‘Siapakah namamu, orang muda?! tanya si ayah.
‘Namaku Liong, she Sie.!
Pada saat itu, pemuda tadi datang lagi membawa obor di tangan kanan dan satu pasang pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya. Dengan peraaaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itupun kakinya terlalu panjang. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.
Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. ‘Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.!
Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk ke rumah.
‘Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kepada kami.!
Sie Liong mengikuti mereka dan kini gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lazimnya gadis-gadis dusun.
Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali sebulan karena daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baiknya, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali. Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.
‘Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku telah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang kupakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.!
Empat orang itu senang sekali melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak di dusun yang kasar.
‘Kalau engkau sebatangkara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaianpun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu.! kata sang ayah.
‘Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, den engkau menjadi adikku!! kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.
Sie Liong memandang mereka dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang perampok.
Dan pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Namun, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, merimanya bermalam di situ, bahkan kini menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan. Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada mereka.
‘Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini takkan kulupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong takkan pernah melupakannya. Akan tetapi maaf, aku masih ingin melanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat kepada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.!
Malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalam sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikannya dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga.
Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami dalam kehidupan ini semenjak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pangalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya.
Maklumlah dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam. Agaknya, perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatesi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia pergunakan untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Mulailah timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.
Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik itu, dan diapun melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh. Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ.
Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya. Maka, tanpa disadari, dia lalu mengetuk-ngetukken tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu barlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan diapun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Dan begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tidak begitu nyeri lagi karena tidak lagi ‘diserang! oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.
Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan diapun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia bikin irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!
Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian telah dibikin hancur dan kacau oleh suara ketukan bambu, marahlah dua orang pendeta Lama itu. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.
‘Tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok!! suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam! Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali, hanya seorang bocah bongkok! Dan ilmu mereka telah ketahuan rahasianya dan telah menjadi kacau!
Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu itupun tidak ada gunanya lagi.
‘Bocah setan! Berani kau mengacaukan ilmu kami?! bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet dan tubuhnya sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang, dan cepat sekali dia menyerang anak itu dengan Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok! Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Seorang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang dipukulnya seorang anak-anak yang lemah!
‘Siancai....! Engkau terlalu keji, Lama!! terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek In Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.
‘Desss....!! Tubuh Thay Ku Lama terpelanting dan terguling-guling. Ternyata Pek In Tosu dalam usahanya menyelamatkan anak bongkok, telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadipun sudah menyerempet dada Sie Liong dan anak inipun terpelanting dan terbanting keras!
They Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia marasa jerih. Setelah meloncat bingun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.
‘Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!! Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sutenya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.
‘Siancai....! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali....! kata Pek In Tosu yang segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu telah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali. Mereka tahu pula bahwa nyawa mereka diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.
‘Sudahlah, harap ji-wi segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan mencampuri urusan para Lama itu.!
Dua orang itupun cepat-cepat memberi hormat lalu pergi dari situ untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu lalu berlutut.
‘Thian Yang Maha Agung.... Sungguh kasihan sekali anak ini....! katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru. Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat den anak itu masih terlanggar hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang amat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali dia menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu. Perlahan-lahan dia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, walaupun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Untuk menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dia tidak mampu dan harus dicarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.
Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengaja, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama!
Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok ini terkena pukulan beracun. Bagaimanapun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan dia memandang kagum. Anak itu tidak mangeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak, dan ketika anak itu bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!
‘Sakitkah dadamu?! tanya Pek In Tosu lirih.
Sie Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. ‘Nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapakah hwesio tadi memukul aku?!
Pek In Tosu menarik napas panjang dan semakin suka dan kagum kepada anak bongkok itu. ‘Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?!
Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata, mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi. ‘Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang tidak enak itu.!
‘Siancai.... Tanpa kausadari engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mareka. Karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.!
Sie Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau tidak cepat pundaknya ditangkap oleh Pek In Tosu.
‘Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.!
Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya seperti terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja!
Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana-sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila di atas padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu. Orang ke dua juga seorang tosu, bertubuh tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin tanpa rambut sedikitpun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun dan dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu.
Orang ke tiga bernama Hek Bin Tosu, dan sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar, wajahnya nampak serius dan bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya. Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindarkan bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet. Tak mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama yang sakti melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
‘Siancai....! Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?! Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka bertiga ini bukan saudara seperguruan, akan tetapi biarpun mereka datang dari sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu, mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
‘Tidak tahukah engkau, sute?! kata Swat Hwa Cinjin. ‘Ketika kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan ingin menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.!
‘Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana orang-orang yang sudah memiliki tingkat sedemikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!! kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.
‘Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?! Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. ‘Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.!
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, ikut mendengarkan walaupun dia harus menahan perasaan nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya nyeri. Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya banyak berkurang walaupun belum lenyap sama sekali.
‘Pada waktu itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan putera mereka yang tunggal, apalagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama aenjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, semenjak itu, terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.!
‘Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!! Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. ‘Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?!
‘Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka, secara membuta dan apapun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapapun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!!
‘Ahh.! Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. ‘Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh Lima Harimau Tibet menggangu kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya ketika para Lama hendak menculiknya?!
‘Inipun suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka bermusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, namun kita berhak dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar maupun dalam.!
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Tak mereka sangka bahwa dalam usia yang amat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
‘Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia berada di tengah-tengah antara kita,! Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
‘Siancai....! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pendeta Lama itu dan dia menderita luka parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tidak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.!
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya, diapun segera berkata.
‘Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri menghadapi ancaman para pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.! Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.
‘Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,! kata Pek In Tosu. Bagaimanapun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang mentakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!
Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini karena dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka.
Tiba-tiba ada angin keras menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Oleh Sie Liong hanya kelihatan bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan. Dua di antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah dibedakan satu antara yang lain. Orang ke tiga adalah seorang yang mukanya pucat soperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama.
Orang ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering seperti tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang terkenal mengamuk di Kun-lun-san itu.
Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lalu menggeser duduk mereka. Kini mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu, dengan sikap yang tenang sekali. Sie Liong membuka matanya lebar-lebar, hatinya tegang akan tetapi diapun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat jahat dan sombong itu.
Melihat betapa tiga orang calon lawan itu duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya memberi isarat melalui gerakan tangan dan tubuh. Mereka berlima tidak berani memandang rendah kepada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati.
Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Kalau Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima Hartmau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan kesiapsiagaan untuk berkelahi.
Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.
‘Sam Lojin, sekali lagi kami tegaskan bahwa pimpinan kami, yang mulia Dalai Lama memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!! tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung perintah dan ancaman.
‘Siancai! Kami bukunlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu.!
‘Kalian tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin berwawancara dengan sam-wi,! kata pula Thay Ku Lama, biarpun kata-katanya halus dan sopan, namun mengandung ejekan.
‘Maafkan kami, kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.!
Marahlah Lima Hariman Tibet itu! ‘Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?! bentak pula Thay Ku Lama.
‘Siancai....! Terserah kepada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga, akan tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar,! jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.
Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang menyembah, kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti telah pulas dalam samadhi. Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa mendongkol sekali kepada lima orang pendeta Lama itu. Biarpun dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua golongan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain.
Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang juga membuatnya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.
Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu. Dia melihat betapa tubuh lima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!
‘Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?! Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru. Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari samadhi! Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri dan dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.
‘Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang amat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja? Kacoa-kacoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itupun sanggup mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andaikata kalian pandai terbang sekalipun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!!
Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena biarpan dia mendongkol dan tidak suka kepada lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, melainkan orang lain yang hanya ‘meminjam! mulut dan suaranya! Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!
Lima orang pendeta Lama itu demikian kaget, marah den malu mendengar teguran yang keluar dari mulut anak kecil itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuh merekapun meluncur turun.
Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit dan mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup nyaring. ‘Ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!!
Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan jujur.
Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang dan ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai, kemarahan mereka memuncak dan untuk sementara mereka tidak memperdulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin dan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.
‘Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai telah berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?!
‘Siancai....! Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju, menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai. Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangan di dada dan berkata dengan penuh hormat. ‘Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami kalau kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.!
Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, ‘Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai.!
Kini Thian Hwat Tosu menghadapi lagi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata, ‘Ngo-wi lo-suhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkannya saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi lo-suhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kamipun akan melupakan apa yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan ini.!
Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur, melainkan mengkhawatirkan kalau terjadi kesalahpahaman. Karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan diapun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.
‘Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang kau maknudkan. Kamipun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencarapuri urusan kami yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?!
Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga mengandung pandangannya yang congkak.
‘Lama yang sombong!! Thian Khi Tosu berseru geram. ‘Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kau hadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!!
‘Omitohud....! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kamipun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai sedemikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!!
Thian Khi Tosu yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suara keras. ‘Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapapun juga akan kami hadapi!!
‘Omitohud....!! Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. ‘Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!!
‘Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!! Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu,
‘Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!!
Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suhengnya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid utama itu maju, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suhengnya sekalipun. Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apalagi kalau mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka, yaitu ilmu dalam bentuk barisan yang dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun).
Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang amat kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kiam-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sutenya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai di mana kepandaian musuh!
Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di atas padang rumput yang lapang dan di situ mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan rapi.
‘Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang hendak memusuhi Kun-lun-pai!! bentak murid tertua yang usianya sudah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan.
Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek dan merekapun melangkah maju menghadapi mereka, dengan borjajar. Setelah mereka berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka telah berlatih matang.
Melihat ini, lima orang pandeta Lama itupun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri, karena mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melingungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.
Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi. Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin dan begitu pimpinan mereka memberi aba-aba lima belas orang itu bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak!
Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal hebat, dan kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan dahsyatnya!
Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing, Thay Ku Lama si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya disembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan. Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian dan diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.
Dalam penyerangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai kepada lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka berlima tidak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka menangkis. Terdengar suara nyaring berdenting-denting disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata ketika lima belas batang pedang itu tertangkis oleh senjata lima orang pandeta Lama. Karena memang tenaga sin-kang dari para pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!