Kisah Pendekar Bongkok Bab 22


Pek Lan tersenyum dan nemang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik sekali ketika tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan penuh daya pikat. Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu. Memang, biarpun Bi Sian amat manis, namun ia tidak mampu bergaya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya tidak sekuat Pek Lan. Bagaimanapun juga, kalau harus memilih keduanya untuk menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian. Bi Sian seorang gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan adalah seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat menjadi seorang isteri yang setia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang, tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.

‘Adik yang baik, engkau sungguh cantik jelita dan gagah berani. Jangan salah mengerti, kalau anak buah kami melakukan penghadangan, hal itu terjadi karena kalian telah melanggar wilayah kekuasaan kami. Akan tetapi, kami dapat pula menghargai orang-orang gagah. Melihat kalian berdua yang tidak gentar menghadapi pengepungan orang-orang kami, tentu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami ingin sekali berkenalan melalui adu silat. Kalau memang kalian pantas menjadi kenalan kami, tentu akan kami persilakan untuk menjadi tamu dari Sang Pangeran yang menjadi tuan rumah kami. Suhu, engkau ujilah kepandaian adik manis ini, biar aku yang menguji pemuda ini,! katanya kepada Thai-yang Suhu.

Memang Pek Lan cerdik. Ia sudah mendengar dari Bong Gan bahwa tingkat kepandaian Bi Sian bahkan lebih tinggi dibandingkan pemuda itu, padahal baginya, menghadapi Bong Gan saja ia hanya mampu mengimbangi. Berbahaya kalau ia menghadapi Bi Sian kemudian sampai kalah! Maka ia sengaja menyuruh Thai-yang Suhu yang menghadapi gadis itu sedangkan ia akan menghadapi Bong Gan yang tentu saja hanya akan main-main tidak bertanding sungguh-sungguh. Biarpun ilmu kepandaian silat dari tokoh Pek-lian-kauw itupun tidak jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, namun setidaknya pendeta itu memiliki kekuatan sihir untuk melindungi diri.

Thai-yang Suhu memang sudah tertarik sekali, bukan kepada Bi Sian saja, melainkan terutama sekali tertarik melihat pedang di tangan gadis itu. Kini dia memperoleh kesempatan untuk menguji apakah pedang Teratai Putih itu sebuah pedang pusaka ampuh ataukah pedang biasa saja. Dia tidak menurunkan sepasang pedangnya karena sepasang pedangnya merupakan pedang yang baik dan dia khawatir pedangnya akan menjadi rusak kalau pedang di tangan gadis itu benar pedang pusaka ampuh. Maka diapun meminjam sebatang pedang yang dipegang oleh seorang perajurit Nepal, kemudian menghampiri Bi Sian.

‘Siancai.... harap maafkan pinto (saya), nona. Kami memang hanya ingin menguji, karena hanya melalui pertandingan silat maka perkenalan menjadi erat. Nah, silakan, nona!!

Melihat sikap dua orang itu cukup hormat dan sopan, Bi Sian juga merasa tidak enak kalau ia bersikap keras. Biarpun tadi pasukan itu mengepungnya, namun mereka belum melakukan penyerangan.

‘Aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga, dan akupun tidak sengaja melanggar wilayah siapapun juga. Wilayah ini bukan pekarangan, tidak dipagari, melainkan pegunungan dan telaga. Bagaimana aku tahu bahwa tempat ini ada orang yang memilikinya? Akan tetapi, biarpun tidak mau bermusuhan, kalau dimusuhi, jangan dikira aku takut!!

‘Siancai....! Nona memang gagah perkasa, karena itu pinto ingin sekali menguji kepandaianmu, bukan berkelahi atau bermusuhan. Nona, lihat pedang!! kata Thai-yang Suhu sambil menggerakkan pedang pinjamannya, mengirim serangan gertakan ke arah kepala gadis itu. Bi Sian mengelak dengan cepat dan ketika tangannya bergerak, pedang Pek-lian-kiam sudah menyambar ke depan, menusuk ke arah dada merupakan sinar putih berkelebat.

Thai-yang Suhu terkejut dan cepat dia juga melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian menyerang lagi dengan berhati-hati karena biarpun hanya menguji kepandaian, kalau ilmu pedang lawan itu terlalu berat, mungkin saja dia akan terluka. Dia tidak berani memandang ringan lawannya yang dapat membalas serangan sedemikian cepat dan kuatnya.

Sementara itu, Bong Gan juga sudah menggerakkan ranting di tangannya dan menyerang Pek Lan yang menyambut dengan pedangnya. Merekapun bertanding dengan seru, tentu saja hanya nampaknya demikian karena hati mereka yang tahu bahwa mereka hanya bersandiwara dan tidak sungguh-sungguh bertanding.

Thai-yang Suhu mendapatkan kesempatan untuk menguji keampuhan pedang di tangan Bi Sian. Ketika pedang bersinar putih itu menyambar dengan bacokan ke arah lehernya, dia memutar tubuhnya dan mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu untuk menangkis.

‘Trangggg....!! Terdengar bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan.... pedang di tangan pendeta Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal pedang perajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan tajam.

Thai-yang Suhu berseru. ‘Lihai sekali!! dan diapun melempar gagang pedangnya dan memberi hormat kepada Bi Sian. ‘Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!!

Pada saat itu, Pek Lan juga mengeluarkan jerit tertahan dan iapun melompat ke belakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan. ‘Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum sekali. Perkenalkanlah, kami berdua adalah sahabat-sahabat baik dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai lembah ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai-yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang anda berdua cari di tempat ini? Ataukah sekedar melancong saja?!

Sebelum Bi Sian menjawab, dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan sudah menjawab, ‘Kami kakak beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ke tempat ini bukan sekedar melancong, melainkan hendak mencari seorang musuh besar kami yang bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok....!!

Bi Sian memberi isyarat kepada sutenya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena sutenya telah memperkenalkan nama mereka dan juga menyebut nama Pendekar Bongkok. Dan tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, alis mereka berkerut akan tetapi sikap mereka bahkan semakin ramah.

‘Aih, kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok? Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang kuat karena kamipun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerja sama dengan kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!!

Akan tetapi Bi Sian mengerutkan alisnya. Biarpun Pek Lan dan Thai-yang Suhu memperlihatkan sikap yang ramah dan bersahabat, namun di dalam hatinya ia merasa tidak suka kepada mereka.

‘Enci Pek Lan,! kata Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut adik kepadanya dan kepada Bi Sian, ‘Kami tidak ingin bekerja sama dengan kalian, dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberitahu kepada kami di mana adanya Pendekar Bongkok. Tahu kah engkau di mana dia?! Pertanyaan ini berkenan di hati Bi Sian dan iapun mengangguk, menyatakan setuju dengan pertanyaan sute-nya itu.

Akan tetapi Pek Lan tersenyum manis sekali. ‘Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa sungkan dan ingin enak sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama, tentu sebaiknya kalau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau kita sudah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk membagi semua rahasia, termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok. Nah, kami ulangi undangan kami kepada ji-wi.!

Bong Gan menoleh kepada sucinya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, ‘Suci, kita tidak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati untuk menunjukkan di mana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya kalau kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?!

Bi Sian tidak melihat pilihan lain kecuali mengangguk. Ia menyarungkan pedangnya kembali. Thai-yang Suhu segera memberi hormat kepadanya. ‘Nona yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali. Kalau boleh pinto mengetahui apa nama pedang pusaka itu, nona.!

Bi Sian merasa bangga dengan pedangnya. Ia menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, ‘Totiang, pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku.!

Makin giranglah rasa hati Thai-yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya, bahkan menjadi lambang dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw! Akan tetapi dia menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya saja. Bagaimanapun juga, pedang itu harus dapat menjadi miliknya!

Bong Gan dan Bi Sian merasa kagum sekali ketika memasuki gedung besar yang didirikan di antara pohon-pohon dalam hutan di lereng bukit itu. Sebuah gedung yang besar dan di dalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja maja layaknya. Dan di sekeliling gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya, karena telah memberontak itu. Dia tinggal di perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu sisa-sisa para perajurit anggauta pasukan pemberontakan yang dipimpinnya dan telah gagal itu.

Bong Gan dan Bi Slan dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka dengan ramah dan hormat. Bong Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian akhirnya juga merasa gembira karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepadanya.

‘Harap jangan khawatir tentang Pendekar Bongkok,! kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih di balik mukanya yang kehitaman dan kumisnya yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara. ‘Kalau dia berani datang ke daerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini telah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita pasti akan dapat menangkapnya.!

‘Apa yang diucapkan Pangeran Maranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik,! kata Pek Lan. ‘Betapapun lihainya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim Lama, apalagi di sini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pendekar Bongkok!!

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemeribtah Dalai Lama di Tibet. Kalau diam-diam Bong Gan merasa amat tertarik oleh janji-janji dan harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Nepal itu maupun Thai-yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan ia tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting adalah menemukan Pendekar Bongkok dan membalas kematian ayahnya!

‘Nona, cicipilah masakan ini!! kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu. ‘Ini adalah masakan aseli dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!!

Bi Sian tertarik, dan merasa tidak enak untuk tidak memperhatikan karena dikatakan bahwa masakan itu adalah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!

‘Pangeran, masakan ini terbuat dari apakah?! tanyanya, masih merasa ragu untuk mencicipinya karena warnanya yang merah seperti darah walaupun baunya sedap dan masih mengepul panas.

‘Bahan masakan ini amat langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum di dalam tulang punggung beruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena merupakan sumber kekuatan sebuah binatang raksasa, maka masakan ini selain lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan. Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!! Pangeren itu mempergunakan sebuah sendok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan menaruhnya ke dalam mangkok di depan Bi Sian. ‘Dan engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini.!

Bong,Gan tersenyum. ‘Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci. Rasanya seperti otak, akan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan main. Juga terasa hangat di dalam dada dan perut. Cobalah, suci!!

Bi Sian semakin tertarik, juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat!

‘Adik Yauw Bi Sian, harap jangan sungkan dan ragu. Ketahuilah bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang ahli obat dan ahli masak! Masakan sumsum tulang punggung beruang itu memang hebat dan aku sendiripun sudah mesanakan khasiatnya!! kata Pek Lan.

‘Siancai, memang benar sekali,! kata pula Thai-yang Suhu. ‘Pinto yang makan masakan itu merasa seperti muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang, dan dapat memperkuat tenaga sin-kang!!

Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan iapun tidak berkeberatan lagi untuk makan masakan itu cukup banyak. Karena ia dan Bong Gan yang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis! Bi Sian mulai merasa bergembira dan merasa mendapatkan teman-teman yang menyenangkan. Maka iapun minum arak lebih banyak dari pada biasanya. Apalagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik.

Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu telah berubah kemerahan dan mulutnya pun hampir tak pernah hentinya tersenyum manis. Akan tetapi, ketika ia memegang kepalanya dan kepala itu terkulai ke atas meja, Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.

‘Suci, kau kenapa....?! katanya lembut sambil menyentuh pundak gadis itu.

Bi Sian mengangkat muka, tersenyum dan pandang matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.

‘Sute.... aku.... ah, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening....!

Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, ‘Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Stan mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar kalian.!

Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai-yang Suhu mengangguk-angguk puas. Tidak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!

Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang lebar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemuda ini mengerti.

‘Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkaupun sudah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!!

‘Tapi, enci Pek Lan!! Bong Gan membantah. ‘Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci saja, akan tetapi di mana kamarku?!

‘Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, dan kurasa kamar inipun cukup besar, tempat tidurnyapun cukup luas untuk kalian bardua. Nah, selamat tidur.! Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan.

Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak perduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sutenya.

‘Aku.... aku pening.... mau tidur....!! katanya dan ia hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.

‘Marilah, suci, mari kubantu engkau.... akupun agak pening.... mari kita beristirahat....!!

Bong Gan memapah suci-nya ke tempat tidur, lalu membantu sucinya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika merasa kakinya diraba sute-nya dan sepatunya dilepaskan.

‘Sute.... kenapa.... kau di sini....? Aku mau tidur, pergilah....!

Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang. ‘Suci, kita mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua.!

Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar membakar dirinya dan wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa.

‘.... kenapa begitu.... ah.... sudahlah, aku mau tidur....!

Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya dibelai tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dun membelai kedua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.

‘Sute.... jangan begitu....!

‘Suci, alangkah cantiknya engkau. Aih, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!! Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.

Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang telah mulai menguasai dirinya. ‘Jangan, sute.... jangan....! mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu.

Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan gadis itu, di luar kesadarannya, telah membalas semua kemesraanya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, keduanya tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.

Pada keesokan harinya, ketika pengaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi Sian dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dirinya dalam keadaan bugil tidur berangkulan dengan sutenya yang juga berbugil! Dan seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi! Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, kemudian meloncat turun dari atas pembaringan.

Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat sucinya sudah berpakaian dan berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.

‘Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!! Suara sucinya membentak dan jelas bahwa sucinya marah bukan main.

‘Ehh.... kenapa kita.... kenapa aku di sini.... kenapa tidur di sini dan.... eh, apa yang telah kita lakukan ini....?! Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan gelisah.

‘Cepat pakai pakaianmu kataku!! Bi Sian membentak lagi. Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan. ‘Sudah.... sudah kupakai, suci....!

Bi Sian membalik dan pedangnya menyambar, dan sudah menempel di leher Bong Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.

‘Suci.... kenapa.... kau hendak membunuhku....?!

‘Coa Bong Gan!! Bi Sian membentak marah. ‘Apa yang telah kaulakukan terhadap diriku selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang telah kaulakukan? Keparat engkau!!

‘Suci! Apa.... apa yang kulakukan....? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku.... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita....! lalu dengan hati-hati dia menambahkan, ‘.... suci, sayup-sayup aku teringat.... bukankah engkaupun.... eh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam....?!

Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan kini dari kedua matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.

‘Aku.... aku berada dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau.... kau menggunakan kesempatan itu untuk.... untuk....!

‘Suci, engkau sungguh tidak adil! Kalau aku sejahat itu, tidak perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau terbius, mengapa aku tidak? Akupun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku kalau keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku.... eh, cinta padamu, suci....!

‘Jangan sentuh aku!! bentak Bi Sian ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya dan iapun kini menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sutenya tidak bersalah. Sutenya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!

‘Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!! katanya dan iapun melompat ke arah pintu, mendorong daun pintu dan berlari keluar.

‘Suci....!! Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang. Akan tetapi Bi Sian tidak berhenti, tidak menoleh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju ke arah mereka. Sepagi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik, sudah mandi dan mengenakan pakaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan tersenyum dan wajahnya berseri.

‘Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun? Selamat pagi....!! katanya dengan suara merdu dan gembira.

‘Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!! bentak Bi Sian dengan pedang melintang di depan dada.

Pek Lan terbelalak. ‘Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu ini?!

Bi Sian menudingkan pedangnya ke arah muka Pek Lan. ‘Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!!

‘Tapi.... tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku? Bukankah sejak saling berkenalan, aku selalu bersikap baik terhadap kalian?! Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.

Bong Gan segera berkata, ‘Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami kauundang untuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua.... kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga.... kami melakukan pelanggaran....!

Bi Sian memandang dengan mata mencorong penuh kemarahan. ‘Pek Lan, engkau menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!! Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan ke atas.

‘Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai-yang Suhu juga hanya merupakan dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar kesadaran kalian ini? Jelas, yang memberi obat bius dan obat perangsang dalam mekanan dan minuman kalian bukan kami.!

‘Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!! kata Bong Gan kepada suci-nya.

Bi Sian termenung, lalu iapun mengangguk-angguk, dan berkata, ‘Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu, pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan....!

Pek Lan menggeleng kepala. ‘Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan terburu nafsu. Ingat, kita berada di dalam benteng di mana terdapat ratusan orang perajurit Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa,! kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ. Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan iapun mengikuti Pek Lan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan prabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum.

Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi mereka. ‘Ketahuilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan yang mengandung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati.!

Dua orang kakak beradik seperguruan itu terbelalak, lalu mereka saling pandang dengan penuh keheranzn. ‘Akan tetapi, enci Pek Lan!! seru Bong Gan.

‘Bagaimana mungkin kami dapat percaya itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua melakukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan? Mustahil....!

‘Aku tidak percaya!! Bi Sian juga berseru.

Pek Lan tersenyum. ‘Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung beruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itupun amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya merupakan hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.!

‘Akan tetapi, kalau pangeran itu tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?!

Pek Lan menggeleng kepalanya. ‘Sama sekali dia tidak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua orang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap bahwa tentu kalian memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian.!

‘Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguruan!! Bi Sian berseru. ‘Kami belum menikah....!!

‘Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksdd buruk. Pula semua itu telah terjadi, dan kalau kulihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Kalau memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?!

‘Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dnegan nyawa! Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!! Bi Sian berteriak dan ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.

‘Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak berniat jahat menurut pendapatnya, bahkan ingin berbuat menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang perajurit Nepal! Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?!

‘Aku tidak perduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting daripada nyawa!! Bi Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang telah menderita aib.

‘Suci.... ah, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah benteng mereka, kita tidak mungkin mampu melawan mereka....! Bong Gan berkata.

Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi saking marahnya. ‘Sute! Engkau masih berani berkata demikian! Engkau takut mati! Huh, enak saja engkau. Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak dapat merasakan penderitaun seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!!

Melihat sikap suci-nya itu, tiba-tiba saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil menangis! ‘Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku telah menodaimu, aku mendatangkan aib bagimu. Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci menghadapi bahaya maut. Aku telah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku merasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, satu-satunya orang yang telah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang.... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar aku tidak lagi melihat penderitaanmu.!

‘Sute, cukup....!! Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil baik, maka diapun memperkuat tangisnya.

‘Suci, bagaimana mungkin aku dapat hidup kalau melihat engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku agar rasa penaaaran di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci....!! Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, mencabutnya dan menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Tentu saja semua ini sudah diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka. Pek Lan diam-siam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andaikata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh.

Akan tetapi, permainan sandiwara itu berhasil mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke arah pergelangan tangan sutenya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.

‘Suci, kalau engkau tidak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?! ratapnya. Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali kepada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati. Iapun tahu bahwa sutenya amat mencintanya dan kini, sutenya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya. Bagaimanapun juga, yang menodainya adalah sutenya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti pemuda ini akan menjadi suaminya.

‘Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta antara kalian, terutama sekali apa yang telah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan biarpun dia itu sutemu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok.!

Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari anak buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!

‘Jangan main-main, enci!! kata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. ‘Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu kalau benar kalian dapat menemukan Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!!

Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja ia berani bertanggung jawab karena ia telah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan Kim Sim Lama! ‘Aku tanggung. Bahkan aku berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.!

Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupl mukanya. ‘Sute, bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Thian. Aku tidak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Baiklah, kini tidak mungkin lagi aku menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl isterimu....!

‘Suci! Terima kasih....!! Bong Gan berseru gembira walaupun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.

‘Hemm, sudah sewajarnya kalau kita menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, kalau kita sudah berhasil membunuh Pendekar Bongkok, baru kita malangsungkan pernikahan. Akan tetapi sebelum itum engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?!

‘Baik.... baik....! Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. ‘Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?!

Wajah Bi Sian menjadi kemerahan akan tetapi untuk mencegah agar persoalan itu tidak diperpanjang, iapun mengangguk. Melihat ini, Pek Lan girang bukan main dan iapun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru, ‘Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!!

Biarpun wajahnya berubah kemerahan, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan. Pek lan yang telah mengatur kesemuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian, dan dia berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin.

‘Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti. Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu.!

Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, karena biarpun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, namun totap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahannya. Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai-yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so.

Mereka menunggang empat ekor kuda dan di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang dianggapnya sebagai malapetaka. Ia dapat menerima kenyataan itu dan menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa memalukan itu. Tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana siasat yang telah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai-yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing!

***

Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak. Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga sin-kangnya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya seperti ditusuk rasanya. Pernah dia mancoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga menghadangnya.

‘Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin,! kata si penjaga. ‘Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman akan diantar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!!

Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia banya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menJaga di luar pintu kamar itu. Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.

‘Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,! katanya kepada penjaga.

‘Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?!

Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biarpun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.

‘Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku tidak mempunyai uruman dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,! katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.

‘Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!! bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong. Biarpun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sin-kang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sin-kang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa nyeri dan otomatis dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak bertenaga itu, diapun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.

‘Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi, aku bukan hanya mendorong melainkan memukulmu!!

Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, diapun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.

Obat penghilang ingatan yang dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya? Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sin-kang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan.

Sambil duduk bersila, pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama. Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, baru dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.

Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai-yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu. Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang yang bersembahyang. Ketika mereka diajak masuk ke belakang kuil, melalui pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, barulah mereka tahu bahwa pusat Kim-sim-pang berada di belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.

Kim Sim Lama gembira sekali manerima dua orang tamunya, apalagi ketika mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai-yang Suhu.

‘Omitohud....! Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,! kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai-yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.

Mendengar ini, Bi Sian mengerutkan alisnya. ‘Maaf, lo-suhu. Kami berdua datang dan menerima penawaran enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!!

Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. ‘Hendaknya lo-suhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan kepada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai gantinya, mereka akan membantu perjuangan kita.!

Kim Sim Lama tertawa girang. ‘Ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang amat baik bagi ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberitakan kepada ji-wi tentang Pendekar Bongkok?!

Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala. Pek Lan tersenyum. ‘Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh lo-suhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahanan.!

Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. ‘Ah, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!

‘Nanti dulu, aku masih belum percaya benar bahwa dia telah tertawan di sini. Bagaimana demikian mudahnya?! Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Ia masih belum percaya benar kepada orang-orang yang baru dikenalnya.

‘Omitohud.... nona itu terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.!

Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai-yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.

‘Nah, kalian berdua lihat baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!!

Bong Gan dan Bi Blan memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang laki-laki bongkok yang bukan lain adalah Sie Liong!

‘Tidak mungkin....! Bi Sian barkata lirih melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. ‘Bagaimana dia begitu.... begitu.... jinak?!

‘Ha-ha-ha, tidak perlu heran, nona. Dia kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia menjadi seorang yang lemah, ha-ha!! Kim Sim Lama tertawa.

Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut daa benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong. Kini, mendengar bahwa pendekar itu kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga, dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang di antara para pendeta penjaga.

‘Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!! bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan melalui pintu terbuka.

Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong mumbuka mata. Dia terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke arah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya! Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.

‘Jangan bunuh dia!! terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali. Namun terlambat, golok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengnn lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.

‘Crokkkk!! Lengan kiri yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sin-kang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang amat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai. Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat dan diapun roboh pingsan di atas pembaringan!

Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan kanan Bong Gan.

‘Tranggg....!! golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan terkejut sekali.

‘Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup!! tegur Pek Lan, sementara itu Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah. Di dalam hatinya, ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Akan tetapi, ingatan bahwa Sie Liong membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.

Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dap menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.

Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. ‘Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?!

‘Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membencinya dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, kalau dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.!

Kim Sim Lama menyeringai. ‘Untung pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia.!

Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apalagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan. ‘Untung bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya.!

Penjaga yang diutus tadi sudah datang bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandang matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.

‘Camundi Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tidak ingin melihat dia cepat-cepat mati.! Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, lalu menghampiri Sie Liong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang.

‘Dia kehilangan cukup banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah dibersihkan.!

Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, ‘Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai.! Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama meninggalkan kamar itu.

Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian untuk kembali ke kamar mereka. Thai-yang Suhu juga kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian. Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pendekar Bongkok.

‘Adik Bong Gan, yang sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka bertanya-tanya dulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapapun tidak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi.!

Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apalagi karena sejak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.

‘Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?! dia bertanya, seolah-olah hendak membalas dan memandang rendah.

Pek Lan tersenyum memandang penuda yang sejak masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu. ‘Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biarpun kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan menurut pendapatku, kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diripun kita akan kalah.!

‘Ah, demikian hebatkah dia?! Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.

Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. ‘Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!!

‘Aihh, Sian-moi, kenapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?!

Bi Sian bersungut-sungut. ‘Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!!

‘Sian-moi, engkau tidak adil....!

‘Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimanapun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?!

‘Kenapa, enci Pek Lan?! Bi Sian bertanya karena iapun tertarik sekali. Ia mulai merasa heran mengapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayahnya, melainkan semua kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!

‘Kim Sim Lama membutuhkan Pendekar Bongkok hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lasha, bukan di sini, sehingga Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama.!

‘Kenapa begitu?! Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.

Pek Lan tersenyum. ‘Kalian memang perlu diberi penjelasan agar kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama.

Akan tetapi setelah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama meninggalkan Lasha, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga membantu perjuangan Kim Sim Lama.!

‘Kalau begitu, Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?! Bi Sian bertanya.

‘Bagi Dalai Lama tentu begitu, akan tetapi bagi kami, kami sedang mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang kelaliman Dalai Lama.!

‘Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan mangapa pula Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lasha oleh Dalai Lama?! Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.

‘Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Mgo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas saja mentaati Dalai Lama, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab.

Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan baru dia dapat tertawan setelah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi.!

Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su. Pamannya adalah seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa malapetaka. Sedangkan ia? Ia dibantu Bong Gan hanya untuk melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu. ‘Aih, paman,! keluhnya di dalam hatinya, ‘kenapa engkau tega membunuh ayahku?!



Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar