Plaak........!
si tinggi besar mengeluh dan tubuhnya te rpelanting
Kui Eng tidak berhenti sampai di situ saja
Ia mengejar dan kembali kakinya menendang, dua kali te ndangan dan tubuh si tinggi besar juga terlempar ke dalam kolam menyusul te mannya! Pada saat itu, Cian Bu dan Sim Lan Ci sudah tiba pula di situ, demikian pula mereka yang sedang berada di dalam taman, datang berlarilarian ketika mendengar ada perkelahian di dekat kolam ikan
Cian Bu sudah menangkap tangan pute rinya dan ditariknya dari situ, diajak pergi diikuti oleh Sim Lan Ci dan Thian Ki
Mereka berempat tidak berkata sesuatu, dan semua orang yang tiba di tepi kolam, memandang ke arah dua orang yang masih berada di dalam kolam itu
Kemudian orang jadi geger ketika dua orang itu tidak keluar dari dalam kolam dan ketika diperiksa, te rnyata mereka telah te was.! Ada luka sebesar kuku ibu jari tangan di dahi mereka dan darah mengucur dari luka itu
Agaknya mereka tewas seketika! Tidak ada seorangpun di antara mereka tahu apa yang te lah terjadi
Yang tadi berada di dekat situ hanya melihat betapa dua orang yang tewas di kolam itu tadi menyerang seorang anak perempuan yang kini telah le nyap entah ke mana
Mereka yang tadi kebetulan dekat melihat betapa anak perempuan itu hanya mengelak ke sana sini kemudian menendang-nendang dan dua orang itu te rlempar ke dalam kolam
Akan tetapi, mustahil kalau te ndangan anak perempuan itu dapat menimbulkan luka di dahi yang menewaskan kedua orang yang nampaknya kuat dan jagoan itu
Cian Bu dan keluarganya tiba kembali di rumah penginapan dan mereka berempat berkumpul di kamar yang dite mpati Sim Lan Ci dan Kui Eng
Setelah tiba di dalam kamar itu, barulah mereka saling pandang dan Thian Ki yang sejak tadi menahan-nahan perasaannya, segera berkata kepada ayahnya sambil menatap tajam wajah orang tua itu
Ayah, kenapa ayah membunuh mereka?
Mendengar ini, Kui Eng te rkejut dan anak perempuan itupun memutar tubuh memandang ayahnya
Benarkah ayah te lah membunuh mereka
Bagus! Mereka memang layak dibunuh
Mereka dua orang yang jahat sekali.!
Wajah anak perempuan itu kelihatan girang bukan main
Kui Eng, jangan sekejam itu.! Thian Ki menegur adiknya
Mereka itu memang jahat karena hendak mengganggumu, akan te tapi kalau kita bunuh mereka bukankah itu lebih jahat lagi namanya?
Thian Ki, engkau melihatnya?
Cian Bu bertanya dan pandang matanya kagum
Tak disangkanya sama sekali bahwa anak itu akan melihat perbuatannya tadi, padahal dia hampir yakin bahwa yang tahu hanyalah dia dan isterinya saja
Tempat itu gelap dan gerakannya amat cepat, juga benda yang dipergunakan untuk membunuh itu terlalu kecil untuk dapat dilihat orang ketika meluncur cepat ke arah dua orang di kolam itu
Akan te tapi Thian Ki mengetahuinya! Ini saja membuktikan bahwa anaknya yang juga muridnya ini memang berbakat sekali dan telah memiliki ketajaman pandang mata yang melebihi ahli silat biasa
Bahkan Kui Eng saja yang tingkat kepandaiannya tidak berbeda jauh dibandingkan Thian Ki, tidak dapat melihatnya
Aku hanya melihat berkelebatnya dua sinar hitam kecil ke arah mereka, dan melihat mereka te was, akan tetapi aku tidak tahu siapa yang membunuh mereka dengan sambitan itu, tidak tahu pula benda apa yang membunuh mereka
Akan tetapi setelah aku melihat baju ayah, tahulah aku bahwa ayah yang te lah membunuh mereka
Ada dua buah kancing baju ayah yang hilang.
Cian Bu menunduk dan melihat kancing bajunya, demikian pula isterinya dan Kui Eng
Aih, kiranya ayah membunuh mereka dengan dua buah kancing baju ayah
He mm, sayang kancingnya, ayah
Penjahat seperti mereka lebih pantas dibunuh memakai batu saja!
kata Kui Eng
Akan tetapi, demikian besarkah dosa mereka sehingga mereka itu harus dibunuh?
Thian Ki bertanya lagi, penuh rasa penasaran
Selama tujuh tahun ini, dia tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang gagah perkasa dan tidak pernah membunuh orang lain
Akan te tapi kenapa sekarang begitu ringan tangan membunuh dua orang yang walaupun bersalah, namun kesalahannya belum cukup hebat untuk dihukum mati
Thian Ki, masihkah engkau belum mengerti
Ayahmu te rpaksa membunuh mereka agar mereka tidak akan menyiarkan berita te ntang keluarga kita,
kata Sim Lan Ci
Tapi......tapi mengapa.....
Thian Ki, engkau tadi melihat sendiri betapa adikmu te lah mengalahkan dua orang itu melempar mereka ke kolam
Hal ini merupakan peristiwa luar biasa bagi mereka dan mereka tentu akan menyiarkan berita tentang Kui Eng kepada mum dan hal ini tentu akan menarik perhatian orang
Orang-orang akan te rtarik dan ingin tahu siapa anak perempuan yang mampu mengalahkan dua orang jagoan itu dan siapa pula orang tuanya, gurunya
Dan kalau sudah begitu, perjalanan kita tidak akan menyenangkan lagi, bahkan penuh bahaya dan kehidupan kita tidak dapat tenang lagi.
Ah, lagi-lagi akulah yang bersalah!
Kui Eng berkata dengan alis berkerut
Kalau saja aku tidak melempar mereka ke dalam kolam! Ayah sudah memesan agar aku bersabar dan mengalah, akan tetapi bagaimana aku dapat mengalah kalau mereka hendak menculikku?
Sim Lan Ci merangkul pute rinya
Engkau tidak bersalah, Kui Eng
Perlawananmu tadi memang sudah tepat
Kesabaran te ntu ada batasnya
Memang agaknya sudah seharusnya begini
Thian Ki, ayahmu membunuh mereka bukan karena perbuatan mereka tadi, melainkan untuk menyelamatkan keluarga kita dari ancaman bahaya
Kuharap engkau dapat mengerti.
Thian Ki menundukkan mukanya
Aku mengerti, ibu
Ayah, maafkan aku.
Akan te tapi di dalam hatinya, te tap saja anak ini merasa penas aran dan tidak senang karena dianggapnya perbuatan ayahnya itu te rlalu kejam, mudah saja membunuh orang walaupun dengan dalih demi keselamatan keluarga mereka
Bahaya itu kan belum datang mengancam
Ayahnya amat tidak menghargai nyawa ocang lain! Betapapun juga, te pat seperti dikatakan Cian Bu
Setelah dua orang itu tewas tanpa ada orang lain mengetahui sebabnya, perjalanan mereka tidak mendapat gangguan lagi
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cian Bu dan keluarganya sudah meninggalkan kota Wuhan, melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Mo-kim-cung yang merupakan sebuah dusun kecil di kaki Bukit Ular
Sim Lan Ci segera mengajak keluarganya menuju ke rumahnya yang tujuh tahun yang lalu ia tinggalkan dalam pengawasan seorang pembantu wanita yang sudah lama bekerja pada mereka
Tentu saja ia juga memesan kepada ibunya, yaitu Lo Nikouw di kuil Thian-ho-tang di luar dusun agar mengamat-amati rumahnya selama ia dan suaminya pergi
Ketika pada senja hari itu mereka tiba depan rumah Lan Ci, mereka melihat sebuah rumah yang kotor tidak te rawat, jendela dan daun pintunya te rtutup rapat-rapat, bahkan gelangan daun pintu dirantai dari luar, tanda bahwa rumah itu kosong
Lan Ci te rmangu-mangu melihat betapa pekarangan yang dahulu dirawatnya baik-baik dan penuh bunga itu kini menjadi kotor dan buruk
Juga rumah itu kotor dan banyak genteng yang pecah dan te mboknya sudah penuh jamur kehijauan
Seperti rumah hantu!
Thian Ki juga berdiri te rmangu di depan rumah itu
Terbayanglah dalam ingatannya ketika tujuh tahun yang lalu dia hidup di tempat ini
Masih te ringat semua keadaan di luar dan di dalam rumah
Betapa senangnya dia dahulu memanjat pohon di samping rumah itu atau berlari-larian dan bermain dengan teman-teman sedusun
Dia pernah jatuh di sebelah kanan rumah itu, di selokan kecil yang dibuat ayahnya untuk mengalirkan air ke taman bunga
Dan sekarang, keadaan di pekarangan dan taman itu amat menyedihkan
Juga rumah itu nampak demikian tua dan kotor
Semua ini membuat dia teringat kepada ayahnya
Ayahnya demikian le mbut dan baik dan tak te rasa ke dua mata Thian Ki menjadi basah
Sim Lan Ci sudah menghampiri rumah tetangga te rdekat
Suami isteri petani tua itu menyambutnya di depan pintu dan mereka segera mengenal Sim Lan Ci yang bersama suaminya memang amat dikenal di dusun itu sebagai orangorang yang suka menolong
Dari tetangganya ini Lan Ci mendengar betapa pembantu yang diserahi tugas menjaga rumah telah pulang ke dusunnya sendiri karena te rlalu lama majikannya tidak pulang
Rumah beserta isinya oleh pelayan itu diserahkan kepada Lo Nikouw yang menutup rumah itu
Apakah Lo Nikouw masih tinggal di kuil Thianho-tang?
tanya Lan Ci dengan hati terharu
Suami isteri itu mengangguk
Sim Lan Ci lalu mengucapkan te rima kasih dan bersama keluarganya ia lalu pergi ke luar dusun, ke kuil Thian-ho-tang itu
Senja telah lewat dan cuaca sudah remang ketika mereka tiba di luar kuil Thian-ho-tang
Kuil ini kecil saja, berdiri terpencil di te mpat yang sunyi
Akan tetapi dari luar nampak bahwa kuil itu sudah dipasangi lampu-lampu dan bahkan meja sembahyang di ruangan depan juga dipasangi lilin
Namun suasana di kuil itu nampak sunyi sekali seolah tidak ada penghuninya
Agaknya ibu masih juga tinggal menyendiri di kuil ini, pikir Sim Lan Ci dan iapun berjalan paling depan ketika mereka memasuki kuil
Berhenti!
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari dalam kuil
Suara itu le mbut namun berwibawa dan Lan Ci menahan langkahnya, diikuti oleh suaminya dan dua orang anak mereka
Mereka berhenti di ruangan depan, di depan meja sembahyang
Siapakah tamu yang memasuki kuil ini
Beritahukan dulu nama kalian dan apa perlunya datang berkunjung.
Suara itu kembali te rdengar lembut berwibawa dan biarpun singkat, tidak terdengar galak
I bu, aku Lan Ci, anakmu datang berkunjung,
kata Sim Lan Ci dan betapapun keras hati wanita ini, tetap saja ia terharu dan suaranya agak gemetar
Hening sejenak di dalam kuil
Kemudian suara itu terdengar lagi, masih lembut berwibawa
Omitohud......semoga hamba dibebaskan daripada keterikatan! Pin-ni (aku) tidak mempunyai anak
Anak tunggal pin-ni sudah bertahun-tahun meninggalkan pin-ni tanpa kabar, pin-ni menganggap ia sudah mati.......
Nenek...........!
Thian Ki berseru
Omitohud......kau......kau........Thian Ki cucuku!?
Dari dalam muncullah seorang nenek
Ia sudah tua, sedikitnya tujuhpuluh lima tahun usianya, dan mukanya sudah te rhias keriput, terutama di kanan kiri kedua matanya dan di s ekitar mulutnya
Akan te tapi tubuhnya masih te gak dan gesit, sinar matanya masih tajam, pakaiannya bersih dan tangan kanannya memegang sebuah kebutan, tangan kiri memegang seuntai tas beh
Sepasang mata itu ditujukan ke arah Thian Ki, lalu ia menyelipkan kebutan di pinggang, mengantungi tas behnya dan mengembangkan kedua lengannya
Thian Ki cucuku............!
Nenek..........!
Thian Ki lari menghampiri dan nenek itu merangkulnya
Biarpun usianya baru duabelas tahun, tubuh Thian Ki sudah hampir sama dengan neneknya
Dan Nikouw yang kepalanya gundul licin itu menangis, lalu berulang-ulang menyebut nama Sang Buddha
Cucuku.......ah
Thian Ki, betapa rinduku kepadamu
Omitohud......
semoga diampuni kelemahanku ini.....
Kemudian ia te ringat dan mengangkat muka, memandang kepada Sim Lan Ci yang berdiri tak jauh di depannya
Sejenak pandang mata nenek itu mengamati Lan Ci, kemudian te rdengar suaranya yang lembut namun kering dan tegas
Betapa kejamnya engkau! Engkau memisahkan Thian Ki dari pin-ni., pergi tanpa memberi kabar lama sekali sampai bertahun-tahun
Engkau menyiksa hati pin-ni
Begitukah cara seorang anak membalas budi orang tua.!
I bu, ibu tidak tahu apa yang te lah terjadi menimpa diri kami
Ibu sendiri amat te ga, membuat Thian Ki menjadi seorang tok-tong
Ibu telah merusak hidupnya, dan ibu masih dapat mencela aku kejam.?
Omitohud.....siapa bilang aku kejam
Pin-ni menggemble ngnya menjadi tok-tong agar kelak tidak ada orang yang berani mengganggunya, agar dia dapat menjadi orang gagah yang tak te rkalahkan kelak, agar dia merajai di dunia persilatan dan mengangkat nama besar orangorang yang menurunkannya
Neneknya pernah menjadi Ban-tok Mo-li, sudah sepantasnya kalau dia menjadi tok-tong.
Tapi, ibu
Biar pun tidak disengaja, dalam usianya yang baru lima enam tahun dia sudah membunuh banyak orang dengan racun yang berada di tubuhnya!
te riak Lan Ci yang kini menjadi marah karena teringat akan keadaan pute ranya
Lihat, dia sampai tidak berani sembarangan menyentuh orang lain, takut kalau sampai membunuhnya
Bukankah ini berarti ibu menyiksanya!?
Omitohud, semua itu salahmu sendiri, Lan Ci
Kenapa engkau memisahkannya dari pin-ni
Pin-ni belum selesai dengan cucuku ini
Akan pin-ni bimbing dia dan latih dia sehingga racun di tubuhnya hanya akan menjadi senjata kalau diperlukan.
Bagus sekali kalau begitu
Sudah kukatakan bahwa hanya yang membuat dia menjadi tok-tong sajalah yang akan mampu membimbing dia menguasai dirinya.
kata Cian Bu dengan girang mendengar ucapan nenek itu
Lo Nikouw mengangkat muka memandang kepada Cian Bu
Sepasang matanya mencorong ketika ia mengamati pria itu penuh selidik, lalu ia bertanya
Siapa orang ini?