‘Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lasha itu?! tanya Bong Gan dan sekali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sutenya dan juga tunangannya itu terdengar amat tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sutenya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya telah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tak dapat melawan itu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini ia merasa heran mengapa ia pernah begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya!
‘Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, sekarang mengasolah dan harap jangan dilanjutkan pertengkaran yang tidak ada gunanya itu.!
Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya stau calon isterinya itu terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan jarang sekali memandang kepadanya. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapapun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga.
Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini. Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring manghadap ke dinding membelakangi dia yang duduk di atas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, teringatlah Bong Gan akan peristiwa yang penuh kamesraan baginya di malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, dia sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan diapun bangkit dan menghampiri pembaringan Bi Sian.
‘Sian-moi....! panggilnya lirih. Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
‘Sian-moi....! kembali dia memanggil lembut dan sekali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Sian melirik. ‘Hem, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!!
‘Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa menyesal sekali, aku tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa benar cintaku kepadamu....!
‘Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!!
‘Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku.... ah, betapa rinduku kepadamu, Sian-moi.... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku.... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?!
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. ‘Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan sebelum kita menikah, angkau tidak boleh menyentuhku!!
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. ‘Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas.!
‘Aku tidak sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan dan doa restunya, setelah itu baru kita melangsungkan pernikahan.!
‘Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku....! Pemuda itu masih memohon.
‘Sudahlah, kalau engkau masih merengek dan berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!!
Bong Gan sudah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadl kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuhpun tidak diperkenankan. Sambil menarik napas panjang diapun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal.
‘Daripada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.! Setelah berkata demikian, diapun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak perduli Bong Gan akan tidur di manapun juga. Akan tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini menimbulkan kecurigaan hatinya. Juga ia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan lebih dulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat meloncat turun dari atas pembaringan, dengan hati-hati sekali sehingga tidak mangeluarkan suara dan iapun manghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu, mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Ia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Ia tidak perduli apapun yang dilakukan Bong Gan kini. Akan tetapi mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang laki-laki yang rendah dan hina!
Sebagai tamu orang berani berjina dengan wanita lain! Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan iapun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.
‘Tidak!! Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. ‘Aku tidak sudi menjadi isterinya!! Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walaupun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ah, itu hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang pernah ada hubungan antara kedua orang itu. Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika ia terbius dan terangsang oleh racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman, sehingga ia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, ketika hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuannya.
Bagaimana juga, ia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ah, mudah saja, pikirnya. Peritiwa malam ini dapat dijadikan alasan mengapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walaupun mukanya masih basah air mata. Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan iapun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan! Kini, setelah ia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman. Dan tak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya akan tetapi dengan mulut tersenyum manis!
!Omitohud.... Orang muda yang malang....! berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya. Camundi Lama adalah seorang pendeta yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet dan dia sama sekali bukan seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di situ adalah karena dia memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ.
Karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanya menjadi tabib untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan yang keras dan jahat dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, namun dia tidak mau ikut-ikut dan pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat yang kabarnya setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri! Dan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain keracunan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia telah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!
‘Kasihan, orang muda yang malang....! untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.
Sie Liong membuka matanya. Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Walaupun dia belum ingat semua peristiwa yang lalu, namun dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.
‘Ling Ling.... dimana Ling Ling....!
Camundi Lama membungkuk untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih, pikirnya. ‘Siapakah Ling Ling, orang muda?!
Kini Sie Liong memandang kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya. ‘Ah, Ling Ling....? Ia.... ia aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan.... ah, sudahlah, aku tidak ingat lagi....!
Pendeta Lama itu semakin iba. ‘Omitohud.... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.!
Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan dia teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah karena dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
‘Aku tidak bernasib malang, losuhu,! katanya dan dengan susah payah diapun bangkit duduk bersila.
‘Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,! kata Camundi Lama, terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!
Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung dan diapun tersenyum. ‘Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tidak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara prabot-prabot perlengkapan badan saja.!
‘Omitohud....! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku) mendengarnya akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan seenak ini! Orang muda, engkau bukan hanya kehilangan lengan kiri, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?!
Sie Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua penderitaan yang dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.
‘Kenapa sedih dan menyesal, loshu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini matipun tidak perlu disesalkan, mengapa baru kehilangan yang sedikit itu harus berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Thian manghendeki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.!
‘Omitohud.... semoga Sang Buddha memberi penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kaupergunakan, bagaimana caranya maka engkau dapat menerima segala derita sengsara ini dengan senyum di bibir?! Dia memandang penuh kagum.
‘Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Thian sehingga apapun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada penyesalan apapun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Thian, dan segala kehendak Thian pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.!
Tiba-tiba kakek itu tersedu dan merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.
‘Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu.... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi racun dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sin-kang, akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kauminumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar racun di tubuhmu.!
Dengan taat Sie Liong meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari. Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang pantas dihormati.
‘Bagaimana keadaannya?! tanya Kim Sim Lama sambil lalu, dan dia melangkah mondekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu.
‘Sudah hampir kering,! jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak monotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu dan begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sin Lama, diapun terkulai lemas di atas pembaringan.
‘Ehh? Kenapa....?! Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama sagera berkata kepada Camundi Lama. ‘Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tidak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa janazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lasha. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lasha itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Jangan khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.!
‘Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?! Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.
‘Dia itu! Kami menghendaki agar tubuhnya dapat bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tidak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!!
Melihat sinar mata mencorong dari Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama. Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tidak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tidak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas wakil Dalai Lama itu.
Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas pentunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
‘Agar tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,!
kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh. Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan belasan orang pendeta yang membaca doa dan di antara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tak seorangpun menaruh curiga.
Karena orang-orang dapat menduga bahwa yang dimakamkan itu tentulah seorang anggauta Kim-sim-pang, maka tak seorangpun berani bertanya-tanya, bahkan mendekatpun tidak berani. Biarpun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, namun semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walaupun tidak secara terang-terangan.
Peti mati itu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu. Tadi dia hanya memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan. ‘Tabung ini untuk memasukkan hawa agar mayatnya tidak lekas rusak seperti dikehendaki oleh Kim Sim Lama,! katanya kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu dan mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankon hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin?
Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Thian! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Thian bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikitpun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikoran, maka yang bakerja adalah kekuasaan-Nya! Teringat akan ini, mulut yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu sagera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama.
Sebelum peti mati itu diangkur keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan. ‘Dia sudah mati.... dia sudah mati....! katanya dengan wajah berseri.
‘Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?! tanya Bong Gan, akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi ia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
‘Pendekar Bongkok, dia telah mati!! kata Pek Lan.
‘Apa....?! Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak den muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. ‘Siapa yang membunuhnya?! tanyanya dan suaranya agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,!Sian-moi? Kalau dia matipun, mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?!
‘Tutup mulutmu!! Bi Sian membentak marah. ‘Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan kepadanya!! Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
‘Sian-moi....!! Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengennya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
‘Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku do sini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?!
Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian mencari Kim Sim Lama dan mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan samadhi di belakang. Ia tidak perduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, iapun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersamadhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw. Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi iapun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka iapun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
‘Losuhu, maafkan saya mangganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?!
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang dan diapun berkata kepada gadis itu,
‘Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.!
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka iapun segera duduk di atas lantai karena ruangan samadhi itu tidak mempunyai kursi atau bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
‘Nona Yauw, kalau benar pinceng membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,! kata Kim Sim Lama.
‘Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku meninggalkan rumah demikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang telah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi sekareng, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!!
‘Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang ingin membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali kepada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa nona sebenarnya tidak membenci Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!!
‘Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku....!
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri, ‘Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?! Bi Sian menengok ke kiri dan ia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong dan ia merasa jantungnya bergetar hebat. Ia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw telah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan mulai menguasainya.
‘Aku.... aku membenci Pendekar Bongkok....! Jawabnya seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar yang bertentangan dengan suara hatinya! Ia sendiri memang percaya bahwa ia membenci Sie Liong. Mengapa tidak! Sie Liong telah membunuh ayah kandungnya! Ia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong walaupun suara hatinya membisikkan lain.
‘Kalau begitu, engkau harus berterima kasih kepada Kim Sim Lama yang telah menewan dan membunuh musuh besarmu,! kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi lemah dan di luar kehendaknya sendiri, ia mengangguk dan berkata, ‘Aku berterima kasih....!
‘Nona Yauw Bi Sian,! kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, ‘Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!!
‘Aku akan membantu Kim-sim-pang....! kata pula Bi Sian.
‘Nona, engkau akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!! terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan. Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai-yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia marasa setuju sekali dan iapun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
‘Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.!
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang amat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai-yang suhu.
‘Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,! kata pula Kim Sim Lama. Bi Sian mengangguk, bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah menghafalkan pelajarannya. ‘Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....!
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak perduli, masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di pembaringan den memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih mengulang kedua kalimat itu, ‘Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....!
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.
***
Camundi Lama tidak tahu betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah pula, bahwa kekuasaan Thian dapat melakukan apa saja yang menurut akal pikiran tidak mungkinpun dapat terjadi dengan mudahnya kalau Thian menghendaki. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat di alam semesta, akan tetapi manusia tidak memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat daripada usaha manusia.
Camundi Lama hanya melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa kebenaran itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi di sekelilingnya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang dipergunakan Thian untuk menyelamatkan Sie Liong. Ketika Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia tidak melihat apa-apa. Gelap pekat saja yang nampak. Dia memejamkan kedua matanya kembali dan mengingat-ingat.
Tepat pada hari itu habislah sudah seluruh sisa pengaruh racun penghilang pikiran dan ingatannya kembali lagi. Ke-waspadaan timbul kembali, terasa di seluruh tubuh. Teringatlah dia bahwa dia sedang melaksanakan tugasnya menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat akan perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim Lama membantu mengeroyoknya. Hanya sampai di situ saja ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Tahu-tahu dia berada di sini!
Dia membuka mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya gelap. Sudah butakah kedua matanya? Dia menggerakkan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada di dalam sebuah peti! Dia meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta, hanya berada di dalam sebuah peti yang teramat gelap. Kembali dia mencoba untuk mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam sebuah kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama, dan teringat pula dengan hati terkejut bahwa dia pernah diserang searang pria dengan golok, ditangkis dengan lengan kirinya dan lengan kiri itu buntung. Cepat tangan kanannya bergerak lagi meraba lengan kiri. Buntung! Lengan kirinya benar buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja sedikit.
‘Ya Thian....!! Dia berseru lirih. Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya bertanya-tanya kepada Thian mengapa lengan kirinya harus buntung. Akan tetapi, kembali dia menyandarkan diri kepada kekuasaan Thian. Kalau memang Thian menghendaki, jangankan hanya sebuah lengan kirinya, biar seluruh tubuhnya dihancurkan, biar nyawanya dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan yang tulus ini, diapun merana aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali.
Tanpa mengingat sedikitpun lagi tentang lengan kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan meraba-raba dan akhirnya dia menemukan lubang di atas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu jari kaki pada peti itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu tersambung sebatang tabung ke atas dan agaknya itulah yang menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar masuk dari tabung itu!
Dia mencoba untuk menggerakkan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mancoba kekuatan peti itu. Akan tetapi ternyata tenaggnya lemah sekali. Dan teringatiah dia bahwa sebelum ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan tetapi juga dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu telah sembuh! Akan tetapi tenaganya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sin-kanghya lenyap. Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya. Camundi Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan. Ah, benar! Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya!
‘Hemm, mereka memasukkan aku ke dalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat gelapnya, dan mencium bauh tanah ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemm.... agaknya peti ini berada di dalam tanah!! Dia terbelalak, namun tetap saja gelap gulita. ‘Ah, merka telah menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!! Kembali perasaan khawatir dan takut menghantuinya, namun hampir barbareng, kesadaran menyerahkan diri kepada Thian mengusir itu semua. Dia harus panrah, percaya sepenuhnya akan kekuasaan Thian.
‘Kekuasaan Thian berada di manapun juga,! demikian pernah Pek Sim Sian-su berkata, ‘di tempat yang paling tinggi maupun paling rendah, dalam benda yang paling besar sampai yang paling kecil, di atas langit maupun di bawah bumi....!
‘Di bawah bumi.... ah, di sini pun terdapat kekuasaan Thian! Ya Thian, hamba menyerah, hamba pasrah, apapun yang Thian kehendaki jadilah!! Hati Sie Liong bersorak dan pikirannya semakin terang. Dia mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di dalam sebuah peti dan peti itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang memasukkan hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat mati. Tentu ini parbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tidak berniat menyelidiki karena hal itu akan sia-sia saja. Yang penting sekarang harus mencari jalan untuk keluar dari tempat ini. Kembali dia menggerakkan kedua kaki dan sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti.
Akan tetapi ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganyapun terlalu kecil. Percuma saja, pikirnya. Dan pula, andaikata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di dalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang mengerikan. Tidak, dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang tabung itu, berarti mereka tidak menghendaki dia mati dan tentu merekapun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia mati.
Dia mengingat-ingat percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun penghilang ingatan, akan tetapi agaknya racun itu telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia dapat mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib itu, dia juga keracunan. Darahnya keracunan sehingga dia kehilangan tenaga sin-kangnya dan setiap kali mengerahkan tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa nyerinya yang hilang. Tenaga sin-kangnya belum kembali.
Kembali dia menggerakkan tangan kanan, menekan ke arah peti. ‘Krek.... krekk....!! Peti itu retak oleh dorongannya. Tenaga biasa, bukan tenaga sin-kang, akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti sedikit terbuka dan ada tanah dan pasir masuk dan menimpa mukanya! Dengan cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan kanan membersihkan muka. Celaka, pikirnya. Kalau dia berhasil memecahkan peti itu, dia akan tertekan tanah dan pasir, dan akan mati kehabisan hawa udara. Kini dia malah tidak berani bargerak sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada tanah dan pasir jatuh ke dalam peti yang sudah retak itu.
Tenang, Sie Liong, tenanglah dan pergunakan akalmu. Akal juga pemberian Thian yang harus dipergunakan pada saat yang dibutuhkan, seperti sekarang ini! Dia memang sudah menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Thian namun di samping itu dia harus berikhtiar, berusaha menggunakan segala alat yang ada padanya, pikirannya, akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Thian membimbing, akan tetapi bimbingan itupun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada padanya.
Diapun mengingat-ingat. Dia berada di dalam bumi! Di dalam tanah. Dan tiba-tiba teringatlah dia akan pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Sian-su kepadanya, yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga mujijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam api, dalam air, dalam hawa, dalam logam dan dalam tanah! Dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makanan, segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang mengeluarkan hawa panas, yang mengeluarkan apa saja. Bumi nampak lemah dan diam.
Namun segala yang nampak ini berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam bumi, dalam tanah, tedapat kekuasaan Thian, yaitu energi yang maha dahsyat itu! Dan dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Thian menghendaki, maka tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, cukup untuk membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.
Mulailah Sie Liong mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulai dia menghimpun hawa murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat memasuki tubuh melalui napas yang dihisapnya. Hawa yang hangat ini berputar di dalam pusarnya, seolah membangkitkan kembali tenaga saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa murni yang terhisap olehnya itu kini bercampur dengan sesuatu yang belum pernah dirasakannya.
Berbeda dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan di atas sana, di atas tanah. Kini ada sesuatu yang kadang panas kadang dingin, kadang menyesakkan dada, terbawa masuk ke dalam tubuhnya, berkumpul di dalam pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai menghimpun Tenaga Inti Bumi!
Itulah kekuasaan Thian yang sudah diyakininya. Agaknya Thian menghendaki demikian sehingga tanpa disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong dapat menghimpun Tenaga Inti Bumi sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam peti! Dan kebetulan sekali pula, sesungguhnya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh kekuasaan Thian, pada saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat yang dimasukkan ke dalam perutnya oleh Camundi Lama. Darahnya sudah bersih kembali dan ketika tenaga sin-kangnya perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi yang segera bersatu dengan tenaga sin-kang yang sudah ada dalam tubuhnya!
Namun Sie Liong tidak merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan perhatian pada pernapasannya, sambil menyerahkan segalanya kepada Thian, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati.
***
Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil menghadap Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan. Kini tahulah dia bahwa semua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabuhi mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!
Akan tetapi dia tidak perduli akan semua itu. Dia tidak hendak mencampuri urusan pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai Lama, juga tidak membantu para pemberontak. Dia hanya ingin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari puterinya, Yauw Bi Sian. Karena tidak bermaksud mencampuri urusan pemberontakan malainkan urusan pribadi, maka Lie Bouw Tek tidak ragu-ragu atau takut-takut untuk mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya.
Pria perkasa berusia tiga puluh enam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu melakukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu hal yang selain membahagiakan, juga mendatangkan perasaan tenteram dan penuh damai. Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat sinar matahari lebih cerah, warna-warna lebih terang, suara apapun majadi lebih merdu. Dunia nampak lebih indah daripada biasanya!
Pada pagi hari yang cerah itu, mereka tiba di lereng sebuah bukit. Dari lereng itu mereka dapat melihat ke bawah dan pemandangan alam di pagi hari itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar telaga itu penuh dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan di bukit-bukit itu ditumbuhi banyak sekali pohon yang berbunga indah.
Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka tahu bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah. Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.
Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walaupun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata,
‘Maafkan kalau kami menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya ke kuil itu?! Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi di belakang sebuah kuil Kim-sim-pang yang sesungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, dia tadi mengajak Lan Hong untuk mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan hendak mencari jalan dari belakang kuil.
Mendengar ucapan Lie Bouw Tek, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang memimpin rombongan berkata, ‘Jalan menuju ke kuil adalah jalan raya yang sudah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran di tempat ini? Di sini merupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorangpun boleh berkunjung di sini tanpa seijin kami.!
Lie Bouw Tek mengangkat kedua tangan memberi hormat. ‘Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak melanggar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena tertarik oleh pemandangan yang indah dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan....!
‘Katakan apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan kami ajak menghadap pimpinan kami yang akan menentukan selanjutnya.!
Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini, Lan Hong menyentuh lengannya dan iapun melangkah maju dan berkata dengan lembut.
‘Harap cu-wi suhu memaafkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok bernama Sie Liong dan....!
‘Pendekar Bongkok!! seru seorang di antara mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong dan Bouw Tek girang sekali.
‘Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari,! kata Lie Bouw Tek. ‘Dapatkan cuwi memberitahu di mana dia?!
Akan tetapi begitu mendengar bahwa yang datang ini adalah keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang dengan maksud membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang. Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka lari menuju ke sarang untuk melapor. Melihat sikap mereka, mengacungkan senjata dan mengepung, Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.
‘Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Kim-sim-pani, kami hanya mencari adik kami itu!!
Akan tetapi, para pendeta itu mengepung semakin ketat. ‘Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau yang akan menentukan apakah ji-wi bersalah ataukah tidak. Menyerahlah daripada kami harus menggunakan kekerasan!!
‘Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti perampok-perampok saja! Kami tidak bersalah apapun, bagaimana harus menyerah menjadi orang tangkapan? Kami tidak mau menyerah!! Barkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar merah. Sie Lan Song juga mencabut pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini berarti membiarkan diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Iapun siap mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.
‘Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!! bentak pemimpin rombongan dan empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga menerjang ke arah Sie Lan Hong.
‘Trang-trang-tranggg....!! Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebaten dan empat orang pendeta itu berseru kaget dan berloncatan mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di tangan pendekar Kun-lun-pai itu!
Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja wanita cantik itu mampu mengelak dan menangkis, bahkan membalas dengan hebat dan sebuah tandangan kakinya sempat membuat seorang pengeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.
Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar seruan yang amat berwibawa, ‘Tahan semua senjata....!!
Para pendeta mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan menghentikan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling mendekati agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi. Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada di situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pendeta Lama itu biarpun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan jubahnya yang lebar.
Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia dapat menduga dengan siapa dia kini berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.
‘Kalau kami tidak salah duga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami, locianpwe.!
Kim Sim Lama membungkuk sedikit. ‘Omitohud.... orang muda yang gagah sudah mengenal pinceng (aku) dan kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan kami. Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian berkeliaran di sini?! Tadi dia sudah mendengar pelaporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, diapun cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.
Dengan lantang Lie Bouw Tek memperkenalkan diri. ‘Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang menerima perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, disamping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang untuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu.!
Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu berkata, ‘Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita bicara di dalam dan pinceng akan maberi keterangan yang selengkapnya tentang kedua hal yang kalian pertanyakan itu.!
Biarpun dia maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai. Bagaimanapun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa yang cukup kuat.
Mereka diajak memasuki ruangan di belakang kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang.
‘Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin lebih dulu menjelaskan tentang sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para tosu, pertapa dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil Thay-yang Suhu ke sini.!
Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong memandang kepada tosu itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan rambut pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tampan. Di punggungnya nampak sepasang pedang. Thai-yang Suhu memberi hormat kepada Kim Sim Lama, lalu dipersilakan duduk di sebelah kanannya oleh pemimpin itu.
‘Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai-yang Suhu, dan dia adalah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang telah terjadi.!
‘Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, yang selamanya tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet. Urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,! kata Lie Bouw Tek.
‘Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk memberi penjelanan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama.!
They Ku Lama yang berperut gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari tempat duduknya. ‘Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal mengapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, dan dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, dan pertapa Himalaya bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walaupun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama tewas.
Akan tetapi, dia tidak perduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itulah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kamipun meninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Maka, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, dan yang bertanggung jawab terhadap para tosu, pertapa maupun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!!
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai-yang Suhu berkata dengan suaranya yang lembut.
‘Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan menjadi musuh Gobi Ngo-houw yang ketika itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka itu meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itulah maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat.!
Lie Bouw Tek menjadi semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi Dalai Lama dan bertanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
‘Locianpwe tadi mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mohon petunjuk locianpwe, dimana adanya adik saya itu sekarang.!
‘Omitohud.... harap toanio menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia, sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.!
‘Ahhhhhh....!! Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
‘Tidak mungkin....!! Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali. Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Kalau dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itupun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.