Kisah Pendekar Bongkok Bab 7


Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya. Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai kuku kakinya. dan dalam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!

Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara anggauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu pada malam hari itu. Ini berarti bahwa biarpun ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!

Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya. Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal! Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.

Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa.

Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan menanggapinya.

Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini. Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada wanita itu. Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.

Dan pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.

‘Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam begini....!

‘Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengarnya....!

‘Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?!

‘Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.!

Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.

‘Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,! katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.

‘Terima kasih,! Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.

‘Kau duduklah, Bong Gan,! katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.

‘Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.!

‘Ahhh!! Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya dan duduk di atas pembaringan.

‘Biarlah ahu duduk di sini. Kau duduklah.!

Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya.

Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.

‘Bong Gan, huruf apakah ini....?! Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan menghampiri, lalu membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya sehingga beberapa kali pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.

‘Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kaubacakan untukku. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.!

Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di atas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.

‘Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?!

‘Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan....! kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.

‘Aih, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!!

Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras. Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra. Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai.

Keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan oleh perjodohan dengan Coa-wangwe yang dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan. Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus akan kasih sayang, kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya, dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, diapun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat hina karena dia telah berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!

Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, ke sekian puluh kali dan mereka berdua, yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu berahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe.

Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, dan dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati.

Bagaimana kini tiba-tiba saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah. Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur agar hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar, dan di waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia, di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.

Biarpun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tidak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka. Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya dan dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.

Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan pada punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah tanpa diberi bekal secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil. Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit, akan tetapi hati lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu, dan mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng. Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka, disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka, karena semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.

Sampai di luar kota, malam telah menjelang pagi dan mereka berdua masih terus berjalan di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biarpun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir kalau ada orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka.

Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.

Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.

‘Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya lagi,! kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.

Akan tetapi, kata-kata hiburannya itu tanpa diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua malapetaka yang menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!

‘Engkau memang anak durhaka!! bentaknya sambil bangkit duduk dan telunjuknya menuding ke arah muka Bong Gan. ‘Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarlga Coa! Aahh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu....!!

Sepasang mata Bong Gan terbelalak. ‘Diam!! Dia membentak marah sekali. ‘Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu malu!!

‘Apa? Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!! Pek Lan bangkit berdiri. Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!

Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat. Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh terguling-guling.

Hal ini berarti bahwa nenek itu telah membantunya, maka biarpun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis! Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling itu dan dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang kepada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi keseraman.

Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat ia mengkerut dan kering. Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh garis malang-melintang, sepasang matanya sampai hampir tertutup kelebihan kulit pada pelupuknya, tulang-tulang pipinya menonjol, hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi. Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan nenek itu, akan tetapi sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati orang.

Nenek itu mengangguk-angguk ketika melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis. Tiba-tiba tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.

‘Ceritakan, kenapa kau menangis di sini!! terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!

Pek Lan agaknya menyadari bahwa ia bertemu dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka iapun menjawab sambil menahan tangisnya. ‘Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya.!

Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri.

‘Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar aku membunuhnya?!

Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimanapun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.

‘Jangan, nek, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!! katanya.

Nenek itu terkekeh. ‘Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!!

Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biarpun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.

Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.

‘Heh-heh-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!! Nampak ia menggerakkan tongkatnya dan nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!

Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.

‘Heh-heh-ho-ho.... sekarang terbanglah! Terbanglah!! Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara! Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka diapun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dangan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!

‘Toloooooooong!! Dia menjerit-jerit.

‘Nenek yang baik, jangan bunuh dia!! Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.

‘Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!! kata nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyanbutnya dan tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi daripada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki.

Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan kedukaannya.

‘Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun padaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan permainannya!!

Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup mata rapat-rapat.

Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu bukan meluncur ke bawah melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek gembel!

Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.

‘Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!!

Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. ‘Waaahhh! Menghajar nenek itu? Mana aku berani? Ia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....! Hiiiih.... aku ngeri melihatnya....! Dan kakek gembel itu bergidik kengerian. Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jerih terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!

‘Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!!

Berkata demikian, Bi Sian meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dangan kedua tangan terkepal. ‘Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!!

Nenek itu menyeringai lalu menoleh kepada Pek Lan, ‘Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?!

Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek gembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.

‘Nek, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!! Di sini sudah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.

‘Bunuh? Heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!! jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut dan tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.

‘Wirrrr.... takkkk!! Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.

‘Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek gembel gila dari Himalaya?! teriaknya marah. Koay Tojin menyeringai pula. Dia tidak berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!

‘Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!!

Nenek itu semakin marah. Kata-kata ‘tidak bergigi lagi! bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!

‘Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!!

Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang amat aneh. Ia melontarkan tongkat ularnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!

Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke belakang dan diapun melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun ‘hidup! dan melawan tongkat ular itu dan terjadilah pertandingan yang amat aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya ‘bersilat! tanpa ada yang memegangnya, saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.

Melihat betapa tongkat ularnya tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu lalu mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah ‘memanggil! kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.

Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali dan melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, iapun meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan! Biarpun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, namun Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, sejak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan tamparan, akan tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.

‘Nenek, tolong aku.... tolooooonggg!! Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.

Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Mula-mula, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main. Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun, selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan kecepatan gerakannya juga membingungkan. Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu Pek-sim Sian-su, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut, maka ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri. Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.

Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. ‘Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!!

‘Ha-ha, Bi Sian, sudallah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh....!! Koay Tojin bergidik. ‘Hayo pergi....!!

Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak perempuan itu dan kakek gembel, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.

‘Locianpwe yang mulia.... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid....!!

Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai. ‘Heh-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!! katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.

‘Suhu, nanti dulu!! Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main.

‘Siapa namamu?! Bi Sian bertanya.

‘Nama saya Bong Gan....! jawab anak laki-laki itu sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.

‘Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?!

‘Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,! Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. ‘Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencurinya adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.! Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba begitu sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik sekali. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.

‘Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona.... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja.... saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya takut kalau.... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh saya....!

‘Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!! Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.

‘Nanti dulu, suhu,! kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. ‘Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!!

‘Apa??! Koay Tojin terbelalak. ‘Untuk apa mengajak anak cengeng ini?!

‘Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!!

Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik. ‘Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis menghadapi ancaman maut?!

‘Benar, locianpwe,! kata Bong Gan, girang bahwa kakek gembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau memperdulikannya.

‘Aku ingin melihat buktinya!! berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.

‘Plak! Plak! Plak! Bukk!! Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu terkejut bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apalagi kalau pukulan itu mengenai kepalanya. Dia menutupi kedua kepalanya dan kini punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong.

Akan tetapi, anak yang cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka diapun menggigit bibir dan biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikitpun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.

Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.

Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. ‘Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?! teriaknya.

‘Ha-ha-ha!! Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu. ‘Mari kita pergi, Bi Sian!! katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.

Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tidak kepalang dan kini kakek itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya!

Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatangkara dan selalu terancam bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji!

Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat kakek tadi berdiri, dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!

Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang tidak kuat lagi dan dia terguling dan pingsan!

Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di tepi sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang manis sedang mengobati luka-luka di punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali.

Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan kelembutan dan dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun baru di antara kedua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerimanya sebagai murid!

‘Terima kasih, kini sudah terasa nyaman....! katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh, Bong Gan cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.

‘Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat....! sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.

Melihat suhunya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, ‘Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?!

Kakek yang melenggut itu membuka mata, memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, ‘Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!! Dia mengacungkan tongkatnya.

Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya. ‘Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.! Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. ‘Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu....!

Bi Sian terbelalak. ‘Eh, eh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?!

Bong Gan tersenyum. ‘Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?!

‘Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?!

‘Tiga belas tahun.!

‘Nah, itu!! Bi Sian berteriak. ‘Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!!

‘Habis, lalu bagaimana?!

‘Karena engkau lebih tua, engkau menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng.!

Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya girang walaupun dia merasa kikuk.

‘Baiklah sumoi.!

‘Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluarga siapa sih? Apakah Bong?!

Bong Gan menggeleng kepalanya.

‘Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.!

Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andaikata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri. Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.

Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa mengemis. Dengan menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka.

***

Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi.

‘Terima kasih, Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya lakukan karena hidup saya sebatangkara dan tidak mempunyai harapan lagi.!

‘Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?!

Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Ia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apa nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.

‘Tentu saja saya memilih berguru, nek.!

‘Hushhh! Kalau memilih berguru ke padaku, kenapa masih menyabut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!!

‘Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo.!

‘Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa saja harus kautaati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid dan akan kubunuh!!

Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa kalau ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapapun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.

‘Apapun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.!

‘Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang amat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.!

‘Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?!

‘Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!!

Pek Lan ikut bergembira dan iapun mengikuti subonya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu dan ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.

***

Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Dia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu, Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami surut bukan hanya karena pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali karena para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan bangsa, melainkan mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran.

Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Ketika dia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri. Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya dan hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang perajurit.

Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap dapat memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apalagi kalau ada maling masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah sebabnya mengapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin mempergunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu mencuri harta dari pangeran itu.

Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik, dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Namun dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!

Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua perajurit ikut menengok ke kiri ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isarat mereka agar berhenti. Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis dan wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan kalau panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.

Pangeran itu turun dari atas kudanya dan sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.

Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.

‘Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?! Pangeran Cun bertanya dan hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk dan dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang.

Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai saputangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.

‘Nona ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?!

‘Maaf, Taijin.... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara.... saya memang bukan orang sini.... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya.... saya, pengantin baru.... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya.... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya.... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali.... karena itu, tolonglah kami, Taijin....!

Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Dan semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang. Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya! Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan sumi dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara ‘menampung! Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!

‘Aduh kasihan....!! Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. ‘Jangan menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan segera melupakan malapetaka yang menimpa dirimu, he-he!!

Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat dan berkali-kali menghaturkan terima kasih, tidak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik dan seketika diapun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya!!

Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo, dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biarpun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.

Pek Lan mentang amat cerdik. Tentu saja iapun tidak punya rasa suka kepada Pangeran Cun. Biarpun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya sudah setengah abad lebih, mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa. Pek Lan terpaksa memejamkan mata agar tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran.

Dalam keadaan terbuai kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!

Setelah mengorek rahasia ini, cepat Pek Lan memberitahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya. ‘Subo, cepat bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!! keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.

Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. ‘Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan mengambilmu dari kamarmu.!

‘Tapi...., tapi.... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!!

Kembali nenek itu tertawa, ‘Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?!

‘Aih, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang sejampun. Seleranya seperti babi, aku jijik....!

‘Jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Biarpun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan dapat merobohkan mereka,! kata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.

Malam gelap tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa ‘menderita! dalam pelukan Pangeran Cun.

Ketika sang pangeran yang kelelahan sudah tidur mendengkur keras seperti dengkurnya seperti babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal?

Apakah ia tidak akan tersangkut? Ia akah mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tidak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi! Dengan memaksakan dirinya, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya agar tidak sampai mati terhimpit!

Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.

Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali. Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itupun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.

Tak lama kemudian dua orang penjaga datang lagi membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tak bergerak, mereka cepat lari menghampiri. Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang inipun berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.



Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar