Pedang Sinar Emas Jilid 31

Jilid 31

UCAPAN terakhir dari Lam hai Lo mo itu benar benar membuat kedua kakinya lemas dan tubuhnya gemetar sehingga kedudukan kakinya lemah dan terhuyung huyung. Namun nona perkasa ini masih mencoba untuk menguatkan hatinya. Memang ia berhasil mengusir perasaan itu, akan tetapi terlambat baginya karena tiba tiba tongkat di tangan Lam hai Lo mo sudah menyambar dan menotok jalan darah di lambungnya. Siauw Yang terlempar dan tak dapat bergerak lagi! 

Lam hai Lo mo berjingkrak jingkrak seperti orang gila, ia menari nari sambil melompat lompat di sekitar tubuh Siauw Yang, tertawa tawa dan mengoceh kegirangan.

“Ha, ha, ha, ha, ha! mereka roboh semua, musuh musuh besarku. Ha ha ha! Aku dapat menyembelihmu, dapat menghancurkan kepalamu dengan Sam hiat ci hoat.” Kakek itu memungut pedang yang terlempar dari tangan Siauw Yang, menggerak gerakkan pedang itu di dekat leher Siauw Yang untuk menakut nakuti gadis yang jalan pikirannya masih sadar itu. Namun tidak ada tanda sedikitpun di wajah yang cantik itu menyatakan bahwa gadis itu merasa ngeri atau takut. Kemudian Lam hai Lo mo menggerakkan tangannya hendak memberi pukulan Sam hiat ci hoat pada muka yang berkulit putih halus itu.

Akan tetapi, melihat wajah dan mata gadis itu, tiba tiba Lam hai Lo mo menurunkan tangannya yang hendak memukul.

“Sayang kalau kau mati begitu saja,” katanya mengerutkan kening, lalu ia tertawa tawa karena mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya amat baik. “Aku akan memotong urat sarafmu yang menuju ke otak sehingga kau akan kehilangan ingatan, lupa akan keadaanmu sendiri. Sesudah itu, dengan hoat sut (ilmu sihir) kau akan kujadikan boneka hidup dan kau akan kusuruh mencarinya dan membunuh Song Bun Sam dan isterinya. Ha, ha, ha, ini bagus sekali. Satu kali pukul mendapat tiga ekor tikus!” Kakek itu tertawa tawa dan menari nari kegirangan dan kali ini benar benar Siauw Yang merasa takut dan gelisah sekali, ia percaya bahwa kakek yang seperti siluman ini memang bisa membuktikan omongannya dan kalau sampat terjadi begitu, alangkah ngerinya! Ia dapat membayangkan betapa ia sebagai seorang yang kehilangan ingatan dan menjadi boneka hidup yang bergerak atas kehendak kakek itu, mencari dan membunuh ayah bundanya sendiri di luar kesadarannya!

Sambil terkekeh kekeh Lam hai Lo mo mulai memegang megang dan meraba raba kepala Siauw Yang, mencari cari urat saraf yang akan dipotongnya. Jari jari tangan kiri meraba raba jidat dan tengkuk sedangkan tangan kanan memegang pedang Kim kong kiam. Akhirnya ia menemukan urat yang akan dipotongnya, lalu pedangnya didekatkan pada kepala gadis itu. Akan tetapi gerakannya di urungkan, dan kepada gadis itu ia berkata,

“Pedang ini akan melukai kulitmu dan orang tuamu akan menaruh curiga. Lebih baik aku menggunakan senjata yang lebih kecil agar jidatmu yang bagus itu tidak rusak kulitnya.”

Sambil menyeringai kakek itu lalu mempergunakan pedang untuk mengambil sepotong kulit dari tongkat bambunya. Kemudian ia meruncingkan kulit bambu itu dan tangannya siap bergerak memotong urat syaraf di kepala Siauw Yang!

Kulit bambu diangkat, kepala dipegang dan…. Lam hai Lo mo menggulingkan tubuhnya menggelundung pergi menjauhi Siauw Yang. Hampir saja kepalanya tertembus oleh sebatang pedang yang melayang bagaikan seekor ular terbang yang menyambarnya.

“Lam hai Lo mo, keparat keji! Masih belum kapok kau melakukan kekejaman di atas dunia ini?” Terdengar bentakan nyaring dan bukan main kagetnya Lam hai Lo mo karena ia melihat Thian te Kiam ong Song Bun Sam berdiri mendekati Siauw Yang dan mengambil kembali pedangnya yang menancap pada batang pohon setelah gagal menembusi kepala Lam hai Lo mo. Bagaimana tiba tiba saja pendekar besar ini dapat datang di situ? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Song Bun Sam yang terluka oleh pukulan Sam hiat ci hoat beristirahat dan memulihkan kesehatannya di atas Pul au Sam liong to, ditemani oleh isterinya. Tiga hari kemudian, ia telah sembuh kembali. Ia amat mengkhawatirkan keadaan Tek Hong, maka segera mengajak isterinya untuk mencari puteranya yang dibawa pergi oleh Siang Cu. Sebelum pergi mereka memeriksa keadaan di dalam gua bekas tempat tinggal Lam hai Lo mo dan dengan girang Bun Sam mendapatkan seekor katak putih yang sudah berisi darah ular merah. Sebagai seorang yang banyak pengalamannya di dunia kang ouw, tahulah Bun Sam bahwa katak putih ini adalah obat penawar racun yang paling jahat, maka dengan amat hati hati ia menyimpan katak mati itu di dalam kantong bajunya.

Di dalam perjalanan, atas keterangan penduduk di sepanjang perjalanan itu, mereka mendengar bahwa putera mereka menuju Ke dusun Tiang kwan, maka cepat cepat mereka mengejar ke jurusan itu. Tak lama setelah Siauw Yang pergi mencari Lam hai Lo mo setelah melihat kakaknya dan Siang Cu menggeletak di atas tanah, datanglah Bun Sam dan isterinya. Yang menggeletak itu adalah tubuh tiga orang muda yang sudah menggeletak seperti tak bernyawa pula, yakni tubuh Tek Hong, Siang Cu, dan Bong Eng Kiat.

“Tek Hong....” Sian Hwa meratap pilu sambil menubruk dan memeluk tubuh Tek Hong. Ia merasa terharu sekail melihat betapa puteranya itu masih dalam keadaan merangkul leher Siang Cu dan merasa ngeri melihat wajah sepasang orang muda ini menjadi kebiruan dan di jidat mereka terdapat tanda tiga jari merah. Bun Sam yang lebih tenang, segera menarik pergi isterinya dan cepat berlutut memeriksa nadi dan dada Tek Hong. Wajahnya berpeluh dan sepasang matanya sukar dilukiskan, karena di situ terdapat bayangan gelisah, marah, terharu dan juga penuh harapan.

“Bagaimana terjadinya semua ini?” tanya Bun Sam tanpa menoleh kepada seorang petani yang terdekat.

“Entahlah, kami hanya melihat tahu tahu mereka bertiga sudah menggeletak di sini. Akan tetapi baru saja seorang gadis gagah juga melihat mereka dan gadis itu berlari masuk ke dalam hutan seperti mengejar sesuatu!”

Pucat wajah Bun Sam mendengar ini. Segera dikeluarkannya katak putih dari kantongnya.

“Sian Hwa, lekas kau mencoba menolong mereka berdua. Tekan keras keras katak ini sampai keluar darah putih dari tubuh belakang nya dan beri minum tigabelas tetes kepada mereka!”

“Bukankah.... bukankah   mereka   sudah....   sudah....

mati?” tanya Sian Hwa.

“Mati atau hidup berada di tangan Thian. Kau boleh mencoba. Aku tidak tahu berapa tetes seharusnya, akan tetapi obat ini amat berbahaya, jangan lebih dari tigabelas tetes. Aku haru mengejar gadis itu ”

“Siauw Yang    ?”

Bun Sam mengangguk. “Siapa lagi kalau bukan dia? Tentu Lam hai Lo mo tidak jauh dari sini.” Setelah berkata demikian dan memberikan katak putih kepada isterinya, Bun Sam melompat dan lenyap dari situ membuat para petani yang berada di situ bengong. Setelah memasuki hutan, dengan tepat sekali Bun Sam melihat betapa Lam hai Lo mo menari nari dan hendak menusuk kepala Siauw Yang dengan sekerat kulit bambu. Cepat sekali pendekar ini menghunus pedang, untuk melompat tiada waktu lagi, maka ia lalu melemparkan pedangnya, dan mengarah kepala Lam hai Lo mo dalam usahanya untuk menolong puterinya.

Demikianlah, Lam hai Lo mo ternyata dapat mengelak dari sambaran pedang dan kedatangan Song Bun Sam telah menyelamatkan nyawa Siauw Yang dari bahaya yang mengerikan sekali. Sekali totok saja Thian te Kiam ong telah dapat membebaskan puterinya dari pengaruh tiam hoat yang tadi dilakukan oleh Lam hai Lo mo dengan tongkatnya.

“Ayah.... Hong ko telah....” kata Siauw Yang penama kali ia dapat membuka mulutnya.

“Aku sudah tahu, kau lekas pergi membantu ibumu menolong mereka!”

“Mereka sudah.... sudah mati, ayah  ”

“Diam dan pergilah!” bentak Song Bun Sam dengan penuh geram sambil berdiri dan menghadapi Lam hai Lo mo. Raja Pedang ini marah bukan main kepada Lam hai Lo mo sehingga ia sampai membentak bentak puterinya yang tercinta. Adapun Siauw Yang tidak berani membantah pula, cepat ia mengambil pedangnya yang tadi terlempar dan diletakkan di atas tanah oleh Lam hai Lo mo, kemudian ia meninggalkan ayahnya yang hendak menghadapi kakek itu. Akan tetapi baru beberapa langkah, ia berhenti dan berkata,

“Ayah, ini pedangmu!” Ia melemparkan pedang itu ke arah ayahnya yang menyambutnya tanpa melihat pedang itu. Kemudian pendekar besar ini lalu melontarkan pedang Oei giok kiam, yakni pedang isterinya, kepada Siauw Yang.

Gadis inipun menyambut pedang itu, lalu berlari cepat meninggalkan hutan untuk membantu ibunya. Hatinya berdebar girang karena melihat ayahnya, seakan akan kakaknya dan Siang Cu masih akan dapat tertolong!

“Lam hai Lo mo, kau manusia ataukah iblis? Kekejamanmu sudah melewati batas kekejian iblis sendiri!” Saking marahnya, Thian te Kiam ong Song Bun Sam tidak dapat mengeluarkan kata kata lebih panjang lagi.

“Ha, ha, hi hi hi! Song Bun Sam, puaskah kau sekarang? Puteramu mampus, puterimu hampir saja gila. Ha, ha, ha! Dan sekarang kaupun akan mampus!” Sambil berkata demikian, tiba tiba kakek ini menyerang dengan tongkatnya, ditusukkan ke leher Bun Sam sedangkan tangan kirinya bergerak memukul dengan ilmu Sam hiat ci hoat. Serangan ini ganas dan berbahaya sekali karena mengetahui akan ketangguhan lawannya. Lam hai Lo mo telah mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya.

Namun, dalam kemarahannya, Bun Sam tidak mengenal kasihan lagi ia menggerakkan pedangnya, menangkis tongkat itu dan begitu terbentur, tongkat bambu itu patah menjadi dua, sedangkan pedang yang terbentur cepat membalik memapaki tangan kiri lawan.

“Aduh....!” Lam hai Lo mo menjerit ketika pergelangan tangannya terbabat putus oleh pedang Kim kong kiam. Dari gerakan ini saja dapat di ukur kehebatan ilmu pedang Bun Sam. Dalam segebrakan saja, ia telah dapat membabat putus tangan Lam hai Lo mo yang terkenal memiliki kepandaian hebat itu.

“Lam hai Lo mo, putusnya tanganmu itu menjadi bukti akan keganasan dan kekejaman tanganmu yang sudah 

merobohkan banyak orang yang tak berdosa. Sekarang aku mengajukan penawaran padamu. Sembuhkan Tek Hong dan Siang Cu, dan kau akan kuberi pembebasan!”

Lam hai Lo mo meringis ringis kesakitan dan cepat cepat ia menggunakan tangan kanan yang sudah melempar jauh tongkatnya yang terputus, untuk menotok jalan darah di tangan kirinya sehingga aliran darah terhenti dan tidak lagi darahnya mengucur keluar dari pergelangan tangan kiri yang putus. Kemudian ia tertawa bergelak! Memang hebat sekali kakek buntung ini. Dalam keadaan paha terluka dan tangan kiri putus, ia masih dapat tertawa terbahak bahak seperti iblis.

“Ha, ha, ha, hi, hi, hi, Thian te Kiam ong. Kau mau menukar nyawaku dengan nyawa dua orang anak itu? Murah sekali, aku yang rugi! Aku sudah tua dan bercacat, sedangkan mereka masih muda belia!”

“Akan tetapi kau akan menerimanya karena kau masih suka hidup,” kata Bum Sam.

“Tepat! Tepat sekali, memang aku harus hidup untuk dapat membalas dendam atas sakit hati ini.”

“Kau gila karena hatimu diracuni dendam.”

“Manusia mana yang tidak gila? Ha, ha, ha! Hayo kita ke sana, akan kucoba menyembuhkan mereka.”

Dengan didampingi oleh Lam hai Lo mo yang terpincang pincang Bun Sam lalu pergi kembali ke tempat di mana Tek Hong dan Siang Cu menggeletak. Mereka mendapatkan Sian Hwa dan Siauw Yang masih sibuk mengobati mereka. Besar hati ibu dan adik ini melihat Tek Hong dan Siang Cu mulai dapat bernapas lagi, sungguhpun wajah mereka masih kebiruan. Tadi ketika menolong puteranya dan Siang Cu, hati Sian Hwa yang penuh welas asih itu mendorongnya untuk menolong Eng Kiat pula. Akan tetapi ternyata bahwa pemuda putera Tung hai Sian jin ini remuk isi kepalanya dan sudah tidak bernyawa lagi. Adapun Tek Hong dan Siang Cu, kalau sekiranya tidak lekas lekas mendapat pengobatan katak putih, tentu takkan tertolong pula. Obat di seluruh dunia takkan bisa menyembuhkan mereka, karena akibat pukulan Sam hiat ci hoat memang luar biasa hebatnya.

Biarpun Tek Hong dan Siang Cu sudah bernapas lagi dan hati Sauw Yang sudah agak lega, namun mereka masih menangis melihat dua orang muda itu diam tak bergerak dan muka mereka masih kebiruan.

“Sudahlah, jangan kalian menangis.” Bun Sam menegur.

“Bagaimana tidak akan menangis melihat putera kita berjuang antara hidup dan mati?” Sian Hwa mencela suaminya yang dianggap kurang mencinta anak dengan kata katanya tadi.

“Mati dan hidup di tangan Thian, mengapa kita harus memusingkannya? Andakata dia mau, Hong ji hanya mati raganya belaka, mengapa susah susah?” Bun Sam sengaja berkata demikian agar Lam hai Lo mo tidak menjadi makin girang dan menjual mahal. Kalau dia memperlihatkan kesedihan terlau hebat, tentu kakek itu akan menggodanya dan menjual mahal dalam mengobati Tek Hong.

Akan tetapi, Sian Hwa sebagai ibu yang sedang gelisah melihat keadaan puteranya, menjadi marah dan berkata gemas.

“Bagaimanakah kau ini? Andaikata kau tega kematian anak kita, apakah kau tega melihat penderitaannya yang demikian hebat?” Lam hai Lo mu sudah tertawa tawa dan sepasang matanya berseri seri mendengar ucapan isteri dari musuh besarnya itu. 

“Betapa beratpun penderitaannya, yang menderita hanyalah raganya. Jiwanya takkan mati, takkan luka, takkan merasakan sakit. Serahkan saja kepada Thian ”

Bun Sam menghibur.

“Enak saja kau bicara! Kita diamkan saja tanpa mengusahakan kesembuhannya?” Sian Hwa berdiri dan memandang kepada suaminya dengan mata bersinar sinar. Dalam kemarahannya, nyonya ini sampai lupa akan kehadiran Lam hai Lo mo di tempat itu yang sesungguhnya merupakan hal yang amat ganjil.

Akan tetapi tidak demikian dengan Siauw Yang. Melihat musuh besarnya datang bersama ayahnya dalam keadaan masih hidup, gadis ini membentak keras dan segera menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi tangannya tergetar dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan ketika ayahnya menangkis serangan ini.

“Sabar, Siauw Yang “ Kemudian Bun Sam menghadapi isterinya. “Tentang ikhtiar penyembuhan, tentu saja menjadi kewajiban kita untuk melakukannya. Kedatangan Lam hai Lo mo ini adalah untuk mengobati mereka.”

Seketika itu Sian Hwa dan Siauw Yang tertegun dan tak dapat berkata kata, hanya memandang ke arah Lam hai Lo mo dengan mata terbuka lebar lebar. Benar benarkah kakek siluman ini hendak menyembuhkan Tek Hong dan Siang Cu?

Sambil tersenyum mengejek karena dalam suasana sekarang ini dia menang, yakni menjadi orang yang amat dibutuhkan pertolongannya, Lam hai Lo mo lalu berlutut memeriksa Siang Cu dan Tek Hong.

“Hmm, dari mana kalian mencuri katak putih?” tegurnya sambil berpaling kepada Bun Sam. “Bukan mencuri, melainkan membawa dari guamu di Sam liong to,” jawab Bun Sam tenang.

“Ha, ha, ha, kalian pencuri!” Kenudian diperiksanya sekali lagi jidat dua orang anak muda itu. “Akan tetapi kalau kalian tadi tidak menolong mereka ini dengan katak putih, biarpun aku sendiri takkan mungkin menyembuhkan mereka.”

Sebagai orang yang menciptakan ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat, tentu saja Lam hai Lo mo selalu membawa obat penawar racun pukulan itu. Ia mengeluarkan sebuah botol berisi obat cair warna putih, yakni sari daripada darah putih katak putih.

“Berapa teteskah mereka diberi minun darah putih dari katak mujijat?” tanyanya.

“Masing masing tiga belas tetes,” jawab Sian Hwa, suaranya halus karena pada saat itu, tidak ada kebencian sedikupun juga di dalam hatinya terhadap Lam hai Lo mo.

“Hm, kurang dua tetes masing masing,” kata kakek itu dan dengan cepat ia meneteskan dua tetes darah putih ke dalam mulut Tek Hong dan Siang Cu. Kemudian ia minta katak putih itu dari Sian Hwa dan mempergunakan perut katak itu untuk digosok gosokkan pada luka di jidat dua orang muda itu. Sebentar saja warna kebiruan yang membayang pada muka itu menjadi hilang, demikian pula tiga jari merah yang berbekas di jidat. Setelah itu, Lam hai Lo mo lalu mengeluarkan enam butir pel hijau.

“Beri minum mereka itu masing masing tiga butir dan semua darah berbisa akan lenyap dari tubuh mereka,”

Sian Hwa sambil bercucuran air mata berlutut di depan kakek itu. “Lam hai Lo mo, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada anakku dan Siang Cu.”

Lam hai Lo mo menjadi pucat. “Eh, apa apaan ini? Aku.... aku ”

Kakek itu menjadi makin terkejut ketika melihat Bun Sam menjura pula kepadanya dan berkata dengan suara terharu, “Lam hai Lo mo, istriku benar. Akupun menghaturkan terima kasih kepadamu dan maafkanlah semua kesalahanku yang sudah sudah. Mudah mudahan semenjak saat ini kita akan menjadi sahabat yang baik dan lenyaplah segala permusuhan yang tidak berarti.”

Lam hai Lo mo membanting banting kakinya seperti orang gila.

“Kalian gila! Gila sehebat hebatnya! Akulah yang melukai mereka ini. Aku yang tadinya hendak membunuh mereka, dan aku pula yang sudah membunuh Eng Kiat itu! Dan kalian sekarang menghaturkan terima kasih?”

Makin mencak mencak Lam hai Lo mo ketika melihat Siauw Yang ikut berlutut pula di samping ibu nya.

“Pembunuhan yang belum terlaksana bukanlah pembunuhan namanya. Akan tetapi penyembuhanmu telah terbukti, maka sudah seharusnya kami berterima kasih,” jawab Bun Sam.

Inilah pukulan batin yang amat hebat bagi Lam hai Lo mo.

“Tidak bisa! Tak mungkin! Kalau musuh musuh besarku. Aku akan bunuh kalian kalau bisa. Aku mengobati mereka ini karena terpaksa! Song Bun Sam, kau dan sekeluargamu akan kubunuh semua. Ha, ha, ha, biarpun kalian berlutut memberi hormat, tetap akan kubunuh. Ha, ha, ha!” “Mana mungkin, Lam hai Lo mo? Kau sudah kehilangan sebelah kaki dan sebelah tangan. Hanya satu tangan kananmu itu dapat dipergunakan untuk apakah? Lebih baik kau merubah cara hidupmu, bertaubat dan menjadi manusia baik baik, bertapa mensucikan diri menebus dosa dosamu....” Bun Sam membujuk.

Lam hai Lo mo makin pucat, ia menunduk, memandang ke arah kakinya yang buntung dan tangan kirinya yang buntung pula. Kemudian ia tertawa terbahak bahak.

“Ha ha ha, hi hi hi! Kakiku hilang, tanganku hilang! Tinggal tangan kanan ini untuk apakah? Aha, Thian te Kiam ong, kaukira aku tidak bisa membunuhmu dengan satu tangan? Lihat, aku bersumpah, disaksikan oleh jari kelingkingku, dengan empat jari tangan kanan akan kubunuh sekeluargamu!” Setelah berkata demikian, kakek ini lalu menggigit putus jari kelingking kanannya dan makan jari kelingking itu seperti orang makan kacang! Ternyata bahwa sikap keluarga Song itu benar benar merupakan tusukan batin yang lebih hebat daripada tusukan pedang dan membuat kakek ini berobah ingatannya!

Suara jari kelingking dimakan terdengar kletak kletuk karena gigi kakek yang sudah ompong itu sukar untuk meremukkan tulang tulang jari itu. Sian Hwa dan Siauw Yang menjadi pucat saking merasa ngeri, sedangkan Bun Sam menggeleng geleng kepalanya dengan muka mengandung hati iba.

“Ha, ha, ha, keluarga Song. Lihat, jari tanganku tinggal empat. Akan tetapi jangankan empat, tiga jari saja sudah cukup! Ibu jariku tidak perlu, karena dengan tiga jari saja, Sam hiat ci hoat akan menumpas seluruh keluarga Song!” Setelah berkata demikian, kembali mulut kakek itu menggigit ibu jarinya yang besar. Nampak mukanya 

berkerut kerut, bibirnya merah karena darahnya sendiri dan kini ibu jarinya telah putus pula, terus dimakannya seperti anjing menggerogoti tulang keras!

“Lam hai Lo mo, ingatlah dan sebutlah nama Thian!” kata Bun Sam penuh rasa haru.

“Bun Sam, anjing gila! Kau kira aku tidak ingat? Ha, ha, lihat, tiga jari tanganku sanggup memecahkan batok kepalamu!” Setelah berkata demikan, kakek itu maju hendak mempergunakan ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat menyerang Bun Sam. Pendekar ini dengan tenang tidak mundur selangkahpun dan memandang tajam.

Akan tetapi, tiba tiba tubuh kakek itu terguling dan ia menjerit jerit kesakitan. Tangan kanan yang sudah buntung dua jarinya dan tangan kiri yang sudah buntung sebatas pergelangan itu menekan nekan perutnya, kakinya yang belun buntung berkelojotan. Mukanya menjadi biru dan tak lama lagi menghitam. Berhentilah kelojotan kakinya dan ia rebah tertelungkup dalam keadaan tak bernyawa lagi.

“Mari kita tolong dia dengan katak putih.....” kata Sian Hwa terharu.

“Tiada gunanya, ia telah makan jari jarinya sendiri sedangkan jari jari tanganya itu penuh dengan racun untuk melatih ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat.” kata Bun Sam. Benar saja, setelah diperiksa kakek yang jahat seperti siluman itu telah tewas.

Tek Hong dan Siang Cu siuman kembali Mereka masih lemah akan tetapi dapat bangun dan duduk. Dengan heran mereka saling pandang, tersenyum dan ketika mereka melihat Bun Sam, Sian Hwa dan Siauw Yang, keduanya mengeluarkan seruan tertahan. Tadinya mereka mengira bahwa mereka telah berada di dalam alam baka dan tersenyum karena merasa berbahagia mendapatkan kekasih berada di dekatnya. Akan tetapi, kehadiran tiga orang itu menjadi bukti bahwa mereka masih hidup!

“Tek Hong  kau baru saja bangun dari kematian!” kata

Sian Hwa sambil merangkul anaknya dengan tangan kanan dan merangkul Siang Cu dengan tangan kiri. “Aku sudah tahu akan isi hati kalian. Sudah patut sekali kalian menjadi jodoh, Gwat Eng, kau puteri sahabat sahabat kami, Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee. Kalau orang tuamu masih hidup.... ah, alangkah senang nya hati mereka ”

Merdengar ini, Siang Cu merangkul Sian Hwa sambil menangis penuh keharuan hati.

“Menang mereka sudah sepatutnya menjadi suami isteri,” kata Bun Sam. “Mari kita urus jenazah Lam hai Lo mo dan Eng Kiat sepantasnya, dan cepat kembali ke Tit le.”

Dibantu oleh para petani dua jenazah itu di kubur, dengan hati tenang Tek Hong dan Siang Cu mendengarkan penuturan Siauw Yang tentang segala hal yang telah terjadi. Siang Cu merasa amat bersukur. Lam hai Lo mo adalah gurunya, maka biarpun kedua orang tuanya telah terbunuh oleh kakek itu, namun ia selalu masih ragu ragu untuk membalas dendam. Kini, Lam hai Lom mo tewas karena perbuatan sendiri, musuh besarnya tewas dan ia tak usah membunuh guru sendiri. Juga Eng Kiat telah tewas oleh Lam hai Lo mo sehingga ia tidak usah melanggar sumpahnya sendiri yang hendak melakukan pernikahan dengan pemuda itu. Dan yang lebih membahagiakan hatinya lagi, keluarga Song telah menerimanya dengan baik baik sebagai calon isteri Tek Hong, pemuda yang memang dicinta dengan seluruh hatinya. Setelah upacara penguburan jenazah jenazah itu beres, Bun Sam berkata, “Sekarang marilah kita cepat cepat pulang ke Tit le. Aku sudah mendengar tentang dibakarnya rumah kita, akan tetapi apa artinya hal sekecil itu? Kita bsa membuat lagi ramah kecil kecilan dan yang paling penting, kita akan rayakan upacara perjodohan antara Tek Hong dan Gwat Eng.”

Semua orang berseri wajahnya mendengar ini, apalagi Siang Cu dan Tek Hong yang menjadi merah mukanya dan tidak berani saling pandang secara langsung, melainkan saling kerling dengan pandang mata penuh arti. .

Akan tetapi, tiba tiba Siauw Yang menangis dan menutupi mukanya dengan kedua tangan. Bun Sam mengangkat alisnya, demikian pula Tek Hong.

“Ah, adikku yang manis, mengapa kau menangis?” tanya Tek Hong, Siauw Yang tidak menjawab, akan tetapi tangisnya makin menjadi.

“Siauw Yang, jangan seperti anak kecil. Kau menangis karena apakah?” tanya Bun Sam. Sampai lama barulah Siauw Yang dapat menjawab, ia menurunkan kedua tangannya, bibirnya dipaksa tersenyum akan tetapi wajahnya pucat sekali.

“Tidak apa apa, ayah. Aku hanya terlalu girang memikirkan bahwa Hong ko telah selamat dan musuh besar kita telah tewas.”

Jawaban ini memuaskan hati Tek Hong dan Siang Cu, akan tetapi meragukan hati Bun Sam dan menggelisahkan hati Sian Hwa. Ibu yang berpemandangan tajam ini dapat mengerti apa yang menjadi sebab maka puterinya menangis. Maka ia lalu membawa Siauw Yang ke tempat sunyi dan bertanya, “Siauw Yang, bagaimana hasilnya dengan perjalananmu mencari Liem siucai?”

Mendengar pertanyaan yang langsung mengenai hatinya dan yang tepat sekali itu, Siauw Yang menangis lagi dan merangkul ibunya. Sian Hwa mendekap kepala puterinya ke dada, seperti dahulu kalau ia menghibur Siauw Yang ketika masih kecil.

“Bilanglah terus terang kepada ibumu, anakku. Apakah yang terjadi antara kau dan Liem Siucai?”

“Ibu.... dia.... dia menghinaku ”

Sian Hwa mengerutkan alisnya. “Apa? Dia menghina anakku? Bagaimana seorang yang sopan santun dan halus budi pekertinya seperti dia dapat menghinamu, Siauw Yang?”

“Dia.... dia telah membikin malu padaku. Aku datang untuk menolongnya dari Sin tung Lo kai, tidak tahunya dia.... dia menjadi anak angkat dari orang tua itu ” Lalu

gadis ini menceritakan sejelasnya pada ibunya tentang pengalamannya dengan Pun Hui di rumah Sin tung Lo kai.

Sian Hwa diam diam tersenyum dan dia tahu akan kesusahan hati puterinya. Ia memang suka kepada pemuda itu dan sudah merasa setuju kalau pemuda yang halus dan sopan dan terpelajar itu menjadi mantunya. Diam dam ia lalu merundingkan hal ini dengan suaminya setelah menghibur hati Siauw Yang.

Bun Sam mengerutkan alisnya. “Sin tung Lo kai adalah seorang tokoh kang ouw yang ternama dan iujur, akan tetapi ia terkenal kasar dan tidak mau kalah. Bagaimana Pun Hui menjad putera angkatnya? Habis, bagaimana kehendakmu?” “Sudah jelas bahwa Siauw Yang mencintai pemuda itu, demikian sebaliknya. Yang ji sudah menceritakan betapa pemuda itu membelanya dan biarpun tiada kepandaian silat namun berani mati membela Siauw Yang, itu sudah cukup menunjukkan kesetiaan hatinya. Kalau mereka sudah saling setuju dan kita tahu bahwa pemuda itu memang seorang yang baik sekali, mengapa kau tidak datang ke tempat tinggal Sin tung Lo kai untuk merundingkan soal perjodohan itu?”

“Kau menyuruh aku pergi ke sana dan meminang Pun Hui? Hm, itu amat merendahkan kita. Apalagi orang sekasar Sin tung Lo kai itu, mana dia mau menerima begitu saja? Pun Hui sudah menjadi puteranya dan kalau pemuda itu memang suka kepada anak kita, mengapa tidak Sin tung Lo kai sebagai ayah angkatnya datang meminang Siauw Yang?”

“Suamiku, mengapa kau begitu kukuh? Sin tung Lo kai sudah terang seorang yang kasar dan kaku, akan tetapi bukankah kau bukan seperti dia? Benar bahwa Pun Hui sudah menjadi anak angkatnya, akan tetapi, jangan lupa bahwa lama sebelum siucai itu menjadi anak angkatnya, dia sudah berhubungan dengan kita. Juga Liem siucai adalah murid dari Yap Thian Giok, berarti dia masih murid keponakan kita sendiri. Membicarakan soal perjodohan diantara orang kita sendiri, masih pakai sungkan sungkan apalagi? Terutama sekali, kau melakukan hal ini demi kebahagiaan puteri kita.”

Melihat isterinya sudah menyerang dengan muka merah, Bun Sam mengangkat pundak dan mengangguk angguk.

“Baiklah, baiklah, memang aku orang tua harus selalu turun tangan sendiri, baru urusan orang orang muda dapat dibereskan. Aah, begini kalau menjadi orang tua ” Pendekar besar itu menghela napas berulang ulang dan Sian Hwa diam diam mentertawakannya.

“Lo pangcu, di luar ada tamu hendak bicara dengan pangcu,” seorang anggauta Ang sin tung Kai pang melapor kepada Sin tung Lo kai Thio Houw yang sedang bercakap cakap dengan puteri nya, yakni Bi sin tung Thio Leng Li dan putera angkatnya, Liem Pun Hui di ruang belakang.

“Siapa dia?” tanya kakek itu kurang perhatian.

“Dia bukan orang biasa, lo pangcu, melainkan Thian te Kiam ong Song Bun Sam sendiri,” anak buahnya melapor dengan wajah berseri karena anggauta ini menganggap bahwa kunjungan pendekar besar itu merupakan peristiwa yang amat penting.

“Hm, biarpun Thian te Kiam ong sendiri, orang apakah perlu disebut bukan orang biasa? Suruh dia menunggu di luar!” kata Sin tung Lo kai ketus sehingga anggautanya itu buru buru keluar lagi.

Lem Pun Hui ketika mendengar bahwa yang datang adalah ayah Siauw Yang, otomatis berdiri dari bangkunya dan hendak berlari keluar.

“Duduk saja kau!” Sin tung Lo kai membentak dan Pun Hui yang melihat lirikan penuh arti dan Leng Li, lalu duduk kembali.

“Ayah, tentu kedatangannya ada hubungannya dengan perjodohan Song lihiap dengan toako,” kata Leng Li.

“Hm, habis mengapa? Dia bukan orang yang pinangannya harus diterima oleh siapapun juga,” jawaban dari kakek ini membuat muka Pun Hui menjadi pucat, akan tetapi Leng Li tersenyum. “Ayah, sekiranya dicari di dunia ini, tidak ada besan bagimu yang lebih berharga daripada Thian te Kiam ong! Akan tetapi, kita tak boleh merendahkan diri dan tidak seharusnya menerima begitu saja usul perjodohannya, biar ia seorang besar seperti Thian te Kiam ong sekalipun.”

Berseri wajah Sin tung Lo kai, akan tetapi Pun Hu memandang kepada Leng Li dengan heran dan muka muram.

“Kau benar, anakku! Mengapa kita harus merendah rendah dan tunduk kepadanya? Hendak kulihat dia akan berbuat apa kalau kita tidak menuruti kemauannya!”

“Bukan begitu ayah. Dalam jaman sekacau ini, mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga Song, merupakan keuntungan besar bagi kita. Hal itu akan menjunjung tinggi namamu dan juga orang orang lebih memandang hormat dan segan kepada kita. Lagi pula, toako sudah suka kepada Song lihiap yang kepandaiannya kita sudah menyaksikannya. Akan tetapi, harus diadakan syarat syaratnya.”

“Hm, siapa suka mempunyai mantu yang pernah menghina dan menantangku?”

“Hal itu boleh dimaafkan, ayah, karena Song lihiap tidak tahu bahwa kau adalah ayah angkat toako, dan dia masih muda serta berdarah panas. Bagaimana kalau ayahnya diharuskan minta maaf untuk puterinya?”

“Itu saja belum cukup mendinginkan hatiku,” jawab Sin tung Lo kai, “Memang di samping itu harus ada syarat lain, yakni dia harus diajak bertanding,” kata Leng Li dengan kerling mata cerdik sekali. 

Sin tung Lo kai mengerutkan kening. “Kepandaiannya tinggi sekali, aku takkan menang.” Memang kakek ini jujur sekali biarpun ia tidak suka mengaku kalah.

“Itulah syarat untuk memancingnya. Kalau ayah kalah berarti kita mempunyai cukup alasan untuk menolak usul perjodohannya. Ayah boleh minta waktu sampai ayah kelak dapat menang daripadanya.”

“Hm, boleh juga. Hitung hitung menguji kepandaian sendiri. Akan tetapi, bagaimana kalau dia yang kalah?”

“Kalau dia kalah, berarti ayah tidak takut padanya dan tentu saja usul itu boleh diterima atau ditolak menurut sekehendak hati ayah.”

Sin tung Lo kai diam untuk beberapa lama, lalu mengangguk angguk. “Baik, mari kita keluar menyambutnya.” Dengan langkah lebar kakek ini keluar, diikuti oleh Leng Li yang tersenyum senyum dan yang tidak memperdulikan pandang mata Pun Hui yang penuh sesal kepadanya.

Dengan amat sabar dan tenang Song Bun Sam menanti di ruang tamu dan ketika ia melihat tuan rumah, cepat bangun berdiri dan memberi hormat selayaknya. Sekilas ia mengerling ke arah Pun Hui dan Leng Li serta menerima penghormatan mereka dengan anggukan kepala.

“Ah, tidak tahunya Thian te Kiam ong Si Raja Pedang yang ternama besar mengunjungi tempatku yang buruk. Tidak tahu ada urusan penting apakah?” tanya Sin tung Lo kai dengan sikap angkuh.

Diam diam Bun Sam berdebar mendengar ucapan dan melihat sikap tidak mengasih ini, akan tetapi ia tetap berlaku tenang dan senyum di bibirnya tidak mengurang. “Sin tung Lo kai, selain aku datang untuk berkunjung karena sudah lama menghormati namamu yang besar juga kedatanganku ini ada hubungannya dengan putera angkatmu itu,”

“Ada apa dengan dia?”

“Kami sekeluarga sudah merundingkan hal ini dan sudah sepakat untuk minta persetujuanmu agar puteramu ini dijodohkan dengan puteri kami. Puteramu sudah kenal baik dengan puteri kami dan mereka itu nampaknya memang berjodoh.”

“Eh, eh, kau lucu sekali, Thian te Kiam ong. Mana ada fihak wanita meminang laki laki?”

“Memang berat menjadi orang tua yang hendak memenuhi keinginan hati anak muda,” jawab Bun Sam tersenyum, akan tetapi mukanya berubah merah.

“Bukankah puterimu itu bernama Song Siauw Yang?” “Benar begitu, agaknya kau sudah mengenalnya”

“Siapa tidak mengenalnya dia, nona yang berkepandaian begitu tinggi sehingga berani menghina dan menantangku?”

Bun Sam terkejut, Siauw Yang tak pernah bercerita kepadanya tentang hal ini. Juga Sian Hwa yang mendengar penuturan puterinya, tidak berani menceritakan hal ini kepada suaminya. Kalau Bun Sam mendengar hai ini, tentu ia tidak mau datang mengunjungi kakek pengemis ini!

Untuk beberapa lama Bin Sam tak dapat berkata kata, nampaknya bingung dan gugup.

“Kekeliruan tindak anaknya adalah kesalahan orang tuanya, demikianlah orang orang jaman dahulu berkata,” tiba tiba Leng Li berkata. “Song lihiap memang keras kepala dan berwatak berani serta kasar.” Bun Sam mengerling ke arah gadis itu dan tiba tiba ia tersenyum.

“Cocok sekali perbilangan itu, Sin tung Lo kai, kalau puteriku telah bersikap keliru kepadamu, biarlah aku sebagai ayahnya memintakan maaf kepadamu.” Bun Sam menjura dan Sin tung Lo kai menjadi bangga sekali. Thian te Kiam ong menjura minta maaf kepadanya. Ah, kalau saja orang orang kang ouw melihat akan hal ini.

“Sudahlah, hal itu tak perlu diperbincangkan lagi. Tentang usul perjodohanmu, aku mempunyai cita cita bahwa siapa yang menimang kedua anakku, harus memenuhi syaratnya, yakni bertanding dulu dengan aku. Bagaimana, apakah kau menerima usul ini?”

Song Bun Sam makin bingung. Bagaimanakah kakek ini? Didatangi orang yang mengusulkan perjodohan, bahkan diajak bertanding silat! Bukankah hal ini berbahaya sekali dan dapat menjadikan bibit permusuhan?

“Kalau aku kalah, berarti bahwa yang menjadi calon jodoh anakku adalah puteri seorang yang benar benar gagah, jadi aku tidak ragu ragu lagi.”

“Hm, maksudmu, kalau kau kalah, kau akan menerima usul perjodohan ini?” Bun Sam minta keterangan.

“Belum tentu begitu. Hal diterima atau tidak adalah soal belakang, tak dapat dibicarakan sekarang. Pendeknya, mau atau tidak kau memenuhi syarat itu dan bertanding melawanku?”

“Kalau aku yang katah?”

“Kalau kau kalah? Aku akan menimbang nimbang apakah puteraku sudah cukup patut menjadi mantu seorang yang kepandaiannya lebih rendah daripadaku.” Bun Sam menjadi bingung. Ia dihadapkan pada teka teki yang ruwet. Kalau ia menang, tentu kakek yng keras kepala ini akan sakit hati, dan kalau ia kalah, kakek yang sombong ini akan memandang rendah kepadanya. Bagaimana baiknya?

“Ayah, jangan kau sampai kalah olehnya. Kalau kau kalah, aku akan belajar lebih giat lagi agar kelak aku dapat menebus kekalahanmu itu. Pendeknya, kita akan berusaha untuk mengalahkan Thian te Kiam ong pendekar yang tak terkalahkan. Tidak percuma ayah terpilih menjadi ketua Ang sin tung Kai pang!” tiba tiba Leng Li berkata dengan penuh semangat.

Bun Sam yang amat cerdik tergerak hatinya mendengar ucapan ini. Tadi gadis itupun secara rahasia telah memberi nasehat padanya untuk minta maaf bagi kekalahan Siauw Yang, kini kata kata gadis itu mempunyai arti yang lebih dalam lagi. Maka ia tersenyum dan berkata,

“Kekalahan ayah akan merendahkan nama kami sebagai pengurus Ang sin tung Kai pang yang besar!” kata pula Leng Li dan Bun Sam menjadi lebih yakin lagi.

“Leng Li, tutup mulutmu!” Sin tung Lo kai yang kasar itu membentak, sedikitpun tidak tahu akan isi daripada kata kata puterinya. “Thian te Kiam ong, bagaimana jawabanmu? Sanggupkah kau?”

“Tentu saja, sobat. Marilah kita main main sebentar!” jawab Raja Pedang itu.

Sin tung Lo kai lalu mengeluarkan tongkat merahnya yang ampuh, diputar putar di atas kepala sambil memasang kuda kuda yang teguh.

Bun Sam tahu bahwa dengan bertangan kosong, belum tentu ia akan kalah. Akan tetapi hal ini akan merupakan penghinaan terhadap tuan rumah, sedangkan ia telah mengambil keputusan untuk melakukan kebijaksanaan sehingga ia dapat memecahkan hal yang amat sulit ini. Dengan tenang dicabutnya pedang Kim kong kiam, lalu ia memasang kuda kuda seakan akan bersungguh sungguh sambil berkata,

“Sin tung Lo kai, majulah!”

Kakek ketua pengemis itu tidak sungkan sungkan lagi, lalu menerjang dengan tongkat merahnya. Bun Sam menangkis dan tak lama kemudian mereka bertempur dengan hebatnya. Pun Hui berdiri dengan muka pucat dan hampir ia menangis. Bagaimanakah urusan menjadi begini ruwet? Diam diam ia mengeluh dan menyesali nasib sendiri.

Ilmu tongkat dari Sin tung Lo kai bukanlah ilmu tongkat biasa dan mampunyai gerakan yang amat berbahaya. Setelah bertempur beberapa belas jurus, tahulah Bun Sam bahwa kepandaian lawannya benar benar tinggi, tidak jauh bedanya dengan tingkat kepandaian Tung hai Sian jin, sungguhpun masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian Lam hai Lo mo. Akan tetapi ia mengimbangi kepandaian kakek ini dan tidak terlalu mendesak sehingga pertempuran berjalan dengan amat serunya.

Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut adalah raja ilmu pedang, maka tentu saja tongkat merah di tangan Sin tung Lo kai tidak berdaya menghadapinya. Hai ini semenjak tadi sudah terasa oleh Sin tung Lo kai yang tiada habis kagumnya menyaksikan gerakan pedang kuning emas sinarnya itu. Namun ia memang pantang kalah dan terus mendesak sambi mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Setelah bertempur enampuluh jurus lebih dan pedang serta tongkat bergulung gulung seakan akan menjadi satu, 

tiba tiba Bun Sam yang menghadapi gebukan tongkat pada pinggangnya, sengaja melompat dan memberikan pahanya digebuk.

“Buk!” Bun Sam melayang dan terhuyung huyung dengan muka merah, lalu menyimpan pedangnya dan menjura,

“Sin tung Lo kai, kau pantas menjadi ketua Ang sin tung Kai pang, karena kepandaianmu benar benar luar biasa. Aku Thian te Kiam ong mengaku kalah. Harap sebulan lagi kau sudi datang ke gubukku di Tit le untuk merundingkan urusan perjodohan anak kita.” Setelah menjura sekali lagi, Bun Sam lalu melenggang pergi dari situ. Sedikitpun ia tidak kelihatan terluka atau kesakitan.

Sin tung Lo kai berdiri dengan tangan kanan memegang tongkat, akan tetapi tangan kirinya sejak tadi bertolak pinggang saja. Bahkan ia tidak membalas penghormatan Bun Sam, hanya berdiri memandang dengah muka berubah pucat. Di dalam hatinya, ia tunduk betul kepada jago pedang itu. Gebukannya tadi tidak tersangka sangka olehnya karena kalau lawannya mau, tawannya itu masih dapat menangkis, mengapa sengaja memberikan pahanya untuk digebuk? Yang digebuk tidak apa apa, padahal gebukannya tadi cukup keras untuk menghancurkan batu karang, sebaliknya telapak kedua tangannya terasa panas dan linu. Bukan itu saja, ketika lawannya itu terlempar, tiba tiba tangan Bun Sam secepat kilat digerakkan ke arahnya dan kakek ini merasa ada sesuatu yang terputus atau terobek pada perutnya. Ketika ia meraba, ternyata bahwa tali celananya telah putus, kena direnggut secara halus dan tidak kentara oleh raja pedang itu!

“Hebat, hebat.... dia benar benar hebat!....” hanya demikian kakek itu berkata sambil menghela napas berhati kati, lalu menyeret tongkatnya sambil berjalan masuk. Pun Hui berdiri bengong dan terheran heran karena melihat kakek itu berjalan masuk sambil tangan kirinya masih bertolak pinggang. Benar benar aneh sekali. Pertempuran tadi aneh. Penyelesaiannya sudah aneh dan berakhir ganjil pula. Sekarang kakek itu berjalan sambil bertolak pinggang, benar benar ia tidak mengerti sama sekali.

Akan tetapi setelah kakek itu lenyap dari pandangan mata, terdengar Leng Li tertawa cekikikan, nampaknya geli hati sekali. Ketika Pun Hui menengok ke arahnya, pemuda ini lebih heran lagi. Leng Li tertawa tawa ditahan, akan tetapi kedua matanya mencucurkan air mata.

“Eh, eh, adik Leng Li, ada terjadi apakah semua ini? Aku yang sudah menjadi gila ataukah kalian semua bersikap aneh sekali?”

Leng Li menyusut air matanya, menahan geli hatinya dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata berseri.

“Selamat, selamat, kakakku yang baik. Perjodohanmu sudah dapat ditentukan dengan tangan.”

“Eh, apa kau gila? Kelakuan kalian benar benar merupakan teka teki bagiku.”

“Yang manakah yang membikin bingung padamu? Aku bisa memberi penjelasan.”

“Pertama tama, bagaimana dengan pertempuran tadi? Berjalan demikian cepatnya dan tahu tahu Thian te Kiam ong pergi mengaku kalah. Benar benarkah dia kalah?”

“Dia memang kalah, akan tetapi kekalahan yang luar biasa, karena ia sengaja mengalah! Ia memberikan pahanya digebuk oleh tongkat ayah, bukan karena kalah pandai, bahkan sebaliknya, untuk membuktikan bahwa kepandaiainya memang jauh lebih tinggi daripada ayah. Digebuk tidak apa apa, bahkan aku berani bertaruh tentu ayah merasa tangannya sakit sakit.”

“Hm, lihai sekali.” Pun Hui memuji girang karena memang di dalam hati, ia berfihak kepada ayah Siauw Yang. “Dan ke dua mengapa ayahmu berdiri saja bertolak pinggang, bahkan berjalan masuk rumah sambil bertolak pinggang pula? Apakah itu tandanya ia marah marah besar?”

Leng Li tertawa cekikikan lagi karena pertanyaan ini membangkitkan geli hatinya yang tadi sudah ditindasnya.

“Kasihan sekali ayah  kau tidak tahu bahwa ia bertolak

pinggang karena terpaksa.”

“Mengapa terpaksa. .?” Pun Hui makin heran.

“Karena karena kalau tangannya ia lepaskan dari pinggang....” Leng Li tidak dapat melanjutkan kata katanya karena kembali ia tertawa.

“Kalau diepaskan mengapa?” Pun Hui terkejut, mengira bahwa ayah angkatnya terluka hebat.

“Kalau dilepaskan, celananya akan merosot ke bawah!” Leng Li memegangi perutnya menahan ketawanya, “Tali celananya telah direnggut putus oleh Thian te Kiam ong.”

Pun Hui menggeleng geleng kepalanya. Ia tidak mengerti ketakuan orang orang kang ouw itu.

“Itupun memperlihatkan bahwa Thian te Kiam ong sepuluh kali lebih lihai daripada ayah, hanya pendekar besar itu sengaja tidak mau membikin malu dan sengaja mengalah. Apalagi yang kau tidak mengerti?”

“Kau tertawa geli aku dapat mengerti sekarang, akan tetapi mengapa kau mencucurkan air mata? Biasanya tak pernah kulihat kau tertawa sambil menangis.” Kembali dua butir air mata bertitik dari mata gadis itu. “Aku.... aku kasihan kepada ayah dan aku…. aku girang

karena soal perjodohanmu tentu akan beres.”

“Bagaimana kau bisa bilang begitu?” Pun Hui tidak mengerti bahwa kali ini gadis itu membohong, bukan karena berbahagia, melainkan karena terharu. Cinta hati gadis itu terhadap Pun Hui membuat ia merasa perih hati mengingat bahwa pemuda ini akan menjadi jodoh orang lain.

“Karena aku tahu akan watak ayah. Ia telah ditundukkan oleh Thian te Kiam ong, tanpa tersinggung kehormatannya. Kalau Thian te Kiam ong merobohkan dia, kiraku akan sukar bagimu untuk berjodoh dengan Song lihiap. Juga lebih sulit lagi. Akan tetapi sekarang, Thian te. Kiam ong telah berlaku demikian bijaksana untuk mengalah, sehingga pada luarnya ia kelihatan telah dikalahkan oleh ayah, akan tetapi diam diam ia menundukkan hati ayah karena kelihaiannya. Aku berani pastikan bahwa sebulan lagi ayah pasti akan pergi ke Tit le untuk meminang Song lihiap.

Ramalan Leng Li ini terbukti karena sebulan lagi, benar saja Sin tung Lo kai mengajak Pun Hui dan Leng Li pergi ke Tit le melakukan peminangan. Tentu saja pinangan diterima dengan sukacita dan tak lama kemudian dilangsungkanlah pernikahan antara Tek Hong dan Siang Cu serta Pun Hui dan Siauw Yang.

Orang orang kang ouw dari seluruh penjuru dunia datang menghadiri upacara pernikahan dan semua orang bergembira ria. Juga Leng Li dapat menghibur hatinya karena berkat bantuan Pun Hui, akhirrya ia mendapat jodoh pula dengan seorang sasterawan muda kawan Pun Hui, seorang sasterawan yang akhirnya menduduki pangkat cukup tinggi. 

Belasan tahun lewat dengan cepatnya semenjak pernikahan itu dirayakan. Pada suatu hari yang amat meriah, karena itu adalah hari Tahun Baru. Di mana mana bergema ucapan ucapan setamat!

“Sin chun, Kiong hi (Selamat Hari Raya Musim Semi)!” “Kiong hi, kiong hi, thiam hok siu (Selamat, selamat,

panjang usia banyak rezeki)   !”

Di mana mana terdengar ucapan ini, saling sambut, disertai wajah berseri, mata bercahaya, mulut tersenyum. Suasananya gembira ria di setiap rumah penduduk kota Soa couw. Bukan hanya di kota ini saja, bahkan di seluruh daratan Tiongkok. Tidak, bahkan di seluruh daratan permukaan bumi di dunia ini di mana terdapat orang orang Tionghoa yang merayakan hari raya Musim Semi atau lebih terkenal dengan hari raya Tahun Baru atau Sincia!

Segala apa nampak berseri dan serba baru. Karena segala apa serba baru inilah kiranya yang menyebabkan Pesta Musim Semi untuk menyambut datangnya musim semi setelah musim kering yang panjang itu berlalu, berubah sebutannya menjadi Pesta Tahun Baru. Segala apa serba baru dan bersih. Jalan jalan sudah sejak kemarin dibersihkan orang secara bergotong royong, selokan selokan bersih. Rumah rumah diberi warna baru, pintu pintu dan jendela jendela dicat, ditempeli kertas kertas merah tanda bahagia. Huruf huruf kertas gunungan yang melukiskan Soa soa mereka yakni sebagian besar huruf REZEKI atau BAHAGIA memenuhi dinding dan pintu pintu.

Ini semua ditambah dengan hiruk pikuk yang luar biasa. Tidak ada kegembiraan tanpa suara ribut ribut yang lain daripada biasa terdengar sehari hari. Suara petasan petasan berdar der dor gembira, antara tambur dan gembreng yang mengiringi liong dan barongsai saling bersaing dengan suara terompet dan tambur arak arakan.

Ada banyak sekali anak anak yang berlari larian di luar rumah, dalam pakaian dan sepatu baru, tangan membawa kue atau kembang gula atau mainan, mengikuti arak arakan barongsai dan liong. Suara ketawa para wanita cekikikan tertahan dari balik jendela loteng di mana mereka berkumpul menonton arak arakan menjadi sasaran pandangan mata kurang ajar kagum dari anak anak muda di bawah jendela. Suara para engkong (nenek) yang mendongeng di dalam rumah, di kelilingi oleh belasan, bahkan ada yang puluhan orang cucu cucunya, mendongeng tentang cerita rakyat yang berhubungan dengan tahun baru. Pendeknya semua rumah nampak kegembiraan besar. Bahkan rumah tangga yang miskinpun tidak luput mengalami perobahan dihari hari itu ikut ikutan menjadi gembira ria. Betapa tidak? Sungguhpun mereka tidak mampu membeli pakaian dan sepatu baru, tidak mampu memperbaiki atau menghias rumah, namun pada hari itu banyak sekali orang orang baik! Agaknya semua orang berlomba untuk “berbaik hati” di hari hari pesta ini. Rumah orang orang miskin ini kebanjiran hadiah, kebanjiran antaran antaran berupa makanan makanan enak yang biasanya dalam mimpi sekalipun tak mereka jumpai Terutama sekali, tentu saja, di rumah hartawan hartawan dan bangsawan bangsawan yang banyak uangnya, kegembiraan menjadi jadi. Arak wangi dan mahal berlimpah limpah, daging takkan habis termakan, disertai senda gurau mereka.

Di rumah keluarga Thio yang besar sekali itu tidak ketinggalan. Bahkan lebib meriah daripada rumah rumah lain karena bagi keluarga Thio membuang uang bagaikan membuang pasir di hari baik itu, bukan apa apa. Seluruh rumah terhias indah. Dari pintu pekarangan depan yang terhias dengan kertas berwarna dari sutera, sampai ke taman belakang yang dihias kertas kertas berwarna pula, menunjukkan betapa royalnya keluarga ini membuang uang. Teng teng besar dari keras bergambar indah dan berharga mahal tergantung di segala ruangan. Petasan petasan dari pagi sampai malam, sampai pagi lagi.

Semua penghuni rumah gembira dan merasa bahagia. Semua?? Sayang tidak demikian adanya. Banyak sekali orang orang yang bergembira ria ini, bahkan di balik wajah wajah gembira itu banyak sekali terbayang kesedihan dan kedukaan yang untuk sementara waktu, agaknya untuk menghormati hari raya, ditunda dan coba dilupakan dengan senyum dan tawa.

Bahkan ada suara tangis lapat lapat terdengar dari ruangan belakang gedung tengah dan meriah dari keluarga Thio itu. Tangis itu akan terdengar sejak pagi sampai sore, kalau saja di luar tidak begitu riuh dan hiruk pikuk dengan suara petasan dan tambur terompet gembreng canang.

Apakah yang terjadi? Siapakah yang menangis? Perbuatan yang benar benar janggal dan ganjil sekali di malam tahun baru seperti itu?

Keluarga Thio adalah keluarga yang dapat disebut keluarga bangsawan, atau bekas bangsawan, karena Thio loya (Tuan Besar Thio) adalah seorang bekas pejabat pemerintah yang bertugas mengumpulkan pajak. Selama tigapuluh tahun ia mengerjakan tugas ini dan setelah ia merasa terlalu tua dan mengundurkan diri, ia telah berhasil tidak saja mengumpulkan pajak untuk negara, akan tetap terutama sekali mengumpulkan harta benda untuk sakunya sendiri cukup banyak untuk ia dapat hidup menganggur selama hidupnya secara berlimpah limpah dau mewah mewahan. Thio loya atau nama lengkapnya Thio Kin sudah berusia limapuluh tahun lebih, akan tetapi masih terkenal sebagai seorang mata keranjang. Selain isterinya, yaitu Thio hujin atau nyonya besar Thio yang hanya mempunyai seorang putera, ia masih mempunyai tiga orang bini muda yang menggembirakan hidup tuanya di rumah gedung itu. Sudah tentu saja yang tua diantara bini bininya hanya Thio hujin seorang sedangkan tiga orang selir ini masih muda muda, patut menjadi anak anaknya. Di samping ini, ia masih tidak malu malu dan tidak segan segan untuk mengganggu pelayan pelayan wanita muda yang ada belasan orang bekerja di dalam rumahnya, pelayan pelayan muda yang boleh dibilang “miliknya” karena mereka ini dapat ia “beli” dari tengkulak tengkulak manusia. Juga Thio loya masih tidak segan segan untuk mengunjungi “rumah rumah bunga” di kota Soa couw. Memang hal hal macam ini agak janggal terdengarnya bagi kita, akan tetapi di jaman Thio Kin hidup, hal seperti ini adalah biasa saja, sudah jamak. Bahkan Thio Kin terhitung masih “alim” kalau dibandingkan dengan hampir semua hartawan dan bangsawan yang rata rata memiliki setir selir lebih dari sepuluh orang.

“Kacang tidak meninggalkan lanjaran” demikian bunyi pepatah kuno yang diartikan bahwa perangai sang anak tidak jauh daripada perangai bapaknya. Maka tidak mengherankan apabila putera tunggal Thio Kin yang bernama Thio Sui, juga terkenal sebagai seorang pemuda lacur. Thio Sui memiliki wajah seperti ibunya, maka ia tampan sekali. Mukanya bulat dan kulitnya halus putih, bentuk muka lembut seperti wanita Akan tetapi sayang hatinya tidak selembut ibunya, melainkan sekeras dan sematakeranjang ayahnya. Karena itu, di dalam rumah ia seakan akan merupakan “saingan” dari ayahnya sendiri, karena Thio Sui juga tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda para pelayan yang cantik bersih. Dan diam diam pemuda inipun mengadakan perhubungan rahasia dengan dua orang ibu tirinya atau setir selir ayahnya yang usianya sebaya atau lebih tua sedikit daripadanya. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh ayahnya.

Pada suatu hari, Thio hujin membeli seorang gadis pelayan dari seorang tengkulak manusia yang biasa menawarkan dagangannya yang istimewa di gedung gedung hartawan besar. Gadis itu pakaiannya compang camping seperti pengemis. Dia ini adalah seorang pengungsi dari dekat Lembah Sungai Kuning yang kembali mengamuk, memusnahkan banyak kampung berikut rumah rumah dan penghuninya, termasuk keluarga gadis she Liu ini. Gadis berusia empatbeleas tahun ini terlunta lunta seperti seorang pengemis. Ayah bundanya telah hanyut bersama gubuk mereka menjadi mangsa iblis iblis Sungai Kuning yang ganas. Baiknya Kui Lian, demikian nama gadis ini, semenjak kecil biasa berenang di pinggir Sungai Hoang Ho, maka ketika banjir mengamuk kampungnya, ia berhasil menyelamatkan diri. Akan tetapi segera menyesali nasibnya mengapa ia tidak ikut hanyut dan tewas saja bersama ayah bunda dan rumahnya karena hidup seorang diri berarti neraka baginya, ia terlunta tunta, wajahnya yang manis tertutup air mata campur debu, sehingga tidak menarik perhatian orang orang jahat. Akhirnya ia terjatuh ke dalam tangan seorang tengkulak manusia yang pada masa itu sekali berkeliaran di Tiongkok. Tengkulak manusia ini memberinya makan dan dengan bujukan bujukan manis akhirnya berhasil membawanya ke Soa couw dan menjualnya kepada keluarga Thio untuk duapuluh lima tael perak!

Nasib baik menimpa diri Kui Lan. Baiknya ia terjatuh ke dalam tangan Thio hujin yang berhati mulia, kalau terjatuh 

ke tangan keluarga lain, mungkin sebentar saja hidupnya akan rusak, bagaikan setangkai bunga, dipetik dipuja sampai layu lalu dibuang begitu saja, diinjak injak.

Thio hujin merasa kasihan dan sayang kepada gadis pantai yang jujur ini, dan diambilnya gadis itu sebagai pelayan. Dalam waktu satu tahun saja tinggal d gedung keluarga Thio, Kui Lian nampak segar, sehat dan kecantikannya yang dulu timbul bahkan lebih berseri. Ia telah menjadi seorang gads berusia limabelas tahun yang cantik dan menggairahkan, terutama menarik hati Thio loya, bandot tua yang paling suka akan daun daun muda itu. Akan tetapi oleh karena Thio hujin sudah maklum akan gerak gerik suaminya, tahu pula akan penyakit lama suaminya, muka Thio hujin yang sebetulnya sayang dan kasihan kepada Kui Lian, telah memperingatkan Kui Lan akan bahaya itu dan berusaha sedapat mungkin agar pelayan muda ini jarang berpisah dari dekatnya. Inilah sebabnya mengapa sebegitu jauh belum juga Thio loya tercapai idam idamannya, yakni menjadikan pelayan baru ini sebagai korbannya pula.

Akan tetapi, pada jaman seperti itu, bagaimana mungkin bicara tentang nasib baik seorang pelayan? Pelayan pelayan seperti Kui Lian tiada bedanya dengan binatang peliharaan, nasibnya berada di tangan majikan majikannya, bahkan mati hidupnya boleh dibilang berada dalam kekuasaan mereka yang memberinya makan sehari hari. Bagaimana dapat disebut bernasib baik bagi orang orang yang berhak hidup namun tidak berhak menentukan nasib sendiri?

Biarpun bahaya yang datang dari pihakThio loya untuk sementara dapat dibendung berkat kebijaksanaan dan kemuliaan hati nyonya besar, namun datang bahaya lain yang lebih berbahaya. Yaitu godaan dari Thio kongcu (tuan muda Thio) sendiri. Godaan ini jauh lebih berbahaya kalau dibandingkan dengan niat niat buruk Tho loya, karena sebagai seorang gadis muda yang cantik tentu saja Kui Lian sama sekali tidak ada hati untuk melayani kehendak majikan tuanya. Akan tetapi dengan Thio Sui lain lagi soalnya. Thio Sui adalah seorang pemuda yang tampan dan ganteng, sikapnya halus, bicaranya manis, bujukannya merayu kalbu. Apalagi bagi Kui Lian, Thio Sui adalah majikan mudanya, masih jejaka lagi.

Kui Lian hanya seorang gadis dusun yang bodoh. Tak mungkin ia dapat membaca isi hati orang. Dianggapnya cinta kasih Thio Sui itu dari mulut terus ke hati. Dianggapnya sumpah dan janji pemuda itu jujur dan setulusnya. Ia jatuh menghadapi bujukan Thio Sui dan sepasang orang muda itu membuat perhubungan di luar tahu siapapun juga, kecuali mereka sendiri dan para dewata yang setiap hari dimintai berkah oleh Kui Lian agar supaya melindungi dia dan kekasihnya.

Dewata agaknya meluluskan permintaannya, buktinya sampai berbulan bulan perhubungan mereka berlangsung dengan lancar dan selamat tidak mendapat gangguan siapapun juga. Demikian anggapan Kui Lian. Dia terlalu bodoh untuk mengerti bahwa hal hal yang demikian tak mungkin dilakukan orang tanpa diketahui akhirnya oleh orang orang lain. Para penghuni rumah itu tahu belaka, bahkan Thio hujin sendiri juga sudah tahu. Namun mereka ini hanya menarik napas panjang, bahkan ada yang sambil terkekeh kekeh membicarakan perhubungan ini di belakang Kui Lian atau Thio Sui. Orang satu satunya yang tidak tahu hanya Thio loya sendiri. Hal ini adalah karena Thio hujin yang amat memanjakan puteranya memesan kepada semua isi rumah agar jangan membocorkan rahasia orang orang muda itu. Segalanya akan berjalan baik dan tidak ada perubahan kalau saja tidak terjadi perubahan dalam diri Kui Lian sendiri ia mulai merasa pusing pusing dan badannya tidak enak juga malas. Akhirnya ia tahu apa yang sedang terjedi dengan dirinya. Dengan hati kebat kebit ia menyampaikan hal ini kepada kekasihnya. Thio Sui menjadi kaget setengah mati dan bingung. Terpaksa ia mengeluarkan isi hati kekhawatirannya di depan ibunya.

Biarpun memiliki hati yang lembut dan budiman, Thio hujin hanya seorang wantia kepala rumah tangga yang jalan pikirannya dipengaruhi seluruhnya oleh hukum hukum tradisi. Mendengar penuturan putera tunggalnya, ia hampir pingsan.

“Perempuan hina dina itu berani sekali menggoaa hatimu? Berani betul dia mempunyai kandungan darimu? Celaka, hal ini akan menghancurkan nama baik kita, akan mancemarkan nama baik seluruh keluarga Thio yang dihormati orang karena semenjak nenek moyang kita dahulu tidak pernah melakukan hal hal yang remeh. Sekarang kau putera tunggal keluarga Thio akao menjadi ayah dari anak seorang pelayan belian yang tidak diselir secara sah! Ah, Thio Sui, kemana kita akan menyembunyikan muka kita?”

“Ibu, tidak ada lain jalan lagi. Kita harus mencarikan seorang suami untuknya. Kalau kita beri sedikit uang modal, kiranya banyak laki laki dari luar yang suka mengambil Kui Lian sebagai isterinya, dia masih muda lagi tidak buruk mukanya,” kata pemuda yang pengecut dan palsu hati ini. Setelah menghadapi akibat daripada perbuatannya, ia bukan melindungi Kui Lian, bahkan hendak mencuci tangan!

“Bodoh, apa kaukira semua pelayan tidak tahu akan keadaan Kui Lian? Pula, suaminya juga akan tahu bahwa dia sudah mengandung, apakah dia takkan menjual hal ini secara murah di luaran?”

Ibu dan anak ini bicara kasak kusuk dan akhirnya mereka menemukan jalan terbaik. Tiada jalan lain kecuali menimpakan segala kesalahan ke pundak seorang pelayan pria! Demikianlah, pada malaman tahun baru itu, tiba tiba Gan Keng Ki dipanggil majikannya. Pelayan yang usianya baru duapuluh lima tahun ini dengan wajah berseri dan hati gembira datang menghadap di ruang tengah, mengira akan mendapat hadiah Tahun Baru. Akan tetapi alangkah herannya ketika berlutut di depan kursi Thio loya, ia melihat wajah majikannya ini muram dan marah, sedangkan Thio hujin, Thio kongcu dan para selir duduk di situ tak bergerak seperti patung. Suasana demikian tegang dan dingin, sama sekali tidak membayangkan kegembiran tahun baru. Ada apakah? Hati Keng Ki mulai berdebar debar tak enak. Apalagi ketika ia melihat Kui Lian yang terisak isak sambil menutupi mukanya, duduk berlutut di sudut ruangan. Sudah lama Keng Ki menaruh hati kepada pelayan muda ini, akan tetapi segera mengusir perasaannya karena dihadapannya duduk Thio Kongcu. Ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat bersaing dengan majikan mudanya.

“Keng Ki, hayo akui semua dosamu agar hukumannya agak ringan!” Thio loya mendamprat dengan bentakan marah. Memang hartawan tua ini marah sekali ketika mendengar bahwa Kui Lian telah mengandung karena perhubungannya dengan seorang bujang, yaitu Gan Keng Ki, orang kepercayaannya. Gila betul! Sudah lama ia merindukan bunga cantik yang tumbuh di dalam tamannya. Sebelum ia berhasil memetiknya, eh, tahu tahu sudah didahului oleh bujangnya. Siapa takkan marah? Di lain pihak Keng Ki menjadi bingung dan melongo. Kemudian setelah memeras otak mengingat ingat kesaahan apa gerangan yang telah ia lakukan, ia mengangguk anggukkan kepalanya sampai menyentuh lantai dan menjawab,

“Hamba Gan Keng Ki menghaturkan Sin chun Kionghi, hamba akan bersembahyang siang malam dengan doa semoga Thio loya diberkahi usia panjang sampai ratusan tahun, rezeki bertambah sampai kekurangan tempat untuk menampung dan ”

“Tutup mulut!” bentak Thio loya marah sekali. Dalam keadaan biasa, ucapan setamat dan pelayannya ini akan memancing keluar uang hadiah, akan tetapi sekarang sebaliknya, disangka sebagai sindiran dan ejekan. Sebaliknya, Keng Ki menjadi pucat. Tadinya ia mengira bahwa karena ia terlambat mengucapkan selamat, ia dianggap bersalah dan tidak tahu adat, maka ia tadi buru buru menghaturkan selamat. Tak tahunya malah dibentak marah.

“Anjing betinanya sudah mengaku, apa kau anjing jantannya masih berpura pura lagi? Kau bermain gila di belakangku dengan Kui Lian, sampai gadis itu mengandung. Tahukah kau apa artinya dosa itu? Kau telah mengotori rumahku, telah mendatangkan kesialan, telah mencemarkan nama baik kami, telah.... telah....” Saking marah dan kecewanya melihat kembang idamannya diserobot orang, Thio toya tak dapat mengeluarkan kata kata lagi, hanya tangannya meruding nuding ke kanan ke kiri menyuruh pelayan pelayan lain menangkap dan memberi hukuman kepada Keng Ki.

“Tigapuluh kali cambukan!” akhirnya ia dapat juga membentak dengan perintahnya setelah melihat Keng Ki dipaksa oleh delapan buah tangan untuk rebah telungkup di depan majikannya yang sedang marah marah.

Segera terdengar suara suara aneh di malaman Tahun Baru itu. Suara cambuk cambuk menghantam hantam punggung disusul oleh rintihan memilukan juga tangis perlahan dari Kui Lian tak pernah berhenti. Semenjak pagi tadi menerima tuduhun yang bukan bukan, Kui Lian terus menangis. Thio hujin dengan gamasnya menuduh ia melakukan perhubungan dengan Gan Keng Ki! Apa yang ia harus jawab? Tentu saja sampai mati ia tidak berani mengaku bahwa yang menjadi ayah dari kandungannya adalah Thio kongcu! Selain hal ini takkan dapat diterima oleh keluarga Thio, juga akan membuat majikan majikannya menjadi makin marah saja. Kui Lian hanya mengharapkan campur tangan kekasihnya, mengharapkan perlindungan, pembelaan dan penolongan Thio Sui. Akan tetapi, alangkah perih hatinya ketika ia melihat pemuda itu memandang acuh tak acuh, seakan akan dia orang yang paling bersih di dunia.

Tidak sekalipun pemuda itu memandang kepadanya sehingga payah Kui Lan mencoba untuk bertemu pandang dan menyampatkan jerit jiwanya melalui pandang mata kepada pemuda itu.

Setelah diberi hukuman tigapuluh kali cambukan yang merobek robek kulit punggungnya, Thio loya berkata,

“Jahanam yang tidak tahu budi. Sejak kecil kau kupelihara, kami beri makan dan pakatan secara berlebih lebihan menolongmu dari kelaparan, akan tetapi balasmu hanya memalukan nama baik kami saja. Sekarang katakan apakah kau ingin kami ajukan ke depan pengadilan atau akan menerima putusan hukuman kami sendiri?” Gan Keag Ki adalah orang kepercayaan Thio loya, sudah sering kali disuruh mengantarkan ini itu dalam hubungan Thio loya dengan para pejabat tinggi. Ia cukup cerdik untuk mengerti bahwa hubungan majikannya dengan para pembesar pengadilan amat eratnya, dan bahwa segala perkara yang diadili di pegadilan keputusannya sama sekali bukan berdasarkan keadilan, melainkan tergantung daripada besar atau kecilnya uang sogokan yang diberikan oleh mereka yang diperiksa kepada para petugas pengadilan. Ia maklum pula bahwa kalau ia diserahkan kepada pengadilan yang sudah makan uang sogokan majikannya, nasibnya sudah dapat ditentukan, yakni siksa, hukum dan buang.

“Hamba menerima segala keputusan loya....” akhirnya ia berkata lemah.

Thio loya tersenyum. Ini berarti penghematan, tak perlu dia mengirim beberapa puluh tael perak ke pengadialn, dan dia dapat pula “mencuci muka” dan mempropagandakan kebaikan hatinya.

“Baiknya aku kasihan kepadamu dan mengingat bahwa kau sudah sebelas tahun bekerja disini, dan bahwa Kui Lian juga bekas pelayan nyonya besar, keputusanku sekarang supaya kau mengawini gadis itu dan pergi dari sini jangan sekali kali berani menginjak pekarangan rumah kami. Dan hati hati, kalau kau dan binimu sudah keluar dari sini berarti kau bukan pelayan kami lagi, kau tidak ada hubungan sama sekali dengan kami dan aku melarang kau bicara sesuatu tentang diri kami.”

Dengan lemah Gan Keng Ki terpaksa menerima hukuman itu. Ia diusir bersama Kui Lian di malam hari itu juga. Ia menerima dengan kepala tunduk, kemudian pergi ke kamarnya untuk mengumpulkan barang barang yang dipunyainya. Tidak banyak, hanya sebungkus pakaian, hasil kerja selama sebelas tahun di situ.

Akan tetapi Kui Lian roboh pingsan mendengar keputusan ini. Roboh pingsan sambil menjerit lirih ketika melihat Thio Sui tersenyum puas dan meninggalkan ruangan tanpa melirik seleretpun kepadanya.

Semua ini terjadi pada jaman itu. Tidak aneh kejadian yang lebih hebat sekalipun bukan merupakan peristiwa aneh. Apakah anehnya anjing dipukuli sampai mati oleh majikannya? Apakah anehnya ayam dipotong. Kuda diperas tenaganya untuk seikat rumput saja? Dan pelayan belian di jaman itu tiada bedanya dengan anjing, ayam atau kuda, kadang kadang lebih rendah lagi. Ya, jaman itu, jaman di mana feodalisme masih merajlela, di mana derajat manusia masih bertingkat tingkat. Yang kelaparan, si miskin. Yang ditindas, si lemah. Yang terinjak injak, si rendah.

“Kau.... perempuan sialan.... Kau perempuan rendah....

tak tahu malu! Kau perusak hidupku   !” Keng Ki memaki

maki sambil menyeret tangan Kui Lian di sepanjang jalan yang sunyi ditengah malam itu, malam tahun baru! Akan tetapi yang dimaki maki, tidak menyahut, mendengarpun tidak Kui Lian berjalan terhuyung huyung, setengah diseret oleh Keng Ki wanita ini lebih banyak pingsan daripada sadarnya. Seperti orang mabuk yang tidak ingat apa apa lagi. Rintihan rintihan dan keluh kesah perlahan keluar dari bibirnya, matanya setengah terpejam, tubuhnya lemah lunglai.

“Kau perempuan hina dina.... kau main gila dengan majikan muda, main gila lupa daratan, lupa diri, sampat Thian mengutukmu, sampai kau mengandung. Dan aku orangnya yang menerima hukuman untuk pebuatanmu yang kotor itu!” Keng Ki tiada henti memaki maki. Yang dimaki tetap tidak mendengar, bahkan Keng Ki merasa tubuh itu menggelandot berat. Ketika ia melepaskan pegangannya, tubuh itu terkulai dan terguling di atas tanah dan rumput basah, pingsan.

“Terkutuk! Setan atas!” Keng Ki makin marah dan mendokol. Kemudian ia duduk mengaso di atas tanah di pinggir jalan itu, termenung dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya, apa yang akan diperbuatnya terhadap wanita yang pingsan itu. Ia sudah terlalu lelah. Tubuhnya sakit sakit dan lemas akibat hukuman yang ia terima tadi, panas seluruh badan akibat nafsu amarah yang berkobar. Akhirnya ia tak dapat menahan kelemasan tubuh, ia berbaring dan tak lama kemudian tidur membuat ia lupa akan kesedihannya, akan kemarahannya, akan nyeri nyeri badannya.

Menjelang tubuh Keng Ki bangun dari tidurnya, ia sadar kembali dan bersama kesadarannya, kembali pula kesedihannya, kemarahannya, kemendongkolannya. Ia melihat ke arah Kui Lian yang masih rebah miring di atas tanah. Ketika didekatinya ternyata Kui Lian masih tidur. Agaknya gadis ini setelah siuman kembali, saking lelahnya tertidur juga.

Melihat gadis yang berwajah manis ini tidur miring dalam keadaan menarik dan juga menimbulkan kasihan, untuk sedetik kemarahan dan kekerasan hati Keng Ki mencair. Teringat ia akan cinta kasihnya yang dulu diam diam ia tahan untuk gadis ini, gadis yang pernah dirindukannya siang malam. Akan tetapi tiba tiba perih dan nyeri di punggungnya mengusir kelemahan ini dan mengembahkan kemarahannya. 

“Bangun! Perempuan sial!” bentaknya sambil melompat berdiri dan mengguncang guncang tubuh Kui Lian dengan kakinya.

Kut Lian mengeluh, membuka mata. Lalu bangkit cepat cepat seakan akan orang baru sadar dari mimpi, terbelalak memandang ke kanan kiri, kemudian kepada Keng Ki Lalu menangis tersedu sedu. Bukan mimpi buruk, melainkan kenyataan yang ia hadapi! Tadinya Kui Lian masih mengharapkan bahwa kesemuanya itu mimpi belaka, akan tetapi alangkah hancur hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa semua itu bukan mimpi, melainkan kenyataan pait.

“Diam! menangis lagi! Perempuan sial, kau tahu apa yang telah kauperbuat terhadap aku? Sejak kecil aku berada di gedung keluarga Thio, mendapat kepercayaan, disuka dan sering mendapat hadiah. Hidupku senang sampai belasan tahun. Kemudian iblis melemparkan kau ke tengah tengah keluarga Thio. Kau siluman betina ini main gila. menggoda kongcu sampai perutmu menjadi besar. Kemudian kau menimpakan dosanya kepundakku. Aku yang dituduh menjinaimu, aku yang dituduh menjadi bapak anak haram di perutmu itu. Cih, tak tahu malu. Coba kaukatakan, kapan aku pernah mendekatimu? Hayo katakan, kapan?” Makin banyak bicara makin melonjak marah di dada Keng Ki. Ia mencak mencak, membanting banting kaki mengepal tinju.

“Gan twako, ampunkan aku.... biarpun aku tak pernah memfitnahmu, biarpun aku bersumpah tak pernah membawa bawa namamu di depan mereka, tetap saja....

aku telah bersalah.... karena perbuatankulah kau menderita.... Twako, kalau tidak bisa mengampunkan aku.... mengaca kau tidak...... tidak bunuh saja aku di sini? Tidak akan ada orang tahu ” Lemas kedua tangan Keng Ki yang tadinya dikepal kepal itu. Melihat gadis ini berlutut dengan kepala yang rambutnya awut awutan itu menunduk, mendengarkan kata kata yang lemah dan sayu diseling isak, lemaslah dia.

“Bunuh.... kau....?” ulang katanya gagap dengan pandang mata bodoh.

“Ya, mergapa tidak? Untuk apa artinya hidup bagiku? Aku telah tertipu....” ia tersedu sedu. “Aku tertipu oleh perasaanku, kau benar, twako. Aku seorang perempuan rendah, tak tahu malu, tak tahu menjaga kehormatan. Aku patut kau bunuh saja, jangan menjadi bebanmu....” Dan iapun menangis tersedu sedu.

-ooo0dw0ooo-

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar