Jilid IV
ORANG Keempat dari “Lima Besar” itu bukan lain adalah Pat jiu Giam ong Liem Po Coan atau jenderal Liem, adik seperguruan Seng Jin Siansu yang karena kedudukannya menjadi makin disegani orang orang kangouw. Ilmu silaat dari Raja Maut Tangan Delapan ini diberitakan orang tidak kalah oleh kepandaian Seng Jin Siansu. Adapun orang ke lima merupakan tokoh yang penuh rahasia, puluhan tahun yang lalu orang mengenal tokoh ini dengan nama julukan Bu tek Kiam ong (Raja Pedang Tanpa Tandingan). Akan tetapi nama ini terkenal kurang lebih tigapuluh tahun yang lalu sedangkan pada waktu itu, Bu tek Kiam ong ditaksir orang usianya sudah ada lima puluh tahun. Masih hidupkah raja pedang itu? Tak seorangpun dapat menjawabnya, karena orang tua itu tak pernah muncul lagi dan orang tidak tahu di mana dia berada. Betapapun juga, julukan “Lima Besar” tetap terdengar dan tidak seorangpun di antara empat besar itu berani meniadakan nama Bu tek Kiam ong sebagai seorang tokoh di antara Lima Besar.
Empat orang adik seperguruan dari Bouw Ek Tosu ketika mendengar pertanyaan apakah mereka sudah mendengar
nama Mo bin Sin kun, tentu saja menganggukkan kepalanya. Akan tetapi, Hwa Hwa Niocu yang berwatak keras dan berani, segera berkata.
“Twa suheng, biarpun Mo bin Sin kun amat terkenal dan boleh kita sebut sebagai tokoh tinggi, akan tetapi perlu apa kita harus takut kepadanya? Kita berlimapun bukanlah orang orang yang boleh ditakut takuti begitu saja dan kurasa mendiang suhu kita masih setingkat lebih tinggi kedudukannya daripada Mo bin Sin kun!”
Mendengar ucapan sumoinya ini, Bouw Ek Tosu mengerutkan kening dan diam diam ia melirik ke sana ke mari. “Sumoi, jangan berkata demikian. Memang di dalam urusan orang orang seperti kita, tidak ada kata kata takut, akan tetapi harap kau berlaku lebih hati hati dan jangan memandang rendah kepada lawan yang bagaimanapun juga, apalagi seorang di antara Lima Besar!”
“Twa suheng, cukuplah membicarakan keadaan lain orang,” tiba tiba Si Pacul Kilat Kui Hok mencela. “Lebih baik kau jelaskan, mengapa suheng memanggil kami berempat supaya berkumpul di sini dan mengapa pula Mo bin Sin kun kita tunggu kedatangannya?”
Kembali Bouw Ek Tosu menarik napas panjang dan berkata,
“Murid keponakanmu Ngo jiauw eng Lui Hai Siong yang menjadi gara gara. Kalian tahu bahwa muridku Hai Siong itu telah menjadi seorang pemimpin pasukan Ang bi tin beberapa tahun yang lalu dan agaknya dalam sepak terjangnya Ang bi tin yang membasmi bekas bekas perwira Han ini, terdapat sesuatu yang tidak menyenangkan hati Mo bin Sin kun! Dua pekan yang lalu, pada suatu malam aku mendengar suara nyaring di atas genteng kuilku dan ternyata bahwa yang datang adalah Mo bin Sin kun. “Apa yang dikatakannya, suheng?” tanya Kui Hok dan yang lain lain juga mendengarkan dengan amat tertarik.
“Ia hanya berkata singkat saja. yaitu bahwa hari ini aku harus menanti di sini, kalau tidak, muridku Hai Siong akan dibunuhnya! Oleh karena itulah, maka aku dapat menduga bahwa kemarahannya ini tentu timbul karena muridku Hai Siong itu.”
“Urusan Ang bi tin mengapa harus marah kepada muridmu Ngo jiauw eng, suheng? Bukan Lui Hai Siong yang mendirikan Ang bi tin dan kuanggap Mo bin Sin kun tidak adil. Kalau dia memang tidak suka dengan Ang bi tin mengapa tidak mencari Pat jiu Giam ong saja?” kata Kui Hok.
“Barangkali dia takut kalau harus mengganggu Pat jiu Giam ong!” kata Hwa Hwa Niocu sambil tersenyum menyindir. “Sudah sepatutnya ia berurusan dengan Pati jiu Giam ong, sama sama seorang di antara lima besar !”
“Sumoi. jangan bicara sembarangan. Kita tunggu saja dan lihat bagaimana sikap Mo bin Sin kun. Sementara menanti, mari kita makan minum lebih dulu.”
Sementara kelima orang Sin Beng Ngo hiap ini makan minum di atas loterng sambil diam diam memasang telinga dan mata dan selalu bersikap waspada, ternyata di bawah loteng, di depan rumah makan itu terjadi pula peristiwa yang cukup menarik hati.
Lo kun gu Lai Seng si pemilih restoran, dengan peluh mengalir membasahi pakaiannya, menanti dan menjaga di depan pintu restoran. Sudah banyak langganan yang hendak masuk, dicegahnya dan diberi alasan bahwa hari ini restoran tidak buka. Diam diam ia merasa gelisah dan berkata dalam hati bahwa kalau lima orang tamu aneh di atas loteng itu berlama lama, ia akan keshilangan banyak langganan, bagaimana kalau ada pembesar yang datang hendak makan?
Semua orang yang hendak memasuki restorannya, ia tolak dengan tergesa gesa. Akan tetapi ketika tiba tiba ia menghadapi dua orang yang baru datang, ia menjadi gelagapan dan mukanya menjadi makin pucat. Ia berdiri bagaikan patung dan dengan mulut celangap dan mata terbelalak, ia berdiri memandang kepada dua orang tamu baru yang hendak memasuki restorannya. Dua orang itu baru saja datang dan melihat pakaian mereka yang penuh debu, dapat diduga bahwa mereka berdua baru saja datang dari tempat jauh sekali.
Yang seorang adalah seorang pemuda remaja berusia paling banyak tujuhbelas tahun, bermuka tampan, dan gagah sekali, akan tetapi sikapnya lemah lembut. Dengan amat hormat, pemuda ini menjura di depan Lai Seng sambil berkata,
“Tuan, bolehkah kami membeli makanan di restoran ini?”
Akan tetapi Lai Seng seakan akan tidak mendengar pertanyaan anak muda itu karena ia sedang memandang kepada orang yang berdiri di sebelah anak muda itu. Orang ini pakaiannya hitam seluruhnya, tidak bersepatu dan mukanya benar benar menyeramkan, seperti muka tengkorak, seperti muka… iblis! Teringatlah Lai Seng bahwa lima orang tokoh kangouw di atas loteng itu sedang menanti datangnya tokoh besar yang disebut Mo bin Sin kun atau Kepalan Sakti Muka Iblis! Ia belum pernah melihat bagaimana macamnya Mo bin Sin kun yang amat tersohor itu, akan tetapi adakah orang yang mukanya lebih buruk daripada orang berpakaian hitam yang kini berdiri di hadapannya? Ini tentulah orang yang disebut Kepalan Sakti Muka Iblis itu!
Dengan amat hormat dan ramah tamah, Lai Seng lalu menjura kepada si muka iblis atau muka tengkorak itu sambil berkata.
“Silahkan, locianpwe! Silakan naik saja ke loteng, lima orang locianpwe telah menanti di atas semenjak tadi!” Ia bicara sambil tersenyum ramah dan diam diam ia bergidik ketika memandang kepada muka itu. Bagaikan kedok mati, orang baju hitam itu memandangnya tanpa berkata sesuatu, bahkan orang muda itupun memandangnya dengan terheran. Akan tetapi si baju hitam itu tanpa berkata apa apa lalu menggandeng tangan anak muda itu dan masuklah mereka ke dalam restoran itu.
Siapakah si baju hitam yang mukanya seperti tengkorak itu? Dan siapa pula anak muda yang tampan dan sopan santun ini? Mereka itu bukan lain adalah Yap Bouw dan Bun Sam yang sudah lama kita kenal. Sudah sepuluh tahun lamanya Bun Sam mendapat gemblengan ilmu kepandaian dari Kim Kong Taisu, gurunya Yap Bouw yang menjadi penolongnya, juga gurunya, dan akhir akhir ini lebih tepat menjadi suhengnya, sudah tidak sanggup mengajarnya dua tahun yang lalu, karena kepandaian anak muda itu sudah menyusul kepandaiannya sendiri. Oleh karena itu, semenjak dua tahun yang lalu, Bun Sam menerima latiban langsung dari Kim Kong Taisu, Beberapa kali Yap Bouw disuruh turun gunung oleh gurunya dan dalam kesempatan itu, Bun Sam diperbolehkan ikut untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman. Kali inipun Bun Sam disuruh ikut suhengnya oleh Kim Kong Taisu, Yap Bouw hendak pergi ke kota raja. Dahulu, di luar tahu siapapun juga, bahkan isterinya sendiripun tidak tahu, ia menyimpan sepeti harta pusaka terdiri dan emas dan batu permata, hasil rampasan ketika ia menang perang melawan orang orang Tartar. Sekarang atas perinlah Kim Kong Taisu, ia diharuskan menyelidiki dan kalau mungkin mengambil harta pusaka itu untuk menolong rakyat yang banyak menderita kelaparan di daerah selatan dan timur. Sebetulnya Yap Bouw enggan pergi ke kota raja, akan tetapi ia tidak berani membantah perintah suhunya. Yap Bouw tidak takut, hanya ia khawatir kalau ia teringat kepada anak isterinya yang dulu tinggal di kota raja. Kalau ia sampai mendengar nasib buruk mereka, tentu hatinya akan hancur dan kesedihan baru akan menyerangnya.
Akan tetapi, justeru inilah yang dikehendaki oleh Kim Kong Taisu, yakni agar Yap Bow suka mencari keluarganya kembali dan kalau mungkin bertemu dan berkumpul, ia merasa amat kasihan melihat muridnya yang bernasib buruk itu. Dan selain maksud ini, juga Kim Kong Taisu menghendaki agar supaya Bun Sam dapat meluaskan pengalaman di kota raja. Siapa tahu kalau kalau anak ini berjodoh dengao tokah tokoh lain, pikir kakek sakti yang waspada ini.
Di dalam perjalanan itu, Yap Bouw yang hendak menyembunyikan keadaan dirinya dan merahasiakan namanya, telah memberi pesan kepada Bun Sam agar jangan memberitahukan namanya kepada siapapun juga. Dan bekas jenderal ini selalu menghindarkan diri dari bentrokan bentrokan dan pertemuan yang tidak enak dengan orang orang kang ouw.
Ketika pada hari itu mereka tiba di Lok yang, Bun Sam merasa amat gembira melihat kota yang ramai ini. Dan jauh dari restoran Lok thian. Bun Sam sudah menuding dengan jari tangan nya sambil berkata, “Suheng. lihat alangkah indahnya rumah makan berloteng itu. Hm, seperti telah tercium olehku bau sedap yang keluar dari dapurnya.”
Yao Bouw di dalam hatinya tersenyum dan timbul rasa kasihan terhadap anak muda ini, ia amat sayang kepada Bun Sam dan tidak hanya menganggap pemuda itu sebadai sutenya, bahkan ada perasaan seorang ayah terhadap puteranya. Dengan jari jari tangannya ia lalu memberi tanda kepada Bun Sam, mengajak pemuda itu untuk mampir di restoran itu untuk membeli makanan. Ditambahkannya pula dengan bahasa gerak jari bahwa restoran ini amat terkenal serta tersohor lezat masakannya.
Demikianlah, ketika keduanya menghampiri pintu restoran kemudian disambut dengan cara yang amat mengherankan oleh pemilik restoran yang gendut, tentu saja Bun Sam terheran heran dan tidak mengerti sama sekali. Akan tetapi Yap Bouw sebagi seorang tokoh kang ouw yang sudah ulung telah mengenal wajah Lo kun gu Lai Seng. Ia dapat melihat pula sikap aneh dari Lo kun gu dan melihat sinar mata pemilik restoran yang gugup dan gelisah, timbullah niat Yap Bouw untuk menyelidikinya ia maklum bahwa Lai Seng adalah seorang yang tidak tercela, maka sudah sepatutnya kalau dia membantunya apabila si gemuk ini mengalami kesukaran. Ketika ia mendengar Lai Seng menyebut nyebut tentang “lima orang locianpwe” yang menantinya di loteng, ia menjadi makin tertarik. Kalau saja Yap Bouw tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Lima orang tua gagah iru adalah Sin beng Ngo hiap tentu ia akan menyingkir dan lebih baik tidak bertemu dengan orang orang ini yang terkenal suka mencari perkara.
Sementara itu, kelima orang yang berada di atas loteng, ketika Lai Seng mempersilakan Yap Bouw dan Bun Sam masuk, telinga mereka yang terlatih dan tajam telah mendengarnya. Berobahlah wajah orang orang itu kecuali Hwa Hwa Niocu yang memang bernyali besar sekali. Mereka menunda makan minumnya dan memasang pendengaran dengan penuh perhatian ke arah anak tangga yang menuju ke loteng. Terdengar tindakan kaki melangkah tetap di atas anak tangga dan Bouw Ek Tosu saling memandang dengan adik adik seperguruannya. Mereka merasa heran sekali mengapa tindakan kak Mo bin Sin kun ternyata seperti tindakan kaki orang biasa saja, demikian berat dan kasar. Hwa Hwa Niocu sudah menarik mulut mengejek ketika mendengar tindakan kaki dua orang yang naik melalui anak tangga itu. Tindakan kaki orang orang macam ini saja apanya yang harus ditakutkan?
Memang Yap Bouw dan Bun Sam selaju bersikap merendah, sesuai dengan ajaran Kim Kong Taisu, Kalau tidak perlu, mereka tidak sudi nyombongkan atau memperlihatkan kepandaian mereka. Oleh karena itu, dalam keadaan biasa, mereka jua berlaku dan bergerak seperti orang orang biasa saja agar tidak menarik perhatian orang orang, terutama sekali agar jangan sampai terlihat oleh orang orang kang ouw bahwa mereka itu “berisi”.
Ketika Yap Bouw dan Bun Sam muncul dari pintu anak tangga loteng itu, Sin beng Ngo hiap dan Yap Bouw terkejut sekali Yap Bouw yang mukanya sudah rusak dan tidak berkulit lagi itu, tentu saja tidak kentara bahwa dia terkejut ia hanya memandang sekilas saja dan ketika melihat bahwa yang berada di situ adalah Sin beng Ngo hiap lengkap lima orang, diam diam ia berlaku hati hati dan waspada, lalu menggandeng tangan Bun Sam menuju ke sudut ruang loteng di mana meja dan kursi bertumpuk tumpuk Dengan gerakan biasa saja, Yap Bouw lalu menurunkan dua buah bangku dan menyeret sebuah meja untuk tempat duduk mereka. Adapun Sin beng Ngo hiap amat terkejut ketika menyaksikan orang yang mukanya begitu menyeramkan. Bahkan Hwa Hwa Niocu sendiri yang terkenal tabah merasa bulu tengkuknya berdiri ketika ia memandang wajah Yap Bouw. Kelima orang ini belum pernah melihat muka Mo bin Sin kun, maka melihat Yap
Bouw, seperti juga Lai Seng, mereka tidak ragu ragu lagi bahwa tentulah dia ini orangnya yang berjuluk Kepalan Sakti Muka Iblis!
Satu satunya orang yang tidak terkejut dan tidak mengalami perobahan sesuatu hanya Bun Sam seorang. Anak muda ini tidak kenal siapa adanya lima orang aneh yang duduk mengelilingi meja di atas loteng dan yang menatap mereka dengan pandangan tajam. Bun Sam terlalu gembira untuk memperhatikan mereka ini. Baru sekali itu Bun Sam naik loteng sebuah rumah makan, yang dianggap suatu kemewahan yang berlebih lebihan. Maka ia menurut saja ketika Yang Bouw mengajaknya duduk. Dengan sengaja Yap Bouw duduk berhadapan dengan Bun Sam dan meja lima orang itu berada di samping kanannya atau di samping kiri Bun Sam. Dengan mengambil kedudukan seperti ini ia tidak usah merasa khawatir kalau kalau ada serangan curang atau gelap datang dan fihak lima orang itu. Selain untuk maksud ini, juga mengambil kedudukan seperti ini berarti menghormati kepada lima orang itu, karena berarti tidak membelakangi.
Sin beng Ngo hiap menanti nanti dengan hati berdebar dan akhirnya menjadi keheran heranan dan saling memandang ketika orang yang disangka nya Mo bin Sin kun itu diam saja tidak memperdulikan mereka. Mereka berlima telah bersiap siap, semua urat di dalam tubuh telah menegang dan sedikit saja gerakan mencurigakan dari orang bermuka iblis itu mereka tentu akan bergerak menyerang. Akan tetapi, Yap Bouw hanya duduk diam seperti patung. Adapun Bun Sam yang sudah beberapa kali masuk restoran, merasa heran dan tidak sabar ketika dinanti sampai beberapa lama tidak ada seorangpun pelayan datang; menghampiri mereka seperti biasa dalam setiap rumah makan.
“Eh, mengapa tidak ada pelayan datang melayani kita?” akhirnya Bun Sam berkata perlahan kepada Yap Bouw “Apakah di sini tidak ada pelayannya?”
Yap Bouw hanya menudingkan jarinya ke bawah, memberitahukan dengan isyarat bahwa pelayan berada di bawah loteng. Akan tetapi pada saat itu terdengar kata kata dari Bouw Ek Tosu,
“Jiwi, mengapa tidak makan minum saja dengan kami? Hidangan cukup banyak arak berlimpah limpah, meja kami besar dan masih banyak bangku kelebihan.”
Bun Sam cepat berdiri dari bangkunya dan menjura ke arah Bouw Ek Tosu sambil tersenyum dan menjawab, “Banyak terima kasih atas kebaikanmu, lotiang. Akan tetapi kami berdua tidak suka mengganggu ngo wi.” Setelah berkata demikian, ia duduk kembali. Akan tetapi Yap Bouw pura pura tidak melihat dan tetap saja duduk sambil menundukkan mukanya.
Bun Sam habis kesabarannya dan ia lalu menghampiri anak tangga. Dari atas anak tangga, melalui pintu, ia berseru keras ke bawah, “Pelayan, lekas sediakan arak dan sayur! Cepat…!”
Dari bawah terdengar jawaban dan tak lama kemudian, dua orang pelayan naik melalui anak tangga sambil membawa baki berisi masakan dan arak. Karena meja besar tempat duduk Sin beng Ngo hiap berada di tengah ruangan loteng, maka ketika mengantarkan masakan dan minuman itu ke meja Bun Sam, dua orang pelayan itu terpaksa harus melalui meja besar tadi.
“Tamu tamu pertama harus mendapat pelayanan terlebih dulu!” tiba tiba Hwa Hwa Niocu berkata perlahan dan sekail tubuhnya bergerak sambil mengulurkan kedua tangan, tahutrahu dua baki yang dibawa oleh dua orang pelayan itu telah berpindah ke tangan Hwa Hwa Nioca yang dengan tenangnya lalu menaruh isi baki ke atas mejanya sendiri! Dua orang pelayan itu hanya bisa berdiri bingung dan memandang kepada Bun Sam dengan bingung, “Mengapa berdiri seperti patung?” Si Pacul Kilat Kui Hok membentak dua orang pelayan itu.
“Ahh kalian ambilkan ke sini arak wangi dalam guci terbesar. Kami hendak menjamu seorang gagah dan muridnya !” Sambil berkata demikian, Kui Hok melirik ke arah Yap Bouw yang masih saja bersikap tenang dan pura pura tidak melihat semua itu.
Setelah kedua orang pelayan itu berlari turun, Bun Sam menjadi merah mukanya. Ia maklum bahwa lima orang itu mencari perkara dan ia merasa heran sekali. Baru sekarang ia memperhatikan mereka seorang demi seorang, kemudian ia memandang Yap Bouw. Aneh sekali! Suhengnya ini malah memberi tanda dengan gerak jari agar supaya mereka pergi saja dari tempat itu! Akan tetapi Bun Sam yang lebih muda dari Yap Bouw, tentu saja merasa tidak puas dan penasaran sekali kalau harus melarikan diri begitu saja.
“Kitapun mempunyai uang untuk bayar makanan dan minunan, apa salahnya kalau kita makan minum di sini,” kata Bun Sam perlahan kepada Yap Bouw. Akan tetapi, Yap Bouw tetap saja memberi tanda dengan jari jari tangan agar mereka pergi saja, bahkan si muka iblis itu telah bangkit berdiri!
“Lain muka lain kepalan, sungguh seperti bumi langit perbedaannya. Muka terkenal seperti iblis, kepalan tersohor seperti malaikat, akan tetapi baru sekarang aku tahu bahwa nyalinya hanya sebesar nyali ayam,” kata kata ini diucapkan oleh Hwa Hwa Niocu dan ketika Bun Sam menengok ke arah nyonya itu, Hwa Hwa Niocu menatapnya dengan pandangan tajam dan galak. Akan tetapi Bun Sam tidak merasa takut, hanya mengangkat kedua alisnya yang hitam dan tebal itu ke atas, tanda bahwa dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nyonya muda itu. Betepapun juga, Bun Sam menjadi mendongkol karena muka buruk seperti iblis di bawa bawa, mudah saja diduga bahwa ini merupakan sindiran bagi suhengnya.
Akan tetapi Yap Bouw tetap saja tidak ambil perduli dan bahkan melangkahkan kaki sambil memberi isyarat kepada Bun Sam untuk menuruni anak tangga. Bun Sam terpaksa mergikuti suheng nya, akan tetapi sebelum mereka tiba di anak tangga, Bouw Ek Tosu telah menggerakkan tubuhnya dan tahu tahu tubuhnya yang tinggi kurus seperti batang pohon bambu itu telah menghadang Yap Bouw.
“Mo bin Sin kun, sungguh pinto tidak mengerti sikapmu ini. Kau yang mengundang kepada pinto untuk datang ke sini dan sekarang kau bersikap seperti tidak mengenal kepada Bouw Ek Tosu. Apa kau sengaja hendak mempermainkan pinto?”
“Twa suheng sih yang membawa bawa kami berempat, tentu saja melihat Sam beng Ngo hiap lengkap di sini, Mo bin Sin kun kehilangan keberaniannya.” Kata kata ini disusul oleh ketawa mengejek dari Hwa Hwa Niocu.
Yap Bouw memberi isyarat kepada Bun Sam untuk mewakilinya menjawab. Bun Sam cepat menjura kepada Bouw Ek Tosu dan berkata, “Totiang, kau tadi begitu baik hati untuk menawari kami makan minum mengapa sekarang berbalik menghalangi kami yang hendak pergi? Apakah benar kata kata orang bahwa tabiat seorang pertapa itu seperti angin dan mega (mudah berobah). Juga totiang telah salah lihat, dia ini bukanlah orang yang bernama Mo bin Sin kun.” Biarpun wajah Bun Sam amat tampan dan gagah, sedangkan sepasang matanya membayangkan kekuatan yang besar dan suaranya juga bening dan nyaring, namun ia tidak dipandang sebelah mata oleh Bouw Ek Tosu. Pendeta ini mengira bahwa anak muda ini paling banyak tentulah murid dari Mo bin Sin kun, maka tidak usah dikhawatirkan akan menimbulkan banyak kesukaran.
“Anak muda, jangan kau mencampuri urusan orang tua! Pergilah, biarkan aku bicara sendiri dengan Mo bin Sin kun
!” Sambil berkata demikian, Bouw Ek Tosu lalu
mempergunakan tangan kirinya untuk mendorong Bun Sam ke pinggir, dengan sikap tidak memandang mata sama sekali.
Biarpun hanya dengan tangan kiri dan dilakukan perlahan saja, namun dorongan dari seorang seperti Hwa ie sianjin Bouw Ek Tosu tidak boleh dipandang ringan. Dengan dorongan yang perlahan lahan ini, tenaganya sudah cukup besar untuk dapat mendorong roboh sebatang pohon yang lima kali lebih besar daripada tubuh Bun Sam! Ia merasa pasti bahwa dorongan ini sudah cukup untuk membikin terguling dan jerih murid Mo bin Sin kun yang lancang ini. Akan tetapi, ternyata terjadi hal yang membuat Bouw Ek Tosu untuk pertama kalinya selama hidupnya melongo! Ketika merasa angin dorongan yang luar biasa menyerang dadanya, sambil tersenyum Bun Sam lalu mengerahkan tenaga khikangnya ke dada. kemudian membarengi mengangkat kedua tangan dari bawah dengan sikap menyoja ( memberi hormat) sambil menyalurkan tenaga Lweekang ke arah kedua lengannya itu. Dengan cara ini, pada saat angin dorongan tosu itu terpental oleh tangkisan khikang pada dadanya, kedua tangannya telah sampai mendorong dari bawah, sehingga tangan kiri tosu yang mendorong itu lalu berbalik terdorong ke atas! Bouw Ek Tosu hanya merasa betapa tangan kirinya yang mendorong itu meleset seperti sebuah palu yang dipukulkan pada permukaan batu yang kuat, bulat dan licin berminyak! Tenaga dorongan nya tadi menjadi menceng arahnya dan dengan sendirinya menjadi lenyap.
“Totiang,” kata Bun Sam tanpa memperdulikan keheranan pendeta itu, “sesungguhnya, dia ini belum pernah menggunakan nama Mo bin Sin kun dan dalam hal percakapan dengan totiang, dia telah mewakilkannya kepadaku. Maka harap totiang suka memaafkan kami dan membiarkan kami pergi dari sini.”
Kalau tadinya Bouw Ek Tosu merasa heran mengapa dorongannya tidak berhasil, kini ia mulai menjadi marah, ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid Mo bin Sin kun yang sudah memiliki tenaga lumayan, maka dapat menangkis dorongannya.
“Apakah Mo bin Sin kun tiba tiba menjadi gagu? Sungguh lucu, dua pekan yang lalu ketika ia mengundang pinto ke sini, ia dapat bicara dan suaranya nyaring sekali. Atau, barangkali betul dugaan sumoiku tadi bahwa Mo bin Sin kun merasa jeri melihat Sin beng Ngo hiap lengkap berkumpul di sini?”
Biarpun Bouw Ek Tosu menatap wajah Yap Bouw yang hanya diam saja, akan tetapi kembali Bun Sam yang menjawab, “Mungkin sekali, totiang. Mungkin sekali orang yang bernama Mo bin Sin kun itu takut kepada Sin beng Ngo hiap. Siapa tahu??”
Tiba tiba terdengar suara ketawa bergelak dan dua tubuh gemuk pendek dari Lam san Siang mo si hwesio kembar telah berada di kanan kiri Bouw Ek Tosu.
“Ha, ha, ha, jadi benar benar Mo bin Sin kun takut menghadapi Sin beng Ngo hiap? Benar benar kalian takut kepada kami berlima? Ha, ha!”
“Siapa yang takut kepada ngo wi? Kami tidak takut!” tiba tiba Bun Sam berkata dengan tegas, sehingga hwesio kembar yang sedang tertawa iiu tiba tiba menghentikan suara keiawanya seperti jam:kerik terpijak. Juga Bouw Ek TDSU memandang dengan tajam, laiu bertanya, “Anak muda, jangan kau main main denpan kami! Bukankah tadi kau menyatakan bahwa mungkin sekali Mo bin Sin kun merasa jeri terhadap kami?”
Bun Sam mengangguk anggukkan kepalanya. “Memang, mungkin sekali orang yang bernama Mo bin Sin kun merasa jeri terhadap Sin beng Ngo hiap. Akan tetapi kami berdua tidak takut, jangankan kepada Sin beng Ngo hiap (lima pendekar), biarpun terhadap ngo koai (lima siluman) sekalipun kami tidak takut.”
“Kurang ajar! Orang muda, kau benar benar bermulut lancang. Tidak tahukah kau bahwa kami berlima adalah Sin beng Ngo hiap? Apakah kau tidak takut kepada kami?”
“Mengapa takut, totiang? Pernah siauwte (aku yang muda) mendengar nasehat bijaksana bahwa apabila kita berada di fihak benar dan tidak berbuat salah, tak perlu kita takut kepada siapapun juga. Hanya orang yang mempunyai kesalahan saja yang patut merasa takut dan sepanjang ingatanku, kami berdua tidak bersalah terhadap ngo wi (tuan berlima)!”
Kini Kui Hok dan Hwa Hwa Niocu juga sudah datang menghampiri, sehingga lima orang Sin beng Ngo hiap lengkaplah kini menghadang di depan Yap Bouw dan Bun Sam. Bouw Ek Tosu saling memandang dengan adik adik seperguruannya dengan sikap mulai ragu ragu.
“Anak muda, benar benarkah orang ini bukan Mo bin Sin kun?”
“Bukan, aku berani bersumpah,” kata Bun Sam.
“Kalau bukan Mo bin S n kun, siapa dia? Siapa namanya? Ayoh lekas kau beri tahu kepadaku!” kata Kui Hok yang juga merasa ragu ragu dan tidak sabar lagi.
“Kawanku ini tidak biasa memperkenalkan namanya kepada sembarang orang dan juga tidak perlu mengetahui nama orang lain. Kami adalah orang orang perantau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan ngo wi atau dengan siappun juga.”
“Namanya! Siapa namanya?” Hwa Hwa Niocu yang berangasan itu mendesak dan membentuk.
Bun Sam tersenyum, “Namaku? Namaku Bun Sam, tidak berarti, bukan?”
“Bangsat, siapa tanya namamu? Nama gurumu ini yang kutanyakan!” Hwa Hwa Niocu membentak. Akan tetapi Bun Sam masih tersenyum dan menggeleng gelengkan kepalanya.
“Tak perlu kau ketahui”
Dua orang ini saling berhadapan dengan lima orang tokoh besar itu, saling menatap bagaikan ayam ayam jago berlagak. Yap Bouw bersikap hati hati dan waspada, akan tetapi tenang. Bun Sam tersenyum senyum biarpun matanya tajam memperhatikan gerak gerik lima orang yang menghadangnya. Kelima orang Sin beng Ngo hiap ragu ragu dan memandang dengan mata menduga duga siapa gerangan orang bermuka iblis di depan mereka itu. Mereka
masih ragu ragu untuk segera turun tangan, karena kalau belum orang ini Mo bin Sin kun, tidak baik berlaku sembrono.
Pada saat itu empat orang pelayan naik melalui anak tangga itu dengan sukar, karena mereka memikul segentong arak. Melihat besarnya gentong itu, maka berat gentong yang penuh arak itu sedikitnya tentu ada duaratus kati. Berempat memikul gentong arak duaratus kati memang tidak begitu berat, akan tetapi kalau sambil menaiki anak tanga ke loteng, berat juga!
Dengan napas terengah engah, akhirnya empat orang pelayan itu sampai juga di atas. Hwa Hwa Niocu lalu melangkah maju dan nona muda ini menggunakan kaki kanannya untuk menendang atau mendorong dari bawah gentong itu ke atas. Tiba tiba empat orang pelayan ini merasa pikulan mereka ringan sekali karena ternyata gentong itu telah terbang ke atas. Pelayan pelayan itu menjadi ketakutan dan cepat melarikan diri ke bawah, bahkan orang ke empat saking gugupnya telah menggelinding saja ke bawah seperti sebuah bal dan setibanya di bawah, kepalanya benjol benjol.
Ketika gentong arak ini terlempar ke atas. Hwa Hwa Niocu lalu mempergunakan kedua tangannya untuk menyambut bawah gentong lalu dengan tenaga sepenuhnya ia mendorong gentong arak itu ke arah kepala Yap Bouw. Si muka tengkorak ini adalah murid dari Kim Kong Taisu dan seorang bekas jenderal yang berkepandaian tinggi maka melihat datangnya serangan gentong arak ini tentu saja ia tidak menjadi gugup sama sekali. Ia mengulur tangan kanannya, menyangga dasar gentong dan menurunkan luncuran gentong itu melanjutkan luncuran ke bawah, lalu mendorongnya ke depan lagi, sehingga kini gentong itu melayang kembali ke arah kepala Hwa Hwa Niocu. Terdengar suara ketawa bergelak, “Siapa lagi kalau bukan Mo bin Sin kun?” Ucapan ini disusul dengan uluran gagang pacul dan ternyata Si Pacul Kilat Kui Hok telah dapat “memetik” gentong arak itu dan atas kepala Hwa Hwa Niocu, yakni dengan jalan menyangga dasar gentong dengan ujung paculnya.
Benar benar amat mengagumkan kepandaian Kui Hok. Ia menggerak gerakkan pergelangan tangannya dan gagang pacul itupun bergerak sedikit saja, akan tetapi kalau orang memandang kepada gentong arak yang berat itu, orang akan merasa heran karena gentong itu telah berputar putar cepat sekali di atas ujung gagang paculnya.
“He, muka iblis, minumlah arak ini !” teriak Si Pacul Kilat dan tiba tiba ketika ia menggerakkan gagang paculnya, gentong arak yang berat itu melayang ke arah kepala Yap Bouw kembali, akan tetapi kini bukan seperti ketika tadi Hwa Hwa Niocu melemparkannya, gentong arak itu menyerang ke arah kepala dengan beputar putar.
Tentu saja tidak mudah untuk menyambut datangnya gentong seberat itu, apabila tidak berputar masih belum hebat, akan tetapi kini gentong itu berputar putar cepat, tentu saja jauh lebih berat dan sukar menyambutnya daripada tadi. Akan tetapi, tentu saja biarpun tidak mau memperkenalkan diri, Yap Bouw tak mau menyeah mentah mentah terhadap permainan seperti ini dari Si Pacul Kilat. Ia cepat mengulurkan tangan kanannya dengan jari telunjuk menuding dan sebelum gentong yang berputar putar itu menimpa kepalanya, ia mendahuluinya dengan menyentil dasar gentong itu. Aneh sekali karena tiap kali telunjuknya mendorong dasar gentong gentong yang masih berputar putar cepat itu bagaikan disendal ke atas dan membuat lompatan kecil. Oleh lompatan ini, maka sedikit arak terpercik keluar dari gentong dan dengan tenang Yap Bouw lalu menengadah dan membuka mulutnya untuk menerima percikan arak itu! Sampai tiga kali ia melakukan hal ini dan tiga kali ia minum arak itu seperti yang diminta oleh Si Pacul Kilat. Kemudian, tiba tiba ia mengulur kedua tangan dengan sepuluh jari tangan terbuka dan dengan gerakan memantul, sepuluh jarinya itu menendang bawah guci arak besar itu, sehingga gentong ini terpental tinggi sekali hampir mengenai langit langit loteng. Kini gentong mi meluncur turun ke arah kepala dua orang hwesio kembar!
“Sute, biarkan aku menyambutnya!” tiba tiba Bouw Ek Tosu berseru keras, ia maklum bahwa sutenya belum tentu akan kuat menyambut datangnya gentong yang jatuh dari tempat begitu tinggi. Bahkan Lam san Siang mo sendiripun telah dapat mengetahui akan bahaya ini dan tadinya mereka hendak menyambut gentong itu bersama sama. Sebagai orang tertua dan Sin beng Ngo hiap Bouw Ek losu tentu saja tidak akan memikirkan kedua sutenya maju bareng, karena hal ini akan mencemarkan nama besar mereka! Pula, tosu tinggi kurus ini ingin sekaligus memperlihatkan kelihaiannya kepada si muka iblis yang lihai ini, siapapun juga adanya si muka iblis.
Dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangan bertolak pinggang, Bouw Ek Tosu berdiri tepat di bawah gentong yang sedang meluncur ke arah kepalanya dengan kecepatan luar biasa itu! Diam diam Bun Sam memandang dengan penuh perhatian, hendak melihat apa yang akan diperlihatkan oleh tosu tinggi ini yang tentu lihai sekali dan memiliki lweekang yang sempurna, karena kalau tidak, mana berani ia menerima gentong dengan cara demikian?
Yap Bouw sendiripun diam diam merasa khawatir karena sesungguhnya ia telah dapat menduga kehendak tosu yang berbahaya ini. Memang benar dugaan Yap Bouw bahwa tosu itu tidak hendak mempergunakan kedua
tangannya, karena ketika gentong itu meluncur turun, Bouw Ek Tosu menerimanya dengan… kepalanya yang berambut putih!
“Bagus…!!” Tak terasa lagi Bun Sam berseru memuji, karena gembiranya. Kalau orang tidak memiliki ketenangan serta perasaan yang halus di barengi tenaga Lweekang yang tinggi, kepala orang yang menerima gentong arak berat seperti itu pasti akan remuk! Akan tetapi dengan gerakan lemas dan indah namun kuat sekali, leher tosu itu bergerak dan kepalanya membuat gerakan melengkung ke bawah kemudian ke atas lagi dan gentong arak itu tetap saja menempel di atas kepalanya. Gerakan ini dilakukan dengan amat tenang dan tetap sehingga setitikpun arak tidak tertumpah keluar dari gentong!
Diam diam Yap Bouw memuji kepandaian tosu ini dan ia maklum bahwa apabila terjadi pertempuran, belum tentu ia akan dapat menangkan tosu tinggi kurus ini. Akan tetapi ketika ia melirik ke arah sutenya. ia melihat Bun Sam memandang dengan mata berseri, ia melihat alis kiri sutenya yang masih muda itu bergerak gerak dan giranglah hatinya. Berkat hidup berdekatan semenjak Bun Sam masih kanak kanak, Yap Bouw telah dapat mengetahui tanda tanda anak ini. Apabila bibirnya tersenyum senym dan lubang hidungnya berkembang kempis itu adalah tanda bahwa Bun Sam medang marah hebat yang ditahan tahannya. Apabila alis kiri pemuda tampan ini bergerak gerak, itulah tanda bahwa pemuda itu sedang memikirkan akal yang amat nakal dan bahwa ia merasa aman.
Tiba tiba terdengar Bun Sam tertawa geli yang disambung dengan kata kata keras, “Yah totiang, kau mengingatkan daku kepada tukang menjual gentong kosong. Seperti itu pulalah ia membawa gentong kosongnya! Apakah totiang dahulu juga penjual gentong kosong, maka totiang pandai menggunakan kepala untuk mengangkat gentong?”
Kata kata ini memang disengaja oleh Bun Sam untuk memanaskan hati tosu itu dan untuk memindahkan perhatian tosu kepadanya. Dan akalnya ini berhasil karena Bouw Ek Tosu menjadi marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya merupakan penghinaan itu.
“Bocah tidak tahu aturan! Tadi kau bilang bahwa kau tidak takut kepada Sin beng Ngo hiap? Bagus untuk nyali yang demikian besar, kau patut diupah minum arak wangi. Terimalah!” Sambil berkata demikian, tosu ini mengerahkan tenaganya dan tiba tiba gentong arak yang tadi terletak di atas kepalanya, kini melayang dengan amat cepatnya ke atas dan jatuh menimpa ke arah kepala Bun Sam! Memang nampaknya saja gentong itu melayang sendiri, akan tetapi sesungguhnya tosu lihai ini telah menggunakan kepandaiannya dan menggerakkan leher dan kepalanya dalam getaran yang penuh mengandung hawa melontarkan yang hebat yang timbul dari tenaga dalamnya.
“Siauwte ingin mempelajari ilmu menyunggi gentong yang totiang perlihatkan tadi!” Bun Sam berkata penuh senda gurau dan tepat seperti gerakan Bouw Ek Tosu tadi, iapun dapat “menerima” gentong arak itu dengan kepalanya!
“Ah, siauwte lupa....” kata Bun Sam pula, “bukankah totiang tadi menawarkan siauwte minum arak kalau gentongnya berdiri di atas kepalanya?” Setelah berkata demikian, tiba tiba tubuh pemuda yang baru berusia tujuhbelas tahun itu roboh terlentang dengan cepat sekali. Tahu tahu tubuhnya telah telentang di atas lantai dan gentong arak yang tadinya berada di atas kepalanya, kini cepat meluncur turun akan menimpa perutnya! Hampir saja Yap Bouw melompat maju untuk menolong nyawa sutenya dari bahaya, akan tetapi ternyata bahwa kekhawatirannya itu tiada gunanya karena dengan gerakan cepat sekali Bun Sam telah mengangkat kedua kakinya ke atas dan menerima gentong itu dengan kedua kakinya.
“Totiang, mari minum arak !” kata pemuda ini. “Maafkan karena tidak ada cawan, terpaksa siauwte minum lebih dulu tiga teguk” Sambil berkata demikian, Bun Sam menggerakkan kedua kakinya dan gentong arak ini menjadi miring. Sedikit arak tumpah dan dengan tepat sekali memasuki mulut Bun Sam yang dibuka sedikit. Tiga kali anak muda ini miringkan gentong arak dan tiba tiba ia melontarkan gentong arak itu ke atas dan ia sendiri lalu melompat berdiri. Dengan kedua tangannya ia menerima gentong itu dan memeluk gentong seakan akan merasa amat berat. Kedua kakinya terhuyung huyung dan kedua tangannya yang memeluk gentong menggigil.
“Totiang berlima, silakan minum. Gentong ini terlalu berat untukku!” Dengan ucapan ini, Bun Sam melemparkan gentong arak itu kepada Bouw Ek Tosu dan adik adiknya. Bouw Ek Tosu sudah mengulur kedua tangan untuk menyambut gentong ini, akan tetapi tiba tiba terdengar bunyi aneh di atas kepalanya dan gentong itu sambil mengeluarkan suara berkeretak, pecah dengan araknya muncrat berhamburan. Bouw Ek Tosu dan adik adiknya dengan kagetnya cepat melompat untuk menyingkir, akan tetapi tetap saja pakaian mereka terkena noda arak dan rambut mereka menjadi basah!
Tentu saja Sin heng Ngo hiap menjadi marah sekali, terutama Hwa Hwa Niocu. Wanita galak ini belum pernah dihina orang, apalagi dipermainkan oleh seorang pemuda tanggung. Dengan pipinya yang berkulit halus itu berobah merah dan matanya bersinar marah, ia lalu mencabut pedangnya dan membentak.
“Anjing kecil, berani sekali kau main gila di depan Hwa Hwa Niocu!” Secepat kilat, bentakan ini dibarengi oleh berkelebatnya tubuhnya yang didahului oleh sinar pedang, menusuk ke arah tenggorokan Bun Sam!
“Aih, aih,. . . galak amat !” Bun Sam berseru sambil tertawa dan dengan gerakan yang lincah dan seperti orang mabok ia terhuyung ke belakang, Bouw Ek Tosu dan adik adiknya terkejut dan khawatir juga melihat gerakan pemuda, itu. Ternyata pemuda ini tak memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan kalau Hwa Hwa Niocu sudah marah, bukankah pemuda ini akan mati? Hal itu kurang baik bagi mereka, karena membunuh seorang muda yang biasa saja merupakan salah satu pantangan bagi Sin beng Ngo hiap. Memalukan sekali dan merendahkan nama besar mereka dalam dunia kang ouw.
“Sumoi, jangan melayani pemuda tolol ini….” Si Pacul Kilat Kui Hok menegur adik seperguruannya. Akan tetapi terlambat karena ketika melihat betapa Bun Sam dapat mengelak ke belakang dengan gerakan kaku, Hwa Hwa Niocu menjadi girang dan cepat mengejar dengan dua langkah dan pedangnya bagaikan halilintar menyambar kembali telah menyerang dengan sebuah bacokan ke arah leher Bun Sam!
Kui Hok terkejut sekali. “Celaka ” seru nya, Sumoinya
telah mempergunakan gerak tipu Seng thian jip te (Naik Ke Langit, Masuk Ke Tanah) semacam tipu serangan yang luar brasa sekali ganasnya, mana pemuda itu dapat menghindarkan diri? ia tidak keburu turun tangan menghalangi serangan sumoinya, maka ia lalu cepat menubruk maju hendak menyambar tangan Bun Sam dan di tariknya agar dapat terlepas dari bahaya maut. Akan
tetapi terjadilah hal yang amat tidak terduga duga baik oleh Hwa Hwa Niocu maupun oleh Kui Hok atau lain anggauta dari Sin beng Ngo hiap.
Ketika pedang di tangan Hwa Hwa Niocu menyambar leher Bun Sam, pemuda ini cepat melemparkan diri ke kanan sambil menekuk kedua lutut kakinya. Pedang tadi telah melakukan bagian gerak tipu seng thian (naik ke langit), maka ketika bacokan bagian atas ini meleset, lalu cepat dilanjutkan dengan gerakan jip te (masuk ke bumi). Pada saat pedangnya diluncurkan ke bawah menuju ke perut Bun Sam yang hendak disate, datanglah Kui Hok yang hendak menangkap tangan pemuda itu untuk ditarik pergi dari ancaman ujung pedang Hwa Hwa Niocu. Tiba tiba Bun Sam membuat dua macam gerakan dengan berbareng. Ia membiarkan lengannya disambar oleh tangkapan Kui Hok, akan tetapi setelah dekat, ia lalu memutar tangannya dan bahkan menjambret ujung lengan baju Si Pacul Kilat itu dan ditariknya ke depan. Adapun kaki kanannya dengan amat cepat, tepat dan berani sekali, dari samping melayang ke arah pergelangan tangan Hwa Hwa Niocu yang memegang pedang. Nyonya ini terpaksa membatalkan maksudnya menusuk perut dan pedangnya berobah tujuan. Karena Kui Hok yang terbetot ujung lengan bajunya itu tidak dapat mempertahankan diri dan terhuyung ke depan, maka hampir saja dia yang termakan oleh pedang Hwa Hwa Niocu !
Kui Hok cepat melompat ke belakang dan berjumpalitan, adapun Hwa Hwa Niocu juga cepat menarik kembali pedangnya. Keduanya merasa kaget dan heran sekali. Lebih lebih Kui Hok. Tadi ketika ia tertarik ujung lengan bajunya, ia merasa tenaga yang luar biasa besarnya mencengkeram dan menarik baju itu. Kalau berkeras melawan tarikan ini. tentu saja ia sanggup, akan tetapi lengan bajunya tentu akan
tersobek dan hal ini tidak mau ia alami. Maka ia menurut saja dan hanya terhuyung maju. Tidak tahunya gerakan pedang sumoinya berobah dan bahkan mengancamnya.
Ketika Kui Hok dan Hwa Hwa Niocu memandang kearah pemuda itu, mereka melihat Bun Sam sudah berdiri jauh sambil tersenyum senyum. Makin panaslah hati Hwa Hwa Niocu dan merah jugalah muka Kui Hok. Mereka, dua orang anggota dari Sin beng Ngo hiap, dengan berbareng maju menghadapi seorang pemuda, biarpun Kui Hok tadi maju bukan dengan maksud buruk. Akan tetapi, kedua nya dapat dipermainkan oleh pemuda itu, benar benar satu hal yang amat memalukan hati mereka.
“Bangsat kecik kau layak dihajar!” Hwa Hwa Niocu memaki dan melangkah maju lagi. Akan tetapi tiba tiba berkelebat bayangan Bouw Ek Tosu yang mencegah sumoinya.
“Sumoi. jangan turun tangan. Biarkan aku sendiri mencoba gurunya. Tak perlu kita ribut ribut melawan murid Mo bin Sin kun!”
Setelah berkata demikian, Bouw Ek Tosu lalu menghadapi Yap Bouw dan berkata, “Mo bin Sin kun, kau ini sebenarnya mempunyai niat bagaimanakah? Kau sendiri yang memanggil dan mengundang pinto untuk datang ke sini dan telah mengancam muridku. Hai Siong. Nah, pinto dan saudara saudara telah datang, apakah kehendakmu? Apa kesalahan muridku, maka kau mengancam hendak membunuhnya?”
Tentu saja Yap Bauw tak dapat menjawab dan Bun Sam yang merasa khawatir kalau kalau Yap Bouw akan terbuka rahasianya, lalu melompat maju ke depan Bouw Ek Tosu.
“Totiang, sudah berkali kali kukatakan tadi bahwa kawanku ini namanya bukan Mo bin Sin kun dan sama
sekali tidak mempunyai urusan dengan orang yang bernama Hai Siong! Totiang janganlah mengganggu kami lagi dan biarkan kami pergi dari sini dengan aman.”
Bouw Ek Tosu dengan mendongkol sekali mengerling ke arah Bun Sam. “Anak muda, sejak tadi aku masih bersabar terhadap kau, karena kau hanyalah seorarg murid muda dari Mo bin Sin kun. Akan tetapi kau selalu lancang mulut. Murid macam apakah kau ini? Mengapa suhumu ini diam saja dan tidak mau menjawab percakapan kami? Apakah dia gagu? Atau…. apakah kiranya dia takut terhadap kami Sin beng Ngo hiap??”
Kini Bun Sam yang merasa mendongkol. “Ngo wi taihiap (tuan pendekar besar berlima) sungguh terlalu! Ketahuilah bahwa mungkin sekali setan yang bernama Mo bin Sin kun itu takut menghadapi Sin beng Ngo hiap, akan tetapi aku dan kawanku ini bukanlah Mo bin Sin kun dan karenanya kami berdua tidak takut sedikitpun juga terhadap ngo wi. Mengapa kami mesti takut? Ngo wi boleh berurusan dengan Mo bin Sin kun atau siapapun juga di dunia ini, akan tetapi jangan mengganggu kami, dan biarkan kami pergi!” Setelah berkata demikian Bun Sam menggandeng tangan Yap Bouw dan hendak mengajaknya pergi.
Akan tetapi Bouw Ek Tosu yang masih merasa penasaran, mana mau membiarkan mereka pergi?
“Kawan, perlahan dulu. Tak boleh pergi sebelum pinto tahu pasti bahwa kau bukanlah Mo bin Sin kun. Siapa tahu kalau benar benar dia yang kini merasa tidak kuat menghadapi kami dan menggunakan akal ini untuk melarikan diri? Hm tidak mudah, kawan. Kau telah mengundang kami dan tanpa melayani kami, itu berarti tidak memandang kami.” Sambil berkata demikian, ia mengulurkan tangan kanannya ke arah pundak Yap Bouw sambil mengerahkan tenaganya.
Inilah serangan tiam hwat dari ilmu menotok jalan darah yang menjadi kepandaian tunggal terlihai dari Bouw Ek Tosu, yakni Ilmu Silat Pek tiauw thiam hwe louw (Ilmu Menotok Jalan Darah Rajawali Putih)! Serangan yang keluar dari ilmu totokan ini memang lihai dan luar biasa sekali, karena tidak saja sepuluh buah jari tangan tosu itu yang pandai menotok dan melumpuhkan jalan darah, juga setiap kali serangannya selalu disusul oleh dua ujung lengan bajunya yang merupakan alat alat totok yang hebat sekali!
Yap Bouw sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja tahu akan kelihaian serangan ke arah pundaknya ini, maka cepat sekali ia mengelak kekiri. Si muka tengkorak ini yang maklum bahwa melawan lima tokoh itu bukanlah hal yang mudah dan tidak baik mencari permusuhan tanpa alasan dengan mereka, masih berlaku sabar dan tidak mau membalas serangan Bouw Ek Tosu. Akan tetapi ketika tosu itu melihat betapa totokannya dengan mudah dielakkan oleh si muka tengkorak, menjadi makin tebal keyakinannya bahwa inilah tentu orang yang bernama Mo bin Sin kun ia tidak menghentikan serangannya. Kalau tadi ia hanya menyerang ke arah pundak sebagai coba coba saja, kini tangan kirinya menyusul cepat dan menotok ke arah tulang rusuk sebelah kanannya dari Yap Bouw. Serangan ini ber bahaya sekali karena kalau mengenai sasarannya dapat melayangkan nyawa yang di serang!
Kini Yap Bouw mulai marah dan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu mulai bercahaya. Ia tidak mau mengelak lagi, bahkan lalu mengerahkan tenaga pada lengan kanannya, kemudian ia menyabetkan lengan itu ke bawah untuk menangkis serangan lawan. “Duk” dua batang lengan beradu keras dan keduanya merasa tulang lengannya sakit, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi Yap Bouw terkejut sekali ketika merasa betapa ujung lengan baju dari lawannya itu, bagaikan seekor ular hidup tahu tahu telah melilit pada pergelangan tangannya!
Si muka tengkorak ini cepat mengadakan serangan balasan. Kepalan tangan kirinya menonjok ke depan, mengarah ulu hati Bouw Ek Tosu. Sungguh hebat kalau dua orang ahli silat tinggi bertempur. Dari jurus jurus pertama saja sudah saling menukar bahaya maut!
Bouw Ek Tosu juga maklum bahwa kalau dadanya terkena tonjokan ini pasti ia akan menyusul mendiang nenek moyangnya, maka dia yang masih suka hiaup lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu tahu ujung lengan bajunya telah meluncur mendahului jari jari tangannya untuk menangkis pukulan lawan dan bahkan untuk membelit pergelangan tangan pula!
Tentu saja Yap Bouw tidak sudi membiarkan kedua tangannya terikat oleh ujung lengan baju, maka ia cepat menarik kembali tangan kirinya dan mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangan kanannya yang terbelenggu. Akan tetapi ternyata bahwa ujung lengan baju yang mengikat pergelangan tangan kanannya itu kuat dan erat sekali! Kedua orang tokoh persilatan ini bersitegang. Yap Bouw hendak melepaskan tangannya, sebaliknya Bouw Ek Tosu hendak mempertahankannya! Diam diam keduanya mengerahkan tenaga dan usaha itu sudah merupakan sebuah pibu (adu kepandaian) yang hebat.
Tiba tiba Bouw Ek Tosu merasa leher belakangnya dingin dan rambutnya bergerak gerak seperti tertiup angin keras dari berakang. Ia terkejut sekali dan tak terasa pula ia menengok ke belakang. Dilihatnya bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah pemuda tadi Bun Sam yang melihat keadaan Yap Bouw, lalu meruncingkan mulutnya dan ia meniup sambil mengerahkan khikang ke arah leher belakang Bouw Ek Tosu. Pendata ini merasa bahwa ia hanya ditipu saja agar perhatiannya terbagi, maka cepat cepat ia menoleh lagi kepada Yap Bouw dan mengerahkan tenaga, akan tetapi terlambat, Yap Bouw yang melihat gerakan Bouw Ek Tosu menoleh ke belakang segera mempergunakan kesempatan tadi untuk merenggutkan tangannya yang terpegang dan terlepaslah pegangan Bouw Ek Tosu yang erat tadi.
Marahlah Bouw Ek Tosu kepada Bun Sam. Ia menudingkan jari tangannya kepada pemuda itu sambil memaki, “Bocah yang curang! Agaknya gurumu tidak becus mengajar adat kepadamu! Biarlah pinto yang mewakili gurumu untuk memberi pengajaran kepadamu !” Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan ujung lengan bajunya menyambar ke arah kepala Bun Sam. Akan tetapi kali ini Bun Sam sudah bersiap sedia dan begitu ia melihat gerakan tosu itu, tangan kanannya bergerak menepuk punggungnya dan tahu tahu pedang yang kecil dan tipis telah berada di tangan nya!
“Totiang, kau keterlaluan sekali!” seru pemuda ini sambil menyambut datangnya sambaran ujung lengan baju itu dengan sebuah gerakan membabat dengan pedangnya. Bouw Ek Tosu tentu saja masih memandang rendah kepada anak muda ini, maka ia melanjutkan pukulannya dan mengerahkan tenaga, ia merasa yakin bahwa pedang di tangan pemuda itu tentu akan terpukul jatuh oleh ujung lengan bajunya.
Akan tetapi bukan demikianlah akibat benturan pedang dan ujung baju, karena ketika pedang bertemu dengan ujung baju, memang benar terdengar suara nyaring seakan akan pedang itu bertemu dengan logam keras, akan tetapi segera disusul oleh seruan kaget dari pendeta ini ketika melihat betapa sepotong kain ujung lengan bajunya terbang karena terbabat putus!
Bouw Ek Tosu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka, ia menjadi marah dan segera ia mengeluarkan sebuah hud tim (kebutan pertapa) yang terselip di ikat pinggang sebelah dalam jubahnya. Mukanya berubah merah dan matanya bergerak penuh ancaman maut.
“Twa suheng, biarkan aku menghadapi monyet kecil ini!” kata Si Pacul Kilat Kui Hok, orang ke empat dari Sin beng Ngo hiap. Sesungguhnya, biar pun Kui Hok dalam tingkat perguruan mereka hanya menjadi saudara ke empat, namun kepandaiannya hanya di bawah tingkat Bouw Ek Tosu saja. Kalau dibandingkan dengan Lam san Siang mo, Sepasang Iblis dari Ganung Selatan itu, ia tidak kalah. Bouw Ek Tosu mengalah terhadap adiknya ini dan ia lalu melangkah mundur dua tindak sambil berkata,
“Silahkan, si sute, akan tetapi jangan kepalang, memberi ajaran yang keras kepadanya. Biar aku yang mengawasi gurunya kalau kalau akan mengeroyok!”
Kini Bun Sam yang menjadi marah. Tidak saja gurunya dimaki orang, akan tetapi juga mereka berdua dihina dan dipandang rendah. Ketika ia melihat Si Pacul Kilat melompat maju sambil membawa paculnya, ia berseru keras,
“Sam beng Ngo koai!! Ia sengaja mengganti sebutan Ngo hiap (Lima Pendekar) menjadi Ngo koai (Lima Setan). Kalian ini orang orang tua benar benar keterlaluan. Apakah dikira aku Bun Sam takut menghadapi kalian berlima? Mungkin sekali orang yang kau sebut namanya Mo bin Sin kun itu takut menghadapi kalian berlima, akan tetapi aku Bun Sam yang tidak merasa salah sedikitpun sama sekali tidak takut akan ancaman ancamanmu!” Pemuda ini dengan sikap gagah, akan tetapi juga lucu mengejek, menggerak gerakkan pedangnya di depan hidungnya.
Kui Hok menggerakkan paculnya, menyerang dengan hebat sekali ke arah Bun Sam, Gerakan pacul ini memang hebat dan jauh berbeda dengan gerakan senjata tajam lain. Biasanya senjata senjata dipergunakan dengan cara menusuk, mengemplang, membacok menyabet atau menotok jalan darah, akan tetapi pacul ini dipergunakan dengan ayunun miring dan mata pacul yang tajam sekali itu meluncur cepat dengan tujuan mencangkul kepala orang!
Bun Sam tidak menjadi ngeri dan dengan tenang serta tabah ia menggerakkan kaki ke kiri dan mengebalkan pedangnya untuk menyabet gagang pacul. Akan tetapi tiba tiba terdengar suara seperti jerit nyaring dan angin pukulan luar biasa sekali menyambar ke arah mereka yang sedang bertempur. Bun Sam merasa terdorong keras dan biarpun ia mempertahankan diri, tetap saja ia terdorong mundur sampai tiga langkah. Yang lebih hebat adalah Kui Hok, karena Si Pacul Kilat ini terdorong lebih hebat, sehingga terjungkal ke belakang! Hanya karena kegesitan dan kelihaiannya saja, maka ia dapat mengerahkan tenaga dan berjungkir balik, mempergunakan ilmu lompat Koai liong hoan sin (Naga Siluman Memutar Badan). Setelah dapat menetapkan hati dan keseimbangan tubuhnya, Kui Hok cepat menengok dan berbareng dengan Bun Sam ia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu tahu seorang yang bertubuh kecil langsing telah berdiri di depan mereka.
Terkejutlah semua orang ketika melihat orang ini, tidak terkecuali Bun Sam dan Yap Bouw. Orang yang baru datang ini, pakaiannya serba putih bersih dengan ikat pinggang dan sepatu berwarna kuning. Akan tetapi yang nampak bersih dan menyenangkan hanya dari leher ke bawah saja, karena dari leher ke atas, sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan. Kepala orang ini tertutup oleh kain pengikat kepala berwarna hitam dan mukanya hampir sama hitamnya dengan kain penutup kepala itu. Muka orang ini benar benar amat buruk, dengan kulitnya menghitam dan totol totol, sehingga tidak kelihatan lagi garis garis mulut atau hidungnya. Bibirnya juga hitam, sama dengan kulit mukanya dan hanya sepasang matanya saja yang bercahaya bening, akan tetapi pelupuk matanya juga berkerut kerut mengerikan. Sungguh tak mungkin ada keduanya muka orang yang seburuk itu, terkecuali muka Yap Bouw yang sudah rusak itu.
“Hm, Sin beng Ngo koai! Anak yang lancang mulut ini betapapun juga telah memilihkan julukan baru yang tepat untuk kalian. Sin beng Ngo koai, lima orang iblis. Ha, ha, ha, benar benar cocok dan karena jasamu memilih nama itu, bocah bermulut lancang, maka aku Mo bin Sin kun dapat mengampuni nyawamu.”
Bun Sam tadinya merasa terkejut dan ngeri, bukan hanya kareua muka orang ini, akan tetapi terutama sekali karena kelihaiannya, ia maklum bahwa orang tadi telah mempergunakan tenaga pukulan hebat sekali untuk mendorong dia dan Kui Hok dan biarpun dari jarak jauh, dorongan yang baru datang anginnya itu saja telah membuat ia terhuyung mundur dan Kui Hok berjumpalitan. Agaknya tenaga dorongan si muka iblis ini tidak kalah hebatnya oleh tenaga pukulan Thai lek Kim kong jiu dari suhunya! Akan tetapi setelah mendengar suara orang itu, lenyaplah rasa takutnya dan tiba tiba ia tertawa tawa.
Semua orang terheran heran, bahkan Yap Bouw sendiri memandang ke arah Bun Sam dengan penuh kegelisahan. Anak ini terlampau sembrono, pikirnya. Yang dihadapinya kini bukanlah orang orang sembarangan. Nama Sin beng Ngo hiap saja sudah ternama sekali, apalagi Mo bin Sin kun yang termasyhur itu memiliki kepandaian yang sejajar dengan suhunya, yakni Kim Kong Taisu.
“Bocah bernyali iblis, mengapa kau tertawa? Awas, jawab yang benar, siapa tahu kalau kalau tadi adalah merupakan ketawamu yang terakhir!” Mo bin Sin kun menghardik dan kerling matanya menyambar.
Akan tetapi Bun Sam tetap tenang. Ia percaya akan kepandaiannya sendiri dan juga akan bantuan suhengnya apabila sewaktu waktu diserang orang.
“Aku tertawa karena mendapat kenyataan yang amat mengecewakan dan juga lucu. Melihat kalian ini, Sin beng Ngo koai dan Mo bin Sin kun, orang orang yang lelah terkenal di kalangan kang ouw sebagai orang orang berkepandaian tinggi, sekarang tidak tahunya ternyata hanyalah orang orang yang suka sekali membunuh dan mengancam seakan akan kalian ini adalah kaki tangan dari Giam lo ong (Raja Dewa Pencabut Nyawa) saja. Salahkah pendengaranku bahwa orang orang ternama di dunia kang ouw adalah orang orang gagah perkasa?”
“Omonganmu ada isinya, bocah lancang! Memang banyak sekali orang orang kang ouw melakukan perbuatan ang tidak patut. Seperti halnya pendeta ini yang bernama Bouw Ek Tosu, dia mengaku sebagai pendekar bahkan sudah berani memakai julukan Sianjin, akan tetapi ia membiarkan muridnya, anjing yang bernama Ngo jiauw eng (Garuda Kuku Lima) untuk membinasakan banyak sekali keluarga orang orang gagah bangsa sendiri.”
“Mo bin Sin kun, jangan kau bicara sembarangan saja!” tiba tiba Bouw Ek Tosu melangkah maju dan menuding marah. “Ang bi tin adalah pasukan yang dipergunakan oleh pemerintah untuk menjaga keamanan, maka siapa saja yang kiranya membahayakan pemerintah, tentu saja dibasmi. Lagi pula, bukan hanya muridku yang melakukan pekerjaan yang tidak kau setujui itu, mengapa agaknya kau hanya berani menegur kepada pinto? Mengapa kau tidak mendatangi saja langsung kepada pemimpin besarnya, yaitu Pat jiu Giam ong Liem goanswe? Atau, apakah kau takut menghadapi Jenderal Liem?”
“Orang tua pikun! Siapa bilang aku takut kepada Pat jiu Giam ong? Lain kali pasti aku akan bertemu dengan dia akan tetapi tidak ada hubungannya dengan ini. Jangan kau berpura pura tidak tahu, Bouw Ek Tosu, bahwa Pat jiu Giam ong biarpun sekarang sudah memakai she Liem. namun dia adalah seorang Mongol. Demikianpun Bucuci dan yang lain lain. Kalau orang Mongol yang menjadi pemimpin atau anggauta Ang bi tin, itu masih dapat dimengerti karena mereka itu bekerja berdasarkan membela pemerintahnya sendiri. Akan tetapi muridmu itu? Dia adalah seorang Han, mengapa dia membantu orang orang Mongol untuk membasmi orang gagah bangsanya sendiri? Pendeknya, kau harus menyuruh muridmu itu mengundurkan diri.”
“Kalau pinto tidak mau?” tanya Bouw Ek Tosu yang merasa penasaran.
“Kau harus menerima hajaran lebih dulu sebelum muridmu!” Baru saja kata kata ini habis di keluarkan, tiba tiba tubuh Mo bin Sin kun bergerak cepat dan tahu tahu tangannya telah menotok ke arah pundak Bouw Ek Tusu. Pendeta ini terkejut sekali dan cepat menangkis totokan yang cepat sekali datangnya ini. Akan tetapi serangan dan gerakan Mo bin Sin kun Si Tangan Sakti Bermuka Iblis ini benar benar luar biasa sekali. Tangan kanan yang tadinya menotok, tiba tiba jarinya terbuka dan berubah menjadi cengkeraman yang cepat sekali telah dapat mancengkeram ujung kebutan, sedangkan tangan kiri dengan gerakan yang berbareng telah menyodok ke arah lambung pendeta itu! Bouw Ek Tosu yang masih terkejut melihat betapa kebutannya yang lihai lelah kena dipegang orang, kini ditambah lagi dengan serangan sodokan ke arah lambungnya, segera melepaskan gagang hudtimnya. Namun ia kalah cepat. Mo bin Sin kun benar benar tidak percuma mendapat julukan Tangan Sakti, karena baru saja lawannya mengelak, ia telah dapat mengejar dengan tangan kiri dan terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh Bouw Ek Tosu kena didorong, sehingga terlempar sampai setombak lebih!
Bukan main marahnya empat orang adik seperguruan dari Bouw Ek Tosu ketika melihat suheng mereka dirobohkan dengan demikian mudahnya. Sambil berseru keras, Lam san Siang mo si hwesio kembar, Kui Hok si Pacul Kilat, dan Hwa Hwa Niocu lalu maju menyerang dengan sengit.
Bun Sam mendekati Yap Bouw dan keduanya berdiri di sudut ruang itu sambil menonton dengan enaknya! Terutama sekali Bun Sam amat memperhatikan gerakan gerakan Mo bin Sin kun yang diketahuinya memiliki kepandaian amat tinggi itu. Amat hebatlah pertempuran itu. Tubuh berbaju putih itu lenyap merupakan bayangan putih yang lincah sekali dan sukar diikuti gerakannya. Di antara sambaran pedang Hwa Hwa Niocu dan Pacul Kilat dari Kui Hok nampak gerakan dua pasang golok dari Lam san Siang mo yang juga amat lihai. Akan terapi tubuh Mo bin Sin kun lebih cepat lagi gerakannya.
Bagi mata orang orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi, tentu pemandangan yang ditimbulkan oleh pertempuran ini akan membuat mereka menjadi silau dan tak dapat mengikuti semua gerakan itu. Akan tetapi bagi Bun Sam dan Yap Bouw tentu saja mereka berdua dapat mengikuti setiap gerakan dan bukan main kagum hati mereka menyaksikan ilmu silat Mo bin Sin kun yang benar benar hebat. Si Tangan Sakti Muka Iblis ini dengan tangan kosong saja menghadapi semua senjata ke empat orang pengeroyoknya dan baru setelah para pengeroyoknya menyerang sampai dua puluh jurus, ia berseru,
“Rebahlah kalian berempat!” Kalau dibicarakan sungguh amat mengherankan, karena baru saja ucapan ini keluar dari mulutnya yang hitam mengerikan, segera disusul oleh seruan kaget dan kesakitan. Pertama tama Kui Hok roboh tertotok, kemudian Hwa Hwa Niocu terpental karena ditendang dan paling akhir si hwesio kembar itu berteriak keras karena terdorong oleh tenaga pukulan yang tadi pernah dirasakan oleh Bun Sam dan Bouw Ek Tosu. Dalam sekali gerak saja, Mo bin Sin kun telah merobohkan empat orang dari Sin beng Ngo hiap setelah lebih dulu merobohkan Bouw Ek Tosu dalam sejurus. Dan yang lebih hebat lagi, ia telah merobohkan lima orang itu tanpa membuat mereka terluka hebat, akan tetapi juga yang membuat mereka untuk beberapa lama takkan dapat bangun.
“Hebat sekali kepandaianrnu, Ma bin Sin kun!” kata Bun Sam sambil melangkah mendekati orang bermuka buruk itu. “Hanya sayang sekali ada beberapa bagian yang kurang praktis.”
Kalau Yap Bouw tak terasa menutup mulutnya saking terkejut dan heran melihat kelancangan sutenya ini, adalah Mo bin Sin kun cepat membalikkan tubuh dan menghadapi Bun Sam dengan mata bersinar marah. “Apa katamu? Kurang praktis? Apanya yang menurut anggapanmu kurang baik?”
“Kau tadi melakukan gerakan seperti ini kalau tidak salah,” kata Bun Sam dan pemuda yang mempunyai ingatan amat kuat dan cerdas ini lalu menirukan gerakan Mo bin Sin kun ketika merobohkan keempat orang pengeroyoknya. Mula mula jari tangan kanannya ditusukkan, yakni totokan yang telah merobohkan Si Pacul Kilat, kemudian cepat dibarengi dengan sebuah tendangan yang telah membuat Hwa Hwa Niocu jatuh tunggang langgang, kemudian sekali ia lalu memasang kuda kuda dengan kedua kaki dipentang dan tubuh direbahkan, kemudian ia melakukan dorongan dari Thai lek Kim kong jiu sebagai pengganti tenaga dorongan yang tadi dilakukan oleh Mo bin Sin kun.
“Nah, aku bilang tidak praktis karena pukulan mendorong yang paling hebat itu kau lakukan paling akhir setelah lawan tinggal dua orang. Sedangkan ketika lawan masih ada empat orang, kau hanya melakukan totokan dan tendangan yang biasa saja. Bukankah ini berarti menyia nyiakan ilmu pukulan yang luar biasa hanya untuk merobohkan dua ekor monyet gundul saja? Dengan tenaga dan angin pukulan seperti itu, kalau dilakukan dengan baik dan diatur setepatnya, bukankah dengan mendorong satu kali saja, semua orang tadi akan terpukul roboh? Inilah yang tidak praktis, kataku.”
Mula mula Mo bin Sm kun membelalakkan matanya ketika melihat pemuda itu menirukan gerakan gerakannya yang biarpun tak dapat dikatakan sempurna dan persis sekali, akan tetapi sudah dapat dibilang cukup baik, bahkan terlalu baik bagi seorang yang belum pernah mempelajarinya. Kemudian, melihat pukulan Thai lek Kim kong jiu itu ia cepat bertanya, “Anak bengal, gurumu si tua Kim Kong Taisu telah memberikan pelajaran Thai lek Kim kong jiu kepadamu, mengapa kau masih suka menaruh perhatian kepada ilmu pukulan orang lain ?”
“Mo bin Sin kun, biarpun begitu, tetap saja aku merasa amat kagum dan ingin sekali mempelajari ilmu pukulanmu yang terakhir tadi. Kalau kau sudi memberi petunjuk kepadaku tentang ilmu pukulan ini, suhu tentu akan memujimu sebagai seorang yang baik budi.”
Tiba tiba Mo bin Sin kun tertawa senang dan tidak hanya Bun Sam yang terheran, bahkan Yap Bouw sendiri kini menghampiri mereka dan memandang kepada Mo bin Sin kun dengan heran. Alangkah ganjilnya suara ketawa orang lihai ini. Baik Bun Sam maupun Yap Bouw berani bersumpah bahwa itu adalah suara ketawa dari seorang wanita. Suara ketawa yang nyaring, halus dan merdu.
“Ha, ha, ha, si tua bangka Kim Kong Taisu ternyata mempunyai murid yang lidahnya tak bertulang dan pandai sekali membujuk orang. Kau kira mudah saja hendak membujuk rayu kepadaku? Kalau kaudapat mengalahkan kepandaian muridku, baru aku akan memikir mikir tentang permintaanmu itu. Ha. ha, ha!” Dengan ketawa geli Mo bm Sin kun lalu berkelebat pergi dan lenyap dan situ.
“Mo bin Sin kun!” Bun Sam berseru. “Aku berani menghadapi muridmu, di mana aku dapat bertemu dengan kau dan muridmu?”
Terdengar suara orang lihai itu dari jauh, “Tidak biasa Mo bin Sin kun memberitahukan tempatnya. Malam nanti kami akan datang kepadamu.”
Bun Sam dan Yap Bouw saling pandang dan dari pandangan mata Yap Bouw, Bun Sam yang sudah mengenal akan watak suhengnya ini tahu bahwa suhengnya menegurnya dan tidak setuju dengan sikapnya yang lancang tadi.
“Suheng, aku memang ingin sekali mempelajari ilmu pukulannya tadi. Suhu pernah berkata bahwa ilmu pukulan dari jarak jauh, yang paling lihat adalah Ilmu Pukulan Soan hong pek lek jiu (Pukulan Tangan Angin Puyuh) dari Mo bin Sin kun. Kukira yang ia pergunakan tadilah adanya Soan hong pek lek jiu.”
Yap Bouw menggeleng gelengkan kepala, di dalam hatinya merasa heran akan kesukaan sute nya yang tiada bosannya hendak memperdalam ilmu silatnya. Ia lalu menghampiri lima orang yang masih bergeletakan di atas lantai. Setelah memeriksa sebentar, akhirnya ia menghampiri Si Pacul Kilat dan mengurut serta menotok pundaknya, sehingga jalan darah Kui Hok menjadi pulih kembali. Si Pacul Kilat Kui Hok lalu menghampiri saudara saudaranya dan menolong mereka. Sementara itu Yap Bouw lalu menggandeng tangan sutenya dan dibawanya berlari turun.
Di bawah loteng itu telah berkumpul Lo kun gu Lai Seng si pemilik restoran Lok thian bersama para pegawainya. Mereka itu tidak berani bergerak dan hanya berkumpul sambil bicara bisik bisik. Diam diam Lai Seng merasa berdebar juga karena peristiwa ini merupakan berita baik sekali sebagai propaganda kemasyhuran nama restorannya. Jarang sekali ada restoran yang dijadikan tempat pertemuan dan pertempuran tokoh tokoh besar seperti Sin beng Ngo hiap dan Mo bin Sin kun! Dia dan kawan kawannya hanya mendengar suara gaduh di atas loteng, sama sekali tidak melihat kedatangan maupun kepergian Mo bin Sin kun. Ketika Yap Bouw dan Bun Sam turun, Lai Seng lalu menjura dengan penuh hormat, diam diam memuji kelihaian si muka iblis ini yang melihat ketenangannya tentu telah memperoleh kemenangan. Yap Bouw merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong uang emas dan sekali ia menggerakkan tangannya, uang emas itu telah menancap di atas lantai tembok!
“Tidak usah, locianpwe, tidak usah bayar....” kata Lai Seng, akan tetapi Yap Bouw dan Bun Sam telah melompat pergi dan lenyap dari situ.
“Jangan ambil uang emas itu!” kata Lai Seng gembira sekali sambil mengamat amati potongan uang emas yang telah amblas dan hanya kelihaian mengkilat kuning seperti tambalan pada lantai tembok. “Biar semua orang yang makan di sini melihat bahwa Mo bin Sin kun makan di sini dan membayar dengan cara yang luar biasa ini!” Kembali Lo kun gu Lai Seng hendak mempergunakan peristiwa ini sebagai reklame untuk restorannya!
Pada saat itu, terdengar suara berisik dari atas loteng dan nampaklah lima orang Sin beng Ngo hiap itu turun dengan muka lesu, bahkan Hwa Hwa Niocu dan sepasang hwesio kembar itu masih meringis ringis menahan rasa sakit.
Kembali Lai Seng menjura dengan amat hormatnya sambil tersenyum senyum.
Melihat orang tersenyum, Hwa Hwa Niocu yang sedang mendongkol menjadi marah. “Kau mau apa? Mau minta bayaran?” Ia mengharapkan Lai Seng benar benar akan minta bayaran, karena ia tentu akan membayarnya dengan beberapa kali tamparan untuk melampiaskan hatinya yang mendongkol. Akan tetapi Lai Seng bukalnah anak kecil yang tidak tahu gelagat, ia maklum bahwa lima orang ini tentu sudah dapat dikalahkan, maka sambil tersenyum ia berkata,
“Tidak sekali kali, mana siauwte berani minta bayaran kepada ngo wi? Lagi pula, untuk makanan tadi yang tidak seberapa banyak siauwte telah mendapat bayaran lebih dan cukup yang diberikan oleh Mo bin Sin kun Locianpwe.” Lai seng menunjuk ke arah lantai di mana masih terlihat dengan jelas potongan uang emas yang kuning mengkilat.
“Hm, kau kira Sin beng Ngo hiap tidak mampu bayar?” tiba tiba Bouw Ek Tosu tersenyum pahit, ia merogoh sakunya dan dari jubahnya yang berkembang itu ia mengeluarkan sepotong uang emas pula. Ia menggerakkan tangannya dan uang emas itu meluncur ke bawah, menancap dan amblas ke dalam lantai tembok, dekat sekali dengan uang emas yang dilemparkan oleh Yap Bouw tadi! Tentu saja Bouw Ek Tosu yang mempunyai ilmu kepandaian setingkat dengan Yap Bouw, dapat melakukan pula hal yang tadi dilakukan oleh Yap Bouw.
Setelah lima orang ini pergi, Lai Seng hampir berjingkrak saking girangnya. Tidak saja ia mendapatkan dua potong uang emas yang sudah lebih daripada cukup sebagai pembayaran harga makanan dan minuman, bahkan dua potong tiang emas itu dapat dijadikan sebagai daya penarik para pelancong dari lain kota yang tentu ingin sekali melihat cara pembayaran yang aneh ini dari Mo bin Sin kun dan Sin beng Ngo hiap!
Jalan dari Lok yang menuju ke kota raja ada dua macam. Pertama mengambil jalan air, yakni mengikuti aliran Sungai Hoang ho (Sungai Kuning) memasuki Propinsi Sanung lalu turun mendarat dan melanjutkan perjalanan darat melalui Propinsi Hopak. Atau yang ke dua mengambil jalan darat melalui Propinsi Shansi, terus menyusur perbatasan antara Propinsi Shansi dan Propinsi Hopak. Oleh karena dalam perjalanan menuju ke kota raja ini, bagi Yap Bouw adalah untuk membimbing sutenya adapun bagi Bun Sam sendiri untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengertian, maka mereka berdua mengambil keputusan untuk melalui jalan darat. Setelah keluar dari kota Lok yang dan menyeberangi Sungai Hoang ho yang mengalir di sebelah utara kota, mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat sekali, mempergunakan ilmu lari cepat yang membuat mereka berlari lebih cepat dari kuda.
Hari telah menjadi gelap ketika mereka memasuki kota Kin bun, sebuah kota kecil yang tak berapa ramai. Semenjak pagi, keduanya hanya mengisi perut dengan buah buah yang mereka petik dari hutan yang mereka masuki dalam perjalanan tadi. Kini perut mereka terasa lapar sekali. Baiknya dalam kota Kin bun terdapat sebuah hotel yang cukup besar dan yang juga menyediakan hidangan bagi para tamu.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka lalu makan. Dengan gerakan tangannya Yap Bouw memberi ingat agar supaya Bun Sam berlaku hati hati sekali karena mungkin malam ini akan ada orang datang menggangu, Bun Sam mengangguk angguk karena ia teringat akan ucapan Mo bin Sin kun yang malam hari ini hendak mengunjunginya bersama muridnya dengan maksud mengadu kepandaian!
“Suheng, kalau kuingat suara bicara dan ketawa Mo bin Sin kun tadi timbul dugaanku bahwa dia adalah wanita. Apakah kau tidak pikir begitu suheng?”
Dengan bahasa gerak jari tangannya, Yap Bouw membenarkan sangkaan ini, karena ia sendiri pun berpikir demikian. Dan ia menambahkan keterangan bahwa suhunya sendiri belum pernah menyatakan apakah Mo bin Sin kun seorang laki laki atau wanita. Kemudian Yap Bouw
memperingatkan agar berlaku hati hati sekali, karena murid Mo bin Sin kun tentulah seorang yang berkepandaian amat tinggi seperti gurunya. Bun Sam tersenyum dan menjawab,
“Jangan khawatir, suheng. Mo bin Sin kun demikian galak, tentu muridnya tidak jauh berbeda. Dan orang yang mudah marah seperti itu, tidak berbahaya untuk dilawan asalkan kepandaian kita tidak kalah jauh. Bukankah begitu, kata suhu?”
Yap Bouw mengangguk angguk dan berkata dengan tangannya bahwa memang betul demikianlah. Orang yang mudah dikuasai oleh tujuh perasaan (marah, malu, kecewa, takut, suka, duka, gembira) tak dapat berlaku tenang dan oleh karenanya tak dapat bertempur dengan baik. Akan terapi, demikian Yap Bouw yang sudah banyak pengalaman dan berpemandangan luas ini memperingatkan amat tidak baik kalau memandang rendah kepada lawan, apalagi lawan yang belum diketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Memandang rendah kepada lawan berarti sudah kalah satu bagian dalam pertempuran, katanya, karena perasaan ini mengurangi kewaspadaan sendiri.
Selelah makan, mereka lalu masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Keduanya duduk di pembaringan masing masing, bersila mengatur pernapasan dalam samadhi sambil menanti datangnya Mo bin Sin kun. Biarpun dilihatnya sama, keduanya duduk bersila memejamkan mata dan napas mereka teratur baik, namun isi pikiran kedua orang ini amat jauh berbeda. Kalau Bun Sam pada waktu itu merasa senang untuk menghadapi murid dari Mo bin Sin kun, adalah Yap Bouw melayangkan ingatannya pada waktu waktu dahulu ia girang sekali melihat anak yang dulu ditolongnya itu, kini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, telah menjadi sutenya yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripadanya sendiri. Ia telah menganggap Bun Sam seperti anak sendiri dan kasih sayangnya terhadap pemuda ini adalah kasih sayang seorang ayah terhadap seorang putera nya. Akan tetapi kalau ia teringat kepada rumah tanggannya, kepada isteri dan putera puterinya, mengalirlah darah dari hatinya yang terluka. Akan tetapi bekas jenderal yang bernasib malang ini cepat cepat menguatkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan itu dan napasnya yang tadinya tersengal sengal menjadi tenang kembali.
Biarpun sedang duduk bersamadhi namun Bun Sam yang amat tajam pendengarannya itu dapat membedakan perubahan napas dari suhengnya, maka ia membuka matanya sebentar. Dilihatnya peluh memenuhi jidat suhenenya itu dan wajah suhengnya yang rusak dan bercacat itu menjadi makin menyeramkan. Ia menghela napas panjang. Sudah terlalu sering ia melihat suhengnya berhal demikian dan karena ia pernah mendengar riwayat suheng nya, maka maklumlah ia akan kedukaan yang kadang kadang mengganggu pikiran bekas jenderal yang bernasib malang ini. Tiba tiba ia menjadi amat terharu. Dengan perlahan Bun Sam turun dari pembaringannya, menghampiri Yap Bouw dan menggunakan saputangannya untuk menghapus peluh yang memenuhi jidat Yap Bouw dengan perasaan penuh kasih sayang seperti seorang anak terhadap ayahnya atau seorang adik terhadap kakaknya.
Perbuatan Bun Sam ini mendatangkan keharuan besar kepada Yap Bouw, akan tetapi sekaligus juga menghilangkan kesedihannya karena dalam diri pemuda ini ia mendapatkan pengganti putera yang amat dikasihinya. Dengan gerakan tangannya ia mengisaratkan agar pemuda itu kembali ke pembaringannya dan mengaso.
Kembali mereka duduk bersamadhi sampai menjelang tengah malam. Keadaan sangat sunyi dan hotel yang hanya
didatangi sedikit orang tamu itu telah menjadi sepi. Semua orang termasuk penjaga hotel, telah tidur pulas dalam malam yang dingin itu.
Tiba tiba terdengar suara dari kamar Bun Sam, “Bocah sumbong, lekas keluar, kami menunggu!”
Bun Sam mengenal suara Mo bin Sn kun, maka cepat ia melompat turun dari pembaringannya. Ternyata bahwa Yap Bouw juga sudah melompat turun dan keduanya saling pandang dengan heran mengapa gerakan Mo bin Sin kun di atas genteng sama sekali tidak pernah terdengur oleh mererka. Hal ini telah membuktikan bahwa Tangan Sakit Bermuka Iblis ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.
Bun Sam membuka daun jendela, lalu melompat keluar diikuti oleh suhengnya. Memang mereka semenjak tadi telah bersiap sedia dan tidak menanggalkan pakaian ketika naik ke pembaringan.
Selelah tiba di luar hotel, mereka melihat bayangan berkelebat turun dari atas genteng dan nampaklah dua bayangan orang berdiri menanti mereka. Malam itu terang bulan, akan tetapi cahaya bulan belum cukup terang untuk menerangi wajah kedua orang itu.
Bun Sam mengenal bahwa yang melompat turun dari atas genteng tadi adalah Mo bin Sin kun. Biarpun tidak nyata mukanya, namun ia masih dapat mengenal pakaian serba putih dan kemudian dari leher ke atas hanya hitam saja itu. Ketika ia memandang kepada orang ke dua, diam diam ia merasa mendongkol sekali. Apakah Mo bin Sin kun hendak mempermainkannya?