Dia memandang ke sekeliling, namun tidak melihat ada perahu sehingga dia tidak tahu harus mengejar kearah mana. Akhirnya dia putus harapan dan teringat akan seorang pengeroyok yang tadi dirobohkan dengan totokan. Pengeroyok yang masih hidup tentu akan dapat memberi tahu siapa adanya orang-orang yang memimpin mereka, berani menyerang Pulau Naga dan berani menculik kedua isterinya dan kedua anaknya. Teringat akan ini, dia cepat mendayung perahu ke tepi pulau lagi dan melompat ke darat, lalu lari ke perkampungannya di tengah pulau. Ketika tiba di taman, pertempuran telah berhenti. Semua penyerbu telah dapat dirobohkan dan 'dibunuh. Ouw Yang Lee mencari orang yang tadi dia robohkan dengan totokan. Setelah menemukan orang itu, memegang tangannya dan menyeretnya menuju ke dalam rumah.
“Kalian urus semua mayat ini, kuburkan dalam hutan agar jangan mengotori udara di sini. Song Bu, kau ikut aku masuk rumah!” Dia memerintah kepada anak buahnya dan kepada Song Bu. Song Bu segera mengikuti gurunya yang menyeret tubuh orang yang belum tewas namun yang tidak mampu menggerakkan badannya karena jalan darahnya tertotok oleh Ouw Yang Lee. Setelah tiba di ruangan dalam di mana penerangan telah dinyalakan oleh para pelayan, Ouw Yang Lee melemparkan tubuh tawanannya itu ke tengah ruangan. Song Bu mengikuti gurunya dan anak itu berdiri di sudut ruangan sambil melihat apa yang hendak dilakukan gurunya terhadap tawanan itu. Ouw Yang Lee membebaskan totokan orang itu dengan menepuk kedua pundaknya. Orang itu bangkit dan merangkak hendak bangun, akan tetapi dia mendekam kembali ketika ujung pedang di tangan Ouw Yang Lee menodong lehernya.
“Hayo katakan, siapa dua orang pemimpin kalian yang telah menculik kedua orag isteri dan anak kami! Cepat katakan!” Berkata demikian, pedangnya berkelebat.
“Cratt!” Ujung pedang itu menggores paha kiri orang itu sehingga celana dan kulit dagingnya robek. Orang itu mengeluh dan memegangi pahanya yang terluka dan terasa perih.
“Cepat jawab pertanyaanku tadi. Siapa kedua orang pemimpin itu!” “Saya... saya... dan kawan-kawan hanya anak buah yang taat kepada perintah ketua kami yang berjuluk Tok-Gan-Houw (Harimau Mata Satu) bernama Lo Cit. Kami bersarang di Bukit Harimau di pantai laut. Kami hanya menaati perintah ketua kami yang membawa kami menyerbu ke Pulau Naga.” Orang itu mengaku dengan wajah pucat sekali, kemudian merintih karena pahanya terasa nyeri bukan main, pedih dan panas. Sebagai seorang yang sudah lama berkecimpung dalam dunia kang-ouw (sungai telaga persilatan), dia dapat menduga bahwa luka di pahanya mengandung racun. Dugaannya itu memang benar. Ouw Yang Lee yang berjuluk Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur) adalah seorang yang ahli dalam penggunaan segala macam racun, oleh karena itu, tentu saja pedang yang dipergunakannya mengandung racun.
“Jadi yang menculik keluarga kami ada lah Tok-Gan-Houw Lo Cit? Siapa yang seorang lagi?” bentak Ouw Yang Lee dan pedangnya sudah mengancam ke leher orang itu. Dengan tubuh menggigii menahan rasa nyeri dan takut, orang itu menjawab, “Saya saya tidak tahu... siapa kawan dari Tok Gan Houw Lo Cit,” Ouw Yang Lee sudah merasa cukup mendapat keterangan itu.
Kalau dia dapat menangkap Tok-Gan-Houw Lo Cit, tentu dia akan tahu pula siapa orang ke dua itu. Kakinya bergerak menendang ke arah dada orang itu. Tubuh orang itu terlempar keluar dari ruangan'dan tewas seketika karena tendangan. yang disertai tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat itu telah mengguncang dan menghancurkan isi dadanya. Song Bu menghampiri gurunya.
“Suhu, kita harus cepat melakukan pengejaran dan menolong kedua subo dan kedua sumoi!” “Song Bu, engkau tinggal saja di rumah. Pekerjaan ini berbahaya, hanya aku yang dapat melakukannya. Aku hendak melakukan pengejaran sekarang, engkau tinggal di rumah saja.” “Baik, suhu,” kata Song Bu walaupun hatinya merasa kecewa karena sebetulnya dia ingin membantu gurunya untuk mencari para subo dan sumoinya. Sambil membawa pedang dan dayungnya, Ouw Yang Lee lalu keluar dari rumah menuju ke pantai di mana terdapat sebuah perahu yang khusus miliknya. Dua orang anak buahnya membawa obor dan mengikuti ketua mereka untuk menerangi jalan. Akan tetapi ketika mereka tiba di pantai, mereka melihat bahwa air laut sedang pasang. Keadaan lautan di malam itu sungguh ganas dan sama sekali tidak mungkin untuk melakukan penyeberangan ke daratan Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya.
Dia tidak mampu melakukan pengejaran malam ini dan dia khawatir sekali akan keselamatan kedua isteri dan kedua orang anaknya. Kalau mereka itu dibawa lari penjahat dengan menggunakan perahu, mereka tentu terancam oleh keadaan laut yang sedang pasang itu. Karena tidak mungkin melakukan pengejaran di waktu malam gelap dan air laut sedang pasang itu, terpaksa Ouw Yang lee menunggu. Dia tidak kembali ke rumah melainkan duduk di dalam sebuah perahu yang berada di tepi, bersila dan termenung, mencoba untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Dia mengingat-ingat dan rasanya belum pernah bermusuhan dengan orang bernama Lo Cit yang berjuluk Tok- Gan-Houw. akan tetapi mengapa orang itu datang menulik kedua orang isterinya dan kedua orang anaknya? Ouw Yang Lee marah sekali. Belum perah selama hidupnya dia marah seperti itu.
belum pernah selama hidupnya dia terganggu seperti itu. Kedua orang isterinya dan kedua orang anaknya diculik orang! Sungguh hal ini merupakan penghinaan dan tantangan yang harus dihadapinya mati-matian. Dia harus membunuh penculik itu! Dia akan menunggu sampai malam lewat. Biasanya, kalau air laut pasang di malam hari, pada pagi harinya akan surut dan tenang kembali. Dia
menunggu di situ, dalam kegelapan karena dia menyuruh pergi dua orang anak buah yang tadi mengikutinya sambil membawa obor. Dia menanti dengan hati penuh kegeraman, penuh dendam. Perahu besar yang dipergunakan oleh dua orang penjahat yang menculik kedua orang Nyonya Ouw Yang dan dua orang puteri mereka itu meluncur dengan cepat meninggalkan Pulau Naga. Perahu itu sempat mengembangkan layarnya karena pada saat mereka melarikan diri itu air laut belum pasang terlalu besar dan masih memungkinkan melakukan pelayaran.
Gelombang besar mulai timbul ketika perahu mereka telah jauh meninggalkan Pulau Naga dan enam orang anak buah mereka yang mengatur layar dan kemudi perahu adalah orang-orang yang cakap dan sudah berpengalaman sehingga walaupun perahu itu harus menerjang gelomang besar, perahu tetap meluncur dengan pesat menuju ke daratan besar. Dua orang nyonya bersama anak merea berada di dalam bilik perahu dan mereka menangis terisak- isak penuh rasa khawatir. Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui merangkul ibu masing-masing dan kedua orang anak perempuan ini bersikap seperti hendak melindungi ibu mereka! Bahkan Ouw Yang Lan berulang kali menghibur ibunya dengan kata-kata bersemangat.
“Jangan menangis, ibu dan jangan takut. Aku akan melindungimu!” kata Ouw Yang Lan dengan sikap gagah sambil memandang kepada dua orang yang duduk tak jauh dari mereka di dalam bilik perahu itu. Ibunya yang bernama Lai Kim atau Nyonya Ouw Yang Lee yang pertama hanya merangkul puterinya dengan gelisah. Sim Kui Hwa atau Nyonya Ouw Yang ke dua yang memeluk Ouw Yang Hui sudah tidak menangis lagi dan ia menoleh kepada dua orang penculik mereka, lalu berkata dengan suara lembut. Wanita ini memäng berwatak lembut dan suaranyapun halus, “Mengapa ji-wi (kalian berdua) menculik kami yang tidak berdosa? Kalau jiwi membutuhkan harta, katakan saja. Suami kami tentu akan suka menyerahkan kepada ji-wi asalkan ji-wi suka membebaskan kami.” Seorang di antara dua pria yang duduk dalam bilik itu, yang sejak tadi hanya diam saja dan kadang-kadang melirik ke arah mereka, mengerutkan alisnya. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok akan tetapi mata kirinya buta dan tidak berbiji. Mendengar ucapan Sim Kui Hwa itu, dia menghardik.
“Diam kau! Atau aku akan meiempar kalian ke dalam lautan!” Dihardik seperti itu, dua orang wanita itu tidak berani mengeluarkan suara lagi. Mereka berdua, biarpun merupakan wanita wanita lemah, namun sebagai isteri-isteri seorang datuk besar, mereka tidak takut mati, akan tetapi mereka mengkhawatirkan keselamatan puteri mereka. Laki-laki tinggi besar brewok bermata satu inilah Tok-Gan-Houw (Harimau Mata Satu) Lo Cit. Dia adalah kepala gerombolan yang bersarang di bukit Houw-san (Bukit Harimau) yang letaknya di pesisir Laut Timur. Gerombolannya terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang dan mereka adalah gerombolan yang suka merampok dan membajak.
Berulang kali anak buah dari Houw-san ini diwaktu melakukan penbajakan bentrok dengan anak buah Pulau Naga dan seringkali mereka terpukul mundur, bahkan banyak di antara anak buah Houw-san yang tewas menjadi korban dalam bentrokan itu. Hal ini tentu saja amat menyakitkan hati Tok-Gan-Houw Lo Cit. Akan tetapi kepala gerombo!an ini sudah mendengar akan kesaktian Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur) Ouw Yang Lee yang menjadi majikan Pulau Naga. Ouw Yang Lee terkenal sebagai datuk dari timur, maka tentu saja memiliki kesaktian yang hebat. Tok-Gan- Houw Lo Cit merasa jerih walaupun dia sendiri sebenarnya adalah seorang tokoh kang-ouw (dunia persilatan) yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi. Namun karena hatinya sudah kesal sekali melihat betapa anak buahnya sering kali ditentang dan dikalahkan oleh para anak buah Pulau Naga, dia menyimpan dendam.
Pada suatu hari, kebetulan sekali dia bertemu dengan seorang kenalannya, seorang tokoh kang-ouw lain yang dia tahu memiliki ilmu silat yang amat tangguh. Bahkan orang itu lebih lihai dari pada dirinya sendiri. Orang itu adalah pria tinggi besar bermuka merah dan gagah yang membantunya melakukan penyerbuan ke Pulau Naga. Pria yang bermuka merah dan gagah ini di dunia kang-ouw juga amat terkenal dengan julukan Thai-Lek-Kui (Iblis Bertenaga Besar bernama Ciang Sek. Dia adalah seorang datuk yang menjadi pemilik atau majikan bukit Awan Putih. Sebetulnya Thai-Lek-Kui Ciang Sek tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Ouw Yang Lee, akan tetap ketika dimintai tolong oleh Lo Cit yang menjadi kenalan baiknya, dia merasa tidak enak untuk menolak.
Demikianlah, Ciang Sek bersama Lo Cit membawa belasan orang anak buahnya menyerbu Pulau Naga di malam hari itu. Melihat kelihaian Ouw Yang Lee yang merobohkan para anak buahnya, Lo Cit lalu menawan Sim Kui Hwa dan anaknya Ouw Yang Hui, sedangkan Ciang Sek tiba tiba merasa tertarik sekali kepada Lai Kim, ibu Ouw Yang lan yang cantik jelita. Maka diapun lalu menawan wanita itu bersama puterinya dan membawanya lari bersamA-Sama Lo Cit, melarikan diri dari pulau dengan perahu besar itu. Thai-iek-kui Ciang Sek yang berusia empat puluh tahun itu telah menjadi seorang duda. Beberapa bulan yang lalu dia kehilangan isterinya yang tercinta. Isterinya meninggal dunia karena suatu penyakit. Setelah isterinya meninggal dunia, Ciang Sek begitu berduka.
Dia memulangkan tiga orang isteri mudanya ke kampung tempat asal mereka masing-masing, kemudian dia meninggalkan Pek-In- San (Bukit Awan Putih) dalam rawatan belasan orang anak buahnya, kemudian dia merantau tanpa tujuan tertentu. Dalam perantauannya. inilah dia bertemu Tok gan-houw Lo Cit yang minta bantuannya untuk menyerbu Pulau Naga. Ketika melihat Lai Kim yang wajahnya mirip mendiang isterinya, bahkan Lai Kim lebih muda dan lebih jelita, seketika hatinya terpikat dan tanpa diminta dia menawan Lai Kim dan puterinya, Ouw Yang Lan. Setelah perahu itu akhirnya tiba dengan selamat ke pantai daratan besar, malam telah larut, bahkan fajar hampir menyingsing. Pelayaran itu menjadi lambat karena laut yang pasang mengombang-ambingkan perahu itu sehingga pelayaran itu tidak lancar dan memakan waktu lama baru tiba di pantai daratan.
“Lo-twako (kakak Lo), setelah tiba di sini, aku harus melanjutkan perjalananku. Ibu dan anak yang kutawan ini akan kubawa!” kata Thai-Lek-Kui Ciang Sek kepada Lo Cit, dalam suaranya terkandung nada keras yang menyatakan bahwa kehendaknya itu tidak boleh dibantah lagi. Lo Cit cepat mengangkat kedua tangan e depan dada memberi hormat.
“Memang sebaiknya kalau kita berpencar di sini, dan wanita beserta puterinya itu adalah engkau yang menawannya, maka engkau pula yang berhak atas diri mereka. Terima kasih atas bantuanmu, saudara Ciang Sek.” Pada saat itu, beberapa orang mendekati méreka sambil menuntun beberapa ekor kuda. Mereka itu ternyata adalah anak buah Lo Cit yang ditinggal di pantai itu untuk mempersiapkan segalanya kalau mereka pulang dari penyerbuan mereka ke Pulau Naga.
“Kebetulan sekali engkau mempunyai beberapa ekor kuda, Lo- toako. Aku membutuhkan dua ekor kuda yang kuat dan baik, kata pula Ciang Sek.
“Silakan memilih dua ekor, saudara Ciang Sek,” kata pula Lo Cit. Thai-Lek-Kui Ciang Sek memilih dua ekor kuda, kemudian tanpa banyak cakap dia mengangkat tubuh Lai Kim dan Ouw Yang Lan ke atas seekor kuda. Ibu dan anak ini disuruh berboncengan dan dia sendiri melompat ke atas punggung kuda yang ke dua.
“Nah, kami berangkat, Lo-toako!” kata Ciang Sek sambil membedal kudanya dan menuntun kuda yang ditunggangi Lai Kim dan Ouw Yang Lan. Dia menjalankan kudanya menuju ke Barat.
“Engkau hendak membawa kami ke manakah?” tanya Lai Kim yang kini sudah tidak menangis lagi.
“Kenapa engkau membawa kami pergi? Lepaskanlah kami berdua yang tidak tahu apa-apa dan tidak bersalah apapun kepadamu.” “lbu, jangan takut! Aku akan melindungimu kata Ouw Yang Lan yang duduk di atas kuda, depan ibunya.
“Nyonya yang baik, tenang sajalah. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyengsarakanmu. Kalau engkau banyak membantah, terpaksa aku akan membunuh anak perempuanmu itu!” Biarpun suaranya terdedengar lembut namun nadanya mengandung ancaman yang membuat Lai Kim tidak berani mengeluarkan suara lagi, melainkan mendekap tubuh puterinya yang berada di depannya. Dua ekor kuda itu berjalan terus menuju ke barat, dalam keremangan cuaca fajar. Kabut tebal segera menyelimuti bayangan dua ekor kuda itu. Sementara itu, Lo Cit memberi isyarat kepada anak buahnya. Tak lama kemudian sebuah kereta datang. Kiranya anak buah Lo Cit sudah mempersiapkan kuda dan kereta untuk menyambut ketua mereka. Yang ikut menyerbu ke Pulau Naga hanya belasan orang dan yang masih tinggal ada belasan orang lagi. Sisa anak buahnya itulah yang kini menyambut kedatangan Lo Cit dan mereka tentu saja merasa heran dan terkejut melihat bahwa yang kembali dengan selamat hanyalah Lo Cit dan Ciang Sek yang menawan dua orang wanita beserta puteri mereka.
“Teman-teman berada di mana, Pangcu (ketua)?” tanya seorang di antara para anak buah itu. Lo Cit mengangkat tubuh Sim Kui Hwa dengan paksa naik ke kereta, demikian pula Ouw Yang Hui dipaksanya naik kereta.
“Jangan banyak bertanya!” bentak Lo Cit marah karena dia merasa terpukul sekali dengan kenyataan bahwa belasan orang anak buahnya yang ikut menyerbu Pulau Naga telah tewas semua dan tidak ada seorangpun yang lolos.
“Jalankan kereta, cepat Dia khawatir kalau-kalau Ouw Yang Lee melakukan pengejaran. Kereta dilarikan dengan cepat dan belasaan orang sisa anak buahnya yang tidak ikut menyerbu ke Pulau Naga mengikuti dari belakang, dengan menunggang kuda. Sim Kui Hwa mendekap puterinya dan memandang kepada Lo Cit yang duduk dalam kereta di depannya dengan mata mengandung ketakutan.
“Tuan, kami hendak kau bawa ke manakah? Kenapa kami yang tidak bersalah apa-apa kau tawan? Harap kau suka membebaskan kami ibu dan anak.” Sim Kui Hwa memohon dengan suara lirih. Mata yang tinggal sebelah kanan saja itu memandang dengan sinar mata mengancam.
“Diam, jangan banyak bicara kalau kalian ingin hidup!” bentak Lo Cit yang masih marah mengingat akan kematian banyak anak buahnya. Bentakan itu membuat Sim Kui Hwa tidak berani bicara lagi dan hanya menangis. Setelah matahari naik agak tinggi, tibalah kereta yang dikawal belasan orang anak buah itu tiba di sebuah persimpangan jalan. Lo Cit menghentikan keretanya dan memberi isyarat keluar kereta, memanggil seorang pembantunya yang dipercaya. Pembantunya ini seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak,tingal tulang terbungkus kulit.
“Ji-Tong, seperti sudah kuperintahkan dengan jelas kepadamu, bawalah anak itu sekarang juga. Engkau tahu sudah, apa yang harus kau lakukan dengan anak itu.” “Baik, pang-cu,” kata laki-laki tinggi kurus yang bernama Ji-Tong itu. Dia lalu memasuki kereta dan meraih ke arah Ouw Yang Hui. Anak berusia tujuh tahun itu ketakutan dan memeluk ibunya. Ibunya juga merangkulnya ketika melihat betapa orang kurus itu hendak menangkap Ouw Yang Hui. Akan tetapi sepasang lengan yang panjang kurus itu terus mengejar lalu menangkap pinggang Ouw Yang Hui dan menariknya. Sim Kui Hwa mempertahankannya dan menjerit-jerit. Ouw Yang Hui juga menjerit-jerit. Akan tetapi sepasang tangan Ji-Tong merenggut dengan kuatnya sehingga ibu dan anak yang saling rangkul itu terlepas dan terpisah. Ji-Tong memondong Ouw Yang Hui keluar dari kereta. Sim Kui Hwa hendak mengejar keluar. Lo Cit merangkul pinggangnya dan menahannya di dalam kereta.
“Jałankan kereta! Cepat!” perintahnya kepada kusir yang segera mencambuk kudanya dan kereta itu bergerak melaju dengar cepat. Sim Kui Hwa meronta-ronta hendak melepaskan diri agar dapat menolong puterinya.
“Lepaskan aku…!! Kesinikan Anakku...!” Ouw Yang Hui la meronta dan menjerit. Akan tetapi pinggangnya dirangkul Lo Cit dengan kuatnya sehingga ia tidak mampu melepaskan diri dan kereta bergrak cepat sekali. Sementara itu, Ji-Tong sudah membawa tubuh Ouw Yang Hui melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda itu mengambil jalan simpang yang menuju ke kota Nam-po yang letaknya kurang lebih puluhan lie dari situ. Ouw Yang Hui yang dipisahkan dari ibunya, meronta dan menjerit-jerit, akan tetapi apakah artinya tenaga rontaan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun bagi seorang Ji-Tong, penjahat yang terbiasa mempergunakan kan kerasan dan kekuatan? Ji- Tong membalapkan kudanya dengan cepat, tidak perduli teriakan- teriakan Ouw Yang Hui.
“Diam, anak bandel!” akhirnya Ji-Tong merasa jengkel juga karena anak perempuan itu terus menangis.
“Ku tampar kau kalau menangis dan berteriak-teriak terus.” Akan tetapi dia tidak menghentikan kudanya yang tetap berjalan cepat.
“Ibuuu... bawa aku kembali kepada ibuuuuuuu! Aku tidak mau ikut kamu...” Ouw Yang Hui tidak perduli akan ancaman orang itu dan menjerit-jerit terus. Kuda yang ditunggangi Ji-Tong itu memasuki sebuah hutan kecil yang berada di luar kota Nam-po. Tiba-tiba tampak dua orang laki-laki muncul dan berlompatan keluar dari balik semak-semak dan dua orang itu menghadang di tengah jalan kecil yang dilalui Ji-Tong. Kuda yang ditunggangi menjadi terkejut. Ji-Tong menahan kendali kudanya yang berdiri dan meringkik.
“Mau apa kalian?” Minggir bentak Ji-Tong. Akan tetapi dua orang itu sama sekali tidak mau minggir, bahkan seorang di antara mereka segera memegang kendali dekat mulut kuda.
“Turun kau dan tinggalkan kuda untuk kami, kalau engkau ingin selamat!” bentak orang ke dua. Ji-Tong marah sekali. Dia adalah seorang yang biasa merampok, dan kini agak nya hendak dirampok orang lain! Dia membawa Ouw Yang Hui melompat turun dari atas kuda, melepaskan tubuh anak itu di atas tanah, lalu tangannya mencabut sebatang golok yang berada di punggungnya.
“Kalian penjahat-penjahat kecil yang sudah bosan hidup!” bentaknya dan diapun sudah menerjang dengan goloknya. Akan tetapi kedua orang itupun sudah mencabut golok mereka dan mengeroyok Ji-Tong. Terjadilah perkelahian yang seru dan mati- matian. Kuda itu dibiarkan terlepas, dan Ouw Yang Hui yang melihat perkelahian itu, memandang dengan mata terbelalak. la tidak tahu harus berbuat apa, hendak lari harus mengambil jalan mana? la berada di tengah hutan dan ia tidak tahu ibunya berada di mana. Karena kebingungan, anak itu tidak mampu beranjak dari tempat itu. Perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain menyaksikan perkelahian itu. Ternyata kedua orang yang melakukan penghadangan itu tangguh juga sehingga Ji-Tong mengalami kesulitan.
Biarpun sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, namun tetap saja dia terdesak hebat, kini hanya dapat menangkis saja sambil terus mundur. Sial baginya, ketika dia mundur-mundur itu, kakinya terjegal oleh akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tak dapat dihindarkan lagi, diapun terjengkang dan selagi dia terhuyung mempertahankan keseimbangan tubuhnya, dua orang pengeroyoknya mengejar dan menghujamkan serangan golok mereka. Ji-Tong tidak dapat menghindarkan diri lagi dan dia berteriak keras ketika tubuhnya menjadi sasaran dua batang golok itu. Dia terpelanting dan roboh mandi darah oleh dua orang pengeroyoknya. Dia roboh dengan luka parah di leher dan dadanya. Dua orang itu memandang kepada Ji-Tong yang sudah menggeletak berlumuran darah dan tidak bergerak lagi, lalu mereka menyarungkan golok mereka ke sarung di punggung.
“A-Liuk, bawa kuda itu dan mari kita cepat pergi dari sini,” kata seorang dari mereka yang kepalanya botak dan usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Sam-ko, lihat anak itu. Manis dan cantik sekali! kata orang yang disebut A-Liuk, orang yang bertubuh pendek kecil dan usianya sekitar tiga puluh tahun. Orang kedua yang bernama A-Sam menoleh dan diapun tertegun melihat Ouw Yang Hui yang sudah tidak menangis lagi. Bukan main cantik manisnya anak itu! “Sam-ko, ia bahkan jauh lebih berharga dari pada kuda ini!” kembali A-Liuk berkata. Hati A-Sam menjadi tertarik dan dia lalu menghampiri Ouw Yang Hui. Anak itu memandang kepada laki-laki botak yang menghampirinya dengan senyum ramah di wajahnya. Karena melihat betapa dua orang itu telah membunuh Ji-Tong yang jahat, Ouw Yang Hui menganggap mereka berdua itu sebagai penolongnya dan iapun tidak merasa takut. A-Sam lalu berjongkok di depan anak itu.
“Anak yang baik, kenapa engkau tadi menangis dan siapakab orang itu?” Dia menuding ke arah tubuh Ji-Tong yang sudah tidak bergerak lagi.
“Dia orang jahat, memaksa aku berpisah dari ibuku,” kata Ouw Yang Hui.
“Hemm, jangan takut lagi, anak manis. Dia telah kami bunuh. Dan di mana ibumu sekarang?” Ouw Yang Hui menggeleng kepala.
“ibu juga dibawa lari penjahat, entah ke mana.” “Ah, kalau begitu, mari engkau ikut dengan kami. Kami berdua akan mencarikan ibumu sampai dapat,” kata A-Sam. Mendengar ini, Ouw Yang Hui tampak gembira sekali.
“Benarkah, paman? Ah, aku girang sekali. Tentu saja aku mau ikut dengan paman berdua untuk mencari ibuku!” A-Sam saling pandang dengan A-Liuk dan mereka berdua merasa girang sekali. Ouw Yang Hui lalu diangkat oleh A-Sam, didudukkan di atas punggung kuda rampasan itu dan mereka berdua lalu menuntun kuda dan berjalan keluar dari hutan menuju ke kota Nam-po. Karena percaya sepenuhnya bahwą dua orang paman itu bersikap baik kepadanya dan akan mencarikan ibunya maka tentu saja Ouw Yang Hui menjadi girang dan mengikuti mereka dengan taat. Hari telah menjelang sore ketıka akhirnya mereka memasuki kota Nam-po yang cukup ramai. Karena Ouw Yang Hui mengeluh perutnya lapar, maka kedua orang itu membawa Ouw Yang Hui ke sebuah rumah makan dan mereka bertiga makan minum sampai kenyang. Ouw Yang Hui sudah mulai dapat tersenyum karena hatinya girang bertemu dengan dua orang yang baik ini, yang menjanjikan untuk mencarikan ibunya.
Sehabis makan, A-Sam dan A-Liuk membawa Ouw Yang Hui berkunjung ke sebuah rumah mungil yang pintunya bercat merah dan di pekarangan depan rumah itu banyak tanaman bunga yang beraneka macam dan warna. Mereka menuntun kuda yang ditunggangi Ouw Yang Hui itu memasuki pekarangan, lalu berhenti di depan rumah dan mengikatkan kuda mereka pada sebatang pohon. A-Sam menurunkan Ouw Yang Hui dan menggandeng tangan anak perempuan itu menghampiri pintu depan. Dia mengetuk pintu dan ketika daun pintu terbuka, seorang wanita berpakaian pelayan menyambut mereka. Melihat dua orang laki- laki yang sikap dan pakaiannya kasar, pelayan wanita itu mengerutkan alisnya dan bertanya dengan sikap memandang rendah.
“Kalian berdua mau apa?” A-Sam tersenyum, tidak marah melihat sikap pelayan itu.
“Kami hendak bertemu dan bicara dengan Cia-Ma, ada urusan penting sekali!” Sambil berkata demikian, A-Sam mengijapkan sebelah matanya sambil menunjuk dengan dagunya ke arah Ouw Yang Hui. Anak perempuan itu tidak memperhatikan dan tidak melihat isyarat ini, bahkan andaikata ia melihat sekalipun ia tidak akan dapat menduga sesuatu. Pelayan itu, wanita berusia lima puluhan tahun memandang kepada Ouw Yang Hui dan tersenyum.
“Cantik dan manis sekali! Kau tunggulah sebentar, aku akan memberi tahu nyonya.” Setelah berkata demikian, pelayan itu lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul kembali dan sikapnya sekarang tidak kaku seperti tadi.
“Kalian dipersilakan masuk ke ruangan tamu,” katanya. A-Sam dan A-Liuk memasuki ruangan tamu mengikuti pelayan itu. A-Sam menggandeng tangan Ouw Yang Hui yang merasa heran.
“Paman, rumah siapakah ini…? Apakah ibu berada di sini?” “Tenanglah, anak yang baik. Ini rumah Bibi Cia. Untuk sementara engkau akan tinggal di sini dan kami berdua akan mencarikan ibumu. Kalau sudah bertemu, kami akan membawa ibumu ke sini.” Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Hui tidak bertanya lagi. Pelayan meninggalkan mereka duduk di ruangan tamu dan tak lama kemudian, pintu tembusan terbuka dari daam dan munculiah seorang wanita berusia empat puluhan tahun berpakaian mewah dan tubuhnya penuh dengan perhiasan dari emas permata. Wajah wanita ini cerah penuh senyurn dan begitu memasuki ruangan tamu itu, sepasang matanya yang sipit mengamati Ouw Yang Hui dengan penuh perhatian dan tampaknya ia tertarik sekali. Kemudian wanita yang biasa di sebut Cia-Ma (Ibu Ma) atau Bibi Cia itu memandang kepada A-Sam dan A-Liuk. la segera mengenal dua orang ini. Dua orang yang terkenal sebagai orang- orang yang biasa melakukan segala macam kejahatan di kota Nam po dan sekitarnya, dua orang yang suka berjudi dan mau melakukan pekerjaan apa saja asalkan diberi upah.
Kemarin iaa mendengar bahwa dua orang ini telah berjudi habis- habisan dan ludes. Agaknya sekarang telah rnendapatkan “rejeki” lagi sehingga datang membawa seekor kuda dan seorang anak yang manis. Tanpa bertanyapun tahulah Cia-Ma apa maksud mereka datang membawa seorang bocah perempuan kepadanya. Akan tetapi sekali ini gadis cilik yang dibawa mereka ini lain lagi. Bukan bocah sembarangan! Baru pakaiannya saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang anak yang keluarganya berkecukupan. Tubuhnya terpelihara dengan baik dan dalam keadaan sehat sekali. Wajahnya demikian anggun dan cantik. Hati Cia-Ma tergerak dan tak dapat ia menahan diri untuk tidak mengusap pipi anak itu dengan usapan lembut dan menyayang.
“Anak yang baik, siapakah namamu nak?” tanyanya dengan manis budi. Karena sikap Cia-Ma yang lembut, Ouw Yang Hui juga tidak malu-malu dan menjawab dengan jelas.
“Namaku Ouw Yang Hui, bibi.” “Aduh, nama yang indah sekali! Dan berapa usiamu, Ouw Yang Hui?” “Usiaku tujuh tahun, bibi.” Dari cara bicara anak itu dalam memberikan jawaban saja sudah dapat diketahui oleh Cia-Ma bahwa anak ini memang bukan anak sembarangan. Anak yang tahu akan usianya sendiri tentulah anak yang mendapat pendidikan baik. Cia-Ma menoleh kepada A-Sam dan A-Liuk, lalu bertanya singkat, “Berapa hendak kalian jual?” A-Sarn mengacungkan tiga buah jarinya ke atas sebagai isyarat. Cia-Ma mengerutkan alisnya, akan tetapi wajahnya masih cerah penuh senyum. belum pernah aku membeli anak ayam yang harganya lebih tinggi dari pada seratus tahil.
“Akan tetapi anak ayam yang ini lain lagi, Cia-Ma. Lihat saja matanya! Hidungnya dan mulutnya! Pernahkah engkau melihat yang lebih hebat dari pada ini? Kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan sumber uang yang tidak ada habisnya untukmu, dapat membuat engkau menjadi kaya raya kata A-Sam. Percakapan antara dua orang ini sudah jelas artinya. Tentu saja mereka membicarakan Ouw Yang Hui yang hendak diperjual-belikan. Akan tetapi anak perempuan yang masih bersih daripada dosa itu, yang belum tahu seluk-beluknya dunia hitam, tentu saja tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Cia-Ma menimbang-nimbang dan mengamati anak yang ditawarkan kepadanya itu. Memang anak luar biasa dan pandang matanya yang tajam dan banyak pengalaman itu dapat membayangkan bahwa kalau sudah dewasa anak ini akan menjadi seorang gadis yang sukar dicari bandingannya. Cantik jelita dan dapat menjadi kembang kota Nan-po. Dan ia membayangkan betapa banyaknya para kong-cu (tuan muda) bangsawan dan hartawan akan berebutan untuk memetik dan memiliki kembang ini. Dan itu berarti hujan uang untuknya. Apa artinya uang tiga ratus tail. Kalau sudah begitu,lalu dapat mengumpulkan ribuan tail, bahkan laksaan tail dengan mudah! 'Biarlah kuberi kalian dua ratus tail. Ini sudah gila! Aku sudah gila, berani mengeluarkan uang sebanyak itu!” Dua pasang mata laki-laki itu berkilat. Dua ratus tail perak! Seratus tail untuk mereka masing-masing! Kuda itupun tidak akan mendatangkan uang lebih dari dua puluh tail! “Begini saja, Cia-Ma. Dua ratus lima puluh tail perak! Kau boleh ambil atau engkau akan kehilangan sumber rejeki yang hebat!” kata A-Sam.
“Pemeras kau! Kau bikin aku bangkrut! Akan tetapi, ya sudahlah. Akan kubayar dua ratus lima puluh tail perak. Akan tetapi kalau yang punyak anak ayam datang ke sini, kalian harus bertanggung jawab. Kalian akan kulaporkan dan aku tanggung kalian akan mendapatkan hukuman berat. Ingat, jaksa di kota ini adalah langgananku dan sahabat baikku. Jangan kalian main-main!” “Jangan khawatir, Cia-Ma. Kalau engkau simpan baik-baik anak ayam ini, kau kurung baik-baik dan jangan dibiarkan berkeliaran di luar, tentu tidak ada burung elang yang akan menyambarnya,” kata A-Sam. Kemudian si botak ini dengan wajah cerah penuh kegembiraan lalu bergerak mendekati Ouw Yang Hui yang duduk di kursi dan mengelus rambut kepala anak itu.
“Ouw Yang Hui, anak yang baik. Sekarang aku dan Paman A-Liuk hendak pergi mencari ibumu sampai dapat. Kalau kami sudah menemukan ibumu, tentu ibumu akan kami ajak ke sini untuk menjemputmu sayang. Sementara itu, engkau tinggai saja duiu di sini, di rumah Bibi Cia ini. Bibi Cia amat sayang kepadamu.” “Aku ikut mencari ibu,” kata Ouw Yang Hui. Cia-Ma mendekati Ouw Yang Hui dan merangkulnya.
“Anak yang baik, kalau engkau ikut, engkau hanya akan mengganggu kedua paman yang sedang mencari iburnu. Mereka akan gagal mencari ibumu. Sebaiknya engkau tinggal dulu di sini bersama Cia-Ma. Sebut saja aku Cia-Ma, dan aku akan menjadi seperti ibumu sendiri. Engkau akan tidur di kamar yang indah, mendapat makanan yang lezat dan engkau akan kuberi pakaian yang indah-indah pula. Kalau ibumu sudah berhasil ditemukan, tentu ibumu akan datang ke sini, nak.” “Benar sekali, anak yang baik. Kami berdua akan mencari sampai jauh, membalapkan kuda. Kalau engkau ikut, tentu kami tidak dapat melakukan perjalanan cepat dan engkau akan lelah sekali. Usaha kami mencari ibumu bisa gagal. Kau tunggulah saja di sini!” bujuk A-Sam. Ouw Yang Hui akhirnya mengangguk. Baiklah, paman. Aku akan menunggu di sini.” “Bagus, anak baik, engkau memang anak yang manis sekali!” A- Sam berkata sambil memberi isyarat dengan kedipan mata kepada Cia-Ma.
“Kalian tunggu sebentar,” kata Cia-Ma kepada dua orang laki-laki itu. Kemudian dia menggandeng tangan Ouw Yang Hui. “Mari, A- Hui, hari telah sore. Pakaianmu telah kotor. Engkau perlu mandi dan bertukar pakaian bersih. Setelah itu engkau makan. marilah, nak.” A-Hui menurut saja dibimbing ke dalam, tidak menyadari bahwa ia seperti seekor anak ayam masuk ke peternakan ayam untuk dipelihara baik-baik sampai menjadi seekor ayam dewasa yang gemuk untuk dipotong! Di ruangan dalam Ouw Yang Hui yang mulai hari itu memiliki nama panggilan A-Hui melihat enam orang gadis yang rata-rata cantik dan berpakaian mewah duduk dalam ruangan itu. Mereka bercakap-cakap, bersenda-gurau dan terkekeh dengan bebas. Dan ternyata rumah itu cukup besar dan di bagian belakangnya terdapat sebuah loteng dengan belasan buah kamar. Cia-Ma membawa Ouw Yang Hui ke dalam kamarnya sendiri di bawah, sebuah kamar yang besar dan ia menyuruh seorang pelayan pria yang berjaga di luar untuk cepat membelikan beberapa stel pakaian untuk Ouw Yang Hui. Kemudian ia menyerahkan anak itu kepada seorang pelayan wanita.
“Rawat dan layani ia baik-baik. la adalah anak angkatku dan kalian harus menyebut Hui-Siocia kepadanya. Mandikan ia dengan air hangat bercampur air mawar, kemudian taburi tubuhnya dengan bedak halus dan gantikan pakaiannya dengan pakaian baru yang sedang kusuruh beli. Nanti tambah masakan. Hui-Siocia akan makan bersamaku di dalam kamar ini.” “Baik, nyonya,” kata pelayan itu.
“A-Hui, engkau ikut dengan pelayan tui, pergi mandi dan bertukar pakaian. Aku akan menemui kedua orang itu untuk memesan agar mereka cepat dapat menemukan ibumu.” Ouw Yang Hui adalah anak yang terdidik baik sehingga sekecil itu ia sudah tahu diri dan pandai bersikap baik. Karena tahu bahwa wanita itu telah menolongnya dan bersikap baik kepadanya, ia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan berkata, “Cia-Ma, aku mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Cia-Ma.” Melihat sikap dan mendengar ucapan ini tentu saja Cia- Ma girang bukan main. Ia membungkuk dan mencium pipi Ouw Yang Hui.
“Engkau akan senang tinggal di sini, A-Hui,” katanya. Kemudian ia mengambil sebuah karung yang cukup berat sehingga ia minta bantuan seorang pelayan pria lain untuk mengangkatkan karung itu, membawanya karung itu ke kamar tamu. Karung itu berisi uang dua ratus lima puluh tail perak dan diserahkannya uang itu kepada A-Sam dan A-Liuk. Setelah karung itu ditaruh di atas meja dan pelayan pria itu meninggalkan ruangan tamu, Cia-Ma mengeluarkan sehelai kertas dan alat tulis.
“Nah, buatlah pernyataan jual-beli dan tanda tangani kalian berdua!” katanya. muka mereka berubah merah. A-Sam dan A- Liuk saling pandang.
“Akan tetapi Cia-Ma… kami… kami tidak dapat menulis!” Cia-Ma mengerutkan alisnya yang di gambari garis kecil melengkung hitam.
“Kalian buta huruf? Sungguh memalukan, laki-laki. buta huruf. Mari kubuatkan kalian nanti tinggal cap jari tangan saja.” Cia-Ma lalu menuliskan surat pernyataan menjual anak itu. Tulisannya rapi dan indah, dilakukan dengan cepat, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang terpelajar. Setelah surat itu selesai ditulisnya, kedua orang itu bergantian mengecapkan ujung jari-jari tangan mereka ke atas surat itu setelah dibasahi tinta hitam. Cia-Ma memandang puas. Dengan surat pernyataan itu di tangannya, kedudukannya dalam memiliki Ouw Yang Hui menjadi kuat.
Kalaupun terjadi ada orang yang rnengaku A-Hui sebagai anaknya dan menuntutnya, ia dapat membebaskan diri dengan adanya surat itu yang menyatakan bahwa ia membeli anak itu dari kedua orang yang menanda tangani surat itu. Mereka berdualah yang bertanggung jawab. Pengadilan tidak akan menyalahkannya. Apa lagi Jaksa Lui berada di belakangnya dan pasti jaksa yang menjadi langganannya itu akan membelanya. A-Sam dan A-Liuk juga merasa puas. Mereka pergi membawa uang dua ratus lima puluh tail itu dan merasa kaya raya. Sekarang mereka memiliki modal besar untuk bermain, judi lagi, dan sekali ini mereka hampir merasa yakin akan menang dan menyedot kembali uang kekalahan mereka pada hari-hari yang lalu. Demikianlah permainan pikiran para penjudi, bermain-main dengan harapan sendiri.
Yang hari kemarin menang, hari ini mengharapkan untuk mendapatkan kemenangan yang lebih besar lagi, dan yang hari kemarin kalah, hari ini mengarapkan untuk dapat menarik kembali kekalahan mereka. Karena harapan-harapan inilah,mereka itu, baik yang pernah menang maupun yang pernah kalah, tidak dapat melepaskan kebiasaan berjudi. Mulai hari itu, Ouw Yang Hui atau A-Hui tinggal bersama Cia-Ma. Anak ini memang memiliki watak yang menyenangkan.Halus budi, lemah lembut, pandai membawa diri. Cia-Ma merasa suka sekali kepada a-nak itu, bahkan segera jatuh cinta! Cia-Ma sendiri, biarpun kini menjadi seorang mucikari, dahulu adalah seorang wanita cantik yang terpelajar. Selain pandai membaca tulis, pandai pula meniup suling dan memainkan yang- kim (siter), juga pandai melukis dan menulis sajak, pernah membaca kitab-kitab kuno penuh filsafat.
Akan tetapi kehidupannya yang tidak bahagia menjerumuskannya sehingga akhirnya, dalam usia tiga puluh tahun lebih, dia sudah menjadi seorang mucikari yang memiliki rumah pelesit paling besar dan terkenal di kota Nam po, la menikah dalam usia yang muda sekali. Dalam usia enambelas tahun ia telah menikah, atas kehendak orang tuanya dan menikah dengan seorang duda berusia lima puluh tahun. Akan tetapi, duda itu hanya menganggapnya sebagai alat hiburan belaka dan sebentar saja sudah bosan karena duda yang menjadi suaminya itu memang mata keranjang dan selalu mencari yang baru. Setelah disia- siakan, Cia-Ma bertemu dengan seorang laki-laki muda dan iapun tersesat, menjlin hubungan gelap dengan laki-laki itu.
Perbuatannya ini akhirnya ketahuan oleh suaminya. Dia lalu dijual oleh suaminya ke rumah pelacuran dan terpaksa menjadi pelacur. Karena ia memang cantik dan pandai, ia menjadi kembang rumah pelesir. Setelah usianya tiga puluh tahun lebih, Cia-Ma sudah berhasil mengumpulkan uang yang cukup banyak karena memang sejak menjadi penghuni rumah pelacuran ia telah memiliki cita-cita dan menabung. Setelah berusia tiga puluh tahun lebih, mulailah ia tidak laku dan lalu membuka sendiri sebuah rumah pelesir. Pada mulanya memang hanya kecil-kecilan. Akan tetapi karena pandainya ia mengatur dan mencari gadis-gadis ayu, menyenangkan hati para pemuda hartawan dan bangsawan yang datang berkunjung, maka sebentar saja rumah pelesir asuhannya menjadi sangat terkenal. Banyak hartawan dan para pembesar menjadi langganannya.
Cia-Ma mendapatkan penghasilan besar sehingga beberapa tahun kemudian ia sudah dapat membangun sebuah rumah pelesir berdaun pintu merah yang besar yang memiliki belasan buah kamar di loteng rumahnya. Mula-mula A-Hui masih suka menanyakan ibunya. Akan tetapi dengan lembut Cia-Ma dapat menghiburnya dan menyenangkan hati anak itu. Dengan penuh kasih sayang ia memelihara anak itu, mendidiknya dengan pelajaran membaca dan menulis, bahkan mendatangkan seorang sastrawan untuk mengajar anak itu. Juga ia mendatangkan seorang ahli tari dan nyanyi untuk melatih A-Hui. Diperlakukan dengan penuh kasih sayang seperti itu, A-Hui lambat-laun melupakan ibunya dan menganggap Cia-Ma sebagai pengganti ibunya. Cia-Ma juga benar-benar mencinta anak itu yang setiap malam tidur sekamar dengannya. la menganggap A-Hui sebagai anak sendiri dan hatinya merasa berbahagia.
la belum pernah mempunyai anak, maka cintanya terhadap A-Hui benar-benar membahagiakannya. Kalau tadinya ia bercita cita membuat A-Hui menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan terpelajar dan pandai agar kelak anak itu dapat menjadi sumber uang dalam rumah pelesirnya, keinginan itu dalam waktu setahun saja sama sekali tidak ada bekasnya. Tidak, ia tidak rela melihat “Anaknya” menjadi seorang pelacur! la ingin melihat anaknya menjadi seorang wanita terhormat dan mulia. la harus mengawinkan anaknya itu dengan seorang pemuda bangsawan! Dengan demikian anaknya itu akan menjadi seorang nyonya besar yang dihormati semua orang dan ia sebagai ibunya tentu saja juga akan terangkat derajatnya. Kalau sudah begitu, ia akan meninggalkan rumah pelesir jauh-jauh. la akan menjadi ibu mertua seorang pejabat tinggi yang dihormati orang. Ah, betapa bahagianya.
Kita tinggalkan dulu A-Hui yang telah mendapatkan tempat di rumah pelesir milik Cia-ma dan mari kita ikuti pengalaman ibunya, yaitu Sim Kui Hwa atau Nyonya Ouw Yang Lee yang ke dua. Sim Kui Hwa dilarikan dalam kereta oleh Tok-Gan-Houw Lo Cit. Kalau tadi ketika anaknya masih berada di dalam kereta bersamanya ia tidak berani menjerit atau meronta, hanya menangis lirih karena takut ancaman Lo Cit yang akan membunuh anaknya kalau ia tidak diam, kini ia tidak takut lagi akan ancaman itu. Anaknya telah dibawa pergi dan ia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Maka Sim Kui Hwa meronta-ronta, menjerit-jerit dan menangis memangili nama anaknya. Lo Cit menegangi kedua lengan wanita itu sehingga tidak dapat bergerak lagi. Hati Lo Cit menjadi gemas sekali, akan tetapi dia tidak ingin memukul nyonya yang cantik dan yang menggairahkan hatinya itu.
“Sudahlah, nyonya. Jangan menangis. Anakmu pasti aman, aku tanggung itu dan engkau akan hidup berbahagia di sampingku sebagai isteriku,” kata Lo Cit menghibur.
“Tidak sudi aku! Lebih baik mati!” Sim Kui Hwa berteriak, akan tetapi karena ia tidak dapat menggerakkan kedua lengannya yang dipegang kuat-kuat oleh Lo Cit, ia hanya dapat menangis. Pada saat itu mereka telah tiba di kaki bukit Houw-san. Tiba-tiba kereta berhenti. Lo Cit membuka tirai memandang keluar dan melihat betapa empatbelas orang pengawal atau anak buahnya semua berhenti dan di depan mereka berdiri seorang laki-laki. Laki- laki itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar.
Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perawakannya sedang-sedang saja akan tetapi wajahnya yang tampan itu membayangkan kegagahan, terutama manatanya yang mencrong tajam. Pakaiannya ringkas dan di pungungnya tampak gagang sebatang pedang Dandanannya seperti seorang kang-ouw (dunia persilatan) dan pakaiannya bersih dan rapi walaupun tidak mewah. Melihat betapa anak buahnya yang berada terdepan tampaknya seperti sedang berbantahan dengan orang itu, Lo Cit lalu menggerakkan tangan menotok Sim Kui Hwa sehingga wanita itu seketika terkulai di atas tempat duduk kereta tanpa dapat bergerak lagi karena tertotok jalan darahnya. Setelah membuat wanita itu tidak berdaya dan tidak akan dapat melarikan diri Lo Cit melompat keluar dari dalam kereta dan lari ke depan.
“Apa yang terjadi? Mengapa kalian berhenti?” tanyanya ketika tiba di bagian depan rombongannya. Seorang anak buahnya yang tadi berhadapan dan berbantahan dengan laki-laki yang agaknya menghadang rombongan itu lalu berkata, “Pang-cu, orang ini yang telah menahan rombongan kita dan dia berkeras hendak melakukan pemeriksaan ke dalam kereta!” Mendengar laporan ini, Tok-Gan-Houw Lo Cit menjadi marah sekali. Matanya yang tinggal sebelah kanan itu mendelik ketika dia menghampiri dan memandang kepada laki-laki itu. Kini dia berhadapan dengan orang itu dan suaranya lantang dan membentak.
“Siapakah engkau dan apa yang kau kehendaki menahan rombongan kami?” Pria itu bersikap tenang dan sama sekali tidak kelihatan gentar menghadapi Lo Cit dan anak buahnya yang semua memperlihatkan sikap bengis mengancam itu.
“Aku bernama Gan Hok San. Kebetulan hari ini lewat di sini dan tadi aku mendengar suara tangis dan jerit wanita dari dalam kereta itu, maka aku harus melihat mengapa wanita menangis dan menjerit seperti itu.” “Manusia lancang! la adalah isteriku sendiri. Apakah engkeu begitu berani mati hendak mencampuri urusan suami isteri yang sedang cekcok?” bentak Lo Cit.
“Hemm, itu adalah keterangan sepihak, dari pihakmu. Kalau benar ia isterimu yang Sedang cekcok denganmu, aku harus mendengar sendiri dari mulut wanita itu. Biarkan aku menengok dan menanyainya sendiri.” “Keparat! Apa perdulimu dengan urusan kami? “Aku tidak akan mencampuri urusan suámi isteri. Akan tetapi aku telah mendengar jerit tangisnya dan semua urusan penasaran dan penindasan adalah urusanku. Aku harus mencegah terjadinya kejahatan dan kesewenang-wenangan.” “Manusia sombong! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berurusan! Aku adalah Tok-Gan-Houw Lo Cit, ketua perkumpulan Houw-san-pai (Perkumpulan Bukit Harimau)!” Akan tetapi pengakuan ini tidak membuat Gan Hok San kaget. Dia tersenyum dan berkata, “Aku adalah seorang, perantau aku tidak mengenal Tok-Gan-Houw Lo Cit dan perkumpulan Houw-san-pai. Sobat, aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin menanyai wanita yang menangis tadi. Kalau setelah kutanyai ternyata benar ia isterimu dan sedang cekcok denganmu, aku akan minta maaf kepadamu dan selanjutnya tidak akan mengganggurnu lagi.” Tentu saja Lo Cit tidak ingin orang asing ini menanyai Sim Kui Hwa yang telah menjadi tawanannya. Dia marah sekali lalu menherahkan anak buahnya untuk maju mengeroyok.
“Engkau sudah bosan hidup! Dia mengerakkan tangannya ke belakang memberi isyarat kepada anak buahnya. “Hajar dan bunuh dia!” Dua orang anak buah yang berada paling depan dan yang sudah mempersiapkan golok telanjang di tangan, mendapatkan isyarat ini segera menggerakkan golok mereka dan menerjang ke depan, nenyerang orang yang bernama Gan Hok San itu.
“Wuuuttt... wuutt...!!” Dua cercah sinar menyambar ke arah tubuh Gan Hok. Akan tetapi dengan sigap dan mudah pria ini dua kali mengelak ke samping dua kali pula kakinya menyambar. Demikian cepat dan kuatnya serangan balik itu sehingga dua orang anak buah itu tidak mampu menghindar dan mereka roboh terpelanting karena perut mereka terkena tendangan itu. Mereka roboh dan mengaduh-aduh sambil memegangi perut mereka yang mendadak menjadi mulas sekali! Melihat ini, Lo Cit menjadi marah sekali.
“Kalian mundur, biar aku menghajar manusia sombong ini!” bentaknya. Dia hendak memamerkan bahwa dia adalah seorang ketua dan tidak akan mempergunakan pengeroyokan dan sanggup untuk menghajar musuh itu seorang diri saja. Sekali melompat Lo Cit sudah berhadapan dengan Gan Hok San. Dia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok besar yang tebal dan berat. Golok itu mengkilat tertimpa sinar matahari sore. Lo Cit hendak memperlihatkan sikap gagah di depan anak buahnya, maka dia membentak, “Orang she Gan, engkau memang bosan hidup dan mencari mati di ujung golokku. Hayo cabut senjatamu itu dan kita selesaikan urusan ini di ujung senjata!” Gan Hok San tersenyum.
“Tok-Gan-Houw Lo Cit, sikapmu ini saja sudah membuktikan bahwa telah terjadi hal yang tidak semestinya di dalam kereta itu. Kalau memang benar isterimu yang menangis tadi karena cekcok denganmu, tentu engkau akan membiarkan aku menengok dan menanyainya. Engkau hendak menggunakan kekerasan? Boleh, akan kulayani kehendakmu!” Setelah berkata demikian, tangan kanan Gan Hok San bergerak ke belakang punggungnya melalui atas pundak dan di lain saat tangan itu sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Setelah melihat lawannya memegang pedang, Lo Cit membentak, “Jaga seranganku!” Goloknya menyambar dahsyat sekali. Diam- diam Gan Hok San terkejut juga karena dari serangan pertarna ini saja dia sudah tahu; bahwa lawannya memiliki gerakan cepat dan tenaga yang besar. Lawannya memiliki ilmu silat yang tinggi, pantas saja kalau dia bersikap sewenang-wenang dan dia dapat menduga bahwa perkumpulan Houw san pastilah bukan sebuah perkumpulan bersih. Gan Hok San adalah seorang pendekar besar. Sejak muda dia hidup sebagai seorang pendekar dan namanya terkenal di daerah barat dan selatan. Dia seorang tokoh aliran Siauw Lim Pai Pai yang banyak melahirkan pendekar- pendekar yang gagah perkasa dan baik budi.
Hal ini tidak mengherankan karena aliran atau partai Siauw Lim Pai Pai adalah perguruan silat yang diasuh dan dibimbing oleh para pendeta Buddha sehingga para murid Siauw Lim Pai, selain menerima gemblengan ilmu silat tinggi, juga menerima gemblengan batin dengan pelajaran keagamaan. ini membuat batin para murid Siauw Lim Pai pada umumnya kuat sehingga mereka mempergunakan ilmu silat mereka untuk membela kebenaran dan keadilan. Gan Hok San bertempat tinggal di lereng pegunungan Beng-san, di sebuah dusun yang tanahnya subur namun yang letaknya terpencil dan sunyi. Akan tetapi sejak mudanya dia suka melakukan perjalanan merantau dan di mana pun dia berada, dia selalu siap unjuk menolong yang lemah tertindas dan menentang yang sewenang-wenang.
Sebagai seorang pendekar perantau, Gan Hok San memilih hidup sendiri dan membujang sehingga sampai berusia empat puluh tahun, dia masih belum menikah dan tidak memiliki seorangpun anggauta keluarga. Hidupnya sebatangkara di dunia ini, bebas tanpa ikatan apapun juga dan ini pula yang menjadi sebab mengapa dia suka melakukan perjalanan merantau. Melihat betapa Lo Cit yang memegang sebatang golok besar itu menyerang secara bertubu-tubi dan semua serangannya merupakan serangan maut, semakin yakinlah hati Gan Hok San bahwa Lo Cit tentu telah melakukan perbuatan jahat dan wanita yang tadi menangis dan menjerit-jerit dalam kereta itu tentu seorang korban kejahatannya. Maka, diapun menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat mengimbangi serangan Lo Cit.
“Haiiittt! Trang-trang-trangg.” Bunga api berpijar-pijar dan Lo Cit melompat ke belakang dengan kaget sekali karena ketika pedang lawan secara beruntun bertemu dengan goloknya, dia merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat dan hampir saja golok itu terlepas dari tangannya! Maklumlah dia bahwa lawannya itu adalah seorang yang amat kuat! Sebagai seorang tokoh sesat yang sudah terbiasa dengan watak yang licik dan curang, diapun tidak ragu atau malu lagi untuk memperlihatkan kecurangannya. Kalau tadi dia bersikap gagah gagahan, hal itu hanya untuk gengsi saja. setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya amat kuat, diapun tidak malu-malu untuk cepat berteriak kepada anak buahnya.
“Keroyok dan bunuh dia!” Dua orang anak buah yang tadi terkena tendangan kaki Gan Hok San sudah bangkit dan nyeri perut mereka sudah mereda. Kini dengan marah mereka lalu bersama duabelas orang kawan mereka maju mengepung dan mengeroyok Gan Hok San. Melihat ini, semakin jelas bagi Gan Hok San dengan orang-orang macam apa dia berhadapan. Maka dia lalu menggerakkan pedangnya dengan cepat sekali, menerjang para pengeroyok. Pedangnya menyambar dahsyat dan banyak golok beterbangan ketika bertemu dengan pedangnya, ada yang patah dan ada yang terlepas dari tangan pemegangnya. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan segera terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika sinar pedang itu menyambar- nyambar.
Dia merobohkan para pengeroyok dengan ujung pedangnya atau dengan tamparan tangan kirinya, dibantu sambaran kakinya. Lo Cit berusaha untuk mempergunakan pengeroyokan mengalahkan pendekar itu namun dia kecelik. Biarpun dia juga sudahmenyerang dengan hebat, tetap saja semua serangannya dapat tertangkis oleh lawan Bahkan pengeroyokan yang hiruk pikuk dan kacau bałau itu menghalanginya sehingga serangannya tidak dapat dilakukan dengan lancar, terhalang oleh gerakan golok para anak buahnya. Dalam waktu singkat, delapan orang anak buah gerombolan itu sudah berpelantingan roboh dan yang enam orang lagi mulai merasa gentar, tidak berani menyerang terlampau dekat, hanya mengacung-acungkan goloknya dari jarak aman saja. Melihat ini, Lo Cit merasa bahwa pihaknya tidak akan menang.
Dia lalu berlari mendekati kereta, meloncat ke tempat kusir dan menyentakkan kendali sehingga dua ekor kuda yang menarik kereta itu meloncat kedepan dan membalap. Melihat ini, Gan Hok San mengeluarkan seruan panjang dan pedangnya menyambar- nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga sisa enam orang anak buah gerombolan itu tidak mampu menghindar dan merekapun roboh terluka oleh ujung pedangnya. Setelah merobohkan semua pengeroyoknya, meihat Lo Cit melarikan kereta, Gan Hok San cepat melakukan pengejaran. Dia mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan tubuhnya melaju dengan cepatnya bagaikan terbang. Tak lama kemudian dia dapat menyusul kereta itu, bahkan mendahuluinya, kemudian membalikkan tubuhnya dan degan kedua tangannya dia menangkap moncong dua ekor kuda itu dan menahannya.
“Berhenti..!!” serunya dan dua ekor kuda itu tertahan, tidak mampu bergerak maju lagi dan keretapun berhenti. Lo Cit yang berada di depan, duduk sebagai kusir, menjadi marah sekali. Dia menggerakkan cambuknya yang panjang untuk menyerang Gan Hok San.
“Tarr...” Cambuk itu melecut ke arah muka Gan Hok San, akan tetapi pendekar ini menggunakan tangan kanannya menangkap ujung cambuk kemudian mengerahkan tenaga membetot. Lo Cit hendak mempertahankan, namun ia kalah kuat dan tubuhnya terbawa oleh tarikan Gan Hok San sehingga meloncat turun dari atas kereta. Akan tetapi dasar orang licik. Karena maklum tidak akan mampu menandingi lawan, begitu kedua kakinya menyentuh tanah dia lalu mengambil langkah seribu, melarikan diri dengan cepat meninggalkan kereta.
Gan Hok San tidak melakukan pengejaran. Tidak adanya tangisan dan jeritan lagi dari dalam kereta menggelisahkan hatinya. Maka, setelah kedua ckor kuda itu sudah tenang, dia lalu melepaskan dua ekor kuda itu dan menghampiri kereta dan membuka daun pintu kereta. Dia mendapatkan seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, cantik jelita, berkulit putih mulus dan berwajah jelita dan anggun, duduk setengah rebah di atas kursi kereta. Wajah wanita itu pucat sekali dan kedua matanya masih basah mengeluarkan air mata yang mengalir di sepanjang kedua pipinya. Maklumlah Gan Hok San bahwa wanita itu berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu mengeluarkan suara. Dia lalu menotok kedua pundak wanita itu, menggosok tengkuk dan punggungnya dengan tangan dan, Sim Kui Hwa dapat bergerak kembali. Begitu dapat bergerak, Kui Hwa menangis...
“Anakku... ah,kembalikan Anakku…, mengapa kalian begitu jahat? Kami tidak bersalah apa-apa, kenapa kalian memisahkan aku dengan anakku…” Gan Hok San maklum bahwa wanita itu tentu mengira bahwa dia adalah seorang di antara anak buah gerombolan itu, maka dia lalu keluar dari kereta dan berdiri di luar kereta lalu berkata dengan sikap hormat.
“Nyonya…” katanya, menyebut nyonya karena wanita itu tadi mengeluh tenang anaknya, “harap nyonya jangan cemas dan takut lagi. Semua penjahat telah kuusir pergi. Mereka telah melarikan diri dan meninggalkanmu di sini. Akan tetapi apakah yang telah terjadi, nyonya? Kenapa engkau dapat berada di kereta ini dan apa hubunganmu dengán penjahat Tok-Gan-Houw Lo Cit itu?” Sim Kui Hwa merasa heran dan juga girang mendengar ucapan itu. la menyusut air matanya dan memandang kepada pria yang berdiri di luar kereta. Lalu ia turun dari kereta itu, memandang ke sekeliling dan benar saja, di situ tidak lagi terdapat penjahat bermata satu dan anak buahnya. Laki-laki yang gagah perkasa ini telah menolongnya, menyelamatkannya! Sebagai seorang wanita yang tahu tata-krama, dengan hati terharu dan penuh harapan bahwa pendekar itu akan dapat menolong puterinya, ia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Gan Hok San sambil berkata dengan suara bercampur tangis.
“Terima kasih bahwa tai-hiap (pendekar besar) telah menolong dan menyelamatkan saya dari tangan penjahat itu. Akan tetapi...mohon pertolongan tai-hiap untuk anak saya, tai-hiap!” Melihat wanita itu berlutut sambil menangis di depan kakinya, Gan Hok San lalu membungkuk, menyentuh kedua pundak wanita itu dan membantunya untuk bangkit berdiri.
“Nyonya yang baik, berdirilah dan mari kita bicara dengan tenang. Ceritakan apa yang terjadi dengan anakmu, tentu saja aku siap untuk menolong anakmu. Duduklah saja dalam kereta agar lebih enak dan berceritalah, nyonya. Ceritakan semua dari permulaan agar menjadi jelas bagiku.” Karena tubuhnya terasa lemas, Sim Kui Hwa menurut dan ia duduk di dalam kereta. la menghapus air matanya dan menenangkan hatinya agar dapat bercerita dengan jelas.
“Nama saya Sim Kui Hwa dan saya adalah isteri dari Ouw Yang Lee majikan Pulau Naga.” “Ah! Maksudmu Ouw Yang Lee yang berjuluk Tung-Hai-Tok?” tanya Gan Hok San dengan heran dan agak kaget karena dia sudah mendengar akan narna datuk dari timur yang namanya amat terkenal itu.
Sim Kui Hwa merasa girang banwa penolongnya ini telah mengenal suaminya.
“Benar, tai-hiap. Malam tadi, Pulau Naga diserbu gerombolan penjahat. Suami saya dan anak buah Pulau Naga mengadakan perlawanan akan tetapi dalam kekacauan itu, saya yang šedang berada dalam taman bersama madu saya dan dua orang anak kami, telah disergap dan kami berempat ditawan oleh dua orang kepala gerombolan. Kammi dilarikan dari pulau dengan perahu dan setelah tiba di pantai daratan besar kami dipisahkan. Aku bersama anakku Ouw Yang Hui dibawa oleh penjahat mata satu itu dengàn kereta, sedangkan maduku, enci Lai Kim dan anaknya entah dibawa kemana.” “Ah! Akan tetapi, bagaimana suamimu tidak dapat mencegah hal itu terjadi Bukankah dia seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali?” seru Hok San dengan heran.
“Mungkin suamiku sedang sibuk menghadapi pengeroyokan anak buah gerombolan. Kami dilarikan dalam gelap dari taman, langsung ke pantai pulau dan dilarikan dengan perahu pada saat laut pasang dan bergelombang. Mungkin dalam kegelapan itu suamiku tidak dapat melakukan pengejaran.” Gan Hok San mengangguk-angguk.
“Lalu bagaimana, Ouwyang Hu-jin (Nyonya Ouw Yang)? “Saya dan anak saya Ouw Yang Hui dilarikan dengan kereta, akan tetapi setelah kereta tiba di jalan persimpangan, kami berdua dipisahkan dengan paksa. Anakku dibawa oleh seorang anggauta gerombolan entah ke mana dan aku sendiri dilarikan oleh si mata satu. Aku menjerit dan menangis sampai engkau muncul dan aku ditotok sehingga tidak dapat bergerak atau bersuara seperti tadi, in-kong (tuan penolong).” la terisak lagi karena teringat akan anaknya, lalu melanjutkan, “Tolonglah anak saya, tai-hiap (pendekar besar), tolonglah selamatkan anak saya!” Gan Hok San mengerutkan alisnya.
“Tentu aku siap untuk menolong anakmu, nyonya. Akan tetapi bagaimana aku bisa tahu ke mana anakmu dibawa pergi? Tidak ada petunjuk ke mana anakmu dibawa pergi. Apakah si mata satu itu tidak mengatakan' apa-apa ketika dia menyuruh seorang anak buahnya membawa lari anakmu?” “Aku masih ingat. Orangnya berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tinggi dan mukanya kurus seperti tengkorak. Namanya.. kalau tidak salah ketika si mata satu memanggilnya, adalah Ji Tong. Si mata satu hanya mengatakan demikian: Ji Tong seperti sudah kuperintahkan dengan jelas kepadamu, bawalah anak ini sekarang juga Engkau tahu sudah apa yang harus kaulakukan dengan anak itu. Demikianlah pesannya itu dan Ji Tong itu lalu melarikan anak saya di atas kuda. Aku mendengar Ouw Yang Hui menjerit-jerit.” Kembali ia terisak ketika teringat akan anaknya.
“Petunjuk itu belum jelas benar, akan tetapi rasanya cukup untuk mencari jejak orang bernama Ji Tong itu. Mari kita menggunakan kereta ini untuk mencari jejaknya, nyonya.” “Saya hanya menyerahkan kepada pertolonganmu, tai-hiap. Saya akan duduk di depan sebagai penunjuk jalan.” Sim Kui Hwa lalu pindah duduk di depan, di samping Gan Hok San yang mengendalikan dua ekor kuda. Kereta diputar dan mulailah meluncur mengikuti jalan dari arah mana tadi kereta datang. Gan Hok San menjalankan kereta dengan cepat. Akan tetapi setelah tiba di jalan simpang tiga, malam telah tiba dan cuaca sudah mulai gelap.
“Di sinilah jalan simpang itu, taihiap. Di sini anakku dibawa lari ke arah jalan itu!” Sim Kui Hwa menunjuk kemana terdapat sebuah jalan yang menuju ke utara. Akan tetapi malám telah tiba, hu-jin. Kita tidak dapat melihat jalan. Aku khawatir kita bukannya mendapatkan jejak orang itu, bahkan akan tersesat jalan. baiknya kita melewatkan malam di sini dan besok pagi-pagi setelah terang tanah baru kita lanjutkan pencarian ini.” Sim Kui Hwa mengangguk lesu.
“Saya pikir engkau benar, tai-hiap. Tidak ada jalan yang lebih baik dari pada melewatkan malam gelap di tempat ini.” “Engkau dapat beristirahat dan tidur di dalam kereta, nyonya, sedangkan aku akan menjaga keamanan di depan ini.” Sim Kui Hwa mengangguk dan berpindah duduk ke dalam kereta. Sementara itu. Gan hok San membuat api dan menyalakan lampu yang terdapat di pinggir kereta. untung bahwa minyak pada lampu itu masih penuh sehingga malam itu mereka tidak akan kegelapan. Setelah menyalakan lampu lalu, Gan Hok San membongkar buntalan pakaiannya dan mengeluarkan beberapa potong roti kering dan daging kering,juga seguci minuman anggur “Silakan makan, nyonya.. adanya hanya roti dan daging kering serta minuman anggur yang tidak begitu keras. Walaupun sederhana namun lumayan untuk sekedar mengurangi rasa lapar.” Gan Hok San mempersilakan Sin Kui Hwa. Karena tubuhnya memang terasa amat letih dan lapar, wanita itupun membuang rasa malu dan ikut makan walaupun sedikit. la merasa beruntung sekali bertemu dengan seorang penolong yang demikian baik dan sopan. Pada malam hari itu, Sim Kui Hwa dapat melepaskan kelelahan dan tidur pulas di dalam kereta, sedangkan Gan Hok San hanya duduk bersila di tempat kusir. Dia sudah terbiasa beristirahat dalarn keadaan seperti samadhi. Dalam keadaan seperti itu, semua urat syarafnya dapat beristirahat dan sama seperti orang tidur, walaupun telinganya tetap waspada untuk menjaga segala ancaman yang datang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu sinar matahari pagi mulai menyentuh tanah, Gan Hok San melanjutkan perjalanan. Seperti juga pada kemarin sore Sim Kui Hwa berpindah duduk di depan, disamping Gan Hok San. Kereta dijalankan oleh Gan Hok San, kini tidak begitu cepat perti kemarin karena di sepanjang jalan itu mereka memasang mata memandang kanan kiri mencari jejak. Setelah mereka tiba tak jauh dari kota Nam-po, tiba-tiba Gan Hok San menghentikan keretanya. Sim Kui Hwa juga melihat tubuh laki- laki yang menggeletak di tepi jalan itu. Biarpun hatinya merasa ngeri, wanita ini ikut turun bersama Gan Hok San dan mereka menghampiri orang yang menggeletak di tepi jalan itu. Orang itu rebah menelungkup dan dengan kakinya, Gan Hok San membalik tubuh yang telah menjadi mayat itu.
“Ahh...!! Dialah orangnya... dia orang yang bernama Ji Tong, yang melarikan anak ku di atas kuda itu!” Jerit Sim Kui Hwa dengan mata terbelalak sambil telunjuknya menuding ke arah muka mayat itu. Gan Hok San mengerutkan alisnya.
“Orang ini telah terbunuh oleh bacokan-bacokan senjata tajam. Ada yang membunuhnya. Akan tetapi kuda dan anakmu itu tidak berada di sini.” “Ahhh Hui ji... dimanakah engkau? Apa yang terjadi denganmu,,tanya Sim Kui Hwa sambil mengusap air matanya. Ibu muda itu menangis. Sementara itu, Gan Hok San mencari jejaknya di sekitar tempat itu. Akan tetapi dia tidak melihat sesuatu.
“Nyonya, kurasa anakmu tentu dibawa.” “Akan tetapi, siapa dia dan ke mana?”
“Aku tidak tahu, nyonya. Akan tetapi kurasa Anakmu dibawa oleh orang yang telah membunuh Ji Tong ini. Mengingat bahwa Ji Tong adalah seorang penjahat, besar kemungkinan yang membunuhnya adalah seorang pendekar yang berniat menolong anakmu. Kalau dugaanku ini benar, tentu dia sudah mengantar anakmu kembali ke Pulau Naga. Tentu anakmu mengaku siapa ayahnya dan dia sudah mengantarkan anakmu itu ke sana.” “Terima kasih kepada Thian kalau begtu!” seru Sim Kui Hwa penuh harap. “Lalu sekarang bagaimana baiknya, tai-hiap?” “Kalau kita melakukan pencarian, kurasa akan sukar sekali, nyonya. Kita tidak tahu ke mana anak itu dibawa, dan kurasa kalau memang benar pembunuh Ji Tong ini seorang pendekar, anakmu tentu akan diantarkan pulang ke Pulau Naga. Karena itu tidak ada artinya kita mencari jejak orang yang membawa anakmu. Lebih baik engkau kuantar pulang ke Pulau Naga,” kata Gan Hok San.
“Akan tetapi bagairnana kalau Hu-ji (anak Hui) tidak diantar pulang ke Pulau Naga?” tanya Sim Kui Hwa meragu. “Mudah-mudahan saja tidak begitu. Akan tetapi seandainya pembunuh Ji Tong itu tidak mengantarkan anakmu pulang ke sana kita dapat melapor kepada suamimu dan aku percaya dia pasti akan mampu mencari anakmu sampai dapat.” Setelah termenung sejenak, Sim Kui Hwa berkata, “Baiklah, biar saya pulang ke Pulau Naga. Akan tetapi saya hanya akan merepotkan engkau saja, tai-hiap. Entah bagaimana saya akan dapat membalas semua kebaikanmu, sejak engkau menyelamatkan saya dari tangan Lo Cit, sampai mencari anakku, kemudian engkau bahkan akan mengantarku pulang ke Pulau Naga.” Suara nyonya itu mengandung keharuan karena budi pertolongan pendekar itu sungguh terasa amat besar baginya. Gan Hok San tersenyum dan wajahnya berseri.
“Senang sekali hatiku dapat menolongmu, nyonya. Kuharap saja anakmu sudah diantar pulang oleh penolongnya sehingga engkau akan dapat berkumpul kembali dengan suami dan anakmu, dan hidup berbahagia.” “Terima kasih, tai-hiap. Engkau benar-benar seorang pendekar yang budiman, semoga Thian selalu akan memberkahimu!” kata Sim Kui Hwa terharu. Gan Hok San melompat ke atas tempat duduk kusir. Sambil tersenyum dia menggerakkan cambuk kereta itu ke atas dua ekor kuda.
“Tar-tar-tar!” dan dua ekor kuda itu lalu membalik dan berlari menuju ke jalan simpang tadi. Wajah Gan Hok San masih tersenyum-senyum dan dia sendiri merasa amat heran kepada dirinya sendiri. Mengapa ada perasaan gembira yang demikian membahagiakan menyusup dalam hatinya mendengar ucapan terakhir dari nyonya itu? Belum pernah dia merasakan hatinya merasa bahagia seperti itu. Dia mulai memutar otaknya, menyelidiki diri sendiri. Akan tetapi seluruh perhatiannya tidak dapat dialihkan dari dalam kereta di mana nyonya itu duduk seorang diri. Dan tiba-tiba dia menyadari keadaannya. Dia telah jatuh cinta! Untuk pertama kali dalam hidupnya yang sudah empat puluh tahun itu dia jatuh cinta. Kepada nyonya ini. Kepada isteri orang, isteri datuk besar dari timur lagi! “Engkau telah gila!” bisik hatinya dan cambuknya meledak-ledak di atas kepala kuda sehingga dua ekor kuda itu berlari semakin kencang. Ketika mereka tiba di jalan simpang tiga, Gan Hok San membelokkan kereta itu kekiri dan menuju ke timur karena arah perjaanan itu adalah Laut Timur di mana Pulau Naga terletak. Dalam perjalanan menuju ke pantai Laut Timur ini, Gan Hok San selalu bersikap manis dan lembut akan tetapi penuh sopan santun terhadap Sim Kui Hwa sehingga nyonya muda itu semakin berkurang rasa rikuhnya dan menjadi akrab karena ia menganggap pendekar itu seorang yang benar-benar patut untuk dijadikan sahabat. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi laut, mereka mendapatkan kenyataan bahwa air laut sedang pasang dan bergelombang besar sehingga amat berbahaya untuk berperahu menyeberang ke Pulau Naga yang cukup jauh dari pantai, “Keadaan laut tidak mengijinkan untuk pelayaran, nyonya. Tidak ada lain pilihan kecuali kita harus menanti sampai air laut tenang kembali,” kata Gan Hok San. Sim Kui Hwa hanya menurut saja karena memang kenyataannya demikian. Pendekar itu lalu mencari sebuah perkampungan nelayan di pantai untuk tempat bermalam selama menanti air laut surut dan tenang. Diapun mencarikan dan membeli satu stel pakaian untuk pengganti pakaian Sim Kui Hwa yang sudah kotor, biarpun pakaian itu hanya pakaian wanita nelayan yang sederhana sekali, akan tetapi mengenakan pakaian yang sederhana itu tidak mengurangi kejelitaan Sim Kui Hwa, bahkan dalam pakaian bersahaja itu kecantikannya semakin menonjol dalam pandangan Gan Hok San! Beginilah kuasa cinta terhadap hati seorang manusia, terutama kaum prianya. Kalau hati sudah jatuh cinta, bagaimanapun keadaan wanita yang dicintanya itu, akan selalu tampak indah menarik. Sedang cemberutpun tampak semakin manis! Pakaian jelek sederhana bahkan menonjolkan kecantikannya! Akan tetapi sebaliknya kalau orang sedang membenci. Orang yang dibencinya sedang terseyumpun tampak jelek sekali dan seperti menertawakannya sehingga menambah kebenciannya! Mereka terpaksa harus menanti sampai tiga malam di perkampungan itu sebelum mereka akhirnya berani menyewa sebuah perahu nelayan yang berani mengantarkan mereka ke Pulau Naga.