Sepasang Rajah Naga Chapter 6

Untung baginya bahwa pelayan itu memiliki kebiasaan tidur tanpa memadamkan lampunya, walaupun lampu itu bernyala kecil saja sehingga dia dapat melihat dengan jelas keadaan laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun itu. Ouw Yang Lee menggerakkan tangan kanannya dengan cepat  dan dia sudah menotok kearah pundak dan tenggorokan orang itu. Orang itu tersentak kaget dan terbängun dari tidurnya. Akan tetapi dia hanya mampu membelalakkan kedua. matanya, sama sekali tidak dapat dapat bergerak lagi dan tidak dapat mengeluarkan suara. Ouw Yang Lee mencabut pedangnya yang berkilauan terkena sinar lampu yang redup dalam kamar, lalu menempelkan pedang itu di leher pelayan yang sudah tidak mampu bergerak dan bersuara itu. Dia hanya menjadi pucat dan seluruh tubuhnya gemetar, tanda bahwa dia berada dalam keadaan ngeri dan takut sekali.

“Kalau engkau masih ingin hidup, engkau harus menunjukkan kepadaku di mana Panglima Koan Tek berada. Kalau dia sudah tidur, dia tidur di kamar yang mana? Awas, kalau engkau menipu dan membohongiku, kepalamu akan kupisahkan dari badanmu!” Dia menekan pedangnya sehingga orang itu menjadi semakin ketakutan dan tanpa dapat ditahan lagi, basahlah celananya! Ouw Yang Lee menepuk pundaknya sehingga dia dapat bergerak kembali akan tetapi tetapi masin tidak dapat mengeluarkan suara. Dia tidak mampu berteriak dan untuk melawan, tentu saja dia tidak berani. Dia hanyalah seorang pelayan biasa yang lemah. Maka dia hanya dapat mengangguk-angguk tanda bahwa ia akan mematuhi perintah orang bertopeng hitam yang menempelkan pedang di lehernya itu.

“Hayo kita ke luar dan tunjukkan kamarnya!” bisik Ouw Yang Lee dengan suara mengancam. Orang itu bangkit dan berjalan ke pintu, diikuti Ouw Yang Lee yang masih menodongkan ujung pedangnya di punggung orang itu.

Pelayan itu membuka daun pintu dan melangkah menuju ke ruangan tengah melalui pintu tembusan yang menghubungkan rumah induk dengan rumab para pelayan di bagian belakang itu. Kini mereka tiba di bundaran terbuka yang luas dan di sekeliling bundaran itu terdapat kamar-kamar yang pintu dan jendelanya tertutup. Tanpa petunjuk, alangkah sukarnya mencari tempat di mana Panglima Koan Tek berada. Tidak mungkin harus memasuki semua kamar itu satu demi satu. Pasti akan menimbulkan keributan sebelum dia berhasil menemukan orang yang dicari, besar kemungkinannya dia sudah dikepung dan dikeroyok. Perhitungannya memang tepat. Pelayan itu ketakutan setengah mati dan tentu tidak akan berani menipunya. Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki di sebelah kiri dan secepat kilat dia menyambar pundak pelayan itu dan tariknya bersembunyi di belakang sebuah pilar yang besar.

Dia mengintai dari pilar dan melihat dua orang melangkah perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berumur kurang lebih tiga puluh lima tahun dan dan dari pakaiannya Ouw Yang Lee tahu bahwa orang itu tentu seorang perwira. Orang ke dua bertubuh kurus tinggi dan rambutnya digelung ke atas, pakaiannya seperti yang biasa dipakai para Tosu (Pendeta To), punggungnya terdapat sebatang pedang dan usianya sekitar lima puluh tahun. Ouw Yang Lee mencatat dalam hatinya. Dua orang itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari langkah dan sikap tubuh mereka. Terutama sekali Tosu itu. Matanya mencorong dan dia pasti seorang ahli tenaga dalam yang tangguh dan kuat. Setelah dua orang itu lewat dan menghilang ke dalam sebuah pintu tembusan, Ouw Yang Lee berbisik kepada tawanannya “Hayo cepat tunjukkan, di mana kamar panglima Koan Tek!” Pelayan itu menunjuk dengan telunjuk kanannya ke arah sebuah kamar yang berada di tengah-tengah deretan banyak kamar itu. Ouw Yang Lee memandang.

“Yang di atas pintunya terdapat kertas (jimat) berwarna kuning dengan huruf merah itu?” Orang itu mengangguk mernbenarkan.

Setelah mendapat keterangan ini, Ouw Yang Lee hendak membunuhnya, akan tetapi dia scgera teringat. Dia masih membutuhkan orang ini. Andaikata ternyata orang ini menipunya dan kamar itu bukan kamar panglima, dia dapat mengancamnya lagi. Kalau sudah dibunuh tidak akan ada gunanya lagi. ia lalu menotoknya lagi dan orang itu roboh terkulai, tidak mampu bergerak. Ouw Yang Lee mencengkeram baju di punggung pelayan itu dan mengangkatnya, menyembunyikan tubuh pelayan itu di balik sebuah pot besar sehingga tidak akan mudah terlihat kalau ada orang lewat di bundaran itu. Kemudian dia berkelebat cepat ke arah kamar yang ditunjuk. Setelah memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa keadaan di tempat itu sunyi, tak tampak atau terdengar ada orang lain, dia mengetuk daun pintu dengan kuat beberapa kali.

“Koan-Ciangkun... Koan-Ciangkun...!” serunya dan dengan pengerahan tenaga dari pusar dia dapat membuat suaranya seperti menembus daun pintu itu sehingga terdengar lantang di sebelah dalam kamar.

“Siapa di luar?” terdengar pertanyaan suara yang berat dari dalam kamar. Saya, Ciangkun, seorang perajurit pengawal. Saya ingin menyampaikan laporan yang penting sekali. Keadaan berbahaya dan gawat, Ciangkun!” kata Ouw Yang Lee.

“Tunggu dulu...!” Suara dari dalam menjawab dan tak lama kemudian daun pintu terbuka dan tampak seorang laki-laki tinggi besar, usianya kurang lebih empat puluh tahun, berdiri di ambang pintu dengan sebatang pedang di tangannya. Pakaiannya masih kusut karena dipakai tidur. Di belakangnya tampak seorang wanita muda yang cantik, juga pakaian dan rambutnya kusut seperti baru bangun tidur. Tai-Ciangkun (panglima besar) Koan.

“Ya, ada apa? Siapa engkau?” balas tanya panglima bertubuh tinggi besar itu. Dia memandang dengan alis berkerut melihat seorang berpakaian hitam-hitam dan mukanya ditutup topeng kain hitam pula.

“Mampuslah!” bentak Ouw Yang Lee sambil menyerang dengan pedangnya. Serangan kilat ini selain cepat juga kuat sekali, meluncur dan mengarah dada panglima itu. Akan tetapi Panglima Koan Tek bukan seorang lemah dan diapun sudah siap membela diri dengan pedang di tangan. Dia menggerakkan pedangnya menangkis dengan pengerahan tenaga.

“Tranggg…” Bunga api berpijar dan panglima itu terhuyung ke dalam kamar. Ternyata dia tidak mampu menandingi tenaga Ouw Yang Lee yang amat kuat itu. Ouw Yang Lee menerjang masuk ke kamar dan wanita muda itu menghalanginya seperti hendak melindungi panglima yang terhuyung kebelakang, Ouw Yang Lee menendang..

“Desss...!!,” tubuhnya mencelat jauh membentur dinding dan iapun roboh terkulai dalam keadaan pingsan. Ouw Yang Lee menyerang lagi pada panglima yang sudah dapat mengendalikankan keseimbangan tubuhnya.

Melihat serangan yang hebat ini, Panglima Koan melompat ke samping untuk mengelak sambil berteriak memanggil para pengawalnya. Suaranya lantang ketika dia berteriak dan hal membuat Ouw Yang Lee marah dan khawatir. Maka dia lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Ketika Panglima Koan tek menangkis dan sekali lagi terhuyung, Ouw Yang Lee mengejar dan tangan kirinya yang telah berubah kemerahan karena sejak tadi dia sudah mengerahkan ilmu Ang Tok Ciang (Tangan Beracun Merah) mendorong dengan kuat dan cepatnya ke arah dada kiri panglima. Pahglima Koan Tek tidak dapat menghindarkan dirinya dari pukulan itu karena tubuhnya sedang terhuyung. Biarpun dia menggerakkan lengan kiri ke depan untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, tetap saja tangan kiri Ouw Yang Lee mengenai dadanya.

“Plakk...!” Tubuh panglima itu tersentak dan terjengkang roboh, tidak mampu bergerak lagi karena dadanya telah terkena pukulan Ang Tok Ciang yang amat ampuh dan beracun. Merasa yakin bahwa pukulan Ang Tok Ciang tadi pasti membunuh korbannya, Ouw Yang Lee lalu melompat keluar dari kamar itu karena khawatir bahwa teriakan panglima tadi akan mendatangkan para perajurit. Dugaannya benar, karena begitu tiba diluar kamar, dia disambut serangan pedang yang cepat dan kuat sekali datangnya. Dia menggerakkan pedangnya menangkis.

“Trangg...!” Bunga api berpijar dan dia melihat bahwa penyerangnya adalah perwira muda yang tadi dilihatnya berjalan bersama seorang Tosu. Tenaga perwira ini kuat sekali, biarpun pedangnya terpental namun perwira itu tidak goyah.

“Penjahat busuk! Menyerahlah kau!” bentak perwira itu dan diapun menyerang diturut oleh belasaภ orang yang sudah .di tempat itu.

Hujan senjata tertuju kepada tubuh Ouw Yang Lee. Datuk ini mengerahkan tenaganya, memutar pedang dengan gerakan panjang dan lebar sehingga terdengar suara senjata berkerontangan dan banyak golok dan pedang terpental dan terlepas dari pegangan pemiliknya yang mengeroyok. semua orang terkejut. Ouw Yang Lee mempergunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke depan, lalu dengan beberapa lompatan saja tubuhnya sudah melayang keatas wuwungan bangunan yang mengelilingi bundaran terbuka itu. Perwira itu mengejarnya dan juga melompat ke atas genteng.

“Jahanam, hendak ke mana kau?” serunya dan ketika tangan kirinya bergerak, tiga batang piauw (senjata rahasia yang dilontarkan) meluncur ke arah tubuhnya. Mendengar berkesiurnya angin yang dibawa tiga batang senjata rahasia itu, Ouw Yang Lee terpaksa menahan langkahnya, membalik dan dengan miringkan tubuh menarik tubuh atas ke samping, dia telah dapat menghindarkan diri dari sambaran tiga batang senjata piuw itu. Akan tetapi perwira itu sudah tiba di situ dan sudah menerjangnya dengan serangan pedangnya secara bertubi-tubi.

“Trang-trang-trang...!” Bunga api berpijar di kegelapan malam yang telah larut sekali itu dan terjadilah perkelahian adu pedang yang amat seru di atas genteng. Semntara itu di bawah terdengar teriakan teriakan para pengawal dan banyak di antara mereka yang membawa obor sehingga keadaan menjadi terang. Ouw Yang Lee maklum bahwa kalau sampai banyak jagoan naik dan mengepungnya, akan sukar baginya untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Maka diapun mempercepat gerakan pedangnya, diselingi dengan pukulan Ang Tok Ciang yang dilontarkan tangan kirinya.

Biarpun perwira itu dapat bermain pedang secara bagus dan kuat, namun menghadapi pukulan-pukulan Ang Tok Ciang, dia menjadi terkejut dan segera terdesak. Dia mengenal pukulan berbahaya, maka dia selalu mengelak. Ketika dia mendapat kesempatan, pedangnya membacok ke arah leher Ouw Yang Lee dengan amat cepatnya. Tidak ada waktu bagi datuk itu untuk mengelak. Dia mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungannya. Dia menangkis dan mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) untuk menyedot dan menempel pedang itu. Ketika dua pedang bertemu, kedua senjata itu saling melekat. Perwira itu berusaha untuk melepaskan pedangnya yang ditempel, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Ouw Yang Lee melancarkan pukulan Ang Tok Ciang dari jarak dekat selagi pedang mereka saling melekat.

Perwira itu terkejut dan terpaksa menggerakkan tangan kirinya menyambut. Dua buah lengan kiri bersilat dan kedua telapak tangan bertemu di udara.

“Dess...!!” Tubuh perwira itu terpental dan terjatuh dari atas wuwungan! Dia telah tewas seketika ketika menyambut pukulan Ang-Tok-Ciang tadi dan ketika tubuhnya terbanting ke atas tanah, nyawanya sudah melayang. Ouw Yang Lee tidak membuang banyak waktu lagi. Cepat dia melompat dan tiba di luar bangunan, ke dalam taman. Dia lalu berlari cepat ke arah pagar tembok dari mana tadi dia masuk, Menggunakan tali dan kaitan untuk memanjat tembok dan sebentar saja dia sudah melewati tembok itu dan tiba diluar pagar tembok. Para pengejarnya hanya terdengar suaranya saja yang gemuruh di sebelah dalam pagar tembok. Ouw Yang Lee sudah merasa lega dapat lolos dan berada di luar pagar tembok lalu melarikan diri melewati Jembatan Merah yang ke dua sisinya dibuat bulat bercat merah sehingga dinamakan Jembatan Bulan Merah, Akan tetapi baru saja dia tiba di atas jembatan itu, berkelebat sesosok bayangan orang lalu tiba tiba di depannya telah berdiri seorang lelaki tua dengan pakaian Tosu. Di bawah sinar dua buah lampu yang dipasang di kanan kiri jembatan, Ouw Yang Lee segera mengenal orang itu sebagai Tosu yang tadi dilihatnya di gedung Koan-Ciangkun, berjalan bersama perwira yang baru saja dia robohkan “Pembunuh jahat… jangan harap engkau dapat melarikan diri dari depan Im Yang To-jin” kata kakek itu dan sekali tangan kanannya meraih ke belakang punggung, dia sudah meraih sebatang pedang yang berkilauan sinarnya.

Diam diam Ouw Yang Lee terkejut juga. Dia memang belum pernah bertemu dengan Im Yang To-jin, akan tetapi dia sering mendengar akan nama besar Tosu ini. Im Yang To-jin adalah seorang tokoh dari perkumpulan agama Im Yang Kauw yang berpusat di Kim San, Tokoh besar ini dikabarkan terusir keluar dari Im Yang Kauw karena dia melakukan pelanggaran dan dia terkenal sebagai seorang diantara mereka yang tingkat ilmunya sudah mencapai tertinggi di Im Yang Kauw. Ouw Yang Lee tidak mengira akan bertemu dengan Tosu yang agaknya kini telah menjadi jagoan atau pengawal dari panglima Koan Tek. karena merasa dia berhadapan dengan orang yang tangguh, Ouw Yang lee tidak ingin bicara lagi, dia harus dapat meloloskan diri dan untuk itu dia harus cepat merobohkan lawan ini, sebelum para pengejar lain berdatangan ke tempat itu.

“Hyaaaattt...!” Ouw Yang lee berseru nyaring dan pedangnya sudah meluncur dalam serangan yang dahsyat.

“Hemmm...!!” Im Yang To-jin mengelak kesamping dan mengelebatkan oedangnya untuk membalas, terjadilah pertandingan pedang yang amat seru, demikian cepat gerakan pedang mereka sehingga yang tampak hanyalah dua gulungan sinar yang lebar dan dari gulungan sinar itu membuat sinar sinar yang saling serang. Dan saking kuatnya gerakan pedang itu, maka terdengarlah bunyi mendesing dan mendengung.

Juga diseling bunyi berdencingan dan tampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu saling beradu. Dalam pertandingan pedang ini, Ouw Yang Lee agak mengalami kesukaran. Hal ini adalah karena Tosu itu bersilat pedang dengan tangan kirinya. Agaknya dia adalah seorang kidal. Gerakan tangan kiri itu yang kadang mengecohnya membuat Ouw Yang Lee agak sukar untuk mengikuti atau menduga perkembangan gerakan pedang lawan. Akan tetapi karena dia sendiripun seorang yang ahli bermain pedang dan ilmu silatnya sudah tinggi, dia masih dapat mempertahankan diri, walaupun dia sama sekali tidak mampu mendesak lawan. Keadaan mereka hanya berimbang saja. Pertandingan itu sudah berlangsung hámpir lima puluh jurus dan Ouw Yang Lee belum mampu mendesak lawan dan tidak memperoleh kesempatan untuk melarikan diri.

Pada saat itu terdengarlah teriakan banyak orang. Mereka adalah para perajurit pengawal yang berlari serabutan ke luar dari pintu pekarangan rumah gedung Panglima Koan Tek. Tentu saja Ouw Yang Lee menjadi makin khawatir. Tiba-tiba setelah menangkis pedang lawan sehingga terpental, dia mengerahkan tenaga dan memukul dengan tangan kirinya menggunakan ilmu pukulan Ang- Tok-Ciang! Pukulan itu dilakukan dari jarak dekat dan Tosu itu terkejut. Tak disangkanya “Pembunuh” itu memiliki ilmu pukulan sedemikian dahsyat. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dia menghadapi sebuah pukulan maut yang mengandung hawa beracun hebat sekali. Maka, cepat diapum mendorongkan telapak tangan kanannya menyambut pukulan itu sambil mengerahkan tenaga sakti! Im Yang Sin-Kang (Tenaga Sakti Berlawanan).

“Wuuutt… daarrr...,” kedua orang itu terdorong ke belakang dan hampir terjengkang. Namun, keduanya dapat mengatur seimbangan mereka sehingga tidak sampai jatuh, melainkan hanya terhuyung. Ouw Yang Lee terkejut bukan main. Jelas, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, lawannya dapat mengimbanginya dan biarpun dia yakin bahwa lawannya terluka, dia sendiripun menderita luka dalam tubuhnya karena dia merasa betapa dadanya sesak dan panas.

Padahal, pada saat itu, puluhan orang perajurit telah datang dekat! Ouw Yang Lee lalu mengambil dua buah benda bulat yang tergantung di pinggangnya dan berturut-turut dia melontarkan dua buah benda itu ke arah puluhan orang perajurit yang datang berlarian. Dua kali ledakan keras itu disusul megepulnya asap hitam yang tebai sehingga penerangan yang hanya tidak seberapa besar dari lampu-lampu jembatan itu tertutup sama sekali dan keadaan menjadi gelap gulita. Ketika perlahan-lahan asap menghilang, Ouw Yang Lee telah pergi jauh dan telah memasuki kompleks istana lalu langsung menuju ke gedung tempat tinggal Thaikam Liu. Ternyata ketika Ouw Yang Lee sudah memasuki gedung tempat tinggal Liu-Thaikam, pembesar itu masih belum tidur, sengaja menunggunya sampai waktu hampir fajar itu.

“Bagaimana, Ouw Yang Sicu?” Pembesar itu menyambut dengan pertanyaan setelah Ouw Yang Lee duduk di depannya. Ouw Yang Lee tersenyum.

“Beres, Tai-jin. Saya telah berhasil membunuh Panglima Koan Tek.” Tiba-tiba datuk ini mengeluh dan memejamkan mata, menarik napas panjang karena dia merasa nyeri dalam dadanya.

“Ah, ada apakah, sicu? Apakah engkau terluka?” Sambil menahan rasa nyeri, Ouw Lang Lee berkata, “Saya berhasil membunuh Koan-Ciangkun dan merobohkan banyak perajurit pengawal, akan tetapi saya bertempur melawan orang yang amat lihai. Dia adalah Im Ya To-jin yang menjadi pengawal Koan Ciangkun, kami sama-sama terluka. Masih untung saya dapat meloloskan diri.” Dengan singkat namun jelas Ouw Yang Lee lalu menceritakan semua pengalamannya ketika membunuh Panglima Koan Tek. Setelah menceritakan semuanya, Ouw Yang Lee lalu mengaso dalam kamarnya dan mengobati luka dalam dadanya dengan samadhi dan mengatur pernapasan. Adapun Liu-Thaikam dengan girang baru dapat masuk kamar dan tidur, setelah memerintahkan Giam tit, kepala pasukan pengawalnya untuk mencari berita tentang kematian Panglima koan Tek, dan juga tentang keadaan keluarga Pangeran Ceng Sin.

Pada keesokan harinya, dengan hati girang sekali Liu-Thaikam mendengar berita yang disampaikan Giam Tit tentang Koan tek, panglima yang menjadi musuhnya itu, benar-benar semalam telah terbunuh orang jahat bertopeng. Juga dia mendengar bahwa pangeran Ceng Sin bersama anak isterinya melarikan diri ke luar kota raja dan tidak di ketahui pergi ke mana dan di rumah pangeran itu juga terdapat seorang penjahat yang mengamuk dan membunuh banyak perajurit pengawal Tentu saja Liu-Thaikam merasa girang sekali. Dua orang di antara musuh-musuhnya yang berbahaya kini tidak akan mengganggunya lagi dan dia merasa telah mendapatkan dua orang pembantu yang selain tangguh juga telah membuktikan kesetiaannya pada malam hari tadi.

Mendengar akan kelihaian Im Yang To-jin, Liu-Thaikam lalu mempergunakan harta kedudukkannya, mengirim orang untuk membujuk Tosu itu agar suka bekerja kepadanya. Dengan janji dan hadiah yang besar, akhirnya Liu-Thaikam berhasil menarik Im Yang To-jin menjadi pembantunya! Hal ini mudah dia lakukan karena Tosu itu kehilangan majikannya. Panglima Koan Tek telah tewas, maka tidak mungkin lagi dia bekerja menjadi pengawal keluarga panglima itu. Maka, ketika datang penawaran dari Liu- Thaikam, tanpa ragu lagi dia menerimanya. Ketika Im Yang To-jin sudah diterima oleh Liu-Thaikam dan diperkenalkan kepada Ouw Yang Lee, dia memandang kepada datuk majikan Pulau Naga ini dengan penuh perhatian.

“Sian-cai... (damai)...! Kiranya Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee juga berada di sini?” katanya.

“Ouw Yang-sicu (orang gagah Ouw Yang), Ang-Tok-Ciang darimu sungguh amat hebat, membuat aku merasa kagum sekali. Biarpun bagi orang lain ucapan itu hanya merupakan pujian kepada orang yang pernah didengar namanya, namun bagi Ouw Yang Lee berarti lain, Tadinya dia merasa terkejut, mengamati wajah Tosu itu dengan tajam, akan tetapi melihat Tosu itu tertawa diapun lalu tertawa. Tahulah dia bahwa Im Yang To-jin sudah mengenal ilmu pukulan Ang-Tok-Ciang dan sudah tahu pula bahwa dialah orang yang bertopeng dan membunuh Panglima Koan Tek! Ah, Im Yang To-jin terlalu memuji Im Yang Sin-Kang yang kau miliki itupun hebat luar biasa!” katanya sambil tertawa.

Karena masing-masing sudah tahu akan kelihaian lawan, kedua orang tokoh besar itu saling menghormati dan karena sekarang telah menjadi rekan, mereka menjadi sahabat baik. Selain dua orang datuk ini, pada suatu hari datang pula dua orang laki-laki berusia lima puluhan tahun. Mereka berdua ini memiliki bentuk tubuh yang tinggi kurus, akan tetapi keadaan wajah dan pakaian mereka sungguh aneh dan mencolok. Seorang di antara mereka mengenakan pakaian serba putih, akan tetapi yang aneh adalah wajahnya yang juga putih seperti diberi bedak tebal dan rambutnya juga sudah putih semua. Seorang manusia yang serba putih dari rambut,muka, kaki tangan dan pakaiannya! Adapun orang ke dua menjedi kebalikannya. Orang ke dua ini semuanya serba hitam seperti arang! Rambutnya, mukanya, kaki tangan dan pakaiannya.

Hitam semua! Karena si serba hitam ini muiutnya selalu tersenyum menyeringai, maka kalau berada di tempat gelap yang tampak hanya giginya yang putih. Sebaliknya, si serba putih itu selalu cemberut. Bagi yang tidak mengenal mereka tentu akan menganggap kedua ini badut-badut atau orang-orang yang miring otaknya. Akan tetapi Ouw Yang Lee dan Im Yang To-jin yang berada di ruangan itu ketika Liu-Thaikam menyambut kedua orang itu, terkejut karena mereka berdua mengenal nama besar kedua orang ini. Dua orang îtu dikenal di dunia kang-ouw (sungai telaga, persilatan) sebagai Hek Pek Mo-ko (Manusia Iblis Hitam Putih). Tidak ada yang mengetahui nama mereka yang sebetulnya, dan juga mereka itu dikenal sebagai Pek-Moko (Manusia Iblis Putih) dan Hek-Moko (Manusia lblis Hitam). Sebetulnya mereka merupakan kakak beradik, si iblis putih yang tertua dan si iblis hitam itu adiknya.

Mereka menjadi serba putih dan serba hitam sebagai akibat mempelajari ilmu-ilmu sesat. Akan tetapi kedua orang ini terkenal sekali kelihaiannya. Setelah ada empat orang datuk ini menjadi kaki tangan Liu-Thaikam, kekuasaan Thaikam ini menjadi semakin besar. Dia semakin ditakuti dan tidak ada lagi pihak musuh yang mencoba-coba untuk mengirirm pembunuh. Bahkan sebaliknya, setelah empat orang datuk itu bekerja kepadanya, banyak pembesar yang membenci Liu-thaikan, satu demi satu mengalami malapetaka. Ada yang mati secara aneh dan rahasia, ada yang terpaksa melarikan diri untuk mengungsi dan melarikan diri dari ancaman maut. Mereka yang tadinya menentang kekuasaan Liu- Thaikam menjadi ketakutan dan pihak mereka menjadi semakin lemah. Sebaliknya, kekuasaan Liu-Thaikam semakin besar. Song Bu merasa beruntung sekali diajak ayahnya dan tinggal di gedung Liu-Thaikam.

Selain dia menjadi seorang pemuda yang disegani dan terhormat, diapun berkenalan dengan para pemuda bangsawan di lingkungan istana, bahkan sebentar saja dia menjadi akrab dengan beberapa orang pemuda bangsawan, putera pangeran atau puteri pejabat- pejabat tinggi dan yang menduduki pangkat penting di kota raja. Bahkan Kaisar Ceng Tek sendiri yang juga merupakan seorang pemuda yang selalu mengejar kesenangan dan suka berkeliaran sesuka hati, ketika mendapat kesempatan bertemu dengan Song Bu, segera menjadi akrab dan Song Bu seolah menjadi pengawalnya yang tidak resmi. Kaisar itu tahu bahwa Ouw Yang Song Bu adalah orang pemuda yang memliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali, maka seringlah Song Bu diajak oleh Kaisar untuk mengawalnya kalau dia sedang pergi bersenang-senang bersama para pangeran muda.

Selain dapat menikmati kehldupan yang penuh kemewahan dan kesenangan, juga Song Bu mempergunakan kesempatan baik itu untuk mendekati tiga orang rekan ayahnya, yaitu Im Yang To-jin, Pek Moko dan Hek Moko. Dia seorang pemuda yang pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga tiga orang datuk inipun merasa suka kepadanya. Tidak mengherankan kalau mereka tidak keberatan untuk menurunkan sebagian ilmu-ilmu mereka kepada Song Bu yang melatih diri dengan tekun sehingga perlahan lahan dla menyerap ilmu-Ilmu dari tiga 0rang datuk itu, disamping gemblengan ayahnya sendiri. Keberadaannya di kota raja sungguh amat dimanfaatkan oleh Song Bu yang cerdik. Diapun pandai mcnjaga diri. Biarpun dia berfoya-foya dan bersenang-senang, pesta pora dan berkeliaran sampai jauh malam, namun dia tidak terperosok ke dalam perbuatan-perbuatan rendah.

Memang dia suka keluar masuk rumah-rumah pelesir di kota raja, namun dia sendiri tidak pernah mau membiarkan dirinya terjatuh ke dalam pelukan para pelacur. Dia tahu benar bahwa hal itu akan merugikannya dan merusak kesehatannya. Memang dia terbawa hanyut 0leh pergaulan dan keadaan sehingga Song Bu menjadi soorang pemuda yang tinggi hati dan sombong. Akan tetapi dia tidak pernah mau bertindak sewenang-wenang mempergunakan kekuatan, kedudukan dan kekuasaan. Bahkan tidak jarang dia menegur dan memperingatkan dengan halus apa bila di antara para pemuda bangsawan itu ada yang berbuat sewenang-wenang seperti memaksa gadis atau isteri orang untuk melayani nafsu binatang mereka. Di samping itu, dia terus tekun memperdalam ilmu-ilmunya sehingga beberapa tahun kemudian Song Bu menjadi seorang pernuda yang benar-benar lihai sekali.

Matahari itu tampak sebagai bulatan merah yang besar sekali, tersembul dari permukaan laut di ujung sana, muncul dari garis ujung lautan dan perlahan~lahan namun pasti bulatan marah yang amat besar itu muncul dan akhirnya terlepas dari garis itu, tampak terapung di udara dan ukuran besar itu makin berkurang, makin mengecil. Akan tetapi warna merahnya makin memudar, menjadi kuning dan mulai tak tertahankan lagi mata memandangnya karena sinarnya semakin cemerlang.

Sinar matahari pagi itu menciptakan jalan emas di permukaan air laut yang tenang, jalan emas yang berkilauan makin lama jalan itu semakin panjang ketika matahari naik semakin tinggi. Langit berdasar biru, dengan hiasan awam awan putih dan ada sebagian awan yang ikut terbakar oleh sinar matahari menjadi kemerahan. Di sekeliling matahari terbentuk istana yang amat luas dan yang beraneka ragam bentuknya, ada menara-rnenara menjulang tinggi, ada benteng-benteng yang besar sekali. Kesemuanya itu bergerak, perlahan hampir tidak tampak, namun bentuk bentuk itu perlahan berubah, mengingatkan kita bahwa kesemuanya itu bergerak dan berubah. Perlahan-lahan jalan emas itupun berubah keperakan, kuning putih mcnyilaukan mata. Dan air di permukaan laut itupun mulai bergerak, mula-mula beriak lembut.

Seperti kain berkeriputan, namun makin tinggi matahari naik, air mulai bergerak lebih kuat dan akhirnya berombak. Ombak bertemu dan bergabung menjadi alun yang berkejaran dan berlarian menuju ke pantai. Mulailah suasana yang tenang itu diisi suara gemuruh lautan yang mulai hidup, mula-mula gemersik air yang menjilat pasir di pantai, makin lama semakin gemuruh dengan suara mendesis dan berdebur pecahnya kepala alun yang terhempas ke air. Udara di atas lautan mulai dipenuhi burung-burung camar yang cecowetan mulai békerja mencari makan ada yang sudah mulai menyambar-nyambar di permukaan air lalu naik kembali sambil membawa seekor ikan di paruhnya. Margsatwa di hutan tepi pantai juga mulai sibuk dan riuh rendah suaranya. Pemuda berusia lima belas tahun dan Juga kakek berusia enam puluh tahun lebih itu duduk berdampingan di atas pantai berpasir putih, Tanpa bicara dan sejak tadi, sudah ada sejam lebih lamanya, mereka berdua menyaksikan keadaan sekeliling, terpesona atau takjub akan semua keindahan dan kebesaran alam itu. Pemuda itu berusia kurang lebih lima belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur perawakannya sedang dan rambutnya hitam gemuk, alisnya seperti bentuk golok, matanya mencorong lembut, hidungnya mancung dan mulutnya kecil manis penuh senyum, kulitnya putih. Kakek berusia enam puluh tahun lebih itu bertubuh sedang agak kurus, pakaiannya dari kain kuning yang amat sederna, dilibat- libatkan begitu saja menutup tubuhnya, rambutnya yang sudah bercampur putih itu digelung ke atas dan diikat kain putih. Wajah itu tidak berkeriput dan masih membayangkan bekas ketampanan dengan mulutnya yang selalu tersenyum cerah dan sepasang matanya yang mencorong.

Pemuda dan kakek itu bukan lain adalah Wong Sin Cu dan gurunya, Bu Beng Siauwjin. Dalam perantauan mereka, mereka tiba di pantai laut timur itu dan untuk sementara tinggal di situ, membuat sebuah pondok kayu dan bambu yang berada di pmggir hutan tepi pantai. Pada pagi hari itu mereka berdua duduk menghadapi lautan, menyaksikan matahari terbit dan tenggelam dalam keindahan pagi itu. Setelah tenggelam ke dalam keindahan itu dan terpesona selama lebih dari satu jam, Sin Cu menghela napas panjang. Dia menyedot hawa udara yang sejuk dan jernih, kaya akan cahaya matahan pagi itu sampai dadanya penuh sampai turun ke perutnya yang menggembung, berkumpul dipusar, kemudian perlahan-lahan.dia menghembuskan udara yang sudah meninggalkan sarinya dalam tubuh pemuda itu, dan mulutnya berkata lirih penuh ketakjuban.

“Aduh... alangkah indahnya alam, alangkah besarnya kekuasaan Tuhan, alangkah mendalamnya kasihNya...!” Bu Beng Snauw-jm tersenyum dan tampaklah deretan gigmya yang masih utuh,belum ompong dan putuh rapi terawat. Sin Cu, kenapa engkau melakukan penilaian akankah tadi kaurasakan seperti yang kuraskan juga, kita berada di dalam keindahan itu, karena memjadi satu dengan keindahan kita menjadi bagian dari keindahan itu? Dengan menilai, berarti engkau teiah keluar dari keindahan itu, engkau memisahkan diri dan mengukur keindahan itu dengan akal piklranmu. Dengan demikian, maka itu semua kemudahan itu menjadl suatu kesenangan! Kalau keindahan itu sudah menjadi kesenangan, maka kelanjutan dari itu tentulah timbulnya keinginan untuk mengulang-ulang kesenangan itu dan akhirnya akkan timbul kebosanan karena semua bentuk kesenangan pasti berakhir dengan kebosanan.

“Kalau begitu, apa yang teecu harus lakukan dalam keadaan seperti ini Suhu?” “Jangan Iakukan apa-apa, Sin Cu. Biarkan saja dirimu tenggelam kedalam keindahan dan kebesaran ini, rasakan saja akan kebesaran dan kasih Tuhan yang berlimpahan dengan penuh rasa syukur dan puja puji. Dengan demikian. setiap saat akan ada keindahan baru yang menyelimutimu, keindahan hidup ini sendiri yang tidak pernah dirasakan oleh sebagian besar manusia di dunia ini. Kebahagiaan itu sudah ada pada diri manusia. tidak pernah meninggalkan manusia seperti juga Kekuasaan Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia, akan teapi siapakah yang menyadari akan hal itu? Berkah Tuhan telah diberikan kepada seluruh manusia di dunia ini tanpa kecuali, berkah yang diberikan sebelum diminta. Akan tetapi bagaimana sambutan manusia terhadap kasih yang sedalam itu? Manusia pada umumnya tidak merasakan adanya berkah yang telah melimpah ruah itu sehingga manusia masih selalu memgajukan permohonan kepada Tuhan, minta berkah seolah olah Tuhan belum pernah menurunkan berkah kepadanya! Sungguh seperti seekor ayam yang merasa kelaparan pada fajar dia berada di dalam sebuah gudang beras! Daripada. merasakan dan menikmati berkah yang berlimpahan itu, manusla lebih suka berkeluh kesah karena derita yang da akibatkan oleh perbuatannya sendiri.” Sin Cu mendengarkan dengan penuh perhatian. Sudah sering gurunya itu pada saat tertentu, mengeluarkan kata-kata yang sulit dimengerti. Hanya dengan pencurahan perhatian saja dia dapat menangkap akan maksud ucapan itu. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengorek keterangan gurunya semakin dalam.

“Suhu mengatakan bahwa kebahagiaan itu sudah ada pada diri setiap orang manusia; akan tetapi mengapa jarang sekali manusia yang berbahagia di dunia ini? Yang ada hanya kesenangan sekilas yang segera berganti menjadi kesusahan sehingga Senang susah salingberganti higgap dalam hati manusia? Bahkan lebih banyak susahnya daripada senangnya yang dirasakan manusia di dunia ini?” “kebahagiaan memang sudah ada pada diri setiap orang manusia sejak dia dalam kandungan. Mengapa jarang ada manusia yang merasa bahagia? Hal ini karena manusia dikuasai nafsu daya rendah, hati, akal, piklrannya bergelimang nafsu dan sifat nafsu adalah mencari dan mengejar kesenangan, mengejar yang lebih dari pada apa yang ada, karena hanya manusia tidak permah merasa puas dengan keadaannya. Nafsu seperti api. Makin diberi makan menjadi semakin lapar dan murka, menuntut yang lebih. Ulah nafsu daya rendah Inilah yang mendatangkan berbagai problem dalam kehidupan. mendatangkan kekecewaan kalau keinginannya tidak terpenuhi, mendatangkan kebosanan kalau terpenuhi. membuat mereka merasa sengsara Dan adanya kesengsaraan inilah yang .Menjadi debu penutup sinar kebahagiaan dan yang merasa tidak berbahagia hidupnya! Kalau kita tidak diperhamba nafsu daya rendah, Sehingga kita tidak selalu mengejar kesenangan, mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, kalau nafsu menjadi peserta kita dan bukan menjadi penguasa, maka barulah kita dapat merasakan apa yang dinamakan bahagia itu. ltu adalah berkah dari Tuhan yang tiada putusnya. Segelas air merupakan berkah, mcngandung kesejukan yang nikmat Nan bermanfaat bagi kesehatan tubuh, juga dapat menghilangkan haus, bahkan merupakan kebutuhan mutlak agar tubuh tetap hidup. Akan tetapi kalau pada waktu memegang scgelas air hati akal pikiran kita menginginkan anggur atau minuman lain yang kita anggap jauh lebih lezat dari pada air, maka kita tidak akan dapat menikmati air itu lagi, bahkan terasa hambar dan mungkin tidak enak! Demikianpun dengan segala apa yang kita miliki, tidak akan dapat kita nikmati kalau kita menginginkan yang lain, yang lebih, yang kita anggap lebih menyenangkan.

“Mudah-mudahan teecu dapat mengerti akan semua yang Suhu terangkan. Akan tetapi, Suhu, teecu mendengar bahwa hampir semua orang di dunia ini mendambakan kebahagiaan dan selalu mencari kebahagiaan. Bahkan ada yang melalui pengasingan diri di tempat sunyi, ada pula yang melalui pényiksaan diri, apa saja dilakukan manusia untuk mencari kebahagiaan.” “Inilah, Sin Cu, kekeliruan yang tak pernah disadari manusia sejak berabad-abad yang lalu. Sejak dahulu manusia selalu mencari kebahagiaan diri tidak menyadari bahwa yang mencari itu adalah nafsu. Sifat nafsu adalah selalu mencari cari dan mengejar yang lebih menyenangkan, Kalau sudah dicari, maka itu bukan kebahagiaan lagi namanya, melainkan kesenangan. Kesenangan apa saja memang dapat dicari dan dikejar. Akan tetapi bagaimana mungkin mencari kebahagian? Seperti juga, bagaimana mungkin mencari tuhan? Seolah-olah Tuhan itu berada di suatu tempat, di luar diri kita! Pada hal, Tuhan meliputi segalanya, mencakup segala ruang dan waktu. Tuhan berada dekat sekali dengan kita, lebih dekat dari pada penglihatan pada mata kita! Bagaimana mencari Nya? Bukankah pencarian itu sendiri bahkan menyesatkan kita dan menjauhkan kita dari Nya? Demikian pula dengan kebahagiaan! Kebahagiaan tidak mungkin ditemukan dengan jalan memari-carinya, seperti mencari sesuatu yang bersembunyi di suatu tempat tertentu. Justru kebahagiaan berada di dalam sanubari yang sudah tidak mencari cari lagi. Kebahagiaan seperti juga kesehatan. Kita merasa tidak sehat dan dalam keadaan tidak sehat, bagaimana mungkin kita mencari kesehatan? Yang, penting mengetahui apa yang menyebabkan kita tidak sehat Kalau penyebab tidak sehat itu sudah lenyap, apakah kita membutuhkan kesehatan lagi? Jelas tidak butuh, karena kita sudah sehat! Demikian pula dengan kebahagiaan. kita mencari cari kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia. Nah, yang penting adalah menyelidiki apa yang menyebabkan kita merasa tidak bahagia. Kalau penyebab tidak bahagia ini lenyap, apakah kita butuh kebahagiaan lagi? Tentu tidak, karena kita sudah bahagia! Mengertikah engkau muridku?” “Teecu mengerti, Suhu. Akan tetapi kalau demikian halnya, mengapa kebanyakan dari kita tidak merasakan kebahagiaan itu Pada hal tidak ada gangguan yang membuat kita tidak bahagia.” “ltulah ulah nafsu, muridku yang Seperti juga kalau kita sedang tidak sakit sama sekali, apakah kita dapat menikmati keadaan sehat itu? Pada umumnya tidak. Kehatan itu tidak dirasakan sama sekali. demikian pula kebahagiaan. Kalau tidak ada sesuatu yang membuat kita tidak berbagia. kita masih tidak merasakan bahagia Mengapa? Karena hati akal pikiran kita tigak mengetahui apa yang menyebabkan kita tidak sehat . Kalau penyebah tidak sehat itu sudah lenyap, apakah kita membutuhkan kesehatan lagi? Jelas tidalk butuh, karena kita sudah sehat! Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita mencari kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia. Nah, yang penting adalah menyelidiki apa yang menyebabkan kita rasa tidak bahagia. Kaiau penyebab tidak bahagia ini lenyap, apakah kita butuh kebagiaan lagi? Tentu tidak, karena kita sudah bahagia! Mengertikah engkau muridku?” “Teecu mengerti, Suhu. Akan tetapi kalau demikian halnya, mengapa kebanyan dari kita tidak merasakan kebahagiaan itu Pada hal tidak ada gangguan yang membuat kita tidak bahagia.” “ltuiah ulah nafsu, muridku yang, Seperti juga kaiau kita sedang tidak sakit sama sekali, apakah kita dapat menikmati adaan sehat itu? Pada umumnya tidak. Kesehatan itu tidak dirasakan sama sekali. Demikian pula kebahagiaan. Kaiau tidak sesuatu yang membuat kita tidak berbahagia. kita masih tidak merasakan bahagi Mengapa? Karena hati akal pikiran kita terseret oleh nafsu-nafsu daya rendah yang selalu haus akan yang lebih dan tidak pernah dapat menikmati apa yang ada. Karena itu, sadarlah dan waspadalah, amati setiap gerak gerik pikiranmu. Kalau sudah tidak ada nafsu yang menyeretmu, maka engkau akan dapat merasakan kehadiran Tuhan di dalam dan di luar dirimu, merasakan Kekuasaan Tuhan yang penuh kasih dan berkah, dan engkau akan selalu menyukuri dan memuji namaNya. Dalam keadaan seperti itulah manusia baru dapat merasakan apa yang disebut bahagia itu.” “Terima kasih, Suhu. Mudah-mudahan teecu akan mampu menghayati semua keterangan yang Suhu berikan. Mudah- mudahan pengertian teecu ini bukan hanya sekedar pengertian pikiran belaka, melainkan menembus ke lubuk hati yang paling dalam sehingga menjadi penuntun bagi langkah teecu dalam kehidupan. Mudah-mudahan Tuhan akan selalu memberi bimbingan kepada teecu, sehingga teecu akan dijauhkan dari perbuatan sesat.” “Cukuplah pembicaraan tentang nilai nilai kehidupan ini, Sin Cu. Apakah engkau sudah berlatih silat?.” “Sudah, Suhu. Sebelum matahari terbit tadi. sebelum Suhu datang kepantai ini, teecu sudah berlatih. Pertanyaan Suhu masih mengingatkan teecu akan sebuah hal yang mengganggu perasaan teecu, yaitu tentang ilmu silat yang Suhu ajarkan kepada teecu.

“Ada apa dengan ilmu silat, Sin Cu?” “Suhu. seringkali timbul dalam pemahaman teecu. Suhu selalu mengajarkan teecu agar dalam hidup ini selalu harus bersikap lembut, tidak menggunakan kekerasan akan tetapi di lain pihak Suhu mengajarkan ilmu silat kepada teecu. Bukankah ilmu silat itu merupakan ilmu cara mempergunakan kekerasan? Bukankah ilmu silat itu di gunakan untuk berkelahi dengan orang lain, untuk menyerang dan mengalahkan orang sehigga dengan demikian, ilmu silat akan mengakibatkan terjadinya permusuhan?” “Sama sekali tidak, Sin Cu. ilmu silat ya ilmu silat, tidak dapat dikatakan baik maupun buruk. llmu silat adalah suatu ilmu seperti juga ilmu-ilmu yang Iain di dunia ini. Setiap macam ilmu itu tidak mempunyai sifat baik maupun buruk karena baik buruk itu tergantung dari si orang yang menguasainya. Kalau suatu ilmu dipergunakan untuk berbuat kebaikan, maka ilmu itu adalah sebuah ilmu yang baik. Sebaliknya kalau itu dipergunakan orang yang menguasainya untuk berbuat kejahatan, maka jahat ilmu itu jadinya! Seperti sebatang Pisau itu hanya alat, wajar saja, tidak baik dan juga tidak buruk. Tergantung bagaimana si pemilik pisau mempergunakan, Kalau dipergunakan untuk memotong sayur dan keperluan lain yang baik, maka pisau itu adalah alat yang baik. Sebaliknya kalau dipergunakan untuk menusuk perut orang, untuk membunuh, maka pisau itu menjadi sebuah alat yang jahat. Demikian pula dengan lmu silat. llmu silat menjadi sebuah ilmu yang jahat kalau dipergunakan untuk memaksakan kehendak sendiri dengan jalan kekerasan, untuk menindas orang lain, mencari menang sendiri, untuk melakukan kejahatan seperti merampok dan sebagainya. Akan tetapi kalau orang mempergunakan ilmu silat untuk membela kebenaran dan keadilan, kalau dipergunakan untuk membantu yang lemah tertindas, untuk menentang yang bertindak sewenang-wenang, maka ilmu silat menjadi ilmu yang baik. Mengertikah engkau, Sin Cu? Karena itulah, maka mempelajari ilmu silat haruslah dibarengi dengan mempelajari kebajikan.” Wajah Sin Cu yang tampan itu tampa berseri gembira.

“Terima kasih, Suhu. Sekarang legalah hati teecu mendengar keterangan Suhu ini. Teecu akan berlatih semakin tekun agar teecu dapat menguasai semua yang Suhu ajarkan untuk kelak teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan seperti yang Suhu maksudkan itu.” Pada saat itu, Bu Beng Siauw-jin menudingkan telunjuknya ke arah lautan dan berkata, “Lihat, ada perahu mendekat ke pantai ini!” Sin Cu menengok dan benar saja. Tampak sebuah perahu dengan cepat memenuju ke pantai di mana mereka berada,Perahu itu didayung oleh dua orang dan meluncur dengan cepat sekali. Sikap dua orang yang mendayung perahu itu tampak terge-gesa seperti mengejar sesuatu, bahkan beberapa kali berseru. Dari tempat mereka duduk guru dan murid itu kini dapat melihat bahwa dua orang dalam perahu itu mengejar sesuatu. Lalu mulai tampaklah oleh mereka bahwa yang dikejar itu adalah sesuatu yang berenang di depan perahu. Agaknya mereka mengejar sebuah ikan besar yang berenang melarikan diri.

Akan tetapi setelah perahu itu datang agak dekat dengan pantai, Sin Cu dan Bu Beng Siauw-jin melihat bahwa yang dikejar oleh perahu itu bukan seekor ikan besar, melainkan seorang laki-laki yang berenang dengan kecepatan seekor ikan berenang! Tubuh orang itu meluncur dengan cepatnya, kedua lengannya bergerak seperti kitiran, kedua kakinya bergoyang-goyang dan tubuh itu meluncur sedemikian cepatnya sehingga perahu yang didayung oleh dua orang itu tidak mampu mengejarnya. Padahal perahu itupun meluncur dengan kecepat luar biasa, menunjukkan bahwa dua orang yang mendayung perahu itu memiliki tenaga besar. Setelah tiba di tepi, orang itu berdiri dan berlari ke pantai menerjang air yang hanya setinggi lututnya itu. Sin Cu dan Bu Beng Siauw-jin melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang berusia kurang lebih lima puluh tahun.

Pakaíannya seperti pakaian seorang nelayan dengan baju sederhana dan celana setinggi di bawah lutut, kedua kakinya telanjang. Rambutnya diikat ke atas dengan kain hitam dan pakaiannya juga terbuat dari kain hitam. Orang itu berusaha sedapat mungkin untuk berlari cepat dalam air itu menuju ke pantai berpasir. Akan tetapi begitu kakinya menginjak pasir, tiba-tiba dua orang yang berada dalam perahu yang kini tidak dapat didayung maju lagi karena sudah terdampar, tiba-tiba meloncat dan tubuh mereka melayang bagaikan dua ekor burung garuda. Cepat sekali loncatan mereka itu sehingga mereka tiba lebih dulu di pantai dan ketika mereka turun, mereka tiba di depan orang yang melarikan diri itu. Sin Cu dan Bu Beng Siauw-jin memandang kepada dua orang yang menghadang si pelarian itu dengan penuh perhatian.

“Hek Pek Moko...!!” bisik Bu Beng Siauw-jin. Sin Cu menjadi semakin heran dan penuh perhatian mendengar disebutnya Hek Pek Moko (Manusia Iblis Hitam dan Putih) itu. Seorang di antara mereka mengenakan pakaian serba putih dan yang mengerikan adalah warna muka dan tangannya yang semuanya putih seperti dicat! Adapun orang kedua menjadi kebalikan dari orang per tama. Orang ke dua itu berpakaian serba hitam dan kulit muka dan tangannya juga berwarna hitam seperti arang! Orang tinggi kurus yang melarikan diri tadi kini berdiri terbelalak dengan muka pucat memandang kepada dua orang yang sudah berdiri di depannya.

“Can Kui, engkau hendak lari ke mana?” bentak si muka putih yang berjuluk Pek Moko (Manusia Iblis Putih) sambil tersenyum mengejek.

“Can Kui, mau atau tidak mau engkau harus mernenühi perintah kami untuk menyelam dan mengambil pedang pusaka itu!” kata pula Hek Moko (Manusia Iblis Hitam) dengan bengis. Biarpun mukanya pucat dan pandang matanya membayangkan rasa takut, namun orang tinggi kurus yang bernama Can Kui itu berdiri tegak dan sikapnya tegas.

“Tidak, aku tidak akan mau membantu kalian yang kejam. Kalian sudah membunuh semua penghuni perahu itu dan menenggelamkan perahu. Aku tidak mau membantu kalian menyelam dan mendapatkan yang kalian cari!” “Jahanam busuk! Beranikah engkau menentang Hek Pek Moko? Apakah engkau sudah bosan hidup?” Akan tetapi Can Kui menjawab dengan suara tegas.

“Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi untuk menyelam mengambil benda orang-orang malang itu aku tidak mau.” “Engkau patut dihajar!” kata Hek mo ko dan si muka hitam ini sudah menggerakkan tangannya untuk memukul dada si tinggi kurus itu. Namun kiranya Can Kui memiliki gesitan juga karena dia mampú menghindkan pukulan itu dengan miringkan tubuh ke kiri. Hek Moko menjadi penasaran ketika pukulannya luput. Dia menerjang lagi. Can Kui membela diri, mengelak, menangkis bahkan membalas dengan pukulan yang cukp kuat. Terjadilah perkeiahian seru di tepi laut itu. Akan tetapi sekilas pandang saja tahulah Sin Cu bahwa Hek Moko bukanlah lawan seimbang bagi Can Kui. Baru saja pertarungan itu berlangsung belasan jurus, tendangan kaki kiri Hek Moko mengenai dada Can Kui, membuat nelayan itu roboh terjengkang dan jatuh ke atás pasir sampai terguling-guling. Dengan beberapa lompatan, Hek Moko sudah mengejarnya dan menginjakkan kaki kanannya di atas dada Can Kui sambil membentak, “Nah, katakanlah bahwa engkau mau menaati perintah kami, atau aku akan menginjak hancur dadamu!” Akan tetapi sebelum Can Kui menjawab, tiba-tiba Sin Cu yang sudah tidak dapat menahan rasa penasaran di hatinya dan setelah memandang dengan penuh permohonan kepada Suhunya dan Suhunya mengangguk, telah melompat ke dekat Hek Moko dan menegur.

“Memaksakan kehendak dengan kekerasan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu merupakan perbuatan jahat!” Hek Moko dan Pek Moko memandang kepada orang yang berani mencampuri urusan mereka dan melihat bahwa yang menegurnya hanyalah seorang pemuda remaja. Hek Moko melepaskan tindihan kakinya dari dada Can Kui dan dia tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kukira siapa yang menegurku, tidak tahunya hanya seorang bocah lancang. Heh, bocah kurang ajar, cepat engkau pulang ke pangkuan ibumu sebelum kubunuh engkau!” bentaknya. Dengan sikap tenang dan suara lantang Sin Cu berkata, “Paman, engkaulah yang patutnya pergi dari sini, kembali ke tempat asalmu dan jangan menggunakan kekerasan untuk memaksa dan mengganggu orang ini !” Tentu saja Hek Moko menjadi marah sekali. Tidak disangkanya akan ada seorang pemuda remaja yang mengganggu usahanya memaksa Can Kui.

Dia dan Pek Moko saling pandang merasa bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mengambil pedang pusaka dari dasar lautan. Mereka berdua menerima tugas dari Liu-Thaikam untuk melakukan pengejaran terhadap seorang panglima tua, yaitu Panglima Kwee yang melarikan diri bersama keluarganya keluar kota raja.

Panglima tua Kwee ini merupakan seorang antàra musuh-musuh Liu-Thaikam yang paling dibencinya karena panglima tua itu tiada hentinya berusaha untuk menentang semua “kebijaksanaannya”. Akan tetapi sebelum Liu-Thaikam dapat mengirim para jagoannya untuk membunuh Panglima Kwee itu, sang panglima sudah lebih dulu melarikan diri bersama keluarganya. Karena itu, Hek Pek Moko mendapat tugas untuk melakukan pengejaran dengan pesan agar membunuh Panglima Kwee dengan keluarganya dan tidak lupa agar merampas sebatang pedang pusaka milik Panglima Kwee. Panglima tua ini pernah menerima sebatang pedang pusaka dari mendiang Kaisar tua untuk menghargai jasa-jasanya. Pedang pusaka itu disebut Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Putih) karena bentuknya yang berupa naga berwarna putih.

Karena percaya bahwa pedang pusaka ini bertuah dan merupakan pusaka yang amat langka dan berharga, maka Liu-Thaikam memesan kepada Hek Pek Moko untuk merampasnya. Hek Pek Moko melakukan pengejaran. Ketika mereka mendapat keterangan bahwa Panglima kwee yang melarikan diri itu menggunakan perahu di lautan timur, merekapun melakukan pengejaran dengan menggunakan sebuah perahu pula. Di tengah lautan, mereka dapat menyusul perahu panglima itu. Karena Panglima Kwee dan keluarganya yang berada di perahu yang lebih besar itu siap membela diri dengan menggunakan tombak dan pedang, maka sukarlah bagi Hek Pek Moko untuk menerjang ke atas perahu yang lebih besar itu. Karena itu mereka lalu menggunakan pedang mereka untuk membacoki bagian bawah perahu besar itu sehingga perahu itu bocor di sana sini dan tenggelam! Hek Pek Moko kini mendapat kesempatan untuk membantai mereka yang mencoba untuk menyelamatkan diri dengan berenang. Demikian pula, Panglima Kwee terbunuh. Dari atas perahu kecil mereka, Hek Pek Moko membabatkan pedang mereka, membunuhi semua penghuni perahu besar dan perahu itu tenggelam. Setelah perahu besar tenggelam dan semua penghuninya tewas, baru teringatlah Hek Pek Moko akan pesan Liu-Thaikam tentang pedang pusaka Pek-liong-po-kiam itu. Mereka terkejút dan menyesal karena semua benda telah ikut tengelam dengan perahu itu. Mereka lalu pergi ke dusun nelayan terdekat dan mencari seorang penyelam. Atas keterangan para nelayan,mereka menemukan Can Kui yang terkenal di antara para nelayan sebagai seorang penyelam yang ulung. Mereka lalu membujuk Can Kui untuk menyelam dan mencarikan pedang pusaka itu dengan janji upah besar.

Akan tetapi, sungguh tidak pernah mereka sangka bahwa Can Kui tadi berada dalarn perahunya dan menyaksikan pembantaian dan penenggelaman perahu yang dilakukan Hek Pek Moko. Maka dia menolak keras untuk membantu. Hek Pek Moko yang menemui Can Kui sedang berada dalam perahu mencari, ikan itu, menjadi marah dan hendak memaksanya, mengancam akan membunuhnya. Ketika Hek Pek Moko hendak membunuhnya dengan serangan pedang, Can Kui terjun ke laut dan ternyata dia dapat berenang dengan cepat sekali seperti ikan. Hek-Pek Moko mengejar dengan perahu mereka, akan tetapi tidak mampu menangkapnya dan setelah Can Kui tiba di pantai, barulah dua orang datuk itu dapat menyusulnya dan hampir membunuhnya. Akan tetapi pada saat Hek Pek Moko sudah menangkap Can kui, Sin Cu datang dan menegurnya sehingga tentu saja Hek Moko marah sekali kepada pemuda remaja yang berani menegurnya.

“Bocah kurang ajar, engkau layak mampus!” katanya dan dia segera menerjang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Cu.

Dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja dengan pukulan yang mengandung tenaga ,sakti itu tentu dia akan mampu menghancurkan kepala pemuda remaja itu Namun, dengan mudah dan tenang Sin cu mengelak sambil miringkan tubuhnya. Hek Moko menjadi marah dan penaşaran ketika pukulan pertamanya luput. Cepat dia membalik sambil mengayun tangan dan kini tangan kirinya yang menyambar dengan tamparan yang amat kuat, ke arah dada pemuda itu. Kembali Sin Cu mengelak. Marahlah Hek Moko. Dia lalu menerjang dan menghujankan serangan dengan kedua tangan dan kedua kakinya. Cepat dan kuat bukan main gerakan kaki tangan Hek Moko ini sehingga terdengar angin bersiutan. Namun, terjadilah hal yang bagi Hek Moko amat aneh dan membuatnya penasaran bukan main.

Ternyata pemuda remaja itu berkelebatan dengan gerakan yang luar biasa sekali, melangkah ke sana sini dan semua serangannya luput! Dia tidak tahu bahwa ketika diserang secara bertubi-tubi itu, Sin Cu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat tangguh dan dia harus dapat menghindarkan diri dari serangan bertubi yang amat kuat itu. maka dia lalu menggunakan ilmu Chit- Seng Sin-Po (Langkah Sakti Tujuh Bintang). Langkah-langkah aneh ini demikian banyak perubahannya dan ke manapun lawan menyerang, tubuh Sin Cu dapat menghindar dengan lincah sekali. Pemuda yang baru sekali ini mempraktekkan ilmu silat yang telah lama dipelajarinya dan sekaligus bertemu dengan lawan yang amat tangguh, lama-lama merasa terancam juga kalau harus mengelak terus. Sudah lebih dari tiga puluh jurus dia mempergunakan Chit-seng Sin-po untuk mengelak.

Suhunya pernah berkata bahwa pembelaan diri dan pertahanán yang baik adalah balas menyerang. Maka diapun mulai balas menyerang dan begitu menyerang, dia segera menggunakan ilmu It-yang-ci(Menotok Satu Jari) dan kedua jari telunjuknya menyambar-nyambar, menotok ke arah jalan jalan darah di tubuh lawan. Serangannya mengeluarkan bunyi bercuitan sehingga He Moko menjadi terkejut bukan main. Datuk yang sudah berpengalaman ini maklum bahwa totokan pemuda remaja itu mengandung tenaga sakti yang tidak boleh dipandang ringan dan amat berbahaya. Maka diapun menjaga agar jangan sampai terkena totokan dengan elakan atau tangkisan. Lima puluh jurus telah lewat dan Hek Moko belum juga mampu mendesak Sin Cu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa malu, penasaran dan marah sekali.

“Bocah setan, sambutlah ini!” Dia berseru keras dengan suara seperti gerengan seekor singa marah. Kedua lengannya digetarkan dan kulit lengan yang sudah hitam itu berubah semakin gelap, kemudian menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke arah Sin Cu.

Itulah ilmu pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang merupakan inti dari semua ilmunya, amat berbahaya karena pukulan itu selain kuat sekali, juga mengandung hawa beracun dingin yang mampu membunuh orang dari jarak jauh! Biarpun dia belum berpengalaman dalam pertandingan, namun berkat gemblengan Bu Beng Siauw-jin yang teliti, Sin Cu da dapat menduga bahwa dia menghadapi pukulan Sin-Kang (tenaga sakti) yang amat berbahaya. Karena itu, diapun mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah hendak menerima inti kekuatan sinar matahari, kemudian diapun mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah lawan untuk menyambut pukulan yang dahsyat tadi. Inilah pukulan Thai-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Matahari) yang telah dipelajari Sin Cu. Walaupun dia belum menguasainya dengan sempurna namun pukulannya itu sudah mengandung tenaga yang kuat sekali.

“Wuuwuttt desss...!” Dua tenaga sakti raksasa bertabrakan di udara dan kedua orang itu terdorong mundur sampai tujuh langkah.

Tentu saja Hek Moko terkejut bukan main. Ternyata pemuda remaja itu bukan saja mampu menahan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan telah membuatnya terdorong mundur dan kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar. Melihat betapa rekannya tidak mampu mengalahkan pemuda remaja itu, apalagi membunuhnya, Pek Moko juga menjadi terkejut dan marah.

“Mari kubantu engkau membunuh bocah setan itu, Hek-te (adik Hek)!” Setelah berkata demikian, Pek Moko dengan langkah lebar menghampiri Sin Cu yang sudah menguasai lagi keseimbangan tubuhnya dan dia tidak menderita luka, terlindung oleh Sin-Kang (tenaga sakti) yang amat kuat. Hek Moko juga sudah bangkit dan mengikuti Pek Moko menghampiri Sin-cu. Dua orang datuk itu menghampiri Sin cu dengan sikap mengancam dan agaknya mereka sudah bersepakat untuk membunuh pemuda remaja itu. Melihat ini, Bu Beng Siauw-jin maju mendekati Sin Cu dan berkata, “Sin Cu, engkau mundurlah dan biarkan aku yang menghadapi Hek Pek Moko.” Sin Cu merasa lega. Melawan seorang Hek Moko saja dia sudah merasa berat walaupun dia belum kalah, apalagi harus menandingi Hek Moko dan Pek Moko berdua. Dia lalu melangkah mundur dan berdiri di belakang gurunya. Hek Moko dan Pek Moko berhenti melangkah ketika mereka melihat seorang kakek yang tubuhnya dilibat-libat kain kuning, dan yang tersenyum-senyum ramah dan lembut kepada mereka.

“Jembel tua! Mau apa engkau?” bentak Pek Moko.

“Sahabat-sahabat, kalau muridku itu ada membuat kesalahan terhadap kalian, aku hendak mintakan maaf. Maafkanlah yang masih muda dan mari kita berpisah dalam keadaan aman dan damai.” Mendengar bahwa kakek ini adalah guru pemuda yang lihai tadi, Hek Pek Mok menjadi semakin marah.

“Hemm, muridmu kurang ajar telah berani mencampuri urusan kami. Engkau sebagai gurunya tidak mampu mengajarnya, maka biarlah sekarang aku yang akan mengajarmu!” Setelah berkata demikan, Pek Moko lalu memutar-mutar kedua tangannya ke atas kepala. Kedua lengan yang berkulit putih seperti dicat putih itu kini menjadi semakin putih dan kedua tangannya mengeluarkan asap. Ada hawa yang panas sekali keluar dari kedua tangan itu. Hek Mo ko juga mengerahkan Sin-Kangnya dan kedua tangannya berubah semakin hitam dan mengeluarkan hawa yang amat dingin.

Kalau Hek Moko mengeluarkan ilmunya yang disebut Hek-tok- ciang (Tangan Racun Hitam), Pek Moko mengeluarkan ilmunya yang lebih ampuh lagi dan disebut Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih). Maklum bahwa kedua orang tokoh sesat itu hendak mempergunakan ilmumu mereka yang diandalkan dan amat berahaya, Bu Beng Siauw-jin juga membuat persiapan. Lutut kirinya ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan tangan kirinya menyentuh tanah, sedangkan tangan kanannya diangkat lurus- lurus ke atas. Dia membuat gerakan seolah-olah dia hendak menyedot kekuatan dari bumi dengan tangan kirinya dan menyedot kekuatan dari langit dengan tangan kanannya. Gerakan ini menunjukkan bahwa Bu Beng Siauw-jin hendak mengumpukan Im-yang-Sin-Kang (Tenaga Sakti Im dan Yang) yang merupakan inti kekuatan dari ilmu Im-Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti ln dan Yang).

“Haaittt...” Hek Moko sudah menerjang dengan pukulan tangannya yang mengandung hawa dingin.

“Hemm…” Bu Beng Siauw-jin cepat menggerakkan tubuhnya, mengatur langkah Chit-seng Sin-po dan mengelak dengan cepat sekali. Dua orang lawannya menyerang semakin cepat, bertubi- tubi, namun tubuh Bu Beng Siauw-jin juga bergerak semakin cepat, berkelebatan dan seolah tubuh itu berubah menjadı bayangan yang amat sukar di pukul.

Makin cepat kedua orang itu menyerang, semakin cepat pula tubuh Bu Ben Siauw-jin menghindar sehingga tiga orang itu tidak lagi tampak bentuk tubuh mereka Yang tampak hanyalah bayangan kuning yang dikejar-kejar bayangan hitam dan bayangan putih! Sin Cu yang menonton menjadi terbelalak kagum. Chit-Seng Sin-Po yang dimainkan gurunya sedemikian hebatnya diam-diam dia memperhatikannya dengan seksama. Setelah melihat gurunya dikeroyok dua orang itu, baru dia tahu bahwa ilmu langkah ajaib itu benar-benar dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang tangguh dan berbahaya. Akan tetapi dia merasa khawatir juga. Dua orang yang mengeroyok gurunya itu selain memiliki ilmu yang tinggi dan berbahaya, juga mereka berdua itu dapat bekerja sama dengan amat baiknya.

Gerakan mereka itu seolah saling menunjang dan saling melindungi. Tahulah dia bahwa dua orang itu memang merupakan pasangan yang telah melatih diri untuk maju bersama secara teratur dan rapi. Akan tetapi mengapa gurunya hanya mengelak terus? Biarpun Chit-seng Sin-po yang dikuasai gurunya itu sudah mencapai tingkat sempurna, namun kalau hanya mengelak terus, sampai kapan gurunya akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai pemenang? Pula, membiarkan diri terus menerus didesak dan diserang akhirnya akan merugikan diri sendirl. Setelah kelelahan tentu gerakan gurunya tidak secepat semula dan hal ini akan membahayakan gurunya. Setelah lewat dari tiga puluh jurus mereka menyerang terus tanpa pernah berhasil mengenai tubuh kakek yang mereka keroyok, dua orang Hek Pek Moko itu menjadi marah sekali.

Agaknya inilah yang dinantikan Bu Beng Siauw-jin. Menanti sampai dua orang lawannya menjadi marah karena kemarahan merupakan kelemahan dan membuat orang menjadi lengah. Yang ada hanyalah nafsu ingin merobohkan lawan, seluruh daya dikerahkan untuk menyerang tanpa memperdulikan pertahanan. Setelah ke dua orang itu marah-marah dan penyerangan mereka semakin gencar dan semakin kuat, Barulah Beng Siauw-jin melihat lubang-lubang kelemahan pada pertahanan mereka. Tiba tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia mulai balas menyerang! Karena maklum akan kelihaian dua orang lawannya, begitu balas menyerang, Beng Siauw-jin telah memainkan It-yang-ci. Gerakannya cepat bukan main dan karena sejak tadi dia sudah melihat lubang-lubang dan kesempatan dalam pertahanan dua orang lawannya, maka secepat kilat dua buah jari telunjuknya menyerang.

“tukk... tukk...” dua kali jari telunjuknya bertemu tubuh Hek Pek Moko dan dua orang itupun terkulai roboh tertotok! Akan tetapi hanya sebentar saja mereka terkulai dan tidak mampu bergerak lagi karena Bu Beng Siauw-jin sudah cepat menghampiri mereka dan menepuk pundak mereka masing-masing satu kali. Dua orang itu dapat bergerak lagi dan mereka melompat bangkit dan tidak berani menyerang lagi. Akan tetapi dengan mata mendelik mereka memandang kepada Bu Beng Siauw-jin dan Pek Moko bertanya dengan suara kaku.

“Siapakah engkau? Siapa namamu?” Bu Beng Siauw-jin tersenyum dan menggeleng kepala.

“Aku hanyalah seorang rendah tanpa nama.” Akan tetapi jawaban itu cukup mengejutkan Hek Pek Moko.

“Bu Beng Siauw-Jin…!! Hemm, jadi Bu Beng Siauw-jin kiranya engkau? Biarlah lain kali kita bertemu lagi,” kata Pek Moko. Setelah berkata demikian, dua orang itu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa mereka merasa jerih terhadap Bu Beng Siauw-jin, sebuah nama yang sudah mereka kenal lama akan tetapi baru sekarang mereka bertemu dengan orangnya.

“Suhu, siapakah mereka itu?” Sin Cu bertanya kepada gurunya.

“Mereka adalah Hek Moko dan Pek Moko, terkenal dengan julukan Hek Pek Mo, karena ke manapun mereka selalu pergi berdua. Aku sudah lama mengenal nama mereka dan mudah saja mengenal mereka ketika bertemu dengan melihat keadaan dan warna kulit mereka. Yang seorang putih, yang lainnya hitam. Ternyata mereka bukan bernama kosong belaka. Ilmu kepandaian mereka hebat dan berbahaya.” Pada saat itu, nelayan tadi menghampiri mereka dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Cu dan gurunya.

“Saya Can Kui menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan jiwi (kalian berdua). Tanpa pertolongan jiwi, mungkin sekarang saya telah mati di tangan dua orang penjahat itu.” Sin Cu mewakili gurunya mengangkat bangun Can Kui yang berlutut.

“Bangunlah, paman, tidak perlu begini. Apa yang kami lakukan itu hanyalah merupakan pelaksanaan kewajiban kami belaka.” Karena dipegang kedua pundaknya dan ditarik, maka Can Kui terpaksa bangkit berdiri dan memberi hormat dengan kedua tangan di depan dada sambil berdiri.

“Akan tetapi, saya berhutang budi kepada ji-wi.” “Kami juga tidak menghutangkan budi, paman. Kalau paman hendak berterima kasih dan merasa berhutang budi, maka tujukanlah itu kepada Thian (Tuhan), karena sesungguhnya, Kekuasaan Thian sajalah yang telah menyelamatkan paman. Sedangkan kami hanya menjalankan kewajiban.” “Saudara Can Kui, apa yang dikatakan muridku itu memang benar. Jangan bicara lagi tentang budi, karena hal itu hanya akan menimbulkan ikatan karma kepada kita bertiga,” kata Bu Beng Siauw-jin sambil tersenyum lembut.

“Baiklah kalau Lo-Cianpwe (orang tua gagah) berkata demikian. Akan tetapi tentu jiwi tidak keberatan untuk memberitahukan nama ji-wi kepada saya,” kata Can Kui yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seoang yang sakti dan berwatak aneh. Namaku Bu Beng Siauw-jin dan muridku ini bernama Wong Sin Cu. Akan tetapi sesungguhnya apakah yang terjadi, sobat? Mengapa dua orang itu tadi mengejarmu dan hendak membunuhmu?” “Sebetulnya saya sendiri tidak mengenal duá orang jahat itu, Lo- Cianpwe. Saya sedang menangkap ikan ketika saya melihat sebuah perahu besar diserang oleh dua orang itu yang berada di perahu kecil. Dua orang itu telah membocorkan perahu dan membantai seluruh penghuni perahu. Kejadian itu amat mengejutkan saya, juga menakutkan saya. Biarpun saya sendiri menguasai sedikit ilmu silat, akan tetapi saya tahu bahwa saya bukanlah lawan dua orang itu yang amat lihai. Oleh karena itu saya tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa saya melihat saja dari jauh ketika dua orang itu dengan kejamnya membunuhi semua penghuni perahu. Kemudian, perahu besar itu tenggelam dan semua penghuninya mati dalam keadaan yang amat menyedihkan. Saya melanjutkan pekerjaan saya menangkap ikan dan menjauhi tempat pembantaian itu.” Can Kui berhenti bercerita dan menghela napas panjang, tampaknya masih merasa ngeri kalau teringat akan semua peristiwa yang mengenaskan itu. Sin Cu dan gurunya mendengarkan penuh perhatian.

“Paman Can Kui, tahukah paman siapa orang-orang yang mereka bantai itu dan berapa jurmlah mereka?” “Saya sama sekali tidak mengenal mereka. Jumlah mereka ada belasan orang dan saya bahkan, melihat wanita dan anak-anak yang ikut dibantai pula. Sungguh perbuatan mereka itu biadab dan kejam sekali. Yang jelas, dua orang itu bukan membunuh untuk merampok dan entah mengapa mereka membunuh semua orang itu, juga entah siapa yang mereka bunuh. Akan tetapi saya melihat beberapa orang yang melihat pakaian mereka seperti bangsawan. Juga wanita dan anak-anak yang dibunuh itu, berpakaian seperti keluarga bangsawan.” “Sian-cai (damai)...! Betapa banyaknya manusia yang membiarkan dirinya diperhamba oleh nafsu daya rendah sehingga tega dan tidak berprikemanusiaan,” kata Bu Beng siauw-jin. “Akan tetapi bagaimana selanjutnya saudara Can Kui?” “Saya melanjutkan pekerjaan saya menangkap, ikan agak jauh dari tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu muncul dalam perahu mereka, ternyata mereka itu sengaja mencari saya,mereka mendengar dari para nelayan bahwa saya mempunyai kemampuan untuk menyelam dan sudah terbiasa menyelam untuk mencari dan mengumpulkan karang-karang yang indah. Mereka membujuk saya untuk menyelam di tempat tadi, untuk mencari dan mengambil sepotong pedang pusaka yang ikut tenggelam bersama perahu besar itu. Karena amat membenci mereka, saya tidak sudi membantu, Saya menolak dan mereka menyerang saya. Saya melarikan.diri dengan perahu, akan tetapi mereka dapat mendayung perahu mereka cepat sekali, maka saya lalu meloncat ke air dan melarikan diri sambil berenang. Hanya dengan renang yang saya kuasai baik-baik saya dapat menghindarkan diri dari pengejaran mereka. akan tetapi setelah sampai di darat, akhirnya mereka dapat juga .menyusul saya dan selanjutnya ji-wi sudah mengetahui apa yang terjadi,” “Mereka agaknya ingin sekali mendapatkan pedang pusaka yang tenggelam bersama perahu itu. Sebaiknya kalau engkau pergi mengungsi ke tempat lain, saudara Can kui. Kalau tidak, mereka tentu akan datang lagi dan memaksamu untuk menyelam dan mencarikan pedang itu.” ““Memang sebaiknya begitu, Lo-Cianpwe. Akan tetapi sebelum saya pergi, saya ingin lebih dulu menyelam ke tempat itu dan mendapatkan pedang pusaka yang mereka cari itu,” kata Can Kui dengan suara tegas. Sin Cu mengerutkan alisnya dan cepat bertanya, “Paman Can, engkau sungguh aneh sekali. Dua orang tadi menyuruhmu menyelam dan mengambilkan pedang pusaka dan paman tidak mau, bahkan rela dibunuh daripadai harus mengambi! pedang itu. akan tetapi kenapa sekarang paman bahkan ingin mengambilnya sendiri? Untuk apa paman mengambil pedang pusaka yang bukan milik paman?” Hati pemuda itu merasa tidak senang dengan sikap penyelam dan nelayan itu. Can Kui berkata dengan suara sungguh-sungguh.

“Memang pedang pusaka itu bukan milik saya, sicu (orang muda gagah). Akan tetapi sekarang pedang itu bukan milik siapa-siapa lagi karena pemiliknya telah tewas semua. Sayang kalau sebatang pedang pusaka dibiarkan saja dalam laut. Tentu akan rusak. Sebatang pedang pusaka yang dicari seorang datuk jahat itu tentu merupakan sebatang pedang pusaka yang amat baik dan ampuh, dan sudah sepatutnya menjadi milik seorang pendekar besar yang budiman. Setelah melihat sepak terjang Wong-sicu yang masih muda sudah meniliki kegagahan dan juga berbudi mulia, seorang pendekar yang bijaksana, maka timbul keinginan hati saya untuk mengambil pedang pusaka itu dan memberikannya kepada Wong- sicu sicu sebagai hadiah!” “Ah, jangan, paman Can! Tidak usah engkau berbuat begitu, bersusah payah mengambil pedang itu untuk diberikan kepadaku. Pertama, pedang itu bukan milikku dan aku tidak berhak memilikinya. Kedua, aku memang tidak membutuhkan pedang!” “Pedang itu kini bukan milik siapa-siapa, melainkan milik lautan, sicu. Sayang kalau air laut memakannya sampai berkarat dan habis. Saya sudah mengambil keputusan tetap untuk mencarinya sampai dapat agar dapat menyerahkakannya kepada Wong-sicul” Setelah berkata demikian, Can Kui berlari kelaut lalu berenang ke tengah, cepat sekali renangnya, tiada ubahnya seekor ikan. Sin Cu menandang kagum dan tak terasa lagi dia berkata, “Suhu, alangkah hebatnya ilmu dalam air yang dikuasai Paman can Kui! Belum pernah teecu (murid) melihat orang berenang secepat itu.” “Engkau benar, Sin Cu. Orang she Can itu memiliki ilmu kepandaian dalam air yang luar biasa dan jarang dimiliki orang. itu kepandaian yang sudah langka terdapat sekarang.” “Teecu ingin sekali dapat menguasai ilmu seperti itu, Suhu.” “Bagus! Kenapa tidak engkau angkat guru kepada Can Kui?” “Mengangkat guru?”

“Tentu saja. Kalau tidak menjadi muridnya, bagaimana engkau akan mampu berenang seperti itu? Sin Cu, engkau boleh saja menolak pemberian pedang itu. Akan tetapi kita tidak bisa membiarkan dia terancam bahaya. Kita harus menanti di sini sampai dia mendarat dengan selamat.” “Baik, Suhu.” Guru dan murid itu menanti di pantai berpasir, duduk bersila bermandikan cahaya matahari pagi yang sehat dan hangat. Bahkan Bu Beng Siauw-jin lalu mengajak muridnya untuk bersamadhi sambil membuka baju, untuk, memperkuat Thai-Yang Sin-Kang (Tenaga Sakti Inti Matahari) yang telah mereka latih dan kuasai. Sebentar saja guru dan murid ini sudah duduk diam seperti dua buah arca batu yang menerima cahaya matahari pagi sepenuhnya sehingga perlahan-lahan tubuh bagian atas mereka yang telanjang itu berkilauan karena keringat.

Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar