Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga dan mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, tiba-tiba merekapun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat dan lentera mereka, tombak mereka terampas sebe lum terbanting ke atas tanah. Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka iapun membakar empat orang penjaga itu! Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka terbakar! Mereka lari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itupun cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu lari cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian dan membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi mereka tidak sempat lagi memberi penjelasan dan tewas oleh luka-luka bakar. Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang.
Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar! Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, ia telah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya.
Setelah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa tersentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, ia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian ia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan lain permata mulia. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati ia mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarlan menabarak sana-sini, ada beberapa tempat yang kebakaran pula. Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan iapun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, tentu ia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui. Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnyapun terdengar oleh tiga orang jago.
‘Heiiii, berhenti....!! Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar. Memang benar keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu. Namun, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, merekapun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas.
Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin kacau, kemudian ia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung. Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya. Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.
Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walaupun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja. Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal.
Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Pangeran itu dengan malas mengenakan pakaian, bersungut-sungut. ‘Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!! Diapun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaian, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
‘Brakkk!! Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
‘Pek Lan, mari kita pergi!! kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar, akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. ‘Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!! Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
‘Cerewet kau!! bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
‘Subo, kenapa tidak dibunuh saja babi ini?! kata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua agar tidak ‘mengganggu! pelayanannya kepada bangsawan itu.
‘Ah, jangan, heh-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!! Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya ‘terbang! melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam membawa buntalan di punggung mesing-masing.
Biarpun Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, namun ia tidak merasa rugi. Pertama, ia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika menjadi kaya raya dan memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang amat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun. Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis lemah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya, dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat!
***
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat dan mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini disebut Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang harus melalui jurang yang curam dan pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat tinggal sementara. Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!
Namun, adalah tiga suheng ini yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang akan menjadi wakil mereka, maka merekapun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih. Pukulan ini bukan hanya kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan inipun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa dingin yang mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Pukulan ini, sesuai dengan namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun, anak itupun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan seorang suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun. Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apalagi ketika mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!
Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Sian-su yang ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Sian-su jarang keluar dari dalam guhanya. Dia duduk bersamadhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan yang dicapai murid barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang dia berikan kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Sian-su merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari tiga orang suhengnya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya, juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sin-kang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
‘Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu kaupelajari untuk kaupergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa maksud pinto dan para suhengmu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan agar engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.!
‘Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi bimbingen kepada teecu.!
Pek-sim Sian-su lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat itu, menuruni puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh. Dia sudah mendengar keterangan dari encinya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut encinya ayah ibunya telah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkannya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia. Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu, lalu ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
‘Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?!
Biarpun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengama tinya beberapa lamanya, kakek itupun menjawab.
‘Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang kautanyakan?!
‘Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.!
Kakek itu membelalakkan matanya dan kini memandang kepada Sie Liong penuh selidik. ‘Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?!
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, ‘Saya masih sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.!
Kakek yang wajahnya sejak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. ‘Hem, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?!
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang. ‘Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!!
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk melihat apa yang dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampak bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka, juga golok itu, tidak menunjukkan bahwa mereka adalah segolongan petani. Seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan men udingkan telunjuknya kepada kakek itu, tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
‘He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?!
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. ‘Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu.... ah, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa saya tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.!
‘Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tak tahu malu!! bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
‘Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!!
‘Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kauhutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kukatakan, mergerti?!
Kakek itu menarik napas panjang.
‘Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau.... harap saya diberi waktu.!
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. ‘Tidak, majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!!
Kakek itu tersenyum sedih. ‘Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chung-cu, dan sebagian untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotongpun benda yang berharga.!
‘Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!! Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. ‘Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?! Suaranya bercampur tangis kebingungan.
‘Lopek, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?!
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata, ‘Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya....!
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
‘Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!! Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.
Kakek itu tetap ketakutan dan meragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang tukang-tukang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali, ‘Awas, Lo Kwan, cucumu....!!
‘Mereka ke sana....!
‘Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu....!!
Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
‘Kong-kong, tolonglah aku....!! Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menaagis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
‘Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!! teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya. Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
‘Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!! Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
‘Kawan, perlahan dulu!! Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
‘Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?! bentaknya marah.
‘Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,! kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. ‘Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?! Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. ‘Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?!
Sie Liong mengerutkan alisnya.
‘Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kaubebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya.!
‘Hah??! Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh, ‘Kau.... kau.... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!! Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. ‘Hajar mampus setan bongkok ini!!
Dua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang mem ukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.
Selain itu, mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda bongkok sederhana saja.
‘Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!! seorang di antara mereka mengejek.
‘Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!! Orang ke dua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlumba siapa yang akan lebih dulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka rerbanting keras ke atas tanah. Dua orang itu meringis dan tangan mereka men geluspantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
‘Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!! kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka. ‘Orang muda, pergilah, larilah....!!
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun. ‘Lopek, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka patut dihajar....! Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
‘Plak! Plakkk!! Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras sampai mengeluarkan bunyi ‘ngek! ngek!! dan mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang per gelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
‘Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!! bentaknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. ‘Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!! katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar yang tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya. Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah di depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya menyambut Sie Liong dangan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
‘Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!! Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mandorongnya dan tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
‘Taihiap.... mata kami buta, harap maafkan....! kata Kwan Sun. ‘Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama gerombolannya....!
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan diri agar tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
‘Bangkitlah, lopek,! katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. ‘Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!!
Tidak sukar pekerjaan ini karena tadipun, ketika pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, banyak penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa diperintah, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun. Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu hendak bicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tuapun tidak ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
‘Saudara-saudara,! katanya dengan suara lantang, ‘kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, kenapa diam saja dan tidak melawan?!
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
‘Mana kami berani?! akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.
‘Andaikata Sie-kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?! tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. ‘Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!!
‘Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!!
‘Kami.... kami tidak berani....! beberapa orang berseru. ‘Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai.!
‘Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apalagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!! kata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat.
Biarpun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi telah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chung-cu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
‘Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini.!
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andaikata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chung-cu.
Tak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya. Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.
Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin, dan baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil. Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai, dan dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru, ‘Itulah si setan bongkok!!
Lurah Bouw mendangkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Dan tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu! Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
‘Engkau ini orang bongkok dari mana, berani datang ke dusun kami dan membikin kacau?!
Sie Liong mengangkat muka memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu, dan Sie Liong tersenyum. ‘Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini, dan aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari srigala-srigala berwajah manusia yang berkeliaran di sini!!
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
‘Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!! Dia menoleh kepada para anak buahnya. ‘Pukul dia sampai mati!!
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong. Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu bersembunyi di rumah sendiri saking takut terlibat.
Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh!
Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang, dan yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas. Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, diapun menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacakan itu luput dan lewat di dekat pundaknya, dan sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku! Di lain saat, Sie Liong telah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!
Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun! Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan anak buahnya, mereka menjadi bersemangat sehingga melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka!
Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening karena terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok dan dipukuli para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, makin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuhpun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka itu lenyap selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka diapun segera melemparkan tubuh kepala dusun Bouw yang jatuh berdebuk dan terguling-guling. Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan diapun terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
‘Hei....! Keparat.... ini aku, lurahmu....!! teriaknya, akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini ban yak pula wanita dusun yang keluar dan merekapun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga agar mereka tidak melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
‘Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!!
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, ‘Hidup putera mendiang Sie Kauwsu....!!
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, dan lebih dari setengah mati. Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya. Akan tetapi Sie Liong merasa bersukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, mencoba untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
‘Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?!
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
‘Ampun.... ampunkan saya.... saya tidak berani lagi.... saya akan menjadi lurah yang baik....!
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. ‘Tidak! Kami tidak mau dia menjadi lurah kami!!
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. ‘Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat yang kauperas!!
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Kini mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
‘Sie-taihiap,! kata Kwan Sun dengan suara nyaring, ‘kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang telah membe baskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami.!
‘Hidup Sie-taihiap....!!
‘Kami setuju!!
‘Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!!
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan pandang mata kasihan. Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
‘Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.!
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
‘Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!!
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah. ‘Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?!
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang. ‘Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!! Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak buahnya.
‘Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?! tanya seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
‘Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di sini dan disebut Sie Kauwsu? Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?!
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
‘Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang berani main-main.!
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
‘Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?!
‘Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita.! Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang sederhana sekali, den tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
‘Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri ikut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.!
Sie Liong terkejut dan heran. ‘Apakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?!
Kini lurah Kwan itu yang medangnya dengan mata terbelalak. ‘Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?!
‘Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?!
‘Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!!
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak pada wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suhengnya, lalu dengan lembut dia berkata, ‘Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.!
Kwan Sun mengangguk-angguk. ‘Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.!
‘Akulah anak itu, lopek.!
Kakek itu mengangguk. ‘Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu....! Dia memandang ke arah punggung Sie Liong. ‘Mendiang ayahmu mempunyai beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali....! Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
‘Lalu bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?! Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas panjang. ‘Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.!
‘Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?!
Kakek itu manggeleng kepalanya. ‘Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Encimu, Sie Lan Hong dan engkau sendiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas oleh lurah Bouw.!
Sie Liong mengepal tinjunya. ‘Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!!
Kakek Kwan menggeleng kepala. ‘Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong....!
‘Lopek,! Sie Liong memotong, ‘apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?!
Kakek itu manggeleng kepala lagi.