Pedang Sinar Emas Jilid 25

Jilid XXV

PEMUDA ini memang sudah mempelajari kesusasteraan dan ia suka bernyanyi. Suaranya memang empuk dan merdu dan ia pandai sekali menyanyikan lagu lagu percintaan kuno,

“Bulan purnama tersenyum cantik nian! Kepada siapakah kau tersenyum, Bulan?

Tentu kepada Sang Matahari Pujaan dan kekasih hati Yang tak kunjung menampakkan diri.

Ah mengapa kau bermuram durja Bulan? Gelap menyelubungi wajah indah rupawan Mengapa gerangan?

Karena matahari tak kunjung datang Tiada nampak di malam petang.

Dengar Dewi Bidan tersedu sedan

Wahai kekasih di mana engkau gerangan?

Suara Eng Kiat begitu merdu, penuh perasaan sehingga terdengar memilukan. Tak terasa pula Siauw Yang menengadah ke atas, memandangi mega mega yang bergerak perlahan terbayanglah wajah Pun Hui di antara mega mega. Suara itu menyayat hatinya dan tak terasa pula kembali air matanya bertitik. “Kau menangis, adikku sayang? Kau lebih indah rupawan daripada bulan....” terdengar suara Eng Kiat yang menyadarkan gadis itu. Cepat cepat ia menghapuskan air matanya dan berkata,

“Eng Kiat, kalau kau memang kasihan kepadaku, besok pagi bikinkanlah sebuah perahu agar kita dapat berperahu dan melupakan kesunyian di pulau ini. Aku ingin sekali berperahu, menangkap ikan di laut.”

“Tentu, adikku manis. Malam ini juga aku akan membuat perahu untukmu,” kata Eng Kiat. Siauw Yang memandang tajam, khawatir kalau kalau pemuda itu akan dapat membaca pikirannya, akan tetapi pemuda itu tersenyum senyum saja dan agaknya tidak menyangka sesuatu. Legalah hati Siauw Yang.

“Kau memang baik hati,” katanya singkat. “Aku hendak tidur, kaubikinlah perahu itu.”

Padahal semalam itu Siauw Yang tak dapat tidur sama sekali. Pikirannya bekerja keras. Kalau sudah ada perahu, berarti ia menambahkan sebuah kemungkinan untuk melarikan diri, pikirnya. Andaikata aku tidak dapat merobohkannya dengan kekerasan, dan dia selalu menjagaku, kalau sewaktu waktu dia tertidur atau alpa, aku dapat melarikan diri dengan perahu itu, pikirnya.

Eng Kiat ternyata memenuhi janjinya. Semalam suntuk ia bekerja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, ia telah menyelesaikan perkerjaannva. Berkat tenaga lweekangnya yang tinggi dan pedangnya yang tajam, ia dapat membuat sebuah perahu kecil dari sebatang pohon!

“Mana layarnya?” tanya Siauw Yang yang menjenguk dan melihat hasil pekerjaan itu dengan wajah riang. 

“Di mana bisa mendapatkan layar di tempat ini?” tanya Eng Kiat menggaruk garuk kepala lalu menghapus peluh di dahinya.

“Kau punya baju luar yang lebar dan tebal? Beri aku barang empat buah, akan kubuatkan layar untuk perahu ini!” kata Siauw Yang.

Pemuda itu berlari ke dalam gua dan mengambil empat buat baju luarnya yang tebal dan terbuat daripada kain mahal, ia menyerahkan baju itu kepada Siauw Yang sambil tersenyum. Siauw Yang tidak berlaku bodoh untuk melarikan diri pada saat Eng Kiat mengambil baju, karena dengan dayung saja ia tak mungkin dapat mencapai tempat jauh, apalagi karena ia tidak tahu ke jurusan mara ia harus berperahu. Setelah menerima baju baju luar itu, ia lalu menyambung nyambungnya dan menjahitnya dengan pertolongan tusuk konde dan untuk benangnya ia mengambil dari pinggiran baju luar.

Eng Kiat memandang kelakuan gadis itu sambil tersenyum senyum.

“Sayang kau membuatkan layar, alangkah senangnya kalau kau dan aku berada di rumah dan melihat kau menjahit baju untukku.”

“Cih, tak tahu malu. Pergilah dan jangan mengganggu pekerjaanku!” kata Siauw Yang.

Eng Kiat lalu menjauhi gadis itu, duduk bersandar pada sebatang pohon.

“Aku lelah dan ingin tidur, adik Yang. Aku percaya bahwa kau takkan sampai hati membunuhku di waktu aku tertidur,” katanya sambil tersenyum.

Siauw Yang mendongkol sekali dau ketika ia menengok pemuda itu telah mendengkur. Hati Siauw Yang berdebar. Bagaimana kalau ia mengambil sebuah batu karang besar dan melemparkan batu itu ke arah kepala Eng Kiat? Ia bergidik. Tidak. Ia takkan berlaku pengecut. Bagi seorang gagah, lebih baik binasa daripada melakukan hal seperti itu. Ia akan mempercepat pembuatan layarnya agar dapat melarikan diri sewaktu pemuda itu tertidur, pikirnya.

Akan tetapi pekerjaan membuat layar itu tidak mudah. Sampai petang barulah ia selesai dan ketika ia pergi ke perahu itu, Eng Ktat bangun dan melompat berdiri. Ternyata bahwa mungkin sekali pemuda itu tadi hanya berpura pura tidur saja.

“Tidak baik malam malam berlayar, adik Yang. Kalau kau kehendaki, besok pagi pagi kita b6leh berlayar mencari ikan.”

Sambil berkata demikian, ia membantu Siauw Yang memasang tiang layar pada perahu kecil itu dan ketika dipasang layar buatan Siauw Yang, Eng Kiat tertawa geli.

“Alangkah lucunya layar ini, seperti beberapa orang berdiri di dalam perahu.”

Mau tidak mau Siauw Yang tersenyum geli juga. Memang, baju baju yang disambung sambung itu kini kelihatan seperti empat orang laki laki berdiri bertolak pinggang di atas perahu, Siauw Yang kembali ke gua dan malam itu ia tidur dengan nyenyak karena hatinya sudah lega melihat keadaan perahu dan layar yang memungkinkan dia untuk melarikan diri.

Pada keesokan harinya, ketika ia bangun, ternyata Eng Kiat tidak kelihatan di luar gua seperti biasanya, ia cepat menuju ke sebuah sumber air untuk membersihkan diri, dan ia merasa segar dan sehat, ia telah siap untuk melakukan usaha melarikan diri. Setelah ia menyusul ke pantai, ternyata Eng Kiat tidur mendengkur di dalam perahu itu. Siauw Yang menggigit bibirnya.

“Hem, jadi bedebah ini sudah mengetahui isi hatiku dan tentu sepanjang malam ia tidur di sini menjaga aku jangan mencari perahu,” pikirnya gemas. Baru saja ia datang, Eng Kiat terbangun dan melompat sambil tersenyum.

“Selamat pagi, adik Yang. Apakah sepagi ini kau ingin berlayar?”

“Aku ingin mencoba perahu kita,” kata Siauw Yang sambil mencoba untuk menyembunyikan kekecewaan dan kegemasan hatinya.

“Baik, baik! Mari kita berlayar.” Kedua orang muda itu lalu membawa perahu ke air dan Eng Kiat memegang dayung di tangan kanan dan pedang di tangan kiri. Pemuda ini selalu siap sedia menghadapi segala kemungkinan, sehingga Siauw Yang menjadi makin mendongkol.

“Aku harus berlaku manis agar ia lalai,” pikir Siauw Yang. Gadis ini lalu menggunakan dayung yang dipegangnya untuk memukul ke air setiap kali ada ikan timbul di permukaan laut. Pukulannya selalu tepat sehingga Eng Kiat memuji Siauw Yang berlaku riang gembira dan lambat laun pemuda itu tertarik dan tertawa gembira juga. Eng Kiat mulai memukul mukul ke dalam air pula, bahkan ia mengajak Siauw Yang berlomba mencari ikan dengan jalan memukul ikan yang mengapung.

Siauw Yang memperhatikan segala gerakan Eng Kiat dan mencari kesempatan baik. Akan berhasilkah dia? Hatinya berdebar penuh ketegangan dan harapan melihat pemuda itu makin gembira dan tertawa tawa.

Di dalam perahu kecil buatan Bong Eng Kiat, Siauw Yang sedang memcari kesempatan untuk membebaskan diri dari pemuda itu. Gadis ini melihat kalau ada ikan yang berani timbul di permukaan air dan sikapnya yang pang gembira sambil tertawa tawa itu membikin Eng Kiat gembira juga sehingga pemuda in;pun memukuli ikan dengan dayungnya.

Saking gembiranya, Eng Kiat bermain main sambil bernyanyi,

“Minumlah arakmu selagi cawanmu

penuh, kawan!

Tangkaplah kebahagiaan selagi kau

muda rupawan!

Petiklah mawar selagi ia segar ayu Jangan tunggu sampai ia tua dan layu Musim chun (semi) datang menjalang Bulan bersinar itulah cemerlang

Apa guna keluh kesah dan rawan? Berilah aku cawan!

Penuhi cawan arakku, kawan.

Aku mau minum sepuasku Aku mau minum sepuasku!”

Melihat kegembiraan pemuda itu, Siauw Yang makin girang karena hanya orang bergembira dan berduka saja yang kehilangan kewaspadaan. Ia berpura pura gembira pula dan memuji nyanyian tadi.

“Eng Kiat, nyanyian mu tadi bagus sekali.” “Kau senang dan ikut gembira, adikku sayang?”

“Tentu saja, akan tetapi kegembiraanku tidak sempurna kalau kau tidak menyatakan nyanyianmu tadi dalam perbuatan. Cawan sudah penuh sekali mengapa kau tidak minum sepuasnya?”

Kata kata ini diucapkan oleh Siauw Yang tanpa mengandung maksud lain, akau tetapi Eng Kiat mengartikan salah dan kini pemuda itu memandangnya dengan mata penuh gairah.

“Benar benarkah apa yang kau katakan, adik Yang?” tanyanya sambil menggeser duduknya lebih dekat dan tangannya hendak memegang lengan Siauw Yang.

Melihat sikap ini, terkejutlah Siauw Yang dan gadis yang cerdik ini maklum bahwa tadi tanpa disadarinya, ia telah mengucapkan kata kata yang seakan akan mengandung sindiran bahwa dia lelah siap melayani cinta kasih pemuda itu. Maka ia cepat cepat menyampok tangan pemuda itu sambil berkala tertawa, “Eng Kiat jangan kau kurang ajar! Aku sudah mulai gembira dan kurang kebencianku kepadamu, akan tetapi kalau kau berani menyentuhku aku akan benci setengah mati kepadamu!”

Kata kata ini manjur sekali karena Eng Kiat, segera mundur kembali sambil menghela napas kecewa. “Tidak, adikku, aku terlalu sayang kepadamu, jangan kau benci padaku.”

“Kalau kau sayang padaku, mengapa tidak memenuhi permintaanku? Padahal aku hanya minta supaya kau minum sampai puas seperti yang kau nyanyikan tadi.”

Eng Kiat memandang kepadanya dengan mata penuh tanda tanya. “Kau ini aneh sekali, tidak ada cawan dan arak di sini, bagaimana kau menyuruh aku minum?” “Mengapa kau begitu bedoh dan kekurangan akal untuk menambah kegembiraan? Yang diminum orang adalah benda cair, biarpun di sini tidak ada cawan dan arak, apakah kekurangan benda cair?” kata Siauw Yang tertawa sambil menunjuk ke air di kanan kiri perahu.

Eng Kiat memandang kepada Siauw Yang dengan mata terbelalak, kemudian ia tertawa bergelak gelak.

“Ha, ha, ha! Benar kata kata ayah bahwa wanita adalah mahluk yang paling menyenangkan, paling manis, akau tetapi juga paling aneh dan lucu! Aku pernah membaca Tat Ki (siluman rase menjelma wanita cantik) pernah menyuruh Tiu Ong (raja yang tergila gila padanya) untuk melakukan segala hal yang aneh aneh dan bahwa Yo Kwi Hui (ratu cantik dan genit) pernah menyuruh para pengagumnya untuk merangkak rangkak meniru seekor anjing. Sekarang kau menyuruh aku minum air laut sebagai pengganti arak! Akan tetapi biarlah, menuruti kehendak wanita yang aneh aneh adalah jalan untuk mendapatkan cinta kasihnya. Biar aku memelihara kegembiraanmu, adik Yang!” Setelah berkata demikian, dengan tangan kanannya Eng Kiat menyenduk air laut di pinggir perahu dan minum air itu!

Siauw Yang tak dapat menahan gelak tawanya melihat betapa muka pemuda itu meringis selelah ia merasai air laut yang asin dan amis.

“Mukamu seperti monyet kelaparan!” kata gadis itu sambil tertawa tawa.

Eng Kiat meringis. “Asin sekali, membuat perut muak!” Siauw Yang makin geli tertawa. “Minum lagi, Eng Kiat,

minumlah lagi.”

Untuk kedua kalinya Eng Kiat menyenduk air dengan tangannya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Yang dengan baiknya. Cepat tangannya menyambar pedang yang tadi dipegang oleh Eng Kiat dan yang sekarang diletakkan di dekatnya karena tangan kanannya ia pergunakan untuk menyendok air.

Biarpun pedang pemuda itu ada dua buah karena Eng Kiat memang bersenjata siang kiam (sepasang pedang), namun karena tangan kirinya selalu memegang dayung, ia hanya menurunkan sebatang pedang saja. Kini pedang itu telah berada di tangan Siauw Yang. Nanum sesungguhnya gadis ini tidak bermaksud untuk membunuhnya, karena ia tidak tega membunuh seorang yang telah berlaku begitu baik kepadanya. Ia hanya ingin mempergunakan pedang itu untuk memaksa pemuda itu membebaskannya.

“Loncatlah ke dalam air!” Siauw Yang mengancam sambil menodongkan pedang ke dada Eng Kiat.

Pemuda ini tiba tiba menjadi pucat sekali. Seri wajahnya lenyap seketika dan kini berobah menjadi wajah seorang yang bermata tajam dan meryeringai jahat.

“Kau curang   ” katanya.

“Pergi cepat!” Siauw Yang membentak.

Eng Kiat tertawa bergolak, tubuhnya terguling ke dalam air, akan tetapi kedua tangannya memegang pinggiran perahu dan sekali ia mengerahkan tenaga, perahu itu terbalik membawa tubuh Siauw Yang ke dalam air pula.

Siauw Yang marah sekali dan dengan secara membabi buta ia membacokkan pedangnya ke kanan kiri, namun sebentar saja tubuhnya yang tenggelam dan air yang memasuki hidung dan mulutnya membuatnya kelabakan! Dia tidak sangat pandai bermain di air dan gerakannya yang menyerang ke sana ke mari itu membuat ia minum banyak air laut dan akhirnya ia menjadi lemas dan pedangnya tahu tahu lelah terampas kembali oleh Eng Kiat.

Sebagaimana diketahui, Eng Kiat adalah seorang pemuda ahli berenang dan ahli dalam air, karena ia adalah putera dari Tung hai Sian jin yang pandai sekali bergerak di dalam air. Sengaja pemuda ini membiarkan Siauw Yang minum air laut dan menjadi lemas, kemudian ia merampas pedang sambil memeluk tubuh gadis itu yang tidak berdaya lagi, lalu membawanya berenang kembali ke perahu. Ia melemparkan tubuhnya ke atas perahu sambil masih memeluk Siauw Yang yang sudah menjadi lemas dan merasa kembung perutnya.

“Kau anak nakal,” berkali kali Eng Kiat berkata, akan tetapi ia tidak marah, bahkan tertawa tawa geli melihat Siauw Yang menjadi basah kuyup. Kemudian ia mendekatkan mukanya dan mencium pipi gadis itu.

“Jahanam.... kubunuh kau.... !” desis Siauw Yang dan gadis ini memberontak sekuatnya sehingga terlepas dari pelukan Eng Kiat. Kemudian ia menghantam dengan tangannya yang dapat dielakkan oleh Eng Kiat. Pergerakan ini membuat perahu menjadi miring.

“Hati hati adik Yang! Perahu bisa terguling lagi!” seru Eng Kiat menakut nakuti.

Tentu saja Siauw Yang bukan seorang bodoh, ia tahu bahwa kalau sampai ia terguling ke dalam air lagi, tentu ia akan dipeluk lagi oleh Eng Kiat yang menolongnya. Maka ia menarik kembali tangannya dan membatalkan serangannya.

“Jahanam keparat! Kau benar benar kurang ajar sekali Awas, kalau aku ada kesempatan, akan kupecahkan kepalamu!” seru Siauw Yang dengan jengkel sekali, ia merasa betapa pipinya yang tercium tadi serasa terbakar api, digosok gosoknya dengan telapak tangannya untuk mencuci bersih bekas ciuman yang dianggapnya sebagai noda besar. Hampir saja ia menangis kalau saja ia tidak dapat menetapkan guncangan hatinya.

“Adik Yang, maafkan aku....” terdengar Eng Kiat berkata lirih.

“Persetan! Kau telah membikin sakit hatiku. Kau telah menghinaku, telah merendahkan diriku. Akan kubunuh kau!” tak tertahan pula dua titik air mala melompat keluar dari sepasang mata yang bening itu.

“Adik Yang, kau benar benar tidak adil sekali!” Eng Kiat berkata dengan suara terdengar sedih. “Kau telah berusaha hendak membunuhku akan tetapi aku tidak marah dan tidak menyesal, bahkan menolongmu dari air. Adapun ciuman itu, boleh kau anggap sebagai sedikit hukuman atas kenakalanmu, akan letapt bagiku, itu tanda cinta kasihku yang murni. Kalau sekali lagi Kau mencoba untuk menipu dan mengakali aku, hukuman nya lain lagi ”

“Apa yang akan kaulakukan terhadapku manusia jahanam?”

“Aku.... aku akan memaksa kau menjadi isteriku! Adik Yang, aku tak mungkin marah kepadamu, tak mungkin membencimu, karena aku cinta padamu.”

Betapapun pemuda itu merayu dan bicara dengan halus, namun seujung rambutpun Siauw Yang tidak terpikat. Gadis ini tahu benar bahwa kehalusan sikap pemuda itu kepadanya hanya karena pemuda itu tergila gila kepadanya. Namun, ia maklum bahwa pemuda seperti ini takkan segan segan untuk melakukan ancamannya, untuk melakukan kekejian dan kekerasan. Aku harus berusaha melepaskan diri, pikirnya. Lebih lekas lebih baik karena siapa tahu berapa lama lagi pemuda ini dapat berlaku sopan dan lemah 

lembut. Aku akan melarikan diri, dan kalau tidak berhasil, biar aku berlaku nekat dan mati daripada terjatuh ke dalam tangannya.

Eng Kiat tidak dapat menduga apa yang sedang dipikirkan oleh gadis yang kelihatannya diam seperti patung itu dan hal ini membikin hatinya tidak enak.

“Mari kita mendarat, adikku. Pakaianmu basah semua, kau bisa masuk angin.”

Siauw Yang tidak menjawab dan diam saja ketika Eng Kiat mendayung perahunya kembali ke pulau.

Ketika memasuki gua, Siauw Yang nampak menggigil kedinginan. Giginya beradu dan tubuhnya menggigil, kedua tandannya memeluk dada.

Melihat ini Eng Kiat terkejut sekali.

“Sakitkah kau, adik Yang?” tanyanya dengan khawatir dan otomatis tangannya diulur untuk meraba jidat gadis itu seperti laku seorang kakak yang menyayang adiknya. Siauw Yang diam saja dan tidak menjawab, juga tidak membantah ketika pemuda itu meraba jidatnya. Eng Kiat kaget sekali ketika meraba jidat Siauw Yang, karena jidat itu panas sekali, “Celaka! Kau terserang demam!” katanya. “Apa kataku tadi, kau masuk angin.”

“Biarlah, mati juga tidak apa,” kata Siauw Yang tak acuh, padahal dalam hatinva ia merasa geli sekali. Gadis ini sedang menjalankan siasatnya, sengaja ia menggigil dan ketika Eng Kiat tadi meraba jidatnya ia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalam, melakukan Ilmu Pan khi jit hiat (Pindahkan Hawa Panas ke Jalan Darah). Ilmu ini ia pelajari dari ayahnya dan ilmu ini bukan sembarangan ilmu yang dapat dipelajari oleh orang kang ouw. Kegunaannya besar sekali karena di waktu musim dingin, ia dapat membikin tubuhnya panas, sebaliknya di waktu musim panas, ia dapat menyesuaikan diri dengan segala macam keadaan dan menolak serangan hawa dingin maupun panas.

Dalam kegugupannya mengira gadis yang dicintanya itu sakit, Eng Kiat kena dibohongi dan pemuda ini bingung sekali.

“Adik Yang, kau sakit, jangan bilang tentang mati. Ah, bagaimana baiknya? Lekas lekas kau menukar pakaianmu dengan yang kering. Aku akan pergi mencari daun obat untuk menolak bahaya demam.” Setelah berkata demikian, ia keluar dari gua.

“Tak usah, Eng Kiat. Kalau kau memang sayang kepadaku, lebih baik kau buatkan sebuah pondok bambu Aku sudah tak kuat tinggal di gua yang dingin ini. Hawa dalam gua inilah yang mendatangkan penyakit.”

“Ah, begitukah? Baik, sayang, baik. Sekarang juga aku akan membikinkan pondok untukmu.”

Eng Kiat lalu pergi dan cepat menebang pohon dan bambu untuk membuatkan pondok bagi kekasih hatinya itu. Namun ia berlaku cerdik dan sering kali datang ke gua menengok Siauw Yang. Ia tetap saja menaruh hati curiga dan tidak mau lengah, karena ia sudah kapok tidak mau tertipu lagi oleh gadis yang selain cantik jelita dan pandai ilmu silat, akan tetapi juga cerdik sekali.

Sampai tiga hari Siauw Yang berpura pura sakit, tinggal saja di dalam gua dan segala keperluannya dilayani oleh Eng Kiat dengan setianya.. Sementara itu, pondok bambu yang cukup kuat dan hangat telah jadi, bahkan pemuda ini membuat sebuah dipan kayu untuk tempat gadis itu tidur. “Nah, pondokmu sudah jadi, adik Yang. Sekarang mari kita pindah ke sana “ ajaknya sambil memasuki gua.

“Sebetulnya, apa gunanya pondok itu? Aku merasa tubuhku makin tidak enak, dadaku sesak dan agaknya aku takkan lama lagi hidup di dunia ini. Semua ini karena engkau, manusia kejam. Kalau kau membebaskan aku, kiranya aku takkan menderita sakit ini.”

Biarpun ia berkata demikian, namun Siauw Yang tidak membantah ketika diajak pindah ke dalam pondok, ia masih memperlihatkan tanda tanda kelemahan, berjalan dengan sempoyongan, wajahnya pucat, rambutnya kusut dan tiap kali pemuda itu meraba jidatnya, jidat itu makin panas saja.

“Adik Yang, kau terlalu banyak berduka. Itulah yang menyebabkan menyakitmu. Bersabarlah dan tunggu sampai ayah pulang, tentu kau akan mendapat kesempatan berkumpul kembali dengan ayah bundamu dan dan

hidup kita akan berbahagia, sebagai suami isteri yang rukun ”

“Tutup mulutmu dan pergi!” Siauw Yang membentak, menangis dan menjatuhkan diri ke atas dipan, “Aku mau mati saja, aku mau mati    !” Kemudian, tiba tiba gadis itu

menggigil dan mengaduh aduh. “Aduh dingin     dingin

sekali !”

Tentu saja Eng Kiat menjadi sibuk. Pemuda ini berlari keluar dan tak lama kemudian ia masuk kembali, membawa sehelai selimutnya yang tebal dan semangkuk obat yang disediakan sejak tadi.

“Adik Yang, peliharalah dirimu. Minum obat ini lalu tidurlah, tutup tubuhmu dengan selimut tebal ini. Kalau kau sudah berkeringat, tentu demam itu akan lenyap,” katanya. Dengan tangan gemetar, Siauw Yang menerima pemberian selimut dan obat itu

“Keluarlah, biarkan aku seorang diri. Obat akan kuminum di akhirat setelah aku mati, sebagai tanda terima kasihku “

“Eh, apa maksudmu?”

“Pergi, biarkan aku mati !” Setelah berkata demikian. Siauw Yang melemparkan mangkok obat itu ke atas lantai sehingga obatnya tumpah, lalu ia menggunakan selimut tebal tadi untuk menyelimuti tubuhnya dari kepala sampai ke kaki.

Eng Kiat tercengang, akan tetapi melihat gadis itu mau berselimut, hatinya terhibur juga dan ia pergi meninggalkan Siauw Yang.

Sehari itu, Siauw Yang tidak mau makan, tidak mau bicara, bahkan tidak pernah keluar dan dalam selimut. Beberapa kali Eng Kiat datang menengok dan mengajaknya bicara, akan tetapi melihat gadis itu tidur di dalam selimut dan bagian dada turun naik dengan tenang, ia menjadi lega dan mengira bahwa gadis itu tentu tertidur dan sudah sembuh kembali. Setelah malam tiba dan melihat Siauw Yang masih tertidur berkerudung selimut, hatinya lega sekali. Dipasangnya lampu minyak lemak ikan, ditaruhnya lampu kecil itu di atas meja yang dibuatnya secara kasar, kemudian lu meninggalkan kamar pondok setelah menutupkan pintunya. Betapapun juga, ia tidak kehilangan kehati hatiannya dan segera menuju ke tempat ia bermalam semenjak ia dan Siauw Yang berada di situ, yakni di dalam perahu dekat pantai. Jalan satu satunya bagi Siauw Yang untuk melarikan diri hanya perahu itu, dan kalau ia tidur di dalam perahu, tak mungkin gadis itu dapat melarikan diri, pikirnya. Sementara itu, di dalam pondok Siauw Yang memutar otaknya yang cerdik. Memang ada keharuan di dalam dadanya melihat betapa betul betul pemuda itu mencintanya, akan tetapi karena ia sudah melihat dasar watak pemuda itu, sedikiipun ia tidak menaruh belas kasihan kepadanya. Rencananya berhasil baik sejauh itu dan ia hanya menanti waktu baik saja.

Menjelang tengah malam, ketika untuk kesekian kalinya Eng Kiat datang menjenguknya, Siauw Yang dari dalam selimunya berkata kata seperti orang mengigau.

“Tidak ada kematian lebih enak daripada menjadikan mangsa api. Menjadi abu, beterbangan bebas, nyaman sekali ”

Eng Kiat membelalakkan mata, dan melihat gadis itu di dalam selimut bergerak gerak seperti menggeliat, lalu menarik napas panjang dan napas nya tenang kembali. Ia tersenyum. Ia mengigau, pikirnya dan setelah menanti sampai beberapa lama mendapat kenyataan bahwa gadis itu benar benar telah pulas dengan enaknya, Eng Kiat menjadi lega dan kembali ke perahunya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa bayangan Siauw Yang mengikutinya dengan diam diam. Gadis yang tinggi ilmu ginkangnya ini melompat keluar dari pondok dan mengintai ke arah pemuda itu. Selelah mendapat kenyataan bahwa benar benar Eng Kiat sudah masuk kembali ke dalam perahu yang berada di pantai dan merebahkan diri di dalam perahu untuk tidur Siauw Yang cepat cepat kembali ke pondok. Ia segera mencari sebatang balok pohon yang masih banyak terdapat di depan pondok, sisa dari bahan bangunan pondok yang ditebang oleh Eng Kiat. Ia mencari balok yang sebesar tubuh manusia demikian pula panjangnya. Dengan hati hati ia meletakkan balok itu di atas dipan, lalu menyelimutinya. Ditanggalkannya baju yang dipakainya, dan ditutupkan pada balok di bawah selimut, dan sengaja mengeluarkan sedikit ujung baju itu di luar selimut. Dilihat begitu saja, memang kelihatan seperti dia sendiri yang masih tidur di bawah selimut itu. Cepat ia memakai pakaian yang diambil dari buntalannya, keluar sebentar untuk mencari beberapa buah batu karang kecil untuk senjata rahasia kemudian ia mempergunakan api lampu kecil di atas meja untuk membakar pondok dari belakang! Setelah itu, cepat sekali ia berlari dan melompat ke dalam gelap, terus menuju ke pantai di mana Eng Kiat masih tidur di dalam perahu nya. Ia bersembunyi di belakang pohon tak jauh dan pantai sambil memandang ke arah perahu dengan hati berdebar tegang. Berhasilkah nanti rencana dan siasatnya yang sudah diatur sebaik baiknya itu?

Suara bambu terbakar meledak dan tiba tiba Eng Kiat melompat bangun dari dalam perahu. Ia memandang ke sekeliling dan terlihatlah asap mengebul di antara cahaya merah dari arah pondok.

“Siauw Yang.... ! Kebakaran     !” Semangat pemuda ini

seakan akan terbang meninggalkan raganya karena ia teringat akan suara Siauw Yang ketika mengigau tadi. Bukankah dalam igauannya gadis itu menyatakan bahwa mati menjadi mangsa api amat senang?

“Celaka, jangan jangan dia bunuh diri dengan membakar pondok!” pikirnya dan tanpa banyak pikir lagi, Eng Kiat lalu melompat dan berlari cepat sekali menuju ke pondok yang terbakar.

Hampir berbareng, Siauw Yang pun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan cepat ia merenggut putus tali perahu yang diikatkan pada batu karang. Ia tidak mau membuang waktu lagi, cepat diambilnya dayung yang terletak di dalam perahu dan didayungnya perahu itu ke tengah laut. Setelah berada di air yang dalam dan merasai sambaran angin malam, ia lalu memasang layar dan meluncurlah perahu kecil itu melawan ombak, ia bebas!

Sementara itu, Eng Kiat telah tiba depan pondok. Pondok itu telah mulai terbakar di bagian belakangnya dan kini telah merembet ke tengah, Eng Kiat membuka pintu depan dan dilihatnya Siauw Yang masih tidur dalam selimut, seakan akan tidak tahu dan tidak merasa bahwa pondok sudah terbakar sebagian.

“Siauw Yang.... !” teriak Eng Kiat dengan lega karena ternyata bahwa gadis itu belum terbakar. Ia melompat dan cepat menyambar “tubuh” di dalam selimut itu, dipondong bersama selimutnya. Akan tetapi alangkah kadetnya ketika ia merasa bahwa yang dipondongnya itu adalah benda keras yang membujur kaku. Cepat disingkapkan selimutnya dan ternyata bahwa di bawah selimut itu bukanlah tubuh Siauw Yang, melainkan sebatang kayu balok.

“Tertipu aku kali ini,” serunya mendongkol sambil melemparkan balok itu ke dalam api yang menyala. Dengan cepat ia berlompat lompatan dan mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk lari ke pantai. Benar saja seperti yang dikhawatirkan, perahunya telah lenyap.

“Siauw Yang.... ! Jangan kau lari.... !” teriaknya ketika melihat bayangan perahu di bawah sinar bulan suram telah meluncur jauh di tengah samudera. Tanpa banyak ragu lagi ia lalu melompat ke dalam air dan berenang secepatnya. Akan tetapi, Siauw Yang ketika melihat betapa pemuda itu hendak mengejarnya, segera menggerakkan kedua tangannya dan banyak sekali benda benda hitam menyambar ke arah tubuh Eng Kiat.

Pemuda itu terkejut sekali ketika tiba tiba hidungnya terasa sakit sekali. Ia meraba dan hidungnya telah pecah tertimpuk batu karang, ia memiliki pendengaran terlatih dan tajam, akan tetapi oleh karena ia sedang berenang maka suara air terpukul kaki tangannya membuat ia tidak dapat mendengar datangnya senjata rahasia itu. Ia mengutuk dan cepat menyelam akan tetapi ketika ia timbul kembali, perahu itu telah memasang layar dan terdorong oleh angin sehingga meluncur amat cepatnya. Tak mungkin lagi baginya untuk mengejar.

Sambil menyumpah nyumpah diri sendiri karena kebodohannya Eng Kiat berenang ke tepi laut dan mengobati hidungnya yang pecah kutilnya.

“Awas kau, siluman rase. Kalau kau sampai tertawan lagi olehku, akan kubalas dendam ini!” Pada saat itu, lenyaplah kasih sayangnya kepada Siauw Yang, terganti oleh dendam yang hebat. Ia membayangkan pembalasan dendam yang sengeri ngerinya yang dapat diderita oleh gadis itu.

Dua hari Siauw Yang berlayar terus tanpa berani berhenti karena khawatir kalau kalau Eng Kiat mengejarnya. Ia masih belum memegang senjata, maka hal itu berarti bahwa ia belum dapat membela diri dengan baik apabila ia bertemu dengan pemuda itu, apalagi bertemu dengan tung hai Sian jin.

Setelah perutnya terasa lapar sekali, barulah ia terpaksa mendarat ke sebuah pulau kecil dan tak lama kemudian ia melihat Pun Hui yang berperahu sambil memanggil manggil namanya. Hal ini telah dituturkan di bagian depan.

Demikianlah, ia menuturkan semua pengalamannya itu kepada Pun Hui, juga tentang Eng Kiat yang tergila gila kepadanya, tidak ada yang disembunyikannya. Hanya satu hal tidak ia ceritakan, yakni bahwa Eng Kiat pernah menciumnya ketika ia mencoba untuk mengakalinya. Sampai saat ini kalau ia teringat akan perbuatan Eng Kiat itu, wajahnya menjadi merah dan otomatis telapak tangannya mengusap usap pipinya dengan keras, seakan akan hendak membersihkan noda yang mengotori pipinya.

“Kasihan sekali Bong Eng Kiat....” kata Pun Hui setelah mendengar penuturan itu. Siauw Yang memandang heran.

“Eh, Liem suheng. Kau masih bisa menaruh hati kasihan kepada seorang jahanam seperti dia?”

“Memang dia jahat, sumoi, dan kejahatannya itu pada suatu saat tentu akan membawanya ke jurang malapetaka. Akan tetapi aku kasihan sekali mendengar dia begitu mati matian mencintaimu. Tidak ada derita yang lebih hebat daripada cinta kasih tak terbalas.”

Siauw Yang tersenyum dan wajahnya memerah ketika ia memandang tajam kepada pemuda sastrawan ini.

“Eh, eh, Liem suheng. Kau bicara seperti seorang kakek yang sudah banyak pengalaman saja.”

“Memang aku sudah mempunyai banyak pengalaman dalam hidup, baik yang kualami sendiri maupun yang kubaca di dalam buku.”

“Hemmm, kalau begitu, tidak aneh namanya kau bisa menyatakan hal seperti kaukatakan mengenai diri Eng Kiat tadi. Tentu kau sudah pernah mengalaminya sendiri, bukan begitu, suheng?”

“Mengalami apa, sumoi?”

“Bahwa.... bahwa kau pernah mengalami cinta kasih yang tak terbalas ”

Berobah wajah Pun Hui, ketika ia memandang kepada gadis itu, akan tetapi ketika ia bertemu pandang dengar Siauw Yang tiba tiba wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya.

“Dalam hal ini... . aku.... aku belum mengalami sendiri....” Ia berhenti sebentar lalu memandang tajam kepada Siauw Yang dan melanjutkan, “bukan tak pernah aku mencinta orang, akan tetapi.... aku tidak tahu apakah cinta kasihku terbalas atau tidak ”

Siauw Yang adalah seorang gadis yang cerdik sekali, ia telah dapat menduga bahwa pemuda inipun, seperti Eng Kiat, tergila gila kepadanya. Akan tetapi ia tahu pula bahwa dibandingkan dengan Eng Kiat, pemuda ini lain lagi. Perbedaan antara Eng Kiat dan Pun Hui laksana bumi dan langit. Kalau Eng Kiat berkepandaian silat tinggi dan merupakan seorang pemuda kasar liar seperti seekor harimau ganas, adalah Pun Hui seorang pemuda halus sopan santun seperti seekor domba jinak. Eng Kiat menyatakan cintanya dengan begitu saja, tanpa tedeng aling aling, secara kasar, bahkan tidak ragu ragu untuk menonjolkan gairah dan berahinya. Sebaliknya, biarpun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam memikirkan dirinya, Pun Hui sampai lupa makan lupa tidur dan berani mati merantau seorang diri di tengah laut di antara pulau pulau kosong, namun untuk menyatakan cinta kasihnya. Pun Hui masih ragu ragu, terhalang oleh kesusilaan dan sopan santun.

Kini setelah percakapan mereka mendekati persoalan hati dan perasaan, Siauw Yang merasa tidak enak sendiri. Entah bagaimana, terhadap Pun Hui yang bersikap sopan santun, halus dan lemah lembut, ia tidak percaya akan kekuatan hati sendiri. Maka cepat cepat ia mengalihkan percakapan kepada persoalan lain, “Liem suheng, biarpun kau masih lemah dan belum kembali tenagamu, terpaksa kita harus segera berangkat. Aku percaya bahwa Eng Kiat takkan tinggal diam saja dan kalau dia dapat mengejar kita, sukarlah untuk melawannya tanpa pedang di tanganku”

“Baiklah, sumoi. Memang untuk apa sih lama lama tinggal di tempat ini? Mari kita kembali ke barat, ke daratan yang aman menyusul kakakmu yang sudah mendarat lebih dulu. Memang saudaramu itu tentu akan kembali ke sini lagi mungkin bersama orang tuamu. Akan tetapi, menanti mereka amatlah berbahaya dan siapa tahu kalau kalau kita akan bertemu dengan mereka di tengah perjalanan,” jawab Pun Hui.

Dua orang muda itu lalu berlayar pergi, kini mempergunakan perahu yang ditumpangi oleh Pun Hui, karena perahu ini jauh lebih baik daripada perahu buatan Eng Kiat yang kasar dan sederhana. Sebentar saja mereka telah meninggalkan pulau kosong itu tanpa mampir di Sam liong to, karena untuk apakah mampir di pulau yang telah ditinggalkan oleh penghuninya itu?

Pun Hui nampak gembira sekali setelah kini ia dapat melihat Siauw Yang berada dalam keadaan selamat. Kesehatannya pulih kembali, karena sebenarnyapun ia tidak sakit apa apa, hanya kurang makan dan kurang tidur belaka.

Sekarang kita mengikuti perjalanan Song Tek Hong, pemuda gagah perkasa yang turun dari Sian hoa san untuk kembali ke Tit le, ke rumah orang tuanya yang telah dibakar habis oleh Lam hai Lo mo. Agak lega hatinya karena supeknya, yakni Sin pian Yap Thian Giok bersama nenek gurunya, Mo bin Sin kun telah berangkat menuju ke Pulau Sam liong to. Ia percaya bahwa dengan bantuan dua orang tua yang sakti ini tentu Siauw Yang akan tertolong. Ia perlu kembali lebih dulu ke Tit le, kerena ia masih belum tahu ke mana perginya ayah bundanya. Siapa tahu kalau kalau telah pula pulang ke Tit le atau setidaknya, kalau mereka belum pulang, ia dapat meninggalkan pesanan kepada tetangga atau meninggalkan surat untuk ayah bundanya, menceritakan segala peristiwa yang terjadi.

Tiga hari kemudian ia tiba di sebuah padang rumput yang sunyi. Ia melakukan perjalanan amat cepat karena hendak segera tiba di kampungnya. Setelah padang rumput terlewat, ia mulai menyeberangi daerah yang berbukit dan berbatu. Perjalanan melalui daerah ini amat sukar dan sulit, karena tidak ada jalan raya dan ia harus melakukan perjalanan melalui jalan liar yang berbatu batu dan berlubang lubang. Kalau tidak hati hati, orang yang melalui jalan ini bisa tergelincir dan tersandung batu atau terjeblos ke dalam lubang yang tertutup oleh bulu bulu kecil. Juga keadaan di sini amat sunyi dan panas, tak kelihatan seorang pun manusia lewat.

Belum lama Tek Hong melewati daerah ini, ttba tiba dari depan berkelebat bayangan orang dan tahu tahu seorang tua bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang tongkat panjang kepala naga (liong touw tung) telah berdiri di hadapannya.

Tek Hong terkejut sekali ketika melihat bahwa orang ini bukan lain adalah Tung hai Sian jin! Ia sudah tahu bahwa kakek ini adalah orang yang memusuhi ayahnya, maka bertemu di tempat sunyi seperti ini dengan tokoh laut timur ini, sungguh bukan hal yang menyenangkan.

Namun Tek Hong tidak menjadi gentar hanya menegur dengan suara tenang, “Tung hai Sian jin, setelah kau menawan adikku Siauw Yang, sekarang kau menghadang perjalananku, ada keperluan apakah?” Tung hai Sian jin tertawa bergelak, menggerak gerakkan tongkatnya dan tahu tahu tongkat itu menghantam sebuah batu karang besar di sampingnya. Terdengar suara keras dan batu karang itu terbelah dua! Diam diam Tek Hong kagum menyaksikan demonstrasi tenaga yang luar biasa ini dan mengeluh bahwa ia tak mungkin dapat menangkan kakek sakti ini.

“Ha, ha, ha! Dasar keturunan Thian te Kiam ong, yang perempuan tinggi hati dan tabah, yang laki laki sombong dan berani! Anak muda, kalau aku mau menyerangmu, apa kaukira akan dapat melawanku? Ha, ha, ha!”

“Menang kalah bukannya soal, orang tua. Yang penting siapa berpegang kepada kebenaran dialah yang menang!” jawab Tek Hong.

Kembali Tung bai Siang jin tertawa besar.”Ha, ha, ha! Kau benar sekali. Oleh karena itu akupun sekarang hendak berpegang kepada kebenaran dan aku bertemu dengan kau ini bukan kusengaja. Akan tetapi bukannya tidak kebetulan, karena memang aku sedang mencari cari ayah bundamu. Karena mereka tidak ada di Tit le, kau sebagai kakak dari adikmu perempuan dapat juga menjadi wakil orang tuamu.”

Berdebar hati Tek Hong. Apakah kehendak kakek ini hendak menemui ayah bundanya? Kalau hendak mengadu kepandaian, terang tidak mungkin karena kakek ini sudah pernah kalah oleh ayalnya dan ia percaya bahwa kalau bertempur lagi, kakek ini tetap saja takkan dapat menangkan ayahnya.

“Apa kehendakmu hendak bertemu dengan ayah?” tanyanya.

“Dengarlah kau, orang muda yang mewakili ayah bundamu. Adik perempuanmu telah berada bersama kami, dan kebetulan sekali puteraku cinta kepadanya. Memang aku lihat mereka berdua pantas sekali menjadi suami isteri, maka aku sekarang datang dengan maksud baik, yakni hendak meminangnya dan minta persetujuan kedua orang tuamu agar adik perempuanmu itu menjadi isteri Eng Kiat puteraku.”

“Tung hai Sian jin, tak ada aturan seperti ini! Bukankah dahulu kau pernah mengajukan pinangan dan ditolak oleh adikku dan orang tuaku? Bagaimana kau sekerang ada muka untuk mengajukan pinangan lagi?”

Merah wajah Tung hai Sian jin. “Sombong! Apa kaukira darah keluargamu lebih bersih dari pada darah kami? Soal pinangan dulu dan sekarang lain lagi. Adikmu sudah suka dengan anakku dan sekarang adikmu bersama kami.”

“Hm, kau mau melakukan paksaan dan berani menawan adikku?” Tek Hong menuduh dengan berani dan marah.

“Aku hanya minta perkenan dan persetujuanmu sebagai wakil orang tuamu, bukan hendak berbantah dan banyak mengobrol, orang muda. Pilih saja, kau akan melihat adikmu mati penasaran tanpa ada orang yang tahu ataukah melihat adikmu hidup berbahagia sebagai mantuku?”

Biarpun dadanya merasa meledak saking marahnya, namun Tek Hong bukanlah seorang bodoh, ia mengerti betul bahwa kakek ini hendak mempergunakan paksaan terhadap adiknya dan ia tidak tahu bagaimana nasib Siauw Yang. Tentu saja ia tidak sudi untuk menerima pinangan itu tanpa menanya isi hati Siauw Yang dan tanpa minta persetujuan orang tuanya, akan tetapi menolak begitu sajapun tidak baik karena mungkin sekali akan membahayakan nyawa adiknya.

“Tung hai Sian jin, biarpun aku adalah kakak dari Siauw Yang, namun dalam hal perjodohannya aku tidak berhak 

memutuskan. Ayah bundaku masih hidup dan aku harus minta persetujuan mereka lebih dulu. Lebih baik kau mencari mereka, dan mendengar keputusan mereka.”

“Di mana mereka?”

“Aku sendiri pun sedang mencari mereka, karena rumah kami telah dibakar oleh iblis tua Lam hai Lo mo.”

Tung hai Sian jin tertawa bergelak gelak. “Ha, ha, ha! Lam hai Lo mo memang iblis tua, aku setuju kau menyebutnya demikian. Orang tuamu tentu mencarinya dan aku tidak perduli akan semua itu, bukan urusanku! Lebih baik kau sekarang ikut adikmu dengan puteraku. Setelah itu, bukankah aku menjadi besanmu? Dengan ikatan keluarga, berarti aku adalah orang tuamu sendiri, dan setelah anakku kawin dengan adikmu, jangan kau khawatir, urusan Lam hai Lo mo si iblis tua, serahkan saja kepadaku! Aku yang akan bikin buntung sebelah kakinya lagi.”

Tek Hong mengerutkan keningnya. Soal membalas dendam kepada Lam hai Lo mo adalah urusan yang kecil tak berarti apabila dibandingkan dengan urusan perjodohan Siauw Yang karena hal ini adalah penentuan nasib dari adiknya.

“Tidak mungkin, lo cianpwe. Aku tidak berani menjadi wakil orang tuaku dalam hal ini. Lebih baik kau mencari ayah bundaku untuk urusan itu.”

Melototlah mata Tung hai Sian jin.

“Apa? Kau berani membantah kehendakku? Apa kau ingin melihat tongkatku mengamuk? Apa kau berani melawanku?”

“Tung hai Sian jin, mungkin sekali kepandaianmu jauh lebih lihai daripada kebisaanka yang sedikit, akan tetapi 

demi mempertahankan kehormatan adikku, aku bersedia mengorbankan nyawa!” kata Tek Hong dengan sikap gagah.

“Kalau begitu, biarlah aku membawa kepalamu sebagai saksi perkawinan adikmu!” bentak kakek itu yang cepat menyerang dengan tongkatnya, biarpun ia belum mencabut pedangnya, namun Tek Hong sudah waspada dan siap sedia, ia telah menduga akan datangnya serangan yang luar biasa hebatnya, maka cepat ia melompat ke belakang menghindarkan diri dari serangan maut itu, sambil mencabut pedangnya, ia juga marah dan sakit hati sekali, apalagi ketika ia melihat pedang adiknya, yakni pedang Kim kong kiam yang sebetulnya adalah pedang ayahnya, kini nampak tergantung di pinggang orang tua itu.

“Aku bersedia mengadu nyawa denganmu!” katanya gagah dan ketika tongkat kepala naga itu menyambar lagi, ia cepat mengelak sambil mengirim serangan balasan.

Tek Hong maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh dan lihai, maka serentak ia mainkan Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut dari ayahnya. Pedangnya berobah menjadi segulung sinar keputihan yang amat menyilaukan mata, bergulung gulung dan bergerak gerak cepat sekali, merupakan sebuah benteng yang amat kuat, juga kadang kadang pedang itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.

Diam diam Tung hai Sian jin harus mengagumi kegagahan pemuda ini biarpun gerakan pemuda ini tidak selincah adiknya dan ilmu pedangnya juga tidak selihai Siauw Yang, namun pemuda ini lebih menang dalam tenaga lweekang dan juga lebih tenang permainan silatnya sehingga ia mempunyai pertahanan yang amat tangguh, ia mengerahkan tenaga dan mainkan tongkatnya demikian cepat dan kuatnya sehingga tongkat yang gagangnya merupakan kepala naga itu benar benar seperti berubah menjadi seekor naga mengamuk. Batu batu kecil dan pasir berhamburan dan bunga api berpijar tiap kali ujung tongkatnya beradu dengan pedang atau menghantam batu batu karang di sekitar tempat itu. Angin pukulan tongkatnya mendatangkan hawa dingin yang membuat Tek Hong terdesak mundur terus.

Pemuda ini kalah kuat dan juga kalah pengalaman, sehingga dalam pertempuran ini, akhirnya ia hanya dapat mempertahankan diri saja, tanpa diberi kesempatan untuk membalas karena selalu dihalangi oleh tongkat yang lebih panjang daripada pedangnya.

Tung hai Sian jin tertawa berkakakan. Sambil mendesak hebat, berkali kali ia bertanya,

“Tidak mau menyerahkah, kau? Apa sukarnya menjadi wakil orang tua untuk menyaksikan pernikahan adikmu? Kau akan dihormati dan mendapat suguhan arak paling istimewa!”

Namun sebagai jawaban, Tek Hong hanya mainkan pedangnya makin gencar dan membalas serangan sedapat mungkin dengan hati gemas.

Akhirnya Tung hai Sian jin maklum pemuda ini tidak mengenal kompromi dalam urusan itu. Adiknya keras hati, kakaknya keras kepala, apalagi orang tuanya! Ia tidak mempunyai harapan besar untuk mendapat persetujuan keluarga dari Siauw Yang tentang perjodohan itu dan tentu akan terjadi permusuhan dan kekerasan. Kalau sampai terjadi demikian, ada baiknya membinasakan pemuda ini sehingga berkuranglah tenaga yang berbahaya di fihak musuh.

“Baiklah kalau kau memang lebih luka mati!” bentaknya dan kini tongkatnya mendesak makin hebat sehingga Tek Hong dipaksa mundur jauh. Malang baginya, di belakangnya terdapat tumpukan batu batu kecil yang ketika diinjaknya, ternyata bahwa batu batu itu menutupi sebuah lubang di tanah. Tak dapat dicegah lagi karena perhatiannya ditujukan kepada tongkat lawan yang selalu mengancam, tubuh pemuda itu terjeblos ke dalam lubang yang dalamnya sampai ke pinggangnya.

“Ha, ha, ha! Kau seperti tikus dalam jebakan!” Tung hai Sian jin memburu sambil mengayun tongkatnya ke arah kepala pemuda itu.

Tek Hong cepat menundukkan kepalanya dan merendahkan diri ke dalam lubang. Tongkat itu lewat menyambar di atas kepalanya, memukul batu batu di pingir lubang itu. Kembali Tung hai Stan jin menyerang, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Tek Hong untuk keluar dari lubang itu. Namun pemuda ini memang patut diuji keuletannya. Kedudukannya sudah amat payah dan terancam, ia tidak mendapat kesempatan keluar dari lubang sehingga ia hanya dapat menangkis datangnya sambaran tongkat atau mengelak dengan cara merendahkan tubuh dan bersembunyi di dalam lobang itu.

Tung hai Sian jin tertawa bergelak, namun diam diam ia menjadi gemas sekali. Tiap kali ia menyerang, kakinya menendang batu batu kecil yang berhamburan memasuki lubang itu, makin lama makin banyak sehingga batu batu kecil itu menutupi kedua kaki Tek Hong. Pemuda ini tak dapat menggerakkan kedua kakinya, akan tetapi tetap saja pedangnya merupakan perisai yang amat kuat.

“Trang! Trang! Trang! Pedangnya selalu dapat menangkis tiap kali tongkat kepala naga itu menyambar ke arah kepalanya yang pasti akan dapat menghancurkan kepalanya dengan sekali pukul saja. Tung hai Sian jin ketika melihat betapa kedua kaki pemuda itu tak dapat bergerak lagi, menjadi makin gembira dan memertawakan sebagai orang gila. Ia menendangi batu batu dan pasir makin banyak lagi sehingga kini tubuh bagian bawah dari Tek Hong telah terpendam. Kalau saja lubang itu lebih dalam lagi, tentu ia akan terkubur hidup hidup. Kinipun ia terkubur hidup hidup setengah badannya, dari kaki sampai ke punggungnya.

Tung hai Sian jin melompat ke belakang, menghapus peluhnya yang membasahi leher dan jidatnya. Ia merasa lelah sekali karena pukulannya selalu kena ditangkis, ia heran sekali atas kekuatan dan keuletan Tek Hong, karena untuk menangkis tongkatnya dibutuhkan tenaga ratusan kati besarnya. Bukan main kuatnya putera Thian te Kiam ong ini dan ia tahu bahwa Eng Kiat puteranya takkan dapat menangkan pemuda ini dalam pertempuran.

“Apakah kau masih belum mau menerima permintaanku?” tanyanya.

Tek Hong hanya menggelengkan kepala sambil memandang dengan mata terbelalak marah. Untuk mempertahankan nama baik orang tuanya dan kehormatan adiknya, ia tidak takut menghadapi maut. Sebetulnya telapak tangan kanan Tek Hong sudah matang biru panas dan perih sekali. Tangkisan tangkisannya terhadap pukulan tongkat amat berat dan membuat tangannya sakit, akan tetapi ia tidak mau tunduk biarpun andaikata tangannya akan hancur lebur.

“Aku lelah dan ingin mengaso. Sekarang aku tidak akan menyerangmu dengan tongkat lagi, melainkan mempergunakan dada dan kepalamu sebagai sasaran latihan melempar batu,” kata Tung hai Sian jin gemas, ia benar saja duduk mengaso di bawah sebuah batu karang tinggi, kemudian ia mengambil batu batu karang sebesar kepala manusia dan melemparkan batu batu itu ke arah Tek Hong. Pemuda ini menangkis dengan pedangnya dan merasa betapa tangan sampai ke pundaknya tergetar dan sakit sekali. Ia maklum bahwa tenaga lemparan memang lebih berbahaya dan lebih kuat daripada tenaga pukulan, dan tahu bahwa kakek itu hendak menyiksanya, melempari batu sampai ia tidak kuat dan kepalanya akan pecah terpukul batu. Namun tidak sepatahpun keluhan keluar dari mulutnya. Tetap ia mempergunakan pedangnya menangkis datangnya setiap batu yang menyambarnya dengan kuat dan cepat.

Tangannya sudah mulai gemetar dan ia dapat menangkis bahwa paling banyak ia hanya akan kuat menangkis belasan kali lemparan batu legi.

Benar saja, setelah ia menangkis untuk ketigabelas kalinya, tangannya menjadi kaku dan pedangnya ketika beradu dengan batu itu, terlepas dari pegangannya dan terlempar ke samping bersama batu itu yang terkena tangkisan.

“Ha, ha, ha, kini aku hendak melihat apakah kau masih dapat menggunakan tanganmu untuk menangkis.” kata Tung hai Sian jin tertawa bergelak gelak. Agaknya kakek ini gembira dan senang sekali melihat permainannya. Pemuda ini terpaksa mempergunakan tangan kirinya menyampok dan ia masih dapat membuat batu itu menggelinding jauh tanpa terluka. Ia dapat mempergunakan tangan kirinya menjadi perisai. Namun, baru lima kali ia menangkis, kulit lengan kirinya sudah mulai berdarah karena lecet oleh batu itu ketika ia menangkis.

Keadaannya sudah berbahaya sekali dan ajaknya dua tiga kali lemparan lagi, ia takkan kuat menahan. Akan tetapi, ketika batu yang besar kembali melayang, tiba tiba batu itu terhenti di tengah jalan, jatuh terpental setelah 

bertumbuk dengan lain batu dan mengeluarkan bunga api. Ada orang lain yang melempar batu menangkis serangan itu.

“Tua bangka kejami Kau benar benar iblis berwajah manusia,” terdengar bentakan halus dan nyaring menyusul lemparan batu yang menangkis batu Tung hai Sian jin. Sesosok bayangan merah berkelebat dan seorang gadis cantik berpakaian merah yang memegang sebatang pedang berkilau tajam berdiri di situ, menghadapi Tung hai Sian jin yang sudah bangkit berdiri dengan marah.

Ketika melihat gadis ini, Tung hai Sian jin marah sekali, sebaliknya Tek hong memandang girang. Gadis baju merah itu bukan lain adalah gadis jelita yang galak, gadis yang dulu dikeroyok oleh tiga orang tokoh Go bi pai.

“Kau lagi?” bentak Tung hai Sian jin sambil tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya bersinar marah sekali. “Gadis liar, kau selalu mencampuri urusanku. Pergi sebelum aku lupa bahwa kau adalah murid sahabatku dan tongkatku akan menamatkan riwayatmu di sini!”

“Pergi dan membiarkan kau melakukan perbuatan keji terhadap orang lain? Enak saja kau bicara orang tua siluman,” jawab gadis itu yang bukan lain adalah Siang Cu. Berkata demikian, ia lalu menghampiri Tek Hong yang masih setengah terpendam batu batu dan pasir. Tanpa berkata sesuatu dan dengan pandangan mata tak acuh, gadis ini mengulur tangan hendak menangkap tangan Tek Hong untuk ditariknya keluar.

Akan tetapi, Tung hai Sian jin sudah melompat dan mengayun tongkat kepala naganya menyerang. “Biarlah kalian berdua mampus di sini !” serunya.

Serangan itu hebat sekali dan karena Siang Cu sudah maklum akan kelihaian kakek ini, ia terpaksa membatalkan 

niatnya menarik keluar tubuh Tek Hong dan sambil menggerakkan pedang ia membalikkan tubuhnya, menangkis pukulan dahsyat itu.

”Traang!” Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu. Belum lenyap gema suara senjata beradu ini, secepat kilat Siang Cu sudah membalas dengan sebuah tusukan ke arah dada lawannya. Gerakannya ganas dan cepat sekali sehingga Tung hai Sian jm terpaksa cepat melompat mundur karena untuk menangkis tusukan ini sudah tidak ada waktu lagi.

Hebat, pikir Tung hai Sian jin, murid Lam hai Lo mo ini benar benar ganas sekali ilmu pedangnya. Karena itu, ia berlaku hati hati sekali untuk menghadapi gadis ini.

Adapun Siang Cu tidak mau berlaku lambat. Melihat lawannya melompat mundur, iapun segera mendesak dan mengirim serangan dengan amat gencar dan serunya. Pedangnya berkelebat kelebat merupakan gulungan sinar hijau. Cheng hong kiam merupakan pedang pusaka simpanan istana kaisar, maka tajam dan kuat sekali. Dalam beberapa belas jurus saja, ketika ujung tongkat bertemu dengan pedang dalam benturan keras, Tung hai Sian jin merasakan getaran pada tangannya dan ketika ia melihat, ternyata bahwa lidah kepala naga dari gagang tongkatnya yang tadi dipakai untuk memukul dan ditangkis oleh Siang Cu, telah putus.

“Gadis liar, kau berani merusak lidah nagaku? Tunggu akan kuhancurkan kepalamu yang keras!” bentak Tung hai Sian jin marah sekali dan tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga Siang Cu seakan akan terkurung dari empat jurusan.

“Sebentar lagi kepalamu yang putus, bukan lidah tongkat kepala nagamu,” kata Siang Cu dengan nada menyindir, iapun memutar pedangnya lebih cepat lagi, namun sebentar saja ia harus akui kelihaian kakek itu karena betapapun cepatnya ia menggerakkan pedangnya, tetap saja sinar pedangnya tertindih dan ia terkurung dan terdesak hebat oleh tongkat itu.

Sementara itu, Tek Hong yang melihat betapa gadis baju merah itu bertempur mati matian melawan Tung hai Sian jin yang lihai, menjadi amal khawatir akan keselamatan gadis itu. Ia menahan napas, mengumpulkan tenaga lalu berusaha keluar dan pendaman batu itu. Baiknya ia tidak terluka, hanya kulit lengannya saja yang lecet dan perih, maka selelah ia mengerahkan tenaga, ia berhasil juga keluar dari tumpukan batu dan pasir di dalam lubang itu. Ia segera mengambil pedangnya yang tadi terlempar oleh tumpukan batu, lalu mangatur napasnya untuk memulihkan tenaga.

“Tung hai Sian jin, kau hanya berani menghina orang orang muda. Rasakan pembalasanku!” seru Tek Hong yang cepat melompat dan menyerbu kakek itu, mengeroyoknya bersama gadis baju merah. Siang Cu melihat bantuan ini tanpa mengeluarkan kata kata, juga tidak kelihatan perubahan pada mata dan mukanya. Padahal tentu saja ia merasa lega bahwa pemuda itu pada saat yang tepat datang membantunya.

Sebaliknya, Tung hai Sian jin menjadi makin marah dan penasaran sekali. Setelah kini Tek Hong turun tangan, ia mendapat lawan yang amat berat. Menghadapi seorang saja di antara dua orang muda itu, ia yakin pasti akan menang. Akan tetapi kalau dua orang muda ini bergabung menjadi satu, benar benar ia menghadapi lawan yang tangguh sekali. Ilmu pedang Tek Hong sudah bukan rahasia lagi merupakan ilmu pedang yang disebut raja ilmu pedang pada waktu itu, lihainya bukan main dan kuat sekali pertahanannya. Adapun ilmu pedang Siang Cu adalah ilmu pedang yang diajarkan oleh Lam hai Lo mo si iblis tua, ganas dan cepatnya mengerikan sekali. Lebih lebih lagi karena dua orang muda itu amat cerdik, tahu akan sifat dari permainan pedang masing masing sehingga dalam pengeroyokan ini, Tek Hong lebih banyak menggunakan pedangnya menahan serangan Tung hai Sian jin, sebaliknya Siang Cu lebih banyak menggunakan pedangnya untuk menyerang dengan gerak tipu gerak tipu yang dahsyat dan berbahaya bagi keselamatan lawan.

Pedang Cheng hong kiam di tangan Siang Cu merupakan pedang yang amat berbahaya sehingga Tung hai Sian jin jarang berani menangkis dengan tongkatnya kalau tidak terpaksa sekali. Hal ini membuat ia harus bergerak lebih cepat lagi dan amat melelahkan tubuhnya yang sudah tua.

Puluhan jurus tewat dan akhirnya Tung hai Sian jin terdesak hebat. Sebuah tusukan yang cepat sekali dan Siang Cu hampir saja menembus dadanya. Biarpun kakek ini sudah cepat miringkan tubuh, tetap saja ujung pedang melanggar bajunya dan terdengar suara kain terobek ketika pedang itu melubangi bajunya. Tung hai Sian jin melompat ke belakang sambil memutar tongkat di depan tubuhnya, ia mengeluarkan keringat dingin dan merasa tidak sanggup bertempur lebih lama lagi. Maka tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ia lalu melompat ke belakang dan melarikan diri.

“Tua bangka pengecut, kau hendak lari ke mana?” teriak Siang Cu hendak mengejar.

“Tak perlu dikejar, nona,” kata Tek Hong dan biarpun pemuda ini membujuk dengan singkat, aneh sekali, Siang Cu seakan akan seekor kuda yang ditarik kendalinya dan kedua kakinya berhenti berlari. Adapun Tung hai Sian jin berlari cepat sambil berseru menjawab ejekan Siang Cu, “Kalian ini orang orang muda yang curang, mengeroyok seorang tua. Pinto (aku) tidak ada banyak waktu untuk melayani kalian.”

Tek Hong dan Siang Cu tidak memperhatikan kata kata yang terdengar dari tempat jauh itu, melainkan saling pandang tanpa berkata kata. Siang Cu memiliki pandangan mata yang tajam dan tabah, sama sekali tidak sungkan sungkan dan malu malu, sebaliknya Tek Hong yang tidak kuat beradu mata terlalu lama dengan gadis ini, dan yang mengalihkan pandangan ke bawah lebih dulu. Kemudian Tek Hong menjura sambil berkata, “Nona, kau telah menyelamatkan nyawaku. Bagaimana aku dapat menyatakan terima kasihku?”

“Tidak ada yang menyelamatkan nyawa dan tidak ada yang diselamatkan. Tidak ada pula yang harus berterima kasih,” jawab Siang Cu singkat sehingga Tek Hong menjadi makin gagap.

“Nona, kau.... kau keras. Sedikitnya harap kau suka memberitahukan namamu agar nama itu dapat kuingat selama hidupku sebagai nama seorang gadis gagah perkasa yang telah menolongku.”

“Sobat, apa sih perlunya segala perkenalan ini? Kau dan aku adalah orang orang lain, diantara kita tidak ada hubungan sesuatu. Pertemuan kita hanya secara kebetulan saja. Sudahlah, baik sekali kau dan bisa selamat dan terlepas dari ancaman kakek yang lihai itu. Perkenankan aku pergi.”

“Nanti dulu, nona. Kata katamu tadi tak dapat kubenarkan. Sudah dua kali kita bertemu dalam keadaan yang amat ganjil. Pertama kali aku membantumu ketika kau dikeroyok oleh Go bi Sam thaisu, sekarang pada pertemuan kedua kalinya, kau yang membantu aku dari ancaman Tung hai Sian jin. Bukankah ini mempunyai arti bahwa kita memang sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat sahabat baik? Perkenalkanlah aku, nona, aku ”

“Cukup.” Siang Cu membentak dengan suara keras. “Aku.... aku tidak butuh dengan namamu. Kita tak usah saling memperkenalkan nama dan keadaan masing masing, cukup asal kita saling mengenal sebagai sahabat. Bukan begitu maksudmu? Nah, kalau kau benar benar menghendaki aku sebagai sahabat, aku suka menerimanya asal saja kau menerima syaratku, yakni kita tak usah saling memperkenalkan nama dan menuturkan riwayat.”

Tek Hong tertegun dan merasa heran sekali. Siapakah dara perkasa yang penuh rahasia ini dan mengapa tidak mau memperkenalkan nama? Akan tetapi melihat wajah yang bersungguh sungguh itu, ia maklum bahwa gadis ini amat keras hati dan kalau ia berkeberatan, tiada harapan baginya untuk berkenalan.

“Baiklah,” ia mengangguk angguk, “tentu saja aku suka menurut kehendakmu yang aneh itu. Kita tak usah mengenal nama dan keadaan masing masing. Akan tetapi, kiranya boleh aku mengetahui ke mana nona hendak pergi?”

“Ke mana saja hati dan kaki membawaku.”

“Sama sekali tidak ada tujuan?” tanya Tek Hong, “Tidak ada, hanya mengandalkan nasib mempertemukan aku dengan musuh besarku

“Nona mempunyai musuh besar? Boleh aku tahu siapa dia itu?”

Siang Cu tersenyum pahit sambil menggelengkan kepala. “Dia seorang tokh besar yang kenamaan dan tersohor sebagai seorang pendekar berbudi mulia. Akan tetapi kau tak perlu tahu siapa dia.” Memang, di sepanjang perjalanannya, Siang Cu menyelidiki keadaan musuh besarnya, sehingga ia mendengar dari setiap orang, baik orang orang kang ouw maupun Liok lim, bahwa Thian te Kiain ong Song Bun Sam adalah seorang taihiap (pendekar besar) yang budiman. Berita ini membuat hatinya makin sengsara dan kecewa akan keadaan suhunya, namun ia telah bersumpah untuk membalaskan dendam gurunya terhadap Thian te Kiam ong Song Bun Sam dan sekali kali ia tidak akan menarik kembali sumpahnya ini, ia telah merasa amat tertarik sehingga malu untuk mengaku sebagai murid Lam hai Lo mo, dan malu pula untuk mengaku siapa dia sebenarnya. Oleh karena itu, iapun merasa malu kalau harus mengaku bahwa dia memusuhi seorang pendekar besar yang mulia seperti yang dikabarkan orang atas diri Thian te Kiam ong.

Mendengar ucapan gadis baju merah itu, Tek Hong menjadi makin tertarik dan terharu. Tentu ada rahasia yang amat hebat pada sadis ini dan ia menjadi ingin sekali mengetahui rahasianya apa gerangan yang membuat gadis jelita itu menyembunyikan diri dan berlaku begitu aneh. Mana ada orang yang memuji muji musuh besarnya sebagai seorang berbudi mulia dan merendahkan diri sendiri sebagai seorang yang berada di fihak salah? Seorang gadis yang berani, berkepandaian tinggi, dan amat jujur sehingga terhadap seorang asing ia berani mengaku dan memuji muji kebaikan musuh besarnya, akan tetapi di lain fihak begitu kukuh menyembunyikan keadaan diri sendiri dengan terang terangan pula.

“Nona, benar benar kau seorang yang aneh sekali. Dahulu ketika kau bertempur menghadapi Go bi Sam thaisu, kau menyatakan kepadaku bahwa kau berada di fihak yang salah. Sekarang, kau mempunyai seorang musuh besar dan kau berkata pula bahwa dia seorang pendekar besar yang budiman. Nona, agaknya kau selalu berada di fihak yang salah dengan kau sengaja. Belum pernah selama hidupku aku mendengar tentang seorang yang sengaja menempatkan diri di fihak yang salah.”

Mendengar ini Siang Cu tersenyum penuh kedukaan, dan diam diam dia memuji kecerdikan pemuda ini yang dapat merangkan rangkaikan persoalan sehingga agaknya dengan mudah rahasianya akan terbuka olehnya. Ia menarik napas panjang dan berkata,

“Memang demikianlah, sahabatku. Semenjak kecil aku berada di tempat yang keliru. Terdidik di tempat yang keliru dan selalu menghadapi perkara yang salah. Sampai kini, tak berayah tak beribu, tak berhandai taulan, tiada rumah tiada cita cita yang ada hanya permusuhan dengan orang gagah yang budiman!” Ia menghela napas lagi. “Apa hendak di kata? Sudah begitulah nasibku dan aku tidak peduli lagi.

Tek Hong ikut merasa berduka mendengar ucapan gadis ini, sungguhpun ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang gagah dan sedikitpun tidak mengandung nada duka. Pemuda ini benar benar tertarik hatinya melihat Siang Cu, karena harus ia akui bahwa selamanya ia belum pernah melihat gadis seperti ini.

“Nona, nasibmu benar benar mengharukan hatiku. Setelah kita menjadi sahabat, biarpun tanpa mengenal nama dan keadaan masing masing, bolehkah aku menyertaimu dalam perjalanan merantau di dunia kang ouw?”

Siang Cu memandang tajam, dan ia mulai marah, ia mengira bahwa pemuda ini sudah tergila gila kepadanya dan mempunyai maksud yang tidak sopan. Akan tetapi ketika ia melihat sinar mata pemuda itu yang membayangkan kejujuran dan kesungguhan hati, sama sekali tidak nampak tanda tanda lain memandangnya, ia tidak jadi marah. Namun karena Siang Cu sudah biasa menyatakan perasaan, pikiran, dan suara hatinya melalui bibrnya, ia secara langsung bertanya,

“Sahabat, agaknya kau mencintaiku, betulkah?”

Wajah Tek Hong menjadi pucat pada saat mendengar pertanyaan ini, lalu berubah merah sekali ia memandang kepada Siang Cu dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Bukan main gadis ini! Pertanyaan itu merupakan penyerangan yang langsung menyerbu hati, lebih ganas dan lihai daripada serangan ujung pedang yang tajam.

“Nah.... aku.... eh, bagaimana tiba tiba saja kau menyerangku dengan pertanyaan itu?” akhirnya Tek Hong dapat berkata dan alisnya yang tebal berkerut. Penasaran dan tak sedap juga hati nya, karena ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu menganggap ia sebagai pemuda gila wanita yang ugal ugalan. Kehormatannya tersinggung oleh pertanyaan itu.

Akan tetapi Siang Cu seakan akan tidak mengacuhkan sikapnya, bahkan menarik napas panjang sambil berkata,

“Sudah terlalu sering dan terlalu biasa bagiku melihat laki laki jatuh cinta melihatku. Aku bosan melihat sinar mata laki laki memandang mesra, penuh bujukan, namun penuh kepalsuan.”

“Aduh, hebat sekali gadis ini,” pikir Tek Hong dan perutnya mulai terasa panas.

“Nona, kau terlalu sekali1 Kaukira aku ini orang macam apakah? Aku lebih baik mati daripada berlaku kurang ajar terhadap wanita, aku terang sopan, seorang terdidik baik oleh orang tuaku.” Sampai di sini, Tek Hong melihat wajah gadis itu seakan akan menahan tikaman di hatinya. Teringatlah ia bahwa gadis ini tiada ayah ibu, dan sudah mengaku pula bahwa ia dididik salah dan berada di dunia yang agaknya tidak baik semenjak kecilnya, maka timbul kasihan di dalam hatinya dan suaranya menjadi halus.

“Nona, betapapun juga, laki laki tinggal laki laki dan kuharap kau jangan terlalu salahkan mereka kalau mereka tergila gila dan cinta kepadamu. Hal itu sebenarnya adalah salahmu sendiri.”

“Salahku?” Siang Cu bertanya dan merasa geli. Baru sekarang ada orang berani menyalahkannya karena banyak laki laki tergila gila kepadanya. “Bagaimana aku salah dalam hal itu?”

“Kau salah karena mengapa wajahmu cantik? Mengapa sikapmu menarik dan kepandaianmu tinggi? Kalau kau tidak cantik tidak menarik dan tidak lihai, kukira kau akan terhindar dari pada pandangan mata mesra daripada laki laki di manapun juga,” kata Tek Hong.

Siang Cu membelalakkan matanya yang bagus dan ia lalu tertawa geli. Diam diam Tek Hong memandang kagum. Pantas saja banyak orang lelaki tergila gila. Kalau tertawa, gadis ini begitu manis!

“Tidak ada yang lebih manis merayu daripada ucapan laki laki,” kata Siang Cu. Jangankan memuji, menyalahkan juga tetap merayu! Sudahlah, sobat, akupun tidak perduli lagi tentang pandangan mata laki laki. Kau boleh memandang kepadaku sesuka caramu sendiri asalkan jangan bersikap kurang ajar seperti laki laki lain.”

Kembali kehormatan Tek Hong tersinggung dan timbul keangkuhannya. “Aku tidak mudah jatuh cinta!” katanya singkat, akan tetapi ketika ia memandang kepada wajah Siang Cu, kembali timbul rasa kasihan di dalam hatinya dan ia cepat menyambung kata katanya lebih halus karena ia merasa khawatir kalau kalau ucapannya itu akan menyakiti hati, “Eh, tentu sudah banyak sekali yang menyatakan cinta kepadamu, bukan?”

“Menyatakan sih tidak berani karena pedangku mereka anggap ganas. Di antara mereka, hanya seorang saja yang kuanggap kurang ajar dan pasti menjadi korban pedangku apabila aku bertemu lagi dengan dia. Dia adalah Bong Eng Kiat putera dari Tung hai Sian jin tadi.”

Tek Hong terkejut. Adiknyapun ditawan oleh pemuda kurang ajar itu. Jadi agaknya gadis inipun pernah bentrok dengan Eng Kiat? Simpatinya terhadap gadis ini makin membesar dan ia mengambil keputusan untuk mengawani gadis ini menghadapi musuh musuhnya.

Sebelum ia membuka mulut, Siang Cu sudah memandangnya dan bertanya tiba tiba.

“Kau sendiri hendak pergi ke manakah? “Akupun sedang merantau hendak mencari orang tuaku yang pergi dari rumah tanpa kuketahui ke mana perginya. Aku tadinya hendak pergi ke Tit le, kemudian aku akan ke kota raja lalu terus merantau ke pantai sebelah timur.”

Gadis itu nampak tertegun. “Ke Tit le? Kemudian ke pantai timur? Kaumaksudkan bahwa kau hendak pergi ke pantai Laut Po hai?”

Sekarang Tek Hong yang terkejut, “Demikianlah niatku. Akan tetapi kalau kau menghendaki pergi ke lain tempat, aku bersedia mengawanimu.”

Setelah berpikir sejenak, Siang Cu tersenyum dan berkata, “Sudah kukatan bahwa aku tidak mempunyai tujuan, hanya mengandalkan hati dan kaki. Sekarang ada kau sebagai sahabatku, biarkan aku menurut saja ke mana kau hendak pergi. Siapa tahu kalau kalau kau yang membawa aku bertemu dengan musuh besarku itu.”

“Nona, alangkah janggalnya kalau kita tidak saling mengenal nama dan keadaan. Mengapa mesti ada segala rahasia ini?”

Baru saja ia berkata demikian. Siang Cu menjadi marah. “Baik, kita berpisah di sini saja karena kau tidak mau

memenuhi syaratku tadi!” Setelah  berkata demikian, ia

melompat jauh dan melarikan diri.

Tek Hong cepat mengejar dan menyusul gadis itu. “Nona, maafkan aku banyak banyak. Aku tadi kelepasan bicara, tak dapatkah kau memaafkan seorang sahabat baru?”

Lemah pula hati Siang Cu dan ia memandang tajam. “Sekali kali jangan kauulangi pertanyaanmu tadi. Aku sudah mengambil keputusan tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang keadaan diriku yang tidak baik. Nah, cukup sekian saja. Mari kita berangkut!”

Dengan hati terheran heran, Tek Hong tidak berani banyak cakap lagi dan berjalanlah kedua orang muda ini menuju ke Tit le.

Setelah melakukan perjalanan bersama, dengan girang Tek Hong mendapat kenyataan bahwa watak dasar dari gadis itu sebetulnya baik sekali. Bicara ramah dan periang pula. Akan tetapi aneh sekali, kadang kadang dengan tiba tiba sikap itu berobah menjadi ganas, kaku dan selalu cemberut, sungguh pun dalam pandangan Tek Hong, selagi marahpun gadis ini wajahnya menjadi makin menarik dan manis.

Tentu saja ia tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil memang mengalami nasib yang sengsara sekali, ia di culik oleh Lam hai lo mo, semenjak kecil dididik oleh guru setengah gila dan jahat itu sehingga ia memiliki watak yang aneh. Sering kali di dalam dadanya ketika ia masih kecil, terasa kedukaan besar sekali dan kerinduan yang menyesakkan napas, orang tuanya yang tak pernah dikenalnya karena ia tidak teringat lagi akan wajah mereka. Rasa sayangnya hanya tercurah kepada gurunya, maka dapat dibayangkan betapa duka dan patah hatinya ketika ia melihat kekejian gurunya yang ternyata memiliki tabiat yang jauh sekali berbeda dengan dia. Kalau mengingat akan perbuatan perbuatan suhunya, ia amat benci kepada suhunya, benci setengah mati dan agaknya mau ia membunuh suhunya itu! Akan tetapi kalau ia teringat kepada wajah yang menyeramkan itu, teringat akan keadaan tubuhnya yang rusak, teringat pula betapa dengan penuh kasih sayang suhunya mendidik dan merawatnya semenjak kecil, timbul hati tayang dan kasihan. Pertentangan di dalam hatinya ini membuat Siang Cu menjadi putus harapan dan sering kali membuat ia bingung dan berubah ubah sikapnya. Ia gembira dan jenaka serta peramah apabila ia tidak teringat akan gurunya, dan lupa akan orang tuanya. Akan tetapi sekali ia teringat akan nasib dirinya, ia menjadi pemarah dan tukar diajak bicara.

Sebetulnya, ketika Tek Hong menyatakan hendak pergi ke Tit le, telah timbul dugaan di dalam hati Siang Cu yang membuat dada berdebar tidak enak. Pemula ini demikian perkasa, ilmu pedangnya amat mengagumkan, dan kini hendak pergi ke Tit le. Tak dapat salah lagi tentu ada hubungan sesuatu antara pemuda ini dengan Thian te Kiam ong, pendekar musuh besar gurunya yang rumahnya juga di Tit le dan yang sudah dibakar habis habis oleh suhunya itu!

Ketika mereka tiba di pintu gerbang Tit le, dengan hati berdebar tak enak, Siang Cu bertanya, “Kau hendak mengunjungi siapakah di kota ini?”

“Tidak mengunjungi siapa siapa, melainkan hendak pulang karena memang rumahku di sini. Akan kulihat sebentar, apakah orang tuaku telah kembali.”

“Di mana rumahmu?”

Ditanya demikian, Tek Hong menjadi bingung. “Rumah....? Ah, memang tadinya kami punya rumah,

akan tetapi.... orang jahat seperti iblis telah membakar rumah kami sampai habis. Mereka adalah Lam hai Lo mo dan muridnya. Oleh karena itulah ayah bundaku harus kuberi tahu karena mereka sedang keluar kota. Kalau mereka sudah kembali, sukurlah, kalau belum aku harus meninggalkan surat pemberitahuan kepada tetangga. Marilah, kalau mereka sudah kembali, akan kuperkenalkan kau kepada orang tuaku.”

Akan tetapi, wajah Siang Cu telah berubah pucat sekali dan untuk menyembunyikan ini dari Tek Hong, ia berpura pura mengusap peluh dari wajahnya dengan sehelai saputangan.

“Tidak, aku tidak mau ikut kau ke sana. Aku hendak mencari rumah penginapan dan ingin beristirahat sambil menunggu kau kembali,” katanya.

Tek Hong tidak membantah. “Kalau begitu, biarlah aku yang mencarikan rumah penginapan terbaik untukmu. Pemiliknya aku sudah kenal baik.”

Siang Cu tidak menjawab, hanya mengangguk saja. Ia merasa tubuhnya lemas sekali. Setelah Tek Hong mendapatkan sebuah kamar dalam rumah penginapan itu, ia segera masuk ke dalam kamar dan dari dalam kamar berkata kepada Tek Hong yang masih berdiri di luar karena pemuda ini ketika melihat sikap gadis itu yang selalu mengerutkan kening, mengira bahwa sudah datang lagi kemarahan dari gadis aneh itu.

“Kau pergilah dan bereskan urusanmu, jangan memikirkan aku di sini.”

Tek Hong menghela napas. “Baiklah. Aku pergi dulu dan setelah beres urusanku, kita akan melanjutkan perjalanan ke timur.”

Pemuda ini segera menuju ke rumahnya yang kini hanya tinggal bekasnya saja. Ia mendapat kenyataan dan tetangga tetangganya bahwa ayah bundanya belum pulang, demikian pula Siauw Yang tidak ada kabarnya. Maka ia lalu cepat cepat membuat surat untuk ayah bundanya, menceritakan segala peristiwa yang terjadi dan menyerahkan surat itu kepada seorang tetangganya she Lie dan agar surat itu diberikan kepada ayah bundanya apabila mereka pulang.

Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar