Makin jelaslah bagi Sin Cu bahwa langkah-langkah yang telah dipelajarinya itu besar sekali manfaatnya untuk menjaga diri dari serangan orang. Dia memandang penuh perhatian, akan tetapi pandang matanya menjadi kabur karena gurunya bergerak dengan amat cepatnya sehingga berubah menjadi bayangan yang berkelebatan diantara sinar golok-golok dan pedang-pedang. Tiba- tiba gerakan kakek itu berubah. Tidak lagi hanya menghindar dari sambaran senjata pengeroyoknya, melainkan kedua tangannya bergerak pula, cepat sekali dengan jari telunjuk kanan kiri membagi-bagi totokan dan limabelas orang anak buah gerombolan itu satu demi satu roboh terkulai dalam keadaan lemas dan tidak mampu bergerak kembali! Kini tinggal Siang-Kiam Mo-Ko seorang yang masih belum roboh.
“Siang-Kiam Mo-Ko, kalau engkau mau bertobat dan berjanji akan memimpin anak buahmu ke jalan benar, aku akan memaafkanmu. Kembalikan dua ekor sapi itu dan buang pedangmu lalu berjanjilah,” kata Bu Beng Siauw-jin dan Sin Cu mendengar betapa suara gurunya yang biasanya lemah lembut dan ramah itu kini mengandung wibawa yang amat kuat. Akan tetapi, agaknya tidak mudah menyadarkan hati yang sudah berkarat dengan kotoran dosa itu. Siang-Kiam Mo-Ko bahkan menjadi marah sekali karena merasa bahwa kesenangannya terganggu dan robohnya semua anak buahnya membuat dia merasa terhina dan sakit hati.
“Kakek sialan!” Bentaknya dan secepat kilat dia menubruk menyerang dengan sepasang pedangnya.
“Sian-cai .!”Bu Beng Siauw-jin mengelak ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, dia telah menotok siku kanan lawan sehingga lengan kanan sijenggot panjang itu tiba-tiba menjadi lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan. Bu Beng Siauw- jin menyambar pedang itu dengan tangan kanannya, kemudian tampak sinar pedang berkelebatan menyambar-nyambar ketika dia menggerakkan pedang rampasan itu.
“Aduhh! Aduhh!!” Dua kali dia mengaduh, pedang di tangan kirinya terlepas dan diapun jatuh terduduk, meringis kesakitan sambil menekan kedua tangannya ke atas paha. Darah bercucuran dari kedua tangannya yang kini tidak beribu jari lagi. Kedua ibu jari tangannya telah terbabat putus oleh pedangnya sendiri yang sudah dirampas kakek itu. Bu Beng Siauw-jin melempar pedang rampasannya ke atas tanah, merogoh sebuah bungkusan kertas dari balik jubahnya.
“Ini kuberi obat untuk menyembuhkan luka di kedua tanganmu dan untuk menghentikan darah yang keluar. Tengadahkan kedua tanganmu!” Sekali ini, karena tidak kuat menahan rasa nyeri, Siang-Kiam Mo-Ko menurut dan menjulurkan kedua tangannya yang tidak beribu jari lagi ke depan. Bu Beng Siauw-jin menuangkan bubuk obat berwarna merah ke atas luka di tangan itu dan ternyata obat itu manjur sekali. Darah berhenti mengucur dan rasa nyeri juga banyak berkurang.
Siang-Kiam Mo-Ko itu kini hanya duduk bengong sambil memandangi kedua tangannya, sadar sepenuhnya bahwa mulai saat itu dia telah menjadi seorang tapadaksa yang tidak akan mampu lagi memegang pedang, apa lagi mempergunakan pedang itu untuk bersilat. Bagi seorang yang ahli bermain senjata, mengandalkan senjata dalam berkelahi, kehilangan kedua ibu jari berarti kehilangan segala-galanya. Mulai saat itu, tidak mungkin lagi dia memimpin gerombolan. Tentu tidak ada anak buah yang mau tunduk terhadap dia yang tidak dapat lagi mengandalkan pedangnya untuk menjagoi. Bu Beng Siauw-jin lalu menghampiri limabelas orang anak buah gerombolan itu satu demi satu dan membebaskan totokan atas tubuh mereka dengan masing-masing diberi satu kali tepukan. Mereka semua dapat bergerak kembali, akan tetapi kini mereka tidak berani banyak lagak lagi karena mereka semua tahu bahwa pemimpin merekapun sudah dikalahkan oleh kakek yang amat sakti itu.
“Kalian semua orang-orang yang Sesat jalan! Bertaubat dan sadarlah kalian bahwa sikap dan perbuatan kalian yang sudah sudah hanya akan meyeret kalian ke dalam bencana. Kembalilah ke jalan benar. Bekerjalah dengan baik-baik sebagai petani atau buruh untuk mencari makan. Mudah mudahan peristiwa hari ini dapat menjadi pelajaran yang berguna bagi kalian. Nah,sekarang kalian boleh pergi meninggalkan tempat ini, membawa semua barang kalian kecuali dua ekor sapi rampasan itu!” Belasan orang yang memang sudah merasa gentar sekali terhadap kakek itu,tanpa bicara apa-apa lagi dan dengan menundukkan muka, pergi dari situ membawa barang-barang mereka. Dua ekor sapi yang ditambatkan di batang pohon itu mereka tinggalkan, “Sin Cu, lepaskan ikatan dua ekor sapi itu dan mari kita bawa pulang,” kata Bu Beng Siauw-jin. Dengan girang Sin Cu melepaskan tambatan kedua ekor sapi itu dan menuntun mereka, mengikuti gurunya keluar dari dalarm hutan.
Hatinya merasa gembira bukan main. Baru sekali ini dia menyaksikan kehebatan gurunya dan dia girang melihat sendiri betapa gurunya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, seorang yang amat sakti! Diapun membayangkan, bahwa kalau saja dia belum mempelajari ilmu langkah itu, dirinya tentu sudah menjadi korban serangan gerombolan dan kalau gurunya tidak menguasai ilmu silat yang tinggi, mungkin gurunya sudah tewas di tangan mereka dan dua ekor sapi itu tentu tidak bisa digiring pulang untuk diserahkan kepada anak itu. Terbuka matanya sehingga dia dapat melihat bahwa seperti juga ilmu bun (sastra), ilmu bu (silat) juga tidak kalah pentingnya. Di dunia ini banyak terdapat orang jahat dan tanpa memiliki ilmu bela diri yang dapat diandalkan, dirinya tentu hanya akan menjadi korban gangguan orang jahat.
Diapun berjanji kepada diri sendiri untuk melatih semua ilmu yang diberikan gurunya kepadanya dengan tekun. Anak penggembala sapi itu tentu saja merasa girang bukan main ketika dia melihat kakek Bu Beng Siauw-jin dan Sin Cu datang sambil menuntun dua ekor sapinya yang dilarikan orang. Wajahnya yang masih agak pucat dengan sepasang mata agak membengkak karena tangis itu kini menjadi cerah berseri. Dia segera menuntun dua ekor sapinya meninggalkan hutan di lereng itu, lupa untuk mengucapkan terima kasih saking girangnya! Setelah anak itu pergi dengan menuntun dua ekor sapinya, Bu Beng Siauw-jin berkata kepada Sin Cu, “Sin Cu, berkemaslah. Bawa semua barang yang kita perlukan dalam perjalanan, dan buntal baik-baik, Kita harus pergi dari sini sekarang juga. Sin Cu merasa heran dan memandang wajah gurunya dengan sepasang mata terbelalak.
“Eh, kenapa, suhu? Kenapa kita harus pergi dengan mendadak? Bukankah suhu mengatakan bahwa suhu suka tinggal di tempat yang indah ini? Belum ada satu bulan kita tinggal di sini!” Suhunya tersenyum.
“Terdapat banyak tempat yang indah-indah, Sin Cu. Kita terpaksa meninggalkan tempat ini karena aku tidak suka terganggu banyak orang yang tentu akan berdatangan di tempat kita ini.” “Siapakah yang akan datang ke tempat sunyi ini, suhu? Dan mereka itu mau apa?” “Anak itu tentu tidak akan tinggal diam, Sin Cu. Dialah yang akan bercerita tentang pengalamannya dan setelah mendengar ceritanya, tentu banyak orang akan datang ke sini.” “Akan tetapi, tentu orang-orang dusun itu datang bukan untuk mengganggu suhu bahkan untuk mengucapkan terima kasih, untuk mengagumi dan menyanjung suhu!” “Hemm, justeru itulah yang membuat aku ingin segera pergi. Kekaguman dan sanjungan itu memusingkan sekali, bahkan mengerikan!” “Ehh? Mengapa, suhu?” “Sudahlah, kemasi dulu barang-barang kita dan kita segera pergi dari sini. Nanti akan kuberitahukan kepadamu mengapa.” Sin Cu tidak bertanya lagi, melainkan segera bekerja. Tak lama kemudian mereka selesai berkemas karena memang barang mereka tidak banyak. Hanya beberapa potong pakaian sederhana, beberapa buah mangkok dan panci sebagai alat memasak dan makan, dan beberapa botol dan bungkus obat-obat milik kakek itu. Setelah selesai, berangkatlah mereka meninggalkan pondok itu. Sin Cu merasa berat hatinya dan kehilangan harus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Bu Beng Siauw-jin sama sekali tidak pernah menoleh dan melihat muridnya beberapa kali menoleh dia mengeluarkan suara tawa kecil.
“Kemelekatan mendiatangkan rasa kehilangan dan duka!” Mereka telah agak jauh dan mulai menuruni lereng bukit.
“Apa maksud suhu dengan ucapan itu?” “Engkau ingat tadi ketika kita baru saja meninggalkan pondok? Beberapa kali engkau menoleh dan engkau merasa kehilangan dan berduka harus meninggalkan tempat tinggal kita itu, bukan?” Sin Cu mengangguk.
“Benar, suhu. Teecu (murid) merasa sayang dan suka kepada pondok kita itu.” Bu Beng Siauw-jin tertawa.
“Merasa sayang karena tempat itu menyenangkan hatimu, bukan? Karena engkau merasa enak tinggal di sana? Nah, keenakan ini mendatangkan rasa sayang, dan rasa sayang menumbuhkan kemelekatan atau keterikatan, muridku. Sekali hatimu terikat atau melekat kepada sesuatu, berarti engkau telah membebani dirimu sendiri dan duka mulai membayangi dirimu.” “Mengapa begitu, suhu? Apa salahnya kalau kita menyayang sesuatu?” “Menyayang tanpa melekat adalah baik-baik saja karena yang menimbulkan duka adalah kemelekatan itulah. Tidak ada sesuatupun dalam kehidupan di dunia ini yang abadi. Perpisahan akan selalu terjadi menyusul kebersamaan, dan kalau tiba saatnya berpisah, kemelekatan dengan sesuatu yang terpisah dari kita akan melukai perasaan dan menimbulkan duka. Walaupun kita boleh mempunyai apapun juga dalam kehidupan ini, akan tetapi jangan memiliki apapun juga. Bahkan badan kita sendiri inipun bukan milik kita!” Sin Cu sudah banyak membaca kitab kuno yang dimiliki suhunya dan yang sekarang berada dalam buntalan yang digendongnya, akan tetapi ucapan gurunya itu membuatnya terheran dan tidak mengerti. Saking herannya, dia sampai menahan langkahnya dan bertanya.
“Suhu, apakah bedanya antara mempunyai dan memiliki? Bukankah artinya sama saja?” Bu Beng Siauw-jin juga berhenti melangkah dan dia menyadari bahwa ucapannya tadi membingungkan muridnya. Dia tersenyum. “Mari kita duduk di atas batu sana 1tu, dan aku akan menjelaskannya kepadamu. setelah mereka berdua duduk berhadap,an di atas sebuah batu besar dan Sin Cu menurunkan buntalannya ke atas batu itu pula, u Beng Siauw-jin lalu memberi penjelasan, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sin Cu, “Yang kumaksud dengan mempunyai adalah segala sesuatu yang ada pada kita, yang kita peroleh dan kita berhak atas sesuatu itu, seperti pondok kita yang kita bangun sendiri sehingga kita berhak atas pondok itu. Akan tetapi mempunyai ini hanya lahiriah saja, karena kita memerlukannya dan memakainya. Kita mempunyai akan tetapi tidak memiliki. Yang kumaksud dengan memiliki adalah apa bila yang kita punyai itu melekat ke dalam batin kita, menjadi milik batin kita sehingga kita tidak mau berpisah dengannya karena perpisahan mendatangkan rasa sakit dalam batin kita. Karena itu, kita harus belajar hidup tanpa memiliki apapun. Kalau apa yang kita punyai hilang, hal itu tidak berbekas apa-apa karena tidak ada kemelekatan dengan batin kita. Yang memiliki segalanya itu hanyalah Tuhan yang juga menjadi Pencipta dan Pemberi segalanya kepada kita. Kita hanya sekedar meminjam saja dan pada saatnya yang telah ditentukan olehNya, Dia akan mengambilnya kembali apa yang dipinjamkanNya kepada kita.
Inilah yang dinamakan hidup bebas, Sin Cu. Bebas dari pada kemelekatan berarti pula bebas dari pengaruh nafsu-nafsu daya rendah yang selalu ingin mernpengaruhi kita. Mengertikah engkau?” Sin Cu tidak menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng. Memang sesungguhnya dia hanya dapat setengah- setengah menangkap arti dari semua kata-kata itu, belum mengerti benar.
“Baiklah, tidak mengapa kalau engkau belum mengerti secara tuntas. Setidaknya engkau telah mendengar dan kelak engkau akan mengerti melalui pengalamanmu dalam hidup. Kelak, kalau engkau menginginkan dan mengejar untuk mendapatkan sesuatu, buka mata batinmu, amati penuh kewaspadaan dan engkau akan mampu melihat bahwa yang kaukehendaki dan kejar itu adalah sesuatu yang kauanggap akan menyenangkan dan menguntungkan dirimu. Inilah tandanya bahwa yang ingin dan mengejar itu adalah nafsu daya rendah yang menguasai dirimu, bukan keinginan jiwamu, Dan berhati-hatilah karena kalau batin sudah dikuasai nafsu, maka pengejaranmu itu akan membutakan mata batinmu, akan melenyapkan pertimbanganmu dan mengaburkan pengetahuanmu antara baik dan buruk. Ujar-ujar kuno yang mengatakan bahwa seorang kuncu (bijaksana) selalu waspada jika berada seorang diri, berarti bahwa seorang yang bijaksana selalu waspada terhadap gejolak pikirannya sendiri, karena biasanya hati akal pikiran itu sudah bergelimang nafsu, sehingga gejolak itu ditimbulkan oleh ulah nafsu. Semua perbuatan sesat didorong oleh keinginan yang datang dari gejolak nafsu inilah.” Sin Cu mengangguk-angguk. Penjelasan gurunya tentang nafsu agak lebih mudah dimengerti karena dia sudah banyak membaca tentang hal ini dalam kitab-kitab agama walaupun pengertiannya belun dalam taraf yakin karena dia belum pernah mengalaminya sendiri. Selama ini belum pernah dia merasakan adanya gejolak keinginan yang menggebu-gebu. Kebutuhannya amat terbatas bersahaja karena keadaan hidupnya yang sederhana bersama gurunya.
“Akan tetapi, tadi suhu mengatakan bahwa kekaguman dan sanjungan merupakan sesuatu yang memusingkan, bahkan mengerikan. Apa maksudnya, suhu? Tee-cu sama sekali tidak mengerti.” “Kekaguman dan sänjungan orang-orang terhadap diri kita merupakan racun yang amat manis, Sin Cu. Berhati-hatilah engkau menghadapi setiap sanjungan dan kekaguman orang terhadap dirimu. Hal ini membuat aku yang mengaku-aku dalam diri kita semakin membengkak, merasa diri paling hebat, paling pandai, paling baik dan segala macam paling lagi. Keadaan ini seperti gelembung buih yang semakin menggembung dan membubung tinggi, kemudian meledak dan lenyap di udara. Kekaguman dan sanjungan orang itu hanya akan membangkitkan kesombongan dan ketinggian hati dalam diri kita, amatlah berbahaya, maka kuanggap mengerikan. Bagiku, lebih baik aku segera menyingkir dan menjauhkan diri sebelum terseret ke dalam arus sanjungan yang beracun itu.” “Akan tetapi, kalau ada orang dipuji dan disanjung, hal itu tentu karena kepandaiannya, suhu, jadi sepatutnyalah kalau dia dipuji dan disanjung.” “Memang sudah selayaknya baginya memuji dan menyanjung, akan tetapi tidak semestinya bagi yang dipuji dan yang disanjung. Sepatutnya orang yang dipuji dan disanjung itu mengerti benar bahwa segala kepandaian yang ada pada dirinya itu bukan lain adalah kepandaian Tuhan Yang Maha Kuasa, yang diperlihatkan melalui hati akal pikirannya. Tuhan sajalah yang memiliki itu semua. Tanpa adanya kekuasaan Tuhan, maka orang yang dikatakannya pandai itu sebetuinya tidak mampu apa-apa. Jadi, hanya Tuhan sajalah yang patut untuk dipuji dan disanjung, bukan manusianya.” “Ah, mengertilah tee-cu sekarang, suhu. Jadi karena itukah suhu menggunakan nama Orang Rendah Tanpa Nama, dengan segala kerendahan hati?” “Engkau benar, Sin Cu. Aku mengerti benar bahwa tanpa adanya Kekuasaan Tuhan maka aku ini hanya seorang manusia lemah tidak mampu apa-apa. Aku melihat kekurangan dan kebodohanku sendiri, maka kalau ada yang terpaksa menanyakan namaku, aku mempergunakan sebutan itu.” “Akan tetapi, suhu, Tee-cu membaca kitab-kitab suci dan di situ ada dua sebutan yang paling bertentangan, yaitu Siauw-jin (Orang Rendah) dan Kun-cu (Orang Bijak sana). Kenapa suhu memilih sebutan orang rendah? Pada hal itu merupakan sebutan bagi orang-orang yang jahat dan hina.” “Memang aku sengaja menilih sebutan Siauw-jin karena aku tahu benar bahwa aku adalah seorang yang banyak dosa. Ketahuilah, Sin Cu. Orang yang merasa dirinya kotor, benar-benar merasa dirinya kotor bukan hanya pura-pura, maka orang itu tentu akan berusaha membersihkan dirinya yang kotor. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bersih, tentu tidak ada usaha darinya untuk membersihkan dirinya yang dianggapnya sudah bersih. Mana yang lebih baik antara keduanya itu, Sin Cu?” “Tentu saja jauh lebih baik orang yang rendah hati dan merasa dirinya kotor, karena tentu ada usaha keras untuk membersihkan kekotoran itu, suhu. Sama halnya dengan orang yang merasa dirinya bodoh, tentu orang itu akan selalu berusaha untuk meningkatkan pengetahuannya. Sebaliknya orang yang merasa dirinya pintar tentu tidak akan suka mendengar pendapat orang lain yang dianggapnya bodoh dan orang yang begini tidak akan pernah bertambah pengetahuannya.” “Memang begitulah. Orang yang merasa dirinya pintar seperti sebuah cawan yang telah penuh sehingga cawan itu tidak dapat ditambah lagi. Sebaliknya orang yang merasa dirinya bodoh seperti cawan yang tidak pernah dapat penuh, terus dapat menampung pengetahuan sebanyak mungkin tanpa merasa dirinya pintar. Orang yang merasa dirinya pintar seperti katak dalam tempurung. Karena itu, engkau harus selalu merasa rendah hati, Sin Cu, agar engkau mampu menampung pengetahuan sebanyak mungkin.” “Berkat bimbingan suhu, tee-cu yakin akan mampu bersikap seperti itu, suhu.” Mereka melanjutkan perjalanan mereka tanpa tujuan tertentu, bebas lepas seperti dua ekor burung terbang di udara, menikmati setiap pemandangan alam indah yang mereka lihat di sepanjang perjalanan mereka. Mulai hari itu, Sin Cu dilatih ilmu silat oleh gurunya dan anak ini berlatih dengan tekun sekali karena dia sudah yakin akan besarnya manfaat ilmu silat dalam penghidupan. Sejak kecil gurunya sudah menanamkan sifat gagah, pembela kebenaran dan keadilan dan menentang kejahatan dan untuk dapat bersikap seperti itu, dia harus memiliki ilmu silat yang tangguh.
Ketika Kaisar yang tua meninggal dunia, Pangeran Mahkota diangkat menjadi Kaisar. Dia adalah Kaisar Ceng Tek (1505 1520) yang diangkat menjadi kaisar dalam usia yang muda sekali, yaitu ketika dia berusia limabelas tahun. Menggunakan kesempatan selagi yang memegang tampuk pimpinan seorang kaisar muda yang kurang pengalaman dan lemah ini, mulailah para thai-kam (sida-sida, orang kebiri) berkiprah.
Mereka merupakan orang-orang yang amat pandai mencari muka, bermulut manis dan pandai merayu dan menjilat sehingga Kaisar Ceng Tek yang masih muda itu terjatuh dalam cengkeraman dan kekuasaan mereka yang menina bobokannya. Bagi Ceng Tek, mereka adalah orang-orang yang amat setia, pandai dan boleh diandalkan, yang rela mengorbankan nyawa untuk membaktikan diri kepadanya. Karena itulah, maka Kaisar Ceng Tek mulai menyerahkan kedudukan yang tinggi dan berkuasa kepada mereka. Bahkan seorang yang paling menonjol di antara para Thai- kam, yang bernama Liu Chin, diangkat menjadi penasihat Kaisar dan boleh dibilang Liu Chin ini yang memegang kendali pemerintahan di belakang Kaisar Ceng Tek yang dijadikan seperti sebuah boneka! Liu Chin, seperti sebagian besar para thai-kam, adalah orang-orang yang berasal dari daratan Cina bagian utara.
Kekuasaan mereka merupakan kekuasaan gabungan dari para thai-kam dan tentu saja banyak pejabat di daerah merasa tidak suka pada mereka. Kekuasaan para thai-kam ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan dan rasa tidak puas di daerah-daerah. Akan tetapi karena para pejabat daerah itu jauh dari kota raja, merekapun tidak berdaya mengingatkan kaisar mereka. Liu Chin yang memimpin gerombolan thaikam yang menguasai pemerintahan ini, seperti juga rekan-rekannya, merupakan orang yang amat tamak. Dia hanya memikirkan untuk menumpuk harta kekayaan saja, Karena dia dan para rekannya berkuasa, bahkan kuasa mengangkat para pejabat tinggi atas nama Kaisar, maka hanya mereka yang mampu membayar uang sogokan yang amat besar saja dapat memperoleh kedudukan tinggi.
Dan setelah orang-orang itu memperoleh kedudukan, mereka masih harus mengirim sumbangan besar setiap tahun kepada Liu Chin dan kawan-kawannya. Hal ini tentu saja memaksa si pejabat untuk mencari penghasilan yang besar dengan cara apapun juga.
Dengan mengenakan pajak-pajak besar terhadap rakyat dan menyalahgunakan uang negara, bertindak korupsi besar-besaran. Yang menderita adalah rakyat, terutama sekali yang berada di propinsi-propinsi yang jauh dari kota raja, Daerah selatan merupakan daerah yang paling menderita. Pejabat-pejabat kecil ditekan oleh pejabat-pejabat yang lebih tinggi. Pejabat-pejabat tinggi juga harus membayar “Sumbangan” yang besar kepada atasan mereka di ibukota propinsi, sebaliknya pejabat di ibukota propinsi ini juga harus menyetorkan harta mereka kepada para thaikam yang dipimpin oleh Liu Chin.
Banyak sudah pejabat tinggi yang berwatak setia kepada Kaisar, mencoba untuk menentang kekuasaan para Thaikam ini dan berusaha untuk menyadarkan Kaisar. Namun akibatnya, merekalah yang menjadi korban. Banyak pejabat tinggi yang berani menentang tewas dalam keadaan rahasia, terbunuh oleh para pembunuh bayaran. Banyak pula yang terpaksa melarikan diri, seperti halnya mendiang Panglima Tan Hok dan mendiang Jaksa Wong Cin. dan menjadi orang buruan pemerintah. Kemelut ini menghantui setiap orang yang tidak mempunyai kedudukan, tidak memiliki kekuasaan. Korupsi merupakan penyakit umum, menjadi wabah yang menguasai hampir setiap orang. Kekuasaan terbesar berada di dalam harta kekayaan, didalam uang. Dengan pengaruh uang sogokan, maka setiap perkara pasti dimenangkan oleh si pemilik uang.
Yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Diantara semua daya rendah yag menjadikan nafsu, daya rendah kebendaan adalah yang paling kuat. Daya rendah kebendaan itu berpusat pada uang, karena dengan uang orang dapat membeli kesenangan apa saja yang dikehendakinya. Iblis mempergunakan uang ini sebagai senjata utama untuk menyeret manusia ke dalam jurang yang paling dalam. Manusia saling bermusuhan, golongan lawan golongan, kelompok lawan kelompok, bahkan bangsa melawan bangsa, semua saling bertentangan yang pada dasarnya memperebutan kedudukan karena kedudukan menghasilkan uang. Andaikata kedudukan itu tidak mendatangkan kemakmuran bagi dirinya, kemakmuran yang dapat diwakili dengan uang kiranya tidak akan ada orang yang mau memperebutkan kedudukan itu.
Hidup enak, tercukupi kebutuhannya, keinginan nafsunya, itulah yang diperebutkan manusia di permukaan bumi ini, dan untuk dapat hidup enak dan terpenuhi semua keinginan nafsu, berarti harus mempunyai banyak uang. Kaisar Ceng Tek adalah seorang muda yang nyentrik. Dia seolah tidak peduli dengan kedudukannya sebagai kaisar dan dia suka berkeliaran seperti seorang pemuda hartawan biasa yang bebas lepas tanpa pengawal. Dia berkeliaran dengan para pemuda yang menjadi putra-putra bangsawan dan hartawan, mengunjungi tempat tempat pelesir dan bersenang- senang. Dia sudah percaya sepenuhnya kepada para Thaikam, menganggap mereka pejabat –pejabat yang setia kepadanya dan dapat dipercaya sepenuhnya.
Memang pandai sekali para Thaikam itu yang didukung oleh para pejabat tinggi yang sudah termasuk komplotan mereka. Segala laporan yang disampaikan kepada Kaisar hanya laporan yang bagus-bagus saja, yang ditujukan untuk menyenangkan hati Kaisar. Karena laporan-laporan ini, kaisar merasa senang dan menganggap bahwa semuanya berjalan dengan lancar dan baik. Demikian besar keperayaan Kaisar Ceng Tek kepada para Thaikam terutama sekali Thaikam Liu Chin sehingga kalau ada pembesar berani mencela Thaikam itu dan melaporkan bahwa Thaikam itu jahat dan korup, Kaisar bahkan membela Liu Chin dan menghukum si pelapor! Setelah Liu Chin mempunyai kekuasaan besar, para sanak keluarga dan para kenalannya di desanya, berbondong-bondong datang ke kotaraja untuk ikut menikmati kemuliaan Liu Chin atau setidaknya mendapat “Percikan” harta yang berlimpahan.
Diantara sanak keluarganya itu, terdapat dua orang keponakan dalam yang mendapatkan kedudukan tinggi. Yang seorang bernama Liu Kui, seorang yang pandai ilmu silat dan oleh Liu Chin diusulkan kepada kaisar, sehingga Li Kui ini diberi kedudukan sebagai panglima yang menguasai pasukan pengawal dan keamanan istana! Kemudian yang seorang lagi bernama Liu wan yang pernah mempelajari sastera, dan orang ini diangkat oleh Kasar menjadi seorang jaksa agung di Kotaraja. Dengan adanya dua orang keponakan yang menduduki jabatan tinggi dan penting di kalangan tentara dan sipil ini, kekuasaan Liu Chin menjadi semakin besar karena ke dua keponakan ini tentu saja menjadi antek anteknya. Sengsara lah rakyat yang pemerintahannya dipimpin oleh pembesar-pembesar korup dan yang berlomba- lomba mengeduk uang sebanyak-banyaknya.
Kesejahteraan rakyat dilupakan, bahkan rakyat dibebani pajak besar dan peraturan-peraturan yang mencekik leher. Semua keperluan dan kebutuhan rakyat dapat tercapai melalui uang sogokan. Bahkan untuk mendapat ijin menikah saja harus mengeluarkan uang sekian, untuk mengurus kematian atau kelahiran harus membayar bahkan pindah rumahpun ada tarip gelapnya. Korupsi semakin merajalela kalau dibiarkan. Dari pejabat tertinggi sampai pejabat rendahan, semua berlumba- lumba untuk memadati kantung sendiri sehingga mencari pejabat yang bersih pada waktu itu sama sukarnya dengan mencari sebatang jarum di dalam tumpukan jerami. Hebatnya, ada pejabat tinggi yang melakukan korupsi sedemikian besarnya sehingga yang dikorupsi itu kalau untuk menolong rakyat yang miskin, dapat mencukupi kebutuhan puluhan ribu rakyat! Hal ini dapat terjadi karena orang yang paling tinggi kedudukannya, yang berada di tingkat paling atas, yaitu Kaisar Ceng Tek, adalah seorang yang lemah dan mudah dipermainkan para Thaikam, terutama Thaikam Liu Chin. Dia terbuai oleh kehidupan foya-foya, menghambur-hambur kan uang Negara seperti pasir. Untuk memberantas wabah korupsi yang sudah menjalar sedemikian hebatnya, hanya dapat dilakukan dari atas ke bawah. Kalau bapaknya maling, bagaimana dapat mencegah anaknya untuk tidak menjadi maling pula? Siapa yang akan mengawasi, menegur dan menjewer anak itu kalau dia menjadi maling? Kalau ayahnya tidak pernah mencuri, tentu dia akan mampu menegur, memarahi dan menghajar anaknya yang mencuri.
Demikian pula, kalau seorang pejabat tinggi bertangan bersih, tentu dia akan berani menegur dan menghukum atau memecat bawahannya yang bertangan kotor, dan bawahannya itu bersikap yang sama terhadap bawahannya lagi. Demikian seterusnya, dari mereka yang duduk paling tinggi membersihkan diri lalu mengawsi bawahannya sehingga dari atas sampai yang paling bawah semuanya menjadi bersih!. Seperti juga sebatang pohon, kalau pangkalnya batang pohon itu sehat, maka seluruh bagian pohon itu, cabang, ranting dan daun-daunnya akan sehat pulas sehingga menghasilkan bunga dan buah yang sehat dan manis. Sebaliknya kalau pangkal batang pohonnya mengandung penyakit, seluruh bagian pohon itupun akan sakit dan menghasilkan buah yang buruk atau bahkan tidak dapat berbuah sama sekali. Pemerintahan yang dikemudikan Kaisar Ceng Tek tidak demikian.
Setiap orang pembesar berkorupsi, menerima uang sogokan, menggunakan uang Negara untuk kepentingan diri sendiri, menumpuk harta kekayaan, hidup bermewah-mewahan, menindas rakyat. Menjilat ke atas menginjak ke bawah terjadi di mana-mana. Herankah kita kalau dalam keadaan pemerintahan seperti itu bermunculan banyak kejahatan? Para penjahat itu mengail di air keruh. Selagi keadaan kacau dan para pembesar tidak mengacuhkan segi keamanan bagi rakyatnya, para penjahat itu berpesta pora, mempergunakan kekuatan dan kekerasan untuk mendapatkan uang secara tidak halal. Merampok, mencuri, memeras dan tindak kejahatan lain lagi. Sarang perjudian dan sarang pelacuran bertumbuhan seperti jamur di musim hujan. Tidak dapat disangkal bahwa dalam keadaan Negara seperti itu, bermunculan pula para pendekar, walaupun jumlah mereka tidak banyak.
Akan tetapi, apa daya mereka menghadapi para pembesar yang dilindungi oleh pasukan? Mereka, para pendekar ini, hanya dapat menentang para penjahat yang merajalela. Ada pula pejabat- pejabat atau bangsawan yang berhati bersih, yang menentang kelaliman ini. Mereka memberanikan diri memprotes keadaan pemerintah, bahkan ada pula yang mencoba untuk menasehati dan menyadarkan Kaisar. Akan tetapi apa akibatnya? Merekalah yang tersingkir, terhukum, terbunuh, atau setidaknya mereka terpaksa harus melarikan diri mengungsi jauh dari Kota Raja. Diantara para bangsawan yang merasa penasaran menyaksikan keadaan ini adalah Pangeran Ceng Sin. Pangeran yang terlahir dari selir ini merupakan saudara tua Kaisar Ceng Tek. Usianya sudah 35 tahun dan dia adalah seorang pangeran yang setia terhadap kerajaan.
Melihat ulah adik tirinya yang tidak memperhatikan pemerintahan dan seolah buta matanya terhadap semua penyelewengan yang dilakukan para pembesar, terutama para Thaikam sehingga menyengsarakan rakyat, dia merasa perihatin sekali. Untuk terang- terangan menentang Thaikam Liu Chin, dia tidak memiliki kekuasaan dan tentu akan sia-sia belaka, bahkan keselamatannya terancam. Karena itu, Pangeran Ceng Sin berusaha melakukan pendekatan kepada Kaisar Ceng Tek untuk menasehatinya. Akan tetapi Kaisar Ceng Tek yang sudah tenggelam ke dalam racun manis berupa kehidupan penuh foya-foya dan pelesiran itu memasang telinga tuli terhadap nasihat kakak tirinya. Pada suatu senja, dua orang diantar oleh dua orang prajurit pengawal memasuki gedung tempat tinggal Liu Chin. Gedung itu besar dan megah, letaknya masih di dalam daerah istana dan siang malam gedung itu dijaga oleh pasukan pengawal yang kuat.
Seperti biasa, kalau ada tamu pribadi Thaikam Liu Chin, tamu itu akan diantar oleh prajurit pengawal, memasuki gedung lewat pintu tembusan di samping gedung. Dua orang yang datang itupun membawa surat pribadi Liu Chin sehingga setelah melihat surat itu, dua orang prajurit lalu mengawal dan mengantar mereka memasuki gedung lewat pintu kecil itu. Dua orang tamu itu terdiri dari seorang laki-laki berusia lima puluh dua tahun, bertubuh tinggi besar, berjenggot panjang dan wajahnya gagah seperti Pahlawan Kwan In Tiang di dalam Kisah Sam Kok. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang dan pakaiannya mewah seperti pakaian seorang hartawan. Adapun orang ke dua adalah seorang pemuda berusia kurang lebih lima belas tahun. Seorang pemuda yang tampan dan bertubuh tinggi kokoh.
Mukanya bulat seperti bulan purnama, alisnya tebal hitam matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu seperti tersenyum mengejek. Sepasang matanya yang lebar dan bersinar tajam itu kadang membayangkan kekarasan hati. Pakaiannya juga mewah seperti seorang pemuda hartawan, rambutnya hitam panjang di gelung ke atas dan diikat kain sutera, dihias tuduk sanggul berbentuk seekor burung merak. Laki-laki setengah tua yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur) Ouw Yang Lee, majikan Pulau Naga. Semakin tua dia tampak semakin gagah saja. adapun pemuda remaja itu bukan lain adalah Tan Song Bu. Tan Song Bu kini telah menjadi seorang pemuda berusia lima belas tahun yang tampan dan gagah. Ketika kedua orang istri Ouw Yang Lee dilarikan penjahat, Song Bu berusia sepuluh tahun.
Selama lima tahun ini, setelah dia menjadi anak angkat gurunya, dia digembleng secara serius oleh Ouw Yang Lee sehingga dalam usia lima belas tahun Song Bu telah menjadi seorang pemuda remaja yang tangguh. Tubuhnya tinggi kokoh, dadanya bidang dan dia memiliki tenaga yang kuat sekali. Bagaimana Ouw Yang Lee dapat muncul di gedung Thaikam Liu Chin? Hal ini ada hubungannya dengan sebuah peristiwa pada suatu malam yang gelap gulita, kurang lebih dua bulan yang lalu. Pada malam hari itu, gedung milik Liu Chin didatangi orang yang membikin kacau. Orang itu memiliki gerakan yang gesit sekali, melompati pagar tembok. Akan tetapi setelah tiba di ruangan belakang gedung itu pada tengah malam, dia ketahuan prajurit pengawal dan dia dikeroyok. Orang yang mukanya memakai kedok hitam itu mengamuk dan dalam amukannya, dia berteriak-teriak hendak membunuh Liu Chin! Dia lihai sekali dan belasan orang perajurit pengawal telah roboh oleh pedangnya. Akan tetapi, jumlah perajurit pengawal terlalu banyak dan diantaranya terdapat beberapa orang perwira yang lumayan tingkat ilmu silatnya. Karena dikeroyok dan terdesak, orang berkedok itu lalu melarikan diri dan luput dari pengejaran para perajurit pengawal. Pengalaman di malam itulah yang membuat Liu Chin menyadari bahwa keselamatannya terancam. Dia mempunyai musuh terlalu banyak, dan tentu musuh-musuhnya yang telah mengirim seorang pembunuh bayaran untuk membunuhnya. Dia merasa perlu melakukan penjagaan yang lebih ketat dan timbullah dalam pemikirannya untuk mengundang datuk- datuk sesat dan menggunakan kekuasaan dan kekayaannya untuk membujuk mereka agar suka menjadi jagoan menjaga keselamatannya.
Demikianlah, dia lalu mengirim undangan kepada beberapa orang dan diantara yang diundang itu, termasuk Ouw Yang Lee, majikan Pulau Naga yang namanya diketahui Liu Chin dari laporan para panglima sekutunya. Selain Ouw Yang Lee, Thaikam Liu Chin masih mengundang beberapa tokoh kangouw lainnya yang pada waktu itu belum datang. Ouw Yang Lee merupakan orang undangan pertama yang datang dan dia mengajak putera angkatnya, Ouw Yang Song Bu yang sudah berusia lima belas tahun agar putera angkatnya ini memperoleh pengalaman di Kota Raja. Ketika menerima surat undangan dari Thaikam Liu Chin, Ouw Yang Lee merasa gembira sekali. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa Thaikam Liu Chin merupakan orang ke dua sesudah Kaisar yang berkuasa di Kota Raja.
Diundang oleh pembesar itu hamper sama dengan undangan diterima dari Kaisar sendiri. Kalau saja dia dapat berjasa terhadap Tahikam Liu Chin, tentu dia akan dapat menduduki pangkat yang tinggi, menjadi orang terhormat yang hidup mulia dan berkuasa. Inilah yang membuat Owyang Lee tertarik. Bukan hanya Ouw Yang Lee yang tertarik untuk mendapatkan kedudukan karena kedudukan berarti kekuasaan. Makin tinggi kedudukan sesorang semakin besarlah kekuasaannya. Oleh karena itu, hampir setiap orang saling berlumba mendapatkan kekuasaan ini, kekuasaan dalam keluarga, dalam kelompok, dalam golongan, masyarakat, Negara. Karena berkuasa berarti semua tindakannya harus dibenarkan dan dimenangkan, karena kekuasaan mendatangkan kemuliaan, mendatangkan harta benda, dan kesenangan.
Bahkan dunia penuh pertentangan, perang antara bangsa juga karena saling memperebutkan kekuasaan inilah. Yang menang pasti berkuasa dan yang berkuasa pasti benar! Karena itu siapa yang tidak menghendaki kekuasaan? Tertarik oleh kemungkinan mendapatkan kedudukan ini membuat Ouw Yang Lee meninggalkan pulaunya. Dia mengajak muridnya yang kini menjadi putera angkatnya yang disayang, yaitu Tan Song Bu yang kini sudah memakai marganya, menjadi Ouw Yang Song Bu. Dia juga ingin memberi kesempatan kepada puteranya itu untuk membuat pahala dan menerima kedudukan, di samping mencari pengalaman di kota. Senja telah tiba dan lampu-lampu gantung mulai dinyalakan dalam gedung tempat tinggal Thaikam Liu Chin. Pada saat itu, Liu Chin sedang berada di ruangan makan, siap untuk makan malam.
Mendengar laporan bahwa Tung-Hai Tok Ouw Yang Lee bersama puteranya yang bernama Ouw Yang Song Bu datang hendak menghadap, hatinya menjadi girang dan dia memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk berjaga dengan ketat didalam ruangan makan yang luas itu, kemudian dia mempersilahkan dua orang tamunya langsung masuk ke ruangan makan. Dengan langkah yang gagah, Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Song Bu mengikuti pengawal memasuki ruangan yang telah dipasangi lampu yang amat terang itu. Dia melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam cerdik seperti mata elang, dengan pakaian mewah seorang pembesar istana yang tinggi kedudukannya, duduk diatas sebuah kursi menghadapi sebuah meja makan panjang. Empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik hilir mudik kearah meja makan itu membawa masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dan ruangan itu penuh dengan bau masakan yang sedap.
“ Tai-jin (sebutan pembesar), para tamu Ouw Yang Lee dan puteranya, Ouw Yang Song Bu datang menghadap!” kata pengawal pengantar. Liu Chin Thaikam memutar tubuhnya menghadapi mereka yang datang, lalu memberi tanda dengan tangan kepada pengawal pengantar untuk mengundurkan diri.
Sementara itu Ouw Yang Lee melihat betapa disekeliling ruangan itu berdiri banyak sekali perajurit pengawal dan dia tahu betapa akan sukarnya meloloskan diri dari tempat yang terjaga ketat itu. Diruangan ini saja terdapat dua puluh orang lebih perajurit pengawal yang tampaknya tangguh. Di luar ruangan masih ada lagi pasukan pengawal, belum lagi yang berjaga di pekarangan depan. Mungkin jumlah mereka semua lebih dari seratus orang perajurit tangguh! Thaikam Liu Chin ini sungguh telah melindungi keselamatan dirinya dengan pengawalan yang amat kuat, seperti seorang Kaisar saja. Dia melihat betapa pembesar tinggi kurus itu menatapnya dan mengamatinya dengan penuh selidik. Ouw Yang Lee cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk dengan sikap hormat.
“Liu Tai-jin (Pembesar Liu), saya Ouw Yang Lee dari Pulau Naga memenuhi undangan paduka dan datang menghadap bersama putera saya Ouw Yang Song Bu!” Song Bu meniru perbuatan ayahnya, merangkapkan kedua tangan depan dada untuk memberi hormat kepada pembesar itu. Pemuda ini memang cerdik sekali, tanpa diberitahu diapun sudah pandai membawa diri di tempat yang amat mewah, gemerlapan dan penuh wibawa itu. Dia dapat merasakan bahwa laki-laki tinggi kurus itu adalah seorang yang memiliki kekuasaan besar sekali.
“Bagus sekali! Selamat datang, Ouw Yang Si-cu (orang gagah Ouw Yang) dan engkau juga, Ouw Yang Song Bu, pemuda yang gagah. Kebetulan sekali aku sedang hendak makan malam. Kalian berdua duduklah disini dan mari temani aku makan sebelum kami membicarakan urusan. Biarlah perjamuan makan ini sebagai ucapan selamat datang kepada kalian!” kata Thai-kam liu Chin dengan suara lantang dan wajah berseri gembira. Tentu saja Ouw Yang Lee merasa gembira sekali. Perhitungannya tidak meleset, Thai-kam Liu Chin ini benar-benar membutuhkan tenaganya, maka sikapnya demikian ramah dan dia merasa amat terhormat. Begitu datang langsung diajak makan bersama.
“Terima kasih, ' Tai-jin,” katanya dan bersama Ouw Yang Song Bu, diapun lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan tuan rumah, terhalang meja makan yang kini sudah penuh hidangan. Para pelayan wanita muda cantik dan cekatan itu, tanpa diperintah telah mengerti kewajiban masing-masing. Ada yang menyediakan mangkok, sumpit, dan cawan arak baru untuk kedua orang tamu yang dijamu oleh majikan mereka.
“Tuangkan arak, isi penuh cawan-cawan kami, lalu tinggalkan kami bertiga,” perintah Thai-kam Liu. Empat orang pelayan; itu lalu menuangkan arak ke dalam cawan-cawan kosong di depan tuan rumah dan dua orang tamunya, kemudian mereka pergi meninggalkan ruangan itu. Ketika melangkah, gerakan mereka demikian halus seperti penari-penari yang langkahnya lemah gemulai.
“Mari, Ouw Yang Si-cu dan Ouw Yang Song Bu, mari kita minum untuk merayakan pertemuan yang menggembirakan ini!” Thai-kam Liu mengangkat cawan araknya, diturut oleh Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Song Bu dan mereka bertiga minum sampai tiga cawan. Kemudian mulailah mereka makan minum. Thai-kam Liu tampak gembira bukan main. Dengan ramah dia mempersilakan dua orang tamunya untuk mencicipi semua masakan yang serba lezat itu.
“Ouw Yang Sicu, aku ingin memperkenalkan kalian berdua dengan komandan pasukan pengawal pribadiku.” Tanpa menanti jawaban, Thaikam itu bertepuk tangan satu kali dan muncullah seorang perajurit pengawal dari balik pintu dan berdiri di depan Thaikam dengan sikap hormat.
“Pergi cepat panggil Giam-Ciangkun (Panglima Giam) ke sini! Sekarang juga!” kata Thaikam itu dan suaranya mengandung wibawa seorang yang sudah terbiasa mengeluarkan perintah yang harus diturut. Pengawal itu memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Liu-Thaikam dan dua orang tamunya melanjutkan makan. Tak lama kemudian, orang yang dipanggil itu datang, mudah diduga bahwa panglima pasukan pengawal itu tentu tinggal di komplek gedung itu pula. Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Song Bu memandang. Yang datang adalah orang laki-laki tinggi besar dan gagah berusia kurang lebih empat puluh tahun. Pakaiannya indah gemerlapan, pakaian seorang panglima dan sebatang pedang panjang tergantung di pinggang kirinya. Mukanya persegi dan matanya lebar dan bersinar tajam.
“ Tai-jin memanggil saya?” tanya panglima yang bernama Giam Tit itu dengan suara lantang namun dengan sikap hormat sambil berdiri menghadap Liu-thai-kam.
“Giam-Ciangkun, aku hendak mengajak engkau makan minum pula untuk menyambut kedatangan Ouw Yang Sicu dan puteraya. Akan tetapi lebih dulu agar kalian berkenalan dengan mereka berdua yang lihai itu dan engkau harus memberi hormat dengan secawan arak kepada mereka masing-masing.” Giarn-Ciangkun mengerti akan maksud ucapan majikannya. Dia mengangguk, tersenyum dan menghampiri ujung meja panjang itu. Dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan kosong, kemudian dengan tangan kanan dia mengangkat cawan itu ke atas. Ketika dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), maka perlahan-lahan arak dalam cawan itu mengepulkan uap kemudian arak itu mendidih! Dia menyodorkan arak mendidih dalam cawan itu kepada Ouw Yang Lee sambil berkata.
“Ouw Yang-sicu, terimalah penghormatanku dengan secawan arak ini!” Melihat arak dalam cawan itu mendidih, tahulah Ouw Yang Lee bahwa panglima itu hendak mengujinya dengan kekuatan sinkang dan diapun tahu bahwa hal ini dilakukan panglima itu atas perintah Liu-thai-kam. Maka diapun tersenyum lebar dan diam-diam dia mengerahkan sin-kangnya. Hawa sakti yang kuat menjalar dari pusarnya menuju ke tangan kanannya yang menerima cawan itu. Liu-Thaikam mengikuti semua gerak gerik kedua orang itu dengan penuh perhatian.
Dia memang ingin menguji ketangguhan dua orang tamunya itu, terutama Ouw Yang Lee yang dia dengar merupakan seorang datuk yang sakti. Ketika cawan itu berpindah ke tangan Ouw Yang Lee, mendadak arak yang tadinya mendidih itu berhenti bergerak, juga tidak mengeluarkan uap lagi. Ouw Yang Lee mengangkat cawan itu ke atas mulutnya dan membuat gerakan seperti hendak menuangkan arak itu ke dalam mulutnya. Akan tetapi terjadi keanehan. Arak itu tidak mau tumpah dari dalam cawan yang sudah dibalikkan, seolah-olah telah membeku dan melekat pada cawan! Tentu saja Liu-Thaikam terbelalak keheranan melihat ini, dan Giam Ciangkun mengangguk-angguk, makium bahwa datuk itu memperlihatkan sinkang yang amat kuat yang dapat mengubah hawa panas menjadi hawa yang amat dingin sehingga membuat arak itu membeku.! “Ah, arak ini membeku, perlu dicairkan dulu agar dapat diminum!” kata Ouw Yang Lee, lalu dia menurunkan cawan araknya dan meniup tiga kali ke dalam cawan dan arak itupun mencair, lalu diminumnya, habis sekali tenggak.
“Terima kasih, Giam-Ciangkun,” katanya sambil mengangguk kepada panglima itu. Giam-Ciangkun sudah duduk di sudut meja. Diapun mengangguk hormat ke arah Ouw Yang Lee dan berkata, “Ouw Yang-sicu, ternyata kau benar hebat, membuat saya kagum sekali.” Kemudian dia menuangkan kembali arak dari guci ke dalam sebuah cawan kosong. Dia mengangkat secawan arak itu dengan tangan kanannya, kemudian memandang kepada Ouw Yang Song Bu dan berkata.
“Ouw Yang Kongcu (Tuan muda Ouw yang), sayapun ingin menyuguhkan secawan arak ini kepadamu, harap suka menerimanya!” Dia lalu melontarkan secawan arak itu ke arah Ouw Yang Song Bu.
Cawan itu melayang dan tidak ada setetespun araknya tumpah. Walaupun ujian ini tidak seberat yang dia lakukan terhadap Ouw Yang Lee tadi, namun lontaran itupun kuat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Kembali Liu-Thaikam memandang dengan hati tertarik karena diapun ingin melihat apakah pemuda itupun memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat untuk dapat menjadi seorang pembantu yang boleh diandalkan. Melihat secawan arak itu meluncur kearah dirinya dan kalau dibiarkan tentu akan mengenai mukanya, dengan sikap tenang namun gerakan tangannya cepat sekali Song Bu menyambar dan menangkap secawan arak itu dengan tangan kanannya dan tidak setetespun arak muncrat ke luar dari cawan itu. Diminumnya arak dari cawan itu lalu dia mengangguk kepada Giam-Ciangkun.
“Terima kasih, Giam-Ciangkun.” Liu-Thaikam dan Giam-Ciangkun tertawa senang.” Tai-jin, Ouw Yang-sicu dan puteranya ini benar- benar memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi” kata panglima itu seperti melaporkan dan Liu-Thaikam mengangguk-angguk gembira.
Mereka berempat lalu makan minum sampai kenyang. Setelah selesai makan, Liu-Thaikam mengajak dua orang tamunya duduk bercakap-cakap di ruangan dalam dan Giam-Ciangkun diperkenankan mengundurkan diri. Mereka bertiga memasuki ruangan dalam itu dan Liu-thaikarn menutupkan semua daun jendela dan daun pintu. Akan tetapi ayah dan anak itu melihat bahwa biarpun di dalam ruangan itu tidak terdapat seorangpun pengawal, narnun di luar ruangan itu telah berjaga banyak perajurit pengawal yang setiap saat dapat menyerbu ke dalam ruangan itu.
Liu-Thaikam mempersilakan mereka berdua duduk dan langsung saja pembesar itu bertanya kepada Ouw Yang Lee.
“Ouw Yang-sicu, dapatkah engkau menduga apa maksudku mengundangmu ke sini?” Ouw Yang Lee menjawab tanpa ragu.Saya adalah seorang datuk dan kepandaian saya hanyalah bersilat, maka apa lagi yang Tai-jin kehendaki dari saya kecuali tenaga saya untuk membantu Tai-jin?” “Ha-ha-ha, engkau cerdik, sicu. Memang benar, kami memerlukan tenaga bantuan orang-orang yang memiliki kesaktian untuk menghadapi orang-orang yang memusuhi kami dan diam-diam hendak membunuh kami.” Ouw Yang Lee memandang heran. Dia mendengar bahwa pembesar ini adalah orang ke dua sesudah kaisar yang berkuasa di istana, siapa yang berani memusuhinya? “Akan tetapi, Tai-jin. Siapakah orangnya yang berani berbuat seperti itu?” “Ah, agaknya engkau tidak tahu, sicu. Banyak orang yang merasa iri kepadaku dan mereka itu berusaha untuk membunuhku dan merebut kedudukanku. Beberapa hari yang lalu ada seorang pembunuh yang menyerbu ke rumahku ini dan dia bermaksud membunuhku. Hanya karena ada penjagaan yang ketat dari pasukan perajurit pengawal dia dapat diusir dan usahanya yang keji dapat digagalkan. Karena itu, aku harus membuat operasi pembersihan besar-besaran. dan untuk melakukan itu, aku membutuhkan bantuan tenaga orang-orang seperti sicu.” “Saya dan putera saya siap untuk membantu ta-jin!” kata Ouw Yang Lee singkat.
“Akan tetapi sebelum menentukan apakah kalian berdua patut untuk menjadi pembantu-pembantuku yang, dapat diandalkan dan dipercaya, aku harus menguji dulu kepandaian kalian.” “Bukankah tadi Tai-jin sudah menguji kami berdua melalui Giam- Ciangkun?” tanya Ouw Yang Lee dengan alis berkerut.
“Itu bukan ujian terhadap kemampuan kalian dan untuk ujian itu kalian memang lulus. Akan tetapi yang kumaksudkan adalah ujian terhadap kesetiaan kalian.” “Untuk itupun saya berdua siap untuk diuji!” kata Ouw Yang Lee. “Harap Tai-jin perintahkan saja dan kami akan melalaksanakan perintah itu!” “Bagus! Memang sikap seperti itulah yang kami kehendaki. Tegas dan tidak banyak bertanya. Ketahuilah bahwa kami telah melakukan penyelidikan untuk mencari siapa saja yang memusuhi kami dan yang mungkin mengirim pembunuh malam itu. Diantara mèreka yang kami curigai terdapat dua orang dan kami menghendaki agar kalian berdua masing-masing melaksanakan satu tugas, yaitu masing-masing membunuh seorang musuhku. Laksanakan perintah ini malam ini juga.” “Membunuh seorang musuh? Hal itu mudah saja saya lakukan. Akan tetapi karena putera saya ini belum berpengalaman, maka harap Tai-jin tidak memberi tugas yang terialu berat.” “Hal itu sudah kami pikirkan. Di antara kedua orang yang malam ini kami rencanakan agar dibinasakan adalah Pangeran Ceng in. Pangeran yang satu ini selalu menentang kami, bahkan ingin menghasut Kaisar
agar membenci kami. Kami sudah berhasil membuat keluarga Pangeran Ceng Sin disurh keluar dari kompleks istana dan tinggal di luar istana. Akan tetapi dia masin selalu memperlihatkan sikap bermusuhan dengan kami. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa dialah yang menyuruh pembunuh itu untuk menyerbu ke rumah kami dan berusaha membunuh kami. Karena itu, kami menghendaki agar Pangeran Ceng Sin itu dibunuh, malam ini juga. Dan untuk melaksanakan hal ini, kami menunjuk engkau, Ouw Yang Song Bu, untuk melakukannya.” “Akan tetapi, putera saya baru berusią lima belas tahun dan belum berpengalaman Bagaimana dia akan mampu melakukannya?” bantah Ouw Yang Lee.
“Pangeran Ceng Sin tidak mempunyai pasukan pengawal yang kuat. Membunuhnya bukan merupakan pekerjaan berat dan kami melihat bahwa pemuda ini sudah memiliki ilmu kepandaian yang tangguh. Kalau dia tidak sanggup melakukan tugas sederhana ini, apa perlunya dia diajak ke sini? Lebih baik engkau seorang diri saja, Ouw Yang sicu, dan tidak mengajak anakmu kalau dia penakut.” “Ayah, saya sanggup melakukan itu!” tiba-tiba Ouw Yang Song Bu berseru tegas kepada ayahnya.
“Tai-jin, saya sanggup melakukan perintah itu!” “Bagus, begitulah sepatutnya sikap seorang putera datuk besar seperti Tung-hai-tok Ouw yang Lee majikan Pulau Naga! Nah, bagaimana pendapatmu. sicu?” Ouw Yang Lee menghela napas.
“Saya tidak meragukan kemampuan putera saya, Tai-jin. Kalau tadi saya ragu-ragu adalah karena mengingat usianya yang masih muda dan belum berpengalaman. Akan tetapi kalau dia sudah menyatakan tekadnya untuk melaksanakan perintah itu, sayapun hanya menyetujuinya.” “Bagus kalau begitu. Tidak percuma kami mengundang sicu ke sini. Nah, Ouw Yang Song Bu, bersiaplah engkau. Nanti kami akan menyuruh seorang pengawal untuk mengantarmu sampai di luar rumah Pangeran Ceng Sin. Setelah itu engkau harus bertindak sendiri, menyerbu masuk dan membunuh pangeran itu. Kalau engkau berhasil menyingkirkan Pangeran Ceng Sin, berarti engkau telah membuat jasa besar dan jasarnu akan kami catat.” Ayah dan anak itu mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang gedung itu, kamar yang luas dan lengkap dengan perabot kamar yang serba mewah. Setelah membuat persiapan, mengenakan pakaian serba hitam yang ringkas, dengan kain pengikat rambut berwarna hitam pula, membawa sebatang pedang yang digantung di punggung, sepatunya dari kain ringan dan hitam, Song Bu tampak tampan dan gagah.
“Berhati-hatilah, bawa dua buah alat peledak ini untuk kaupergunakan melarikan diri kalau terkepung. Cepat bunuh pangeran itu dan cepat pergi, hindarkan diri dari pengeroyokan yang membahayakan. Jangan ragu untuk menggunakan Ang Tok Ciang (Tangan Racun Merah) kalau sampai bertemu dengan lawan tangguh,” pesan Ouw Yang Lee kepada puteranya itu.
Song Bu mengangguk. Biarpun selama ini dia belum pernah membunuh orang, bahkan belum pernah terlibat dalam perkelahian, namun dia sama sekali tidak merasa gentar dan merasa yakin bahwa dia akan mampu melaksanakan tugasnya. Setelah dia siap, seorang perajurit pengawal lalu mengantarnya keluar dari kompleks atau daerah istana. Dengan adanya perajurit pengawal ini, Ouw Yang Song Bu dapat melalui para penjaga di pintu gerbang kompleks istana itu dengan mudah. Mereka berdua lalu ke luar dan menuju ke sebuah jalan besar di Kota Raja, kemudian perajurit itu berhenti di depan sebuah gedung yang tidak berapa besar dan dari luar tampak sederhana saja. Di pintu pekarangan itu terdapat dua orang laki-laki yang agaknya merupakan penjaga gedung itu. Inilah rumah Pangeran Ceng Sin, Ouw Yang Kongcu,” kata perajurit itu.
“Tugas saya hanya mengantar kongcu sampai di sini kernudian menunggu kongcu di sini setelah kongcu selesai melaksanakan tugas itu. Saya akan bersembunyi di balik pohon ini, kongcu.” Perajurit pengawal itu lalu menyelinap di balik batang pohon. Song Bu berdiri di bawah bayangan pohon yang gelap. Matanya memandang ke arah rumah itu dengan tajam menyelidik. Malam telah agak larut dan tentu para penghuni rumah itu sudah tidur, pikirnya. Di luar hanya ada dua orang penjaga dan tidak tampak ada penjaga lain di sekitar pekarangan itu. Dia menyapu sekitar pekarangan dengan pandang matanya dan melihat betapa pagar yang mengelilingi rumah itu tidaklah begitu tinggi dan di sebelah kanan rumah itu terdapat sebuah taman bunga kecil.
Semua ini dapat dilihat dari bawah pohon karena adanya beberapa lampu gantung di bagian depan dan sebelah kanan rumah itu. Setelah memperhitungkan dengan pandang matanya, Song Bu lalu bergerak cepat menyelinap di antara kegelapan bayang pohon menuju ke bagian kanan rumah itu, Ia telah yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaga, dia lalu melompati pagar dan turun di dalam taman bunga. Dia mendekam sebentar untuk memperhatian keadaan. Setelah menanti beberapa saat dan tidak melihat berkelebatnya orang atau mendengar suara yang mencurigakan, Song Bu lalu berloncatan dan menyelinap di antara tanaman bunga, menghampiri rumah gedung itu. Tak lama kemudian dia sudah melompat ke atas wuwungan rumah itu dam mengintai dari atas. Di sebelah dalam rumah itu sudah sepi. Dia lalu melayang turun ke dalam.
Akan tetapi baru saja kakinya hinggap di atas tanah, terdengar bentakan nyaring dan lima orang sudah mengepungnya. Mereka memegang golok dan ternyata mereka ini adalah lima orang yang bertugas mengawal keluarga pangeran itu, di samping dua orang lagi yang sedang berjaga di pintu pekarangan. melihat ada seorang pemuda berpakaian hitam-hitam memasuki rumah itu, lima orang yang sedang melakukan perondaan itu merasa terkejut dan segera tahu bahwa pendatang ini tentu bermaksud buruk. Maka tanpa banyak kata lagi mereka sudah menyerang dengan golok mereka. Song Bu melihat serangan mereka dan tahu bahwa biarpun tampaknya tangkas, lima orang ini hanya menguasai ilmu silat yang biasa saja. Maka, diapun bergerak lincah menghindarkan diri dari serangan lima batang golok itu dan di lain saat dia telah mencabut pedangnya. Pertempuran terjadi, namun tidak lama.
Dengan gerakannya yang lincah dan permainan pedangnya yang amat cepat dan kuat, Song Bu membuat lima orang itu roboh satu demi satu dan tidak mampu bergerak lagi, mendengar suara ribut- ribut itu telah membangunkan para penghuni rumah itu. Pangeran Ceng Sin, isterinya dan seorang anaknya terbangun demikian juga dua orang pelayan wanita setengah tua. Mereka berlari ke luar dan terkejut melihat pertempuran itu. Mereka semua berlari menuju ke ruangan belakang dan berkumpul disitu dengan ketakutan. Setelah merobohkan lima orang pengeroyoknya, Song Bu lalu melakukan pengejaran. Dia tadi melihat betapa orang-orang itu melarikan diri melalui lorong ke bagian belakang, maka diapun berkelebat cepat masuki lorong itu. Setelah tiba di ruang belakang, dua orang pelayan wanita menghadahg di depan pintu.
“Minggir kalian!” bentak Song Bu dan begitu kakinya bergerak menendang dua kali, dua orang wanita pelayan itu terlempar ke kanan kiri.
Song Bu melompat masuk kedalam ruangan itu yang cukup terang karena ada dua lampu gantung menerangi ruangan itu. Dia melihat seorang laki laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berwajah tampan bertubuh sedang dan biarpun pakaiannya tidak mewah namun dapat diketahui bahwa dia seorang bangsawan. Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun berdiri di sampingnya, dengan mata terbelalak dan wajah pucat memandang kepada Song Bu, dan di samping wanita itu terdapat seorang gadis muda berusia belas tahun, cantik jelita, alisnya berkerut, matanya memandang berani dan nampaknya ia marah sekali. Song Bu tidak memperdulikan dua orang wanita yang memandangnya dengan mata terbelalak itu. Dia menujukan pandang matanya kepada laki-laki itu dan suaranya tegas ketika dia bertanya, “Engkaukah yang bernama Pangeran Ceng Sin?” Pangeran itu menjawab, wajahnya pucat namun suaranya tetap tenang, “Benar, aku pangeran Ceng Sin. Siapakah engkau, orang muda dan mau apa datang ke tempat kami membuat kekacauan?” “Tidak penting siapa aku. Aku datang untuk membunuhmu. Bersiaplah untuk mati!” Dia mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.
“Tidak...! Engkau tidak boleh membunuh suamiku” teriak wanita cantik berusia tiga puluh tiga tahun itu dan ia sudah berdiri di depan suaminya seolah hendak melindunginya. Song Bu tertegun melihat ini. Sama sekali dia tidak menduga akan ditentang oleh seorang wanita. Kalau ada jagoan atau pengawal yang maju menghalanginya, tentu akan diserang jagoan itu. Akan tetapi kini yang menentang adalah seorang wanita cantik. Dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Tiba-tiba gadis remaja berusia tiga belas tahun itu melompat ke depan ibunya dan merentangkan kedua lengan kekanan kiri seperti hendak menghalangi Song Bu.
“Pemuda kejam! Tak berprikemanusiaan! Rendah seperti binatang! Engkau tidak boleh membunuh ayah ibuku. Bunuhlah aku lebih dulu sebelum engkau membunuh ayah dan ibuku! Hayo bunuh, engkau pemuda pengecut yang beraninya hanya terhadap orang-orang yang lemah tak berdosa!” Suara gadis remaja itu lantang dan sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, bahkan marah sekali. Sekali ini Song Bu bukan hanya tertegun, melainkan terpesona! Sama sekali tidak pernah dia dapat membayangkan akan berhadapan dengan seorang gadis remaja seperti ini, yang menantangnya seperti seekor singa betina yang liar dan buas! Timbul kekaguman dalam hatinya. Hatinya tergetar oleh suatu perasaan aneh yang mengalahkan sikap tak acuhnya, mencairkan kekerasan hatinya dan dia menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya.
“Aku... aku hanya melaksanakan perintah...” Akhirnya dia dapat membuka mulut dan bicara seperti seorang kanak-kanak mendapat teguran karena kenakalannya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya baik, maka dia segera berkata kepada laki-laki itu.
“Pangeran Ceng Sin, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi cepat-cepatlah bawa keluargamu melarikan diri keluar dari Kota Raja. Sekarang juga! Cepat sebelum terlambat karena kalau orang lain yang datang, sudah pasti engkau akan dibunuhnya. Cepat!” Tanpa banyak cakap Pangeran Ceng Sin sudah dapat menduga siapa yang menyuruh pemuda ini menyerbu rumahnya dan hendak membunuhnya. Dia tahu akan bahaya yang mengancam diri dan keluarganya, maka diapun menarik tangan isteri dan anaknya.
“Hayo kita pergi!” Mereka keluar dari ruangan itu dan menuju ke bangunan di bagian belakang. Song Bu mengikutinya. Ternyata Pangeran Ceng Sin membawa anak dan isterinya itu menuju ke istal kuda di mana terdapat sebuah kereta dan beberapa ekor kuda. Pangeran itu lalu mengeluarkan dua ekor kuda dan memasang sendiri dua ekor kuda itu di depan kereta. Kesempatan ini dipergunakan oleh gadis remaja itu untuk mendekati Song Bu yang masih berdiri mengamati semua itu.
“Siapakah namamu?” tanya gadis itu.
“Engkau telah berbaik hati tidak membunuh kami, maka aku perlu tahu namamu.” Seperti dengan sendirinya dan wajar pengakuan itu meluncur dari mulut Song Bu.
“Namaku Song Bu.” Dia menahan diri untuk tidak memperkenalkan nama marganya.
“Aku bernama Ceng Loan Cin,” kata gadis itu seperti menjawab pertanyaan. Lalu ia berlari membantu ibunya yang mengumpulkan barang-barang penting yang hendak mereka bawa melarikan diri.
Aneh sekali Song Bu merasa betapa nama itu terngiang-ngiang dalam telinganya seperti diulang ulang. Setelah berkemas secara tergesa-gesa, hanya membawa barang yang berharga dan diperlukan benar, keluarga Pangeran itu lalu berangkat. Kereta dikusiri sendiri oleh Pangeran Ceng Sin karena malam itu kusirnya pulang ke rumahnya sendiri. Kereta berjalan melalui pintu depan di mana terdapat terdapat dua orang perajurit yang menjaga. Dua orang perajurit ini tidak tahu apa yang telah terjadi di dalam dan mereka hanya dapat memberi hormat dan memandang heran melihat Pangeran Ceng Sin dan anak isterinya naik kereta yang dikusiri sendiri oleh bangsawan itu. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani bertanya. Song Bu sengaja membiarkan kereta itu pergi sampai agak lama. Barulah dia berlari keluar. Tentu saja dua orang penjaga itu segera menegur dan menghadangnya.
“Berhenti! Siapa kau!” mereka membentak. Akan tetapi sebagai jawaban Song Bu menyerang mereka dengan pukulan tangan. Dia sengaja bergerak lambat sehingga dapat dielakkan oleh dua orang itu yang kemudian menggunakan golok mengeroyoknya. Song Bu melayani mereka sampai belasan jurus, barulah dia menggunakan Ang Tok Ciang memukul mereka. Dua kali dia memkul dengan ilmu pukulan beracun merah itu dan dua orang itupun terpelanting roboh dan tidak mampu bangun kembali. Song Bu lari ke arah pohon di mana perajurit pengawal yang mengantarnya tadi menunggu. Dia tadi sengaja bertindak lambat agar perajurit ini menyaksikan dari bawah pohon sehingga tidak timbul kesan bahwa dia sengaja membiarkan keluarga itu lolos dan melarikan diri.
“Ouw Yang Kongcu, engkau telah merobohkan dua orang penjaga itu. Akan tetapi saya tadi melihat Pangeran Ceng Sin melrikan diri dengan kereta!” “Ah, di dalam tadi aku dikeroyok banyak pengawal yang lihai sehingga agak lama aku baru dapat merobohkan mereka. Jadi pangeran itu telah lari dengan kereta? Ke mana? Biar aku mengejar dan membunuhnya!” “Jangan, Kongcu. Kalau sudah keluar dari rumah, akan berbahaya sekali. Keributan tentu akan menarik datangnya pasukan dan sebelum Kongcu berhasil membunuh pangeran itu, orang-orang akan melihat kongcu. Pada hal, Kongcu harus bekerja dengan rahasia, tidak boleh terlihat orang lain agar tidak membawa-bawa nama Liu Tai-jin. Mari kita pulang saja membuat laporan.” Diam-diam Song Bu merasa girang mendengar ucapan perajurit pengawal yang menemaninya itu. Memang itulah yang dia harapkan, yaitu agar dia tidak usah melakukan pengejaran, tidak usah membunuh Pangeran Ceng Sin, demi isterinya, derni anak gadisnya. Rasanya tidak mungkin dan tidak sampai hati kalau dia harus membunuh ketiganya.Ternyata setelah tiba di gedung tempat tinggal Liu Thai-kam, pembesar ini belum tidur. Dia sengaja menanti kembalinya, bersama ayahnya duduk di ruangan dalam. Song Bu bersama perajurit pengawal itu masuk ke ruangan itu dan menghadap. Belum juga Song Bu duduk, Liu Thaikam telah menyambutnya dengan pertanyaan penuh gairah.
“Bagimana, Ouw Yang Song Bu? Berhasil baikkah engkau membunuh Pangeran Ceng Sin?” Song Bu duduk di atas sebuah kursi dan perajurit pengawal itu tetap berdiri den sikap hormat.
“Maafkan saya, Tai-jin. Ketka saya berhasil memasuki gedung tempat tinggal pangeran itu, lima orang jagoan mengepung dan mengeroyok saya. Kepandaian lima orang itu cukup tangguh sehingga setelah lama bertanding dan bersusah payah akhirnya saya dapat merobohkan mereka berlima. Akan tetapi ketika saya cari-cari kedalam rumah itu, saya hanya menemukan seorang wanita pelayan yang saya robohkan sedangkana, Pangeran itu dan keluarganya tidak di dalam rumah. Agaknya ketika saya bertanding melawan lima orang jagoan itu, dia telah melarikan diri dengan kereta seperti terlihat oleh perajurit pengawal ini. Ketika saya ke luar, kembali saya dihadang oleh dua orang pengawal yang menjaga pintu pekarangan. Kami bertanding dan saya dapat merobohkan dua orang itu. Akan tetapi kereta itu telah lama pergi, menurut keterangan perajurit pengawal ini.
“Maafkan saya, Tai-jin. Tadinya saya hendak melakukan pengejaran terhadap pangeran yang lari dengan keretą, akan tetapi perajurit pengawal itu mencegah karena khawatir keributan itu memancing datangnya pasukan dan saya akan dilihat orang.” “Herm, benarkah itu?” tanya Liu-Thaikam kepada perajurit pengawal itu. pengawal itu mengangguk membenarkan dan Liu- thaikam mengangguk-angguk.
“Sudahlah, Song Bu. Biarpun engkau gagal membunuhnya, setidaknya engkau telah membunuh para jagoannya dan hal ini tentu membuat dia ketakutan. Kalau dia melarian diri dan tidak berani kenbali lagi ke Kota Raja, hal itu sudah baik sekali. Jasamu cukup besar dan engkau boleh beristirahat. Ayahmu sedang hendak melaksanakan tugasnya.” Song Bu memandang kepada ayahnya dan Ouw Yang Lee memberi isyarat dengan gerakan kepalanya agar pemuda itu pergi dan tidur di kamar mereka. Song Bu lalu mengundurkan diri. Perajurit pengawal itupun disuruh pergi oleh Liu-thaikam.
“Nah, sekarang tiba saatnya bagimu untuk memperlihatkan kesungguhan hatimu dan kesetiaanmu, Ouw Yang-sicu. Puteramu sudah bekerja dengan baik dan aku menghargainya sekali. Sekarang tengah malam lewat dan kiranya saat seperti ini yang paling baik bagimu untuk bergerak. Sudah kukatakan bahwa rumah Panglima Koan tentu terjaga ketat, jauh lebih kuat dibandingkan dengan penjagaan di rumah Pangeran Ceng Sin. Engkau sudah tahu benar tentang letak gedung tempat tinggal Panglima Koan Tek bukan?” “Sudah, Tai-jin. Keterangan dan gambaran tadi sudah jelas dan saya kira saya akan dapat menemukan rumah itu dengan mudah. Dan harap paduka jangan khawatir. Saya sudah berpengalaman, tidak seperti anak saya yang masih hijau. Paduka dengar saja, sebelum matahari terbit, tentu Panglima Koan Tek telah kehilangan nyawanya.” “Bagus, mudah-mudahan berhasil, Ouw yang-sicu. Panglima Koan Tek itu merupakan seorang yang amat berbahaya bagi kami dan bukan tidak mungkin pembunuh yang pernah menyerbu ke sini itu adalah dia orangnya. Hati-hati, dia mempunyai banyak kaki tangan yang lihai. Kami akan menanti kembalimu, Ouw Yang-sicu dan tidak akan dapat tidur sebelum engkau kembali membawa berita yang menyenangkan.” Ouw Yang Lee lalu bersiap-siap. Seperti juga Song Bu tadi, diapun mengenakan pakaian serba hitam yang sudah dipersiapkan oleh Liu-thaikam. Bahkan dia mengenakan topeng dari kain hitam untuk menutupi mukanya. Tidak seperti Song Bu yang sama sekali belum terkenal, Ouw Yang Lee adalah seorang yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Kalau dia ber tindak tentu dia akan dikenal orang dan hal ini sama sekali tidak dikehendaki oleh Liu Thai-kam. Karena itulah Ouw Yang Lee menggunakan kedok kain hitam. Kemudian, bagaikan sesosok bayangan iblis dia berkelebat lenyap di antara kegelapan malam. Ouw Yang Lee tidak perlu diantar perajurit pengawal karena untuk dapat keluar dari kormpleks istana tanpa diketahui penjaga merupakan hal yang mudah baginya, Dan untuk mencari rumah gedung tempat tinggal Koan-Ciangkun juga bukan merupakan pekerjaan sukar karena dia sudah hafal akan keadaan Kota Raja yang dulu sering dikunjunginya. Apa lagi dia sudah mendapat petunjuk dan gambaran dari Liu thaikam bahwa rumah tempat tinggal panglima itu berada di sebelah selatan Jembata Bulan Merah. Suasana sudah amat sepi karena malam telah larut, tengah malam telah lewat. jalan-jalan sudah ditinggalkan orang dan Kota Raja tampaknya sudah tidur, Bayangan hitam itu berkelebat cepat sekali dan andaikata ada orang melihatnya, tentu tidak akan mengira bahwa yang berkelebat itu adalah bayangan orang. Ouw Yang Lee mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan seperti terbang cepatnya. Sebentar saja sudah tiba di tempat yang dituju, yaitu di depan sebuah gedung besar, gedung yang terletak di sebelah selatan Jembatan Bulan merah.
Jalan di depan gedung itupun sunyi sekali, tidak tampak seorangpun lewat. Akan tapi pandang mata yang tajam dari Ouw Yang Lee dapat melihat belasan orang perjurit melakukan penjagaan di dalam dan gardu penjagaan yang berada di pinggir halaman gedung yang luas. Dia mendekam di balik semak yang tumbuh di bawah pohon, mengamati dan memperhitungkan keadaan. Besar sekali bahayanya dia akan gagal kalau dia menyerbu lewat pintu halaman itu. Biarpun dia akan manampu merobohkan belasan orang penjaga itu, namun keributan itu pasti akan memancing keluarnya lebih banyak lagi perajurit pengawal dan juga jagoan-jagoan yang menjaga keselamatan panglima itu. Tidak, dia harus dapat masuk tanpa diketahui oleh penjaga. Akan tetapi dia harus dapat menguasai seorang karyawan dalam gedung itu. Akan sukarlah baginya untuk dapat menemukan kamar sang panglima tanpa ada orang yang memberi petunjuk.
Setelah mempertimbangkan baik-baik, dia lalu bergerak cepat menyelinap di dalam bayangan-bayangan yang gelap mengitari pagar tembok yang cukup tinggi menuju ke belakang gedung. Dia menunggu sebentar dan benar saja, lima orang perajurit pengawal lewat di luar pagar tembok itu, agaknya mengadakan perondaan di sekeliling pagar tembok. Setelah lima orang peronda itu lewat, barulah Ouw Yang Lee menggunakan kepandaiannya. Dia mengeluarkan segulung tali hitam yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Di ujung tali itu terikat sebuah kaitan tiga cabng dari besi. Dia tidak berani menggunakan gin-kang untuk melompat ke atas pagar tembok yang tinggi itu. Selain pagar itu amat tinggi, juga andaikata dia dapat melompat ke atasnya, dia khawatir di atas pagar tembok itu dipasangi alat rahasia yang akan memberi tanda akan kedatangannya, atau dipasangi jebakan.
Menggunakan tali lebih aman. Sekali lontaran saja, kaitan besi itu telah mengait puncak pagar tembok dan dia pun mulai memanjat tembok itu menggunakan tali. Cepat seperti seekor kera tubuhnya sudah tiba di atas. Dengan hati-hati dia mengintai ke sebelah dalam. Sunyi saja. Aman keadaannya, apa lagi diapun dilindungi kegelapan malam. Dia naik ke atas pagar tembok, menarik tali yang menggantung di luar tembok, kemudian dengan hati-hati dia turun ke sebelah dalam, juga melalui tali itu. Melompat begitu saja kebawah juga berbahaya karena keadaan gelap dan siapa tahu di bawah terdapat jebakan. Setelah tiba di bawab, dia menarik tali itu sehingga kaitannya di atas terlepas. Dia menggulung tali dan mengikat kan di pinggangnya, kemudian dia mulai mengamati keadaan sekelilingnya. Dari lampu yang dipasang di tempat itu dia melihat bahwa dia berada di sebuah taman yang cukup luas.
Taman ini penuh tanaman bunga sehingga memudahkan dia untuk menyusup diantara tanaman bunga menghampiri gedung. Dengan mudah Ouw Yang Lee membuka daun pintu sebuah kamar yang kecil tanpa menimbulkan suara sehingga laki-laki setengah tua yang tidur di atas dipan dalam kaar itu tidak terbangun. Dari pakaiannya, ketika dia mengintai dari jendela tadi, dia tahu bahwa orang itu tentu seorang pelayan, maka dia mengambil keputusan untuk memilih orang itu sebagai penunjuk jalan agar dia dapat menemukan kamar sang panglima. Bagaikan seekor kucing saja, dia melompat memasuki kamar melalui jendela yang sudah terbuka dan dengan hati-hati dia cepat menutupkan lagi daun jendela dari dalam agar jangan sampai menarik perhatian orang. Sekali meloncat, dia sudah berdiri di depan pembaringan.