Kisah Pendekar Bongkok Bab 12


Dia berhanti di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di sanalah terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di selatan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.

Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu. Mungkin berhari-hari dia tidak akan bertemu dusun, dan hari ini, matahari telah condong jauh ke barat. Sebentar lagi tentu akan gelap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh makanan dan minuman daripada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya.

Dusun itu cukup besar dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga! Pekerjaan mereka bercocok tanam dan berburu, ada pula yang mengusahakan peternakan kambing. Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa penghasilan penduduk itu cukup untuk sandang pangan, bahkan berlebihan.

Di situ terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan! Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para pedagang dan pengelana yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa dusun berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan sehari-hari.

Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak terlambat, karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja dia mengundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun.

Setelah mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun. Boleh dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut bergembira dengan memasang lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di luar rumah kini terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian basar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu. Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya di sudut dusun, dan pengambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan. Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan dan diapun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.

Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan-jalan menuju ke barat dan tak lama kemudian tibalah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas merah. Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin wanita.

Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang nonton, terutama anak-anak, Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, diapun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apalagi punggunguya bongkok. Bukankah di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira.

Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang manyelinap pula di antara para penonton. Dia merasa curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bakas air mata pada kedua pipinya.

Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang. Ketika mempelai wanita yang berpakaian indah mariah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.

Ketika gadis yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kursi, terdangar ia terisak menangis dan menjatuh kan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu sedannya,

‘Ayah.... ibu.... aku tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah dengan.... anak kepala dusun itu....!

Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.

‘Lian-ji....! Hentikan tangismu itu! Jangan kau membikin malu orang tuamu!! Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.

‘Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan....!! Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.

Pada saat itu, terdangar teriakan dari luar. ‘Tidak adil....! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang....!!

Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut dan juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.

‘Lian-moi....!! Pemuda itu memanggil.

Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru, ‘Kiong-koko....!!

Dan iapun menangis, masih berdirt karena dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.

‘Un Kiong? Mau apa kau? Berani kau datang ke sini membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!! bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.

‘Saya datang untuk menuntut keadilan!...!! Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu, dan mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.

‘Pergilah! Pergi dan jangan datang lagi!! bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.

‘Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Biar kalian memukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!! teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya. ‘Kiong-koko....!! akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.

Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendengan dan pukulan itu, beberapa orang terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru.

Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, ‘Mau apa kau mencampuri urusan kami?!

‘Dukkk!! Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh. Melihat itu, tentu saja semua orang menjadi jerih dan tidak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa ban yak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.

Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.

‘Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?!

Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, mungkin dia akan mati dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!

‘Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau ttdak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!!

‘Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!!

‘Wah, sungguh aneh. Coba caritakan, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu.!

Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah seringkali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya. Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!

Kepala dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas di sini. Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang sejak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih sempat memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan cinta kasihku kepadanya!!

Sie Liong tersenyum. ‘Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?!

Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas. ‘Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?!

‘Engkau pulanglah dan biar aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kausambut ia sebagai mempelaimu.!

‘Tapi.... tapi.... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!!

‘Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas dan andaikata engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu.!

Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. ‘Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.!

Sie Liong menggelong kepala. ‘Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberitahupun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dam aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.!

Un Kiong memberi hormat, lalu dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongaya, dan tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.

Sementara itu, Sui Lan telah dipaksa untuk menerina rombongan pengantin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita selalu menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu.

Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombougan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!

‘Berhenti!! bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. ‘Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!! Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.

Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.

Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang beruasia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.

‘Heii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?! Kini semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.

‘Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernana Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!!

‘Eh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!!

‘Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!!

‘Kurang ajar!! Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.

‘Sudahlah. Kalian hanya petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini dan kita rundingkan bersama dengan orang tua mem pelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!! kata Sie Liong yang sabetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.

‘Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh kalau melawan!! kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!

Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena mereka bukanlah orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai. Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.

Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan diapun melarikan kudanya sambil berteriak, ‘Mari kita lapor kepada ayah!! Para pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat itu.

Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penanaran sekali. Akan tetapi diapun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampirl lalu memberi hormat.

‘Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!!

‘Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.

Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti. Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdangar suaranya, ‘Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!! Dua orang nenek dan ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.

Sementara itu, ayah Sui Lian lalu mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah. Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan telah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.

‘Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?! Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.

Petani itu mengangguk. ‘Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut....!

‘Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kenalahan Un Kiong maka pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu telah berlangsung bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!!

Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apapun!

‘Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Maka engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?!

Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.

‘Nah, aku ingin tahu sekarang. Kenapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.!

‘Ah, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan....!

‘Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?! Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.

‘Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?!

‘Tentu saja!! jawab kedua orang tua itu.

‘Kalau ji-wi menyayangnya, mengapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya? Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak manentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?!

Dua orang tua itu menunduk. ‘Kami.... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup barkecukupan....!

‘Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang.!

‘Tapi, tapi kami tidak berani menolak.... dan sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap.... ah, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali....! Suami isteri itu meratap dan ketakutan.

‘Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.!

Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. ‘Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membersakan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.!

‘Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,! kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit berdiri lalu keluar dari ruangan itu, berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agakaya pihak kepala dusun telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.

Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambl depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi, jantan dan gagah, sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan mereka.

Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. ‘Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?!

Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendangar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.

‘Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.!

Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. ‘Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pasta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?!

‘Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?!

Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. ‘Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan dilangsungkan, siapapun tidak berhak untuk menghalangi!!

‘Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!!

‘Hemm, tidak percuma kalau sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan.! kata si tinggi besar.

‘Kalau aku tidak mau?!

‘Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!! teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok. Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.

‘Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!! kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal itupun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, sesungguhnya mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.

‘Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!! kata si tinggi besar yang segera melangkah maju. ‘Sobat, engkau sungguh tinggi hati, handak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!!

Sie Liong tersenyum. ‘Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.!

‘Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?!

‘Kalau perlu....!

‘Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!! bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, ‘Lihat serangan!!

Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datanguya cepat sekali. Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa dia berhadapan dengan lawan yang ‘berisi!, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati mengelak ke kiri, lalu dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sin-kang.

‘Dukkk!! Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat! Maka diapun lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Namun, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri, dengan langkah-langkahnya yang teratur.

‘Hyaattttt....!! Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas!

Sie Liong maklum bahwa lawannya mempergunakan semacam sin-kang yang hebat, maka diapun segera mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan! Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin dan ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.

Melihat suhengnya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat sambil membentak, ‘Lihat seranganku!!

Kedua tangan itu bergerak cepat, merupakan dua cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng! Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan itu semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat sekali dan melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!

Diapun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih) dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat. Diapun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itupun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.

Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!

‘Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!! tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.

Sie Liong menjura kepada mereka. ‘Mana aku berani? Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan aku tidak akan pernah mau mangangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!!

Dua orang itu terbelalak. ‘Engkau.... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?! tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sutenya yang brewokan, bernama Kok Han.

‘Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Ketika itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!!

‘Ahh....!! Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru kemudian saling pandang. ‘Engkau.... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendekar Lama itu....? Tapi.... tapi kami sangka engkau sudah mati....!!

Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. ‘Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku....!

‘Ahhh....! Kiranya saudara adalah murid lima orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa.... eh, tentang urusan pengantin itu....! Dua prang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.

‘Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang kini menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu tiba-tiba dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga pengantin wanita kulihat sendiri tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi kedua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan....!

‘Ah, kalau begitu, lain lagi urusannya!! kata Kok Han. ‘Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.!

‘Mungkin dia tidak tahu,! kata Sie Liong. ‘Dia hanya tahu meminang, diterina dan merayakan pernikahan puteranya. Karena itu, sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.!

Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. ‘Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.!

‘Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku menunggu di sini,! kata Sie Liong. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.

Benar saja seperti dugaan Sie Liong, kepala dusun Sun tak lama kemudian datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.

Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.

‘Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan kedua orang muda itu sudah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepaia dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.!

Kepala dusun Sun memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. ‘Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, kenapa pinangan kami diterima?!

Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu berkata dengan tenang, ‘Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!!

Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, ‘Mohon ampun kepada jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami.... kami merasa terhormat dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan....!

‘Brakkk!! kepala dusun Sun menggebrak meja dengan kedua tangannya, dan mukanya menjadi merah sekali. ‘Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!!

‘Ampunkan kami.... jung-cu....!! tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.

Kepala dusun itu menarik napas panjang. ‘Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?!

‘Namanya Un Kiong....!

‘Di mana dia? Panggil dia ke sini!!

Sie Liong bangkit. ‘Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.! Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok inipun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimanapun juga, dia ketakutan.

Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang. ‘Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah kau?!

Un Kiong menjatuhkan diri berlutut di depan ‘ayah angkatnya! dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.

Pada keesokan harinya, pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, melainkan ‘putera angkatnya!. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.

Ketika sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan dua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Dan dua orang mempelai itu tanpa diperintah, langsung saja menghampiri Sie Liong dan keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.

‘Wah.... jangan....! Tidak perlu begini....!! katanya den sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.

Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, akan tetapi juga mondatangkan keuntungan benar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!

Sie Liong sendiri melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Girang bukan main rasa hatinya bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan betapa bahagianya sepasang orang muda itu! Akan tetapi diapun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang mereka berbahagia dan diapun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain!

***

Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggauta pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu hendak memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat meredakan keributan yang timbul.

Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, dan pekerjaan inipun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan. Hal ini amat menarik hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat, bertanya.

Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan mempergunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri. Banyak sudah anak buah Gumo Cali roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap ‘siluman! itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja. Maka, setelah banyak jagoan diantara para pengawal mancoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!

Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah!

Dan malamnya, biarpun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itupun terkenal dengan sebutan siluman merah!

Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu! Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!

Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat dengan para jagoan tidak menenteramkan hatinya karena sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tidak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu, maka jalan keduapun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!

‘Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,! demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, ‘akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.!

Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, diapun diundang untuk mangobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, memiliki nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sian-jin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!

Bong Sian-jin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak, dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!

Usia Bong Sian-jin ini kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram, hidungnya besar dan mulutnya kecil selalu tersenyum mengejek. Di punggungnya terdapat sebatang pedang, tangan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang dikebut-kebutkan ke arah lehernya ketika dia mamasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!

Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat, dan begitu melihat tuan rumah, tiba-tiba dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya mengeluarkan keluhan panjang, ‘Hayaaaaaaa....!! dan diapun mengangguk-angguk.

Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat dan bertanya, ‘Sian-jin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!!

‘Aih, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!! Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu.

Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru. ‘Yang datang dari utara, kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!! Dia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.

Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya, ‘Di mana kamar dua orang gadis itu?!

Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!

‘Di sana, Sian-jin, di sudut itu....! jawabnya cepat.

‘Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!!

Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu. Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sian-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!

Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan, ‘Uhhhh....!! dan diapun terhuyung ke belakang. ‘Sungguh celaka....!!

‘Ada apakah, Sian-jin....?! tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.

‘Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!!

Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka menggigil.

‘Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang kauminta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah....! kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.

‘Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!!

‘Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?!

‘Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!!

Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, ‘Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman....! Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan! Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka merekapun pasrah!

Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.

Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi mantra, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!

‘Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?!

‘Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau....! kata gadis tertua dengan suara gemetar.

‘Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Lakukan sekarang!!



Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar