting dan terbanting di tanah berteriak teriak mengaduh, tukang pukul itu menjadi marah sekali, mengira bahwa Kui Lian telah memukul roboh majikannya.

“Anjing betina liar, berani kau memukul kongcu?” bentaknya dan tangan kanannya diulur untuk menjambak rambut Kui Lian yang masih terurai dan awut awutan. Karena ngeri dan takut menghadapi siksaan tukang pukul yang marah marah itu, Kui Lian mengangkat tangan kiri melindungi kepalanya, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat, karena ia tidak mau berpisah dengan kakek penolongnya.

Tangan tukang pukul yang mencengkeram itu bertemu dengan tengan yang halus dari Kui Lian dan terdengar

suara keras, “krak” lalu tubuh tukang pukul itu terlempar. Sambil memegangi lengan kirinya yang ternyata patah tulangnya, tukang pukul itu meringis ringis, akan tetapi kini menjadi jerit menghadapi gadis yang sekali tangkis dapat mematahkan lengan tangannya itu.

Kui Lan tidak mengerti, bahkan tidak mengira sama sekali apa yang telah terjadi. Tidak mengerti mengapa Teng kongcu dan tukang pukul nya terpelanting dan roboh setelah menyentuhnya.

“Anak yang baik, mari kita pergi, di sini banyak lalat busuk,” kata tosu itu perlahan lalu menarik tongkatnya dan Kui Lian mengikutinya dari belakang, berpegang pda ujung tongkat. Orang orang hanya memandang dengan mata terbelalak dan kini semua orang memandang Kui Lan dengan kagum, mengira bahwa gadis itu adalah seorang 

yang tiba. Karena ini tak seorang pun berani mengkuti kakek dan gadis itu sehingga sebentar saja mereka telah lenyap di satu tikungan jalan.

Tak lama kemudian, datang Cia ma berlari lari dan memaki maki. “Celaka.... tosu siluman.... dia telah menyihirku.”

Ketika semua orang datang bertanya, ia memperlihatkan tiga gumpal tanah di tangannya sambil memberi penjelasan. “Dia membeli gadis itu tiga puluh tael perak, akan tetapi lihat! Ketika sampai di rumah potongan perak itu berubah menjadi tanah. Mana orangnya? Tangkap! Aku harus menyeretnya ke pengadilan.”

Akan tetapi ketika Cia ma mengejar, diikuti oleh banyak orang yang ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, kakek dan gadis itu sudah lenyap.

Kita tinggatkan dulu Kui Lian, gadis yatim piatu yang selalu ditimpa kemalangan itu dan mari kita menengok ke lain tempat, di kota Tit le.

Telah berpuluh tahun di kota ini tinggal keluarga Song yang amat terkenal, apalagi di kalangan dunia kang ouw, keluarga Song ini amat disegani. Siapakah orangnya yang tidak mengenal kakek tua Song Bun Sam yang berjuluk Thtan te Kiam ong (Raja Pedang Langit dan Bumi)? Naga Sakti tentu berkeluarga naga sakti pula, demikian kata kalangan kang ouw. Di rumah kakek sakti ini juga tinggal orang orang yang berkepandaian tinggi. Mendiang isteri kakek ini dulu juga seorang pendekar wanita gemblengan, bernama Can Sian Hwa dan ilmu pedang serta ginkangnya sudah tersohor di seluruh kolong langit! Sekarang yang singgah di rumah besar dari pendekar tua ini adalah putera tunggalnya yang bernama Song Tek Hong, juga seorang ahli pedang yang telah mewarisi kepandaian ayahnya. Di samping putera ini tinggat pula mantu perempuannya yang dalam hal kelihaiannya tidak kalah oleh Song Tek Hong sendiri, karena mantu perempuan ini adalah Ong Siang Cu, murid mendiang Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, tokoh seperti iblis dari dunia selatan. Ong Sang Cu ini sebetulnya adalah anak dari Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee.

Selain anak dan mantu yang termasuk ahli ahli silat kelas tinggi ini, masih ada lagi cucu tunggal dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, yakni Song Bun Hui, puteri dari Song Tek Hong. Suami isteri yang saling mecinta ini ternyata hanya mempunyai seorang anak saja. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila ayah bundanya, juga kakeknya, amat sayang kepadanya dan amat memanjakan sehingga Bi Hui menjadi seorang anak yang manja sekali. Kini ia telah berusia limabelas tahun, cantik jelita, periang dan keras hati seperti ibunya, bagaikan setangkai bunga mawar hutan yang bebas liar sukar didekati.

Selain puteranya Song Tek Hong, Thian te Kiam ong Song Bun Sam masih mempunyai seorang puteri yang tidak kalah lihainya. Puteri ini bernama Song Siauw Yang, sudah menikah bahkan sudah mempunyai seorang putera yang sudah hampir dewasa, sebaya dengan Bi Hui. Song Siauw Yang menikah dengan seorang sasterawan bernama Liem Pun Hui dan putera tunggal mereka ini diberi nama Liem Kong Hwat, Keluarga Liem ini tinggal di kota Liok Can, tak jauh dari Tit le.

Pada waktu itu, keluarga Liem juga berada di Tit le karena mereka ini mendengar bahwa kakek Song menderita sakit berat. Memang kakek Song Bun Sam yang gagah perkasa ini betapapun lihai dan saktinya, harus mengaku kalah terhadap usia tua. Ia sudah berusia hampir tujuhpuluh tahun. Melihat kakek ini menderita sakit, anak cucunya datang menengok dan sampai sepekan keluarga Liem tinggal di rumah besar di Tit le itu.

Pada suatu hari, keluarga besar ini sedang bercakap cakap di luar sedangkan kakek Song beristirahat dan tidur nyenyak sehingga para anak cucunya berkesempatan mengobrol di luar, datanglah seorang kakek yang tua sekali, pakaiannya tambal tambalan, tangan kanan memegang tongkat, tangan kiri menuntun seorang bocah laki laki berusia kurang lebih empat tahun. Di punggungnya terselip sebatang hudtim (kebutan pertapa ) yaitu sebuah kebutan yang dipergunakan sebagai alat pengusir lalat.

Yang sedang mengobrol di luar adalah Song Tek Hong suami isteri, Liem Pun Hui suami isteri dan Song Bi Hui. Liem Kong Hwat tidak nampak karena pemuda ini sedang mendapat giliran menjaga kakeknya dengan para pelayan. Pemuda ini memang amat sayang kepada kakek yang ia kagumi lebih daripada ia mengagumi ayah bunda atau orang orang lain.

Melihat kakek yang keadaannya seperti tosu ini, Song Tek Hung, Song Siauw Yang, dan Ong Siang Cu terkejut. Tiga orang gagah ini sudah kenyang akan pengalaman di dunia kang ouw dan mereka sekali lihat saja dapat membedakan antara orang biasa dan aneh. Dan keadaan kakek yang datang ini benar benar aneh. Sukar sekali untuk menaksir usianya karena wajahnya masih kemerah merahan dan matanya seperti mata kanak kanak, akan tetapi jenggotnya yang putih sudah sampai di perut panjangnya.

Inilah kakek tukang gwa mia yang telah menolong Kui Lian lima tahun yang lalu! Dia tersenyum senyum melihat orang orang setengah tua yang gagah gagah itu dan memandang kagum kepada Bi Hui yang cantik jelita dan juga membayangkan sifat gagah perkasa. Kemudian ia mengangguk angguk.

“Hebat.... hebat.... di kolong langit ini mana ada keluarga yang lebih hebat daripada keluarga Song?” katanya seorang diri.

Song Tek Hong yang dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang luar biasa, segera bangun dari duduknya, menyambut kakek itu dengan sikap hormat, menjura dalam lalu berkata,

“Boanpwe mohon tanya, siapakah locianpwe dan kehormatan apakah yang locianpwe hendak berikan kepada kami keluarga Song?”

Kakek itu tertawa bergelak, lalu menunduk memandang kepada bocah yang digandengnya.

“Beng Han, kaulihat dan dengar, buka telinga dan mata baik baik dan kau akan dapat membedakan orang gagah dan orang busuk di dunia ini. Di depanmu berdiri keturunan orang gagah yang patut dihormati, seorang anggota keluarga hebat, maka kau kubawa ke sini.”

Bocah berusia empat tahun lebih itu mendengar kata kata ini, menujukan pandang matanya kepada Song Tek Hong dengan tajam penuh selidik, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut.

“Teecu Thio Beng Han yang bodoh mohon pimpinan lo enghiong ” suaranya kecil dan merdu akan tetapi nyaring

sekali.

Melihat ini, sekaligus timbul rasa suka di hati Song Tek Hong. Dia tidak mempunyai putera, hanya seorang anak perempuan, maka melihat anak ini, ia merasa kagum sekali diangkatnya anak itu berdiri.

“Anak baik, bangunlah.”

Sementara itu, kakek tua itu menghadapi Tek Hong dan berkata, suaranya seperti wajahnya, ramah.

“Sicu, aku ingin sekali bertemu dengan Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Sampaikan bahwa aku Koai Thian Cu tukang gwa mia dari selatan datang untuk menyampaikan hormatku.”

Nama Koai Thian Cu sama sekali tidak terkenal. Biarpun Song Tek Hong seorang yang sudah banyak pengalaman dan amat terkenal di dunia kang ouw, namun ia belum pernah mendengar nama Koai Thian Cu ini. Maka ia mengerutkan keningnya dan menjawab,

“Maafkan, locianpwe. Ayah sidang menderita sakit oleh karena itu kiranya tidak mungkin dapat menyambut tamu. Harap locianpwe suka maafkan dan sudi datang lain kali saja kalau ayah sudah sehat. Kecuali kalau locianpwe suka boanpwe mewakili ayah menyambut locianpwe.”

“Mana bisa lain kali? Lain kali Thian te Kiam ong sudah tidak berada di dunia lagi. Apakah kau tidak suka memberi tahu tentang kedatanganku kepadanya?”

“Harap locianpwe sudi memaafkan. Ayah sedang tidur dan boanpwe tidak berani mengganggu.”

“Kau betul, sicu. Bakti adalah dasar daripada segala kebajikan di dunia ini. Akan tetapi, keperluanku ini penting sekali dan bukan hanya penting untukku, bahkan penting untuk ayahmu sendiri. Lihat, tak lama lagi tentu dia mencariku!” Baru saja kata kata ini diucapkan, dari dalam muncul Liem Kong Hwat. Pemuda ini berkata kepada Tek Hong,

“Paman, kong kong minta supaya tamu yang datang dipersilahkan menghadap ke dalam, langsung ke kamarnya.”

Karuan saja Tek Hong menjadi melongo dan ia makin merasa kagum kepada kakek ini. Sambil membungkuk bungkuk ia mempersilahkan Koai Thian Cu masuk, lalu mengiringkannya ke kamar ayahnya. Koai Thian Cu dengan sikap acuh tak acuh berjalan sambil menggandeng tangan bocah yang bernama Thio Beng Han itu.

Di dalam kamarnya, kakek Song Bun Sam rebah terlentang. Wajahnya yang masih nampak gagah itu pucat, akan tetapi matanya masih bersinar tajam. Napasnya agak berat akan tetapi tidak sediktpun wajahnya membayangkan kesesalan hati, tanda bahwa ia menerima penderitaan jasmaninya dengan rohani yang sehat. Pendengaran kakek ini masih tajam sekali, ia mendengar kedatangan orang dan menoleh pelahan, lalu tersenyum ketika melihat masuknya seorang kakek aneh yang diikuti oleh puteranya.

“Sahabat, kepandaianmu coan in (mengirim suara) mengingatkan aku kepada mendiang Lam hai Lo mo,” kata kakek Song sambil bangun duduk dan memberi hormat.

Tosu itu tertawa, gema suaranya memenuhi kamar itu. “Ha, ha, ha, Thian te Kiam ong, memang sudah dekat

sekali dugaanmu itu. Lam hai Lo mo adalah suhengku dan aku sendiri bernama Koai Thian Cu.”

Dengan suara tegas dan sikap keren kakek yang sedang sakit itu berkata kepada puteranya, “Tek Hong, bersihkan lian bu thia (ruang main silat), biar aku menerima pelajaran dari Koai Thian Cu taihiap.” “Ha, ha, ha, Thian te Kiam ong sudah tua masih berhati muda, semangat bertempurnya masih berkobar kobar. Sungguh mengagumkan! Akan tetapi biarpun aku sute dari Lam hai Lo mo, aku bukan termasuk seorang lo mo (iblis tua). Bukan, bukan, Thian te Kiam ong. Mana aku ada harga untuk berpibu dengan raja pedang seperti engkau? Aku hanya seorang tukang gwa mia biasa saja, juga seorang tukang obat yang bodoh, hanya mengandalkan peruntungan baik.”

Mendengar ini, kakek Song Bun Sam tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak keren dan sungguh sungguh itu berubah terang dan ramah.

“Tek Hong, tinggalkan kamar ini. Biar aku bicara berdua dengan tamu kita yang terhormat.”

Dengan taat Tek Hong mengundurkan diri diikuti oleh semua pelayan hingga di lain saat kamar itu telah kosong. Tak seorangpun berani mencoba coba untuk mendekati kamar itu karena siapakah yang tidak maklum akan kepandaian kakek Song yang sakti? Melihat ini, Koai Thian Cu juga menyuruh bocah yang selalu digandengnya ini untuk keluar.

“Beng Han, kau main main di depan sana, menanti aku keluar.”

“Baik, kong kong,” kata anak itu yang segera keluar dengan cepat. Di ruang luar ia bertemu dengan keluarga Song yang segera mengajaknya duduk dan memberi makanan kepada bocah yang ternyata pandai membawa diri ini.

“Koai Thian Cu, sekarang katakan, apa maksud kedatanganmu ini?” tanya kakek Song setelah semua orang meninggalkan kamar. “Thian te Kiam ong, tadinya aku ingin main main sebentar denganmu karena sudah lama sekali aku mendengar nama besarmu. Akan tetapi ternyata Thian mendahului aku. Aku bukan orang yang tak tahu malu dan tidak tahu aturan untuk mengajak seseorang sakit berpibu, apalagi karena kulihat bahwa kau takkan dapat melewati dua bulan lagi. Lepas dari batas usia yang sudah ditentukan oleh Thian. Kau terlalu banyak mencurahkan pikiran dan perasaan mengenangkan isterimu dan kau sudah bosan hidup, ingin lekas lekas menyusul isterimu.”

Kakek Song memandang kagum dan tersenyum. “Kau patut jadi tukang gwa mia, Koai Thian Cu. Memang cocok sekali dugaanmu itu. Tentang usia tinggal dua bulan lagi terserah pada kekuasaan Thian. Akan tetapi baik sekali kau beritahu hingga aku dapat membuat persiapan persiapan. Memang sudah teralu lama aku mengawani Kim kong kiam di dunia.” Kakek Song menuding ke arah pedang pusaka Kim kong kiam yang tergantung di tembok, dekat pembaringannya.

Tak terasa Koai Thian Cu menoleh ke arah pedang itu.

Matanya bersinar sinar.

“Pedang pusaka yang hebat! Seratus kali namanya lebih terkenal daripada nama tukang gwa mia.”

Song Bun Sam tertawa. “Yang ternama itu berarti banyak berlagak, sebaliknya yang pendiam yang selalu menyembunyikan diri, bagaimana bisa ternama? Akan tetapi, makin ternama, makin banyak kesukaran dihadapi dan makin tidak ternama, makin aman!”

“Kau bijaksana sekali, Thian te Kiam ong. Pantas saja Thian hendak buru buru membebaskanmu daripada hukuman di dunia ini, kau beruntung sekali. Eh, bolehkah aku melihat pedang pusaka Kim kong kiam itu?” “Tentu saja boleh. Hanya kau tahu, selama pemiliknya masih hidup, pedang pusaka hanya boleh di pandang pantang dipegang oleh orang lain,” kata kakek Song sambil menyambar Kim kong kiam dan mencabut dari sarungnya. Sinar keemasan berkeredep menyilaukan mata ketika pedang itu sudah keluar dari sarungnya.

Tiba tiba wajah Koai Thian Cu berubah pucat, matanya menatap pedang pusaka itu penuh perhatian.

“Celaka.... Celaka    ”

“Ada apakah, Koai Thian Cu?” tanya Thian te Kiam ong Song Bun Sam sambil menatap wajah tamunya dengan penuh selidik.

Koai Thian Cu menarik napas berulang ulang sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Song Bun Sam merasa makin tak enak ia melihat sikap kakek aneh itu, apalagi karena ia mendapat kenyataan betapa jitu dan cocok dugaan dugaan kakek itu tentang nasib dirinya.

“Koai Thian Cu, kau melihat apakah?”

“Pedang itu... ah, Thian te Kiam ong. Aku tahu bahwa segala bujukanku takkan berhasil, dan hal itu tetap akan terjadi ”

“Hal apakah? Ada apa dengan pedang ini?”

“Aku melihat darah.... darah mengalir oleh pedang pusaka ini... ah, Kim kong kiam... ganas….”

“Tidak aneh Koai Thian Cu,” kakek Sang memotong sambil tersenyum dan memandangi pedangnya penuh kasih sayang, “sudah ratusan penjahat menjadi korbannya, darah para penjahat itu mengalir oleh Kim kong kiam.”

“Bukan.... bukan....” Koai Thian Cu memandang pedang, matanya terpejam, mukanya penuh keringat, berkerut kerut, “bukan darah penjahat, bukan! Kim kong kiam akan minum darah keluargamu, banyak sekali....

aduuh, bagaimana nasib keluarga mulia sampai menjadi

begitu..? Kim kong kiam jahat.... harus kau basmi sebelum terlambat ah, sia sia, kau tak percaya!”

Biarpun mulutnya tersenyum, tak luput wajah Thian te Kiam ong Song Bun Sam, pendekar besar yang tak pernah gentar menghadapi penjahat penjahat keji ini, menjadi pucat, ia segera memasukkan Kim kong kiam di sarung pedang kembali, lalu berkata dengan suara mengejek,

“Koai Thian Cu, mengapa kau tidak bilang bahwa pedang ini lebih baik kuserahkan kepadamu agar selanjutnya tidak mengganggu keluargaku?”

Koai Thian Cu mengerti akan sindiran ini. Kembali ia menarik napas panjang dan memandang kepada Song Bun Sam dengan sinar mata tajam menentang.

“Aku tidak salahkan engkau, Thian te Kiam ong. Memang sudah demikianlah garisnya, kau takkan percaya kepadaku. Biarlah aku menyerahkan kepada kebijaksanaanmu sendiri dan kepada kekuasaan Thian. Aku tidak dapat membuka lebih lebar lagi karena rahasia Thian tidak boleh dibuka begitu saja. Ada soal ke dua, dan hal ini kuharapkan kau tidak akan menolak “

“Katakantah, Koai Thian Cu, aku tak pernah menolak permintaan orang yang kiranya dapat kupenuhi.”

“Aku mohon kepadamu agar supaya kau sudi menerima Beng Han sebagai muridmu.”

“Bocah cilik yang datang bersamamu tadi?”

“Betul, dia bernama Thio Beng Han, seorang yang tidak mengetahui siapa ayahnya dan tidak diakui oleh ibunya. Menurut penglihatanku, dia bertulang pendekar dan kiranya hanya kau yang patut menjadi gurunya.”

Tiba tiba Thian te Kiam ong Song Bun Sam tertawa geli dan membaringkan tubuhnya yang sudah terlalu lama duduk, akan tetapi ia masih saja tertawa sambil berbaring.

“Bagaimana, Thian te Kiam ong? Apa kau mau memenuhi permintaanku ini?”

“Koai Thian Cu, mendengar omongan omonganmu satu kali, orang akan mengira kau seorang peramal jempolan. Akan tetapi mendengar dua kali, orang akan menyangka kau berotak miring. Ha, ha, ha!”

“Sesukamu kau menganggap aku bagaimana, akan tetapi, apakah kau menerima permintaanku?”

“Tadi kau bilang bahwa usiaku tidak akan lewat dua bulan, sekarang kau menyerahkan cucumu menjadi muridku. Bagaimana ini?”

“Thio Beng Han bukan cucuku, akan tetapi akulah yang memeliharanya semenjak lahir. Adapun tentang dia menjadi muridmu, jangankan sampai dua bulan, baru sepuluh hari saja sudah jauh lebih berharga daripada menjadi murid orang lain selama sepuluh tahun. Bagaimana Keputusanmu?” kembali ia mendesak.

Kakek Song menarik napas panjang. “Banyak sudah aku menjumpai orang aneh, akan tetapi kau seakan akan menjadi rajanya, raja orang aneh! Aku sudah berada di ranjang kematian, bagaimana aku bisa menerima murid seorang bocah cilik? Akan tetapi, kalau ada kata kata tentang perbuatan baik, kiranya hanya memenuhi permintaan inilah yang akan dapat kulakukan, sebagai perbuatan terakhir meringankan dosa dosa yang lalu. Baiklah, tukang gwa mia, aku terima permintaanmu. Panggil dia ke sini!”

Bukan main girangnya wajah Koai Thian Cu ia menghadap keluar kamar, bibirnya bergerak gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa apa. Akan tetapi, tak lama kemudian datanglah bocah itu berlari larian.

“Kau panggil aku ada keperluan apakah, kong kong?” tanyanya.

“Beng Han, aku telah beritahu padamu bahwa kau akan kucarikan seorang guru yang baik. Nah, sekarang kau telah berhadapan dengan gurumu, tidak lekas memberi hormat mau tunggu kapan lagi?” Ia menunjuk ke arah kakek Song yang rebah di atas pembaringan. Beng Han lalu cepat memasuki kamar dan menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sambil mengangguk anggukkan kepala delapan kali dan berkata,

“Suhu yang mulia, teecu Thio Beng Han menghaturkan terima kasih atas budi suhu yang mulia, sudi menerima teecu sebagai murid. Teecu bersumpah akan menjunjung tinggi semua ajaran suhu dan akan menjaga nama baik suhu sampai teecu mati.”

Thian te Kiam ong Song Bun Sam sampai melompat dan bangun duduk saking kagetnya melihat semua ini. Pertama tama ia kaget sekali melihat cara Koai Thian Cu memanggil Beng Han yang diperlihatkan oleh kakek tukang gwa mia tadi adalah demonstrasi lweekang yang tinggi sekali, mengirim suara halus sehingga yang keluar dari mulut bukan suara lagi melainkan getaran dan yang hanya dapat ditangkap oleh orang yang sudah menerima latihan tinggi. Akan tetapi anehnya, Beng Han dapat menerima panggilan kong kongnya ini dan datang dengan cepat. Inilah hal pertama yang mengagetkan hatinya, kaget dan heran. Hal ke dua hal yang amat aneh melihat bocah berusia paling banyak lima tahun ini dapat bersikap baik, penuh sopan santun, tahu aturan. Benar benar kakek Song kaget bercampur girang sekali. Tidak rugi menerima seorang murid seperti bocah aneh ini.

Koai Thian Cu segera berpamit pulang setelah dengan muka girang ia menghaturkan terima kasih. Thio Beng Han diterima di rumah keluarga pendekar itu, biarpun dengan muka terheran heran oleh semua orang, namun dengan hati rela dan senang.

Di lembah Sungai Wei ho yang berada di kaki Gunung Cin ling san, terdapat banyak sekali gunung berkarang dan di situ banyak pula terdapat gua gua yang besar dan kelihatan menyeramkan. Menurut dongeng kuno, gua gua ini dibuat oleh para dewa, akan tetapi lebih tepat kiranya kalau air bah dari Sungai Wei ho meluap sampai merendam gunung gunung dan batu batu karang di tepi pantainya.

Dilihat dari jauh, batu batu karang ini bentuknya aneh aneh menyerupai muka setan setan penjaga sungai yang menakutkan. Gua gua besar yang kehitaman dengan pintu ada yang menyerupai mulut naga, benar benar menimbulkan dugaan menyeramkan bahwa sampai seperti itu patutnya menjadi sarang para siluman dan iblis. Sudah sepatutnya kalau gua gua itu mempunyai penghuni iblis iblis yang menyeramkan.

Akan tetapi, di sebuah daripada gua gua besar itu, duduk seorang wanita yang seolah olah sudah berubah menjadi patung. Sama sekali tidak bergerak, bahkan napasnyapun hampir tidak dapat dilihat, begitu halus dan panjang panjang. Manusiakah dia atau ibliskah?

Kalau ia termasuk golongan iblis, tentulah ia sebangsa siuman binatang yang indah, karena ia mempunyai bentuk 

muka yang cantik manis dan tubuh yang indah. Tentu saja ia sama sekali tidak bisa digolongkan dengan iblis yang menyeramkan. Siapakah dia?

Wanita yang usianya duapuluh tahun lebih ini bukan lain adalah Kui Lian! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kui Lian yang bernasib malang ditolong oleh kakek tukang gwa mia, yakni tosu yang sakti, Koai Thian Cu. Dapat dibayangkan betapa lihainya dan saktinya Koai Thian Cu ketika Kui Lian yang hendak ditangkap oleh Teng kongcu dan tukang pukulnya, sekali gadis itu menggerakkan tangannya dua orang itu terlempar, bahkan si tukang pukul patah tulang lengannya. Tentu saja bukan Kui Lian yang melakukan hai ini, melainkan Koai Thian Cu yang mengeluarkan lweekangnya melalui tongkat yang dipegang oleh Kui Lian sehingga di dalam lengan gadis ini mengalir hawa lweekang yang luar biasa!

Koai Thian Cu merasa kasihan sekali kepada Kui Lian dan melihat bahwa wanita muda itu ada jodoh dengannya, jodoh untuk menjadi muridnya. Oleh kerena itu, tanpa ragu ragu lagi kakek ini lalu membawa Kui Lian ke tempatnya bertapa. yaitu di lembah Sungai Wei ho, di dalam gua yang menyeramkan tersebut. Di sinilah ia mulai menurunkan ilmu ilmunya kepada Kui Lian.

Koai Thian Cu memang sute dari Lam has Lo mo Seng Jin Siansu yang telah amat terkena, baik akan ketlihaiannya maupun akan kejahatannya. Akan tetapi Koai Thian Cu berlainan sekali dengan suhengnya itu. Dalam hal kepandaian, juga amat berbeda. Kalau Lam hai Lo mo lebih mengutamakan ilmu silat, sebaliknya Koai Thian Cu lebih memperhatikan pelajaran ilmu hoat sut yang ia pelajari dari guru mereka, seorang pendeta Buddha dari tanah barat. Hal ini bukan berarti bahwa ilmu sitat Koai Thian Cu rendah, sama sekali tidak. Kalau dibandingkan dengan Lam hai Lo mo, ia hanya kalah setingkat, akan tetapi dalam hal ilmu hoat sut (sihir), benar benar Koai Thian Cu telah mencapai tingkat tinggi. Bukan ini saja, bahkan ia pandai menghitung nasib manusia dengan perantaraan bintang dan ramalan ramalannya yang jitu.

Oleh karena maklum bahwa Kui Lian tidak mempunyai bakat besar untuk menjadi ahli sitat, maka Koai Thian Cu hanya memberi dasar dasar ilmu silat saja sambil memberi pelajaran ginkang dan lweekang ringan. Akan tetapi ia menurunkan ilmu ilmu sihirnya kepada Kui Lian dan alangkah girangnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal ilmu ini, Kui Lian ternyata berjodoh dan berbakat sekali. Dengan tekun Kui Lian bertapa, menempuh segala macam percobaan kekuatan hatinya dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk ilmu hoat sut ini. Beberapa bulan kemudian Kui Lan melahirkan anaknya yang dikandungnya, akan tetapi ia tidak mau memperdulikan anaknya bahkan katanya kepada Koai Thian Cu,

“Suhu, anak ini keturunan seorang yang rendah budinya, maka teecu tidak mau mengakuinya.”

Koai Thian Cu melenggong. “Habis bagaimana? Siapa yang akan memeliharanya?”

“Terserah kepada suhu. Pendeknya teecu tidak mau tahu lagi, teecu ingin mempelajari ilmu dan bertapa untuk menebus dosa dosa yang lalu.”

Koai Thian Cu yang telah waspada akan hukum karma dan tahu bahwa hal ini tak dapat dicegah lagi, lalu berusaha mencarikan pengasuh anak itu di sebuah dusun beberapa puluh mil jauhnya dari situ. Akan tetapi ia merasa kasihan dan sayang kepada bocah yang ia beri nama Thio Beng Han itu, dan seringkali ia datang menengok, ia tahu bahwa ayah 

anak ini adalah Thio Sui seperti yang dulu pernah ia dengar dari Kui Lian, maka ia memberi she Thio kepada Beng Han.

Setelah anak itu dapat berjalan, ia sengaja membawanya kepada ibunya. Akan tetapi tetap saja Kui Lian tidak mau menoleh kepada bocah itu. Melihatpun tidak sudi, apalagi mengaku. Akhirnya Koai Thian Cu mengalah dan teringatlah ia akan Thian te Kiam ong Song Bun Sam yang nama besarnya sudah menggetarkan langit selatan dan yang sudah lama ia ingin jumpai. Memang datangnya Koai Thian Cu di daerah ini, tadinya adalah karena ia bermaksud mencari Thian te Kiam ong untuk menantang pibu. Akan tetapi pertemuannya dengan Kui Lian membuat ia terpaksa menunda niatnya itu dan membawa Kui Lian tinggal bersama di tempat pertapaannya yang baru saja ia pilih ketika ia tiba di daerah itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan. Koai Thian Cu yang memikirkan masa depan Beng Han yang tidak diakui oleh ibunya itu mengantar Beng Han kepada Thian te Kiam ong dan berhasil membuat Beng Han di akui sebagai murid dan ditinggalkan di Tit le. Hatinya sudah puas dan lega. Anak yang dilihatnya bertulang baik itu telah di tangan keluarga bijaksana, sungguhpun ia kadang kadang merasa khawatir kalau mengingat akan pedang Kim kong kiam yang dilihatnya akan menimbulkan bencana pada keluarga Song.

Ketika Koai Thian Cu kembali dari perjalanannya ke Tit le, ia melihat Kui Lian bertapa. Wanita muda ini berpakaian serba putih, rambutnya diurai menutupi pundak dan punggung, duduk bersila di dalam gua tak bergerak seperti patung. Mukanya yang cantik agak pucat akan tetapi di sekeliling tubuhnya seakan akan memancarkan cahaya sehingga dari jauh ia seperti Kwan Im Pouwsat sendiri sedang duduk bersila! Melibat ke adaan Kui Lian ini. kagetlah gurunya. Bukan mam anak ini, pikirnya. Cepat sekali kemajuan kemajuan yang dicapainya dalam ilmu hoat sut yang berdasarkan samadbi dan benapa, melakukan segala pantangan. Kui Lian sudah sedemikian majunya sehingga wanita muda ini kuat sekali bertapa, tidak makan tidak tidur sebulan saja baginya bukan apa apa lagi. Akan tetapi, kekuatan sihir yang dihimpun di dalam dirinya juga amat hebat.

“Kui Lian, muridku. Bangunlah dari samadhimu,” kata Koai Thian Cu dari mulut gua sambil duduk di atas sebuah batu hitam yang berbentuk punggung kura kura.

Tidak ada jawaban dari dalam.

Koai Thian Cu terheran. Biasanya muridnya ini amat cepat menyambutnya kalau ia datang dari perjalanan jauh. Ia berdiri dan menjenguk ke dalam. Baru kagetlah ia ketika melihat uap putih mengepul dari kepala Kui Lian. Uap ini bergulung gulung naik makin tebal dan akhirnya menyerupai bentuk, tak lama kemudian bentuk itu makin terang dan terciptalah Kui Lian kedua yang segera bersilat kian kemari dengan amat gesitnya.

Koai Thian Cu mendehem dan lenyaplah manusia uap itu Kemudian ia tersenyum puas. Hebat betul muridnya ini.

“Ah, dia sudah begitu kuat menguasai keadaan di sekelilingnya sehingga aku sendiri sampai terpengaruh. Hebat, benar benar hebat bukan main kuatnya Kemauan

keras yang didorong oleh penderitaan rokhani,” katanya dalam hati.

Karena maklum bahwa tak mungkin Kui Lian dibikin “bangun” dengan perintah yang dikeluarkan dan mulut saja, kakek ini lalu duduk kembali di atas batu, bersita dan tak lama kemudian iapun sudah mengheningkan cipta, seluruh tenaga dikerahkan untuk memanggil muridnya. Kui Lian menggerakkan lehernya, mengeluarkan keluhan panjang, lalu bangkit berdiri, mengebut ngebutkan pakaiannya dari tanah yang melekat, lalu berjalan keluar dengan langkah halus. Ketika ia tiba di luar gua, nampaklah bahwa Kui Lian masih cantik dan menarik, bahkan jauh lebih cantik daripada dahulu. Sekarang ia telah menjadi seorang wanita yang masak, nampak tenang sekali, sepasang matanya bersinar sinar ganjil, mulutnya tersenyum tenang dan tubuhnya tegak. Hanya muka itu agak kepucatan karena kurang makan kurang tidur.

“Suhu sudah pulang? Maafkan teecu terlambat menyambut,” katanya sambil berlutut di depan suhunya.

“Kui Lian, hari ini adalah hari terakhir dari pertemuan kita. Aku sudah bertemu dengan Thian te Kiam ong, berarti sudah tercapai pula maksud kedatanganku di daerah ini. Aku akan kembali ke tempat asalku, ke selatan. Anu tidak ingin badanku ini kelak dikubur di rantau orang, ingin aku di kubur di tanah kelahiranku sana. Oleh karena itu, hari ini juga aku akan berangkat ke selatan dan takkan kembali lagi. Aku tidak perlu mengkhawatirkan perihal engkau, muridku. Dengan kepandaian yang kaumiliki sekarang, kau takkan terlantar. Juga kiranya takkan ada orang yang dapat mengganggumu. Asal kau tidak salah jalan, kau akan selamat. Terserah kepadamu, jalan mana yang kaupilih, semoga Thian menuntunmu, Kui Lian. Hanya satu pesanku kalau kau ada waktu, pergilah ke Tit le, dan tempat tinggal keluarga Song. Keluarga itu mempunyai sebuah pedang, namanya pedang pusaka Kim kong kiam. Kauambil pedang itu dan simpanlah, atau musnahkan Aku menyuruhmu melakukan hal ini untuk menolong mereka.”

“Suhu, teecu tak dapat berkata lain kecuali teecu menghaturkan banyak banyak terima kasih kepada suhu. Teecu tidak dapat membalas budi Suhu, biarlah di lain penjelmaan teecu menjadi anjing atau kuda suhu.”

“Kau tahu apa? Kiranya dalam penjelmaan yang dahulu aku telah hutang budi kepadamu, maka yang sekarang ini anggap saja bahwa aku sudah membayarmu. Kalau aku tidak mempunyai anggapan bahwa aku harus membayar hutang budi kepadamu, apa kau kira aku mau membayarmu dengan semua ilmu itu? Aku akan berdosa besar, Kui Lian. Ilmu Howe sut yang kau pelajari ini bukan sembarang ilmu, amat berbahaya bagi orang lain kalau disalsh gunakan. Akan tetapi mudah mudahan kau tidak demikian. Nah, kau boleh mewarisi hudtim ini.”

Dengan sikap hormat Kui Lian menerima kebutan suhunya dan berlutut kembali.

“Kui Lian, selamat berpisah.”

Inilah kata kata terakhir yang didengar oleh Kui Lian sambil berlutut karena ketika ia mendongak, suhunya itu telah lenyap dari situ, iapun berdirilah, seorang wanita tinggi ramping yang tentu akan menarik hati semua kaum pria, kalau saja sepasang matanya tidak begitu ganjil dan terbayagg sinar membunuh di saat itu. Ia memandang jauh, melalui jurang jurang jauh sekali, ke arah Kota Soa couw! Kemudian, dengan senyum di bibirnya yang berbentuk indah akan tetapi bayangan sinar membunuh masih dimatanya, ia melenggang memasuki guanya. Lenggangnya lemah gemulai seperti puteri istana, nampaknya ia begitu lemah lembut, ketika ia berjalan memasuki gua untuk berkemas karena iapun harus meninggalkan tempat ini cepat cepat!

Ramalan Koai Thian Cu bahwa usianya tinggal dua bulan lagi tidak membikin hati kakek Song gelisah, bahkan diam diam ia mengharapkan ramalan itu akan terbukti karena ia sudah merasa rindu sekali kepada isterinya yang sudah lebih dulu meninggalkannya ke alam baka. Akan tetapi ramalan kedua tentang pedang pusaka Kim kong kiam, bahwa pedang itu akan menimbulkan banjir darah di keluarganya, benar benar membuat kakek ini merasa gelisah sekali. Boleh saja ia tidak percaya kepada Koai Thian Cu dan menganggap sebagai obrolan kosong seorang tukang gwa mia penipu, tetapi kalau ia teringat bahwa Koai Thian Cu adalah sute dari mendiang Lam hai Lo mo dan akan tingginya ilmu kepandaian Lam hai Lo mo, mau tidak mau Thian te Kiam ong Song Bun Sam menjadi gelisah juga.

Tadinya ia menaruh curiga juga terhadap diri Beng Han, bocah yang telah diaku sebagai muridnya itu. Akan tetapi ia segera mengusir pergi kecurigaannya setelah memanggil bocah itu, diajak bercakap cakap dan dilihat tindak tanduknya setiap hari, Beng Han benar benar seorang anak kecil yang luar biasa.

“Beng Han, sebenarnya siapakah ayah bundanmu?” tanya Thian te Kiam ong Song Bun Sam kepada bocah yang semenjak ditinggalkan oleh Koai Thian Cu, tak pernah pergi dari samping pembaringan kakek Song, merawat dan melayani segala keperluan kakek yang menjadi suhunya ini dengan penuh perhatian penuh kebaktian.

“Suhu, memang sebenarnya teecu tidak mempunyai ayah bunda. Semenjak kecil teecu di pelihara oleh seorang inang pengasuh atas perintah kong kong Koai Thian Cu. satu satunya orang tua yang mengaku teecu sebagai cucu angkatnya. Teecu tidak tahu siapa ayah teecu, juga menurut kong kong, ibu teecu sudah tidak mau mengakui teecu lagi sebagai anak semenjak teecu terlahir.” Suara anak itu terdengar menggetar mengharukan, dan matanya yang lebar dan tajam itu dikejap kejapkan menahan keluar air mata. “Hmmm, aneh sekali. Apa kau tidak ingin mencari ayah bundamu?” kakek Song memancing.

“Suhu, ayah bunda yang tidak sayang dan tidak menghiraukan anaknya, bukan orang tua yang baik. Sebaliknya, biar orang lain kalau melepas budi, kita boleh menganggapnya seperti orang tua sendiri. Orang tua teecu yang tidak sudi mengaku teecu sebagai anak, mengapa harus teecu cari? Teecu sudah mendapat penggantinya, tadinya kong kong Koai Thian Cu, sekarang suhu yang harus teecu anggap sebagai guru dan orang tua sendiri.”

Kakek Song sampat melongo mendengar jawaban ini. Bagaimana seorang bocah begini cilik dapat mengeluarkan jawaban seperti itu. Seperti pikian orang dewasa saja!

“Eh, Beng Han. Dari siapakah kau mendapatkan pikiran seperti itu?”

“Sejak kecil kong kong Koai Thian Cu telah mendidik teecu dan teecu tidak berani melupakan segala apa yang diajarkannya kepada teecu.”

Kemudian dalam tanya jawab ini tahulah kakek Song hahwa bocah itu ternyata tidak saja memiliki pengertian yang mendalam tentang hal hal di sekelilingnya, juga telah mempelajari baca tulis dan dasar dasar ilmu silat tinggi dan ilmu hoat sut! Sungguh luar biasa sekali hasil yang di capai anak itu selama belajar satu tahun lamanya dari Koai Thian Cu. Maka giranglah hati Thian te Kiam ong dan dia sendiri sampai lupa diri akan usia tua dan mulai menurunkan ilmu silat yang pelik pelik kepada anak itu untuk dihafal teorinya untuk kelak dipelajari sendiri latihan prakteknya.

Sementara itu, diam diam kakek Song menuliskan ilmu Pedang Kim kong kiam dalam sebuah kitab, dan menyuruh seorang pandai besi yang biasa membuat pedang untuk membuatkan sebuah pedang berselaput emas yang sama 

benar dengan Kim kong kiam. Hal ini diakukan dengan rahasia, bahkan Tek Hong sendiri tidak tahu akan perbuatan ayahnya ini.

Song Tek Hong bertiga isteri dan puterinya juga Liem Pun Hui bertiga isteri dan putranya, sama sekali tidak tahu ramalan kakek aneh yang baru baru ini datang mengunjungi ayah mereka, mereka juga tidak keberatan untuk menerima Thio Beng Han, oleh karena bocah itu memang pandai membawa diri dan menimbulkan rasa kasihan dan suka kepada mereka. Hanya Song Bi Hui puteri Song Tek Hong yang mengomel,

“Kong kong aneh sekali. Sudah sering kau aku minta memberi pelajaran ilmu pedang tak pernah dipenuhi, sebaliknya sekarang mengambil murid seorang anak kecil dari luar. Apakah ini bukan berarti membocorkan kepandaian keluarga sendiri?”

“Bi Hui, mengapa kau mengomel? Biarpun kong kong tidak memberi petunjuk padamu, bukankah ayahmu dan aku sendiri sudah memberi pelajaran? Ilmu pedang yang kuajarkan kepadamu juga tidak terlalu jelek!” kata Ong Siang Cu, ibunya dengan suara lembut menyembunyikan ketidak senangan hatinya. Memang iapun merasa kurang senang terhadap ayah mertuanya setelah mendengar kata kata puterinya. Semenjak mudanya, nyonya Song Tek Hong ini memang terkenal keras hati sekali.

Tek Hong mengerutkan keningnya mendengar kata kata anak dan isterinya ini.

“Bi Hui, kau tidak boleh bilang begitu! Kau adalah anakku, berarti cucu kong kongmu. Sudah ada aku yang menurunkan kepandaian keturunan keluarga Song, mengapa kau masih kurang puas dan minta kepada kong kongmu sendiri? Ilmu kepandaian tidak ada batasnya, kalau kong kongmu menurunkan semua kepandaiannya kepadamu, apa kau kira kau akan mampu menerimanya? Satu macam saja ilmu silat, kalau dipelajari sampai sempurna betul, sudah cukuplah. Biar ada seratus macam kepandaian, kalau semuanya setengah matang, takkan ada gunanya.”

Bi Hui cemberut, bibirnya yang manis itu sampat berkerut kerut. “Ayah, aku memang anak cerewet. Memang sudah banyak aku menerima pelajaran dari ayah dan ibu, akan tetapi.... masih saja aku belum diberi pelajaran Kim kong Kiam sut secara lengkap!”

Tek Hong membanting banting kakinya. “Kau benar benar tak tahu diri! Ayahmu sendiri biarpun sudah membanting tulang mencurahkan seluruh perhatiannya, masih belum dapat mempelajari Kim kong Kiam sut seluruhnya, baru berhasil empat lima bagian saja. Kau kira gampang menguasai Kim kong Kiam sut?”

“Ayah cuma mewarisi empat lima bagian. Kalau kelak bocah bernama Beng Han itu mewarsi seluruhnya, bukankah hal itu akan amat ganjil? Kim kong Kiam sut adalah ilmu warisan yang paling dibanggakan oleh keluarga kita, ayah sama halnya dengan pedang pusaka Kim kong kiam.”

Tek Hong menarik napas panjang. Kalau dipikir pikir betul juga kata kata anaknya.

“Tak mungkin kalau sampai begitu, itupun hanya menjadi tanda bahwa keturunan ayah tidak ada cukup berbakat dan kiranya bukan kesalahan Thio sute kalau sampai dia berhasil mewarisi seluruhnya.”

Percakapan mereka terhenti dengan munculnya Liem Pun Hui dan anak isterinya. 

“Ah, agaknya sedang mengadakan perundingan besar sekeluarga!” Song Siauw Yang menegur gembira. “Apakah kami mengganggu?”

“Sama sekali tidak.” jawab kakaknya. “Kami hanya sedang memberi nasehat nasehat kepada anak kita yang cerewet ini!”

Siauw Yang menghampiri Bi Hui dan memeluknya. “Twako jangan terlalu galak! Keponakkanku begini manis bagaimana disebut cerewet?” mendengar ini, Bi Hui yang manja lalu menangis dan masuk ke dalam kamarnya!

“Anak manja!” Tek Hong memaki.

“Sudahlah, twako. Jangan terlalu galak, Bi Hui kan masih terlalu muda.” kembali Siauw Yang menyambar kakaknya, sedangkan Siang Cu hanya diam saja, kening berkerut dan pandang mata tidak puas. “Sebetulnya aku hendak memberi tahu kepadamu bahwa kami bermaksud hendak pulang ke Liok Can. Sudah terlalu lama meninggalkan rumah dan sekarang ayah nampak sehat bahkan agak gembira semenjak bocah itu berada di sini.”

“Kaumaksudkan Thio sute?” membetulkan Tek Hong mendengar adiknya menyebut “bocah” kepada sutte kecil itu.

Siauw Yang tersenyum.   “Betul,   siauw sute itulah.

Demikian rajin dan berbakti nampaknya”

“Memang dia rajin dan berbakti kepada ayah. Dia anak baik, kalian ini orang orang perempuan memang banyak cemburu dan curiga. Siauw Yang baru satu bulan saja tinggal di sini, kau sudah hendak pulang. Moi hu (adik ipar), mengapa tergesa gesa?”

Liem Pun Hui tersenyum, “Twako, kau tahu bahwa di rumah sana aku menerima beberapa orang murid dalam ilmu sastera. Diantara mereka ada yang hendak menempuh ujian kota raja, maka terpaksa aku harus pulang dulu. Apalagi gak hu (ayah mertua) sudah nampak sehat kembali seperti sediakala.”

“Baiklah kalan begitu. Apakah kalian sudah minta diri kepada ayah?”

“Belum, sekarang juga kami akan berpamit.”

Akan tetapi, ketika Liem Pun Hui, Song Siauw Yang dan putera meraka menghadap kakek Song dan menyatakan keinginan mereka hendak pulang ke Liok Can, orang tua itu menahan mereka.

“Jangan pulang dulu, masih belum habis rasa rinduku Siauw Yang, kau dan suami serta anakmu tinggallah di sini sedikitnya satu bulan lagi. Aku tidak mau kalian tinggalkan sebelum lewat sebulan lagi.”

Tentu saja Pun Hui, Siauw Yang dan juga Kong Hwat tidak berani membantah dan menghadapi permintaan kakek itu dengan hati merasa berat. Dulu dulu belum pernah Thian te Kiam ong Song Bun Sam menahan mereka sampai satu bulan. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa permintaan kakek Song ini ada hubungannya dengan ramalan Koai Thian Cu sebulan yang lalu bahwa hidup kakek Song tinggal dua bulan lagi! Sebelum ramalan ini terbukti benar atau keliru, kakek Song ingin selalu didekati anak cucunya. Terpaksa Pun Hui dan Siauw Yang membatalkan kehendak mereka, hanya Pun Hui mengirim seorang utusan ke Liok can untuk memberi tahu kepada murid muridnya apabila mereka hendak melakukan ujian di kota raja supaya mampir di Tit le.

Beberapa hari kemudian, di waktu malam gelap gulita, sedangkan semua penghuni rumah sudah tidur nyenyak, di dalam kamarnya kakek Song sedang melatih muridnya yang baru, Thio Beng Han. Kakek Song tahu bahwa andaikata ia tidak mati dalam waktu dua bulan seprrti telah diramaikan oleh Koai Thian Cu, tetap saja usianya sudah terlalu tua dan tidak ada waktu lagi untuk menurunkan ilmu silatnya kepada Beng Han. Maka ia langsung menurunkan ilmu yang tinggi, yaitu pelajaran samadhi dan pernapasan untuk membersihkan darah dan hawa dalam tubuh sehingga anak ini akan mempunyai ginkang yang kuat kelak. Guru dan murid duduk bersila di dalam kamar itu, kakek Song di atas pembaringan sedangkan Beng Han bocah luar biasa itu, dalam waktu sebulan saja sudah dapat menguasai cara berlatih lweekang dan samadhi yang hebat ini. Ia sudah pandai mengatur napas sehingga gurunya amat puas melihat kemajuannya

Tiba tiba Beng Han yang pendengarannya sudah tajam berkat latihan samadhi ini, mendengar suara dari luar jendela. Suara orang berbisik seperti membaca doa. Ia membuka mata dan melirik ke arah gurunya. Kakek itu tetap duduk bersamadhi seperti patung, seakan akan tidak mendengar suara itu.

Tak lama kemudian, Beng Han merasa kepalanya pening dan matanya mengantuk sekali, seakan akan ada tenaga tidak kelihatan yang memaksanya supaya tidur. Akan tetapi karena ia sedang berlatih lweekang dan pikirannya sedang jernih, ia mengerahkan tenaga untuk melawan kekuatan tidak kelihatan ini. Tetap saja ia tidak dapat melawannya dan makin lama kedua matanya makin berat, pikirannya hampir tak dapat dikuasai lagi. Teringatlah ia akan pelajaran yang dahulu ia terima dan Koai Thian Cu. Cepat ia mengerahkan tenaga terakhir, bibirnya komat kamit, lalu ia menggunakan ibu jarinya untuk membasahi kedua matanya dengan ludahnya sendiri. Benar saja, rasa mengantuk lenyap, pikirannya terang kembali dan  kini ia 

mendengar jelas suara orang diluar jendela, suara orang berbisik bisik halus sekali. Ketika ia melirik, gurunya masih saja duduk bersamadhi.

Di luar pintu kamar itu ia mendengar suara wanita wanita menguap dan mengeluh, disusul suara orang roboh di lantai. Beng Han merasa aneh sekali. Tadi memang lapat lapat ia mendengar dua orang pelayan wanita yang menjaga segala keperluan kakek Song, masih bercakap cakap perlahan di luar kamar. Apakah mereka ini tadi menguap? Hal ini amat mengherankan, oleh karenanya biasanya mereka tidak mungkin berani berlaku begitu tak tahu sopan, menguap dengan suara keras. Beng Han bangkit berdiri, perlahan menghampiri pintu dan membuka sedikit untuk melihat. Ia makin terkejut dan heran melihat dua orang pelayan itu telah tertidur di atas lantai dalam keadaan tidak karuan, bukan sewajarnya orang tidur, saling tindih. Agaknya mereka tadi saking mengantuknya lalu roboh dan tidur di situ seperti orang orang pingsan.

Melihat ini, Beng Han dapat menduga pasti terjadi hal yang tidak sewajarnya. Akan tetapi karena melihat suhunya tetap saja duduk bersamadi tak bergerak, ia tidak berani mengganggu. Ditutupnya lagi pintu kamar dan iapun duduk lagi bersila seperti tadi.

Tak lama kemudian, suara bisik bisik di luar jendela berhenti, lalu terdengar suara orang ketawa, merdu nyaring dan amat menyeramkan. Beng Han melirik ke arah suhunya, masih saja suhunya tidak bergerak. Apakah suhunya sudah tertidur pula seperti dua orang pelayan wanita itu? Suara ketawa itu keras, mengapa orang orang di dalam rumah tidak ada yang mendengarnya? Padahal di dalam rumah itu berkumpul ahli ahli silat yang ia tahu berkepandaian amat tinggi. Biasanya jangankan suara ketawa demikian kerasnya, suara sedikit saja yang mencurigakan cukup membangunkan mereka dari tidur.

Jendela bergerak dan daun jendela terbuka sedikit demi sedikit. Tanpa menggerakkan tubuhnya, Beng Han melirik ke arah jendela ini. Jendela kamar suhunya ini menembus ke taman bunga di samping kiri rumah, maka begitu jendela terbuka terdengar suara jangkerik, belalang dan lain lain binatang kecil. Akan tetapi Beng Han tidak memperhatikan semua ini. Yang menarik perhatiannya adalah sebuah lengan tangan yang mendorong daun jendela itu, lengan tangan yang berkulit putih halus seperti tangan mayat karena di bawah sinar suram suram dan sebuah lilin di meja, tangan itu nampak pucat. Kemudian muncul sebuah kepala seorang wanita dengan muka yang cantik tapi menyeramkan, muka yang pucat dengan mulut tersenyum kejam dan mata bersinar sinar sebagai mengeluarkan api.

Dengan tenangnya wanita yang masih muda dan cantik itu melompati jendela dan masuk ke dalam. Gerakannya cukup gesit dan ia menekankan tangan pada jendela ketika melompat ke dalam kamar. Pakaiannya serba putih dan bersih, potongan tubuhnya tinggi ramping.

Saking terkejut, heran, dan agak ngerinya, Beng Han sampai tak dapat bergerak d tempat duduknya, ia kini membelalakkan matanya, memandang penuh perhatian. Apa yang hendak di lakukan oleh wanita aneh itu? Silumankah ia atau manusia jahatkah? Anehnya suhunya masih saja duduk bersila tak bergerak.

Wanita muda yang cantik dan aneh ini bukan lain adalah Kui Lian. Seperti telah dituturkan, dia mendapat tugas dan Koai Thian Cu untuk mencuri pedang Kim kong kiam dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Kui Lian sudah mendengar dari suhunya tentang keluarga Song ini, keluarga yang menurut suhunya adalah keluarga paling gagah di kolong langit, ia sudah mendengar pula akan kelihaian kakek Song, dan mendengar suhunya memuji muji Kim kong kiam sebagai pedang pusaka yang luar biasa, Kui Lian tidak saja mentaati pesan suhunya untuk mencuri pedang itu agar bahaya ancaman pedang pada keluarga Song terhindar akan tetapi terutama sekali karena ia tertarik dan ingin memiliki pedang pusaka itu untuk dirinya sendiri.

Dengan ilmu hoat sutnya, ia menyirep penghuni rumah itu, kemudian memasuki kamar kakek Song dan tertawa tawa bangga karena melihat seisi rumah tidak ada yang bergerak, tanda bahwa mereka semua telah berada di bawah pengaruh sihirnya. Ia melihat seorang kakek duduk bersila di pembaringan, memandang tajam dan tertawa lagi. Disambarnya dua batang lilin di atas meja dan dinyalakan dua lilin itu. Kini ada tiga batang lilin yang bernyala di situ sehingga keadaan d dalam kamar lebih terang lagi.

Kui Lian menghampiri kakek Song, menatap wajah kakek yang oleh suhunya amat dipuji puji ini. Dengan sedikit pengetahuannya tentang tanda tanda di wajah orang, ia melihat pula akan tanda kematian di kening kakek Song itu.

“Hi, hi, hi! Thian te Kiam ong Song Bun Sam Si Raja Pedang? Hanya seorang kakek yang sudah mendekati lubang kuburan? Hi, hi, hi!” Dengan bangga sekali karena ia berhasil membuat seorang pendekar besar seperti Than te Kiam ong tak berdaya oleh pengaruh hoat sutnya Kui Lian bersikap keterlaluan ia mengulurkan jari tetunjuk nya yang mungil untuk menyentuh jidat kakek Song yang licin itu, hanya untuk main main, dengan lagak centil dan genit sekali. Benar benar hebat perobahan yang terjadi pada diri Kui Lian setelah enam tahun belajar hoat sut dan bertapa di tepi Sungai Wei ho, yang memasuki dirinya sehingga gadis yang tadinya lemah dan halus itu kini berobah genit dan sombong.

“Ayaa....!” Kui Lian melompat mundur ke belakang ketika ia merasa betapa jari telunjuknya seperti terbakar ketika menyentuh jidat setengah botak dari kakek Song itu. Akan tetapi ketika ia memandang, kakek itu tetap saja duduk tak bergerak seperti patung, ia lalu mencari cari dengan matanya, merasa tidak enak dan tidak berani lama lama berada di kamar orang sakti ini. Dilihatnya pedang Kim kong kiam tergantung di dinding dekat pembaringan. Ia menjadi girang dan cepat ia mengambil pedang itu, mencabut dari sarungnya dan melihat pedang dengan mata bersinar sinar.

“Memang pedang pusaka yang hebat  ” katanya.

Tiba tiba terdengar bentakan nyaring. “Siluman wanita jangan mencuri pedang!”

Kui Lan kaget setengah mati. Tak pernah disangka sangkanya ada orang yang dapat menahan sihirnya. Akan tetap ketika ia memutar tubuh dan melihat bahwa yang berteriak itu hanya seorang bocah laki laki berusia lima tahun, ia tersenyum mengejek.

Beng Han memang sejak tadi memperhatikan gerak gerik wanita itu. Gemas bukan main hatinya melihat wanita itu mengejek suhunya dan kemarahannya tak dapat dikekang lagi ketika melihat wanita itu mengambil Kim kong kiam, pedang pusaka suhunya. Melupakan bahaya, anak itu melompat dan menyerang Kui Lian dengan pukulan tangan kanan, sedangkan tangan kiri berusaha merampas pedang. Akan tetapi, tentu saja ia bukan lawan wanita itu. Sebuah tendangan membuat tubuh Beng Han terpental dan bergulingan ke tempatnya semula. Akan tetapi Beng Han bukanlah disebut bocah luar biasa kalau ia gentar dan kapok mengalami tendangan ini. Dengan amat sigap ia melompat kembali dan melihat wanita itu hendak pergi dari jendela membawa Kim kong kiam. Ia menubruk dari belakang dan memeluk kedua kaki wanita itu.

“Siluman jangan lari,” teriak bocah itu.

Beng Han tidak merasa lagi betapa pipinya yang sebetah kiri tergurat ujung pedang Kim kong kiam yang berada di tangan kiri wantia itu. Darah mengucur membasahi pipi dan lehernya, namun ia tidak merasa dan tidak tahu.

Di lain pihak, Kui Lian menjadi marah sekali. Dengan menggoyangkan tubuh, kembali ia membikin Beng Han terpental menubruk tembok. Ketika bocah itu dengan nekad kembali menubruk, ia menjadi mata gelap dan pedang Kim kong kiam ditusukkan, memapaki datangnya tubuh bocah yang tabah itu.

“Mampus kau, tikus kecil...!”

Pada saat ujung pedang itu sudah hampir menyentuh kulit dada Beng Han, tiba tiba pedang itu terpental dan Kui Lian melompat ke belakang sambi berseru kaget. Ternyata yang menolong Beng Han adalah kakek Song yang dari tempat duduknya dapat menangkis pedang itu dengan pukulan jarak jauh mengandalkan lweekangnya yang hebat. Kini kakek Song ini sudah terjaga, sepasang matanya memandang wanita itu dengan tajam.

Kui Lian marah bukan main melihat serangannya gagal, apalagi digagalkan dengan cara yang demikian mudahnya. Ia menerjang maju, menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah dadanya. Kakek Song sama sekali tidak mau mengelak, hanya tersenyum memandang seperti seorang tua memandang seorang anak nakal. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati Kui Lian ketika ujung pedangaya menusuk dada, ia merasa tangannya tergetar dan ujung pedang itu sama sekali tidak dapat menembus atau melukai dada, seakan akan menusuk sebuah benda yang keras dan ulet, meleset dan terpental kembali. Di lain saat, tangan kakek Song bergerak dan pedang itu sudah terampas.

Baru Kui Lian insyaf bahwa nama besar kakak ini bukan kosong belaka, bahwa pujian pujian gurunya bukan main main dan kakek Song ini memang benar benar seorang yang sakti sekali. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, ia seperti tanah melawan baja menghadapi kakek ini. Cepat melangkah mundur tiga tindak, sepasang matanya seperti dua buah bintang berkeredap memandang dengan sinar mata menyambar wajah kakek Song, bibirnya yang berbentuk indah itu berkemak kemik, sepuluh buah jari tangannya melakukan gerakan gerakan mistik, sinar matanya makin tajam.

“Perempuan siluman....” kakek Song berkata lirih, “kau siapakah dan apa kehendakmu?”

Kui Lan hanya tertawa haha hihi, lalu berkata menantang,

“Thian te Kiam ong, kau mengandalkan kepandaian untuk merebut pedang. Apa kau kira akupun tidak ada kepandaian?”

Tiba tiba dalam pandangan kakek Song, wanita di depannya itu perlahan lahan berobah menjadi asap dan di lain saat sudah lenyap dari pandangannya! Dan tak lama kemudian, pedang di tangannya itu ditarik tarik oleh tangan yang tidak kelihatan! Akan tetapi, dengan pengerahan tenaga lweekangnya, tangan tidak kelihatan yang hendak merampas pedang itu tidak berhasil. Kemudian kakek Song merasa ada sambaran angin dari tangan yang memukulnya. Dia tersenyum saja karena sambaran ini baginya amat lemah. Benar saja, kepalan yang lunak menghantamnya beberapa kali di dada, leher dan mukanya.

Beng Han sudah bangun kembali. Baru sekarang ia melihat darah mengalir dari pipinya yang tergurat pedang. Lukanya dalam juga hingga darahnya banyak. Akan tetapi tidak sempat memperhatikan diri sendiri karena melihat pemandangan yang amat aneh. Ilmu sihir yang dikerahkan oleh Kui Lian hanya mempengaruhi kakek Song sehingga dalam pandangan kakek itu, ia tidak kelihatan lagi. Akan tetapi Beng Han masih dapat melihatnya. Wanita itu tadi mengerahkan sihir dengan pengaruh matanya, dan karena matanya tadi hanya memandang kepada kakek Song dan tidak memandang kepada Beng Han, maka anak itu terluput dari pengaruh sihir. Dan Beng Han melihat hal aneh. Ia melihat betapa wanita itu melangkah maju, membetot betot dan menarik narik pedang Kim kong kiam, berusaha untuk merampasnya tanpa hasil. Kemudian ia melihat wanita itu marah marah dan nemukuli tubuh dan muka kakek Song, sedangkan gurunya hanya diam saja, bahkan seakan akan tidak melihat adanya wanita itu.

“Siluman kurang ajar, jangan menghina guruku!” Beng Han berseru marah dan biarpun tubuhnya sudah sakit sakit karena beberapa kali terbanting, ia menyerbu dan memukul wanita itu dari belakang. Kui Lian marah, membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah kepala Beng Han. Akan tetapi, tiba tiba lengan tangannya terasa sakit sekali bertemu dengan jari kakek Song! Biar pun matanya tak dapat melihat wanita itu, namun Thian te Kiam ong masih lihai untuk mendengar desir hawa pukulan mengancam kepala Beng Han, maka ia dapat menangkis dengan tepat sekali. “Siluman wanita, pergi kau dari sini! Kalau tidak, terpaksa aku akan memukul roboh padamu!” bentakan yang dikeluarkan oleh kakek Song ini disertai lweekang yang hebat sehingga Kui Lian merasa tergetar jantungnya. Merasa tidak berdaya menghadapi kakek sakti ini, ia lalu melarikan diri, melompat keluar dari jendela dan terus kabur di matam gelap!

“Tak lama lagi setelah kau mampus, baru aku datang mengambil pedang itu,” katanya perlahan menghibur kekecewaannya.

Setelah Kui Lian pergi, kakek Song menarik napas dan segara mengobati pipi Beng Han yang terluka. Ia menjadi makin sayang kepada bocah ini yang sekarang telah membuktikan ketabahannya dan kesetiaannya.

“Beng Han, aku mempunyai dugaan bahwa siluman wanita tadi tentu ada hubungannya dengan Koai Thian Cu

.”

“Akan tetapi kong kong tidak jahat, suhu. Wanita tadi jahat sekali.”

Song Bun Sam menghela napas “Mungkin juga dugaanku keliru. Beng Han, andaikata ini andaikata saja,

kelak ternyata olehmu bahwa Koai Thian Cu yang kauanggap sebagai kong kongnu sendiri itu benar seorang jahat yang bermaksud menipuku dan menyuruh orangnya mencuri pedang pusakaku, apa yang akan kaulakukan?”

Anak kecil itu mengerutkan keningnya, kemudian berkata,

“Kalau benar demikian, maka hal itu luar biasa anehnya, suhu. Kong kong sering kali memberi nasihat nasihat baik kepada teecu dan dalam mengajar teecu membaca telah menyuruh teecu menghafal isi kitab kitab Su si Ngo keng. Akan tetapi, apabila ternyata kong kong jahat seperti yang suhu khawatirkan itu, biarpun dia itu teecu anggap sebagai kong kong sendiri, akan teeeu lawan. Siapapun orangnya, kalau jahat, pasti teeeu akan berusaha membasminya. Akan tetapi mudah mudahan tidak demikian, karena kalau teecu sampai bermusuh dengan dia, teecu akan merasa berduka dan sengsara. Dia seorang baik, suhu.”

Girang sekali hati Thian te Kiam ong mendengar ini Ah, pikirnya, tidak salah aku menerima anak ini sebagai murid.

“Beng Han,” katanya lirih, “ingatlah baik baik, aku hendak memesan sesuatu yang amat penting kepadamu. Akan tetapi kau harus berjanji dulu akan menyimpan rahasia ini baik baik dan tidak akan memberitahukan kepada lain orang.”

Beng Han berlutut di depan pembaringan gurunya dan suaranya terdengar sungguh sungguh ketika ia berkata, “Teecu bersumpah akan menjunjung tinggi pesan suhu dan kalau teecu melanggarnya, biarlah teecu binasa di bawah ujung Kim kong kiam!”

-ooo0dw0ooo-

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar