Sepasang Rajah Naga Chapter 2

Dia terapung-apung di atas laut, dipermainkan ombak sampai semalam suntuk. Baru pagi ini papan yang dijadikan pegangan itu dapat dia bawa ke tepi dan dia dapat mendarat dalam keadaan selamat. Dia menemukan bekas perapian yang dibuat para penjahat, juga menemukan sisa makanan mereka berupa roti kering. Karena perutnya terasa lapar sekali A-ming lalu makan roti kering yang cukup banyak baginya itu sehingga tenaganya pulih kembali. Mulailah ia menyusuri pantai untuk mencari kalau-kalau dua keluarga itu ada yang terdampar dan selamat. Tiba-tiba dia mendengar suara tangis dua orang anak itu dan dia lalu berlari cepat menuju ke arah suara itu. Di tepi pantai itu dia melihat pemandangan yang xmembuat dia marah bukan main. Tan Hok dan Wong Cin beserta isteri-isteri mereka telah roboh mandi darah dan dua orang anak kecil itu menangis ketakutan di atas pasir! Dan di situ terdapat tujuh orang penjahat, dua di antaranya duduk memegangi kepala mereka yang berdarah. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dua pasang suami isteri itu telah dibunuh para penjahat ini dan dua orang anak kecil itupun terancam keselamatannya. Hal ini membuat dia marah sekali. Bangkitlah watak kependekarannya yang dimiliki ketika dia masih muda dahulu. Bekas guru silat ini melirik ke arah dua batang golok yang menggeletak di dekat mayat dua pasang suami isteri itu. Tanpa mengeluarkan suara, tiba-tiba saja dia merebahkan dirinya ke atas pasir lalu bergulingan mendekati mayat-mayat itu. Sebelum para penjahat itu hilang kagetnya dan menyadari apa yang akan dilakukannya, A-ming telah melompat bangun lagi dan kini kedua tangannya memegang sepasang golok yang masih berlumuran darah Liu Hong dan Su Leng Ci.

“Majulah kalian! Aku akan membasmi kalian jahanam-jahanam busuk!” teriak A-ming dengan mata mencorong penuh kemarahan. Lima orang penjahat itu adalah orang orang kasar yang sudah terbiasa mempergunakan kekuatannya dan sudah terbiasa dalam perkelahian maka mereka tentu saja tidak menjadi takut.

“Bunuh!” Si Kumis panjang membentak.

“Nanti dulu! Sebelum aku membunuh kalian, katakan dulu siapa kalian yang begini kejam telah membunuhi orang-orang yang tidak berdosa!” bentak A-ming sambil melintangkan sepasang goloknya. Si kumis panjang dan si muka hitam tertawa bergelak. Mereka berdua adalah kepala-kepala bajak dan perampok yang amat terkenal dan mereka merasa bangga memperkenalkan julukan mereka.

“Buka telingamu lebar-lebar” bentak Si kumis melintang.

“Aku dan adikku ini dikenal di dunia kang-ouw sebagai Hai-Coa- Ong Raja Ular Laut). Aku disebut Toa-Ong (Raja Besar) dan adikku ini disebut Siauw-Ong (Raja Kecil). Nah, engkau boleh mampus dengan mata terpejam setelah mendengar siapa yang akan membunuhmu!” Si kumis melintang memperkenalkan diri dan si muka hitam. A-ming memandang kepada dua orang itu dengan alis berkerut.

“Hari ini Raja Ular Laut akan menjadi ular mampus!” teriak A-ming dan dia lalu menerjang maju sambil mengayun kedua batang, goloknya. Lima orang itu menyambut serangannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian. Akan tetapi ternyata permainan sepasang golok dari A-ming cukup hebat. Biarpun sudah lama dia tidak pernah bersilat, akan tetapi karena dasarnya memang kuat, maka kini dia dapat memainkan sepasang goloknya demikian hebat sehingga lima orang pengeroyoknya itu tidak mampu mendekatinya! Bahkan dua orang pengeroyok telah terserernpet golok dipundaknya sehingga terluka dan berdarah Melihat ini, si kumis panjang tiba-tiba berseru dengan nyaring.

“Tangkap dan bunuh dua orang anak itu!” Mendengar perintah ini, A-ming terkejut sekali dan cepat dia melompat ke dekat dua orang anak itu untuk melindungi mereka. Akan tetapi ternyata teriakan yang merupakan perintah dari Siauw- Ong (Raja Besar) yang berkumis panjang itu hanya merupakan pancingan belaka. Setelah A-ming melompat ke dekat kedua anak itu untuk melindungi, si tinggi besar memimpin anak buahnya untuk melarikan diri dari situ sambil memapah dua orang kawan mereka yang   terlukà,   kepalanya   oleh   tongkat    Tan    Hok    dan Wong Cin tadi. Melihat ini, biarpun hatinya merasa kecewa, A-ming tidak berani melakukan pengejaran. Kalau dia mengejar, siapa yang akan melindungi dua orang anak kecil yang menangis ini? A- ming menyelipkan dua batang golok itu di pinggangnya, lalu dia berjongkok dan mengelus kepala dua orang anak kecil itu.

“Anak-anak yang baik, diamlah jangan menangis. Jangan takut, aku akan melindungi kalian dengan taruhan nyawaku.” Karena dielus dan dirangkul, kedua orang anak kecil itu menghentikan tangis mereka. Mereka masih terlalu kecil sehingga tidak tahu betapa ayah bunda mereka dibůnuh orang di depan mata mereka! A-ming lalu pergi menghampiri perahu berlayar hitam yang berada di tepi laut dan dari dalam perahu itu dia mendapatkan sebungkus roti kering. Dia mengambil beberapa potong dan  diberikannya kepada dua orang anak kecil itu. Tan Song Bu yang lebih tua beberapa bulan dari Wong Sin Cu, menerima roti kering dan segera memakannya karena dia memang lapar sekali. Akan tetapi Wong Sin Cu menerima roti kering itu dan tidak segera memakannya. Dia menoleh dan memandang ke arah tubuh ayah dan ibunya.

“Ibuuu...! Ayaaahh...!!” Dia memanggil dan suaranya mengandung tangis. A-ming merangkulnya. Dari sikap kedua orang anak ini saja tahulah dia bahwa Tan Song Bu adalah seorang anak yang tabah dan mungkin berwatak keras, sedangkan Wong Cin Su lebih peka dan perasa dan mungkin berwatak lembut.

“Sudah, diamlah, Sin Cu anak baik. Makanlah roti itu agar perutmu tidak lapar.” “Akan tetapi, ayah dan ibu...” tanya Sin Cu dengan suara masih agak cadel.

“Mereka... mereka telah pergi jauh...” “Tapi, itu mereka “ bantah Sin Сu sambil menuding ke arah ayah dan ibunya.

“Kenapa mereka?” A-ming menjadi serba salah. Anak sekecil ini mana mengerti tentang kematian? “Mereka sedang tidur. Sudahlah, makan rotimu dan jangan banyak bertanya,” katanya. Setelah kedua 'orang anak itu makan, dia memberi minum dari tempat minum air tawar yang terdapat dalam perahu yang ditinggalkan para penjahat tadi. Kemudian dia menyuruh kedua anak itu duduk di dalam bilik perahu dan berpesan.

“Aku mau bekerja di pantai. Kalian harus duduk menunggu di sini dan jangan keluar dari perahu. Kalian bisa terjatuh ke dalam air laut kalau kalian keluar. Ingat pesanku, jangan keluar dari sini dan tunggu aku. Setelah selesai bekerja di pantai, aku tentu akan datang ke sini.” Dia tidak dapat bercerita panjang dan hanya menekankan agar anak itu mengerti bahwa mereka harus menunggu dalam bilik perahu dan tidak boleh keluar dari situ.

Setelah kedua orang anak itu mengangguk-angguk secara meyakinkan, A-ming lalu keluar dari perahu. Menuju ke darat dan mulailah dia menggali lubang, agak jauh dari pantai agar kuburan yang dibuatnya itu tidak akan terendam air laut kalau sedang pasang. Dengan menggunakan golok tadi, dia menggali dua buah lubang yang cukup besar, kemudian dengan hati-hati, penuh khidmat dan keharuan, dia lalu menguburkan dua pasang jenazah suami isteri itu. Masing masing pasangan suami isteri dia jadikan satu kuburan; dimasukkan dalam satu lubang dan ditimbuni tanah yang mengandung pasir. Setelah selesai, dia menggunakan dua buah batu karang untuk diletakkan di depan dua makam itu, masing-masing sebuah batu besar dan dengan sebatang golok, diukirnya beberapa buah huruf di atas batu besar yang menjadi batu nisan itu, dengan ukiran yang kasar namun huruf-huruf itu dapat dibaca dengan jelas.

Batu nisan di depan kuburan Tan Hok diberi ukiran MAKAM TAN HOK DAN ISTERI, dan di batu nisan di depan kuburan Wong Cin diberi ukiran MAKAM WONG CIN DAN ISTERI. Setelah selesai, dia memberi hormat kepada kedua kuburan itu lalu dia pergi ke perahu. Dua orang anak itu masih berada di dalam bilik perahu dan keduanya tertidur nyenyak. Jiwa kanak-kanak itu masih bersih, belum ternoda tebal oleh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu. Oleh karena itu, jiwa mereka belum dapat terusik oleh duka nestapa. Setelah semakin besar nanti, mulailah hati akal pikiran bekerja sepenuhnya dan masuklah nafsu menguasai hati akal pikiran sehingga sinar jiwanya tertutup oleh kotoran nafsu. Setelah demikian, maka manusia menjadi permainan nafsu, diayun gelombang suka duka sepanjang hidupnya, tidak lagi mengenal apa itu yang disebut kebahagiaan.

Nafsu, akal pikiran manusia mendorongnya untuk selalu mengejar kesenangan atau yang dianggap akan mendatangkan kesenangan. Dan dalam pengejaran inilah dia lebih banyak bertemu dengan duka dari pada suka, lebih banyak bertemu dengan kekecewaan daripada kepuasan, lebih banyak mendapatkan kekurangan daripada kecukupan. Kebahagiaan bukanlah kesenangan. Kebahagiaan tidak dapat diperoleh melalui pengejaran. Kebahagiaan adalah... (maaf ketikan kurang jelas - Yons ) dan senantiasa ada pada diri setiap orang manusia. Masalahnya adalah si orang dapat merasakannya ataukah tidak! Pengejaran kesenangan membuat kebahagiaan yang demkian dekat menjadi jauh, karena dengan pengejaran kesenangan manusia terlibat dalam ayunan susah senang karena kesusahan itu pada hakekatnya adalah permukaan yang lain dari mata uang yang sama atau kebalikan dari kesenangan.

Mengejar kesenangan, tidak dapat tiada orang akan bertemu juga dengan kesusahan karena yang satu tidak akan ada tanpa yang lain. A-ming memandangi dua orang anak itu dan menghela napas panjang. Alangkah menyedihkan nasib kedua orang anak kecil ini. Anak yang kebetulan sekali bertemu dengan dia, dan kebetulan sekali pula dia yang membuat rajah gambar naga di dada kedua orang anak itu. Dan sekarang, kedua orang anak itu telah kehilangan orang tua masing-masing. Ayah ibu mereka terbunuh di depan mata mereka! Walaupun dalam usia sekecil itu mereka belurn mengerti benar apa yang telah terjadi rnenimpa orang tua mereka, namun, setidaknya penglihatan itu tentu akan menggores dalam-dalam dibatin mereka.

Dua orang anak sekecil itu telah kehilangan ayah bundanya dan sekarang sepenuhnya berada di tangannya. Nasib mereka seolah telah ditaruh ke dalam telapak tangannya dan mau tidak mau dia harus mengurus mereka! A-ming membiarkan dua orang anak itu tidur. Dia mulai memeriksa keadaan dalam perahu yang ditinggalkan para penjahat itu. Sebuah perahu yang lumayan besarnya dan di situ terdapat persediaan roti kering yang kiranya cukup untuk mencegah kelaparan selama beberapa hari. Juga ada persediaan air tawar yang cukup banyak. Layar hitam tergulung dan terdapat pula beberapa buah dayung. Bahkan di ujung perahu itu terdapat sebuah perahu kecil, sebuah perahu yang biasanya dipakai dua orang. Ketika tadi dia terdampar dan berusaha mencari kedua keluarga itu, dia melihat bahwa bukit itu gersang.

Sebuah pulau yang kosong dan tidak subur seperti itu pasti tidak ada penghuninya. Siapa mau tinggal di sebuah pulau yang tanahnya gersang? Dan di satu bagian yang terdapat pohon-pohon pantai, dia melihat banyak sekali ular besar kecil. Mengerikan sekali. Sebuah pulau penuh ular dan tidak ada penghuninya. A- ming mulai melepaskan tali perahu itu, menggulungnya dan menaruh ke dalam perahu. Kemudian dia mendorong perahu ketengah. Dia harus meninggalkan pulau ular ini. Harus berusaha untuk kembali ke daratan besar, walaupun daratan itu tidak tampak dari situ. Akan tetapi sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, dia tahu ke mana dia harus membawa perahunya kalau ingin mencapai daratan besar. Tentu saja ke arah barat. Ini adalah Lautan Timur, dan tentu saja daratan sebelah barat.

Setelah perahu itu terapung di bagian yang lebih dalam, dia lalu naik ke dalam perahu, mendayungnya ke tengah kemudian mengembangkan layarnya yang hitam. Angin lembut bertiup dan Jayar mengembang, mendorong perahu melaju menuju arah barat. Air laut tenang dan lembut. tidak ada bekas-bekasnya lagi badai yang mengamuk dahsyat pada hari kemarin itu. Setelah perahu meluncur cepat beberapa lamanya, A-ming yang memegang kemudi dan selalu memandang ke depan, ke arah barat, tiba tiba berseri wajahnya. Dia melihat baang-bayang daratan di sana! Bayangan hitam memanjang. Bagus, pikirnya. Dia akan segera mendarat dan kalau sudah berada didaratan besar sana, baru akan dia carikan jalan keluar akan masalah yang dia hadapi ini, yaitu merawat dan memelihara dua orang anak kecil! Dia akan mencari keluarga-keluarga baik-baik yang kiranya akan suka dan mampu menerima anak-anak itu sebagai anak angkat mereka. Dia tidak berani membawa anak-anak itu ke kota raja dari mana mereka berasal. Dia tidak berani mencari keluarga orang tua anak-anak ini. Bukankah orang tua mereka telah menjadi buronan? Kalau pihak musuh keluarga itu mengetahui bahwa dua orang anak itu adalah putera keluarga Tan Hok dan Wong Cin, tentu kedua anak itu akan menghadapi ancaman pula. Bayangan hitam itu semakin lama menjadi semakin jelas. Sebentar lagi dia akan mencapai daratan itu. Terdengar suara dan ketika dia memandang ke arah bilik, Song Bu dan Sin Cu berjalan keluar dari bilik sambil menggosok-gosok kedua mata mereka, Ketika mereka berdua melihat A-ming yang duduk di buritan, tertatih-tatih mereka menghampiri.

“Kakek, aku haus!” kata Song Bu.

“Aku juga,” kata pula Sin Cu. A-ming meraih sebuah guci kecil yang sudah diisi air tawar.

“Ke sinilah. ini air untuk kalian minum,” katanya sambil tersenyum. Kedua orang anak itu menghampiri dan A-ming memberi mereka minum langsung dari mulut guci ke mulut mereka yang kecil. Setelah minum, kedua orang anak itu duduk di depan A-ming.

“Kakek, aku ingin ikut ayah dan ibu!” berkata pula Song Bu. “Aku ingin ikut mereka,” kata Sin Cu.

“Di mana ayah dan ibuku?” “Ayah ibu kalian sudah pergi ke sana lebih dulu,” kata A-ming sambil menunjuk kedepan, ke arah daratan.

“Kalian jangan rewel dan aku akan membawa kalian menyusul ayah ibu kalian.” Akan tetapi tiba-tiba A-ming mengerutkan alisnya dan memandang ke depan dengan sinar mata penuh keraguan dan kekhawatiran. Ada sebuah perahu layar besar datang dari depan. Tentu saja dia akan merasa girang sekali kalau saja perahu itu merupakan perahu yang ditumpangi penduduk pantai biasa, atau perahu pedagang. Akan tetapi yang mencemaskan hatinya adalah melihat perahu itu bercat hitam dan juga berlayar hitam seperti perahu yang dikemudikannya! Dan biasanya, perahu yang serba hitam seperti itu adalah perahu bajak laut! Setelah perahu besar itu agak dekat dan dła dapat melihat wajah orang-orang yang berada di perahu, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan.

Dia mengenal Siauw-Ong dan Siauw-Ong berada diantara belasan orang yang sedang berdiri di perahu hitam itu! Dan agaknya kedua orang itu kini sudah yakin bahwa dia berada di perahu itu bersama dua orang anak kecil yang duduk di depannya karena terdengar dua orang itu mengeluarkan bentakan-bentakan dan belasan orang di atas perahu itu mulai bergerak. Tiba-tiba dari perahu besar itu meluncur banyak anak panah menuju ke perahunya, A-ming terkejut. Mereka menyerarng dengan, anak panah! Sungguh membahayakan keselamatan dua orang anak itu. Dia menyambar dua orang anak itu dengan kedua tangannya dan membawanya lari ke dalam bilik untuk berlindung dari hujan anak panah. Dia sama sekali tidak berdaya untük membalas serangan mereka. Tiba-tiba terdengar orang-orang bersorak dari perahu besar itu dan dengan kaget A-ming melihat kobaran api pada layar perahunya.

“Celaka, mereka menggunakan anak panah berapi!” serunya sambil mengutuk Dia harus bertindak cepat. Kalau perahunya terbakar, dia dan dua orang anak itu akan celaka. Dia teringat akan perahu kecil yang berada di luar bilik. Pikirannya berjalan cepat dan dia sudah mengambil keputusan kilat. Cepat dia menyelinap keluar dari bilik, melepaskan ikatan perahu kecil itu. Kemudian dia memondong dua orang anak kecil, menyelinap ke belakang perahu, menurunkan perahu kecil dan memasukkan dua orang anak itu ke dalam perahu kecil. Kemudian didorongnya perahu kecil itu menjauhi perahunya. Perahu terbawa ombak, menjauh dari perahu yang mulai terbakar tihang layarnya itu. Sejenak ia memandang ke arah perahu kecil yang semakin menjauh dan hatinya merasa iba sekali kepada dua orang anak itu.

“Semoga Thian melindungi kalian!” katanya dan hatinya seperti ditusuk rasanya ketika mendengar dua orang anak itu mulai menangis dan memanggil-manggil ayah ibu mereka. Dia lalu melompat keluar dari balik bilik sambil membawa sebatang dayung. Begitu dia muncul, belasan batang anak panah menyambar ke arah dirinya. Akan tetapi dia memutar dayungnya dan belasan batang anak panah itu runtuh.

“Jahanam busuk kalian! Hayo kalau memang kalian berani, naiklah ke perahu ini dan kita bertanding sampai seribu jurus!” tantangnya dengan marah sekali. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanya anak-panah yang menyambar-nyambar dan di antaranya terdapat anak panah yang membawa api. Kebakaran terjadi di mana-mana dalam perahu itu dan akhirnya A-ming dikepung api. Tidak mungkin dapat dia pertahankan lagi atas perahu itu dan terpaksa dia lalu melompat keluar.

“Byuurrr...” Air laut terpercik keatas ketika tubuhnya menimpa permukaan air. Para penjahat itu segera menghujankan anak panah ke arah dia. A-ming maklum akan bahaya, apa lagi ketika sebatang anak

panah mengenai pundak kirinya. Dia menahan rasa nyeri. dan menyelam, lalu meluncur di dalam air menjauhi perahu para penjahat. Siauw-Ong dan Siauw-Ong yang melihat betapa A-ming telah terkena anak panah lalu tenggelam, tertawa puas. Mereka telah dapat membalas kekalahan mereka terhadap bekas guru silat itu. Melihat perahu mereka yang tadi dipakai A-ming telah terbakar habis, Siauw-Ong dan Siauw-Ong memerintahkan kawan- kawannya untuk memutar perahu dan kembali menuju ke daratan. Kemujijatan adalah suatu peristiwa yang terjadi di luar perhitungan dan akal manusia.

Suatu kejadian aneh yang rasanya tidak masuk akal. Suatu sentuhan Kekuasaan Tuhan yang membuka mata kita bahwa ada Kekuasaan yang luar biasa, yang bekerja di luar jangkauan pengertian kita. Kemujijatan bukan hanya terjadi di jaman dahulu. Di jaman sekarang sekalipun, sampai hari ini, kemujijatan terjadi di mana-mana, setiap waktu. Setiap kali terjadi malapetaka, selalu saja terjadi kemujijatan yang berada di luar jangkauan penalaran kita. Misalnya terjadi bencana kecelakaan hebat di mana puluhan orang tewas, akan tetapi entah mengapa dan bagaimana, seorang bayi lolos dari maut yang telah menewaskan demikian banyak orang dewasa. Bayi yang tidak berdaya itu bahkan lolos dari maut. Banyak lagi terjadi hal-hal yang aneh di mana Kekuasaan Tuhan bekerja dengan luar biasa dan di luar perhitungan akal manusia.

Nasib Tan Song Bu dan Wong Sin Cu agaknya sudah dapat ditentukan. Kedua orang anak kecil itu hampir dapat dipastikan akan menemui ajalnya karena mereka tidak berdaya terapung- apung di atas lautan, disebuah perahu kecil. Apa dayanya anak- anak berusia tiga tahun dalam keadaan seperti itu? Mereka berdua hanya dapat menangis dan menangis lagi, memanggil-manggil ayah ibunya sampai suara mereka serak Air mata mereka telah terkuras habis dan tidak ada air mata lagi yang keluar dari pelupuk mata mereka. Hanya tangis mereka yang masih terdengar, itupun semakin melemah. Perahu kecil itu terombang-ambing dan tidak terkemudikan, menurut saja kemana Tangan Ajaib yang tidak tampak membawanya. Matahari telah naik tinggi. Masih untung bagi kedua orang anak kecil itu bahwa keadaan laut tetap tenang.

Kalau sekiranya terdapat ombak yang lebih besar sedikit saja, perahu itu tentu akan terhempas dan terguling dan dua orang anak itu tentu tidak akan dapat lolos'dari kematian yang mengerikan. Tenggelam ke dalam lautan atau menjadi mangsa ikan-ikan besar! Tiba-tiba tampak sebuah titik hitam melayang-layang di angkasa. Titik hitam itu melayang semakin rendah sehingga tampak bahwa benda itu adalah seekor burung Rajawali hitam yang besar sekali! Sepasang sayap yang terkembang itu dari ujung ke ujung tidak kurang dari dua meter panjangnya. Sepasang matanya yang tajam itu agaknya dapat melihat calon mangsanya yang berada dalam perahu kecil itu. Anak-anak kecil yang bergerak-gerak sambil menangis di dalam perahu kecil merupakan mangsa empuk bagi Rajawali itu. Tidak ada bahaya mengancam di sekeliling tempat itu.

Yang ada hanya air dan air, tidak tampak ada perahu lain, tidak ada manusia dewasa yang menjadi musuh utamanya yang paling berbahaya. Setelah merasa bahwa di sekitarnya aman, burung Rajawali hitam itu lalu menukik ke bawah, Tubuhnya meluncur bagaikan anak panah cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Song Sin Cu yang lebih dulu melihat burung itu. Anak ini bangkit berdiri, tertarik, akan tetapi pada saat itu, burüng Rajawali hitam menyambar dan menggunakan kedua kaKinya yang berkuku runcing melengkung itu untuk mencengkeram tubuh Sin Cu dan memawanya terbang ke atas dengan cepat sekali. Sin Cu merasa kesakitan dan ketakutan, dia menjerit-jerit, akan tetapi jeritnya itu tidak dapat terdengar lagi karena burung Rajawali itu membawanya terbang tinggi lalu meluncur ke arah daratan! Tan Song Bu yang tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan Sin Cu, terbelalak bingung dan melihat Sin Cu lenyap dan dia berada seorang diri saja dalam perahu itu diapun menjerit dan menangis. Akan tetap lautan tidak mengacuhkan jerit tangisnya terus saja membawa perahu itu terombang ambing, bergerak maju tanpa arah tertentu. Wong Sin Cu yang dicengkeram burung Rajawali hitam dan dibawa terbang tinggi itu, tidak dapat bertahan lama. Pundak dan pinggulnya yang dicengkeram kuku-kuk yang runcing melengkung itu, terasa nyeri sekali dan juga rasa takut tak dapat ditahannya lagi sehingga dia segera pingsan dalam cengkeraman burung Rajawali hitam itu. burung itu terus membawanya terbang menuju ke sebuah bukit yang menjadi tebing tepi laut yang amat curam. Di puncak tebing itu, di antara batu-batu karang, terdapat sarang Rajawali itu.

Di mana dua ekor anaknya yang lapar telah menanti induk mereka datang membawa makanan lezat. Ketika burung Rajawali itu membawa terbang Sin Cu dan tiba di atas tebing, mendadak Sin Cu siuman dari pingsannya. Melihat dirinya melayang-layang di atas tebing,anak itu menjerit-jerit ketakutan. Jeritnya nelengking nyaring. Kebetulan sekali pada saat itu terdapat seorang manusia berada di atas tebing itu. Dia seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun, pakaiannya sederhana sekali, hanya kain kuning yang dilibat-libatkan di tubuhnya seperti pakaian pendeta atau pertapa, kakinya memakai sepatu kulit yang sederhana pula. Rambutnya yang panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan kain putih. Tubuhnya seang saja. Wajahnya menunjukkan bahwa di waktu mudanya dia adalah seorang pria yang tampan dan wajah itu diliputi keteangan dan kedamaian, Mulutnya selalu tersungging senyuman dan sepasang matanya yang mencorong itupun mengeluarkan sinar lembut dan sabar. Melihat penampilannya, orang akan menduga bahwa dia tentu seong Tosu (pendeta To) perantau yang berpindah-pindah tempat pertapaannya. da Kekuasaan yang tidak tampak membuat Sin Cu siuman di saat itu dan menjerit dengan lengkingan nyaring sehingga terdengar oleh Tosu yang sedang berada di atas tebing. Kita akan menganggap semua itu sebagai suatu hal yang kebetulan saja. Justeru “kebetulan” itulah mujijat yang telah “diatur” oleh Kekuasaan Tuhan. Mendengar jerit tangis itu, Tosu tadi menengadah dan sepasang matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung Rajawali hitam terbang di atas tebing dan kedua kaki burung raksasa itu mencengkeram seorang anak kecil.

“Siancai (damai)...!” Dia berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali, mendaki tebing yang amat curam itu dengan gerakan yang amat cekatan, tiada ubahnya seperti seekor monyet.

Sin Cu sudah pingsan lagi ketika Rajawati Hitam itu melayang turun dan hinggap di sarangnya yang besar, yang berada di puncak tebing. Kedua anaknya mengeluarkan bunyi cecowetan menyambut kedatangan sang induk dengan girang karena induk mereka membawa makanan yang lezat. Pada saat Rajawali hitam itu siap untuk mencabik-cabik tubuh Sin Cu dengan paruhnya yang kuat dan kedua cakar kakinya yang runcing, tiba-tiba terdengar suara bentakan melengking nyaring yang menggetarkan seluruh puncak tebing itu! Rajawali itu terkejut sekali sehingga ia mengurungkan niatnya untuk mencabik-cabik tubuh Sin Cu, lalu memutar lehernya menoleh dan memandang ke arah Tosu yang telah muncul di dekat puncak dengan marah.

“Maaf, sobat Rajawali, kalau aku mengganggumu. Akan tetapi engkau tidak boleh makan manusia kecil itu. Carilah mangsa yang lain!” kata Tosu itu dan dia mendorongkan tangan kanannya ke arah sang Rajawali. Angin yang amat kuat bertiup menyambar ke arah burung Rajawali itu sehingga tubuh burung itu terdorong dengan kuatnya. Burung itu mengembangkan sayapnya lalu terbang untuk mernatahkan tenaga dorongan yang amat kuat. la menjadi marah karena mengira bahwa orang yang datang itu hendak merampas makanannya yang ia bawa untuk kedua anaknya. la menukik dan membalik lalu menyerang Tosu itu dengan paruh dan kedua kakinya.

“Maaf, sekali ini engkau harus mengalah!” Tosu itu berkata lagi dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kanannya, kini dorongannya begitu kuatnya sehingga angin menyambar dahsyat memapaki terjangan burung Rajawali hitam.

“Wuuut... bress...!!” Tubuh burung Rajawali itu terpental sampai jauh dan ia mengeluarkan pekik lalu terbang mengitari sarangnya seolah hendak melindungi kedua anaknya, akan tetapi jerih menghadapi Tosu ya memiliki pukulan jarak jauh yang ampuh itu, “Jangan khawatir, sobat Rajawali, aku tidak akan mengganggu anak-anakmu!” kata Tosu itu. Dia lalu memanjat batu mendekati sarang dan mengambil tubuh Sin Cu yang masih tergeletak pingsan di sarang itu. Dibawanya turun tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam sebuah guha kecil di sebelah bawah sarang Rajawali. Dari situ dia dapat melihat sarang itu dengan jelas. Akan tetapi dia tidak lagi memperhatikan burung Rajawali dan kedua anaknya karena dia sibuk memeriksa keadaan Wong Sin Cu, anak berusia tiga tahun yang masih pingsan itu. Setelah memeriksa pernapasan dan denyut jantung anak itu, si Tosu lalu menotok beberapa jalan darah di punggung dan mengurut urat di leher anak itu. Sin Cu siuman dan membuka matanya. Dia segera terbelalak dan mulutnya berteriak, “Burung jahat” Tosu itu mengelus kepalanya.

“Jangan takut, anak baik. Burung itu tidak akan mengganggumu lagi. Diamlah, pinto akan mengobati luka-luka di pundak dan pinggulmu.” Pundak dan pinggul Sin Cu memang luka karena tertusuk kuku Rajawali. Tosu itu membuka baju anak itu dan dia terbelalak kagum melihat rajah gambar naga di dada anak itu. Rajah gambar naga putih yang indah sekali dan seperti hidup ketika dada nak itu kembang kempis bernapas.

“Naga.?” Dia bergumam. Akan tetapi dia segera dapat mengatasi kekaguman dan keheranannya melihat dada seorang anak kecil dirajah gambar naga. Dia menngeluarkan buntalan yang digendong di punggungnya dan membuka buntalan kain kuning dan mengeluarkan roti kering, sayur kering dan obat bubuk berwarna putih. Dia menaburkan obat bubuk itu ke atas luka di pundak dan pinggul Sin Cu.

“Bagaimana rasanya, anak yang baik?” “Rasanya dingin, kek. Engkau siapakah kek? Dan di mana ayah ibuku?” tanya wong Sin Cu. Tentu saja Tosu itu menjadi bingung mendengar pertanyaan ini.

“Namaku Bu Beng Siauw-jin, akan tetapi kau sebut saja Suhu (guru). Dan siapakah namamu, Anak sekecil Wong Sin Cu tentu saja tidak mempanyai kesan apapun akan nama itu. Akan tetapi kalau orang dewasa mendengarnya, tentu akan merasa terheran- heran. Tosu itu memperkenalkan namanya sebagai Bu-beng Siauw-jin (Orang rendah Tanpa Nama): Mana ada orang yang menyebut diri sendiri siauw-jin (orang rendah) Biasanya, sebutan ini ditujukan kepada seorang yang rendah atau hina, bahkan digunakan sebagai makian kepada orang jahat dan tersesat. Akan tetapi Tosu itu mempergunakan sebutan yang buruk itu sebagai nama julukannya! Melihat anak itu sudah hilang rasa takutnya, Bu Beng Siauw jin lalu memberikan sepotong roti kering dan sepotong sayur kering kepada Sin Cu. Anak itu menerima makanan ini dan sambil makan roti dan sayur kering, dia menjawab, “Namaku Sin Cu.” “Engkau she (marga) apa?” tanya Bu Beng Siauw-jin. Sin Cu memandang dengan tidak mengerti.

“Apa itu marga? Aku tidak tahu, Kong-kong (kakek).” “Jangan sebut Kong-kong kepadaku, akan tetapi sebut saja Suhu. Engkau pantas menjadi muridku, Sin Cu, anak baik.” Karena sikap Bu Beng Siauw-jin yang ramah dan lembut, Sin Cu sudah hilang rasa takut dan canggungnya.

“Di mana ayah dan ibuku, Suhu?” Tentu saja Tosu itu tidak tahu ke mana perginya ayah dan ibu anak ini. Dia bingung bagaimana harus menjawab. Akan tetapi untuk tidak membuat anak itu susah atau bingung, dia berkata, “Ayah dan ibumu sedang pergi. Nanti kita cari mereka, ya?” Sin Cu mengangguk. Agaknya anak itu terkenang akan saat-saat yang mengerikan, maka katanya, “Suhu, aku takut pada laut! Bu Beng Siauw-jin semakin terheran. Takut kepada laut? Akan tetapi dia yang tidak mengerti apa yang tersembunyi di balik pernyataan anak ini, tidak ingin membantah karena kalau dibantah tentu hanya akan membuat anak itu menjadi bingung.

“Jangan takut, Sin Cu. Di sini tidak ada laut yang perlu ditakuti.” “Aku juga takut kepada orang-orang jahat itu, Suhu.” Laut? Orang jahat? Anak ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat, pikir Bu Beng Siauw-jn. Tidak ada orang jahat di sini, Sin Cu. Kalau ada orang jahat, pin-to yang akan melindungimu dan mengusir orang- orang jahat itu.

“Aku takut kepada burung jahat itu, Suhu.” “Burung itu tidak jahat, Sin Cu. ia tidak tahu bahwa engkau bukanlah makanan untuk anak-anaknya. Lihat, ia kini telah mendapat mangsa lain.” Tosu itu menuding ke arah sarang burung Rajawali. Sin Cu mengangkat mukanya memandang dan matanya yang kecil itu menunjukkan sikap ngeri melihat betapa Rajawali hitam tadi kini mencengkeram seekor kelenci. Kelenci itu diturunkan di atas sarang dan kini paruh dan cakar Rajawali hitam mulai mencabik-cabik kelinci itu.

“Burung jahat...!” Sin Cu berseru dan menutupi mukanya dengan tangan. Hati anak kecil yang peka itu tidak tahan melihat kelenci itu berkelojotan ketika kulit dagingnya dicabik-cabik dan berdarah- darah. Bu Beng Siauw-jin menghela napas panjang dan berkata lirih, lebih kepada diri sendiri untuk menenteramkan hatinya yang juga terasa ngeri menyaksikan pemandangan itu, daripada bicara kepada Sin Cu.

“Sama sekali tidak jahat. Kelinci itu memang mangsanya, makanannya. Kalau ia pulang ke sarangnya tanpa membawa mangsa, anak-anaknya akan mati kelaparan.la menangkap mangsa dan memakannya karena memang itu makanannya, penyambung hidupnya. la tidak dapat makan buah-buahan atau daun-daunan seperti kera atau kerbau. la memang diciptakan dalam keadaan seperti itu. Tidak, Rajawali, Harimau, Srigala, Burung pemakan bangkai dan segala binatang pemakan daging mentah, sama sekali tidak kejam atau jahat. Keadaannya sejak lahir memang mengharuskan ia makan mangsa seperti itu, kalau tidak mereka akan mati kelaparan. Mereka tidak sejahat manusia yang makan segala macam bukan karena tuntutan perut melainkan tuntutan mulut yang penuh nafsu ingin makan enak.” Tentu saja Sin Cu tidak mengerti akan semua kata-kata itu, bahkan tidak memperhatikan, akan tetapi anak itu lalu bangkit dan mengambil beberapa buah batu. Dia melemparkan batu-batu itu ke arah sarang burung dan tiada hentinya mengatakan burung jahat! Tentu saja sambitan batu kecil itu tidak ada artinya bagi Rajawali dan anak-anaknya yang sedang makan daging kelenci dengan lahapnya. Melihat ini, Bu Beng Siauw-jin mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira.

Dia melihat bahwa Sin Cu adalah seorang anak yang peka sekali perasaannya, mudah terharu dan mudah bangkit rasa ibanya,tidak tega melihat kekejaman, akan tetapi juga berwatak gagah sehingga untuk membela kelenci yang menjadi korban itu dia lupa akan rasa takutnya dan berani menyerang Rajawali hitam dengan sambitan batu. Bagus, anak ini memiliki dasar watak yang baik dan memang pantas menjadi muridnya pantas mewarisi ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari selama bertahun-tahun. Selain memiliki dasar watak yang baik, Sin Cu ternyata merupakan seorang anak yang tahan menderita. Dia seolah telah melupakan luka-luka di pundak dan pinggulnya, pada hal, biarpun sudah diberi obat yang manjur, tentu luka-luka itu masih terasa pedih dan kaku. Melihat anak itu tampaknya sudah kuat, Bu Beng Siauw-jin lalu memegang tangan Sin Cu dan berkata, “Sin Cu, marilah kita pergi dari sini.” “Ke mana, Suhu? Pergi mencari ayah dan ibu?” “Ya, benar. Kita pergi mencari ayah dan ibumu. Tahukah engkau, siapa nama ayahmu?” Sin Cu mengangguk. Biarpun suaranya masih agak cadel, namun dia dapat menyebut nama ayahnya dengan jelas, “Ayah bernama Wong Cin.” “Di mana tinggalnya?”

“Tinggalnya... di perahu. Ah perahu dan laut jahat, aku takut, Suhu.” “Apa yang terjadi? Dapatkah engkau menceritakan padaku?” Sih Cu menggeleng kepala dan wajahnya membayangkan ketakutan sehingga Bu Beng Siauw-jin tidak mendesak lagi. Dia memondong anak itu dan membawanya menuruni tebing itu.

“Sudahlah, kalau tidak tahu juga tidak mengapa. Kita cari ayah ibumu.” Bu Beng Siauw-jin adalah seorang pertapa yang memiliki kesaktian tinggi. Ketika menuruni tebing, dia menggunakan gin- kang (ilmu meringankan tubuh) dan dia bergerak cepat bukan main, berloncatan dari batu ke batu yang runcing dan tajam, berlari cepat bagaikan terbang saja. Sin Cu seperti hilang rasa nyerinya.

Anak itu tertawa-tawa senang “Suhu, kita terbang... Kita terbang...!” katanya dengan gembira. Kita tidak terbang melainkan berlari cepat dan berlompatan, Sin Cu. Kalau tadi memang benar engkau dibawa terbang oleh burung Rajawali hitam.” “Ihh, dibawa terbang burung jahat itu menakutkan, Suhu. Kalau terbang dengan Suhu menyenangkan,” kata Sin Cu. Bu Beng Siauw-jin mengajak Sin Cu berkeliling mengunjungi dusun-dusun yang berada di sekitar daerah itu. Di setiap dusun dia berhenti dan bertanya-tanya apakah ada orang yang mengenal ayah anak itu bernama Wong Cin. Kini dia tahu bahwa nama lengkap anak itu adalah Wong Sin Cu.

Akan tetapi sampai berhari-hari dia berkeliling dari dusun ke dusun, tidak ada orang yang mengenal Wong Sin Cu maupun mendengar tentang ayah anak itu yang bernama Wong Cin, Tosu itu lalu teringat akan kata-kata Sin Cu yang bicara tentang perahu dan laut Tentu anak itu pernah naik perahu di laut, pikirnya. Maka dia lalu mengajak Sin Cu menuju ke timur. Laut Timur tidak jauh dari pedusunan yang dikunjunginya itu. Bahkan tempat di mana dia menemukan Sin Cu, di puncak tebing itupun merupakan tepi laut. Kini dia pergi ke tepi laut di sebelah bawah tebing. Dia menyusuri tepi laut untuk melakun penyelidikan. Akan tetapi tepi laut bagian itu sepi dari pedusuran sehingga dia tidak dapat meñemukan apa- apa. Setelah jauh dari daerah itu, barulah dia menemukan, akan tetapi di sinipun tidak ada orang yang mengenal Sin Cu tidak ada orang yang pernah mendengar akan nama wong cin.

Telah kurang lebih tiga bulan lamanya Bu Beng Siauw-jin membawa Sin Cu berkeliing ke banyak kota dan dusun mencari orang tua anak itu, akan tetapi sermua usahanya sia-sia. Tidak ada orang mengenal Wong Cin. Pada suatu pagi, kakek itu duduk di tepi pantai berpasir, memandang ke arah laut dan termenung. Sungguh suatu pertemuan yang ajaib sekali. Dia menemukan Sin Cu digondol burung Rajawali hitam, hampir saja menjadi mangsa burung itu dan anak-anaknya. Dan Sin Cu, bocah berusia tiga tahun itu mempunyai rajah gambar naga putih didadanya. Bicara tentang perahu dan lautan dan orang-orang jahat, akan tetapi tidak dapat menceritakan dengan jelas apa yang telah dia alami. Tidak diketahui asal usulnya dan mencari orang tua anak itupun sampai tiga bulan Sama sekali tidak ada hasilnya,Seolah-olah anak itu dikirim oleh para dewa ke tangannya! “Suhu, di mana ayah ibu? Kenapa kita tidak bertemu dengan ayah dan ibu?” tiba tiba Sin Cu yang duduk di atas pasir, di sebelah kirinya, bertanya sambil menyentuh tangan Bu Beng Siauw-jin. Bu Beng Siauw-jin mengelus rambut kepala Sin Cu.

“Sin Cu, anak yang baik. Agaknya ayah ibumu pergi jauh sekali dan sampai sekarang belum kembali. Karena itu engkau sekarang ikut saja dengan aku sambil menanti kembalinya ayah ibumu. Engkau mau ikut dengan aku, bukan?” Sin Cu berdiri dan merangkul Bu Ben Siauw-jin, “Aku mau, Suhu, Suhu baik.” Bu Beng Siauw-jin tertawa bergelak lalu memondong tubuh anak itu. Dia merasakan suatu perasaan gembira yang selama ini belum pernah dia rasakan.

Sudah lebih dari dua puluh tahun dia hidup sebatang kara tanpa keluarga, merantau di seluruh negeri, tenggelam ke dalam kesunyian, dan lupa bagaimana rasanya gembira dan berduka. Akan tetapi, setelah bertemu Sin Cu ada sesuatu yang terasa olehnya, suatu yang mengusik hatinya dan mendengar Sin Cu suka ikut dengannya dan menganggapnya baik, entah mengapa dia merasa gembira bukan main. Perasaan yang sudah puluhan tahun tidak pernah dirasakannya. Sambil tertawa-tawa, Bu Beng Siauw-jin yang memondong tubuh Sin Cu lalu lari dengan kecepatan luar biasa meninggalkan pantai itu, menuju ke barat. Karena dia mengerahkan ilmunya ketika berlari, maka dia seperti terbang saja. Sin Cu berteriak-teriak kegirangan ketika dibawa lari secepat terbang itu. Sebentar saja, tubuh mereka hanya tampak sebagai setitik warna kuning jubah kakek itu dan tak lama kemudian titik itupun lenyap.

Pantai berpasir itu ditinggalkan dalam kesunyian dan yang terdengar hanya air laut mendesis-desis seperti mendidih ketika menjilat pantai pasir. Perahu itu terapung-apung di tengah lautan, semakin menjauh dari pantai daratan,terbawa ombak. Tan Song Bu yang takut menangis menjerit-jerit melihat Sin Cu disambar dan digondol burung besar, kini rebah pingsan di atas perahu saking lelahnya. Tiba-tiba tampak dua buah sirip meluncur mendekati perahu kecil di mana Song Bu rebah pingsan itu. Sirip dua ekor ikan hiu yang besar! Moncong kedua ekor ikan hiu itu menyentuh- nyentuh perahu yang terdorong ke sana sini dan menjadi bergoyang goyang.

Kalau perahu kecil itu sampai terbalik, atau tubuh anak yang pingsan itu sampai terlontar keluar perahu, tentu tubuh anak kecil ítu akan diperebutkan dua ekor ikan hiu yang buas dan agaknya kelaparan itu, akan dicabik-cabik sampai menjadi bebrapa potong! Karena berada dalam keadaan pingsan Song Bu tidak sadar walaupun tubuhnya bergulingan ke kanan kiri dalam perahu karena perahunya terdorong ke sana kemari. Bahkan ada kalanya tubuhnya menggeding ke tepi perahu dan hampir saja keluar dari perahu. Song Bu berada dalam ancaman maut yang gawat dan mengerikan sekali. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Song Bu itu, tiba-tiba datng sebuah perahu yang meluncur cepat sekali ke tempat itu. Seorang pria tinggi besar yang mendayung perahu itu melihat tubuh anak kecil yang berada di dalam perahu yang didorong-dorong oleh moncong dua ekor ikan hiu itu.

“Ikan keparat” Dia mendesis marah, tagan kirinya mencabut sebatang pisau belati yang mengkilat dan sekali dia mengayunkan tangan kirinya, sinar kilat meluncur dan pisau itu dengan tepat sekali menancap tepat di tengah-tengah kepala seekor ikan hiu. Pisau itu menancap sampai ke gagangnya, padahal panjangnya tidak kurang dari dua puluhan sentimeter. Tentu saja pisau itu menembus memasuki otak ikan hiu itu yang meluncur sampai jauh lalu meronta ronta sebenr. Tak lama kemudian tubuh ikan hiu itu terapung dengan perut di atas, mati. Ikan hiu ke dua agaknya tidak menyadari akan hal ini dan masih menyundul-nyundul perahu kecil di mana Song Bu tergeletak Pria itu mendayung perahunya mendekat kemudian dia menggunakan kedua tangan mengangkat dayungnya dan sekali mengayun dayung itu, dayung menyambar kearah kepala ikan hiu ke dua.

“Brakkk...!” Kepala ikan hiu itu pecah terpukul dayung yang ternyata terbuat dari pada baja itu. Ikan ini tidak sempat meronta lagi. Kepalanya pecah berantakan dan ikan itu tewas seketika! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga yang menggerakkan dayung baja itu sehingga sekali pukul saja dapat membuat kepala seekor ikan hiu besar pecah berantakan! Pria itu mendekatkan perahunya ke perahu kecil itu dengan dayungnya sehingga tidak bergerak menjauh. Alisnya yang tebal menghitam itu berkerut ketika dia melihat tubuh anak kecil yang tidak bergerak dengan wajah pucat itu. Sejenak timbul dugaan dalam hatinya apakah anak itu sudah mati. Akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat menangkap denyut di leher anak itu, juga pernapasannya yang lemah. Pria itu tiba-tiba mengangkat dayung bajanya dan dipukulkan pada perahu kecil! “Dukk!” Terjadilah keanehan. Agaknya pemukulan itu dilakukan dengan tenaga yang sudah terkendali dengan baik. Akibatnya tubuh Song Bu mencelat ke atas, ke arah perahu orang itu! Dengan tangan kirinya, pria itu menyambar tubuh Song Bu, menangkapnya lalu meletakkannya di dalam perahu, di depan kakinya. Diapun mulai memeriksa, meraba dada dan lehęr anak itu. Lemah, dan mengalami guncangan hebat, pikirnya. Dia menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok pundak dan mengurut punggung. Song Bu mengeluh lirih dan membuka kedua matanya, akan tetapi lalu dipejamkannya kembali. Pria itu meraba dada Song Bu. Denyut jantungnya amat lemah. Dia lalu membuka baju Song Bu dan dia terbelalak melihat rajah gambar naga hitam yang amat indah dan seperti hidup itu.

“Hemm, Naga Hitam...?” Gumamnya, kagum sejenak. Akan tetapi dia lalu menempelkan telapak tangan kirinya di dada Song Bu,menyalurkan tenaga saktinya untuk membantu bekerjanya jantung dan kelancaran jalan darah anak itu. Beberapa menit kemudian wajah Song Bu sudah tampak merah dan anak itu kembali siuman, mengeluh dan membuka matanya. Pria itu sudah mengangkat tangannya dan menutupkan kembali baju Song Bu. Melihat pria itu, Song Bu segera bangkit, menatap wajah pria itu penuh selidik.

“Apakah engkau orang jahat?” tanyanya. agaknya teringat akan orang-orang yang rnengeroyok ayah ibunya Pria itu tertegun, kemudian tertawa bergelak. Tawanya bebas lepas dan seperti bergemuruh di permukaan air laut itu. Pria itu sesungguhnya bukan orang sembarangan. Dunia kang-ouw (sungai, telaga, persilatan) sudah mengenal nama besarnya sebagai seorang datuk persilatan yang disegani dan ditakuti, terutama di wilayah timur dan di sepanjang pantai Laut Timur. Namanya adalah Ouw Yang Lee, akan tetapi dia lebih terkenal dengan julukannya, yaitu Tung-Hai- Tok (Racun Laut Timur).

Diapun terkenal sebagai majikan dari Pulau Naga, sebuah pulau di lautan timur yang tidak berapa besar akan tetapi memiliki tanah yang subur. Di pulau itu terdapat perbukitan yang memanjang sehingga kalau pulau itu tampak dari jauh, bentuknya seperti seekor naga karena bentuk inilah maka pulau itu dinamakan Pulau Naga. Ouw Yang Lee atau Tung-Hai-Tok tinggal di pulau yang sudah diakui sebagai miliknya itu bersama dua orang istrinya. Dari mereka dia memperoleh dua rang anak, kesemuanya perempuan. Yang satu berusia satu tahun dan yang lain baru berusia dua bulan. Selain dua isteri dan dua anaknya, di rumahnya yang berbentuk gedung besar itu tinggal pula beberapa orang pelayan. Dan di bagian belakang gedung terdapat rumah-rumah pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buahnya yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh orang.

Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee terkenal sebagai seorang datuk yang seperti juga para datuk persilatan lainnya, berwatak aneh sekali. Sukar untuk menilai apakah dia orang yang berhati baik atau jahat. Kadang dia dapat melakukan perbuatan yang baik sekali, dan kadang dia dapat pula bertindak keras dan kejam. Terutama sekali dia terkenal keras hati dan keras kepala, tidak mau tunduk kepada siapapun juga. Dan dia terkenal sekali karena kesaktiannya. Dia meliki tenaga sakti yang amat kuat dan dia terkenal sebagai ahli racun sehingga mendapat julukan Racun Laut Timur. Senjanya äda dua macam, yaitu dayung baja yang biasa dipergunakan untuk mendayung perahu, dan sebatang pedang yang jarang dia pergunakan karena sekali pedang itu dicabut, harus ada orang yang tewas menjadi korban! Sebagai seorang majikan Pulau Naga, diapun terkenal kaya raya dan ada cerita tersiar di dunia kang-ouw bahwa tokoh ini pernah menemukan harta karun dari perahu kuno yang tenggelam, kemudian dapat diangkatnya dan harta karun yang berada dalam perahu menjadi miliknya. Akan tetapi ada pula yang mengabarkan bahwa anak buah Pulau Naga suka melakukan penghadangan terhadap perahu-perahu besar yang membawa barang-barang para saudagar dan merampoknya atau setidaknya rnenuntut semacam upeti. Mendengar pertanyaan dari Song Bu apakah dia seorang jahat, Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee tertawa bergelak. Dia merasa lucu sekali, Ketika melihat anak laki-laki yang tampan dan bertulang besar ini, apa lagi melihat rajah gambar naga hitam di dadanya, sudah timbul rasa suka di hatinya. Dia tidak mempunyai anak laki-laki yang sudah lama didambakannya, dan anak laki-laki yang ditemukannya ini merupakan anak yang istimewa dan aneh.

“Ha-ha-ha, engkau boleh menyebut aku orang jahat atau orang baik, sama saja.Akan tetapi bagaimana engkau dapat berada di perahu ini seorang diri? Siapakah namamu?” “Namaku Song Bu.” “Siapa nama ayahmu?” Ayah bernama Tan Hok.”

“Di mana sekarang ayah ibumu?” “Ayah dan ibu dipukuli orang-orang jahat, Song Bu terisak, Paman bawalah aku kepada ayah dan ibu...” “Hemm, bagaimana engkau bisa berada di pulau kecil itu seorang diri? Apa yang telah terjadi?” Ditanya demikian, Tan Song Bu yang baru berusia tiga tahun itu menjadi bingung dan tidak dapat menjawab. Ouw Yang Lee juga tidak bertanya lebih jauh. Anak ini bernama Tan Song Bu. Ayah dan ibunya entah berada di mana. Dia tidak perduli. Dia telah menemukan anak ini dan menyelamatkan dari ancaman bahaya maut di moncong ikan ikan hiu. Dia berhak atas anak ini.

“Song Bu, mulai sekarang engkau ikut denganku.” “Akan tetapi aku mau ikut ayah dan ibu.” “Nanti kita cari atau kita tunggu ayahmu datang. Sekarang mari ikut aku dan engkau akan kujadikan muridku. Sebut aku. Suhu!” Song Bu adalah seorang anak yang tabah dan keras hati. Juga dia cerdik. Dia takut ditinggal sendiri di perahu dan orang ini pasti bukan orang jahat. Buktinya tidak mengganggunya. Maka diapun menurut.

“Suhu…!!” katanya tanpa mengetahui apa artinya sebutan guru itu. Ouw Yang Lee menjadi girang sekali.

“Song Bu, mari kita pulang. Engkau akan kuperkenalkan kepada dua orang subo-mu (ibu gurumu) dan kedua orang sumoi-mu (adik perempuan seperguruan).” Setelah berkata demikian, datuk ini menggerakkan dayung bajanya dan perahu itu meluncur dengan amat cepatnya, seperti anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke Pulau Naga yang sudah tampak dari situ. Setelah tiba di perairan Pulau Naga, disitu terdapat banyak perahu. Perahu- perahu itu milik anak buah Pulau Naga yang bertugas mencari ikan. Para anak buah Pulau Naga itu setiap hari bekerja, ada yang mencari ikan dan ada pula yang bercocok tanam dipulau. Kalau ada berita angin bahwa anak buah Pulau Naga suka membajak kapal-kapal dagang, hal itu sebenarnya tidak tepat benar. Yang benar, di daerah perairan itu memang terdapat banyak bajak laut, baik bajak laut bangsa sendiri maupun bajak-bajak laut dari jepang.

Akan tetapi pengaruh Pulau Naga sedemikian besarnya sehingga tidak ada bajak laut yang berani melakukan pekerjaannya yang jahat di sekitar daerah Pulau Naga. Karena jasa pengaruh Pulau Naga inilah maka semua perahu yang lewat didaerah itu, dengan sula rela memberi sumbangan atau hadiah kepada majikan Pulau Naga melalui anak buahnya, tentu saja dengan jaminan bahwa pihak Pulau Naga akan menentang apabila terjadi pembajakan teradap perahu-perahu dagang itu. Jadi, pada hakekatnya Pulau Naga hanya memungut sekadar “uang jasa” dan sama sekali tidak pernah melakukan pembajakan. Hal ini merupakan larangan keras dari Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee yang menjaga nama besarnya sebagai datuk timur. Kalau dia membiarkan anak buahnya membajak atau merampok, tentu nama dan kehormatannya akan ternoda.

Melihat perahu kecil yang di dayung Ouw Yang Lee, para anak buah dalam perahu-perahu itu cepat berdiri dan memeri hormat kepada ketua mereka. Mereka begitu merasa terheran-heran melihat ketua mereka berada dalam perahu bersama seorang anak laki-laki kecil yang tidak mereka kenal. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani bertanya. Ketua mereka adalah seorang yang berwatak aneh dan keras. Dua orang isterinya yang menggendong anak masing-masing menyambut kedatangan Ouw Yang Lee dengan senyum manis. akan tetapi mereka juga terheran-heran melihat suami mereka pulang membawa seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Setelah Ouw Yang Lee duduk dan disuguhi minuman air teh, dia menyuruh Song Bu duduk pula di atas sebuah kursi di sebelahnya. Isteri pertamanya lalu bertanya, “Suamiku, siapakah anak ini dan mengapa dia ikut bersamamu? Di mana orang tuanya?” “Anak ini bernama Tan Song Bu, ayahnya bernama Tan Hok akan tetapi dia tidak tahu ke mana perginya ayah dan ibunya. Melihat dia sebatangkara dan terapung-apung di atas lautan, aku lalu menolong dan mengajaknya kesini. Aku mengambilnya sebagai muridku. Hayo Song Bu beri hormat kepada kedua orang wanita ini Engkau sebut yang ini sebagai Toa-subo (ibu guru tertua) dan yang ini Ji-subo (ibu guru ke dua).” Song Bu yang masih kecil itu telah mendapat pendidikan yang patut dari mendiang ayah ibunya. Dia sudah mengerti akan tata-susila umum dan mendengar perintah Suhunya itu, dia lalu turun dari atas kursi mengampiri dua orang wanita itu dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk.

“Toa-subo.” katanya sambil memberi hormat kepada isteri tertua gurunya, kemudian hormat kepada isteri ke dua Suhunya. “Ji-subo” Dia beralih memberi hormat. Melihat anak kecil yang tampan itu dan melihat pula betapa anak sekecil itu telah dapat memberi penghormatan dengan baik dua orang isteri itu tersenyum senang. Kalau saja anak laki-laki itu merupakan anak tiri, mungkin sekali mereka akan merasa tidak suka kepada Song Bu. Akan tetapi mendengar bahwa anak itu ditinggal orang tuanya dan kini menjadi murid suaminya, mereka merasa suka.

“Song Bu, ini adalah sumoi-mu (adik perempuan seperguruanmu) Ouw Yang Lan, kelak ajaklah ia bermain-main.” Isteri pertama Ouw Yang Lee memperkenalkan anak perempuannya yang berusia setahun, anak yang mungil dan lucu, yang tersenyum-senyum memandang kepada Song Bu.

“Dan ini adalah sumoi-mu Ouw Yang Hui. Sayangilah ia, Song Bu.” kata isteri kedua sambil memperlihatkan anak perempuannya yang baru berusia dua bulan, Anak inipun sudah tampak mungil dan cantik biarpun masih bayi. Song Bu memandangi dua orang anak dengan wajah berseri. Dia merasa senang memperoleh dua orang adik. Ketika masih bersama ibunya dulu, dia sering merengek kepada ibunya minta diberi seorang adik! Karena sikap Ouw Yang Lee dan kedua orang isterinya amat ramah dan baik kepadanya, Song Bu merasa senang tinggal di Pulau Naga. Dalam beberapa bulan pertama, dia memang seringkali menanyakan ayah dan ibunya kepada keluarga itu. Akan tetapi selalu dijawab bahwa ayah ibunya pergi jauh dan belum kembali.

Akhirnya, lambat laun Song Bu dapat melupakan ayah ibunya. Mula-mula pertanyaannya tentang ayah ibunya semakin jarang dia ajukan dan beberapa bulan kemudian, anak ini sudah lupa akan ayah bundanya dan dia merasa dirinya sudah tergabung menjadi anggaura keluarga Ouw Yang. Song Bu berangkat besar di dalam keluarga ini dan karena tumbuh bersama dan diperlakukan dengan baik oleh semua keluarga itu, Song Bu juga merasa sayang kepada mereka. Terutama kepada Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui, dia menganggap mereka seperti adik-adik sendiri dan dia suka mengajak mereka bermain-main. Kasih sayang merupakan perasaan yang paling murni dan amat kuat dari manusia, Bahkan sering terjadi watak yang amat keras dan jahat sekalipun, akan mencair oleh kasih sayang. Kasih sayang mengandung getaran yang amat kuat.

Kasih sayang yang tulus menghilangkan pementingan diri sendiri dan tercermin dalam segala tindakan, suara, tatapan mata dan air muka orang yang menyayangnya sehingga orang yang disayangnya terdorong untuk bersikap baik dan membalas kasih sayang itu. Kasih sayang murni tidak mengandung pamrih untuk kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Kalau kasih sayang mengandung pamrih menyenangkan diri sendiri, maka itu adalah nafsu, karena sifat nafsu selalu berdalih mementingkan diri sendiri. Karena mendapatkan kasih sayang seperti itu. terutama sekali dari kedua orang Nyonya Ouw Yang dan kedua orang putri mereka, Song Bu tumbuh besar dalam keluarga itu dengan perasaan sayang pula kepada keluarga Ouw Yang. Perasaan sayang yang menimbulkan kesetiaan dan kepatuhan. Ouw Yang Lee, yang pada dasarnya berwatak aneh dan kasar, selalu menuruti nafsu- nafsunya, juga merasa sayang kepada Song Bu.

Akan tetapi rasa sayang dari seorang datuk setengah sesat seperti Ouw Yang Lee ini tentu saja berpamrih. Pertama, karena Song Bu merupakan anak yang tampan dan penurut sehingga menyenangkan, dan ke dua, dia mempunyai harapan agar kelak Song Bu menjadi muridnya yang baik dan boleh diandalkan sehingga dapat mengangkat tinggi-tinggi nama gurunya! Ouw Yang Lee sengaja mendatangkan seorang guru sastra dari daratan dan dengan bayaran tinggi, guru sastra itu tinggal di Pulau Naga. Sejak berusia lima tahun, Song Bu sudah mulai belajar membaca dan menulis. Beberapa tahun kemudian, setelah dia pandai membaca, dia bahkan mulai diajar membaca kitab-kitab suci Agama To, Agama Khong-hu-cu dan Agama Budha yang dianut oleh kebanyakan rakyat di waktu itu. Tidak hanya membaca kitab- kitab suci tiga agama itu, bahkan dią diharuskan menghafal ayat- ayat sucinya.

Tentu saja seorang anak berusia tujuh delapan tahun tidak mungkin dapat menghayati segala macam ujar-ujar kitab suci. Hafalan di luar kepala itu membuat semua ayat itu hanya menjadi semacam kalimat yang tidak berarti sama sekali. Sama saja seperti burung kakatua yang pandai menirukan bahasa manusia. Kebiasaan seperti ini, yaitu menghafalkan semua pelajaran tentang kebajikan yang dijejalkan ke dalam hati akal pikiran manusia, masih dilakukan orang sampai hari ini. Setiap orang mermpelajari ayat-ayat dalam kitab suci berbagai agama, menghafalkan di luar kepala. Akan tetapi sungguh sayang, menghafal semua pelajaran tentang kebaikan itu ternyata tidak dapat membuat manusia menjadi baik, atau kalaupun ada yang berhasil, sedikit sekali atau langka. Mengapa semua pelajaran tentang kebaikan itu tidak dapat melekat ke dalam jiwa dan tidak dihayati? Kenyataan ini membuktikan bahwa sesungguhnya kebaikan itu tidak dapat dipelajari. Orang tidak mungkin dapat belar menjadi baik! Baik itu adalah suatu sifat yang keluar dari dalam diri, cahaya jiwa bersih yang memancar keluar melalui sikap dan perbuatan. Kebaikan yang dipelajari dan dihafalkan hanya menimbulkan kemunafikan. Seperti wajah setan bertopeng wajah malaekat. Karena kebaikan yang disengaja itu bukan kebaikan lagi namanya. di situ sudah pasti tersembunyi pamrih sebagai dasarnya. Dan semua pamrih itu timbul dari nafsu dan pasti tidak dapat disebut kebajikan. Seperti minyak wangi yang dituangkan kepada sesuatu yang busuk, hanya membungkus kebusukan dengan wewangian. Berbeda dengan keharuman bunga, karena keharuman ini adalah keharuman yang wajar, yang menjadi sifat dari bunga itu.

Kebajikan yang murni dilakukan orang tanpa si pelaku merasakan bahwa perbuatannya itu baik, melainkan dirasakan sebagai suatu kewajaran, atau bahkan suatu kewajiban. Mempelajari sesuatu, dalam hal ini mempelajari kebaikan, hanya akan menghasilkan pengetahuan belaka. Dan pengetahuan ini tidak akan mampu membendung terjangan nafsu yang selalu berusaha menguasai hati akal pikiran. Padahal pengetahuan itu bersarang dalam hati akal pikiran. Pengetahuan tidak akan mampu membuat kita menjadi baik, atau menjadi penuntun sehingga kita menjadi manusia yang baik, bukan harmba nafsu. Hal ini terbukti dengan kenyataan yang ada di sekitar kita. Kalau kita bertanya kepada ribuan pencuri, apakah mereka itu tidak tahu bahwa perbuatan mencuri itu adalah jahat dan tidak baik? Semua pencuri, tidak terkecuali, tentu TAHU akan hal ini. Tahu benar.

Demikian pula kalau kita bertanya kepada seluruh koruptor di dunia ini, tentu mereka itu tahu benar, lebih tahu dari kita bahwa perbuatan korupsi itu jahat dan tidak baik. Akan tetapi mengapa mereka semua itu masih saja mencuri, masih saja berkorupsi? Semua penjahat tahu belaka bahwa kelakuan mereka itu jahat dan tidak baik, mengapa mereka masih saja melakukan perbuatan jahatnya? Mengapa? Karena alat kita untuk mengetahui yaitu hati akal pikiran kita, sejak kita kecil sudah mulai disusupi nafsu-nafsu kita, daya-daya rendah nafsu yang berebutan untuk menguasai hati akal pikiran kita. Hati akal pikiran kita sudah dicengkeram oleh nafsu-nafsu kita sendiri sehingga tidak berdaya untuk melepaskan diri. Coba dengar bisikan hati akai pikiran seorang koruptor yang tahu benar bahwa perbuatannya korupsi itu jahat. Begini bisikan hati akal pikiran itu, “Ah, korupsi yang kulakukan ini kan tidak seberapa? Semua orang melakukannya! Aku terpaksa melakukannya, karena gajiku tidak mencukupi kebutuhan hidup, karena aku harus membayar ini itu untuk anak isteriku, keluargaku” Nah, dengan keadaan hati akal pikiran dalam kekuasaan naísu seperti itu, bagaimana mungkin kita dapat belajar menjadi baik? Pelajaran semua ayat-ayat suci hanya menjadi hafalan belaka, mengambang tanpa isi, seperti api yang sudah padam hanya meninggalkan asap dan abunya saja. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menanggulangi daya kekuasaan nafsu kita sendiri? Apapun yang kita lakukan, kita masih berputar-putar dalam ruangan yang di bentuk nafsu Karena itu, jangan lakukan apa-apa! Karena apapun yang kita lakukan, masih berada dalam tuntunan nafsu! Makin kita berusaha untuk melemahkan nafsu, akan menjadi makin besarlah nafsu. Lalu bagaimana, apakah yang kita dapat lakukan untuk mengendalikan nafsu-nafsu kita sendiri? Kita tidak dapat melakukan sesuatu Yang dapat mengendalikan nafsu hanyalah Kekuasaan Tuhan! Tuhan yang menganugerahi kita dengan penyertaan nafsu dalan kehidupan ini, karena itu hanya Kekuasaa Tuhan yang akan dapat mengembalikan nafsu- nafsu kita kepada fungsinya semula yaitu menjadi peserta dan pembantu kita menjadi hamba kita. Kita hanya dapat MENYERAH, menyerah kepada Tuhan dengan sepenuh dan sebulat lahir batin kità menyerah dengan penuh kepasrahan, keikhlasan, ketawakalan dan sepenuh iman. Dengan penyerahan, tanpa keinginan karena keinginan inipun ulah nafsu, maka Kekuasaan Tuhan akan bekerja dalam diri kita dan barulah nafsu-nafsu itu dapat ditundukkan dan dikembalikan kedudukannya menjadi bamba kita, tidak lagi menjadi penguasa yang memperhamba kita.

Sang waktu meluncur dengan amat cepatnya bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Hal ini terjadi kalau kita tidak memperhatikannya. Bertahun-tahun lewat bagaikan berhari-hari saja rasanya. Akan tetapi kalau kita memperhatikan jalannya waktu, maka berhari-hari terasa bertahun-tahun. Tanpa terasa tujuh tahun telah terlewat sejak Song Bu berada di Pulau Naga. Dia bukan saja menjadi murid Ouw Yang Lee, mempelajari ilmu silat dari Ouw Yang Lee dan ilmu sastra dari guru sastra, akan tetapi juga dia seolah menjadi anak pungut dari datuk itu. Dia dimanjakan seperti anak sendiri dan tidak pernah disuruh bekerja berat seperti para anggauta Pulau Naga dan keluarga mereka. Song Bu menjadi manja dan tumbuh sifat congkak dalam dirinya karena merasa dibela.

Pembelaan Ouw Yang Lee terhadap dirinya memang agak berkelebihan. Pernah terjadi seorang anggauta Pulau Naga yang merasa iri melihat anak pungut itu dimanjakan, bersikap kasar kepada Song Bu. Ketika Song Bu mengadu kepada gurunya, anggauta itu lalu dihajar oleh Ouw Yang Lee di depan para anggauta lain. Hal ini selain membuat para anggauta Pulau Naga merasa segan dan tidak suka kepada Song Bu, juga membuat anak ini dihinggapi perasaan manja dan congkak. Pada suatu senja, Song Bu yang sudah berusia sepuluh tahun berada di taman bersama Ouw Yang Lan yang berusia delapan tahun dan Ouw Yang Hui yang berusia tujuh tahun. Tan Song Bu kini telah-menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh besar dan sehat, biarpun baru berusia sepuluh tahun namun tubuhnya tampak kuat dan gesit berkat penggemblengan Ouw Yang Lee kepadanya sejak dia berusia enam tahun.

Dasar dasar ilmu silat yang baik telah dikuasainya sehingga kaki tangannya menjadi kokoh kuat. Wajahnya juga tampak tampan dan gagah. Kedua orang anak perempuan yang dianggap adik- adiknya sendiri akan tetapi yang disebut sumoi (adik perempuan seperuruan) olehnya, juga tampak mungil dan cantik, dengan gerakan tubuh yang gesit karena sejak berusia enam tahun merekapun sudah digembleng oleh ayah mereka. Ouw Yang Lan tampak cerewet, manis dan genit, tawanya bebas dan wataknya lincah gembira. Sebaliknya Ouw Yang Hui tampak jelita namun pendiam dan gerak geriknya halus walaupun ia juga sudah mempelajari dasar langkah-langkah dalam gerakan silat seperti kakaknya. Pada senja hari itu mereka bertiga bermain-main dalam taman bunga yang luas dan indah di pulau itu sambil berlatih mengatur langkah-langkah gerakan silat.

Dua orang anak perempuan itu baru mempelajari pemasangan kuda-kuda yang benar dan kokoh, lalu menggerakkan kedua kaki membuat langkah-langkah menurut garis-garis pat-kwa (segi delapan) seperti yang diajarkan, ayah mereka. Langkah-langkah Pat-kwa-kun (Silat Segi Delapan) ini tidaklah mudah. Walaupun hanya langkah-langkah saja tanpa gerakan kedua tagan, namun amat banyak perubahan dan perkembangannya sehingga terasa sukar bagi Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui. Akan tetapi dengan sabar dan tekun Song Bu memberi petunjuk kepada kedua orang sumoinya dan menyuruh mereka membuat langkah-langkah yang paling sederhana dulu. Karena kedua orang anak perempuan itu sering membuat kekeliruan, maka Song Bu minta kepada mereka untuk mengulang dan mengulang kembali.

“Bu-suheng (kakak seperguruan Bu), aku lelah, kedua kaki sudah terasa kaku dan ngilu.” Ouw Yang Hui mengeluh sambil membungkuk dan memijati kedua kakinya dengan tangan.

“Ah, kita berlatih sebentar lagi, Hui-moi (adik perempuan Hui)” kata Ouw Yang Lan. “Mari, Su-heng, kita ulangi lagi langkah-langkah permulaan. Hayo, adik Hui, kalau kita tidak tekun berlatih, bagaimana bisa memperoleh kemajuan?” Mendengar ucapan kakak perempuannya, Ouw Yang Hui memaksa diri untuk memasang kuda-kuda lagi dan mengikuti gerakan Song Bu dan Ouw Yang Lan membuat langkah-langkah Pat-kwa. Pada saat itu muncul seorang wanita setengah tua, pelayan keluarga itu.

“Nona Lan dan Nona Hui, nona berdua disuruh masuk oleh Nyonya. Hari telah mulai gelap dan nona berdua belum mandi,” kata pelayan itu.

“Nanti dulu, apakah engkau tidak melihat bahwa kami sedang sibuk? Pergi dan jangan ganggu kami lagi!” bentak Ouw Yang Lan galak sambil memandang kepada pelayan itu dengan mata melotot.

Wanita itu tidak berani membantah lalu pergi kembali ke rumah untuk melapor kepada nyonya majikannya. Sementara itu, senja telah larut dan cuaca mulai menjadi remang-remang. Setelah mendapat pelaporan dari pelayan bahwa anak-anak mereka tidak mau disuruh pulang padahal hari sudah mulai gelap, dua orang nyonya muda itu langsung pergi sendiri ke dalam taman untuk menyusul puteri mereka. Ketika kedua orang nyonya muda itu melihat betapa puteri-puteri mereka masih berlatih silat bersama Song Bu, mereka lalu menegur Song Bu.

“Song Bu, malam mulai tiba, cuaca sudah gelap, kenapa engkau masih mengajak adik-adikmu untuk bermain terus?” tegur isteri pertama Ouw Yang Lee. Song Bu yang selalu pandai membawa diri dan bersikap hormat kepada kedua orang subo (ibu guru) itu, segera menjawab sopan.

“Maaf, toa-subo (ibu guru pertama), kami sedang asyik berlatih sehingga tidak sadar bahwa hari telah malam.” Dia sama sekali tidak mau mengadu bahwa Ouw Yang Lan yang menghendaki berlatih terus. Pada saat itu, tiba-tiba saja tampak belasan bayangan orang berkelebatan memasuki taman itu. Dua orang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan gerakan mereka gesit sekali, telah melompat dekat kedua orang nyonya Ouw Yang. Seorang di antara mereka, pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, bermuka gagah dan kemerahan, memegang sebatang pedang, melompat dekat Nyonya Ouw Yang Lee yang pertama dan sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menotok nyonya itu sehingga tubuh wanita itu menjadi lemas dan segera disambar dan dipanggul di pundak kirinya. Melihat ibunya dirobohkan dan dipanggul orang itu, Ouw Yang Lan melompat maju dan anak berusia delapan tahun imi dengan penuh keberanian menerjang dan memukul penawan ibunya.

“Lepaskan ibuku, kau keparat!” bentaknya sambil memukul. Akan tetapi, pria itu menggigit pedangnya dan menggunakan tangan kanannya untuk menotok. Ouw Yang Lan menjadi lemas tak berdaya.

Laki-laki itu menyimpan pedang di sarung pedangnya dan memanggul tubuh Ouw Yang Lan di pundak kanannya. Pria ke dua juga menotok roboh Nyonya Ouw Yang ke dua. Ketika Ouw Yang Hui lari mendekat sambil berteriak memanggii ibunya, anak inipun dirobohkan dengan totokan dan dipanggul pula seperti ibunya. Kedua ibu dan anaknya itu telah ditawan dua orang itu. Penawan Ouw Yang Hui dan ibunya itu seorang laki-laki yang usianya juga sekitar empat puluh tahun, mukanya penuh brewok dan matanya tinggal satu karena yang kiri terpejam dan agaknya buta karena tidak ada biji matanya lagi. Melihat ini, Song Bu terkejut bukan main. Kedua orang subo-nya dan kedua orang sumoi-nya telah ditangkap dua orang itu dan di situ masih ada belasan orang yang kesemuanya memegang pedang atau golok dengan sikap mengancam sekali. Dia segera menjerit sekuatnya.

“Suhuuuuu... Tolooooooongg...!!” Setelah mengeluarkan jeritan melengking itu, Song Bu lalu menerjang pria bermuka merah yang memondong tubuh Ouw Yang Lan dan ibunya.

“Lepaskan mereka!” bentaknya dan diapun memukul ke arah perut pria itu. Biarpun baru mempelajari silat selama empat tahun, namun Song Bu yang berusia sepuluh tahun itu telah memiliki kegesitan dan pukulannya itu berbeda dengan pukulan anak seusia dia pada umumnya. Pukulan itu mengadung tenaga bagaikan pukulan seorang dewasa. Akan tetapi, orang tinggi besar yang menawan Ouw Yang Lan dan ibunya itu ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tentu saja serangan anak sekecil Song Bu tidak ada artinya bagi dia. Sekali kakinya bergerak menendang, tubuh Son Bu tertendang sampai terlempar beberapa meter jauhnya.

“Bunuh anak itu!” Si muka merah memerintah, lalu bersama si brewok yang menawan Ouw Yang Hui dan ibunya, diapun melompat dan menghilang ke dalam malam yang mulai gelap. Beberapa orang cepat menghampiri Song Bu yang sudah merangkak hendak bangun itu. dengan golok dan pedang di tangan. Empat batang senjata tajam itu menyambar ke arah tubuh Song Bu! “Trangg-trangg-tranggggg” Empat batang golok dan pedang itu patah-patah dan begitu sinar itu berkelebatan menyambar, empat orang yang tadinya hendak membunuh Song Bu telah berpelantingan dengan leher hampir putus! Kiranya Ouw Yang Lee telah berdiri di situ dan dialah yang tadi menangkis senjata empat orang itu kemudian membunuh mereka dengan sekali gerakan pedang.

“Song Bu, apa yang terjadi?” Akan tetapi sebelum Song Bu dapat menjawab pertanyaan suhunya itu, belasan orang yang melihat betapa empat orang rekan mereka terbunuh, sudah menerjang dan mengeroyok Ouw Yang Lee sambil membentak nyaring, Akan tetapi, Ouw Yang Lee segera bergerak cepat. Pedangnya menyambar-nyambar dan setiap golok atau pedang pengeroyok yang bertemu dengan pedangnya, tentu patah-patah dan pemegang senjata itu sendiri roboh disambar sinar pedang di tangan datuk itu. Suara hiruk pikuk di taman ini menarik perhatian anak buak Pulau Naga dan mereka lari berdatangan. Melihat ketua mereka dikeroyok banyak orang, para anak buah Pulau Naga lalu menyerbu dan sekarang para penyerang itulah yang berbalik dikeroyok banyak sekali orang. Selain pedang Ouw Yang Lee yang amat dahsyat merobohkan banyak di antara mereka, sisanya dibantai oleh anak buah Pulau Naga. Ouw Yang Lee sengaja merobohkan seorang penyerbu tanpa membunuhnya, melainkan erobohkannya dengan totokan tangan kirinya. Kemudian Ouw Yang Lee menengok ke arah Song Bu.

“Song Bu, apa yang terjadi? Mana kedua subo dan sumoi-mu?” tanya Ouw Yang Lee kepada muridnya.

“Celaka, suhu! Kedua subo dan kedua sumoi ditangkap dan dilarikan dua orang penjahat!” Song Bu menudingkan telunjukna ke arah belakang taman ke dimana tadi dia melihat dua orang itu melarikan kedua subo dan kedua sumoinya.

“Celaka...”. Ouw Yang Lee berseru dan dia lalu melompat ke arah itu dan berlari cepat melakukan pengejaran. Akan tetapi malam itu gelap dan dia tidak dapat melihat jejak kedua orang penculik itu. Ketika dia tiba di tepi pantai pulau, dia melihat empat orang anak buah Pulau Naga menggeletak dan tewas. Akan tetapi seorang di antara mereka masih bergerak. Dibawah penerangan bintang yang remang-remang dia mengguncang pundak anak buahnya itu dan bertanya.

“Apa yang terjadi? Apa engkau melihat kedua hu-jin (nyonya) dan Siocia (nona)?” Anak buah yang terluka parah pada dadanya itu dengan susah payah mengeluarkan suara, “Mereka mereka dilarikan... dengan perahu... oleh dua orang kakek... kami... tidak berhasil mencegahnya...” Ouw Yang Lee tidak memperdulikan lagi orang itu. Dia melompat berdiri, melihat beberapa buah perahu anak buahnya Ouw Yang Lee lalu mendorong sebuah perahu ke tengah, lalu menggunakan dayung untuk mendayung perahu mieninggalkan pantai. Akan tetapi malam itu gelap, hanya diterangi laksaan atau jutaan bintang di langit. Cahayanya remang-remang dan dia tidak mungkin dapat melihat lebih jauh dari beberapa ratus meter saja.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar