Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai bergelombang baberapa kali, namun selalu dapat ditangkis oleh lima orang pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke belakang bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung.
Kesempatan ini dipergunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya den golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan terdekat.
Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama memutar sepasang padangnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar terang. Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya dan senjata istimewa ini menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya dan terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini memiliki tenaga raksasa.
Biarpun lima belas orang murid utama Kun-lun-pai dapat pula menghindarkan diri dari cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak pertempuran yang tidak seimbang sama sekali. Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu, hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa merekapun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan terdengar bentakan nyaring.
‘Tahan senjata!! Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang guru mereka, maka merekapun berloncatan ke belakang dan sebagian segera menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan kini mereka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.
‘Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu kepandaian seorang lawan seorang!! bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar itu dengan garang.
Mendengar ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju. ‘Omitohud....! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Tadi, mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, sekarang bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!!
Wajah Thian Khi Tosu menjadi marah. ‘Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!!
‘Sute, harap tenangkan hatimu!! Tiba-tiba Thian Hwat Tosu menegur sutenya dan ketua Kun-lun-pai ini melangkah maju dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet itu. ‘Siancai.... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami tadi yang lancang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang Ngo-wi berikan kepada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan Kun-lun-pai, bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak berlarut-larut, biarlah kami berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan satu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya Kun-lun-pai tidak lagi akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi.!
Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, disamping janji.
‘Omitohud.... Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau diantara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar.!
Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum melangkah maju mendampingi suhengnya, yaitu They Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah sejak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.
‘Ha-ha-ha.! Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa. ‘Ini baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi.!
Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meletakkan cambuknya di atas kepala dan berseru, ‘Tosu, keluarkan senjatamu!!
Akan tetapi sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang kawannya, kini sudah bangkit berdiri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu. Dangan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.
‘Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tidak mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan pihak Kun-lun-pai. Kalau sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Karena itu, kami bertiga minta agar Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang luar.!
Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang ketua Kun-lun-pai saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok dangan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama. Kalau kini pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat boleh jadi mengingat saktinya lima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh!
Sebaliknya andaikata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan dangan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri!
Bermusuhan dangan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dangan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama amat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dangan sebabnya, yang pada hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.
‘Siancai....!! kata Thian Hwa Tosu sambil menjura. ‘Sungguh ucapan yang amat bijaksana, dan kami akan menjadi orang-orang yang tidak mengenal budi kalau tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk kembali ke asrama!! Ucapan terakhir ini merupakan perintah dan biarpun mukanya merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah perintah suhengnya. Diapun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua mereka, membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan selanjutnya pintu banteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!
Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu tertawa. ‘Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi lebih ringan menyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kamipun bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, Sam-lojin, dengan menyadarkan Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kamipun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah kalian ikut dangan kami, sebagai tamu undangan agar kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?!
Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab, ‘Siancai....! Terima kasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, bahwa terpaksa sekali kami tidak dapat menerima undangan terhormat itu.!
Wajah They Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sebetulnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok seperti seekor katak besar!
‘Hem, apakah yang memaksa kalian monolak undangan kami yang kami lakukan dengan merendahkan diri?! tanyanya dongan suara membentak.
Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah, ‘Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak mempunyai urusan apapun dangan Dalai Lama, sehingga andaikata beliau mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimanapun juga, kami bukanlah anggautanya maupun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undengan itu.!
‘Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!! bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya memang keras. ‘Kalau perlu, kami menggunakan kekerasan!!
Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.
‘Siancai.... sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang ini untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan.!
‘Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!! bentak Thay Ku Lama yang sudah menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.
Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai mempergunakan segala macam senjata namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apalagi membawa-bawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian sajapun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh.
Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, maupun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi sagala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam. Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tidak pernah berkelahi, tidak pernah mempergunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Bahkan selama ini mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada ‘sumbernya!, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan. Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walaupun andaikata ada nafsu itupun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itupun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaian mereka. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sin-kang mereka amat kuat dan disamping itu, merekapun pandai ilmu sihir. Thay Ku Lama memiliki pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut dan pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas.
Adapun orang ke dua, Thay Si Lama, disamping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki gin-kang yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja. Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain berbahaya sekali permainan senjata rantai bajanya, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biarpun kurus kering, namun tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya. Dan yang lebih daripada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.
Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian masing-massing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andaikata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorangpun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu. Akan tetapi, mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok, dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan. Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.
Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini sejak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga. Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk dapat mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih dan lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, diapun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak.
Akan tetapi satu hal dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih walaupun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau tiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Biarpun tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, namun dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak. Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, amatlah hebat dan menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari seorang di antara lima orang pendeta Lama itu.
Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka. Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang barkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dangan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan diapun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia malihat bahwa dia berhenti terguling-guling karena tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut! Dia membelalakkan matanya agar dapat memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula.
Ketika Sie Liong menengadah, dia melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian gembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang tidak bergigi lagi, rambutnya riap-riapan berwarna putih, sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali. Sie Liong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka diapun lalu duduk saja bersila, tidak memperduilkan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
‘Heh-heh-heh....!! Kakek itu terkekeh geli dan tongkat bututnya bargerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong dan nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dangan garis tengah dua meter lebih. ‘Engkau tinggallah saja di dalam ruangan ini dan siapapun tidak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!!
Sie Liong mendongkol. Agaknya dia bertemu dengan seorang gembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan diapun tidak menjawab, hanya membuka mata mononton pertempuran yang masih berjalan terus. Agaknya kakek gembel itupun kini tidak memperdulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah, akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek gembel tertawa semakin keras. Sie Liong basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludahpun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan biarpun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
‘Tokk!! Dan diapun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apalagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu.
Memang terjadi perubahan dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang mempergunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka. Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdangar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah!
Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan tiba-tiba, seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.
Tiba-tiba tongkat butut kakek gembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang ‘melanggar! lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itupun tordorong keluar!
Ketika para anggauta Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu berlompatan dan agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran! Tidak demikian dengan para pendata Lama. Ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama. Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksana itu memasuki lingkaran, kakek gembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itupun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia tordorong keluar oleh tongkat butut.
Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.
‘Trakkk!! Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek gembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia memiliki tenaga gajah yang sukar dilawan. Pada saat itu, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek gembel. Kakek gembel itu terkekeh keras dan kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek gembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.
‘Tokkk!! Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan diapun terbelalak keheranan. Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Kenapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina. Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi marah dan biarpun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, kini dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek gembel.
‘Waduh, jebol perut ini....! teriak kakek gembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus! Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.
‘Takkk!! Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam! Ketika Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek gembel itu, melainkan menembus baju gembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?
Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang kini menghadapi tiga orgng kakek Himalaya, tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek gembel!
‘Si-sute dan Ngo-sute, hayo bantu kami!! teriak Thay Ku Lama. Dua orang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol, akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang gembel yang amat sakti, maka merekapun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdangar seruan yang halus.
‘Siancai....! Tidak malukah kalian ini lima orang pendeta yang mestinya menjahui kekerasan, kini malah mempergunakan kekerasan untuk menyerang orang lain?!
Lima orang pendeta Lama itu terkejut karena suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khi-kang yang terasa menggetarkan jantung, maka merekapun berloncatan mundur untuk mamandang siapa yang muncul itu. Kiranya seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh piluh lima tahun, rambutnya putih semua riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih, tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar, pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhuya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
‘Supek....!! Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek itu.
‘Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!! Kakek gembel barseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan! Himalaya San Lojin memberi hormat kepada kakek gembel itu.
‘Terima kasih atas bantuan susiok!!
‘Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, ternyata ada Lama jubah merah berani melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh!!
Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Sian-su, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek gembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apalagi muncul paman guru dan uwa gurunya! Apa lagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdanyutan kepala itu!
‘Kalian ini para tosu sombong selalu menentang kami!! bentak Thay Ku Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.
‘Siancai....!! Pek-in Tosu yang terluka pundaknya, berdarah sedikit, berkata sambil menarik napas panjang. ‘Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kauputar-balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang menyerang, membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apapun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa di sini pula?!
‘Kami hanya menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!! bentak Thay Ku Lama.
‘Kami harus menangkap Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung-jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!!
‘Siancai....!! Pek-sim Sian-su berkata, suaranya halus namun kembali lima orang Lama itu bergidik kareng isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu. ‘Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang anak dusun dan hendak diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentu dia yang tewas! Dan anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute? Sungguh janggal!!
Mendengar ini, lima orang Lama itu saling pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, ‘Kami adalah utusan Dalai Lama akan tetapi telah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!! Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik seperguruannya.
‘Heh-heh-heh, suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing itu gila dan membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi mereka?! kata Koay Tojin. Kakek ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Sian-su, akan tetapi kalau Pek Sim Sian-su hidup sebagai seorang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran dan memang ada kelainan pada dirinya. Dia dikenal sebagai seorang yang sinting!
Pada hal dalam ilmu kepandaian silat maupun kekuatan sihir, dia tidak kalah dibandingkan suhengnya itu. Mungkin justeru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia menjadi sinting seperti itu. Hidupnya berkeliaran seperti gembel dan kadang-kadang melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul secara tiba-tiba saja tanpa berita lebih dulu. Akan tetapi diapun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti, lebih dikenal sebagai seorang sinting.
‘Sute, engkaupun sampai sekarang masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?!
‘Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Akan tetapi sekarang, coba dangar, dia berceramah menguliahi aku agar aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?!
Biarpun gembel tua itu nampak ugal-ugalan, namun diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka diapun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata, ‘Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu tadi jahat bukan main, lebih jahat karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andaikata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!!
‘Siancai.... Siapakah bocah ini?! tanya Pek-sim Sian-su kepada Himalaya Sam Lojin. Pek In Tosu lalu menceritakan tentang Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama, kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Tibet Ngo-houw tadi.
‘Kebetulan supek telah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya,! kata Pek In Tosu kepada supeknya. Memang aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Sian-su lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah karena ketika mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Sian-su, berusia tiga tahun lebih tua dari mereka.
Pek-sim Sian-su memang memiliki banyak macam kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek Im Tosu, dan menderita luka pukulan beracun, diapun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dadanya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata. ‘Ah, biarpun hawa beracun sudah bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal di dalam darahnya. Dia dapat diobati akan tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto sembuhkan dia.!
‘Lihat, anak bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!! kata Koay Tojin.
Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, namun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga.
‘Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek gembel ini membasmi lima orang Lama yang jahat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati.!
‘Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau akan mati,! kata Pek-sin Tosu.
‘Heh-heh-heh, kau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerangkan, biar engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan melanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!!
Pek-sim Sian-su menarik napas panjang. ‘Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu baik sekali walaupun sesungguhnya engkau harus malu untuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?!
‘Namaku Sie Liong, locianpwe.!
‘Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dangarkanlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pendorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh kalau kita berkelahi dengan orang lain karena kemarahan, kebencian atau dandam. Engkau tadi melihat sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan orang Lama hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikitpun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau keinginan membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya apabila terancam kesakitan atau kematian. Sebaliknya, engkaupun melihat sendiri bagaimana keadaan batin lawan-lawan itu dalam perkelahian. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu dandam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itupun didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat dari pamrihnya atau dari sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu, karena biarpun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya berbeda, seperti buat dan langit.!
Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam mengakui kebenaran pendapat Pek-sim Sian-su. Walaupun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sutenya masih hahah-heheh, Pek-sim Sian-su tersenyum.
‘Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya.!
Koay Tojin bertepuk tangan tanda gembira. ‘Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih....! Dan tiba-tiba kakek itupun menangis terisak-isak seperti anak kecil! Tentu saja Sie Liong terkejut melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila seperti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, sedangkan Pek-sim Sian-su memandang sutenya sambil tersenyum.
‘Lanjutkan, sute.!
Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan. ‘Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mukanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal di balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh. Suheng sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng bareni mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?!
‘Siancai....! Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi.!
‘Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembunuhan? Jawab yang jujur, jangan munafik, suheng!!
‘Saincai...., munafik lebih keji daripada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, di dalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam air jernih itu terdapat mahluk-mahluk hidup yang bargerak dan bernyawa dan yang tidak nampak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup.!
‘Nah-nah-nah....!! Koay Tojin menudingkan telunjuknya, mengamang-amangkan ke arah suhengnya. ‘Kalau begitu suheng juga membunuh!!
‘Memang, hal itu pinto akui, sute, akan tetapi biarpun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit, Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa manusia harus makan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, juga air jernih. Biarpun semua itu mengandung mahluk hidup, akan tetapi karena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andaikata pinto melihat ada ulat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan agar tidak termasuk dan termakan. Semua mahluk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biarpun membunuh mahluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, welaupun sayuran itupun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan haruslah dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama hidup karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam.!
‘Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh....!
‘Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam mabok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk makin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar dalam.!
‘Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!!
Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Sian-su tertawa. ‘Ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu? Akan tetapi, pinto mendangar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pintopun ingin pula manyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!!
Pek-sin Sian-su juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda. Pek-sim Sian-su demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar mata dan senyumnya penuh kasih sayang. Sebaliknya, Koay Tojin berpakaian tidak karuan, butut dan kotor, berdirinya juga sembarangan saja, dan hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.
Melihat betapa supek dan susiok mereka itu saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gemblra. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka. Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu, akan tetapi tentu saja dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan San Lojin diapun tidak mampu mengikutinya dengan baik. Dia hanya merasa heran mengapa hatinya tertarik kepada si gembel yang berotak miring ini, akan tetapi diapun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang berwibawa. Heran dia mengapa kakek itu mau saja melayani gembel tua yang disebut sute-nya.
‘Suheng, coba kau sambut jurus tongkatku ini!! Tiba-tiba Koay Tojin berseru dan tongkatnya bergerak. Anehnya, gerakan itu lambat saja, seperti main-main akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Sian-su, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana lawan akan mengelak!
Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.
‘Bagus sekali!! seru Pek-sim Sian-su memuji, bukan sekadar menyenangkan hati sutenya, melainkan memuji karena kagum. Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sutenya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan maupun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justeru akan memperkuat getaran tongkat sutenya untuk melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga. Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sutenya. Dua batang tongkat butut bertemu, akan tetapi Pek-sim Sian-su tidak menangkis, melainkan menggunakan sin-kang membuat tongkatnya menempel pada tongkat sutenya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sutenya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sutenya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.
‘Hemm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?! tanya sang suheng.
‘Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng.!
‘Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute.!
‘Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!! katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi, kini tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Sian-su, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu! Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu tidak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek gembel gila itu.
‘Siancai....! Sungguh dahsyat....!! kata Pek-sim Sian-su dan kakek inipun menggerakkan tongkat bututnya dan ke manapun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Sian-su sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat. Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, seperti dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur menghentikan serangannya.
‘Engkau memang hebat, suheng. Masih saja engkau memiliki ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?!
‘Siancai...., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyarang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tidak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi.!
‘Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!! Dan dia pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan ke arah kepala suhengnya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak tersangka-sangka andaikata yang dipukul mengelak. Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Sian-su justeru tidak mengelak melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini dan tahu bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak malah menangkis agar jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.
Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat sekali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Sian-su. Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.
Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdangar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu. Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.
‘Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!! Tiba-tiba dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya dan tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada kedua kakinya yang terjepit. Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, jaraknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak meronta karena takut jatuh, kakek gembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Dan seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah itu banyak dan agak menghitam!
Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
‘Siancai.... siancai.... siancai....!! Pek-sim Sian-su memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. ‘Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat.!
Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. ‘Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!!
‘Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini....! kata Pek-sim Sian-su lirih. Tiga orang kakek itu melihat dan.... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut. Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga portemuan antara dua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Sian-su hancur, hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Sian-su, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.
‘Siancai.... Bukan main hebatnya susiok....! kata Pek-in Tosu sambil menarik napas panjang. ‘Dan berbahaya sekali....!!
Pek-sim Sian-su dapat membaca isi hati murid keponakan ini. ‘Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimanapun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi, dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.!
‘Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?! kata Swat Hwa Cinjin.
Pek-sim Sian-su tersenyum. ‘Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kitapun bisa saja memilih seorang murid yang baik, agar kelak dia dapat menahan kejahatan yana datang dari manapun juga.!
Pada saat itu, terdengar suara memelas, ‘Locianpwe.... harap suka tolong saya....!
Pek-in Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Sian-su mencegahnya. ‘Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!!
Sie Liong maraca tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kaki terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti kebanjiran darah dan mulai merasa pening, juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tidak ada rasanya lagi, mukanya terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, diapun merasa mendongkol.
‘Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?!
Kini Pek-sim Sian-su mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, ‘Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukannya pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung memuntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja.!
Mendengar ini, Sie Liong merasa girang sekali. ‘Ah, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.!
Pek-sim Sian-su mengangguk-angguk dan diapun duduk kembali bersila di depan tiga orang murid keponakannya.
‘Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?! Pek-in Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu. Pek-sim Sian-su tersenyum dan diam-diam dia memuji ketajaman pandangan murid keponakan yang telah memperoleh kemajuan pesat ini.
‘Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,! jawabnya.
‘Akan tetapi...., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apalagi cacatnya bongkok seperti dia?! Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
‘Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,! kata Pek-sim Sian-su. ‘Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya.!
‘Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tidak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya,! kata Pek In Tosu.
Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.
‘Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apalagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimanapun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa mendiang suhu dahulu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya.! kata Pek In Tosu.
‘Memang agaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dahulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apapun dengan kita.!
‘Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,! kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.
Supeknya tersenyum. ‘Hek Bin Tosu, lupakah engkau berapa sudah usiamu? Orang-orang setua kita ini, tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukanlah pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.! Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
‘Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,! kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka karena selanjutnya dia tidak mendengar apa-apa lagi, sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar.