Sepasang Rajah Naga Chapter 7

Dari kepala mereka melayang uap tipis yang membubung ke atas. Kedua orang guru dan murid itu duduk bersamadhi untuk menghimpun tenaga inti matahari, demikian tenggelam ke dalam samadhinya sehingga mereka sendiri tidak menyadari bahwa telah lama sekali mereka duduk diam seperti itu. Mereka baru membuka mata ketika mendengar langkah kaki orang. Biarpun dalam keadaan bersamadhi, namun panca-indera mereka peka sekali sehingga sedikit saja terdengar suara yang mencurigakan, cukup untuk menyadarkan mereka, Mereka membuka mata melihat Can Kui sudah tiba di depan mereka. Orang itu duduk bersila di atas pasir di depan mereka, kedua tangannya membawa sebatang pedang bersarung indah terukir. Pada saat itu, barulah guru dan murid itu menyadari bahwa matahari telah naik tinggi. Hari telah siang dan entah berapa jam mereka duduk bersamadhi sejak pagi tadi.

“Saudara Can Kui, engkau sudah kembali? Agaknya engkau telah berhasil mendapatkan pedang itu,” kata Bu Beng Siauw Jin dengan kagum akan kehebatan orang itu bermain dalam air.

“Saya berhasil, Lo-Cianpwe. Pedang itu berada dalam bilik perahu yang tenggelam, bersama benda-benda berharga lainnya, Akan tetapi saya tidak mengambil barang berharga lain kecuali pedang ini yang hendak saya berikan kepada Wong-sicu.

“Paman Can Kui, saya tidak membutuhkan pedang. Akan tetapi saya membutuhkan yang lain lagi yang ingin saya minta kepada paman.” “Saya tidak mempunyai apa-apa, sicu. Tentu akan saya berikan apa yang sicu minta kalau memang saya mempunyai sesuatu yang sicu butuhkan,” kata Can Kui dengan heran.

“Saya membutuhkan ilmu bermain dalam air yang paman kuasài. Saya ingin mempelajarinya dari paman.” “Ah ini... ini...” Can Kui terbelalak.

“Sin Cu, kenapa tidak lekas memberi hormat kepada, Gurumu?” Bu Beng Siauw-Jin berkata sambil tersenyum lebar. Mendengar ini, Sin Cu segera berlutut memberi hormat di depan Can Kui.

“Suhu, harap sudi membimbing teecu mempelajari ilmu dalam air!” katanya.

“Wah, Sicu, Mana bisa saya menerima sicu sebagai murid? sicu telah mempunyai seorang Guru yang sakti dan bijaksana seperti Lo-Cianpwee ini Saudara Can , setiap orang boleh jadi pandai dalam suatu hal, akan tetapi dia juga bodoh sekall dalam lain hal. Boleh jadi aku lebih pandai daripadamu mengenai ilmu siląt di darat, akan tetapi kalau harus bertandihg dan bermain di air, aku menjadi seorang bodoh dan dapat mati tenggelam karena tidak pandai berenang. Karena itu, setelah Sin Cu minta dengan sungguh-sungguh untuk menjadi muridmu, mengapa engkau masih meragu? Dia seorang murid yang baik, saudara Can Kui!” “Baiklah kalau begitu, Lo-Cianpwe, kata Can Kui sambil mengangkat bangun Sin Cu. “Wong-sicu, harap engkau suka bangun...” “Suhu, bagaimana Suhu masih menyebut saya Wong-sicu? Nama saya Sin Cu.” “Baiklah, Sin Cu. Aku mau mengajarkan ilmu bermain dalam air kepadamu, akan tetapi engkaupun harus mau menerima pemberianku, sebatang pedang pusaka ini.” “Tentu saja dia tidak dapat menolak lagi. Pemberian seorang Guru kepada muridnya merupakan pemberian yang harus dijunjung tinggi,” kata Bu Beng Siauw-jin.

“Coba perlihatkan kepadaku pedang itu, Saudara Can Kui. Tampaknya sebatang pedang yang sangat berharga, mempunyai sarung yang demikian indah terukir dan agaknya sarung itu terbuat dari kayu besi hitam pula!” Can Kui menyerahkan pedang itu kepada Bu Beng Siauw-jin. Kakek itu menerima pedang lalu mengamati sarung dan gagangnya. Dia mengangguk-angguk kagum.

“Gagang pedang dan sarungnya begini indah, buatan seorang seniman yang pandai sekali. Pedang seperti ini sepatutnya berada di istana kaisar. Hemm, ukiran pada sarung bergambar seekor naga yang indah sekali dan terukir pula nama pedang. Pek-Liong Po-Kiam (Pedang Pusaka Naga Putih)? Bukan main! Kalau tidak salah, aku pernah mendengar akan nama pedang Pek-Liong Po- Kiam ini yang menjadi sebuah di antara pusaka-pusaka istana kaisar. Coba kita lihat pedangnya, apakah benar Po-Kiam yang amat terkenal itu.” Bu Beng Siauw-jin mencabut pedang itu perlahan-lahan. Gagang pedang itu agak lebar dan setelah pedang dicabut, ternyata pedang itu merupakan sebentuk naga putih! Tertimpa sinar matahari, pedang itu berkilauan menyerang mata. Sin Cu dan Can Kui juga memandang kagum. Bentuk naga itu sempurna sekali. Gagangnya menyambung keekornya dan yang menjadi ujung pedang adalah kepalanya yang menjulurkan lidah panjang meruncing. Lidah itulah ujung pedang yang runcing. Mata pedang yang tajam terdiri dari bagian punggung dan perut naga yang bersisik, tajam seperti gergaji. Sebatang pedang yang ukirannya teramat indah dan tentu pedang seperti itu mahal sekali karena langka, merupakan sebuah pedang pusaka yang luar biasa, “Siancai....! Kalau pedang pusaka ini menjadi jodohmu, memang sudah tepat sekali, Sin Cu. Agaknya memang Thian menghendaki demikian. Kau tahu, Saudara Can Kui, ada sesuatu pada muridmu yang secara aneh sekali sesuai dengan pedang ini. Sin Cu, buka lagi bajumu dan perlihatkan dadamu ke pada Guru renangmu!” Karena Can Kui sudah menjadi Gurunya, Sin Cu juga tidak merasa sungkan dan dia menaati perintah Gurunya. Dia membuka bajunya memperlihatkan dadanya kepada Can Kui. Can Kui memandang ke arah dada muridnya dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga.

“Ya Tuhaan…!!!” dia berseru… “Betapa anehnya! Mirip sekali!” Dia mengamati rajah bergambar naga putih di dada Sin Cu dan membandingkannya dengan bentuk naga pada pedang yang masih dipegang oleh Bu Beng Siauw-jin. Memang mirip sekali. Rajah bergambar naga di dada Sin Cu itu demikian hidup, kalau pemuda itu bernapas, maka gambar naga itupun bergerak bergelombang seolah-olah sedang terbang di angkasa.

“Sin Cu, karena pedang ini tidak ada pemiliknya dan Gurumu Can Kui telah menemukan di dasar laut, maka pedang ini mulai saat ini menjadi milikmu. Aku akan berusaha untuk merangkai Kiam-Sut (ilmu silat pedang) yang sesuai dengan Pedang Pusaka Naga Putih ini untukmu. Mudah-mudahan aku akan berhasil.” Dia menyerahkan pedang itu kepada Sin Cu yang menerimanya dengan hormat. Dia sendiri harus mengakui dalam hatinya bahwa setelah melihat pedang itu, hatinya tergerak dan dia merasa suka sekali. Apa lagi mendengar bahwa Bu Beng Siauw- jin hendak merangkai sebuah ilmu pedang yang khas untuk pedangnya itu. Can Kui mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu besi hitam.

“Kotak kecil ini dari dalam perahu,” katanya.

“Lo-Cianpwe, saya juga membawa kotak kecil ini dari dalam perahu” katanya sambil menyerahkan kotak hitam kepada Bu Beng Siauw-jin. Mendengar ini, dengan alis berkerut Sin Cu bertanya kepada Gurunya yang baru itu.

“Akan tetapi, bukankah Suhu tadi mengtakan bahwa Suhu tidak mengambil benda berharga lain dari perahu itu?” Dalam suara Sin Cu terkandung nada teguran. Can Kui menjawab dan kini suaranya tegas dan lantang, “Sin Cu, jangan berprasangka buruk lebih dulu sebelum engkau mengetahui jalan persoalannya! Kotak kecil itu tadinya diikatkan pada gagang pedang sehingga ketika pedang itu kubawa naik ke permukaan air, kotak kecil. itu ikut terbawa. Hal ini baru kuketahui setelah aku tiba di atas permukaan air. Karena kotak kecil ini terikat pada pedang, maka mungkin sekali ada hubungannya dengan pedang, maka sekarang akan kuserahkan kepada Lo-Cianpwe Bu Beng Siauw-jin untuk diperiksa.” Mendengar keterangan ini Sin Cu tersipu dan dia cepat berkata, “Harap maafkan teecu, Suhu!” Bu Beng Siauw-jin tertawa dan dia menerima kotak kecil berukir indah itu “Hem... ukuran pada kotak inipun menunjukkan bahwa ini merupakan sebuah benda yang amat berharga. Tutupnya rapat sekali, tentu isinya tidak sampai terkena air. Coba akan kubuka agar kita, semua dapat melihat apa isinya.” Ternyata tutup itu tidak mudah dibuka sehingga Bu Beng Siauw Jin harus mengerahkan tenaganya, barulah tutup peti kecil itu dapat terbuka. Ternyata di dalamnya terdapat sehelai kertas yang dilipat-lipat, “Ah, agakya sehelai surat dengan tulisan indah sekal! Caba engkau saja yang membacanya” Sin Cu. Bu Beng Siauw-jin menyerahkan surat itu kepada muridnya.

“Baca dengan suara yang jelas agar kami dapat ikut mendengarkan dan tahu apa isinya.” Sin Cu menerima kertas yang penuh tulisan dengan huruf-huruf indah itu, membuka lipatannya lalu membacanya dengan suara jelas.

“Sribaginda Kaisar yang mulia, Paduka telah menganugerahi hamba dengan kedudukan panglima bahkan telah memberi anugerah berupa pedang pusaka Pek Liong Po-Kiam sebagai tanda kekuasaan. Akan tetapi ternyata hamba telah gagal menyadarkan Sribaginda Kaisar Muda yang telah dipengaruhi Thaikam Liu Chin dan antek-anteknya Bahkan Liu-Thaikam bermaksud untuk membasi hamba sekeluarga, maka terpaksa hamba melarikan diri untuk menyelamatkan keluarga hamba. Hamba telah gagal dan hamba mohon ampun yang mulia, sekiranya hamba terhunuh oleh Liu-Thaikam, semoga pedang ini terjatuh ke tangan seorang yang akan lebih mampu dari padahamba untuk menentang kekuasaan Liu Thaikam yang telah menyesatkan Sribaginda Kaisar Muda. Hamba yang berdosa, Kwee Liang. Bu Beng Siauw-jin mengangguk angguk dan meraba dagunya yang hanya ditumbuhi jenggot yang jarang berwarna putih itu.

“Kiranya yang terbasmi itu adalah keluarga seorang panglima she Kwee. Seorang panglima yang setia. Ah, kembali seorang pejabat yang baik menjadi korban kekejaman Thaikam Liu Chin yang terkenal licik dan jahat itu.” Dia menghela napas panjang.

“Lo-Cianpwe, apakah yang telah terjadi di kota raja? Sudah belasan țahun saya tidak pernah pergi ke kota raja dan tidak pernah mendengar apa-apa dari sana. Apa yang telah terjadi di sana?” “Siapakah Thaikam Liu Chin itu, Suhu? Agaknya dia jahat sekali” tanya pula Sin Cu.

“Matahari telah menjadi panas sekali. Pasir di sini juga menjadi panas. Marilah kita kembali ke pondok, akan kuterangkan tentang Liu-Thaikam dan keadaan di kota raja.” Bu Beng Siauw jin bangkit, diturut oleh dua orang itu dan mereka lalu melangkah perlahan- lahan menuju ke hutan yang berada di bukit di tepi pantai.

“Kaisar yang sekarang naik tahta dalam usia yang terlalu muda.” Bu Beng Siauw-jin mulai bercerita sambil melangkah perlahan lahan bersama Can Kui dan Sin Cu. “Agaknya dia seorang yang lemah dan mudah terbujuk. Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang Thaikam yang amat cerdik dan licik, yaitu Thaikam Liu Cin.

Thaikam ini dapat mempengaruhi kaisar sehingga kaisar yang muda itu amat mempercayainya, bahkan hampir emua urusan pemerintahan terjatuh ke tangan Liu-Thaikam ini. Kaisar muda itu hanya menandatangani semua keputusah yang sudah dilakukan oleh Liu-Thaikam. Bahkan banyak pejabat yang menduduki jabatan penting digeser oleh Liu-Thaikam, digantikan oleh orang- orang kepercayaannya sendiri. Banyak pejabat setia yang melihat keadaan ini mencoba untuk menyadarkan kaisar dan menentang Liu-Thaikam, akan tetapi usaha mereka untuk menyadarkan kalsar bukan saja gagal, bahkan mereka menjadi korban keganasan Liu- Thaikam. Banyak yang tewas atau melarikan diri seperti halnya Kwee-ciangkun itu karena tidak kuat menentang Liu-Thaikam yang memiliki kekuasaan besar. Demikianlah yang kudengar selama ini. Ah, betapa jahatnya Thaikam itu!” kata Can Kui.

“Kenapa kaisar itu demikian lemah dan bodoh, mudah saja dipengaruhi seorang jahat seperti Liu Cin itu, Suhu?” Sin Cu bertanya. Bu Beng Siauw-jin menghela napas panjang.

“Maklumlah, beliau menduduki tahta ketika beliau masih amat muda sehingga kurang pengalaman. Pula, seorang yang sejak kecil hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, tidak pernah digembleng oleh kepahitan hidup, biasanya memang lemah. Kebetulan sekali engkau yang kini menjadi pemilik Pek-liong Po- Kiam, Sin Cu. Oleh karena itu, setelah engkau selesai belajar, kukira sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang Liu Cin dan menolong Kaisar. Karena dengan demikian, berarti engkau menolong para pejabat yang setia dan menolong rakyat dari penindasan pemerintahan yang korup dan lalim.” Mereka sudah tiba di depan pondok kayu dan bambu yang sederhana itu lalu duduk di atas bangku yang berada di luar pondok di bawah pohon- pohon yang lebat daunnya. Sejuk sekali duduk di situ.

“Akan tetapi, bukankah Suhu pernah mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur oleh Kekuasaan Tuhan? Kenapa sekarang Suhu menyuruh teecu untuk mencampuri urusan kerajaan yang tentu sudah diatur pula oleh Kekuasaan Tuhan?” “Sebenarnyalah, Sin Cu. Kekuasaan Tuhan bekerja setiap saat, tidak pernah berhenti dan mengatur segala yang terjadi di alam semesta ini! Juga Kekuasaan itu bekerja dalam diri kita! Karena itu, kita harus berbuat sesuai dan dengan kekuasaan itu yang mengarah kepada kebaikan dan kebajikan. Berikhtiar merupakan KEWAJIBAN bagi kita. Biarpun segala sesuatu itu telah ditentukan oleh Kekuasaan Tuhan, namun kewajiban kita untuk beriktiar, berusaha. Berusaha dengan jalan yang benar. Kita ini berada di dunia hanya sebagai alat, maka jadikanlah dirimu sebagai alat Tuhan, membantu pekerjaan Tuhan, yaitu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau engkau membiarkan dirimu berpihak kepada kejahatan, berarti engkau menjadikan dirimu sebagai alat setan.” “Apa yang dikatakan Gurumu yang bijaksana itu adalah benar, Sin Cu. Tuhan selalu melimpahkan berkah Nya kepada alam semesta serta sekalian isinya, termasuk kepada kita. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kita selalu berucap sukur dan memujanya dengan penuh kasih,” kata Can Kui. Sin Cu memandang Gurunya yang pertama.

“Suhu… teecu sudah menyadari sepenuhnya akan kasih sayang Tuhan kepada kita yang setiap saat dilimpahkan kepada kita. Segala apa yang tampak di dunia ini bermanfaat bagi kita, seolah memang diciptakan untuk kita. Sinar matahari yang mendatangkan api, air, hawa udara, tanah, tanam-tanaman, segalanya itu memungkinkan kita untuk hidup. Segala macam kenikmatan di berikannya kepada kita melalui pancaindera kita. Akan tetapi, apakah yang kita dapat lakukan untuk menyatakan cinta kita kepada Nya? Apakah hanya cukup dengan pengakuan kasih kita di mulut dan hati saja? Bagaimana untuk memberi wujud dari kasih kita itu kepada Tuhan? Mohon petunjuk, Suhu.” Bu Beng Siauw-jin tertawa.

“Memang sulit, bukan? Tuhan Maha Besar, Maha Luas, juga tidak dapat kita lihat dengan pandang mata. Bagaimana kita dapat menyatakan cinta kasih kita melalui perbuatan terhadap Nya? Hal ini tidak mungkin, muridku, Kita ini terlalu kecil untuk dapat membuktikan cinta kita terhadap Tuhan Yang Maha Besar melalui perbuatan kita. Jalan satu satunya bagi kita hanyalah membuktikan kasih kita dengan menyerahkan diri menjadi alat Nya. Tuhan mengasihi semua manusia,maka kitapun harus memohon kepada Tuhan agar Kasih Illahi itu menyala pula dalam hati kita terhadap sesama manusia. Dengan api kasih itu bernyala dalam sanubari kita terhadap sesama kita, maka berarti kita sudah membuktikan kasih kita terhadap Nya. Orang yang ber-Tuhan bukan hanya merupakan pengakuan saja dengan mulut ataupun hati akal pikiran, melainkan tercermin dalam tindakan, perbuatan dan sikap hidup sehari-hari, yaitu orang yang ber-Tuhan harus pula berprikemanusiaan. Kalau dia tidak berprikemanusiaan, tidak ada kasih sayang terhadap manusia lain, berarti bahwa dia tidak ber- Tuhan dengan sesungguhnya. Tuhan Maha Kasih, maka tanpa adanya kasih dalam hati, berarti Tuhan juga tidak berada dalam hatinya. Mengertikah engkau, Sin Cu?” kata Bu Beng Siauw-jin dengan suara sungguh-sungguh. Sin Cu menundukkan mukanya dengar khidmat.

“Mudah-mudahan api kasih itu akan selalu bernyala dalam hati teecu, Suhu.” Mulai hari itu, Can Kui tinggal dalam sebuah kamar di pondok itu. Sin Cu diberi pelajaran renang, menyelam dan bermain dalam air oleh Can Kui. Sin Cu adalah seorang pemuda yang tekun dan rajin, juga cerdik maka sebentar saja dia sudah dapat menguasai permainan dalam air.

Ternyata Can Ku memang seorang ahli renang yang hebat sekali kepandaiannya. Dia dapat berenang seperti seekor ikan, dapat menyelam dan menahan napas sampai lama. Dengan tehnik- tehnik yang khas dan istimewa dia mengajar Sin Cu sehingga dalam waktu tiga tahun setelah setiap hari berlatih dengan keras, Sin Cu sudah dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan oleh Gurunya ke dua itu. Di samping pelajaran ini, setahun kemudian setelah dia menerima Pek-Liong Po-Kiam, Bu Beng Siauw-jin sudah berhasil merangkai sebuah ilmu pedang yang amat hebat. Ilmu pedang itu disesuaikan dengan Pedang Pusaka Naga Putih sehingga ketika ilmu pedang itu dimainkan, maka pedang itu tiada ubahnya seperti seekor naga putih yang melayang-layang di udara dengan dahsyatnya. Segera Sin Cu mempelajari dan berlatih ilmu pedang ini dengan tekun. Setelah tiga tahun, Can Kui berpamit, “Semua ilmuku bermain dalam air telah saya ajarkan kepada Sin Cu. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang dapat saya ajarkan. Oleh karena itu, saya mohon diri, Lo-Cianpwe. Saya akan kembali ke perkampungan dan menjadi nelayan seperti dulu,” kata Can Kui ketika berpamit dari Bu Beng Siauw Jin. Kakek ini tidak menahannya, dan Sin Cu menghaturkan terima kasih kepada Gurunya yang ke dua itu sambil berlutut memberi hormat. Sin Cu terus berlatih ilmu silat. Dia menyempurnakan ilmu Thai-Yang Sin- Ciang, Chit-Seng Sin-Po, It-Yang-Ci dan. ilmu pedang yang disebut Pek-Liong Kiam-Sut (Ilmu Pedang Naga Putih). Juga dia berlatih sendiri bersilat dalam air sehingga dia tidak saja pandai berenang, akan tetapi biarpun berada dalam air, dia dapat bergerak-gerak dengan gerakan silat untuk menghadapi lawan. Dengan tekun dia berlatih setiap hari di bawah pengamatan Gurunya.

Gadis itu cantik sekali. Usianya sekitar delapan belas tahun, bagaikan setangkai bunga sedang mekar-mekarnya semerbak harum, Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir satu, gemuk dan tebal, lalu digelung ke atas, dipantek tusuk sanggul dari emas berbentuk burung merak yang indah sekali bermata intan. Pakaiannya yang berwarna merah muda itupun terbuat dari kain sutera halus. Sepatunya dari kulit sapi berwarna hitam mengkilap. Wajahnya yang cantik itu amat menarik. Mukanya bèrbentuk bulat seperti bulan purnama, berkulit putih mulus kemerahan seperti warna kulit seorang bayi. Alis yang hitam melengkung melindungi sepasang mata yang agak lebar, mata yang jeli dan mengandung sinar yang penuh keberanian dan galak. Hidungnya mancung dengan cuping hidung yang tipis. Mulutnya menggairahkan dengan sepasang bibir yang penuh berkulit tipis dan basah, kalau tersenyum tampak gigi mutiara berderet rapi dan putih.

Setitik tahi lalat hitam di dagu menambah kemanisannya. Tubuhnya yang mulai dewasa dengan lekuk lengkung sempurna itu mengarah montok, tidak gemuk melainkan denok menggairahkan. Gadis itu duduk di dalam sebuah ruang yang luas dan kosong. Hanya terdapat beberapa bangku dan sebuah rak penuh berbagai macam senjata untuk bermain silat. sebihnya kosong. Memang ruangan itu merupakan sebuah Lian-Bu-Thia (ruangan berlatih silat). Di depan gadis itu duduk pula seorang laki laki tinggi besar bermuka merah Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang amat gagah. Gadis itu bukan lain adalah Ouw Yang Lan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ouw Yang Lan bersama ibunya menjadi orang-orang tawanan dari Thai- Kek-Kui (lblis Tenaga Besar) Ciang Sek majikan Pek-In-San (Bukit Awan Putih) di pegunungan Thai-San.

Dengan bujuk dan ancaman, Ciang Sek yang jatuh cinta kepada Lai Kim, ibu Ouw Yang Lan, akhirnya berhasil memperisteri Lai Kim. Ibu muda ini terpaksa tunduk atas kemauan Ciang Sek karena ia harus melindungi puterinya yang terancam akan dibunuh kalau ia tidak mau menjadi isteri datuk itu. Ketika hal itu terjadi, Ouw Yang Lan baru berusia delapan tahun. Sebetulnya Ciang Sek biarpun seorang datuk sesat, tidak berwatak mata keranjang. Kalau dia jatuh hati kepada Lai Kim hal itu adalah karena Lai Kim memiliki wajah yang mirip dengan isterinya yang telah meninggal dunia. Inilah yang membuat dia tergila-gila. Maka, setelah Lai Kim berhasil dia peristeri, dia amat mencinta wanita itu. Bahkan cintanya sedemikian mendalam sehingga dia memperlakukan Ouwyang Lan sebagai puterinya sendiri. Hal ini membuat hati Lai Kim lambat laun mencair dan, terhibur juga.

Suaminya yang dahulu, Ouw Yang Lee, tidak sedemikian sayang kepadanya, bahkan seringkali bersikap kasar. Sebaliknya Ciang Sek amat memperhatikannya dan menyayangnya. Ouw Yang Lan juga merasakan kasih sayang ayah tirinya itu. Sejak ia berada di situ, ia digembleng ilmu silat oleh Ciang Sek. Juga majikan Bukit Awan Putjh ini mendatangkan Guru sastra dan seni untuk mendidik Ouw Yang Lan sehingga gadis itu bukan saja pandai ilmu silat, akan tetapi juga pandai dalam hal baca-tulis, dan bermacam kesenian seperti memainkan alat yang-kim dan suling, bernyanyi dan bersajak, juga menari. Akan tetapi ternyata ouwyang. Lan lebih berbakat dan lebih suka mempelajari ilmu silat ketimbang dua ilmu yang lain. Karena ini, Ciang Sek juga dengan tekun sekali menurunkan ilmunya kepada puteri tiri yang tersayang itu.

“Lan-ji (anak Lan), pelajaran ilmu silat yang kau latih kini sudah tiba pada tahap terakhir. Semua ilmuku sudah kuturunkan kepadamu dan engkau telah dapat memainkannya dengan baik sekali. Hanya tinggal mematangkan dengan latihan saja. Sekarang, aku ingin melihat semua ilmu itu. Coba kau mainkan Ngo-Heng-Kun (Ilmu Silat Lima Unsur),” Ouw Yang Lan selalu bersemangat kalau diharuskan berlatih silat.

“Baik, ayah,” katanya sambil bangkit berdiri dan menuju ke tengah ruangan yang luas itu. Kemudian mulailah ia bersilat. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang cukup kuat, gayanya amat manis sehingga tampak sepertinya sedang menari saja. Namun setiap sambaran tangan yang tampak lemah gemulai itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. tamparan tangan itu mengandung sin-kang yang dapat meremukkan kepala lawan! “Coba keluarkan tendangan Soan Hong-Tui (Tendangan seperti angin berputar) sebagai selingan!” perintah Ciang Sek. Mendengar perintah ini, Ouw Yang Lan lalu menyelingi ilmu silatnya dengan tendangan yang indah dan berbahaya sekali bagi lawan. Kedua kakinya mencuat berganti ganti, secara berantai dan susul menyusul kaki itu menendang dengan cepat bagaikan kilat menyambar, sukar sekali serangan tendangan bertubi dan berantai itu dapat di hindarkan lawan. Setelah Ngo-Heng-Kun selesai dimainkannya, Ouw Yang Lan berhenti dan lehernya agak basah oleh keringat, akan tetap pernapasannya biasa saja dan tampaknya ia tidak merasa lelah. Sekarang aku ingin melihat kekuatan tenaga saktimu dalam Pek-In Ciang Hoat (Silat Tangan Awan Putih)!” “Baik, ayah.” Kini Ouw Yang Lan mengembangkán kedua lengannya, lalu perlahan-lahan kedua lengannya itu beralih ke depan lurus, lalu di angkat ke atas seperti menghimpun sesuatu dari sekelilingnya, Setelah itu ia mengeluarkan suara bentakan melengking.

“Hiyaaaaattt...” kedua tangannya bergerak memukul-mukul dan dari kedua telapak tangannya itu mengepul uap putih,kemanapun kedua, tangannya menampar, terdengar suara angin mengiuk dan uap putih menyambar. Jelas ini merupakan pukulan yang mengandung tenága sakti yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh! Ouw Yang Lan melakukan ilmu silat Pek-in Ciang-hoat itu dengan lambat- lambat saja, namun segera pada muka dan lehernya penuh oleh keringat, tanda bahwa ia telah mengerahkan tenaga dalam yang menguras tenaga. Setelah selesai mainkan ilmu silat bertenaga sakti yang terdiri dari delapan belas jurus saja ini, Ouw Yang Lan berhenti bersilat, berdiri dan napasnya agak memburu, lalu ia menggunakan saputangan untuk menghapus keringat di leher dan mukanya.

“Bagus, engkau telah memperoleh kemajuan pesat. Akan tetapi, engkau harus terus berlatih untuk mematangkan ilmu ilmu yang telah kaukuasai dengan baik. Sekarang yang terakhir, aku ingin melihat engaku bermain Lo-Thian Kiam-Sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).” “Baik, ayah.” Ouw Yang Lan menghampiri rak senjata dan mengambil sebatang pedang, kemudian ia kembali membawa pedang ke bagian tengah ruangan. Kemudian,mulailah ia bersilat pedang. Sungguh indah sekali gerakannya, seperti sedang menari- nari, akan tetapi gerakannya makin lama semakin cepat sehingga bayangan gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung.

Hanya kadang tampak sebuah kaki menginjak tanah lalu meloncat dan lenyap lagi tertutup sinar pedang. Thai-Lek-Kui (Iblis Tenaga Besar) Ciang Sek mengangguk-angguk gembira sekali. Tingkat kepandaian Ouw Yang Lan sudah demikian hebat sehingga tidak berselisih jauh dibandingkan tingkatnya sendiri. Hanya saja kurang matang,kalau sudah matang maka dia sendiri belum   tentu   dapat   mengalahkannya. Setelah Ouw Yang Lan selesai memainkan ilmu pedang itu, ia lalu menghampiri ayah tirinya dan mereka duduk berhadapan. Gadis itu menghapus keringatnya dengan saputangan. Wajahnya yang berkulit putih mulus itu kini menjadi kemerahan. Cantik sekali! Thai- Lek-Kui Ciang Sek memandang wajah cantik itu dengan bangga.

“Lan-ji, aku bangga mempunyai seorang anak seperti engkau. Aku bangga dan aku sayang sekali padamu.” Ucapan ini keluar dari lubuk hatinya dan suaranya agak gemetar karena haru. ketika dia mengatakannya. Dia bukan saja mencinta Lai Kim sebagai isterinya, akan tetapi dia juga sayang kepada Ouw Yang Lan seperti kepada anak kandungnya sendiri. Hal ini mungkin karena ia tidak pernah mempunyai anak kandung. Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Lan menatap dan mengamati wajah ayah tirinya dengan tajam dan penuh selidik. Sepasang matanya yang agak lebar dan jeli itu mengeluarkan sinar mencorong.

“Ayah, aku ingin bicara denganmu, aku ingin menanyakan beberapa hal yang selama ini mengganggu hatiku kepadamu. Sikap dan ucapan gadis ini demikian wajar dan terbuka, juga penuh keberanian, tanda bahwa gadis ini memiliki keberanian dan kekerasan hati yang membuat ia suka bicara blak-blakan.

“Hemm, tentu saja boleh, anakku. Apa yang hendak kaubicarakan dan tanyakan?” Setelah menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang agak terguncang karena pentingnya persoalan yang hendak ia bicarakan, Ouw Yang Lan lalu berkata, “Ayah, selama ini ayah bersikap amat baik dan menyayang kepadaku. Oleh karena itu, akupun selalu taat dan sayang kepada ayah. Aku juga tahu benar bahwa ayah amat mencinta ibu.” “Tentu saja, Lan-ji. Di dunia ini, hanya ada dua orang amat kucinta dan sayang, yaitu ibumu dan engkau.” “Aku tahu, ayah. Hal inilah yang amat mengganggu hatiku. Bagaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Kenapa ayah, orang yang sebaik ini, telah menculik ibu dan aku dan membawa kami ke sini? Kemudian ayah memperisteri ibuku? Ibuku tidak pernah mau mengaku kalau aku bertanya tentang hal ini. Sekarang, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadamu, ayah. Harap ayah suka berterus terang dan secara jujur menjawab pertanyaanku itu agar hatiku tidak selalu merasa penasaran.” Mendengar pertanyaan yang disertai pandang mata penuh selidik itu, Ciang Sek menjadi agak berubah pucat mukanya dan berulang kali dia menghela napas panjang. Kemudian suaranya terdengar lirih dan penuh kekhawatiran ketika dia bertanya, “Anakku Lan-ji, kalau aku mengaku terus terang, apakah engkau akan menganggap aku jahat sekali kemudian engkau menjadi benci kepadaku?” Ouw Yang Lan menggeleng kepalanya.

“Kurasa tidak, ayah. Apapun yang telah kau lakukan terhadap ibu dan aku, buktinya engkau amat mencinta dan menyayang kami berdua. Engkau menjadi ayahku yang baik dan juga menjadi Guruku yang baik, mana bisa aku membencimu? Akan tetapi kalau aku tidak tahu apa yang menyebabkan engkau menculik ibu dan aku, tentu saja aku akan terus dihantui.rasa penasaran.” Baiklah, aku akan bercerita terus terang kepadamu, anakku. Sepuluh tahun yang lalu, aku didatangi Tok-Gan-Houw (Harimau Ma ta Satu) Lo Cit yang menjadi sahabatku dan dia minta tolong kepadaku untuk membantunya membuat perhitungan dengan Ouw yang Lee, Majikan Pulau Naga.” “Ayah kandungku?” Ouw Yang Lan memotong. Tentu saja ia masih ingat kepada Ouw Yang Lee yang seingatnya tidaklah seramah dan sebaik Ciang Sek sikapnya terhadap ia maupun ibunya.

Bahkan pernah beberapa kali ia melihat ayah kandungnya itu bersikap kasar terhadap ibunya, “Benar, ayah kandungmu. Lo Cit mendendam kepadanya karena beberapa kali anak buahnya diserbu dan dihancurkan oleh anak buah Pulau Naga. Karena itu dia ingin membalas dendam dan minta pertolonganku untuk membantunya. Mengingat akan persahabatan kami yang sudah belasan tahun lamanya, akupun memenuhi permintaannya. Demikianlah, dengan membawa banyak anak buah, Lo Cit dan aku malam itu menyerbu Pulau Naga. Kebetulan kami berdua melihat kedua orang isteri Ouw Yang Lee dan dua orang anak mereka berada ditaman. Lo Cit lalu mengambil keputusan untuk menculik anak isteri Ouw Yang Lee sebagai balas dendam. Dan aku melihat sesuatu pada ibumu yang membuat aku segera memilih ibumu dan engkau untuk kubawa lari.” “Mengapa engkau memilih ibuku? Apa yang menarik darinya bagimu?” “Wajah ibumu mirip sekali dengan wajah mendiang isteriku. Karena itulah begitu melihat ibumu, aku langsung jatuh cinta. Akhirnya ia mau menjadi isteriku dan engkau menjadi anakku.

Sejak itu hidupku berbahagia sekali!. Diam-diam hati gadis itu membantah.

“Ibu mau karena kaupaksa dan karena ibu ingin menyelamatkannya dari ancaman.” Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga mulutnya tidak mengatakan sesuatu. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui bahwa sekarang, setelah sepuluh tahun menjadi isteri Ciang Sek yang benar-benar mencintanya, ibunya juga akhirnya dapat mencinta pria itu. Ciang Sek mengamati wajah gadis itu penuh selidik dan sinar matanya membayangkan kekhawatiran, Dia benar-benar menyayang anak tirinya ini seperti mencinta anak kandung kalau-kalau Ouw Yang Lan akan marah dan membencinya setelah mendengar semua pengakuannya.

“Lan-ji, engkau tidak marah dan benci kepadaku setelah mendengar semua pengakuanku yang sejujurnya tadi? Ouw Yang Lan balas memandang wajah ayah tiri itu dan ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

“Mengapa aku harus membencimu, ayah? Engkau bersikap baik sekali kepada ibu dan aku, sudah sepatutnya kami berterima kasih dan membalas kasih sayangmu. Yang membalas dendam kepada Pulau Naga adalah Tok-Gan-Houw Lo Cit, sedangkan engkau hanya kebetulan terbawa saja karena engkau hendak membantu sahabat.” Ouw Yang Lan bangkit berdiri lalu berkata, “Ayah, aku telah lelah dan hendak pergi mandi.” Tanpa menanti jawaban ia lalu meninggalkan Lian-Bu-Thia itu. Setelah mandi dan tukar pakaian, Ouw Yang Lan menemui ibunya dalam kamar. duduk di dekat ibunya dan bertanya dengan suara manja dan lembut.

“Ibu, maukah ibu bercerita kepadaku tentang Pulau Naga ?” Gadis ini amat menyayang ibunya dan merasa iba kepada ibunya yang dipaksa berpisah dari suami lalu terpaksa menjadi isteri penculiknya, terutama sekali untuk menyelamatkannya. Walaupun ia tahu bahwa kini ibunya hidup cukup bahagia dan mencinta suami yang bersikap amat baik kepadanya, namun tetap saja perasaan iba itu selalu terdapat dalam sanubarinya. Mendengar pertanyaan puterinya itu, Lai Kim memandang wajah Ouw Yang Lan dengan mata dilebarkan dan mengandung kekagetan dan keheranan. Wanita yang telah berusia empat puluh dua tahun ini masih tampak cantik menarik seperti wanita berusia dua puluh tahun lebih saja.

“Tentang Pulau Naga?” la mengulang dengan mata terbelalak dan dalam suaranya terkandung getaran penuh kesangsian. Sudah bertahun-tahun Ouw Yang Lan tidak pernah lagi bertanya tentang Pulau Naga,maka pertanyaan yang tiba-tiba ini amat mengejutkannya. Ya, ibu. Aku ingin sekali mengetahui lebih banyak tentang ayah Ouw Yang Lee dan kehidupan di Pulau Naga.” “Akan tetapi bukankah engkau telah mengetahui semuanya anakku”? engkau bukan anak kecil lagi ketika meninggalkan Pulau Naga. Usiamu ketika itu sudah delapan tahun, tentu engkau masih ingat akan semua hal di sana. Apa lagi yang ingin Engkau ketahui?” “Aku ingin mengetahui tentang pekerjaan ayah Ouw Yang Lee dan tentang sikapnya terhadap ibu. Yang kuherankan, kenapa sampai sekarang dia belum pernah mencari kita, ibu? Apakah dia tidak mempedulikan kita lagi?” “Kenapa engkau tanyakan hal itu, Lan ji? Bukankah engkau sudah senang tinggal di sini dan menjadi anak ayahmu Cian Sek?” “Benar, ibu. Akan tetapi aku ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang ayah Ouw Yang Lee. Bukankah dia itu ayah kandungku?” “Ayahmu Ouw Yang Lee adalah seorang datuk besar yang menguasai daerah Laut Timur dan pantainya, menguasai para bajak laut. 'Ayah kandungmu itu adalah seorang laki-laki yang amat keras hati dan wataknya sukar diduga dan aneh. Bahkan tidak jarang dia bersikap keras dan kasar terhadap isteri-isterinya. Tentu engkau ingat, akan semua itu. Bukankah engkau pernah melihat betapa ayah kandungnu itu bersikap kasar dan keras kepadaku?” Ouw Yang Lan mengangguk dan menghela napas panjang.

“Kalau aku ingat akan semua itu, aku merasa takut kepada ayah Ouw Yang Lee. Ibu, bagaimana kiranya tentang keadaan dan nasib adik Ouw Yang Hui dan ibunya? Apakah Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui telah kembali ke Pulau Naga? Aku ingin sekali mengetahui keadaan mereka. Mudah-mudahan saja mereka berdua selamat seperti juga kita.” Lai Kim menghela napas panjang.

“Mudah-mudahan begitu. Nasib kita semua sungguh buruk, tertimpa malapetaka dan diculik orang. Akan tetapi nasib kita berdua masih baik dan dilindungi Tuhan, Lan ji.Buktinya kita kini hidup berbahagia dan ayah tirimu ternyata seorang laki-laki gagah yang bertanggung-jawab dan bersikap amat baik kepada kita. Biarpun dengan berat hati, aku harus mengakui sejujurnya bahwa aku mengalami kehidupan yang lebih tenang dan berbahagia di sini dari pada ketika kita masih tinggal di Pulau Naga dahulu, Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib ibumu Sim Kui Hwa dan anaknya, Ouw Yang Hui. Mudah-mudahan saja merekapun dalam keadaan selamat dan bahagia seperti kita.” Ouw Yang Lan mengangguk.

“Ibu, aku tidak menyalahkan ibu. Aku sudah cukup besar dahulu itu untuk mengetahui bahwa ibu mau menjadi isteri ayah Ciang Sek karena terpaksa, karena hendak menyelamatkan aku. Dan akupun tahu bahwa ternyata kemudian ibu hidup berbahagia karena ayah Ciang Sek bersikap baik dan bijaksana terhadap kita berdua.. Akan tetapi aku tetap saja merasa penasaran, ibu. Ouw Yang Lee adalah ayah kandung ku. Mengapa sampai sekarang dia tidak pernah berusaha mencari kita?” “Sudahiah, Lan-ji. Sudah kukatakan bahwa ayah kandungmu itu seorang yang berwatak keras sekali dan kadang aneh dan tidak perdulian. Kita sekarang telah hidup di Pek-In-San (Bukit Awan Putih) sini dengan tenang dan bahagia, dan biarlah kita doakan saja semoga kehidupan ayah kandungmu menjadi lebih baik dan lebih berbahagia dari pada ketika kita masih tinggal di sana dahulu.” “Ibu, aku masih ingat bahwa ayah Ouw Yang Lee adalah seorang yang berkepandain tinggi. Akan tetapi ayah Ciang Sek juga seorang yang berilmu tinggi. Entah siapa di antara mereka yang lebih lihai.” “Engkau ini aneh, Lan-ji. Mengapa soal imu silat kautanyakan kepadaku yang tidak tahu apa-apa? Tentunya engkau yang lebih tahu akan hal itu. Bukankah engkau telah mempelajari ilmu silat, baik dari Pulau Naga maupun dari Pek-In-San?” “Ketika belajar dari ayah Ouw Yang Lee, aku masih kecil, ibu, baru diajar dasar-dasar ilmu silat saja. Akan tetapi aku telah tahu babwa ayah Ouw Yang Lee memiliki ilmu yang hebat, yang disebut Ang- Tok-Ciang (Tangan Racun Merah).” “Bagaimana dengan Ilmu silat yang kau pelajari dari ayahmu di sini?” Wajah Ouw Yang Lan berseri dan ia mengangguk-angguk.

“Ayah Ciang Sek amat baik dan amat sayang kepadaku, ibu. Dia telah menurunkan semua ilmunya kepadaku. Bukan saja ilmu silat Ngo-Heng-Kun (Silat Lima Unsur), dan limu tendangan Soan- Hong-Tui (Tendangan Angin Berputar), juga ilmu-ilmu simpanannya, yaitu Pek-In-Ciang-Hoat (llmu Silat Awan Putih) dan Lo-Thian Kian-Sut (ilmu Pedang Pengacau Langit). Dia adalah seorang yang lihai sekali, ibu. Karena itu, aku ingin sekali mengetahui, siapa yang lebih hebat di antara kedua orang ayahku itu.” “Siapa yang lebih pandai tidaklah penting, Lan-ji. Yang penting, engkau sekarang telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan cukup kuat untuk kau gunakan menjaga diri. Akan tetapi ingat lah, bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang yang amat pandai dan tidak ada orang yang paling pandai di dunia ini. Sekali waktu pasti akan bertemu orang lain yang lebih pandai dari pada dirinya. Karena itu berhati-hatilah, Lan-ji dan jangan terlalu mengagulkan dirimu.” Ouw Yang Lan diam mendengarkan nasihat ibunya itu, akan tetapi dalam hatinya ia merasa tidak setuju. la ingin untuk menjadi orang yang paling tangguh di dunia ini agar tidak sampai mengalami nasib seperti yang pernah dialami ibunya, yaitu diculik dan dilarikan orang tanpa daya. Coba, andai kata ibunya memiliki ilmu kepandaian seperti ia sekarang, tentu tidak akan ada orang yang, berani memperlakukan sesuka hatinya! la lalu teringat kepada Tan Song Bu yang menjadi murid ayah kandungnya, juga teringat kepada Ouw Yang Hui, adik tirinya yang amat disayangnya. Song Bu dan adik Ouw entah di mana ia sekarang.

“Ibu, aku ingin sekali bertemu dengan suheng (kakak laki-laki seperGuruan) Tan Yang Hui. Tentu sekarang suheng telah menjadi pemuda yang lihai sekali. Dan adikku Ouw Yang Hui, ah, entah berada di mana ia sekarang,” “Menurut cerita ayah tirimu, ibumu Sim Kui Hwa dan adikmu Ouw Yang Hui dilarikan oleh orang yang bernama Tok-Gan-Houw Lo Cit, mereka itu sudah kembali ke Pulau Naga atau masih berada di tangan Lo Cit yang menjadi musuh ayah kandungmu itu. Ayah tirimu hanya terbawa-bawa karena ikut membantu Tok-Gan-Houw Lo Cit yang hendak membalas dendam kepada Ouw Yang Lee. Ayah tirimu tidak dapat menolak permintaan Lo Cit karena di antara mereka ada tali persahabatan.

“Ibu, tahukah ibu di mana Tok-Gan-Houw Lo Cit itu tinggal?” “Pernah kutanyakan kepada ayah katanya Lo Cit itu tinggal di bukit Houw san yang berada di pesisir laut timur,kata Lai Kim yang sama sekali tidak menyangka bahwa puterinya mempunyai niat lain kecuali hanya ingin tahu. Barulah Lai Kim terkejut sekali ketika pada keesokan harinya ia tidak dapat menemukan Ouw Yang Lan. Ketika ia mencari-cari, di dalam kamar puterinya yang kosong itu ia menemukan sehelai surat tulisan tangan Ouw Yang Lan.

“Ayah dan lbu yang tercinta, Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diijinkan ibu. Aku ingin meluaskan pengalaman dan merantau, mengunjungi Pulau Naga untuk bertemu ayah Ouw Yang Lee, suheng Tan Song Bu dan mencari ibu Sim Kui Hwa dan adik Hui. Harap ayah dan ibu tidak khawatir. Aku dapat menjaga diri dengan baik.” Anakmu Ouw Yang Lan.

Lai Kim hanya dapat menangis, hatinya penuh kekhawatiran. Bagaimana seorang gadis muda dapat melakukan perjalanan merantau seorang diri? Padahal di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat. Sudahlah, isteriku, jangan terlalu berduka. Agaknya engkau lupa bahwa anak kita itu bukan seorang gadis yang lemah,aku percaya kepadanya bahwa ia akan mampu menjaga dirinya dengan baik! Tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya. Ketahuilah bahwa ia telah menguasai semua ilmuku, bahkan tingkat kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan tingkatku sendiri. la pasti akan selamat dan memang sudah menjadi haknya untuk bertemu dengan ayah kandungnya,” kata Ciang Sek yang menghibur isterinya. Akan tetapi Ia hanyalah seorang perempuan.

“Ah, kasihanilah aku, engkau setidaknya engkau temani ia dalam perjalanan merantau agar hatiku tenang.” Lai Kim memohon. susullah dan bujuklah ia agar kembali, Suaminya tersenyum dan dengan lembut menyentuh pundaknya.

“isteriku, engkau masih menganggap bahwa Lan-ji itu seorang anak perempuan yang kecil dan lemah. Kalau aku pergi menyusulnya, tentu dia akan marah sekali kepadaku dan kalau ia memaksa meninggalkanku, apa yang dapat kulakukan? Aku tidak mungkin dapat memaksanya kembali. Sudahlah, tenangkan hatimu. Memang demikianlah watak seorang ànak perempuan yang sudah menguasai ilmu kepandaian yang tinggi. la kini telah menjadi seorang pendekar wanita, maka apa salahnya kalau ia melakukan perantauan untuk meluaskan pengalaman? Kita berdoa saja agar ia selalu selamat dalam perjalanan.” Setelah dibujuk-bujuk dan diyakinkan akhirnya Lai Kim dapat tenang dan merelakan puterinya pergi merantau seorang diri.

Pegunungan Thai-San adalah sebuah pegunungan yang panjang dan luas sekali. Pek-In-San hanya merupakan satu di antara ratusan bukit yang berada di pegunungan Thai-San. Ouw Yang Lan semenjak berada di Pek In San belum pernah meninggalkan daerah pegunungan ini. Kalau ia pergi dari Pek-In-San, ia pergi hanya untuk berkunjung ke dusun-dusun di sekitarnya. Paling jauh ia pergi ke dusun Tiong-Bun-Lim yang berada di kaki bukit Pek-In San, termasuk wilayah bukit lain karena dusun itu cukup besar dan damai dan sering dikunjungi para pedagang yang membawa barang-barang keperluan rumah tangga termasuk kain dan pakaian, Ouw Yang Lan pergi ke dusun iní untuk berbelanja, terkadang ia pergi dengan ayahnya atau pernah juga pergi seorang diri.

Akan tetapi sekarang ia pergi seorang diri menuruni lereng-lereng pegunungan Thai-San! la merasa gembíra sekali. Merasa bebas seperti seekor burung terbang meninggalkan sarang, melayang- layang di angkasa orang diri dan bebas dari segala macam peraturan rumah tangga orang tuanya! Mula mula la memang merasa gembira sekali dan mengagumi keindahan pemandangan di sepanjang perjalanan. Akan tetapi setelah dia melakukan perjalanan selama setengah hari, naik turun bukit dan jurang, keluar masuk hutan-hutan besar, ketika matahari naik tinggi, ia mulai merasa bosan dan lelah! Beberapa kali ia berhenti untuk minum air dari guci air yang dibekalnya, akan tetapi ia tidak ada nafsu untuk makan, padahal ia ada pula membawa bekal makanan berupa roti dan daging.

Baru saja setengah hari melakukan perjalanan yang semula amat menggembirakan dan membuat ia merasa seperti seekor burung terbang di angkasa bebas itu, kini ia merasa kelelahan dan bosan, seperti seekor burung yang kesepian dan rindu akan sarangnya yang hangat. Ouw Yang Lan menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan gunung itu. Puncak Bukit Awan Putih sudah tidak tampak dari situ, sudah terhalang beberapa buah bukit lain. la menurunkan buntalan pakaian yang digendongnya karena buntalan itu terasa berat dan juga membuatnya gerah. Dihapusnya keringatnya dengan sehelai saputangan. Teringat akan perasaan murungnya, ia bersungut-sungut dan kekerasan hatinya membuat ia mencela dirinya sendiri.

“Ihh! Engkau lemah dan cengeng! Baru begini saja sudah mengeluh! Mana kegagahn dan semangatmu! Menyebalkan!” la membuka buntalannya dengan kasar karena marah kepada dirinya sendiri, mengeluarkan roti dan daging lalu memaksa dirinya makan roti dan daging karena sebetulnya ia merasa lapar. Baru saja ia makan separuh rotinya, tiba-tiba pendengarannya tertarik oleh suara berkeresekan di sebelah kiri. Binatang hutan, pikirnya dan iapun siap siaga menghadapi ancaman kalau-kalau ada binatang buas yang akan muncul, Akan tetapi ia masih tetap duduk di atas batu di bawah pohon itu,saambil makan rotinya. Sebatang pedang masih menempel di balik purggungnya. Itulah Pedang Lo-thian- kiam (Pedang Pengacau langit) milik ayah tirinya yang ia ambil dan bawa untuk senjata pelindung dirinya.

la bersikap tenang saja, namun setiap helai urat syarafnya telah menegang dan siap penuh kewaspadaan seperti yang dimiliki setiap orang ahli silat yang pandai. Kemudian muncullah pembuat suara berkeresekan itu dari balik semak belukar dan mereka itu ternyata adalah dua orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang dari sikap dan pakaiannya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang berwajah bengis. Rambut, kumis dan jenggot mereka awut-awutan tak terpelihara, pakaian yang terbuat daři kain kasar itupun kusut dan kotor. Di pinggang masing masing tergantung sebatang golok besar. Ketika mereka muncul dan melihat bahwa yang mereka intai adalah seorang gadis yang amat cantik sedang makan roti, keduanya saling pandang lalu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, Hok-te (adik Hok)! Kita mengira akan menjumpai seekor harimau ganas di sini tidak tahunya yang kita temukan adalah seekor domba betina muda yang jinak dan lúnak dagingnya. Ha-ha-hal” kata yang bermata lebar kepada temannya yang bermuka pucat. Si muka pucat menyeringai dan sepasang matanya yang juling'itu menatap ke arah Ouw Yang Lan, menelusuri tubuh gadis itu dari kepala sampai ke kaki dengan sinar mata lahap.

“Waduh, Sam-Twako (kakak Sam), ia begitu cantik jelita seperti seorang bidadari! Ah, mau rasanya usiaku dikurangi sepuluh tahun kalau aku bisa mendapatkannya!” “Ha-ha-ha!” Si muka hitam yang matanya lebar itu tertawa lalu melangkah maju dan berdiri di depan Ouw Yang Lan yang bersikap tidak peduli dan masih makan rotinya. “Tawanan sehebat ini tidak boleh kita ganggu, Hok-te, harus kita serahkan kepada ketua. Kita tentu akan mendapatkan hadiah besar! Nona manis, marilah engkau ikut bersama kami dan kami berjanji engkau tentu akan hidup senang!”

Ouw Yang Lan merasa sebal sekali melihat sikap dan mendengar ucapan dua orang itu. Ia menunda makan rotinya dan berkata, “Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang macam kalian. Jangan kalian mencari perkara dan pergilah jangan mengganggu aku yang sedang makan!” Setelah berkata demikian, ia melanjutkan mengunyah rotinya dan mengambil sikap tidak mengacuhkan mereka lagi. Kini si muka ptucat juga sudah berdiri di samping rekannva, di depan Ouw Yang Lan.

“Sam-Twako, gadis ini galak juga. Biarkan aku meringkusnya. Aku ingin menyentuh dan mendekap tubuhnya yang denok itu!” Mendengar ini, Ouw Yang Lan tak dapat menahan kemarahannya lagi. Roti yang dimakannya masih tinggal sepotong di tangan kanannya dan tiba-tiba saja ia mengayun tangannya, menyambitkan roti itu kearah si muka pucat sambil mengerahkan tenaga.

“Wuuutt... plokk…!” Roti itu lunak saja, akan tetapi ketika menimpa muka simuka pucat, roti lunak itu menghantam seperti sepotong papan baja saja. Si muka pucat menjerit dan mendekap mukanya dengan kedua tangannya, tubuhnya terjengkang dan terhuyung ke belakang, hampir saja roboh. Melihat ini, si muka hitam bermata lebar terbelalak, akan tetapi dia tidak merasakan seperti yang dirasakan rekannya dan hanya menganggap bahwa timpukan itu biasa saja.

“Ha-ha, kiranya domba betina ini bertanduk juga! Biar aku yang meringkusnya.” Setelah berkata demikian, dengan mulut menyeringai dia lalu menubruk ke arah Ouw Yang Lan.

Bukan tubrukan biasa, melainkan tubrukan dengan gerakan silat, yaitu dengan jurus yang dinamakan Go-Houw-Po-Yang (Harimau Lapar Terkam Domba) kedua lengannya dikembangkan dan menyambar dari kanan kiri untuk merangkul atau mendekap tubuh gadis cantik yang masih duduk enak-enakan di atas batu itu. Tampaknya saja Ouw Yang Lan duduk santai. Sebenarnya ia sudah siap siaga. la sengaja bergerak lambat sehingga seolah olah ia tidak akan mampu meloloskan diri dari terkaman itu. Akan tetapi pada detik terakhir, tubuhnya berkelebat menyusup kebawah lengan kanan si muka hitam. Di belakang tubuh lawan ia membalik dan dengan kakinya menendang atau mendorong pantat si muka hitam, Tak dapat dihindarkan lagi tubuh si muka hitam itu terdorong dan menerkam batu yang tadi diduduki Ouw Yang Lan. Dorongan itu demikian kuatnya sehingga muka penjahat bermata lebar itu menimpa permukaan batu.

“Bresss adouuuuww...!!” Ketika si ruka hitam itu membalik, mukanya kelihatan berdarah-darah yang keluar dari hidungnya yang remuk dan mulutnya yang sebagian giginya telah rompal! Melihat ini, si muka pucat yang sudah dapat membuka matanya yang tadi dihantam roti, maklum bahwa gadis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia lalu mengeluarkan sebuah sempritan dan dia meniup sempritan itu dengan kuat. Terdengar suara melengking tiga kali, kemudian si muka pucat mencabut goloknya dan menghampiri Ouw Yang Lan dengan golok besar tajam di tangan, dengan sikap bengis dan mengancam. Si muka hitam yang kesakitan itu juga sudah mencabut goloknya. Kemarahannya rncngalahkan rasa nyerinya dan dengan golok di tangan diapun menghampiri Ouw Yang Lan dengan wajah mengerikan, penuh darah dan matanya melotot mengerikan.

“Sialan! Kalian ini dua orang manusia yang tak tahu diri dan bosan hidup!” kata Ouw Yang Lan dengan marah. la benar benar merasa terganggu, akan tetapi di samping kenmarahannya, juga timbul semacam perasaan gembira bahwa kini tiba saatnya ia mempergunakan dan memperlihatkan itmu kepandaiannya yang selama sepuluh tahun dilatihnya dengan tekun. Tentu saja ia memandang rendah dua orang lawannya itu karena dari gebrakan pertama tadi saja ia sudah mengetahui bahwa dua orang itu sebenarnya hanya merupakan gentong kosong belaka, Orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga otot dan serakan mereka lamban sekali baginya. Menghadapi orang macam ini, biarpun ada dua puluh orang iapun tidak akan gentar. Dua orang penjahat itu kini sudah marah sekali. Hati mereka penuh dendam karena mereka bukan saja merasa disakiti, bahkan merasa dihina oleh gadis itu. Kalau tadinya mereka berdua terpesona oleh kecantikan Ouw Yang Lan dan bermaksud untuk kurang ajar, kini sama sekali mereka tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu lagi, melainkan kini mereka bernapsu untuk mendapat kesempatan mencabik-cabilk tubuh yang putih mulus itu! Mereka menggerengan seperti binatang dan keduanya sudah menerjang maju, menyerang dari kanan kiri, menggunakàn golok mereka untuk membacok.

Dua batang golok menyambar dari atas ke bawah, disebelah kanan dan kiri tubuh Ouw Yang Lan. namun dara itu bersikap tenang sekali, seolah tidak tahu bahwa ada dua batang golok mengancam nyawanya. Tubuhnya akan terbelah menjadi tiga potong kalau dua golok itu mengenai sasaran Pada saat dua batang golok itu sudah menyambar dekat sekali dan dua orang penyerang itu merasa yakin bahwa serangan mereka akan mengenai sasaran, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan dua orang itu terbelalak karena golok mereka membacok tempat kosong karena orang yang dibacok telah lenyap dari situ. Entah kapan dan bagaimana caranya gadis itu menghindarkan diri mereka tidak sempat mengetahuinya, karena gerakan itu sedemikian cepatnya seolah gadis itu pandai menghilang. Dua orang itu menjadi bingung mencari dengan pandang mata mereka.

“Kalian mencari aku?” Tiba-tiba suara gadis itu terdengar di belakang tubuh mereka dan Cepat mereka membalikkan tubuh dan benar saja, mereka melihat gadis itu sudah berdiri sambil tersenyum manis dengan sikap biasa saja seolah tidak menghadapi dua orang lawan yang sudah marah dan menjadi buas seperti dua ekor binatang hutan.

“Perempuan siluman!” si muka pucat memaki.

“Kubunuh kau...!” bentak si muka hitam dengan suara tidak jelas karena mulutnya kehilangan banyak gigi.

“Hyaaaattt.. Dua orang itu bergerak dengan berbareng, keduanya mengeluarkan bentakan dan menggunakan golok mereka untuk menerjang dengan tusukan ke arah dada dan perut Ouw Yang Lan.

Seperti juga tadi, dara perkasa itu tidak tergesa-gesa menghindarkan diri, seolah hendak menerima tusukan itu begitu saja sehingga dua orang penyerang itu sudah merasa girang karena mereka yakin bahwa mereka akan dapat membunuh gadis itu dan membalas dendam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh gadis itu lenyap sehingga kedua orang penyerang itu terdorong ke depan karena golok mereka hanya menusuk tempat kosong. Tubuh gadis itu hanya tampak berkelebat ke atas dan ternyata ia telah melompat seperti seekor burung terbang. Di udara ia berjungkir balik dan tubuhnya menyambar ke bawah, kedua tangannya bergerak menampar ke arah kepala dua orang yang masih tèrhuyung ke depan itu.

“Plak! Plak!” Tamparan itu kelihatannya saja perlahan, namun karena gerakán kedua tangan itu mengandung tenaga sakti yang ampuh karena merupakan jurus dari Pek-In-Ciang-Hoat (lmu Silat Awan Putih) maka isi kepala dua orang itu terguncang isinya dan mereka terpelanting, golok mereka terlepas dan mata mereka mendelik. mereka klenger (pingsan)seketika tanpa dapat mengeluh lagi. Pada saat tubuh Ouw Yang Lan sudah turun ke atas tanah, tiba-tiba terdengar teriakan banyak orang dan muncullah tiga belas orang di tempat itu. Ketika ketiga belas orang itu melihat betapa dua orang kawan mereka yang tadi memberi tanda bahaya dengan sempritan telah menggeletak seperti orang yang tak bernyawa lagi, mereka menjadi marah.

Dan pemimpin mereka, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang berjenggot panjang, memberi aba-aba dan mereka semua segera membuat gerakan mengepung gadis itu. Melihat dirinya dikepung tiga belas orang yang kesemuanya tampak bertubüh kokoh kuat dan bersikap bengis, Ouw Yang Lan tenang saja bahkan tersenyum lebih lebar. Dalam hatinya timbul kegembiraan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Kini ia dapat bertindak seperti seorang pendekar wanita sejati, ia Sama sekali tidak merasa gentar karena gadis ini memang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. la bahkan merasa yakin bahwa ia mampu menandingi dan mengalahkan tiga belas orang laki-laki kasar ini. Seorang di antara mereka lari menghampiri dua orang anak buah yang roboh tadi dan setelah memeriksa keadaan mereka dia lari kepada pemimpin yang berjenggot panjang dan berkata, “Mereka hanya pingsan.” Si jenggot panjang kini memandang kepada Ouw Yang Lan dan suaranya terdengar lantang ketika dia bertanya, “Nona, engkau telah berani merobohkan dua orang ansk buah kami! Apakah engkau mencari penyakit, tidak tahu bahwa mereka ádalah anak buahku dan aku adalah Thai-San Sin-Houw (Macan Sakti Gunung Thaisan)? Aku yang menguasai daerah ini dan semua orang harus tunduk kepadaku! Engkau telah melanggar wilayah kami dan dengan lancang telah merobohkan dua orang anak buah kami. Hayo lekas engkau berlutut dan menyerah menjadi tawanan kami sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!” Ouw Yang Lan tersenyum mengejek.

“Sudah habiskah pidatomu? Dengarlah, Thai-San Sin-Houw, dua orang anak buahmu ini mengganggu aku yang tidak melakukan kesalahan apa-apa. Aku sedang melakukan perjalanan dan mengaso sambil makan roti, akan tetapi mereka menggangguku dan hendak menangkap aku. Maka, aku nasihatkan agar engkau dan semua anak buahmu segera pergi dari sini dan jangan mengganggu aku yang tidak bersalah apapun. Lebih baik engkau lekas pergi, karena kalau tidak, nama julukanmu Macan Sakti dapat berubah menjadi Macan Ompong!” Tentu saja kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Dua belas orang anak buahnya tidak ada yang berani tertawa, dalam hati mereka merasa geli juga mendengar ejekan gadis yang luar biasa beraninya itu.

“Gadis sombong! Kawan-kawan, tangKap gadis ini! Jangan bunuh, akan tetapi tangkap hidup-hidup karena aku ingin menaklukan dulu kuda betina liar ini!” bentak kepala perampok berjenggot panjang itu.

Anak buahnya merasa senang dan gembira mendengar perintah ini. Mereka semua memang sudah merasa kagum akan kecantikan gadis itu dan mereka ingin dapat mendekap dan merangkulnya, maka begitu mendengar perintah ini, mereka seperti berlumba ingin lebih dulu meringkus gadis itu dalam dekapannya. Akan tetapi segera ternyata bahwa mendekap gadis itu lebih mudah diucapkan dan dibayangkan daripada kenyataannya. Gadis itu berdiri tegak menanti, akan tetapi begitu ada yang mencoba untuk meringkusnya, biar musuh datang dari depan, kanan kiri atau belakang, selalu ia menyambutt dengan gerakan kaki tangannya dan mereka yang menubruknya tentu akan terpenal dan terpelanting roboh. Maju satu, roboh sattu, maju dua roboh dua dan maju empat roboh empat! Kaki tangan bergerak demikian cepatnya, menampar dan menendang sehingga para pengeroyok itu roboh sebelum sempat menyentuhnya. Melihat ini, Thai-San Sin-Houw menjadi marah dan penasaran sekali. Dia tidak percaya bahwa dia tidak akan mampu meringkus gadis muda itu, walaupun sudah ada sepuluh orang anak buahnya yang mencobanya dan roboh. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang lalu tubuhnya bergerak cepat sekali, menerjang maju. Kedua lengannya yang panjang itu dikembangkan lalu kedua. tangan mencengkeram ke arah kedua pundak gadis itu dengan kuat sekali. biarpun Ouw Yang Lan belum banyak pengalaman, namun gadis ini amat cerdik. Dari sambaran kedua tangan itu iapun maklum bahwa lawannya ini tidak dapat disamakan dengan para anak buah yang ia robohkan. Ke dua lengan yang bergerak menerkamnya itu mengandung tenaga yang amat kuat.

Cepat la melangkah ke belakang dan menarik tubuh, atas ke belakang sehingga terkaman dua tangan itu luput. Ketika melihat betapa serangannya yang pertama dapat dielakkan dengan amat mudah oleh gadis itu, Thai-San Sin-Houw menjadi semakin penasaran. Dia lalu melompat dan menggunakan jurus Kui-Mauw- Po-Ci (Kucing Siluman Menerkam Tikus), tubuhnya mencelat ke depan dan cepat sekali dia menubruk ke arah Ouvw yang Lan. Menghadapi serangan yang amat cepat ini, Ouw Yang Lan tidak menjadi bingung. la memiliki gerakan yang lebih cepat lagi.

Tubuhnya menyusup ke bawah dan dengan cepatnya lolos di bawah lengan kanan lawan, kemudian sekali membalikkan tubuh, kaki kirinya sudah mencuat disusul kaki kanan. Gerakan dua kaki yang menendang ini cepat dan susul menyusul karena ia telah mempergunakan ilmu tendangan Soan-Hong-Tui (Tendangan Angin Berputar).

“Dukkk! Desss...!” Thai-San Sin-HOuw Yang samá sekali tidak menyangka bahwa lawan yang ditubruknya itu bukan saja dapat lolos bahkan mampu membuat serangan balik yang demikian cepatnya, tidak dapat menghindarkan diri dari tendangan itu dan kedua kaki gadis itu berturut-turut menendang dada dan perutnya. Dia mengaduh dan tubuhnya terpelanting dan terbanting ke atas tanah! Sakit dan marah bercampur menjadi satu membuat kepala perampok ini berteriak teriak sebelum dia merangkak bangun.

“Bunuh keparat itu!” Kini anak buahnya juga sudah cukup menyadari bahwa Ouw Yang Lan adalah seorang gadis yang pandai dan merupakan lawan tangguh, maka mendengar perintah itu mereka semua mencabut golok besar yang tergantung di pinggang masing-masing, lalu mengepung Ouw Yang Lan. Sikap mereka ganas sekali dan mata mereka memandang bengis seperti mata binatang liar yang haus darah. Kepala perampok itu sendiri sudah mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan dia ikut pula mengepung. Bahkan dua orang pertama yang tadi pingsan oleh tamparan Ouw Yang Lan, Kini telah bangkit dan ikut mengepung sehingga gadis itu dikepung lima belas orang yang semua bersenjata tajam. biarpun la tidak merasa gentar menghadapi lima belas orang itu, akan tetapi karena mereka semua bersenjata tajam, setidaknya ia dapat terancam senjata yang menyeleweng. Selain itu, iapun mulai marah. Lima belas orang itu jelas bukan orang baik baik, melainkan perampok-perampok jahat yang berhati kejam dan yang kini seperti segerombolan srigala yang haus darah dan berniat untuk membunuhnya. Oleh karena itu, Ouw Yang Lan lalu meraba punggungnya dan tampak sinar berkelebat ketika ia mencabut Lo- thian-kiam (Pedang Pengacau Langit). Ouw Yang Lan adalah seorang gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang keras, apa lagi ia besar dalam asuhan seorang datuk seperti Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang biarpun gagah namun memiliki watak yang keras dan ganas, Tidak suka memberi ampun kepada orang-orang yang bersalah kepadanya. Kini, melihat lima belas orang yang wajahnya membayangkan kebengisan dan keliaran itu, hati Ouw Yang Lan dipenuhi kebencian dan ia mengambil keputusan untuk memberi hajaran keras kepada mereka. Lima belas orang itu maklum bahwa gadis itu seorang yang lihai sekali, bahkan kini sudah mencabut pedang. Akan tetapi karena mereka berjumlah lima belas orang, tentu saja mereka tidak merasa takut dan setelah pemimpin mereka mengeluarkan aba-aba, serentak mereka menerjang dari segala penjuru dan golok mereka menyambar-nyambar. Hujan senjata golok menerjang ke arah tubuh gadis itu. Melihat ini, Ouw Yang Lan segera menggerakkan tenaganya dan memutar pedangnya memainkan ilmu pedang Lo-Thian Kiam-Sut.

Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung berbentuk payung atau perisai yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Terdengar suara berdentangan ketika golok-golok yang menyambar ke arah tubuh Ouw Yang Lan itu bertemu dengan sinar berkilauan dari pedang itu. Terdengar seruan-seruan kaget karena banyak golok menjadi buntung ketika bertemu dengan sinar pedang itu, dan ada pula yang terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan dan rasa penasaran yang besar, orang orang itu tetap menèrjang dengan golok buntung mereka. Mereka yang belum buntung goloknya, juga kepala perampok yang berjuluk Thai-San Sin-Houw itu menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi kini Ouw Yang Lan sudah marah sekali dan gadis itu bergerak cepat, menyambut serangan mereka dengan tangkisan pedang yang sekaligus menyerang ke arah tangan para pengeroyoknya.

“Crak-crak-crok-črok-crok!” Tampak darah múncrat dari lengan- lengan yang terbacok buntung disusul teriakan-teriakan kesakitan.

Sinar pedang di tangan Ouw yang Lan menyambar-nyambar semakin cepat dan dahsyat. Kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan, darah muncrat dari lengan dan kaki yang terbabat buntung. Bahkan Thai-San Sin-Houw sendiripun terguling roboh dengan kaki kanan buntung sebatas lutut terbabat pedang di tangan dara itu! Dalam waktu yang tidak berapa lama, lima belas orang pengeroyok itu semua roboh dan merintih-rintih kesakitan. Ada yang lengan kanannya buntung, ada pula yang sebelah kakinya buntung. Darah membanjiri tempat itu, membasahi rumput-rumiput, bahkan adayäng muncrat membasahi batang pohon. Ouw Yang Lan cepat membersihkan darah pada pakaian Thai-San Sin-Houw, lalumenyimpan kembali pedangnya dan mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya dengan sikap tenang dan pandang mata mengejek.

“Aku masih bermurah hati dan mengampuni nyawa kalian, akan tetapi kalau kalian tidak mengubah jalan hidup kalian dan tetap melakukan kejahatah, lain kali kalau aku bertemu dengan kalian, tentu leher kalian yang akan kubuntungi!” kata Ouw Yang Lan dengan sinar mata mencorong menyapu tubuh-tubuh yang sudah menjadi tapa daksa itu. Kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ.

“Tunggu dulu, nona!” Thai-San Sin-Houw berseru. Ouw Yang Lan memutar tubuhnya dan memandang kepala perampok itu dengan alis berkerut.

“Engkau mau apa lagi?” tegurnya.

“Nona sudah membuat kami menjadi begini. Harap tinggalkan nama agar kami mengetahui siapa yang telah mencelakai kami!” kata kepala perampok itu sambil menahan rasa nyeri.

“Kalian celaka oleh ulah kalian sendiri! Akan tetapi jangan dikira aku takut. Aku adalah Pek In Sian-Li (Dewi Awan Putih).” Ouw Yang Lan mendadak saja mengambil nama julukan itu, mengingat bahwa ia tinggal di Pek-In-San (Bukit Awan Putih) dan iapun menguasai   Pek-In   Ciang-Hoat   (Ilmu   Silat   Awan   Putih). Akan tetapi, penggunaan nama julukan yang baru saja diperkenalkannya itu ternyata membuat Thai-San Sin-Houw menjadi terbelalak matanya dan mukanya berubah pucat.

“Apakah nona datang dari Pek-In-San…? Masih ada hubungan apakah dengan Thai-Lek-Kui Ciang Sek, majikan Pek-In-San?” Ouw Yang Lan tersenyum mengejek, bangga bahwa nama besar ayah tirinya agaknya membuat kepala perampok itu begitu ketakutan.

“Dia adalah ayahku. Kau mau apa?” “Ah… kami layak mampus…! Ampunkan kami, Siocia (nona), kami tidak tahu bahwa Siocia adalah puteri Cian Sek Pangcu (Ketua Bukit bermarga Ciang).” Sin-houw merangkap kedua tangan didepan dada dan membungkuk berkali-kali.

“Hemm, kalian memang tidak tahu diri.” Ouw Yang Lan berkata lalu berkelebat dari situ, mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya berkelebat ke depan dengan cepat sekali, bagaikan larinya seekor kijang muda.

Perahu kecil itu meluncur cepat sekali, Kalau ada orang melihatnya bahwa perahu kecil yang menerjang ombak itu hanya didayung oleh sepasang tangan kecil mungil seorang gadis muda yang cantik jelita, tentu orang itu akan terheran-heran. Bagaimamungkin sepasang lengan yang kecil berkulit putih mulus itu mengandung tenaga yang demikian besarnya? Perahu itu didayung oleh Ouw Yang lan, Biarpun ia baru berusia delapan tahun ketika dipaksa meninggalkan Pulau Naga, namun ia masih ingat dengan baik letak Pulau Naga. la teringat pula bahwa Pulau Naga adalah sebuah pulau yang tidak mudah di darati karena sekeliling pulau merupakan tebing-tebing yang curam. Yang pantainya landai penuh dengan hutan belukar yang liar dan amat berbahaya karena selain dihuni binatang-binatang buas, terutama ular-ular berbisa, Juga oleh Ouw Yang Lee di hutan-hutan itu dipasangi jebakan- jebakan agar tidak ada musuh yang dapat mendarat di pulau melalui hutan-hutan itu. Satu satunya tempat mendarat adalah sebuah pantai yang berpasir putih dan memanjang sejauh dua li. Akan tetapi pantai ini selalu dipenuhi anak buah Pulau Naga sehingga tidak akan ada orang luar dapat mendarat tanpa diketahui oleh anak buah Pulau Naga. Ketika Tok-Gan-Houw Lo Cit yang mengajakThai-Lek-Kui Ciang Sek dan anak buahnya menyerbu pulau itu sepuluh tahun yang lalu, merekapun mendarat di pantai ini dan karena ketika malam mulai tiba, di pantai itu hanya terdapat sisa lima orang saja anak buah Pulau Naga sehingga dengan mudah mereka dapat melumpuhkan lima orang itu kemudian menyerbu ke pulau. Akan tetapi ketika Ouw Yang Lan memingirkan perahunya ke pantai, keadaan pantai sedang ramai- ramainya.

Tidak kurang dari dua puluh orang anak buah Pulau Naga sedang bekerja di pantai. Ada yang menangkap ikan, ada yang memperbaiki perahu-perahu dan jala-jala yang rusak,ada pula yang sedang menjemur ikan. Tentu saja mereka merasa heran melihat seorang wanita muda berani mendarat di pesisir itu. Mereka segera menghampiri tamu tak diundang itu. Ouw Yang Lan menarik perahu kecilnya ke darat dan ia bersikap tenang saja ketika melihat anak buah Puiau Naga, tidak kurang dari lima belas orang banyaknya, menghampirinya dari tiga penjuru. la berdiri tegak dan memandang mereka yang mengepungnya dengan tenang. la mengira bahwa para anak buah ayahnya itu tentu akan segera mengenalnya. la sendiri sudah lupa kepada mereka dan ia merasa kecewa melihat pandang mata mereka yang agaknya tidak mengenalnya.

“Nona, siapakah engkau dan mengapa engkau berani mendarat di pulau ini tanpa ijin? Tidak seorangpun boleh mendarat di sini tanpa seijin Ouw Yang tocu (Majikan pulau bermarga Ouw Yang)” tegur seorang anak buah yang bertubuh tinggi besar dan tidak memakai baju sehingga dadanya yang bidang dan penuh otot kekar melingkar-lingkar itu tampak menyeramkan. Karena merasa kecewa bahwa dirinya tidak dikenal orang, Ouw Yang Lan merasa mendongkol juga dan sengaja ingin mempermainkan mereka.

“Tidak penting untuk kalian ketahui siapa aku! Mengapa aku tidak berani mendarat di pulau ini? Siapa yang melarang dan kalian mau apa kalau aku melakukannya?” Melihat sikap yang keras dan menantang itu, si tinggi besar mengerutkan alisnya.

“Nona, engkau telah melanggar wilayah kami! Akan tetapi mengingat bahwa engkau seorang wanita muda yang mungkin belum tahu akan hal itu, kami persilakan nona naik ke perahu nona kembali dan pergi dari pulau ini dengan damai.” Ouw Yang Lan tersenyum mengejek.

“Dan kalau aku tidak mau pergi, kalian mau apa?” Ucapannya inipun mengandung nada menantang. Orang tinggi besar yang usianya sekitar empat puluh tahun itu memandang marah.

“Kalau nona memaksá, kami akan menangkapmu untuk kelak dihadapkan kepada ketua kami sebagai tawanan.” “Hemm, bagus! Hendak kulihat bagaimana kalian dapat menangkap aku!” kata Ouw Yang Lan dan iapun siap memasang kuda-kuda untuk melawan pengeroyokan mereka.

“Apakah kalian hendak mengeroyokku?” “Hemm, untuk menangkap seorang gadis rnuda seperti nona, tidak per lu kami mengeroyok. Cukup aku seorang saja untuk menangkapmu!” kata si tinggi besar itu.

“Begitukah? Boleh kita lihat. Nah, maju dan tangkaplah aku kalau engkau memang mampu!” Tantang Ouw Yang Lan yangkini mulai ingat bahwa laki-laki ini sepuluhtahun yang lalu merupakan seorang di antara para murid kepala di Pulau Naga yang bernama Thio Sam. Oleh karena dia seorang di antara para murid kepala, tentu saja ilmu silatnya lebih daripada para anggauta biasa. Dugaannya memang benar. Orang itu adalah Thio Sam dan tentu saja Thio Sam tidak begitu memandang tinggi kepada seorang gadis muda. Melihat sikap gadis itu demikian menantang, diapun menjadı penasaran. Apa lagi di situ berkumpul belasan orang anak buah. Dia merasa malu kalau sampai tidak mampu menangkap gadis yang keras kepala ini.

“Nona, engkau mencari penyakit sendiri. Terpaksa aku menggunakan kekerasan Lihat seranganku!” Setelah berkata demikian. Thio Sam menerjang ke depan, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri mencengkeram ke arah pundak kanan gadis itu, yang kanan bergerak hendak menangkap lengan kiri Ouw Yang Lan. Akan tetapi terkaman dan sambaran tangannya itu hanya mengenai tempat kosong belaka karena dengan gerakan ringan dan cepat sekali tubuh Ouw Yang Lan telah mundur dua langkah. Thio Sam menjadi penasaran sekali betapa serangan pertamanya gagal sama sekali. Dia menubruk lagi. Akan tetapi luput lagi. Setelah mencoba untuk menangkap gadis itu sebanyak lima kali selalu tubrukannya luput, tahulah Thio Sam bahwa gadis itu memiliki gerakan lincah dan tentu memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Maka dengan perasaan malu dan marah akan kegagalannya, kini ia mulai menyerang untuk merobohkan gadis itu, bukan untuk menangkap lagi.

“Lihat pukulanku!” bentaknya dan kini tangannya menyambar untuk memukul! Ketika Ouw Yang Lan mengelak, diapun menggerakkan kaki kanannya untuk menendang. Kembali gadis itu mengelak. Kegagalan serangan ini membuat Thio Sam menjadi semakin penasaran dan diapun menyerang bertubi-tubi, makin lama semakin ganas serangannya. Tiba-tiba tubuh Ouw Yang Lan berkelebat lenyap dan selagi Thio Sam kebingungan, gadis itu yang telah berada di belakangnya sudah menggerakkan kakinya, dua kali berturut-turut ujung sepatu gadis itu menendang tekukan lutut kaki Thio Sam. Tak dapat dihindarkan lagi kedua kaki Thio Sam bertekuk lutut dan sejenak dia tidak mampu berdiri lagi karena kedua kakinya terasa lumpuh! Hal ini membuat para anak buah Pulau Naga menjadi terkejut dan marah, menganggap bahwa gadis itu tentu datang untuk membikin ribut.

Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar